5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bakso
Bakso daging merupakan makanan yang sudah popular di kalangan
masyarakat. Dewi dan Santosa (2007), memaparkan bakso daging merupakan
makanan yang dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama tepung
tapioka dan bumbu, berbentuk bulat, dan setelah dimasak memiliki rasa kenyal
sebagai ciri spesifikasinya. Menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia dalam
(SNI) 3818-2014, bakso daging adalah produk olahan yang dibuat dari hewan
ternak yang dicampur pati dan bumbu – bumbu dengan atau tanpa penambahan
bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang
berbentuk bulat atau lainnya dan dimatangkan (Anonim, 2014).
Bakso adalah campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu yang
telah mengalami proses ekstrusi dan pemasakan. Cara pembuatan bakso tidak
sulit. daging digiling halus, kemudian dicampur dengan tepung dan bumbu
didalam alat pencampur khusus sehingga bahan tercampur menjadi bahan pasta
yang sangat rata dan halus. Bakso yang bermutu bagus dapat dibuat tanpa
penambahan bahan kimia apapun (Anonim 2007).
Berbeda dengan pendapat diatas, Widyaningsih dan Murtini (2006) dalam
Sudarwati, (2007) menyatakan bahwa bakso merupakan produk gel dari protein
daging, baik daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging
giling dengan bahan tambahan utama garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu.
Bumbu - bumbu yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah : bawang putih,
garam, dan es batu. Bawang putih mempunyai jenis yang banyak, tetapi tidak ada
6
perbedaan yang mencolok kecuali pada bentuk umbinya. Senyawa allicin pada
bawang putih menyebabkan bawang putih memiliki bau yang tajam. Bawang
putih mengandung sulfur dan yodium yang berfungsi untuk mencegah penyakit
jantung (Wirakusumah, 2000 dalam Sudarwati, 2007).
Garam berfungsi untuk memperbaiki citarasa dan melarutkan protein
pada bakso. Penggunaan garam biasanya 2,5% dari berat daging, sedangkan
bumbu penyedap 2% dari berat daging. Pada penelitian ini tidak menggunakan
bumbu penyedap karena sejauh ini penggunaan penyedap masih diperdebatkan
dan dicurigai sebagi penyebab timbulnya kelaianan kesehatan, bahkan dicurigai
sebagai timbulnya penyakit kanker (Wibowo, 2006).
Penambahan es batu atau air es sangat penting dalam pembentukan
tekstur bakso. Dengan adanya es ini, suhu dapat dipertahankan tetap rendah
sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gesekan mesin penggiling dan
ekstraksi protein berjalan dengan baik. Penambahan es berfungsi menambahkan
air ke adonan sehingga adonan tidak kering pada saat proses penggilingan.
Penambahan es juga dapat meningkatkan rendemennya, untuk itu dapat
digunakan es sebanyak 10 - 15% dari berat daging (Wibowo, 2006). Es batu
dicampur pada saat proses penggilingan, hal ini dimaksudkan agar selama proses
penggilingan daya elastisitas bakso tetap terjaga dan bakso yang dihasilkan lebih
kenyal (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Menurut Setyowati dkk, (2015) untuk menghasilkan bakso yng bermutu
bagus maka digunakan 75 % daging dan 25 % tepung sagu dari total adonan yang
akan dibuat. Menurut Irawati dan Novitasari (2005), adonan yang sudah dibentuk
7
(dicetak) langsung direbus atau dimasukkan ke dalam air mendidih hingga
matang. Fungsi proses ini adalah memanaskan adonan agar terbentuk gel pati
yang lebih padat dan elastis.
Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak
berbau dan tidak mempunyai rasa. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut dalam pati disebut amilosa dan fraksi
tidak terlarut disebut amilopektin. Sifat pati adalah tidak larut dalam air, namun
bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu
tertentu (suhu gelatinisasi). Granula pati dapat membengkak dan pecah sehingga
tidak dapat kembali dalam wujud semula, perubahan sifat inilah yang disebut
gelatinisasi (Winarno, 1997).
Gelatinisasi adalah proses pembentukan gel yang diawali dengan
pembengkakkan granula pati, pada proses ini berkaitan dengan lama perebusan
yang akan menentukan kualitas bakso. Tanda bakso yang sudah matang adalah
bola - bola bakso yang direbus dalam air mendidih mengapung di permukaan air.
Perebusan bakso biasanya berlangsung 10 - 15 menit. Setelah diangkat, lalu
ditiriskan atau didinginkan pada suhu ruang. Penirisan bertujuan untuk
mengurangi kadar air agar adonan menjadi kompak. Proses ini dilakukan dengan
cara mengangin - anginkan pada suhu ruang. Prinsipnya adalah mengeluarkan
sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air dengan memanfaatkan energi
panas sampai batas tertentu (Irawati dan Novitasari, 2005).
