HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM
RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA
FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN
PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013
SKRIPSI
Oleh:
Morrys Antoniusman
109101000040
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1425 H / 2013
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI
KESEHATAN MASYARAKAT
MORRYS ANTONIUSMAN, NIM : 109101000040
Hubungan Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara Dalam Ruang dan Faktor
Demografi terhadap Kejadian Gejala Fisik Sick Building Syndrome (SBS) pada
Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
(xxii+ 126 halaman, 16 tabel, 3 bagan, 3 diagram, 4 lampiran)
ABSTRAK
Buruknya kualitas udara dalam ruang akibat keberadaan pencemar biologi
yaitu bakteri ditengarai menjadi salah satu penyebab kejadian SBS. Kondisi gejala
fisik SBS yang terjadi dalam ruangan bersifat akut dan mengganggu penghuni dalam
ruangan khususnya karyawan yang dapat menurunkan produktivitas kerja dan
penurunan konsentrasi kerja.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan keluhan SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013, yang terdiri
dari variabel jumlah koloni bakteri patogen udara, jenis kelamin, umur, status gizi,
kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok. Penelitian ini menggunakan
desain cross sectional yang dilakukan pada bulan November-Desember 2013.
Kemudian digunakan penarikan sampel secara accidental sampling lalu untuk melihat
adanya pengaruh variabel, digunakan analisis multivariat.
Berdasarkan hasil análisis yang telah dilakukan, didapatkan sebesar 43,5% (20
orang) mengalami keluhan SBS, kemudian didapatkan faktor yang paling
berpengaruh terhadap SBS adalah Jenis Kelamin (PR = 9,124) maka keluhan gejala
fisik SBS dapat diperkirakan dengan variabel jenis kelamin.
Oleh karena itu, responden penelitian dengan jenis kelamin perempuan
dianjurkan untuk bebas dari paparan AC yang berlebih, dekat dengan fasilitas dalam
bangunan yang mengeluarkan polutan, dan jauh dari asap rokok di dalam gedung atau
ruang kerja. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengikutsertakan variabel-
variabel lain yang diduga berhubungan dengan keluhan SBS yang tidak diteliti pada
penelitian ini, dan melakukan penelitian dengan menggunakan cara lain dalam
mengukur SBS, sehingga diharapkan dapat diperoleh perbandingan gambaran
keluhan SBS.
Kata kunci : Sick Building Syndrome, Responden Penelitian Gedung X.
Daftar bacaan : 45 (1987-2011)
iii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MORRYS ANTONIUSMAN, NIM : 109101000040
The Relationship of Pathogenic Bacteria Colonies of Indoor Air and
Demographic Factors with The Incidence of Physical Symptoms of Sick Building
Syndrome upon Research Respondents of X Building Year 2013
(xxii+ 126 pages, 16 tables, 3 charts, 3 diagram, 4 attachments)
ABSTRACT
Poor indoor air quality due to the presence of biological contaminants like
bacteria is being suspected as one of the cause that affect the occurrence of SBS.
Physical symptoms of Sick Building Syndrome that occur indoors are acute and
disturbing to the occupants of the room, especially employees which will lead to a
decreasing of work productivity and concentration level.
The aim of this study was to determine factors assosiated with the symptoms
of Sick Building Syndrome upon research respondents of X building, which consisted
of a variable number of airborne pathogenic bacteria colonies, sex, age, nutritional
status, smoking habits, and cigarette fumes sensitivity. This study used a cross
sectional design and conducted in November-December 2013. Samples were
collected using accidental sampling, which then followed by multivariate analysis in
order to see the influence of those variables.
Based on the analysis results, approximately 43,5% (20 people) had
complained of SBS. Afterward, the most influential of all SBS related factors was
obtained, which was sex or gender factor (PR = 9.124). Thus, complaints of physical
symptoms of SBS can be estimated with this variable.
Therefore, female respondents of X building are advised to limit their activity
in the area that may have been exposed to a prolonged run time of air conditioners,
pollutants that being emitted from some building facilities, and cigarette fumes that
circulated in the building or work space. For further research is expected to include
other variables that were related to the complaints of SBS that has not been examined
in this study, and conduct research using other ways of measuring the SBS also
needed, in the aim of obtaining a comparison pictures of SBS complaints.
Keyword : Sick Building Syndrome, Research Respondents of X Building
Reading list : 45 (1987-2011)
vi
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
Nama : Morrys Antoniusman
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 12 Mei 1991
Alamat : Jl.H.Bantong, Perumahan Lembah Ciliwung No.60,
Desa Pasir Gunung Selatan , Depok-Jawa Barat
Agama : Islam
Golongan Darah : AB
No.Telp : 08811390768
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1996 - 1997 TK Kartika Chandra XII
1997 - 2003 SDN 06 Petang Kalisari Jaktim
2003 - 2006 SMPN 179 Jakarta
2006 - 2009 SMAN 98 Jakarta
2009 - 2014 S-1 Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang, yang telah memberi kekuatan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis curahkan
kepada Rosul tercinta, Nabi Muhammad saw yang telah membawa kebenaran yaitu
Islam dan telah menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Skripsi ini disusun dalam rangka sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyusunan Skripsi ini, penulis selalu mendapat motivasi, bantuan dan
dukungan selama melaksanakan penyusunan Skripsi ini. Penulis sangat berterima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Skripsi
ini, diantaranya.
Dibalik rasa syukur,dalam penulisan Skrispi ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih dengan tulus atas bimbingan serta dukungan kepada:
1. Orang tua yang membesarkan dan membimbing serta selalu memberikan doa,
semangat dan motivasi untuk semua kelancaran dalam menempuh semua jejang
pendidikan penulis sampai saat ini.
2. Beloved sister and brother, Jeshy Antoniusman, Gonzales Antoniusman dan
Jhonny Antoniusman, yang telah rela mengalah dalam segala hal demi kelancaran
perkuliahan penulis.
viii
3. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
4. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Bapak Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes. selaku ketua Peminatan Kesehatan
Lingkungan. Terima kasih atas semua nasihat, saran, dan motivasinya terhadap
penulis.
6. Ibu Ela Laelasari, SKm, M.Kkes, selaku dosen pembimbing skripsi I.
7. Ibu Dewi Utami Ultari, SKM, M.Kes, Ph.D, Selaku dosen pembimbing II.
8. Ibu Catur Rosidati, S.KM, Bapak dr. Gatot Sudiro Hendarto, Sp.P , dan Ibu
Hoirunissa, Ph.D selaku penguji skripsi.
9. Ibu Yulianti S.Si, M.Biomed selaku kepala Pusat Laboratorium Terpadu UIN, Bu
Dewi selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN, dan Ka Novi selaku
laboran Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN.
10. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen peminatan Kesehatan Lingkungan. Terima
kasih atas semua kesempatan untuk mengenal dunia industri yang sebenarnya.
11. Seluruh staf Gedung X yang telah menerima dan membantu penulis selama
penelitian berlangsung dan Bapak Andre selaku yang bertanggung jawab atas
penelitian penulis di Gedung X. Terima kasih banyak atas bantuannya.
12. Bapak Deni yang telah menemani penulis saat turun lapangan sehingga penulis
dapatkan kemudahan dalam pengambilan data. Terimakasih untuk segala
bantuannya.
ix
13. Sahabat-sahabat Kesmas 2009 khususnya KL’09 (Nita, Ratna, Dilla, Fauziah,
Ersa, Rudi, Agung, Morrys, Rahmi, Risma, Fauziah, Maya, Cita, Reni, Aan, Nisa,
Tary, Yudi, dan Udin), Kimia’09 serta ENVIHSA UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
14. Teman-teman di organisasi IPPA Edelweis 98, khususnya angkatan XIX; Ame,
Alm. Indra, Iki, Ardo, Kipay, Frendy, Retno, Onny, Lina dan semuanya.
Terimakasih atas segala support dan bantuannya selama ini. Kita saudara untuk
selamanya.
15. Keluarga dari saudara seperjuangan Teguh Arifianto. Pakde, Bukde, Okoy, Mas
Kelik, dan Mas Fendi. Terima kasih telah banyak membantu dan menemani
penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
16. Teman-teman naik gunung RAMPASER yang sering duduk dan saling bertukar
pikiran Cako, Mbek, Jono, Tile, Anis, Babel, Nunu, dan Noeng, dan lain-lain.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat
keterbatasan waktu, pengetahuan, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan untuk masa yang
akan datang. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan
bermanfaat untuk kita semua.
Jakarta, 30 April 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... v
RIWAYAT PENULIS .......................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xvi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 6
1.3. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 7
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
1.4.1. Tujuan Umum ......................................................................... 8
xi
1.4.2. Tujuan Khusus ......................................................................... 8
1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................... 9
1.5.1. Bagi Peneliti ............................................................................ 9
1.5.2. Bagi Institusi Akademik .......................................................... 9
1.5.3. Bagi Pengelola Gedung ........................................................... 9
1.6. Ruang Lingkup .................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sick Building Syndrome (SBS) .......................................... 11
2.1.1. Gejala-Gejala SBS ................................................................... 12
2.1.2. Penyebab Kejadian SBS .......................................................... 15
2.1.3. Pencegahan SBS ...................................................................... 16
2.1.4. Pencemaran Udara ................................................................... 17
2.2. Kualitas Udara dalam Ruang ............................................................... 19
2.2.1. Kualitas Fisik ........................................................................... 21
2.2.2. Kualitas Kimia ......................................................................... 25
2.2.3. Kualitas Mikrobiologi ............................................................. 29
2.2.3.1. Bakteri ....................................................................... 30
2.3. Morfologi Bakteri ................................................................................ 41
2.4. Konstruksi Bangunan .......................................................................... 47
2.5. Kondisi Fisik Ruangan ........................................................................ 47
2.5.1. Sistem HV AC ......................................................................... 47
2.5.2. Kebersihan Ruang ................................................................... 50
2.6. Faktor Karakteristik Individu .............................................................. 51
2.6.1. Jenis Kelamin .......................................................................... 51
2.6.2. Usia .......................................................................................... 51
2.6.3. Status Gizi ............................................................................... 52
xii
2.6.4. Kebiasaan Merokok ................................................................. 53
2.6.5. Sensitifitas Karyawan Terhadap Asap Rokok ......................... 54
2.7. Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran ............. 55
2.8. Kerangka Teori .................................................................................... 58
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOSESIS
3.1. Kerangka Konsep ................................................................................ 59
3.2. Definisi Operasional ............................................................................ 61
3.3. Hipotesis .............................................................................................. 65
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 66
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 66
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 66
4.3.1. Rancangan Sampel .................................................................. 68
4.3.1.1. Perhitungan Jumlah Sampel ...................................... 68
4.3.1.2. Teknik Sampling ....................................................... 69
4.3.1.3. Penentuan Kasus Gejala Fisik SBS.............................70
4.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 71
4.4.1. Sumber Data ............................................................................ 71
4.4.2. Instrumen Penelitian ................................................................ 72
4.5. Pengolahan Data .................................................................................. 78
4.5.1. Pengkodean ............................................................................. 78
4.5.2. Pengeditan Data ....................................................................... 79
4.5.3. Pembuatan Struktur Data dan File ........................................... 80
4.5.4. Pemasukan Data ...................................................................... 80
xiii
4.5.5. Pembersihan Data .................................................................... 80
4.6. Analisis Data ....................................................................................... 80
4.6.1. Analisis Univariat .................................................................... 80
4.6.2. Analisis Bivariat ...................................................................... 81
4.6.3. Analisis Multivariat ................................................................. 81
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Gedung X................................................................ 82
5.2. Analisa Univariat ................................................................................. 83
5.2.1. Gambaran Gejala Fisik SBS .................................................... 83
5.2.1.1. Penentuan Kasus Sick Building Syndrome ................ 92
5.2.2. Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung
X .............................................................................................. 93
5.2.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ........................ 95
5.3. Analisa Bivariat ................................................................................... 97
5.3.1. Hubungan Antara Jumlah Bakteri Patogen Udara dalam Ruang
Kerja dengan Gejala Fisik SBS ............................................... 98
5.3.2. Hubungan Antara Karaktristik Responden dengan Gejala Fisik
SBS .......................................................................................... 99
5.3.2.1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik
SBS ............................................................................ 100
5.3.2.2. Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS ... 100
5.3.2.3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik
SBS ............................................................................ 101
5.3.2.4. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang
dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala
Fisik SBS ................................................................... 101
xiv
5.4. Analisa Multivariat .............................................................................. 103
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 107
6.2. Gejala Fisik SBS pada Responden di Gedung X Tahun 2013 ............ 108
6.3. Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara dalam Ruang
Kerja dengan Gejala Fisik SBS ............................................................ 111
6.4. Faktor Demografi ................................................................................ 112
6.4.1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS .... 113
6.4.2. Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS .................. 114
6.4.3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS.......... 115
6.4.4. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan
Gejala Fisik SBS ...................................................................... 116
6.4.5. Hubungan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik
SBS .......................................................................................... 118
6.5. Faktor yang Paling Dominan dengan Keluhan Gejala Fisik SBS ....... 120
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan .............................................................................................. 125
7.2. Saran .................................................................................................... 126
7.2.1. Manajemen Gedung ................................................................ 126
7.2.2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan .......................................... 127
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Analisis Statistik
Lampiran II. Kuisioner
Lampiran III. Dokumentasi
Lampiran IV. Surat Perizinan
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1. Kerangka Teori .................................................................................... 58
Bagan 3.1. Kerangka Konsep ................................................................................. 59
Bagan 4.1. Langkah-Langkah Penentuan Responden ............................................ 68
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel Indeks Masa Tubuh ................................................................... 52
Tabel 2.2. Jenis Debu dan Konsentrasi Maksimal ............................................... 56
Tabel 2.3. Parameter Gas Pencemar ..................................................................... 57
Tabel 3.1. Definisi Operasional ............................................................................ 61
Tabel 5.1. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Jumlah
Responden yang Mengeluhkan Gejala Fisik SBS ................................ 84
Tabel 5.2. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Lantai
dan Perusahaan Tempat Responden Bekerja ....................................... 86
Tabel 5.3. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan
Perusahaan Responden ........................................................................ 87
Tabel 5.4. Gejala Fisik yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Saat Bekerja
di Dalam Gedung ................................................................................. 89
Tabel 5.5. Gejala yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Terakhir ............. 90
Tabel 5.6. Frekuensi Responden yang Masih Merasakan Gejala-gejala SBS Setelah
Keluar Gedung, Ketika Berlibur/Cuti, dan Waktu Dimana Gejala-gejala
SBS Dirasakan Karyawan .................................................................... 91
Tabel 5.7. Kapabilitas (Kemampuan/Kualitas) Responden yang Berkurang dan
Responden yang Meninggalkan Pekerjaan Dalam Satu Bulan Terakhir
Karena Gejala-Gejala Fisik SBS .......................................................... 91
Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Gejala Fisik SBS ........... 92
Tabel 5.9. Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara ............................... 94
xviii
Tabel 5.10.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan
Sesuai Jenis Kelamin Karyawan ........................................................ 95
Tabel 5.10.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan
Sesuai Kebiasaan Merokok dalam Ruangan ..................................... 96
Tabel 5.10.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan
Sesuai Umur dalam Ruangan ............................................................. 96
Tabel 5.10.4. Gambaran Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan
Sesuai Status Gizi dalam Ruangan .................................................... 97
Tabel 5.11. Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang
Kerja Dengan Gejala Fisik SBS .......................................................... 98
Tabel 5.12. Hubungan Antara Karakteristik Responden (Jenis Kelamin, Status Gizi,
Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan
Gejala Fisik SBS .................................................................................. 99
Tabel 5.13. Hasil Analisis Bivariat antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis
Kelamin, Umur, Status Gizi, Kebiasaan Merokok dan Sensitivitas
terhadap Asap Rokok dengan SBS ...................................................... 104
Tabel 5.14. Hasil Analisis Multivariat Pembuatan Model Variabel Independen dengan
Keluhan SBS ....................................................................................... 105
Tabel 5.15. Hasil Akhir Analisis Permodelan Independen .................................... 106
Tabel. 5.16. Hasil Akhir Multivariat dengan Gejala SBS ...................................... 104
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Bentuk-Bentuk Bakteri Basil ....................................................... 45
Gambar 2.2. Bentuk-Bentuk Bakteri Kokus ..................................................... 46
Gambar 2.3. Bentuk-Bentuk Bakteri Spiral ...................................................... 46
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Udara bersih merupakan hak dasar seluruh masyarakat yang tidak hanya untuk
pemenuhan kebutuhan vital untuk bernapas akan tetapi juga udara yang memenuhi
syarat kesehatan berpijak pada kebutuhan masyarakat akan udara bersih sehat ini,
program pengendalian pencemaran udara menjadi salah satu dari sepuluh program
unggulan dalam pembangunan kesehatan Indonesia 2010 (Esi, 2010).
Bangunan gedung bertingkat merupakan sarana yang vital sebagai tempat
melakukan segala aktivitas baik untuk sebagai kantor, pusat perbelanjaan, dan
sebagainya. Oleh karena itu, gedung bertingkat yang ada saat inipun dibuat semakin
modern dengan berbagai fasilitas yang lengkap demi menunjang pesatnya laju
pertumbuhan pembangunan. Berbagai kelengkapan fasilitas yang ada terkadang
dibuat tanpa mengindahkan kesehatan dan kenyamanan para pekerja yang ada di
dalamnya. Studi tentang pengukuran kualitas udara di dalam gedung dan sarana
tranportasi telah menunjukan bahwa konsentrasi pencemar udara dalam ruangan
cenderung lebih tinggi dibandingkan di luar ruangan. Udara di dalam ruangan terdiri
dari campuran yang kompleks (NRC, 1991; Spengler dan Sexton, 1983; Samet dan
Spengler, 2003; Gold, 1992).
2
Ruangan merupakan suatu tempat aktifitas manusia, hampir 90% waktu yang
dihabiskan manusia di dalam ruangan, jauh lebih lama dibandingkan di udara terbuka.
Beberapa penelitian telah menunjukan di mana udara dalam ruangan sering kali lebih
kotor atau lebih tinggi zat pencemarnya dibandingkan udara di luar (Codey, 2004).
Menurut US. EPA (1995), udara dalam ruangan 5 kali lebih kotor daripada di luar
ruangan.
Suatu lingkungan kerja dengan kualitas udara dalam ruangan yang tidak terawat
dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang akan berdampak pada menurunnya
produktivitas dan meningkatkan absen kerja serta peningkatan biaya perawatan
kesehatan bagi perusahaan (Splenger et al., 2004; Brightman dan Moss, 2004).
Menurut Badan Kependudukan Nasional (BAKNAS) pada tahun 2001, di seluruh
dunia diperkirakan 2,7 juta jiwa meninggal diakibatkan indoor pollution atau polusi
udara di dalam ruangan.
Kualitas udara dalam ruang selain dipengaruhi oleh keberadaan agen abiotik
juga dipengaruhi oleh agen biotik seperti partikel debu, dan mikroorganisme
termasuk di dalamnya bakteri, jamur, virus dan lain –lain (Salo, et al 2006 dalam Esi,
2010). Keberadaan mikroorganisme dalam ruangan umumnya dalam bentuk spora
jamur terdapat pada tempat-tempat seperti sistem ventilasi, karpet yang bisa
menimbulkan kesakitan pada beberapa orang yaitu menyebabkan alergi. Selain itu
kelembaban sebagai pemicu tumbuhnya bakteri dan jamur juga berhubungan secara
3
signifikan terhadap kejadian alergi pada anak-anak usia prasekolah (Bornehag, 2005
dalam Esi, 2010).
Berbagai keluhan dan gejala yang timbul saat seseorang berada di dalam
gedung dan kondisinya membaik setelah keluar dari gedung, kemungkinan karena
menderita Sick Bulding Syndrome (SBS). Kasus SBS tidak menunjukan gejala yang
khas dan secara obyektif tidak dapat diukur. Gejalanya berupa sakit kepala, lesu,
iritasi mata maupun kulit serta berbagai masalah pernapasan. Keluhan lain yang
sering dijumpai adalah batuk kering, migrain, sakit kepala, mata memerah, kembung
pada bagian perut dan lain sebagainya. Gejala tersebut sulit dicari penyebab yang
nyata dan akan dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung
dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004).
Empat faktor utama yang mempengaruhi SBS adalah faktor fisik seperti suhu,
kelembaban, ventilasi, pencahayaan dan ergonomik. Faktor kimia seperti merokok
dalam ruangan, gas-gas CO2, CO, NO2 dan SO2, bau. Faktor biologi ialah bakteri
dan jamur. Faktor psikologis seperti kondisi kejiwaan (stres, hubungan antara atasan
dan rekan kerja dan kesiapan bekerja/pribadi) (European Concerted Action, 1989 dan
Utomo, 1995).
SBS yaitu kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara
ruangan. Gejala-gejala tersebut seperti pilek, hidung tersumbat, bersin-bersin, rongga
mulut sakit, rongga mulut kering, badan panas dingin, mual, tidak nafsu makan, lesu,
4
kelelahan, pegal-pegal anggota tubuh dan kulit gatal. Penilaian Indoor Air Quality
(IAQ) pada beberapa perkantoran menggunakan pendingin ruangan (AC) di
Hongkong (Ooi, 1998) menyebutkan bahwa kontribusi terbesar yang menyebabkan
ketidaknyamanan adalah Total Volatile Organic Compounds (TVOC), Indoor
airbone fungi count diidentifikasi terdapat pada beberapa ruang publik pada
penelitian di Taiwan yaitu dari beberapa jenis bakteri Staphylococcus spp.,
Micrococcus spp., Corynebacterium spp., dan Aspergillus spp (Li, 2009). Meskipun
dari jumlah koloni yang berhasil ditemukan masih berada di bawah ambang batas,
akan tetapi keberadaan jenis bakteri dan jamur di udara ini perlu diwaspadai untuk
mengantisipasi kejadian SBS.
Bakteri patogen yang menjadi salah satu faktor penyebab gejala SBS sering
menyebabkan rinitis alergi dan asma bronkial. Mikroorganisme bermacam tipe
bakteri patogen dapat mengkontaminasi sistem pendingin atau pemanas udara sentral
dan dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas dan humidifier fever.
Pneumonitis hipersentivitas menyebabkan inflamasi di alveoli dan bronkiolus akibat
dari respons imun terhadap organisme tersebut. Pajanan dalam waktu lama dapat
menyebabkan fibrosis paru. Humidifier fever menyebabkan gejala demam, nyeri
sendi dan nyeri otot. Sering terjadi pada musim dingin dan hilang ketika orang
tersebut tidak terpajan organisme tersebut kembali (Lyles et al., 1991).
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia/Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia (IAKMI/KFMUI) melakukan penelitian terhadap 350
5
karyawan dari 18 perusahaan di wilayah DKI Jakarta selama Juli-Desember 2008.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, 50% karyawan yang bekerja di dalam gedung
perkantoran mengalami SBS (Guntoro, 2008).
Beberapa penelitian tentang SBS menunjukan bahwa faktor demografi seperti
umur, jenis kelamin, status gizi serta gaya hidup berpengaruh terhadap kejadian SBS.
Penelitian yang dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur
berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya
tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan
tubuhnya (NIOSH, 1989). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Esi Lisyastuti
tahun 2010 menyatakan bahwa jenis kelamin wanita memiliki resiko lebih besar
dibanding pria. Sebanyak 70% dari jumlah karyawan wanita mengalami SBS (Esi,
2010).
Gedung X merupakan gedung perkantoran bertingkat yang didesain dengan
jendela tertutup dan ventilasi buatan (air conditioning) yang menyebabkan gangguan
sirkulasi udara dan tidak sehatnya udara dalam gedung. Halaman gedung yang
digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor dapat dikatakan relatif dekat
dengan sumber polusi udara luar gedung.
Menurut Heimlich (2008), pada bangunan yang tertutup udara tidak dapat
bergerak secara bebas dan polutan dapat terakumulasi di dalam ruangan. Kondisi
tersebut dapat memicu kuman dan zat kimia beracun yang ada dalam gedung untuk
6
bereaksi, sehingga kualitas udara dalam ruangan menjadi buruk dan dapat
menimbulkan kejadian SBS.
Untuk itu, pada penelitian ini peneliti bermaksud untuk meneliti hubungan
antara jumlah koloni mikroorganisme di udara dalam ruangan dan faktor demografi
dengan kejadian SBS pada responden penelitian di Gedung X tahun 2013.
1.2 Perumusan Masalah
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi antara lain kondisi bangunan,
elemen interior, fasilitas pendingin ruangan, pencemar kimia dan pencemar biologi.
Buruknya kualitas udara dalam ruang akibat keberadaan pencemar biologi yaitu
bakteri yang ditengarai menjadi salah satu sebab kejadian SBS. Kondisi kesakitan
akibat mikroba udara dalam ruangan bersifat akut akan tetapi bisa mengganggu
penghuni dalam ruangan khususnya responden penelitian.
Parameter untuk mengukur kualitas udara dalam ruangan adalah parameter fisik
(debu/partikulat), kimia (zat-zat beracun yang terdapat dalam ruangan gedung), dan
biologi (jamur dan bakteri). Dari ketiga parameter di atas, faktor biologi yang berupa
kontaminasi mikroba di udara berdasarkan penelitian NIOSH dan EPA
mempengaruhi 5% pencemaran udara dalam ruangan (NIOSH, 1997).
