1
IMPLEMENTASI PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RTLH)
PADA KELURAHAN KAMPUNG BARU KECAMATAN
TANJUNGPINANG BARAT KOTA TANJUNGPINANG
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
LARASTYA YULIYANDRI
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA HAJI
TANJUNGPINANG
2015
1
IMPLEMENTASI PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RTLH)
PADA KELURAHAN KAMPUNG BARU KECAMATAN
TANJUNGPINANG BARAT KOTA TANJUNGPINANG
LARASTYA YULIYANDRI
Mahasiswa Administrasi Negara, FISIP UMRAH
A B S T R A K
Penelitian ini memusatkan perhatiannya pada pelaksanaan program
rumah tidak layak huni ini. Dari hasil pengamatan sementara dapat diketahui
bahwa pelaksanaan program rumah tidak layak huni di kantor Kelurahan
Kampung Baru Kecamatan Tanjungpinang Barat hingga saat ini masih belum
optimal. Seperti waktu pengerjaan rumah, yang seharusnya siap dalam waktu
yang ditentukan tetapi terkadang lewat dari waktu yang ditentukan. Masih
kurangnya pengawasan dan tanggung jawab pegawai Kelurahan Kampung Baru.
Tidak tepatnya pembagian perbaikan rumah tidak layak huni terhadap masyarakat
kelurahan kampung Baru, masih ada rumah-rumah warga kelurahan Kampung
Baru yang seharusnya layak untuk diperbaiki namun belum dapat bantuan hingga
saat ini.
Tujuan penelitian ini ada dua yaitu (1) untuk menganalisis pelaksanaan
program RTLH pada Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kota Tanjungpinang. (2) Untuk menganalisis hambatan dalam pelaksanaan
program RTLH pada Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kota Tanjungpinang. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan
menggunakan teori Edwards III (Sibarsono, 2008:90). Informan dalam penelitian
berjumlah 6 orang. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa dalam Implementasi Program Rumah
Tidak Layak Huni (RTLH) Pada Kelurahan Kampung Baru Kecamatan
Tanjungpinang Barat Kota Tanjungpinang sudah berjalan dengan baik.
Pemerintah Kota Tanjungpinang pernah melakukan kegiatan sosialisasi yang
dihadiri berbagai kalangan pendukung program ini. Kegiatan sosialisasi
rehabilitasi RTLH ini diikuti sebanyak 430 orang yang terdiri dari 388 calon
penerima bantuan rehabilitasi RTLH, 17 orang pendamping, dan sisanya adalah
staf di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang, serta kelurahan dan
kecamatan. Namun hingga kini masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui
tentang program tersebut.
Ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam implementasi program tersebut
seperti tidak ada standar operasional dalam menjalankan program tersebut
program hanya tertuang dalam Keputusan walikota saja. Untuk dikelurahan
mengikut para perda yang dikeluarkan walikota tersebut. Kemudian dalam
pembagian tugas juga harus lebih dipertegas mulai dari tugas Dinas Sosial, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tanjungpinang, sampai ke pihak
2
Kelurahan karena jika dilihat hal ini berpengaruh terhadap pelaksanaan dan
pendataan calon penerima RTLH.
Kata Kunci : Implementasi, Program Rumah Tidak Layak Huni
3
PROGRAM IMPLEMENTATION UNINHABITABLE HOUSES AT VILLAGE
WEST VILLAGE NEW CITY DISTRICT TANJUNGPINANG TANJUNGPINANG
LARASTYA YULIYANDRI
Students of State Administration, FISIP, UMRAH
A B S T R A C T
This research has focused on the implementation of the programme of the
House is not livable. From the observations while able to note that the
implementation of the programme of the House is not livable Neighborhood
Office in Kampung Baru subdistrict of Tanjung Pinang Barat is currently still not
optimal. Like the time a home work, which should be ready in time but sometimes
the passing of time. Still a lack of supervision and responsibility of an employee of
Kampung Baru Village. Not exactly the Division of home improvement is not
livable on the community kampung Baru village, there are still houses residents of
Kampung Baru village which should deserve to be repaired but not yet able to
help until now.
The purpose of this study is twofold, namely (1) to analyse the
implementation of the program on Neighborhood RTLH Kampung Baru Sub-
district Tanjungpinang City West Tanjungpinang. (2) to analyse the obstacles in
the implementation of the program on Neighborhood RTLH Kampung Baru Sub-
district Tanjungpinang City West Tanjungpinang. This research is descriptive
research using qualitative and Edwards III (Sibarsono, 2008:90). The informant
in the research amounted to 6 people. Data analysis techniques used in this
research is descriptive qualitative data analysis techniques.