Dalam pembuatan bakso tepung sagu yang ditambahkan berfungsi sebagai
pengenyal dan pembentuk tekstur bakso (Haryanto dan Pangloli, 1992 dalam
8
Sudarwati, 2007). Tepung sagu memiliki kandungan protein dan gluten yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka, tekstur bakso yang dihasilkan
pun lebih bagus dibanding dengan bakso yang menggunakan tepung tapioka (Lia,
2006 dalam Sudarwati, 2007). Menurut Setyowati dkk, (2015), penambahan
tepung sagu yang baik untuk pembuatan bakso adalah 10% - 25% dari total
adonan.
Bakso yang berkualitas baik harus memperhatikan pengemasan.
Pengemasan atau packaging pada dasarnya adalah membungkus produk dengan
bahan pembungkus tertentu yang memiliki sifat-sifat tertentu sehingga dapat
memberi perlindungan yang baik dari cemaran yang terdapat dalam udara (udara
saat produk berada selama rantai pemasaran) atau dari alat ataupun tangan yang
menangani sehingga terhindar dari kerusakan fisik, dan menahan masuknya
mikrobia yang dapat tumbuh pada produk dan merusak kualitasnya (Wibowo,
2006).
Jenis plastik yang sering digunakan dalam pengemasan produk daging
adalah plastik Polietilen (PE), plastik ini tidak menunjukkan perubahan pada suhu
maksimum 93oC – 121
oC dan suhu minimum -46
oC sampai dengan -5
oC. Menurut
Wheaton dan Lawson, (1985) dalam Yanti dkk, (2008), bahan kemasan plastik
yang sering digunakan adalah Polietilen, karena mempunyai harga relatif murah,
mempunyai komposisi kimia yang baik, resisten terhadap minyak dan lemak,
tidak menimbulkan reaksi kimia pada makanan, mempunyai kekuatan yang baik
dan cukup kuat untuk melindungi produk dari perlakuan kasar selama
penyimpanan, mempunyai daya serap yang rendah terhadap uap air, serta tersedia
9
dalam berbagai bentuk. Kriteria syarat mutu bakso yang baik menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel 1.
Table 1. SNI 3818 - 2014 Syarat Mutu Bakso Daging
Kriteria Uji Satuan
Persyaratan
Bakso daging Bakso daging
kombinasi
Keadaan
Bau - Normal khas
daging
Normal khas daging
Rasa - Normal khas
bakso
Normal khas bakso
Warna - Normal Normal
Tekstur - Kenyal Kenyal
Kadar air % (b/b) Maks. 70,0 Maks. 70,0
Kadar abu % (b/b) Maks. 3,0 Maks. 3,0
Kadar protein (N x 6,25) % (b/b) Min. 11,0 Min. 8,0
Kadar lemak % (b/b) Maks. 10 Maks. 10
Cemaran logan
Kadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,3 Maks. 0,3
Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0
Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0
Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03
Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5
Cemaran mikrobiologi
Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 105 Maks. 1 x 105
Koliform
Escherichia coli
Salmonella sp
Staphylococcus
Clostridium
APM/g
APM/g
-
Koloni/g
Koloni/g
Maks. 10
<3
Negatif/25g
Max 1 x 102
Max 1 x 102
Maks. 10
<3
Negatif/25g
Max 1 x 102
Max 1 x 102
Sumber : Anonim (2014)
B. Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan - jaringan tersebut yang layak untuk dimakan serta tidak
10
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ - organ
misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru , jantung , limpa, pankreas, dan jaringan otot
termasuk dalam definisi ini (Soeparno, 1992). Protein adalah komponen bahan
kering yang terbesar dari daging. Nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan
karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan
seimbang (Soeparno, 1994).
Astawan (2007), berpendapat bahwa daging merupakan bahan pangan
yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu protein yang tinggi,
pada daging terdapat kandungan asam amino yang lengkap dan seimbang.
Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dari pada protein yang
berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral
dan vitamin. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan
dipotong agar diperoleh kualitas danging yang baik yaitu ternak harus dalam
keadaan sehat, bebas dari penyakit, ternak harus cukup istirahat, tidak
diperlakukan kasar, serta tidak mengalami stress agar kandungan glikogen otot
maksimal.
Widyaningsih dan Murtini (2006) juga berpendapat bahwa daging yang
digunakan dalam pembuatan bakso harus daging segar, yaitu dari ternak yang
baru dipotong. Sebaiknya jangan menggunakan daging yang telah dilayukan,
yaitu daging yang telah mengalami aging atau penuaan. Bila menggunakan daging
yang telah layu, tekstur bakso yang dihasilkan kurang kenyal. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan Angga, (2007), daging yang baik digunakan sebagai
bahan baku bakso adalah daging yang masih dalam fase prerigor. Daging yang
11
berada pada fase prerigor umumnya diperoleh segera setelah pemotongan ternak
tanpa mengalami proses penyimpanan, sehingga daging tersebut masih berupa
daging segar.
