1
Jejak Kaki Dari Jember by Zeng Wei Jian
(ditulis dari dalam penjara Salemba, 03-06-2015)
www.zengweijian.blogspot.com
Aku lebih dulu ketemu dengan adiknya, Ci Rebeka Harsono. Sedangkan nama kokohnya,
Andreas Harsono, sampai ke telingaku sebelum mataku melihat fisiknya. Rebeka pimpin
LADI, Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia. Fokus kerja LADI ini mengadvokasi
kelompok "cina benteng". Cuma ada dua aktifis perempuan Tionghoa kala itu: Dia dan
Ester Jusuf Purba.
Satu dekade sebelum Ko Ahok, Wagub DKI Jakarta, masuk politik di tahun 2004, ada
dua nama aktifis Tionghoa: Andreas Harsono dan Stenley Prasetyo. Satu generasi lebih
muda, ada Suma Mihardja. Ketiganya Hoakiao. Nama mereka sembunyikan identitas ini.
Andreas mulai melakoni profesi sebagai "reporter kurcaci" tahun 1991. Aku masih
sekolah di SMP. Pelajaran yang kubenci: "Mengarang".
Stenley Prasetyo bersama novelis Pramoedya Ananta Toer menyunting buku Memoir Oey
Tju Tat. Aku beberapa kali ketemu Stenley ketika ia jadi Komisioner Komnas HAM. Suma
Miharja, sahabatku, adalah seorang demonstran dari Universitas Indonesia. Tiap dinding
rumahnya dipenuhi buku. Ia seorang Lex Generalis, intelektual, pemberani dan beragama
Konghucu. Aku temani Suma saat diwawancara fit n proper test calon Komisioner Komnas
HAM. Sayang gagal. Ia korlap para demonstran seperti Yap Yun Hap, tewas ditembak di
peristiwa Semanggi 2. Yap Yun Hap jadi nama jalan di kompleks UI.
Keenam nama di atas, Rebeka, Ester, Ahok, Andreas, Stenley, Suma, adalah orang-orang
kontroversial. Berwatak "keras". Para petarung. Empat aktifis, satu politisi dan satu
wartawan. Semuanya keren. Masing-masing punya sudut pandang berbeda merespon
identitas Hoakiao dan keindonesiaan. One day, aku ingin melihat mereka bentrok!
Andreas Harsono adalah pribadi paling komplex. Seorang iconoclast. Dia tukang kritik.
Dari Junta Militer Javanese, perilaku wartawan sampai pedestarian pun dikritik. Dia
main di semua lini; liberalis tulen, pro-dem, HAM, Ahmadiyah, nasionalisme dan
rasialisme. Ia membela siapa pun yang ditindas. Penanya bisa setajam mata pedang. Dia
bilang, "Papua is forbidden island".
Andreas, resminya seorang aktifis peneliti Hak Asazi Manusia pada lembaga Human
Rights Watch (HRW), bermarkas di Empire State Building-New York. Sidney Jones
pernah bekerja untuk HRW. Andreas berhasil menyelesaikan traveloque berjudul A
2
Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism dan 'Agama' Saya
Adalah Jurnalisme, sebuah antologi jurnalisme. Keduanya dituangkan dalam bahasa
Melayu Indonesia.
Andreas bermarga Ong. Nama lengkapnya, Ong Tjie Liang (王 志 良). Ia adalah hasil
persilangan dua dialek. Papanya orang Hokkien kelahiran Jember. Akarnya ada di desa
Kang Tauw, distrik Bo Chan, Provinsi Fujian. Sedangkan mama kelahiran Kalisat, orang
Hakka. Leluhurnya berasal Ta Bu Liao, Guang Dong. Ta Bu adalah daerah asal banyak
imigran Hakka di Pulau Bangka, salah satunya mamaku.
Liang semarga dengan Onghokham, sejarawan-cum-pioneer gerakan politik "asimilasi",
solusi Rezim Orde Baru handle "Masalah Cina" di Indonesia. Resminya, 王 diromanisasi
(Hanyu pinyin) menjadi Wang. Sedangkan "Ong" adalah romanisasi Hokkien. Tahun 2007,
Pemerintah Tiongkok rilis hasil survei 10 Marga Terbesar. Mereka adalah Wang (王), Li
(李), Zhang (张), Liu (刘), Chen (陈), Yang (杨), Huang (黄), Zhao (赵), Wu (吴), and Zhou
(周).
Andreas bilang pemaksaan ganti nama orang Tionghoa di Indonesia, dari marga “Wang
(王)” menjadi “Harsono” ada gunanya juga karena dia punya marga yang lebih kecil dari
marga paling besar di dunia. Aku merasa ini jadi sebuah pengerdilan.
Selain ada Onghokham, situs blog pribadi Ong Tjie Liang ternyata cerita soal Iwan
Santosa, wartawan Kompas. Aku kenal dia. Sempat kongkow di beberapa event. Obrolan
ga penting, seputar Tionghoa. Aku kira ia wartawan-cum-aktifis yang baik. Namanya jadi
"Iwan Ong" bila kebetulan terlibat acara-acara Tionghoa. Aku tidak pernah berpikir
Liang mau bikin semacam "Ong's Surname Cyber Club".
Ternyata Iwan Ong menulis sebuah buku, bareng seseorang bernama EA. Natanegara.
Kata Liang, judulnya: "Kopassus untuk Indonesia". Isinya soal penyesalan Korps Baret
Merah, pernah terlibat kasus penculikan aktifis mahasiswa dan kepandaian seribu
personilnya berdialek Papua. Penggalan paragraf itu bikin aku tau, sedikit kaget, bahwa
Jakarta kirim 5000 prajurit Kopassus ke Papua. Banyak sekali. Liang agak protes soal
ketiadaan kisah pembunuhan Theys Eluay. Iwan diwawancara, tapi menolak
keterangannya dikutip. Adegan yang aneh. Caleg PKB, Faisol Reza, mesti dikabari soal
berita "melunaknya" Kopassus ini. Pasalnya, sebagai korban penculikan, ia pernah bilang
akan exodus ke luar negeri apabila Ex-Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo
menang pemilu dan jadi presiden.
Liang masuk golongan Hoakiao "new comer" di pulau Jawa. Baru tiga generasi.
Kakek-neneknya masih dilahirkan di Selatan Tiongkok. Di era kolonial, keluarga Liang
3
secara rigid digolongankan sebagai "totok". Namun, kategorisasi "singkek, totok,
peranakan" invalid di zaman internet. Generasi "pasca reformasi" sudah menjadi warga
global, cuma tau satu kategori saja yaitu "cina", eufimismenya jadi "non pri". Tadinya, aku
kira "House of Liang" adalah penduduk lama. Logatnya Jawa halus, medok sekali.
Ternyata, mereka baru datang ke Jawa tahun 1925.
Itu tahun, Tan Malaka pertama kali merilis buku berjudul: Menuju Republik Indonesia
(Naar de Republiek Indonesia). Dicetak di Canton (Guangzhou), bulan April. Malaka
adalah seorang komunis petualang, Trotskyist, pendiri Partai Murba (Musyawarah
Rakyat Banyak). Ia penyeru perjuta, berkontradiksi dengan Soekarno yang kompromistis
terhadap Belanda. Jenderal Sudirman adalah pengagum dan pendukung kuat Tan Malaka.
Bagi Tiongkok, itu dekade full of chaoz, amis darah, desing pelor, jeritan calon penghuni
neraka dan tangisan bocah ceking. Sebuah kegilaan politik, keruntuhan ekonomi. A nation
in collaps. Petualangan para "warlord", milisi dan bandit bersenjata. Tidak ada negeri
punya track record perang sepanjang, sebengis, sehebat The Middle Kingdom, Tiongkok.
Tiongkok, periode tahun 1912-1949 dinamakan Era Zhonghua Minguo. Kakek Ong keluar
Tiongkok, via pelabuhan Xiamen, satu tahun sebelum Generalisimo Jiang Jieshi (Chiang
Kaisek) melancarkan Northern Expedition, menyatukan Tiongkok.
Era Zhonghua Minguo dibagi beberapa periode atau fase. Tahun 1916-1928 merupakan
periode Warlord Era (軍閥時代 , Jūnfá shídài). Duel klasik Utara-Selatan belah
Tiongkok. Faksi militer pecah jadi dua kubu. Namun, domestik clash di dalam satu kubu
acap kali meletus. Contohnya, bentrokan antara klik Anfu vs Zhili. Keduanya sama-sama
klik utara. Jepang dukung Utara, ada Uni Soviet di Selatan.
Faksi Selatan terdiri dari klik-klik militer Sichuan, Qinghai, Ningxia, Guangxi,
Guangdong, Yunnan, Jiangxi, Hunan, Hubei, Guomindang dan faksi minor lain.
Faksi Utara ada klik Zhili, Anfu, Fengtian, Xinjiang, Shanxi, Gansu, Hebei, Henan, Ma,
Guominjun dll.
Red China masuk kategori "Southern Camp". Tahun 1918, Mao Zedong membentuk study
club dan sel komunis di Hunan. Tahun 1920, kelompok studi Marxist berdiri di Beijing. Di
Shanghai, Chen Duxui memulai lingkar diskusi Marxist dan Korps Pemuda Sosialis.
Klik-klik militer lokal itu bikin sengsara rakyat. Tiongkok alami sekitar 160an perang
selama 12 tahun Era Warlord. Diantaranya, September 1924, duel antara klik Zhili vs
Jiangsu, Fujian vs Zhejiang. Dua minggu kemudian Fengtian ikut perang, back-up pasukan
4
Zhejiang. Mereka saling menyerang, saling bunuh, tumpahkan darah dan korbankan jiwa.
