18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sampel Selama Penelitian
Selama pemberian jamu Galohgor kepada tikus percobaan, berat badannya
ditimbang setiap dua hari sekali. Setelah 14 hari pengamatan atau setara dengan
dua kali masa nifas pada manusia (80 hari), tidak tampak perubahan berat badan
tikus yang bermakna (Tabel 4 dan Gambar 1). Namun secara deskriptif, tikus
yang mendapat jamu dengan dosis yang lebih besar cenderung mengalami
peningkatan berat badan yang lebih rendah.
Tabel 4. Berat badan rata-rata tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 8 hari
Dosis
(g/kgBB)
BB (gram) hari ke
0 2 4 6 8
0 186,2 ± 2,17 184,4 ± 4,16a 184,6 ± 5,27ab 188,2 ± 4,60a 190,4 ± 3,36a a
0,74 184,2 ± 2,95 188,8 ± 3,49a 190,2 ± 4,76b 190,8 ± 17,46a 193 ± 16,12a
1,48
a
185 ± 2,92 182,2 ± 4,15a 184,4 ± 6,69a 186,4 ± 8,17a 186,4 ± 8,17a
2,22
a
183,2 ± 3,56 185 ± 5,15a 185,8 ±6,02ab 187,8 ± 6,06a 187,8 ± 6,06a a
Keterangan: huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan Multiple Range Test pada taraf uji 0,05.
Gambar 1. Berat badan rata-rata tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama
14 hari
170
175
180
185
190
195
200
205
0 2 4 6 8 10 12 14
Bera
t bad
an (g
ram
)
Hari pengamatan
0
0.74
1.48
2.22
Dosis (g/kgBB)
19
Perubahan berat badan yang tidak bermakna tersebut dapat terjadi karena
beberapa sebab. Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak tersedianya data
tingkat konsumsi makanan hewan coba dan jumlah serta kandungan feses hewan
coba. Sehingga sulit dijelaskan apakah peningkatan berat badan yang berbeda
tersebut sebagai akibat dari tingkat konsumsi yang rendah, pemanfaatan zat gizi
dalam tubuh yang berlebihan sebagai akibat dari meningkatnya metabolisme
basal, atau karena sebab yang lain.
Efek Jamu Galohgor terhadap Fungsi Ginjal
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme
faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Ginjal
mempunyai volumen aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada
filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan tertentu
(Lu 1995).
Parameter fungsi ginjal dapat diamati dari análisis darah seperti kadar
nitrogen urea darah (Blood Urea Nitrogen, BUN) dan kreatinin. Nitrogen urea
darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin.
Biasanya ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Namun,
kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan
hepatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan. Sedangkan
kreatinin adalah suatu metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin
melalui filtrasi glomerulus. Dengan demikian, meningkatnya kadar kreatinin
dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Lu 1995).
Analisis kadar ureum serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari menunjukkan bahwa kadar ureum serum pada tikus meningkat
secara nyata, diakibatkan oleh peningkatan dosis jamu yang diberikan (p<0,01),
seperti ditunjukkan oleh Tabel 5 dan Gambar 2. Namun besarnya kadar ureum
serum pada tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari dengan dosis
hingga mencapai 2,22 gram/kgBB tersebut masih berada dalam nilai yang normal,
yaitu berkisar antara 5,0 hingga 59,0 mg/dl (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb
and Quimby 1989).
20
Tabel 5. Kadar rata-rata ureum serum, kreatinin serum, dan protein urin tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari
Dosis Jamu
(gram/kgBB)
Kadar rata-rata
ureum (mg/dl)
Kadar rata-rata
kreatinin (mg/dl)
Protein Urin
0 (kontrol) 19,00 ± 2,12 0,64 ± 0,09a Negatif a
0,74 25,20 ± 4,55 0,76 ± 0,05b Negatif b
1,48 32,40 ± 2,70 0,84 ± 0,05c Negatif bc
2,22 43,80 ± 6,30 0,88 ± 0,04d Negatif c
Keterangan: huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 0,05.
Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan sebuah persamaan
matematis berikut:
y = 11,232x + 17,506
dengan y adalah kadar ureum serum dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar ureum serum tertinggi
yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu
Galohgor dengan dosis 3,69 g/kgBB atau 9,98 kali lipat dari dosis yang umumnya
dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis yang lebih
tinggi akan menyebabkan kadar ureum meningkat diatas normal.