Gedung X menggunakan pendingin ruangan Air Conditioner (AC) Central yang
rawan menjadi faktor penyebarluasan bakteri udara dalam ruang. Selain itu belum
pernah dilakukan pengukuran kualitas bakteriologis udara dalam ruangan di gedung
7
tersebut dan gedung X tidak memiliki data mengenai kejadian gejala fisik SBS
menjadi alasan untuk melakukan penelitian tentang faktor mikrobiologi dikaitkan
dengan kejadian gejala fisik SBS.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Berapa jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan kerja responeden
penelitian di gedung X
2. Bagaimana distribusi frekuensi faktor demografi responden penelitian di
gedung X, yaitu jenis kelamin responden, umur, status gizi, kebiasaan
merokok, dan sesnitivitas responden terhadap asap rokok.
3. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian gejala fisik SBS pada responden
penelitian di gedung X.
4. Bagaimana hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan
dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X
5. Bagaimana hubungan faktor demografi responden penelitian dengan
kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X yaitu jenis
kelamin responden, umur, status gizi, kebiasaan merokokdalam ruang, dan
sensitivitas terhadap asap rokok.
6. Faktor apakah yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala
fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.
8
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang
dan faktor demografi terhadap kejadian gejala fisik SBS pada responden
penelitian di gedung X tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui berapa jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan
kerja responden penelitian di gedung X
2. Mengetahui distribusi frekuensi faktor demografi responden penelitian
di gedung X, yaitu jenis kelamin responden penelitian, umur, status gizi,
kebiasaan merokok, dan sensitivitas responden terhadap asap rokok
3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian gejala fisik SBS pada
responden penelitian gedung X
4. Mengetahui hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam
ruangan dengan gejala fisik SBS pada pekerja di gedung X
5. Mengetahui hubungan faktor demografi responden penelitian dengan
kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian gedung X, yaitu
jenis kelamin responden penelitian, umur, status gizi, kebiasaan
merokok dalam ruang, dan sensitivitas terhadap asap rokok.
6. Mengetahui faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian
gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.
9
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Peneliti mampu melakukan pengukuran parameter biologi untuk
menentukan kualitas udara dalam suatu ruangan gedung perkantoran dan
menghubungkannya dengan gejala-gejala fisik SBS pada responden di dalam
gedung.
1.5.2 Bagi Institusi Akademik
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keilmuan Kesehatan Lingkungan
khususnya dalam topik pengaruh kualitas udara dalam ruangan terhadap kejadian
gejala fisik SBS.
1.5.3 Bagi Pengelola Gedung
Memberikan gambaran gejala fisik SBS pada responden penelitian di
gedung X dalam meningkatkan mekanisme mengkaji dan melakukan evaluasi
untuk perbaikan berkelanjutan dalam perencanaan pengelolaan program
perbaikan lingkungan bekerja khususnya kualitas udara dalam ruang.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan pada responden penelitian di gedung X. Desain
penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional. Dari ketiga parameter kualitas
udara dalam ruangan (parameter fisika, kimia, biologi) peneliti mengkhususkan pada
10
parameter biologi yaitu pengukuran jumlah koloni bakteri patogen dengan
pengambilan sampel satu gedung dan hasilnya dibandingkan dengan standar baku
mutu yang berlaku secara nasional menurut Kepmenkes No.1405 tahun 2002, dan
dihubungkan dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung tersebut.
Sebagai pendukung, peneliti menggunakan data primer, yaitu hasil pengukuran
jumlah koloni bakteri pada titik pengambilan sampel, wawancara dengan pihak
teknisi gedung mengenai yang karakteristik gedung, sistem ventilasi digunakan dan
frekuensi pembersihannya, serta kuesioner yang disebarkan ke responden penelitian.
Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang berupa data hasil
observasi dan denah gedung.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sick Building Syndrome (SBS)
SBS adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau
bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung, tetapi
tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. SBS adalah
keadaan yang menyatakan bahwa gedung-gedung industri, perkantoran, perdagangan,
dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit dan merupakan kumpulan gejala
yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya
berada di dalam gedung serta kualitas udara (Heimlich, 2008). Environmental
Protection Agency (EPA) tahun 1991 mengatakan sindrom ini timbul berkaitan
dengan waktu yang dihabiskan seseorang dalam sebuah bangunan, namun gejalanya
tidak spesifik dan penyebabnya tidak bisa diidentifikasi. SBS adalah suatu kondisi
yang berhubungan dengan keluhan ketidaknyamanan seperti pusing, mual, dermatitis,
iritasi saluran tenggorokan, hidung, mata dan saluran pernapasan, batuk, sulit
konsentrasi, mual terhadap bau-bau, sakit/pegal otot-otot dan letih (Nasri, dkk, 1998).
SBS mulai diperkenalkan di era tahun 1980-an. Istilah SBS dikenal juga dengan
High Building Syndrome (HBS) atau Nonspecific Building-Related Symptoms (BRS).
Dari penelitian yang dilakukan oleh NIOSH pada tahun 1978-1988, SBS dapat
ditemukan pada gedung perkantoran ataupun pada gedung-gedung biasa dengan
karakteristik kualitas udara yang buruk. SBS identik dengan sindrom gedung tinggi
12
(High Building Syndrome) karena kejadiannya terjadi pada gedung-gedung pencakar
langit. Namun NIOSH melalui kajian-kajiannya pada rentang waktu tersebut
menemukan fakta bahwa kejadian SBS dialami juga oleh gedung perkantoran non
pencakar langit yang karakteristik kualitas udara ruangannya buruk (NIOSH, 1989.,
Perry & Gee, IL., 1995).
2.1.1 Gejala-gejala SBS
Berbagai keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada di
dalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung besar
kemungkinan karena menderita SBS. Kasus-kasus SBS memang tidak
menunjukan gejala-gejala yang khas dan secara objektif tidak dapat diukur.
Keluhan dan tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta
berbagai problem pernapasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan
kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di
gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004).
Pada umumnya gejala dan gangguan SBS berupa penyakit yang tidak
spesifik, tetapi menunjukan standar tertentu, misalnya beberapa kali seseorang
dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu
hanya dirasakan pada saat bekerja di gedung dan menghilang secara wajar pada
akhir minggu atau hari libur. Keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah
pada individu yang mengalami perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang
mampu dalam mengubah situasi pekerjaannya (EPA, 1998).
13
EPA (1991) membagi keluhan SBS antara lain sakit kepala, iritasi mata,
iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit,
kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap
bau dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakan keluhan akan hilang
setelah meninggalkan gedung.
Menurut Aditama (2002), membagi keluhan atau gejala dalam tujuh
kategori sebagai berikut:
1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair
2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk
kering
3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum),
seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi
4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa
berat di dada
5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal
6. Gangguan saluran cerna, seperti diare
7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran saluran
kering, dll.
Indikator SBS yang dikutip dari EPA Indoor Air Facts No. 4 (1991):
a. Pekerja dalam gedung mengeluhkan gejala-gejala ketidaknyamanan akut
seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan, batuk kering, kulit
kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan berkonsentrasi, lelah dan bau
14
b. Penyebab dari gejala-gejala tidak diketahui
c. Kebanyakan pekerja sembuh setelah meninggalkan gedung
SBS merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas
udara dalam ruangan, yang terjadi minimal satu gejala dirasakan oleh 30%
responden di dalam gedung (WHO, 2005).
Gejala-gejala tersebut sesuai kriteria WHO terdiri dari:
- Iritasi mata, flu tenggorokan
- Kekeringan membran mukosa/bibir
- Kulit kering, merah dan gatal-gatal
- Sakit kepala dan mental fatigue
Seseorang dikatakan terkena gejala SBS apabila menderita 2/3 dari
sekumpulan gejala seperti lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit
kepala, kulit gatal-gatal, mata pedih, mata kering, mata tegang, pilek, pegal
pegal, sakit leher/punggung dalam waktu bersamaan. Seseorang disebut terkena
SBS apabila terdapat lebih dari 20%-50% responden mempunyai keluhan
tersebut di atas. Akan tetapi apabila hanya 2-3 orang, maka kejadian tersebut
hanya diindikasikan flu biasa (Aditama, 1991). Menurut Brinke (1995) orang
dikatakan terkena gejala SBS apabila memiliki satu atau lebih gejala yang
sedikitnya satu kali dialami dalam satu minggu. Seseorang dikatakan terjangkit
SBS apabila gejala muncul lebih dari dua kali per minggu selama jam kerja dan
pulih setelah meninggalkan gedung (Finnegan dalam Isyana Dewi, 2005).
15
Faktor-faktor pada kondisi ruangan yang potensial menjadi penyebab
timbulnya SBS antara lain penurunan kualitas udara dalam ruang, kepadatan
manusia, bahan material ruangan, dekorasi interior, sistem ventilasi dan
pernapasan, keberadaan jamur dan bakteri, gas berbahaya dan radiasi (Godish,
1989. Moseley, 1990. Roe FJC, 1994).
Salah satu keluhan yang biasanya muncul adalah kulit kering, khususnya
terjadi pada pekerja perempuan. Keluhan ini dapat dimasukkan ke dalam gejala
SBS apabila pekerja merasa sembuh setelah libur atau tidak masuk gedung dalam
jangka waktu yang lama. Penyebab kekringan pada kulit biasanya adalah udara
kering yang panas atau AC yang berlebihan sehingga menyebabkan beberapa
macam dermatitis/penyakit kulit. Selain kekeringan, iritasi atau kulit keriput pun
dapat terjadi dikarenakan pajanan/kontaminasi dari bahan-bahan tertentu. Selain
itu, SBS juga dapat memperburuk penyakit dan masalah kesehatan yang telah
ada, seperti sinusitis dan eczema, tetapi kedua penyakit tersebut tidak
dimasukkan dalam gejala-gejala SBS yang umum terjadi (Burroughts, 2004).
2.1.2 Penyebab Kejadian SBS
Kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan bahan kimia di
dalam gedung merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya SBS
(Burge, 1987). Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan
menggunakan AC yang tidak terawat dengan baik (Apter et al., 1994).
European Concerted Action (1989) membagi ke dalam 4 faktor utama
penyebab SBS yaitu;
16
a. Faktor fisik meliputi suhu, kelembaban, ventilasi, pencahayaan, kebisingan,
dan getaran, ion-ion dan debu (partikel atau serta).
b. Faktor kimia meliputi merokok dalam ruangan, formaldehid, volatile organic
compounds, bioaerosol, gas-gas seperti CO, NO2, O3, SO2 dan bau
c. Faktor biologi meliputi keberadaan jamur dan bakteri di udara dalam ruang.
d. Faktor psikologis meliputi stress dan beban kerja.
2.1.3 Pencegahan SBS
Pencegahan SBS harus dimulai sejak perencanaan sebuah gedung,
penggunaan bahan bangunan mulai pondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat
ruangan, bahan, perekat (lem) dan cat dinding yang dipergunakan, tata letak
peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut perlu
kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan, terutama yang berasal dari
hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar gedung didesain berdinding tipis
serta memiliki ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas,
partikel dan mikoorganisme di dalam ruangan, dapat dilakukan dengan
pemberian tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi
udara seringkali mejadi upaya yang sangat efektif untuk mengurangi polusi di
dalam ruangan (Anies, 2004).
Bahan-bahan kimia tertentu yang merupakan polutan yang sumbernya
berada dalam ruangan seperti bahan perekat, bahan pembersih, pestisida dan lain
sebagainya sebaiknya diletakkan di dalam ruangan khusus yang berventilasi atau
ruang kerja. Untuk ruangan yang menggunakan karpet untuk pelapis dinding atau
17
lantai secara rutin harus dibersihkan dengan penyedot debu apabila dianggap
perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian, demikian juga untuk
pembersihan AC harus secara rutin dibersihkan (Anies, 2004). Hindari pula
menyalakan AC secara terus menerus. AC perlu dimatikan supaya kuman tidak
berkembang biak di tempat lembab. Ketika AC mati, jendela-jendela perlu
dibuka lebar-lebar agar sinar matahari masuk ke dalam ruangan, karena panas
matahari akan membunuh sebagian besar kuman (Hidayat, 2005).
Tata letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak
terkait dengan jarak pajanan peralatan yang menghasilkan radiasi elektromagetik
tidak hanya dipandang dari segi ergonomik, tetapi juga kemungkinan dapat
menimbulkan SBS (Anies, 2004).
2.1.4 Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia,
atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan
manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau
merusak properti. Definisi lain dari pencemaran udara adalah peristiwa
pemasukan dan/atau penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam
lingkungan udara akibat kegiatan alam dan manusia sehingga temperatur dan
karakeristik udara tidak sesuai lagi untuk tujuan pemanfaatan yang paling baik.
Atau dengan singkatan dapat dikatakan bahwa nilai lingkungan udara tersebut
telah menurun (Hutagalung, 2008).
18
Bedasarkan Peraturan Pemerintah RI No.40 tahun 1999 mengenai
Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara
adalah masuknya atau dimaksudnya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
udara ambient oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambient turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak memenuhi fungsinya.
a. Sumber Pencemar Udara
Industri dianggap sebagai sumber pencemar karena aktivitas industri
merupakan kegiatan yang sangat tampak dalam pembebasan berbagai
senyawa kimia ke lingkungan. Sebagian jenis gas dapat dipandang sebagai
pencemar udara apabila konsentrasi gas tersebut melebihi tingkat
konsentrasi normal dan dapat berasal dari sumber lain sperti gunung api,
rawa-rawa, kebakaran hutan, dan nitrifikasi dan denitrifikasi biologi serta
berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources) seperti
pengangkutan, transportasi, kegiatan rumah tangga, industri, pembangkitan
daya yang menggunakan bahan bakar fosil, pembakaran sampah,
pembakaran sisa pertanian, pembakaran hutan, dan pembakaran bahan
bakar (Hutagalung, 2008).
Pengelompokan ini sesuai dengan klasifikasi sumber pencemar udara
yang ditetapkan oleh WHO tahun 2005, yaitu:
1. Sumber berupa titik (point sources) yang berasal dari sumber
individual menetap dan dibatasi oleh luas wilayah kurang dari 1x1 km2
termasuk di dalamnya industri dan rumah tangga;
19
2. Garis (lines sources) adalah sumber pencemaran udara yang berasal
dari kendaraan bermotor dan kereta;
3. Area (area sources) adalah sumber pencemaran yang berasal dari
sumber titik tetap maupun sumber garis.
Pencemar udara dilepaskan sebagai polutan primer, maupun polutan
sekunder yang terbentuk akibat reaksi yang terjadi di udara. Polutan primer
adalah polutan yang dilepaskan ke udara dari sumbernya seperti cerobong
pabrik atau kenalpot kendaraan bermotor, yang termasuk polutan primer
adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon monoksida, senyawa
volatile organik, partikel karbon dan nonkarbon. Polutan sekunder
terbentuk di udara akibat reaksi dari polutan primer, yang dapat melibatkan
unsur alami di alam yaitu oksigen dan air. Yang termasuk polutan skunder
adalah ozon, oksida nitrogen dan bahan partikel sekunder (WHO, 2005).
Berdasarkan tempat karakteristik pencemaran udara dibedakan
menjadi pencemaran udara di luar ruangan dan di dalam ruangan.
Pencemaran udara di dalam ruangan dapat terjadi di dalam rumah, sekolah
maupun tempat kerja (Sudrajat, 2005).
2.2 Kualitas Udara Dalam Ruang
Kualitas udara dalam ruangan adalah istilah yang mengacu pada kualitas udara
di dalam dan di sekitar bangunan dan struktur, terutama yang berkaitan dengan
kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan. Kualitas udara dalam ruang dapat
20
dipengaruhi oleh gas (karbon monoksida, radon, senyawa organik yang mudah
menguap), partikulat, kontaminan mikroba (jamur, bakteri) atau massa atau energi
stressor yang dapat menimbulkan kondisi yang merugikan kesehatan. Penggunaan
ventilasi untuk mencairkan kontaminan merupakan metode utama untuk
meningkatkan kualitas udara dalam ruangan gedung (EPA, 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruang adalah aktivitas
penghuni ruangan, material bangunan, furnitur dan peralatan yang ada di dalam
ruang, kontaminasi pencemar dari luar ruang, pengaruh musim, suhu dan kelembaban
udara dalam ruang serta ventilasi (Hardin dan Tinlley, 2003).
Sedangkan menurut US-EPA (1995) ada empat elemen yang berpengaruh
dalam indoor air quality yaitu:
1. Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar atau dari sistem operasional mesin
yang berada dalam ruangan
2. Heating Ventilation and Air Conditioning System (HVAC)
3. Media yaitu berupa udara
4. Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut mempunyai riwayat pernapasan atau
alergi.
Dalam Indoor Air Quality Handbook (Spengler, et al 2000), SBS dapat
dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Suhu dan kelembaban
2. Konsentrasi partikulat
3. Konsentrasi VOC
21
4. Konsentrasi gas (NO2, CO2,CO, dll)
5. Jumlah mikroorganisme (jamur dan bakteri).
2.2.1 Kualitas Fisik
a. Suhu Udara
Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh
manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan
muskeler. Suhu udara ruang kerja yang terlalu dingin dapat menimbulkan
gangguan bekerja bagi karyawan, yaitu gangguan konsentrasi di mana
karyawan tidak bekerja dengan tenang karena berusaha untuk
menghilangkan rasa dingin (Prasasti, dkk, 2005). Namun dari semua energi
yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan
dibuang ke lingkungan. Menurut Standar Baku Mutu sesuai Kepmenkes
No.261, suhu yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja adalah 18-26
oC.
Kualitas udara dalam ruang tidak hanya dipengaruhi oleh adanya
pencemaran tetapi juga dipengaruhi oleh adanya udara panas. Udara yang
panas dapat menurunkan kualitas udara dalam ruang dan mempengaruhi
kenyamanan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruang tersebut
(Pudjiastuti, dkk, 1998).
Peningkatan suhu di atas 230 C dengan gejala SBS juga merupakan
penemuan yang konsisten. Terdapat hubungan antara peningkatan
temperatur, overcrowding, dan ventilasi yang tidak memadai dengan gejala
22
SBS pada studi Burge tahun 2004, tetapi kompleksitas ini dapat
menyebabkan hubungan suhu dengan SBS menjadi rumit untuk ditarik
sebagai faktor penyebab.
Suma’mur (1997) menyatakan bahwa suhu dingin dapat mengurangi
efisiensi dengan timbulnya keluhan kaku ataupun kurangnya koordinasi
otot sedangkan kondisi udara yang panas dapat menurunkan prestasi kerja,
kualitas udara dalam ruangan dan mempengaruhi kenikmatan manusia
yang tinggal atau bekerja dalam ruangan tersebut.
Menurut Walton (1991), suhu berperan penting dalam metabolisme
tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Lennihan dan Fletter (1989),
mengemukakan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha
menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi.
Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan
merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran
napas oleh agen yang menular.
Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25% dari panas
tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambien dan
meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya
kelembaban relatif, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman.
Dengan kata lain udara kering pada temperatur rendah sampai dengan
23
normal membuat kehilangan transpirasi dan mengakibatkan dehidrasi
(Pudjiastuti, 1998).
b. Kelembaban Udara
Air bukan merupakan polutan, namun uap air merupakan pelarut
berbagai polutan dan dapat mempengaruhi konsentrasi polutan di udara.
Uap air dapat menumbuhkan dan mempertahankan mikroorganisme di
udara dan juga dapat melepaskan senyawa-senyawa volatile yang berasal
dari bahan bangunan seperti formaldehid, amonia dan senyawa lain yang
mudah menguap, sehingga kelembaban yang tinggi melarutkan senyawa
kimia lain lalu menjadi uap dan akan terpajan pada pekerja (Fardiaz, 1992).
Ruang yang lembab dan dinding yang basah akan sangat tidak nyaman dan
mengganggu kesehatan manusia (Pudjiastuti, dkk, 1998).
Kelembaban dan suhu yang ekstrim juga menjadi media pertumbuhan
beberapa jenis bakteri dan jamur. Sebagai contoh jamur dapat tumbuh
dalam suasana anaerob dengan kelembaban udara lebih dari 65%
(Suma’mur, 1997).
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam
udara (Depkes RI, 2002). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu:
1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara;
2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada
suatu temperatur tersebut.
24
Secara umum penilaian kelembaban dalam ruang dengan
menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan,
kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam ruang kerja
adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah <40% atau >60% (Depkes RI, 2002).
Kelembaban yang relatif tinggi antara 25%-75% langsung
mempengaruhi tingkat spora jamur, dan terjadi pula peningkatan
pertumbuhan pada permukaan penyerapan air (Pudjiastuti, dkk, 1998).
Kelembaban yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan
kekeringan selaput lendir membran, sedangkan yang tinggi akan
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Prasasti, dkk, 2005).
Kelembaban udara dalam ruangan sangat tergantung pada suhu udara
luar. Kelembaban udara yang sesuai standar kualitas udara dalam ruangan
tidak terbukti menunjukkan hubungan SBS (Burge, 2004). Terdapat banyak
faktor yang menentukan kelembaban baik atau buruk. Baik humidifiers,
maupun dehumidifiers ternyata dapat juga menjadi potensi masalah, yaitu
air yang terbuang dapat menjadi stagnant sehingga dapat menjadi
penyebab peningkatan gejala SBS. Pada banyak gedung, chillers terdapat
di roof top sehingga perawatannya menjadi sulit (Burge, 2004).
Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat
menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban
yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Standar
25
Baku Mutu kelembaban udara menurut Kepmenkes No. 261 adalah 40-
60% (Mukono, 2005).
2.2.2 Kualitas Kimia
a. Konsentrasi Partikulat
Partikel debu dalam emisi gas buang terdiri dari bermacam-macam
komponen. Bukan hanya berbentuk padatan tapi juga berbentuk cairan
yang mengendap dalam partikel debu. Pada proses pembakaran debu
terbentuk dari pemecahan unsur hidrokarbon dan proses oksidasi
setelahnya. Dalam debu tersebut terkandung debu sendiri dan beberapa
kandungan metal oksida. Dalam proses ekspansi selanjutnya di atmosfir,
kandungan metal dan debu tersebut membentuk partikulat. Beberapa unsur
kandungan partikulat adalah karbon, SOF (Soluble Organic Fraction),
debu, SO4, dan H2O. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik
sebagai asap hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah butiran-
butiran halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru.
Diketahui juga bahwa di beberapa kota besar di dunia perubahan menjadi
partikel sulfat di atmosfir banyak disebabkan karena proses oksida oleh
molekul sulfur. (Bapedal, 2002).
Particulate Matter (PM) terdiri dari berbagai jenis komponen
termasuk diantaranya nitrat, ammonia, karbon, air, debu mineral, dan
garam. PM terdiri dari campuran kompleks antara padatan dan cairan baik
organik maupun anorganik. PM berefek negatif terhadap lebih banyak
26
orang dibandingkan polutan lainnya. Partikulat dikategorikan berdasarkan
ukuran diameter aerodinamisnya. Pembagian tersebut diantaranya adalah
PM10 (Partikulat dengan diameter aerodinamis <10 μm) dan PM 2,5
(Partikulat dengan diameter aerodinamis <2,5 μm). PM 2,5 memiliki
bahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan PM 10. Hal ini disebabkan
karena PM 2,5 dapat berpenetrasi dan memberikan efek sampai dengan
daerah bhronkiolus pada paru-paru.
Paparan terhadap partikulat berkontribusi terhadap peningkatan
resiko terkena peningkatan resiko terkena penyakit kardiovaskular dan
pernafasan, bahkan berkontribusi terhadap peningkatan resiko kanker paru.
Kadar PM 10 dalam ruangan berdasarkan OSHA PEL-TWA ( Occupational
Safety and Health Administration; Permissible Exposure Limit-Total Weight
Average) dan ACGIH TLV-TWA (American Conference of Governmental
Industrial Hygienists; Threshold Limit Values – Total Weight Average) berturut-
turut adalah 0,15 mg/m³ dan 0,10 mg/m³. Di Indonesia khususnya di
Jakarta Per Gub DKI Jaya No 54/2008 mensyaratkan kadar PM 10
maksimal dalam ruangan sebesar 90 μg/m³. Sedangkan EPA (1997)
menetapkan batasan PM 2,5 15 μg/m³.
b. Volatile Organic Compound (VOC)
Kehadiran pencemar organik mungkin merupakan konstituen terbesar
dari aerosol yang ada di dalam ruang. Dikarenakan jumlah spesies bahan
kimia hadir di udara dalam ruang, dan kesulitan di dalam identifikasi dan
27
kuantifikasi dari kimia organik yang tercampur, maka kontaminasi
senyawa organik (VOC) di dalam ruangan belum dapat diketahui dengan
baik sampai saat ini. Menurut Bortoli dari senyawa-senyawa yang telah
dilakukan studi, senyawa paling banyak teridentifikas meliputi toluene,
xylene dan apinene. (Pudjiastuti, 1998).
Beberapa senyawa organik volatile yang ditemukan di dalam ruangan
telah menunjukkan adanya hubungan dengan sejumlah gejala penyakit.
