HUBUNGAN ANTARA TRAITS KEPRIBADIAN IBU
DAN KEMAJUAN TREATMENT ANAK-ANAK AUTISME
Skripsi Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh: Husnaini
2008-070-174
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta April 2013
i
Hubungan antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak-Anak Autisme
Oleh Husnaini
2008-070-174
Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Di tetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2013
Menyetujui, Pembimbing Skripsi
Dr. Magdalena S. Halim, Psi.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Dr. phil. Juliana Murniati, M.Si.
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
April 2013
ii
ABSTRAK Husnaini, 2008-070-174 Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak-Anak Autisme x+73 halaman, 7 tabel, 9 grafik Bibliografi 43 (1978-2013) Kata Kunci: Kepribadian, Big Five Personality, Ibu, Anak Autisme, Treatment, Gangguan Spektrum Autisme (autisme) makin banyak dijumpai dalam dekade terakhir ini. Hingga tahun 2007, Center for Disease Control and Prevention menemukan peningkatan jumlah anak penyandang autisme menjadi 1 banding 150. Autisme di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gejala utama autisme pada masa kanak-kanak dapat dikurangi dengan mengusahakan treatment (penanganan) yang memerlukan keterlibatan aktif orangtua dalam pelaksanaannya. Orangtua perlu menempatkan diri dan mengambil peran yang proporsional dalam proses treatment anak. Pemilihan treatment yang dianggap tepat atau canggih ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat peran orangtua berkurang dalam mendorong keberhasilan treatment yang dilakukan. Usaha dari orang tua untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses treatment anak. Penelitian ini berfokus pada ibu karena pada umumnya ayah lebih disibukkan dengan pekerjaan dan perannya sebagai pencari nafkah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme. Hal ini disebabkan olehcara setiap ibu menangani anak dapat saja berbeda-beda sesuai dengan kepribadian masing-masing dan dapat berhubungan dengan kemajuan treatment anak. Penelitian ini menggunakan alat ukur NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae dan juga ATEC (Autism Treatment Evaluation Checklist) yang dikembangkan oleh Stephen Edelson dan Bernard Rimland. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik convenience sampling dengan jumlah sampel 31 ibu dari anak autisme. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi negatif antara Neuroticism (dengan tambahan korelasi pada facet A1 Anxiety) dan kemajuan treatment. Terdapat korelasi positif antara kemajuan treatment dan Conscientiousness (dengan tambahan korelasi pada facets C1 Competence, C2 Order, C4 Achievement striving, C5 Self discipline dan C6 Deliberation) juga pada O5 Ideas (salah satu facet dalam Openess). Kombinasi dua metode treatment (SI dan TW), jadwal terapi dua kali seminggu, ibu yang memiliki waktu lebih untuk menangani anak (berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta) dan juga menerapkan terapi di rumah, juga terbukti mendukung kemajuan treatment anak autisme.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena hanya
atas kehendak dan ridha-Nya saya akhirnya dapat menyelesaikan studi saya ini.
Begitu banyak halangan dan rintangan dalam proses pembuatan skripsi ini, namun
sebanyak itu pula kemudahan yang Allah berikan kepada saya. Selesainya skripsi
ini tentu saja tak luput dari bantuan pihak-pihak di bawah ini:
1. Ibu Magdalena S. Halim, selaku pembimbing skripsi dari sejak menulis
seminar semester 7 hingga di pengujung semester 9 ini. Terimakasih
banyak atas kesabarannya, mengarahkan ide-ide acak dari kepala saya
hingga menjadi sesuatu yang dapat dimengerti. Terimakasih atas waktunya
disela-sela kesibukkannya, beliau selalu bersedia mendampingi dan
membimbing hingga selesai. Terimakasih juga tak lupa atas keyakinannya,
membuat saya yakin dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Mr. Stephen Edelson atas izinnya menggunakan ATEC dalam penelitian
ini dan bersedia membalas email sesegera mungkin di tengah-tengah
kesibukannya. Mr. Bernard Rimland (RIP) atas buah pemikiranya
sehingga tersusunlah ATEC bersama Mr. Stephen Edelson. Semoga ATEC
dapat membantu lebih banyak manusia di dunia ini.
3. Ibu Lidia Laksana Hidayat, Mba Penny Handayani, Mba Annelia Sari
Sani, dan Mas Hosael Waluyo Erlan yang sudah bersedia meluangkan
waktu membantu brainstorming, memberikan informasi-informasi
mengenai bidang terkait, dan juga saran serta kritiknya yang sangat
membantu penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dhevy Setya Wibawa, selaku pembimbing akademik yang begitu
sabar mendengarkan keluhan maupun cerita-cerita. Terimakasih sudah
menjadi figur yang membuat hati tenang saat sedang kacau.
5. Mas Taufiq Hidayat, terimakasih atas kesediaannya memberikan
informasi, menanyakan kabar penulisan skripsi yang selalu memacu saya
untuk semangat menyelesaikannya.
iv
6. Seluruh pihak dari Pusat terapi Polaris, Sekolah Sarana Terpadu, Sekolah
Pelita Hati, Pusat Terapi dan Training QQ Mitra Ananda, dan juga Milis
Puterakembara yang telah membantu dalam pencarian responden maupun
bahan-bahan terkait dengan skripsi ini.
7. Keluargaku tercinta. Mama Sri Redjeki dan Papa Deddy Alhurry,
terimakasih atas segalanya yang kalian berikan baik dukungan materi
maupun dukungan moril yang tak henti. Adikku yang paling special,
Rahman, sumber inspirasiku dalam skripsi ini.
8. Orang-orang terdekatku. Reza Yanuarsyah, terimakasih untuk selalu ada,
sabar, dan ceria menjalani hari-hari bersama. Ika Yuliyani, terimakasih
atas persahabatan yang tak henti.
9. Sahabat di kampusku tercinta, Mayang Gita Mardian, Leonarda Anggia,
dan juga Agnes Kusdinar Putri. Terimakasih atas segala dukungan dan
pertemanan yang tulus.
10. Sahabat SMP dan SMA tersayang. Permorini Sari, Lidya Puspasari,
Azizah Tri Wulandari, Silvya Jaidi, Novitania Mundayanti, dan juga Ira
Indah. Terimakasih sudah menyemangati mengerjakan skripsi dari dini
hari hingga malam suntuk.
11. Teman-teman bimbinganku. Wiji Mulyati, Alfani Sweetlana, Dean Riani,
Ivana Elim, Rudyanto, Samanta, dan juga Anastasia Silvyana. Terimakasih
atas kebersamaannya selama ini.
12. Terakhir, terimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua respondenku,
para ibu-ibu super yang baik hati. Terimakasih atas kesediaannya
berpartisipasi dalam penelitian ini.
Jakarta, 7 Maret 2013
Husnaini
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL viii DAFTAR GRAFIK ix DAFTAR LAMPIRAN x BAB I 1 PENDAHULUAN 1
I.A Latar Belakang 1 I.B Masalah Penelitian 13 I.C Tujuan Penelitian 13 I.D Manfaat Penelitian 13 I.E Sistematika Penulisan 14
BAB II 16 LANDASAN TEORI 16
II.A Traits Kepribadian 16 II.A.1 Pengertian Kepribadian 16 II.A.2 Big Five Personality 17 II.A.3 Domain dan Facet Big Five Personality 17 II.A.4 Big Five Personality dalam Parenting 22
II.B Autisme 24 II.B.1 Pengertian Autisme 24 II.B.2 Treatment Anak Autisme 25
II.C Kemajuan Treatment Anak Autisme 28 II.C.1 Pengertian Kemajuan Treatment 28 II.C.2 Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Treatment 31 II.C.3 Pengukuran Kemajuan Treatment 33
II. D Dinamika Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak Autisme 34
II.E Hipotesis Penelitian 37 BAB III 38 METODE PENELITIAN 38
III.A Jenis Penelitian 38
vi
III.B Variabel Penelitian 38 III.B.1 Variabel Pertama 38 III.B.2 Variabel Kedua 39
III.C. Populasi dan Sampel Penelitian 39 III.C.1. Karakteristik Populasi 39 III.C.2 Teknik Sampling 40 III.C.3 Jumlah Sampel 40
III.D Instrumen Penelitian 41 III.D.1 NEO PI-R 41 III.D.2 ATEC 42
III.E Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 43 III.F Metode Analisis Data 44 III.G Prosedur Penelitian 45
III.G.1 Prosedur Persiapan 45 III.G.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 46
BAB IV 47 ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA 47
IV. A Demografi Responden 47 IV. A. 1 Gambaran Usia Responden 47 IV.A.2 Gambaran Pekerjaan Responden 47 IV.A.3 Gambaran Usia Anak 48 IV.A.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak 48
IV.B Hasil dan Interpretasi Penelitian 49 IV.B.1 Uji Korelasi Traits Kepribadian Orangtua (beserta facets) dan
Kemajuan Treatment Anak 49 IV.B.2 Analisa Tambahan 51
BAB V 58 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 58
V.A Kesimpulan 58 V.B Diskusi 59 V.C Saran 64
V.C.1 Saran Metodologis 64 V.C.2 Saran Praktis 65
DAFTAR PUSTAKA 68
vii
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Tabel Domain dan Facets dari Big Five Personality 19
Tabel IV.1 Perhitungan Korelasi Pearson antara Domain dan Facets dalam
Neuroticism, Extraversion, Openness to experience,
Conscientiousness dan Kemajuan Terapi Anak Autisme 50
Tabel IV.2 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Terapi yang
diikuti 53
Tabel IV.3 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jadwal Terapi
dalam Satu Minggu 54
Tabel IV.4 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Penerapan
Terapi di Rumah 55
Tabel IV.5 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Ibu 56
viii
DAFTAR GRAFIK
Grafik II.1 Grafik Dinamika Hubungan antar Variabel 34
Grafik IV.1 Gambaran Usia Responden 47
Grafik IV.2 Gambaran Pekerjaan Responden 47
Grafik IV.3 Gambaran Usia Anak 48
Grafik IV.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak 48
Grafik IV. 5 Persebaran Skor NEO PI-R 51
ix
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Contoh Kuesioner 74
BAB I
PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang
Selama dekade terakhir (2001-2011), kasus anak dengan gangguan autisme
makin banyak dijumpai. Pada tahun 2001, data dari Center for Disease Control
and Prevention Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat 60 orang anak dari
10.000 kelahiran menyandang autisme (Dewanto, 2003). Hingga tahun 2007,
Center for Disease Control and Prevention menemukan peningkatan jumlah anak
penyandang autisme menjadi 1 banding 150. Chakrabarti dan Fombonne (dalam
Parritz & Troy, 2011) mengungkapkan bahwa diagnosis autisme yang meningkat
pada dua dekade terakhir ini disebabkan oleh peningkatan jumlah yang nyata di
masyarakat serta meluasnya definisi autisme dan identifikasi autisme yang lebih
baik dari sebelumnya (Parritz & Troy, 2011). Gejala-gejala tersebut telah muncul
sebelum anak berusia 3 tahun.
Anak autisme juga sering menunjukkan beberapa gejala lainnya. Gejala
tersebut antara lain adalah gangguan pola tidur dan pencernaan, mengamuk
Autisme sendiri di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive
developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gangguannya
meliputi gangguan interaksi sosial (verbal dan non-verbal), komunikasi dan
bahasa, serta pola perilaku atau minat yang terbatas dan stereotipikal (temper
tantrum). Anak kadang juga mencederai diri sendiri (self abuse) seperti menggigit
1
tangannya, membenturkan kepalanya ke tembok, dan lainnya sehingga anak perlu
diawasi untuk menghindari cedera berat (Safaria, 2005).
Gejala-gejala dan karakteristik dari autisme di atas dapat muncul dalam
kombinasi yang sangat variatif, dari yang ringan hingga berat. Walaupun autisme
didefinisikan sebagai suatu kumpulan perilaku, anak dengan autisme dapat
menunjukkan bermacam-macam kombinasi perilaku dalam berbagai tingkat
keparahan. Anak-anak dengan diagnosis yang sama dapat berperilaku sangat
berbeda dan memiliki kemampuan yang beragam. Oleh karena itu, tidak ada tipe
standar individu dengan autisme (“A Parent’s Handbook”, 2009).
Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini
terbukti bahwa gejala utama autisme pada masa kanak-kanak dapat dikurangi
dengan mengusahakan treatment (Handojo, 2003). Jenis-jenis treatment yang ada
juga beraneka ragam. Treatment psikologis terbukti merupakan terapi paling
efektif yang menekankan pada teknik sosial dan perilaku (Parritz & Troy, 2011).
Dalam terapi perilaku ini ada terapi wicara (dengan metode ABA, Applied
Behavior Analysis), dan terapi sosialisasi. Treatment dengan basis sensori-motor
juga terbukti mendukung contohnya terapi okupasi dan sensori integrasi.
Treatment selanjutnya yang juga populer diterapkan pada anak autisme adalah
biomedikasi. Diet juga termasuk dalam jenis penanganan biomedikasi. Diet yang
dilakukan berbeda-beda tergantung pada alergi dan kekurangan vitamin atau
mineral yang dapat menyebabkan timbulnya simptom autisme. Salah satu diet
yang dirasa para orengtua sangat membantu adalah diet gluten-free, casein-free
(Department of Health (2004). Selain diet, penanganan biomedikasi juga termasuk
2
treatment farmakologi. Menurut Martin et.al (dalam Parritz & Troy, 2011), obat
yang biasa diberikan dalam treatment ini mencakup antidepresan, stimulan, dan
neuropletik, tidak ada satupun yang spesifik untuk menangani autisme.
Treatment-treatment yang disebutkan di atas tentunya tidak akan berhasil tanpa
adanya campur tangan dari orangtua, karena itu mereka perlu terlibat secara aktif
untuk mendukung treatment. Danuatmojo (2003) juga menyimpulkan bahwa
minimal ada lima tahap dalam treatment anak dengan autisme. Kelima tahap
tersebut adalah tahap diagnosis, tahap observasi, tahap penyusunan program,
tahap pelaksanaan program, dan tahap evaluasi serta follow-up.
Pada tahap diagnosis, orang tua berperan untuk memberikan informasi akurat
tentang perkembangan anak sejak bayi sampai anak diduga menderita autisme.
Ketepatan informasi yang diberikan oleh orang tua dalam proses diagnosis ini
akan membantu para ahli terkait untuk menegakkan diagnosis. Ketika tahap
observasi, peran orangtua adalah membantu memberikan informasi tentang
perilaku anak sehari-hari. Pengamatan yang akurat terhadap perilaku anak akan
mempermudah dalam membuat “base line” sebagai titik awal dalam pelaksanaan
treatment.
Pada tahap penyusunan program, keterlibatan orangtua sangat penting karena
orangtua adalah penanggung jawab penuh dalam pelaksanaan treatment nantinya.
Pada tahap ini, orangtua dapat mengusulkan program yang akan dijalani, tim
terapis yang dibentuk, dan jadwal kegiatan anak. Keterlibatan orangtua dalam
tahap pelaksanaan treatment tidak berarti berkurang. Pada tahap ini yang perlu
diperhatikan oleh orang tua adalah konsistensi dan kesinambungan. Hal-hal yang
3
dilakukan oleh terapis idealnya juga dilakukan orangtua di rumah, terlebih karena
waktu pertemuan anak dengan orangtua lebih panjang dibanding dengan
terapisnya. Bila ini dilakukan, proses treatment menjadi semakin cepat karena
anak memperoleh perlakuan yang relatif sama sepanjang waktu.