Nitrogen urea darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan
diekskresi melalui urin. Biasanya ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan
glomerulus. Namun, kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat
makanan dan hepatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan (Lu
1995)
21
Gambar 2. Kadar rata-rata ureum serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari
Hasil analisis kadar kreatinin serum tikus juga menunjukkan bahwa
peningkatan dosis jamu Galohgor mengakibatkan peningkatan kadar kreatinin
serum secara nyata (p<0,01) setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari
(Tabel 5 dan Gambar 3). Kadar rata-rata kreatinin serum tikus tersebut juga masih
berada dalam rentang normal yang berkisar antara 0,22 hingga 1,00 mg/dl
(Darling and Morris 1991, Baker and Miller 1939). Kreatinin adalah suatu
metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi
glomerulus. Dengan demikian, meningkatnya kadar kreatinin dalam darah
merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Lu 1995).
Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan suatu persamaan
matematis, yaitu:
y = 0,103x + 0,668
dengan y adalah kadar kreatinin serum dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar kreatinin serum
tertinggi yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus
diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,22 g/kgBB atau 8,71 kali lipat dari dosis
yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan
dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan kadar kreatinin meningkat diatas
normal.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r ure
um se
rum
(mg/
dl)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
22
Pemberian jamu Galohgor hingga dosis 2,22 gram/kgBB pada tikus
selama 14 hari tidak menyebabkan adanya kebocoran filtrasi glomerulus pada
ginjal tikus, yang ditunjukkan dengan tidak didapatkannya protein dalam urin
tikus (Tabel 5). Normalnya, protein tidak didapatkan di dalam urin. Sel endotel
glomerulus yang normal membentuk sebuah sawar dengan pori-pori sebesar 100
nm yang mencegah partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar untuk keluar
ke dalam urin. Membran basal glomerulus mampu mencegah protein molekul
besar yang berukuran lebih dari 100 kDa untuk keluar melalui urin. Adanya
protein dalam urin menunjukkan adanya kebocoran filtrasi glomerulus (Denker
and Brenner 2001). Sama halnya dengan manusia, pada urin tikus yang normal
juga tidak didapatkan protein. Adanya protein dalam urin tikus juga menunjukkan
kebocoran dalam ginjal tikus (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby
1989).
Gambar 3. Kadar rata-rata kreatinin serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari
Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum pada tikus selama
pemberian jamu Galohgor dengan dosis bertingkat menunjukkan bahwa
peningkatan dosis jamu Galohgor mempengaruhi fungsi ginjal tikus, walaupun
pada dosis tertinggi yang diberikan fungsi ginjal tikus masih berada dalam rentang
yang normal. Terdapat kemungkinan, bila dosis jamu Galohgor terus ditingkatkan,
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r kre
atin
in se
rum
(mg/
dl)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
23
maka akan terjadi perburukan fungsi ginjal dan kerusakan ginjal itu sendiri,
mengingat tingginya kadar ureum dan kreatinin yang melebihi batas normal
merupakan petanda adanya gangguan fungsi ginjal. Hal ini akan berlanjut dengan
terjadinya kebocoran glomerulus, yang ditandai dengan didapatkannya protein
dalam urin atau proteinuria. Protein yang memiliki berat molekul besar akan
melewati membran basal glomerulus yang bocor, sehingga terekskresikan
bersama dengan urin (Lu 1995, Brady and Brenner 2001, Denker and Brenner
2001).
Bahan herbal atau obat yang bersifat nefrotoksik dapat menyebabkan
kerusakan pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksin menyebabkan
iskemia dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas
dari membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal, dan
kemudian menyebabkan kerusakan ansa Henle. Kerusakan ginjal diawali oleh
insufisiensi renal, dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang tampak dari
pemeriksaan faal ginjal. Proses ini awalnya terjadi perlahan, dan dapat berlanjut
menjadi kronis dan progresif. Sedangkan pemberian bahan herbal dosis tinggi
dalam jangka pendek juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal akut yang berupa
gagal ginjal akut. Kerusakan yang terjadi berupa nekrosis epitel tubulus, yang
disebut sebagai nekrosis tubuler akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) hingga
fibrosis interstisial yang meluas dan disertai terlepasnya epitel tubulus. Namun
fibrosis renal umumnya terjadi setelah pemakaian bahan herbal dalam jangka
panjang (Brady and Brenner 2001, Keppel and Calissi 2002, Peña et al. 1996,
Albright 2001, Martinez et al. 2002).
