KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) SERTA STRATEGI PENATAAN DAN
PEMBERDAYAANNYA DALAM KAITAN DENGAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH KOTA BOGOR
ACHMAD MUBAROK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Januari 2012
Achmad Mubarok NRP : A165030021
ii
ABSTRACT
ACHMAD MUBAROK. Characteristic and Problems of Street Vendors, Management and Empowerment Strategy in Relationship with Regional Economic Development in Bogor City, Under direction of BAMBANG JUANDA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HEDI M.IDRIS as Members of Advisory Committee. The research objectives are : (1) to analyze characteristics of street vendors and factors that affect their income, (2) to analyze contribution of street vendors on economic development, (3) to identify policy implementation on street vendors and (4) to formulate management and empowerment strategy for the street vendors. The research has been conducted in Bogor City using survey methods. Three street vendor typologic has been selected namely night vegetables market (pasar sayur malam), temporary market (pasar tumpah), and culinary market (pasar kuliner). The total sample is 180 respondents consisting of street vendors, consumers, residents, competitors and suppliers. AWOT analysis uses experts amounting 16 respondents. The samples are selected using the porposive sampling. The data are analyzed descriptively and AWOT analysis is used to formulate the strategy. The results indicates that street vendors can be characterized as having sufficient elementary education level, not poor, having net income higher than the city minimum wage and vulnerable on harassment. The regression result suggests that street vendors net income is significantly affected by omzet and starting up costs. On typology basis, net income significantly affects consumption level of street vendor’s household. Street vendors are able to create job opportunity in urban area and if properly managed, have large contribution on local revenue. However, the implementation of existing local regulations seem suboptimal. Some strategies have been proposed, including : (1) Registering and construct street vendor database, (2) economic empowerment for the actors, (3) unifying perception for street vendor management, (4) delayed condemnation delay and dialogue with local government, and (5) confining street vendor number in a location. Keywords :Street Vendors, AWOT analysis, Empowerment Strategy, Bogor City.
iii
RINGKASAN
ACHMAD MUBAROK. Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) Serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya Dalam Kaitan Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kota Bogor, Di bawah bimbingan dari BAMBANG JUANDA sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan HEDI M.IDRIS sebagai Anggota dari Komisi Pembimbing.
Bogor mengalami permasalahan pengelolaan kota dengan meningkatnya PKL. Pertumbuhan PKL di kota Bogor semakin nampak ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Terdapat dualisme pandangan mengenai keberadaan PKL yaitu positif dan negatif. Di sisi positif, PKL menyediakan peluang kerja bagi penduduk yang tidak terserap sektor formal dengan meningkatnya pengangguran dan pada saat yang sama menyediakan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau bagi warga miskin kota. Di sisi negatif, PKL sering menyebabkan kemacetan, merusak wajah kota, kejahatan dan ketidaknyamanan sosial lainnya. Dua sisi keberadaan PKL ini menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan PKL sebagai mata pencaharian alternatif penduduk miskin kota dan bagaimana pemerintah kota Bogor menghadapi tantangan ini untuk permbangunan perkotaan. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis karakteristik umum dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, (2) Menganalisis sejauh mana kontribusi PKL dalam pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor, (3) Mengidentifikasi sejauh mana keberhasilan dari kebijakan pemerintah Kota Bogor dalam menata dan memberdayakan PKL dan (4) Merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL.
Penelitian dilakukan di kota Bogor, dari Juni 2009 sampai bulan Juli 2011 menggunakan rancangan penelitian survei. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Populasi penelitian terdiri dari Pelaku PKL, Konsumen, Masyarakat, Pesaing, dan Supplier. Tipologi PKL yang dipilih adalah : Pasar Sayur Malam, Pasar Kuliner, Pasar Tumpah. Matode pengambilan sampel adalah Purposive Sampling. Total sampel yang diambil adalah 180 responden Untuk responden pakar total sampel yang diambil adalah 16 responden. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkarakteristikkan PKL dan persepsi masyarakat, pemasok dan pesaing mengenai keberadaan PKL. Analisis regresi dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL. Untuk menganalisis strategi penataan dan pemberdayaan PKL digunakan metode hibrid AWOT.
Hasil analisis menunjukkan bahwa : pertama, PKL Bogor dapat dikarakteristikkan sebagai berpendidikan rendah, tidak dapat dikategorikan miskin dan mampu mendapatkan pendapatan bersih di atas UMR kota. PKL bekerja dalam lingkungan kotor dengan jam kerja lama dan tanpa hari libur dan tidak memiliki jaminan sosial dan sebagian besar belum terdaftar di pemerintah kota. Kedua, Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel omzet, modal awal dan
iv
dummy lokasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan PKL. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pendapatan PKL berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga hal ini berarti bahwa kontribusi PKL terhadap perekonomian /pembangunan wilayah terutama dari sisi belanja konsumsi. Ketiga, PKL berkontribusi terhadap ekonomi kota Bogor karena telah menjadi mata pencaharian utama dan menciptakan peluang dan lapangan kerja. Analisis kebijakan menunjukkan sudah adanya perangkat legal pengelolaan PKL di kota Bogor namun implementasinya masih belum optimal dan belum mengakomodasi kepentingan bersama antara PKL dan Pemerintah Kota. Keempat, beberapa strategi dirumuskan yaitu : (a) Registrasi dan pembuatan database PKL, (b) Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, (c) Menyatukan persepi dalam pengelolaan PKL, (d) Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, (e) Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi and (f) mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, serta melakukan Penataan lokasi PKL Kata kunci : PKL, analisis AWOT, Strategi Pemberdayaan, Kota Bogor.
v
KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) SERTA STRATEGI PENATAAN DAN
PEMBERDAYAANNYA DALAM KAITAN DENGAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH KOTA BOGOR
ACHMAD MUBAROK
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
vi
©Hak Cipta milik IPB , tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan . penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpaizin IPB.
vii
Judul Disertasi : Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta Strategi Penataan dan Pemberdayaannya dalam Kaitan dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor
Nama : Achmad Mubarok NRP : A 165030021 Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Hedi M. Idris , M.Si. Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 13 Januari 2012 Tanggal Lulus :
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Slamet Sutomo, M.Si.
2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan desertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya. Penulis berharap bahwa hasil penelitian yang dituangkan dalam desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama para stakeholder baik di jajaran birokrasi pemerintahan, akademisi, maupun pelaku pembangunan lainnya demi terciptanya program-program pembangunan serta terciptanya masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan sentosa. Penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si, Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., dan Bapak Dr. Ir. Hedi M. Idris, M.Si. yang masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas dorongan dan bimbingannya. Semoga Allah membalas dengan pahala yang lebih besar lagi. Amien. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan hingga tersusunnya desertasi ini, kepada : 1. Bapak dosen dan seluruh staf Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah Dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis
2. Kepada para responden penelitian yang telah memberikan bantuan data dan informasi yang sangat penting bagi penyusunan desertasi ini
3. Seluruh pengurus Yayasan Pendidikan Ibn Khaldun Bogor, Rektor UIKA beserta staf jdan Dekan FEUIKA beserta atas segala dorongan dan bantuannya.
4. Isteri tercinta E.Murtinah dan anak-anak, mantu-mantu serta cucu-cucu tersayang yang senantiasaa memberikan doa, dorongan semangat dan mengorbankan waktu, kesempatan serta perasaannya untuk keberhasilan studi penulis.
5. Almarhum ayah ibu tercinta yang berkat doa dan jerih payahnya, hingga penulis dapat mencapai harapan dan cita-cita.
6. Kakakku tercinta Mas Widodo dan Ceu Ipah yang selama ini telah menjadi pengganti orangtua bagi penulis
7. Semua pihak yang tidak dapaat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya penyusunan tesis ini.
Dalam penyusunan desertasi ini disadari masih banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan selalu diharapkan. Akhirnya semoga Allah Yang Maha Kuasa membalas amal kebajikan semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan desertasi ini.
Bogor, Januri 2012
Achmad Mubarok
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1947 sebagai anak keduabelas dari pasangan R.H.M Sudjai dan R.Siti Hajar. Pada tahun 1971 penulis menikah dengan E.Murtinah dan telah dikarunia enam orang anak., lima orang menantu serta sebelas orang cucu. Saat ini Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor lulus tahun 1990. Dalam proses pendidikan yang berkelanjutan, pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan magister manajemen di Universitas Satyagama, Jakarta. Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Karya ilmiah penulis yang akan segera diterbitkan adalah ” Karakteristik Usaha dan Ekonomi Serta Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL di Kota Bogor” pada jurnal Inovator, Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor. Salah satu artikel lain berjudul ”Karakteristik, Persepsi dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam Kaitannya dengan Pembangunan Ekonomi di Kota Bogor” juga akan diterbitkan dalam Jurnal Sosio Ekonomika, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi……………………………………………………………… xi
Daftar Tabel…………………..….…………………………………… xiv
Daftar Gambar………………………………………………………… xx
Daftar Lampiran…………………….……………………………..….. xxi
I. PENDAHULUAN………….……………………………… 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2 Permasalahan ........................................................................... 10 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 11 1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 12 1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian................................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA..………………………………….. 13 2.1 Konsep Pembangunan dan Ekonomi .……………………… 13 2.1.1 Pembangunan Ekonomi……………………………… 13 2.1.2 Ekonomi Wilayah……………………………………. 14 2.1.3 Pembangunan Ekonomi Wilayah……………………. 15 2.2 Teori-Teori Loka…………………………………………….. 16 2.2.1 Teori Pola Produksi Pertanian von Thunen………….. 17 2.2.2 Teori Lokasi Alfred Weber….………………………. 19 2.2.3 Teori Lokasi August Losch………………………….. 20 2.2.4 Teori LokasiIndustri Christaller…..………………… 22 2.3 Sektor Informa……………………..………………………… 24 2.3.1 Usaha mikro Kecil dan Menengah ( UMKM)………. 25 2.3.2 Usaha Produktif……………………………………… 27 2.3.3 Pengertian dan Definisi Sektor Informal……….……. 27 2.3.4 Pedagang Kaki Lima (PKL)…………………………. 30 2.4 Kebijakan Publi……………………………………………… 32 2.4.1 Konsepsi Kebijakan Publik………………………….. 32 2.4.2 Instrumen Kebijakan Publik di Daerah……………… 36 2.4.3 Sumber-sumber Pendapatan Daerah………………… 39 2.5 Pemberdayaan Masyarakat…………………………………. 45 2.6 Strategi Pemberdayaan…………..………………………… 50 2.7 Lingkungan Eksternal dan Internal………………………… 52 2.8 Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi….……… 54 2.9 Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima PKL)…. 61 2.10 Novelty (Kebauran)………………………………………… 67
III. METODE PENELITIAN………………………………… 81 3.1 Kerangka Penelitian………………………………………… 81 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………….. 83 3.3 Jenis dan Sumber Data…………………………………... 85
xii
3.4 Pedoman Pengambilan Sampel……………………………… 87 3.5 Metode Analisis Data……………………………………….. 88 3.5.1 Analisis Deskriftif…………………………………… 88 3.5.2 Analisis Persentase…………………………………... 88 3.5.3 Analisis Regresi……………………………………… 89 3.5.4 Analisis AHP SWOT.……………..……………….... 93 3.6 Definisi Operasional………………………………………..... 103 3.7 Keterbatasan Penilitian………………………………………. 104
IV. KONDISI UMUM KOTA BOGOR……………………….. 105 4.1 Kondisi dan Potensi………………………………………….. 105 4.2 Sejarah Kota Bogor………………………………………….. 107 4.3 Pemerintahan……………………………………………….. 108 4.4 Penduduk dan Ketenagakerjaan…………………………….. 108 4.5 Pendidikan, kesehatan/Keluarga Berencana dan Agama……. 110 4.6 Pertanian…………………………………………………….. 111 4.7 Perindustrian, Pertambangan dan Energi………..…………... 114 4.8 Perdagangan………………………………………………..... 116 4.9 Transportasi, Komunikasi dan Pariwisata……..……………. 117 4.10 Keuangan dan Harga……………………………..………….. 118 4.11 Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk…………..………….. 120 4.12 Pendapatan Regional………………………………………… 121 4.13 Kemiskinan………………………………………………….. 123
V. KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR…………
125
5.1 Distribusi Sampel dan Tipologi PKL……………………….. 126 5.2 Karakteristik Demografis……………………………………. 127 5.2.1 Jenis Kelamin (A3)………………………………… 127 5.2.2 Umur (A4)…………………………………………. 128 5.2.3 Status Perkawinan…………………………………. 129 5.2.4 Tingkat Pendidikan (A6)…………………………... 130 5.2.5 Asal Responden (A7)……………………………… 131 5.2.6 Suku bangsa (A8)………………………………….. 132 5.2.7 Status Dalam Keluarga (A9)……………………… 133 5.2.8 Tanggungan dalam Keluarga (A10)………………. 134 5.2.9 Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga ( A12)…….. 135 5.2.10 Kondisi Kesehatan (A13)…………………………. 136 5.2.11 Kondisi Ekonomi (A16)…………………………… 137 5.3 Karakteristik Usaha………………………………………….. 138 5.3.1 Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL................... 139 5.3.2 Motivasi menjadi PKL (B2)...................................... 140 5.3.3 Lama menjadi PKL (B3)........................................... 141 5.3.4 Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4)................... 142 5.3.5 Pemilihan Lokasi (B5)............................................. 142 5.3.6 Jenis Barang Dagangan (B6)..................................... 144 5.3.7 Jenis Sarana Usaha Yang Digunakan (B8)............... 145 5.3.8 Pola Penyebaran PKL............................................... 147 5.3.9 Waktu Operasi PKL (B10)........................................ 148
xiii
5.3.10 Lama Waktu Operasi (C2)........................................ 148 5.3.11 Tempat Usaha (B12)................................................. 149 5.3.12 Luas Tempat Usaha (B13)......................................... 150 5.3.13 Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14).......... 151 5.3.14 Keberadaan Usaha di Tempat Lain........................... 152 5.3.15 Registrasi PKL (B18)................................................ 153 5.4 Pekerja dan Kompensasi.......................................................... 155 5.5 Aspek Keuangan dan Lain-Lain............................................. 157 5.5.1 Modal Awal................................................................. 157 5.5.2 Jenis dan Sumber Modal.............................................. 158 5.5.3 Modal Kerja dan Pendapatan.................................... 160 5.5.4 Sewa Lapak............................................................... 163 5.5.5 Fluktuasi Usaha......................................................... 165 5.5.6 Pengeluaran............................................................... 166 5.6 Permasalahan dan Prospek....................................................... 169 5.7 Persepsi PKL terhadap Penataan.............................................. 171 5.8 Persepsi Pesaing, Pemasok dan Masyarakat Terhadap
Keberadaan PKL .....................................................................
174
VI. KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH…………………………………………………..
183
6.1 Kontribusi PKL Terhadap Ekonomi Wilayah……………… 183 6.2 Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL........................ 186 6.3 Keterkaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan
(Forward) dari PKL ..............................................................
193
VII. ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR………….
197
7.1 Peraturan Daerah Pengelolaan PKL......................................... 197 7.2 Pihak-pihak Yang terkait.......................................................... 199 7.3 Implementasi Perda PKL di Bogor.......................................... 202
VIII. STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR.................
207
8.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal................................ 207 8.1.1 Faktor Eksternal…………………………………… 208 8.1.2 Faktor Internal…………………………………….. 215 8.2 Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL………………….. 223 8.2.1 Strategi Prioritas…………………………………… 227 8.2.2 Alternatif Strategi Lainnya………………………… 233 8.3 Usulan Penataan dan Relokasi PKL…………………………. 236 8.4 Langkah-langkah Strategis…………………………………... 241
IX. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………….. 243 9.1 Kesimpulan………………………………………………….. 243 9.2 Saran…………………………………………………………. 245
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 247
LAMPIRAN.......................................................................................... 257
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pekerja Menurut Status Pekerjaan, 2007-2009 (dalam juta orang).. 3 2 Omzet Penjualan Harian (dalam Rupiah)........................................ 8 3 Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen.............................. 26 4 Lapangan kerja menurut aktivitas ekonomi di Indonesia................ 30 5 Matrik kebijakan publik berdasarkan makna................................... 35 6 Bagi Hasil Pajak Provinsi................................................................ 45 7 Penerima manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan
Daerah..............................................................................................
65 8 Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah....... 65 9 Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi (Peraturan
Daerah).............................................................................................
66 10 Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi........................ 66 11 Kajian Literatur Sektor Informal Selama 10 Tahun Terakhir.......... 69 12 Sumber Data, Aspek Penelitian dan Pokok (analisis)...................... 86 13 Responden Penelitian....................................................................... 87 14 Responden Penelitian untuk Analisis AHP SWOT......................... 88 15 Matrik Internal dan Eksternal.......................................................... 96 16 Skala Perbandingan Berpasangan.................................................... 97 17 Matrik Pendapat Individu (MPI)...................................................... 97 18 Perbandingan berpasangan pada Matrik Pendapat Gabungan
(MPG), VA, dan VP (bobot)............................................................
99 19 Nilai Random Index (RI)................................................................. 100 20 Matrik Analisis SWOT.................................................................... 101 21 Pembobotan Tiap Unsur SWOT...................................................... 101 22 Rangking Alternatif Strategi............................................................ 102 23 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di
Kota Bogor Tahun 2011...................................................................
108 24 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota
Bogor Tahun 1990, 2000 dan 2010..................................................
109 25 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan
Utama di Kota Bogor tahun 2008-2010...........................................
109 26 Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Partisipasi Sekolah dan
Jenis Kelamin di Kota Bogor Tahun 2010.......................................
110 27 Penggunaan Lahan Pertanian Sawah Menurut Kecamatan di Kota
Bogor Tahun 2010...................................................................
111 28 Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Kecamatan
di Kota Bogor Tahun 2010 (dalam Ha)...........................................
112 29 Target, Realisasi dan Produksi Tanaman Palawija (lahan bukan
sawah) Menurut jenis Tanaman di Kota Bogor Tahun 2010...........
112 30 Populasi Ternak Besar dan Ternak Kecil Menurut Jenisnya di
Kota Bogor Tahun 2010...................................................................
113 31 Populasi Unggas Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010..... 113 32 Produksi Ikan Menurut Tipe Kolam di Kota Bogor Tahun 2010.... 114
xv
Halaman
33 Potensi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan di Kota Bogor Tahun 2010......................................................................................
114
34 Potensi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka di Kota Bogor Tahun 2010...........................................................................
115
35 Jumlah Realisasi Ekspor Non migas Menurut Jenis Komoditi di Kota Bogor Tahun 2010...................................................................
117
36 Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan di Kota Bogor Tahun 2010...........................................................................
118
37 Realisasi Pengeluaran Daerah Menurut Jenis Pengeluaran di Kota Bogor Tahun 2010...........................................................................
119
38 Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Makanan di Kota Bogor Tahun 2006-2010 (Rupiah).........
120
39 Pengeluaran Rata-rata Perkapita Menurut Kelompok Barang Non Makanan dan Golongan Pengeluaran Per Kapita Sebulan di Kota Bogor Tahun 2010 (Rupiah)............................................................
121 40 Produk Domestik Bruto ( PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan
Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2010
121 41 Produk Domestik Bruto ( PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan
Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008-2010.....................
122 42 Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar
Harga Konstan Tahun 2008-2010....................................................
122 43 Jumlah, Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks
Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Kota Bogor Tahun 2009-2010.............................................................................
123 44 Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL................................... 126 45 Tipologi Jenis Usaha PKL............................................................... 127 46 Jenis Kelamin Responden................................................................ 127 47 Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi................................... 128 48 Kelompok Umur Responden............................................................ 128 49 Kelompok Umur Responden menurut tipologi................................ 129 50 Status Perkawinan............................................................................ 129 51 Status Perkawinan menurut Tipologi PKL...................................... 130 52 Tingkat Pendidikan Responden....................................................... 130 53 Tingkat Pendidikan Responden menurut tipologi PKL................... 131 54 Asal Kota Responden....................................................................... 131 55 Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL................................. 132 56 Suku Bangsa Responden.................................................................. 132 57 Suku Bangsa Responden menurut Tipologi..................................... 133 58 Status Responden dalam Keluarga................................................... 134 59 Status Responden dalam Keluarga menurut Tipologi..................... 134 60 Tanggungan dalam Keluarga........................................................... 134 61 Jumlah Tanggungan dalam Keluarga............................................... 135 62 Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga................................ 135 63 Kondisi Kesehatan Keluarga PKL Selama 3 Bulan Terakhir.......... 136 64 Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi.............................. 136
xvi
Halaman
65 Biaya Berobat Responden................................................................ 137 66 Responden Penerima BLT............................................................... 138 67 Usaha Sebelum menjadi PKL (B.1)................................................. 139 68 Motivasi menjadi PKL..................................................................... 140 69 Lama Menjadi PKL.......................................................................... 141 70 Pernah Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat
Lain ................................................................................................
142 71 Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel....................................... 142 72 Jenis Barang Dagangan PKL................................................................ 145 73 Sarana Usaha yang Digunakan PKL..................................................... 146 74 Pola Penyebaran PKL........................................................................... 147 75 Waktu Operasi PKL............................................................................. 148 76 Lama Waktu Operasi....................................................................... 149 77 Lama Hari Kerja Dalam Seminggu.................................................. 149 78 Tempat Usaha.................................................................................. 149 79 Posisi Lokasi Usaha......................................................................... 150 80 Luas Ruang yang Digunakan PKL.................................................. 151 81 Kondisi Kebersihan.......................................................................... 152 82 Kepemilikan Usaha di Tempat Lain................................................ 152 83 Registrasi PKL................................................................................. 153 84 Rekapitulasi PKL yang sudah mendapatkan Ijin Penggunaan
Lokasi PKL per tanggal 28 Nopember 2008...................................
154 85 Jumlah Responden yang Menggunakan Tenaga Kerja.................... 156 86 Tunjangan dan Bonus Bagi Pekerja................................................. 156 87 Bentuk Tunjangan atau Bonus Bagi Pekerja.................................... 157 88 Modal Awal yang Diperlukan dalam Memulai Usaha..................... 158 89 Sumber Modal PKL......................................................................... 159 90 Sumber Pinjaman Modal.................................................................. 159 91 Modal Kerja Harian.............................................................................. 161 92 Omzet Kotor Harian PKL Menurut Tipologi................................... 162 93 Jenis Pembukuan Pelaku PKL......................................................... 162 94 Pembayaran Tempat Usaha.............................................................. 163 95 Jangka Waktu Pembayaran.............................................................. 164 96 Pihak Penerima Pembayaran Sewa Lapak....................................... 164 97 Rata-rata Pengeluaran Bulanan Responden..................................... 167 98 Penghasilan yang Dibawa Pulang Harian........................................ 168 99 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (RT) Harian...................... 169
100 Pendapatan Bersih PKL Harian Rata-rata....................................... 169 101 Masalah atau Kesulitan yang Dihadapi PKL................................... 170 102 Bentuk Bantuan yang Diharapkan................................................... 171 103 Pemahaman Responden Terhadap Aturan....................................... 172 104 Kemauan PKL Untuk Ditata........................................................... 172 105 Bentuk Penataan yang Diharapkan.................................................. 173 106 Sistem Pembayaran yang Diharapkan Per Lapak Standar............... 173 107 Persepsi Gangguan PKL Terhadap Usaha Pesaing dan Pemasok.... 174
xvii
Halaman
108 Bentuk Gangguan usaha PKL Terhadap Pesaing............................ 175 109 Manfaat Keberadaan PKL Bagi Pemasok........................................ 176 110 Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok dan Masyarakat
Umum...............................................................................................
176 111 Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL............................................ 177 112 Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum.................... 178 113 Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL....................................... 179 114 Persepsi Terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan................................ 179 115 Persepsi Terhadap Penggusuran....................................................... 180 116 Mekanisme Penggusuran................................................................. 181 117 Pengaruh Pendapatan PKL Terhadap Tingkat Pendidikan,
Kesehatan dan Konsumsi Keluarga PKL.........................................