Tanjungpinang City Government ever do the activities of socialization
among the various supporters who attended the program. Socialization activities
rehabilitation RTLH followed as many as 430 people consisting of 388 candidates
RTLH rehabilitation assistance recipients, 17 people, and the rest are staff at the
Office of the city's Labor and social, as well as neighborhood and Tanjung
Pinang subdistrict. But still many people who do not know about the program.
There are some things that should be corrected in the implementation of
such programs as there is no operational standards in running the program, the
program is only contained in the Mayor's Decision alone. Dikelurahan ektp
according to the perda issued the Mayor. Then in the Division of tasks must also
be more emphasized Social Service task from the start, the regional development
planning Board of the city of Tanjung Pinang, right down to Neighborhood
parties because if seen this effect on execution and logging prospective recipients
RTLH.
Keywords: Implementation, Program Home Is Not Livable.
4
IMPLEMENTASI PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RTLH)
PADA KELURAHAN KAMPUNG BARU KECAMATAN
TANJUNGPINANG BARAT KOTA TANJUNGPINANG
A. Latar Belakang
Demokrasi adalah
pemerintahan dari, oleh dan untuk
rakyat. Demokrasi merupakan
bentuk atau sistem pemerintahan
yang segenap rakyat turut campur
tangan dalam memberikan partisipasi
dan memberikan aspirasi dalam
perumusan kebijakan publik melalui
perantaraan wakil-wakil rakyat atau
pemerintahan rakyat. Sistem
demokrasi dianggap sebagai bentuk
pemerintahan yang terbaik dan ideal
karena dipandang sebagai sistem
yang menjungjung tinggi kebebasan
rakyat dan mengedepankan aspek
persamaan maupun kesetaraan.
Demokrasi juga dapat diartikan
sebagai gagasan atau pandangan
hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama bagi semua
warga Negara.
Prinsip demokrasi adalah
meletakkan kekuasaan di tangan
rakyat. Tolak ukur keberhasilan
sistem demokrasi ialah semakin
tinggi partisipasi masyarakat
semakin tinggi pula kadar
demokraoosinya. Dalam sistem
demokrasi partisipasi politik rakyat
merupakan sebuah pilar yang
membangun keberhasilan sistem
tersebut. Bentuk-bentuk partisipasi
rakyat seperti ikut serta dalam
pemilihan umum, pengawasan
terhadap pejabat negara, maupun
penentuan dalam kebijakan publik.
Pemilihan Umum
diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik di tingkat
pemerintahan pusat maupun
2
pemerintahan daerah, serta untuk
membentuk pemerintahan yang
demokratis, kuat, dan memperoleh
dukungan rakyat dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh
pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pemilihan Umum
dilaksanakan oleh negara Indonesia
dalam rangka mewujudkan
kedaulatan rakyat sekaligus
penerapan prinsip-prinsip atau nilai-
nilai demokrasi, meningkatkan
kesadaran politik rakyat untuk
berpartisipasi aktif dalam pemilihan
umum demi terwujudnya cita-cita
masyarakat Indonesia yang
demokratis. Hasil pemilihan umum
yang diselenggarakan dalam suasana
keterbukaan dengan kebebasan
berpendapat dan berserikat, dianggap
mencerminkan dengan agak akurat
partisipasi serta aspirasi masyarakat
(Budiarjo, 2008:461).
Pemilihan Umum merupakan
mekanisme utama dalam tahapan
penyelenggaraan negara dan
pembentukan pemerintahan. Proses
pelaksanaan Pemilihan Umum tidak
terlepas dari berbagai permasalahan
yang timbul dari masyarakat, peserta
Pemilu, hingga penyelenggara
Pemilu. Uraian dari berbagai
permasalahan ini dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran yang dapat
berakhir menjadi tindak pidana
Pemilu. Dalam penanganan proses
ini dibutuhkan sebuah lembaga yang
dapat menyelesaikan persoalan
pelanggaran Pemilu tersebut. Salah
satunya adalah Panitia Pengawas
Pemilihan Umum yang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum memiliki tugas dan
3
dan wewenang guna mewujudkan
Pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
Pemilihan umum legislatif
adalah salah satu bentuk
pengejawantahan dari sistem
demokrasi yang selalu terjadi
persoalan dan sengketa. Pemilihan
umum legislatif juga merupakan
pemilihan umum yang terbesar dan
terumit, karena terdapat 560 kursi
DPR RI yang diperebutkan di 77
daerah pemilihan. Di tingkat DPRD
Provinsi terdapat 2.112 kursi yang
diperebutkan dalam 259 daerah
pemilihan. Pada tingkat
kabupaten/kota, terdapat 16.895
kursi di 2.102 daerah pemilihan.
