Hubungan Religiusitas Islam dengan Parenting Self-Efficacy pada Ibu dari Toddler
Farraas Afiefah Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Erniza Miranda Madjid
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Efriyani Djuwita Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas Islam dengan parenting self-efficacy pada ibu dari toddler. Pengukuran religiusitas Islam dilakukan dengan alat ukur The Revised – Muslim Religiosity-Personality Scale yang dibuat oleh Krauss (2011), sedangkan parenting self-efficacy diukur melalui Self-Efficacy Parenting for Tasks Index- Toddler Scale yang dibuat oleh Coleman (1998). Partisipan pada penelitian ini berjumlah 69 ibu dari toddler yang beragama Islam dan merupakan warga negara Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiusitas Islam dengan parenting self-efficacy (r = +0,475; n = 69; p < 0,01, one-tail). Artinya, semakin tinggi religiusitas Islam ibu, semakin tinggi pula parenting self-efficacy-nya; begitu pula sebaliknya. Kedua dimensi religiusitas ditemukan memiliki korelasi yang positif dengan parenting self-efficacy, namun korelasi antara religious personality dengan parenting self-efficacy ditemukan lebih kuat, karena religious personality mengukur tingkat penerapan agama Islam ke dalam ibadah serta perilaku sehari-hari. Religiusitas Islam juga ditemukan memiliki korelasi yang positif dengan semua domain parenting self-efficacy. Berdasarkan hasil tersebut, religiusitas Islam ibu perlu ditingkatkan karena dapat memiliki dampak positif pada keyakinan ibu dalam melakukan parenting terhadap anaknya.
Abstract
This study examined the relationship between Islamic religiosity and parenting self-efficacy among mothers of toddler. Islamic religiosity was measured by The Revised – Muslim Religiosity-Personality Inventory (Krauss, 2011), whereas the parenting self-efficacy was measured by Self-Efficacy Parenting for Task Index – Toddler Scale (Coleman, 1997). The respondents of this study were 69 Indonesian muslim mothers of toddler. The result of this study shows that there is a significant, positive relationship between Islamic religiosity and parenting self-efficacy (r = +0,475; n = 69; p < 0,01, one-tail). It indicates that the higher mothers’ Islamic religiosity, the higher their parenting self-efficacy, and vice versa. Based on this study, both of the dimensions of Islamic religiosity is found to have a positive relationship with parenting self-efficacy, but the religious personality dimensions is found to have a stronger relationship with parenting self-efficacy, because religious personality measured participant’s application of Islam in their daily life. In this study, Islamic religiosity is found to have a positive relationship with every domain of parenting self-efficacy. Based on this result, mothers need to increase their Islamic religiosity, because it is found to have and association with their parenting self-efficacy, or their belief about their ability in parenting their children. Kata kunci: Islamic religiosity; parenting sel-efficacy; religiusitas Islam; toddler
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Pendahuluan
Agama memiliki peranan yang cukup besar dalam kehidupan penganutnya. Agama Islam,
misalnya, mewajibkan penganutnya untuk beribadah atau menjalin interaksi dengan Tuhan
serta menerapkan ajaran agama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam kitab
sucinya, Alquran, terdapat aturan-aturan Islam yang mengatur kehidupan manusia di dunia—
misalnya dalam hal ekonomi, pernikahan, hak waris, pendidikan keluarga, dan lainnya—bukan
hanya mengenai kewajiban manusia untuk beribadah kepada Tuhan. Salah satu ayat Quran
(2:233), misalnya, menjelaskan anjuran bagi ibu untuk memberikan ASI (air susu ibu) kepada
anaknya selama dua tahun jika sanggup dan untuk bertanggung jawab terhadap segala
perbuatan (termasuk dalam menjalani kewajiban sebagai orang tua) karena Tuhan dapat
melihat apapun yang dilakukan manusia. Ayat ini menunjukkan bahwa agama Islam juga
mengatur kehidupan pengikutnya dalam menjalankan peran sebagai orang tua, bukan hanya
dalam menjalankan peran sebagai seorang makhluk ciptaan Allah yang harus menyembah
Allah dan beribadah kepada-Nya.
Di dalam sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Becher (2008), ditemukan
bahwa partisipan penelitian yang merupakan penganut agama Islam mengungkapkan bahwa
dalam Islam, seorang ibu merupakan guru yang pertama bagi anak-anaknya. Dengan demikian,
seorang ibu memiliki kewajiban untuk mengajarkan anaknya mengenai lingkungan yang ada
di sekitarnya serta hal-hal yang berkaitan dengan ajaran agama Islam. Selain itu, di dalam surat
At-Tahrim, terdapat peringatan bagi umat Islam untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari
api neraka (Quran, 66:6). Terdapat pula sebuah hadis riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa
setiap orang adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, sehingga
orang tua memiliki tanggung jawab untuk memimpin anak-anaknya.
Meskipun memiliki banyak tantangan, mendidik dan merawat anak merupakan salah satu
tanggung jawab sebagai orang tua yang akan dibalas dengan surga. Kebanyakan partisipan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Becher (2008) memandang hal serupa, bahwa
memprioritaskan Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mendidik dan
membesarkan anak, berarti melakukan investasi untuk kehidupan di akhirat. Menurut Becher,
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya berkaitan dengan transmisi antargenerasi, karena
orang tua juga akan memastikan anaknya menunjukkan perilaku yang baik agar ia dan anaknya
bisa mendapatkan balasan surga. Di dalam sebuah hadis, Rasulullah menyuruh umat Islam
untuk mendidik anaknya dengan baik dan mengatakan bahwa orang yang mendidik anaknya
dengan baik di akhirat nanti akan berada di sisinya (Jazuli, 1997/2006). Menurut Jazuli, umat
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Islam yang berperan sebagai orang tua diharapkan untuk dapat mendidik anaknya dengan baik
dan sesuai dengan hal-hal yang ditetapkan Allah agar mendapatkan balasan surga dan
mendapatkan restu dari Allah. Keyakinan akan tanggung jawab yang dimiliki sebagai seorang
ibu serta keyakinan akan balasan surga bagi orang yang melakukan hal-hal yang baik di dunia
dapat memberikan semangat pada ibu untuk menjalankan perannya, serta menjadikannya lebih
persisten dalam mendidik dan merawat anaknya.
Selain itu, melalui Alquran dan hadis, Islam juga memberikan acuan bagi orang tua dalam
mendidik dan merawat anaknya. Di dalam sebuah hadis, Rasulullah mengungkapkan bahwa
orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi hak anak, yaitu dengan memberikan nama yang
baik, menjadikan anak berperilaku baik, serta mengajarkan anak mengenai Alquran. Selain itu,
salah satu acuan dalam mendidik anak yang tertulis di dalam Alquran terdapat pada surat
Luqman (Quran, 31:13-19) yang berisi percakapan antara Luqman dengan anaknya yang berisi
penanaman beberapa hal di bawah ini: Tidak menyekutukan Allah, berbuat baik kepada kedua
orang tua, mengetahui bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia akan dibalas oleh
Allah, mendirikan shalat, mengerjakan perbuatan baik, menjauhi hal-hal buruk, bersabar, tidak
angkuh dan sombong, serta menyederhanakan cara berjalan dan melunakkan suara. Menurut
Ghazzawi (2006), ayat ini terdapat di dalam Quran untuk mengajarkan umat Islam yang
berperan sebagai orang tua mengenai metode yang optimal dalam mengasuh anak mereka.