188 118 Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan
Pasar Sayur Malam..........................................................................
190 119 Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan
Pasar Kuliner....................................................................................
191 120 Uji Ragam Untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Sayur Malam
dan Pasar Kuliner.............................................................................
192 121 Keterkaitan Manfaat Langsung Kedepan dan Kebelakang dari
PKL..................................................................................................
195 122 Perlunya Keterlibatan Pihak-pihak Lain.......................................... 200 123 Beberapa Tindakan Pemerintah Kota Bogor terhadap PKL di
Beberapa Lokasi...............................................................................
202 124 Program dan Pendekatan Pengelolaan PKL di Beberapa Kota di
Indonesia..........................................................................................
204 125 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Peluang......................... 208 126 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Ancaman...................... 211 127 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kekuatan......................... 215 128 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kelemahan...................... 219 129 Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Penataan dan
Pemberdayaan PKL di Kota Bogor.................................................
224 130 Prioritas Alternatif Strategi untuk Penataan dan Pemberdayaan
PKL di kota Bogor...........................................................................
226
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Asal Pedagang Kaki Lima di kota Bogor......................................... 6 2 Status Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor..................................... 7 3 Jumlah PKL Kota Bogor Tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin... 7 4 Waktu Berjualan PKL di Kota Bogor.............................................. 9 5 Kebijakan Publik.............................................................................. 32 6 Proses Kebijakan Publik.................................................................. 33 7 Alur Kebijakan Publik Berdasarkan Kompetisi Politik................... 34 8 Alur Kebijakan Publik Berdasarkan Sumberdaya Ekonomi............ 34 9 Alur Kebijakan Publik Campuran................................................... 35
10 Proses Penyusunan Regulasi pada Tingkat Daerah......................... 37 11 Kerangka Pemikiran Konseptual..................................................... 84 12 Analisis SWOT................................................................................ 95 13 Fluktuasi Kegiatan PKL Selama 12 Bulan Terakhir........................ 165 14 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Menurut Tipologi
dalam Bokspot..................................................................................
190 15 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Sayur
Malam dan Pasar Tumpah dalam Bentuk Bokspot.........................
191 16 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar
Tumpah dan Pasar Kuliner dalam Bentuk Bokspot.......................
192 17 Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) Antara Pasar Kuliner
dan Pasar Sayur Malam dalam Bentuk Bokspot..............................
193 18 Pembongkaran Kios PKL Semi Permanen di Pomad Oleh Satpol
PP.....................................................................................................
221 19 Peta Usulan Lokasi PKL di Terminal Baru..................................... 240
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Analisis Regresi untuk Semua Tipologi.................................... 257 2 Hasil Analisis Regresi untuk Setiap Tipologi PKL............................ 259 3 Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal dan Eksternal....... 264 4 Kuisioner untuk Pelaku PKL.............................................................. 266 5 Kuisioner Persepsi Pemasok terhadap PKL........................................ 272 6 Kuisioner Persepsi Pesaing terhadap PKL.......................................... 274 7 Kuisioner Persepsi Masyarakat terhadap PKL................................... 276 8 Kuisioner untuk AHP-SWOT............................................................. 278 9 Perda PKL di kota Bogor.................................................................... 291
10 Dokumentasi Aktifitas Penelitian ...................................................... 310
BAB I
PENDAHULUAN
Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menegakkan prinsip-prinsip kemuliaan, persamaan hak, dan keadilan manusia di tingkat global. Oleh karena itu sebagai pemimpin, kita mempunyai tugas untuk seluruh umat di dunia, terutama mereka yang paling lemah dan khususnya kepada anak-anak di dunia yang di pundak mereka masa depan berada (United Nations, 2000, dalam Todaro, 2006).
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi dan finansial di kawasan Asia pada pertengahan tahun 1997
telah mengakibatkan kehancuran banyak industri skala besar dan skala kecil-
menengah di Indonesia. Menurut Rachmanu (2004), terdapat dua hipotesis
mengenai terjadinya krisis ekonomi - finansial di Indonesia tersebut. Pertama,
penyebabnya adalah rusaknya dasar-dasar ekonomi, bukan hanya parameter
ekonomi seperti inflasi, defisit anggaran pemerintah, dan neraca devisa berjalan
tetapi juga masalah kelembagaan seperti pergeseran kebijakan, belum optimalnya
perhatian pemerintah terhadap usaha swasta, dan terbatasnya aturan pasar yang
transparan. Kedua, argumentasi bahwa ekonomi Indonesia pada dasarnya
menyuarakan fundamentalnya. Fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
terlihat baik ternyata tidak dapat menahan laju krisis yang berkepanjangan. Krisis
tersebut muncul dari kepanikan investor internasional terhadap ketidak-stabilan
pasar modal internasional. Kondisi ini diperparah dengan berlanjutnya krisis
politik yang pada akhirnya membuat arah kebijakan pembangunan ekonomi
menjadi kabur dan tidak terfokus.
Tahun 2008/2009 kembali terjadi krisis, yaitu krisis Finansial Global. Krisis
ini bersumber dari krisis suprime mortgage di Amerika Serikat. Hal tersebut juga
berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia namun tidak separah krisis
finansial Asia dalam arti cakupan dan dimensinya lebih terbatas dan lebih cepat.
Usaha ekonomi produktif yang selama ini dijalankan sektor informal,
ternyata telah menyelamatkan perekonomian selama krisis dan bertindak sebagai
"katup pengaman'' perekonomian Indonesia (Sumodiningrat, 2004). Kemampuan
2
tersebut dikarenakan umumnya sektor informal memiliki fleksibilitas usaha yang
tinggi dan jaminan keamanan terhadap permodalan dimana modal usaha lebih
banyak bersumber pada modal sendiri dan bersifat lokal.
Ekonomi informal sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat cepat di
negara-negara berkembang dan mulai banyak menarik perhatian akademisi,
peneliti, aktivitis pembangunan sosial, dan perencana kebijakan. Umumnya
diyakini bahwa pertumbuhan sektor ini dipicu oleh meningkatnya pengangguran
di negara-negara berkembang. Angka pengangguran terbuka di Indonesia per
Agustus 2008 mencapai 9.39 juta jiwa atau 8.39 % dari total angkatan kerja.
Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9.43 juta
jiwa (8.46 %). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal masih
mendominasi angkatan kerja nasional. Survei menunjukkan per Agustus 2008
terdapat 71.35 juta jiwa pekerja yang bekerja di sektor informal, dari total 102.55
juta jiwa angkatan kerja (Tempo, 2009).
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan TNP2K menyatakan bahwa per Februari 2009 dari
104,49 juta orang yang bekerja, status pekerjaan utama yang terbanyak adalah
sebagai buruh/karyawan sebesar 27.67 % atau 28.91 juta orang, berusaha dibantu
buruh tidak tetap sebesar 21.64 juta orang (20.71 %), dan berusaha sendiri
sejumlah 20.81 juta orang (19.92 %), sedangkan yang terkecil adalah berusaha
dibantu buruh tetap sebesar 2.97 juta orang (2.84 %). Jika dibanding keadaan
setahun yang lalu, struktur pekerja menurut status pekerjaan relatif stabil namun
ada kecenderungan peningkatan pada kelompok kegiatan informal, khususnya
pada status berusaha sendiri dan pekerja keluarga.
Menurut ILO (2004), terbatasnya lapangan kerja sektor formal dan
terbatasnya skill pada sisi angkatan kerja menyebabkan pertumbuhan substansial
pada sektor informal dimana sebagian pekerjanya dicirikan dengan pendapatan
yang rendah dalam kondisi kerja yang buruk dan tidak teregulasi. Sektor informal
adalah aktivitas skala kecil yang tidak diakui, tidak tercatat, dan tidak teregulasi
yang mencakup usaha kecil, usaha rumah tangga, sektor wiraswasta kecil seperti
pedagang kaki lima (selanjutnya disingkat PKL), penyemir sepatu, pengasong,
dan sebagainya.
3
Tabel 1. Pekerja Menurut Status Pekerjaan, 2007-2009 (dalam juta orang)
Status Pekerjaan Utama 2007 2008 2009
Agustus Pebruari Agustus Pebruari
Berusaha sendiri 20.32 20.08 20.92 20.81
Berusaha dibantu buruh tidak tetap 21.02 21.60 21.77 21.64
Berusaha dibantu buruh tetap 2.88 2.98 3.02 2.97
Buruh/karyawan 28.04 28.52 28.18 28.91
Pekerja bebas di pertanian 5.92 6.13 5.99 6.35
Pekerja bebas di non pertanian 4.46 4.80 5.29 5.15
Pekerja keluarga 17.28 17.94 17.38 18.66
Total 99.93 102.55 102.55 104.49
Sumber : http://tnp2k.wapresri.go.id/data/ketenagakerjaan-indnesia.html
Dicirikan dengan aktivitas produksi dan jasa skala kecil, sektor informal tidak
dimasukkan dalam aktivitas ekonomi terorganisasi. Sebagian besar pekerja yang
masuk ke dalam sektor ini adalah kaum migran dan motivasinya adalah
memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk bertahan hidup, menggantungkan
pada sumberdaya yang dimilikinya untuk menciptakan pekerjaan (Singh, 2000).
Mereka umumnya bekerja dalam jam kerja yang lama. Adalah sulit untuk
mengestimasi besaran total dari sektor informal dan di negara-negara miskin,
diperkirakan bahwa 50 % angkatan kerja menjalankan ekonomi informal
(Gottdiener and Budd, 2005).
Aspek-aspek tersebut sayangnya banyak diabaikan oleh otoritas kota karena
PKL dipandang sebagai aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti
kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL
tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus
mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang
mengatasnamakan penertiban atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran
yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima
pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak
4
berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka
dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak
buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi. Terbatasnya dukungan kebijakan
membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada
mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan
sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan
oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata
pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-
badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki.
Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan
pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang
sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan
masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini
menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi
dan estetika kota.
Adanya sektor informal dan formal di perkotaan menyebabkan munculnya
kondisi dualistik pada kota-kota di Indonesia karena adanya perbedaan aspek-
aspek kehidupan kota. Dualistik merupakan kondisi dimana terjadi pertemuan
antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Widjajanti, 2000). Pada aspek fisik
kota, dualistik tersebut terjadi pada pembauran pola dan struktur rancang kota,
seperti yang ditegaskan Sujarto dalam Widjajanti (2000), karakter dualistik
tercermin dalam pola dan struktur kota-kota di Indonesia. Perkembangan kondisi
dualistik harus diimbangi dengan kebijakan yang mengatur dan mengendalikan
perkembangan tersebut, sehingga diharapkan nantinya tidak terjadi penurunan
estetika kota.
Hal yang perlu mendapat perhatian utama bahwa sektor informal ternyata
tidaklah identik dengan kemiskinan, beberapa studi menunjukkan secara agregat
pendapatan pada sektor informal dapat diperbandingkan dengan sektor formal dan
bahkan lebih tinggi (Tinker, 1997; Suharto, 2003). Studi Suharto (2003)
menunjukkan rata-rata keuntungan per bulan PKL di Bandung adalah Rp 1 610
580,-. Penerimaan ini jelas lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan yang
5
dibuat oleh World Bank sebesar $1 per hari per kapita atau di atas upah minimum
regional untuk kota Jakarta sekalipun.
Jadi jelas bahwa sektor informal khususnya PKL memiliki kontribusi besar
terhadap perekonomian sehingga perlu didukung dan difasilitasi. Becker (2004)
mengatakan terdapat 13 aspek kunci dalam memandang sektor informal di
antaranya adalah perlunya pemerintah memperhatikan dan memfasilitasi sektor ini
serta perlunya perbaikan regulasi. Hanya saja selama ini para perencana/aparat
pemerintah kota memandang PKL sektor informal lebih sebagai faktor negatif
dalam pembangunan wilayah perkotaan. Pandangan negatif tersebut antara lain
PKL sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tata kota
(berjualan di tempat yang bukan peruntukannya, membuat lingkungan menjadi
kumuh, meninggalkan sampah, pekerja ilegal, dan lain-lain).
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Firnandy (2002)
merekomendasikan bahwa arah kebijakan pengembangan sektor informal
memerlukan intervensi langsung maupun tidak langsung dari pemerintah. Timbul
pertanyaan, apakah di level nasional atau di level pemerintah kota yang harus
lebih dalam melakukan intervensi. Seiring diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor
32 tahun 2004, Pemerintah Pusat telah melimpahkan kewenangan yang lebih
besar kepada Pemerintah Daerah untuk mengurusi rumah tangganya. Kewenangan
ini juga termasuk upaya penciptaan sistem governance yang baik dengan
keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota mempunyai peran yang
sangat penting dalam memperbaiki keseluruhan kondisi yang berkaitan dengan
keberadaan informal ekonomi perkotaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat
Soegijoko (1990) yang menyatakan pembangunan suatu wilayah bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang pada akhirnya
adalah peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, kota Bogor sebagai kawasan buffer
bagi DKI Jakarta (ibukota negara Indonesia) juga mengalami permasalahan
pengelolaan kota dengan tumbuh pesatnya PKL di kota ini. Seperti di kota
lainnya, pertumbuhan sektor ini di kota Bogor semakin mendapat momen setelah
terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Hasil pendataan oleh
6
Pemerintah Derah, pada tahun 1996 tercatat PKL di titik-titik pusat keramaian
berjumlah 2140 pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil
survei pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir
tiga kali lipat menjadi 6340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil
pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah
PKL meningkat lagi menjadi 10350 pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL,
dimana 82 % dari para pedagang tersebut berasal dari luar kota Bogor. Tahun
2004 terdapat 50 lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12000 PKL.
Dari database Pedagang Kaki Lima, Kota Bogor, (2005) ternyata
kebanyakan para PKL tersebut bukan penduduk asli kota Bogor. Menurut Wahyu
(2003), komposisi PKL adalah 41 % dari luar kota Bogor, 46.2 % dari Kabupaten
Bogor dan penduduk kota Bogor sendiri hanya 12.8% (Gambar 1). Jika dilihat
dari status kontinuitas usahanya, 46.2 % adalah temporer sedangkan yang
permanen sebanyak 53.8 % (Gambar 2).
Gambar 1. Asal Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor Sumber : Wahyu (2003).
7
Gambar 2. Status Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor Sumber : Wahyu (2003).
Dari catatan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor
Tahun 2005, dari 6239 pedagang yang tercatat, 5598 orang (89.73 %) di antaranya
adalah laki-laki dan perempuan sebanyak 641 orang (10.27 %), secara grafik
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jumlah PKL Kota Bogor Tahun 2005 berdasarkan Jenis Kelamin Sumber : Disperindagkop Kota Bogor (2005)
Berdasarkan asal modal usaha diperoleh data sebanyak 4879 orang
menggunakan modal sendiri sedangkan 1360 orang menggunakan modal
pinjaman, baik berupa uang ataupun barang (Gambar 4). Dari Gambar 4 diperoleh
Laki-laki, 5598
Perempuan, 641
Jenis Kelamin PKL
8
gambaran bahwa mayoritas PKL mampu berusaha dengan modal sendiri serta
mengelola sendiri keuangannya.
Studi yang dilakukan oleh Disperindagkop Kota Bogor (2005) menunjukkan
besaran omzet penjualan PKL di Kota Bogor. Hasil penelitiannya dapat dilihat
pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Omzet Penjualan Harian (dalam Rupiah)
Sumber : Disperindagkop Kota Bogor (2005)
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa omzet harian PKL di Kota Bogor cukup
besar dimana omzet harian mayoritas PKL (41.29 %) berkisar antara Rp 51 000,-
– Rp 100 000,-. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKL merupakan
potensi ekonomi yang menarik bagi masyarakat, karena omzet hariannya yang
cukup besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan UMR kota Bogor
tahun 2009 (Rp 893 412.00).
Mengenai waktu berjualan, Wahyu (2003) membagi menjadi 9 kategori yaitu
pagi, pagi sampai siang, pagi sampai malam, siang sampai sore, siang sampai
malam, siang sampai pagi, sore sampai malam, dan sore sampai pagi. Gambar 4
menunjukkan bahwa sebanyak 29.1 % PKL melakukan aktivitas dari pagi –
malam, yang kedua adalah sore – malam sebanyak 16.4 % serta sore – pagi
sebanyak 16.4 %. Sementara itu waktu pagi dan siang – pagi hanya
dimanfaatkan oleh 1.8 % pedagang untuk melakukan aktivitasnya. Dengan
demikian seharusnya Pemda dapat mengatur keberadaan PKL secara lebih tepat,
mengingat jadwal PKL beraktivitas telah diketahui.
No Omzet Penjualan Jumlah (orang) % 1 20 000 - 50 000 1 083 17.36 2 51 000 - 100 000 2 576 41.29 3 101 000 - 200 000 544 8.72 4 > 200 000 905 14.50 5 Tidak tahu /tidak tentu 1 131 18.13 Jumlah 6 239 100
9
Gambar 4. Waktu Berjualan PKL di Kota Bogor Sumber : Wahyu (2003)
Sebaran PKL mayoritas berada pada sepanjang jalan-jalan utama, dan lebih
terkonsentrasi di daerah yang berdekatan atau berada di pasar-pasar dan pusat
keramaian lainnya seperti stasiun kereta api dan terminal bis. Keberadaan ini
terkait dengan adanya peluang untuk melakukan aktivitas ekonominya secara
lebih menguntungkan. Sebaran terpadat berada di daerah Pasar Anyar, Jalan
Merdeka, Pasar Bogor, dan Jalan Sukasari. Bahkan untuk kawasan PKL Pasar
Anyar dan Jalan Merdeka, sudah sulit dipisahkan. Artinya, kedua kawasan
tersebut sudah beraglomerasi secara sempurna (Wahyu, 2003).
Fenomena pengesampingan penataan PKL dalam perencanaan kota juga
terlihat di Kota Bogor melalui penertiban PKL. Dalam penataan PKL sepertinya
Pemerintah Kota Bogor masih mengedepankan paradigma bahwa PKL adalah
faktor negatif dalam pembangunan wilayah perkotaan. PKL adalah penyebab
timbulnya kemacetan, ketidak-indahan kota, kumuh, dan sebagainya. PKL belum
dianggap sebagai salah satu kontributor dalam perekonomian kota Bogor sehingga
dalam prakteknya, penertiban yang dilakukan adalah penggusuran, bukan
pemberdayaan sehingga penataan PKL Kota Bogor masih belum memperlihatkan
hasil yang positif.. Bila dikelola dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL
justru dapat menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengah kota.
Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (Tamba dan
Sijabat, 2006).
10
Sisi positif dan negatif keberadaan PKL menyebabkan adanya kebutuhan
Pemerintah Kota Bogor untuk memahami peran sektor informal yaitu dalam
derajad apa PKL mampu menjadi mata pencaharian bagi penduduk miskin urban
dan bagaimana Pemerintah Kota menghadapi tantangan ini untuk pembangunan
perkotaan. Dengan demikian maka perlu dilakukan penelitian untuk menemukan
akar permasalahan dan alternatif solusi strategi penataan dan pemberdayaan PKL
dalam pemerataan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor.
1.2. Permasalahan
Persoalan sektor informal, dalam hal ini PKL, di kota Bogor selalu dilematis.
Di satu sisi, PKL berpotensi ekonomi dan sosial, sementara di sisi lain sebagai
penyebab menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Eskistensi potensi
ekonomi sudah terbukti selama periode krisis dimana PKL dipandang sebagai
sebuah alternatif lapangan kerja ketika pemerintah tidak mampu membuka
lapangan kerja yang mencukupi bagi warganya. Inilah yang menyebabkan PKL
tumbuh subur di kawasan perkotaan, termasuk di kota Bogor.
Di sisi lain, Pemerintah Kota kurang mengantisipasi dalam mengatasi
perkembangan sektor informal ini melalui ketersediaan lokasi yang mencukupi
sehingga PKL menyebar di kawasan strategis perkotaan seperti kawasan
perdagangan, perkantoran, wisata, pemukiman, dan fasilitas-fasilitas umum
lainnya. Ketidakteraturan lokasi yang disebabkan bentuk fisik aktivitas usaha
yang beragam menjadikan visual kota yang telah direncanakan dan dibangun
dengan baik, terkesan kumuh dan tidak teratur sehingga menurunkan citra suatu
kawasan. Inilah yang menyebabkan aktivitas PKL di kota Bogor dipandang
menurunkan kualitas lingkungan perkotaan.
Beragam program telah dilakukan Pemerintah Kota Bogor dalam mencari
alternatif pemecahan masalah PKL, antara lain dengan menggusur, merelokasi
dan menata aktivitas PKL. Faktanya, setelah program penertiban yang terkadang
disertai bentrok fisik antara aparat Pemerintah Kota dengan pedagang, PKL
kembali beroperasi di lokasi semula dengan jumlah lebih besar.
Kembalinya PKL ke tempat yang telah digusur atau yang telah ditertibkan,
menjadi suatu hal yang menarik. Ada beberapa alasan mengapa PKL bertahan di
11
lokasi semula atau kembali ke lokasi yang dilarang Pemerintah Kota, di antaranya
adalah karena banyak pembeli, yang identik dengan suatu kerumunan masyarakat
dalam jumlah besar secara terus menerus. Kerumunan masyarakat tersebut dapat
diidentikkan dengan sebuah pasar atau adanya pusat pembelanjaan, sehingga
relokasi yang dilakukan akan berhadapan dengan ada atau tidaknya kerumunan
orang seperti yang telah diuraikan. Ketika relokasi dijalankan dan ternyata PKL
dirugikan, maka mereka akan kembali ke lokasi semula.
Selain itu di lapangan terlihat bahwa walaupun telah ada penertiban atau
penggusuran tetapi jumlah PKL di Kota Bogor tidak menurun. Kondisi ini
menuntut adanya penataan ulang dan penanganan masalah PKL secara
komprehensif, mencakup karakterisasi dan dapat menangkap permasalahan umum
PKL di kota Bogor. Kajian tersebut juga harus dapat mengetahui peranan PKL
dalam pembangunan kota Bogor melalui strategi penataan dna pemberdayaan
yang tepat, juga harus menganalisis kebijakan yang ada di kota Bogor.
Dari uraian di atas, terdapat beberapa rumusan pertanyaan penelitian, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik dan permasalahan umum PKL di kota Bogor?
2. Seberapa besar kontribusi PKL terhadap pembangunan ekonomi wilayah
kota Bogor?
3. Sejauh mana keberhasilan kebijakan Pemerintah Kota Bogor dalam menata
PKL?
4. Bagaimana strategi penataan dan pemberdayaan PKL dalam kaitannya
dengan pembangunan ekonomi wilayah di kota Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis latar belakang dan karakteristik umum PKL serta faktor-faktor
yang mempengaruhi pendapatan PKL berdasarkan tipologinya.
2. Menganalisis sejauh mana kontribusi atau peranan PKL di kota Bogor
terhadap pembangunan ekonomi wilayah kota Bogor.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis keberhasilan dari kebijakan Pemerintah
Kota Bogor dalam menata dan memberdayakan PKL.
12
4. Merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL yang lebih
menguntungkan semua pihak sehingga dapat bermanfaat bagi pembangunan
ekonomi wilayah kota Bogor.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berharga bagi
Pemerintah Kota Bogor dalam menjalankan kebijakan pembangunan wilayahnya,
khususnya dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Analisis deskriftif terhadap
PKL diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi riil PKL Kota
Bogor di tengah ketidak-konsistenan data yang tersedia. Melalui metode SWOT
kuantitatif (A’WOT) diharapkan strategi yang dirumuskan lebih berbobot dan
dapat membantu penanganan PKL secara lebih tepat yang dapat berkontribusi
bagi pembangunan kota Bogor.