Kemudian 132 kursi dari 33 Provinsi
diperebutkan untuk anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Jika
dihitung secara keseluruhan, menurut
Ketua KPU RI kurang lebih terdapat
200 ribu caleg dari 12 partai nasional
dan 3 partai lokal Aceh yang
bertarung di Pileg lalu (detik.com
diakses 3 Maret 2015).
Sehingga pengawasan
kecurangan terhadap jalan pemilihan
legislatif mutlak harus dilakukan.
Fungsi pengawasan dalam pemilihan
umum dilaksanakan oleh Banwaslu
ditingkat pusat dan Panwaslu yang
mengawasi pelaksanaan pileg di
daerah. Lembaga pengawas pemilu
sebenarnya baru muncul pada pemilu
tahun 1982 secara resmi diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1980. Pengawasan dalam pemilihan
umum 1982 dilakukan oleh suatu
lembaga resmi yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang.
Terbentuknya panitia pengawas
pelaksanaan Pemilihan Umum pada
Pemilu tahun 1982 karena dalam
Pemilu banyak diwarnai
pelanggaran-pelanggaran dan
4
manipulasi penghitungan suara yang
dilakukan oleh penyelenggara
Pemilihan Umum dalam Pemilihan
Umum 1971 dan 1977. Adapun
sasaran pengawasan terhadap Pemilu
Tahun 1982 adalah Pendaftaran
pemilih dan jumlah penduduk,
Kampanye Pemilu, Pengawasan
Pemungutan Suara, Pengawasan
Penghitungan Suara, Pengawasan
Terhadap Penetapan Hasil Pemilu,
Pengawasan Terhadap Pembagian
Kursi.
Mengacu pada Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Penyelenggara Pemilihan
umum, Pengawasan penyelenggaraan
pemilihan umum dilakukan oleh
Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan, dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri. Ruang Lingkup
Pengawasan diatur dalam Peraturan
Badan Pengawas Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2014 tentang Pengawasan Pemilihan
Umum Pasal 6 ayat (3) yaitu
Panwaslu Kabupaten/Kota
melakukan pengawasan terhadap :
a. Tahapan penyelenggaraan Pemilu
di wilayah kabupaten/kota yang
meliputi:
1. Pemutakhiran data pemilih
berdasarkan data
kependudukan dan penetapan
daftar pemilih sementara dan
daftar pemilih tetap;
2. Verifikasi partai politik calon
peserta pemilu;
3. Pencalonan yang berkaitan
dengan persyaratan dan tata
cara, calon anggota DPD,
anggota DPRD
Kabupaten/Kota dan
verifikasi pencalonan
Bupati/Walikota;
4. Proses penetapan calon
anggota DPRD
Kabupaten/Kota dan calon
Bupati/Walikota;
5. Penetapan calon anggota
DPRD Kabupaten/Kota dan
calon Bupati/Walikota;
5
6. Pelaksanaan kampanye di
wilayah kabupaten/kota;
7. Pengadaan logistik pemilu
dan pendistribusiannya;
8. Pelaksanaan pemungutan
suara dan penghitungan suara
hasil pemilu;
9. Pergerakan surat suara dari
tingkat TPS sampai ke PPK;
10. Pergerakan surat suara
dan/atau berita acara
rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara
di tingkat kecamatan;
11. Proses rekapitulasi suara
yang dilakukan oleh KPU
Kabupaten/Kota dari seluruh
kecamatan;
12. Pelaksanaan pemungutan dan
penghitungan suara ulang,
pemilu lanjutan, dan pemilu
susulan; dan
13. Proses penetapan hasil
pemilu anggota DPRD
kabupaten/kota dan
pemilihan Bupati/Walikota.
b. Menindaklanjuti temuan dan
laporan pelanggaran pemilu;
c. Pelaksanaan sosialisasi
penyelenggaraan pemilu; dan
d. Pelaksanaan tindaklanjut
rekomendasi pengawas
pemilu.