Tidak hanya pada penganut agama Islam, peranan agama dalam kehidupan keluarga juga
dirasakan oleh penganut agama lain. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan oleh penelitian
kualitatif yang dilakukan oleh Marks (2005) terhadap penganut agama Kristen, Yahudi,
Mormon, dan Islam, yang menunjukkan kepercayaan terhadap Tuhan dianggap sebagai
kekuatan dan dukungan yang membantu pasangan untuk bertahan dalam berkeluarga.
Penelitian ini juga memberikan kesimpulan bahwa doa dikatakan dapat memengaruhi
pernikahan melalui berbagai cara, salah satunya mengakibatkan adanya koneksi dengan Tuhan,
meningkatkan rasa peduli terhadap pasangan dan anak, membawa semangat untuk mencintai,
dan menawarkan cara untuk menyelesaikan konflik. Hal ini diperkuat oleh Ellison (1991;
dalam Booth, Johnson, Branaman, & Sica, 1995) yang menemukan bahwa interaksi dengan
Tuhan melalui doa dan membaca kitab suci dapat membantu individu dalam memecahkan dan
memahami masalah. Menurut Ellison, semakin tinggi religiusitas seseorang, lebih besar pula
kemungkinan orang tersebut untuk menggunakan agama sebagai petunjuk untuk mengatasi
kehidupan sehari-hari, termasuk kejadian-kejadian yang penuh dengan tekanan.
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan peran agama dan penerapannya dalam
parenting yang dilakukan oleh penganutnya. Parenting sendiri menurut Brooks (2008)
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
merupakan sebuah proses aksi dan interaksi antara orang tua dan anak yang dapat memberikan
pengaruh bagi kedua belah pihak. Studi yang dilakukan oleh Pearce dan Axin (1998; dalam
Bartkowski, Xu, & Levin, 2008) menunjukkan bahwa agama dapat meningkatkan ikatan atau
hubungan antara ibu dengan anak. Selanjutnya, Bartkowsi, Xu, dan Levin (2008) membuktikan
bahwa religiusitas orang tua secara umum memiliki dampak positif bagi perkembangan anak.
Religiusitas sendiri didefinisikan oleh Johnson, Jang, Larson, dan De Li (2001; dalam Krauss,
2005) sebagai tingkat di mana seorang individu berkomitmen dengan agama yang ia anut
beserta ajaran-ajarannya, sehingga sikap dan perilakunya merefleksikan komitmen tersebut.
Hasil penelitian Wilcox (2002) menunjukkan bahwa orang tua dengan religiusitas yang tinggi
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengembangan situasi rumah dan mempraktikkan
nilai-nilai yang dapat mengembangkan karakter anak mereka. Wilcox juga menemukan bahwa
rata-rata orang tua yang religius memberikan pengorbanan yang cukup besar untuk
menghabiskan waktu bersama anak mereka, mendisiplinkan anak mereka agar memiliki self-
control, menjaga hubungan pernikahan mereka, memperlakukan anak mereka dengan penuh
kasih sayang, dan mengontrol kehidupan sosial anak. Selanjutnya, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dumas dan Nissley-Tsiopinis (2006) menunjukkan bahwa religiusitas orang tua
berkorelasi dengan parenting self-efficacy. Menurut Coleman dan Karraker (2000), parenting
self-efficacy adalah estimasi orang tua mengenai kompetensinya dalam menjalankan peran
sebagai orang tua atau persepsi orang tua mengenai kemampuannya dalam mempengaruhi
perilaku dan perkembangan anak mereka secara positif.
Parenting self-efficacy merupakan konstruk yang berangkat dari teori Bandura mengenai
self-efficacy, yang kemudian diterapkan pada konteks parenting. Menurut Bandura (1994),
self-efficacy adalah kepercayaan seseorang mengenai kemampuan dirinya dalam menghasilkan
tingkat performa yang telah ditentukan sebelumnya. Self-efficacy menurut Bandura dapat
memengaruhi bagaimana orang merasa, berpikir, serta memotivasi diri dan berperilaku.
Dengan demikian, parenting self-efficacy dapat memengaruhi orang tua dalam merasa,
berpikir, memotivasi diri, dan berperilaku dalam berinteraksi dengan anak. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa parenting self-efficacy beliefs berkorelasi dengan kualitas
parenting. Ketika orang tua merasa percaya diri dengan kemampuan mereka dalam melakukan
parenting, mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan praktik-praktik parenting yang
efektif, yang memberikan dampak baik bagi perkembangan anak mereka (Gilmore & Cuskelly,
2008). Ibu yang merasa yakin terhadap kompetensinya cenderung lebih responsif (Parks &
Smeriglio, 1986; Schellenbach, Whitman, & Borkowski, 1992; dalam Bornstein, 2002), lebih
berempati, lebih tidak suka menghukum, lebih dapat memberikan ekspektasi perkembangan
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
yang tepat (East & Felice, 1996), serta lebih banyak memberikan stimulasi untuk anak (Unger
& Waudersman, 1985; dalam Coleman, 1998). Parenting self-efficacy juga ditemukan
memiliki korelasi dengan kondisi dan perilaku yang positif pada anak. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Brody, Flor, dan Gibson (1999; dalam Siegel & McGillicuddy-De Lisi, 2002)
menunjukkan bahwa parenting self-efficacy belief dari orang tua memiliki hubungan yang
positif dengan kemampuan sosial dan akademis anak.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Dumas
dan Nissley-Tsiopinis (2006) menunjukkan bahwa parenting self-efficacy berkorelasi dengan
religiusitas global dari orang tua. Namun, parenting self-efficacy dalam penelitian ini diukur
secara global dengan menggunakan delapan item yang termasuk ke dalam alat ukur parental
functioning. Padahal, menurut Coleman (1998), pengukuran parenting self-efficacy menurut
Bandura paling baik dilakukan melalui domain-spesific approach, yaitu dengan
mengombinasikan data yang dihasilkan berdasarkan pengukuran pada beberapa aspek
parenting yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pengukuran ini dinilai lebih dapat
memberikan hasil yang sesuai daripada pengukuran yang dilakukan secara global atau secara
umum. Alasan ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti korelasi antara religiusitas dengan
parenting-self efficacy yang diukur melalui pendekatan yang lebih baik menurut Coleman,
yaitu pendekatan domain-spesific. Selain mengukur parenting self-efficacy secara global,
penelitian yang dilakukan oleh Dumas dan Nissley-Tsiopinis (2006) dilakukan terhadap
partisipan yang memiliki agama yang berbeda-beda, tanpa memperhatikan perbedaan agama
yang dimiliki oleh partisipan (Dumas, percakapan pribadi, November 2012). Hal ini terjadi
karena Dumas dan Nissley-Tsiopinis hanya mengukur religiusitas secara global dan universal.
Pada penelitian tersebut, religiusitas orang tua hanya diukur melalui dua item yang secara
langsung mengevaluasi pandangan orang tua mengenai tingkat religiusitas dan spiritualitas
dirinya sendiri. Padahal, menurut Krauss (2005), pengukuran religiusitas secara universal dapat
menyebabkan hilangnya keunikan dari aspek-aspek setiap agama. Karena alasan ini, peneliti
akhirnya memutuskan untuk mengukur religiusitas secara spesifik pada satu agama tertentu,
yaitu agama Islam. Adapun religiusitas Islam didefinisikan oleh Krauss (2005) sebagai tingkat
kesadaran akan Tuhan yang dipahami sesuai dengan pandangan tauhidiah mengenai Islam dan
perilaku yang sesuai dengan kesadaran tersebut; atau tingkatan yang dimiliki seseorang dan
manifestasi dari kesadaran akan Tuhan ke dalam kehidupan sehari-hari, yang dipahami melalui
ajaran-ajaran mengenai Islam Sunni, yaitu aliran Islam di mana penganutnya mengikuti ajaran
dari Alquran dan sunnah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seseorang yang memiliki
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
religiusitas Islam yang tinggi tidak hanya giat untuk melakukan ibadah-ibadah pribadi kepada
Tuhan, tetapi juga menerapkan ajaran Islam ke dalam kehidupannya sehari-hari.