Menurut Wibowo (2006), semakin segar daging, maka semakin bagus
mutu bakso yang dihasilkan. Daging segar akan menghasilkan produk yang baik
karena adanya protein aktin dan miosin dalam bentuk bebas dan belum terbentuk
ikatan aktomiosin antara keduanya. Hal ini dapat menyebabkan banyak protein
yang ter ekstrak. Protein aktin dan miosin merupakan jenis protein yang larut
dalam larutan garam dan juga berfungsi penting dalam pembentukan emulsi
daging.
Protein daging juga berperan dalam meningkatkan water holding capacity
yaitu kemampuan daging dalam mempertahankan dan mengikat air selama
pemasakan sehingga akan mengahasilkan produk yang empuk. Selain itu daging
hendaknya tidak banyak berlemak dan tidak banyak berurat. Lemak dan urat yang
terdapat pada daging dipisahkan dulu. Untuk membuat bakso urat justru
digunakan daging yang banyak urat dan seratnya, sedangkan lemak tetap
dipisahkan (Wibowo, 2006).
C. Komposisi Kimia Daging Itik Manila
Itik manila (entog) termasuk dalam ordo Anseriformes, famili Anatidae,
genus Cairina dan spesies Moschata (Suryawijaya, 1984). Muskovi atau entog
adalah jenis yang unik, satu-satunya unggas domestik dari jenis malard. Berasal
dari Amerika Selatan. Entog dapat terbang, hal ini yang menyebabkan otot dada
12
dan kaki entog kuat dan besar. Daging entog tidak berminyak seperti itik yang
lain, mirip daging anak lembu dengan otot yang bagus, tanpa lemak, dan dengan
flavor yang lezat dan unik (Damayanti, 2006). Kandungan gizi yang terdapat pada
daging itik manila dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 . Kandungan Gizi Daging Itik Manila
Komponen Jumlah ( per 100 g daging )
Air 74,6 %
Protein 19,6 %
Lemak 1,8 %
Kolesterol -
Sumber : (Mazanowski dkk, dalam Sugiyanto, 2015)
Nilai energi yang terdapat dalam daging itik manila sebesar 15.900
kkal/kg. Produksi daging ternak unggas lokal secara langsung dapat dilihat dari
bobot, persentase karkas dan banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai
tinggi (Damayanti, 2003) . Tingkat produktivitas itik lokal Indonesia baik telur
maupun daging masih rendah dan masih berpeluang untuk ditingkatkan sehingga
keberadaan ternak itik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan protein hewani asal ternak.
D. Kitosan
Puspitasari (2012) dalam Fatimah dan Wulandari, (2007), memaparkan
kitosan (2-amino-2-deoksi-D-glukosa) adalah produk yang didapatkan dari
turunan polisakarida kitin dengan memindahkan sejumlah gugus asetil (CH3CO )
13
menjadi molekul yang larut dalam asam, melalui proses deasetilasi dengan
melepaskan gugus NH (amin) dan memberikan sifat kationik pada kitosan.
Kitosan berupa polisakarida linier yang disusun oleh ikatan β (1-4) D-glukosamin
(unit destilasi) dan N-asetil D-glukosamin (unit asetil).
Hal ini sependapat dengan Hardjito (2006), mengemukakan kitosan
merupakan turunan dari kitin yang telah mengalami deasetilasi. Senyawa berkitin
sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari hewan laut bercangkang (Crustacea)
seperti udang, kepiting, lobster dan rajungan.
Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan
bahan kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih, atau kuning, dan tidak
berbau. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain;
merupakan polimer berbentuk linear, mempunyai gugus amino aktif, dan
mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam. Selain itu kitosan mempunyai
sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spon, larutan, gel, pasta, membran,
dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya (Rismana, 2001).
Sumber kitin dan kitosan yang cukup banyak dan terdapat dalam perairan
Indonesia adalah udang. Suptijah (1992), menyatakan bahwa sumber kitin dan
kitosan yang merupakan limbah udang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis
berdasarkan jenis pengolahannya yaitu kepala udang (biasanya merupakan hasil
samping dari industri pembekuan udang tanpa kepala), kulit udang (biasanya
merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang atau industri
pengalengan udang), dan campuran keduanya (biasanya berasal dari industri
pengalengan udang).
14
Menurut Darmadji dan Izummimoto, (1994) kitosan terbukti tidak
beracun, biodegradable, biofungctional, biocompatible dan memiliki sifat anti
mikrobia. Salah satu mekanisme sifat antimikrobia kitosan adalah terjadinya
kebocoran sel protein dan komponen intraseluler mikrobia yang disebabkan oleh
interaksi muatan positif dari gugus amino kitosan dengan muatan negatif dari
membran sel mikrobia (Rubea and others, 2003).