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup yang dikaji adalah PKL di kota Bogor. Sehubungan dengan
terbatasnya dana dan waktu, maka kajian dalam penelitian ini dibatasi pada tiga
tipologi PKL dan pengambilan sampelnya dilakukan di beberapa lokasi yang
benar-benar padat oleh PKL. Tipologi PKL yang dikaji mencakup Pasar Tumpah,
Pasar Sayur Malam, dan Pasar Kuliner.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pembangunaan dan Ekonomi
2.1.1. Pembangunan Ekonomi
Terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian dari pembangunan ekonomi
khususnya di negara-negara berkembang yaitu bagaimana pembangunan ekonomi
suatu negara mampu menurunkan angka kemiskinan dalam jangka pendek, serta
memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini
sejalan dengan pandangan Hayami (2001) bahwa tugas utama ekonomi
pembangunan adalah mengeksplorasi kemungkinan pengentasan kemiskinan bagi
negara-negara berkembang. Tujuan utama ekonomi pembangunan adalah
mendapatkan jawaban dari pertanyaan bagaimana ekonomi negara-negara
berpendapatan rendah saat ini dapat diletakkan pada jalur pembangunan ekonomi
berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka pendek dalam mengentaskan
kemiskinan dan tujuan jangka panjang mencapai kesejahteraan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan ekonomi pembangunan tersebut terdapat nilai-nilai
pokok dan tujuan dari sebuah pembangunan ekonomi. Tiga nilai inti
pembangunan tersebut adalah :
- Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
- Harga diri menjadi manusia seutuhnya.
- Kebebasan sikap dari menghamba.
Menurut Todaro dan Smith (2006), pembangunan memiliki tiga tujuan utama
yaitu :
- Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan
hidup yang pokok.
- Peningkatan standar hidup.
- Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial.
Berawal dari serangkaian pertanyaan mendasar yang diajukan Prof. Dudley
Seers mengenai makna pembangunan, Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai “Kemampuan suatu negara untuk mengatasi
14
masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran, dan perubahan-
perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan”.
Jika suatu negara telah mampu mengatasi masalah-masalah kemiskinan
penduduk, tingkat pengangguran dan perubahan-perubahan yang berarti atas
penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan maka negara tersebut telah
melakukan pembangunan. Jika salah satu dari ketiga masalah mendasar tersebut
menjadi semakin buruk maka negara tersebut tidak bisa dikatakan melakukan
pembangunan yang positif meskipun pendapatan perkapitanya mengalami
peningkatan. Jadi pada intinya keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya
dengan mengukur atau melihat besarnya pendapatan nasional ataupun pendapatan
per kapita saja, tetapi termasuk juga di dalamnya pemerataan disitribusi
pendapatan di masyarakat.
2.1.2. Ekonomi Wilayah
Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kondisi suatu negara atau
wilayah yang sangat mungkin berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan
kebijakan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah harus berbeda-beda
karena karakteristik spasial yang berbeda.
Ilmu ekonomi wilayah membahas atau menganalisis kegiatan ekonomi suatu
wilayah (atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah
dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang
dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah (Tarigan, 2005)
Teori regional adalah penjelasan tentang perilaku ekonomi di dalam ruang
atau spasi, ekonomi regional adalah studi tentang perilaku ekonomi masyarakat
dalam ruang di dalam suatu pengaturan spasial mengenai proses dan struktur
ekonomi sebagai sub sistem dari perekonomian suatu negara (Adisasmita 2005).
Berdasarkan pendapat Tarigan dan Adisasmita di atas dapat disimpulkan
bahwa ekonomi wilayah sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah
kemiskinan dan ketimpangan, tidak dapat berdiri sendiri atau terlepas dari
perilaku ekonomi dalam ruang maupun spasialnya dan kaitan antar wilayah
dengan sistem ekonomi di atasnya (ekonomi nasional).
15
2.1.3. Pembangunan Ekonomi Wilayah
Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik
dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan
berbagai altenatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling
humanistik. Secara konseptual pembangunan adalah suatu proses perbaikan yang
berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan
menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dan pembangunan adalah
mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada atau belum
dilakukan sebelumnya (Rustiadi et al, 2009).
Menurut Todaro (2006), pembangunan harus memenuhi tiga komponen
dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam
memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan memenuhi
kebutuhan pokok (subsistence), meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-
esteem) dan kebebasan (freedom) untuk memilih.
Todaro (2006) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai
suatu proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas
struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusional, di samping tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan
serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya pembangunan harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial
secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan
individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk
bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara
material maupun spiritual.
Menurut Anwar (2001), perubahan total di atas secara incremental maupun
paradigma adalah mengarahkan pembangunan kepada terjadinya pemerataan
(equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan berkelanjutan
(sustainability). Tanpa terjadinya pemerataan, efisiensi dan berkelanjutan maka
pembangunan tersebut dapat menjadi bumerang bagi suatu wilayah.
Di sisi lain, Jhingan (1983) menyatakan bahwa kemiskinan di suatu tempat
merupakan bahaya bagi kemakmuran. Ketimpangan pendapatan yang terlalu jauh
yang memungkinkan terjadi kemiskinan pada suatu wilayah dapat berkembang
16
pada pemiskinan wilayah-wilayah sekitarnya, yang ditandai dengan urbanisasi dan
migrasi penduduk ke suatu wilayah secara terus-menerus dalam jumlah yang
tidak terkendali, yang pada akhirnya menimbulkan kekumuhan dan kemiskinan di
wilayah baru tersebut. Menurut Meier dan Baldwin dalam Jhingan (1983),
pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan terasa lebih mendesak
dari pada pengkajian kemakmurannya.
Prof. G. Myrdal dalam bukunya “Economic Theory and Underdevelopment
Region“ mengatakan bahwa negara terbelakang seyogyanya tidak menerima tanpa
kritik teori-teori ekonomi yang telah diwariskan, tetapi menyaring dan
mencocokkan dengan kepentingan dan permasalahan sendiri, karena jika teori-
teori tersebut hendak diterapkan tanpa kehati-hatian pada masalah yang dihadapi
maka ia akan celaka (Jhingan, 1983).
Perlu menjadi perhatian serius bagi para pembuat kebijakan ekonomi adalah
apa yang dikatakan Yujiro Hayami dalam bukunya “Development Economics
From The Poverty to The Wealth of Nation”, bahwa 16 % penduduk dunia ini
mendapatkan 80 % dari pendapatan dunia. Sebaliknya, 3.2 milyar penduduk atau
hampir 60 % dari populasi dunia, di negara-negara berpendapatan per kapita di
bawah $700 mendapatkan 5 % dari pendapatan dunia. Dengan demikian
pelepasan diri dari kemiskinan melalui pembangunan ekonomi harus menjadi
tujuan nasional bagi negara-negara berpendapatan rendah (Hayami, 2001).
Namun demikian, pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang
bukan hanya diinginkan dalam konteks kemanusiaan tetapi juga diperlukan bagi
negara-negara maju dimana kedamaian dan kesejahteraan sangat penting untuk
menjaga stabilitas internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan
pemahaman mengenai struktur dan mekanisme ekonomi pendapatan rendah
(Hayami, 2001).
2.2. Teori-Teori Lokasi
Teori lokasi adalah ilmu yang mengkaji tata ruang (spatial order) kegiatan
ekonomi atau alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka serta
hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha
baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2005). Walaupun teori yang menyangkut
17
pola lokasi tidak banyak berkembang tetapi sudah dirintis oleh beberapa peneliti
sejak awal abad 19.
Analisis lokasional ini pada awalnya merupakan pertanyaan inti dari ilmu
ekonomi wilayah. Analisis yang dikembangkan oleh von Thunen, Weber, Losch
dan Christaller di abad 19 dan awal abad 20 pada dasarnya mencari jawaban-
jawaban tentang dimana dan mengapa aktivitas ekonomi memilih lokasi (Rustiadi
et al, 2009)
Pada awalnya (hingga tahun 1950-an) teori lokasi hanya didominasi oleh
pendekatan-pendekatan geografis-lokasional atau teori lokasi klasik (von Thunen,
Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch dan lain-lain). Sejak tahun 1950-an,
teori lokasi berkembang dengan analogi-analogi ilmu ekonomi umum dan
diperkaya analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi, khususnya
ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya
ilmu kewilayahan (regional science). Sejak akhir tahun 1980-an mulai tumbuh
pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif yang mempertimbangkan aspek-
aspek spasial, khususnya dengan dimasukkannya pertimbangan autokeralasi
spasial dan heterogenitas spasial. Pada tahap-tahap modern, model-model spatio
temporal semakin dikembangkan, khususnya dengan berkembangnya metode-
metode statistika spasial, ekonometrika spasial dan Sistem Informasi Geografis,
(Rustiadi et al, 2009).
2.2.1. Teori Pola Produksi Pertanian Von Thunen
Perkembangan teori lokasi klasik diawali dengan analisis lokasi areal
pertanian oleh Johann Heinrich von Thunen, seorang ekonom Jerman, pada tahun
1826 dengan tulisannya berjudul Der Isolierte Staat (negara yang terisolasi).
Karya ini adalah tonggak penting konsep tata ruang wilayah. Asumsi yang
digunakan von Thunen adalah suatu negara terisolasi dengan kondisi iklim, tanah,
topografi dan alat transportasi yang seragam. Secara keseluruhan, buku tersebut
membahas masalah pertanian, ekonomi nasional, upah, suku bunga dan land rent.
Teori von Thunen menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi spasial
sehingga meskipun teorinya sudah lama tetapi tetap berguna sampai saat ini
(Rustiadi et al, 2009).
18
Dalam menyusun modelnya, von Thunen menggunakan asumsi-asumsi
sebagai berikut :
1. Pusat kota sebagai pusat pemasaran, lokasi di pusat suatu wilayah
homogen secara geografis. Bagian pusat adalah pusat pemukiman, pusat
industri yang sekaligus merupakan pusat pasar.
2. Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak
3. Petani secara rasional cenderung memilih jenis tanaman yang
menghasilkan keuntungan maksimal.
Dalam menganalisis modelnya, von Thunen menggambarkan suatu
kecenderungan pola ruang dengan bentuk wilayah yang melingkar seputar kota,
yang didasarkan pada economic rent dimana setiap tipe penggunaan lahan akan
menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda, sehingga modelnya
disusun berupa zone-zone konsentrik.
Konsep von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan
sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya
menentukan sewa ekonomi tanah (land rent). Kesimpulan penting yang dapat
diambil dari pengembangan teori von Thunen adalah : 1) Kecenderungan
semakin menurunnya keuntungan akibat makin jauhnya lokasi produksi dari
pasar, namun terdapat perbedaan laju penurunan antar komoditas dan 2) Jumlah
pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun dengan bertambahnya
jarak ke kota atau pusat kota.
Rustiadi et al (2009) menyatakan bahwa konsep land rent yang dikembangkan
von Thunen untuk aplikasi landuse perkotaan menghadapi sejumlah kendala
karena : 1) Penggunaan lahan perkotaan terbesar untuk sektor perumahan, bukan
untuk aktivitas produksi; 2) Kota mempunyai struktur sangat kompleks, tidak
hanya berdimensi horisontal tetapi juga vertikal sehingga landuse perkotaan juga
bercampur baur dan 3) Masih ada kota-kota besar yang mempunyai aksesibilitas
tunggal terhadap pasar. Oleh karenanya di kota tidak ditemukan pola konsentris
yang rapi, tidak seperti di lokasi pertanian.
19
2.2.2. Teori Lokasi Alfred Weber
Alfred Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den
Standort der Industrien pada tahun 1909. Jika Von Thunen menganalisis lokasi
kegiatan pertanian maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber
mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total
biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus
minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang
minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Dalam perumusan modelnya, asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Bidang bahasan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen,
konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat dan kondisi pasar adalah
persaingan sempurna.
2. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu-bata tersedia dimana-
mana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai.
3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara
sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi
berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Berdasarkan asumsi itu, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri,
yaitu : Biaya transportasi; Upah tenaga kerja; dan Dampak aglomerasi dan
Deaglomerasi.
Biaya transportasi dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor umum yang
secara fundamental menentukan pola lokasi dalam kerangka geografis. Dampak
aglomerasi atau deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh
menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai kegiatan dalam ruang. Biaya
transportasi merupakan faktor pertama dalam menentukan lokasi sedangkan kedua
faktor lainnya merupakan faktor yang memodifikasi lokasi. Biaya transportasi
bertambah secara proporsional dengan jarak. Jadi titik terendah biaya transportasi
adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan
distribusi hasil produksi.
20
Aglomerasi memberikan keuntungan antara lain berupa: fasilitas seperti
tenaga listrik, air, perbengkelan, pemondokan, dan lain-lain. Sering kali pada
lokasi seperti ini sudah terdapat pula tenaga kerja yang terlatih. Fasilitas ini akan
menurunkan biaya produksi atau kebutuhan modal karena kalau terpisah jauh
semua fasilitas harus dibangun sendiri.
Aglomerasi Versi Weber. Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa
perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus
industri. Aglomerasi juga bisa dibagi mencadi dua macam, yaitu aglomerasi
primer di mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan
perusahaan lama dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi
adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada
perusahaan yang lama. Beberapa sebab yang memicu terjadinya aglomerasi : 1)
Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian
yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut; 2) Suatu perusahaan menjadi
daya tarik bagi perusahaan lain; 3) Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil
menjadi besar, sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang
perusahaan yang membesar tersebut; 4) Perpindahan suatu kegiatan produksi dari
satu tempat ke beberapa tempat lain; 5) Perusahaan lain mendekati sumber bahan
untuk aktifitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk
saling menunjang satu sama lain.
Deglomerasi. Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk
memilih lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain.
Beberapa sebab yang memicu terjadinya deglomerasi: 1) Harga buruh yang
semakin meningkat di daerah padat industri; 2) Penyempitan luas tanah yang
dapat digunakan karena sudah banyak dipakai untuk perumahan dan kantor
pemerintah; 3) Harga tanah yang semakin tinggi di daerah yang telah padat; 4)
Sarana dan prasarana di daerah lain semakin baik namun harga tanah dan upah
buruh masih rendah.
2.2.3. Teori Lokasi August Losch
Berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi produksi, Losch
melihat persoalan dari sisi permintaan pasar. Losch mengatakan bahwa lokasi
penjual berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat dijaringnya. Makin
21
jauh dari pasar, konsumen enggan membeli karena biaya transportasi (semakin
jauh tempat penjualan) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang
menghasilkan penjualan terbesar.
Losch menyarankan lokasi produksi ditempatkan di dekat pasar (Centre
Business District). Kontribusi utama Losch adalah memperkenalkan potensi
permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam lokasi industri, Kedua, kritik
terhadap pendahulunya yang selalu berorientasi pada biaya terkecil; padahal yang
biasanya dilakukan oleh industri adalah memaksimalkan keuntungan (profit–
revenue maximation) dengan berbagai asumsi, Losch mengemukakan bagaimana
economic landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara
supply dan demand.
August Losch merupakan orang pertama yang mengembangkan teori lokasi
dengan segi permintaan sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk
menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial
antar lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tak
teratur dapat diketemukan pola keberaturan. Teori Losch berasumsi suatu daerah
yang homogen dengan distribusi sumber bahan mentah dan sarana angkutan yang
merata serta selera konsumen yang sama. Kegiatan ekonomi yang terdapat di
daerah tersebut merupakan pertanian berskala kecil yang pada dasarnya ditujukan
bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-masing. Perdagangan baru terjadi bila
terdapat kelebihan produksi. Untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang
Losch harus memenuhi beberapa syarat sebaai berikut : 1) Setiap lokasi industri
harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli;
2) Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata
sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani; 3) Terdapat free entry dan
tak ada petani yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada
rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di
daerah tersebut; 4) Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan
petani yang ada untuk mencapai besar optimum dan 5) Konsumen bersikap
indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk
membeli adalah harga yang rendah. Pada teori Losch, wilayah pasar bisa berubah
ketika terjadi inflasi (perubahan) harga. Hal ini disebabkan karena produsen tidak
22
mampu memenuhi permintaan yang karena jaraknya jauh akan mengakibatkan
biaya transportasi naik sehingga harga jualnya juga naik, karena tingginya harga
jual maka pembelian makin berkurang. Hal ini mendorong petani lain melakukan
proses produksi yang sama untuk melayani permintaan yang belum terpenuhi.
Dengan makin banyaknya petani yang menawarkan produk yang sama, maka akan
terjadi dua keadaan : 1) Seluruh daerah akan terlayani; 2) Persaingan antar petani
penjual akan semakin tajam dan saling berebut pembeli. Losch berpendapat
bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil
dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini
dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat
dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan
produksi yang bersangkutan. Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch
berasumsi bahwa harga hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh
karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan
harga jualnya. Keputusan ini mengakibatkan tidak hanya pasar menyempit karena
konsumen tak mampu membeli tapi sebagian pasar akan hilang dan direbut oleh
penjual yang berdekatan. Untuk memperluas jangkauan pasar dapat dilakukan
dengan menjual barang yang berbeda jenis dari yang sudah ditawarkan.
2.2.4 Teori Lokasi Industri Christaller
Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern
Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan
dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model
Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang diterapkan
secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem
K=3 dari Christaller (Tarigan, 2005).
Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak
dengan ciri berikut:
1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama.
2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).
3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada
seluruh wilayah.
23
4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau
biaya.
Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk
pada wilayah asumsi. Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah
pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah pemasaran minimal disebut
thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam ruang
threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan
gulung tikar dan kemudian muncul pengusaha baru.
Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal
sebagai berikut:
1. Mula-mula terbentuk areal perdagangan satu komoditas berupa lingkaran-
lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold
dari komoditas tersebut.
2. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas
tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
3. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan
sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan
yang tidak lagi tumpang tindih.
4. Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-
sendiri. Dengan menggunakan k=3, barang orde I lebar heksagonalnya
adalah 3 kali heksagonal barang orde II. Barang orde II lebar heksagonalnya
adalah 3 kali heksagonal barang orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal
memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal
tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi
antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang-tindih.
Berdasarkan model k=3, pusat dari hierarki yang lebih rendah berada pada sudut
dari hierarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada
pengaruh dari tiga hierarki yang lebih tinggi darinya.
Christaller menyatakan bahwa produsen berbagai jenis barang untuk orde
yang sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya dan hal ini
mendorong terciptannya kota.
24
Uraian tentang range dan thereshold dapat menjelaskan mengapa terjadi
konsentrasi dari berbagai jenis usaha pada satu lokasi tetapi konsep itu tidak dapat
menjelaskan mengapa dipasar juga ada kecenderungan bahwa pedagang dari
komoditas sejenis juga memilih untuk berlokasi secara berkonsentrasi atau
berdekatan. Konsep tidak memungkinkan produsen atau pedagang sejenis berada
berdekatan karena pada satu ruang threshold hanya boleh ada satu produsen atau
pedagang.
Apabila berdekatan harus ada yang gulung tikar dan yang tersisa hanya
satu produsen atau pedagang. Jadi kemungkinan penyelesaiannya adalah hanya
mungkin lewat penelaahan sikap manusia. Adalah menjadi sifat manusia untuk
berusaha mendapatkan barang yang diinginkan dalam batas waktu tertentu
dengan harga yang semurah mungkin. Apabila pembeli hanya berhadapan
dengan seorang penjual, harga yang ditawarkan penjual menjadi tidak jelas bagi
pembeli, apakah harga itu adalah harga terendah yang dapat dia peroleh atau
tidak. Dengan berkumpulnya banyak penjual barang sejenis pada lokasi yang
sama, pembeli mendapat kesempatan untuk membandingkan harga di antara para
penjual dan akan membeli pada penjual yang menawarkan harga terendah
(pembeli butuh informasi untuk membuat keputusan). Hal ini membuat lokasi
yang memiliki banyak penjual barang sejenis, lebih memiliki daya tarik bagi
pembeli ketimbang lokasi yang hanya memiliki sedikit penjual.
2.3. Sektor Informal
Seringkali sektor ekonomi dibagi menjadi sektor formal dan informal.
Pembagian ini lebih didasarkan pada kaitannya dengan perijinan dan regulasi dari
pemerintah setempat. Dikatakan sektor formal bila sektor ekonomi terdaftar pada
pemerintah dan informal jika tidak terdaftar. Dikotomi ini menghasilkan implikasi
kebijakan yang berbeda pada pemerintah lokal dan nasional. Bukti empiris
menunjukkan bahwa justru sektor informal yang mampu menjadi katup
penyelamat ekonomi nasional selama krisis.
Pembahasan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sektor
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Usaha dalam skala ini berkembang
pesat khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena
keterbatasan lapangan kerja di sektor formal.
25
2.3.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM), usaha mikro adalah usaha ekonomi produktif
milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria
usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha kecil adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan
atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun
tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha menengah
adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Menurut Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, usaha yang
diklasifikasikan sebagai usaha kecil adalah yang memenuhi kriteria: (a) memiliki
aset kurang dari atau sama dengan Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan, (b)
omzet tahunan kurang dari atau sama dengan Rp 1 milyar, (c) dimiliki oleh orang
Indonesia, (d) independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar dan (e)
boleh berbadan hukum, boleh tidak. Badan Pusat Statistik (BPS) lebih
menspesifikkan jenis usaha dengan membaginya menjadi usaha mikro, usaha
kecil dan usaha menengah berdasarkan jumlah pekerjanya. Usaha mikro adalah
usaha dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang termasuk tenaga keluarga yang
tidak dibayar. Usaha kecil adalah usaha dengan jumlah pekerja 5-19 orang.
Berdasarkan aset usahanya, kriteria usaha kecil adalah yang memiliki nilai
kekayaan (aset) bersih di bawah Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan usaha
atau di bawah penjualan (omzet) maksimal Rp 1 milyar. Di atas kriteria itu adalah
usaha menengah. Dewasa ini tercatat ada 2.9 juta unit UMKM yang mampu
menyerap tenaga kerja sebesar 66.83 juta atau 89 % angkatan kerja dan
memberikan kontribusi berarti (39.8 %) bagi produk domestik bruto (PDB)
nasional.
26
Definisi dan kriteria industri kecil dari berbagai departemen disajikan pada
Tabel 3. Namun demikian, para ahli ekonomi dan pembangunan di Indonesia
seringkali men-generalisasikan industri rumah tangga sebagai sektor usaha kecil
menengah (UKM).
Tabel 3. Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen
Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria Menneg Koperasi & PKM
Usaha Kecil (UU No. 9/1995)
Aset ≤ Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan • Omzet tahunan Rp 1 milyar
Usaha Menengah (Inpres 10/1999)
Aset antara Rp 200 juta - Rp 10 milyar
Bank Indonesia
Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl. 5 Mei 1998)
Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. • Dimiliki oleh keluarga, sumber daya
lokal dan teknologi sederhana • Lapangan usaha mudah untuk exit dan
entry Usaha Kecil (UU No. 9/1995)
Aset ≤ Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan • Omzet tahunan ≤ Rp 1 milyar
Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl. 5 Januari 1997)
Aset ≤ Rp 5 milyar untuk sektor industri • Aset ≤ Rp 600 juta di luar tanah dan
bangunan untuk sektor non industri manufakturing
• Omzet tahunan < Rp 3 milyar Bank Dunia Usaha Mikro Kecil-
Menengah Pekerja < 20 orang • Pekerja 20-150 orang • Aset ≤ US$ 500 ribu di luar tanah dan
bangunan Sumber : Ayub (2004)
Realitas membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi, sektor UKM
mampu bertahan bahkan menjadi penyelamat perekonomian nasional. UKM yang
saat ini jumlahnya diperkirakan 40,19 juta unit usaha memberi kontribusi yang
sangat signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2001
diperkirakan UKM memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 54,74 % (Karyadi
2004). Dewasa ini tercatat ada 2,9 juta unit UKM yang mampu menyerap tenaga
kerja sebesar 66,83 juta atau 89 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi
berarti (39,8 %) bagi PDB nasional (Bisnis.com 2004). Dalam konteks pengembangan masyarakat, industri ini sangat berperan
dalam mengembangkan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui beberapa cara
yaitu : (1) Keterlibatan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja berarti menjamin
27
keberlangsungan pendapatannya, (2) Adanya transfer pengetahuan baru bagi
masyarakat, baik ilmu produksi, organisasi, manajemen maupun pemasaran, dapat
diartikan sebagai pengembangan sumber daya manusia dan (3) Keterlibatan
institusi-institusi pembangunan menjamin adanya transfer pengetahuan yang lebih
luas bagi masyarakat lokal dan menjamin adanya proses pembelajaran
masyarakat.