Keppel dan Calissi (2002) menyebutkan bahwa insufisiensi renal yang
berkelanjutan akan menyebabkan End Stage Renal Disease (ESRD), atau penyakit
ginjal tahap akhir. Penyebab utama ESRD adalah diabetes, yang diikuti oleh
penyakit vaskuler. Umumnya, penderita insufisiensi renal telah mengkonsumsi
berbagai obat untuk mengatasi penyakit yang mendasarinya, seperti diabetes.
Obat yang dikonsumsi oleh penderita dapat bervariasi, baik obat-obatan yang
berasal dari industri farmasi, ataupun obat-obat herbal yang dijual bebas di
pasaran. Penderita insufisiensi renal didiagnosis melalui pemeriksaan penunjang,
selain melalui penggalian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
24
penunjang utama yang digunakan adalah pemeriksaan kadar kreatinin serum dan
bersihan kreatinin (creatinine clearance) yang mencerminkan fungsi ginjal
penderita.
Insufisiensi renal yang terjadi karena konsumsi obat-obatan dan bahan
herbal dapat terjadi secara cepat dan progresif, kemudian menyebabkan terjadinya
gagal ginjal akut, seperti dinyatakan oleh Albright (2001). Nefritis intersitisial
fibrotik adalah salah satu peyebab gagal ginjal akut dengan kerusakan intrarenal.
Obat-obatan dan bahan herbal adalah penyebab utama nefritis interstisial fibrotik.
Bahan herbal yang berasal dari Cina telah banyak terbukti menimbulkan
gangguan ini, sehingga disebut sebagai sindroma nefropati akibat bahan herbal
Cina. Sindroma ini ditandai dengan gagal ginjal progresif, ditemukannya banyak
sedimen urin, pengerutan ukuran ginjal dengan proteinuria ringan, dan
dihubungkan dengan adanya kejadian kanker uroepitelial.
Peña et al. (1996) dan Martinez et al. (2002) melakukan penelitian yang
serupa terhadap bahan herbal yang berbeda dari Cina, dan melihat pengaruhnya
terhadap fungsi ginjal. Keduanya menyimpulkan bahwa penggunaan bahan herbal
dengan dosis rendah dalam jangka waktu yang lama menimbulkan akumulasi
bahan herbal tersebut dalam ginjal. Pada gambaran histologis jaringan ginjal
didapatkan fibrosis interstisial yang meluas dengan gambaran atrofi dan hilangnya
integritas tubulus ginjal. Jangka waktu konsumsi bahan herbal yang semakin lama
akan menimbulkan gangguan ginjal yang semakin berat, hingga dapat terjadi
ESRD. Kajian epidemiologis juga menunjukkan adanya keterkaitan antara tingkat
konsumsi bahan herbal dengan meningkatnya prevalensi gagal ginjal akut di
beberapa negara di Eropa.
Tidak hanya bahan herbal dari Cina saja yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi ginjal. Dasgupta dan Bernard (2006) serta Mythilypriya et al.
(2007) menyatakan bahwa beberapa jamu dari India yang berasal dari beberapa
bahan herbal menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, pengerutan
ukuran ginjal, serta perubahan histologis jaringan ginjal. Selain itu, bahan-bahan
herbal tersebut juga berinteraksi dengan obat-obatan, sehingga memperberat
kerusakan ginjal yang terjadi. Kemungkinan terjadinya karsinogenesis akibat
bahan-bahan herbal juga diunkap oleh para peneliti tersebut.
25
Di Afrika, Tédong et al. (2007), Sheir (2001), dan Aniagu et al. (2005)
menemukan bahwa jamu yang terdiri dari bebrapa bahan herbal menimbulkan
gangguan fungsi ginjal pada hewan coba, bila diberikan dalam dosis tinggi dan
waktu yang singkat, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Pemberian bahan herbal dalam
dosis rendah dan jangka waktu yang singkat tidak mengakibatkan gangguan
anatomis dan fungsi ginjal yang bermakna. Gangguan ginjal yang timbul
selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi organ yang lain, seperti hati.
