1NTEGRASI REGIONAL SEBAGAI UPAYA INDONESIA DALAM MEMBANGUN HEGEMONY DI KAWASAN
(Analysis peran dan implikasi kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada stabilitas keamanan global))
OLEH:
Janggan Er Cahyo
NIM: 201110360311151
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013
1
PERAN INTEGRASI REGIONAL SEBAGAI UPAYA UTAMA
INDONESIA DALAM MEMBANGUN HEGEMONY DI KAWASAN
(Analysis Peran dan implikasi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada
stabilitas keamanan global)
Oleh:
Janggan Er Cahyo
Universitas Muhammadiyah Malang
21 Juni 2013
“Indonesia oleh negara-negara lain diklaim telah menjadi pemimpin (leader) dan
panutan dalam bidang politik keamanan diantara negara-negara ASEAN” Dirjen
Kerjasama ASEAN Kementrian Luar Negeri RI I Gusti Agung Wesaka Puja.1
ABSTRACT
Tidak dapat dipungkiri lagi jika saat ini regionalisme kawasan merupakan salah
satu agenda penting setiap negara. Terlebih lagi dalam membentuk sistem
perpolitikan global di tengah era sistem liberalisme dan globalisasi seperti saat ini.
Selain merupakan agenda penting dari liberalisasi tatanan global, regionalisme
juga menjadi instrument penting suatu negara dalam membangun hegemonynya
di dunia internasional.
Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang menunjukkan
keseriusannya dalam membangun regionalisme kawasan terutama di ASEAN. Hal
1 Marieska Harya Virdhani, ASEAN Jadi Soko Guru Politik Luar Negeri Indonesia, diakses dalamhttp://international.okezone.com/read/2013/03/22/411/780253/asean-jadi-soko-guru-politik-luar-negeri-indonesia. (19 Juni 2013, 01.27 WIB)
2
ini tidak terlepas dari kepentingan Indonesia di kawasan tersebut. Salah satu
kepentingan Indonesia di ASEAN ialah membangun hegemony “Indonesia
ASEAN Leader”.
Di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia menjelma
menjadi salah satu negara yang disegani di lingkungan internasional. Salah satu
penyebabnya adalah kebijakan politik luar negeri Indonesia yaitu “Zero enemy
thousand friends” dan “Dynamic Equilibrium”. Hal ini kemudian semakin
mendudukan posisi Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang
aktif, serta meningkatkan bargaining position Indonesia di dunia internasional.
Artikel ini sendiri akan mencoba menganalysis kepemimpinan Indonesia
di ASEAN era Susilo Bambang Yudhoyono, serta implikasinya terhadap posisi
Indonesia di kawasan dan percaturan global.
Kata Kunci: Regionalisme, Hegemony, “Zero Enemy Thousand Friends”,
Dynamic Equilibrium
PENDAHULUAN
Usaha pertama Indonesia dalam membangun hegemonynya di percaturan
politik dunia ialah pada era kepemimpinan presiden soekarno. Walaupun saat itu
usaha Indonesia untuk aktif di kancah perpolitikan dunia adalah lebih pada
promosi identitas Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Saat itu Indonesia
merupakan negara yang baru saja merdeka dari jajahan imperialism belanda.
Sehingga dalam upaya menarik simpati dan bantuan dari luar negeri Indonesia
seringkali menghadiri pertemuan-pertemuan Internasional. Hal ini
diimplementasikan pada kebijakan luar negeri yang diusulkan oleh M. Hatta yaitu
kebijakan luar negeri bebas aktif, dimana politik ini menganjurkan Indonesia agar
aktif dalam organisasi masyarakat internasional tanpa terhubung oleh salah satu
kekuatan polar saat itu yaitu Soviet dan AS.
3
Pasca turunnya Soekarno dari kursi kepemimpinan presiden republlik
Indonesia, Soeharto menduduki kursi nomor satu Indonesia. Di era Soeharto ini
Indonesia mulai memperbaiki hubungannya dengan negara-negara tetangganya
seperti Malaysia dan Singapore, mengingat bahwa hubungan kedua negara
tersebut dengan Indonesia sempat tegang pada era Soekarno. Selain itu agenda
utama Indonesia di pemerintahan Soeharto adalah dengan kembali menjadi
anggota PBB pada 2 Juni 1966. Kebijakan orde baru yang cenderung integrative
daripada konfrontatif layaknya orde lama kemudian akan berbuah pada
terbentuknya ASEAN yang akan diprakarsai salah satunya oleh Indonesia.
ASEAN dibentuk pada tanggal 8 agustus 1967 oleh lima pemimpin dari
Indonesia, Malaysia, Singapore, Filipina, dan Thailand. Pada saat itu peran
Indonesia di kawasan sangatlah besar, baik itu dalam hal perekonomian dan
stabilitas. Bermodalkan perekonomian kuat dan stabilitas dalam negeri Indonesia
bergerak untuk membangun kawasan yang stabil dan makmur.