Pemilihan agama Islam secara spesifik ini didasari oleh data Badan Pusat Statistik
Indonesia (2010) yang menunjukkan bahwa penganut agama Islam di Indonesia berjumlah
207.176.162 jiwa, atau sejumlah lebih dari 87,18% dari penduduk Indonesia. Dengan
demikian, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Selain itu,
peneliti memilih untuk meneliti religiusitas Islam secara spesifik karena penelitian mengenai
religiusitas Islam belum banyak dilakukan, mengingat sebagian besar penelitian dalam ilmu
psikologi lebih banyak mengarah pada dunia Barat, di mana penganut agama Islam tidak
banyak ditemukan. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Wilde dan Joseph (1997) dalam
Krauss (2005) serta Mahoney et al. (2001) bahwa penelitian seputar religiusitas cenderung
berfokus secara eksklusif pada agama-agama barat seperti Kristen dan Yahudi. Menurut
Mahoney et al., peneliti-peneliti dalam ilmu sosial harus mulai meneliti mengenai bagaimana
tradisi-tradisi dari agama non-Barat seperti agama Islam memengaruhi kehidupan keluarga
Berdasarkan alasan-alasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti adanya korelasi dari
religiusitas Islam terhadap parenting self-efficacy, khususnya pada ibu yang memiliki toddler.
Peneliti membatasi untuk hanya melakukan penelitian terhadap ibu, karena ibu lebih sering
melakukan interaksi dengan anak, lebih cenderung melakukan interaksi secara langsung, lebih
fokus untuk mengajarkan perilaku interpersonal, serta melakukan interaksi dengan lebih intim
dan berkelanjutan (Kosterman, Haggerty, Spoth, Redmond, 2004; dalam DeGenova, 2008).
Dalam penelitian ini, usia anak dibatasi karena parenting self-efficacy diukur melalui
pendekatan domain spesifik, di mana area parenting yang diukur disesuaikan dengan tugas
parenting yang harus dilakukan oleh orang tua sesuai tingkat perkembangan anak. Usia toddler
dipilih karena ketika anak mulai memasuki periode usia ini, orang tua mendapatkan tantangan-
tantangan baru yang tidak ditemui ketika anak masih berada dalam usia bayi (Coleman, 1998).
Adapun periode usia toddlerhood menurut Davies (1999) serta Edwards dan Liu (2002)
berlangsung ketika anak berusia 12 hingga 36 bulan. Pada periode ini, anak mengalami
perkembangan dalam kemampuan kognitif, sosial, dan motorik yang cepat, sehingga orang tua
diharuskan memiliki kemampuan-kemampuan baru untuk menyesuaikan teknik parenting-nya
dengan kebutuhan anak yang terus berubah (Weaver, Shaw, Dishion, & Wilson, 2007).
Menurut Bandura (1982) dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengannya, perolehan
kemampuan baru yang harus dimiliki orang tua yang memiliki toddler ini akan meningkat
melalui persepsi dari kompetensi yang dimiliki oleh orang tua (Coleman, 1998), yang sejalan
dengan konsep parenting self-efficacy.
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara religiusitas Islam dengan
parenting self-efficacy pada ibu dari toddler. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
pengetahuan mengenai religiusitas Islam dan mengenai parenting self-efficacy, serta hubungan
di antara keduanya; serta menjadi sumber informasi mengenai implikasi agama dalam konteks
parenting, dan menjadi sumber informasi dalam melakukan sosialisasi tentang parenting bagi
orang tua.
Tinjauan Teoritis
Religiusitas merupakan tingkat komitmen individu terhadap agama yang ia anut beserta
ajaran-ajarannya, yang ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang konsisten dengan komitmen
tersebut (Johnson, Jang, Larson, dan De Li, 2001; dalam Krauss, 2005). Menurut Krauss,
religiusitas Islam adalah tingkat kesadaran akan Tuhan yang dimengerti menurut pandangan
tauhidiah dari Islam, dan berperilaku sesuai dengan kesadaran tersebut; atau tingkat manifestasi
terhadap kesadaran akan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, yang dipahami melalui ajaran
Islam Sunni. Dengan demikian, religiusitas Islam adalah tingkat kepercayaan, pemahaman, dan
penanaman ajaran agama Islam Sunni ke dalam kehidupan sehari-hari. Adapun Islam Sunni
menurut Krauss (2005) merupakan aliran Islam di mana pengikutnya mengikuti ajaran sunnah
dari Nabi Muhammad, selain juga dari kitab suci Alquran. Aliran ini merupakan aliran Islam
yang dianut oleh mayoritas penganut agama Islam di beberapa negara, termasuk di Malaysia,
tempat alat ukur ini dikonseptualisasikan, serta di Indonesia, tempat penelitian ini dilakukan.
Menurut Krauss (2005), religiusitas Islam disusun oleh dua dimensi, yaitu dimensi Islamic
worldview dan religious personality. Menurut Krauss (2011), Islamic worldview merefleksikan
paradigma tauhidiah (paradigma yang berhubungan dengan keesaan Tuhan) yang dapat diukur
melalui akidah seorang muslim, yang berisi apa yang harus diketahui, percayai, dan dimengerti
mengenai Tuhan dan agama berdasarkan ajaran yang tertulis di dalam kitab suci Alquran dan
sunnah Nabi Muhammad, yang merupakan dua sumber utama dari hukum, kepercayaan, dan
praktik dalam Islam (Sunni). Dimensi Islamic worldview bertujuan untuk memastikan
tingkatan persetujuan seseorang dengan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan enam
pilar keimanan atau ‘rukun iman’ dalam ajaran Islam—yang terdiri dari keimanan atau
kepercayaan terhadap Tuhan, malaikat, nabi dan rasul, kitab suci Al-Qur’an, hari kiamat, dan
takdir atau keputusan yang dibuat Tuhan—yang merepresentasikan keimanan atau akidah
Islam (Krauss, 2011). Dimensi ini menurut Krauss dapat diukur melalui dua subdimensi, yaitu:
(1) Worldly, atau tingkat kepercayaan atau pemahaman dari kongruensi Islam dengan
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
kehidupan di dunia; serta (2) Spiritual, atau kepercayaan atau pemahaman mengenai hubungan
Tuhan dengan ciptaan-Nya dan mengenai realitas-realitas spiritual lainnya.