Dalam beberapa penelitian tersebut juga diungkapkan adanya perubahan anatomis
pada ginjal, yang ditunjukkan oleh hilangnya integritas tubulus ginjal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian mengenai bahan herbal
yang berasal dari Asia dan Afrika, Gabardi et al. (2007) dan Tagliati (2008)
menguji bahan herbal yang sudah terdaftar di Amerika Serikat dan Brasil terkait
pengaruhnya terhadap fungsi ginjal. Penggunaan bahan herbal terdaftar tersebut
tidak memberikan efek negatif pada organ-organ tubuh bila digunakan pada
rentang dosis yang tepat. Karena produk tersebut telah beredar luas dan dapat
diperoleh tanpa menggunakan resep dokter, konsumen cenderung untuk tidak
memperhatikan dosis dan aturan pakai bahan herbal. Konsumen menganggap
bahwa bahan herbal cenderung lebih aman, sehingga dikonsumsi berlebihan. Hal
ini justru merugikan konsumen, karena mendorong terjadinya disfungsi ginjal
hingga gagal ginjal akut. Edukasi yang tepat pada masyarakat mengenai
penggunaan bahan herbal mutlak diperlukan untuk menghindari terjadinya
perburukan fungsi ginjal pada konsumen bahan herbal.
Bahan herbal dapat bersifat nefrotoksik oleh karena senyawa-senyawa
yang dikandungnya, atau karena adanya senyawa lain yang berasal dari luar,
misalnya adanya logam berat, pestisida, atau bahan kimia lainnya yang terdapat di
tempat bahan herbal tersebut tumbuh. Selama ini bahan herbal yang banyak
diteliti berasal dari Asia utamanya Cina, Afrika, dan Amerika Latin. Bahan-bahan
tersebut diaplikasikan kepada manusia sebagai bahan tunggal dari satu jenis
tanaman, atau bahan majemuk yang terdiri dari beberapa tanaman, misalnya jamu
Galohgor. Pada bahan yang terdiri dari beberapa tanaman, dapat terjadi interaksi
antar senyawa dari berbagai tanaman tersebut, dengan hasil akhir yang seringkali
sulit diramalkan. Bahan-bahan tersebut dapat saling meniadakan efek toksiknya,
26
dan sebaliknya. Hasil metabolit akhir dari bahan herbal tersebut yang pada
umumnya mempengaruhi fungsi ginjal, serta merusak struktur intrinsik ginjal
secara anatomis. Edukasi pada masyarakat untuk menggunakan bahan herbal
dengan dosis yang tepat menjadi mutlak diperlukan karenanya (Dasgupta and
Bernard 2006, Mythilypriya et al. 2007, Tédong et al. 2007, Sheir 2001, Aniagu et
al. 2005, Gabardi et al. 2007, Tagliati 2008)
Efek Jamu Galohgor terhadap Fungsi Hati
Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan
toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak
toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Beberapa enzim serum
digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini
dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria,
lisosom, dan nukleus. Aspartat aminotransferase (SGPT) dan glutamat
oksaloasetat transaminase (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis
hati akut. Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan
kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. (Lu 1995,
Guyton 1999).
Analisis kadar enzim alanin aminotransferase (ALT) atau yang lebih
banyak dikenal sebagai SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) pada
tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor menunjukkan pahwa peningkatan
kadar SGPT dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan dosis jamu Galohgor
(p<0,01), seperti tampak pada Tabel 6 dan Gambar 4. Kadar SGPT tersebut
hampir mencapai ambang batas nilai normalnya pada tikus, yaitu antara 35,9
hingga 81,6 IU/l (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989). Enzim
ini mengkatalisis reaksi pemindahan gugus amino antara L-alanin dan asam α-
ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat. SGPT merupakan enzim yang spesifik
pada hati. Peningkatan kadar enzim ini dalam darah dapat menunjukkan adanya
kerusakan pada hati. Keadaan serupa juga terjadi pada peradangan hati (hepatitis)
dengan berbagai sebab, seperti infeksi atau hepatitis yang terjadi akibat
alkoholisme (Dienstag and Isselbacher 2001, Anuforo et al. 1978).
27
Tabel 6. Kadar rata-rata SGPT, SGOT, dan total protein serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari
Dosis Jamu
(gram/kgBB)
Kadar rata-rata
SGPT (mg/dl)
Kadar rata-rata
SGOT (mg/dl)
Kadar rata-rata total
protein serum (g/dl)
0 (kontrol) 56,60 ± 7,02 39,20 ± 5,26a 9,08 ± 1,16a a
0,74 61,40 ± 6,73 50,20 ± 1,92ab 8,24 ± 0,16b
1,48
b
65,00 ± 2,83 57,40 ± 2,07bc 7,72 ± 0,22c
2,22
b
71,60 ± 4,72 71,80 ± 5,21c 5,88 ± 0,36d c
Keterangan: huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 0,05.