Pelaksanaan pemilihan wakil
rakyat yang berkualitas
mengharuskan adanya sistem
pengawasan yaitu pengawasan yang
independen. Lembaga ini dibentuk
untuk memperkuat pilar demokrasi
dan meminimalkan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran maupun
kecurangan. Pengawasan ini
memiliki fungsi sebagai pemantau
terhadap penyelenggaraan Pemilihan
legislatif. Fungsi utama sistem
pengawasan dalam Pemilihan
legislatif merupakan peningkatan
kualitas dan mencegah maupun
mengontrol terjadinya hal-hal yang
dapat menghambat jalannya sebuah
proses penyelenggaraan Pemilihan
legislatif. Adapun beberapa yang
menjadi ciri-ciri utama dari
pengawasan yang independen yakni:
1. Dibentuk berdasarkan
perintah konstitusi atau
undang-undang;
2. Tidak mudah diintervensi
oleh kepentingan politik
tertentu;
6
3. Bertanggung jawab kepada
parlemen;
4. Menjalankan tugas sesuai
dengan tahapan Pemilu
legislatif;
5. Memiliki integritas dan
moralitas yang baik dan
6. Memahami tata cara
penyelenggaraan Pemilu
legislatif. Dengan begitu
Panwaslu Pemilu legislatif,
tidak hanya
bertanggungjawab terhadap
pembentukan pemerintahan
yang demokratis, tetapi juga
ikut andil dalam membuat
rakyat memilih kandidat
kepala daerah yang mereka
anggap mampu (Nainggolan,
2014:7).
Namun, tentunya perhelatan
besar ini menyisakan beberapa
permasalahan di antaranya yaitu:
1. Persoalan distribusi surat
suara. Persiapan pengadaan
logistik khususnya surat,
KPU melakukan tender
pengadaan logistik Pemilu
2014 yang dilakukan secara
terdesentralisasi ke KPU
Kabupaten dan Provinsi.
Desentralisasi tender
pengadaan logistik dilakukan
untuk meminimalisasi
penyimpangan dan
memudahkan pengontrolan,
efisiensi, dan efektifitas.
Namun dalam kenyataannya
terjadi persoalan distribusi
yang menyebabkan surat
suara tertukar. KPU mencatat
sedikitnya 770 TPS yang
tersebar di 107
kabupaten/kota di 30 provinsi
harus menggelar pemungutan
suara ulang karena surat
7
suara pada pileg tertukar.
Sebagian dari 770 TPS itu
telah menggelar pemilu ulang
(kompas.com diakses pada
tanggal 3 Maret 2015).
2. Permasalahan kedua adalah
meningkatnya praktik politik
uang pada saat Pileg 2014.
Hasil temuan Indonesian
Corruption Watch (ICW)
mencatat praktik politik uang
pada pemilu legislatif 2014
sebanyak 313 kasus. Angka
ini melonjak 100 persen dari
pemilu legislatif 2009.
Anggota Divisi Korupsi
Politik ICW, Donal Fariz,
menjelaskan, ada empat isu
yang menjadi fokus
pemantauannya selama masa
kampanye terbuka, masa
tenang, dan hari pencoblosan
Pileg 2014. Keempat hal itu
adalah pemberian barang,
jasa, uang, dan penggunaan
sumber daya negara
(suaramerdeka.com di akses
pada tanggal 5 Maret 2015).
Persoalan maraknya praktik
politik uang dikarenakan sistem
proporsional terbuka menyebabkan
persaingan ketat diantara para caleg.
Sehingga perilaku caleg akan
melakukan segala cara untuk
memenangkan kursi. Lemahnya
kontrol KPU baik pusat dan daerah
terhadap pihak ketiga yang mencetak
dan mendistribusikan surat suara,
memunculkan permasalahan
distribusi surat suara. Begitupula
dengan lemahnya pencegahan,
pengawasan dan penindakan dari
Bawaslu yang memunculkan
peningkatan angka politik uang.
Kinerja Bawaslu disoroti karena
tidak dapat mencegah praktik politik
8
uang ini. Ditambah lagi masih
minimnya kesadaran dari Parpol
untuk mendisiplinkan calegnya agar
tidak melakukan pelanggaran
menjadi catatan dari
penyelenggaraan Pileg lalu.