Beberapa gejala penyakit yang ada di dalam ruang yang banyak dijumpai
yaitu sakit kepala, iritasi mata dan selaput lendir, iritasi sistem pernapasan,
drowsiness (mulut kering), fatigue (kelelahan), malaise umum.
c. Konsentrasi Gas (NO2, CO2, CO, dll)
1. Nitrogen Oksida (NO2)
Gas ini adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NO2
bereaksi dengan senyawa organik volatile membentuk ozon dan oksida
lainnya. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2
adalah paru-paru. Paru-paru terkontaminasi oleh gas NO2 akan
membengkak sehingga penderita sulit bernapas dan mengakibatkan
kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem
pernafasan, bila kondisinya kronis dapat berpotensi terjadi bronkhitis serta
akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik
(Sunu, 2001).
28
2. Karbon Dioksida (CO2)
Karbon dioksida (CO2) dalam gedung bisa diemisikan dari
pembakaran mesin-mesin seperti genset, namun demikian mayoritas CO2
diemisikan oleh para penghuni gedung. Umumnya konsentrasi CO2 dalam
gedung adalah antara 350-2500 ppm. Treshold Limit Value-Time Weighted
Average (TLV-TWA) CO2 yang diperkenankan adalah sampai 1000 ppm.
Di Indonesia khususnya DKI Jakarta Per Gub DKI Jaya no. 54 tahun 2008
dapat dijadikan sebagai acuan dengan kadar maksimal CO2 yang
diperkenankan dalam ruangan sebesar 0,1%. Berdasarkan studi BASE
konsentrasi CO2 di udara dalam ruangan secara statistik memiliki
hubungan positif dengan kejadian SBS. 70% bangunan dengan ventilasi
mekanik dan menggunakan airconditioner dalam studi menunjukkan
hubungan yang signifikan antara CO2 dan SBS. (EPA, 2002).
3. Karbon Monoksida (CO)
Karbon Monoksida (CO), komponen ini mempunyai berat sebesar
96,5% dari berat air dan tidak dapat larut dalam air. CO yang terdapat di
alam terbentuk dari satu proses sebagai berikut pembakaran tidak sempurna
terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon, reaksi antara
karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi.
Pada suhu tinggi karbon dioksida terurai menjadi karbon monoksida dan
atom O (Wardhana, 2004). CO dapat menyebabkan masalah pencemaran
udara dalam ruang pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat parkir
29
bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan mobil yang
berada di tengah lalu lintas. CO dalam gedung bisa didapatkan dari
pembakaran tidak sempurna seperti genset dan asap rokok, selain juga dari
kontaminan luar yang masuk malalui sistem ventilasi. Karena CO
merupakan gas yang tidak berbau dan memiliki afinitas lebih tinggi
terhadap hemoglobin (Hb) dibandingkan oksigen. Dengan demikian
apabila terhirup, CO akan menggantikan oksigen Hb, sehingga dapat
mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh berkurang. Hal tersebut dapat
mengakibatkan pengurangan kemampuan kerja sampai dengan kematian.
Kadar CO dalam ruangan berdasarkan ASHRAE, OHSA PEL-TWA dan
ACGIH TLV-TWA berturut turut adalah 9 ppm, 50 ppm, dan 25 ppm. Di
Indonesia Kep. Men Kes. No 1405/2002 dan Per. Gub DKI Jaya No
54/2008 berturut-turut mensyaratkan kadar CO maksimal dalam ruangan
sebesar 25 ppm dan 8 ppm untuk pengukuran 8 jam.
4. Ozon (O3)
Menurut Burkin et.al (2000) dalam Seganda (2010), sumber utama
ozon dari kegiatan manusia dalam ruangan berasal dari mesin fotokopi,
pembersih udara elektrostatis, dan udara luar. Ozon dapat menyebabkan
iritasi pada mata dan bersifat toksik terhadap saluran pernafasan, paparan
ozon secara akut mengakibatkan sakit kepala, kelelahan dan batuk. Kadar
O3 dalam ACGIH TLV-TWA berturut-turut adalah 0,05 ppm (untuk jerka
keras), 0,08 ppm (untuk kerja moderat) dan 0,10 ppm (untuk kerja ringan).
30
2.2.3 Kualitas Mikrobiologi
Mikroorganisme dapat muncul dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Pada penyebaran lewat udara, mikroorganisme harus mempunyai habitat tumbuh
dan berkembang biak (Brown, 2006). Seringkali mikroorganisme ditemukan
tumbuh pada air yang menggenang atau permukaan interior yang basah. Selain
itu mikoorganisme juga dijumpai pada sistem ventilasi atau karpet yang
terkontaminasi (Flannigan, 1992). Standar parameter bilogi udara dalam ruangan
mengacu pada Kepmenker No.1405 Tahun 2002, yaitu 700 koloni/m3.
Mikroorganisme dapat berasal dari lingkungan luar seperti serbuk sari,
jamur dan spora, dapat pula berasal dari dalam ruang seperti serangga, jamur,
kutu binatang peliharaan dan bakteri. Mikroorganisme dapat menyebabkan alergi
pernapasan seperti infeksi pernapasan dan asma. Mikroorganisme tersebar
bersama-sama dengan aerosol yang ada di udara dikenal dengan istilah
bioaerosol. Kebanyakan dari bioaerosol adalah non patogen dan hanya dirasakan
oleh orang-orang yang sensitif. Setiap mikroorganisme dengan dapat menulari
hanya pada keadaan panas tertentu (Pudjiastuti, dkk, 1998).
Walaupun kebanyakan ruangan yang tercemar merupakan akibat dari
sumber-sumber di luar ruangan, situasi ruangan dapat menjadi tercemar berat
oleh unsur biologi. Ruangan yang dibangun dengan adanya bioaerasi dapat
mengakibatkan dua proses utama yaitu; material akan mengalir dan menumpuk
dalam ruangan dan pertumbuhan nyata pada interior (Pudjiastuti, 1998).
31
2.2.3.1 Bakteri
Bakteri merupakan mahluk hidup yang kasat mata, dan dapat juga
menyebabkan berbagai gangguan kesehatan serta efek deteriorasi bagi
gedung apabila tumbuh dan berkembang biak pada lingkungan indoor
(Sephen 2006, Setzenbach 1998). Gangguan kesehatan yang muncul dapat
bervariasi tergantung dari jenis dan rute pajanan. Bakteri dalam gedung
datang dari sumber luar (misalnya dari kerusakan tangga, endapan kotoran,
dan sebagainya) serta dapat memberikan pengaruh bagi manusia seperti
saat bernapas, batuk, bersin. Selain itu, bakteri juga didapati pada sistem
cooling towers (seperti Legionella), bahan bangunan dan furniture,
wallpaper, dan karpet lantai (Stephen, Bates 2000). Di dalam gedung,
bakteri tumbuh dalam standingwater tempat water spray dan kondensasi
AC.
Bakteri masuk melalui udara dalam suatu ruangan, khususnya yang
menggunakan sitem Air Conditioning (AC). Sistem AC menyediakan
lingkungan yang hangat dan basah bagi bakteri untuk berkembang biak.
Selain itu, kondensasi atau penggunaan water spray juga akan menujang
pertumbuhan bakteri dan menyediakan lingkungan yang lembab (Indoor
Air Quality Handbook). Pekerja dalam ruangan tersebut akan terpajan oleh
bakteri melalui aktifitas yang dilakukan secara langsung seperti bernapas
dan bersin. Organisme ini masuk ke udara yang dibawa oleh sistem AC
dalam ruangan tersebut. Sistem AC menyediakan kondisi yang hangat dan
32
panas bagi bakteri yang digunakan untuk berkembang biak. Sebagai bagian
dari proses conditioning, udara yang lembab juga menjadi faktor pemicu
bagi tumbuhnya bakteri (Indoor Air Quality in Australia a Strategy for
Action).
Banyak bekteri, yang sebagian besar sebagai penyebab penyakit pada
manusia, berasal dari reservoir di luar lingkungan yang sangat terkenal
adalah legionella (Pudjiastuti, dkk, 1998). Legionella yang sering
ditemukan pada sitem AC biasanya berasal dari timbunan semprotan pada
cooling towers, terutama jika sistem AC tersebut kurang perawatan atau
baru dinyalakan setelah beberapa waktu tidak dipakai. Bakteri ini akan
memasuki ruangan apabila sistem AC berada dekat dengan cooling towers.
A. Bakteri Patogen (Todar, 2008)
Bakteri patogen adalah jenis-jenis bakteri yang menjadi biang
penyakit pada makhluk hidup. Bakteri patogen ini bekerja dengan
cara menginfeksi organisme dan sebagai akibatnya, muncul gejala-
gejala abnormal yang kita kenali sebagai tanda-tanda penyakit.
Sebagian dari bakteri patogen ini tidak terasa di tubuh, namun tak
jarang pula yang menyebabkan penyakit serius semacam HIV,
SARS, Flu Burung dan masih banyak lagi lainnya.
Dalam kajian ilmu biologi, dikenal kecenderungan karakteristik
organisme yang sangat patogen sajalah yang bisa menyebabkan
penyakit pada makhluk hidup. Sementara selebihnya tidak
33
mengakibatkan apa-apa. Bakteri yang jarang menyebabkan pemyakit
tersebut dikenal dengan istilah patogen oportunis, yakni jenis bakteri
yang tidak menyebabkan atau menimbulkan penyakit pada makhluk
hidup dengan kompetensi umun atau daya tahan tubuh yang baik.
Sebaliknya, jenis bakteri ini bisa memicu penyakit bagi mereka yang
memiliki kekebalan tubuh yang rendah. Jadi bisa disumpulkan bahwa
bakteri patogen oportunis ini mengambil kesempatan dari
menurunnya sistem pertahanan di dalam tubuh sang inang yang
diinfeksi.
Mekanisme Bakteri Patogen
Invasi host oleh patogen dapat dibantu oleh produksi zat
ekstraselular bakteri yang bertindak melawan tuan rumah dengan
memecah pertahanan primer atau sekunder dari tubuh. Mikrobiologi
medis disebut sebagai invasins. Kebanyakan invasins adalah protein
(enzim) yang bertindak secara lokal untuk merusak sel inang dan/atau
memiliki efek langsung memfasilitasi pertumbuhan dan penyebaran
patogen. Kerusakan host sebagai akibat dari kegiatan invasif ini dapat
menjadi bagian dari patologi penyakit menular.
Spreading factor adalah istilah deskriptif untuk keluarga
bakteri yang mempengaruhi sifat matriks jaringan antar sel, sehingga
meningkatkan penyebaran patogen.
34
Hialuronidase adalah faktor penyebaran asli. Hal ini dihasilkan oleh
streptococci dan clostridia.
Kolagenase diproduksi oleh Clostridiumperfringens dan
Clostridiumhistolyticum. Itu merusak kolagen,dan kerangka otot.
Neuraminidase yang dihasilkan oleh patogen usus seperti
Vibriocholerae dan Shigella dysentriae. Ini mendegradasi asam
neuraminic (asam sialic), sebuah antar sel dari jaringan sel-sel epitel
mukosa usus.
Streptokinase dan staphylokinase diproduksi oleh streptokokus dan
staphylococci. Enzim kinase mengkonversi plaminogen menjadi
plasmin aktif yang mencerna fibrin dan mencegah pembekuan darah.
Ketiadaan fibrin dalam menyebarkan lesi bakteri memungkinkan
difusi yang lebih cepat dan infeksi.
Enzim-enzim ini biasanya bekerja pada membran sel hewan
membentuk pori yang mengakibatkan lisis sel, atau dengan serangan
enzimatik pada fosfolipid, yang membuat tidak stabilnya membran.
Mereka disebut sebagai lecithinases atau phospholipases, dan jika
mereka melisiskan sel darah merah maka mereka disebut hemolysins.
Leukocidins, diproduksi oleh staphylococcus dan streptolysin
diproduksi oleh streptokokus khusus melisiskan fagosit dan granular
mereka. Kedua enzim ini juga dianggap exotoxins bakteri.
35
Phospholipases, Clostridium perfringens diproduksi oleh (yaitu,
alpha toksin), menghidrolisis fosfolipid dalam membran sel dengan
menghilangkan kelompok kepala kutub.
Lecithinases, juga diproduksi oleh Clostridium perfringens,
menghancurkan lesitin (fosfatidilkolin) di membran sel.
Sifat Hemolysin pada bakteri adalah melisiskan atau
melarutkan sel-sel darah merah. Hemolysins diproduksi oleh strain
bakteri, termasuk staphylococci dan streptokokus. Bakteri Hemolysin
disaring dan yang mengelompok di sekitar koloni bakteri pada
medium kultur yang mengandung sel-sel darah merah. Hemolysins
muncul untuk membantu kekuatan invasif bakteri.
Hemolysins, terutama yang diproduksi oleh staphylococci
(yaitu, alpha toksin), streptokokus (yaitu, streptolysin) dan berbagai
clostridia, mungkin akan membentuk saluran protein atau
phospholipases atau lecithinases yang menghancurkan sel darah
merah dan sel-sel lain (misalnya, fagosit) oleh lisis.
Bakteri Hemolisin dapat dipisahkan oleh berbagai jenis bakteri
seperti Staphylococcus aureus, Escherichia coli atau
Parahemolyticus Vibrio di antara patogen lain. Kita bisa melihat pada
bakteri Staphylococcus aureus untuk mempelajari lebih tepatnya
pembentukan pori-pori ini. Staphylococcus aureus adalah patogen
36
yang menyebabkan banyak penyakit infeksi seperti pneumonia dan
sepsis.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran urogenital
seperti:
1. Klebsiella
Klebsiaella pnewniniae kadang-kadang menyebabkan infeksi
saluran kemih dan baktermia dengan lesi fokal pada pasien yang
lemah.
2. Enterobacter Aerogenes
Menyerang saluran kemih menyebabkan infeksi nosokomial.
3. Proteus
Bakteri ini menyebabkan infeksi saluran kemih atau kelainan
bernanah seperti asbes, infeksi luka, infeksi telingan atau saluran
napas.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran pernapasan
seperti:
1. Pseudomonas Aeroginosa
Batang gram negatif 0,5-1,0 x 3,0-4,0 um. Mempunyai flagel
polar kadang-kadang 2-3 flagel. Bakteri ini menyebabkan infeksi
37
pada saluran pernapasan bagian bawah, saluran kemih, mata, dan
lain-lain
P. Aeroginosa bersifat patogen bila masuk ke daerah yang
fungsi pertahanannya abnormal, mislanya selaput mukosa, kulit
telinga dan menimbulkan penyakit sistemik.
2. Streptococcus pneumoniae
Streptococcus pneumoniae adalah sel gram positif berbentuk
bulattelur seperti bola,secara khas terdapat berpasangan atau rentai
pendek. Bakteri ini penghuni normal pada saluran pernapasan bagian
atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis,
bronkhitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya.
Penularan penyakit ini dapat melalui berbagai cara, antara lain:
ihalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar,
aliran darah, dari infeksi di organ tubuh yang lain.
Migrasi(perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-
paru. Dapat menular pula melalui percikan air ludah.
3. Corybaterium diphtheriae
Corybaterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik
fakultatif dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak
berspora, dan tidak bergerak.
Corybaterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan,
dalam luka-luka, pada kulit orang terinfeksi, atau orang normal yang
38
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui doplet atau kontak
langsung dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada
selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai mebghasilkan
toksin.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk
penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi
oleh bakteri ini.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran pencernaan
yaitu:
1. Shigella sp.
Pendek, gram negatif, tunggal, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, aerobik atau anaerobik fakultatif.
Patogenesis Shigella sp.
Shigella mempenetrasi intraseluler epitel usus besar, terjadi
perbanyakan bakteri, mengasilkan edoktoksin yang mempunyai
kegiatan biologis, S.Dysenteriae menghasilkan eksotoksin yang
mempunyai sifat neotoksik dan enterotoksik.
Infeksi Shigella sp. dapat diperoleh dari makanan yang sudah
terkontaminasi, walaupun makanan itu terlihat normal. Air juga dapat
menjadi salah satu hal yang terkontaminasi dengan bakteri ini.
39
2. Salmonella sp.
Ciri-ciri bakteri Salmonella sp. adalah berupa bakteri gram
negatif, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, memiliki flagela
bertipe peritrikus, dan anaerobik fakultatif. Masuk ke tubuh orang
melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini. Akibat
yang ditimbulkan adalah peradangan pada saluran pencernanaan
sampei rusaknya dinding usus.
Patogenesis Salmonella sp.
- Menghasilkan toksin LT.
- Invasi ke sel mukosa usus halus
- Tanpa berproliferasi dan tidak mengahansurkan sel epitel
- Bakteri ini langsung masuk ke lamina propia yang kemudian
menyebabkan infiltrasi sel-sel radang.
3. Vibrio colerae
Ciri-ciri bakteri ini adalah bakteri gram negatif, batang lurus
dan agak lengkung, terdapat tunggal dan dalam rantai berpilin, tidak
berkapsul, tidak membentuk spora, bergerak dengan flagella bertipe
tunggal polar, anaerobik fakultatif. Bakteri ini menyebabkan penyakit
kolera yang menginfeksi saluran usus, bakteri ini masuk ke dalam
tubuh seseorang melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin
40
(racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare disertai
muntah yang akut.
4. Clostridium botulinum
Bakteri ini sering menimbulkan keracunan makanan, hal ini
karena bakteri tersebut tumbuh dalam makanan dan menghasilkan
toxin yang berbahaya bagi manusia. Gejala penyakitnya berupa
tenggorokan terasa kering, penglihatan menjadi kabur,gangguan
akomodasi, gangguan suara, kelumpuhan otot, gangguan jantung.
Pencegahan dengan menjaga kebersihan makanan dan memasaknya
sampai matang.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi kulit seperti:
1. Clostridium tetani
Penyakit yang ditimbulkan adalah tetanus, dengan infeksi
melalui berbagai cara, yaitu: luka tusuk, patah tulang terbuka, luka
bakar, pembedahan, penyuntikan, gigitan binatang, aborsi,
melahirkan atau luka pemotongan umbilicus. Gejalanya berupa kaku
dan kram pada otot sekitar luka, hypereflexi pada tendon extremitas
yang dekat dengan luka, kaku pada leher, rahang, dan muka, dan
gangguan menelan.
2. Bacillus anthracis
41
Merupakan bakteri penyebab penyakit antrax, yang biasanya
menyerang hewan ternak. Namun pada perkembangannya penyakit
tersebut dapat menular ke manusia melalui luka, inhalasi dan juga
makanan.
3. Staphylococcus aureus
Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi bernanah dan asbes,
infeksi pada folikel rambut dan kelenjar keringat, bisul, infeksi pada
luka, meningitis, endokarditis, pneumonia, pyelonephritis,
osteomyelitis. Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan daya
tahan tubuh, kebersihan pribadi, dan sanitasi lingkungan.
4. Mycobacterium leprae
Merupakan bakteri penyebab penyakit lepra, dengan gejala
pertama berupa penebalan pada kulit yang berubah warna, berupa
bercak keputih-putihan, hilang perasaannya. Bakteri ini dapat pula
menyerang mata, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Pencegahannya
dilakukan dengan mencegah kontak langsung dengan penderita dan
meningkatkan daya tahan tubuh.
Bakteri patogen memiliki salah satu sifat yang mengindikasikan
bahwa bakteri itu benar-benar patogen yaitu dengan cara analisis
bakteri hemolisis.
42
2.3 Morfologi Bakteri
Bakteri adalah kelompok terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah
kecil dan kebanyakan adalah uniseluler dengan struktur sel yang relatif sederhana
tanpa nukleus, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas
(Pelczar, et al 2008).
a. Ciri-ciri bakteri
Berikut ini merupakan ciri-ciri bakteri dilihat dari susunan dan struksturnya
(Pelczar, et al 2008):
1) Dinding sel tersusun atas mukopolisakarida dan peptidoglikan.
Peptidoglikan terdiri atas polimer besar yang terbuat dari N-asetil
glukosamin dan N-asetil muramat, yang saling berikatan silang dengan
ikatan kovalen. Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri dapat dibedakan
menjadi bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif.
2) Sel bakteri dapat mensekresikan lendir ke permukaan dinding selnya.
Lendir yang terakumulasi di permukaan terluar dinding sel akan
membentuk kapsul. Kapsul ini berfungsi untuk mempertahankan diri
dari kondisi lingkungan yang buruk. Bakteri yang berkapsul lebih sering
menimbulkan penyakit dibandingkan dengan bakteri yang tidak
berkapsul.
3) Membran sitoplasma meliputi 8-10% dari bobot kering sel dan tersusun
atas fosfolipida dan protein. Fungsi utama membran sitoplasma adalah
sebagai alat transpor elektron dan proton yang dibebaskan pada waktu
43
oksidasi bahan makanan dan sebagai alat pengatur pengangkutan
senyawa yang memasuki dan meninggalkan sel.
4) Sitoplasma dikelilingi oleh membran sitoplasma, dan tersusun atas 80%
air, asam nukleat, protein, karbohidrat, lemak, dan ion anorganik serta
kromatofora. Di dalam sitoplasma terdapat ribosom-ribosom kecil.
Selain itu terdapat RNA dan DNA. Terdapat pula DNA tertentu yang
diselubungi protein sehingga membentuk genofor sirkuler.
5) Pada kondisi yang tidak menguntungkan bakteri dapat membentuk
endospora yang berfungsi melindungi bakteri dari panas dan gangguan
alam.
6) Bakteri ada yang bergerak dengan flagela dan ada yang bergerak tanpa
flagela. Bakteri tanpa flagela bergerak dengan cara berguling. Setiap sel
bakteri memiliki jumlah flagela yang berbeda. Berdasarkan jumlah dan
letak flagela, bakteri dibedakan menjadi 4, yaitu:
- Bakteri monotrik, yaitu bakteri yang mempunyai satu flagela pada
salah satu ujung selnya.
- Bakteri amfitrik, yaitu bakteri yang pada kedua ujung selnya
mempunyai satu flagela.
- Bakteri lofotrik, yaitu bakteri yang pada salah satu ujung selnya
memiliki seberkas flagela.
44
- Bakteri peritrik, yaitu bakteri yang pada seluruh tubuhnya terdapat
flagela.
b. Bentuk-Bentuk Bakteri
Dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi lensa okuler
mikrometer dan objektif mikrometer, ukuran bakteri dapat diketahui. Ukuran
bakteri dinyatakan dalam satuan mikron. Panjang bakteri umumnya berkisar
0,1 – 0,2 mikron.
Bentuk bakteri sangat barvariasi, tetapi secara umum ada 3 tipe, yaitu:
1) Bentuk batang/silindris (basil)
2) Bentuk bulat (kokus)
3) Bentuk spiral (spirilium).
Variasi bentuk bakteri atau koloni bakteri dipengaruhi oleh arah
pembelahan, umur, dan syarat pertumbuhan tertentu, misalnya makanan,
suhu, dan keadaan yang tidak menguntungkan bagi bakteri.
1) Bentuk batang (silindris)
Bakteri bentuk batang (basil) dibedakan atas bentuk-bentuk sebagai
berikut.
a) Basil tunggal, berupa batang tunggal
b) Diplobasil, berbentuk batang bergandengan dua-dua
c) Streptobasil, berupa batang bergandengan seperti rantai.
45
Gambar 2.1. Bentuk-bentuk Bakteri Basil
2) Bentuk bulat
Bakteri berbentuk bulat (kokus = sferis/tidak bulat betul) dibagi
menjadi bentul-bentuk sebagai berikut:
a) Monokokus; berbentuk bulat satu-satu
b) Diplokokus; bentuknya bulat bergandengan dua-dua
c) Streptokokus; memiliki bentuk bulat bergandengan seperti rantai,
sebagai hasil pembelahan sel ke satu atau dua arah dalam satu garis
d) Tetrakokus; berbentuk bulat terdiri dari 4 sel yang tersusun dalam
bentuk bujur sangkar sebagai hasil pembelahan sel ke dua arah.
e) Sarkina; bentuknya bulat, terdiri dari 8 sel yang sersusun dalam
bentuk kubus sebagai hasil pembelahan sel ke tiga arah.
f) Stafilokokus; berbentuk bulat tersusun seperti kelompok buah
anggur sebagai hasil pembelahan sel ke segala arah.
46
Gambar 2.2. Bentuk-bentuk Bakteri Kokus
3) Bentuk spiral
Bakteri berbentuk spiral dibagi menjadi:
a) Koma (vibrio); berbentuk lengkung kurang dari setengah lingkaran.
b) Spiral; berupa lengkung lebih dari setengah lingkaran.
c) Spiroseta; berupa spiral yang halus dan lentur.
Gambar 2.3. Bentuk-bentuk Bakteri Spiral
47
2.4 Konstruksi bangunan
Udara dalam ruangan yang tertutup dapat tercemar oleh beberapa polutan yang
berasal dari luar gedung, dalam gedung, dari komponen atau konstruksi gedung,
maupun dari aktivitas penghuni gedung tersebut (EPA, 1991).