Tahap akhir dari pelaksanaan treatment pada anak autisme adalah evaluasi dan
follow-up. Pada tahap ini, orangtua dapat melaporkan perubahan-perubahan pada
diri anak yang terjadi selama proses treatment. Laporan ini akan digunakan oleh
terapis untuk menyimpulkan hasil yang dicapai oleh anak selama proses terapi.
Hasil ini akan diolah oleh tim terapi untuk penyusunan program selanjutnya.
Parritz dan Troy (2011) mengatakan bahwa mengasuh anak autisme jelas
merupakan tugas yang lebih sulit dibandingkan mengasuh anak yang tidak
berkebutuhan khusus. Seperti yang dikatakan oleh orangtua anak autisme dalam
sebuah video dari lembaga Autism Speaks, Amerika Serikat (Thierry & Watkins,
2006), “autism never took a day off on me…”, mengasuh dan merawat anak
penyandang autisme jelas menyita banyak waktu dan tenaga.
Orangtua juga dituntut untuk mendampingi anaknya sehingga mereka,
terutama ibu, ada yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, seperti
salah satu orangtua yang berkata dalam video tersebut, “I have to stay home with
him is because I have to facilitate the therapies, going here, going there, the
medication, the constant medical appointments…”. Selain dalam video, seorang
ibu dari anak autisme yang saya jumpai juga berkata, “…ternyata memang ga
bisa ditinggal dan dititipkan ke suster atau pembantu, jadi saat itu saya putuskan,
4
saya harus berhenti kerja supaya anak saya bisa dapat perhatian penuh dari
saya…” (Komunikasi pribadi, 14 Februari 2013).
Orangtua pun harus mampu merangkap menjadi terapis untuk penanganan di
rumah yang lebih memakan waktu daripada di sekolah ataupun di tempat terapi.
Bahkan pada anak yang masih balita, terputusnya proses terapi selama satu
minggu saja dapat menyebabkan regresi atau kemunduran perilaku yang sangat
banyak (Handojo, 2003). Pendapat ini menunjukan bahwa orangtua, mau ataupun
tidak, harus juga menjadi “terapis” yang pada kenyataannya tidak mudah karena
dalam penanganannya membutuhkan “hati” dan juga konsistensi yang tinggi.
Kemajuan anak dalam treatment dipengaruhi oleh berat-ringannya derajat
kelainan. Semakin berat derajat kelainannya, semakin sulit untuk berkembang
menjadi ‘normal’. Akan tetapi perlu diingat bahwa seringan apapun kelainannya,
anak tetap harus ditangani agar gangguannya tidak berubah menjadi lebih berat.
Intensitas treatment juga mempengaruhi kemajuan. Semakin intens anak
ditangani, baik di institusi maupun di rumah, terbukti semakin baik
perkembangannya.
Treatment apapun sebenarnya dapat membantu perkembangan anak, namun
untuk kemajuan yang maksimal butuh intervensi sedini mungkin sehingga deteksi
gangguan sejak kecil sangat penting. Untuk mendeteksi gangguan dan intervensi,
sangat bergantung kepada orangtua masing-masing. Usia yang ideal untuk
penanganan adalah kurang dari 5 tahun, tepatnya 2-3 tahun karena pada saat itulah
otak anak sedang dalam perkembangan yang paling pesat (Handojo, 2003).
5
Treatment yang ideal seharusnya dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya
menggunakan kombinasi okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai
basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-
pilihan orangtua terhadap berbagai jenis treatment yang ada saat ini. Tidak ada
jaminan apakah treatment yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-
sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, orangtua harus mengidentifikasi
jenis treatment yang cocok bagi anak dan melaksanakannya secara konsisten, bila
tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan, orangtua dapat
melakukan perubahan treatment (Handojo, 2003).
Keterlibatan orangtua dalam proses treatment juga mempengaruhi kelancaran
proses treatment. Orangtua perlu menempatkan diri dan mengambil peran yang
proporsional dalam proses treatment anak. Mereka tidak boleh terlalu acuh
ataupun terlalu ingin mencampuri proses treatment yang sedang berlangsung
ataupun terlalu acuh terhadap anaknya. Kedua perlakuan yang ekstrim ini sangat
merugikan dan dapat menghambat kemajuan treatment. Pada dasarnya, untuk
mendukung kemajuan anak sangat dibutuhkan partisipasi aktif orangtua dalam
waktu yang lama, bahkan bisa long-life (Handojo, 2003).
Dawson dan Osterling (dalam Ambarini, 2006) mengidentifikasi beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan treatment pada anak autisme, yaitu: isi
kurikulum atau program penanganan, lingkungan pengajaran yang sangat
mendukung, dampak pada rutinitas, yaitu bagaimana pengaruh treatment yang
dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukan sehari-hari, pendekatan fungsional
pada perilaku yang bermasalah dan keterlibatan orang tua dalam treatment.
6
Berdasarkan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan treatment
tersebut, faktor peran orangtua sangatlah berpengaruh. Pemilihan treatment yang
dianggap tepat dan canggih ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat
peran orangtua berkurang dalam mendorong keberhasilan treatment yang
dilakukan. Usaha dari orang tua untuk terus menerus melakukan pendampingan
pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam
proses treatment anak.
Mintowati (2009) melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui hubungan
intensitas terapi dan faktor keluarga dalam menunjang keberhasilan treatment
pada anak autismenya. Penelitian ini dilakukan pada 31 anak autisme. Variabel
bebas penelitian ini adalah durasi terapi perminggu dan faktor keluarga (jumlah
saudara kandung, tingkat pendidikan orangtua, durasi orangtua bekerja, tingkat
pengetahuan orangtua tentang autisme, dan peran orangtua).
Melalui hasil penelitian ini diperoleh satu variabel bermakna dari 6 variabel
yang diteliti. Variabel tersebut adalah peran orangtua. Sebanyak 74,2% orangtua
anak autisme yang diteliti memiliki peran yang baik terhadap anak autismenya.
Penelitian yang dilakukan oleh Mintowati ini menunjukkan bahwa dari sejumlah
faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilah treatment, terbukti peran
orangtua adalah faktor yang paling besar memberikan sumbangan pada tingkat
keberhasilan treatment anak autisme.
Pentingnya peran orangtua dalam proses pendidikan lanjutan anak autisme
juga dikemukakan oleh Vrugteveen (dalam Ginanjar, 2000). Pertama, orangtua
khususnya ibu, dapat mengajarkan dan membantu anak mengerjakan pekerjaan
7
rumah. Kedua, ibu membimbing anak mengaplikasikan kegiatan yang dipelajari
di sekolah atau tempat terapi ke tempat lain, misalnya di rumah. Hal-hal di atas
dapat diwujudkan namun membutuhkan pendampingan dan peran yang kuat dari
ibu karena ayah lebih disibukkan dengan pekerjaan dan perannya sebagai pencari
nafkah.
Berdasarkan perbincangan dengan seorang terapis sensori integrasi untuk
anak-anak berkebutuhan khusus di Pusat Terapi X (Cijantung, Jakarta Timur),
Taufiq Hidayat, diketahui bahwa karakteristik orangtua yang kurang mendukung
kemajuan anak autisme adalah orangtua yang enggan bertanya ataupun bercerita
mengenai hambatannya dalam menangani anak di rumah, acuh terhadap saran
yang diberikan terapis dan tidak mau menjalankan saran-saran terapis, ataupun
juga orangtua yang kurang konsisten dalam menjalani saran-saran tersebut (T.
Hidayat, komunikasi pribadi, 7 September 2011).
Pendapat ini juga didukung oleh hasil perbincangan peneliti dengan salah satu
psikolog anak yang juga menangani anak berkebutuhan khusus, Penny
Handayani. Beliau menuturkan bahwa paling sulit adalah bekerjasama dengan
orangtua yang tidak mau terbuka mengenai masalahnya dengan anak dan juga
orangtua yang tidak menjalankan saran yang ia berikan. Sementara itu, orangtua
yang hanya mau terbuka menceritakan masalah-masalahnya dengan anak namun
tidak mau menjalankan saran juga menyulitkan proses konseling yang bertujuan
untuk perbaikan kondisi anaknya (P. Handayani, komunikasi pribadi, 15
November 2011).
8
Melalui wawancara tersebut dengan terapis, diketahui juga adanya perbedaan
tingkat kemajuan dari dua anak yang sama-sama menjalani terapi sensori
intergrasi (komunikasi pribadi, 7 September 2011). Pada awalnya, keduanya
mengalami masalah propriosceptif dan komunikasi yang terlihat jelas. Kebutuhan
untuk bergerak sangat besar, tidak merespon bila dipanggil dan tidak terlihat
minat untuk terlibat dalam komunikasi (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 7
September 2011).
Kedua anak tersebut menunjukkan tingkat perkembangan yang berbeda dalam
jangka waktu 1-2 bulan ini. Anak pertama sudah dapat duduk dengan cukup
tenang untuk sekitar 1 menit, sementara anak kedua belum menunjukkan
perubahan. Walaupun belum dapat berkomunikasi verbal, dalam merespon
panggilan, anak pertama telah menunjukkan peningkatannya dengan menengok
ketika dipanggil namanya lebih dari satu kali sementara anak kedua tidak
menunjukkan adanya peningkatan. Satu hal yang luar biasa adalah anak pertama
sudah menunjukkan adanya ketertarikan dalam komunikasi di sekelilingnya
(misalnya, antara ayahnya dengan terapis).
Melalui wawancara lanjutan yang peneliti lakukan bersama terapis Taufiq
Hidayat (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011), ditemukan pula
beberapa perbedaan perilaku orangtua dari kedua anak tersebut. Ayah dan ibu dari
anak yang pertama selalu rutin mengikuti sesi terapi seminggu dua kali, aktif
bertanya tentang penanganan anak di rumah dan juga selalu menceritakan
kejadian-kejadian penting di rumah berkaitan dengan anaknya. Ibunya juga selalu
bersedia menerapkan saran terapis dalam menangani anak tersebut di rumah
9
selama ayahnya bekerja. Sementara itu, anak kedua tidak rutin mengikuti sesi
terapi dikarenakan jadwal ibunya yang selalu mengantarkan terapi, kerap kali
berbenturan dengan jadwal kerjanya. Ibunya tidak memercayai pengasuh (suster)
untuk menangani anaknya yang satu ini seolah ia merawat anaknya seorang diri.
Terlebih karena ayahnya yang juga sibuk dengan pekerjaannya dan tidak bisa
menangani anak tersebut sehari-hari. Kakak dari anak tersebut kadang mem-bully
ketika mereka bersama, maka itu ibunya selalu membawa anak ini kemanapun.
Selain itu, ada kesan yang ditangkap oleh terapis bahwa ibunya tidak benar-benar
menerima saran dari terapis sebagai sesuatu yang akan diterapkan, seolah hanya
mendengarkan saran sambil lalu saja.
Gambaran kedua perilaku orangtua di atas menunjukkan adanya perbedaan
dalam karakter kepribadian mereka. Peran ayah cukup terlihat pada anak pertama
dan pada anak kedua tidak. Ibu pertama lebih terbuka baik dengan saran terapis,
maupun dalam menceritakan kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan anaknya.
Beliau konsisten dalam mengantarkan terapi dan menangani anak sehari-hari
dengan baik. Karakter ibu yang seperti di atas ini dinilai sebagai karakter orangtua
yang positif dalam mendukung kemajuan treatment anak autisme. Berbeda
dengan ibu pertama, ibu kedua kurang konsisten dalam menjalankan saran terapis
dan juga dengan jadwal terapi karena jadwal pribadinya yang padat. Selain itu,
beliau menunjukkan rasa percaya yang kurang terhadap orang lain dengan tidak
membiarkan anaknya ditangani oleh pengasuh. Padahal, mungkin saja kemajuan
anaknya akan lebih cepat bila rutin diantar pengasuh untuk datang terapi.
10
Peneliti juga percaya selain penanganan secara teknis seperti mengantarkan
anak terapi, orangtua, terutama dalam hal ini ibu, juga perlu melibatkan kasih
sayang dan unconditioned love dalam merawat anaknya. Hal ini juga yang
mungkin bisa membedakan kualitas penanganan antara ibu yang satu dengan yang
lainnya. Walaupun dengan frekuensi ataupun jumlah waktu penanganan yang
setara, ibu yang mendidik dan merawat dengan kehangatan tentu akan lebih
berdampak positif pada sang anak dibandingkan dengan ibu yang melakukannya
sebagai tugas ataupun hanya keharusan semata tanpa melibatkan kehangatan.
Melalui perbedaan karakter yang terlihat di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
traits pada ibu dari anak autisme yang merupakan bagian dari pribadinya. Hal ini
bertujuan untuk melihat lebih jelas ada tidaknya hubungan antara kepribadian ibu
dari anak autisme dengan kemajuan treatment sang anak. Peneliti memilih untuk
menggunakan pendekatan Big Five Personality dari Costa dan McCrae (1992).
Peneliti memiliki beberapa alasan untuk menggunakan pendekatan Big Five
Personality dari Costa dan McCrae untuk melihat traits kepribadian. Pertama, Big
Five Personality merepresentasikan sebuah kelompok traits kepribadian yang
komprehensif dan juga berbasis empiris (Piedmont, 1998). Kedua, domain-
domain dari Big Five Personality juga dapat menjelaskan karakteristik pribadi
orangtua dari hasil wawancara informal peneliti dengan terapis Taufiq Hidayat di
atas (komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011).
Peneliti akan menggunakan alat tes kepribadian NEO PI-R yang
dikembangkan oleh Costa dan McCrae (1992) berdasarkan teori Big Five
Personality dan telah diadaptasi dalam bahasa Indonesia oleh Halim, M. S.,
11
Derksen, J. J. L. dan van der Staak, C. P. F. (2004). NEO PI-R adalah alat tes
kepribadian yang mengukur 5 domain utama dari kepribadian. Kelima traits
tersebut adalah neuroticism (N), extraversion (E), openness to experience (O),
agreeableness (A), dan conscientiousness (C) (Trull, 2005).
Apabila dikaitkan dengan domain-domain dalam NEO PI-R, ibu anak pertama
seolah menunjukkan pribadi dengan skor Extraversion, dan Openness to
experience yang cenderung tinggi. Selain itu, dengan rutin mengantarkan anak
terapi dan menjalankan penanganan di rumah dengan teratur, ibu anak ini juga
mungkin memiliki tingkat Conscientiousness yang di atas rata-rata. Berbeda
dengan ibu anak pertama, ibu anak kedua diperkirakan menunjukkan pribadi
dengan tingkat Neuroticism yang lebih tinggi karena memiliki kecemasan dan
ketidakpercayaan untuk menyerahkan anaknya kepada pengasuh. Selain itu, ada
kemungkinan juga tingkat Agreeableness dan juga Openness to experience-nya
cenderung rendah mengingat ibu ini terlihat kurang bersedia dan patuh
menjalankan saran-saran dari terapis dalam mengasuh anak di rumah.
Uraian di atas membuat peneliti memiliki asumsi bahwa traits kepribadian ibu
berhubungan dengan kemajuan treatment anak karena traits sendiri berkontribusi
pada perbedaan individu dalam berperilaku dan juga pada konsistensi perilaku
tersebut (Feist & Feist, 2006). Traits juga menjelaskan mengapa setiap ibu
memiliki caranya sendiri untuk berperan dalam usaha pemulihan (treatment)
anaknya. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk
melihat kenyataan di lapangan agar dapat menjawab pertanyaan mengenai
hubungan antara traits kepribadian ibu dengan kemajuan treatment anak autisme
12
di Jabodetabek. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberi masukan
bagi para orangtua, khususnya ibu, ataupun segala pihak yang berhubungan
dengan anak autisme mengenai karakteristik pribadi yang memiliki hubungan
dengan kemajuan treatment. Dengan mengetahui hal ini, mereka juga dapat
belajar dan menyesuaikan perilaku mereka dalam berperan positif mendukung
kemajuan anak autisme.