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kota Tanjungpinang
menetapkan jumlah pemilih yang
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap
(DPT) Kota Tanjungpinang sebanyak
146.270 orang. Pemilih terbanyak
berada di Kecamatan Tanjungpinang
yang mencapai 50.496 orang. Total
jumlah DPT Tanjungpinang adalah
146.270 orang, dengan rincian
pemilih laki-laki 72.591 orang dan
perempuan 73.319 orang, dengan
total TPS sebanyak 385 TPS, jumlah
pemilih di Kecamatan
Tanjungpinang Barat sebanyak
39.248 orang, masing-masing 19.389
pemilih laki-laki dan 19.850 pemilih
perempuan. Tempat pencoblosan di
kecamatan yang terbagi dalam empat
kelurahan, yakni Tanjungpinang
Barat, Kamboja, Kampung Baru, dan
Bukit Cermin itu sebanyak 105 TPS.
Sementara, jumlah pemilih di
Kecamatan Tanjungpinang Kota
mencapai 16.191 orang, terdiri dari
pemilih laki-laki berjumlah 8.317
orang, dan pemilih perempuan 7.874
orang. Tempat pemilihan di
kecamatan yang terbagi dalam empat
kelurahan, yakni Tanjungpinang
Kota, Kampung Bugis, Senggarang,
dan Penyengat itu sebanyak 41 TPS.
Sedangkan, Kecamatan
Tanjungpinang Timur memiliki
jumlah pemilih terbanyak, yakni
50.496 orang, terdiri dari pemilih
laki-laki 25.233 orang dan
perempuan 25.263 orang. Jumlah
TPS di kecamatan yang terdiri dari
Kelurahan Melayu Kota Piring,
9
Kampung Bulang, Air Raja, Batu
Sembilan, dan Pinang Kencana itu
sebanyak 130 TPS yang terakhir
Kecamatan Bukit Bestari ada 40.335
orang pemilih, yang terdiri dari
pemilih laki-laki 20.003 orang dan
perempuan 20.332 orang. Tempat
pemilih di lima kelurahan di Bukit
Bestari yakni Kelurahaan
Tanjungpinang Timur, Tanjungayun
Sakti, Dompak, Seijang dan
Tanjungunggat itu sebanyak 109
TPS.
Agar pemilu dapat berjalan
secara kondusif maka dibutuhkan
pengawasan sehingga tidak
menimbulkan permasalahan. Panitia
pengawas pemilu (Panwaslu) Kota
Tanjungpinang juga tidak lepas dari
polemik dan banyak menuai kritikan
dan tuntutan pada pemilihan
legislatif tahun 2014. Hal tersebut
dikarenakan tidak jelasnya
mekanisme pengawasan. Mekanisme
Pengawas Pemilu seharusnya
menemukan temuan dan menerima
laporan dari 3 pihak yaitu:
Masyarakat, Pemantau, dan Peserta
Pemilu. Mengkaji laporan dan
temuan tersebut dan
mengklasifikasikannya kedalam 3
yaitu: Apakah termasuk pelanggaran
administrative. Apakah termasuk
dalam tindak pidana Pemilu. Apakah
termasuk dalam sengketa. Setelah itu
meneruskan laporan dan temuan
tersebut jika termasuk dalam
klasifikasi maka diteruskan
laporannya ke Komisi Pemilihan
Umum, dan jika termasuk dalam
klasifikasi tindak pidana Pemilu
maka diteruskan ke Kepolisian RI.
Jika termasuk sengketa dapat
diklasifikasikan jika laporan dan
temuan yang didapat menyangkut
dasar hukum yang tidak jelas dan
10
pihak yang ada lebih dari satu) maka
ditindaklanjuti dengan melakukan
penyelesaian sengketa oleh
Pengawas Pemilu. Semua laporan
dan temuan harus diselesaikan
sebelum Pemilu usai. Karena telah
disesuaikan waktu dan
penyelesaiannnya yang harus
dilakukan oleh Pengawas Pemilu.
Namun bagi masyarakat para petugas
panwaslu bergerak tidak sigap
sehingga ada penyimpangan yang
tidak di proses.