Peran Indonesia semakin tumbuh di kawasan terlebih lagi setelah
Indonesia memprakarsai terbentuknya ASEAN. Dari pemerintahan Soeharto
inilah kemudian muncul ide-ide regionalisme yang lebih solid dan kompetitif,
salah satunya ialah ide awal ASEAN Community. Indonesia di era Suharto
dianggap merupakan pemimpin ASEAN yang berhasil membawa stabilitas dan
menumbuhkan perekonomian kawasan.2
ASEAN dalam kepemimpinan Indonesia memang dikenal sangat
Integratif dan diplomatis dalam penyelesaian issue-issue di kawasan maupun
Internasional. Pada tahun 1976, ketika Indonesia mengetuai ASEAN, negara-
negara anggota menghasilkan Bali Concord I, yang mana ini merupakan basis dari
perjanjian persahabatan dan kerjasama ASEAN. Sama halnya seperti
kepemimpinan Indonesia tahun 1976, pada tahun 2003 Indonesia kembali
2 Irfa Puspitasari, 2010, Indonesia’s New Foreign Policy- ‘Thousand friendszero enemy’, New Delhi, page: 4
4
menunjukkan kesungguhannya pada integrasi regional dengan menghasilkan Bali
Concord II, yang menjadi prakarsa dari ASEAN Economic Community.3
Namun, kepemimpinan Indonesia di ASEAN sempat tergoyahkan kala
Indonesia mengalami krisis moneter dan reformasi. Pada awal-awal era reformasi,
hegemony Indonesia di Asia Tenggara kembali jatuh pasca munculnya isu-isu
melemahnya perekonomian Indonesia, instabilitas dalam negeri, serta adany
laporan pelanggaran HAM berat di Indonesia. Hal ini kemudian sempat
membawa ASEAN ke stalled periode akibat buruknya keadaan politik dan
perekonomian negara-negara di Asia Tenggara.
Dampak reformasi dan krisis moneter terbukti berspektrum luas bagi
Indonesia, kondisi social politik Indonesia mengalami kejatuhan. Setelah
kehilangan Timor-Timur Indonesia harus menerima hukuman-hukuman dari PBB
serta Amerika Serikat terkait tindakan pelanggaran HAM berat Indonesia selama
masa orde baru. Hukuman PBB dan embargo pada Indonesia ini berimbas pada
melemahnya politik luar negeri Indonesia secara langsung.
setelah sekian lama Amerika Serikat menjadi partner utama sekaligus
panutan orde baru, skema politik luar negeri Indonesia terpaksa harus mengalami
proses diaspora menjadi politik luar negeri yang mengutamakan netralitas dan
aktif dalam penyelesaian konflik dan organisasi-organisasi internasional. Dimana
pada akhirnya hasil dari diaspora politik luar negeri Indonesia ini akan menjadi
penentu lahirnya “Doktrin Natalegawa”. Namun perlu beberapa waktu agar
Indonesia mampu kembali membangun politik dalam negeri serta
perekonomiannya pasca reformasi, hingga akhirnya SBY (Susilo Bambang
Yodhoyono) terpilih menjadi presiden pada tahun 2004.
Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara demokratis
sebagai Presiden Indonesia pada tahun 2004, memunculkan sejumlah harapan
3 Bambang Hartadi Nugroho, Challenges for Indonesia as ASEAN chair, The Jakarta Post, edisi: Thu, January 06 2011, diakses di: http://www.thejakartapost.com/news/2011/01/06/challenges-indonesia-asean-chair.html. (diakses pada: 19 Juni 2013, Pada Pukul: 20.26 WIB).
5
publik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan domestik akibat krisis 1997.4
Kepercayaan yang tinggi terhadap SBY oleh rakyat saat itu menimbulkan
optimisme yang tinggi di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya akan
berimbas pada meningkatnya perekonomian dan tatanan social dalam negeri
Indonesia. Sehingga secara bertahap Indonesia bisa dikatakan kembali ke jalurnya
semula, dimana ia seharusnya menjadi negara yang memiliki peran besar terhadap
stabilitas, perekonomian, dan perkembangan kawasan. Tumbuhnya perekonomian
dan stabilitas keamanan serta perpolitikan domestic yang terus berkembang pesat
membuat kepercayaan dunia Internasional terhadap Indonesia kembali
berkembang.