I.B Masalah Penelitian
Apakah ada hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan
dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang
menyandang autisme?
I.C Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality
dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme. Peneliti juga akan
melakukan analisis tambahan mengenai gambaran profil kepribadian ibu serta
hubungan antara kemajuan treatment dan faktor-faktor lainnya.
I.D Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada bidang ilmu
psikologi mengenai ciri kepribadian ibu yang memiliki anak autisme serta melihat
hubungannya dalam kemajuan treatment anak. Hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kepribadian
ibu yang memiliki anak penyandang autisme.
13
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat dalam memberikan pengetahuan bagi
orangtua, terutama ibu, yang memiliki anak penyandang autisme mengenai
karakteristik (traits) kepribadian ibu yang berhubungan positif, negatif, ataupun
yang tidak berhubungan dengan kemajuan treatment anak. Dengan mengetahui
hal tersebut, para orangtua juga dapat belajar dan mencoba mengembangkan sikap
maupun perilaku-perilaku yang mendukung kemajuan anaknya. Selain itu, hasil
penelitian ini juga berguna bagi lembaga-lembaga terapi maupun para terapis
untuk mengetahui gambaran kepribadian orangtua klien mereka sehingga dapat
membantu kerjasama antara orangtua dengan terapis dalam mendukung
perkembangan anaknya.
I.E Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Berisi tentang uraian latar belakang masalah mengenai autisme di dunia dan di
Indonesia, rumitnya penanganan anak autisme, peran orangtua, khususnya ibu
dalam kemajuan treatment anak autisme, masalah yang dibahas dalam
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB II: LANDASAN TEORI
Berisi teori-teori mengenai definisi kepribadian, Big Five Personality (sejarah
singkat teori dan penjelasan domain), Big Five Personality dalam parenting,
pengertian autisme, pengertian kemajuan treatment, faktor-faktor pendukung
keberhasilan treatment, Autism Treatment Evaluation Checklist, dan dinamika
antara traits kepribadian Big Five Personality dengan kemajuan treatment
anak autisme.
14
BAB III: METODE PENELITIAN
Berisi metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Uraian
mengenai jenis penelitian yaitu penelitian non-eksperimental, alat ukur
penelitian (NEO PI-R dan ATEC), prosedur penelitian, serta metode
pengolahan data yang dilakukan dengan teknik statistic.
BAB IV: ANALISA DAN HASIL PENELITIAN
Berisi hasil pengambilan data dan analisa hasil data yang didapat dari alat
ukur penelitian.
BAB V: KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Berisi kesimpulan dari hasil analisa Bab IV dan diskusi yang berkaitan antara
teori dalam Bab LANDASAN TEORI dan hasil analisis data. Saran untuk
penelitian yang dilakukan juga dicantumkan di bab ini untuk meningkatkan
kualitas penelitian dan sebagai masukan bagi pihak lain yang ingin melakukan
penelitian yang sejenis.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini peneliti akan membahas teori-teori yang menjadi dasar penelitian.
Teori yang akan dibahas meliputi definisi kepribadian, Big Five Personality
(sejarah singkat teori dan penjelasan domain serta facets), Big Five Personality
dalam parenting, pengertian autisme dan kemajuan treatment, faktor-faktor
pendukung keberhasilan treatment, Autism Treatment Evaluation Checklist, dan
dinamika antara traits kepribadian Big Five Personality dengan kemajuan
treatment anak autisme.
II.A Traits Kepribadian
II.A.1 Pengertian Kepribadian
Kepribadian (personality) berasal dari sebuah kata bahasa Latin, persona.
Istilah persona menunjuk kepada topeng sandiwara para aktor Romawi pada
pertunjukan drama Yunani. Para aktor mengenakan sebuah topeng (persona)
untuk memproyeksi sebuah peran yang ia mainkan. Setelah istilah personality
muncul, personality (kepribadian) diyakini lebih dari sekedar persona. Walau
tidak ada satu definisi yang dapat diterima oleh semua teoretikus, kepribadian
diyakini merupakan sebuah pola sifat (traits) yang relatif permanen dan memiliki
karakteristik unik yang konsisten, memberikan kekhasan pada perilaku seseorang
(Feist & Feist, 2006).
Traits memiliki kontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku,
konsistensi perilaku dalam satu kurung waktu dan pada kestabilan perilaku dalam
16
situasi yang berbeda. Traits menggambarkan perilaku yang ditunjukkan (Feist &
Feist).
II.A.2 Big Five Personality
Banyak pendekatan yang dikembangkan untuk mempelajari kepribadian
contohnya adalah pendekatan psychoanalysis, behaviouristic, dan
humanistic.Salah satu pendekatan yang terkenal adalah pendekatan trait yang
awalnya dipelopori oleh Allport dan Cattell. Penelitian mengenai traits dimulai
pada tahun 1930-an oleh Allport dan Odbert, kemudian dilanjutkan oleh Cattell
pada tahun 1940-an, dan juga Tupes, Christal, serta Norman pada 1960-an (Feist
& Feist, 2006).
Pada akhir 1970-an, Costa dan McCrae bertemu dan mereka bersama-sama
meneliti mengenai pendekatan ini dengan menggunakan teknik analisis faktor
untuk menguji kestabilan dan struktur dari kepribadian, hingga awal 1980-an.
Ketika itu, Costa dan McCrae hanya berfokus pada dua dimensi utama yaitu
Neuroticism (N) dan Extraversion (E). Hasil penelitian tersebut menemukan satu
faktor baru yang mereka sebut dengan Openess to Experience (O). Sementara itu,
Costa dan McCrae belum sepenuhnya mengembangkan faktor keempat dan
kelima, A dan C (Agreeableness dan Conscientiousness), hingga sampai NEO-PI
disusun pada tahun 1992 (Feist & Feist, 2006).
II.A.3 Domain dan Facet Big Five Personality
Costa dan McCrae (dalam Piedmont, 1998) memberikan penjelasan pada
kelima dimensi, Neuroticism, Extraversion, Openess to Experience,
Agreeableness dan Conscientiousness sebagai berikut:
17
a. Neuroticism (N). Dimensi ini mengukur penyesuaian afektif melawan
ketidakstabilan emosional. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
domain ini cenderung mudah mengalami tekanan psikologis, pikiran-
pikiran yang tidak realistis, hasrat atau dorongan yang berlebihan, dan
respon coping permasalahan yang maladaptif.
b. Extravertion (E). Pada tahun 1985, Costa dan McCrae mendefinisikan
domain ini sebagai domain yang mewakili kuantitas dan intensitas
interaksi antar personal, kebutuhan stimulasi dan kapasitas kegembiraan.
Domain ini membedakan pribadi yang suka bergaul, aktif, dan individu
yang berorientasi pada hubungan antar manusia dengan pribadi yang suka
menyendiri, tenang, pemalu, dan pendiam.
c. Openess to Experience (O). Openess to experience digambarkan sebagai
karakteristik yang secara proaktif mencari pengalaman baru dan juga
mengapresiasinya untuk dirinya sendiri, dan sebagai toleransi terhadap
eksplorasi hal-hal yang tidak biasa. Domain ini membedakan pribadi yang
penasaran, memiliki pemikiran-pemikiran orisinil, tidak tradisional, dan
kreatif dengan mereka yang konvensional (kuno), tidak artistik, dan tidak
analitis.
d. Agreeableness (A). Domain ini menguji sikap-sikap yang dipegang
seseorang dalam berhadapan dengan orang lain. Sikap-sikap ini dapat saja
sangat pro-person, kasih sayang, percaya kepada orang lain, memaafkan,
dan berhati lembut serta dapat juga berlawanan seperti antagonis, sinis,
manipulatif, pendendam, dan kejam.
18
e. Conscientiousness (C). Domain ini mengukur derajat seseorang dalam hal
mengatur, ketekunan, dan motivasi dalam perilaku mencapai tujuan.
Dimensi ini membedakan orang yang dapat diandalkan dan pemilih
dengan mereka yang lesu dan ceroboh. Domain ini juga merepresentasikan
kontrol diri seseorang dan kemampuan untuk menunda pemuasan
kebutuhannya.
Pada tahun 1992, Costa dan McCrae mengembangkan alat ukur kepribadian
berdasarkan pendekatan traits. Alat ukur tersebut bernama NEO Personality
Inventory Revised (NEO PI-R). Pada alat ukur ini, Costa dan McCrae membagi
setiap domain Big Five Personality ke dalam enam facet yang berbeda-beda dan
lebih spesifik. Masing-masing facet tersebut diukur melalui 8 item. Berarti, NEO-
PI-R memiliki 240 item secara keseluruhan. Berikut ini adalah tabel yang berisi
penjelasan facet dari masing-masing domain (Piedmont, 1998):
Tabel II.1. Tabel Domain dan Facet dari Big Five Personality Neuroticism
N1 (anxiety) Mengukur kecenderungan untuk
mengalami kecemasan dan kegelisahan
N2 (angry
hostility)
Mengukur kecenderungan individu untuk
mengekspresikan rasa marah
N3 (depression) Mengukur kecenderungan merasakan
kesedihan dan merasa bersalah
N4 (self-
consciousness)
Mengukur kecenderungan merasa tidak
nyaman berada di antara orang lain
N5
(impulsiveness)
Mengukur kecenderungan untuk merasa
tidak mampu mengendalikan diri dan
menahan diri
N6 Mengukur kecenderungan kerentanan diri
19
(vulnerability)
Extraversion
E1 (warmth) Mengukur kecenderungan individu
menunjukkan kehangatan dan keramahan
terhadap orang lain
E2
(gregariousness)
Mengukur kecenderungan individu
membutuhkan kehadiran orang lain
E3
(assertiveness)
Mengukur kecenderungan individu
mendominasi, bersemangat, dan
berpengaruh terhadap orang lain
E4 (activity) Mengukur kecenderungan individu dalam
kebutuhan untuk beraktivitas
E5 (excitement
seeking)
Mengukur kecenderungan individu
membutuhkan stimulasi yang mendebarkan
E6 (positive
emotions)
Mengukur kecenderungan individu
mengalami emosi positif
Openess To
Experience
O1 (fantasy) Mengukur kecenderungan individu
memiliki imajinasi dan kehidupan fantasi
yang aktif
O2 (aesthetics) Mengukur kecenderungan individu
memiliki penghargaan yang mendalam
terhadap karya seni dan keindahan
O3 (feelings) Mengukur kecenderungan individu
menujukkan kondisi emosi yang lebih
mendalam
O4 (actions) Mengukur kecenderungan individu
mencoba hal-hal baru dan bervariasi
O5 (ideas) Mengukur kecenderungan individu untuk
membuka diri mengenai ide-ie yang baru
dan tidak kontroversial
O6 (values) Mengukur kecenderungan individu untuk
20
menentukan kembali atau mengubah nilai-
nilai sosial,
politis, dan religi
Agreeableness
A1 (trust) Mengukur kecenderungan individu untuk
percaya bahwa orang lain jujur dan
memiliki maksud baik
A2
(straightforward
ness)
Mengukur kecenderungan individu untuk
bersikap apa adanya, tulus, dan tidak pura-
pura
A3 (altruism) Mengukur kecenderungan individu untuk
memiliki perhatian terhadap kesejahteraan
orang lain
A4 (compliance) Mengukur kecenderungan individu untuk
memaafkan, melupakan, meredam agresi,
dan tunduk pada orang lain
A5 (modesty) Mengukur kecenderungan individu
menunjukkan sikap rendah hati
A6
(tendermindedne
ss)
Mengukur kecenderungan individu merasa
iba dan simpati terhadap orang lain.
Conscientious
ness
C1 (competence) Mengukur kecenderungan individu untuk
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk
menghadapi hidup
C2 (order) Mengukur kecenderungan individu untuk
mejaga segala sesuatu dengan rapi dan
sebaik mungkin
C3 (dutifulness) Mengukur kecenderungan individu untuk
berpegang pada prinsip-prinsip etis dan
memenuhi kewajiban moral
C4 (achievement Mengukur kecenderungan individu dalam
21
striving) hal level aspirasi, kerja keras dan tujuan
hidup
C5 (self-
discipline)
Mengukur kecenderungan individu untuk
tahan melaksanakan tugas dan motivasi diri
C6 (deliberation) Mengukur kecenderungan individu untuk
berhati-hati sebelum mengambil tindakan
II.A.4 Big Five Personality dalam Parenting
Nigg dan Hinshaw (1998) menemukan bahwa kepribadian orangtua
berkontribusi dalam memprediksi perilaku anak. Hal ini disebabkan karena
konstruk kepribadian orangtua ini juga menghasilkan kontribusi khusus pada
parenting. Kepribadian dapat mempengaruhi cara individu memanfaatkan
dukungan yang ia miliki. Kepribadian juga mempengaruhi cara individu tersebut
merespon serta beradaptasi dalam setiap situasi. Salah satu temuan yang paling
konsisten dari penelitian mengenai traits ibu dalam parenting anak berkebutuhan
khusus yaitu tingkat N yang tinggi berhubungan dengan kurang adaptifnya
pengasuhan anak secara keseluruhan (Clarke, 2006). Bahkan, Metsapelto dan
Pulkkinen (2003) menemukan bahwa orangtua (sampel non-klinis) dengan tingkat
N yang tinggi memiliki parental nurturance serta pengetahuan mengenai kegiatan
anak yang rendah. N yang tinggi juga memiliki asosiasi dengan parental rejection
yang dapat membawa dampak negatif pada pengasuhan anak (Spinath &
O’Connor, 2003).
Jika N merepresentasikan emosi-emosi negatif, E diibaratkan sebagai emosi
positif. Kombinasi dari tingginya N dan rendahnya E menunjukkan hubungan
yang paling dekat dengan depresi (Chioqueta & Stiles, 2005). Selain itu, interaksi
22
kedua traits kepribadian ini juga dapat menghasilkan hubungan yang paling kuat
dan konsisten dengan parenting.
Belsky, Crnic, dan Woodworth (1995) menemukan bahwa ibu dengan E yang
tinggi lebih menunjukkan emosi-emosi positif, lebih peka, dan terlihat lebih
menstimulasi secara kognitif selama berinteraksi dengan anaknya. Menariknya,
trait E ini merupakan domain multifacet yang mencakup aspek kehangatan
(warmth) dan juga assertiveness. Bukti aspek assertiveness dalam trait ini
direfleksikan dalam perilaku asertif yang terlihat pada orangtua (Clark,
Kochanska, & Ready, 2000).
Salah satu traits yang paling sering diabaikan dalam penelitian mengenai
parenting adalah O, namun sebuah penelitian mengungkap bukti yang
menghubungkan faktor ini dengan parenting. Ibu-ibu yang memiliki angka rendah
pada O memiliki over-protectiveness yang tinggi (Spinath & O-Connor, 2003).
Seiring dengan bukti tersebut, O juga berkorelasi negatif dengan perilaku
mengekang dan berkorelasi positif dengan parental nurturance (Metsapelto &
Pulkkinen, 2003).
Bukti-bukti yang berhubungan dengan A ibu dalam parenting cukup terbatas.
Meskipun begitu, A menunjukkan kecenderungan dalam memprediksi
ketanggapan ibu dalam menangani anak (Clark, Kochanska, & Ready, 2000).