Lembaga Pengawas Pemilu
ini jika diteliti dari penjelasan diatas
maka Panitia Pengawas Pemilu
mempunyai fungsi untuk menerima
laporan dan mencari temuan
(informasi) yang berkaitan dengan
pelanggaran Pemilu dan kemudian
menindaklanjutinya kepada lembaga
yang berwenang yaitu KPU dan
Kepolisian RI, tapi ada satu
kewenangan yang diberikan
langsung kepada Panwas yaitu
penyelesaian sengketa namun
efektifitasnya dipertanyakan dan
kinerja lembaga ini diragukan. Tidak
sedikit masyarakat yang kecewa
terhadap kinerja Panwaslu karena
dianggap tidak mampu berperan
dengan baik menangani
permasalahan saat pemilu
berlangsung oleh sebab itu
efektivitas pengawasan pemilu
ditentukan oleh para pengawas
dalam memahami dan mengerti
bagaimana proses pengawasan itu
dijalankan dengan baik. Dengan
demikian, Kemandirian Panwaslu
merupakan pilar inti dalam
penyelenggaraan Pileg, karena Pileg
yang jujur, adil, dan demokratis,
sangat tergantung pada sejauh mana
Panwaslu bekerja dengan baik dan
11
menjamin Pileg berlangsung secara
demokratis.
Pada Pemilu Legislatif Kota
Tanjungpinang tahun 2014
berdasarkan keterangan yang penulis
peroleh baik dari media elektronik
maupun media cetak Pemilu
Legislatif Kota Tanjung Pinang
Tahun 2014, tercatat melakukan
beberapa pelanggaran di antaranya:
masih ada kasus dugaan pelanggaran
kode etik yang dilakukan anggota
Panwaslu Kota Tanjungpinang
bagian Divisi Hukum dan
Pelanggaran Pemilu. Kemudian yang
perlu diperhatikan masih ada anggota
Panwaslu yang berada di bawah
kendali suatu golongan yang menjadi
tim sukses maupun tim kampanye,
partai politik, pemerintah daerah, dan
DPRD. Selain itu, tidak adanya
aturan yang berlaku tentang sanksi
apa yang diberikan jika anggota
Panwaslu tidak bekerja secara
efektif. Kinerja Panwaslu kemudian
menjadi pertanyaan besar dalam
setiap lapis masyarakat apakah
baiknya lembaga ini dibubarkan saja
karena seharusnya kinerja Panwaslu
berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan dan Kode Etik
Pelaksana Pemilu. Kemudian masih
ada penyimpangan yang terjadi
namun tidak mampu diselesaikan
oleh panwaslu. Oleh karena itu,
penulis tertarik ingin melihat dan
meneliti Peran Panwaslu Kota
Tanjungpinang dalam Pelaksanaan
Pemilu Legeslatif Kota
Tanjungpinang Tahun 2014.
B. Landasan Teoritis
Salah satu unsur penting dalam
siklus kebijakan publik adalah
menyangkut implementasi kebijakan
yang memegang peran penting bagi
keberhasilan kebijakan publik. Tugas
12
pokok pemerintah adalah
menciptakan kebijakan melalui
berbagai kebijakan publik.
Kebijakan akan tercapai jika
kebijakan yang dibuat dapat
terimplementasikan atau dapat
dilaksanakan secara baik.
Keberhasilan implementasi suatu
kebijakan ditentukan oleh banyak
faktor, baik menyangkut isi
kebijakan yang diimplementasikan,
pelaksanaan kebijakan, maupun
lingkungan di mana kebijakan
tersebut diimplementasikan
(kelompok sasaran). Abidin (2002:
186) menyatakan bahwa:
“Implementasi atau pelaksanaan
kebijakan terkait dengan identifikasi
permasalahan dan tujuan serta
formulasi kebijakan sebagai langkah
awal dan monitoring serta evaluasi
sebagai langkah akhir”.
Dari penjelasan tersebut dapat
diketahui bahwa dalam langkah awal
pelaksanaan kebijakan adalah
pengidentifikasian masalah serta
formulasi terhadap kebijakan yang
akan dirumuskan sehingga kebijakan
itu dapat dijalankan sesuai
sasarannya. Tidak hanya itu
pengawasan dan evaluasi adalah
langkah akhir yang dapat
menentukan berhasil atau tidaknya
sebuah kebijakan untuk dijalankan.
Menurut Winarno (2007: 144)
Implementasi dipandang secara luas
mempunyai makna pelaksanaan
undang-undang dimana berbagai
aktor, organisasi, prosedur dan
teknik bekerja bersama-sama
menjalankan kebijakan dalam upaya
untuk meraih tujuan-tujuan
kebijakan. Implementasi pada sisi
yang lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat
13
dipahami sebagai suatu proses, suatu
keluaran (output) maupun sebagai
suatu dampak (outcome).