Adapun sumber pencemar yang berasal dari komponen atau konstruksi
bangunan seperti plafon, dinding, dan lantai mengandung senyawa kimia (asbes) dan
dapat mengahasilkan partikulat yang membahayakan bagi kesehatan (Bi Nardi,
2003). Komponen dan konstruksi bangunan, seperti:
1) Ruangan yang mengeluarkan debu fiber karena permukaan yang dilapisi
(penggunaan karpet, tirai dan bahan tekstil lainnya), peralatan interior yang
sudah tua atau rusak, bahan yang mengandung asbestos dapat memicu terjadinya
gejala SBS
2) Bahan kimia yang terdapat pada setiap kontruksi bahan bagunan atau peralatan
interior mengandung senyawa organik dan VOCs.
2.5 Kondisi Fisik Ruangan
2.5.1 Sistem HV AC
Sistem HV AC (Heating, ventilating, and Air Conditioning) merupakan
sistem alat yang bekerja unutk menghangatkan, mendinginkan, menyirkulasikan
udara pada suatu bangunan, yang terdiri dari boiler atau furnace, cooling tower,
chilling, air handling unit (AHU), exhaust fan, ductwork, steam, filter, fans (air
48
supply), make up-ai, (room exhaust), dampers, room air diffuser, dan return air
grills. Komponen sistem HV AC pada umumnya terdiri dari:
Pemasukan udara dari luar ruangan
Pencampuran air plenum dengan kontrol udara outdoor
Penyaringan udara
Gulungan pendingin.
Berdasarkan Building Code of Australia (2005) serta EPA (1991), suatu
desain dan sistem HV AC berfungsi untuk:
a. Memenuhi kebutuhan thermal comfort
Sistem HV AC berfungsi untuk memenuhi kenyamanan pengguna gedung.
Tingkat pemenuhan kebutuhan thermal comfort ini akan tergantung pada
kemerataan suhu pada ruangan, panas raidasi, suhu, serta kelembaban. Selain itu,
pemenuhan kebutuhan kenyamanan teknis pada pengguna ruangan ini juga
tergantung pada tingkat usia pengguna gedung, aktivitas yang dilakukan dalam
ruangan, serta fungsi tubuh (fisiologi) dari masing-masing individu.
b. Mengisolasi serta memindahkan bau serta kontaminan
Teknik dilusi merupakan salah satu teknik yang digunakan, yaitu dengan
pengenceran udara yang terkontaminasi dengan udara dari luar ruangan. Dilusi
dapat efektif bila terdapat aliran suplai udara konsisten dan cukup untuk
bercampuran dengan udara dalam ruangan. Selain itu, teknik selanjutnya adalah
dengan memperhatikan tekanan udara antar ruangan, dengan menyesuaikan
49
suplai udara dengan jumlah udara tiap ruang. Jika terdapat ruangan yang lebih
banyak tersuplai udara daripada udara yang dibuang, maka ruangan tersebut
bertekanan positif, dan sebaliknya.
Fasilitas HV AC dalam suatu gedung dapat berbeda, tergantung dari
beberapa faktor seperti umur gedung, iklim, jenis bangunan, anggaran dana
perusahaan, perencanaan, pemilik, dan arsitektur gedung, dan modifikasi
tertentu. Operator sistem dan manajer fasilitas adalah faktor penting yang
menentukan kualitas udara dalam ruangan agar terpelihara dengan baik. Sistem
HV AC membutuhkan pemeliharaan yang tepat untuk memberikan kondisi yang
nyaman bagi penghuni suatu ruangan. Sistem HV AC harus dievaluasi terlebih
dahulu sebelum melakukan renovasi pada gedung (Anonymous, 2009).
Beberapa elemen parawatan sistem HV AC yang dapat meningkatkan
kualitas udara dalam ruang adalah:
1) Mengganti filter (disamping dapat menghalangi dan mengurangi aliran
udara, filter yang kotor juga dapat menjadi sumber bau dan mikroorganisme)
2) Memeriksa instalasi dan filter secara berkala
3) Membersihkan cooling coil dan komponen HV AC lainnya
4) Memeriksa operasi fan dan operasi dampers yang dapat mempengaruhi
aliran udara.
50
Selain itu, EPA (1991) juga merekomendasikan maintainance sebagai
berikut:
1) Penggunaan desain sistem ventilasi yang memadai dengan jumlah pekerja
dan jumlah perelatan dalam gedung
2) Sediaan udara dari luar ruangan
3) Kualitas udara luar, karena polutan seperti karbon monoksida, spora fungi,
bakteri dan debu dapat mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan
4) Perencanaan tempat
5) Pengendalian jalur pajanan polutan lain.
2.5.2 Kebersihan Ruang
Gejala SBS bisa timbul dari ketidaknyamanan lingkungan bekerja. Salah
satu masalah lingkungan yang sering muncul di tempat kerja atau perkantoran
adalah masalah kebersihan. Masalah kebersihan didalam area perkantoran yang
dapat menimbulkan gejala SBS seperti (EPA, 1991):
a. Kegiatan housekeeping seperti penggunaan bahan pembersih, emisi dari
gudang penyimpanan bahan kimia atau sampah, penggunaan pengharum
ruangan, proses vacuuming.
b. Kegiatan maintainance seperti kurangnya pemeliharaan coolingtower
menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dalam uap air, debu, atau kotoran
di udara, VOCs dari penggunaan perekat dan cat, residu pestisida dari
kegiatan pengendalian hama, emisi dari gudang penyimpanan.
51
2.6 Faktor Karakteristik Individu
2.6.1 Jenis Kelamin
Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian
SBS (Brasche, 2001). Jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS
dibandingkan dengan laki-lai (Winarni, 2003).
Swedish Office Illnes Project (Sundell, 1994) menyatakan bahwa wanita
memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35% dibandingkan
dengan laki-laki yang hanya 21%. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih
berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot
tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita
mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural,
yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai
pencerminan kebudayaan (Suma’mur PK, 1996).
2.6.2 Usia
Karakteristik pekerja yang berhubungan dengan SBS salah satunya adalah
umur. Pemaparan pada suatu zat yang bersifat toksik akan menimbulkan dampak
yang lebih serius pada mereka yang berusia tua daripada yang berusia lebih muda
dengan kata lain udara yang buruk lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang
usia tua (Frank C.Lu, 1995). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh NIOSH
tahun 1980 menyatakan bahwa umur berhubungan dengan peningkatan kejadian
SBS karena umur berkaitan dengan daya tahan tubuh. Semakin tua umur
seseorang maka semakin menurun pula daya tahan tubuhnya (Apte et al, 2005).
52
Penelitan lain menyebutkan bahwa SBS lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki, dan sensitivitas pada gejala SBS terjadi pada dewasa
muda (younger adults) usia antara 30-50 (NIOSH, 1991).
2.6.3 Status Gizi
Status gizi yang digambarkan dengan kekurangan dan kelebihan gizi pada
orang dewasa (lebih dari 18 tahun), pola konsumsi makanan, gaya hidup aktifitas
dan faktor lingkungan yang tidak bersahabat dapat memberikan kontribusi
terhadap kejadian SBS. Defisiensi gizi secara umum diduga menjadi awal
terjadinya degenerasi sistem imunitas tubuh (Alisyahbana, 1985). Salah satu
parameter pengukuran status gizi adalah dengan menggunakan Indeks Masaa
Tubuh (IMT), yang unutk masyarakat Indonesia menurut PUGS (2002)
dirumuskan sebagai berikut:
IMT =
Kategori IMT untuk Indonesia menurut Depkes (2002) ditampilkan dalam
tabel 2.3 berikut;
Tabel 2.1.
Tabel Indeks Massa Tubuh
Kriteria Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat tinggi
Kekurangan berat badan tingkat rendah
<17.0
17,0 – 18,4
53
Tabel 2.1.
Tabel Indeks Massa Tubuh (Lanjutan)
Kriteria Kategori IMT
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat rendah
(overwight)
Kelebihan berat badan tingkat tinggi
(obesitas)
25,1 – 27,0
>27,0
Sumber: PUGS Depkes, 2002
2.6.4 Kebiasaan Merokok
Asap rokok merupakan campuran yang kompleks senyawa kimia dan
partikel di udara, seperti CO, nitrogenoksida, CO2, hidrogen sianida, dan
formaldehyde. Produk samping dari penetralan asap rokok tetap mengandung
zat-zat yang beracun dan bersifat karsinogenik yang dapat membahayakan
pengguna gedung (Nardi, 2003; Pudjiastuti, 1998).
Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok merupakan bahan pencemar
yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan
pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktifitas merokok didalam
ruangan yang sering dilakukan oleh para pekerja yang mempunyai kebiasaan
merokok. Asap rokok yang dikeluarkan dari seorang perokok pada umumnya
terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Dalam
54
jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu kesehatan, seperti mata pedih,
timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, dkk,
1998).
2.6.5 Sensitifitas Responden Penelitian terhadap Asap Rokok
Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat
konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi
yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila
konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm (EPA, 1991).
Konsentrasi asap rokok yang ada di udara turut mempengaruhi keadaan
emosional para pekerja yang berada di sekitar perokok aktif, sehingga gejala
psikososial juga turut dirasakan oleh perokok pasif. Pengendalian asap rokok
pada udara dalam ruang adalah dengan kebijakan larangan merokok di dalam
ruang dan penyediaan smoking area tersendiri di luar (BiNardi, 2003).
Perokok pasif yang berada pada ruangan yang sama dengan perokok aktif
akan memiliki gejala yang sama pada orang yang bekerja dengan lingkungan
yang bebas dari asap rokok (Burge, 2004). Salah satu penelitian pernah
membuktikan penurunan gejala setelah merokok dilarang di area kerja, tetapi
penelitian lain tidak berhasil menunjukan efek merokok dengan gejala-gejala
tersebut (Burge, 2004).
WHO (2000) mendefinisikan bahwa merokok aktif adalah aktifitas
meghisap rokok secara rutin minimal satu batang sehari.
55
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 77 orang dewasa yang
sensitif Environmental Tobacco Smoke Sensitive (ETS-S) dan yang non-sensitif
ETS (ETS-NS) dengan pemaparan asap tembakau (konsentrasi CO 45 ppm)
selama 15 menit dalam ruangan. Diketahui bahwa 34% (22 dari 77) melaporkan
adanya gejala satu atau lebih gejala rhinitis (hidung tersumbat, pilek dan bersin)
yang dirasakan responden ETS-S. Responden ETS-S melaporkan signifikan
(p<0,01) meningkat dalam hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak,
dan batuk setelah paparan asap tembakau. Gejala pilek lebih besar dan lebih lama
pada subyek ETS-S dibandingkan dengan subyek ETS-NS . Signifikan (p<0,01)
meningkat dalam persepsi bau dan iritasi mata, iritasi hidung, dan tenggorokan
terjadi pada kedua kelompok studi, tetapi subyek ETS-S dilaporkan secara lebih
signifikan pada gejala iritasi hidung dan tenggorokan (Rebecca et al, 1991).
2.7 Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran
Baku mutu kualitas udara dalam ruang berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan No.1405/Menkes/SK/XI/2002, menyatakan bahwa persyaratan kesehatan
lingkungan kerja perkantoran sebagai berikut:
a. Suhu dan Kelembaban
- Suhu: 18 - 28oC
- Kelembaban : 40% – 60%
56
b. Debu
Kandungan debu maksimal udara di dalam ruangan dalam pengukuran rata-rata
8 jam sebagai berikut:
Tabel 2.2.
Jenis Debu dan Konsentrasi Maksimal
No Jenis Debu Konsentrasi maksimal
1. Debu Total 0,15 mg/m3
2. Asbes bebas 5 serat/ml udara dengan panjang serat 5µ
Sumber: Menkes, 2002
c. Pertukaran Udara
Pertukaran udara: 0,283 m3/menit/orang dengan laju ventilasi: 0,15 – 0,25
m/detik. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingin memilki lubang
ventilasi minimal 15% dari luas tanah dengan menerapkan sistim ventilasi silang.
d. Bahan Pencemar
Kandungan gas pencemar dalam ruang kerja, dalam rata-rata pengukuran 8 jam
sebagai berikut:
57
Tabel 2.3.
Parameter Gas Pencemar
T
Sumber: Menkes, 2002
e. Mikrobiologi
- Angka kuman kurang dari 700 koloni/m3 udara
- Bebas kuman patogen
f. Pencahayaan di Ruangan
Persyaratan: Intensitas cahaya di ruang kerja minimal 100 lux.
2.8 Penentuan Besar Sampel Responden
Perhitungan besar sample menggunakan perangkat lunak yang diadaptasi dari
buku “Adequacy of Sample Size in Health Studies” diterbitkan oleh John Wiley &
Sons, WHO, 1990. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh KC Lun, Peter YW
Chiam dan Chuah Aaron dari W.H.O. Pusat Kolaborasi untuk Kesehatan Informatika
dan Informatika Kedokteran Program National University Singapura.
No
. Parameter
Konsentrasi maksimum
mg/m3 Ppm
1. Asam Sulfida (H2S) 1 -
2. Amonia (NH3) 17 25
3. Karbon monoksida (CO) 29 25
4. Nitrogen dioksida (NO2) 5,60 3,0
5. Sulfur dioksida (SO2) 5,2 2
58
2.9 Kerangka Teori
Pada kerangka teori ini dapat dijelaskan bahwa pada penelitian ini akan
dijabarkan gabungan beberapa teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
gejala fisik SBS, dalam hal ini yang akan dijelaskan yaitu kaitannya dengan
Indoor Air Quality (IAQ) pada gedung X. Dalam Indoor Air Quality Handbook
(Spengler, et al 2000) dituliskan bahwa gejala SBS dapat dipengaruhi oleh
multifaktor dan saling berkaitan yang dapat dijelaskan melalui bagan berikut:
Bagan 2.1.
Kerangka Teori
Sumber: Indoor Air Quality Handbook
(Spengler, et al 2000)
Konstruksi
bangunan
- Ventilasi
- Jenis
dinding
- Jenis plafon
- Jenis lantai
Kualitas udara
indoor
- Suhu dan
kelembaban
- Konsentrasi
partikulat
- Konsentrasi
VOC
- Konsentrasi gas
(NO2, CO2,CO,
dll)
- Jumlah
mikroorganisme
(jamur dan
bakteri)
Karakteristik
individu
- Jenis kelamin
- Usia
- Gaya hidup
(kebiasaan
hidup)
- Status gizi
- Riwayat alergi
- Riwayat
penyakit
(asma,
COPD)
Kondisi fisik
ruangan
- Jenis
penerangan
- Furnitur dan
peralatan lain
- AC
- Kebersihan
ruang
Pekerja
SBS
59
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Bagan 3.1.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep di atas menunjukan konsep yang akan diteliti dalam
penelitian ini. Gejala fisik SBS berhubungan dengan jumlah koloni bakteri udara
dalam ruang dan faktor demografi, dimana variabel seperti umur, jenis kelamin,
status gizi, kebiasaan merokok, dan senstivitas terhadap asap rokok berhubungan
langsung dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian. Faktor fisik
dan kimia sebagai salah satu faktor penyebab SBS tidak diteliti karena selain menjadi
keterbatasan penelitian dalam hal ketiadaan instrumen pengambilan sampel,
Jumlah koloni bakteri
patogen udara dalam
ruang
Faktor demografi:
- Jenis kelamin
- Umur
- Status gizi
- Kebiasaan merokok
- Sensitivitas terhadap
asap rokok
Gejala fisik
Sick
Building
Syndrome
60
penelitian ini bermaksud konsen dalam satu parameter lingkungan yaitu parameter
biologi (bakteri) dengan hubungannya terhadap SBS pada responden penelitian.
Beberapa faktor fisik seperti suhu dan kelembapan ditemukan homogen pada saat
observasi sebelumnya serta saat pengambilan sampel bakteri udara di dalam setiap
ruang responden di masing-masing perusahaan, inilah yang menjadi alasan bahwa
faktor fisik menjadi parameter yang tidak dapat dianalisis secara statistik karna akan
menimbulkan bias dalam pengolahan data dan kemungkinan parameter fisik ini
menjadi tidak representatif dalam mencari hubungannya terhadap kejadian gejala
fisik SBS yang terjadi di gedung X. Kemudian faktor kondisi bangunan tidak diteliti
karena dalam observasi yang dilakukan dengan pihak kontraktor serta pengelola
gedung dalam observasi sebelumnya ditemukan bahwa kondisi bangunan yaitu
kontruksi bangunan dan kondisi fisik ruangan yang ada pada saat peneltian dilakukan
masih relatif baru dan sudah memakai bahan yang tidak berbahaya bagi kesehatan.
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1.
Definisi Operasional
No
.
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Gejala fisik
Sick
Building
Syndrome
Gejala-gejala fisik yang disebabkan
oleh kualitas udara dalam ruangan, yang
terjadi minimal satu gejala dirasakan
oleh 30% dari total responden
penelitian.
Gejala-gejala tersebut sesuai kriteria
WHO terdiri dari:
- Iritasi mata, flu tenggorokan
- Kekeringan membran mukosa/bibir
- Kulit kering, merah dan gatal-gatal
- Sakit kepala dan mental fatigue
- Batuk, sesak nafas (mengik)
- Mual, pusing dan hipertensivitas
tidak spesifik
Wawancara Kuesioner 0 = kriteria gejala fisik
SBS tidak ditemukan
1 = kriteria gejala fisik
SBSditemukan
Ordinal
61
Kemudian gejala tersebut dinyatakan
SBS apabila sudah tidak dirasakan oleh
respoden ketika keluar atau
meninggalkan gedung (EPA,1991;
WHO, 1984).
2 Bakteri
Patogen
Jumlah bakteri patogen yang melayang-
layang di udara ruang yang akan
ditentukan angka kumannya atau jumlah
koloni dengan menggunakan metode
sampling impingment lalu dikulturkan
pada media Blood Agar Plate (BAP).
Satuan jumlah koloni adalah koloni/m3
dalam udara.
Dari jumlah koloni bakteri yang
terbentuk, kemudian diidentifikasi
golongan bakteri patogen atau tidak
(Kumala, 2006; Depkes, 2002)
Pengukuran
langsung
Liquid
Impinger
0= Baik (<700
koloni/m3) atau
bakteri patogen tidak
ditemukan
1= Buruk (≥700
koloni/m3) atau
bakteri patogen
ditemukan
Kepmenkes RI No.
1405/
MENKES/SK/XI/200
2
Ordinal
3 Umur Jumlah tahun sejak responden lahir
hingga penelitian berlangsung, kriteria
dibawah atau diatas nilai mean. skala
Wawancara Kuesioner 1= <30 tahun
2 = >30 tahun
Nominal 62
nominal dengan 2 kategori, yaitu:
0. Dibawah umur rata-rata
1. Sama/diatas umur rata-rata
(Wirastini, 1998)
4 Jenis
Kelamin
Status seksual responden penelitian
yang dapat diketahui melalui
pengamatan penampilan fisik
Observasi Kuesioner 0= laki-laki
1= perempuan
Ordinal
5 Kebiasaan
Merokok
Kebiasaan responden merokok di ruang
kerja, minimal merokok 1 batang
dalam 1 hari dan sudah melakukannya
saat penelitian berlangsung. (WHO,
2000).
Wawancara Kuesioner 0= Tidak Merokok di
dalam ruang
1= Merokok di dalam
ruang
Ordinal
6 Status Gizi Derajat gizi responden yang diukur
dengan menggunakan parameter Indeks
Masa Tubuh (IMT) dengan acuan bila
IMT melebihi atau kurang dari 18,0-
25,0 maka status gizi responden
dianggap tidak normal (PUGS, 2002).
Pengukuran
Langsung
Microtoise
dan
Timbangan
badan
0= IMT 18,0 – 25,0
1= IMT <18,5 atau
>25,0
Ordinal
63
7 Sensitivitas
terhadap
asap rokok
Laporan gejala-gejala fisik SBS yang
terjadi pada responden yang dirasa
disebabkan oleh keberadaan paparan
buangan asap rokok di ruang kerja saat
penelitian berlangsung.
0. Tidak ada pengaruh dari asap rokok
(tidak sensitif)
1. Ada pengaruh (sensitif)
Wawancara Kuesioner 0 = Tidak sensitif
1 = Sensitif
Ordinal
64
65
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang dengan kejadian
gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013
2. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden
penelitian di gedung X tahun 2013
3. Ada hubungan umur dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian
di gedung X tahun 2013
4. Ada hubungan status gizi dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden
penelitian di gedung X tahun 2013
5. Ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian gejala fisik SBS pada
responden penelitian di gedung X tahun 2013
6. Ada hubungan sensitivitas terhadap asap rokok dengan kejadian gejala fisik SBS
pada responden penelitian di gedung X tahun 2013
7. Ada faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS
pada responden penelitian di gedung X tahun 2013
66
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Desain yang digunakan adalah cross sectional, yang mengamati jumlah koloni
mikroorganisme dalam ruang sebagai variabel independen dan kejadian gejala fisik
SBS sebagai variabel dependen, dimana variabel tersebut diukur pada saat
bersamaan. Desain ini bisa dipakai untuk studi faktor resiko. Secara umum desain ini
merujuk pada penelitian yang terikat dengan dimensi waktu, pengukuran dilakukan
hanya satu kali (Ghazali, 2006).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Gedung X di delapan prusahaan yang tersebar di lima
dari sepuluh lantai yang telah ditentukan pihak pengelola gedung X. Pengambilan
sampel dan data kuesioner dilaksanakan pada bulan Desember 2013 selama 1 bulan.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah karyawan di gedung X. Respondenl penelitian adalah
karyawan yang bekerja di delapan perusahaan pada lima lantai yang sudah ditentukan
sebelumnya oleh pihak pengelola gedung. Penentuan responden menggunakan teknik
accidental sampling yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau
67
tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010),
kriteria teknik sampling yaitu sebagai berikut :
1) Kriteria inklusi
Adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi
yang dapat diambil sebagai responden yang meliputi:
a) seroang karyawan yang tidak sedang dalam keadaan sakit saat memasuki
ruang kerjanya saat penelitian berlangsung
b) seseorang yang tidak mempunyai riwayat alergi dan astma saat penelitian
berlangsung
2) Kriteria eksklusi
Adalah ciri- ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel
yang meliputi :
a) seseorang yang sedang dalam keadaan sakit saat memasuki ruang kerjanya
saat penelitian berlangsung
b) seseroang yang memiliki riwayat alergi dan astma
68
4.3.1 Rancangan Sampel
4.3.1.1 Perhitungan Jumlah Sampel
Jumlah besar sampel minimal dalam penelitian dihitung dengan
rumus besar sampel menurut Lemeshow (1991) dengan menggunakan
rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu :
Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1 : Proporsi responden yang berumur > 40 tahun dan
mengalami SBS 75% (Esi Lisyastuti, 2010)
P2 : Proporsi responden yang berumur ≤ 40 tahun dan
mengalami SBS 39,4% (Esi Lisyastuti, 2010)
P : Rata-rata proporsi
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu
sebesar 5%=1,96
Z1-β : Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 80%=0,84
Jumlah sampel = 30
30 = (%) non SBS x n’
n’= 30 / (%) non SBS
n’= 30 / 65% non SBS (Najmi, 2011 )
n’= 46 sampel
69
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka responden yang
dibutuhkan sebanyak 46 responden.
4.3.1.2 Teknik Sampling
Pemilihan sampel tersebut diambil dengan menggunakan rancangan
non-random sampling yaitu dengan teknik accidental. Penyampelan
accidental adalah non probabilitas sampling teknik dimana subyek dipilih
karena aksesibilitas kenyamanan dan keterbatasan pengambilan sampel
bagi peneliti. Dalam semua bentuk penelitian, akan sangat ideal untuk
menguji seluruh populasi namun dalam banyak kasus populasi terlalu besar
sehingga mustahil untuk menyertakan setiap individu. Cara metode
pengambilan responden ini adalah dengan memilih siapa yang kebetulan
ada/dijumpai. Keuntungannya ialah murah, mudah dan cepat
(Notoatmodjo, 2010).
Dalam hal ini pengelola gedung X membatasi pengambilan data
responden karena hanya beberapa perusahaan yang bersedia untuk
dijadikan objek pada penelitian ini. Responden penelitian diambil di 5
lantai dari 10 lantai yang ada di gedung X. Kemudian dari 5 lantai tersebut
didapat sejumlah perusahaan disetiap lantainya yang telah ditentukan pula
oleh pengelola gedung X itu sendiri. Ada 8 perusahaan yang akhirnya
masuk ke dalam penentuan responden. Kemudian dari 8 perusahaan
tersebut didapat responden yang dijumpai saat penelitian dan masuk
70
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah dijelaskan sebelumnya. Penentuan
responden pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan 4.1:
Bagan 4.1. Langkah-langkah Penentuan Sampel
4.3.1. 3 Penentuan Kasus Gejala Fisik SBS pada Responden di Gedung X
Penentuan kasus gejala fisik SBS pada penelitisan ini melalui 3
tahapan penyeleksian yaitu:
1. Penyeleksian pertama: karyawan yang merasa sehat sebelum memasuki
ruang kerja dan tidak memiliki riwayat alergi dan astma masuk ke dalam
kriteria responden (46 karyawan).
2. Penyeleksian Kedua: seluruh responden yang telah terpilih pada
penyeleksian awal diberikan 17 pertanyaan tentang keluhan-keluhan SBS
yang terjadi pada saat responden tersebut mulai bekerja di dalam ruang.
