MODERNISASI PERTANIAN
Pertanian modern merupakan pertanian yang sangat dinamis dan fleksibel
serta terus menerus meningkatkan produktivitasnya dan merupakan pertanian
yang progresif dan selalu berubah.
Syarat-syarat pertanian modern :
1) Teknologi dan efisiensi terus menerus diperbaiki.
2) Produksi berubah mengikuti permintaan konsumen (market oriented).
3) Rasio output/input terus menerus berubah, disesuaikan dengan perubahan
penduduk,
Unsur Penting Dasar Pembangunan Pertanian :
Proses produksi
Peran serta petani
Usaha tani sbg usaha keluarga
Usaha tani sbg perusahaan
PERAN PETANI
Pengelolaan usaha tani :
Juru tani (cultivator)
Pengelola (manager)
USAHA TANI
Sebagai suatu bisnis
Sistem pertanahan
Input – output
Biaya (cost) – penerimaan (return/revenue)
Syarat Mutlak
1. Pasar Hasil Pertanian
2. Teknologi yang Senantiasa Berubah
3. Tersedianya Input dan Peralatan Pertanian Secara Lokal
4. Insentif Produksi
5. Jasa Transportasi
Syarat Pelancar
1. Pendidikan Pembangunan
2. Kredit Produksi
3. Kegiatan Kelompok
4. Perbaikan dan Perluasan lahan pertanian
5. Perencanaan Nasional Pembangunan Pertanian
Enam kelompok kegiatan dalam perencanaan dan mengorganisir pembangunan
pertanian (A.T.Mosher) :
1. Penelitian; untuk menemukan dan mengembangkan teknologi usaha tani yang
baru dan lebih baik.
2. Mengusahakan adanya impor/produksi dalam negeri bagi sarana produksi dan
alat-alat pertanian yang diperlukan agar teknologi baru dapat dipergunakan
3. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif (SPP) atau organisasi daerah
pedesaan yang menyediakan saluran-saluran agar bahan-bahan informasi
antar usaha tani dengan masyarakat sekitarnya bisa terjalin
4. Menciptakan dan memelihara adanya perangsang yang cukup bagi petani
untuk meningkatkan produksi
5. Memperbaiki Tanah Pertanian
6. Mendidik dan melatih teknisi agar mampu melaksanakan tugas dengan baik
PRINSIP-PRINSIP UMUM MENCIPTAKAN STRUKTUR PEDESAAN
PROGRESIF (MOSHER)
1) Pertanian modern tidak membatasi diri pada komoditi tertentu
2) Buat rencana mundur dari keadaan modern dan rencana maju dari keadaan
sekarang
3) Perhatikan pentingnya lokalitas usaha tani
4) Perhatikan distrik usahatani sebagai kesatuan dasar untuk memperluas dan
mengembangkan SPP
5) Pergunakan percobaan-percobaan pengujian lokal untuk menentukan
kemungkinan2 ekonomis setempat.
6) Kembangkan secepat-cepatnya SPP-lengkap di PPS dan kerangka SPP di
PPD
7) Pembangunan pertanian dan kesejahteraan di pedesaan saling mempengaruhi
8) Proyek-proyek gerakan yang berorientasi komoditi adalah usaha untuk
mengkoordinasikan usaha-usaha kegiatan penunjang pertanian di daerah PPS
9) Intensitas program pedesaan harus sesuai dengan potensi daerah
10) Swakarsa lokal maupun nasional perlu dirangsang untuk membuat
perencanaan dalam mewujudkan SPP
11) Perlu langkah-langkah prosedural agar prinsip-prinsip umum tersebut di atas
dapat dilaksanakan
MODEL DIFUSI
Hasil kajian Carl O. Sauer dan N. I. Vavilov (1969) :
Munculnya varietas baru dan teknik bertani dan beternak yang lebih baik
merupakan sumber utama dari pertumbuhan produktivitas usahatani
Penyebaran pengetahuan teknis semakin intensif. Dilakukan upaya untuk
mempersempit kesenjangan produktivitas antar petani dan antar wilayah pertanian
Difusi adalah suatu proses dimana inovasi dikomunikasikan menggunakan saluran
tertentu dalam suatu waktu di antara anggota sistem sosial. Pengetahuan sosial
menjadi berkembang dalam penyuluhan pertanian karena komunikasi dan
interaksi di antara anggota sistem sosial
KRITIK TERHADAP MODEL DIFUSI
Dalam perkembangannya model Difusi yang dikembangkan oleh Rogers : terbatas
hanya dalam lingkup difusi sistem sosial
Model difusi inovasi kurang memberikan kesempatan bagi upaya pertumbuhan
produk pertanian
Latar Belakang Teori
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan
Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok
orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu
yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya
menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa
menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers
(1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance
because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu
tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-
penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di
Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan
tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan
Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation
followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over
time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun
1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik
yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan
sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M.
Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F.
Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation:
A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis
Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).
Esensi Teori
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu
inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu
sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut
sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by
which an innovation is communicated through certain channels over time among
the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu
bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-
pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi
menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or
creation to its ultimate users or adopters.”
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4
(empat) elemen pokok, yaitu:
(1) Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang
maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif
tidak harus baru sama sekali.
(2) Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari
sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling
tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b)
karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan
suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran
komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi
jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima
secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran
interpersonal.
(3) Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan
terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak
dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b)
keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima
inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
(4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat
dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan
bersama
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi
dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi.
Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh
terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan
keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi
tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis
keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi
(communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan
(5) peran agen perubah (change agents).