Seperti layaknya bukti yang ditemukan mengenai E, ibu yang memiliki A yang
tinggi juga menunjukkan emosi yang lebih positif, lebih peka terhadap keadaan
anak, dan menstimulasi anak secara kognitif ditambah lagi tidak sering terpisah
dengan anaknya (Belsky et al., 1995).
23
Kochanska, Friesenborg, Lange, dan Martel (2004) menemukan bahwa
Conscientiousness orangtua diprediksi sebagai aspek pelaksana dalam parenting.
Hal tersebut mengacu pada sikap penjagaan anak yang konsisten dan
berkelanjutan. C menunjukkan hubungan yang paling konsisten dengan perilaku
pengasuhan yang menguntungkan. Orangtua dengan tingkat C yang tinggi
diasosiasikan dengan kedisiplinan yang konsisten, keterlibatan dan gaya
pengasuhan yang lebih positif (Clarke, 2006). Ibu-ibu dengan C rendah dapat
kurang konsisten dalam cara mereka mengasuh dan mempunyai kesulitan lebih
besar dalam mengawasi anak mereka. Hubungan ini akan semakin erat jika
tingkat N-nya juga tinggi.
II.B Autisme
II.B.1 Pengertian Autisme
Autis berasal dari kata “autos” yang artinya segala sesuatu yang mengarah
pada diri sendiri. Dalam DSM IV autistic disorder adalah adanya gangguan atau
abnormalitas perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai
dengan terbatasnya aktifitas dan ketertarikan. (American Psychiatric Association,
2000). Prevalensi nya adalah 5 : 10.000 dengan perbandingan antara anak laki-
laki dan perempuan adalah 4 : 1.
Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang excessive
(berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan). Perilaku excessive di
antaranya hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit,
mencakar, memukul, dsb. Anak juga sering kali menyakiti dirinya sendiri (self-
abused). Perilaku deficit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang
24
sesuai, deficit sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak wajar dan emosi yang
tidak tepat, dan melamun. Derajat tingkat keparahan setiap anak dan area
gangguannya sangat berbeda satu dengan lainnya. Semakin dini anak ditangani,
semakin ia berpotensi untuk berkembang kelak (Parritz & Troy, 2011).
Delapan puluh persen anak autisme memiliki IQ dibawah 70 (Davison, 1998).
Akan tetapi, autisme berbeda dengan retardasi mental. Penderita retardasi mental
menunjukkan hasil yang memprihatinkan pada semua bagian dari sebuah tes
inteligensi. Berbeda dengan anak autisme, mereka mungkin menunjukkan hasil
yang buruk pada hal yang berhubungan dengan bahasa tetapi mereka ada yang
menunjukkan hasil yang baik pada kemampuan visual-spatial, perkalian empat
digit, atau memiliki long term memory yang baik. Mereka mungkin memiliki
bakat besar tersembunyi yang perlu digali.
II.B.2 Treatment Anak Autisme
Tujuan utama dari treatment pada anak autisme adalah untuk memaksimalkan
potensi anak dan membantu anak dan keluarganya melakukan coping yang efektif
terhadap gangguan yang diderita anak (Mash & Wolfe, 1999). Treatment yang
diterapkan orangtua pada anak autisme ada bermacam-macam diantaranya adalah
treatment perilaku, biomedikasi, dan sensori-motor serta floor time (Stacey,
2003).
Treatment perilaku yang paling umum dilakukan adalah Applied Behavioral
Analysis (ABA) yang ditemukan oleh Lovaas pada tahun 1987 (Maurice, 1996).
Treatment ini secara sistematis berfokus pada pembagian satu perilaku menjadi
unit-unit perilaku yang lebih kecil atau sederhana. Jika anak menampilkan
25
perilaku yang diinginkan, maka anak akan mendapat hadiah (reward) berupa
pujian atau sesuatu yang disukai anak. Sebaliknya, jika anak memunculkan
perilaku yang tidak diinginkan, maka anak akan mendapatkan hukuman
(punishment) berupa tidak adanya hadiah. Pemberian hadiah akan meningkatkan
frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman akan
menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.
Treatment biomedikasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu medikasi
(treatment obat), diet, dan megavitamin. Treatment medikasi menggunakan
bantuan obat-obatan untuk mengontrol gejala- gejala autisme yang bersifat
merusak atau agresif. Obat yang paling sering digunakan adalah yang termasuk
tranquilizers major seperti haloperidol atau haldol (Powers, 1989; Maurice,
1996). Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa terapi ini dapat mengakibatkan
efek samping seperti meningkatkan perilaku stereotipikal pada anak autisme
(Campbell dalam Maurice, 1996).
Treatment biomedikasi yang selanjutnya adalah diet. Diet yang biasanya
diterapkan pada anak autisme adalah diet gluten dan kasein atau disebut juga diet
GF – CF (gluten-free dan casein-free). Gluten adalah protein yang berasal dari
gandum-ganduman, misalnya terigu dan gandum, sedangkan kasein adalah susu
sapi. Selain itu ada juga yang disebut dengan Feingold Diets, yaitu diet makanan
yang mengandung bahan pengawet, pewarna, dan zat-zat tambahan lainnya, serta
zat salisilat yang terdapat pada buah-buahan. Treatment dengan cara diet ini
berguna untuk memperbaiki gangguan pencernaan dan mengurangi gejala
perilaku stereotipikal pada anak (Maurice, 1996).
26
Treatment megavitamin adalah pemberian vitamin pada anak autisme yang
meliputi vitamin B6 (pyridoxine) yang berfungsi untuk mencerna protein,
magnesium yang membantu pembentukan tulang dan mempertahankan sel-sel
saraf, serta kombinasi dari B6 dan magnesium (Rimland dalam Maurice, 1996).
Treatment diet dan megavitamin ini dirancang untuk masing-masing anak
berdasarkan alergi makanan dan kekurangan vitamin atau mineral tertentu yang
dapat mengakibatkan anak memunculkan gejala-gejala autismenya.
Jenis treatment selanjutnya adalah sensori-motor yang terdiri dari terapi
sensori integrasi dan pelatihan integrasi auditori (Auditory Integration Training).
Dalam terapi sensori integrasi, terapis menstimulasi kulit dan sistem
keseimbangan anak dengan cara mengayun, menyikat kulit, memutar, dan
melakukan aktivitas lain yang memerlukan keseimbangan pada anak. Rimland
dan Edelson (dalam Maurice, 1996) menjelaskan bahwa Auditory Integration
Training adalah terapi untuk memperbaiki pendengaran pada anak autisme yang
biasanya sangat atau tidak sensitif terhadap suara. Caranya adalah mendengarkan
musik dari audiogram, yang frekuensinya telah dimodifikasi, dengan
menggunakan headphone selama 10 jam yang dilakukan dua minggu berturut-
turut.
Treatment yang terakhir adalah floor time atau secara formal disebut sebagai
model D.I.R. (developmental, individual-difference, relationship-based models),
merupakan terapi yang dikembangkan oleh Stanley Greenspan. Treatment ini
mengembangkan hubungan yang menyenangkan antara anak dan orangtua melalui
aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan fungsi-fungsi motorik, kognisi, dan
27
perhatian anak (Stacey, 2003). Prinsip utama floor time adalah memanfaatkan
setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang disesuaikan
dengan tahap perkembangan emosi anak. Melalui treatment ini, anak diajarkan
untuk membentuk emosi yang sehat sehingga dapat membantu perkembangan
sosial dan intelektual anak (Susilawati & Alisjahbana, 2003).
Terlepas dari metode apapun yang dipakai, pada dasarnya program treatment
yang efektif dibuat sesuai dengan minat anak dan jadwalnya teratur. Treatment
yang efektif akan mengajarkan suatu hal sebagai rangkaian dari langkah-langkah
sederhana yang mudah dilakukan dan diulang kembali. Treatment juga dapat
membuat anak menaruh perhatiannya dalam aktivitas yang sangat terstruktur.
Dukungan orangtua muncul sebagai faktor utama dalam keberhasilan treatment.
Orangtua bekerjasama dengan guru dan terapis untuk mengidentifikasi perilaku
anak yang ingin diubah dan keterampilan yang akan diajarkan pada anak. Dengan
pertimbangan bahwa orangtua adalah guru yang paling awal bagi anak, banyak
program treatment diawali dengan melatih orangtua agar dapat melanjutkan terapi
ketika di rumah (Parritz & Troy, 2011).
II.C Kemajuan Treatment Anak Autisme
II.C.1 Pengertian Kemajuan Treatment
Kemajuan berasal dari kata “maju” yang artinya berjalan (bergerak) ke muka,
menjadi lebih baik (laku, pandai, dsb) dan kemajuan adalah hal (keadaan) maju
(Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Dalam penelitian ini, kemajuan treatment anak
autisme yang dimaksud adalah perubahan keadaan anak autisme menjadi lebih
baik dalam kegiatan treatment yang dilaksanakan.
28
Anak autisme terlihat mengalami kemajuan dalam treatment ketika
berkurangnya gejala-gejala autisme (gangguan pada interaksi sosial, komunikasi
bahasa, dan pola tingkah laku yang repetitif dan stereotip) yang dimiliki masing-
masing anak. Berikut gejala-gejala dari gangguan autisme yang dapat terlihat pada
masa anak-anak (Prasetyono, 2008):
1. Komunikasi
Kualitas komunikasi abnormal dan tampak dari ciri-ciri berikut:
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekalo tidak berkembang.
b. Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik
muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
c. Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara
suatu pembicaraan dua arah yang baik.
d. Bahasa tidak lazim yang diulang-ulang.
e. Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif dan permainan kurang
variatif.
1. Interaksi Sosial
Terdapat gangguan dalam kualitas interaksi sosial dengan ditandai hal-hal
berikut:
a. Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi wajah, postur,
dan gerak tubuh untuk berinteraksi secara layak.
b. Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya di
mana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan ketertarikan akan
aktivitas bersama.
29
c. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi
kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
2. Perilaku
Perilaku dalam menjalankan aktivitas dan ketertarikan atas suatu hal
cenderung berulang dank has, ditunjukkan dengan ciri-ciri seperti:
a. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku
yang tidak normal, misalnya duduk di pojok sambil menghamburkan
pasir seperti air hujan dan dilakukan selama berjam-jam.
b. Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna.
Jika ada rutinitas yang berbeda atau terlewat maka akan sangat
terganggu dan menangis untuk minta diulang.
c. Adanya gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, misalnya
mengepak-ngepakkan lengan, menggerakkan jari dengan cara tertentu.
d. Adanya preokupasi dengan bagian benda atau mainan tertentu yang
tidak berguna, seperti roda sepeda yang berputar, benda dengan bentuk
tertentu yang terus diraba serta suara-suara tertentu.
e. Adanya emosi yang tidak wajar, seperti tantrum (mengamuk tanpa
kendali), tertawa dan menangis tanpa sebab dan rasa takut yang tidak
wajar. Selain itu, terdapat pula gangguan sensoris seperti adanya
kebutuhan untuk mencium-cium atau menggigit suatu benda, dan tidak
suka dipeluk atau dielus.
30
II.C.2 Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Treatment
Phillips dan Schuler (dalam Acquarone, 2007) dari Department of Special
Education di San Francisco State University mengevaluasi kurang lebih 60 kasus
dalam beberapa tahun di University of California School of Medicine untuk
melihat hal-hal yang dapat mendukung keberhasilan dalam sebuah treatment.
Mereka pun menemukan enam elemen dasar dalam usaha menuju keberhasilan
treatment. Enam elemen tersebut ditambahkan menjadi delapan oleh Henry
Massie berdasarkan evaluasi 31 anak dengan autisme yang dilaporkan kepada
Autism Research Institute di San Diego, California (Acquarone, 2007). Kedelapan
elemen dasar dalam keberhasilan treatment anak autisme tersebut adalah:
1. Treatment yang efektif dimulai dengan teori tentang bagaimana pikiran anak
autisme itu berfungsi dan tidak berfungsi. Orangtua bersama terapis
mengidentifikasi pendekatan maupun cara-cara penanganan anak yang cocok
dan efektif maupun yang tidak.
2. Orangtua yang sukses dengan anak autisme pada umumnya memiliki rasa
otonomi, percaya pada kemampuan diri, misi, dan pengorbanan yang kuat.
Ketika orangtua mengupayakan treatment, mereka menyatukan rasa percaya
akan kemampuan diri dan misinya dengan teori mereka tentang pemikiran
anak.
3. Treatment membutuhkan keterlibatan menangani anak yang berkepanjangan.
Orangtua menggambarkan bagaimana semua orang yang berhubungan dengan
anak mereka diikutsertakan dalam usaha treatment, dua puluh empat jam
dalam sehari.
31
4. Keberhasilan treatment adalah usaha bersama (tim). Suami dan istri
bekerjasama dan saling menyemangati satu sama lain. Anak lain dalam
keluarga mencontohkan perilaku yang baik, mereka harus interaktif dengan
saudara autistik mereka dan mereka adalah penghubung saudara mereka untuk
mengenal dunia pertemanan. Tim usaha treatment juga menghubungkan anak
kepada orang terpenting dalam masing-masing lingkungan anak yang juga
mengetahui keadaan anak dan tahu rencana treatment (penyembuhan) anak.
5. Harus terdapat dorongan untuk “menormalkan” anak, untuk memperlakukan
mereka seperti anak yang lain di dalam keluarga maupun komunitas. Seperti
seorang orangtua berkata, “Saya sangat mendorongnya ke dunia luar sana.
Berenang dan menari adalah bagian yang besar dalam program awalnya. Saya
melakukan banyak hal dengannya dan dengan pihak sekolah dalam
komunitas.”
6. Treatment yang sukses dapat menemukan dan membangun sebuah elemen
positif dalam karakter anak. Menyoroti topik ini, ada orangtua berkata,
“Pertamakalinya John memulai berinteraksi sedikit saja dengan orang, dia
sangat ramah, benar-benar anak yang menggemaskan, dan juga orang lain
ingin membantunya untuk berinteraksi. Saya pikir hal itu membawa
perubahan.”
7. Treatment (penanganan) dimulai pada usia dini menghasilkan laporan usaha
yang sukses, mampu “menormalkan” perkembangan anak yang tertinggal.
Usia antara 6 bulan hingga 4 tahun adalah masa-masa penting, mungkin
32
karena adanya reorganisasi besar-besaran pada koneksi sistem saraf pusat
yang membuat otak mudah dibentuk dan diperbaiki melalui treatment.
8. Anak dengan hasil treatment yang positif adalah anak yang tidak terbelakang.
Walaupun tes psikodiagnostiknya di bawah normal (hal ini sering terjadi
karena anak-anak berkebutuhan khusus tidak cukup bisa berpartisipasi penuh
dalam tes), anak-anak yang telah “menjadi normal” menunjukkan beberapa
tanda inteligensi normal sebelum treatment. Tanda-tanda tersebut mungkin
muncul dalam ingatan pengalaman masa lalu, kapasitas untuk mempelajari
kegiatan baru, tanda-tanda representasi simbolis saat bermain dan
menggunakan bahasa, beberapa kemajuan menuju ke arah yang permanen
(representasi mental dari seseorang atau objek bahkan tanpa adanya orang atau
objek), penemuan permainan, dan dasar-dasar perawatan diri.