2.3.2. Usaha Produktif
Seringkali terjadi salah kaprah di kalangan birokrat tingkat pemerintahan
daerah dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan usaha produktif, sehingga
terdapat beberapa sektor usaha yang seolah-olah tidak merupakan usaha produktif.
Hal ini mengakibatkan sektor tersebut seringkali agak terpinggirkan dalam
konteks pembangunan ekonomi. Oleh karenanya maka untuk menyamakan
persepsi, terlebih dahulu perlu melihat pengertian dari produksi itu sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan produksi dalam ekonomi merupakan kegiatan
manusia untuk menciptakan dan menambah nilai atau kegunaan suatu barang atau
jasa dengan cara mengubah bentuk ataupun tidak (Assauri, 1999). Kegunaan
dibedakan atas dasar bentuk, tempat, waktu dan pemilikan, sehingga usaha
perdagangan barang dan jasa pun merupakan usaha yang produktif.
2.3.3. Pengertian dan Definisi Sektor Informal
Tinjauan mengenai sektor informal diawali dari dikotomi pemahaman antara
ekonomi informal versus ekonomi formal (economy) yang telah banyak
mendapatkan kritikan. Hal ini terutama disebabkan karena adanya kesulitan
dalam membuat batasan yang jelas antar kedua tipe ekonomi ini.
“Sektor informal” bukanlah benar-benar suatu 'sektor' seperti yang lazimnya
dipahami dalam konteks formal (seperti sektor pertanian, finansial, manufakturing
dan sebagainya), bahkan aktivitas informal terdapat pada beberapa sektor
ekonomi. Oleh karenanya, istilah “ekonomi informal” semakin banyak digunakan
dibandingkan istilah sektor informal.
Lemahnya batasan yang jelas antar ekonomi formal dan informal terjadi
karena beberapa kriteria atau kondisi yang digunakan untuk membedakan apakah
suatu aktivitas ekonomi dipandang sebagai formal atau informal. Di antara kriteria
ini adalah status administratif dari aktivitas ekonomi (terdaftar atau tidak,
28
teregulasi atau tidak), status legal (legal-ilegal), penerimaan melalui norma-norma
bersama, kepermanenannya (permanen atau tidak permanen, memiliki domisili
yang tetap atau tidak), status membayar pajak (pembayar pajak-bukan pembayar
pajak), komprehensivitas organisasi (terstruktur-tidak terstruktur) dan beberapa
kondisi lainnya (URDI, ILO 2005).
Konsep “sektor informal“ diperkenalkan oleh Keith Hart, ahli ekonomi dari
Inggris yang melakukan penelitian tentang kegiatan ekonomi di daerah perkotaan
Ghana (Nurul 2009). ILO membedakan sektor informal dengan sektor formal
dilihat dari sisi apa yang ada di kedua sektor tersebut. Istilah ini mengacu pada
kegiatan-kegiatan ekonomi berskala kecil dan tidak terdaftar (ILO, 2002 dalam
Nurul, 2009). Istilah “ekonomi informal” kemudian diperkenalkan sebagai istilah
baru yang mengikutsertakan tipe-tipe kesempatan kerja informal yang tidak
tercakup dalam definisi statistik ”sektor informal”. Istilah baru ini mencakup, baik
unit usaha maupun hubungan kerja (ILO, 2002 dalam Nurul, 2009).
Dalam konteks yang berbeda dan menggunakan perspektif yang berbeda,
sektor informal dikenal dengan beberapa nama. Sektor ini sering disebut sebagai
ekonomi informal, ekonomi tidak teregulasi, sektor tidak terorganisasi atau
lapangan kerja tidak teramati. Tipikal sektor ini menunjukkan unit ekonomi dan
pekerja yang terlibat dalam beragam aktivitas komersil dan pekerjaan di luar
realisme pekerjaan formal (Williams dan Windebank, 1998 dalam Suharto, 2003).
Di sebagian negara-negara maju dan berkembang aktivitas sektor informal
tidak dimasukkan ke dalam statistika lapangan kerja nasional (Suharto, 2003).
Dalam upaya membawa sektor ini untuk mendapat perhatian nasional dan
menghilangkan ketakutan akan tingginya level pengangguran, sekarang sudah
umum di beberapa negara maju dan berkembang memasukkan sektor informal ke
dalam figur nasional (Fortes et al, 1989; Williams & Windebank, 1998).
Karena aktivitasnya yang sebagian besar tidak tercatat dan tidak terdaftar
dalam neraca pendapatan nasional, maka sektor ini tetap dianggap tidak penting
dan tidak tersentuh. Bahkan jika aktivitas ini terdaftar, dalam banyak hal sektor
informal tidak mengikuti regulasi perlindungan tenaga kerja, provisi jaminan
kerja, dan tindakan proteksi di tempat kerja (ILO, 1998; UNDP, 1997; Williams
& Windebank, 1998).
29
Ekonomi informal - dengan PKL sebagai wajah utamanya - dikenal dengan
beragam nama dan definisi. Ekonomi ini disebut sebagai irregular economy
(Ferman dan Ferman, 1973), subterranean economy (Gutmann, 1977),
underground economy (Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), black economy
(Dilnot & Morris, 1981), shadow economy (Frey, Weck & Pommerehen, 1982;
Cassel & Cichy, 1986) dan informal economy (McCrohan & Smith, 1986).
Beberapa media juga memberikan istilah beragam seperti invissible economy,
hidden economy, submerged economy, irregular economy, non official economy,
unrecorded economy atau clandestine economy (US Department of Labor, 1992).
Selain keberagaman definisi dan istilah ini, batas antara ekonomi formal dan
informal juga cenderung kabur. Kondisi ini terkait tiga hal. Pertama, karena
beberapa kriteria atau kondisi yang dapat digunakan untuk membedakan apakah
suatu aktivitas ekonomi dipandang sebagai formal atau informal. Kedua, beberapa
aktivitas ekonomi di negara berkembang menunjukkan kombinasi dari kondisi
tersebut. Misalnya, aktivitas ekonomi tertentu bisa jadi memiliki domisili yang
jelas, terdaftar pada salah satu badan pemerintah, dan secara teratur membayar
retribusi tertentu, membayar fee untuk layanan pemerintah tertentu namun masih
dipandang sebagai informal karena tidak adanya status legal. Ketiga, keterkaitan
yang kuat antara ekonomi informal dan formal. Beberapa aktivitas ekonomi
informal seperti industri rumah tangga kecil menyalurkan produknya ke kesatuan
bisnis formal, dengan atau tanpa kontrak formal. Beberapa pemilik properti
komersil formal “mengijinkan” penyedia makanan informal untuk berjualan di
propertinya agar dapat menyediakan makanan bagi pegawai atau konsumennya.
Juga ada PKL atau 'usaha kecil' yang 'dijalankan dari bawah' oleh bisnis yang dari
besaran ekonominya tidak dapat dipandang sebagai usaha kecil dan sebaiknya
dipandang menjadi entitas ekonomi formal.
Lee dan Eyraud (2007) yang mengkaji perubahan kondisi lapangan kerja di
Asia dan Pasifik menyimpulkan bahwa lapangan kerja di Asia semakin
“terinformalkan”. Di Indonesia sendiri, ekonomi informal tumbuh pesat selama
beberapa tahun terakhir seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
30
Tabel 4. Lapangan Kerja menurut Aktivitas Ekonomi di Indonesia
Ekonomi Tahun (dalam %) 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Formal 37.2 34.6 35.1 30.4 30.3 30.2 Informal 62.8 65.4 64.9 69.6 69.7 69.8
Sumber : Lee dan Eyraud (2007)
Data ini mengindikasikan bahwa dalam satu dekade terakhir, lapangan kerja
sektor formal menunjukkan tren semakin menurun, sedangkan lapangan kerja
informal menunjukkan tren semakin meningkat. Tren ini terjadi khususnya karena
kegagalan ekonomi formal dalam menyerap pengangguran dan yang belum
bekerja (termasuk meningkatnya angkatan kerja baru).
Uraian di atas menunjukkan bahwa sektor informal mencakup berbagai sektor
dalam perekonomian, seperti sektor informal di sektor pertanian, manufaktur,
perdagangan barang dan jasa, dan sebagainya sehingga penggunaan istilah sektor
informal dapat menimbulkan kerancuan dalam pengertiannya yang selanjutnya
berimplikasi pada penataan dan pemberdayaannya.
Demikian pula halnya jika untuk sektor informal digunakan istilah atau nama
ekonomi informal. Jika digunakan istilah atau nama ekonomi maka pengertiannya
akan sangat luas, padahal bukan itu maksud dari istilah sektor informal (Wiliams
& Windebanki, 1998; Suharto, 2003).
2.3.4. Pedagang Kaki Lima (PKL)
PKL merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan sektor informal
(Kuntjoro Jakti, 1986). PKL adalah pedagang kecil yang umumnya berperan
sebagai penyalur barang-barang dan jasa ekonomi kota. Keberadaan PKL dapat
ditemukan, baik di negara maju maupun berkembang (Schneider, 2002).
Istilah kaki lima sendiri berasal dari trotoar yang dahulu berukuran lebar 5
feet atau sama dengan kurang lebih 1.5 meter, sehingga dalam pengertian ini PKL
adalah pedagang yang berjualan pada kaki lima, dan biasanya mengambil tempat
atau lokasi di daerah keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan atau
kawasan perdagangan, pasar, sekolah dan gedung bioskop (Widodo, 2000).
Pengertian PKL terus berkembang sehingga sekarang menjadi kabur artinya.
Mereka tidak lagi berdagang di atas trotoar saja, tetapi di setiap jalur pejalan kaki,
tempat-tempat parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal bahkan di
31
perempatan jalan dan berkeliling ke rumah-rumah penduduk (Sari, 2003). Mc.
Gee dan Yeung (1977) memberikan pengertian PKL sama dengan hawker, yang
didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk
dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar.
Dalam konteks kota, usaha informal mencakup operator usaha kecil yang
menjual makanan dan barang atau menawarkan jasa dan pada gilirannya
melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar. Ini disebut sebagai sektor informal
perkotaan atau Urban Informal Sector (Suharto, 2003).
Sebagai sebuah unit usaha, PKL merupakan kegiatan usaha informal karena
tidak mempunyai legalitas usaha. Relasi yang dibangunpun sering merupakan
relasi informal dalam artian tidak menggunakan perjanjian tertulis di antara
mereka (Nurul, 2009).
Pengetahuan tentang karakteristik formal dan informal menjadi penting jika
dikaitkan dengan kebijakan. PKL sering dianggap sebagai kegiatan informal dan
tidak tercatat sehingga kontribusi ekonomi mereka tidak diperhitungkan dalam
kegiatan ekonomi kota. Karena kontribusi ini tidak dihitung maka pendekatan
yang diambil Pemerintah Kota terhadap kelompok PKL terutama adalah
pendekatan yang bersifat pengaturan/kontrol dan pelarangan (Nurul, 2009).
PKL adalah orang yang melakukan usaha produktif dengan menghasilkan
suatu barang tertentu atau melakukan usaha jasa perdagangan, baik barang-barang
baru maupun bekas dengan menggunakan tempat di trotoar jalan ataupun tepi
jalan atau di jalan itu sendiri tanpa mendapat izin secara formal.
Wiego (Women in Informal Employment : Globalizing and Organizing)
dalam papernya A Policy Response to the Informal Economy, Addressing
Informality, Reducing Poverty, pada tahun 2009 menyatakan bahwa terdapat
beberapa paradigma terhadap PKL antara lain adalah :
1. Sektor informal adalah ekonomi tradisional yang akan mati dengan
pertumbuhan industri modern. Produktivitasnya hanya marginal.
2. Keberadaaannya terpisah dari ekonomi formal.
3. Mencerminkan surplus tenaga kerja.
4. Sebagian besar sektor ini adalah pengusaha bisnis ilegal atau tidak terdaftar
untuk menghindari regulasi dan pajak.
32
5. Pekerjaan pada ekonomi informal sebagian besar terdiri dari aktivitas untuk
bertahan hidup dengan demikian bukan menjadi subyek kebijakan ekonomi.
6. Terutama terdiri dari usaha tidak terdaftar, pedagang jalanan, dan produsen
skala sangat kecil.
7. Tidak teregulasi.
8. Karena tidak teregulasi dan tidak kena pajak sebagian yang bekerja pada
sektor informal adalah tidak sejahtera.
9. Tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.4. Kebijakan Publik
2.4.1 Konsepsi Kebijakan Publik
Fokus utama dalam pembahasan kebijakan publik adalah penciptaan
lingkungan yang memungkinkan semua aktor bisnis maupun nirlaba untuk dapat
bertahan dalam konteks global maupun domestik. Suatu kebijakan dapat disebut
sebagai kebijakan publik apabila memiliki derajat tertentu, dipikirkan atau
setidaknya diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh
atau kontrol pemerintah (Hogwood dan Gunn, 1986).
Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga
masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin
menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan (Nugroho, 2004). Dengan
demikian kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah perlu
mengedepankan aspek kemandirian masyarakat dalam meningkatkan daya
saingnya, baik dalam konteks global atau domestik. Kebijakan publik merupakan
jalan untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan, ditunjukkan seperti pada
Gambar 5.
Gambar 5. Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Masyarakat pada masa awal
Masyarakat pada masa transisi
Masyarakat yang dicita-citakan
Kebijakan Publik
33
Dengan demikian apa yang dikerjakan dari sebuah kebijakan publik adalah
untuk pencapaian tujuan masyarakat secara nasional atau domestik (tingkat
daerah), serta mempunyai parameter keberhasilan dari sebuah kebijakan publik.
Untuk mencapai tujuannya, kebijakan publik meliputi pengaturan perilaku,
mengorganisir birokrasi, mendistrbusikan manfaat dan memungut pajak.
Menurut Nugroho (2004), proses dari suatu kebijakan publik mencakup
empat komponen yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring
kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Gambar 6. Proses Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Proses kebijakan publik di atas menjelaskan beberapa hal yaitu :
1. Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat
strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau
keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan
oleh orang-orang, dan memang harus diselesaikan.
2. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan
publik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan
menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya, termasuk pimpinan
negara.
3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan, baik oleh
pemerintah, masyarakat atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
4. Dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan, diperlukan
evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian kebijakan tersebut
Perumusan Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Monitoring Kebijakan
34
sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik
dan benar pula.
5. Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan
itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam
bentuk dampak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan
yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.
Tidak mudah membuat kebijakan publik yang dapat mengakomodasi semua
kepentingan golongan masyarakat karena kebijakan publik akan berhadapan
dengan beragam kepentingan masyarakat dan kondisi yang berbeda, terlebih
adanya kepentingan politik dari golongan tertentu.
Dalam hubungannya dengan aspek politis, terdapat empat hubungan antara
kebijakan publik dan politik, yaitu :
1. Kompetisi Politik. Merupakan model sistem paling awal dalam bidang
kebijakan. Sumber daya ekonomi akan menentukan tingkat kompetisi dan
partisipasi pemilih. Faktor-faktor politik ini menentukan kebijakan publik
dalam kesejahteraan, kesehatan, jalan raya, pajak, belanja negara dan
sebagainya. Alur kebijakan publik dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 7. Alur Kebijakan Publik berdasarkan Kompetisi Politik Sumber : http://www.scribd.com
2. Sumber Daya Ekonomi. Variabel pengembang ekonomi lebih berpengaruh
dibandingkan karakteristik sistem politik dalam membentuk kebijakan publik
di negara bagian.
Gambar 8. Alur Kebijakan Publik berdasarkan Sumber Daya Ekonomi Sumber : http://www.scribd.com
Sumber Daya Ekonomi
Kompetisi Partisipasi
Kebijakan Publik
Sumber Daya Ekonomi
Kompetisi Partisipasi
Kebijakan Publik
35
3. Perkembangan ekonomi berdampak pada kebijakan publik tetapi bila
dampak kebijakan publik dikendalikan, maka faktor politik hanya
berpengaruh kecil terhadap outcome kebijakan.
4. Campuran (Hybrid), Sumber daya ekonomi membentuk kebijakan publik
secara langsung maupun tidak, dengan mempengaruhi kompetisi dan
partisipasi, yang pada gilirannya mempengaruhi kebijakan publik.
Gambar 9. Alur Kebijakan Publik Campuran Sumber : http://www.scribd.com
Menurut Nugroho (2004), kebijakan publik dapat dibagi ke dalam beberapa
jenis yaitu :
1. Berdasarkan makna dari kebijakan publik. Kebijakan publik sebagai hal-hal
yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan.
Kebijakan seperti ini dapat digambarkan dalam sebuah matrik sebagaimana
Tabel 5
Tabel 5. Matrik Kebijakan Publik Berdasarkan Makna
. Kegiatan strategis Kegiatan
tidak/kurang strategis
Masyarakat mampu melaksanakan
I (pemerintah dengan
masyarakat)
II Masyarakat
Masyarakat tidak mampu untuk melaksanakan
III Pemerintah
IV Pemerintah (dibiarkan)
Sumber : Nugroho (2004)
2. Berdasarkan bentuknya. Dalam hal ini terdapat 2 bentuk kebijakan yaitu
peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk perundangan
dan peraturan-peraturan tidak tertulis (konvensi), yang merupakan bentuk
kerjasama antara legislatif dengan eksekutif atau yang dibuat hanya oleh
eksekutif.
Sumber Daya Ekonomi
Kompetisi Partisipasi Kebijakan
Publik
36
Kebijakan yang hanya dibuat oleh eksekutif di Indonesia di antaranya
adalah :
a. Peraturan Pemerintah (PP)
b. Keputusan Presiden (Kepres)
c. Keputusan Menteri atau kepala lembaga pemerintah non departemen
d. Dan seterusnya.
Kebijakan eksekutif pada tingkat daerah di antaranya :
a. Keputusan gubernur dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya.
b. Keputusan bupati/walikota dan bertingkat keputusan dinas-dinas di
bawahnya.
3. Karakter. Karakter adalah bagian dari kebijkan tertulis formal, yang dalam
hal ini kebijakan publik dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Regulatif versus deregulatif atau restriktif versus non restriktif.
b. Alokatif versus distributif atau redistributif.
Kebijakan jenis pertama adalah kebijakan yang menetapkan hal-hal yang
dibatasi dan hal-hal yang dibebaskan dari pembatasan-pembatasan. Sebagian
besar kebijakan publik berkenaan dengan hal yang regulatif atau restruktif dan
deregulasi atau non restruktif. Kebijakan jenis kedua biasanya berupa
kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keuangan publik.
2.4.2. Instrumen Kebijakan Publik di Daerah
Instrumen kebijakan publik di daerah yang dibahas dalam penelitian ini
dibatasi hanya kepada kebijakan publik yang menyangkut bidang ekonomi,
berhubungan dengan keberadaan sektor informal termasuk PKL.
1. Regulasi
Regulasi pada tingkat daerah dapat dilakukan oleh kebijakan eksekutif saja
dan atau kebijakan eksekutif bersama dengan legislatif (DPRD). Kebijakan
eksekutif pada tingkat daerah (hanya eksekutif dan bersama DPRD) di antaranya :
a. Keputusan gubernur dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya.
b. Keputusan bupati/walikota dan bertingkat keputusan dinas-dinas di
bawahnya.
c. Peraturan daerah.
37
EKSEKUTIF LEGISLATIF
PUBLIK
WALIKOTA/BUPATIDRAFT BAGIAN
HUKUM
TASK FORCE
DINAS DINASDINASDINASDINAS
LEGISLATIF
GUBERNUR
BIRO HUKUM
PEMERINTAH DAERAH
PEMERINTAH PROVINSI
Hanya untuk Pajak, Retribusi,
APBD dan RTRW
Undang-undang No. 32/ 2004 Ayat 20 menyatakan bahwa pada setiap strata
pemerintahan (legislatif dan pemerintah; nasional, propinsi, dan kabupaten atau
kota) harus mempertimbangkan aspek-aspek kepastian hukum, proporsional,
efektivitas dan efisiensi. Undang-undang ini juga mengamanatkan kriteria-kriteria
baru untuk pembuatan peraturan daerah, yaitu: kejelasan tujuan, efektivitas,
efisiensi, transparansi, kepastian hukum dan partisipasi masyarakat. Proses
penyusunan regulasi pada tingkat daerah digambarkan seperti pada Gambar 10
berikut.
Gambar 10. Proses Penyusunan Regulasi pada Tingkat Daerah Sumber : UU 32/2004
Instrumen kebijakan publik pada tingkat daerah yang dimaksudkan untuk
pengaturan perilaku, mengorganisir birokrasi, mendistribusikan benefit di
antaranya adalah pajak dan retribusi. Regulasi pajak daerah dan retribusi
dikeluarkan dan dikelola pada tingkat daerah secara berjenjang.
2. Pajak
Pembangunan yang dilakukan Pemerintah Pusat atau Daerah merupakan hasil
dari pendapatan negara setelah dikurangi dengan pengeluaran rutin. Besar-
kecilnya tabungan pemerintah ditentukan oleh hasil dari pajak-pajak dan hasil
keluaran sumber daya alam, dikurangi dengan pengeluaran rutin. Untuk
memperbesar tabungan, Pemerintah Pusat atau Daerah berusaha memperbesar
hasil dari pajak-pajak dan atau sumber daya alam serta memperkecil pengeluaran
38
rutin, melalui pengawasan yang ketat hingga tidak terjadi kebocoran dan korupsi
(Soemitro, 1987).
Pajak-pajak yang dipungut dan yang digunakan harus berdasarkan pada
undang-undang sehingga memiliki kekuatan paksa dan sanksi hukum, serta
menuntut adanya pengawasan. Pajak-pajak ini pada hakekatnya mengenai hidup
negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi.
Kebutuhan negara adalah kelangsungan hidup lembaga-lembaganya, yang
mampu melakukan fungsinya masing-masing. Banyak-sedikitnya uang yang
diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya.
Lebih besar tingkat ekonomi negara, lebih besar kebutuhannya dan lebih besar
pula pendapatan (Soemitro, 1987).
Pada hakekatnya pajak memiliki tujuan untuk memungut dana dari
masyarakat. Definisi pajak menurut Sumihardjo dalam Apip (2006) adalah :
“Pajak adalah iuran wajijb, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
Definisi lainya adalah menurut Soemitro dalam Apip (2006) yaitu :
“ Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus yang digunakan untuk public saving untuk membiayai public investment”.
Sementara itu menurut Brotodihardjo dalam Apip (2006), pajak didefinisikan
sebagai :
“Pajak adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara”.
Dari ketiga definisi tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan,
yaitu :
a) Pajak dipungut oleh pemerintah (baik pusat atau daerah). b) Tidak
mengandung jasa timbal-balik secara langsung. c) Pungutan pajak digunakan
untuk membiayai pengeluaran rutin. d) Pajak digunakan untuk kesejahteraan
umum. e) Pajak mencakup barang dan jasa.
39
3. Retribusi
Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi dapat
disebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
Perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi adalah terletak pada timbal-balik
langsung. Untuk pajak tidak ada timbal-balik langsung kepada para pembayar
pajak, sedangkan untuk retribusi ada timbal-balik langsung dari penerima retribusi
kepada pembayar retribusi.