Gambar 4. Kadar rata-rata SGPT tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama
14 hari
Hasil analisis dengan menggunakan regresi linier menghasilkan sebuah
persamaan, yaitu:
y = 7,512x + 54,729
dengan y adalah kadar SGPT dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar SGPT tertinggi yang
masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu
Galohgor dengan dosis 3,58 g/kgBB atau 9,67 kali lipat dari dosis yang umumnya
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r SG
PT (I
U/l
)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
28
dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis yang lebih
tinggi akan menyebabkan kadar SGPT meningkat diatas normal.
Kadar rata-rata enzim Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
atau aspartat transferase (AST) pada tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor
juga meningkat secara nyata (p<0,01) sebagai akibat peningkatan dosis jamu
Galohgor (Tabel 6 dan Gambar 5). Kadar SGOT normal pada tikus berkisar antara
35,7 hingga 168 IU/l (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989).
Peningkatan kadar enzim ini tidak spesifik menunjukkan disfungsi hati, karena
enzim tersebut juga didapatkan pada otot rangka, pankreas, dan beberapa organ
lain. Namun peningkatannya yang disertai peningkatan kadar SGPT tanpa disertai
kerusakan atau disfungsi organ lain mampu menunjukkan adanya kerusakan pada
hati (Dienstag and Isselbacher 2001, Anuforo et al. 1978).
Gambar 5. Kadar rata-rata SGOT tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama
14 hari
Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan sebuah persamaan,
yaitu:
y = 13,688x + 39,765
dengan y adalah kadar SGOT dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar SGOT tertinggi yang
masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r SG
OT
(IU/l
)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
29
Galohgor dengan dosis 9,37 g/kgBB atau 25,32 kali lipat dari dosis yang
umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis
yang lebih tinggi akan menyebabkan kadar SGOT meningkat diatas normal.
Hati adalah organ utama yang diteliti dalam menentukan toksisitas suatu
bahan, karena proses detoksifikasi terjadi di hati. Hepatitis adalah gangguan
fungsi hati pertama dan utama yang terjadi akibat penggunaan bahan herbal,
seperti dinyatakan oleh Shad dan Brann (1999), Laliberté dan Villeneuve (1996),
serta Currie dan Clough (2003). Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan
peningkatan kadar SGPT dan SGOT, sebuah pemeriksaan sederhana yang dapat
dilakukan di negara berkembang. Bahan herbal yang diteliti berasal dari belahan
dunia yang berbeda, yaitu dari Perancis, Amerika Utara, dan Kepulauan Pasifik.
Hasil yang sama diperoleh dari berbagai penelitian tersebut, yaitu terjadinya
hepatitis pada penderita yang mengkonsumsi bahan herbal dalam dosis yang
tinggi dan jangka waktu yang lama. Gambaran histopatologis menunjukkan
terjadinya nekrosis yang semakin meluas, seiring dengan semakin tingginya dosis
dan semakin panjangnya jangka waktu konsumsi bahan herbal. Bahan herbal juga
memiliki efek yang berbeda pada fungsi spesifik hati. Teucrium chamaedrys yang
berasal dari Perancis selain menyebabkan hepatitis, juga menyebabkan gangguan
metabolism kolesterol dan sistem bilier, sehingga gejala ikterus lebih jelas terlihat.
Shad dan Brann (1999) yang meneliti beberapa bahan herbal di Amerika Utara
menemukan bahwa sebagian besar bahan herbal yang diteliti selain menyebabkan
hepatitis, juga mengganggu fungsi pembekuan darah.
De Smet et al. (1996) menemukan adanya kasus interaksi antara bahan
herbal terdaftar dengan Levothyroxine dan Ibuprofen yang menginduksi
terjadinya hepatitis. Gejala klinis utama yang tampak pada penderita adalah
adanya ikterus, nausea, dan pruritus. Pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
penggalian riwayat terapi menunjukkan bahwa penderita menggunakan bahan
herbal terdaftar tanpa sepengetahuan dokter yang merawatnya, yang
menggunakan obat-obat tersebut. Edukasi pada penderita menjadi salah satu kunci
untuk menghindari terjadinya kasus yang serupa.
Penggunaan bahan herbal yang sudah teruji sekalipun harus
memperhatikan variasi individu yang mengkonsumsinya. Bahan yang sudah
30
terdaftar dan melalui uji toksisitas pada hewan coba dan telah diujikan secara
klinis pada manusia juga memiliki batasan-batasan tertentu, seperti obat-obatan
lainnya. Jus buah noni yang tidak toksik pada hewan coba, seperti diteliti oleh
West et al. (2006a) juga terbukti aman dalam uji klinis pada manusia (West et al.