Mekanisme tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
Lay dan Sugyo (1992) dalam Yusman (2006), bakteri gram positif memiliki asam
teikoat, polimer yang bersifat asam yang mengandung ribitol, fosfat, atau gliserol
fosfat. Asam teikoat bersifat asam, mengandung ulangan rantai gliserol fosfat dan
ribotol fosfat pada bakteri gram positif menyebabkan bakteri gram positif
bermuatan negatif. Menurut Helander et al. 2001 dalam Nurainy et al. (2008).
Muatan positif NH3+ glukosamin kitosan akan berinteraksi dengan muatan negatif
(lipopolisakarida protein) membran sel mikroba sehingga menyebabkan
kerusakan membran luar sel dan keluarnya konstituen intraselullar bakteri.
Synoweiecki dan Al-Katheeb (2003), menyebutkan bahwa kitosan
memiliki sifat anti mikroba yang lebih baik dari pada kitin. Mekanisme kitosan
sebagai anti mikrobia dikarenakan oleh memungkinkan terjadinya permeabilisasi
dari sel mikrobia dan pengikat mineral renik, air, serta aktivasi dari beberapa
proses pertahanan dalam jaringan makhluk inang oleh kitosan yang akan
menghambat pertumbuhan mikrobia. Selain itu berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Tsai et al. (2002)., kitosan dapat menghambat pertumbuhan
Escherichia coli.
15
Penghambatan Escherichia coli ini disebabkan oleh adanya sifat
keelektronegatifan dari permukaan sel Escherichia coli. Perubahan dalam
potensial permukaan Escherichia coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya
peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu
pertumbuhan lambat, namun sifat keelektronegatifan akan menurun setelah
bakteri mencapai fase stasioner.
Menurut Hadwiger dan Loschke (1981) dalam Hardjito (2006) kitosan
digunakan sebagai desinfektan / antibakteri dikarenakan beberapa sifat yang
dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikrobia perusak
dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk sehingga
meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa
yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan
sebagai pengawet adalah afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat
dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian
mengganggu RNA dan sintesa protein.
Mekanisme lain mengenai sifat antibakteri kitosan juga dijelaskan oleh
Widodo et al. dalam Nurainy et al. (2008), kitosan bersifat polikationik yang
dapat mengikat lipid dan logam berat, rusaknya lipid pada dinding sel bakteri
akan mengakibatkan rusaknya pertahanan sel.
Menurut Wardaniati dan Setyaningsih, (2009) konsentrasi kitosan yang paling
optimal untuk menghambat pertumbuhan mikrobia dan digunakan sebagai
pengawet bakso adalah 1,5% dalam pelarut asam asetat 1% dengan lama waktu
perendaman selama 60 menit .
16
E. Pembekuan
Kerusakan makanan pada umumnya disebabkan karena proses kimiawi
atau biokimiawi meskipun kerusakan itu disebabkan oleh mikrobia. Kecepatan
kerusakan tadi dipengaruhi oleh suhu. Penyimpanan suhu rendah tidak hanya
menghambat kecepatan respirasi melainkan juga menghambat pertumbuhan
mikrobia, karena pada hakekatya kecepatan pertumbuhan mikrobia juga
merupakan proses metabolisme (Adnan, 1988).
Penyimpanan beku merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan
dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut.
Penyimpanan beku atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka
kegiatan enzim dan mikroba dapat dihambat atau dihentikan serta mencegah
reaksi - reaksi kimia sehingga dapat mempertahankan mutu (rasa dan nilai gizi)
bahan pangan. Walaupun penyimpanan beku dapat mereduksi jumlah mikrobia
yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikrobia
(Rohana, 2002 dalam Khairunnisa, 2011).
Penyimpanan beku akan meningkatkan konsentrasi elektrolit di dalam sel
mikrobia karena air bebas membeku membentuk kristal es dan merusak sistem
koloidal dari protoplasma (misalnya sistem koloid protein) serta menyebabkan
denaturasi protein didalam sel mikroba. Penyimpanan beku dapat menyebabkan
kematian atau kerusakan subletal pada sebagian sel. Sel yang mengalami
kerusakan subletal dapat tumbuh secara normal dan dapat berkembang biak jika
ditumbuhkan dalam medium yang kaya akan nutrisi (Yuliatin, 2008 dalam Putri,
dkk., 2015).
17
Ketahanan mikrobia selama penyimpanan beku juga dipengaruhi oleh
jenis mikroba, komposisi medium penyimpanan, status nutrisi, fase pertumbuhan
sebelum mikrobia dibekukan, suhu penyimpanan beku, kecepatan pembekuan,
lama penyimpanan beku, kecepatan thawing, metode yang digunakan untuk
menentukan jumlah sel yang hidup, dan media yang digunakan (Lund dalam
Putri, dkk., 2015 ).