4. Subsidi
Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu
usaha atau sektor ekonomi. Sebagian besar subsidi yang dibuat oleh pemerintah
untuk produsen atau distributor dalam industri guna mencegah penurunan
(misalnya industri, sebagai hasil usaha yang tidak menguntungkan) atau kenaikan
harga dari produk atau untuk mendorong agar mempekerjakan lebih
banyak tenaga kerja (seperti dalam kasus subsidi upah). Contoh lainnya adalah
subsidi untuk mendorong penjualan ekspor; subsidi pada beberapa makanan untuk
mengurangi biaya hidup khususnya di daerah perkotaan; dan subsidi untuk
mendorong perluasan lahan produksi dan mencapai kemandirian dalam produksi
pangan.
Secara ekonomis subsidi dapat dianggap sebagai suatu bentuk
proteksionisme atau hambatan perdagangan dengan membuat barang dan jasa
domestik buatan dalam negeri kompetitif terhadap barang impor. Subsidi dapat
mendistorsi pasar dan dapat menimbulkan biaya ekonomi yang besar. Bantuan
keuangan dalam bentuk subsidi mungkin berasal dari pemerintahan, tetapi
dengan istilah subsidi juga merujuk kepada bantuan yang diberikan oleh orang
lain, seperti individu atau lembaga non pemerintah, walaupun ini lebih sering
digambarkan sebagai amal.
2.4.3. Sumber-sumber Pendapatan Daerah
Dalam Bab III UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah pada Pasal 3 mengenai Sumber-sumber
40
Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi, sumber-sumber
penerimaan daerah mencakup :
a. Pendapatan Asli Daerah.
b. Dana Perimbangan.
c. Pinjaman Daerah.
d. Lain-lain Penerimaan yang sah.
Selanjutnya pada Pasal 4, disebutkan bahwa Sumber Pendapatan Asli Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari:
a. Hasil pajak daerah.
b. Hasil retribusi daerah .
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan.
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Dengan demikian, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk
mendapatkan pendapatan asli daerah melalui instrumen pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan serta pendapatan asli daerah lainnya yang sah.
Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi undang-undang, sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU
PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena
terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali
hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang ini mulai berlaku
per 1 Januari 2010. UU PDRD mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan
dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
41
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah
dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang
dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak
terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam undang-undang (closed-list).
3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah
dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-
undang.
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang
tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara
preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan
retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi
Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. Materi yang diatur
dalam UU PDRD yang disahkan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penambahan Jenis Pajak Daerah
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak propinsi dan 3
jenis pajak kabupaten atau kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan
terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak propinsi dan 11 jenis pajak
kabupaten atau kota. Jenis pajak propinsi yang baru adalah Pajak Rokok,
sedangkan 3 jenis pajak kabupaten atau kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan
Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak
Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1
jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak propinsi.
a. Pajak Rokok
Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70 % dibagi-hasilkan kepada
kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan
42
jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu
membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok
dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain,
pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban
Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional
dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural
growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaan Pajak
Rokok dialokasikan minimal 50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan
(pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan
kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area),
kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat
mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran
rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok).
b. PBB Perdesaan dan Perkotaan
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh
penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan
dialihkan menjadi pajak daerah. Untuk PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB
Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini
akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya
diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB
sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD.
d. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat
dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan
perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki
potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan PAD.
43
2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah
Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera
Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan
Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara
keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang
dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi
pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
oleh masyarakat. Dengan pengendalian tersebut, maka alat ukur, takar, dan
timbang akan berfungsi dengan baik sehingga penggunaannya tidak merugikan
masyarakat.
b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk
meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan
pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan
menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan
keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
melampaui 2 % dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c. Retribusi Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan
pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan
pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
dapat dikenakan pungutan dan hasilnya digunakan untuk membiayai
kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dimaksud.
d. Retribusi Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban
tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah
dipungut oleh sejumlah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana
44
halnya dengan jenis retribusi lainnya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan
dimaksudkan agar pelayanan dan pengendalian kegiatan di bidang perikanan
dapat terlaksana secara terus-menerus dengan kualitas yang lebih baik.
3. Perluasan Basis Pajak Daerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a) PKB dan BBNKB,
termasuk kendaraan pemerintah; b) Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di
hotel; dan c) Pajak Restoran.
4. Perluasan Basis Retribusi Daerah
Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan
Retribusi Izin Gangguan, mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan
lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan
Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja.
5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya
dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan,
penghematan energi, dan pelestarian atau perbaikan lingkungan, tarif maksimum
beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain:
a. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5 %. Khusus
untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif.
b. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10 %
menjadi 20 %.
c. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5 %
menjadi 10 %. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat
ditetapkan lebih rendah.
d. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20 % menjadi 30 %.
e. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20 % menjadi 25 %.
6. Bagi Hasil Pajak Propinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan
keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat,
45
pajak propinsi dibagi-hasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Bagi Hasil Pajak Propinsi
No Jenis Pajak Propinsi Kab/kota 1 Pajak Kendaraan Bermotor 70% 30% 2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70% 30% 3 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 30% 70% 4 Pajak Air Permukaan 50% 50% 5 Pajak Rokok 30% 70%
Sumber : UU 32/ 2004
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus
dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan
beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai
pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh
pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut adalah:
a. Sebesar 10 % dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan
untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan serta peningkatan sarana
transportasi umum.
b. Sebesar 50 % dari penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai
pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
c. Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan
penerangan jalan.
Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih
baik, iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda
pungutan daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari.
2.5. Pemberdayaan Masyarakat
Perhatian terhadap inisiatif pengembangan/pemberdayaan masyarakat
bukanlah model pembangunan baru. Inisiatif pengembangan masyarakat sendiri
dapat dirunut kembali ke tahun 1920-an, dimana pilot project Etawah, India, telah
menggunakan konsep pengembangan masyarakat untuk pembangunan
komunitasnya pasca pemerintahan kolonial. Selanjutnya program pengembangan
masyarakat ini telah menyebar di negara-negara berkembang selama tahun 1950-
46
an, tetapi pada pertengahan tahun 1960-an mulai ditinggalkan karena sejumlah
kegagalan (Korten, 1996).
Menurut Korten (1996) kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal di
antaranya adalah : (1) kurangnya perhatian terhadap kontrol aset dan hambatan
struktural penduduk miskin, (2) program dan target pengembangan masyarakat
diformulasikan secara terpusat (tricle down process) dan dijalankan melalui
struktur birokrasi konvensional sehingga kurang mendapatkan perhatian
masyarakat dan (3) kurangnya usaha pemerintah untuk mengembangkan
independensi, keterlibatan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat sebagai
target pembangunan. Dengan kata lain bahwa kegagalan praktik pengembangan
masyarakat lebih disebabkan kegagalan dalam menterjemahkan konsep
pengembangan masyarakat dalam implementasi riil oleh pemerintah.
Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, keadilan dan partisipasi telah menjadi
bagian dari agenda pembangunan internasional. Teori maupun konsep
pembangunan yang menyangkut perbaikan-perbaikan kehidupan masyarakat di
bidang ekonomi, sosial, politik maupun lingkungan hidup telah banyak
mengalami perubahan yang mendasar. Konsekuensinya, perencanaan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di tingkat lokal maupun regional
pada masa sekarang telah banyak mengalami pergeseran yang fundamental
(Hilman, 2004).
Dalam paradigma baru pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah
seharusnya semakin dibatasi hanya pada bidang public goods dan bidang-bidang
dimana pihak swasta dan masyarakat tidak punya insentif untuk melakukannya.
Dengan paradigma pembangunan tersebut, telah berlangsung perubahan ke arah
perbaikan secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Dari hasil pergeseran
tersebut dapat disimpulkan bahwa penekanan hakiki tujuan pembangunan adalah
tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan
(sustainability) dalam pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas.
Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada apa yang disebut dalil
kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental welfare
economics), dimana sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan
ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang diinginkan melalui cara transfer,
47
perpajakan dan subsidi, sedangkan aspek ekonomi selebihnya dapat diserahkan
kepada persaingan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, penterjemahan
dan dalil tersebut kepada paradigma baru pembangunan sejalan dengan
diberlakukannya otonomi daerah (Hilman, 2004).
Pengalaman empirik menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dalam investasi
keempat kapital (natural, physical, human, dan social capital) dapat menimbulkan
kesenjangan tingkat kehidupan dalam masyarakat yang pada gilirannya akan
menjadi sumber dari krisis ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu,
paradigma baru ini lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan
kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan
dalam distribusi kekuasaan, pengelolaan dan manfaat pembangunan dalam rangka
mewujudkan kebebasan dan kemandirian masyarakat banyak.
Menurut Sam Landon (1998), dasar penggunaan model pengembangan
masyarakat berakar dari beberapa premis utama. Premis tersebut menunjukkan
bahwa dalam hubungan antara pemerintahan dan masyarakat, pendekatan berbasis
masyarakat dan lokal berpotensi untuk :
a. Membuat masyarakat memiliki posisi yang lebih baik untuk merespon dan
beradaptasi dengan kondisi ekologi dan sosialnya dan lebih dapat
menunjukkan kepentingan dan preferensinya.
b. Lebih mengetahui proses dan praktik-praktik manajemen.
c. Lebih mampu memobilisasikan sumberdayanya melalui akses dan
manajemen yang adaptif.
d. Lebih mampu dalam proses pengambilan keputusan bagi kebutuhan
hidupnya.
Lebih lanjut, Sam Landon (1998) menyatakan bahwa disamping potensinya,
model pengembangan masyarakat juga memiliki resiko dan kendala. Masyarakat
umumnya merupakan kesatuan heterogen (berbeda dalam hal jenis kelamin, umur,
kondisi ekonomi, status sosial, grup politik, dan sebagainya). Dimana mereka
saling berkompetisi dan memiliki konflik kepentingan masing-masing.
Bagi Indonesia, dengan diberlakukannya UU No. 22 dan UU No. 25 tahun
1999 mengenai Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
48
Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-
wilayah. Kebijaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah sebenarnya
memberi isyarat tentang pentingnya pendekatan pembangunan berbasis
pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat lokal (locality
development) dan wilayah (regional development) dibanding dengan pendekatan
sektoral dan terpusat. Dengan kata lain, kebijakan otonomi daerah mendorong
dilakukannya pengembangan masyarakat lokal dan wilayah.
Paradigma baru pengembangan di tingkat lokal dan wilayah pada saat ini
didasarkan kepada prinsip-prinsip pembangunan yang menekankan aspek-aspek
berikut:
1. Mengutamakan peran-serta (participation) masyarakat dan memprioritaskan
untuk menjawab kebutuhan hidup masyarakat setempat. Pemerintah
sebaiknya lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan daripada sebagai
inisiator dan pelaksana.
2. Menekankan aspek proses interaktif dibandingkan pendekatan-pendekatan
yang menghasilkan “produk-produk” perencanaan berupa master plan dan
sejenisnya.
3. Para pihak (stakeholders) yang berinteraksi bekerjasama secara kolaboratif
dengan kedudukan yang setara, dan bebas dan hierarki birokrasi.
Sasaran utama pengembangan masyarakat adalah masyarakat yang
terpinggirkan, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, juga masyarakat lain
yang terabaikan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi orang lain untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Tahapan-tahapan umum yang
digunakan dalam proses pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut.
Tahap 1. Seleksi wilayah
Tahap 2. Sosialisasi pengembangan masyarakat
Tahap 3. Proses pengembangan masyarakat, yang terdiri dari:
Kajian keadaan pedesaan partisipatif
Pengembangan kelompok
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan
Monitoring dan evaluasi partisipatif
49
Tahap 4. Pemandirian masyarakat
1. Seleksi Wilayah
Seleksi wilayah dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh
lembaga, pihak-pihak terkait, dan masyarakat. Penetapan kriteria ini
penting agar tujuan lembaga dalam pengembangan masyarakat akan
tercapai serta pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin.
2. Sosialisasi Pengembangan Masyarakat
Sosialisasi pengembangan masyarakat adalah suatu kegiatan yang sangat
penting untuk menciptakan komunikasi serta dialog dengan masyarakat.
Sosialisasi pengembangan masyarakat dapat membantu meningkatkan
pengertian masyarakat dan pihak terkait tentang program. Proses
sosialisasi sangat menentukan ketertarikan masyarakat untuk berperan dan
terlibat di dalam program.
3. Proses Pengembangan Masyarakat
Maksud pemberdayakan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya (tujuan
umum). Dalam proses tersebut masyarakat bersama-sama dilibatkan
dalam :
a. Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan, potensi serta peluang.
b. Menyusun rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian.
c. Menerapkan rencana kegiatan kelompok.
d. Memantau proses dan hasil kegiatan secara terus-menerus
(Monitoring dan Evaluasi Partisipatif ).
Pelaksanaan tahap-tahap di atas sering bersamaan dan lebih bersifat proses
yang diulangi terus-menerus. Pengembangan masyarakat kerapkali dilakukan
melalui pendekatan kelompok dimana anggota bekerjasama dan berbagi
pengalaman dan pengetahuan. Untuk pengembangan kelompok ada kegiatan-
kegiatan khusus yang berjalan bersamaan dengan kegiatan lain. Berkaitan dengan
pengembangan masyarakat untuk mandiri dalam meningkatkan taraf hidupnya,
maka arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar
benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya.
Dalam semua kegiatan sering dimanfaatkan teknik dan alat visualisasi yang
50
mendukung diskusi antara masyarakat dan memudahkan proses pengembangan
masyarakat. Melalui teknik-teknik tersebut, diharapkan bahwa proses kajian,
penyusunan rencana kegiatan, penerapan, monitoring dan evaluasi dilakukan
secara sistematis. Teknik-teknik kajian yang sering digunakan antara lain
Participatory Rural Appraisal (PRA). Monitoring dan evaluasi merupakan suatu
tahap yang sangat penting untuk memperbaiki proses secara terus-menerus agar
tujuan dapat tercapai. Aspek-aspek yang dimonitor dan dievaluasi meliputi
'proses', 'pencapaian' dan 'dampak' proses pengembangan masyarakat.
Dengan perubahan paradigma pembangunan di atas, model pengembangan
masyarakat semakin banyak diadopsi oleh peneliti dalam upaya mengembangkan
komunitas. Model ini digunakan untuk pengembangan masyarakat mulai dari
masyarakat industri, kehutanan, pedesaan, pertanian, nelayan, maupun manajemen
sumber daya alam. Ashby dan Sperling (1995), Child (1996), Colchester (1994),
Corbridge dan Jewitt (1997) telah menggunakan model pengembangan
masyarakat untuk melibatkan masyarakat dalam sistem manajemen hutan. Davos
(1998), Christie dan White (1997), ICLRAM dan NSC (1997) telah menggunakan
model ini untuk menganalisis manajemen masyarakat nelayan dan perikanan.
Gubbels (1997), Hirashima dan Gooneratne (1998) telah menggunakan
pendekatan ini untuk pengembangan masayarakat tani dan pedesaan. Terakhir,
Dhai (1994) dan Farringtton (1996) telah menggunakan pendekatan ini untuk riset
dan manajemen sumber daya alam. Secara umum, peneliti di atas menyimpulkan
bahwa model pengembangan masyarakat masih applicable sampai saat ini
sepanjang pendekatan yang digunakan tepat.
2.6. Strategi Pemberdayaan
Strategi adalah suatu perencanaan induk yang komprehensif, yang
menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai semua tujuan yang telah
ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan (Rangkuti, 1999). Pearce dan
Robinson (1997) mendefinisikan strategi sebagai suatu perencanaan, cara, pola,
posisi dalam lingkungan organisasi, dan prospektif.
Menurut Jauch dan Glueck (1995), manajemen strategik adalah seni dan
ilmu dari pembuatan, penerapan dan evaluasi keputusan-keputusan strategik antar
fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan
51
masa datang. Untuk mengatasi masalah-masalah strategik perlu berpikir secara
strategik yang muncul seiring dengan berkembangnya perusahaan/organisasi.
Karakteristik dari manajemen strategik adalah : (1) berorientasi pada masa depan,
(2) biasanya berhubungan dengan unit bisnis yang sangat kompleks, (3)
memerlukan perhatian dari manajemen puncak, (4) akan mempengaruhi
kemakmuran jangka panjang dari perusahaan dan (5) melibatkan pengelolaan
sejumlah besar sumber-sumber daya perusahaan.
Lebih lanjut, Kotler (2000) mendefinisikan manajemen strategik sebagai seni
dan ilmu untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi
keputusan-keputusan lintas fungsional yang memungkinkan suatu organisasi
mencapai sasarannya. Manajemen strategik adalah ilmu yang memadukan
manajemen pemasaran, keuangan, produksi/operasi, informasi, penelitian dan
pengembangan untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Menurut Jauch dan William (1995), manajemen strategik terdiri dari tiga
tahapan yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi.
Lebih lanjut, dinyatakan bahwa formulasi strategik mencakup pengembangan misi
bisnis, identifikasi peluang dan ancaman, menentukan kekuatan dan kelemahan,
menetapkan sasaran jangka panjang, menyusun alternatif strategi dan memilih
strategi tertentu. Implementasi strategik merupakan tindakan dalam strategi
manajemen yang antara lain menetapkan sasaran tahunan dan kebijakan,
memotivasi karyawan, mengalokasikan sumber daya secara efektif. Implementasi
strategik dilaksanakan pada tiga tingkat hirarki dalam organisasi yaitu di tingkat
organisasi, unit bisnis, dan tingkat fungsional. Evaluasi strategik merupakan tahap
akhir dalam manajemen strategik, dimana terdapat tiga kegiatan utama : (1)
mengevaluasi faktor internal dan eksternal yang didasarkan pada strategi saat ini,
(2) mengukur kinerja, dan (3) mengadakan perbaikan dari kegiatan-kegiatan yang
telah dilaksanakan.
Jauch dan William (1995) membagi strategi menjadi tiga tingkatan dalam
struktur organisasi yaitu strategi tingkat organisasi, strategi tingkat unit binis dan
strategi tingkat fungsional. Strategi tingkat organisasi menggambarkan arah yang
menyeluruh bagi suatu perusahaan dalam pertumbuhan dan pengelolaan berbagai
bidang usaha, untuk mencapai keseimbangan produk atau jasa yang dihasilkan.
52
Strategi ini biasanya dibuat sebagai arahan dasar berbagai strategi pada unit usaha
dan strategi fungsional yang disusun. Strategi tingkat unit bisnis menekankan
pada usaha peningkatan daya saing perusahaan dalam suatu industri atau segmen
pasar. Strategi tingkat fungsional menciptakan kerangka kompleks kerja untuk
manajemen fungsi seperti produksi, pemasaran, keuangan, dan sumber daya
manusia.
Berpikir strategik memerlukan beberapa tahapan. Menurut Jauch dan William
(1995), tahapan berpikir strategik meliputi lima hal yaitu : (1) identifikasi
masalah, (2) pengelompokan masalah, (3) proses abstraksi, (4) penentuan metode
pemecahan masalah, dan (5) perencanaan untuk implementasi.
Selanjutnya David (1999) menyatakan bahwa dalam identifikasi masalah
dilakukan identifikasi masalah-masalah strategik yang muncul dengan melihat
gejala-gejala yang mengikutinya. Pengelompokan masalah dilakukan dengan
mengelompokkan masalah sesuai dengan sifatnya. Proses abstraksi dilakukan
dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang paling penting dari tiap
kelompok, kemudian melakukan analisa terhadap masalah tersebut dalam rangka
mencari faktor penyebab timbulnya masalah. Penentuan metode yang paling tepat
untuk menyelesaikan/memecahkan masalah yang telah diidentifikasikan pada
tahap sebelumnya. Perencanaan untuk implementasi yaitu produk, pemasok atau
penyandang dana.
2.7. Lingkungan Eksternal dan Internal
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan industri kecil secara garis
besar dapat dibagi menjadi faktor eksternal dan internal.
Faktor Eksternal. Menurut David (1999), faktor eksternal merupakan
faktor-faktor yang bersumber dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan
situasi operasional suatu organisasi. Faktor eksternal terdiri dari : (1) faktor
ekonomi, (2) sosial, (3) politik, (4) teknologi, dan (5) faktor ekologi.
Lingkungan ini memberi peluang dan ancaman bagi suatu organisasi. Sebuah
perusahaan/organisasi tidak mempunyai peranan yang berarti untuk
mempengaruhi lingkungan eksternal secara keseluruhan tanpa dukungan dari
organisasi lainnya.
53
Faktor ekonomi. Faktor ekonomi berkaitan dengan sifat dan arah sistem
ekonomi tempat suatu organisasi/perusahaan beroperasi. Faktor ekonomi
mencakup pertumbuhan ekonomi, suku bunga, inflasi, nilai tukar, dan pendapatan
per kapita.
Faktor sosial-budaya. Faktor sosial-budaya yang mempengaruhi suatu
organisasi adalah kepercayaan, sikap, opini dan gaya hidup orang-orang di
lingkungan eksternal organisasi yang berkembang dari pengaruh kultural,
ekologi, demografi, agama, pendidikan dan etnik.
Faktor politik. Arah dan pertimbangan faktor-faktor politik merupakan
pertimbangan penting bagi organisasi dalam merumuskan strateginya. Faktor
politik menentukan parameter legal dan regulasi yang membatasi operasi
organisasi. Kegiatan politik tersebut mempunyai dampak besar atas dua fungsi
pemerintah yang mempengaruhi lingkungan eksternal organisasi yaitu :
a. Fungsi pemasok : keputusan pemerintah mengenai aksesibilitas usaha swasta
ke sumber daya alam dan cadangan nasional hasil usaha milik pemerintah.
b. Fungsi pelanggan : kebutuhan pemerintah akan produk dan jasa dapat
menciptakan, mempertahankan, memperkuat dan meniadakan peluang pasar.
Faktor teknologi. Faktor teknologi berpengaruh untuk menghindari
keusangan dan mendorong inovasi. Adaptasi teknologi yang kreatif dapat
membuka terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada atau
penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran.
Faktor ekologi. Faktor ini mengacu pada hubungan antara manusia
(organisasi) dan makh,luk hidup lainnya dengan udara, lahan dan air yang
mendukung kehidupan mereka. Sinergisme hubungan antara manusia dengan
lingkungan menentukan keberlanjutan suatu usaha.
Faktor Internal. Faktor internal adalah kelompok atau individu yang
merupakan bagian internal dari organisasi itu sendiri (David 1999). Faktor
internal dapat memberikan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) bagi
suatu organisasi/perusahaan.
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
usaha industri kecil adalah sifat produk, sumberdaya manusia, akses teknologi,
ketersediaan modal, dan manajemen home industry. Produk sepatu dan sandal
54
bukan lagi merupakan produk sekunder tetapi sudah menjadi kebutuhan primer
masyarakat. Agar kompetitif, produk ini harus dikembangkan sesuai dengan
keinginan pasar, baik dalam hal kualitas, harga, dan modelnya. Faktor sumber
daya manusia terkait dengan ketersediaan tenaga kerja di sekitar lokasi home
industry. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia akan mempengaruhi
industri kecil dalam melakukan inovasi dan melakukan diversifikasi produk.
Faktor akses teknologi terkait dengan lokasi usaha, dalam hal ini kedekatan lokasi
usaha dengan sumber-sumber pengetahuan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia dan universitas-universitas di wilayah tersebut. Faktor permodalan
terkait dengan akses terhadap sumber-sumber finansial seperti bank dan lembaga
keuangan lainnya yang dapat digunakan sebagai kekuatan industri kecil untuk
memantapkan struktur permodalannya.
2.8. Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Terdapat beberapa strategi pertumbuhan dalam kaitannya dengan
pembangunan ekonomi, yaitu : (1) strategi usaha minimum kritis, (2) strategi
pembangunan seimbang, dan (3) strategi pembangunan tidak seimbang.