Theory Hegemony Stability
Hegemony menurut Gramsci “a relation, not of domination by means of
force, but of consent by means of political and ideological leadership. It is the
organisation of consent".5 Theory hegemony merupakan salah satu post cold war
theory, dimana theory ini merupakan perpaduan antara pandangan Realisme,
Liberalisme, dan pandangan strukturalis sejarah. Theory stabilitas hegemony
menegaskan bahwa sistem internasional yang relative terbuka dan stabil hanya
akan terakumulasi jika ada satu negara dominan yang:
1. Memiliki sumber daya cukup besar untuk menopang dan membentuk
leadership pada suatu negara.
2. Bersedia dan berusaha untuk mematuhi serta membuat usaha-usaha
dan kebijakan yang mampu menjaga tatanan global liberalis di
kawasan.
4 Andhik Beni Saputra, 2009, POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DIBAWAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Tahun 2009-2011, Page: 2, http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1066/1/PLN%20RI%20Era%20Presiden%20SBY%202009-2011.pdf. (diakses pada: 19 Juni 2013, Pukul: 20.03 WIB)5 Roger Simon, Gramsci's Political Thought: An Introduction, di Susan Engel, 2006, Where to Neoliberalism? The World Bank and the Post-Washington Consensus in Indonesia and Vietnam, diakses di: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CEkQFjAD&url=http%3A%2F%2Fcoombs.anu.edu.au%2FSpecialProj%2FASAA%2Fbiennial-conference%2F2006%2FEngel-Susan-ASAA2006.pdf&ei=2DTFUayXMNDHrQeftoFg&usg=AFQjCNFDRFy1vmmWNln-jQTyPSYuFI2XHw&sig2=00J5fnojjlvZtzWUJuOFaQ. (20 Juni 2013 Pada Pukul: 13.41 WIB)
6
Hegemon harus mengikuti kebijakan yang aktor utama lainnya percaya
relatif menguntungkan. Dilihat dari motive dan kepentingan strategis negara,
hegemony dibagi menjadi tiga model yaitu 1. Benevolent Hegemon 2. Mixed
hegemon 3. Exploitative Hegemon.
1. Dalam benevolent hegemon, sebuah negara hegemon akan lebih
mempromosikan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya,
dalam memastikan kepatuhan pada sistem hegemonnya, suatu negara
dominan akan mendahulukan upaya-upaya persuasive daripada
koersif. Contoh: Indonesia di ASEAN
2. Mixed Policy Hegemon, hegemon dalam hal ini negara dominan
memiliki agenda ganda untuk mengejar kepentingan bersama dan
nasionalnya sekaligus, dalam prakteknya untuk menanamkan
pengaruhnya negara dominan akan menggunakan baik itu cara
persuasive ataupun koersif. Contoh: Amerika Serikat
3. Exploitative Hegemon, negara dominan akan menggunakan cara-cara
koersive dalam upaya menyebarkan pengaruhnya dala upaya untuk
mengejar kepentingan nasionalnya. Contoh: Nazi Jerman
Dalam kasus Indonesia, ASEAN nampakanya Masih bergantung terhadap
kepemimpinan satu negara yang mampu membawa Asia Tenggara kedalam
kestabilan ekonomi dan politik.
Regionalisme
Ada 5 kategori dari pengertian regionalization sebagai sebuah penjelasan
teoritis. Pertama, pertumbuhan masyarakat dalam sebuah wilayah pada proses-
proses interaksi sosial dan ekonomi, sebagai regionalism lunak, sebuah proses
yang otonomi yang mengarah kepada saling ketergantungan. Kedua, regional
awareness, regional identity. Regionalism yang dibangun atas sifat
keistemewaan, identitas kawasan. Ketiga, regional interstate co-operation, sebauh
regional yang didasarkan atas kerjasama baik formal maupun informal. Keempat,
state-promoted regional integration, kerjasama integrasi ekonomi kawasan, mulai
7
perdagangan, barang jasa, modal dan investasi. Kelima, regional cohesion
kombinasi dari empat proses diatas yang bisa mendorong munculnya unit
kawasan yang kohesif terkonsolidasi.6
Namun pada dasarnya regionalisme tidak memiliki definisi yang jelas
dalam penggunaannya. Namun, bisa dikatakan bahwa regionalisme merupakan
sekumpulan negara-negara berada di suatu daerah/kawasan yang saling
berhubungan atau dekat secara geografis yang saling menjalin hubungan
kerjasama. Tetapi definisi ini sendiri masih lemah apabila dikorelasikan dengan
issue kekinian dimana regionalisme tidak hanya mencakup negara yang saling
berdekatan saja secara geografis saja, kita sebut saja contohnya ASEAN +3 dan
EU dimana Israel dalam beberapa hal mengikuti hukum-hukum uni eropa.