Selain kedelapan elemen tersebut, Bromwich (1981) juga menekankan
pentingnya ketrampilan ibu untuk memunculkan interaksi positif antara ibu dan
anak autisme. Penanganan akan optimal apabila di antara ibu dan anak terjalin
kelekatan (attachment) yang disertai dengan rasa aman. Pada kondisi ini, anak
akan lebih berani menjelajahi lingkungan sekaligus memperoleh pengalaman yang
lebih kaya (Bromwich, 1981). Karena itulah, peran ibu sangat dibutuhkan untuk
membantu anak.
II.C.3 Pengukuran Kemajuan Treatment
Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC) merupakan alat tes yang
disusun oleh Bernard Rimland dan Stephen M. Edelson (1999) dari Autism
Research Institute untuk membantu penelitian dalam mengevaluasi efektifitas dari
33
penanganan anak autisme yang beragam. Selain itu, ATEC juga diperuntukkan
untuk membantu para orangtua menentukan apakah anak-anak mereka
mendapatkan keuntungan dari penanganan tertentu atau tidak. Para orangtua dan
guru menggunakan ATEC untuk memantau seberapa baik kemajuan anak mereka
dalam jangka waktu tertentu, bahkan tanpa pengenalan penanganan baru (“ATEC
Report”, 2005).
ATEC adalah formulir yang didesain satu halaman untuk diisi oleh para
orangtua, guru (terapis), ataupun pengasuh. Instrumen ini mempunyai 4 bagian
subtes: I. Speech/Language Communication (14 item); II. Sociability (20 item);
III. Sensory/Cognitive Awareness (18 item); dan IV. Health/Physical/Behavior
(25 item) (“Autism Treatment”, t.th).
II. D Dinamika Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan
Treatment Anak Autisme
Orangtua Anak Autisme
Mengikuti Terapi Trait
Kepribadian
Kemajuan Terapi
Awal Akhir
Grafik II.1 Grafik Dinamika Hubungan antar Variabel
34
Kepribadian orangtua (dalam hal ini ibu) dapat saja memprediksi perilaku
anak. Hal ini disebabkan karena parenting setiap orangtua dapat saja berbeda-
beda sesuai dengan kepribadian masing-masing (Nigg & Hinshaw, 1998). Jadi,
pribadi orangtua yang memiliki anak autisme memiliki kemungkinan
berhubungan dengan perbaikan perilaku atau tepatnya kemajuan anak autisme
dalam treatment.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung keberhasilan treatment anak
autisme. Faktor yang pertama menuntut orangtua untuk mencari tahu cara-cara
khusus yang cocok dan efektif dalam menangani anak mereka (Acquarone, 2007).
Untuk menerapkan hal ini, individu perlu membuka diri untuk mencoba hal yang
baru, seperti layaknya individu yang tinggi pada skor O (Piedmont, 1998). Selain
itu, aspek ini juga didukung oleh hasil penelitian Belsky, Crnic, dan Woodworth
(1995) menemukan ibu dengan skor tinggi pada E akan lebih peka dan
menstimulasi secara kognitif selama berinteraksi dengan anaknya. Dalam proses
pencaritahuan ini pun membutuhkan penggalian potensi anak secara asertif yang
terefleksikan juga dalam domain E(Clark, Kochanska, & Ready, 2000).
Faktor selanjutnya menyatakan bahwa orangtua yang sukses dengan anak
autisme memiliki rasa otonomi, percaya pada kemampuan diri, melakukan misi
dan pengorbanan yang kuat (Acquarone, 2007). Kualitas-kualitas ini terdapat
dalam C yang tinggi sehingga orangtua akan menunjukkan kedisiplinan yang
konsisten, keterlibatan dan gaya pengasuhan yang lebih positif (Clarke, 2006). N
yang tinggi juga memiliki asosiasi dengan parental rejection yang dapat
membawa dampak negatif pada pengasuhan anak (Spinath & O’Connor, 2003).
35
Treatment membutuhkan keterlibatan menangani anak yang berkepanjangan.
Orangtua menggambarkan bagaimana semua orang yang berhubungan dengan
anak mereka diikutsertakan dalam usaha treatment, dua puluh empat jam dalam
sehari. Melalui faktor ini dapat pula disimpulkan bahwa penanganan orangtua
merupakan cerminan dari keterlibatan seluruh pihak lainnya dalam usaha
memajukan anak. Ibu dengan C tinggi juga akan menjaga anak dengan konsisten
dan berkelanjutan (Kochanska, Friesenborg, Lange, & Martel, 2004).
Orangtua dengan tingkat N yang tinggi akan memiliki parental nurturance
yang rendah (Metsapelto & Pulkkinen, 2003). Hal ini akan berhubungan pihak-
pihak lainnya seperti misalnya saudara kandung anak yang juga diasuh ibu yang
sama. Sementara itu, faktor saudara kandung berperan dalam mencontohkan
perilaku yang baik (Acquarone, 2007).
Orangtua juga harus memiliki dorongan “menormalkan” anak, untuk
memperlakukan mereka seperti anak yang lain di dalam keluarga maupun
komunitas (Acquarone, 2007). Hal ini pun bertolak belakang dengan Ibu yang
memiliki O rendah karena memiliki over-protectiveness yang tinggi (Spinath &
O-Connor, 2003). Seiring dengan bukti tersebut, O juga berkorelasi negatif
dengan perilaku mengekang dan berkorelasi positif dengan parental nurturance
(Metsapelto & Pulkkinen, 2003).
Orangtua, dalam hal ini ibu, memiliki peran yang cukup besar dalam
mendukung usaha treatment anak agar kelak anak autisme dapat menjadi mandiri
dan berfungsi secara normal. Aspek-aspek positif yang dimiliki orangtua dalam
kepribadiannya akan juga berhubungan positif terhadap kemajuan dan
36
perkembangan anaknya. Di samping itu, aspek-aspek negatif dalam kepribadian
orangtua, yang terbukti juga berdampak negatif dalam parenting, seperti
kurangnya nurturance yang terlihat pada orangtua dengan N tinggi (Metsapelto &
Pulkkinen, 2003) serta kurangnya konsistensi dan tanggung jawab dalam
menangani anak yang terlihat pada orangtua dengan C rendah (Clarke, 2006)
diyakini juga akan berhubungan negatif pada kemajuan treatment anak.
Melalui bukti-bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa dugaan hubungan yang
signifikan dengan kemajuan treatment anak akan terjadi pada domain dan facets
Neuroticism, Extraversion, Opennes to experience dan Conscientiousnes.
II.E Hipotesis Penelitian
Berdasarkan dinamika hubungan antar variabel dan terkait minimnya bukti-
bukti hubungan mengenai domain Agreeableness, hipotesis penelitian ini adalah:
Terdapat hubungan yang signifikan antara domain dan facets Neuroticism,
Extraversion, Opennes to experience, Conscientiousness dalam kepribadian
ibuyang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anak
autisme.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat non eksperimental karena peneliti tidak memanipulasi
variabel yang ada dan juga tidak memberikan intervensi kepada subjek
(Kerlinger, 1986). Jika dilihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian
korelasional yang bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
variabel-variabel yang ada (Kumar, 1999). Jika ditinjau dari segi tipe informasi
yang ingin dicari, informasi dikumpulkan dalam penelitian ini melalui metode
kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menguji hubungan antara trait
kepribadian orangtua dan kemajuan terapi anak autisme.
III.B Variabel Penelitian
Variabel –variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah trait kepribadian
orangtua anak autisme dan kemajuan treatment anak autisme.
III.B.1 Variabel Pertama
Variabel pertama dari penelitian ini adalah trait kepribadian dari Big Five
Personality. Definisi operasional dari variabel ini adalah skor hasil pengukuran
evaluasi seseorang terhadap kepribadiannya dengan menggunakan alat NEO PI-R
yang terdiri atas lima domain yaitu Neuroticism, Extraversion, Openness to
Experience, Aggreeableness dan Conscientiousness. Semakin tinggi skor yang
dimiliki subjek pada sebuah domain, semakin kuat ciri kepribadian tersebut
melekat pada diri subjek, demikian pula sebaliknya.
38
III.B.2 Variabel Kedua
Variabel kedua dari penelitian ini adalah kemajuan treatment anak. Kemajuan
treatment anak dapat dilihat dari jumlah pergeseran nilai pengambilan data
pertama, kedua, dan ketiga berdasarkan evaluasi treatment dengan mengisi Autism
Treatment Evaluation Checklist (ATEC). Definisi operasional dari kemajuan
treatment anak adalah persentase kemajuan anak autisme yang dilihat dari selisih
skor awal dan akhir dibandingkan dengan skor awal. Semakin tinggi selisih skor
anak, maka semakin baik kemajuan treatment-nya dan semakin rendah selisih
skornya menunjukan semakin rendah pula kemajuan treatment-nya.
III.C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah orangtua anak dengan autisme yang berdomisili
di Jakarta dan sekitarnya. Sampel diambil dari populasi penelitian.
III.C.1. Karakteristik Populasi
Karakteristik Subjek dalam penelitian ini adalah:
1. Responden adalah ibu yang memiliki anak dengan autisme. Responden
yang dipilih dalam penelitian ini adalah ibu, bukan ayah karena ibu
mayoritas lebih sering menangani anak autisme sehari-hari, mengantarkan
sekolah dan terapi, sementara ayah mayoritas lebih berperan sebagai
pencari nafkah dibandingkan sebagai pengasuh anak.
2. Responden berusia di atas atau sama dengan 30 tahun. Alasan dari
penetapan batas ini adalah NEO PI-R sangat reliabel dalam mengukur
kepribadian individu yang berusia di atas atau sama dengan 30 tahun
karena kepribadian sudah relatif menetap dan memiliki kemungkinan yang
sangat kecil untuk berubah setelah usia 30 tahun (Feist & Feist, 2006).
39
3. Responden merupakan orangtua dari anak dengan gangguan autisme
berusia ≥ 5 tahun. Batas usia ini ditetapkan dengan alasan pada usia
kurang dari 5 tahun khususnya 2-3 tahun (golden age) merupakan usia
perkembangan otak yang paling pesat (Handojo, 2003). Sehingga, dengan
meneliti perkembangan treatment anak berusia ≥ 5 tahun memperkecil
kemungkinan perkembangan yang terlihat merupakan andil dari faktor
golden age.
4. Responden mendaftarkan anaknya untuk terapi perilaku, biomedikasi,
ataupun sensori-motor selama lebih dari 3 bulan. Handojo (2003)
mengemukakan bahwa perkembangan treatment yang pesat sudah dapat
terlihat setelah 3 bulan mengikuti terapi, bila tidak, orangtua sebaiknya
mengganti treatment.
5. Responden berdomisili di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tanggerang, Bekasi).
III.C.2 Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik convenience sampling yaitu
teknik pemilihan sampel dengan responden yang menjadi sampel adalah mereka
yang tersedia sesuai kriteria yang dibutuhkan oleh peneliti (Galloway, 1997).
III.C.3 Jumlah Sampel
Responden dalam penelitian ini 31 orang. Kerlinger (1986) menyatakan bahwa
untuk mengurangi terjadinya error dalam penelitian yang bersifat non-
experimental, maka diharapkan jumlah sampelnya cukup besar, yaitu melebihi 30
orang. Peneliti berasumsi bahwa jumlah sampel sebanyak 31 orang cukup untuk
40
mewakili populasi yang dituju. Peneliti akan mengumpulkan data dari 31
responden orangtua anak dengan autisme yang menjalani treatment.
III.D Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tes NEO PI-R untuk
mengukur trait kepribadian orangtua dan ATEC (Autism Treatment Evaluation
Checklist) untuk mengukur kemajuan treatment yang dialami oleh anak autisme.
III.D.1 NEO PI-R
Instrumen pertama yang digunakan untuk pengambilan data kepribadian
dengan pendekatan traits yang akan diukur adalah kuesioner. Kuesioner tersebut
berisi daftar pernyataan yang menggunakan skala Likert yang memiliki lima
rentang jawaban. Responden dapat memilih Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju,
Netral, Setuju, dan Sangat Setuju dalam setiap item pernyataan.
Alat tes NEO-Personality Inventory Revised (NEO PI-R) dikembangkan oleh
Costa dan McCrae (1992). Alat tes ini dikembangkan untuk mengukur faktor
kepribadian Big Five yang ada pada diri manusia. NEO PI-R telah diadaptasikan
kedalam bahasa Indonesia oleh Halim, Derksen, dan van der Staak (2004).
Alat tes NEO-PI-R mempunyai lima domain, yaitu Neuroticism,
Extraversioness, Agreeableness, Openess to Experience, dan Conscientiousness.
Pada masing-masing domain terdapat enam facet dan masing-masing facet diukur
oleh delapan item. Jadi, secara kesuluruhan alat tes ini memiliki 240 item atau
pernyataan yang harus direspon oleh responden. Setiap respon yang diberikan
responden akan dikonversi menjadi angka, dengan prosedur sebagai berikut:
0 = Responden memilih respon “Sangat Tidak Setuju” pada pernyataan yang ada.
41
1 = Responden memilih respon “Tidak Setuju” pada pernyataan yang ada.
2 = Responden memilih respon “Netral” pada pernyataan yang ada.
3 = Responden memilih respon “Setuju” pada pernyataan yang ada.
4 = Responden memilih respon “Sangat Setuju” pada pernyataan yang ada.
Alat tes NEO-PI-R memiliki 114 item favorable dan 106 item unfavorable.
Prosedur skoring pada item-item favorable adalah 0-4 untuk respon “Sangat Tidak
Setuju” hingga “Sangat Setuju”. Sementara pada item-item unfavorable, prosedur
skoring dibalik, 4-0 untuk respon “Sangat Tidak Setuju” hingga “Sangat Setuju”.
Profil kepribadian yang digunakan adalah form adult yang ditujukan untuk orang
yang berusia 21 tahun ke atas.
III.D.2 ATEC
Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC) merupakan alat tes yang
disusun untuk mengevaluasi perkembangan anak autisme yang sedang mengikuti
treatment (pengobatan) untuk mengurangi gejala-gejala autisme yang dimilikinya.
ATEC disusun oleh Bernard Rimland dan Stephen M. Edelson dari Autism
Research Institute pada tahun 1999. Alat tes ini memiliki 4 domain yaitu
Speech/Language Communication (14 item), Sociability (20 item),
Sensory/Cognitive Awareness (18 item), dan Health/Physical/Behavior (25 item)
(“Autism Treatment”, t.th). Jadi, secara keseluruhan ATEC memiliki 77 item atau
pernyataan yang harus direspon. Setiap item yang telah direspon akan dikonversi
menjadi angka atau skor dengan prosedur sebagai berikut:
0 = Responden memilih respon “Tidak Benar”, “Tidak Pernah Terlihat”, dan
“Bukan Masalah” pada pernyataan yang ada.
42
1 = Responden memilih respon “Agak Benar”, “Kadang Terlihat”, dan “Masalah
Kecil” pada pernyataan yang ada.
2 = Responden memilih respon “Sangat Benar”, “Sangat Terlihat”, dan “Cukup
Bermasalah” pada pernyataan yang ada.
3 = Responden memilih respon “Sangat Bermasalah” pada pernyataan yang ada.
ATEC memiliki 32 item favorable dan 45 item unfavorable. Prosedur skoring
pada item-item favorable adalah 0-3 sementara pada item-item unfavorable
berlaku sebaliknya.
III.E Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Alat NEO PI-R yang digunakan adalah alat ukur yang telah diadaptasikan ke
bahasa Indonesia. Pada uji validitas dan reliabilitas NEO-PI-R yang dilakukan
oleh Halim et al.(2004), responden yang digunakan adalah 341 mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya dan 106 penderita kanker payudara. Uji
validitas NEO-PI-R versi bahasa Indonesia dilakukan dengan menggunakan
perhitungan koefisien congruence (Halim et al., 2004). Hasil koefisien
congruence beriksar 0,91-0,96 untuk masing-masing domain (Halim et al., 2004).