1. Strategi Upaya Minimum Kritis
Strategi upaya minimum kritis ini dikemukakan oleh Harvey Leibenstein
yang menyatakan bahwa sebagian besar negara berkembang dicekam oleh
lingkaran setan kemiskinan yang membuat mereka tetap berada pada tingkat
keseimbangan pendapatan per kapita yang rendah. Jalan keluar dari kebuntuan ini
adalah dengan melakukan suatu upaya minimum kritis (critical minimum effort)
tertentu yang akan menaikkan pendapatan per kapita pada tingkat di mana
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable) dapat terjadi. Leibenstein
mengatakan bahwa dalam tahap transisi dari keadaan keterbelakangan ke keadaan
yang lebih maju, dengan pertumbuhan jangka panjang mantap, diperlukan suatu
kondisi di mana suatu perekonmian harus mendapatkan rangsangan pertumbuhan
yang lebih besar di atas batas minimum kritis tertentu.
Menurut strategi ini, setiap ekonomi tunduk pada hambatan dan rangsangan.
Hambatan berdampak menurunkan pendapatan per kapita dari tingkat
sebelumnya, sedangkan rangsangan cenderung akan meningkatkan pendapatan
per kapita. Suatu negara menjadi terbelakang jika besarnya rangsangan terlalu
55
kecil dibandingkan besarnya hambatan yang dihadapi. Jika faktor-faktor yang
dapat meningkatkan pendapatan itu mendapat rangsangan yang lebih daripada
faktor-faktor yang dapat menurunkan pendapatan, maka strategi minimum kritis
dapat
Rangsangan zero-sum yang tidak meningkatkan pendapatan nasional tetapi
hanya bersifat upaya distributif .
tercapai dan suatu perekonomian akan bisa berkembang.
Strategi Leibenstein didasarkan pada bukti empiris bahwa laju pertumbuhan
penduduk merupakan fungsi dari laju pendapatan per kapita. Laju pertumbuhan
penduduk berkaitan erat dengan berbagai tahap pembangunan ekonomi. Mula-
mula, pada tingkat keseimbangan sub sisten, laju pendapatan, kesuburan dan
kematian "sesuai" dengan tingkat kelangsungan hidup penduduk. Jika pendapatan
per kapita naik di atas posisi keseimbangan tersebut maka tingkat kematian
(mortalitas) akan turun, tetapi tanpa dibarengi penurunan tingkat kesuburan.
Akibatnya pertumbuhan penduduk meningkat. Jadi, kenaikan pendapatan per
kapita cenderung menaikkan laju pertumbuhan penduduk, tetapi kecenderungan
ini hanya sampai titik tertentu. Melampaui titik tersebut, kenaikan pendapatan per
kapita akan menurunkan tingkat kesuburan dan ketika pembangunan sudah
mencapai tahap maju maka laju pertumbuhan penduduk akan menurun.
Di samping pertumbuhan penduduk, terdapat beberapa faktor lain yang
memerlukan pelaksanaan upaya minimum kritis. Faktor tersebut adalah skala
disekonomis internal akibat tak dapat dibaginya produksi, disekonomi eksternal
akibat adanya ketergantungan eksternal, hambatan budaya-kelembagaan yang ada
di negara-negara berkembang.
Menurut Leibenstein, apakah agen pertumbuhan itu berkembang atau tidak,
akan tergantung pada besarnya rangsangan pertumbuhan. Rangsangan tersebut
terdiri dari 2 macam yaitu :
Rangsangan positive sum yang menuju pada pengembangan pendapatan
nasional.
Hanya tipe kegiatan positive-sum yang akan menghasilkan pembangunan
ekonomi. Kompleknya kondisi yang dihadapi negara berkembang membuat para
pengusahanya terlibat pada kegiatan-kegiatan zero-sum. Kegiatan zero-sum
tersebut mencakup :
56
Kegiatan bukan dagang (non trade) untuk menjamin posisi monopolistik
yang lebih besar, kekuatan politik, dan prestise sosial.
Kegiatan dagang yang membawa ke posisi monopolist yang lebih besar yang
tidak menambah sumber-sumber agregat.
Kegiatan spekulatif yang tidak memanfaatkan tabungan tetapi memboroskan
sumber kewiraswastaan yang langka,
Kegiatan yang memang-memakai tabungan netto, tetapi investasi yang
dilakukannya mencakup bidang-bidang usaha yang nilai sosialnya nihil atau
lebih rendah daripada nilai privatnya. .
Kegiatan zero-sum bukanlah kegiatan yang secara riil dapat menciptakan
pendapatan riil tetapi sekedar pemindahan likuiditas dari pemilik yang satu ke
pemilik lainnya.
Untuk mengatasi pengaruh yang membuat perekonomian berada dalam
keadaan keterbelakangan maka diperlukan suatu upaya minimum kritis yang
cukup besar guna menopang laju pertumbuhan ekonomi yang cepat yang akan
menggairahkan rangsangan positive-sum dan menciptakan kekuatan untuk
menandingi kegiatan zero-sum. Sebagai hasil dari upaya minimum kritis itu
pendapatan per kapita akan naik dan cenderung menaikkan tingkat tabungan dan
investasi, yang pada gilirannya, akan membawa kepada:
Ekspansi agen pertumbuhan.
Meningkatnya sumbangan mereka per unit modal, begitu rasio modal output
turun.
Berkurangnya keefektifan faktor-faktor yang merintangi pertumbuhan.
Penciptaan kondisi lingkungan dan sosial yang meningkatkan mobilitas
ekonomi dan sosial.
Peningkatan spesialisasi dan perkembangan sektor sekunder dan tersier.
Terciptanya iklim yang cocok bagi perubahan yang lebih mendatangkan
perubahan ekonomi dan sosial, khususnya lingkungan yang pada akhirnya
menyebabkan menurunnya kesuburan dan laju pertumbuhan penduduk.
Teori Leibenstein lebih realistis daripada teori dorongan besar-besaran (big
push theory) dari Rosenstein - Rodan yang menjalankan strategi pertumbuhan
dengan memberikan dorongan kuat kepada program industrialisasi secara
57
mendadak pada negara berkembang. Upaya minimum kritis dapat dijadwalkan
secara tepat dan dapat dipecah-pecah ke dalam rangkaian upaya yang lebih kecil
guna meletakkan ekonomi pada jalur pembangunan yang berkesinambungan.
Teori ini juga sesuai dengan gagasan perencanaan demokratis yang dianut oleh
sebagian besar negara berkembang.
Namun demikian, strategi tersebut mengandung beberapa kelemahan yaitu:
a. Laju pertumbuhan penduduk berkaitan dengan tingkat kematian.
b. Penurunan tingkat kelahiran bukan dikarenakan kenaikan pendapatan per
kapita.
c. Mengabaikan usaha pemerintah untuk menurunkan tingkat kelahiran.
d. Tingkat pertumbuhan lebih tinggi dari 3 % tidak menyebabkan lepas landas.
e. Mengabaikan unsur waktu.
f. Hubungan kompleks antara pendapatan per kapita dan faju pertumbuhan.
g. Dapat diterapkan pada ekonomi tertutup.
2. Strategi Pertumbuhan Seimbang
Strategi pertumbuhan seimbang bisa diartikan sebagai pembangunan berbagai
jenis industri secara berbarengan (simultaneous) sehingga industri tersebut saling
menciptakan pasar bagi yang lain. Selain itu, strategi pembangunan seimbang
dapat juga diartikan sebagai keseimbangan pembangunan di berbagai sektor,
misalnya antara sektor industri dan sektor pertanian, sektor luar negeri dan sektor
domestik, antara sektor produktif dan sektor prasarana. Singkatnya, strategi
pembangunan seimbang mengharuskan adanya pembangunan yang serentak dan
harmonis di berbagai sektor ekonomi sehingga semua sektor tumbuh bersama.
Dalam menjalankan strategi ini, diperlukan keseimbangan antara sisi
permintaan dan sisi penawaran. Sisi penawaran memberikan tekanan pada
pembangunan serentak dari semua sektor yang saling berkaitan dan berfungsi
meningkatkan penawaran barang. Ini meliputi pembangunan serentak dan
harmonis dari barang setengah jadi, bahan baku, sumber daya energi, pertanian,
pengairan, transportasi, dan lain-lain serta semua industri yang memproduksi
barang konsumen. Sebaliknya, sisi permintaan berhubungan dengan penyediaan
kesempatan kerja yang lebih besar dan penambahan pendapatan agar permintaan
barang dan jasa dapat tumbuh. Sisi berkaitan dengan industri yang sifatnya saling
58
melengkapi, industri barang konsumen, khususnya industri produk pertanian dan
industri manufaktur. Jika semua industri dibangun secara serentak maka jumlah
tenaga kerja yang terserap akan sangat besar. Dengan cara ini akan tercipta
permintaan barang-barang dari masing-masing industri, dan semua barang akan
habis terjual.
Pembangunan seimbang dilaksanakan dengan maksud untuk menjaga agar
proses pembangunan tidak menghadapi hambatan-hambatan dalam :
Memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumber daya energi (air dan listrik),
dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil produksi ke pasar.
Memperoleh pasar untuk barang-barang yang telah dan yang akan diproduksi.
Dengan demikian pembangunan seimbang dapat didefinisikan sebagai usaha
pembangunan yang berupaya untuk mengatur program investasi sedemikian rupa
sehingga sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatan-
hambatan'yang bersumber dari penawaran maupun permintaan.
Istilah pembangunan seimbang diciptakan oleh Nurkse (1953). Namun
demikian, teori ini pertama kali dikemukakan oleh Paul Rosenstein-Rodan (1953),
dengan nama the big push theory yang menulis gagasan untuk menciptakan
program pembangunan di Eropa Timur dan Eropa Tenggara dengan melakukan
industrialisasi secara besar-besaran. Kedua orang ini beranggapan bahwa
melakukan industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan cara
yang tepat untuk menciptakan pembagian pendapatan .yang lebih merata di dunia
dan untuk meningkatkan pendapatan di daerah semacam itu agar lebih cepat
daripada di daerah yang lebih kaya. Dalam upaya untuk melaksanakan program
tersebut berbagai industri haruslah dibangun secara berbarengan.
Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menciptakan berbagai jenis
industri yang berkaitan erat satu sama lain sehingga setiap industri akan
memperoleh eksternalitas ekonomi dari industrialisasi tersebut. Scitovsky
mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai jasa-jasa yang diperoleh dengan
cuma-cuma oleh suatu industri dari satu atau beberapa industri lainnya. Dengan
demikian jika sebuah perusahaan memperoleh eksternalitas ekonomi, maka biaya
produksinya dapat dikurangi dan perusahaan tersebut dapat melaksanakan
kegiatannya dengan lebih efisien.
59
Menurut Rosenstein-Rodan (1953), pembangunan industri secara besar-
besaran akan menciptakan 3 macam eksternalitas ekonomi yaitu:
Yang diakibatkan oleh perluasan pasar.
Karena industri yang sama letaknya berdekatan.
Karena adanya industri lain dalam perekonomian tersebut.
Menurut Rosenstein-Rodan, eksternalitas yang pertama yang paling penting.
Strategi pembangunan seimbang banyak mendapatkan kritikan dari para
ahli. Singer dalam Arsyad (1999) mengkritisi pandangan yang menekankan
tentang perlunya menciptakan pembangunan yang berbarengan pada berbagai
industri. Pandangan tersebut melupakan sektor pertanian sehingga sektor
pertanian akan menghadapi kesukaran untuk memenuhi pertambahan
permintaan bahan pangan dan bahan baku pertanian yang akan digunakan
sektor industri. Jadi, strategi pembangunan seimbang harus diperluas hingga
meliputi usaha pembangunan secara besar-besaran di sektor pertanian. Dengan
demikian kenaikan produktivitas dan produksi sektor pertanian akan dapat
memenuhi kenaikan permintaan sektor industri. Di sisi lain, negara berkembang
kurang memiliki kemampuan dalam menyediakan sumber daya untuk
pembangunan besar-besaran tersebut. Strategi pembangunan seimbang tidak
menyadari masalah utama yang dihadapi negara berkembang yaitu kekurangan
sumber daya.
Pendapat Hirschman tentang pembangunan seimbang pada hakekatnya
hampir sama dengan Singer. Menurut Hirschman (1958) dalam Arsyad (1999),
strategi pembangunan seimbang melupakan kenyataan historis yang
menunjukkan bahwa secara gradual (bertahap) kegiatan industri modern telah
mulai berkembang pada masa lalu, dan telah sanggup menggantikan beberapa
industri rumah tangga maupun menghasilkan barang-barang yang pada mulanya
diimpor. Strategi itu juga telah mengabaikan kenyataan sejarah yang
menunjukkan bahwa hasil-hasil industri modern telah mengakibatkan kenaikan
pengeluaran masyarakat sehingga mengurangi tabungan mereka serta mendorong
mereka untuk bekerja lebih giat. Menurut Hirschman, hambatan-hambatan
terhadap pembangunan terutama industrialisasi tidaklah serius seperti yang sering
60
dikemukakan orang, termasuk orang yang mencetuskan pandangan tentang
perlunya pembangunan seimbang.
Hirschman juga mengatakan ketidak-yakinannya apakah negara berkembang
sanggup melaksanakan program pembangunan seimbang tanpa adanya bantuan
dari luar, karena pelaksanaan pembangunan tersebut memerlukan tenaga-tenaga
ahli dalam jumlah besar, yang notabene sangat terbatas jumlahnya di negara
berkembang. Selain itu, Hirschman juga menyatakan bahwa pembangunan
seimbang dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan yang lebih tinggi kepada
masing-masing industri tetapi juga dapat menimbulkan eksternalitas dis-
ekonomis. Misalnya, pembangunan seimbang akan mengajarkan cara-cara
bekerja pada masyarakat. Kerugiannya adalah keahlian tradisional tidak berguna
lagi, corak kegiatan perdagangan yang lama hancur, dan pengangguran tercipta.
Kalau keadaan demikian terjadi maka akan menimbulkan berbagai jenis |biaya
sosial (social cost) bagi masyarakat.
3. Strategi Pembangunan Tak Seimbang
Pembangunan tak seimbang merupakan keadaan yang berlawanan dengan
keadaan pada pembangunan seimbang. Istilah ini digunakan untuk menyatakan
bahwa program pembangunan disusun sedemikian rupa sehingga dalam
perekonomian tersebut akan timbul kelebihan dan kekurangan dalam berbagai
sektor sehingga menimbulkan distorsi-distorsi ketidakstabilan dalam
perekonomian.
Strategi pembangunan tak seimbang dikemukakan oleh Albert Hirschman dan
Paul Streeten. Pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih
cocok untuk mempercepat proses pembangunan di negara berkembang. Strategi
pertumbuhan tak seimbang dikemukakan berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut :
Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang.
Untuk memnpertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia.
Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau
gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi
pendorong bagi pembangunan selanjutnya.
61
Menurut Hirschman, jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi
antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan
ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti bahwa
pembangunan berjalan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading
sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula
perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-
industri lain yang erat keterkaitannya dengan industri yang mengalami
perkembangan tersebut.
2.9. Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima (PKL)
1. Stigma Negatif PKL
Permasalahan PKL pada setiap kota di seluruh Indonesia adalah persoalan
klasik. Kebanyakan Pemda memandang PKL sebagai negative problem. Hal ini
dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan yang pada umumnya berisikan
penertiban, bukan pemberdayaan. Kompas tanggal 13 Februari 2003 menuliskan
hal sebagai berikut :
“Belakangan ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang hingga kini masih memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen bebas PKL….. ... Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum mungkin benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum dan menjadikan kota tampak kumuh...”
Tindakan Pemda melakukan penertiban ini disebabkan pandangan aparat
Pemda yang menganggap bahwa PKL sebagai penyebab timbulnya kemacetan
sebagaimana tertuang dalam penelitian Ester (2003) yang mengungkapkan :
”...Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedangang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya kemacetan lalu lintas di kawasan Pusat Kota Sidoarjo, yang mana Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan umum (public land)...”
Cara pandang yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, hal
ini dijelaskan oleh Suharto (2003) sebagai berikut :
”...di Kota Bandung misalnya, Pemerintah Kota terus melakukan operasi “penertiban” di tujuh wilayah terpadat (dikembangkan dari lima wilayah
62
sejak tahun 2001), yaitu Jalan Sudirman, Asia Afrika, Dalem Kaum, Kepatihan, Dewi Sartika, Otista, dan kompleks Plaza Bandung Indah. Pemerintah Kota meyakini bahwa wilayah tersebut harus bebas gangguan dari pedagang kaki lima, khususnya bila ada acara-acara kenegaraan (misalnya pertemuan internasional, peringatan konferensi Asia Afrika, kunjungan pejabat pemerintah pusat) ke kota tersebut.”
Penolakan terhadap keberadaan pedagang kaki lima dan umumnya sektor
informal terjadi di semua kota di Indonesia. Sebagai dampak utama urbanisasi,
PKL diakui sebagai fenomena struktural yang akan terus ada (Aswindi, 2002).
Sepanjang pengamatan Aswindi (2002), belum ada satu pun kota di Indonesia
yang berhasil menghapuskan keberadaan PKL.
Kutipan-kutipan di atas seakan menegaskan bahwa PKL menjadi sumber
ketidaktertiban, kemacetan, dan ketidakaturan sebuah kota. Namun,
Tempointeraktif.com (2005) melaporkan PKL di Jakarta Barat melalui Asosiasi
Pedagang Kaki Lima bisa mengatur diri. Hal ini bisa dilihat di Pasar Taman Surya
di Jakarta Barat.
2. PKL sebagai Alternatif Pekerjaan dan Sumber PAD
Fundamen ekonomi Indonesia yang rapuh pada tahun 1997-an
mengakibatkan krisis ekonomi yang merontokkan terutama sektor properti dan
perbankan. Kedua sektor ini yang paling banyak melakukan pemutusan hubungan
kerja (PHK).
PKL sebagai salah satu wujud sektor informal, tidak hanya mendatangkan
keruwetan, namun juga mendatangkan manfaat yang banyak. Studi Profil Pekerja
di Sektor Informal dan Arah Kebijakan Ke Depan yang dilakukan Bappenas
menunjukan bahwa sebesar 65.40 % (Sakernas BPS 1998) dan kemudian
meningkat menjadi 69.63 % (Sakernas BPS 2002). Hal ini menunjukan bahwa
terjadi perpindahan lapangan usaha dari sektor formal ke sektor informal.
Satu contoh terkait dengan ungkapan di atas, ditulis oleh Korompis (2005)
yang menyatakan bahwa para pengangguran melakukan kompensasi positif
dengan memilih bekerja di sektor informal, bahkan yang paling diminati adalah
menjadi PKL.
Selanjutnya, Korompis (2005) mengungkapkan bahwa PKL mempunyai
potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga
63
kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk
bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.
Studi Bappenas menjelaskan bahwa terdapat empat keunggulan sektor
informal.
1. Daya Tahan. Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak hanya
dapat bertahan, bahkan berkembang pesat. Hal ini disebabkan faktor
permintaan (pasar output) dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan, akibat
krisis ekonomi, pendapatan riil rata-rata masyarakat turun drastis dan terjadi
pergeseran permintaan masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau
impor (yang harganya relatif mahal) ke barang-barang sederhana buatan sektor
informal (yang harganya relatif murah). Dari sisi penawaran, akibat banyak
PHK di sektor formal selama masa krisis, ditambah dengan sulitnya angkatan
kerja baru mendapat pekerjaan di sektor formal, maka suplai tenaga kerja dan
pengusaha ke sektor informal meningkat. Temuan Purwanugraha et al. (2000)
memperkuat pernyataan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu
pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi.
2. Padat Karya. Dibanding sektor formal, khususnya usaha skala besar, sektor
informal yang pada umumnya adalah usaha skala kecil bersifat padat karya.
Jumlah tenaga kerja di Indonesia yang sangat banyak menyebabkan upah
relatif lebih murah jika dibandingkan di negara-negara lain dengan jumlah
penduduk yang kurang dari Indonesia.
3. Keahlian Khusus (Tradisional). Bila dilihat dari jenis-jenis produk yang
dibuat di industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) di Indonesia,
dapat dikatakan bahwa produk-produk yang mereka buat umumnya sederhana
dan tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal, tetapi membutuhkan
keahlian khusus (traditional skills). Keahlian khusus tersebut biasanya
dimiliki pekerja atau pengusaha secara turun-temurun, dari generasi ke
generasi.
4. Permodalan. Kebanyakan pengusaha di sektor informal menggantungkan diri
pada uang (tabungan) sendiri, atau dana pinjaman dari sumber-sumber
informal (di luar sektor perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja
dan investasi mereka.
64
Manfaat lain dari keberadaan PKL dinyatakan oleh Korompis (2005) adalah :
” Pedagang kaki lima merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah”.
Jadi, secara lokal PKL mempunyai peranan ekonomi terhadap masayarakat
dalam hal pemerataan dan peningkatan pendapatan sekaligus sebagai potensi
penerimaan retribusi daerah untuk pemerintah daerah.
Korompis (2005) menemukan bahwa rata-rata penerimaan PAD Pemerintah
Kota Manado dari sisi retribusi pasar, restribusi kebersihan dan lainnya yang
dibayarkan oleh PKL setiap bulan sebesar Rp 77.708,-/PKL. Angka ini hanya
berkisar 51.51 % dari target yang ditetapkan dan diprediksikan setiap bulan, di
mana Pemerintah Kota Manado akan dapat menyerap dana retribusi dari seluruh
PKL di Kota Manado rata-rata sebesar Rp 175 juta per bulan dengan asumsi Rp
5.000,- per PKL per hari.
Laporan Regulation Impact Analysis mengenai PKL di Palembang yang
dilakukan oleh Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004), berisi daftar
penerima manfaat dari kebijakan penataan PKL melalui peraturan daerah. Daftar
penerima manfaat ini disajikan pada Tabel 7.
65
Tabel 7. Penerima Manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah
Manfaat Penerima Kepastian hukum tempat/lokasi berdagang Pedagang pasar (PP), PKL Kesejahteraan meningkat PKL dan pedagang pasar (PP) Pasar tertib dan rapi Pemerintah, PKL, PP, masyarakat Lalu lintas lancar PP, PKL, pemerintah, masyarakat Keamanan kondusif PP, PKL, pemerintah, masyarakat Pasar mudah dijangkau Konsumen Saling menghargai meningkat PP, PKL, pemerintah Biaya penertiban turun Pemerintah Biaya sosial PP, PKL rendah PP, PKL, konsumen Areal parkir cukup Konsumen dan pemerintah Kewibawaan pemerintah kota baik Pemerintah, PP, PKL, masyarakat Pendapatan pemerintah naik Pemerintah Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Indikator-indikator manfaat dari peraturan daerah mengenai pengaturan PKL
di Palembang ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah
Manfaat Penerima Kepastian lokasi/tempat berdagang PP tidak mengeluhkan PKL, PKL merasa
aman berjualan Kesejahteraan PP-PKL meningkat Pendapatan per tahun meningkat Pasar rapi dan bersih Tertata baik Lalu lintas lancar Tidak macet Keamanan kondusif Keluhan keamanan makin berkurang Pasar mudah dijangkau Waktu tempuh menjadi singkat dan tidak
melelahkan Saling menghargai antara PP, PKL, aparatur meningkat
Sedikit mungkin terjadinya perselisihan dan pelanggaran
Biaya penertiban turun Alokasi anggaran diperkecil Biaya sosial PP, PKL rendah Tidak ada pungutan liar, tidak ada denda
pelanggaran Areal parkir cukup Kendaraan konsumen banyak di tempat
parkir Pendapatan pemerintah naik PAD meningkat Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Dalam laporan ini diketahui bahwa ada perbedaan manfaat dan biaya sebagai
konsekuensi dan dampak dari regulasi PKL oleh Pemda Palembang. Sebagaimana
terlihat pada tabel 9 dan tabel 10 berikut :
66
Tabel 9. Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi (Peraturan Daerah)
Kelompok Manfaat B/S/K Biaya B/S/K Pemerintah
Kota
Kepastian hukum penataan PKL
B Biaya penertiban S
Kota Tertib B Pengadaan lokasi B Wibawa pemerintah B Moral Hazard K
PKL Keabsahan lokasi/ tempat berdagang
B Tempat baru S
Perlindungan Hukum B Pungutan liar K Ketenangan berjualan B Sanksi K Prospek B
Pembeli/ konsumen
Akses ke pasar B Biaya sosial K Keamanan S
Sopir angkot
Ruas jalur angkot B BBM S Kelancaran lalu lintas B
Keterangan : B (Baik), S (Sedang), K (Kurang) Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004) Tabel 10 : Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi Kelompok Manfaat B/S/K Biaya B/S/K
Pemerintah Kota
Kepastian hukum penataan PKL
K Biaya penertiban B
Ketertiban K Pengadaan lokasi K Wibawa pemerintah K Moral Hazard B
PKL Keabsahan lokasi/ tempat berdagang
K Tempat baru K
Perlindungan Hukum K Pungutan liar B Ketenangan berjualan K Sanksi B Prospek S
Pembeli/ konsumen
Akses ke pasar K Biaya sosial B Keamanan K
Sopir angkot Ruas jalan angkot K BBM B Kelancaran lalu lintas K
Keterangan : B (Baik), S (Sedang), K (Kurang) Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Penelitian Suharto (2003) menunjukan bahwa rata-rata manfaat berupa
penghasilan PKL di Bandung mampu melebihi upah minimum regional untuk
DKI Jakarta. Dengan demikian PKL Kota Bandung memiliki kontribusi yang
cukup besar dalam memberikan lapangan pekerjaan layak. Sementara itu,
penelitian PKL yang dilakukan oleh Bambang Wahyu (2003) di Kota Bogor
menunjukan karakteristik dan sebaran PKL. Namun belum membahas pada aspek
manfaat keberadaan PKL.