Edwards III berpendapat dalam
model implementasi kebijakannya
bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu, oleh karena itu ada
beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi
kebijakan, seperti yang dijelaskan
oleh Edwards III (Subarsono, 2008 :
90 ) yaitu :
1. Komunikasi
Komunikasi merupakan
proses penyampaian
informasi dari komunikator
kepada komunikan.
Sementara itu, komunikasi
kebijakan berarti merupakan
proses penyampaian
informasi kebijakan dari
pembuat kebijakan (policy
makers) kepada pelaksana
kebijakan (policy
implementors). Informasi
perlu disampaikan kepada
pelaku kebijakan agar pelaku
kebijakan dapat memahami
apa yang menjadi isi, tujuan,
arah, kelompok sasaran
(target group) kebijakan,
sehingga pelaku kebijakan
dapat mempersiapkan hal-hal
apa saja yang berhubungan
dengan pelaksanaan
kebijakan, agar proses
implementasi kebijakan bisa
berjalan dengan efektif serta
sesuai dengan tujuan
kebijakan itu sendiri.
2. Sumber Daya
Sumber daya memiliki
peranan penting dalam
implementasi kebijakan.
Edward III mengemukakan
bahwa: bagaimanapun jelas
dan konsistensinya
ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan serta
bagaimanapun akuratnya
penyampaian ketentuan-
ketentuan atau aturan-aturan
tersebut, jika para pelaksana
kebijakan yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan
kebijakan kurang mempunyai
sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan
secara efektif maka
implementasi kebijakan
tersebut tidak akan efektif.
Sumber daya di sini berkaitan
dengan segala sumber yang
dapat digunakan untuk
mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan.
Sumber daya ini mencakup
sumber daya manusia,
anggaran, fasilitas, informasi
dan kewenangan.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan
karakteristik yang dimiliki
oleh implementor, seperti
komitmen, kejujuran, sifat
demokratis. Kecenderungan
perilaku atau karakteristik
dari pelaksana kebijakan
14
berperan penting untuk
mewujudkan implementasi
kebijakan yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran. Karakter
penting yang harus dimiliki
oleh pelaksana kebijakan
misalnya kejujuran dan
komitmen yang tinggi.
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah
satu badan yang paling sering
bahkan secara keseluruhan
menjadi pelaksana kebijakan.
Kerja sama yang baik dalam
birokrasi dan struktur yang
kondusif akan membuat
pelaksanaan kebijakan
efektif. Struktur organisasi
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap
implementasi kebijakan.
Aspek struktur organisasi ini
melingkupi dua hal yaitu
mekanisme dan struktur
birokrasi itu sendiri.
Berdasarkan pendapat diatas
dapat dijelaskan bahwa implementasi
akan berjalan efektif apabila ukuran-
ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan
dipahami oleh individu-individu
yang bertanggung-jawab dalam
pencapaian tujuan kebijakan.
Kejelasan ukuran dan tujuan
kebijakan dengan demikian perlu
dikomunikasikan secara tepat dengan
para pelaksana. Komunikasi dalam
organisasi merupakan suatu proses
yang amat kompleks dan rumit. Di
samping itu sumber informasi yang
berbeda juga akan melahirkan
interpretasi yang berbeda pula. Agar
implementasi berjalan efektif, siapa
yang bertanggung-jawab
melaksanakan sebuah keputusan
harus mengetahui apakah mereka
dapat melakukannya.
C. Hasil Penelitian
1. Komunikasi
Dalam dimensi komunikasi
diketahui bahwa Pemerintah Kota
Tanjungpinang pernah melakukan
kegiatan sosialisasi yang dihadiri
berbagai kalangan pendukung
program ini. Kegiatan sosialisasi
rehabilitasi RTLH ini diikuti
15
sebanyak 430 orang yang terdiri dari
388 calon penerima bantuan
rehabilitasi RTLH, 17 orang
pendamping, dan sisanya adalah staf
di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tanjungpinang, serta kelurahan
dan kecamatan. Namun hingga kini
masih banyak juga masyarakat yang
tidak mengetahuinya.
2. Sumber daya
Dalam dimensi sumber daya
diketahui tentang program tersebut.
pegawai sudah memahami tentang
prosedur, syarat dan ketentuan dalam
pengurusan, RTLH. Sehingga
masyarakat memperoleh suatu
informasi atau pengetahuan. sumber
dana dari APBD dan selama ini
sudah dijalankan dengan baik.
Kemudian para pelaksnaa juga sudah
memberikan laporan
pertanggungjawaban. Bantuan
RTLH tersebut mempunyai nilai
sebesar Rp. 17 Juta untuk masing-
masing rumah.