Nyawa jadi murah. Rummel memperkirakan, 810 ribu orang (militer dan sipil) tewas
selama Era "Raja-Raja Perang" itu. Plus 6 juta tewas akibat bencana alam. Generalisimo
Chiang dan Expedisi Utara-nya mengakhiri periode petualangan para panglima perang
Tiongkok itu.
Tidak heran, bila ada orang memilih exodus. Salah satunya, kakek dan nenek keluarga
Ong Tjie Liang. Pulau Jawa dipilih.
****
Seseorang memakai nama "Sandra" menulis komentar di bawah page "Seruan Pontianak".
Komentarnya :
"Andreas Harsono yang sudah mulai gila. yang akan mati karena kegilaan yang
diciptakannya. mati tak wajar, karena melibatkan 70 orang dalam aksi penanya. tapi
andreas harsono tidak menulis namanya sebagai penggagas mengenai seruan damai. apa
karna andreas harsono orang cina, makanya dia jadi begitu, memiliki dendam etnis.
seorang terdidik yang gila dan kehilangan akal sehat dan rasionalitas. aku hanya bisa
menunggu kabar andreas harsono mati tak wajar."
Ong Tjie Liang alias Andreas Harsono dianggap edan, akalnya terdistorsi, irasional. Aku
hampir ketawa. Geli. "Sandra" kasi label Andreas Harsono: "seorang terdidik yang gila".
Aku menebak "Sandra" bukan komentator sembarangan. Bukan warga Pontianak,
"korban" sakit ati atas Seruan Damai ke 70 orang concern itu. Namaku ada di urutan
terakhir: Zeng Wei Jian.
Aku kira, banyak reportase dan naskah Koh Andreas itu dangerous. Tajam. Mendetail.
Bongkar kebekuan filosofis Orde Baru. Ia berani nyatakan "Tentara Indonesia tugasnya
cuma, sekali lagi, cuma melawan warga Indonesia." Rahman Tolleng dan Andreas, satu
camp, mengidentifikasi Jenderal Soeharto sebagai Fasis. Mungkin, Andreas punya garis
politik sosialis PSI. Ia ngaku pernah belajar teori antagonisme kelas dari George
Aditjondro. Senada dengan Fadjroel Rahman, Andreas bilang UUD 45 "notorious tak
melindungi hak asasi manusia."
Statement model begitu bikin ngeri orang. Apalagi kalau dibaca "cina-kuper". Dia bisa
freak out! Pembaca bisa salah paham. Kaum Faggots bisa sakit hati. Indonesian's Nazi
bisa reaktif. Tidak heran, bila Andreas sering dapet sms ancaman mau "di-munir-kan".
Komentator seperti "Sandra" bikin aku miris. Ia bilang, Andreas "memiliki dendam etnis".
Karena Andreas Harsono itu "Cina".
5
Entah, sejak kapan imigran Tionghoa mulai datang, bermukim, berkembang dan terserap
menjadi masyarakat Pulau Jawa. Liem Yusui, sepupu Liem Sioe Liong (aktifis LSM
Tapol-Inggris), menyatakan bahwa ia generasi ke 17 di Jawa. Menurut Toer, koloni
Tionghoa paling awal ditemukan di Tuban, Gresik, Jepara saat Erlangga berkuasa di
Kahuripan (1009-1042). Ada asumsi, pedagang "Tongnyin" mulai hilir mudik antara Fujian
dan Semenanjung Malaya (Nan Yang)setelah Penguasa Dinasti Tang (618-907) dorong
aktifitas dagang dengan manca negara.
Migrasi etnis Tionghoa meningkat di masa pergantian dinasti. Sewaktu Genghis Khan
mulai menguasai Tiongkok Utara, orang-orang Khek bermigrasi ke selatan. Penduduk
pribumi selatan (Min Nan) seperti Hokkien dan Teocheow menyebut mereka "Hakka",
artinya tamu. Migrasi lebih jauh ke selatan berlanjut hingga mencapai Nan Yang (laut
selatan) di era peralihan Dinasti Ming ke Qing.
Tanggal 24 April 1644, pasukan pemberontak petani pimpinan Li Zicheng (李自成) masuk
Beijing tanpa perlawanan. Tidak ada dentingan pedang beradu. Sejak Februari, pasukan
Li menduduki distrik Changping. Di sana, ia membakar beberapa makam Kaisar Ming. Kota
Raja sepi prajurit. Sekitar 1,3 juta tentara Ming sedang siaga di perbatasan utara,
siap-siap menangkal dan pukul mundur serangan brutal pasukan Manzu.
Kaisar Chongzhen sudah tau rencana
gerakan maju pasukan Li. Telik sandi
melaporkan tiap gerakan gerombolan
pemberontak. Malam harinya, Kaisar
mengadakan jamuan makan bersama
permaisuri, selir-selir, puteri-
puterinya dan semua perempuan
bangsawan keturunan Kekaisaran
Ming. Hidangan istana, arak terbaik,
buah-buahan exotis penuhi meja-meja imperial. Sebilah pedang Kekaisaran disiapkan.
The last supper for the ladies. Jamuan berakhir, Sang Kaisar menangis, berteriak,
"Mengapa kalian dilahirkan di keluarga ini?"
Satu demi satu, bangsawan wanita itu dibunuh. Darah mereka basahi Pedang Kaisar.
Merah, agak kental. Royal blood. Airmata dan ketegangan kuasai wajah Penguasa Ke 16
Dinasti Ming itu. Langkahnya goyah, berat.
6
Dinasti Ming resmi berakhir setelah Kaisar Chongzhen bunuh diri. Menjerat lehernya di
pohon Pagoda, Taman Jingshan, belakang Forbidden City. Hari itu, 25 April, usia "The
Last Emperor of Ming" masih muda, baru 33 tahun.
Kematian Sang Kaisar diikuti bunuh diri massal 700 pegawai istana dan 300 pelayan.
Seribuan taykam tewas dalam pertempuran mempertahankan istana dari serbuan
pemberontak Li Zicheng, berkekuatan 60 ribu prajurit.
Jenderal Wu Sangui, sebagai murid filsafat Sun Tzu, paham diktum: "Musuh dari
musuhku adalah kawanku". Ia rangkul musuh Dinasti Ming yaitu Manzu.
Tanggal 25 Mei 1644, pasukan Li berkemah dekat Sungai Sha. Mereka hendak
menghabisi sisa-sisa prajurit Kaisar Chongzhen. Beberapa kilometer di depannya ada
pasukan teritorial Wu Sangui. Esoknya, pasukan penggempur utama Manzu mencapai titik
terdekat Great Wall. Mereka berhenti 8 kilometer di seberang Great Wall, di sana
mereka beristirahat. Simpan tenaga. Tidur. Tengah malam, mereka bangun, memakai
baju zirah. Mereka bergerak in silence. Disiplin tinggi. Kegelapan selimuti gerakan
mereka ke arah Terowongan Shanhaiguan.
Pasukan Manzu dipimpin Pangeran Dorgon, putra Nurhaci, penguasa Machuria dari klan
Aisin Gioro. Nurhaci berhasil menyatukan semua suku Jurchen dan mendirikan Dinasti
Jin di provinsi Shenyang, Tiongkok Utara.
Tanggal 27 Mei 1644, Wu membuka gerbang Terowongan Shanhaigua. Barisan panjang 60
ribu prajurit Manzu, bagai iringan semut, memasuki "teras dalam" Tiongkok. Pasukan Wu
telah menunggu. Sambut sekutu barbar dari utara itu.
Pasukan Dorgon diperkuat tentara suku Mongol anti Dinasti Ming. Serangan mereka jadi
tajam. Deadly. Pertempuran berlangsung cepat. Jelang malam, pertarungan usai.
Kolaborasi Wu dan Dorgon berhasil mengalahkan Li Zicheng. Telak.
Tanggal 5 Juni, Beijing, ibukota utara, berhasil direbut. Jenderal Wu mendampingi
Dorgon masuk Beijing, disambut rakyat sebagai penyelamat Ming. Rakyat shock saat
mengetahui Sang Penyelamat itu adalah Manzu. Esoknya, Dinasti Qing resmi
diproklamasikan menggantikan Ming, tahun 1644.
Sisa-sisa Loyalis Ming mundur ke Ibukota Selatan, Nanjing. Mereka memproklamasikan
Dinasti Ming Selatan. Setahun kemudian, tentara Manzu mengepung Nanjing. Menerobos
dan hantam pertahanan pasukan pembangkang. Qing menang. Loyalis Ming kocar kacir,
mundur, semakin ke selatan dan melawan di Fuzhou. Kalah lagi. Lari ke Guangzhou.
7
Dihantam lagi. Mundur ke Yunnan dan terus terdesak ke selatan. Selama 17 tahun,
pasukan Qing melakukan pengejaran. Akhirnya, Pangeran Gui, sisa terakhir keluarga
kerajaan berhasil ditangkap di Burma.
Kepingan terakhir Loyalis Ming adalah Zheng Chenggong alias Koxinga, putra seorang
Admiral Dinasti Ming. Koxinga memilih Taiwan sebagai basis militer. Ia rebut Taiwan dari
tangan Belanda, mengakhiri 38 tahun kekuasaan VOC dan mengusir orang-orang Dutch,
berlayar kembali ke Batavia. Di pulau itu, Koxinga mendirikan kerajaan Tungning.
Pasukannya adalah brigade patriot Hokkien dan Hakka. Ambisinya, restorasi Dinasti
Ming.
Tahun 1683, Kaisar Kangxi mengirim Admiral Shi Lang gempur Pulau Penghu. Berkekuatan
100 ribu pasukan, 600 kapal dan dilengkapi meriam-meriam buatan Belanda. Dalam waktu
satu jam, mayoritas kapal Tungning berhasil ditenggelamkan. Lalu, 600 ribu pasukan Qing
melancarkan serangan darat. Pasukan Tungning menyerah. Zheng Keshuang, cucu Koxinga,
menyatakan takluk. Kangxi, The Holy Lord, merampungkan ambisi kakek buyutnya,
Nurhaci: Menyatukan Tiongkok di bawah kekuasaan sentralistik tunggal Manzu.