2006b).
Stadlbauer et al. (2005) menemukan adanya interaksi antara jus buah noni
dengan Paracetamol, yang menginduksi terjadinya hepatitis dan gangguan sistem
bilier pada seorang penderita. Pemeriksaan sitologi hati pada penderita tersebut
menunjukkan adanya nekrosis hepatosit dan infiltrasi sel-sel radang pada ductus
hepaticus. Penderita lain yang berusia lanjut juga mengalami perburukan disfungsi
hati setelah konsumsi jus buah noni. Pemeriksaan sitologi hati pada penderita
tersebut menunjukkan adanya nekrosis hepatosit pada area sentrilobular yang
disertai adanya infiltrat sel-sel radang.
Kerusakan hati akibat bahan herbal umumnya ditandai dengan
peningkatan enzim-enzim hati, seperti SGPT dan SGOT. Pada beberapa bahan
herbal yang bersifat hepatotoksik berat, enzim-enzim lain juga meningkat
kadarnya, seperti laktat dehidrogenase dan alkalin fosfatase. Sedangkan pada
beberapa bahan herbal lainnya, kerusakan hati juga diikuti oleh gangguan sistem
bilier dan metabolisme kolesterol. Pada pemberian bahan herbal dosis tinggi
dalam jangka waktu yang singkat, dapat terjadi hepatitis akut, sedangkan pada
penggunaannya dalam jangka panjang dapat mengakibatkan perlemakan hati
hingga nekrosis hati yang meluas. Kerusakan hati tersebut dapat terjadi karena
bahan-bahan herbal tersebut mengalami metabolisme dan detoksifikasi di hati.
Sebagian bahan herbal menghasilkan metabolit antara yang bersifat hepatotoksik,
sehingga menyebabkan kerusakan hati, baik akut maupun kronis (Shad and Brann
1999, Laliberté and Villeneuve 1996, de Smet et al. 1996, Currie and Clough
2003).
Kadar total protein serum pada tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor
semakin menurun secara nyata (p<0,01) sebagai akibat dari peningkatan dosis
jamu Galohgor (Tabel 7 dan Gambar 6). Seperti kadar SGPT dan SGOT, kadar
protein serum pada tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor juga masih berada
31
dalam rentang nilai normalnya, yaitu 4,3 hingga 10,7 g/dl. Analisis dengan
menggunakan regresi linier menghasilkan persamaan:
y = -1,308x + 9,146
dengan y adalah kadar total protein serum dan x adalah dosis jamu
Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar total protein
serum terendah yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus
diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,70 g/kgBB atau 10 kali lipat dari dosis
yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan
dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan kadar total protein serum turun
dibawah normal.
Gambar 6. Kadar rata-rata total protein serum tikus setelah pemberian jamu
Galohgor selama 14 hari
Total protein serum merupakan gabungan dari seluruh protein sederhana
dan kompleks yang beredar di dalam tubuh. Sebagian besar protein disintesa di
hati, sehingga penurunan kadarnya menunjukkan adanya gangguan pada
kemampuan sintesa protein oleh hati. Gangguan tersebut umumnya disebabkan
oleh kerusakan hati. Selain itu, kerusakan ginjal menyebabkan lolosnya protein ke
dalam urin, sehingga seolah-olah kadar protein serum menjadi berkurang.
0123456789
10
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r tot
al p
rote
in se
rum
(g/d
l)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
32
Kurang energi dan protein (KEP) dan penyakit-penyakit yang
menyebabkan penurunan status gizi, seperti sindrom malabsorbsi juga
menyebabkan rendahnya kadar total protein serum. Hati memiliki mekanisme
kompensasi yang sangat baik. Hal ini ditunjukkan pada disfungsi hati akibat
penggunaan bahan herbal, sintesa protein cenderung berada dalam rentang yang
normal, walaupun kadarnya rendah dalam darah. Selain itu, hati juga memiliki
kemampuan regenerasi yang baik, sehingga apabila penggunaan suatu bahan
hepatotoksik dihentikan, maka hati akan melakukan regenerasi untuk mengganti
sel-selnya yang rusak (Schreiber et al. 1971, Steinert 2009, Orhue et al. 2005,
Karimi and Hayatghaibi 2006, Kandasamy et al. 2010, Antai et al. 2009).