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi
mencakup:
1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau
unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan
keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi
2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil
keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada
pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan
penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
MODEL INPUT BIAYA TINGGI
Usahatani biaya tinggi :
Untuk mengubah usahatani “tradisional” ke arah usahatani yang lebih produktif,
adalah diberlakukannya investasi untuk menutup biaya tinggi yang digunakan
dalam kegiatan untuk mengubah usahatani tradisional tersebut
Investasi yang dimaksud adalah:
1. Pusat-pusat penelitian dan percobaan untuk menemukan pengetahuan
teknis yang “baru”
2. Meningkatkan kemampuan industri yang mengembangkan, menghasilkan
dan memasarkan input teknis “baru”,
3. Meningkatkan kemampuan petani untuk menerapkan atau menggunakan
faktor-faktor produksi dalam usahatani modern secara efektif
“Model Input Biaya Tinggi” belum dapat dikatakan sebagai teori yang lengkap
karena :
1. Pendidikan dan pelatihan bukanlah sumberdaya atau benda ekonomi yang
dapat diperdagangkan di pasar
2. Tidak memasukkan investasi untuk penelitian sebagai input berbiaya
tinggi
3. Tidak menerangkan kondisi ekonomi tertentu berpengaruh pada
pembangunan dan adaptasi teknologi tertentu dalam masyarakat tertentu
4. Tidak menerangkan bagaimana kondisi ekonomi tertentu berpengaruh
pada pembangunan dan adaptasi teknologi tertentu dalam masyarakat
tertentu
Untuk mengubah usahatani tradisional kea rah usaha tani yang lebih
produktif, adalah diberlakukannya investasi untuk menutup biaya tinggi yang
digunakan dalam kegiatan untuk mengubah usaha tani tersebut” (Theodore W.
Schultz)
Hal ini masih kurang dapat diterapkan di Indonesia menginagat petani
Indonesia berada di bawah rata-rata standar ekonomi (miskin). Ketidakmampuan
teknologi menyebabkan tidak adanya pendidikan dan pengetahuan sebagai
investasi dalam bentuk ilmu, apalagi investasi dalam bentuk uang. Faktor-faktor
yang mempengaruhi dan menghambat hai ini adalah kepemilikan lahan yang
sangat kecil perinidividu serta kurangnya pengaplikasian teknologi akibat
keterbatasan ekonomi, pengetahuan maupun ketidakcocokan terhadap pertanian
Indonesia sendiri.
MODEL PENERAPAN INOVASI
Hayami dan Ruttan :
“Pembangunan Pertanian berlangsung sebagai proses menuju keseimbangan
antara perubahan dalam sumbangan sumberdaya, sumbangan kultural, teknologi
dan kelembagaan”
Hubungan yang kuat:
Sumbangan sumberdaya dan perubahan teknologi
Hubungan yang lemah:
Antara sumbangan kultural dengan perubahan teknologi dan kelembagaan
Perubahan teknologi menyebabkan perubahan kelembagaan”, (Karl Max).
“Pembanguna pertanian berlangsung sebagai proses menuju keseimbangan antara
perubahan dalam sumbangan sumberdaya, sumbangan cultural, teknologi dan
kelembagaan”, (Hayami dan Ruttan)
Adanya kelompok tani (termasuk gapoktan) dapat membangun dan memajukan
pertanian akibat adanya kesamaan rasa, tujuan dan cultural dalam satu daerah
sehingga inovasi teknologi dalam kelembagaan tersebut dapat lebih mudah
diserap.
Contoh Kasus:
Mencari jalan keluar dari kemandegan inovasi (Iwan Setiawan)
Secara historis empiris, umur penyuluhan pertanian di Indonesia sudah 99 tahun
(1905-2004), atau 189 tahun jika dihitung dari awal pendirian Kebun Raya Bogor
(1815). Suatu masa yang semestinya sudah menempatkan penyuluhan pertanian
sebagai kelembagaan yang matang dan siap, seperti halnya penyuluhan pertanian
di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Taiwan, dan lainnya.
Kecenderungannya, penyuluhan pertanian Indonesia semakin tenggelam.
Sementara “Better Farming, Better Business, Better Living, Better Environment,
and Better Community “ tinggal selogan, karena kenyataannya sebagian besar
petani tetap berada pada kondisi subsistensi. Lebih celakanya, pada saat
penyuluhan pemerintah melemah, informasi yang dibutuhkan petani tidak serta
merta tereliminasi oleh media massa, penyuluh swasta atau semi swasta, asosiasi
petani atau kelompok tani, perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya
masyarakat.
Meskipun informasi pertanian dari media massa ada tetapi sangat minim,
penyuluh pertanian pemerintah tetap terpuruk dan keterkaitannya dengan petani
dan peneliti (triangulasi) semakin menunjukkan kesenjangan yang serius (World
Bank, 1985; Kaimowitz, 1990), formulator (penyuluh dari perusahaan swasta)
cenderung mengejar kepentingan mereka yang dapat bersifat eksploitatif dan
destruktif (Roling, 1990), LSM yang hubungannya semakin kuat dengan
masyarakat bawah sebagian besar lemah dalam bidang teknik pertanian
(Chambers et al, 1989), Pusat Informasi Pasar dan Pertanian (PIP) belum efektif,
dan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) belum bisa
diandalkan (van den Ban dan Hawkins, 1995).
Padahal bagi petani, informasi (atau inovasi) yang terkait dengan pertaniannya
adalah kebutuhan yang bersifat dinamis. Apalagi pasca Revolusi Hijau petani
menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, seperti kerusakan lingkungan,
resurgensi, erosi genetik, penurunan produktivitas lahan, perubahan iklim,
ketergantungan atas pupuk dan pestisida sintetis, perubahan pola tanam,
pemasaran, pencemaran, dan sebagainya, yang dampaknya akan dirasakan oleh
petani, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Reijntjes, et al., 1992). Beban
petani Indonesia ternyata tidak semakin ringan dengan berkembangnya sector
industri,