Perang demi perang porak porandakan Tiongkok. Sejak Li Zicheng rebut Beijing,
pendirian Dinasti Jin, kolaborasi Wu dan Dorgon, sampai invasi Kangxi ke Taiwan.
Penguasa Manzu dibantu etnis Mongol dan kolaborator Han membuat rakyat semakin
sengsara.
Kebencian rakyat terhadap Dinasti Qing terus hidup, disimpan di dalam hati. Qing
disalahkan sebagai penyebab hancurnya budaya, perubahan pakaian tradisional (hanfu)
dan penyeragaman model rambut taucang. Mereka dianggap barbar. Kebenciaan
menciptakan sentimen anti Qing. Exodus Tionghoa mulai terjadi. Meningkat kala
kemiskinan semakin meradang.
Krisis ekonomi meroket di masa akhir pemerintahan Kaisar Qianlong (1711-1799) yang
mengklaim sukses melancar kampanye 10 Perang Besar (十全武功). Kas negara dikuras.
Alhasil, rakyat semakin kurus. Semakin banyak orang Tionghoa berpikir hengkang, pergi
keluar, tinggalkan negeri leluhur. Cari peruntungan di negeri baru.
Qianlong melancarkan tiga operasi militer memperluas wilayah di kawasan Sentral Asia:
memerangi bangsa Dzungars dan taklukan Xinjiang. Dua kali perang menumpas
pemberontakan Jinchuan di Sichuan. Lalu eliminir pemberontak Taiwan (1787–1788).
Qianlong juga melakukan invasi ke luar negeri. Ia mengirim expedisi militer ke Burma
(1765–1769), Vietnam (1788–1789), dan menggempur Gurkha di Nepal dan perang
8
perbatasan menaklukan Tibet dan India (1790–1792). Ia memperkuat legitimasi
kekuasaan Dalai Lama setelah Tibet takluk.
Qianlong resmi jadi Kaisar tanggal 11 Oktober 1735. Ia segera bikin gebrakan, menumpas
pemberontakan etnis Miao. Kaisar menugaskan Jendral Zhang Guangsi. Aksi keras
dilancarkan. Berdarah-darah. Perlawanan Miao berakhir di Niupidajing. Zhang, etnis Han,
berhasil menghancurkan 1200 benteng pertahanan dan menewaskan 18 ribu pemberontak
Miao.
Selain habiskan dana untuk biaya perang, Qianlong menyerap dana tak terbatas untuk
membiayai cita rasa artistik. Seperti para kaisar pendahulu, Qianlong memposisikan diri
sebagai patron seni budaya Tionghoa. Ia memiliki koleksi puluhan ribu lukisan, kaligrafi,
kumpulan 40 ribu puisi, 30 ribu hiasan giok, patung perunggu, tembikar, keramik,
kerajinan logam. Ia adalah orang terkaya di muka bumi saat itu.
Kaisar mendanai berbagai mega projek seperti membentuk sebuah tim cendikiawan
terbaik untuk menghimpun, menyunting dan mencetak ulang risalah filsafat, sejarah dan
sastra Tionghoa. Nama projek itu Siku Quanshu, berhasil menerbitkan 36 ribu volume,
mencakup sekitar 3450 risalah. Qianglong berhasil mengalahkan 'Ensiklopedia Yongle'
dari Dinasti Ming. Tetapi pengembangan teknologi dan industri diabaikan. Sedangkan di
masa itu, Eropa memulai era revolusi industri.
Qianlong gemar membangun berbagai istana megah. Dana tak terbatas digelontorkan
untuk proyek pembangunan, renovasi dan sewa adviser Jesuit Italia bikin desain ruangan
gaya Eropa. Ia lebih memilih habiskan budget membangun paviliun mewah daripada bikin
senjata canggih. Kas Qianlong juga dikuras oleh korupsi para pejabat istana.
Perilaku Qianlong bikin kebencian rakyat semakin meradang. Tiongkok jadi tertinggal
oleh bangsa kulit putih. Kemiskinan dan kesengsaraan adalah lahan subur pemberontakan.
Berbagai kelompok rahasia dibentuk, macam White Lotus. Secret society ini metode usir
Mongol di masa sebelumnya. Mereka bermotif dongkel kekuasaan asing, dan
mengembalikan dinasti bangsa Han.
Di sekitar masa ini, para loyalis Ming berhamburan keluar Tiongkok. Salah satunya Zeng
Xi Fong, leluhurku. Ia lari ke Nan Yang, berakhir di Pulau Bangka. Makamnya berada di
sebuah bukit daerah Rebu, Sungai Liat. Lokasinya dicapai dengan jalan kaki. Bukan lokasi
pemakaman umum. Menandakan ia begitu kuno. Hanya ada makamnya bersama leluhur
perempuanku.
9
Zeng Xi Fong punya pesan ke anaknya. Anaknya meneruskan pesan itu ke cucu. Akhirnya,
pesan itu sampai ke generasiku. Pesan itu berbunyi, "Hancurkan Qing, bangkitkan Ming.
Kembali ke Tiongkok bila bangsa Han berkuasa kembali".
Exodus bukan ciri ekslusif Tionghoa. Manusia sudah melakukan migrasi sedari zaman "out
of Africa". Penemuan emas di pengunungan barat Amerika (1848), Australia (1851) dan
Kanada (1858) triger gairah exodus suka rela Tionghoa. Exodus "Gold Rush"itu
berlangsung selama 80 tahun dan menyertakan jutaan orang. Mencapai begitu banyak
dataran, sampai Borneo, di mana sekelompok Hakka mendirikan Republik Lanfang.
Seiring meningkatnya koloni Tionghoa, gesekan dengan penguasa lokal tak dapat
dihindari.
Sejak 1740, koloni Hoakiao dihantam tantangan overseas. 10 ribu orang dibantai di
Batavia atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Pogrom ini sering disebut
"Geger Pacinan". Peristiwa Mei 98 merupakan aksi rasialis modern, melibatkan anasir
pimpinan Kopassus dan Pangdam Jaya.
Pogrom semacam ini didalangi aksi politik. Bukan clash kultur, rasial atau sosial yang
bersifat horisontal. Tapi lebih disebabkan provokasi elite. Sebaik apa pun Hoakiao
berakulturasi dan berasimilasi, sekalipun Ong Tjie Liang berubah menjadi Andreas
Harsono, pogrom anti Hoakiao akan tetap terjadi bila masi ada elite backward
berkemampuan minim ruling the nation.
Menanggapi proses akulturasi dan asimilasi alamiah pada keluarganya, Andreas beropini,
"Namun perubahan itu, dipaksa maupun tidak, tak membuat mereka tak dianggap sebagai
“non-pribumi.” Mereka tetap tinggal di Jember, turun-temurun, namun akan tetap
dianggap “asing.” Saya kira rasa curiga terhadap orang Hoakiao takkan mudah hilang di
Pulau Jawa dan Sumatra."
****
Selain Hoakiao, di Indonesia ada etnis lain yang menjadi sasaran rasisme. Linda
Christanty, Kordinator lembaga Aceh Feature, malah bilang Soeharto melancarkan
program "Jawanisasi" atas semua golongan etnik. Kekerasan rasial dialami Madura di
Borneo. "Tidak ada diskriminasi (etnik) yang lebih besar di Indonesia sehebat yang
dialami orang Madura di Kalimantan," kata Andreas. Lalu, Papua di "tanah sendiri" kena
pogrom aksi rasialis. Pelecehan terhadap mereka sampai dunia internet. Khusus Papua,
dengan frustasi, Andreas bikin istilah "kulit cokelat mendiskriminasi kulit hitam".
10
Satu malam, Ajahn Sulak Sivaraksa bawa aku dinner, bareng Prof. Arief Budiman aka
Soe Hok Djin. Di Bangkok. Djin kritik Gusdur. Ia masuk camp Anti-GD. Aku kira ia tidak
politically tactical. Lurus. Kaku. NGO sentris. Sulak membenarkan aku. Gusdur is the
best of the worst.
Arief Budiman diakui Andreas sebagai salah satu guru politiknya. Disamping George
Junus Aditjondro, Ariel Heryanto, Broto Semedi, Liek Wilardjo, Nico L. Kana. Tapi dasar
tukang kritik, Andreas tulis nota protes. Openly n publicly. Dia bilang, "Makin lengkaplah
pandangan merendahkan orang Papua, dari mahasiswa macam Bilad hingga profesor Arief
Budiman".
Aku ada di blok Andreas. Ya, Prof. Arief Budiman vulgar sewaktu mengatakan bahwa
orang Papua masih “primitif” dan memerlukan “teknologi dari Jawa.”
Konflik Papua sudah jadi isue internasional sebelum Presiden Kennedy mati disamping Ny.
Jacqueline, ditembak Lee Harvey Oswald, seorang Marxist. Sel perlawanan Free Papua
Movement muncul di Eropa. Black Leaders seperti Nelson Mandela, Desmond Tutu
nyatakan dukungan. Organisasi Internasional semacam Amnesty International dan HRW
pasang mata awasi pulau berbentuk kepala burung Cendrawasi.
Semasa awal reformasi, Hoakiao laen masih memilih "main aman". Talk less.
Ringan-ringan aza. Sumbang medali emas Olympiade, di badminton. Itu sudah cukup. Stay
away from politic. Palagi, politiknya mengutip Mao Zedong: "Political power grows out of
the barrel of a gun". Tapi Andreas berbeda. Ia mondar-mandir, hilir-mudik
Jakarta-Papua. Riset serius. Wawancara. Turunkan berita, soal pelanggaran berat HAM.
