31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyulingan Dengan Uap Langsung
Uap air yang dihasilkan oleh boiler setelah mencapai
tekanan yang ditentukan 5 atm, dialirkan kedalam ketel suling
yang berisi daun nilam. Uap yang melewati ketel suling keluar
berupa uap campuran yaitu uap air dan minyak nilam, menuju
ke kondensor untuk mengalami proses pendinginan. Uap
campuran tersebut keluar dari kondensor berupa campuran air
dan minyak nilam yang tersimpan di wadah kondensat.
Waktu penyulingan merupakan lama proses penyulingan
yang dimulai dari dibukanya kran uap yang mengalirkan uap
dari ketel uap hingga proses selesai, yaitu kondensat yang
diperoleh tidak mengandung minyak. Waktu proses penyulingan
ini selama 120 menit dilakukan pengambilan data terhadap
konsumsi bahan bakar dan volume minyak nilam yang
dihasilkan. Data penyulingan secara lengkap disajikan pada
lampiran 2,3, dan 4.
32
Tabel 2. Data Hasil Penyulingan Daun Nilam Selama 120 Menit
4.2 Massa Uap
Massa uap merupakan jumlah uap yang tersedia selama
proses penyulingan berlangsung untuk menguapi sejumlah
bahan dalam ketel suling. Massa uap diperoleh dari jumlah
massa air umpan dalam boiler selama proses penyulingan
dibagi dengan massa daun nilam yang disuling. Pada penelitian
ini konsumsi massa uap yang tersedia berkisar antara 0.588 -
0.706 kg uap / kg bahan. Hasil perhitungan massa uap selama
120 menit terdapat pada lampiran 2, dan grafik hubungan antara
massa uap dengan massa bahan selama proses penyulingan
120 menit, seperti yang ditunjukkan pada gambar 8.
33
Gambar 8. Grafik Massa Uap (kg uap/kg bahan)
Pada gambar 8, dapat dilihat bahwa massa uap terbesar
terjadi pada massa bahan 250 kg, yaitu sebesar 0.706 kg
uap/kg bahan, pada massa bahan 275 kg, massa uap sebesar
0.657 kg uap/kg bahan. Sedangkan massa uap terkecil pada
massa bahan 300 kg, yaitu sebesar 0.588 kg uap/kg bahan.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa semakin
besar massa bahan yang digunakan, massa uap yang tersedia
juga semakin kecil.
Massa uap yang semakin kecil karena bertambahnya
massa bahan ini diduga disebabkan karena beberapa faktor,
34
salah satunya adalah adanya kebocoran terjadi di sela-sela
tutup ketel dengan bibir ketel akibat bahan yang terlalu banyak
di dalam ketel. Sesuai dengan Herlina, dkk (2005) minimum
jarak antara tutup ketel dengan bahan adalah 30 cm, sedangkan
pada perlakuan bahan (nilam) sebesar 300 kg, jarak antara
tutup ketel dengan bahan kurang lebih 10 cm. Sehingga hal ini
sangat memungkinkan uap di dalam ketel keluar untuk
menerobos di sela-sela antara bibir ketel dengan tutup ketel. Hal
ini sesuai dengan penelitian Widiatuti (2008), bahwa pengisian
bahan ke ketel yang melebihi kapasitas dapat menurunkan
kinerja ketel suling. Menurut Sukirman dan Aiman (1979)
kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan
penetrasi uap, kapasitas ketel dan efiseinsi uap. Semakin tinggi
bahan dalam ketel akan semakin rendah uap yang masuk,
karena semakin tinggi bahan dalam ketel, akan semakin besar
jarak yang ditempuh dan halangan yang dialami uap air (Rusli
dan Hasanah, 1977). Jalur uap (rat holes) tersebut dapat
menyebabkan kehilangan uap sehingga uap air tidak dapat
35
mengikat minyak dari jaringan-jaringan kantung minyak
tanaman nilam (Guenther, 1972). Fenomena jalur uap terjadi
karena uap akan cenderung mencari celah di antara ruang antar
bahan yang mudah ditembus (Ketaren, 1985).
Massa uap yang dihasilkan setiap jam yang terbaik pada
penelitian ini dengan mengacu pada hasil minyak terbesar
adalah 88.25 kg/jam. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan
penelitian Widiahtuti (2008) tentang penyulingan minyak nilam
menggunakan boiler dengan bahan bakar kayu menghasilkan
massa uap sebesar 34.2 kg/jam. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan tekanan yang digunakan selama penelitian.
Pada penelitian tersebut menggunakan tekanan 0.5-1.5 atm
sedangkan pada penelitian ini tekanan yang digunakan
mencapai 5 atm. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan
massa uap yang tinggi pula (Suwarda, 2009).
4.3 Energi Uap
Pada penelitian ini energi uap yang tersedia selama
proses penyulingan nilam dengan perlakuan perbedaan massa
36
bahan (nilam) berkisar antara 1527.59 – 1834.15 kJ dan energi
uap tiap kg bahan berkisar antara 332.084 – 399.596 kJ/kg.
Hasil perhitungan energi uap terdapat pada lampiran 3,
sedangkan grafik hubungan antara energi uap dengan massa
bahan terdapat pada gambar 9.