Sementara itu, religious personality dalam konstruk religiusitas Islam merepresentasikan
manifestasi dari religious worldview seseorang melalui perbuatan-perbuatan yang baik, atau
cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengekspresikan trait-nya atau untuk beradaptasi
pada situasi yang berbeda, yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam dan dimotivasi oleh God-
consciousness atau kesadaran akan Tuhan (Krauss, 2011). Menurut Krauss (2005), dimensi ini
meliputi perilaku, motivasi, sikap, dan emosi yang bertujuan untuk mengukur manifestasi
personal terhadap ajaran dan perintah Islam. Dimensi ini terbagi dalam dua subdimensi, yaitu
ritual dan muamalah. Ritual atau spesific worship menurut Krauss merupakan ibadah yang
dilakukan sebagai bentuk penyembahan terhadap Tuhan—yang dimulai dengan ibadah yang
termasuk ke dalam ‘rukun Islam’ atau kewajiban yang harus dijalankan umat Islam, serta
ibadah sunah atau yang tidak wajib untuk dilakukan. Sementara itu, muamalah atau general
worship meliputi ibadah yang dilakukan melalui hubungan dan kehidupan sehari-hari (Krauss,
2005). Ibadah ini menurut Krauss meliputi hubungan seseorang dengan dirinya sendiri dan
dengan makhluk hidup yang lain—sesama manusia, alam, dan lainnya. Menurut Krauss,
muamalah merupakan kekuatan dari karakteristik seseorang ketika berhadapan dengan ciptaan
Tuhan yang lain. Menurut Wan Daud (1998; Krauss, 2005), titik temu dari general worship
dan special worship adalah puncak dari religiusitas Islam, yang digambarkan sebagai
ketakwaan, atau kesadaran akan Tuhan yang dimanifestasikan ke dalam perilaku yang
konsisten dengan kesadaran tersebut.
Sementara itu, parenting self-efficacy adalah estimasi orang tua mengenai kompetensinya
dalam menjalankan peran sebagai orang tua atau persepsi orang tua mengenai kemampuannya
dalam mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak mereka secara positif (Coleman &
Karraker, 2003). Dengan kata lain, parenting self-efficacy merupakan penilaian orang tua
terhadap kemampuannya dalam melakukan parenting. Menurut Bandura (1989; Coleman &
Karraker, 2003), parenting self-efficacy melibatkan pengetahuan terhadap perilaku parenting
yang tepat serta kepercayaan terhadap kemampuan seseorang untuk dapat terlibat dalam
perilaku tertentu secara efektif. Apa yang dipercayai oleh orang tua mengenai parenting akan
memengaruhi parenting yang mereka lakukan dan memengaruhi perkembangan anak (Siegel
& DeLisi, 2002). Menurut Coleman (1998), salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengukur parenting self-efficacy adalah domain-spesific approach, yaitu dengan
mengombinasikan data yang dihasilkan melalui pengukuran task-spesific dari self-efficacy,
yang merefleksikan beberapa aspek parenting, menjadi satu pengukuran gabungan (Bandura,
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Babaranelli, Caprara, & Pastorelli, 1996; dalam Coleman, 1998). Melalui pendekatan ini, orang
tua diminta untuk menilai persepsi terhadap kompetensi mereka terkait dengan beberapa
perilaku yang termasuk dalam domain-domain parenting tertentu. Menurut Coleman,
dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain, pendekatan ini adalah pendekatan yang paling
disarankan oleh Bandura untuk mengukur self-efficacy, namun jarang digunakan. Menurut
Bandura (1989), pengukuran domain spesifik dapat memberikan hasil yang lebih sesuai antara
pengukuran yang dilakukan oleh diri sendiri (self-appraisal) dengan perilaku yang sebenarnya
(Coleman & Karraker, 2003).
Menurut Coleman (1998), parenting self-efficacy dari orang tua dengan toddler dapat
diukur melalui persepsi orang tua terhadap kompetensinya dalam melakukan tujuh dimensi
parenting menurut Zeanah et al. (1997). Dengan demikian, domain parenting self-efficacy
menurut Coleman adalah: (1) Emotional availability, yang mengukur persepsi orang tua orang
tua terhadap kemampuannya untuk selalu ada jika anaknya membutuhkannya; (2) nurturance,
valuing the child, and empathetic responsiveness, yang mengukur persepsi orang tua dalam
memahami mood anaknya dan memberikan respons yang tepat; (3) protection from harm or
injury, yang mengukur persepsi orang tua terhadap kemampuannya untuk melindungi anaknya
dari bahaya; (4) dicipline and limit setting, yang mengukur persepsi orang tua terhadap
kemampuannya dalam memberikan aturan-aturan dan disiplin kepada anaknya; (5) playing,
yang mengukur persepsi orang tua terhadap kemampuannya dalam bermain dengan anaknya;
(6) teaching, yang mengukur persepsi orang tua terhadap kemampuannya dalam mengajarkan
anaknya mengenai konsep-konsep mengenai dunia; serta (7) instrumental care and
establishment of structure and routines, yang mengukur persepsi orang tua terhadap
kemampuannya dalam menyusul jadwal rutin untuk anaknya. Ketujuh domain ini disesuaikan
dengan perkembangan toddler serta tugas parenting yang harus dilakukan oleh orang tua dari
toddler untuk membantu perkembangan anaknya.
Metode Penelitian
Partisipan Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang bergama Islam dan memiliki toddler, yaitu
anak yang berusia 12-36 bulan. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah nonprobability sampling methods, tepatnya dengan menggunakan metode
convenience sampling, di mana peneliti memilih partisipan berdasarkan ketersediaan dan
kemauan partisipan untuk terlibat dalam penelitian (Gravetter & Forzano, 2009).
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Prosedur Penelitian
Setelah menentukan variabel yang akan diteliti, yaitu religiusitas Islam dan parenting self-
efficacy pada orang tua toddler, peneliti menentukan konstruk dan alat ukur yang paling tepat
untuk digunakan dalam penelitian. Peneliti kemudian melakukan adaptasi alat ukur, melakukan
uji coba serta revisi terhadap alat ukur hingga memiliki kualitas yang baik, dan melakukan
pengambilan data. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara
langsung maupun melalui e-mail. Kuesioner yang disebar dalam penelitian ini berjumlah
sekitar 130 kuesioner, namun yang diterima kembali hanya berjumlah 78 kuesioner. Dari 78
data yang diperolah tersebut, peneliti kemudian mengeliminasi 6 data yang memiliki skor
social desirability yang tinggi serta 3 data yang tidak terisi lengkap, sehingga data yang dapat
diolah berjumlah 69 data. Dalam mengolah data, peneliti menggunakan aplikasi Statistical
Package for Social Science (SPSS) for Windows. Adapun teknik statistika yang digunakan
adalah: Statistik Deskriptif, Pearson Correlation Coefficient, Independent sampel t-test, dan
one way analysis of variance (ANOVA).
Pengukuran
Dalam penelitian ini, religiusitas Islam diukur dengan menggunakan The Revised Muslim
Religiosity-Personality Inventory (R-MRPI) yang dibuat oleh Krauss (2011), yang terdiri dari
20 item yang mengukur Islamic worldview dan 27 item yang mengukur religious personality.
Pada dimensi Islamic worldview, penskoran dilakukan dengan skala sikap dari rentang 1
(sangat tidak setuju) sampai 6 (sangat setuju); sedangkan pada dimensi religious personality,
skala sikap yang digunakan berkisar dari rentang 1 (tidak pernah) hingga 6 (selalu). Selain 47
item tersebut, terdapat 5 item tambahan yang berfungsi sebagai social desirability/lie scale
untuk mengantisipasi partisipan yang mengerjakan alat ukur berdasarkan apa yang menurutnya
harus dilakukan, bukan apa yang mereka lakukan sebenarnya. Item-item yang berfungsi sebagai
social reliability/lie scale menurut Crowne dan Marlowe (1964; dalam Krauss et al., 2011)
menampilkan perilaku yang sesuai dengan norma sosial namun jarang ditemui, atau tidak
sesuai dengan norma sosial namun sering ditemui. Berdasarkan lima item tersebut, partisipan
yang menunjukkan jumlah total skor lebih dari 80% dari kemungkinan skor tertinggi (skor di
atas 24) tidak dapat digunakan datanya karena ia kemungkinan mengisi item berdasarkan social
desirability atau memiliki skor yang tinggi secara ekstrem (outlier).
Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas dari alat ukur MRPI yang dilakukan Krauss (2005)
dengan menggunakan teknik Cronbach’s alpha, ditemukan koefisien reliabilitas untuk dimensi
Islamic worldview sebesar 0,82 dan koefisien reliabilitas untuk dimensi religious personality
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
sebesar 0,91. Sementara itu, hasil uji coba yang dilakukan oleh peneliti terhadap 51 penganut
agama Islam yang berusia dewasa menunjukkan bahwa R-MRPI yang telah diadaptasi
memiliki koefisien reliabilitas tes sebesar 0,84. Adapun koefisien reliabilitas untuk dimensi
Islamic worldview adalah 0,8, sedangkan koefisien reliabilitas untuk dimensi religious
personality adalah 0,88. Validitas konten pada alat ukur R-MRPI dipastikan oleh Krauss
melalui tiga cara: Tinjauan pustaka; evaluasi dari tujuh orang yang ahli di bidang psikometri,
psikologi, atau Islam (sehingga semua item yang terpilih telah disepakati oleh setidaknya 70%
dari tujuh orang tersebut); serta evaluasi dari tim peneliti yang berasal dari beberapa bidang
studi yang berbeda. Sementara itu, pengujian terhadap validitas konstruk pada alat ukur ini
dilakukan oleh Krauss dengan menggunakan teknik analisis faktor. Untuk melakukan
penelitian ini, peneliti hanya melakukan uji validitas internal terhadap R-MRPI yang telah
diadaptasi, dan merevisi item-item yang memiliki indeks korelasi yang lebih rendah dari 0,2.
Sementara itu, dalam penelitian ini, parenting-self efficacy diukur dengan menggunakan
The Self-Efficacy for Parenting Tasks Index – Toddler Scale (SEPTI-TS) yang dibuat oleh
Coleman (1998). Alat ukur ini dibuat oleh Coleman (1998) dan memuat 52 item dalam tujuh
subskala yang dirancang untuk mengukur parenting self-efficacy melalui pendekatan domain
spesifik. Tujuh domain alat ukur ini yaitu: (1) Emotional availability; (2) nurturance, valuing
the child, and empathetic responsiveness, (3) protection from harm or injury, (4) dicipline and
limit setting, (5) playing, (6) teaching; serta (7) instrumental care and establishment of
structure and routines. Pada SEPTI-TS, penskoran dilakukan dengan menggunakan skala sikap
dari rentang 1 (sangat tidak setuju) sampai 6 (sangat setuju).
Berdasarkan uji reliabilitas yang dilakukan oleh Coleman melalui teknik Cronbach’s
alpha, ditemukan koefisien reliabilitas untuk alat ukur SEPTI-TS secara keseluruhan sebesar
0,91. Adapun koefisien reliabilitas yang didapatkan oleh peneliti terhadap hasil adaptasi yang
dilakukan terhadap SEPTI-TS adalah 0,883. Hasil tersebut diperoleh dari uji coba yang
dilakukan kedua kalinya, setelah peneliti merevisi beberapa item, terhadap 35 ibu yang
memiliki toddler. Untuk menguji concurrent validity, Coleman (1998) mengorelasikan skor
yang diperoleh melalui alat ukur SEPTI-TS dengan skor dalam alat ukur PSOC, khususnya
dalam subskala PSOC-Efficacy. Berdasarkan uji validitas concurrent yang dilakukan, alat ukur
ini memiliki korelasi yang signifikan dengan subskala PSOC-Efficacy dari alat ukur PSOC.
Setelah melakukan adaptasi terhadap SEPTI-TS, peneliti hanya melakukan uji validitas
internal, dan melakukan revisi pada item dengan indeks korelasi yang lebih kecil dari 0,2.
Hasil Penelitian
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Berdasarkan penghitungan yang telah dilakukan terhadap 69 data yang diperoleh,
ditemukan bahwa rata-rata skor religiusitas Islam partisipan adalah 5,05 dengan standar deviasi
sebesar 0,37. Nilai standar deviasi yang cukup kecil ini menunjukkan bahwa skor yang
diperoleh partisipan tidak tersebar jauh dari skor rata-rata. Adapun skor religiusitas Islam
terendah yang diperoleh partisipan adalah 4,31, sedangkan skor yang tertinggi adalah 5,74.
Berikut adalah gambaran skor yang diperoleh partisipan untuk setiap dimensi:
Tabel 1
Gambaran Persebaran Skor Dimensi Religiusitas Islam Partisipan Penelitian
Dimensi Religiusitas Islam Jumlah Item Rata-rata Skor
Skor Terendah
Skor Tertinggi
Standar
Deviasi
Islamic Worldview 20 5,34 4,5 6,0 0,37
Religious Personality 37 4,77 3,37 5,89 0,49
Selanjutnya, ditemukan pula bahwa skor parenting self-efficacy yang diperoleh partisipan
adalah 4,69 dengan standar deviasi sebesar 0,52. Nilai standar deviasi yang cukup kecil ini
menunjukkan bahwa skor yang diperoleh partisipan tidak tersebar jauh dari skor rata-rata.
Adapun skor parenting self-efficacy terendah yang diperoleh partisipan adalah 2,77, sedangkan
skor yang tertinggi adalah 5,47. Berikut adalah gambaran skor yang diperoleh partisipan pada
setiap domain parenting sel-efficacy:
Tabel 2 Gambaran Persebaran Skor Domain Parenting Self-Efficacy Partisipan Penelitian
Domain Parenting
Self-Efficacy
Jumlah Item
Skor Terendah
Skor Tertinggi
Skor Rata-rata
Standar Deviasi
Emotional Availability 7 3,14 5,86 4,88 0,61
Nurturance 8 2,50 5,75 4,86 0,57
Protection 7 2,29 6,00 4,84 0,68
Dicipline 7 2,71 5,57 4,15 0,61
Playing 7 2,43 5,71 4,78 0,62
Teaching 9 3,25 6,00 4,87 0,62
Instrumental Care 8 2,13 6,00 4,45 0,70
Untuk mengetahui hubungan antara setiap dimensi religiusitas Islam dengan parenting
self-efficacy, peneliti menggunakan teknik koefisien korelasi Pearson. Berdasarkan hasil
penghitungan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa religiusitas Islam berkorelasi secara
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
signifikan dengan parenting self-efficacy (r = +0,475; n = 69; p < 0,01, one-tail). Hubungan
yang signifikan ini membuat hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara skor religiusitas
Islam dan parenting self-efficacy. Menurut Cohen (1988) dalam Gravetter dan Forzano (2009),
koefisien korelasi untuk setiap domain tersebut menandakan hubungan dengan derajat yang
sedang antarvariabel yang diteliti. Selain itu, ditemukan pula nilai coefficent of determination
(r2) sebesar 0,226, sehingga dapat interpretasikan bahwa sebanyak 22,6% variansi skor
parenting self-efficacy dapat dijelaskan melalui skor religiusitas Islam, sedangkan 77,4%
variansi yang lain dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, eror, atau faktor-faktor lain yang
tidak diukur atau tidak dijelaskan di dalam penelitian ini.