Uji reliabilitas NEO-PI-R versi bahasa Indonesia menggunakan Cronbach
Alpha Coefficient. Hasil koefisien berkisar antara 0,75-0,90 untuk masing-masing
domain (Halim et al., 2004).
Berdasarkan uji validitas alat tes ATEC yang telah dilakukan, ditemukan
bahwa:
1. Terdapat 14 item yang berkorelasi secara signifikan dengan skor total dan
dinyatakan valid dalam mengukur konstruk kemajuan treatment dari 14
43
item pada domain Komunikasi dan Bahasa dalam alat tes Autism
Treatment Evaluation Checklist.
2. Terdapat 14 item yang berkorelasi secara signifikan dengan skor total dan
dinyatakan valid dalam mengukur konstruk kemajuan treatment dari 20
item pada domain Kemampuan Bersosial dalam alat tes Autism Treatment
Evaluation Checklist.
3. Terdapat 17 item yang berkorelasi secara signifikan dengan skor total dan
dinyatakan valid dalam mengukur konstruk kemajuan treatment dari 18
item pada domain Kemampuan Sensorik dalam alat tes Autism Treatment
Evaluation Checklist.
4. Terdapat 20 item yang berkorelasi secara signifikan dengan skor total dan
dinyatakan valid dalam mengukur konstruk kemajuan treatment dari 25
item pada domain Komunikasi dan Bahasa dalam alat tes Autism
Treatment Evaluation Checklist.
Berdasarkan uji reliabilitas yang dilakukan ditemukan bahwa uji reliabilitas
alat tes Autism Treatment Evaluation Checklist dihitung menggunakan SPSS dan
menunjukkan koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,939. Nilai tersebut memenuhi
kriteria koefisien reliabilitas minimal yang harus dimiliki suatu alat tes untuk
dapat dikatakan reliable dan digunakan dalam sebuah penelitian adalah 0,7
(Kaplan & Saccuzzo, 2001).
III.F Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode statistik korelasi untuk melihat ada
tidaknya hubungan antara traits kepribadian orangtua dan kemajuan treatment
44
anak autisme. Metode statistik korelasi yang digunakan adalah Pearson Product
Moment. Pearson Product Moment merupakan pengukuran parametrik yang
menghasilkan koefisien korelasi untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara
dua variabel. Syarat dilakukannya perhitungan Pearson Product Moment adalah
variabel-variabel yang diujikan berskala pengukuran interval dan rasio (Sarwono,
2012). Hal ini sesuai dengan kedua variabel dalam penelitian ini yang memiliki
skalapengukuran interval (trait kepribadian ibu) dan rasio (persentase kemajuan
treatment anak).
III.G Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap persiapan
dan tahap pelaksanaan.
III.G.1 Prosedur Persiapan
1. Pada tahap awal, peneliti melakukan studi pustaka, observasi lapangan,
serta wawancara pihak-pihak terkait untuk membentuk kerangka berpikir
dan mencari masalah penelitian ini.
2. Setelah itu, peneliti melakukan studi pustaka lebih lanjut untuk mencari
landasan teori dan menetukan jenis serta metode penelitian dan
pengolahan data.
3. Persiapan selanjutnya, peneliti menentukan alat ukur yang dapat
digunakan untuk menentukan variabel yang ingin diteliti. Penelti juga
melakukan adaptasi terhadap alat ukur ATEC yang masih berbahasa
Inggris.
45
III.G.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
1. Peneliti menyebarkan alat tes kepada sampel penelitian. Sampel data
dalam penelitian ini diambil dari ibu anak dengan autisme yang
mendaftarkan anaknya ke pada klinik terapi Polaris di Cijantung (10
orang), SARANA Pusat Terapi & Sekolah Khusus di TB Simatupang (5
orang), Pusat Terapi dan Training Center QQ Mitra Ananda di Cipinang
Elok (3 orang), Sekolah Pelita Hati di Kramat Jati (4 orang), Mailing List
Puterakembara (1 orang), dan 8 orang jalur pribadi.
2. Selanjutnya peneliti melakukan skoring dan pencatatan pada data
kuantitatif. Data ini akan diolah dan diinterpretasi hingga diperoleh hasil
penelitian.
3. Tahap terakhir adalah penyusunan laporan hasil penelitian.
46
BAB IV
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
IV. A Demografi Responden
Pada bagian ini, peneliti akan menjelaskan gambaran umum dari responden
penelitian.
IV. A. 1 Gambaran Usia Responden
Peneliti menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian yang berusia 30-
50 tahun. Berikut ini adalah sebaran usia responden penelitian ini:
0 2 4 6 8 10
30-3435-3940-44
45 ke atas
12
Grafik IV.1 Gambaran Usia Responden
Dari grafik di atas, terlihat responden penelitian sebagian besar berusia antara
35-44 tahun sebanyak 22 orang (proporsi 71%) dari jumlah keseluruhan 31 orang
responden.
IV.A.2 Gambaran Pekerjaan Responden
Berdasarkan jawaban responden, berikut adalah gambaran pekerjaan
responden penelitian ini:
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Ibu Rumah TanggaWiraswasta
Pegawai NegeriPegawai Swasta
Grafik IV.2 Gambaran Pekerjaan Responden
47
Melalui grafik di atas, terlihat jumlah yang hampir imbang antara 15 orang
bekerja (48,4%) dan 16 orang tidak bekerja atau berprofesi sebagai ibu rumah
tangga (51,6 %) dari 31 orang responden penelitian.
IV.A.3 Gambaran Usia Anak
Gambaran usia anak responden dalam penelitian ini menurut data kuesioner
adalah:
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
5-7 tahun8-10 tahun
11-13 tahun
Grafik IV.3 Gambaran Usia Anak
Melalui grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas anak responden
responden 5-7 tahun yang masing-masing berjumlah 16 orang dengan proporsi
51,6 %. Data ini menunjukkan bahwa anak responden penelitian ini sudah tidak
pada tahap golden age (usia balita, terutama 2-3 tahun) dimana pada tahap
tersebut, perkembangan anak sangat optimal. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
kemajuan treatment yang terlihat pada anak-anak dalam penelitian ini bukanlah
karena peran dari tahap golden age tersebut
IV.A.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak
Berdasarkan data yang terkumpul dari tempat terapi dan keterangan responden,
berikut adalah gambaran persentase kehadiran terapi anak responden dari jadwal
yang tertera pada grafik sebelumnya:
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 2
25 % ³26-50 %51-75 %
76-100 %
0
48
Grafik IV.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi
19 orang anak (proporsi 61,3%) menghadiri 76-100 % jadwal terapi yang ada
dalam 8 minggu saat pengambilan data. Rentang kehadiran terapi anak bervariasi
dari 25-100 % dengan mayoritas di atas 75 % kehadiran. Data ini cukup
menggambarkan bahwa sebagian besar anak menjalani terapi sesuai jadwal yang
ada.
Dari data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa responden penelitian kali ini
yaitu ibu dari anak-anak autisme mayoritas berusia 35-44 tahun dan cukup
seimbang antara yang bekerja dengan yang tidak. Responden memiliki anak
kurang-lebih berusia 5-7tahun. Persentase kehadiran terapi anak mayoritas di atas
75%.
IV.B Hasil dan Interpretasi Penelitian
IV.B.1 Uji Korelasi Traits Kepribadian Orangtua (beserta facets) dan
Kemajuan Treatment Anak
Hasil penelitian sebagaimana dipaparkan pada tabel di bawah ini menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan negatif antara nilai Neuroticism (N) ibu dan
kemajuan treatment anak autisme seperti yang tercantum pada tabel IV.1 di
bawah ini. Hubungan negatif ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat N ibu,
semakin rendah kemajuan treatment yang terlihat pada anak autismenya.
Hubungan yang signifikan positif terlihat antara skor Conscientiousness (C) ibu
dengan kemajuan treatment anak. Sementara itu, tidak terlihat hubungan yang
signifikan antara traits Extraversion, Openness to experience dan kemajuan
treatment anak. Hasil perhitungan korelasi antar variabel dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
49
Tabel IV.1 Perhitungan Korelasi Pearson antara Domain dan Facets dalam
Neuroticism, Extraversion, Openness to experience, Conscientiousness dan
Kemajuan Treatment Anak Autisme
Variabel Korelasi P Neuroticism
Kemajuan Treatment
-0,40 0,03* N1 Anxiety -0,39 0,03* N2 Ang. Host. -0,21 0,25 N3 Depression -0,31 0,09 N4 Self-consciousness -0,22 0,22 N5 Impulsiveness -0,32 0,08 N6 Vulnerability -0,21 0,26 Extraversion 0,11 0,54 E1 Warmth 0,24 0,19 E2 Gregariousness -0,18 0,34 E3 Assertiveness 0,21 0,26 E4 Activity 0,07 0,73 E5 Excitement-seeking 0,04 0,83 E6 Positive Emotion 0,08 0,93 Openness to experience 0,28 0,13 O1 Fantasy 0,14 0,47 O2 Aesthetics 0,09 0,62 O3 Feelings 0,12 0,52 O4 Action 0,20 0,28 O5 Idea 0,44 0,01* O6 Values 0,28 0,12 Agreeableness 0,121 0,518 A1 Trust 0,15 0,43 A2 Straightforwardness 0,06 0,74 A3 Altruism 0,30 0,11 A4 Complince -0,03 0,87 A5 Modesty -0,16 0,40 A6 Tender mindedness 0,28 0,12 Conscientiousness 0,48 0,00** C1 Competence 0,37 0,04* C2 Order 0,42 0,01* C3 Dutifulness 0,25 0,18 C4 Achievement striving 0,37 0,04* C5 Self discipline 0,40 0,03* C6 Deliberation 0,47 0,00** * Signifikan pada α 0,05 (2-tailed)
** Signifikan pada α 0,01 (2-tailed)
50
Hubungan negatif signifikan ditemukan antara domain N dan facet N1
(anxiety) dengan kemajuan treatment anak autisme. Hubungan positif signifikan
ditemukan antara domain C, facet C1 (Competence), C2 (Order), C4
(Achievement striving), C5 (Self-discipline), dan C6 (Deliberation) dengan
kemajuan treatment anak autisme. Walaupun tidak terlihat hubungan yang
signifikan antara domain O dan kemajuan treatment, salah satu facet-nya yaitu O5
(Ideas) terbukti memiliki hubungan signifikan positif dengan kemajuan treatment.
IV.B.2 Analisa Tambahan
Berikut ini merupakan hasil interpretasi data responden setelah dibandingkan
dengan norma NEO PI-R yang berlaku di Indonesia. Norma yang dipakai adalah
hasil adaptasi dari norma NEO PI-R yang berbahasa Inggris.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Very Low Low Average High Very High
Frek
uens
i Neuroticism
Extraversion
Openess to Experience
Agreeableness
Conscientiousness
Grafik IV. 5 Persebaran Skor NEO PI-R
Pada domain N dapat dilihat persebaran responden membentuk kurva yang
cukup normal dengan frekuensi terbanyak pada kategori average. Hal ini
menunjukkan bahwa responden penelitian tidak memiliki ciri kepribadian N yang
51
sangat menyolok. Mean T-score N adalah 50 yang termasuk dalam kategori
average.
Responden menunjukkan kurva E yang sedikit condong ke arah low dengan
mean T-score 46 yang masuk pada kategori average. Frekuensi terbanyak
ditemukan pada kategori average dan low. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa para ibu anak autisme memiliki skor E yang cukup rendah,
dicirikan dengan pribadi yang lebih suka mengerjakan sesuatu sendiri dan
cenderung formal dalam bersikap.
Skor responden pada domain O menunjukkan kurva yang sedikit lebih
condong ke arah kiri dengan mean T-score yang berada pada ambang bawah
kategori average yaitu 45. Melalui hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa para
responden merupakan pribadi yang cenderung konservatif dalam berprilaku dan
lebih menyukai sesuatu yang sudah dikenal daripada sesuatu yang baru.
Responden menunjukkan kurva yang condong ke arah low, memiliki mean T-
score sebesar 43 yang masuk pada kategori low. Hal ini menunjukkan bahwa
responden memiliki ciri kepribadian yang cenderung egosentris, kompetitif, dan
mudah mengekspresikan rasa marah bila dibutuhkan.
Pada domain C, dapat dilihat persebaran responden memiliki kurva yang cukup
normal namun sedikit condong ke arah high. Berdasarkan itu, dapat disimpulkan
bahwa responden merupakan pribadi yang cukup dapat diandalkan, memiliki
prestasi yang baik, dan juga berhati-hati dalam mengambil tindakkan. Frekuensi
terbanyak terdapat pada kategori average dengan mean T-score 51 yang juga
termasuk dalam kategori average.
52
Peneliti juga melakukan uji korelasi Pearson kembali untuk melihat hubungan
antara kemajuan treatment dengan persentase kehadiran terapi. Hasil dari uji
tersebut menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara persentase
kemajuan treatment dan persentase kehadiran treatment yaitu r(31) = 0,280
dengan p > 0,05.
Peneliti melakukan analisa terhadap persentase kemajuan treatment yang
dialami anak.dan mencoba melihat polanya dalam jenis terapi yang diikuti anak.
Berikut adalah tabelnya:
Tabel IV.3 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Terapi yang
diikuti
Jenis Terapi Persentase Kemajuan Treatment
Jumlah0 - 10 % 11 - 20 % 21 - 30 % 31 - 40 % 41 - 50 %
SI 5 2 0 2 0 9 SI+ABA 4 1 0 0 0 5 SI+TW 2 3 4 1 1 11 SI+TW+ABA 1 1 0 0 0 2 SI+TW+FT 0 1 0 0 0 1 SI+TW+Renang 1 0 0 0 0 1 SI+TW+Melukis 1 0 0 0 0 2
15 8 4 3 1 31 Tingkat kemajuan treatment terlihat dalam rentang 3-50% dalam periode
delapan minggu treatment. Dalam jangka waktu tersebut, kemajuan yang terlihat
sebagian besar di bawah 20%. Melalui tabel di atas, dapat juga disimpulkan
bahwa mayoritas anak responden (11 orang) mengikuti terapi gabungan antara SI
(Sensori Integrasi) dan TW (Terapi Wicara) dan menunjukkan persentase
kemajuan yang paling baik dibandingkan dengan kombinasi terapi yang lain.
Selain kombinasi SI + TW, anak responden juga cukup banyak yang hanya
53
mengikuti terapi SI saja. Apabila dilihat dari kemajuan treatment-nya, anak yang
hanya mengikuti SI mayoritas mengalami kemajuan treatment yang tidak terlalu
pesat yaitu dalam rentang 0-20% saja (7 orang). Walaupun begitu, ada 2 orang
anak yang juga menunjukkan kemajuan baik pada level 31-40%.
Kombinasi terapi yang lain adalah kombinasi 3 terapi yaitu SI+TW+ABA
(Applied Behavioral Analisys) SI+TW+FT (Fisioterapi), SI+TW+Renang dan
SI+TW+Melukis menunjukkan jumlah yang paling sedikit (6 orang) dan juga
menunjukkan kemajuan yang cenderung rendah (antara 0-20%). Melalui data ini
dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kombinasi terapi terbaik yang diikuti oleh
anak responden adalah SI+TW, sehingga sebaiknya yang hanya mengikuti SI juga
diimbangi dengan TW agar kemajuannya lebih terlihat. Selain itu, jika anak
dipaksa mengikuti 3 terapi, efeknya tidak terlalu terlihat mungkin disebabkan oleh
fisik anak yang kurang memungkinkan untuk mengikuti 3 terapi yang berbeda
dalam seminggu.