PEMBAHASAN
Era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono bisa dikatakan
merupakan era kebangkitan pasca reformasi. Salah satu tugas berat SBY adalah
melakukan revitalisasi peran internasional Indonesia agar dapat kembali berperan
aktif dalam berkontribusi terhadap permasalahan internasional maupun
pemenuhan kepentingan nasional melalui instrumen politik luar negeri.7 Susilo
Bambang Yudhoyono juga kembali mengembalikan agenda utama Indonesia di
kawasan untuk memprioritaskan politik luar negerinya ke ASEAN.
Sejak Orde Baru, Indonesia menempatkan ASEAN sebagai pilar utama
atau soko guru politik luar negeri Indonesia. Setidaknya terdapat tiga alasan
utama yang mendasari keputusan tersebut. Pertama, Indonesia adalah salah satu
pendiri dan pemrakarsa ASEAN sehingga konsekuensi logisnya ASEAN
seharusnya menjadi instrumen politik luar negeri Indonesia. Kedua, ASEAN
6 Budi Winarno. Isu-Isu Global Kontemporer di Janggan Er Cahyo, Taufiq Hidayat, dan Taufiqurrahman, 2013, PERAN INDONESIA SEBAGAI KUNCI STABILISASI KAWASAN DALAM KONSEP INTERDEPENDENSI DI ASEAN ( Kajian Asean Community 2015) , Universitas Muhammadiyah Malang, page: 15-167 Andhik Beni Saputra, Loc Cit.
8
merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara sehingga Indonesia
sudah seharusnya terlibat aktif dalam ASEAN. Ketiga, ASEAN memiliki potensi
yang besar untuk terlibat dalam arsitektur dan dinamika di kawasan Asia terutama
di bidang politik, ekonomi dan sosial.8
Di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II, Menteri luar
negeri Indonesia yaitu Marty Natalegawa ditugaskan untuk mengembalikan
prioritas politik luar negeri Indonesia ke kawasan yaitu ASEAN. Pembentukan
dan penguatan ASEAN community merupakan agenda utama ASEAN. Selain itu
ASEAN akan berusaha memasukkan Jepang, China, dan Korea pada kerangka
kerja ASEAN, sehingga memastikan perkembangan ASEAN kedepannya.9
Kerja sama ASEAN memegang peran kunci dalam pelaksanaan kerja
sama Internasional Indonesia, Karena merupakan konsentris terdekat di kawasan
dan menjadi pilar utama pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.10 Hal inilah
yang menyebabkan mengapa Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyonno
memiliki prioritas utama terhadap ASEAN. Kedekatan geografis, kepercayaan
yang semakin tumbuh di kalangan member-member ASEAN serta pengalaman di
ASEAN yang cukup lama merupakan modal utama Indonesia dalam menopang
politik luar negerinya.
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ASEAN pada masa
kepemimpinan Indonesia telah mencapai beberapa hal penting. Yang pertama
adalah, terpeliharanya perdamaian, stabilitas, dan keamanan di wilayah ASEAN,
antara lain, melalui pengembangan resolusi konflik secara damai, penguatan kerja
sama penanganan bencana, salah satunya diimplementasikan dengan
pembentukan AHA center di Jakarta, dan penguatan komitmen terhadap
kemajuan dan perlindungan HAM. ASEAN juga semakin menunjukkan
8 CSIS, Seminar “Kaji Ulang ASEAN sebagai Sokoguru Politik Luar Negeri Indonesia”,<http://www.csis.or.id/SeminarEventDetailPast.php?id=227> dalam Andhik Beni Saputra, 2009, POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DIBAWAH SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Tahun 2009-2011, Page: 2, http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1066/1/PLN%20RI%20Era%20Presiden%20SBY%202009-2011.pdf. (diakses pada: 19 Juni 2013, Pukul: 20.03 WIB).9 Irfa Puspitasari, Loc Cit.10 Peran Indonesia Dalam Mewujudkan ASEAN Socio-Cultural Community Guna Mendukung Ketahanan Nasional, Lemhannas, LEMHANNAS RI, Edisi 14, Desember 2012, page: 1
9
sentralitasnya di kawasan yang lebih luas melalui Declaration of East Asia
Summit on the principal for mutually beneficial relations. Kedua, memastikan
kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat ASEAN dengan terciptanya kawasan
yang kondusif untuk pembangunan nasional melalui ASEAN connectivity, serta
pembangunan yang merata, termasuk kerja sama dengan negara-negara mitra
wicara. Selain itu, penguatan ketahanan pangan termasuk dalam masa krisis
melalui ASEAN plus 3 juga dilaksanakan. Ketiga, meningkatkan keterlibatan
langsung masyarakat dalam kegiatan-kegiatan ASEAN selaku organisasi yang
people oriented dan people centered melalui dialog-dialog dengan masyarakat
madani dan generasi muda untuk mendengarkan pandangan mereka terhadap
kemajuan ASEAN.11
Era kepemimpinan Indonesia di ASEAN dianggap sebagai era yang
sukses bagi ASEAN. Hal ini dikarenakan karena Indonesia berusaha membangun
ASEAN dengan dasar kesamaan identitas dan dalam suasana diplomatis yang
dilandasi dengan kekuatan ekonomi dalam negeri dan kawasan yang kuat.