Ceritanya seram. Membuka kelakuan sadis oknum tentara. Cuma dia yang berani begitu.
Salute!
Di kelas Jurnalisme Sastrawi,
Gedung Sinar Mas, Andreas bilang
wartawan tidak boleh berpihak tapi
mesti bersikap. Di soal Papua, ia
sudah bersikap. Ia menentang
pelanggaran HAM. Sekalipun
pelakunya tentara. Ya, ia melakukan
perjuangan. Tulisannya soal HAM
tidak berarti ia anti TNI. Apalagi anti Indonesia. Ia hanya mempraktekan elemen
jurnalisme: "berpihak kepada warga". Sekalipun ga pernah ada keharusan untuk
11
mencintai tentara dan negara. Namun, aku yakin ia cinta kemanusiaan. A Patriot of his
own class.
Soekarno bikin nama IRIAN: "Ikut Republik Indonesia Anti Nederland". Gusdur, the
peoples' president, kembalikan nama Papua. Orang akan segera tau, setelah baca
reportasenya, kalo Andreas geram melihat keganasan personel Tentara Indonesia
terhadap warga Papua. Di soal Papua, Andreas mesti berhadapan dengan seorang tokoh
aliran Liberalisme terkemuka segenerasi: Tn. Rizal Mallarangeng.
Rizal, secara brilian beri solusi. Ia ambil "Strategi California", dan berkata, "...John
Quincy Adams, Presiden ke-6 AS, pernah bertanya, "But what is the right of the
huntsman to the forest of a thousand miles over which he has accidentally ranged in
quest of prey?"
Pertanyaan Quincy Adams itu dipribumisasi, sebagai respond "Masalah Papua". Rizal
menulis, "... harus dijawab: kalau kebetulan puncak sebuah gunung terlihat dari tempat
perburuan sebuah suku, berhakkah suku itu mengklaim gunung itu sebagai miliknya? Kalau
dianggap berhak, apa dasarnya?"
Hmm, it's a tough question.
*****
ANDREAS kelihatan lebih tua. Paro 2013, aku bertamu ke apartemennya. Ada Sapariah,
Norman dan ternyata ada puteri mungil berusia 2 tahunan. Duduk di atas meja kerja
papanya. Anggota paling baru "House of Liang". Namanya Diana Eugenia Harsono, bershio
kelinci. Sama dengan Sapariah, mamanya. Norman sudah besar, 16 tahun. Ia suka baca
buku-buku politik. Norman punya penyakit asma. Dia alergi dengan debu.
Apartemen Andreas-Sapariah itu tenang. Jeritan motor dan mobil gagal tembus
dinding-dindingnya. Kedap suara. Ruangan kerja travel writer-nya tidak berubah.
Lumayan kecil. Barisan buku, berdiri rapat, bertengger di rak. Satu dua tergeletak
begitu saja. Rambut Andreas memutih, keperakan. Waktu bergerak bagai kilatan cahaya.
Seketika usianya sudah setengah abad. Sudah layak menjadi seorang philosoper.
Aku sulit tentukan warna dan garis filsafat politik Andreas. Sekarang, pembahasan soal
itu sudah tidak relevan. Out of date. Komunis kalah tahun 1989. Resmi bubar di tahun
1991. Uni Soviet pecah jadi 15 negara. Cold War tamat. Tiongkok survive. "Angin
Perubahan" sempat menerpa lapangan raksasa Tian An Men, April-Juni 1989. Pusarannya
melilit, berdesing, bikin pusing Beijing. Deng Xiao Ping dan Li Peng mengirim 300 ribu
12
pasukan. Menahan tiupan angin perubahan "demokrasi borjuis" itu. Tapi sejarah tetap
menyatakan blok kiri kalah. Invalid. Gagal. Incorrect.
Di Jetis Cokrodiningrat, Jogja, tahun 1988 beberapa mahasiswa mulai belajar gerakan
kiri. Ada nama Sugeng Bahagijo, Satya Widodo, Ngarto Februana, Hari Subagyo, Weby
Warrow dan Dadang Yuliantoro. Selain Johnsony Tobing, pencipta lagu "Darah Juang".
Ini mars gerakan mahasiswa. Tobing menciptakan lagu itu bersama Andi Munajat.
Munajat, mahasiswa Filsafat UGM, angkatan 1986, NIM 1785/FI, adalah motor
kelompok awal itu. Sosoknya hitam, asal Pangandaran Ciamis Jawa Barat, logat sundanya
kuat. Munajat dijuluki "Socrates". Meninggal tahun 2009, lahir 1 November 1966. Ia
tewas akibat kecelakaan motor. Berita kematiannya, sekilas dan samar, dimuat koran
Banjarmasin Post. Dita, putrinya berusia 6 tahun ikut meninggal di kecelakaan tragis di
Jalan Trans-Kalimantan itu.
"Revolusi 1989" adalah fenomena besar dunia. Ia saksikan kehancuran kekuatan komunis
Eropa Timur (eastern bloc). Tembok berlin runtuh. Mahasiswa borjuis liberal Tiongkok
bangkit hendak menghancurkan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Di negeri tetangga,
Partai Komunis Malaya meletakan senjata. Mengakhiri pemberontakan yang telah mereka
lancarkan selama satu dekade. Di Jogja, justeru mahasiswa kiri mulai membangun
kekuatan radikal, nantinya di tahun 1998, mereka berhasil depak Jenderal Fasis
Soeharto keluar arena.
Tahun 1989, slogan anti Soeharto mulai disebar. Radikalisasi mahasiswa mulai tumbuh.
Muncul beberapa kelompok kiri seperti Kelompok Rode dan FKMY. Budiman Sudjatmiko
(Ketua PRD dan legislator PDIP), Ifdal Kasim (Komisioner Komnas Ham), Andi Arief
(Komisaris PT. Pos) adalah contoh aktifis yang muncul di era 1990an, hasil dari interaksi
dengan kelompok Jetis.
NOVEMBER 1992, di Cisarua-Bogor, lahir organisasi mahasiswa progresif revolusioner
bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Munajat dipilih
sebagai kordinator presidium. Tahun 1993, Munajat menggelar "Konferensi Jogjakarta",
menghasilkan kesepakatan menjadikan SMID sebagai organisasi semi-legal. Artinya,
struktur dan kepengurusannya dirahasiakan. Rezim Orde Baru masih sangat kuat dan
berbahaya. Maka strategi menerapkan kerahasiaan adalah wise, politically correct.
SMID dideklarasikan sebagai organ terbuka tanggal 3 Agustus 1994, di Jakarta.
SMID adalah embrio Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan gerakan buruh-tani progresif
anti Orde Baru. PRD adalah partai kiri yang ikut berjasa mendorong gerakan mahasiswa
13
98 yang berhasil menumbangkan Presiden Soeharto. Sekalipun spirit rezimnya terus
hidup, hanya berganti nama.
Sebelumnya, April 1994, berlangsung rapat presidium SMID. Konflik intern soal "metode
perjuangan", antara kubu Jakarta vs kubu Jogja pecah.
Kubu Jakarta hendak adobsi strategi-taktis Bolsevik Rusia, sedangkan Jogja memandang
konsep perjuangan tani ala RRT lebih tepat. Konflik dimenangkan kubu Jakarta. Sejak
rapat ini, nama Andi Munajat lenyap. Ia raib bagai siluman. Weby Warrow bilang ia
dipecat. Alasannya: Rahasia!
Disisi lain, tahun 1994, Andreas Harsono bersama 58 tokoh seperti Christianto Wibisono,
Ayu Utami, Yopie Lasut, Arief Budiman dan lainnya meneken Deklarasi Sirnagalih,
tanggal 7 Agustus. Empat hari setelah deklarasi SMID. Deklarasi Sinargalih merupakan
gerakan pembentukan Aliansi Jurnalisme Independent (AJI), rival dari Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI)-supporter rezim. AJI menjadi sebuah wadah wartawan
radikal yang kritis terhadap rezim Soeharto. Akibatnya, Andreas disingkirkan dari koran
Jakarta Post.
Sebelumnya, bulan Juni 1994, Pemerintah Orde Baru memberangus majalah Tempo,
DeTik dan Editor. Akibat meliput konflik antara Menteri Keuangan Marie Muhamad vs
Menristek BJ. Habibie, soal rencana pembelian 39 pesawat tempur seken Jerman.
Soeharto geram atas pemberitaan itu.
Setahun setelah kemenangan Kubu Jakarta di rapat presidum, aktifis SMID mulai
melakukan infiltrasi, hidup di tengah kaum buruh. Mereka melakukan "bunuh diri kelas".
Salah satu aktifis SMID yang aktif live-in adalah Linda Christanty, di masa mendatang ia
adalah kontributor majalah PANTAU yang diprakarsai dan dipimpin Andreas Harsono. Di
tahun ini, beberapa wartawan AJI mulai ditangkapi rezim Soeharto. Legislator radikal
Sri Bintang Pamungkas dipecat dari Senayan. Jenderal Soeharto mengganas. Andreas
menyerukan agar mahasiswa, LSM dan masyarakat melancarkan aksi protes penahanan
aktifis AJI. Max Lane, teoritikus Marxis asal Autralia, mengutip seruan itu di mingguan
Green Left.
Beberapa tokoh kritis seperti Goenawan Mohamad, Aristides Katoppo, Zulkifli Loebis,
Fikri Joefri, Mochtar Pabottingi, Ashadi Siregar, Mohammad Sunjaya, mendirikan
Institut Studi Arus Informasi (disingkat ISAI). Tokoh jurnalis muda Stenley Prasetyo,
Toriq Hadad dan Andreas Harsono diajak nimbrung. USAID mendukung pendirian ISAI
dengan pertama kali memberikan hibah US$300,000 pada periode 1995-1998.