67
2.10. Novelty (Kebaruan)
Penelitian-penelitian terhadap PKL tidak terlepas dari penelitian sektor
informal baik di negara maju maupun berkembang. Untuk mengetahui kebaruan
dari penelitian ini, seperti disajikan dalam tabel 11 berikut adalah ringkaian dari
beberapa kajian literatur sektor informal selama 10 tahun terakhir baik dari
sumber nasional maupun internasional..
Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam beberapa aspek khususnya
sampling dan teknik sampling dan metode penelitian yang digunakan.
Pertama, dari sisi sampling, penelitian ini menggunakan tiga tipologi sebagai
pewakil PKL di kota Bogor. Penelitian-penelitian di Indonesia seperti Budi
(2006) untuk PKL di Pemalang, Suharto (2003) di Bandung, Laboratorium
Hukum Universitas Sriwijaya (2004) untuk PKL di Palembang, Korompis (2005)
untuk PKL di Bogor, Tohar (2007) di Kota Medan, Rahmawati (2008) di Bogor,
menggunakan teknik sampling berdasarkan persentase jumlah seluruh PKL yang
ada. Penggunaan tipologi ini adalah hal baru dari sisi penelitian PKL.
Kedua, Penelitian mengenai persepsi terhadap PKL umumnya didasarkan
pada persepsi masyarakat dan pemerintah lokal (misalnya Tohar, 2003; Budi,
2006; Disperidagkop, 2010). Penelitian ini memiliki kebaruan karena
memasukkan persepsi toko pesaing (sektor formal yang bergerak dalam penjualan
barang atau jasa yang sama) dan persepsi pemasok (sektor formal dan informal
yang memasok barang dagangan ke PKL). Persepsi toko pesaing dan pemasok
perlu dikaji untuk dapat secara lebih luas menangkap persepsi terhadap PKL.
Ketiga, dari sisi metodologi, penggunaan teknik A’WOT adalah hal baru
untuk bidang kajian PKL karena menawarkan pembobotan pada faktor-faktor
yang mempengaruhi strategi dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Kajian
terhadap literatur di atas menunjukkan bahwa teknik ini belum digunakan dalam
kajian PKL. Kajian PKL di kota Bogor yang dilakukan oleh Rahmawati (2008)
lebih membahas pada aspek efektivitas penataan PKL sedangkan PT Oxalis Subur
dan Disperindagkop kota Bogor (2010) menggunakan teknik SWOT tanpa
pembobotan.
Kempat, kebaruan berikutnya dalam penelitian tentang PKL ini sampai pada
tahap formulasi seperangkat strategi yang perlu dilakukan secara sinergis dan
68
komprehensif. Seperangkat strategi ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh
Pemerintah Daerah. Pada penelitian penelitian terdahulu belum ditemukan hasil
penelitian berupa seperangkat strategi yang sinergis, melainkan strategi yang
dihasilkan masih bersifat parsial.
Kelima,
dalam penyusunan formulasi strategi dan usulan relokasi
mempertimbangkan teori teori lokasi. Teori teori lokasi ini penting untuk
dipertimbangkan mengingat PKL memiliki kepentingan atas kelangsungan
usahanya, dimana kerumunan orang merupakan potensi untuk dapat berjualan.
Sementara disisi lain Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan ruang dan
infrastruktur lainnya, dan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur daerahnya sendiri.
69 Tabel 11. Kajian Literatur Sektor Informal Selama 10 Tahun Terakhir
Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik sampling, metode Kesimpulan
2002 Friedrich Schneider Size And Measurement Of The Informal Economy In 110countries Around The World
Paper, disajikan pada Workshop of Australian National Tax Centre, ANU, Canberra, Australia, Juli 17, 2002
Model currency demand dan discrepancy method
Tidak ada metode terbaik dalam mengukur ekonomi informal; setiap pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan.
Ukuran ekonomi informal di sebagian besar negara transisi dan OECD cenderung meningkat selama dekade terakhir.
Ekonomi Informal adalah fenomena komplek, terdapat baik di negara maju dan berkembang.
Orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi.
2002 Santosh Mehrotra
And Mario Biggeri Social Protection in the Informal Economy: Home Based Women Workers and Outsourced Manufacturing in Asia
UNICEF Innocenti Research Centre and Department of Economics, University of Florence
Survey di 5 negara Asian – dua negara berpendapatan rendah (India, Pakistan) dan tiga negara berpendapatan menengah (Indonesia, Thailand, Philippines). Metode kuantitatif Menggunakan survey ad hoc rumah tangga, dengan kuisioner dari UNICEF. Studi kasus dengan focus group
Perlindungan sosial diperlukan bagi pekerja wanita
Pekerja industri rumah tangga bekerja dalam kodisi eksploitatif dimana mereka mendapatkan bagian yang kecil dari total harga yang dibayarkan konsumen akan produknya
Feminisasi pekerjaan berimplikasi penting untk dimensi gender dalam siklus pengembangan sdm dalam rumah tangga.
Rendahnya level pendidikan dan masalah kesehatan dari pekerja
70 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
discussions (FGD) dan survey kuantitatif dengan kuisioner. Desain survey adalah purposif (ad hoc) Menggunakan analisis Value chain
memerlukan intervensi publik.
2002 Edi Suharto Human Development And The Urban Informal Sector In Bandung, Indonesia: The Poverty Issue
New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (Desember, 2002): 115-133.
Micro-level surveys “multistage cluster sampling technique” (150 orang).
Mayoritas (80 persen) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan.
Profil pedagang kakilima di Bandung berbentuk hexagonal, berbeda dengan bentuk pyramid dari studi keterkaitan antara sektor informal dan kemiskinan di negara berkembang khususnya Amerika Latin
Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’karena memiliki pendidikan dasar yang mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah.
Indikator pembangunan manusia dan sosial dari pedagang kakilima nampak lebih baik dibandingkan angka nasional.
71 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
2003 Winnie V. Mitullah Street Vending In African Cities: A Synthesis Of Empirical Findings From Kenya, Cote D’ivoire, Ghana, Zimbabwe, Uganda And South Africa
Background Paper for the 2005 World Development Report, 16
Review 6 studi kasus di 6 negara Afrika. Menggunakan data primer dan sekunder.
Agustus 2003
PKL penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja
PKl memberikan peluang yang dapat meminimalkan dampak sosial
PKL bekerja dalam lingkunga yang keras tanpa infrastruktur dan layanan dasar.
Mereka menghadapi masalah pasar dan investasi.
Meski mereka membayar retribusi ke pemda, pemda tidak dapat memberikan layanan yang mencukupi.
Komunikasi yang lemah antara PKL dan otoritas urban. Asosiasi PKL lemah dan membutuhkan fasilitasi dalam berorganisasi.
PKL tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat.
2003 Ali Tohar Profil Dan Strategi
Pengembangan Sektor Informal Di Kota Medan
Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara
Analisis deskriptif dan regresi berganda
Modal investasi, pengalaman berdagang, jam kerja, modal kerja per bulan dan jam kerja berpengaruh pada pendapatan PKL di kota Medan
2005 Tim Slack Work, Welfare, and the
Informal Economy : An Examination of Family Livelihood Strategies in
Manuscript disiapkan untuk presentasi pada Northeastern U.S. Rural Poverty Conference
in-depth interview, survey dengan telepon, sampel random, multiple
Struktur umur rumah tangga penting dalam memahami partisipasinya dalam ekonomi informal
72 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
Rural Pennsylvania Mei 3-4, 2005 State College, PA
regression analysis
Jejaring dan norma sosial timbal balik penting dalam memfasilitasi ekonomi informal
Pendekatan survey sesuai dalam studi ekonomi informal
2006 Tri widodo Peran sektor informal
terhadap perekonomian daerah : pendekatan delphi-IO dan aplikasi
Jurnal ekonomi dan bisnis indonesia vol 21, no.3, 2006, 254-267
Pendekatan survey dan non survey; Analisis IO
Sektor informal berkontribusi positif pada pembangunan DIY melalui peningkatan output, penyediaan lapangan kerja, pendapatan masyarakat
Kontribusi positif sektor informal punya batas tertentu dan jika sudah melebihi batasnya maka akan menurun kontribusinya
2006 Ari Sulistyo Budi Kajian Lokasi Pedagang
Kaki Lima Berdasarkan Preferensi Pkl Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang
Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang
Penelitian deskriptif sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis distribusi frekuensi, tabulasi silang dan deskriptif kualitatif.
PKL merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi warga kota Pemalang yang tidak dapat memasuki sektor formal karena mempunyai ciri-ciri mudah dimasuki, tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal. PKL cenderung mengelompok dengan sejenisnya.
Kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana yang ada biasanya
73 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
kurang mendukung kegiatan PKL
2007 Sertac Gonec and
Harun Tanrivermis Factor that affecting informal economy of rural turkey
Journal of Applied Sciences, 7(21) :3138-3153, 2007, Asian Network for scientific information
Data primer dari survey 394 rumah tangga dengan simple random sampling Korelasi Pearson dan Analisis regresi berganda
Ukuran usaha, jumlah tenaga kerja keluarga dan akses pasar ditemukan sebagai faktor penting
Transformasi struktur informal menjadi formal dapat dilakukan dengan memfasilitasi integrasi usaha dengan pasar
2008 Ishola Rufus
Akintoye Reducing Unemployment Through the Informal Sector: A Case Study of Nigeria
European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences ISSN 1450-2275 Issue 11 (2008)
Data sekunder ketenagakerjaan
Sektor informal sebagai media dalam menurunkan pengangguran di Nigeria
Pemerintah dan semua stakeholder yang relevan harus berusaha menurunkan pengangguran memberikan dukungan keberadaan sektor informal
2008 Aloysius Gunadi
Brata Vulnerability Of Urban Informal Sector: Street Vendors In Yogyakarta, Indonesia
Paper prepared for the International Conference on Social, Development and Environmental Studies: Global Change and Transforming Spaces, November 18-19th , 2008, School of Social, Development and Environmental Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, University Kebangsaan Malaysia
Survei lapang, index kerentanan dengan sampel 122 PKL.
Tingkat kerentanan PKL di Yogyakarta adalah sedang
74 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
2009 Rudra Suwal dan Bishnu Pant
Measuring Informal Sector Economic Activities in Nepal
Paper Prepared for the Special IARIW-SAIM Conference on “Measuring the Informal Economy in Developing Countries” Kathmandu, Nepal, September 23-26, 2009
Membandingkan data sektor informal dari hasil dua survey : sensus ekonomi vs survey khusus
Di negara berkembang seperti Nepal sektor informal berkontribusi penting pada ekonomi nasional.
Perlu melakukan survei teratur untuk menangkap aktivitas ekonomi sektor informal
2009 Kevin Greenidge, Carlos Holder And Stuart Mayers
Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados
Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1 2009
unrestricted error correction model dan general-to-specific (GETs) modelling
Sektor informal cukup besar dan tumbuh sepertiga dari besaran ekonomi formal
Tingginya derajad informalitas antara sektor formal dan informal
Kehilangan signifikan penerimaan pajak langsung akibat sektor informal namun diimbangi dengan lebih tingginya penerimaan pajak tidak langsung (PPN) and kesejahteraan sosial
Tidak disarankan menghilangkan sektor informal, tetapi perlahan-lahan memformalkannya
Signifikansi sektor informal berimplikasi pada kebijakan moneter dan fiskal.
Pengaruh spillover antar sektor informal dan formal harus dipertimbangkan dalam desain kebijakan.
75 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
2009 Suparwoko Nitisudarmo
The role of the informal sector in contributing to the urban landscape in Yogyakarta – Indonesia concerning on the urban heat island issue
Proceedings Real Corp 2009 Tagungsband 22-25 April 2009, Sitges. http://www.corp.at
Survey langsung Pedagang Informal dapat menarik wisatawan lokal dan internasional.
Penempatan PKL di pedestrian tidak sesuai dengan konsep “place for people”
Perlu kerjasama antar stakeholder termasuk Pemkot, LSM, universitas, komunitas PKL dan pemimpin lokal.
PKL yang beroperasi di ruang publik tidak mendukung dan memotivasi pembangunan landskap urban yang berimbang dalam hal elemen alami lingkungan urban.
Keberadaan PKL sejalan dengan teori simulasi perubahan tata guna lahan akibat migrasi dengan alasan ekonomi
2009 Rob Davies dan
James Thurlow
Formal–Informal Economy Linkages and Unemployment in South Africa
IFPRI Discussion Paper 00943, International Food Policy Research Institute December 2009
Model CGA multiregion yang dikalibrasi secara empiris.
Liberalisasi perdagangan menurunkan lapangan kerja nasional. Pada saat yang sama meningkatkan lapangan kerja formal, merugikan produsen informal, dan menguntungkan pedagang informal, yang diuntungkan dari lebih murahnya impor.
Subsidi upah bagi pekerja formal berketrampilan rendah mendoroh lapangan kerja nasional tetapi merugikan produsen informal
76 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
dengan memperberta kompetisi pada pasar produk domestik.
Transfer cash tidak kondisional mendorong permintaan produk informal, pada gilirannya meningkatkan lapangan kerja informal tanpa merugikan produsen formal.
Arti penting pembedaan antara sektor formal dan informal pada kebijakan sosio-ekonomi.
2009 Andrew Henley,
G,Reza Arabsheibani Dan Francisco G. Carneiro
On Defining and Measuring the Informal Sector: Evidence from Brazil
World Development Vol. 37, No. 5, pp. 992–1003, 2009
Data survei rumah tangga Brazil periode 1992–2004. Analisis Regresi
Pengukuran yang tepat sangat penting dalam analisis kebijakan dan desai strategi yang tepat untuk menurunkan informalitas.
Informalitas dapat diukur melalui status kontrak kerja, perlindungan jaminan sosial dan sifat pekrjaan dan karateristik pekerjanya.
Pengambil kebijakan harus jelas mengenai sub-group dalam sektor informal untuk mendesain kebijakan. Desai kebijakan untuk mendorong dinamisme kewirausahaan dalam ekonomi perlu mempertimbangkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang dapat memperburuk proteksi sosial atau legal bagi sub-groups pekerja informal.
Di sisi lain kebijakan untuk mendorong proteksi sosial dan
77 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
legal dapat berdampak buruk terhadap aktivitas kewirausahaan.
2009 Simon Commander,
Natalia Isachenkova, dan Yulia Rodionova3
A model of the informal economy with an application to Ukraine
Earlier drafts of the paper were presented at an IZA-EBRD Conference on Labour Market Dynamics, Role of Institutions and Internal Labour Markets, held at the University of Bologna, May 5-8 2005, and at a LIRT-HSE’s seminar in the spring of 2009.
Panel dataset dari Ukraine Longitudinal Monitoring Surveys (ULMS) tahun 2003 and 2004 menggunakan mixed multinomial logit model
Perusahaan Privat memilih apakah menjadi formal – dan membayar pajak – atau tetap informal, subyek pelanggaran pajak
Perlunya peningkatan efisiensi tenaga kerja di negara-negara transisi
2010 Henky Japina Analisis Determinan Pendapatan Sektor Informal Di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhan batu
Thesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, Ps Ekonomi Pembangunan
model regresi linier berganda dengan alat Metode nonprobability sampling metode Ordinary Least Squares (OLS).
modal kerja, jumlah tenaga kerja dan alokasi waktu usaha secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor informal
Lama berusaha secara individu tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor informal di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu.
2010 Florencia G,
Casanova-Dorotan, Phoebe Cabanilla, Maria Corazon Tan and Maria Antonette Montemayor
Informal Economy Budget Analysis in Philippines and Quezon City
Inclusive Cities Research Report No. 6. Women in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO) under the Inclusive Cities Project March 2010
Data sekunder dan FGD.
Budget nasional dan lokal di Philippina akan dapat merubah kehidupan pekerja ekonomi informal yang miskin, khususnya pekerja home industri, PKL dan pemulung di Quezon City, hanya jika pengeluaran publik dapat memberikan mata pencaharian
78 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
yang layak dan perlindungan sosial, jika mereka diberdayakan secara politis, jika hak asasinya dilindungi, dan jika mendapatkan kualitas hidup lebih baik.
2010 Mohammad
Akharuzzaman dan Atsushi Deguchi
Public Management for Street Vendor Problems in Dhaka City, Bangladesh
Proc. of International Conference on Environmental Aspects of Bangladesh (ICEAB10), Japan, Sept. 2010
Survey lapang PKL menjalankan usahanya secara temporer tanpa sistem manajemen berkelanjutan dengan keterbatasan keterlibatan pemerintah di Dhaka City.
Dengan rendahnya rasa tanggung jawab, PKL menghadirkan masalah sampah dan kemacetan di pusat urban. Tetapi banyak warga urban tergantung pada PKL baik sebagai pekerjaan atau untuk berbelanja.
PKL adalah sektor perdagangan urban penting di Dhaka City.
Namun dengan situasi informal, pemkot sering melakukan penggusuran dan kekerasan
Pemkot perlu membangun sistem manajemen untuk PKL agar dapat berusaha dengan tanggung jawab dan pemkot dapat mengumpulkan pajak
Sistem management ini sebaiknya dijalankan oleh pemkot, PKL dan masyarakat sebagai kerja masyarakat.
79 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
2010 John Walsh The Street Vendors of Bangkok: Alternatives to Indoor Retailers at a Time of Economic Crisis
American Journal of Economics and Business Administration 2 (2): 185-188, 2010 ISSN 1945-5488
Studi kasus menggunakan data sekunder dan rekapitulasi riset primer yang dilakukan sebelumnya.
Riset PKL menunjukkan kisaran yang lebar dalam pengalaman, kemampuan menyediakan nilai tambah pada barang dan jasa dan motif bisnis.
Mayoritas PKL memiliki ambisi level UMR minimum dan lemah dalam konsep marketing atau nilai tambah produk
PKL menyediakan lapangan kerja.
Harga PKL lebih murah
2011 Krishna Prasad Timalsina
An Urban Informal Economy: Livelihood Opportunity to Poor or Challenges for Urban Governance
Global Journal of Human Social Science, Volume 11 Issue 2 Version 1.0 March 2011, Publisher: Global Journals Inc. (USA)
Data sekunder dan primer Kuisioner open-ended, interview, observasi (partisipatif dan non-partisipatif) Sampel 30 PKL dengan snowball sampling.
Aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan, dengan pendidikan dan skill rendah.
PKL menciptakan peluang dan kesempatan kerja
PKL menyediakan barang dengan harga lebih murah
Sulit dalam mengontrol dan mengelola PKL
Solusi : penyediaan lokasi khusus.
2011 Abdullah Takim Effectıveness of the Informal
Economy in Turkey European Journal of Social Sciences – Volume 19, Number 2 (2011)
Studi literatur Menghapuskan kendala finansial sebagai salah satu alasan dasar keberadaan sektor informal akan membantu dalam mengontrol ekonomi informal.
Meningkatkan kesadaran sosial dalam mengekang sektor informal.
Kurangnya kesadaran sosial
80 Tahun Penulis/peneliti Judul Jurnal Sampling dan teknik
sampling, metode Kesimpulan
terkait dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengamati secara transparan situasi di masa lalu.
Perjuangan untuk mengontrol ekonomi informal terlebih dulu dilakukan dengan membangun kebijakan jika volume ekonomi informal ingin diturunkan sampai pada level minimum yang dapat diterima.
Kebijakan jangka pendek bukanlah penyelesaian permanen untuk ekonomi informal.
Kontrol yang efektif berperan penting dalam menyelesaikan masalah ekonomi informal.
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam Rencana Strategis Kota Bogor tahun 1999-2009 seperti yang
tercantum dalam Perda No. 1 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah,
fungsi Kota Bogor adalah : (1) Sebagai kota perdagangan, (2) Sebagai kota
industri, (3). Sebagai kota permukiman, (4) Wisata ilmiah, dan (5) Kota
pendidikan. Fungsi ini menentukan arah perkembangan kota Bogor dalam jangka
pendek, menengah, dan panjang. Fungsi pertama sampai ketiga memiliki
konsekuensi pembangunan kota Bogor yang mengakomodasi perdagangan,
industri, dan pemukiman yang dicirikan dengan pesatnya pertumbuhan ketiga
sektor ini, dengan tumbuh suburnya outlet-outlet perdagangan di sepanjang Jalan
Pajajaran, pembangunan ruko-ruko baru di Loji, dan pembangunan pusat-pusat
perbelanjaan.
3.1. Kerangka Pemikiran
Dalam konteks pembangunan kota Bogor, kinerja pembangunan ekonomi
kota ini didukung oleh dua sektor yaitu sektor formal dan sektor informal.
Terdapat koneksi yang erat antara sektor informal dan formal, baik pada level
ekonomi lokal, nasional maupun global melalui jejaring sub kontrak dan rantai
komoditas (Brown, 2005). Namun demikian kedua sektor ini memiliki
karakteristik berbeda sehingga perlakuan kebijakan terhadap kedua sektor inipun
berbeda.
Sektor informal perkotaan dicerminkan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL)
sebagai wajah utamanya. Scheneider (2002) menyatakan bahwa ekonomi informal
adalah fenomena komplek, terdapat baik di negara maju maupun berkembang.
Ekonomi informal sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat cepat di negara-
negara berkembang. Umumnya diyakini bahwa pertumbuhan sektor ini dipicu
oleh meningkatnya pengangguran di negara-negara berkembang.
Pertumbuhan sektor informal (PKL) di perkotaan memiliki dua sisi koin yang
berbeda. Pada sisi koin positif, PKL mampu menjadi katup penyelamat ekonomi
melalui kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan bila dikelola dapat
82
memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan asli daerah. Pada sisi koin
lainnya keberadaannya berada di ruang publik seperti badan-badan jalan dan
trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi
perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan menghambat
pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang
sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan
masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini
menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi
kota. Kedua sisi ini seharusnya dapat dikelola oleh pemerintah kota sehingga
PKL dapat diakomodasi dan tidak bertentangan dengan konsep ruang urban
sebagai place for people bagi seluruh warga kota. Dengan demikian diperlukan
kajian PKL secara komprehensif untuk dapat merumuskan strategi penataan dan
pemberdayaan yang tepat bagi keberadaan PKL.