Acharya, berpendapat bahwa peran dari norma dan identitas dalam membentuk
kawasan regional yang tangguh sangat penting apabila dapat dikorelasikan
dengan aspek-aspek material seperti kekuatan perekonomian yang stabil.12
Munculnya China sebagai The New Emerging Forces mau tidak mau
memaksa dunia internasional mengarahkan perhatiannya ke China. Peran dan
kekuatan yang dimiliki China saat ini bisa menjadi salah satu arsitek stabilitas di
kawasan kedepannya. Namun baik Indonesia dan negara-negara lainnya di
ASEAN tidak melihat China sebagai kekuatan yang dapat mengancam melalui
11 ASEAN di bawah Keketuaan Indonesia Capai Tiga Hal Prioritas, 2011, Kementrian sekertariat negara, diakses dalam: http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5933 (pada: 21 Juni 2013 pukul: 07.38 WIB)12 Siti Darwinda Mohamed Pero, 2011, Political Leadership in ASEAN Community BuildingCompared with the EU, page: 3 diakses di: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.uq.edu.au%2Fisaasiapacific%2Fcontent%2Fsitimohammedpero1-3.pdf&ei=PBHGUczqN8GHrAf30IC4Dg&usg=AFQjCNFOlRn73_h4qVK6PNwWL8LUnrOz6A&sig2=O-XYyMlBsj-GJpVPciuqeQ. (pada: 21 Juni 2013 pukul: 01.00 WIB)
10
cara-cara koersive seperti ancaman militer, namun melihatnya pada peran dan
posisi China di kawasan pada masa depan.13
Kebijakan strategis Indonesia untuk merangkul The New Emerging Forces
yaitu China, jelas sekali memberikan keuntungan bagi perkembangan Indonesia
serta kawasan secara umum. Hal ini diimplementasikan dalam perjanjian tentang
kerjasama strategis saat peringatan Asia-Afrika Ke-50 di Jakarta tahun 2005 yang
lalu di Indonesia. Dengan adanya perjanjian ini maka secara tidak langsung akan
memberikan keuntungan strategis bagi Indonesia dan kawasan. Namun dilain sisi
juga akan memberikan potensi konflik di kawasan pada masa depan, mengingat di
kawasan Asia Tenggara sudah tertanam pengaruh Amerika Serikat.
Menurut Li Ping ilmuwan dari National Institute of International Strategy,
Ini merupakan deklarasi pertama yang dilakukan China untuk kerjasama strategis
bilateral antara China dengan Negara-negara Asia Tenggara, “Ini berarti
kerjasama antara China dan Indonesia sudah berjalan sangat cepat, terutama untuk
perdagangan, budaya dan social, dan keamanan serta masalah politis.14 Dengan
disepakatinya perjanjian ini pengaruh China di Asia Tenggara semakin luas, baik
itu dalam hal politis maupun perekonomian. Adanya hubungan baik di masa lalu
antara China dan Indonesia mempermudah cepatnya perkembangan hubungan
kedua negara.
Dengan meluasnya pengaruh China di Indonesia akan mempengaruhi
peningkatan peran China di kawasan kedepannya, mengingat peran sentral
Indonesia di ASEAN. Semakin berkembangnya peran dan kekuatan China di
kawasan jelas menjadi perhatian Amerika Serikat, sehingga memaksanya untuk
merubah arah politik luar negerinya lebih kearah Asia-Pasifik. Isu keamanan di
13 Rizal Sukma, Indonesia and the Emerging Sino-US Rivalry in Southeast Asia, page: 2, Diakses di https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww2.lse.ac.uk%2FIDEAS%2Fpublications%2Freports%2Fpdf%2FSR015%2FSR015-SEAsia-Sukma-.pdf&ei=rb3FUcfZD8rarAflqIGYBg&usg=AFQjCNH6Ya_h08g0bV0jJoAe--dmyltujw&sig2=g055wdlnONOmH4mrnl1yrw. (pada: 20 Juni 2013 Pukul: 12. 56 WIB)14 M.Ihsan, 2013, Analisis: Tingkat Hubungan Indonesia-China Tersus Meningkat, http://wartaekonomi.co.id/berita11355/analisis--tingkat-hubungan-indonesiachina-terus-meningkat.html (diakses pada 19 Juni 2013, pada pukul: 13.47 WIB)
11
kawasan Asia-Pasifik memang saat ini menjadi perhatian utama pemerintahan
Barack Obama. Setelah menghabiskan banyak tenaga dan perhatian di Timur
Tengah dalam Perang Melawan Terorisme,15 pada masa pemerintahan George W.