Kebanyakan mikrobia tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 32°F, tetapi
banyak diantara jenis ragi yang dapat tumbuh sampai pada suhu 15°F dalam
substrat yang tidak beku. Pada umumnya ragi dan jamur dapat tumbuh pada suhu
yang jauh lebih rendah daripada bakteri. Bentuk yang paling peka dari mikrobia
adalah sel vegetatif . Adapun spora biasanya tidak rusak karena pembekuan.
(Adnan, 1988).
F. Mikrobia
Mikrobia adalah organisme yang berukuran kecil dan dapat dilihat hanya
dengan bantuan mikroskop berdaya tinggi. Mikrobia terdapat dalam populasi yang
besar,beragam, dan keberadaannya hampir tersebar di semua tempat di alam ini.
Mikrobia ada yang tersusun atas satu sel (uniseluler) dan ada yang tersusun atas
beberapa sel (multiseluler). Walupun mikrobia uniseluler hanya tersusun dari satu
sel, namun mikrobia tersebut menunjukkan semua karakteristik hidup, yaitu
bermetabolsime, bereproduksi, berdiferensisasi, melakukan komunikasi,
melakukan pergerakan, dan berevolusi (Pratiwi, 2008). Mikrobia tersebar luas di
alam baik di tanah, air, udara, maupun dalam makanan.
18
Kandungan mikrobia dalam suatu spesimen pangan dapat memberikan
keterangan yang mencerminkan mutu bahan mentahnya, keadaan sanitasi pada
pengolahan pangan tersebut, serta keefektifan metode pengawetannya. Umumnya
bahan makanan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan berbagai macam
mikrobia. Pada keadaan fisik yang menguntungkan, terutama pada kisaran suhu
7ºC - 60ºC menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penampilan, rasa, bau,
serta sifat – sifat lain dalam bahan makanan ( Irianto, 2007 ) .
Daging unggas termasuk itik manila mempunyai flora bakteri pada
kulitnya yang berasal dari bakteri yang biasanya terdapat pada unggas hidup dan
dari pencemaran yang terjadi pada waktu penyembelihan, pengulitan,
pembersihan isi perutnya, maupun pada saat pengolahan menjadi produk pangan.
Oleh karena itu perlu dilakukan kontrol kualitas untuk mengetahui mutu daging
dan hasil olahannya ( Irianto, 2007 ).
Bakteri adalah mikrobia bersel satu, berkembang biak dengan cara
membelah diri, sel – selnya secara khas berbentuk bola seperti batang atau spiral.
Bakteri yang khas berdiameter sekitar 0,5 sampai 1,0 µm, dan panjangnya 1,5
sampai 2,5 µm. Bakteri dapat tumbuh pada suhu 0ºC, ada yang tumbuh dengan
baik pada sumber air panas yang suhunya 90ºC atau lebih. Kebanyakan tumbuh
pada berbagai suhu diantara suhu ekstrim ini (Pelczar et al., 1986) .
Tebal dinding sel kebanyakan bakteri yang dipelajari sejauh ini berkisar 10
sampai 35 nm, namun beberapa dinding sel amat tebal. Tebal dinding sel
bergantung pada spesies serta kondisi pembiakannya, dinding sel bakteri dapat
mencapai 10 sampai 40 persen dari berat kering organisme yang bersangkutan.
19
Dinding sel bakteri sangat penting bagi pertumbuhan dan pembelahan. Semua
bakteri mempunyai dinding sel yang kaku kecuali mikroplasma.
Penyebab kakunya dinding sel ialah peptidoglikan, yaitu polimer
(molekul besar yang terdiri dari unit - unit yang berlapis). Polimer yang amat
besar ini terdiri dari tiga macam bahan pembangun yaitu : N-asetilglukosamin
(AGA), asam N-asetilmuramat (AAM), dan suatu peptida yang terdiri dari 4 atau 5
asam amino, yaitu L-alanin, D-alanin, asam D-glutamat, dan lisin atau asam
dianopimelat.
Dinding sel yang utuh juga mengandung komponen - komponen kimiawi
lain, seperti asam teikoat, protein, polisakarida, lipoprotein dan lipopolisakarida,
yang terikat pada peptidoglikan (Pelczar et al., 1986). Berdasarkan susunan
dinding selnya bakteri dibagi menjadi 2 jenis yaitu bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif. Bakteri gram positif mempunyai dinding sel yang lebih tebal
dibandingka bakteri gram negatif (Pelczar et al., 1986).
Dinding sel bakteri gram positif mengandung banyak lapisan
peptidoglikan (murein) yang membentuk struktur yang tebal dan kaku. Dinding
sel bakteri gram negatif mengandung satu atau beberapa lapis peptidoglikan dan
membran luar (outer membrane), tidak mengandung asam teikoat. Dinding sel
bakteri gram negatif lebih tahan terhadap kerusakan mekanis karena hanya
mengandung sejumlah kecil peptidoglikan (Pratiwi, 2008).