14
Tahun 1996, Andreas Harsono tercatat menulis untuk Harian The Nation, interview
Aung San Su Kyii dan Megawati Soekarnoputri, dua pemimpin Asia Tenggara, dua
perempuan pemberani saat itu. Ia juga menulis untuk American Reporter soal plot
pimpinan ABRI mendongkel Megawati dari posisi Ketua Umum PDI. Plot dipimpin
Jenderal Faisal Tanjung, R Hartono dan Syarwan Hamid. Ketua Balitbang PDI, Kwik Kian
Gie membenarkan adanya plot itu. Tahun 1996 diwarnai tinta duka oleh kematian Oei
Tjoe Tat, Menteri Negara Kabinet Dwikora Soekarno, yang dipenjara selama 11 tahun
oleh Jenderal Soeharto. Tahun ini juga aktifis Andi Arief menjadi Ketua SMID. Lalu
meletus peristiwa 27 Juli 1996, Andi Arief pun dikejar-kejar aparat. Orde Baru
menuding SMID dibelakang peristiwa 27 Juli.
Sepanjang 1997-98, Tim Mawar melancarkan operasi intelijen, aksi penculikan.
Targetnya aktifis prodem. Kriteria sasaran: laki-laki, belum berkeluarga, belum terkenal,
tapi mulai menonjol.
Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo memberikan perintah lisan kepada Mayor
Bambang Kristiono - Komandan Satgas Merpati - untuk mengumpulkan data tentang
kegiatan kelompok radikal.
Mayor Bambang Kristiono segera membentuk Tim Mawar beranggotakan 10 orang
perwira dan bintara dari Detasemen 81/Antiteror. Tim yang bergerak secara rahasia
dan undercover ini bertugas mengungkap adanya ancaman terhadap stabilitas nasional.
Praxisnya: Culik! Gebuk. Jika melawan, bunuh saja.
Penculikan dilakukan menjelang pemilu 97, Sidang Umum MPR 98 dan menjelang
pengunduran diri Soeharto, 21 Mei 98. Korbanya 23 orang. Sembilan aktivis dilepaskan.
Mereka adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol
Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. 13
aktivis masih hilang dan belum kembali: Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat,
Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan,
Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat
seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah
mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah
militer. Tapi Letjen Prabow tidak perna diadili. Ia sempat tinggal di Yordania, kembali
dan mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), 6 Februari 2008.
Andreas Harsono tidak diculik, sekalipun ia termasuk wartawan kritis. Mungkin karena ia
sudah menikah dan cukup dikenal saat itu.
15
Bulan Agustus 1998, Andreas menulis berita untuk The Nation. Berjudul: Wither the
general's star. Isinya tajam soal Jenderal Prabowo dan sentimen anti Tionghoanya.
Andreas mengulas wawancara wartawan Inggris. Di situ Prabowo menyatakan niat, ''to
evict the un-nationalistic Chinese from Indonesia. I believe in genetics. Intelligence
depends on race,''
Saat ditanya ras apa yang paling cerdas, Prabowo menjawab: Yellow people. ''They're
just like Jews in Europe or the Parsis in India. We hate the Chinese because we know
they outperform us,''
Artikel Wither the general's star ditutup dengan paragraf:
"Among the army elite circle, Prabowo is considered as a ''sick person''. Often brash,
he was said to have a ''split personality''. But what he wanted, he always got, most
probably assisted by Suharto. Ironically, with Suharto gone, Prabowo had a real
opportunity to show who he really was. But it was too late."
*****
Suatu malam, di Pondok
Gede, suami pematung
Dollorosa mempersoalkan
dikotomi sistem vs orang.
Sistem yang dimaksud
berlandaskan ideologi.
Marxisme adalah satu dari
ideologi yang membangun
sebuah sistem negara. Tapi
sekarang, aku cenderung bersepakat dengan kuotasi Deng Xiao Ping: "It doesn't matter
if a cat is black or white, so long as it catches mice."
Tahun 2014, soal ideologi makin nyata ga relevan. Banyak mantan aktivis radikal kiri
menanggalkan praxis Marxis. Ikut nyaleg di berbagai "parpol kanan". Mantan aktifis kiri
PRD, korban penculikan Tim Mawar Kopassus, Aan Rusdianto nyaleg via Partai Gerindra.
Itu parpolnya Letjen Prabowo, Mantan Danjen Kopassus. "Anu"-nya Aan sempat distrum
tim elite yang dikomandokan Ketua Gerindra itu. Memang, Manusia adalah makhluk yang
sering tidak konsisten (Anthony de Mello).
16
Tentu ada pembenaran. Setiap petualangan harus punya motive. Dita Indah Sari, salah
satu dari sekian banyak contoh. Ia adalah Ex-Chairman PRD, aktifis klendestine buruh,
divonis 8 tahun penjara karena aksi subversi. Pengagum Lenin ini menjadi jurubicara
Muhaimin Iskandar, Menakertrans. Jadi jongos menteri. Alasannya, dua taktik Lenin.
Seorang kiri harus flexibel. Pandai baca situasi. Kapan angkat bedil, main di parlemen,
mogok. Bagi Dita, tujuan akhir "orang kiri" adalah "merebut kekuasaan". Bagaimana
caranya, flexibel. Itu diungkapkan Dita kepada Deutsche Welle.
Andreas bukan orang kiri, dalam perspektif Dita. Bukan semodel Wiji Thukul dengan
seruan, "Ayo gabung ke kami. Biar jadi mimpi buruk presiden!” Sekalipun waktu di
Universitas Satya Wacana ia sempat ikut kelompok diskusi George Aditjondro,
mengenali teori Neo Marxis. Arief Budiman, so pasti, ngerti filsafat Karl Marx.
Desertasinya soal keberhasilan pemerintahan sosialis Salvador Allende di Chili. Di acara
Bakrie Award, Arief bilang, "Saya orang kiri". Andreas punya hubungan dekat dengan
kedua musuh Jenderal Soeharto itu. Not too much, bila Andreas juga paham teori-teori
kiri. Tapi langgam gerakan dan bahasanya netral. Sekalipun sering menulis phrase macam
"Soeharto dan anjing-anjing penjaganya".
Tidak seperti Hugo Chaves dan Lula da Silva di Amerika Latin, Andreas tidak ikut
gerakan merebut kekuasaan. Sama sekali ga pernah ulas soal "surplus value". Ini intisari
Marx's teaching. Sekalipun ga bersetuju dengan desain negara Indonesia, ia ga pernah
usung tawaran bentuk negara sosialis, apalagi teokratik state seperti Tibet masa lampau.
Ia tidak pernah begitu, baik dalam praxis atau sebatas wacana teoritik. Bahkan, ia tidak
pernah ulas wacana "sistem parlementer" sebagai ganti presidensial.
Maximal, ia kampanye soal "nation state" yang menjaga jarak dengan agama, melindungi
kelompok minoritas, supremasi sipil atas militer. Materi omongan dan bahan obrolan
Andreas lebih membumi dibanding cerita-cerita heroik revolusi Bolsevik atau seruan
nasionalisasi aset asing dengan jargon-jargon neo-liberal, kapitalisme, proletariat,
materialisme-historis-dialektika, Das Kapital, sentralisme demokratik, upik abu,
politbiro, pimpinan atas-bawah, borjuasi, sosial-demokrat, taik kucink, Tesis on
Feuerbach, antagonisme klas, hubungan produksi, Adam Smith so on n so forth.
"Saya lihat semua negara yang mencampur urusan negara dengan agama tak ada yang
beres. Misalnya Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan lainnya." tulis Andreas.
Bagiku, sekalipun Hoakiao, Andreas Harsono sangat mengenal Indonesia. Pengetahuan
keindonesiaannya mengingatkanku kepada Harry Tjan Silalahi aka Tjan Tjoen Hok,
17
raksasa intelektual CSIS, yang menyatakan diri ahli budaya Jawa. Aku tidak tau, sampai
dimana kedalaman pengetahuan Indonesia mereka, tapi pastinya kedua Hoakiao ini lebih
kenal Indonesia daripada Tiongkok, negeri tempat nenek moyang mereka dikubur.
Minimal, Andreas tau dari Aceh sampai Papua, ada lebih dari 500 bahasa. Di Pulau
Miangas ada bahasa Talaud. Bahasa Tomea dan bahasa Binongko, di kepulauan Wakatobi,
bahasa Rote. Ada ratusan bahasa di Papua dan lain-lain. Lalu soal agama-agama kecil yang
selama ini kena diskriminasi seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim (Batak),
Kejawen (Jawa), dan lain-lain. Aktifis lain kurang peduli kalau di Banda Aceh itu ada
semboyan yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu sebetulnya tidak ada. Yang ada
adalah "bangsa Jawa" dengan nama samaran "bangsa Indonesia". Dan, bangsa Jawa itulah
yang menjajah Aceh. Di soal konflik agama Andreas, Hoakiao dari Jember itu, prihatin.
Salah satunya, antara tahun 1945-1997, ada sekitar 350-an kasus pembakaran gereja
dan 80 persennya terjadi di Pulau Jawa.
Nah, ia lebih concern di persoalan sehari-hari macam itu dibanding pernah nimbrung atau
jadi pionir pendirian Partindo dos Trabalhadores atau Gongzang Dang atau Partai Buruh.
Tampaknya, daripada debat kusir soal apakah Marhenisme itu adalah Marxisme ala
Indonesia atau bukan, Andreas lebih memilih "plesiran" ke sebuah makam tua. Sebuah
kuburan di mana akar dari kata "INDONESIA" berasal.
OKTOBER 2008, ia berkunjung ke Protestant Cemetery di Penang guna mencari makam
James Richardson Logan. "Ia salah satu warga kehormatan Penang, yang juga
menciptakan kata, thus khayalan tentang, Indonesia," ujar Andreas.