Bush, Obama mulai menggeser poros strategi dan kebijakannya di kawasan Asia.
Hal itu disebabkan oleh selain karena kepentingan ekonomi melainkan juga oleh
peningkatan militer China yang mengkhawatirkan negara-negara sekutu AS di
Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan juga Filipina16
Hal ini baik sekali bagi perkembangan Indonesia dan kawasan
dikarenakan dua kekuatan yaitu China dan Amerika Serikat sedang
memperebutkan pengaruh di kawasan, sehingga kedua negara tersebut mau tidak
mau akan ikut dalam usaha pengembangan kawasan. Namun menjadi medan
perebutan pengaruh dua negara adidaya juga dapat memicu ASEAN untuk
menjadi ladang konflik di masa depan. Maka dari itu sebagai negara sentral di
ASEAN, Indonesia perlu menempatkan dirinya pada posisi senetral mungkin. Hal
inilah yang kemudian mengilhami Indonesia utnuk memunculkan salah satu
kebijakan yang dipuji dan disebut oleh kalangan internasional sebagai Doktrin
Natalegawa/Dynamic Equilibrium.
Dynamic Equilibrium/Doktrin Natalegawa merupakan sebuah doktrin
yang dikemukakan oleh menteri luar negeri Indonesia di era kepemimpinan kedua
Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Marty Natalegawa. Dynamic equilibrium
sendiri oleh Marty Natalegawa diidentifikasikan sebagai sebuah doktrin yang
menekankan satu kekuatan yang dominan di kawasan. Pada dasarnya doktrin
Natalegawa ini sendiri memiliki tujuan utama untuk mengikat kekuatan-kekuatan
besar dunia terutama China dan Amerika Serikat untuk ikut menyumbangkan
kontribusinya dalam mengembangkan kawasan dan menjaga kestabilan kawasan.
Doktrin Natalegawa pada hakikatnya berpegang teguh pada upaya-upaya
persuasive dan diplomatis dalam prakteknya.17 Hal inilah yang sangat jelas
15 Dion Maulana Prasetya, 2012, Indonesia di Era Asia, Universitas Negeri Malang, page: diakses di: http://www.umm.ac.id/opini/en-file_opini_umm_14.pdf. (pada tanggal 19 Juni 2013 pada pukul, 9.41 WIB)16 Ibid.17 Ibid.
12
digambarkan dalam politik luar negeri Indonesia era kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono jilid II ini, dimana cara-cara diplomatis dan integrative
menjadi prioritas utama dalam menyikapi suatu issue.
Dalam Dynamic equilibrium/ Doktrin Natalegawa ini Indonesia harus
mampu menjaga keseimbangan kekuatan dan pengaruh China dan Amerika
Serikat. Dengan kata lain Indonesia menempatkan dirinya sebagai meja runding
bagi dua kekuatan dunia yang saat ini sedang mengalami persaingan ketat dalam
memperebutkan posisi sebagai hegemon dunia. Maka dari itu Indonesia sebagai
kunci dari stabilitas ASEAN di masa depan diharapkan dapat menjaga
netralitasnya agar tidak condong ke kekuatan-kekuatan tertentu. Indonesia
diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung kepentingan AS dengan China
di kawasan. Sehingga era-era awal ASEAN di masa perang dingin yang ditandai
dengan disintegrasi kawasan yang tinggi tidak terjadi lagi.18
Namun usaha Indonesia dalam memimpin ASEAN ke arah stabilitas
kawasan bukan tanpa tantangan serius entah itu berupa tantangan dalam negeri,
luar negeri ataupun tantangan dalam tubuh ASEAN itu sendiri. Kondisi politik
dalam negeri yang kurang stabil menjadi “Factor X” bagi negara-negara di
kawasan untuk terdorong mengikuti arah Indonesia dalam menyikapi integrasi
regionalnya. Sehingga masih timbul rasa tidak percaya dan pesimisme baik itu
dari dalam maupun luar negeri terhadap Indonesia.
Selain itu ASEAN merupakan suatu kawasan regional yang dalam
perkembangannya tidak terlepas dari factor sejarah. Dalam tubuh member-
member ASEAN sendiri masih dihinggapi oleh rasa ketidakpercayaan satu sama
lain, hal ini disebabkan bahwa hampir seluruh negaranya pernah memiliki konflik
satu sama lain. Konflik antara Indonesia dengan Malaysia menjadi contoh yang
gamblang dalam menjelaskan permasalahan ini, sudah menjadi rahasia umum
masyarakat di kawasan Asia Tenggara bahwa Indonesia pernah bersengketa
dengan Malaysia terkait kasus ganyang Malaysia yang hingga sekarang masih
18 Janggan Er Cahyo, Taufiq Hidayat, dan Taufiqurrahman, 2013, PERAN INDONESIA SEBAGAI KUNCI STABILISASI KAWASAN DALAM KONSEP INTERDEPENDENSI DI ASEAN ( Kajian Asean Community 2015) , Universitas Muhammadiyah Malang, page: 19
13
berngiang di benak orang Indonesi dan Malaysia, selain itu diperparah pula oleh
kasus Pulau Sipadan dan Ligitan.