Kesimpulan di atas ini juga di dukung oleh sebaran kemajuan treatment
berdasarkan jadwal terapi dalam seminggu yang diikuti anak. Berikut adalah
tabelnya:
Tabel IV.4 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jadwal
Terapi dalam Satu Minggu
Jadwal Terapi
Persentase Kemajuan Treatment Jumlah
0 - 10 % 11 - 20 % 21 - 30 % 31 - 40 % 41 - 50 % 1 x 1 6 1 0 0 1 8 1 x 2 4 6 4 3 0 17 1 x 3 5 1 0 0 0 6 15 8 4 3 1 31
54
Data-data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa kemajuan paling banyak
terlihat pada anak yang mengikuti terapi dua kali seminggu berjumlah 17 anak
dengan persentase kemajuan mayoritas berada pada rentang 10-40% (13 anak).
Sementara itu, anak-anak yang mengikuti terapi satu kali seminggu (8 anak)
mayoritas kemajuannya ada di rentang 0-10%. Untuk terapi tiga kali seminggu
jumlah partisipannya paling sedikit yaitu berjumlah 6 orang dengan mayoritas
rentang kemajuannya juga ada pada rentang 0-10%. Bukti ini semakin
menguatkan kesimpulan bahwa jadwal terapi yang efektif mendukung kemajuan
treatment anak adalah yang tidak terlalu jarang (satu kali) maupun yang tidak
terlalu banyak (tiga kali) jadwal terapi ke tempat terapi dalam seminggu).
Selain jadwal terapi yang tepat dapat membantu kemajuan anak, penerapan
terapi di rumah juga cukup berkontribusi terhadap kemajuan treatment anak
autisme. Penerapan terapi yang dimaksud adalah mengulang kegiatan yang di
terapkan terapis ketika di rumah. Beberapa bahkan menyediakan fasilitas yang
mirip seperti di tempat terapi. Di bawah ini adalah tabel persebarannya:
Tabel IV.5 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Penerapan
Terapi di Rumah
Penerapan Terapi di Rumah
Persentase Kemajuan Treatment Jumlah0 - 10 % 11 - 20 % 21 - 30 % 31 - 40 % 41 - 50 %
YA 0 2 4 2 1 9
TIDAK 15 6 0 1 0 22
15 8 4 3 1 31
Perbedaan jumlah responden yang menerapkan terapi di rumah dan yang tidak
menerapkan cukup banyak dan sebagian besar responden tidak menerapkan terapi
55
di rumah. Walaupun yang menerapkan terapi di rumah hanya 9 responden, terlihat
mayoritas kemajuan treatment anaknya menduduki nilai teratas yaitu pada rentang
20-50% (7 anak). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan terapi dirumah
merupakan bentuk kelanjutan penanganan anak yang sangat membantu
kemajuan, terlebih karena waktu anak dirumah lebih banyak dari pada di tempat
terapi.
Selain segala macam hal yang berkaitan dengan terapi, dari jenis pekerjaan ibu
juga terlihat kemajuan treatment yang berbeda pada anaknya. Jenis pekerjaan ibu
dikelompokkan menjadi empat yaitu ibu rumah tangga, wiraswasta, pegawai
negeri, dan pegawai swasta. Di bawah ini adalah tabel persebaran kemajuan
treatment anaknya:
Tabel IV.6 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jenis
Pekerjaan Ibu
Jenis Pekerjaan Ibu
Persentase Kemajuan Treatment Jumlah0 - 10 % 11 - 20 % 21 - 30 % 31 - 40 % 41 - 50 %
Ibu Rumah Tangga 6 5 3 1 1 16
Wiraswasta 0 0 1 2 0 3
Pegawai Negeri 3 1 0 0 0 4
Pegawai Swasta 6 2 0 0 0 8
15 8 4 3 1 31
Dari tabel di atas, terlihat bahwa responden yang berprofesi sebagai ibu rumah
tangga dan wiraswasta memiliki anak dengan kemajuan treatment yang lebih
tinggi daripada responden yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan pegawai
swasta. Terlihat kemajuan treatment anak yang ibunya berprofesi sebagai pegawai
negeri dan pegawai swasta menempati rentang 0-20%. Sementara itu, yang
56
mencapai rentang kemajuan 21-50% adalah anak yang ibunya berprofesi sebagai
ibu rumah tangga dan wiraswasta. Hal ini mungkin saja terjadi karena ibu yang
berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta memiliki lebih banyak waktu
dan kesempatan untuk menangani dan berinteraksi dengan anak dibandingkan
dengan ibu yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan swasta.
57
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
V.A Kesimpulan
Setelah melakukan analisis dan interpretasi data, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara Neuroticism ibu dan
kemajuan treatment anak autisme.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara Conscientiousness ibu dan
kemajuan treatment anak autisme.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Extraversion, Openness to
experience dan kemajuan treatment anak autisme.
4. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara facet N1 (Anxiety) dan
kemajuan treatment anak autisme.
5. Terdapat hubungan yang signifikan antara facet O5 (Ideas), C1 (Competence),
C2 (Order), C4 (Achievement striving), C5 (Self discipline), C6 (deliberation)
dan kemajuan treatment anak autisme.
Selain itu, diperoleh pula kesimpulan dari analisa tambahan yang dilakukan.
Anak-anak yang mengalami kemajuan treatment paling besar merupakan mereka
yg mengikuti kombinasi dua treatment yaitu sensori integrsi dan terapi wicara
(dengan pendekatan metode behavior treatment), menjalani terapi dua kali
seminggu, adanya kelanjutan penerapan terapi di rumah dengan fasilitas yang
58
menunjang, dan juga memiliki ibu yang mempunyai lebih banyak waktu dengan
anak (berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta).
V.B Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara N ibu
dan kemajuan treatment anak autisme. Hal ini berarti, semakin tinggi N ibu
semakin rendah kemajuan treatment anak yang terlihat, demikian pula sebaliknya.
Ibu dengan skor N yang tinggi memiliki kemungkinan lebih rentan dalam
mengalami tekanan psikologis, memiliki ide-ide yang irasional, kurang mampu
mengendalikan dorongan dan juga cenderung memiliki kemampuan mengatasi
masalah yang buruk (Piedmont, 1998). Keadaan ini juga akan semakin parah
karena telah terbukti bahwa mengasuh anak autisme lebih sulit dibandingkan
mengasuh anak normal pada umumnya (Parritz dan Troy, 2011).
Dalam domain kepribadian N, terbukti facet Anxiety yang memiliki hubungan
signifikan negatif terhadap kemajuan treatment. Dengan tingginya tingkat
Anxiety, individu akan diselimuti rasa takut, cemas, dan gelisah (Piedmont, 1998),
terlebih dalam menangani anak autisme sehari-hari. Hal ini tentu tidak
menguntungkan bagi ibu terutama karena dalam mendukung keberhasilan
treatment anak, ibu harus mampu yakin, percaya, dan mendorong anaknya terjun
ke dunia sosial (Aquarcone, 2007). Ibu yang mempunyai kecemasan tinggi tentu
akan memiliki keterbatasan dalam hal ini.
Hasil yang signifikan juga terlihat pada hubungan antara C dengan kemajuan
treatment. Semakin tinggi tingkat C ibu, semakin tinggi pula kemajuan treatment
yang dialami anak. Tingkat C yang tinggi pada ibu menunjukkan besarnya rasa
59
tanggung jawab, keterlibatan dengan kegiatan anak, kedisiplinan yang konsisten,
serta memiliki gaya pengasuhan yang lebih positif (Clarke, 2006). Individu yang
memiliki C tinggi juga cenderung memiliki kemauan kuat, memperhatikan detil,
dan juga dapat diandalkan (Piedmont, 1998). Hal ini tentu saja menunjang
kegiatan treatment anak yang membutuhkan kesabaran, perhatian ekstra, dan juga
tanggung jawab penuh dalam melaksanakannya.
Berkebalikan dengan itu, tingkat C yang rendah pada ibu dapat memiliki
kesulitan lebih besar dalam mengawasi anak mereka karena kurangnya
kedisplinan (Kochanska et. al., 2004). Hubungan ini akan semakin erat jika
ternyata tingkat N-nya juga tinggi, dengan arti semakin tinggi tingkat N seorang
ibu yang memiliki C rendah, akan semakin sulit ia mengembangkan gaya
pengasuhan yang baik bagi anak dan pada akhirnya akan lebih sulit mendukung
kemajuan treatment anak.
Tingkat C yang terlihat pada responden penelitian ini berada pada kategori
average sedikit condong ke high karena frekuensi pada kategori high sedikit lebih
banyak daripada low. Hal ini merupakan pertanda baik bagi kelangsungan usaha
untuk pemulihan gejala autisme anak karena terbukti bahwa C diprediksi sebagai
aspek pelaksana dalam pengasuhan anak (Kochanska et.al.,2004). Oleh karena itu,
semakin tinggi tingkat C, pelaksanaan usaha pemulihan akan semakin baik.
Domain E dalam penelitian-penelitian sebelumnya terbukti bahwa ibu dengan
E tinggi akan lebih peka terhadap keadaan anak dan juga lebih menunjukkan
emosi-emosi positif dalam pengasuhan anak (Belsky et. al., 1995). Individu
dengan E tinggi cenderung menyukai sesuatu yang ceria dan penuh semangat
60
(Piedmont, 1998). Kombinasi hubungan yang kuat antara E dan N (E tinggi dan N
rendah) juga akan mendukung konsistensinya dalam pengasuhan yang positif
(Chioqueta & Stiles, 2005). Individu dengan E tinggi yang aktif, hangat, dan
mudah bergaul kemudian diimbangi dengan N yang rendah akan membuat
individu tersebut lebih tahan dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan
sekaligus dapat dengan mudahnya tetap ceria dan optimis.
Pada hasil penelitian, domain E terbukti tidak signifikan berhubungan dengan
kemajuan treatment dalam penelitian ini. Hal ini dapat saja merupakan kontribusi
dari tidak terlihatnya hubungan yang signifikan antara domain E dan N pada hasil
analisis (-0,2 dengan p= 0,26). Pada penelitian ini, responden secara umum
memiliki E yang average pada batas bawah yang berarti para ibu sebagian besar
cenderung lebih senang melakukan hal sendirian dan bergaya cukup formal. Hal
tersebut tidak mendukung salah satu faktor yang dibutuhkan dalam mendukung
keberhasilan treatment karena menurut Phillips dan Schuler (dalam Acquarone,
2007) keberhasilan treatment adalah usaha bersama (tim), bukan hanya
perorangan.
Domain O secara keseluruhan terbukti tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan kemajuan treatment. Hal ini dapat disebabkan oleh persebaran
skor O yang terlihat sedikit lebih banyak tersebar pada area low dan memiliki
mean T-score 45 yang merupakan batas bawah kategori average. Sementara itu, O
berperan dalam usaha ibu untuk mencoba berbagai macam penanganan dan
mengidentifikasi yang cocok dengan anaknya. Mungkin saja, ibu masih terlihat
cenderung konservatif dalam berprilaku dan lebih menyukai sesuatu yang sudah
61
dikenal daripada sesuatu yang baru sehingga mean T-score 45 belum cukup untuk
mendukung salah satu faktor ini. Jikadilihat hubungannya lebih detil dengan
facet-facet di dalam O, peneliti menemukan hubungan yang positif signifikan
antara kemajuan treatment dengan O5 (Ideas). Hal ini dapat disebabkan karena
para ibu yang bersedia menerima dan mendengarkan saran-saran terapis terbukti
juga dapat mendukung kemajuan treatment anaknya.
Pada analisa tambahan, ditemukan hal-hal yang sejalan dengan pernyataan
dalam latar belakang bahwa treatment harus dilakukan dengan multidisiplin ilmu
(Handojo, 2003). Ditemukan pola bahwa anak yang ditangani dengan satu metode
menunjukkan kemajuan treatment yang tidak lebih tinggi dari anak yang
mengikuti gabungan dua metode treatment yang berbeda. Gabungan metode
tersebut khususnya adalah gabungan antara sensori integrasi dan terapi wicara.
Walaupun dengan multidisiplin ilmu, jadwal datang ke tempat terapi sebaiknya
juga diperhatikan. Jadwal yang terlihat cukup signifikan dalam membantu
kemajuan treatment adalah dua kali seminggu. Ketika jadwal anak datang ke
tempat terapi lebih dari dua kali, terlihat kemajuannya tidak sebaik yang dua kali
dalam seminggu. Begitu pula dengan anak yang menjalani tiga gabungan
treatment yang berbeda. Hal ini mungkin saja terjadi karena gabungan tiga
treatment ataupun memiliki jadwal tiga kali seminggu cenderung akan
membebani anak sehingga hasilnya kurang efektif.
Jadwal anak terapi ke luar juga harus diimbangi dengan penanganan ketika di
rumah. Terbukti dari hasil analisa bahwa bila ibu memiliki waktu lebih untuk
menangani anak (berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta) dan juga
62
menerapkan terapi di rumah, anaknya memiliki kemungkinan kemajuan
treatment-nya akan lebih baik daripada yang tidak. Hal ini pun mendukung
pendapat Vrugteveen (dalam Ginanjar, 2000) bahwa ibu berperan membimbing
anak mengaplikasikan kegiatan yang dipelajari di sekolah atau tempat terapi
ketika di rumah, selain mengajarkan dan membantu anak mengerjakan pekerjaan
rumah.
Berdasarkan bukti-bukti di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa
ibu yang memiliki kecemasan yang rendah, membuka diri untuk menerima ide-ide
baru (open-minded), bertanggung jawab penuh, pantang menyerah, ulet, serta
berhati-hati sebelum mengambil tindakan saat menangani anak memiliki
hubungan positif dalam kemajuan treatment anak. Selanjutnya, anak yang
mengikuti treatment secara multidisiplin ilmu (gabungan dua terapi, sensori
integrasi dan wicara) dengan jadwal dua kali seminggu cenderung mengalami
kemajuan yang lebih baik daripada yang tidak. Tak hanya penanganan di tempat
terapi, ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta (mempunyai
waktu yang cukup dalam menangani anak) dan ibu yang menerapkan terapi
dirumah juga terbukti berkontribusi terhadap kemajuan treatment anak autisme.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, pertama adalah keterbatasan
dalam standar terapi yang cukup berbeda antara tempat satu dengan yang lain.
Standar ini terkait dengan durasi terapi dan jadwal terapi yang bervariasi. Durasi
terapi bervariasi dari 1-2 jam dalam satu peremuan. Sementara itu, jadwal terapi
bervariasi dari 1 kali seminggu, 2 kali, dan 3 kali seminggu. Peneliti sudah
berusaha untuk meminimalisir dampak dari faktor ini dengan mengambil data
63
tepat waktu pada setiap 4 minggu periode pengambilan data setiap responden. Hal
ini dilakukan dengan tujuan untuk menyamaratakan posisi “mulai” dan “berhenti”
sehingga kemajuan yang terlihat merupakan efek dari porsi terapi masing-masing
anak responden.
Keterbatasan berikutnya adalah pada pengambilan sampling try out. Karena
karakteristik populasi yang spesifik, peneliti memiliki kesulitan dalam mencari
karakteristik populasi yang serupa maupun juga mencari responden yang bersedia
mengisi kuesioner. Hal ini menyebabkan try out dilakukan pada responden yang
juga menjadi responden dalam penelitian.