Kata "Indonesia" pertama kali dibuat pada 1850 --mulanya dalam bentuk
"Indu-nesians"-- oleh George Samuel Windsor Earl. Lalu Earl menawarkan terminologi
lain, yang dinilainya lebih jelas, "Malayunesians."
James Logan menanggapi usul George Earl soal "Indunesians." Logan berpendapat
"Indonesian" merupakan kata yang lebih menjelaskan dan lebih tepat daripada kata
"Malayunesians," terutama untuk pemahaman geografi, daripada secara etnografi.
Beginilah, sejarah asal muasal kata Indonesia. Bos PT. Pharos, Eddie Lembong adalah
orang pertama yang menjelaskan soal sejarah kata "Indonesia" ini kepadaku. Tapi cuma
Andreas yang pergi nyekar ke makam keramat itu. Dan pulang bikin risalah komplit
sehingga lebih banyak Indonesieer bisa mengetahui sejarahnya.
*****
18
Hasan di Tiro, cucu Tengku cik di Tiro, adalah pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kakeknya dianggap pahlawan Indonesia dan sang cucu harus tinggal di Swedia sebagai
pemberontak. Nasibnya lebih bagus dari Liem Koen Hian, anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pimpinan Sukarno-Hatta. Artinya,
ia adalah salah satu "the founding fathers", selain bos dan guru politik Abdurahman
Baswedan, kakek Anies Baswedan. Tahun 1951, ia dipenjara oleh Perdana Menteri
Soekiman, tokoh Masyumi, saat "red drive" dilancarkan. Liem kecewa. Setahun kemudian
ia mati dengan status WNA. Mungkin Hasan di Tiro juga wafat dengan rasa kecewa. Tapi
sehari sebelum sakratul maut, pemerintah SBY memberinya status WNI.
Hasan di Tiro meninggalkan karya tulis, The Price of Freedom. Tulisan pengalaman dua
tahun bergerilya di belantara Aceh. Di situ, ia cerita soal hidup di antara kera, lari dari
kejaran “tentara Jawa,” menghindari ular, dan laba-laba sembari memutar lagu-lagu
kesukaannya: Johann Sebastian Bach dan Antonio Vivaldi.
Soal musik, Andreas jagonya. Uda ngeband sejak di SMAK Sint Albertus, sekolah
Katholik tua milik Ordo Carmel di Malang. Lagu "Beth" karya Kiss adalah favoritnya.
"Saya sangat suka lagu ini. Ia seakan-akan bisa mewakili emosi, pikiran, dan berbagai
kenangan saya di bangku sekolah," ujarnya. Di band sekolah itu, Andreas pegang posisi
lead vokal. Ia fasih membawakan lagu-lagu Rod Steward, Kiss, Deep Purple dan
sebagainya. Suatu malam, di Nav family kareoke Beleza Plasa bersama Christen
Broecker, peneliti muda HRW, aku menonton aksi vokal Andreas bawakan lagu
Satisfaction-nya The Rolling Stone. Duet dengan Sapariah. Ya, aku rasa suaranya cukup
soft. Merdu.
Ilmu sosial seperti sejarah dan bahasa menarik minat Andreas. Ia bisa bicara dalam
bahasa Madura, Jawa, Inggris dan sedikit Mandarin. Di masa dewasa, ia menginginkan
anak-anaknya berbicara Inggris as their first language. Disamping tak melupakan bahasa
Mandarin dan Madura. Bakat bahasa itu diwariskan dari papanya, Ong Seng Kiat. Dia bisa
enam bahasa: Melayu, Jawa, Madura, Mandarin, Hakka dan Hokkian. Menurut Andreas,
kemampuan berbahasa ini merupakan ciri kaum "Mercurian", kelompok pengelana, seperti
Yahudi.
Bakat menulis bisa ditemukan saat Andreas menulis makalah soal Soekarno, nasionalisme
dan masa muda presiden flamboyan yang pernah jadi penyeru romusha tersebut. Makalah
itu dapet pujian dari gurunya. Tak ayal, Andreas adalah salah seorang penulis favoritku.
Aku belajar Jurnalisme Sastrawi darinya. Ia ajari aku bikin reportase, bikin aku cinta
dunia jurnalisme. Naskah-naskah narasi panjangnya solid, detail, tajam, dingin tapi gurih
dibaca. Dia bisa tampilkan kalimat-kalimat cerdas orisinil. Kadang bikin ketawa. Di risalah
19
"Republik Indonesia Kilometer Nol", Andreas bisa-bisanya nulis, "Monyet terbesar
duduk mengangkang sehingga penisnya kelihatan." Langsung kebayang postur vulgar tuh
nyomet, lengkap dengan "pentungan" keramatnya. He must be the alpa male. Sayang,
deskripsi species monyet itu tidak ada. Aku berfantasi saja, itu pasti Macaca
fascicularis alias si beruk.
Dahulu, aku suka tulisan Goenawan Mohammad. Catatan pinggirnya selalu menawan. Aku
rasa aku akan selalu suka tulisan-tulisan Goenawan Mohammad. Ternyata Goenawan
adalah senior sekaligus mentor Andreas. Sama-sama jebolan program Nieman Fellowship
on Journalism dari Universitas Harvard. Andreas Harsono dan Goenawan Mohammad
adalah dua dari lima wartawan Jakarta penerima beasiswa tersebut dalam kurun waktu
30 tahun terakhir.
Andreas masuk SMA tahun 1982, setahun sebelum aku resmi jadi siswa kelas 1 SD. Hobi
baca membuat Andreas didaulat sebagai peminjam terbanyak buku perpustakaan. Ia
dapet predikat "kutubuku". Sejak sekolah di SMP Katholik Maria Fatima, ia sudah
melahap buku-buku bacaan serius semacam biografi Soekarno, Abraham Lincoln,
Mahatma Gandhi, John Sung, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie.
Gie (17 Desember 1942 - 16 Desember 1969) adalah adik kandung Soe Hok Djin alias
Prof. Arief Budiman, juga dikenal sebagai demonstran anti TMII. Gie adalah Hoakiao,
tokoh aktifis angkatan 66. Sangat populer, posthumously. Film besutan sutradara Riri
Riza dongkrak dan hantarkan nama Gie kepada generasi pasca reformasi. Bagiku, ada
aura mistik baluri sosoknya. Salah satu oretannya, ia mengutip Friedrich Nietzsche,
"Bahagialah mereka yang mati muda." Dan benar saja. Ia tewas di usia 26 tahun di
puncak Semeru. Tanggal lahir dan kematiannya terpaut satu hari. Bikin aku merinding.
Gie, sering diejek "Cina Kecil", punya banyak label: moralis, nasionalis, patriot, pujangga,
demokrat, aktifis, penulis, lebih pribumi dari pribumi. Sebagai seorang cendekiawan,
"kejujurannya tidak mengenal batas," tulis Soedjatmoko, Duta Besar RI untuk Amerika.
Sama seperti Andreas, Gie aktif baca dan menulis. Di usia sangat muda, Gie menghasilkan
tiga buku: Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah, Orang-Orang di Persimpangan Kiri
Jalan. Di samping menulis lebih dari 30an artikel, dimuat di koran-koran macam Kompas,
Sinar Harapan, Harian Kami, Indonesia Raya dll.
John Maxwell berkomentar, "Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang
tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu
ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia
20
meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang
dipublikasikan di koran-koran nasional".
Gie masuk jajaran pentolan kelompok anti Sukarno, didaulat sebagai bandot tua. Akibat
hobi kawin. Jebolan SMA Katolik Kanisius itu adalah salah satu tokoh kunci aliansi
mahasiswa-ABRI. Namun Gie tercatat sebagai salah seorang pengkritik awal Orde Baru,
soal pembantaian rakyat dengan tuduhan komunis. Sebelum Gestok, ia ikut LPKB dan
membentur Baperki, tapi menolak ganti nama seperti kokohnya: Soe Hok Djin jadi Arief
Budiman.
Sebagai moralis tulen, di usia sedemikian muda, Gie belum paham kalau diktator fasis
militer jauh lebih keras dibanding golongan nasionalis kiri dengan pimpinan sipil macam
Sukarno, lnsinyur ITB. Situasi 1960an memang sulit. Gie tersimpang siur antara pilihan
ideologis, humanitarian dan personal subjektivisme. Perilaku Bung Karno mendistorsi
penilaian politik Gie. Alhasil, ia menjadi pion demonstrasi paling tajam. Klik militer
Suharto paling diuntungkan dari aksi Gie. Setelah Sukarno tumbang, Gie tampak sesali
peran aktifnya dorong dan julangkan teman-teman mahasiswanya macam Sofyan
Wanandi, Harry Tjan, Cosmas Batubara, Rahman Tolleng dsb yang kemudian menjadi
anggota DPR-GR. Dicomot begitu saja oleh Suharto, bukan dipilih rakyat lewat pemilu.
Gie kirim gincu dan cermin untuk mereka. Sebuah simbol protes.
Sebagai pemikir kesepian, pemberontak yang terasing, pemuda patah hati, Gie suka bikin
puisi. Persis seperti Andreas Harsono, yang sudah tidak bimbang terhadap cinta. Tidak
seperti Gie, yang kerap ragu kepada agama dan benci dunia borjuis. Dalam puisi, Andreas
sebut rekan-rekan dan dirinya sebagai “sekerumun anjing liar”. Keras. Garang. Segetir
puisi Gie, "kami adalah manusia-manusia yang tidak pecaya pada slogan".