Selain kasus Indonesia-Malaysia, ASEAN dan Indonesia juga dihadapkan
pada kasus Thailand dan Kamboja terkait perebutan kawasan candi Preah Vihear.
Tidak seperti organisasi-organisasi lainnya seperti Uni Eropa, African Union, atau
Organization of American States, ASEAN tidak memiliki kerangka undang-
undang mekanis yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan antar
membernya.19 Meskipun sebenarnya ASEAN sendiri memiliki TAC (Treaty of
Amity and Cooperation yang sudah mencakup kesepakatan dan kerangka kerja
untuk membangun suatu kawasan yang aman dan damai.20 Namun
permasalahanya kesepakatan ini tidak digunakan dengan kompak oleh negara-
negara member, dimana Indonesia, Singapura, dan Malaysia lebih memilih untuk
menyelesaikan permasalahan perbatasannya menggunakan mahkamah
international sebagai jalan utama penyelesaian konfliknya.21
Selain permasalahan Internal kawasan tersebut, kestabilan kawasan
ASEAN juga dihadapkan pada masalah eksternal kawasan yaitu konflik Laut
China Selatan yang melibatkan China pada masalah tersebut. Meskipun tidak
terimbas secara langsung oleh konflik Laut China Selatan, namun secara tidak
langsung juga akan mempengaruhi perekonomian serta stabilitas politik dan
kemanan dalam dan luar negeri negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Maka dari itulah Indonesia harus mampu memposisikan dirinya pada
posisi senetral mungkin sembari terus mensponsori pihak-pihak yang terlibat agar
dapat menyelesaikan konflik tersebut dengan jalan diplomatis. Konflik China
selatan juga dapat menjadi penghambat bagi jalannya Doktrin Natalegawa
dikemudian hari, sehingga dapat berimbas negative terhadap politik luar negeri
Indonesia.
19 Kavi Chongkittavorn, 2011, Indonesia Expands ASEAN’s Role, East-West Center: Asia Pacific Bulletin B Edisi 111, page: 220 Ibid.21 Ibid.
14
PENUTUPAN
Dari awal pembentukan ASEAN, Indonesia merupakan negara yang
memiliki peran sentral di kawasan. Setiap issue yang berkaitan dengan Indonesia
akan juga mempengaruhi negara-negara lain di kawasan. Maka dari itulah
Indonesia selalu ditempatkan sebagai leader state di kawasan ASEAN.
Perannya sebagai leader state di kawasan Asia Tenggara semakin
diperkuat oleh maneuver-manuver Indonesia dalam mengembangkan ASEAN
untuk menjadi suatu kawasan yang damai, makmur dan stabil. Selain dikenal
sebagai negara pelopor berdirinya ASEAN, Indonesia juga menjadi pelopor ide-
ide regionalisme dan integrative di tubuh ASEAN, sebut saja Bali Concor I dan
Bali Concord II. Kepemimpinan Indonesia pada tahun 2011 juga menjadi salah
satu cerita sukse Indonesia sebagai Chairman ASEAN dan Leader state diantara
negara-negara member lainnya, dimana Indonesia menelurkan Doktrin
Natalegawa yang berhasil menjadi jembatan bagi China dan AS di Asia Tenggara.
Selain itu doktrin natalegawa akan membawa dampak perkembangan yang cukup
signifikan bagi kawasan mengingat China dan AS yang saling berlomba-lomba
dalam mendapatkan pengaruh di ASEAN.
Tetapi tidak bisa dipungkiri apabila Dynamic Equilibrium/Doktrin
Natalegawa yang berusaha diterapkan oleh Indonesia sangatlah beresiko baik itu
bagi Indonesia sendiri ataupun bagi kawasan. Dikarenakan apabila Indonesia
tidak dapat mengimbangkan kekuatan dua negara adidaya tersebut di kawasan
maka akan terjadi overload hegemon power di dalam negeri dan kawasan. Maka
ketika hal tersebut terjadi, permasalahan yang akan timbul adalah peran asing di
dalam negeri yang terlalu kuat, dimana hal ini nanti akan berpengaruh dalam
politik luar negeri negara dan cepat atau lambat akan berimbas pada integrasi
kawasan. Oleh karena itulah peran Indonesia dalam menjaga stabilitas kawasan
sangatlah besar dan bergantung terhadap netralitas Indonesia, sehingga jika
Indonesia dapat merangkul China dan AS maka ASEAN akan mampu
melakukannya juga.