Berikut di bawah ini adalah hasil penghitungan yang dilakukan untuk melihat hubungan
setiap dimensi religiusitas Islam dengan parenting self-efficacy, serta hubungan religiusitas
Islam dengan domain-domain dari parenting self-efficacy:
Tabel 3
Korelasi Skor Setiap Dimensi Religiusitas Islam dengan Skor Parenting Self-Efficacy
Dimensi Religiusitas Islam r Sig. (1-tailed) Keterangan
Islamic Worldview 0,366** 0,001 Signifikan pada L.o.S 0,01
Religious Personality 0,481** 0,000
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan dimensi Islamic
worldview, skor yang diperoleh pada dimensi religious personality memiliki hubungan yang
lebih kuat dengan parenting self-efficacy. Meskipun demikian, kedua dimensi ditemukan
memiliki hubungan positif yang signifikan dengan derajat hubungan yang sedang menurut
Cohen (1988) dalam Gravetter dan Forzano (2009).
Tabel 4
Korelasi Skor Religiusitas Islam dengan Skor Setiap Domain Parenting Self-Efficacy
Domain Parenting Self-Efficacy r Sig. (1-tailed) Keterangan
Emotional Availability 0,416** 0,000
Nurturance 0,345** 0,002
Protection 0,415** 0,000 Signifikan pada
L.o.S 0,01 Dicipline 0,303** 0,006
Playing 0,328** 0,003
Teaching 0,437** 0,000
Instrumental Care 0,420** 0,000
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa religiusitas Islam memiliki hubungan positif
yang signifikan dengan setiap domain parenting self-efficacy. Menurut Cohen (1988) dalam
Gravetter dan Forzano (2009), koefisien korelasi untuk setiap domain tersebut menandakan
hubungan antarvariabel yang diteliti dengan derajat yang sedang.
Pembahasan
Dari hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa religiusitas Islam memiliki korelasi
positif yang signifikan dengan parenting self-efficacy. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
partisipan yang memiliki tingkat religiusitas Islam yang tinggi akan memiliki parenting self-
efficacy yang tinggi pula. Sebaliknya, partisipan dengan religiusitas Islam yang rendah juga
akan memiliki parenting self-efficacy yang rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dumas (2006) yang menemukan bahwa religiusitas global dari orang tua
berkorelasi dengan penilaian orang tua terhadap kemampuannya untuk menjalankan peran
sebagai orang tua.
Hubungan yang positif antara religiusitas Islam dengan parenting self-efficacy dapat
terjadi karena beberapa alasan. Salah satunya karena agama Islam dapat menyediakan cara
untuk mengatasi stres, seperti konsep religious coping menurut Pargament (1997; dalam
Annette, et al., 2001). Menurut Pargament, agama dapat membantu individu dalam mengatasi
stres melalui dukungan spiritual dari Tuhan, dukungan dari komunitas agama, pengkajian
ulang stressor melalui sudut pandang agama sehingga menghasilkan penilaian positif, serta
ritual-ritual keagamaan. Menurutnya, secara umum, agama dapat berperan dalam memberikan
sumber daya kognitif dan perilaku untuk melakukan coping terhadap sumber stres dalam
berbagai konteks kehidupan, termasuk dalam pernikahan dan pengasuhan anak. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Becher (2008), penganut agama Islam yang religius
menganggap bahwa Islam adalah agama yang relevan terhadap semua aspek kehidupan dan
menjadi cara hidup mereka. Islam juga dianggap memiliki jawaban terhadap semua
permasalahan melalui kitab sucinya, Alquran, sehingga dapat membantu penganutnya dalam
mengatasi permasalahan dalam hidup mereka. Hal ini menjadi penting karena menurut
Bandura (1994), kepercayaan orang terhadap kemampuan coping-nya dapat memengaruhi
motivasi serta tingkat stres dan depresi yang mereka alami dalam situasi yang sulit, sehingga
dapat memengaruhi proses afektif dalam pembentukan self-efficacy. Dengan demikian,
individu yang memiliki religiusitas yang tinggi memiliki lebih banyak kesempatan untuk dapat
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
melakukan coping dengan efektif, sehingga parenting self-efficacy-nya pun dapat menjadi
lebih baik.
Selain itu, salah satu hal yang dapat menyebabkan korelasi yang positif antara religiusitas
Islam dengan parenting self-efficacy adalah karena religiusitas orang tua ditemukan memiliki
hubungan yang positif dengan dukungan sosial (Hill, Burdette, Regnerus, & Angel; 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang lebih religius memiliki jaringan sosial
yang lebih luas dan beragam, lebih sering berhubungan dengan anggota jaringan sosial
tersebut, memiliki hubungan dengan keluarga yang lebih berkelanjutan, dan mendapatkan lebih
banyak dukungan sosial (Abbott et al., 1990; Ellison & George, 1994; dalam Hill et al., 2008).
Menurut Wilcox (2002), jaringan sosial yang mendukung dapat memberikan saran bagi orang
tua mengenai strategi dan praktik parenting yang efektif. Menurut Hill et al. (2008), dukungan
sosial yang lebih baik berhubungan dengan rasa percaya diri serta kemampuan orang tua dalam
menjalankan perannya sebagai orang tua. Dengan demikian, dukungan sosial yang lebih baik
pada orang tua yang lebih religius dapat membuat parenting self-efficacy-nya juga menjadi
lebih tinggi. Dukungan sosial yang lebih baik yang dimiliki oleh orang tua yang religius,
ditambah dengan harapan dan optimisme serta kemampuan dalam memaknai hidup dan tujuan
yang juga memiliki hubungan positif dengan religiusitas, menurut Koenig (2001; dalam Hill et
al., 2008) menyebabkan religiusitas orang tua memiliki hubungan positif dengan kesehatan
mental orang tua. Menurut Hill et al., kesehatan mental yang baik dapat memberikan pengaruh
yang penting dalam menentukan sikap seseorang terhadap parenting yang ia lakukan. Orang
tua dengan psychological distress yang lebih besar, misalnya, dilaporkan memiliki parental
stress yang lebih besar dan perceived parental competence yang lebih rendah (Lutenbacher,
2002; Oyserman et al., 2002 dalam Hill et al.). Menurut Hill et al., psychological distress yang
rendah serta dukungan sosial yang lebih baik berhubungan dengan rasa percaya diri serta
kemampuan orang tua dalam menjalankan perannya sebagai orang tua. Kedua faktor tersebut
menurut Coleman dan Karraker (1998) juga dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi
parenting self-efficacy seseorang. Dengan demikian, psychological distress yang ditemukan
lebih rendah pada orang tua yang religius dapat menjadi salah satu hal yang menyebabkan
hubungan religiusitas Islam dengan parenting self-efficacy yang positif.
Pada penelitian ini, kedua dimensi religiusitas Islam ditemukan memiliki hubungan positif
dengan parenting self-efficacy ibu dengan derajat hubungan yang sedang. Namun, dimensi
yang ditemukan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan parenting self-efficacy adalah
dimensi religious personality. Hal tersebut terjadi karena religious personality merupakan
manifestasi dari keimanan yang dimiliki ke dalam perilaku sehari-hari—bukan hanya tingkat
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
kepercayaan yang dimiliki individu. Dengan demikian, individu yang meraih skor tinggi pada
dimensi ini berarti sudah cukup mampu menerapkan ajaran dan aturan Islam yang ke dalam
kehidupannya sehari-hari, termasuk dalam konteks parenting.