Andreas, orang bebas, perna jadi pengorganisir sais dokar. Menyepi ke pesantren bila
galau. Sedangkan Gie, pergi ke gunung saat gundah, selain terikat menjadi anggota
Gemsos, sekelompok dengan Widjodjo Nitisastro, Emil Salim, Rahman Tolleng, Soemitro
Djojohadikoesoemo dll. Baik Gie, mau pun Andreas, sama-sama suka demokrasi, hak
individu dan kebebasan. Mungkin, merekalah materialisasi konsep Liberal Sosialis.
Gabungan ide Liberalisme dan Sosialisme seperti dipikirkan Carlos Roselli dari Italia.
Selain Soe Hok Gie, di era Orde Lama, sebenarnya banyak Hoakiao terlibat gerakan
politik. Tidak seterkenal Gie, ada Tan Swie Ling di Pemuda Rakyat. Salah seorang korban
penangkapan militer. Pernah alami penyiksaan tentara. Ditahan di RTM. Akibat punya
hubungan dekat dengan Sudisman, Ketua CC PKI setelah DN Aidit dan Nyoto ditembak
21
mati. Gie dan Swie Ling adalah teman dekat Prof. Bennedict Anderson, seorang
Indonesianis, dilarang masuk Indonesia di tahun 1973 setelah merilis Cornell Paper.
Ada rentang waktu dua dekade pasca kematian Gie sampai kemunculan Andreas Harsono,
1970-1990. Selama itu, ada ruang vakum. Tidak muncul aktifis sekritis Gie. Periode itu
dikuasai oleh kubu Hoakiao Katolik di dalam naungan lembaga think tank CSIS. Ada Ali
Murtopo dan Sujono Humardani (opsus) sebagai protektor. Mereka sangat dekat dengan
Presiden Suharto dan konglomerat Orde Baru seperti Liem Sioe Liong, Ek Tjong dan
Prajogo.
Hoakiao di Indonesia alami trauma psikologi berat pasca merasakan kedasyatan rezim
militer. Manusiawi, bila mereka takut. Orang-orang yang punya darah Tionghoa kubur
identitas itu dengan rapat. Demi kenyamanan dan keselamatan. Aku bisa maklum bila
Teguh Karya sembunyikan nama Tionghoanya, Liem Tjoan Hok. Begitu juga dengan
penyanyi Chrisye. Beruntung masih ada Liem Swie King, Ivana Lie, Tjun Tjun, Tan Joe
Hok di arena badminton. Di era itu, ada satu Hoakiao hebat di arena hukum. Ia bernama
Yap Thiam Hien (25 Mei 1913-25 April 1989).
Nama kecilnya "John". Cicit seorang Luitenant asal provinsi Guangdong. Berhasil menjadi
keluarga terkaya di Aceh. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap digantikan oleh
keluarga Han dari Jawa Timur. Thiam Hien dibesarkan dalam lingkungan perkebunan
feodalistik. Kondisi ini menempa kepribadian cucu Kapitan Yap Hun Han itu sehingga ia
memiliki sifat pemberontak dan antipati terhadap segala bentuk penindasan dan
kezoliman.
Yap, seorang Kristen fanatik, ikut melahirkan Baperki, organisasi massa yang
memperjuangkan kepentingan politik golongan Hoakiao. Di Pemilihan Umum 1955, ia
terpilih menjadi anggota Konstituante. Namun Yap berbeda paham politik dengan Siauw
Giok Tjhan, salah satu tokoh Baperki saat itu. Ia menentang politik kiri Siauw. Karena itu
Yap memutuskan keluar dari Baperki. Tahun 1959, ia adalah satu-satunya anggota
Konstituante yang menentang Pasal 6 UUD 1945 yang diskriminatif rasial dan condong
memberi otoritas tak terbatas kepada presiden. Yap orang yang sangat berani, keras dan
rigid. Landasannya hukum dan humanisme. Di era Bung Karno, Yap minta tahanan politik
macam Moh. Natsir, Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir dan Princen dibebaskan. Yap,
sekalipun antikomunis, tetap membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep
Suryawan, Oei Tjoe Tat dan Soebandrio. Yap juga membela aktifis mahasiswa di
Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 dan para korban Peristiwa
Tanjung Priok tahun 1984. Dua kelompok anti pemerintah Suharto.
22
Di sebelah "kanan" jalan lain, ada Harry Tjan Silalahi alias Tjan Tjoen Hok, lahir di
Jogjakarta 11 Februari 1934. Ia pernah menjabat Sekjen (1966) dan Ketua (1977) Partai
Katolik. Aktif berorganisasi sejak sekolah di SMA de Britto. Sama seperti Andreas, ia
suka pelajaran sosial, sejarah dan kesenian. Pernah menjadi Ketua Chung Lien Hui. Dia
ubah nama Chung Lien Hui jadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI).
Tjan juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia. Saat kuliah hukum di UI, ia aktif di
Sin Ming Hui dan berhasil jadi Ketua Presidium PP PMKRI (1961-1962).
Tjan adalah kader utama Pater Beek. Dibantu Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi), Liem
Bian Kie (Jusuf Wanandi), Anton Moeliono, Soedjati Djiwandono dan lainnya,
mengadakan pelatihan rahasia Kaderisasi Sebulan (Kasebul) di tahun 1966. Isinya doa,
meditasi, latihan kepemimpinan, analisa sosial-politik dsb. Karena Beek adalah anggota
Ordo Jesuit maka sistem pelatihannya ambil praktek kontemplasi Ignatius Loyola, padri
pendiri Ordo Jesuit. Loyola bersumpah hidup dalam kemiskinan dan bakti total di jalan
Yesus sesuai Alkitab. Jebolan Kasebul rata-rata memiliki kualitas mental dan intelektual
yang baik. Mereka berperan sangat aktif dalam penghancuran kubu kiri Soekarno,
berjasa besar dalam merintis kekuatan Soeharto dan memelihara kekuasaan Orde Baru.
Gerakan Harry Tjan, Liem Bian Koen dan lain sebagainya berefek samping. Ormas
Tionghoa dan Hoakiao kiri ditumpas. Siauw Giok Tjhan (23 Maret 1914–20 November
1981), Ketua Baperki, adalah salah seorang korban keganasan komplotan Jenderal
Soeharto. Kolonel Untung Samsuri, Komandan Tjakrabirawa, masukan nama Siauw Giok
Tjhan ke dalam daftar Pimpinan Dewan Revolusi, di urutan No. 16. Akibatnya, Siauw
dianggap terlibat G30S. Dia dipenjara selama 10 tahun, sejak November 1965 sampai
September 1975. Dijebloskan ke penjara Salemba, tempatku mendekam empat dekade
kemudian. Lalu dikirim ke RTM Budi Utomo, berakhir di Nirbaya.
Baperki dibubarkan. Sekolah-sekolahnya dirampas. Universitas Res Publica milik Baperki,
diambil alih, diganti nama jadi Trisakti. Di Jember, kotanya Andreas, Gedung Sekolah
Baperki sekarang jadi toko Nico Busana. Banyak dari gedung-gedung Baperki dijadikan
"camp konsentrasi" sementara.
Selain jago kungfu, Siauw sama dengan Andreas, fasih beberapa bahasa: Tionghoa,
Melayu dan Jawa. Sebagai orang Kapasan, Surabaya, ia akrab disapa "Cak Siauw". Di
masa kecil kerap diejek "cina loleng". Siauw wafat di Leiden, Belanda, di usia 67 tahun.
Nama Ong Tjie Liang tidak perlu diganti jadi Andreas, kalau saja Baperki dan Siauw
tidak ditumpas.
23
Siauw jadi wartawan Harian Mata Hari di Semarang, setelah ia dan Oei Gee Hwat masuk
Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang diprakarsai Liem Koen Hian. Partisipasi ini
mengikuti langkah mentor-mentornya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Siauw bersama
Tan Ling Djie, Oei Gee Hwat sempat punya pengaruh di Partai Sosialis pimpinan Amir
Sjarifoedin dan Sjahrir. Di kemudian hari, Tan Ling Djie menumpang tinggal di rumah
Siauw. Setelah Tan tersingkir dari arena politik.
Tan Ling Djie, seorang selibat, memiliki pengaruh besar dalam PKI selama era revolusi
1945-1948, sampai permulaan 1951. Ia dan Alimin termasuk golongan tua. Mereka
disingkirkan generasi muda macam DN. Aidit, Njoto, Sudisman dan Lukman. Label "Tan
Ling Djie-isme" muncul dan jadi perdebatan serius dalam rangka koreksi golongan muda
atas partai. Tan Ling Djie punya pemikiran soal "partai penampung" yaitu partai sosialis
bagi orang-orang setengah matang yang takut partai komunis. Tan berpendapat partai
Marxis tidak harus memakai istilah komunis. Di Eropa, kelompok kiri gunakan nama
"partai buruh". Ini dianggap sebagai penyimpangan. Tan juga dianggap legalis dan dukung
perjanjian Linggarjati. Di tahun 1950, ia bersuara untuk Papua, “Statenbond antara
Republik Demokrasi Irian yang bebas dari persetujuan KMB dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang masih belum dibebaskan dari persetujuan KMB”.
Pernyataan Tan Ling Djie ini direspon Harian Bintang Merah, " telah menyebabkan
kemarahan umum kepada Partai, dan jika tidak segera diambil tindakan yang keras untuk
membatalkan pernyataan Kawan Tan Ling Djie tentang Irian, maka akan berakibat sangat
mengisolasi Partai dari Rakyat Indonesia yang demokratis dan patriotik."
Tentu saja, Tan Ling Djie tidak punya pengetahuan selengkap Andreas soal Papua.
Masalah Papua di zaman Tan dan Andreas juga berbeda skalipun pondasi masalahnya
tetap sama: Penindasan. Namun demikian, ternyata sejak era awal, Hoakiao semacam Tan
Ling Die telah memiliki kepedulian soal "Masalah Papua".