15
Namun secara keseluruhan jika dipandang dari factor kepemimpinan di
ASEAN, Indonesia bisa ter bilang sangat sukses. Kebijakan yang mengedepankan
proses diplomatis serta cepat tanggapnya Indonesia dalam menyikapi setiap
penyelesaian isu-isu internasional oleh dunia Internasional sebagai upaya yang
terpuji dan mendapatkan tempatnya sebagai . Maka dari itu lah tidak dapat
dipungkiri apabila secara langsung ataupun tak langsung maneuver-manuver
Indonesia di ASEAN memberikan Indonesia kekuatan sebagai hegemon di
kawasan Asia Tenggara dan memberikan bargaining position lebih di dalam
sistem percaturan politik global.
DAFTAR PUSTAKA
16
Andhik Beni Saputra, 2009, POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DIBAWAH
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Tahun 2009-2011,
http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1066/1/PLN%20RI
%20Era%20Presiden%20SBY%202009-2011.pdf
Bambang Hartadi Nugroho, Challenges for Indonesia as ASEAN chair, The
Jakarta Post, edisi: Thu, January 06 2011:
http://www.thejakartapost.com/news/2011/01/06/challenges-indonesia-
asean-chair.html.
Dion Maulana Prasetya, 2012, Indonesia di Era Asia, Universitas Negeri Malang,
page: diakses di: http://www.umm.ac.id/opini/en-file_opini_umm_14.pdf.
Irfa Puspitasari, 2010, Indonesia’s New Foreign Policy- ‘Thousand friendszero
enemy’, New Delhi.
Janggan Er Cahyo, Taufiq Hidayat, dan Taufiqurrahman, 2013, PERAN
INDONESIA SEBAGAI KUNCI STABILISASI KAWASAN DALAM
KONSEP INTERDEPENDENSI DI ASEAN ( Kajian Asean Community
2015) , Universitas Muhammadiyah Malang.
Kavi Chongkittavorn, 2011, Indonesia Expands ASEAN’s Role, East-West
Center: Asia Pacific Bulletin B Edisi 111
Kementrian Sekertarian Negara Republik Indonesia, 2011, ASEAN di bawah
Keketuaan Indonesia Capai Tiga Hal Prioritas, http://www.setneg.go.id.
LEMHANNAS, 2012, Peran Indonesia Dalam Mewujudkan ASEAN Socio-
Cultural Community Guna Mendukung Ketahanan Nasional, Jurnal
LEMHANNAS.
M.Ihsan, 2013, Analisis: Tingkat Hubungan Indonesia-China Tersus Meningkat,
http://wartaekonomi.co.id/berita11355/analisis--tingkat-hubungan-
indonesiachina-terus-meningkat.html.
17
Marieska Harya Virdhani, ASEAN Jadi Soko Guru Politik Luar Negeri Indonesia,
http://international.okezone.com/read/2013/03/22/411/780253/asean-jadi-
soko-guru-politik-luar-negeri-indonesia.
Rizal Sukma, Indonesia and the Emerging Sino-US Rivalry in Southeast Asia,
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCkQFjAA&url=htt
p%3A%2F%2Fwww2.lse.ac.uk%2FIDEAS%2Fpublications%2Freports
%2Fpdf%2FSR015%2FSR015-SEAsia-
Sukma-.pdf&ei=rb3FUcfZD8rarAflqIGYBg&usg=AFQjCNH6Ya_h08g0
bV0jJoAe--dmyltujw&sig2=g055wdlnONOmH4mrnl1yrw.
Siti Darwinda Mohamed Pero, 2011, Political Leadership in ASEAN Community
Building Compared with the EU, https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCwQFjAA&url=htt
p%3A%2F%2Fwww.uq.edu.au%2Fisaasiapacific%2Fcontent
%2Fsitimohammedpero1-
3.pdf&ei=PBHGUczqN8GHrAf30IC4Dg&usg=AFQjCNFOlRn73_h4qV
K6PNwWL8LUnrOz6A&sig2=O-XYyMlBsj-GJpVPciuqeQ.
Susan Engel, 2006, Where to Neoliberalism? The World Bank and the Post-
Washington Consensus in Indonesia and Vietnam,
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CEkQFjAD&url=htt
p%3A%2F%2Fcoombs.anu.edu.au%2FSpecialProj%2FASAA
%2Fbiennial-conference%2F2006%2FEngel-Susan-
ASAA2006.pdf&ei=2DTFUayXMNDHrQeftoFg&usg=AFQjCNFDRFy1
vmmWNln-jQTyPSYuFI2XHw&sig2=00J5fnojjlvZtzWUJuOFaQ.
CATATAN
18
19
Recommended