Setelah didapat semua data tentang keluhan-keluhan yang terjadi dari
Gedung X
2 perusahaaan
Lantai 2 (8
perusahaan)
Lantai 5 (8
perusahaan)
Lantai 6
(4 perusahaan)
Lantai 8
(5 perusahaan)
Lantai 10
(4 perusahaan)
8
responden
19
responden
6
responden
8
responden
5
responden
2 perusahaaan
1 perusahaaan
2 perusahaaan
1 perusahaaan
71
semua responden kemudian masing-masing keluhan tersebut dianalisis
dengan mempersentasekan jumlah keluhan tersebut dengan jumlah
responden yang ada (46 responden). Jika persentase salah satu keluhan
yang ada melebihi 30% dari total responden maka responden yang
mengalami keluhan tersebut dikatakan suspect (diduga) SBS.
3. Penyeleksian Ketiga: dari jumlah responden yang mengalami keluha-
keluhan dengan presentase melebihi 30% diseleksi lagi dengan melihat
data dari pertayaan tentang apakah gejala yang dirasakan tersebut
menghilang atau tidak ketika responden keluar atau pulang meninggalkan
gedung. Jika gejala yang dirasakan responden tersebut menghilang ketika
keluar atau pulang meninggalkan gedung maka responden tersebut
dikatakan mengalami gejala fisik SBS begitupun sebaliknya.
4.4 Metode Pengumpulan Data
4.4.1 Sumber Data
Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan primer.
1. Data sekunder adalah data yang diambil dari observasi peneliti dengan
pengelola gedung tentang gambaran umum gedung tersebut.
2. Data primer adalah pengumpulan data secara langsung. Data yang
dikumpulkan secara primer meliputi pengukuran suhu dan
kelembaban, wawancara responden dan analisis sampel mikrobiologi
udara.
72
4.4.2 Instrumen Penelitian
1. Uji Pemeriksaan Bakteri Udara
Skenario pengukuran dan pengambilan sampel udara sebagai
berikut:
1) Metode pengambilsan sampel menggunakan metode aktif yaitu
impingment sampling. Lalu sampel dikulturkan dengan metode
spread plate.
2) Paralel dengan pengambilan sampel udara akan dilakukan
pengukuran suhu dan kelembaban, dengan menentukan x titik
sampling secara proporsional. Titik sampling ditentukan dengan
metode episentrum yaitu titik sampling terletak tepat di tengah
jumlah populasi dalam 1 ruang.
3) Pengambilan data karakteristik karyawan yang berada dalam
ruangan menggunakan metode wawancara atau kuesioner.
Pada pengambilan sampel dan pengukurannya dapat dilakukan
dengan berberapa metode sebagai berikut:
a. Metode Pengambilan Sampel Udara
Spread Plate Methode
a) Persiapan
- Periksa battery melalui indikator highrate (tingkat akhir)
20 Lpm (liter/menit) apabila indikator kisaran naik turun 2
Lpm perlu diganti battery
73
- Isi impinger dengan larutan fisiologis NaCl 0,9% sebanyak
10 ml.
- Tutup tabung impinger dengan rapat jangan sampai
terdapat gelembung.
- Sterilisasi tabung impinger yang sudah berisi reagen
penyerap dengan sterilisasi basah pada suhu 121oC, selama
15 menit
- Tempatkan impinger pada badan alat.
b) Pelaksanaan
- Impinger yang telah berisi larutan fisiologis NaCl 0,9%
dihubungkan dengan flowmeter
- Hidupkan alat dan atur flowmeter 20 lpm.
- Baca dan catat flowmeter pada skala indikator.
- Lakukan pengambilan sampel selama 50-60 menit, sesuai
dengan kondisi kebersihan ruang.
- Matikan alat dan lepaskan impinger dari badan alat.
- Masukkan sampel dalam cool box dan dikirim ke
laboratorium.
Pembuatan medium Blood Agar Plate (BPA) sebagai
medium bagi sampel
Alat-alat :
74
1. Erlenmeyer 250 ml 1 buah
2. Gelas ukur 100 ml
3. Batang pengaduk
4. Spirtus, kassa, aluminium foil
5. Spatula
6. Kertas Timbang
7. Spuit
8. Plate 32 buah
9. Autoklave
10. gunting
Bahan-bahan :
1. Air aquadest 200 ml
2. Agar nutrient 13,5 gram
3. Darah 10-20 ml
4. Alkohol 96%
5. Kapas
6. Kassa
7. Karet
8. Neraca
Agar Nutrient = 28 g/L
1 Plate = 20 ml
24 Plate = 24 X 20 = 480 ml
75
MCA yang ditimbang = X 28 g/L = 13,5 g/ 480 ml
Langkah kerja pembuatan:
1. Preparasi alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibuat bundel penutup Erlenmeyer
3. Ditimbang agar nutruient sebanyak 13,5 gram
4. Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1000 ml,
ditambahkan aquadest 780 ml
5. Dipanaskan sambil diaduk semua agar larut
6. Diangkat Erlenmeyer, mulut Erlenmeyer ditutup
dengan bundel, kertas dan diikat karet.
7. Dimasukkan ke dalam autoclave, 121oC selama 15
menit
8. Diangkat dari autoclave, didinginkan dalam incubator
sampai suhu 40-50 oC.
9. Dimasukkan darah secara aseptic ke dalam
Erlenmeyer, digoyang sampai homogen
10. Dituangkan ke dalam cawan petri steril secara aseptic
11. Dibungkus kertas, dan diberi identitas nama media dan
tanggal pembuatan
Pembacaan hasil untuk memastikan keberadaan
koloni bakteri (gram positif/negatif) pada hasil kultur
(spread plate) adalah dengan cara:
76
c) Metode analisis
1. Pembiakan Bakteri
A. Alat dan bahan
- Cawan petri steril (pteridish)
- Gelas ukur
- Pipet volume (micro pippet)
- Vortex
- Lampu bunsen
- 1 ml cairan pengumpul
- Aquadest steril
- Medium petri BAP (Blood Agar Plate)
- Kapas
- Inkubator
- Kertas yellow page
B. Cara kerja
- Siapkan 4 petridish steril.
- Tuangkan sampel ke dalam 3 petridis steril
masing-masing 1 ml lalu sebarkan pada media
dengan metode spread plate (sebar) menggunakan
batang L.
77
- Pada petridis ke 4 digunakan sebagai kontrol
(tanpa sampel).
- Diamkan petridish yang berisi sampel sampai
membeku. Kemudian masukan kedalam inkubator
pada suhu 37oC selama + 24 - 48 jam dengan
posisi petridis terbalik.
- Koloni yang tumbuh dihitung pada Coloni
Counter.
d) Perhitungan
R (koloni/ml) =
JK = R x V x 1000/m3
Q x t
Keterangan :
JK = Jumlah Total Koloni
R = Jumlah koloni rata-rata
V = larutan fisiologis (ml)
Q = Debit aliran udara (L/menit)
t = Lamanya waktu pengambilan sampel (menit)
a-c = Jumlah kuman di petridis a,b,dan c
e = Jumlah kuman pada petridis d (kontrol)
78
2. Alat ukur berat badan
Digunakan untuk mengatur berat badan responden, dengan
sistem injak. Alat menggunakan skala 0-180 dengan satuan kilogram
(kg). Alat ukur berat badan pada saat sebelum pengukuran harus selalu
berada pada skala 0 (kalibrasi).
3. Alat ukur tinggi badan
Menggunakan alat ukur tinggi badan microtoise. Skala alat ukur
ini sampai dengan 200 cm, dengan ketelitian 0,1 cm
Pembacaan hasil ukur pada posisi tegak lurus dengan mata (sudut
pandang mata dan skala microtoise harus sudut 900)
4. Kuesioner
Alat ukur yang digunakan untuk memperoleh karakteristik
individu responden dan terjadinya keluhan atau gejala SBS.
4.5 Pengolahan Data
Data-data yang ada diproses dari awal penelitian hingga akhir penelitian
sehingga terdiri dari beberapa tahapan pengolahan data yaitu:
4.5.1 Pengkodean
Pengkodean dilakukan dengan memberikan kode pada setiap jawaban dari
responden dan dari setiap variabel yang mengacu standar untuk mempermudah
dalam pengolahan data:
79
Variabel gejala fisik SBS [0] Kriteria gejala fisik SBS tidak ditemukan
[1] Kriteria gejala fisik SBS ditemukan
Variabel Jumlah [0] Baik dan bakteri patogen tidak ditemukan
koloni bakteri patogen [1] Buruk dan bakteri patogen ditemukan
Variabel Umur [0] Dibawah 30 tahun
[1] Diatas 30 tahun
Variabel jenis kelamin [0] Laki-laki
[1] Perempuan
Kebiasaan merokok [0] Tidak merokok
dalam ruang kerja [1] Merokok
Sensitivitas terhadap [0] Tidak sensitif
asap rokok [1] Sensitif
4.5.2 Pengeditan data
Pengeditan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan data yang telah
dikumpulkan dengan cara menjumlah serta menghubungkan (mengkorelasikan).
Yang dimaksud dengan menjumlah adalah menghitung banyaknya lembar daftar
kuesioner yang telah diisi untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan jumlah
yang telah ditentukan. Sedangkan yang dimaksud dengan korelasi adalah proses
80
membenarkan atau menyelesaikan apabila terdapat hal-hal yang salah atau tidak
jelas dalam pengisian kuesioner.
4.5.3 Pembuatan struktur data dan file
Struktur data dikembangkan sesuai dengan data analisis yang yang
dilakukan dan jenis perangkat lunak yang digunakan.
4.5.4 Pemasukan data
Pemasukan ke dalam program yang digunakan. Pada tahap ini data
dimasukkan ke dalam komputer dan diperiksa dengan menggunakan program
komputer.
4.5.5 Pembersihan data
Pembersihan data merupakan proses terakhir dalam pengolahan data. Pada
proses ini dilakukan koreksi terhadap kesalahan yang kemungkinan masih terjadi
pada saat data entry.
4.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji laboratorium dan uji statistik
dengan menggunakan program komputer. Analisis data terdiri dari:
4.6.1 Analisis Univariat
Untuk melihat distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel, baik gejala SBS
yang terjadi dan parameter kualitas udara dalam ruang.
81
4.6.2 Analisis Bivariat
Analisis data bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Dalam penelitian ini variabel kualitas
mikrobiologi udara yaitu jumlah koloni bakteri patogen, jenis kelamin, umur,
status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok dengan
variabel gejala fisik SBS dianalisis dengan menggunakan uji tes chi square pada
derajat kepercayaan 95% untuk mengetahui hubungan parameter bakteri patgen
udara dalam ruang dan faktor demografi dengan gejala-gejala fisik SBS pada
responden di Gedung X.
4.6.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat hubungan beberapa variabel
independen yaitu jumlah koloni bakteri patogen, jenis kelamin, umur, status gizi,
kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok dengan variabel
dependen yaitu kejadian gejala fisik SBS, sehingga diketahui variabel mana yang
dominan pengaruhnya terhadap variabel dependen.
82
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Gedung X
Gedung X merupakan gedung perkantoran di lokasi yang strategis, menempati
salah satu lokasi di kawasan pekantoran modern, Perusahaan X selaku perusahaan
yang bergerak di bidang jasa penyedia gedung perkantoran membangun proyek
gedung perkantoran berlantai 10 ini dengan tujuan menawarkan akses yang mudah
dan strategis bagi para customer-nya. Luas lahan yang ditempati oleh Gedung X
kurang lebih 2 ha, luas bangunan memiliki luas ± 1000 m2. Bangunan gedung terdiri
dari dari 10 lantai yang terdiri dari basement, ground floor, lantai 1 sampai lantai 10.
Jumlah karyawan yang menempati gedung X seluruhnya sekitar 693 orang dan
sisanya merupakan karyawan dari bagian pengelola Gedung X. Gedung X ini
beroperasi dari senin hingga jum’at sejak pukul 08.00-17.00. Sistem pendingin
ruangan yang digunakan sebagian besar menggunakan sistem AC sentral kecuali pada
area basement.
Ruangan yang diteliti meliputi 8 perusahaan yang terdapat di 10 lantai.
Terdapat sekitar 61 perusahaan yang menempati gedung ini. Lantai dua terbagi
menjadi 8 perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 8 orang
diambil dari 2 perusahaan. Lantai lima terbagi menjadi 8 perusahaan dengan jumlah
responden pada penelitian ini sebanyak 19 orang diambil dari 2 perusahaan. Lantai
enam terbagi menjadi 4 perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini
83
sebanyak 6 orang diambil dari 1 perusahaan. Lantai delapan terbagi menjadi 5
perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 8 orang diambil
dari 2 perusahaan. Lantai sepuluh terbagi menjadi 4 perusahaan dengan jumlah
responden pada penelitian sebanyak 5 orang diambil dari 1 perusahaan.
5.2 Analisa Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi analisa deskriptif data gambaran
kejadian gejala fisik SBS. Kemudian variabel jumlah koloni bakteri patogen udara
dan karakteristik responden seperti jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan
merokok dalam ruang, dan sensitifitas terhadap asap rokok.
5.2.1 Gambaran gejala fisik SBS
Pada penelitian kali ini, data mengenai keluhan-keluhan SBS di gedung X
atau ruangan yang dihuni responden dikumpulkan untuk melihat adanya gejala
dari sindrom ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk megetahui
apakah penghuni Gedung X tersebut mengalami kejadian gejala SBS atau tidak,
terlebih dahulu dilakukan penyeleksian terhadap keadaan kesehatan responden
penelitian tersebut. Jika responden penelitian tersebut saat sebelum memasuki
ruangan sudah mengeluhkan gejala-gejala sedang sakit dan memiliki riwayat
alergi dan astma, maka responden penelitian tersebut tidak akan dimasukkan ke
dalam sampel penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias terhadap
gejala-gejala SBS yang timbul setelah memasuki ruangan. Kemudian, 10-15
menit setelah memasuki ruangan, responden penelitian yang sesuai dengan
84
kriteria sampel pada ruangan tersebut akan diwawancara mengenai gejala-gejala
SBS, jika salah satu gejala tersebut dirasakan sedikitnya 30% dari jumlah
responden pada peneltian ini maka responden tersebut dinyatakan diduga
(suspect) SBS. Kemudian kriteria SBS tersebut ditegakkan dengan persyaratan
apabila responden yang merasakan gejala dengan presentase melebihi 30%
tersebut menghilang ketika sudah keluar atau pulang meninggalkan kantor, maka
responden tersebut dikatakan termasuk dalam kriteria responden dengan gejala
SBS. Begitu seterusnya dilakukan pada semua ruangan yang ada dalam gedung
tersebut. Kemudian dari 5 lantai yaitu lantai 2, lantai 5, lantai 6, lantai 8, dan
lantai 10 dan terdapat 8 perusahaan yang menempati lantai-lantai tersebut yang
menunjukkan adanya gejala fisik lebih dari 30%. Hasil jenis dan banyaknya
gejala fisik SBS responden penelitian yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Gejala-gejala fisik SBS yang ada Berdasarkan Jumlah
Responden yang Mengeluhkan Gejala fisik SBS di Gedung X Tahun 2013
No. Keluhan/Gejala fisik yang ada Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iritasi mata 4 8,7
2 Iritasi hidung 4 8,7
3 Iritasi tenggorokan 2 4,3
4 Rasa kekeringan pada bibir 17 37,0*
5 Kulit kering 19 41,3*
6 kulit gatal-gatal 1 2,2
7 Merah-merah pada kulit 0 0,0
8 Sakit kepala 6 13
9 Sulit berkonsentrasi 2 4,3
10 Rasa lelah 15 32,6*
11 Batuk-batuk 4 8,7
85
Tabel 5.1
Gejala-Gejala fisik terhadap Gejala SBS yang ada Berdasarkan Jumlah
Responden yang Mengeluhkan Gejala fisik SBS di Gedung X Tahun 2013
(Lanjutan)
No. Keluhan/Gejala fisik yang ada Jumlah (n) Persentase (%)
12 Pilek 9 19,6
13 Sakit telinga 2 4,3
14 Radang tenggorokan 3 6,5
15 Serak pada tenggorokan 7 15,2
16 Sesak nafas 1 2,2
17 Mual dan pusing-pusing 2 4,3
Ket: *) suspect SBS , >30% dari total responden
Berdasarkan tabel 5.1 mengindikasi bahwa keluhan gejala fisik SBS yang
ada bervariasi. Hasil keluhan secara keseluruhan responden yang didapatkan
menunjukkan bahwa gejala fisik SBS yang paling banyak dikeluhkan adalah
kulit kering sebanyak 19 responden (41,3%), kemudian rasa kekeringan pada
bibir sebanyak 17 responden (37,0%), rasa lelah sebanyak 15 responden (32,0%).
Sedangkan gejala fisik yang paling sedikit dirasakan adalah pilek sebanyak 9
responden (19,6), serak pada tenggorokan sebanyak 7 responden (15,2%), sakit
kepala sebanyak 6 responden (13%), batuk-batuk sebanyak 4 responden (8,7%),
iritasi mata sebanyak 4 responden (8,7%), iritasi hidung hanya sekitar 4
responden (8,7%),. Lalu sulit berkonsentrasi, radang tenggorokan sebanyak 3
responden (6,5%), dan iritasi tenggorokan, sulit berkonsentrasi, sakit telinga,
mual serta pusing-pusing sebanyak 2 responden (4,3%). Kulit gatal-gatal dan
sesak nafas masing-masing sebanyak 1 responden (2,2%), dan yang terakhir
merah-merah pada kulit tidak dirasakan satu pun responden (0,0%).
86
Tabel 5.2
Persentase Gejala SBS Berdasarkan Lantai dan Perusahaan Tempat
Responden Bekerja di Gedung X Tahun 2013
Lokasi Gejala fisik SBS
TOTAL SBS Non SBS
Lantai 2 Perusahaan 1 1 3 4
25% 75% 100%
Perusahaan 2 1 3 4
25% 75% 100%
Lantai 5 Perusahaan 3 4 6 10
40% 60% 100%
Perusahaan 4 7 2 9
78% 22% 100%
Lantai 6 Perusahaan 5 2 4 6
33% 67% 100%
Lantai 8 Perusahaan 6 3 1 4
75% 25% 100%
Perusahaan 7 1 3 4
25% 75% 100%
Lantai 10 Perusahaan 8 1 4 5
20% 80% 100%
Dari tabel 5.2 didapatkan bahwa gejala fisik SBS terbanyak terjadi di lantai
5 yaitu Perusahaan 4 dengan 7 kasus SBS (78%) dari 9 responden, lalu di lantai 5
yaitu Perusahaan 3 sebanyak 4 kasus SBS (40%) dari 10 responden, di lantai 8
terdapat Perusahaan 6 dengan 3 kasus dari 4 responden (75%), di lantai 6
Perusahaan 5 sebanyak 2 kasus dari 6 responden (33%), lalu dilantai 1 terdapat
Perusahaan 1, Perusahaan 2 dan dilantai 8 Perusahaan 7 yang masing-masing
terdapat 1 kasus dari 4 responden (25%), kemudian yang terakhir di lantai 10
Perusahaan 8 dengan 1 kasus dari 5 responden (20%) yang ada.
87
Tabel 5.3
Persentase Gejala-gejala Fisik SBS Berdasarkan Perusahaan Responden di
Gedung X Tahun 2013
No
.
Keluhan/Gejala
fisik yang ada
Perusaha
an 1
Perusaha
an 2
Perusah
aan 3
Perusaha
an 4
Perusaha
an 5
Perusaha
an 6
Perusa
haan 7
Peru
saha
an 8
Total
1 Iritasi mata 0 0 0 1 2 1 0 0 4
0% 0% 0% 25% 50% 25% 0% 0% 100% 2 Iritasi hidung 0 0 0 4 0 0 0 0 4
0% 0% 0% 100% 0% 0% 0% 0% 100% 3 Iritasi
tenggorokan 0 1 0 1 0 0 0 0 2
0% 50% 0% 50% 0% 0% 0% 0% 100% 4 Rasa
kekeringan
pada bibir
1 1 1 6 4 3 1 0 17
6% 6% 6% 35% 24% 18% 6% 0% 100% 5 Kulit kering 1 1 4 6 4 2 1 0 19
5% 5% 21% 32% 21% 11% 5% 0% 100% 6 Kulit gatal-
gatal 0 0 0 0 0 1 0 0 1
0% 0% 0% 0% 0% 100% 0% 0% 100% 7 Merah-merah
pada kulit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 8 Sakit kepala 1 0 1 3 0 1 0 0 6
17% 0% 17% 50% 0% 17% 0% 0% 100% 9 Sulit
berkonsentrasi 1 0 1 0 0 0 0 0 2
50% 0% 50% 0% 0% 0% 0% 0% 100% 10 Rasa lelah 1 0 4 6 1 2 1 0 15
7% 0% 27% 40% 7% 13% 7% 0% 100% 11 Batuk-batuk 0 0 1 3 0 0 0 0 4
0% 0% 25% 75% 0% 0% 0% 0% 100% 12 Pilek 1 0 2 4 1 1 0 0 9
11% 0% 22% 44% 11% 11% 0% 0% 100% 13 Sakit telinga 0 1 0 1 0 0 0 0 2
0% 50% 0% 50% 0% 0% 0% 0% 100% 14 Radang
tenggorokan 0 1 0 2 0 0 0 0 3
0% 33% 0% 67% 0% 0% 0% 0% 100% 15 Serak pada
tenggorokan 0 1 1 3 2 0 0 0 7
0% 14% 14% 43% 29% 0% 0% 0% 100%
88
Tabel 5.3
Persentase Gejala-gejala Fisik SBS Berdasarkan Perusahaan Responden di
Gedung X Tahun 2013 (Lanjutan)
No
.
Keluhan/Gejala
fisik yang ada
Perusaha
an 1
Perusaha
an 2
Perusah
aan 3
Perusaha
an 4
Perusaha
an 5
Perusaha
an 6
Perusa
haan 7
Peru
saha
an 8
Total
16
Sesak nafas
0
1
0
0
0
0
0 1
0% 100% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 100% 17 Mual dan
pusing-pusing 0 0 0 2 0 0 0 0 2
0% 0% 0% 100% 0% 0% 0% 0% 100%
Berdasarkan tabel 5.3 mengindikasi bahwa keluhan gejala fisik SBS yang
ada bervariasi di kedelapan perusahaan. Hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa gejala SBS paling banyak dikeluhkan responden adalah kulit kering, yang
paling banyak dirasakan di Perusahaan 4 yaitu sebanyak 6 responden (32,0%).
Kemudian gejala SBS seperti rasa kekeringan pada bibir sebanyak 6 responden
(35,0%) yang paling banyak terdapat pada juga di Perusahaan 4. Kemudian rasa
lelah sebanyak 6 responden (40,0%) juga paling banyak dialami di Perusahaan 4.
Kemudian pilek dirasakan paling banyak juga di Perusahaan 4 yakni sebanyak 4
responden (44,0%), Sakit kepala sebanyak 4 responden (40,0%), serak pada
tenggorokan sebanyak 3 responden (43,0%) yang juga banyak dirasakan di
Perusahaan 4.
89
Tabel 5.4
Gejala fisik SBS yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Terakhir
Saat Bekerja di Dalam Gedung X 2013
N
o
Keluhan/Gejala
fisik yang ada
Frekuensi Gejala fisik SBS yang Dirasakan
Responden Saat di Dalam Gedung Selama 1 Bulan
1-3 kali
terjadi
1-3 kali
terjadi
dalam
sepekan
setiap
hari/hampir
setiap hari
Total
1 Iritasi mata,
hidung,
tenggorokan
6 3 1 10
60% 30% 10% 2 Rasa kekeringan
bibir 3 10 4 17
18% 59% 24% 3 Kulit kering,
gatal, merah-
merah
6 10 4 20
30% 50% 20% 4 Lelah dan sulit,
berkonsentrasi 9 7 1 17
52% 41% 7% 5 Infeksi
pernafasan dan
batuk-batuk
5 9 1 15
33% 60% 7% 6 Serak dan sesak
nafas 3 5 3 8
38% 63% 0% 7 Mual dan
pusing-pusing
0 2 0 0
0% 100% 0%
Dari tabel 5.4 terlihat bahwa frekuensi gejala-gejala yang timbul dalam
satu bulan terakhir di Gedung X ini terjadi bervariasi. Didapat frekuensi
terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 kali terjadi dalam sebulan adalah sakit
kepala, lelah, sulit, berkonsentrasi sebanyak 9 responden (69,0%), dan frekuensi
terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 terjadi dalam sepekan adalah kumpulan
gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 10 responden (50%) dan rasa
kekeringan bibir yang juga sebanyak 10 responden (59%) , serta frekuensi
90
terbanyak yang dirasakan setiap hari atau hampir setiap hari adalah gejala rasa
kekeringan bibir sebanyak 4 responden (24%) dan kumpulan gejala kulit kering,
gatal, merah-merah sebanyak 4 responden (20%).