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian ini, seluruh domain parenting self-
efficacy juga ditemukan memiliki korelasi positif dengan derajat hubungan yang sedang dengan
religiusitas Islam. Adapun domain parenting self-efficacy yang memiliki korelasi yang paling
kuat dengan religiusitas Islam adalah domain teaching, yang mengukur persepsi individu
mengenai kemampuannya untuk mengajarkan anaknya mengenai lingkungannya. Hal ini
mungkin saja terjadi karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilcox (2002) menunjukkan
bahwa intensitas dari kepercayaan religius orang tua akan memotivasi mereka untuk
memberikan lebih banyak waktu dan energi untuk membentuk karakter yang religius dari anak
mereka. Karenanya, menurut Wilcox, orang tua yang memiliki religiusitas yang tinggi
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan
mempraktikkan nilai-nilai yang dapat meningkatkan karakter di dalam diri anak mereka. Selain
itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Becher (2008), ditemukan bahwa
tanggung jawab religius yang dimiliki oleh ibu yang paling ditekankan oleh partisipan dalam
penelitiannya adalah tanggung jawab untuk mengajarkan anak. Hal ini terjadi karena di dalam
Islam, seorang ibu dipandang sebagai guru pertama untuk anaknya, serta karena transmisi
religius menjadi tugas parenting yang utama bagi orang tua yang religius.
Domain parenting self-efficacy yang juga ditemukan memiliki hubungan yang signifikan
dengan religiusitas Islam adalah domain emotional availability yang mengukur mengenai
persepsi ibu mengenai kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan emosional anaknya. Hal
ini berkaitan dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Becher (2008) juga
menunjukkan bahwa agama Islam mengajarkan ibu untuk selalu ada untuk anaknya. Meskipun
dapat melakukan aktivitas lain di luar pekerjaan rumah tangga, menurut kebanyakan partisipan
dalam penelitian Becher, seorang ibu harus dapat mengorbankan urusan pribadinya untuk
selalu tersedia bagi anaknya. Selain itu, kebanyakan partisipan dalam penelitian Becher juga
menyebutkan bahwa dalam sudut pandang Islam, seorang ibu yang baik adalah yang
memperlakukan anaknya dengan lembut dengan penuh kasih sayang, serta dapat diandalkan
ketika anak membutuhkan bantuan atau perlindungan. Hal tersebut mendukung hasil penelitian
ini yang menunjukkan bahwa religiusitas Islam memiliki hubungan positif dengan keyakinan
ibu untuk melakukan tugas parenting berupa nurturance, valuing, and empathetic
responsiveness serta protection from harm and injury.
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Berdasarkan skor yang diperoleh terhadap parenting self-efficacy partisipan, ditemukan
bahwa domain parenting self-efficacy yang memiliki nilai rata-rata yang terendah adalah
domain dicipline and limit setting yang mengukur keyakinan ibu terhadap kemampuannya
dalam memberikan aturan dan batasan kepada anaknya yang berusia toddler. Hal ini dapat
terjadi karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, toddler memiliki beberapa sumber
kecemasan yang dapat menyebabkan perilakunya terlihat negatif dan keras kepala (Davies,
1999), sehingga periode usia ini juga dikenal dengan istilah ‘the terrible twos’. Pada usia ini,
anak memiliki keinginan untuk menunjukkan kekuasaan dan kontrol, yang kerap muncul dalam
bentuk negativisme dan kecenderungan untuk meneriakkan kata ‘tidak’ yang ditujukan untuk
melawan pihak otoritas (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Davies, toddler juga akan
menunjukkan persistensi dalam melakukan aktivitas-aktivitas tertentu karena rasa ingin
tahunya yang sangat tinggi, sehingga ia akan terus melakukan sesuatu meskipun telah dilarang
oleh orang tuanya. Hal ini dapat menyebabkan orang tua mengalami kesulitan untuk membuat
anak mematuhi aturan dan batasan yang diberikan. Namun, keyakinan ibu dalam melakukan
tanggung jawab dalam mendisiplinkan anak dalam penelitian ini ditemukan memiliki
hubungan yang positif dengan religiusitas Islam ibu. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Wilcox (2002) yang menunjukkan bahwa orang tua yang religius secara rata-rata
memberikan usaha yang lebih besar untuk menghabiskan waktu dengan anak mereka dan
mendisiplinkan anak mereka untuk melatih self-control-nya.
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya
adalah pengujian validitas alat ukur yang hanya dilakukan dengan menggunakan metode
validitas internal. Selain itu, meskipun terdapat beberapa partisipan yang ditemui secara
langsung oleh peneliti, mayoritas alat ukur diadministrasikan dengan mengirimkannya melalui
e-mail. Hal ini menyebabkan peneliti tidak dapat menemani partisipan secara langsung,
sehingga mungkin saja ada pertanyaan-pertanyaan partisipan terkait dengan alat ukur yang
diberikan. Selain itu, penyebaran skor religiusitas Islam maupun parenting self-efficacy masih
kurang merata, dilihat dari nilai standar deviasi yang cukup kecil. Hal ini mungkin terjadi
karena sebagian besar partisipan tergabung dalam mailing list atau mengikuti linimasa Twitter
AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang membahas mengenai ASI dan hal-hal lain
terkait pengasuhan anak usia bayi dan toddler. Parenting self-efficacy ditemukan memiliki
hubungan positif dengan usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mengedukasi diri mereka
mengenai parenting (Spoth & Cunroy dalam Coleman, 1998), termasuk usaha untuk
mendapatkan informasi dari Twitter atau mailing list. Skor religiusitas Islam yang juga tidak
terlalu tersebar juga dapat terjadi karena selain melalui AIMI, penyebaran kuesioner juga
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
banyak dilakukan kepada ibu yang menyekolahkan anaknya di sekolah Islam serta ibu yang
secara rutin mengikuti kajian-kajian seputar Islam.
Karena penelitian mengenai religiusitas Islam belum banyak dilakukan, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai hubungan religiusitas Islam dengan
kepercayaan ibu terhadap kemampuannya dalam menjalankan peran sebagai ibu, yang
ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan kemampuan ibu yang sebenarnya dalam
melakukan parenting. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian awal
mengenai penerapan agama Islam dalam parenting yang dilakukan oleh ibu, sehingga
selanjutnya dapat diadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai topik ini.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan hasil interpretasi untuk menjawab masalah penelitian, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiusitas Islam dengan
parenting self-efficacy pada ibu yang memiliki toddler. Artinya, semakin tinggi religiusitas
Islam yang dimiliki partisipan, semakin tinggi pula parenting self-efficacy-nya; begitu pula
sebaliknya. Agar hasil penelitian lebih mendalam, peneliti juga menghubungkan antara
dimensi religiusitas Islam dengan masing-masing domain parenting self-efficacy. Berdasarkan
penghitungan tersebut, ditemukan bahwa religiusitas Islam, baik dari dimensi Islamic
worldview maupun dimensi religious personality, memiliki hubungan positif yang signifikan
dengan semua domain parenting self-efficacy.