Selain di persimpangan "kiri-kanan" jalan, Hoakiao juga ditemukan di tengah. Golongan
Sentris. Selain Oei Tju Tat, ada tokoh senior Hoakiao sekaligus kader PNI, partainya
Bung Karno. Namanya Yap Tjwan Bing, Hoakiao Solo. Tanggal 22 Februari 2008, Walikota
Solo Joko Widodo meresmikan nama Jalan Yap Tjwan Bing, menggantikan nama Jalan
Jagalan. Mungkin sebabnya karena Yap Tjwan Bing adalah anggota PPKI, terlibat proses
penyusunan UUD 45. Dia masuk kategori "The Founding Fathers" dari sebuah Republik
bernama Indonesia. Ketika Ir. Soekarno dan Hatta membacakan text proklamasi di
Jakarta, Jenderal AH Nasution ikut merayakan di Bandung. Tepatnya di rumah Yap
Tjwan Bing, di Jl. Naripan No.31.
24
Yap berteman dengan Amir Sjarifudin sejak sekolah di AMS Kristen Jakarta. Waktu
kuliah di Belanda, ia berkawan dengan Mohammad Hatta dan Iwa Kusumasumantri.
Setelah kembali ke Indonesia, ia bergabung dengan PNI, jadi loyalis Soekarno. Di
pertengahan tahun 1950an, ia menjadi anggota DPR sekaligus anggota dewan kurator
Institute Teknologi Bandung (ITB). Kemudian meletus aksi rasialis anti Hoakiao, dikenal
sebagai Peristiwa 10 Mei 1963. Mobil dan bungalow milik Yap dibakar. Para pelaku aksi
rasialis itu adalah mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran. Nama Soeripto, Rahman
Tolleng, Siswono Yudohusodo, Muslimin Nasution dan beberapa aktifis Gemsos tercatat
sebagai peserta aksi. Kerusuhan rasial itu bikin keluarga Yap memutuskan exodus ke
Amerika. Di sana, ia wafat di tahun 1988. Dimakamkan di Rose Hill.
Ada satu sosok Hoakiao, Andreas menaruh penghargaan tinggi kepadanya. Satu bukunya,
dibagi khusus kepada para peserta kursus Jurnalisme Sastrawi. Hoakiao itu seorang
jurnalis, satu profesi dengan Andreas. Namanya Kwee Thiam Tjing alias si Tjamboek
Berdoeri (9 Februari 1900 – 28 Mei 1974). Hoakiao Pasuruan itu menempuh pendidikan di
kota Malang, mirip Andreas. Teori skill berbahasa kaum Mercurian yang dikutip Andreas
menemukan kebenaran di diri Kwee Thiam Tjing yang fasis bahasa Belanda, Jawa,
Madura dan Hokkien. Naskah tulisan Kwee dimuat banyak koran seperti Pewarta
Soerabaia, Soeara Poeblik, Sin Tit Po, Matahari Semarang, Indonesia Raja. Kwee
mengelola langsung Pembrita Djember, di kota kelahiran Andreas. Kwee adalah
jurnalis bergaya ‘nakal’ dan berani mengungkap ketidakadilan. Tulisan kritiknya tajam
hingga membuatnya dipenjara 10 bulan dengan tuduhan menghina pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1925. Selama masa Orde Baru, ia menghilang. Namanya dikenal
kembali setelah Benedict Anderson, dibantu Stenly
Prasetyo, melancarkan riset sulit mencari siapa
penulis di balik nama pena Tjamboek Berdoeri.
Dari dalam penjara Salemba, aku minta opini Andreas
soal Kwee Thiam Tjing. Ia berkata, "Kwee menulis
narasi yang hebat. Sulit cari tandingan Kwee dengan
karya Indonesia Dalem Bara dan Api. Saya kira ia
salah satu karya non-fiksi terbaik yang pernah terbit
di Pulau Jawa, cerita tiga zaman: Hindia Belanda,
pendudukan Jepang, Indonesia."
*****
MADURA punya posisi spesial bagi Andreas. Masa
kecilnya dibalut hubungan kasih sayang dengan dua
orang pegawai keluarga Ong. Mereka orang Madura,
25
Man Tuka dan Mbek Wi. Andreas berujar, "Man Tuka dan Bek Wi bekerja sejak Liang
belum lahir hingga pensiun. Mereka sering tak tega melihat anak majikannya dipukul
hanya karena salah kecil".
Pulau di Timur Laut Jawa Timur itu hanya dihuni empat juta orang Madura. Terkenal
dengan karapan sapi, garam, budaya Carok dan clurit. Masyarakat Madura memandang
clurit sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Tak heran bila pusat kerajinan senjata
tajam itu bertebaran di seantero Madura. Misalnya, di desa Peterongan, Kecamatan Galis,
40 kilometer dari Bangkalan. Di sana, mayoritas penduduk hidup sebagai pembuat clurit.
Mereka mewarisi keahlian menempa logam itu dari leluhur. Sekalipun budaya Carok
bersenjata clurit baru muncul di era Belanda, via penduduk bernama Sakera. Sedangkan
di zaman Joko Tole, pedang dan keris masih menjadi senjata tradisional Madura.
Tanah Pulau Madura tidak cocok untuk pertanian. Kondisi ini bikin orang Madura jadi
partisan program exodus terencana, imigrasi, sedari era kolonial sampai Orde Baru.
Karena itu, etnik Madura tersebar di beberapa daerah. Dari total 20 juta orang Madura,
12 juta ada di Jawa Timur. Sisanya menetap di Jakarta, Bogor, Depok dan Borneo. Salah
seorang "overseas" Madura yang lahir di Kalimantan Barat adalah wartawan Sapariah
Saturi, istri Andreas Harsono.
Mereka pasangan ideal. Keduanya punya kebaikan hati yang seimbang. Perbedaan, mereka
jadikan sesuatu yang asik. Pertama kali bertemu saat tsunami hantam Aceh, 24
Desember 2004. Lokasinya di markas Harian Pontianak Post. Andreas sedang riset soal
ethnic cleansing Madura di Borneo. Sejak itu, mereka berteman. Lalu sama-sama tinggal
di sekitar Senayan. Teman Sapariah, ya teman Andreas. Kedekatan dua-sejoli ini
mengental di dalam gerbong-gerbong kereta, sepanjang perjalanan Jakarta-Blitar di
hari kematian novelis Pramoedya Ananta Toer, 30 April 2006. Mereka ngobrol, olah
kata, seputar kisah pergulatan Pram, yang pernah menjalani 14 tahun dipenjara oleh
Suharto. Dibuang ke Pulau Buruh. Gesekan roda-roda besi, stasiun kecil, sawah-sawah
dan semilir angin selimuti kemesraan Sapariah-Andreas. Dawai musik Rock klasik bantu
mereka temukan arti cinta itu.
Dua orang bisa jadi sepasang kekasih bila punya banyak kesamaan. Candi Palah, warisan
Majapahit, saksikan salah satu persamaan Sapariah-Andreas. Mereka sama-sama
berpendapat "Soekarno menciptakan mitos sebuah kerajaan masa lalu, yang seakan-akan
menguasai seluruh wilayah Indonesia hari ini, ketika nyatanya, Majapahit cuma
memerintah sebagian Pulau Jawa. Salah satu lawan Majapahit adalah kerajaan Pajajaran
di daerah Sunda. Bagaimana Majapahit menguasai ribuan pulau dari kesultanan Aceh
hingga kampung-kampung di Papua ketika memerintah Sunda saja tak sanggup?"
26
Mereka kembali ke Jakarta, naik pesawat dari Malang. Lautan demonstrasi, puluhan ribu
buruh turun ke jalan, seakan menyambut kedatangan Sapariah-Andreas. Hari itu, 1 Mei.
Hari buruh. May Day. Banyak bendera bergambar roda gerigi dan kepalan tangan. Dan
mereka kembali dengan ikrar kasih, sebuah janji untuk belajar lebih mengenal dan
bersama-sama arungi hidup ini. Grow old and wise together.
Mungkin, sejak itu keduanya sulit tidur nyenyak. Karena, seperti kata Dr. Seuss, "You
know when you're in love when you can't fall asleep because reality is finally better than
your dreams."
Sapariah jadi istimewa, di hati Andreas, setelah kirim t-shirt bertulisan "Dasar negara
Indopahit.” Andreas merasa Sapariah memahami kegelisahannya. Andreas bergumam,
"orang ini kritis sekali". Bagi Sapariah, Andreas itu "orang gila dan aneh". Punya sense of
humor. Sangat cerdas. Pemikirannya luar biasa. Itu bikin Andreas jadi berbeda dari pria
rata-rata air.
Tulisan adalah budaya tertinggi manusia. Sapariah-Andreas pahat kisah cintanya dalam
bentuk reportase singkat. Disisipi opini politik. Jauh dari kesan roman paling picis. Bukan
pula ambil bentuk untaian syair-syair puitik. Murni bergaya Jurnalisme Sastrawi Bill
Kovack. Anak remaja bakal mengerutkan dahi. Roman Sapariah-Andreas terasa asin,
tidak manis. Sekalipun tak ada kegetiran di sana. Ini simbol pernyataan keabadian relasi
asmara paling intim. Jadi begitu, karena mereka rekam dalam pahatan tulisan.
Sebagai closing, aku kutip tulisan Andreas, "Menurut Derek Walters dan Helen Jones
dalam buku The Chinese Astrology, ada pepatah Mandarin berbunyi, ”Bila si Kelinci
bertemu dengan si Ular, maka kebahagiaan abadi menanti mereka.” Sapariah shio Kelinci
dan saya shio Ular. Kebetulan yang menarik bukan?"
Sangat menarik dan semoga demikian adanya. Karena shioku juga ular dan Cindy bershio
kelinci. Semoga kebahagiaan abadi menjadi milik kita.
THE END