Tabel 5.5
Frekuensi Gejala SBS yang Dirasakan Responden Berdasarkan Hari
Selama 1 BulanTerakhir di Gedung X 2013
No. Keluhan/Gejala fisik yang ada
Gejala yang dirasakan
responden selama sebulan
terakhir dalam hari
Hari/Bulan %
1 Iritasi mata, hidung,
tenggorokan 67 14%
2 Rasa kekeringan bibir 109 22%
3 Kulit kering, gatal, merah-
merah 118 24%
4 Sakit kepala, lelah, sulit,
berkonsentrasi 84 17%
5 Infeksi pernafasan dan batuk-
batuk 48 10%
6 Serak dan sesak nafas 30 6%
7 Mual dan pusing-pusing 36 7%
Total 472 100
Dari tabel 5.5 didapat bahwa gejala yang tersering dirasakan responden
penelitian dalam satu bulan terakhir dihitung dalam hari adalah kumpulan gejala
kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 188 hari (24%) Disusul gejala
kekeringan pada bibir sebanyak 109 hari (22%). Kemudian gejala kumpulan
gejala sakit kepala, lelah, sulit berkonsentrasi sebanyak 84 hari (17%) dari total
hari semua gejala.
91
Tabel 5.6
Frekuensi Responden yang Masih Merasakan Gejala-Gejala SBS Setelah
Keluar Gedung, Ketika Berlibur/Cuti, dan Waktu Dimana Gejala-Gejala
SBS Dirasakan Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Kondisi Responden
Masih
merasakan
n (%)
Sudah Tidak
merasakan
n (%)
Total
n (%)
Responden yang masih merasakan
gejala-gejala SBS setelah keluar
dari gedung tempat bekerja
12
(37,5%)
20
(62,5%)
32
(100%)
Dari tabel 5.6 didapat bahwa frekuensi responden yang masih merasakan
gejala-gejala SBS setelah keluar dari Gedung X yaitu sebanyak 12 responden
(37,5%) masih merasakan sehingga 12 responden ini tidak termasuk sebagai
responden yang mengalami gejala SBS, dan sebanyak 20 responden (62,5%) sudah
tidak merasakan gejala-gejala SBS setelah keluar dari gedung, 20 responden inilah
yang masuk ke dalam kriteria responden dengan gejala SBS.
Tabel 5.7
Kapabilitas (Kemampuan/Kualitas) Responden yang Berkurang dan
Responden yang Meninggalkan Pekerjaan Dalam Satu Bulan Terakhir
Karena Gejala-Gejala Fisik SBS
Hari/
Bulan
Rata-Rata/
Responden
frekuensi kapabilitas
(kemampuan/kualitas) responden
berkurang dalam satu bulan karena gejala-
gejala SBS
62 3,1
frekuensi responden yang meninggalkan
pekerjaan atau tidak masuk kerja dalam
satu bulan karena gejala-gejala SBS
21 1,05
Dari tabel 5.7 dilihat bahwa frekuensi kapabilitas (kemampuan/kualitas)
bekerja responden yang berkurang dalam satu bulan sebanyak 62 hari dengan
92
rata-rata 3,1 hari. Lalu fekuensi responden yang meninggalkan pekerjaan atau
tidak masuk kerja karena gejala-gejala SBS yang dirasakan yaitu sebanyak 21
hari dengan rata-rata 1,05 hari.
5.2.1.1 Penentuan Kasus SBS
A. Jumlah Kasus Umum
Pada penelitian ini, dikatakan SBS apabila pekerja merasakan
gejala yang memenuhi kriteria kasus dan salah satu gejala tersebut
dialami oleh 30% dari kasus yang ditemukan saat pengambilan data
primer (kuesioner), dan gejala tersebut hanya dialami saat responden
berada di dalam gedung kantor dan hilang saat berada di luar kantor
atau di rumah. Kemudian dilakukan pengelompokan gangguan
kesehatan terhadap keluhan gejala fisik SBS yang paling banyak
dikeluhkan responden yaitu adalah kulit kering, rasa kekeringan
pada bibir, dan rasa lelah. Sehingga responden yang merasakan ke
tiga gejala tersebut masuk ke dalam kriteria kasus SBS. Berikut
adalah distribusi dan frekuensi kasus keluhan gejala fisik SBS pada
responden dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Gejala Fisik SBS
Pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
SBS Jumlah (n) %
Tidak Mengalami Gejala 26 56,5
Mengalami gejala 20 43,5
Total 100
93
Dari tabel 5.8 Dapat terlihat bahwa terdapat 20 responden
(43,5%) mengalami SBS sedangkan 26 responden (56,5%) tidak
mengalami kasus SBS. Angka responden yang mengalami Kasus
gejala SBS ini terbilang tinggi karena jumlah responden yang
mengalami SBS hampir dua kali lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah responden yang tidak mengalami SBS.
5.2.2 Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X
Gambaran jumlah koloni bakter patogen udara dalam Gedung X tahun
2013.
Tabel 5.9
Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X Tahun
2013
Sampel Perusahaan
(Lantai) Cawan Jumlah
Bakteri
Cawan
Control
Total
koloni/m3
Bakteri
Hemolisis Keterangan Α Β
1 Perusahaan
1
(Lt.2)
1
2
3
122
31
21
3 610
koloni
- - BAIK
(tidak lebih dari
700koloni/m3 dan tidak
terdapat bakteri patogen
hemolitik)
2 Perusahaan
2
(Lt.2)
1
2
3
51
60
73
7 683
koloni
- 3 BURUK (tidak lebih dari 700
koloni/m3, Namun masih
terdapat bakteri patogen
hemolitik)
3 Perusahaan
3
(Lt.5)
1
2
3
64
71
53
5 676
koloni
- - BAIK (tidak lebih dari
700koloni/m3dan tidak
terdapat bakteri patogen
hemolitik)
94
Tabel 5.9
Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X Tahun 2013
(Lanjutan)
Sampel Perusahaan
(Lantai) Cawan Jumlah
Bakteri
Cawan
Control
Total
koloni/m3
Bakteri
Hemolisis Keterangan
A B
4 Perusahaan
4
(Lt.5)
1
2
3
211
237
376
4 2786
koloni
- 1 BURUK (lebih dari 700 koloni/m
3
dan terdapat bakteri
patogen hemolitik)
5 Perusahaan
5
(Lt.6)
1
2
3
276
252
331
3 2893
koloni
- 7 BAIK
(lebih dari 700
koloni/m3, dan terdapat
bakteri patogen
hemolitik)
6 Perusahaan
6
(Lt.8)
1
2
3
53
62
96
2 723
koloni
1 1 BURUK (lebih dari 700 koloni/m
3
dan terdapat bakteri
patogen hemolitik)
7 Perusahaan
7
(Lt.8)
1
2
3
171
189
224
4 1986
koloni
- 1 BURUK (lebih 700 koloni/m
3 dan
terdapat bakteri patogen
hemolitik)
8 Perusahaan
8
(Lt.10)
1
2
3
148
0
0
6 573
koloni
- - BAIK (tidak melebihi 700
koloni/m3 dan tidak
terdapat bakteri patogen
hemolitik)
Dari tabel 5.9 Pada hasil pengujian kualitas mikrobiologi udara pada ruang
kerja diperoleh hasil bahwa dari 5 perusahaan dari 8 perusahaan yang diuji
kualitas mikrobiologi udaranya diketahui melampaui Nilai Ambang Batas (NAB)
yang telah ditentukan oleh Kepmenkes No.1405/Menkes/SK/XI/2002 dimana
tercantum bahwa jumlah koloni bakteri dalam suatu ruangan kerja tidak boleh
melebihi 700 koloni/m3 udara dan tidak boleh ada bakteri patogen. Lima
perusahaan yang tersebut tadi telah melebihi NAB yang telah ditentukan dengan
95
jumlah koloni bakteri yang paling banyak terdapat pada Perusahaan 5 (2893
koloni/m3 dan 7 bakteri patogen hemolitik beta), lalu disusul Perusahaan 4 (2786
koloni/m3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta). Perusahaan yang memenuhi
persyaratan atau ketentuan Depkes RI adalah Perusahaan 8 (576 koloni/m3),
Perusahaan 1 (610 koloni/m3), dan Perusahaan 3 (676 koloni/m
3) pada ruang
kerjanya. Namun perusahaan dengan jumlah koloni dibawah 700 koloni/m3
seperti Perusahaan 2 masih dikatakan belum memenuhi persyaratan Depkes RI
dikarenakan masih terdapat bakteri patogen hemolitik beta pada sampel yang
diambil pada ruang kerja perusahaan tersebut.
5.2.3 Distibusi Frekuensi Karakteristik Responden
Gambaran distribusi karakteristik pekerja pada responden penelitian di
Gedung X tahun 2013.
Tabel 5.10.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden
Penelitian Sesuai Jenis Kelamin Responden Penelitian di Gedung X Tahun
2013
Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
Laki-laki 25 54,3
Perempuan 21 45,7
Total 46 100
Dilihat dari tabel 5.10.1 jumlah total responden dalam penelitian ini
sebanyak 46 responden. Distribusi frekuensi jenis kelamin responden dapat
dilihat dari tabel 5.12.1 bahwa sebagian besar responden adalah laki-laki yaitu 25
orang (54, 3%) dan perempuan sebanyak 21 orang (45, 7%).
96
Tabel 5.10.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden
Penelitian Sesuai Kebiasaan Merokok dalam Ruangan Responden
Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Variabel Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
Kebiasaan Merokok dalam
ruang kerja
Tidak Terbiasa 37 80,4
Terbiasa 9 19,6
Total 46 100
Sensitivitas terhadap Asap
Rokok
Tidak Sensitif 19 41,3
Sensitif 27 58,7
Total 46 100
Dilhat dari tabel 5.10.2 didapatkan distribusi frekuensi merokok dalam
ruangan responden dapat dilihat bahwa sebanyak 37 responden (80, 4%) tidak
merokok, dan sebanyak 9 responden (19, 6%) merokok. Kemudian distribusi
frekuensi responden yang tidak sensitif terhadap asap rokok dalam ruang dapat
dilihat sebanyak 19 responden (41,3%), dan sebanyak 27 responden (58,7%)
sensitif.
Tabel 5.10.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden
Penelitian Sesuai Umur dalam Ruangan Responden Penelitian di Gedung X
Tahun 2013
Kelompok Umur
(tahun)
Jumlah (n) Persentase (%)
<30 29 63
>30 17 37
Berdasarkan tabel 5.10.3 diketahui gambaran disribusi kelompok umur
responden penelitian <30 tahun sebesar 63% sedangkan kelompok umur
responden penelitian >30 tahun sebesar 37%.
97
Tabel 5.10.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden
Penelitian Sesuai Status Gizi dalam Ruangan Responden Penelitian di
Gedung X Tahun 2013
Status Gizi Jumlah (n) Persentase (%) Mean SD Min-Max
Tidak Normal 12 26,1 21,96 3,894 16-39
Normal 34 73,9
Total 46 100
Berdasarkan tabel 5.10.4 didapatkan pula gambaran disribusi status gizi
responden penelitian ditempat kerja yang tidak normal sebanyak 12 responden
(26,1%), dan yang normal sebanyak 34 responden (73, 9%) dengan rata-rata IMT
responden penelitian ditempat kerja adalah 21,95 dengan standar deviasi 3,89.
IMT responden penelitian ditempat ruangan terrendah adalah 16, 04 dan tertinggi
adalah 39,06.
5.3 Analisa Bivariat
Analisis Bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. dalam penelitian ini menggunakan uji chi-square, Mann
Whitney dan uji T-test. Uji chi-square dilakukan untuk mencari hubungan antara
variabel Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis Kelamin, Umur, Status Gizi,
Kebiasaan merokok dalam ruangan dengan variabel gejala fisik SBS.
98
5.3.1 Hubungan Antara Jumlah Bakteri Patogen Udara dalam Ruang Kerja
dengan Gejala Fisik SBS
Tabel 5.11
Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang
Kerja Dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X
Tahun 2013
Jumlah
Bakteri
Patogen
Udara
Gejala Fisik SBS
Tidak Ya Total P
value
PR 95% CI
N % N % N %
Baik 13 65 7 35 20 100 0,473 1,300
Buruk 13 50 13 50 26 100 0,788-2,146
Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa responden yang bekerja pada
ruangan dengan jumlah koloni bakteri udara yang buruk sebagian besar
mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 13 orang (50%). Sedangkan
responden yang bekerja pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri udara yang
baik sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 13 orang
(65%). Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diketahui jumlah koloni bakteri
udara tidak memiliki hubungan yang bermakna (P value>0,05) dengan gejala
fisik SBS, P value = 0,473.
99
5.3.2 Hubungan antara Karakteristik Responden Penelitian (Jenis Kelamin,
Umur, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap
Asap Rokok) dengan Gejala fisik Sick Building Sydrome pada
Responden Penelitian di Gedung X tahun 2013
Hubungan antara karakteristik pekerja berdasarkan (Jenis Kelamin, Umur,
Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan
gejala fisik SBS pada responden penelitian Gedung X tahun 2013 dapat dilihat
pada tabel 5.12
Tabel 5.12
Hubungan antara karakteristik responden (Jenis Kelamin, Status Gizi,
Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan gejala
fisik Sick Building Sydrome pada responden penelitian Gedung X tahun
2013
Karakteristik
responden penelitian Kategori
Gejala Fisik SBS
Tidak Ya Total P
value
PR 95%
CI
N % N % N %
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 80 5 20 25 100 0,001 2,800
Perempuan 6 28,6 15 71,4 21 100
1,385-
5,662
Umur
<30 Tahun 14 48,3 15 51,7 29 100 0,244 0,684
>30 Tahun 12 70,6 5 29,4 17 100 0,421-
1,112
Status Gizi
Normal 20 58,8 14 41,2 34 100 0,848 1,176
Tidak
Normal 6 50,0 6 50,0 12 100
0,625-
2,213
Kebiasaan Merokok
Tidak
terbiasa 18 50,0 18 50,0 36 100 0,150 0,625
Terbiasa 8 80,0 2 20,0 10 100
0,398-
0,980
Sensitivitas terhadap
Asap Rokok
Tidak
Sensitif 15 78,9 4 21,1 19 100 0,023 1,938
Sensitif 11 40,7 16 59,3 27 100 1,163-
3,229
100
5.3.2.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS
pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki jenis kelamin perempuan sebagian besar mengalami gejala fisik
SBS yaitu sebanyak 15 responden (71,4%). Sedangkan pada responden
yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebagian besar tidak mengalami
gejala fisik SBS yaitu sebanyak 20 orang (80.0%). Sehingga berdasarkan
hasil uji statistik chi-square diketahui jenis kelamin responden penelitian
memiliki hubungan yang bermakna (P value <0,05) dengan gejala fisik
SBS, P value = 0,001. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh
PR = 2,800 (95% CI 1,385-5,662) artinya responden yang memiliki jenis
kelamin perempuan berpeluang 2,800 kali untuk mengalami gejala fisik
SBS dibandingkan dengan responden laki-laki.
5.3.2.2 Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS pada
Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan rata-rata umur responden
penelitian adalah 29.67 atau 30 tahun. Dan lalu diketahui bahwa responden
yang memiliki umur di atas 30 tahun sebagian besar mengalami gejala fisik
SBS yaitu sebanyak 5 responden (29,4%). Sedangkan pada responden yang
umur dibawah 30 tahun sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS
yaitu sebanyak 14 orang (48,3%). Sehingga berdasarkan hasil uji statistik
101
chi-square diketahui umur responden penelitian tidak memiliki hubungan
yang bermakna (P value>0,05) dengan gejala fisik SBS, P value = 0,244.
Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 0,684 (95% CI
0,421-1,112).
5.3.2.3 Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS pada
Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki status gizi tidak normal sebagian besar mengalami gejala fisik
SBS yaitu sebanyak 6 orang (50,0%).Sedangkan responden yang memiliki
status gizi normal sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS yaitu
sebanyak 14 orang (41,2%). Berdasarkan hasil uji statistik chi-square
diketahui status gizi responden penelitian tidak memiliki hubungan yang
bermakna (P value>0,05) dengan gejala fisik SBS, P value = 0,848.
Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 1,176 (95% CI
0,625-2,213).
5.3.2.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dan
Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS
pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki kebiasaan merokok dalam ruangan dan mengalami keluhan SBS
102
yaitu sebanyak 2 orang (20,0%). Sedangkan responden yang tidak memiliki
kebiasaan merokok dalam ruang kerja dan tidak mengalami keluhan SBS
yaitu sebanyak 18 orang (50,0%). berdasarkan hasil uji statistik chi-square
diketahui kondisi merokok responden penelitian tidak memiliki hubungan
yang bermakna (P value>0,05) dengan keluhan SBS, P value = 0,150.
Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 0,023 (95% CI
1,163-3,229).
Mungkin saja hal ini terjadi karena tingkat SBS pada responden
penelitian yang tidak merokok cukup tinggi yaitu sebanyak 36 responden
(78,3%) sebab dibandingkan dengan perokok aktif, perokok sensitif jauh
lebih peka terhadap efek dari asap rokok yang ada disekitarnya.
Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki sesitivitas terhadap asap rokok dan mengalami keluhan SBS yaitu
sebanyak 16 orang (59,3%) dan tidak ada perokok aktif yang memiliki
sensitivitas terhadap asap rokok ini. Sedangkan responden yang tidak
memiliki sensitivitas terhadap asap rokok dan tidak mengalami keluhan
SBS yaitu sebanyak 15 orang (78,9%). berdasarkan hasil uji statistik chi-
square diketahui kondisi sensitivitas responden penelitian terhadap asap
rokok memiliki hubungan yang bermakna (P value<0,05) dengan keluhan
SBS, P value = 0,023. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh
PR = 1,938 (95% CI 1,163-3,229) artinya responden yang sensitivitas
terhadap asap rokok perempuan berpeluang 1,938 kali untuk mengalami
103
gejala fisik SBS dibandingkan dengan yang tidak memiliki sensitivitas
terhadap asap rokok.
5.4 Analisa Multivariat
Analisis Multivariat dilakukan untuk melihat variabel independen mana yang
paling berpengaruh terhadap terjadinya keluhan Sick Building Sydrome. Tahapan
yang dilakukan dalam analisis multivariat meliputi pemilihan kandidat multivariat,
pembuatan model dan analisis interaksi.
A. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat
Adapun untuk pemilihan variabel kandidat, variabel-variabel independen
yang ada terlebih dahulu dilakukan analisis bivariat dengan variabel dependen
yaitu Sick Building Sydrome. Setelah melalui analisis bivariat, variabel dengan
nilai P value <0,25 dan mempunyai kemaknaan secara substansi dapat dijadikan
kandidat yang akan dimasukkan ke dalam model multivariat. Namun dalam hal
ini semua variabel dianggap mempunyai kemaknaan secara substansi sehingga
semua dianggap sebagai kandidat untuk dianalisis. Hasil analisis bivariat antara
variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.13.
104
Tabel 5.13
Hasil Analisis Bivariat antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis
Kelamin, Umur, Status gizi, Kebiasaan Merokok dan Sensitivitas terhadap
Asap Rokok dengan SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013
No. Variabel P value
1 Jumlah Koloni Bakteri Patogen 0,473
2 Jenis Kelamin 0,001
3 Umur 0,244
4 Status Gizi 0,848
5 Kebiasaan Merokok dalam ruang 0,150
6 Sentivitas Terhadap Rokok 0,023
B. Pembuatan model
Analisis multivariat dengan faktor prediksi dilakukan untuk mendapatkan
model yang terbaik dalam menentukan determinan keluhan SBS. Dengan
pemodelan ini semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama. Model
terbaik akan dipertimbangkan pada nilai P value <0,1. Pemilihan model dilakukan
secara hirarki dengan cara semua variabel independen yang menjadi kandidat
yang memenuhi syarat dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel P value
>0,1 dikeluarkan dari model satu-persatu. Secara keseluruhan hasil pembuatan
model faktor penentu dapat dilihat pada tabel 5.14.
105
Tabel 5.14
Hasil Analisis Multivariat Pembuatan Model Variabel Independen dengan
Keluhan SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013
Dari hasil analisis data yang ditunjukkan tabel 5.14 diketahui bahwa enam
variabel yang dianalisis, terdapat dua variabel yang masuk ke dalam permodelan
akhir uji regresi. Tabel 5.14 menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin dan
sensivitas terhadap asap rokok pada responden penelitian mempunyai P value (P
wald) <0,1. hal tersebut menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin dan
sensivitas terhadap asap rokok merupakan variabel yang mempunyai hubungan
secara signifikan dengan keluhan SBS. Sedangkan untuk variabel lainnya
dikeluarkan karena mempunyai P value (P wald) >0,1. Hasil analisis multivariat
untuk variabel jenis kelamin dan sensivitas terhadap asap rokok setelah variabel
jumlah koloni bakteri patogen, kebiasaan merokok, status gizi, dan umur
dikeluarkan dapat dilihat pada tabel 5.15.
No. Variabel Model 1 Model2 Model 3 Model 4 Model 5
1 Jumlah Koloni Bakteri Patogen 0,442 0,470 0,441 - -
2 Jenis Kelamin 0,014 0,10 0,006 0,003 0,003
3 Umur 0,310 0,274 0,318 0,223 -
4 Status Gizi 0,566 0,506 - - -
5 Kebiasaan Merokok 0,778 - - - -
6 Sensitivitas Terhadap Asap Rokok 0,055 0,041 0,048 0,059 0,044
106
Tabel 5.15
Hasil Akhir Permodelan Variabel Independen dengan Gejala Fisik SBS
Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013
No. Variabel B P wald Exp(B) 95% CI
1 Jenis Kelamin 2,211 0,003 9,124 2,153-38,656
2 Sensitivitas terhadap asap
rokok 1,565 0,044 4,782 1,044-21,893
Hasil tabel 5.15 diperoleh bahwa nilai PR jenis kelamin 9,124, artinya
responden penelitian berjenis kelamin perempuan berpeluang untuk mengalami
keluhan SBS sebesar 9,124 kali dibandingkan dengan responden penelitian
berkjenis kelamin laki-laki. Kemudian hasil analisis diperoleh bahwa pada nilai
PR sensitivitas terhadap asap rokok 4,782, artinya pada responden penelitian
yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok, akan mengalami keluhan SBS
sebesar 4,782 kali dibandingkan pada responden penelitian yang tidak sensitif
terhadap asap rokok.
Kemudian setelah didapat nilai PR dari kedua variabel terakhir yang masuk
permodelan diambilah kesimpulan bahwa variabel jenis kelamin menjadi faktor
yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS yang
terjadi dengan nilai PR yang lebih besar dari variabel sensitivitas terhadap asap
rokok.
107
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang bertujuan untuk
mencari hubungan antara jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang dan faktor
demografi dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian dengan
melakukan pengukuran sesaat. Namun baik variabel faktor risiko maupun variabel
efek dinilai bersamaan. Faktor-faktor risiko serta efek diukur menurut keadaan atau
statusnya pada waktu observasi, jadi tidak ada tindak lanjut atau follow up.
Pada studi ini masih ditemukan beberapa keterbatasan dan kekurangan,
meliputi:
Sulitnya menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada saat bersamaan, akibatnya tidak mungkin ditentukan mana
penyebab dan mana akibat.
Timbulnya gejala SBS pada responden penelitian hanya berdasarkan persepsi,
kemampuan mengingat dan kerjasama responden tanpa ditunjang dengan
pemeriksaan klinik atau laboratorium dan dibatasi hanya pada ada atau tidak
adanya gejala selama periode waktu penelitian.
Penentuan responden dibatasi oleh pihak pengelola gedung terkait masalah
perizinan, karena hal tersebut peneliti tidak dapat mempresentasikan secara
keseluruhan kejadian gejala fisik SBS di Gedung X
108
Secara teori terdapat beberapa variabel seperti kualitas kimia dan fisik udara yang
mungkin berhubungan dengan keluhan SBS, namun variabel tersebut tidak diteliti
karena keterbatasan waktu dan biaya. Oleh karena itu, penelitian ini hanya
dibatasi pada faktor mikrobiologi udara (bakteri patogen) dan karakteristik
responden (jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok dalam ruang, dan
sensitivitas responden terhadap asap rokok)
Pengukuran jumlah koloni bakteri patogen dalam ruang kerja tidak diukur secara
terus menerus pada periode tertentu dan tidak dilakukan pengulangan dalam
periode pengukuran. Fluktuasi data dan kecenderungan kualitas mikrobiologi
udara dalam ruangan tidak bisa ditentukan secara tepat.
Alat yang digunakan dalam pengukuran kecepatan udara tidak terlalu sensitif
terhadap udara yang ada, sehingga dikhawatirkan hal ini dapat mempengaruhi
hasil pengukuran yang ada.