3. Sikap pelaksana
Dalam dimensi sikap pelaksana
diketahui bahwa pada dasarnya telah
berjalan dengan baik. Semua telah
melakukan program ini
menggunakan juklak yang
diterbitkan oleh pemerintah, dan juga
memahami peraturan tersebut.
Meskipun program RTLH di Kota
Tanjungpinang sering dinilai
memiliki banyak kelemahan,
beberapa lembaga masih mengklaim
program tersebut sukses.
4. Struktur birokrasi
Dalam dimensi struktur birokrasi
diketahui tidak adanya standar kerja
yang khusus dibuat untuk
menjalankan kebijakan tersebut.
Pentingnya standar kerja merupakan
hal yang harus diperhatikan oleh
16
pihak kelurahan agar pekerjaan yang
berkenaan dengan pelaksanaan
kebijakan ini dapat berjalan
sebagaimana mestnya. Namun
kerjasama memang belum berjalan
dengan baik. Perlu adanya kerjasama
dan perbaikan perbatasan
kewenangan antara berbagai pihak
agar program ini dapat dijalankan
dengan baik. Keberhasilan
pelaksanaan program RTLH juga
dipengaruhi oleh keterampilan
pelaksana.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian
maka dapat disimpulkan
bahwa dalam Implementasi
Program RTLH pada
Kelurahan Kampung Baru
Kecamatan Tanjungpinang
Barat Kota Tanjungpinang
sudah berjalan dengan baik
2. Saran
Dari hasil temuan
sebelumnya maka ada beberapa hal
yang dapat disarankan guna
perbaikan dalam Implementasi
Program RTLHPada Kelurahan
Kampung Baru Kecamatan
Tanjungpinang Barat Kota
Tanjungpinang. Berikut saran yang
dapat disampaikan :
1. Seharusnya pihak Kelurahan
dapat bekerjasama dengan
RT dan instansi terkait
berkaitan dengan calon
penerima bantuan tersebut.
Mulai dari pendataan hingga
penetapan penerima bantuan
RTLH di Kelurahan
Kampung Baru.
2. Ada beberapa hal yang harus
di perbaiki dalam
implementasi program
tersebut seperti tidak ada
17
standar operasional dalam
menjalankan program
tersebut Karena hanya
tertuang dalam Keputusan
walikota saja. Untuk
dikelurahan mengikut para
perda yang dikeluarkan
walikota tersebut. Kemudian
dalam pembagian tugas juga
harus lebih dipertegas mulai
dari tugas Kepala Dinas
Sosial, Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan
Daerah Kota Tanjungpinang,
sampai ke pihak Kelurahan
karena jika dilihat hal ini
berpengaruh terhadap
pelaksanaan dan pendataan
calon penerima RTLH.
3.
2
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah.
Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik.Bandung : CV Alfabetha
Arikunto.Suharsini.2006. Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Arikunto, S. Jabar, C. 2010. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta:Bumi Aksara
Crawford, John. 2000. Ed. 2. Evaluation of Libraries and Information Services.
London : Aslib.
Dunn, W William. 2003. Analisa kebijakan. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Echols, John M and Hassan Shadily. 2000. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta :
Gramedia. Pustaka Utama
Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora: Bandung.
Gunawan Sumodiningrat, 1998. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan
Pengaman Sosial, Jakrta: PT Gramedia Pustaka Utama
Griffin, P. & Nix, P. 1991. Educational assessment and reporting: A
newapproach. Sydney: Harcourt BraceJovanovich.
Lababa, Djunaidi. 2008. Evaluasi program : sebuah pengantar. ersedia dalam
http://evaluasipendidikan.blogspot.com/2008/03/evaluasi-program-sebuah-
pengantar.html Diunduh 13 Maret 2015.
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya
Nawawi. 2006. Evaluasi dan Manajemen Kinerja di LingkunganPerusahaan dan
Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid I. Jakarta :
PT. Rineka Cipta.
Nugroho, Riant D. 2004. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi.
Jakarta : PT.Elex Media Komputindo
3
Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: CSIS
Rasyid, Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya.
Sumardi, M., dan H. D. Evers, ed., 1993. Kemiskinan Dan Kebutuhan Pokok.
Rajawali, Jakarta
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Jakarta: PT. Buku Kita.
Yunanda. 2009. Evaluasi, http://repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 12
Maret 2015.