Bakteri gram positif adalah bakteri yang mampu menahan zat warna ungu
(metilviolet, kristalviolet, gentianviolet) dalam tubuhnya meskipun telah
didekolorisasi dengan alkohol atau aseton sehingga tubuhnya tetap berwarna
20
ungu. Contoh dari bakteri gram positif adalah Staphylococcus, Strephtococcus,
Listeria, dan Bacillus. Bakteri gram negatif adalah bakteri yang tidak dapat
menahan zat warna setelah dekolorisasi dengan alkohol akan kembali menjadi
tidak berwarna dan bila diberikan pengecatan dengan zat warna kontras, akan
berwarna sesuai dengan zat warna kontras (Irianto, 2006), contoh dari bakteri
gram negatif adalah Escherichia coli, Salmonella, dan Shigela. Perbedaan susunan
dinding sel antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif disajikan dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan Susunan Dinding Sel Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
Ciri Gram positif Gram negatif
Struktur
dinding sel
Tebal (15-80 nm)
Berlapis tunggal (mono)
Tipis (10-15 nm)
Berlapis tiga (multi)
Komposisi
dinding sel
Kandungan lipid rendah
(1 - 4 %)
Peptidoglikan ada sebagai
lapisan tunggal, komponen
utama merupakan lebih dari
50% berat kering pada
beberapa sel bakteri
Ada asam tekoat
Kandungan lipid tinggi
(11 -15%)
Peptidoglikan ada di dalam,
jumlahnya sedikit, merupakan
sekitar 10% berat kering
Tidak ada asam tekoat
Kerentanan Lebih rantan terhadap
penisilin
Kurang rentan terhadap
penisilin
Pertumbuhan
Pertumbuhan dihambat zat-
zat warna dasar dengan
nyata
Pertumbuhan tidak begitu
dihambat zat -zat warna dasar
Persyaratan
nutrisi
Relatif rumit pada banyak
spesies
Relatif sederhana
Resistensi Lebih resisten terhadap
gangguan fisik
Kurang resisten terhadap
gangguan fisik
Sumber : (Irianto, 2007)
21
G. Bakteri Patogen
Bakteri yang membuat kerusakan atau kerugian terhadap tubuh inang
disebut sebagai patogen. Sedangkan kemampuan bakteri untuk menimbulkan
penyakit disebut patogenisitas. Ketika suatu bakteri memasuki jaringan tubuh dan
memperbanyak diri, bakteri dapat menimbulkan infeksi. Jika keadaan inang
rentan terhadap infeksi dan fungsi biologinya rusak, maka hal ini dapat
menimbulkan suatu penyakit (Irianto, 2007).
Kemampuan bakteri patogen untuk menyebabkan penyakit tidak hanya
dipengaruhi oleh komponen yang ada pada bakteri, tapi juga oleh kemampuan
inang untuk melawan infeksi. Saat ini, peningkatan jumlah infeksi meningkat
disebabkan oleh bakteri yang sebelumnya dianggap tidak patogen terutama
anggota flora normal.
Infeksi ini berkembang dalam tubuh manusia yang faktor kekebalan
tubuhnya dirusak oleh penyakit lain atau karena terapi antibiotik yang
berkepanjangan. Mikrobia demikian disebut patogen oportunistik. Bakteri
Patogen tersebut dapat menimbulkan penyakit pada individu yang sehat
(Kusnandi, 2003 dalam Christono, 2015).
Menurut Irianto (2007) penyakit asal makanan yang disebabkan bakteri
dan dipindah sebarkan melalui makanan terjadi melui dua mekanisme, yaitu
sebagai berikut :
a) Bakteri yang terdapat dalam bahan makanan menginfeksi inang sehingga
menyebabkan penyakit asal makanan.
22
b) Bakteri mengeluarkan eksotoksin (produk toksik bakteri yang disintesis
dan disekresikan oleh bakteri hidup) dalam makanan dan menyebabkan
keracunan makannan bagi yang memakannya.
Berikut adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada
makanan dan menyebabkan penyakit pada manusia :
1. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk coccus /
bulat berdiameter 0,7 - 1,2 μm, tersusun berpasangan dan bergerombol, tidak
membentuk spora dan tidak bergerak (Irianto, 2007) . Bakteri ini tumbuh pada
suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-
25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan,
berbentuk bulat, halus, menonjol, dan berkilau (Jawetzet et al., 1995 dalam
Christono, 2015). Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan
membentuk kumpulan sel-sel seperti buah anggur.
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umumnya terdapat diberbagai
tubuh manusia, termasuk hidung, tenggorokan, kulit, dan karenanya mudah
memasuki makanan. Bakteri ini menghasilkan enterotoksin, enterotoksin ini tahan
panas dan tidak berubah walau dididihkan selama 30 menit. Bakteri ini
menghasilkan enterotoksisn apabila makanan dibiarkan pada suhu kamar selama
8 – 10 jam.