6.2 Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
SBS merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas
udara dalam ruangan, yang terjadi minimal satu gejala dirasakan oleh 30% dari total
responden di dalam gedung (WHO, 2005). Kemudian penentuan gejala fisik SBS
ditopang juga oleh Indikator SBS yang dikutip dari EPA Indoor Air Facts No. 4
(1991):
a. Responden penelitian dalam gedung mengeluhkan gejala-gejala
ketidaknyamanan akut seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan,
109
batuk kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan berkonsentrasi,
lelah dan bau
b. Penyebab dari gejala-gejala tidak diketahui
c. Kebanyakan responden penelitian sembuh setelah meninggalkan gedung
Berdasarkan hasil penelitian ternyata keluhan terhadap kasus gejala fisik SBS
terlihat bahwa 20 responden (43,5%) mengalami gejala fisik SBS dan 26 responden
(43,5%) tidak mengalami kasus gejala fisik SBS. Angka tersebut merupakan angka
yang cukup tinggi dalam kasus ini karena hampir setengah dari jumlah total
responden mengalami gejala fisik SBS. Berdasarkan jumlah yang ada, sebaiknya
keluhan yang ada ini sangat perlu diwaspadai untuk kemudian dilakukan penanganan
dan pencegahan terhadap keluhan yang ada, agar keluhan yang ada dapat dikurangi
dan tidak bertambah banyak di kemudian hari.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa gejala fisik SBS yang paling
banyak dikeluhkan adalah kulit kering sebanyak 19 responden (41,3%), kemudian
rasa kekeringan pada bibir sebanyak 17 responden (37,0%), rasa lelah sebanyak 15
responden (32,0%). Sedangkan gejala fisik yang paling sedikit dirasakan adalah pilek
sebanyak 9 responden (19,6), serak pada tenggorokan sebanyak 7 responden (15,2%),
sakit kepala sebanyak 6 responden (13%), batuk-batuk sebanyak 4 responden (8,7%),
iritasi mata sebanyak 4 responden (8,7%), iritasi hidung hanya sekitar 4 responden
(8,7%). Lalu sulit berkonsentrasi, radang tenggorokan sebanyak 3 responden (6,5%),
dan iritasi tenggorokan, sulit berkonsentrasi, sakit telinga, mual serta pusing-pusing
110
sebanyak 2 responden (4,3%). Kulit gatal-gatal dan sesak nafas masing-masing
sebanyak 1 responden (2,2%), dan yang terakhir merah-merah pada kulit tidak
dirasakan satupun responden (0,0%).
Hal di atas sejalan dengan pendapat Bobic et al., 2009, Eriksson dan Stenberg
2006 dalam Wahab 2010 bahwa gejala-gejala SBS dikelompokkan dalam beberapa
kategori gejala fisik antara lain: Pertama, iritasi membran mukosa ditandai dengan
gejala seperti iritasi mata, iritasi tenggorokan, iritasi bibir, batuk, kulit kering, mata
kering, hidung atau tenggorokan kering. Kedua, Efek neurotoksik ditandai dengan
sakit kepala, kelelahan, sulit berkonsentrasi, pingsan. Ketiga gejala pernapasan
ditandai dengan sulit bernapas, batuk, bersin, nyeri dada, dada seperti tertekan.
Keempat, gejala kulit seperti kemerahan, kering dan ruam. Terakhir, perubahan
sensor kimia seperti meningkatnya persepsi abnormal dengan gangguan penglihatan.
Kemudian didapat bahwa frekuensi gejala-gejala yang timbul dalam satu bulan
terakhir di gedung X ini terjadi bervariasi. Didapat frekuensi terbanyak gejala yang
dirasakan 1-3 kali terjadi dalam sebulan adalah sakit kepala, lelah, sulit,
berkonsentrasi sebanyak 9 responden (69,0%), dan frekuensi terbanyak gejala yang
dirasakan 1-3 terjadi dalam sepekan adalah kumpulan gejala kulit kering, gatal,
merah-merah sebanyak 10 responden (50%) dan rasa kekeringan bibir yang juga
sebanyak 10 responden (59%) , serta frekuensi terbanyak yang dirasakan setiap hari
atau hampir setiap hari adalah gejala rasa kekeringan bibir sebanyak 4 responden
(24%) dan kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 4 responden
(20%).
111
6.3 Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang
Kerja Dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X
Tahun 2013
Hasil uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah koloni
bakteri patogen udara dalam ruangan dengan kejadian gejala fisik SBS. Persentase
terbesar responden mengalami gejala fisik SBS terjadi pada ruangan dengan jumlah
koloni bakteri tidak normal atau tidak sesuai Nilai Ambang Batas (NAB) yang
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu 700 koloni bakteri/m3. Namun
persentase kejadian gejala fisik SBS ini juga dinilai tinggi terjadi pada ruangan yang
telah sesuai dengan NAB bakteri udara dalam ruang. Penyebab tingginya persentase
responden yang mengalami SBS justru pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri
normal, diduga karena ditemukannya jamur khas yang biasa ditemukan di ruangan
dan merupakan pemicu kejadian SBS. Apabila mengacu pada ECC (Soto, 2009),
keberadaan mikroorganisme udara dalam ruangan dalam jumlah ambang normal yaitu
<50 cfu/m3 (bakteri) dan 25 cfu/m
3 (jamur) patut diwaspadai karena potensial
menyebabkan gejala SBS.
Hasil penelitian Sulistiowati (2001) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara jumlah koloni mikroorganisme di dalam udara ruangan. Burge
dalam Lunau (1990) menyebutkan bahwa keberadaan bakteri dan jamur menunjukkan
tidak ada korelasi bermakna dengan terjadinya gejala SBS. Penelitian ini
menyebutkan bahwa korelasi bermakna terjadi pada kemampuan mikroorganisme
yang ditemukan di udara dalam memproduksi toksin.
112
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara jumlah koloni mikroorganisme khususnya jamur terhadap kejadian SBS pada
lingkungan kerja non-industri (Kolstad, 2000). Penelitian Marmot (2006)
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni mikroorganisme
dalam udara ruang dengan kejadian SBS. Marmot mengambil kesimpulan dari
penelitiannya bahwa kondisi fisik lingkungan kerja tidak terlalu penting dibandingkan
faktor psikososial pekerja yaitu beban kerja.
Penelitian Prasasti (2004) menyatakan bahwa jumlah koloni jamur di udara
mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri udara
terhadap kejadian SBS di ruang kerja. Prasasti juga menyebutkan bahwa jamur
berpengaruh terhadap gejala SBS berupa iritasi hidung dengan risiko sebesar 16,463
kali pada ruangan dengan jumlah koloni jamur yang bertambah banyak. Sedangkan
untuk bakteri, disebutkan bahwa terdapat risiko 1,008 kali berupa gangguan mual
apabila terdapat pertambahan jumlah kuman di dalam ruangan.
6.4 Faktor Demografi
Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dari empat variabel
faktor demografi (jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan
sensitifitas terhadap asap rokok) yang diteliti, yang terbukti memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian gejala SBS adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan
variabel lainnya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala
fisik SBS.
113
6.4.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala fisik SBS pada
Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Hasil uji statistik menemukan hubungan antara jenis kelamin responden
penelitian dengan gejala SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden
perempuan mengalami SBS (71,4%). Jenis kelamin perempuan akan
menyebabkan kejadian SBS sebesar 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
responden yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Brasche (2001) dan Margaretha W, dkk (2003), dengan uji
korelasi berganda bahwa perempuan lebih banyak mengalami SBS dibandingkan
laki-laki.
Pada penelitian Sobari (1997) memperlihatkan hal yang sama bahwa kaum
wanita memiliki hubungan yang signifikan dengan SBS. Pada penelitiannya
didapat nilai PR=1,57, hal ini berarti kaum wanita mempunyai kecendurungan
1,57 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding kaum pria.
Hal tersebut disebabkan karena wanita lebih rentan terhadap perubahan
udara, beban kerja, dan tanggung jawab dalam rumah tangga sehingga membuat
tingkat stress yang ada menjadi lebih tinggi (Apte et al., 1997). Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Burge pada tahun 2003 membuktikan bahwa jenis
kelamin merupakan faktor risiko terjadinya kumpulan gejala SBS pada gedung.
Siklus menstruasi bulanan merupakan salah satu faktor penyebab perempuan
mudah terkena anemia. Beberapa gejala hampir menyerupai SBS yaitu lelah, tidak
mampu berkonsentrasi, kurang selera makan, pusing, sesak nafas, mudah
114
kesemutan, merasa mual-mual dan jantung berdebar-debar. Perempuan yang
bekerja mempunyai beban ganda selain bekerja di tempat kerja, juga mengerjakan
pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci, menyapu dan lain
sebagainya, dari menunjukan bahwa perempuan selalu melakukan pekerjaan
rumah tangga sebelum berangkat bekerja (Rosa, 2008).
Menurut Winarti (2003), hal ini dapat terjadi karena wanita merupakan
perokok pasif (lebih berisiko terpajan dengan asap rokok), kondisi fisik wanita
lebih lemah dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang
rendah, psikologikal kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif
dibandingkan dengan pria.
6.4.2 Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS pada Responden
Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Pada penelitian ini, faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
dengan kejadian gejala SBS (p= 0,244). Kelompok umur responden di atas 30
tahun yang mengalami gejala fisik SBS sebanyak 29,4% kemudian kelompok
umur responden di bawah 30 tahun yang mempunyai gejala fisik SBS sebanyak
51,7%.
Hal ini sejalan dengan penelitian Duniantri (2009) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kejadian SBS dengan umur responden penelitian
pada kategori kelompok umur di bawah 29 tahun dan di atas 29 tahun dengan
115
nilai p= 0,849. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarti (2003)
bahwa umur bukan merupakan pemicu keluhan SBS.
Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara kelompok umur dengan
kejadian gejala fisik SBS. Hal ini mungkin disebabkan karenan responden di
gedung X pada kelompok umur di bawah 30 tahun sebesar 63% lebih banyak
dibandingkan kelompok umur di atas 30 tahun sebesar 37%.
Menurut hasil penelitian Ruth (2009) bahwa ada hubungan yang signifikan
antara umur responden penelitian dengan kejadian SBS. Dari hasil analisis,
diperoleh nilai PR=3,208 artinya responden penelitian berumur 21-30 tahun
mempunyai risiko 3,208 kali lebih besar mengalami SBS dibandingkan responden
penelitian yang berumur 31-40 tahun. Menurut Hedge dan Mendell, usia yang
lebih muda ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS (Anies,
2004). Sedangkan seharusnya menurut teori bahwa kelompok umur yang lebih
tua memiliki resiko mengalami gejala SBS karena pemaparan zat toksik akan
menimbulkan dampak yang serius pada mereka yang berusia tua daripada
kelompok umur yang lebih muda.
6.4.3 Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS pada
Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara status gizi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS.
116
Persentase terbesar menunjukkan status yang tidak normal, mengalami SBS
(50,0%).
Kemudian pada peneltian Lisyastuti (2010) didapat bahwa nilai p=0,64 dan
OR=0,8 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara gejala fisik SBS
dengan status gizi responden penelitian dan status gizi yang tidak normal
mempunyai risiko 0,8 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding responden
penelitian berstatus gizi normal.
Fenomena ini erat kaitannya dengan tercukupinya kebutuhan tubuh akan gizi
seimbang yang akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kondisi lingkungan
yang tidak kondusif. Dalam kondisi normal manusia memiliki proteksi diri
terhadap infeksi dari bakterial yaitu melalui sistem imunitas tubuh. Kemampuan
merawat dan menjaga kontinuitas sistem imun ini akan mengurangi resiko infeksi
yang ditimbulkan oleh bakteri. Rendahnya sistem imun tubuh erat kaitannya
dengan status gizi. Tubuh manusia memerlukan diet seimbang yang menyediakan
cukup nutrisi, mineral dan vitamin untuk fungsi dan efektivitas sistem imun
(Chandra, 2004 dalam Lisyastuti, 2010). Sistem imun individu dipengaruhi antara
lain oleh status hormon, umur dan status gizi (Hedlund, 1995).
6.4.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan Gejala
Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok responden di dalam ruang dengan kejadian gejala fisik
117
SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden berstatus merokok di dalam
ruang, mengalami SBS (20,0%). Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok
merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak
dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Terdapat sebanyak 10 (21,7 %)
responden memiliki kebiasaan merokok dalam ruang. Aktivitas merokok di dalam
ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok.
Bahkan beberapa responden kedapatan sedang merokok di depan meja kerja saat
penelitian berlangsung.
Pada penelitian ini tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara
perilaku merokok dalam ruangan dengan kejadian SBS. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Winarti, Basuki, dan Hamid (2003),
bahwa faktor kebiasaan merokok tidak terbukti berkaitan dengan gejala fisik SBS
(nyeri kepala).
Hasil yang sama pada penelitian Oktora (2008) didapat hasil yang sama
bahwa tidak ada perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang mempunyai
kebiasaan merokok dengan pegawai yang tidak memiliki kebiasaan merokok
dengan nilai p=0,327.
Secara teori perilaku merokok dalam ruang merupakan salah satu faktor risiko
SBS. Tingginya persentase penderita SBS dari kalangan non-perokok pada
penelitian ini sebabkan karena jumlah responden yang non-perokok jauh lebih
tinggi. Selain itu, adanya asap rokok akan lebih dirasakan dampaknya pada
kalangan non-perokok (perokok pasif) karena sensitivitasnya lebih tinggi.
118
6.4.5 Hubungan Antara Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala
Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013
Dari hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara
sensitivitas responden penelitian terhadap asap rokok dalam ruang kerja dengan
kejadian gejala fisik SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden yang
memiliki sensitivitas terhadap asap rokok di dalam ruang, mengalami SBS
(59,3%). Kemudian, berdasarkan hasil penelitian multivariat didapatkan bahwa
sensifitas terhadap asap rokok akan berpeluang untuk menyebabkan terjadinya
keluhan SBS pada responden penelitian adalah sebesar 4,782 kali pada responden
yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok, setelah dikontrol oleh variabel
jenis kelamin.
Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok pada umumnya terdiri
dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif
hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu
asap rokok ini sangat mengganggu bagi kesehatan, seperti: mata pedih, timbul
gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, 1998).
Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat
konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi
yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila
konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm (NIOSH, 1991).
Menurut United States Environment Protection Agency (EPA) faktor dari
asap rokok menimbulkan efek rhinitis/faringitis, hidung tersumbat, batuk terus-
119
menerus, iritasi konjungtiva, sakit kepala, mengi/sesak nafas (konstraksi bronkus),
dan eksaserbasi kondisi pernafasan kronis. Efek ini terjadi pada orang dewasa
yang kesehariannya terpapar oleh asap rokok di tempat aktivitas kerjanya (EPA,
1991).
ETS (Environmental Tobacco Smoke) bersifat dinamis. ETS merupakan
campuran kompleks ribuan senyawa kimia, menyebabkan berbagai iritasi, dan
ETS juga menyebabkan beberapa gejala akut khas SBS, seperti iritasi mata,
hidung, dan tenggorokan (Sundell et al., 1994). Berdasarkan studi Swedish
dipertengahan tahun 1990 ditemukan adanya peningkatan gejala-gejala SBS
dengan Environmental Tobacco Smoke (ETS).
Pada penelitian Mizoue (1998) yang dilakukan pada 1281 karyawan dengan
profesi bervariasi di kota-kota negara Jepang menunjukkan bahwa paparan ETS
merupakan penentu utama dari SBS pada populasi kerja dengan prevalensi
perokok yang tinggi dan beberapa tempat kerja dengan larangan merokok. Hal ini
konsisten dengan penelitian Eisner et al., (1998) bahwa berkurangnya gejala
iritasi sensorik pada responden yang berprofesi sebagai bartender setelah dibuat
perlakuan pelarangan perokok di bar. Hal ini menunjukan bahwa pelarangan
merokok di ruang kerja dapat menurunkan prevalensi gejala SBS. Diperkuat
dengan pernyataan dari American Journal of Epidemology (2001) bahwa tempat
kerja yang memiliki aturan ketat tentang merokok dapat mengurangi tingkat
resiko terjadinya gejala SBS.
120
Hasil penelitian eksperimen Rebecca (1991) terkait responden yang sensitif
ETS (ETS-S) dan non sensitif ETS (ETS-NS) dengan total 77 responden untuk
perlakuan pemaparan asap tembakau konsentrasi CO 45 ppm selama 15 menit
dalam ruangan. Dihasilkan bahwa adanya gejala rhinitis (hidung tersumbat, pilek
dan bersin) pada 34% responden sensitif ETS. Terjadi peningkatan gejala SBS
(hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk) yang signifikan
(p<0,01) setelah paparan asap tembakau. Gejala pilek lebih besar dan lebih lama
pada subyek ETS-S dibandingkan dengan subyek ETS-NS. Adanya peningkatan
yang signifikan (p <0,01) pada persepsi bau dan gejala iritasi mata, iritasi hidung
dan tenggorokan terjadi pada kedua kelompok studi. Sedangkan untuk gejala
iritasi hidung dan tenggorokan pada subyek ETS-S dilaporkan lebih signifikan.
6.5 Faktor yang Paling Dominan dengan Keluhan Gejala Fisik SBS pada
Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013
Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari 7
variabel yang diduga berhubungan dengan keluhan SBS, terdapat 2 variabel yang
berhubungan yaitu jenis kelamin responden dan sensitivitas terhadap asap rokok.
Kemudian dilakukan uji regresi logistik berganda dengan memasukkan tidak hanya
variabel yang memiliki p value < 0.25 akan tetapi semua variabel penelitian
diikutsertakan karena dianggap mempunyai kemaknaan secara substansi. Lalu dari 7
variabel pada pengujian tersebut didapatkan hasil akhir dengan p value <0,1 yaitu
jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok.
121
Selanjutnya dari kedua variabel tersebut yaitu jenis kelamin dan sensitifitas
terhadap asap rokok ditentukan variabel mana yang paling dominan hubungannya
dengan kejadian gejala fisik SBS di gedung X tahun 2013. Hal tersebut dapat
ditentukan dengan melihat nilai OR yang ada pada kedua variabel permodelan
terakhir.
Kemudian setelah didapat nilai OR dari kedua variabel terakhir yang masuk
permodelan diambilah kesimpulan bahwa variabel jenis kelamin menjadi faktor yang
paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS dengan nilai OR yang
lebih besar (OR 9,124) dari variabel sensitivitas terhadap asap rokok (OR 4,782).
Jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok memang terdapat kaitan baik
itu secara langsung dan tidak langsung. faktor yang menjadi penyebab adanya
keluhan SBS adalah jika pada responden berjenis kelamin perempuan dapat berkaitan
dengan keluhan yang dirasakan pada responden yang memiliki sensitivitas terhadap
rokok, hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi dalam timbulkan keluhan
yang dirasakan. Sehingga dalam hal ini antara variabel jenis kelamin dan saling
terkait.
Asap rokok merupakan sumber pencemar ruangan yang potensial. Asap rokok
terdiri dari berbagai zat kimia sangat kompleks; yaitu bahan-bahan hasil pembakaran
yang tidak sempurna, pestisida yang digunakan pada waktu penanaman tembakau,
bahan pengawet, perekat, dan kertas rokok. Secara umum bahan-bahan tersebut
dibedakan atas: Nikotin, Tar, CO, Nox, dan gas lainnya.
122
Bahaya asap rokok tidak saja menganggu kesehatan perokok tetapi juga orang-
orang bukan perokok/perokok pasif yang menghisap rokok secara tidak sengaja atau
bahkan yang tidak dikehendakinya. Perokok pasif mempunyai resiko yang lebih besar
dibandingkan dengan perokok aktif (Manoppo, A., 1987, KSPKLH, 1993 dalam
Wirastini, 1998). Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan asap rokok adalah
penyakit-penyakit sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, luka lambung, kanker
pada bibir, lidah dan kandung kemih.
Pada penelitian ini semua responden berjenis kelamin perempuan yang menjadi
model dalam penelitian ini merupakan non-perokok yang sebagian besar mengaku
merupakan perokok pasif di lingkungan kerjanya. Lalu terdapat juga bahwa 15 dari
21 responden (71,4%) wanita yang sensitif terhadap asap rokok.
Pada pembahasan sebelumnya bagi orang yang sensitif terhadap asap rokok
dilingkungan kerjanya akan menimbulkan efek-efek yang merugikan kesehatan dan
yang merupakan gejala fisik dari SBS seperi pilek, hidung tersumbat, sakit kepala,
nyeri dada atau sesak, dan batuk (Rebecca et al, 1991). Kemudian menurut Winarti
(2003), keluhan SBS sering terjadi pada wanita karena wanita merupakan perokok
pasif (lebih berisiko terpajan dengan asap rokok), kondisi fisik wanita lebih lemah
dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang rendah, psikologikal
kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif dibandingkan dengan pria.
Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS
(Brasche, 2001). Hal ini juga serupa dengan penelitian Winarni (2003) yang diketahui
123
bahwa jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan
laki-laki.
Swedish Office Illnes Project (Sundell, 1994) menyatakan bahwa wanita
memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35% dibandingkan dengan
laki-laki yang hanya 21%. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko
dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja
wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid,
kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan
sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan
(Suma’mur PK, 1996).
Perempuan telah terbukti lebih sering menderita SBS daripada laki-laki yang
menurut Norbäck (2009) kemungkinan akibat lingkungan kantor, tugas kerja dan
kepribadian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan pula karena beban kerja
perempuan di rumah lebih tinggi. Lalu menurut Glas, Stenberg, dkk (2008) dalam
penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gejala tertentu
seperti penyakit pernapasan dan masalah kulit. Bell (1998) juga menunjukkan dalam
penelitiannya bahwa perempuan lebih rentan terhadap SBS karena rasio
estrogen/progesteron yang lebih tinggi. Dalam penelitiannya mereka menyatakan
bahwa tingkat estrogen/progesteron memainkan peran penting dalam sensitisasi saraf
akibat kontak yang terlalu lama dan berulang-ulang terhadap rangsangan luar seperti
obat-obatan, bahan kimia dan lainnya sebagai stresor kesehatan. Hal ini dapat
mempengaruhi otak dan menyebabkan kerusakan saraf yang juga dapat
124
mempengaruhi baik sistem endokrin dan fungsi kekebalan tubuh serta juga dapat
mempengaruhi psikis penderita SBS.
125
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Hasil penelitian tentang SBS seperti yang sudah diuraikan pada Bab Hasil dan
Pembahasan , disimpulkan sebagai berikut :
1. Jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang di gedung X yang melebihi
ambang batas yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan RI adalah perusahaan
5 (2893 koloni/m3 dan 7 bakteri patogen hemolitik beta), perusahaan 4 (2786
koloni/m3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta), perusahaan 7 (1986 koloni/m3
dan 1 bakteri patogen hemolitik beta), perusahaan 6 (723 koloni/m3 dan 1 bakteri
patogen hemolitik beta dan 1 hemolitik alpha), dan perusahaan 2 (683 koloni/m3
dan 3 bakteri patogen hemolitik beta).
2. Responden dalam penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (54,3%),
berumur rata-rata 30 tahun dengan umur yang paling muda 17 tahun dan yang
paling tua 50 tahun. Sebagian besar responden berstatus gizi normal (73,9%) dan
tidak memiliki kebiasaan merokok (80,4%) namun memiliki sensitivitas terhadap
asap rokok (58,7%).
3. Persentase kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun
2013 sebesar 43,5%.
126
4. Tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni bakteri patogen di udara pada
ruangan kerja terhadap kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di
gedung X secara analisis statistik.
5. Tidak ada hubungan bermakna antara umur, status gizi, dan kebiasaan merokok
dalam ruang terhadap kejadian SBS pada responden penelitian di Gedung X.
Sedangkan variabel jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok
menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian SBS yaitu responden
yang berjenis kelamin perempuan berisiko 2,8 kali dan bagi responden yang
sensitif terhadap asap rokok 1,9 kali untuk mengalami gejala fisik SBS ini.
6. Variabel yang paling dominan hubungannya terhadap kejadian gejala fisik SBS
pada penelitian di gedung X tahun 2013 ini adalah variabel jenis kelamin.
7.2 Saran
7.2.1 Manajemen Gedung
1. Persepsi kenyamanan bekerja terkait suhu dan kelembapan di setiap ruangan
mungkin berbeda antara pekerja satu dan lainnya. Dalam hal ini manajemen
pengelola gedung X hendaknya perlu mempertimbangkan apakah HVAC
sentral masih perlu digunakan atau menggantinya dengan HVAC lokal yang
sifatnya lebih dinamis dan dapat diatur sesuai selera kenyamanan masing-
masing pekerja.
127
2. Kebijakan pengelola gedung tentang aturan merokok di dalam gedung perlu
diperketat lagi atau dengan menyediakan ruang khusus merokok pada setiap
lantai untuk mencegah keberadaan asap rokok di dalam ruang kerja.
3. Peningkatan pemeliharaan AC baik sentral maupun lokal. AC sentral
walaupun direkomendasikan sebagai pendingin ruangan yang efisien dan
sehat, harus diperhatikan rutinitas pemeliharaannya.
7.2.2 Pengembangan Ilmu Pengetahuan
1. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan kualitas mikrobiologi udara dalam
ruangan dengan jumlah titik pengambilan sampel yang lebih banyak, dengan
pengambilan sampel diulang secara periodik misalnya dalam seminggu 3 kali
atau sehari 3 kali.
2. Penentuan responden sebaiknya diambil dari seluruh populasi yang berada di
dalam gedung untuk mengetahui gejala SBS secara luas lagi.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor
mikrobilogi lain seperti koloni jamur, spora dan kapang
4. Menggunakan desain penelitian yang lain, misalnya case control untuk
mengetahui sebab akibat dari gejala fisik SBS ini.
5. Melihat faktor demografi lainnya seperti persepsi individu khususnya pada
perilaku sosial, gaya hidup, beban kerja dan impresi atasan terhadap bawahan
(psikososial) untuk penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anies, 2004, Problem Kesehatan Masyarakat dari Sick Building Syndrome, Jurnal
Kedokteran Yarsi, Jakarta
Alisyahbana, 1995. Kurang Infeksi dn infeksi aspek kesehatan gizi anak
balita.Yayasan Obor Indonesia.