Saran
Agar alat ukur yang digunakan dalam penelitian memiliki kualitas yang lebih baik, peneliti
menyarankan agar uji coba alat ukur dilakukan terhadap partisipan dengan jumlah yang lebih
banyak, dan agar uji validitas dilakukan dengan menggunakan teknik validasi yang lain—
misalnya melalui uji validitas kriteria, validitas konvergen dan diskriminan, atau analisis
faktor—untuk memastikan bahwa alat ukur yang digunakan benar-benar valid. Agar penelitian
selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik, peneliti menyarankan agar jumlah partisipan
yang terlibat dalam penelitian lebih banyak dan lebih beragam, agar variansi skor dapat
meningkat. Selain itu, kuesioner sebaiknya diberikan secara langsung, agar pertanyaan seputar
kuesioner yang diberikan dapat ditanyakan secara langsung. Selanjutnya, karena tugas
parenting untuk setiap tahap perkembangan anak berbeda-beda dan memiliki tantangannya
sendiri, perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan religiusitas Islam dan parenting self-
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
efficacy terhadap orang tua yang memiliki anak selain usia toddler. Selain itu, untuk dapat
membuat kesimpulan yang universal mengenai kaitan religiusitas dengan parenting self-
efficacy, perlu dilakukan penelitian hubungan religiusitas berdasarkan ajaran agama lain (selain
Islam) dengan parenting self-efficacy. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif
mengenai kaitan agama dan religiusitas di dalam konteks parenting, perlu dilakukan penelitian
mengenai hubungan religiusitas Islam dengan aspek-aspek parenting yang lain. Terakhir,
untuk dapat meneliti keberadaan faktor-faktor yang mungkin memengaruhi hubungan
religiusitas dengan parenting self-efficacy, perlu dilakukan pengambilan data kontrol mengenai
keterlibatan orang tua dalam jaringan-jaringan sosial atau aktivitas-aktivitas yang berkaitan
dengan agamanya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memandang pentingnya penyuluhan kepada ibu
mengenai cara mengatasi ‘the terrible twos’ agar ibu dapat memberikan aturan dan batasan
terhadap anaknya dengan efektif, tanpa menyakiti perasaan anak, karena hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepercayan ibu mengenai kemampuan mereka dalam mendisiplinkan
anak mereka yang berusia toddler tidak setinggi domain lain. Selain itu, peneliti juga
menyarankan agar dilakukan seminar mengenai pentingnya pemahaman ajaran agama Islam
dan penanamannya dalam kehidupan sehari-hari terhadap hubungan di keluarga, khususnya
dalam konteks parenting dan parenting self-efficacy.
Kepustakaan
Badan Pusat Statistik. (2010). Penduduk menurut kelompok umur dan agama yang dianut di
Indonesia. Diakses pada 9 September 2012 dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/
site/tabel?tid=320&wid=0.
Bandura, A. (1994). Self-efficacy. Dalam V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of human
behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press.
Bartkowski, J. P., Xu, X., & Levin, M., L. (2008). Religion and child development: evidence
from the early childhood longitudinal study. Social Research Science, 37. 18-36.
doi:10.1016/j/ssresearch.2007.02.001.
Bornstein, M. H. (2002). Parenting infants. Dalam M. H. Bornstein (Ed.), Handbook of
parenting volume 1: Children and parenting (2nd edition) (pp. 3-44). New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.
Brooks, J. (2008). The process of parenting (7th edition). New York: McGraw-Hill.
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Coleman, P. K. (1998). Maternal self-efficacy beliefs as predictors of parenting competence
and toddlers' emotional, social, and cognitive development. West Virginia: West Virginia
University.
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2000). Parenting self-efficacy among mothers of school-
age children: conceptualization, measurement, and correlates. Family Relations, 49 (1),
13-24. doi: 10.1111/j.1741-3729.2000.00013.x
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2003). Maternal self-efficacy beliefs, competence in
parenting, and toddlers’ behaviors and developmental status. Infant Mental Health
Journal, 24 (2), 126–148. doi: 10.1002/imhj.10048
Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2005). Parenting self efficacy, competence in parenting,
and possible links to young children‟s social and academic outcomes. Dalam O.N.
Saracho & B. Spodek (Eds.), Contemporary perspectives on families, communities, and
schools for young children. Diakses pada 27 Oktober 2012 dari
http://books.google.co.id/books?id=lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenting+self+effi
cacy&Ho=id&sa=X&ei=kOLOT72cIoHQrQfl24SVDA&ved=0CC8Q6AEwAA#v=onep
age&q=parenting%20self%20efficacy&f=false
Davies, D. (1999). Child development, a practitioner’s guide. New York: The Guilford Press.
DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationships, marriages, & families (7th edition). New
York: McGraw-Hill.
Departemen Agama Republik Indonesia. (2009). Al-Qur’an terjemah per-kata. Bandung:
Syaamil Al-Qur’an.
Dumas, J. & Dumas, J. E., & Nissley-Tsiopinis, J. (2006). Parental global religiousness,
sanctification of parenting, and positive and negative religious coping as predictors of
parental and child functioning. International Journal For The Psychology Of Religion, 16
(4), 289-310. doi: 10.1207/s15327582ijpr1604_4
Edwards, C. P. & Liu, W. (2002). Parenting toddlers. Dalam M. H. Bornstein (Ed.), Handbook
of parenting volume 1: Children and parenting (2nd edition) (pp. 45-72). New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.
Ghazzawi, Z. K. (2006). How to find the optimal way to parent children from the noble quran?
Diunduh pada 25 Oktober 2012 dari http://www.quran-
miracle.com/LecturesView.aspx?bFgpCpEK3QyhXdsNqNoUIV+ozqlSJVq/53DWcQGh
nJ/TM0qoGaEjH06qfDQpD+8qO/beA7zFiEJ+kSwl7c2Y0wYwcZyWll3v
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013
Gilmore, L. A., & Cuskelly, M. (2008). Factor structure of the parenting sense of competence
scale using a normative sample. Child Care, Health, & Development, 38(1), 48-55. doi:
10.1111/j.1365-2214.2008.00867.x
Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd
edition). Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
Hill, T. D., Burdette, A. M., Regnerus, M., & Angel, R. J. (2008). Religious involvement and
attitudes toward parenting among low income urban women. Journal of Family Issues, 29
(7), 882-900. doi: 10.1177/ 0192513X07311949
Jazuli, A. S. (2006). Kehidupan dalam pandangan Al-qur’an (S. Narulita & M. Jannah,
penerj.). Jakarta: Gema Insani Press. (Tulisan asli dipublikasikan pada 1997)
Krauss, S.E. (2005). Development of the muslim religiosity-personality inventory for
measuring the religiosity of malaysian muslim youth. (Unpublished Ph.D thesis).
Universiti Putra Malaysia, Serdang.
Krauss, S. E. & Hamzah, A. (2011). The Muslim Religiosity-Personality Inventory (MRPI)
scoring manual. (Unpublished). Universiti Putra Malaysia, Serdang.
Krauss, S. E., et al. (2012). Religious socialization among malaysian muslim adolescents: a
family structure comparison. Review of Religious Research: The Official Journal Of The
Religious Research Association. doi: 10.1007/S13644-012-0068-Z
Mahoney, Annette., Pargament, K., Tarakeshwar, N; Swank, A. B. (2001). Religion in the
home in the 1980s and 1990s: A meta-analytic review and conceptual analysis of links
between religion, marriage, and parenting. Journal of Family Psychology,15, 4, 559-596.
Marks, L. (2005). How does religion influence marriage? Christian, Jewish, Mormon, and
Muslim perspectives. Marriage & Family Review, 38(1), 85-111.
doi:10.1300/J002v38n01_07
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th edition). New
York: McGraw-Hill.
Siegel, I. E. & McGillicuddy-De Lisi, A. V. (2002). Parent beliefs are cognitions: The dynamic
belief systems model. Dalam M. H. Bornstein (Ed.), Handbook of parenting volume 3:
Being and becoming a parent (2nd edition) (pp. 485-545). New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates.
Wilcox, W. B. (2002). Focused on their families: Religion, parenting, & child wellbeing.
Diunduh pada 22 September 2012 dari http://crcw. princeton.edu/workingpapers/WP02-
12-Wilcox.pdf
Hubungan Religiusitas ..., Anitasia Amalia, FPsi UI, 2013