Walaupun makanan ini disimpan didalam lemari es selama berbulan-
bulan, toksinnya tidak akan termusnahkan. Pemasakan kembali pada masakan
tersebut tidak akan mengurangi kandungan toksin yang ada pada bakteri tersebut
23
(Irianto, 2007). Morfologi bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Staphylococcus aureus
Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus menurut Rosenbach (1842-
1923) dalam Christono (2015) adalah sebagai berikut:
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaeae
Genus : Staphylococcus
Species: Staphylococcus aeureus.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
24
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. Staphylococcus aureus juga merupakan penyebab utama infeksi
nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan et al., 1994
dalam Christono, 2015).
2. Coliform
Kelompok Coliform adalah bakteri aerobik dan anerobik fakultatif, gram
negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dan dapat memfermentasi
laktosa dengan mengeluarkan gas dan asam setelah 48 jam pada suhu 35°C
(Waluyo, 2010). Bakteri Coliform dapat dibedakan atas dua grup, yaitu Coliform
fekal, misalnya Escherichia coli, dan Coliform non fekal, misalnya Enterobacter
aerogenes. Escherichia coli disebut sebagai Coliform fekal karena hidup secara
normal di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia, sedangkan Enterobacter
aerogenes biasanya pada hewan atau tanaman yang telah mati (Fardiaz, 1992
dalam Kurnianingrum 2008 ).
3. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang
pendek yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm
dan bersifat anaerob fakultatif. Escherichia coli membentuk koloni yang bundar,
cembung, dan halus dengan tepi yang nyata ( Jawetz et al., 1995 dalam Christono,
2015)
Bakteri ini juga termasuk dalam golongan bakteri Coliform fekal, karena
keberadaanya dalam saluran pencernaan manusia. Identifikasi dari bakteri
Escherichia coli didasarkan pada produksi gas dari fermentasi glukosa dan
25
fermentasi laktosa menjadi asam dan gas selama 48 jam pada suhu inkubasi
45,5°C (Anonim ,1955 ).
Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran
pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (Jawetz et al., 1995 dalam
Christono, 2015). Morfologi bakteri Escherichia coli disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Escherichia coli
Klasifikasi bakteri Escherichia coli menurut Rosenbach (1842-1923)
dalam Christono (2015) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gemma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriiales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Species : Escherichia coli
26
Keracunan makanan yang disebabkan oleh Escherichia coli
enteropatogenik (disebut EPEC) biasanya disebabkan oleh konsumsi air atau
makanan yang terkontaminasi oleh Escherichia coli penyebab enteritis.
Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) berbeda dari Escherichia coli yang
secara normal terdapat di dalam usus besar. Escherichia coli (EPEC) mempunyai
antigen spesifik tertentu, dan menyebabkan gastroenteritis akut atau enteritis
seperti disentri pada manusia.
Escherichia coli enteropatogenik termasuk Escherichia coli bersifat invasif,
atau disebut EIEC (Enteroinvasif Escherichia coli), dan Escherichia coli
enterotoksigenik yang disebut juga ETEC. Escherichia coli EIEC dapat
menembus sel-sel saluran pencernaan seperti halnya Shigella, sedangkan ETEC
memproduksi enterotoksin yang sifatnya menyerupai toksin kolera (Irianto, 2013).
Semua jenis bakteri Escherichia coli dalam jumlah tertentu pada dasarnya
berbahaya karena termasuk bakteri patogen yang.
H. Pertumbuhan Mikrobia
Istilah pertumbuhan umum digunakan untuk bakteri dan mikrobia lain dan
biasanya mengacu pada perubahan didalam hasil panen sel (pertambahan massa
sel) dan bukan pertumbuhan individu mikrobia. Inokulum selalu mengandung
ribuan mikrobia, pertumbuhan menyatakan pertambahan jumlah dan atau massa
melebihi yang ada dalam inokulum asalnya ( Pelczar et al., 1986 ).
Cara khas reproduksi bakteri menurut Pelczar et al. (1986), ialah
pembelahan biner melintang, satu sel membelah diri menghasilkan dua sel. Jadi
27
bila dimulai dengan satu bakteri tunggal , maka populasi bertambah secara
geometrik : 1 → 2 → 22 → 2
3 → 2
4 ... 2
n atau dengan perhitungan sederhana 1→
2 →4 →8→ 16 .
Interval waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri atau untuk
populasi menjadi berjumlah dua kali lipat dikenal dengan waktu generasi. Tidak
semua spesies bakteri memiliki waktu generasi yang sama, seperti Escherichia
coli dapat berlangsung sesingkat 15 sampai 20 menit untuk yang lain dapat ber
jam - jam . Waktu generasi sangat tergantung pada cukup tidaknya nutrisi di
dalam media pertumbuhan serta sesuai tidaknya kondisi fisik yang mendukung
pertumbuhan( Pelczar et al., 1986 ). Fase pertumbuhan mikrobia disajikan dalam
Gambar 4.