Apter A, Bracker M, Hogson J, Sidman and Leung WY, 1994, Epidemiology of the
Sick Building Syndrome, J Allergy Clin Immunol.
Bell I, Baldwin C, Russek L, Schwartz G, Hardin E. Early life stres, negative paternal
relationships, and chemical intolerance in middle aged women: support for a
neural sensitization model. J Womens Health 1998;7(9):1135-49.
Brasche, S., Bullinger M., Moefeld, M.,Geghardt H.J., Bischof, W. (2001). Why do
women suffer from SBS more often than men? Subjective higher sensitifity
versus objective causes. Indoor Air (4).
Burge S, Hedge A, Wilson S, Bass JH, RobertsonA, 1987, Sick building syndrome:a
study of 4373 office workers,Ann Occup Hygo no.31, pp 493-504.
Burroughs, et al. 2005. Managing Indoor Air Quality Third Edition. Fairmont Press,
Inc. P:29-49.
Codey, Richard J, 2004, Indoor Air Quality, Public Employes Occupational
Safetyand Health Program, New Jersey.
Depkes RI, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor
1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri, Jakarta.
Eisner MD, Smith AK, Blanc PD.1998. Bartenders‟ respiratory health after
establishment of smoke-free bars and taverns. JAMA 1998;280:1909–14.
EPA 1998. An Office Building Occupational‟s Guide to Indoor Air Quality.
www.epa.gov/iaq/pubs/occupgd.html. Office of Air and Radiation (OAR),
Indoor Environmental Division (6609J) Washington, DC 20460
European Concerted Action; Indoor Air Quality Its Impact on Man, 1998, Sick
Building Syndrome, Cost Project 613.
Engvall, K. 2003. A sociological approach to indoor environmental in dwellings risk
factors for sick building syndrome (SBS) and discomfort, Acta Universitatis
Upsaliensis Uppsala.
Engvall, K., Hulth M., Corner, R., Lampa. 2009. A new multiple regresion model to
identify multi-family houses with a high prevalence of sick building symptoms
“SBS” within the healthy sustainable house study in Stockholm (3H). Int Arch
Occup Environ Health. 83;85-94.
Fardiaz, Srikandi, 1992, Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Flannigan, B (1992) Indoor microbiological pollutans-sources, species,
characterisation an evaluation State of the Art in SBS pp. 73-98.
Glas B, Stenberg B, Stenlund H, Sunesson AL. A novel approach to evaluation of
absorbents for sampling indoor volatile organic compounds associated with
symptom reports. J Environ Monit 2008;10:1297-1303.
Glas B. Methodological aspects of unspecific building related symptoms research. J
Environ Monit 2008;12:128- 36.
Godish, T. (1992). Sick buildings: definitions, diagnosis and mitigation. CRC Press
Florida.
Guntoro, Heru. 2008. Sick Building Syndrome Penyakit Bisa Bersumber dari Kantor.
IAKMI
Hardin, Tim dan Steve Tinlley, 2003, School Indoor Air Quality Best Management
Practice Manual, Washington Departement of Helath.
Heimlich JE. Environmental Health Center. Sick building syndrome. [Online]. 2008
[cited 2001 Jan 26]; Available from URL:
http://www.nsc.org/ehc/indoor/sbs.htm.
Hutagalung, Michael, 2008, Teknologi Pengolahan Limbah Gas, Dari:
http://www.majarikanayakan.com/author/michaeljubel/
Idham, Muhammad, 2001, Manajemen Kualitas Udara dalam Gedung Bertingkat,
Hiperkes, Jakarta
Isyana Dewi (2005). Gambaran hubungan faktor fisik dan psikososial dengan SBS
pada karyawan pusat administrasi Universitas Indonesia.
Laila, Nur Najmi. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Sick
Building Syndrome (SBS) Pada Pegawai Di Gedung Rektorat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. FKIK UIN Jakarta. Tangerang
Lisyastuti, Esi, 2010. Jumlah Koloni mikroorganisme Udara Dalam Ruang Dan
Hubungannya Dengan Kejadian Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja
B2TKS BPPT Di Kawasan Puspitek Serpong. FKM UI. Depok.
Lyles BW, Greve KW, Baure RM, Ware MR, Schramke CJ, Crouch J, et al. Sick
Building Syndrome. Southern Med J 1991;84(1):67-78.
Moseley, C. (1990). Indoor air quality problem; A proactive approach for new or
removated buildings. Jurnal of Env. Vol 53, No.3.
Mukono, dkk. 2005. Pengaruh kulitas udara dalam ruangan ber-AC terhadap
gangguan kesehatan.jurnal kesehatan lingkungan vol.1, No.2 Januari 2005.
Nardi,Bi Salvatore R. 2003. The occupational: It‟s Evaluation, Control, and
Managing Second Edition. AIHA Press.
Nasri, M Sjahrul, Fatma Lestari, Doni Hikmat, 1998, Internal dan Pengendalian
Teknis Kualitas Udara Lingkungan Kerja Gedung Bertingkat, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). (1989) Indoor air
quality. Ohio. Selected References
National Institute for Occuppational Safety and Health (NIOSH), 1997, NIOSH
Facts: Indoor environmental quality (IEQ) Dari:
www.cdc.gov/niosh/ieqfs.html.
Norbäck D. An update on sick building syndrome. J Allergy & Clin Immunol 2009;
9(1):55-9.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Noviana, Wirastini. 1998. Hubungan Kualitas Udara Dalam Ruang Dengan „Sick
Building Syndrome‟ Pada Pekerja Wanita Di Pertokoan Mal Blok-M Jakarta.
FKM UI. Depok
Ooi Pi, Goh KT, Phoon MH, Foo SC, Yap HM. 1998. Epidemiology of Sick Building
Syndrome and Its Associated Risk Factors in Singapore. Occup. Environ
Medicine 1998; 55; 188-193.
Prasasti, Corie Indria, 2005, Pengaruh Kualitas Udara Dalam Ruangan Ber AC
Terhadap Gangguan Kesehatan, Jurnal Kesehatan Lingkungan, NO.2,
Jakarta.
Pelczar. M.J & E.C.S Chan. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, 1989 (morfologi).
Pelczar, Michael J dan E.C.S Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-
Press.
Pudjiastuti, L., Rendra, S., Santosa, H.R. (1998) Kualitas udara dalam ruang.
Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Rahman, Abdur, dkk, 2004, Analisis Kualitas Lingkungan, Laboratorium Kesehatan
Lingkungan, FKMUI, Depok.
Rebecca Bascom, Thomas Kulle, Anne Kagey-Sobotka, and David Proud. 1991.
Upper Respiratory Tract Environmental Tobacco Smoke Sensitivity. American
Review of Respiratory Disease, Vol. 143, No. 6 (1991), pp. 1304-1311.
Jaya, Rosa. 2008. Kualitas Udara dalam Ruangan dan Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian sick building syndrome (SBS) di gedung
DEPKES RI Jakarta. FKM UI. Depok.
Spengler, et al. 2000. Indoor Air Quality Handbook, Mc Graw-Hill Companies, Inc,
United States of America.
Spengler, Samet. 2003. Indoor Environmental and Health: Moving Into the 21st
Century. Reviewing the evidence series. American Journal of Public Health
Vol. 93, No.9. September 2003.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fegi?artid=1740708&blobtype=
pdf. 7 Februari 2013 11:00.
Sudrajat, Agung, 2005, Pencemaran Udara Suatu Pendahuluan, Inovasi
Vol.5/XVII/Nopember 2005.
Suma’mur P.K, 1996. Hygene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. CV Gunung Agung,
Jakarta.
Sundell, J., Lindvall, T., Stenberg, B. and Wall, S. (1994).Sick Building Syndrome
(SBS) in Office Workers and Facial Skin Symptoms among VDT-Workers in
Relation to Building and Room Characteristics: Two Case-Referent Studies,
Indoor Air. Departement of Dermatology, University of Umea, Sweden.
Tjandra Yoga Aditima dan Tri Hastuti, 2002. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
US-EPA, 1995, The Inside Story: A Guide to Indoor Air Quality, EPA Document
#402-K-93-007.
Utomo Hendrawati, 1994, Suatu Analisis Hubungan Antara Kuman Legionella
Pneumophobia Dengan Sick Buiding Syndrome di Gedung PT. Indosat
Jakarta 1994, (Tesis), Program Pascasarjana FKUI, Jakarta.
Wahab, Sabah A. Abdul. 2011. Sick building Syndrome in public Buildings and
Workplaces. London-New York; Springer.
Winarti. 2003. Air Movement, Gender and Risk of Sick Building Syndrome
Headhache Among Employes in a Jakarta Office. Med. J. Indones. Vol 12,
No.3, July-September.
WHO, 2000. Guidelines for controlling and monitoring the Tobacco epidemic
WHO, 2005, Air Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and
Sufur Dioxide Update Global 2005: Summary Of Risk Assesment. WHO
Regional Office For Europe, Copenhagen, Denmark.
Lampiran 1
Univariat
Frequencies Statistics
salah satu
riwayat keluhan sbs
jumlah koloni bakteri udara
per m3
sexperbedaan jeniskelamin
secara biologis
pengelompokan jumlah tahun
hidup berdasarkan
rata-rata
standard dari Depkes (PUGS)
status merokok saat di
wawancara
orang yang memiliki
kepekaan tersendiri terhadap
asap rokok
N Valid 46 46 46 46 46 46 46
Missing 0 0 0 0 0 0 0
Frequency Table
salah satu riwayat keluhan sbs
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak ada keluhan 26 56.5 56.5 56.5
ada keluhan 20 43.5 43.5 100.0
Total 46 100.0 100.0
jumlah koloni bakteri udara per m3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid sesuai NAB 20 43.5 43.5 43.5
melebihi NAB 26 56.5 56.5 100.0
Total 46 100.0 100.0
Sex perbedaan jenis kelamin secara biologis
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid laki-laki 25 54.3 54.3 54.3
perempuan 21 45.7 45.7 100.0
Total 46 100.0 100.0
pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Mean SD Min-Max
Valid <30 tahun
29 63.0 63.0 63.0 29.67 9.194 17-50
>30 tahun
17 37.0 37.0 100.0
Total 46 100.0 100.0
derajat gizi seseorang diukur dengan IMT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Mean SD Min-Max
Valid Normal (IMT 18,5-25) 30 65.2 65.2 65.2 21,96 3,894 16-39
Tidak Normal (IMT <18,5 atau >25,0)
16 34.8 34.8 100.0
Total 46 100.0 100.0
status merokoksaatdi wawancara
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak merokok 36 78.3 78.3 78.3
Ya 10 21.7 21.7 100.0
Total 46 100.0 100.0
orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak sensitif 19 41.3 41.3 41.3
sensitif 27 58.7 58.7 100.0
Total 46 100.0 100.0
Analisis Bivariat 1. Hubungan antara jumlah koloni bakteri patogen udara dengan gejala fisik SBS
jumlah koloni bakteri udara per m3 * sbs Crosstabulation
sbs
Total bukanSBS sbs
jumlah koloni bakteri udara per m3
kurang NAB Count 13 7 20
% within jumlah koloni bakteri udara per m3
65.0% 35.0% 100.0%
melebihi NAB Count 13 13 26
% within jumlah koloni bakteri udara per m3
50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 26 20 46
% within jumlah koloni bakteri udara per m3
56.5% 43.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.035a 1 .309
Continuity Correctionb .515 1 .473
Likelihood Ratio 1.043 1 .307
Fisher's Exact Test .377 .237
Linear-by-Linear Association 1.012 1 .314
N of Valid Casesb 46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,70.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jumlah koloni bakteri udara per m3 (kurang NAB / melebihi NAB)
1.857 .560 6.154
For cohort sbs = bukanSBS 1.300 .788 2.146
For cohort sbs = sbs .700 .344 1.424
N of Valid Cases 46
2. Hubungan antara jenis kelamin responden dengan gejala fisik SBS
sexperbedaan jeniskelamin secara biologis * sbs Crosstabulation
sbs
Total bukanSBS sbs
sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
laki-laki Count 20 5 25
% within sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
80.0% 20.0% 100.0%
perempuan Count 6 15 21
% within sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 26 20 46
% within sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
56.5% 43.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 12.284a 1 .000
Continuity Correctionb 10.280 1 .001
Likelihood Ratio 12.837 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 12.016 1 .001
N of Valid Casesb 46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,13.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for sexperbedaan jeniskelamin secara biologis (laki-laki / perempuan)
10.000 2.560 39.064
For cohort sbs = bukanSBS 2.800 1.385 5.662
For cohort sbs = sbs .280 .122 .642
N of Valid Cases 46
3. Hubungan antara umur responden dengan gejala fisik SBS
pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata * sbs Crosstabulation
sbs
Total bukanSBS sbs
pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
<30 Count 14 15 29
% within pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
48.3% 51.7% 100.0%
>30 Count 12 5 17
% within pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
70.6% 29.4% 100.0%
Total Count 26 20 46
% within pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
56.5% 43.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.171a 1 .141
Continuity Correctionb 1.358 1 .244
Likelihood Ratio 2.220 1 .136
Fisher's Exact Test .219 .122
Linear-by-Linear Association 2.124 1 .145
N of Valid Casesb 46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,39.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata (<30 / >30)
.389 .109 1.388
For cohort sbs = bukanSBS .684 .421 1.112
For cohort sbs = sbs 1.759 .778 3.977
N of Valid Cases 46
4. Hubungan antara status gizi responden dengan gejala fisik SBS
standard dari Depkes (PUGS) * sbs Crosstabulation
sbs
Total bukanSBS sbs
standard dari Depkes (PUGS) IMT (18,5-25,0) Count 20 14 34
% within standard dari Depkes (PUGS)
58.8% 41.2% 100.0%
IMT (<18,5 atau >25,0) Count 6 6 12
% within standard dari Depkes (PUGS)
50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 26 20 46
% within standard dari Depkes (PUGS)
56.5% 43.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .281a 1 .596
Continuity Correctionb .037 1 .848
Likelihood Ratio .280 1 .597
Fisher's Exact Test .738 .422
Linear-by-Linear Association .275 1 .600
N of Valid Casesb 46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,22.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for standard dari Depkes (PUGS) (IMT (18,5-25,0) / IMT (<18,5 atau >25,0))
1.429 .381 5.357
For cohort sbs = bukanSBS 1.176 .625 2.213
For cohort sbs = sbs .824 .411 1.648
N of Valid Cases 46
5. Hubungan antara kebiasaan merokok dalam ruang kerja dengan gejala fisik SBS
status merokoksaatdi wawancara * sbs Crosstabulation
sbs
Total bukanSBS sbs
status merokoksaatdi wawancara
tidak merokok Count 18 18 36
% within status merokoksaatdi wawancara
50.0% 50.0% 100.0%
ya Count 8 2 10
% within status merokoksaatdi wawancara
80.0% 20.0% 100.0%
Total Count 26 20 46
% within status merokoksaatdi wawancara
56.5% 43.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.866a 1 .090
Continuity Correctionb 1.775 1 .183
Likelihood Ratio 3.070 1 .080
Fisher's Exact Test .150 .089
Linear-by-Linear Association 2.804 1 .094
N of Valid Casesb 46
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,35.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for status merokoksaatdi wawancara (tidak merokok / ya)
.250 .047 1.344
For cohort sbs = bukanSBS .625 .398 .980
For cohort sbs = sbs 2.500 .694 9.009
N of Valid Cases 46
6. Hubungan antara sensitivitas responden terhadap rokok dengan gejala fisik SBS
orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok * sbs Crosstabulation
sbs
Total bukanSBS sbs
orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
tidak sensitif Count 15 4 19
% within orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
78.9% 21.1% 100.0%
sensitif Count 11 16 27
% within orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
40.7% 59.3% 100.0%
Total Count 26 20 46
% within orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
56.5% 43.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.624a 1 .010
Continuity Correctionb 5.161 1 .023
Likelihood Ratio 6.929 1 .008
Fisher's Exact Test .016 .011
Linear-by-Linear Association 6.480 1 .011
N of Valid Casesb 46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,26.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok (tidak sensitif / sensitif)
5.455 1.423 20.910
For cohort sbs = bukanSBS 1.938 1.163 3.229
For cohort sbs = sbs .355 .141 .896
N of Valid Cases 46
Multivariat Tabel 5.15
Hasil analisis bivariat antara Jumlah koloni bakteri patogen, Jenis Kelamin, Umur, Status
gizi, Kebiasaan merokok dan Sensitifitas terhadap asap rokok dengan Sick Building
Sydrome pada responden penelitian di gedung X tahun 2013
No. Variabel P value
1 Jumlah Koloni Bakteri Patogen 0,473
2 Jenis Kelamin 0,001
3 Umur 0,244
4 Status Gizi 0,848
5 Kebiasaan Merokok dalam ruang 0,150
6 Sentifitas Terhadap Rokok 0,023
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Bakteri .667 .869 .590 1 .442 1.949 .355 10.699
Jnskelmin 1.995 .810 6.075 1 .014 7.356 1.505 35.954
Umurmean -.918 .904 1.032 1 .310 .399 .068 2.347
Imtkat .567 .986 .330 1 .566 1.763 .255 12.183
kebiasaanrkok -.304 1.077 .080 1 .778 .738 .089 6.093
sesntifrokok 1.736 .904 3.684 1 .055 5.673 .964 33.378
Constant -6.217 3.356 3.431 1 .064 .002
Step 2a Bakteri .601 .831 .522 1 .470 1.823 .357 9.303
Jnskelmin 2.048 .792 6.688 1 .010 7.753 1.642 36.609
Umurmean -.969 .886 1.196 1 .274 .379 .067 2.156
Imtkat .634 .954 .442 1 .506 1.886 .291 12.244
sesntifrokok 1.796 .881 4.161 1 .041 6.027 1.073 33.865
Constant -6.677 2.949 5.127 1 .024 .001
Step 3a Bakteri .639 .829 .594 1 .441 1.894 .373 9.614
Jnskelmin 2.157 .780 7.639 1 .006 8.643 1.873 39.896
Umurmean -.838 .839 .998 1 .318 .432 .083 2.241
sesntifrokok 1.685 .852 3.910 1 .048 5.390 1.015 28.625
Constant -6.090 2.778 4.806 1 .028 .002
Step 4a Jnskelmin 2.300 .767 8.996 1 .003 9.979 2.219 44.869
Umurmean -.998 .819 1.487 1 .223 .368 .074 1.834
sesntifrokok 1.509 .799 3.561 1 .059 4.520 .943 21.657
Constant -4.815 2.062 5.451 1 .020 .008
Step 5a Jnskelmin 2.211 .737 9.007 1 .003 9.124 2.153 38.656
sesntifrokok 1.565 .776 4.064 1 .044 4.782 1.044 21.893
Constant -6.096 1.828 11.118 1 .001 .002
a. Variable(s) entered on step 1: bakteri, jnskelmin, umurmean, imtkat, kebiasaanrkok, sesntifrokok.
Lampiran 2 LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Saya Morrys Antoniusman, mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat, peminatan Kesehatan Lingkungan bermaksud akan melakukan penelitian mengenai ”HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013”. Penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Pada Penelitian ini peneliti akan bertanya mengenai karakteristik pegawai dan keluhan SickBuilding Syndrome pada pegawai. Kuesioner ini berisikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diisi selama 3-5 menit. Responden diharapkan menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Setiap jawaban Anda akan dijaga kerahasiaannya dari siapapun dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja Anda, kemudian kuesioner akan disimpan oleh peneliti. Partisipasi responden bersifat sukarela, responden dapat menolak untuk menjawab atau tidak melanjutkan wawancara. Untuk itu Saya mohon kiranya Bapak/Ibu dapat meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner ini.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih yang mendalam untuk kesediaan Anda menjadi responden pada penelitian ini. Semoga bantuan dan kerjasama Anda menjadi amal ibadah yang bernilai di sisi-Nya.
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS SETELAH PENJELASAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Alamat : No Telepon/HP : Bersedia secara sukarela untuk menjadi subyek penelitian dengan judul ” HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013”. Telah mendengarkan penjelasanmengenai kegiatan yang akan dilakukan dan sadar akan manfaat dan adanya risiko yang mungkin terjadidalam penelitian ini. Saya akan memberikan informasi yang benar sejauh yang saya ketahui dan sayaingat.
Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak manapun.
Jakarta, .... ................... 2013 Peneliti Yang membuat pernyataan Morrys Antoniusman (.............................................) Tanda tangan dan nama terang
LEMBAR KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI
GEDUNG X TAHUN 2013
Nomor Responden Lokasi: Lantai ..... Ruang ........
A. Data Demografi (Diisi responden) Diisi oleh peneliti
A1. Nama ....................
A2. Jenis Kelamin .................. 1. Laki-laki 2. Perempuan
[ ] A2
A3. Umur ................. [ ] A3
A4. Data Status Gizi Tinggi Badan (..........) cm Berat Badan (...........) kg
[ ] A4
A5. Pekerjaan A5.1 Posisi pekerjaan .................. A5.2 Departemen .................... A5.3 Perusahaan ....................
[ ] A5.1 [ ] A5.2 [ ] A5.3
B. Kebiasaan Merokok (Diisi responden) Diisi oleh peneliti
B1.Apakah Anda memiliki kebiasaan merokok di dalam gedung tempat Anda bekerja?
1. Ya 2. Tidak, kepertanyaan C1
[ ] B1
B2.Berapa batang rokok yang Anda habiskan dalam satu hari? 1. > 1 batang 2. 1 batang
[ ] B2
B3. Apakah Anda sudah merokok di dalam ruang kerja hari ini? 1. Ya 2. Tidak
[ ] B3
C. Gejala Sick Building Syndrome (SBS) (Diisi responden) Diisi oleh peneliti
C1. Apakah pada saat sebelum pergi bekerja Anda dalam kondisi yang sehat?
1. Ya 2. Tidak
[ ] C1
C2. Apakah Anda mempunyai riwayat alergi dan atau penyakit astma 1. Ya 2. tidak
[ ] C2
C3. Apakah Anda mengalami keluhan-keluhan di bawah ini saat Anda mulai bekerja di dalam ruangan gedung ini?
Ya (1)
Tidak (2)
C3.1Iritasi mata [ ] C3.1
C3.2 Iritasi hidung [ ] C3.2
C3.3 Iritasi tenggorokan [ ] C3.3
C3.4Rasa kekeringan pada bibir [ ] C3.4
C3.5 Kulit kering [ ] C3.5
C3.6kulit gatal-gatal [ ] C3.6
C3.7 Merah-merah pada kulit [ ] C3.7
C3.8Sakit kepala [ ] C3.8
C3.9 Sulit berkonsentrasi [ ] C3.9
C3.10 Rasa lelah [ ] C3.10
C3.11 Batuk-batuk [ ] C3.11
C3.12 Pilek [ ] C3.12
C3.13 Sakit telinga [ ] C3.13
C3.14 Radang tenggorokan [ ] C3.14
C3.15 Serak pada tenggorokan [ ] C3.15
C3.16 Sesak nafas [ ] C3.16
C3.17Mual dan pusing-pusing [ ] C3.17
C4. Apakah keluhan tersebut masih dirasakan setelah Anda pulang dari kantor/keluar dari gedung tempat Anda bekerja?
1. Ya 2. Tidak
[ ] C4
CATATAN: Jika tidak ada satupun gejala yang dirasakan, Berhenti Mewancarai dan Ucapkan Terima Kasih, Jika ada satu atau gejala yang dirasakan lanjut pada pertanyaan berikutnya.
D. Frekuensi keluhan-keluhan SBS (Diisi responden)
D1. Selama 1 bulan terakhir, Anda berada di tempat kerja, seberapa seringkah Anda mengalami gejala di bawah ini saat berada di dalam gedung?
Kondisi
Tidak pernah dialami
(1)
1-3 kali
terjadi (2)
1-3 kali terjadi dalam sepekan
(3)
Setiap hari/hampir setiap hari
(4)
D1.1 Iritasi mata, hidung, tenggorokan
D1.2 Rasa kekeringan bibir
D1.3 Kulit kering, gatal, merah-merah
D1.4 Sakit kepala, lelah, sulit berkonsentrasi
D1.5 Infeksi pernafasan dan batuk-batuk
D1.6 Serak dan sesak nafas
D1.7 Mual dan pusing-pusing
D1.8 Hipersensitivitas yang tidak spesifik
E. Sensitivitas terhadap asap rokok Diisi oleh peneliti
E1. Apakah ada orang lain di ruang kerja Anda yang merokok?
1. Ya 2. Tidak
[ ] E1
E2. Apakah Anda sensitif terhadap asap rokok? 1. Ya 2. Tidak
[ ] E2
E3. Apakah keluhan-keluhan yang anda alami dipengaruhi keberadaan asap rokok di ruangan Kerja Anda? 1. Ya 2. Tidak
[ ] E3
Sumber: Sick Building Syndrome in Public Buildings and Workplaces (Abdul Sabah, 2011), WHO tahun 1984, dan EPA tahun 1991
------------------- TERIMAKASIH SUDAH BERPARTISIPASI -------------------
Lampiran 3
DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA
Gedung X
Pengambilan Sampel Bakteri Udara di Gedung X
Analisis Perhitungan Bakteri di Laboratorium Mikrobiologi UIN Jakarta