Gambar 9. Grafik Hubungan Energi Uap Dengan Massa
Bahan
Pada gambar 9, dapat dilihat energi uap terbesar
terdapat pada massa bahan 250 kg, yaitu 1834.15 kJ/kg,
sedangkan energi uap terkecil pada massa bahan 300 kg, yaitu
sebesar 1527.59 kJ/kg, sedangkan pada gambar 9, hubungan
antara energi uap dengan massa minyak yang didapat selama
37
proses penyulingan 120 menit, pada massa bahan 250 kg,
massa minyak nilam 4.590 kg, energi uap yang tersedia sebesar
399.596 kJ/kg. Pada massa bahan 300 kg, massa minyak nilam
4.6 kg, energi uap yang tersedia sebesar 332.084 kJ/kg. Energi
uap yang tersedia tiap kg minyak nilam selama 120 menit paling
kecil di antara proses penyulingan yang dilakukan yaitu pada
massa bahan 300kg, massa minyak nilam 4.6 kg, energi uap
sebesar 332.084 kJ/kg.
Energi uap semakin kecil karena bertambahnya massa
bahan ini diduga disebabkan karena beberapa faktor, salah
satunya adalah adanya kerapatan bahan yang tidak optimal
dapat menyebabkan uap tidak dapat berpenetrasi dengan baik
ke dalam bahan, hal ini menyebabkan uap mengalir hanya
terbatas pada jalur uap saja, sehingga energi uap yang
dihasilkan lebih rendah (Fajar, 2008). Selain itu, tidak adanya
penggunaan penahan panas pada dinding ketel, tentunya akan
memperbesar kehilangan energi panas dari ketel suling
(Suwarda, 2009). Hal ini sesuai dengan pernyataan Widiahtuti
38
(2008), bahwa kehilangan panas dalam ketel dapat
mengakibatkan uap di dalam ketel lebih cepat terkondensasi,
sehingga kemungkinan terjadinya kehilangan uap air semakin
besar dan energi yang dihasilkan semakin kecil.
Energi uap yang tersedia setiap jam pada penelitian ini
dengan mengacu pada hasil minyak terbesar adalah 763.795
kJ/jam. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian
Dina (2004) tentang penyulingan minyak nilam menggunakan
Autoklaf dengan bahan bakar minyak tanah menghasilkan
energi uap sebesar 55.404 kJ/jam. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan tekanan yang digunakan selama penelitian.
Pada penelitian tersebut menggunakan tekanan 2 - 4 atm,
sedangkan pada penelitian ini tekanan yang digunakan
mencapai 5 atm. Besarnya energi yang diperlukan untuk
mengubah air menjadi uap panas dipengaruhi oleh tekanan
kerja, massa air yang diuapkan dan kualitas atau fraksi uap
yang dihasilkan (Suwarda, 2009).
39
Suatu proses penyulingan disebut paling optimal bila
energi yang diperlukan untuk menghasilkan satu satuan massa
minyak nilam jumlahnya paling kecil (Dina, 2004). Sehingga dari
perlakuan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu perlakuan
dengan massa 300 kg, merupakan proses penyulingan paling
optimal dengan waktu 120 menit.
4.4 Efisiensi Boiler
Pada penelitian ini efisiensi boiler yang diperoleh selama
proses penyulingan nilam dengan perlakuan perbedaan massa
bahan (nilam) berkisar antara 38.61 % - 38.62 % dan energi uap
tiap kg bahan berkisar antara 1527.59 – 1834.15 kJ/kg. Hasil
perhitungan efisiensi boiler terdapat pada lampiran 4,
sedangkan grafik hubungan antara efisiensi energi uap dengan
massa bahan yang dihasilkan seperti yang terdapat pada
gambar 10.
40
Gambar 10. Grafik Hubungan Efisiensi Boiler dengan Massa
Bahan Pada gambar 10, dapat dilihat bahwa efisiensi boiler
terbesar terjadi pada massa bahan 275 kg, yaitu sebesar 38.62
%, pada massa bahan 250 kg dan 300 kg, efisiensi boiler
sebesar 38.61 %. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
dikatakan bahwa pengaruh massa bahan dan konsumsi bahan
bakar yang digunakan, sangat mempengaruhi nilai efisiensi
boiler.
Efisiensi boiler semakin tinggi karena bertambahnya
konsumsi bahan bakar ini diduga disebabkan karena beberapa
faktor, salah satunya adanya energi yang disalurkan dari boiler
41
setiap tahapan proses ke ketel suling sebagian besar
dimanfaatkan dengan baik untuk proses ekstraksi minyak
sehingga menghasilkan efisiensi boiler suling per tahapan
proses tinggi (Suwarda, 2009). Selain itu, diduga karena nilai
efisiensi sangat dipengaruhi oleh jenis bahan bakar, bahan
bakar cair umumnya mudah terbakar dan memerlukan sedikit
udara, sedangkan pada bahan bakar padat lebih sukar terbakar
dan lebih sukar dikontrol pembakarannya (Prasetyo, 2009).
Efisiensi boiler yang terbaik pada penelitian ini dengan
mengacu pada hasil minyak terbesar adalah 38.61 %. Hasil ini
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Prasetyo (2009)
tentang penyulingan minyak pala menggunakan boiler dengan
bahan bakar kayu menghasilkan efisiensi boiler sebesar 31.59
%. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tekanan dan
bahan bakar yang digunakan selama penelitian. Pada penelitian
tersebut menggunakan tekanan 1 atm, dan bahan bakar kayu
yang digunakan selama proses penyulingan, sedangkan pada
penelitian ini tekanan yang digunakan mencapai 5 atm dan
42
bahan bakar solar. Nilai efisiensi boiler tinggi disebabkan karena
pasokan kalor yang lebih kecil, jika pasokan kalor lebih kecil
akan berakibat nilai kehilangan energi kalor yang semakin kecil
dan nilai efisiensi energi akan semakin tinggi (Prasetyo, 2009).