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Mikrobia
Empat macam fase pertumbuhan mikroorganisme, yaitu fase lag, fase log
(fase eksponensial), fase stasioner, dan fase kematian. Pada fase pertama l atau lag
fase, yaitu 1 sampai 2 jam setelah pemindahan, mikroorganisme belum
28
mengadakan pembiakan; fase ini disebut fase adaptasi. Kemudian diikuti dengan
pertumbuhan yang sangat cepat (fase eksponensial) (Pelczar et al., 1986).
Fase selanjutnya adalah fase stasioner, pada fase ini pertumbuhan mikrobia
berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan
jumlah yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik.
Pada sebagian besar kasus, penggantian sel terjadi dalam fase stasioner ini.
Terdapat kehilangan sel yang lambat karena kematian diimbangi oleh
pembentukan sel-sel baru melalui pertumbuhan dan pembelahan dengan nutrisi
yang dilepaskan oleh sel-sel yang mati karena mengalami lisis. Pada fase terakhir
atau fase kematian, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah
ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi,
2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia menurut
Pelczar et al., (1986) diantaranya adalah :
1. Nutrisi
Semua bentuk kehidupan, dari mikrobia sampai kepada manusia,
mempunyai persamaan dalam hal persyaratan nutrisi tertentu dalam bentuk zat-zat
kimiawi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan fungsinya yang normal. Semua
organisme hidup membutuhkan sedikitnya karbon dioksida, tetapi kebanyakan di
antaranya juga membutuhkan beberapa senyawa karbon organik, seperti gula -
gulaan dan karbohidrat lain.
Semua organisme hidup juga membutuhkan nitrogen. Tumbuhan
menggunakan nitrogen anorganik seperti kalium nitrat (KNO3), sedangkan hewan
29
membutuhkan senyawa nitrogen organik seperti protein dan produk - produk hasil
peruraiannya yaitu peptida dan asam amino tertentu.
Organisme hidup membutuhkan sulfur dan fosfor, sulfur untuk hewan
dipenuhi oleh senyawa sulfur organik sedangkan sulfur bagi tumbuhan dipenuhi
oleh senyawa sulfur anorganik. Fosfor biasanya diberikan sebagai fosfat yaitu
garam - garam fosfat. Semua mikrobia termasuk bakteri juga membutuhkan
beberapa unsur logam natrium, kalium, kalsium, magnesium, mangan, besi, seng,
tembaga dan kobalt untuk pertumbuhan yang normal.
Vitamin juga dibutuhkan mikrobia untuk pertumbuhan, kebanyakan
vitamin berfungsi membentuk substansi yang mengaktivasi enzim yang
menyebabkan perubahan kimiawi pada bakteri . Untuk fungsi metabolik dan
pertumbuhannya bakteri juga membutuhkan air. Semua nutrien harus ada dalam
bentuk larutan sebelum memasuki tubuh / inang dari bakteri tersebut (Pelczar et
al., 1986).
2. Suhu
Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan karena
laju reaksi - reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, maka pola pertumbuhan bakteri
sangat dipengaruhi oleh suhu. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran
suhu tertentu. Atas dasar ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai : bakteri
Psikrofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 0°C sampai 30°C. Bakteri
Mesofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 25°C sampai 40°C, dan bakteri
Termofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 50°C atau lebih (Pelczar et al.,
1986).
30
3. Atmosfer gas
Gas - gas yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah oksigen dan
karbon dioksida. Bakteri memperlihatkan keragaman yang luas dalam respon
terhadap oksigen bebas, dan atas dasar ini bakteri digolongkan menjadi empat
kelompok. Aerobik (bakteri yang membutuhkan oksigen), anaerobik (tumbuh
tanpa oksigen molekular) , anaerobik fakultatif (tumbuh pada keadaan aerobik dan
anaerobik), dan mikroaerofilik (tumbuh baik bila ada sedikit oksigen atmosferik)
(Pelczar et al., 1986).
4. Keasaman atau kebasaan ( pH )
Tingkat keasaman atau pH optimun pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri
antara 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat
asam, atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan spesies , nilai pH minimum dan
maksimum ialah antara 4 dan 9.
Bila bakteri dikultivasi di dalam suatu medium yang mula - mula
disesuaikan pH nya , misalnya 7 maka mungkin sekali pH ini akan berubah
sebagai akibat adanya senyawa - senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama
pertumbuhannya. Pergeseran pH ini dapat sedemikian besar sehingga
menghambat pertumbuhan seterusnya bakteri itu.
I. Hipotesis Penelitian
Pelapisan kitosan food grade dan medical grade pada bakso itik manila
berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobia selama penyimpanan beku.