V.C Saran
Berdasarkan kesimpulan dan diskusi, peneliti memiliki beberapa saran, baik
metodologis maupun praktis:
V.C.1 Saran Metodologis
1. Mengontrol variasi terapi yang diikuti anak responden penelitian.
Penelitian selanjutnya dapat saja menetapkan bahwa anak responden
hanya mengikuti terapi sensori integrasi atau juga membandingkan hasil
intraksi metode terapi yang berbeda. Hal ini dikarenakan peneliti
menemukan pola bahwa kombinasi terapi SI+TW dalam penelitian ini
terbukti memiliki kemajuan yang cukup besar dibandingkan dengan yang
hanya SI saja ataupun yang mengikuti 3 terapi sekaligus. Selain itu,
mungkin kesetaraan durasi terapi per minggu juga perlu dikontrol.
64
2. Memberikan jarak yang lebih lama antar pengambilan data yaitu lebih dari
4 minggu ataupun dua kali 4 minggu agar kemajuan treatment yang ada
lebih terlihat lagi.
3. Penelitian selanjutnya yang ingin meneliti mengenai kemajuan treatment
dan trait kepribadian ibu juga dapat melihat hubungannya dengan faktor
peran ayah ataupun saudara kandung karena terbukti bahwa salah satu
faktor penting dalam keberhasilan treatment anak autisme adalah
menjalankan segala usaha dengan kerjasama tim keluarga inti (Acquarone,
2007).
V.C.2 Saran Praktis
1. Sebaiknya para orangtua terutama ibu dari anak autisme lebih tenang
dalam menangani anak. Bila kecemasan timbul, dapat juga melakukan
relaksasi seperti mengatur pernapasan untuk menurunkan ketegangan.
2. Dalam menangani anak, diperlukan kedisiplinan yang tinggi. Sebaiknya
ibu tidak menyepelekan “ritual” treatment sekecil apapun. Ibu dapat
membuat jadwal ataupun membuat catatan mengenai hal-hal yang perlu
dilakukan agar tidak ada yang terlupa ataupun terlewatkan. Meminta orang
lain untuk mengingatkan atau menegur untuk selalu disiplin dan taat
jadwal dalam mengangani anak juga dapat dilakukan, seperti meminta
kepada suami atau sanak saudara lain.
3. Bila kemajuan anak baru sedikit terlihat, janganlah menyerah karena anak
perlu beradaptasi terutama saat menjalani treatment ataupun program baru.
Berikan keyakinan pada diri sendiri dan juga pada anak bahwa dengan
65
usaha yang keras dan pantang menyerah, nantinya akan menuai hasil yang
baik pula.
4. Perlu juga bersikap open-minded, terbuka dengan saran yang diberikan
orang lain khususnya terapis, psikolog anak, ataupun sesama orangtua
anak autisme. Selalu cermat mengamati berita-berita baru mengenai
metode penanganan anak autisme juga akan membantu kemajuan, karena
sangat banyak penelitian maupun metode-metode baru dikembangkan
untuk mendukung kemajuan anak yang layak untuk dicoba.
5. Selanjutnya, ibu perlu berhati-hati dalam mengambil tindakan terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan penanganan anak. Walaupun kesediaan
untuk mencoba hal yang baru sangat diperlukan, hal ini juga perlu
diimbangi dengan pencarian informasi yang detil dan komprehensif
mengenai masalah terkait. Ada baiknya juga menanyakan pendapat orang
lain, seperti terapis ataupun psikolog, ketika ingin menerapkan hal yang
baru pada anak.
6. Sebaiknya, ibu dengan cermat dan cepat mengidentifikasi treatment yang
cocok bagi anaknya dan yang tidak. Hal ini dikarenakan bila anak terlalu
lama menjalani banyak treatment sekaligus tanpa fokus yang spesifik,
hasilnya cenderung tidak baik bagi kemajuan treatment-nya.
7. Porsi terapi anak di luar rumah harus “cukup”, yang dimaksud dengan
“cukup” di sini adalah tidak hanya satu kali seminggu ataupun tidak terlalu
banyak seperti tiga kali dalam seminggu karena terapi di luar mungkin saja
membebani fisik anak sehingga hasilnya tidak terlalu efektif.
66
8. Ibu perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk menangani anak. Bila
ibu bekerja, sediakanlah waktu yang berkualitas namun rutin setiap hari.
Ibu yang bekerja dapat juga menunjuk orang kepercayaan yang dapat
diandalkan untuk mendampingi anak sehari-hari, seperti guru pendamping
anak ataupun pengasuh, sehingga bisa melaporkan segala kegiatan anak
ketika ibu bekerja. Hal ini juga bertujuan agar ibu selalu dapat memantau
perkembangan anaknya.
9. Ada baiknya juga untuk menerapkan home-based terapi untuk mengulangi
kembali proses terapi ketika di rumah. Bila keluarga berkecukupan, sangat
baik jika dapat membangun fasilitas terapi di rumah (misalnya ruang terapi
sensori integrasi). Namun jika dana yang dimiliki cukup terbatas, orangtua
dapat juga menggunakan barang-barang di rumah sebagai sarana terapi
ataupun membeli alat-alat terapi yang lebih terjangkau.
10. Untuk para terapis, teruslah mengingatkan orangtua untuk disiplin dalam
menjalankan prosedur-prosedur penanganan anak. Sediakanlah akses
ataupun informasi yang lengkap mengenai intervensi yang diberikan pada
anak agar orangtua dapat mempertimbangkan dan memilih langkah terbaik
bagi putra-putri mereka. Selain itu, terapis juga perlu menenangkan
orangtua yang pencemas karena dapat memberikan dampak yang negatif
bagi anak.
67
DAFTAR PUSTAKA
Ambarini, T. K. (2006). Saudara sekandung dari anak autis dan peran mereka
dalam terapi. Insan Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 hlm. 114-115. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. Washington DC: APA. Aquarone, Stella. (2007). Signs of autism in infant: Recognition and early
intervention. Autism Research Institute (2005). ATEC report. Diakses pada 18 Februari 2012
dari http://www.autism.com/index.php/ind_atec_report Autism Research Institute (2005). Autism treatment evaluation checklist. Diakses
pada 18 Februari 2012 dari http://autism-nutrition.com/autism-treatment-evaluation-checklist
Belsky, J., Crnic, K., & Woodworth, S. (1995). Personality and parenting:
Exploring the mediating role of transient mood and daily hassels. Journal of Personality, 63(4), 905-929.
Chioqueta, A.P. & Stiles, T.C. (2005). Personality traits and the development of
depression, hopelessness, and suicide ideation. Personality and Individual Differences, 38, 1283-1291.
Clark, L. A., Kochanska, G., & Ready, R. (2000). Mothers' personality and its
interaction with child temperament as predictors of parenting behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 79(2), 274-285.
Clarke, T. L. (2006). Big five personality and parenting behavior in mothers of
children with ADHD. Tesis magister. University of Maryland, Maryland. Danuatmojo, Donny. (2003). Terapi anak autis di rumah. Jakarta: Puspa Swara Davison, G. C. (1998). Abnormal psychology. New York : John Wiley and Sons.
Inc. Depdiknas. (2008). Kamus besar bahasa indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dewanto, A. (2003, Mei). Setiap pekan, dua penderita autisme baru di Jakarta.
Diakses pada 9 September 2011 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/05/03/brk,20030503-09,id.html.
68
Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories of personality. (6th ed.). New York: McGraw-Hill Inc.
Galloway, K. (1997). Non profitability samples. Diakses pada 1 Maret 2012 dari
http://www.tradis.ed.ac.uk/~kate/qmcweb/s8.htm. Ginanjar, A. (2000). Gaya belajar anak autis. Makalah seminar, tidak diterbitkan. Guilford, J. P., & Frutcher, B. (1978) Fundamental statistics psychology and
education (6th ed.). Singapore: McGraw Hill, Inc. Halim, M. S. (2011). NEO personality revised. Bahan mata kuliah diagnostik
klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta, tidak diterbitkan. Halim, M. S., Derksen, J. J. L., & van der Staak, C. P. F. (2004). Development of the
Revised NEO Personality Inventory for Indonesian: A Preliminary Study. Jakarta: Dept. of Psychology Atma Jaya Indonesia Catholic University.
Handojo, Y. (2003). Autisma: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk
Mengajar Anak Normal,Autis dan Perilaku Lain. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Kaplan, R.M. & Saccuzzo (2001). Psychological testing: Principles, applications,
and issues (5th ed). California: Wadsworth / Thomson Learning. Kendall, Philip C. 1998. Abnormal Psychology: Understanding human problems.
Boston: Houghton Mifflin Company. Kerlinger, F.N. (1986). Foundations of behavioral research (3rd ed.). New York:
Holt, Rinehart, and Winston. Kochanska, G., Friesenborg, A.E., Lange, L.A., & Martel, M.M. (2004). Parents'
personality and infants' temperament as contributors to their emerging relationship. Journal of Personality and Social Psychology, 86(5), 744-759.
Kumar, R (1996). Research methodology: A step-by-step guide for beginners.
Australia: SAGE Publications. Mash, Eric J. & Wolfe, David A. (1999). Abnormal child psychology. Belmont,
California : Brooks / Cole – Wadsworth. Maurice, Catherine. (1996). Behavioral intervention for young children with
autism: A manual for parents and professionals. Co-edited by Gina Green & Stephen C. Luce. Austin, Texas : Pro-ed.
69
Metsapelto, R. Pulkkinen, L. (2003). Personality traits and parenting: Neuroticism, Extraversion, and Openness to Experience as discriminative factors. European Journal of Personality, 17, 59-78.
Ministry of of Children and Family Development (2009). A parent’s handbook:
Your guide to autism programs [Versi elektronik]. British Columbia: Penulis.
Nigg, J. T. Hinshaw, S.P. (1998). Parent personality traits and psychopathology
associated with antisocial behaviors in childhood attention-deficit hyperactivity disorder. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 39(2), 145-159.
Parritz, R.H. & Troy, M.F. (2011). Disorders of childhood development and
psychopathology. Edisi pertama. Singapore: Wadsworth. Piedmont, R. L. and JoonHo, Chae. (1997). Cross-Cultural Generalizability of the
Five-Factor Model of Personality, Developmental and Validation of the NEO PI-R for Koreans. Journal of Cross-Cultural Psychology Vol. 24 No.2.
Piedmont, R. L. (1998). The revised NEO personality inventory: Clinical and
research application. New York: Plebum Press. Powers, Michael D. (ed). (1989). Children with autism : A parent’s guide. USA:
Woodbine House. Prasetyono, D.S. (2008). Serba-serbi anak autis. Yogyakarta: Diva Press. Safaria, T. (2005). Autisme: pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi
orangtua. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sarwono, J. (2012). Metode riset skripsi pendekatan kuantitatif (menggunakan
prosedur spss). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Spinath, F. M., O’Connor, T.G. (2003). A behavioral genetic study of the overlap
between personality and parenting. Journal of Personality, 71(5), 785-808. Stacey, Patricia. (2003). Floor time. The atlantic monthly. Susilawati, Erni & Alisjahbana, Anna. (2003, Mei). Konsep Floor Time dan
Pelaksanaannya. Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Autisme –I, Jakarta
Thierry, L., Watkins & Solomon (Producer dan Sutradara). (2006). Autism every
day [Video]. Amerika Serikat: Autism Speaks yang diunduh pada Rabu,
70
14 September 2011 pukul 14.50 dari http://www.youtube.com/watch?v=FDMMwG7RrFQ
Trull, T. J. (2005). Clinical psychology (7th. Ed). Belmont: Thomson Learning
Inc. World Health Organization. 1992. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorder. Genewa : WHO.
U.S. Department of Health and Human Services (2004). Autism spectrum
disorder: Pervasive developmental disorder. Maryland: NIH Publication.
71
Lampiran 1: Contoh Kuesioner
Surat Pengantar
Selamat pagi/siang/sore,
Saya Husnaini, mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta
yang sedang melakukan penelitian untuk kepentingan tugas akhir saya. Dengan
ini, saya mohon kesediaan Saudara untuk berpartisipasi dalam penelitian saya.
Penelitian ini berkaitan dengan peran orangtua pada kemajuan anak autisme.
Saudara akan mengisi dua buah kuesioner. Kuesioner pertama berkaitan
dengan anak Saudara dan kuesioner kedua berkaitan dengan diri Saudara. Tidak
ada batas waktu untuk pengerjaan kuesioner pertama maupun kedua, namun
biasanya orang-orang dapat menyelesaikan kuesioner pertama dalam waktu 15-20
menit dan menyelesaikan kuesioner kedua selama 30-40 menit.
Saudara akan mengisi kuesioner pertama sebanyak dua kali setiap 4
minggu sementara kuesioner kedua satu kali saja. Seiring berjalannya proses ini,
akan terpilih beberapa responden secara acak untuk wawancara lebih dalam
mengenai kemajuan anaknya. Saudara tidak perlu khawatir karena saya akan
menghubungi atau menemui Saudara kembali untuk pengisian dan wawancara
tersebut.
Saya sangat mengharapkan kejujuran saudara dalam menjawab
pernyataan-pernyataan yang ada karena jawaban yang saudara berikan tidak
72
dinilai benar atau salah. Saudara tidak perlu khawatir karena informasi apapun
yang Saudara berikan akan saya jamin kerahasiaannya dan hanya saya gunakan
untuk kepentingan penelitian ini semata. Keikutsertaan Saudara dalam penelitian
ini bersifat sukarela dan Saudara berhak menghentikan partisipasinya kapanpun
apabila merasa tidak nyaman atau merasa keberatan dengan proses penelitian
yang berjalan.
Akhir kata, saya mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan Saudara
untuk meluangkan waktu. Saya sangat menghargai kerjasama Saudara untuk
berpartisipasi dalam penelian ini.
Jakarta, 13 September 2012
Mengetahui,
( Dr. Magdalena S. Halim, Psi. ) (Husnaini)
Pembimbing Skripsi Mahasiswa Fakultas Psikologi
73
Lembar Informed Consent
Setelah mengetahui tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh peneliti, dengan ini Saya,
Nama :
Usia :
Orangtua dari : , tahun bulan (usia anak)
No. Telepon :
menyatakan kesediaan untukberpartisipasi dalam penelitian ini dengan mengikuti
semua prosedur yang telah dijelaskan dan bersedia pula mengikuti wawancara
lebih lanjut apabila dibutuhkan atau dihubungi kembali oleh peneliti. Saya juga
mengetahui bahwa hasil penelitian ini akan dirahasiakan dan hanya dipergunakan
untuk kepentingan penelitian ini saja.
Jakarta, 2012
( ________________________ )
74
75
Hari, tgl-bln-thn:
Data Kontrol
Nama Ibu (inisial) : ………………….… Suku Bangsa Ibu : ……….…………… Telepon Ibu : ……….…………… Email Ibu : ……….…………… Status Pernikahan : ……….……………
Alamat : ……………………. ………………………………………….. Nama Ayah (Inisial): ..…………………. Suku Bangsa Ayah : …………….………
Nama (inisial) anak : …………………….…………………….………………… Tanggal lahir : …………………….…………………….………………… Jenis kelamin* : L / P Anak ke …….. dari ……… bersaudara Sekolah kelas : …………………….…………………….………………… Hobi / kegemaran : …………………….…………………….………………………… Terdiagnosa usia : …… tahun Mulai penanganan pertama usia ….. tahun
Susunan Keluarga
No Nama L/P Peran dalam keluarga
Usia Pendidikan Pekerjaan