Studi komprehensif terhadap PKL di kota Bogor sebaiknya mencakup aspek-
aspek : (1) karakteristik pelaku PKL (demografis, usaha, pekerja dan kompensasi,
keuangan, permasalahan dan prospek), (2) Persepsi terhadap PKL (persepsi
Pemkot, toko pesaing, pemasok, dan masyarakat), (3) Kontribusi PKL terhadap
ekonomi wilayah (faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL), dan (4) Analisis
kebijakan yang sudah ada dan implementasinya (Perda PKL, regulasi PKL, dan
Keputusan Walikota tentang PKL).
Untuk dapat menangkap aspek-aspek di atas, diperlukan alat analisis yang
tepat. Karakteristik PKL dan persepsi dapat dianalisis secara deskriptif
menggunakan persentase dan rata-rata. Kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah
dapat dianalisis menggunakan analisis regresi dan deskriptif, sedangkan analisis
kebijakan dapat dilakukan secara deskriptif. Dengan alat-alat analisis ini
diharapkan didapatkan gambaran yang komprehensif terhadap PKL di kota Bogor.
Hasil analisis di atas dapat dijadikan masukan dalam penyusunan strategi
penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor. Namun demikian, penyusunan
strategi juga seyogyanya memperhatikan faktor internal dan eksternal yang
berkembang di lingkungan pemerintah kota Bogor. Analisis SWOT dapat
menangkap kedua faktor ini dan merumuskan strategi melalui matrik SWOT.
Strategi yang dihasilkan dalam analisis SWOT standar bersifat subyektif karena
83
ditentukan oleh peneliti.. Dalam penelitian ini, pembobotan faktor-faktor analisis
SWOT menggunakan teknik perbandingan berpasangan yang diakomodasi dari
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) berdasarkan opini berbagai pihak
(wakil pemerintah kota, wakil dinas terkait, ahli dan pemerhati sektor informal
dan akademisi). Kombinasi kedua metode ini sering disebut sebagai A’WOT dan
dapat menurunkan aspek subyektivitas dalam penetapan strategi. Melaui metode
ini diharapkan dapat dihasilkan strategi penataan dan pemberdayaan PKL yang
pada gilirannya menghasilkan pembangunan perkotaan yang humanistik.
Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran penelitian disusun sebagaimana
pada Gambar 11.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposif sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Pertimbangannya adalah Bogor bersama-sama Tangerang, Bekasi, dan DKI
Jakarta adalah bagian dari kawasan metropolitan Jakarta, konsentrasi urban
terbesar di Indonesia. Ekonomi informal di Bogor tumbuh pesat selama beberapa
tahun terakhir, khususnya karena kegagalan ekonomi formal dalam menyerap
pengangguran dan yang belum bekerja (termasuk meningkatnya angkatan kerja
baru). Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2009 sampai bulan Juli 2011.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan
informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan konsultasi.
84
Gambar 11 : Kerangka Pemikiran Konseptual
Pembangunan Kota Bogor
Sektor Formal Sektor Informal (PKL)
Sisi Positif Sisi Negatif
Studi Komprehensif PKL
Karakteristik
- Demografis - Usaha - Pekerja dan
kompensasi - Keuangan - Permasalahan
dan prospek
Kontribusi terhadap ekonomi
- Faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL
- Kontribusi pendapatan terhadap pendidikan, kesehatan, lapangan kerja
Persepsi terhadap PKL
- Persepsi Pemkot
- Persepsi pesaing
- Persepsi pemasok
- Persepsi masyarakat
Analisis Kebijakan
- Perda PKL - Regulasi - Keputusan
Walikota
Analisis deskriptif
(persentase)
Analisis regresi berganda dan
deskriptif
Analisis deskriptif
(persentase)
Analisis deskriptif
Analisis AHP-SWOT
Faktor internal Faktor Eksternal e
Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL
Pembangunan kota yang humanistik
Visi dan Misi Kota Bogor
85
a. Data Primer. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan
mengenai kondisi riil PKL dan hasil pengisian kuesioner dari responden
penelitian. Data primer yang digunakan berupa pemberian kuesioner kepada
subyek penelitian dengan wawancara secara intensif dan mendalam (in-depth
interview).
3. 3. Jenis dan Sumber Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian survei,
yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul data utama. Menurut Durianto et al (2001),
penelitian survei adalah metode penelitian deskriptif yaitu metode penelitian
untuk membuat gambaran suatu kejadian. Metode survei dilakukan bila data yang
dicari sebenarnya sudah ada di lapangan atau obyek penelitiannya telah jelas.
Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yaitu:
b. Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kantor
Pemerintah Kota Bogor, Dinas Pasar, Dinas Tata Ruang, Dinas
Kependudukan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, dan pihak-pihak lain
yang relevan dengan penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa Kota
Bogor dalam Angka, Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Barat, dan
data penunjang lainnya.
Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan
beberapa cara di bawah ini :
a. Observasi, yaitu pengamatan kondisi lapangan secara langsung.
b. Studi literatur, yaitu mendalami berbagai informasi penting seperti literatur
dan teori yang berkaitan budaya kerja, organisasi, manajemen sumberdaya
manusia, dan hasil-hasil penelitian terdahulu.
c. Wawancara dan pengisian kuesioner, yaitu pengumpulan fakta dan data
dengan cara melakukan wawancara dan pengisian kuesioner secara intensif
dan mendalam, terstruktur dan sistematis.
Data yang diperoleh selanjutnya dipergunakan untuk keperluan analisis
(data primer) dan sebagai rujukan atau penunjang (data sekunder). Sumber
data, aspek penelitian dan kegunaannya disajikan dalam Tabel 12.
86
Tabel 12. Sumber Data, Aspek Penelitian dan Pokok (Analisis) Jenis data dan
Informasi Aspek Penelitian Pokok (Analisis)
Primer
Karakteristik responden
Jenis kelamin, Umur, Status perkawinan, Pendidikan, Asal, Suku bangsa, Status dalam keluarga, Jumlah tanggungan Pendidikan tertinggi anggota keluarga Status kesehatan keluarga, Penerima BLT
Karakteristik usaha
Usaha sebelum menjadi PKL Motivasi menjadi PKL Waktu dan Lama usaha Alasan pemilihan lokasi Pengelompokan usaha Jenis barang dagangan Jenis sarana usaha Luas lokasi dan status kebersihan Registrasi formal
Pekerja dan kompensasi
Jumlah tenaga kerja Jam kerja usaha Lama usaha dalam seminggu Karakteristik tenaga kerja Tunjangan bagi tenaga kerja
Keuangan dan lain-lain
Jumlah modal awal, modal kerja harian Pendapatan (omzet) harian Jenis pembukuan Sumber modal dan lama pengembalian Pembayaran tempat usaha Fluktuasi usaha Pengeluaran Penghasilan bersih dan konsumsi
Permasalahan dan prospek
Kesulitan yang dihadapi PKL Bantuan yang diharapkan PKL Pemahaman terhadap kebijakan Bentuk penataan yang diharapkan Pembayaran yang diharapkan
Persepsi masyarakat, pesaing dan pemasok
Persepsi ganguan usaha dan bentuk gangguan Persepsi penurunan omzet Persepsi manfaat Persepsi keberadaan PKL terhadap kepentingan umum Persepsi pengaturan PKL dan kebutuhan pengaturan Persepsi penggusuran Persepsi mekanisme penggusuran
Regresi linier dan berganda Primer dan
sekunder
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL Pengaruh pendapatan terhadap tingkat pendidikan tertinggi, kesehatan dan konsumsi keluarga setiap tipologi PKL
AHP-SWOT Identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi PKL di kota Bogor
Sekunder
Sosial-ekonomi Tingkat pendidikan, ekonomi, potensi ekonomi, sumbangan sektor informal terhadap PAD di lokasi penelitian
Sistem kebijakan Peraturan perundang-undangan Rencana tata ruang wilayah Renstra Kota Bogor
87
1. Pasar malam (pedagang sayuran) yang berlokasi di sekitar Jl. Suryakancana
dan Jl. Merdeka.
3.4. Metode Pengambilan Sampel
Populasi penelitian terdiri dari pelaku PKL, konsumen, masyarakat umum,
toko pesaing, supplier (sektor formal) di kota Bogor. Untuk pelaku PKL, tipologi
PKL yang dipilih adalah :
2. Pasar kuliner (pedagang makanan) yang berlokasi di Jl. Pajajaran, Pasar
Anyar, dan Jembatan Merah.
3. Pasar tumpah (pedagang macam-macam kebutuhan) yang berlokasi di sekitar
Pasar Bogor, Jl. Pedati, sekitar Pasar Anyar, Jl. Dewi Sartika, Jl. Nyi Raja
Permas, Jl. Sawo Jajar, dan Jl. Pabrik Gas.
Populasi pelaku PKL di kota Bogor menurut catatan Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor tahun 2005 adalah 6 239 PKL. Mengingat
bahwa data terbaru mengenai jumlah PKL, baik secara keseluruhan maupun per
lokasi belum tersedia, maka matode pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling terhadap masing-masing tipologi PKL terpilih dengan
mempertimbangkan berbagai karakteristik yang hampir sama sehingga mewakili
PKL dan responden yang ada. Pertanyaan atau wawancara dilakukan kepada
berbagai pihak seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Responden Penelitian
No. Populasi Tipologi (orang)
Pasar malam
Pasar kuliner
Pasar tumpah Jumlah
1. Pelaku PKL 40 40 40 120 2. Konsumen 10 10 10 30 3. Masyarakat umum (non pengguna) 5 5 5 15 4. Toko pesaing 3 3 3 9 5. Supplier (sektor formal) 2 2 2 6 Jumlah 60 60 60 180
Untuk responden pakar, penarikan sampel dilakukan terhadap pihak
pemerintah kota Bogor (wakil dari Bappeda, Satpol PP, Disperindagkop,
Dispenda, Dinas Pasar), praktisi sektor informal, dan ahli sektor informal. Data
dari responden ini akan digunakan dalam merumuskan kebijakan untuk analisis
AHP SWOT. Pemilihan responden dalam AHP dilakukan berdasarkan teknik
88
purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku, baik
individu atau lembaga yang dianggap mengerti permasalahan yang terjadi dan
mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan atau memberi masukan
kepada para pengambil kebijakan yaitu pemerintah, non pemerintah, perguruan
tinggi, dan masyarakat. Rincian responen pakar dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Responden Penelitian untuk Analisis AHP SWOT
No. Responden Jumlah (orang)
1. Pemda 10 • Bappeda 2 • Satpol PP 2 • Disperindagkop 2 • Dispenda 2 • Dinas Pasar 2
2. Praktisi sektor informal 2 3. Ahli sektor informal (universitas) 2 4. LSM 2 Jumlah 16
3.5.1.
3. 5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh berupa data kualitatif, selanjutnya ditranskripsikan
secara tertulis. Setelah proses transkripsi selesai maka data tersebut dianalisis.
Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat latar belakang tumbuhnya PKL,
faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, peranan PKL dalam pembangunan
kota Bogor, persepsi dari pihak-pihak yang secara langsung dan tidak langsung
terlibat dengan PKL, kebijakan yang ada atau sudah dilakukan dalam penanganan
PKL, meliputi dasar kebijakan, model kebijakan, dan proses sebelum kebijakan
tersebut diimplemetasikan atau dilaksanakan serta hasilnya.
Analisis Deskriptif
3.5.2. Analisis Persentase
Karakteristik demografis, ekonomis, potensi dan prospek PKL dianalisis
dengan menggunakan metode persentase dan rata-rata. Rumus umum yang
digunakan adalah sebagai berikut :
89
3.5.3. Analisis Regresi
Model regresi yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini adalah
model regresi linier berganda, karena melibatkan peubah dummy (Juanda 2009).
Dimana:
Y
Analisis regresi dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
PKL dan peranan pendapatan tersebut terhadap kesejahteraan PKL.
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL,
model regresi yang digunakan sebagai berikut:
i = Pendapatan PKL ke-i (Rp/bulan) X1i = Omzet PKL ke-i (Rp/ bulan) X2i = Jam kerja PKL ke-i (jam/hari) X3i = Modal awal/investasi PKL ke-i (Rp) X4i = Jumlah lapak/tempat usaha PKL ke-i X5i = Modal kerja PKL ke-i (Rp/hari) X6i = Retribusi/pungutan resmi PKL ke-i (Rp/hari) X7i = Pungutan tidak resmi PKL ke-i (Rp/hari) X8i = Upah tenaga kerja PKL ke-i (Rp/hari) X9i = Biaya-biaya internal PKL ke-i (Rp/hari) X10i = Lama usaha pada jenis usaha yang bersangkutan PKL ke-i (tahun) D1i = Jenis usaha PKL ke-i (pasar sayur malam, pasar kuliner, pasar tumpah) D2i = Nilai lokasi (strategis, tidak strategis), diindikasikan dengan ada-
tidaknya kerumunan orang atau dekat-tidaknya dengan pasar D3i = Jenis kelamin (laki-laki, perempuan) D4i = Asal pedagang (Bogor, luar Bogor) D5i = Kebersihan (bersih, kotor), mempengaruhi keinginan konsumen untuk
membeli ei = error standard. ke- i
Pendapatan PKL secara tidak langsung berpengaruh pada pembangunan
wilayah kota Bogor melalui peningkatan kesejahteraan keluarga PKL. Dalam hal
ini pendapatan PKL akan secara langsung mempengaruhi kesejahteraan PKL yang
tercermin dari pendidikan tertinggi yang dicapai anggota keluarga PKL,
kesehatan, dan konsumsi. Untuk menganalisis peran PKL terhadap perekonomian
wilayah, model regresi yang digunakan sebagai berikut:
Yi = β0 + β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i + β4 X4i + β5 X5i+ β6 X6+ β7 X7i + β8 X8i +
β9 X9i + β10 X10i + β11D1i + β12D2i+ β13D3i + β14D4i + β15D5i + ei
90
Zi = β0 + β1 Yi,
Dimana: Zi = Kesejahteraan PKL (pendidikan, kesehatan dan konsumsi responden ke i) Yi
1. Variabel-variabel dalam menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan PKL :
= Pendapatan PKL ke i
Variabel-variabel yang digunakan dalam kedua model tersebut adalah sebagai
berikut :
Pendapatan PKL (Yi Adalah pendapatan yang diterima pelaku usaha
PKL ke-i yang merupakan selisih antara
penerimaan yang diperoleh dengan biaya untuk
menghasilkan barang atau jasa usaha tersebut.
Pendapatan dinyatakan dalam rupiah per bulan
yang dihitung dengan cara mengalikan pendapataan
harian kali 30 hari kerja dalam satu bulan.
)
Omzet (X1i Adalah rata-rata hasil penjualan barang atau jasa
PKL ke-i yang dinyatakan dalam rupiah per bulan,
dihitung dengan cara mengalikan omzet penjualan
harian kali 30 hari kerja dalam satu bulan.
)
Jam kerja (X2i Adalah banyaknya jam kerja PKL ke-i yang
digunakan untuk melakukan usaha, dinyatakan
dalam jam per hari.
)
Modal awal/investasi (X3i
adalah uang dan atau nilai barang dan peralatan
yang digunakan PKL ke-i untuk memulai usaha
yang dinyatakan dalam rupiah.
)
Jumlah lapak/tempat usaha (X4i)
Adalah jumlah tempat berusaha dalam satu lokasi
yang digunakan untuk melakukan usaha PKL ke-i,
Modal kerja (X
dinyatakan dalam satuan unit dengan tidak melihat
luasnya.
5i Adalah rata-rata jumlah uang dan atau nilai barang
yang disediakan PKL ke-i untuk memulai usaha,
dinyatakan dalam rupiah per hari.
)
91
Retribusi/pungutan resmi (X6i
Adalah pungutan-pungutan resmi yang dilakukan
oleh dinas-dinas terkait kepada PKL ke-i karena
berusaha di lokasi tersebut dan jumlah nilainya
masuk dalam kas daerah, dinyatakan dalam rupiah
per hari.
)
Pungutan tidak resmi (X7i
adalah pungutan-pungutan yang dilakukan oleh
oknum-oknum (preman, jasa keamanan, dan lain-
lain) kepada PKL ke-i karena berusaha sebagai
PKL di lokasi tersebut, dinyatakan dalam rupiah
per hari.
)
Upah tenaga kerja (X8i Adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk
upah tenaga kerja yang membantu PKL ke-i dalam
usaha, yang besarnya dinyatakan dalam rupiah per
hari.
)
Biaya-biaya internal (X9i
Adalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan PKL
ke-i, terkait dengan aktivitas usahanya seperti biaya
transportasi, makan, penyewaan peralatan, listrik
dan sebagainya, dinyatakan dalam rupiah per hari.
)
Lama usaha (X10i Adalah lamanya berusaha (pengalaman usaha) pada
jenis usaha yang bersangkutan dari PKL ke-i,
dinyatakan dalm satuan tahun.
)
Jenis usaha (D1i Adalah barang dagangan yang dijual oleh pelaku
PKL ke-i, dinyatakan dengan skor sebagai berikut:
3 = Usaha kuliner.
2 = Pasar sayur malam
1 = Pasar tumpah menjual barang dan jasa macam-
macam (heterogen).
)
Nilai lokasi (D2i Adalah nilai tempat berusaha PKL ke-i yang
dibedakan menjadi strategis dan tidak strategis
dengan kreteria ada-tidaknya kerumunan orang atau
dekat-tidaknya dengan pasar atau lokasi keramaian
seperti mall, terminal, dan sebagainya:
)
92
1 = Lokasi strategis
0 = Lokasi kurang strategis
Jenis kelamin (D3i Adalah jenis kelamin pelaku PKL ke-i:
1 = Laki-laki
0 = Perempuan
)
Asal pedagang (D4i Adalah daerah atau kota asal PKL ke-i:
1 = Luar Bogor
0 = Bogor
)
Kebersihan (D5i Adalah kondisi kebersihan tempat uaha PKL ke-i:
1 = Bersih
0 = Kotor
)
2. Variabel-variabel dalam menganalisis peranan PKL terhadap
pembangunan kota Bogor :
Kesejahteraan PKL (Zi
Adalah ukuran-ukuran yang mengidentifikasikan pada
peningkatan kesejahteraan, minimal pada tingkat
pendidikan, kesehatan, dan konsumsi keluarga.
`)
Pendapataan PKL (Yi)
Untuk melihat nyata-tidaknya peranan keragaman peubah penjelas terhadap
keragaman peubah endogen dilakukan pengujian hipotesis secara statistik.
Hipotesis ini dirumuskan sebagai berikut:
H
Adalah pendapatan PKL ke-i.
0 : β1 = β2 = ….. = βk = 0
H1 : Minimal ada satu nilai βj
yang tidak sama dengan nol: j = 1, 2, 3 …, k
Pengujian peranan keragaman peubah penjelas secara bersama-sama terhadap
keragaman peubah endogen dilakukan dengan statistik uji-F, yaitu:
Jumlah kuadrat tengah regresi / k FHitung = Jumlah kuadrat tengah sisa / (n – k – 1 )
93
Bila: F hitung > Fα (k, n-k-1) ………………………… Tolak H0 F hitung ≤ Fα (k, n-k-1) ………………………… Terima H0 Dimana: K = Jumlah peubah penjelas n = Jumlah contoh ά =Taraf nyata
Ketika menggunakan SWOT, analisnya lemah dalam hal kemungkinan
penilaian komprehensif terhadap situasi pembuatan keputusan strategis karena
pada level ini hanya menunjuk pada faktor tertentu. Eskpresi setiap faktor
seringkali sangat umum dan ringkas (Hill and Westbrook, 1997). Lebih lanjut,
3.5.4. Analisis AHP SWOT
Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) menjadi
salah satu alat analisis paling populer dalam perencanaan strategik. Analisis ini
muncul pada tahun 1960-an (Learned et al. 1965), dan dipopulerkan oleh
Weihrich (1982). Alat ini digunakan untuk analisis situasi internal dan eksternal,
yang selanjutnya mendukung perumusan strategi yang dapat menyelesaikan
situasi tersebut.
Analisis SWOT adalah alat analisis yang banyak diaplikasikan dalam analisis
lingkungan internal dan eksternal untuk mendapatkan pendekatan sistematis bagi
suatu situasi keputusan strategik. Faktor internal dan eksternal yang sangat
penting bagi masa depan usaha disebut sebagai faktor strategik. Dalam SWOT
faktor-faktor ini (disebut sebagai faktor-faktor SWOT) dikelompokkan menjadi
empat kategori yang disebut sebagai grup SWOT yaitu : kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Tujuan
utama penggunaan SWOT dalam proses perencanaan strategikadalah membangun
dan mengadopsi strategi yang dihasilkan dari kecocokan antara faktor-faktor
internal dan eksternal. SWOT juga dapat digunakan jika alternatif strategi tiba-
tiba muncul dan konteks keputusan yang relevan dengan aternatif tersebut sudah
dianalisis (Kangas et al. 2001).
Jika digunakan dengan benar, analisis SWOT dapat menjadi dasar yang baik
untuk merumuskan strategi. Analisis SWOT juga dapat digunakan lebih efisien
dibandingkan penggunaan lazimnya (McDonald, 1993).
94
SWOT juga tidak memiliki cara analitik dalam menetapkan arti penting faktor
atau menilai alternatif keputusan terkait dengan faktor tersebut. Jika digunakan
secara individual, SWOT adalah analisis kualitatif yang dibuat dalam proses
perencanaan berdasarkan kemampuan dan keahlian orang yang terlibat dalam
proses tersebut. Hasil analisis SWOT seringkali hanya merupakan daftar atau uji
kualitatif yang tidak lengkap terhadap faktor-faktor internal dan eksternal. Inilah
mengapa SWOT seringkali disebut sebagai So WOT (Kangas et al. 2001)
Ide dalam mengkombinasikan AHP (Saaty, 1977, 1980) dalam kerangka kerja
SWOT adalah agar dapat secara sistematis mengevaluasi faktor-faktor SWOT dan
membuatnya dapat terukur terkait dengan intensitasnya (Kurttila et al. 2000).
Kualitas AHP dipandang dapat menjadi karakteristik yang berguna dalam analisis
SWOT. Nilai tambah dari analisis SWOT diperoleh dengan melakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) antara faktor-faktor SWOT
dan selanjutnya menganalisisnya menggunakan teknik nilai eigen (eigen value)
seperti yang diaplikasikan dalam AHP. SWOT dapat menjadi kerangka dasar
untuk melakukan analisis situasi keputusan dan AHP akan membuat SWOT lebih
analitik. Metode hibrid ini sering disebut sebagai A'WOT (Kangas et al. 2001).
Setelah melakukan perbandingan informasi kuantitatif yang berguna, dapat
diperoleh situasi pembuatan keputusan. Berdasarkan perbandingan faktor-faktor
SWOT dan grupnya maka dapat dianalisis apakah suatu kelemahan tertentu lebih
membutuhkan perhatian dibandingkan kelemahan lainnya atau apakah ancaman
terhadap perusahaan di masa datang lebih besar dibandingkan peluangnya
(Kurttila et al. 2000). Di sisi lain, A'WOT membuat alternatif pilihan dapat
dievaluasi untuk masing-masing faktor SWOT dan setiap grup SWOT (Pesonen et
al. 2000). Jika arti penting dari berbagai grup SWOT sudah ditetapkan, alternatif
pilihan dapat diprioritaskan terkait dengan situasi pilihan strategik secara
keseluruhan.
Dalam konteks penelitian ini, untuk merumuskan strategi pemberdayaan
khususnya bagi PKL di kota Bogor dilakukan menggunakan kombinasi SWOT
dan AHP. Matrik SWOT digunakan untuk memformulasikan berbagai alternatif
pilihan strategi dalam pengelolaan PKL di Bogor.
95
Metode hibrid A’WOT dilakukan menggunakan tahapan-tahapan seperti yang
dikemukakan oleh Kangas et al. (2001) dimana terdapat 5 tahapan dalam
mengkombinasikan kedua metode tersebut. Tahapan-tahapan ini dijelaskan
sebagai berikut:
(i) Melakukan Analisis SWOT
Analisis SWOT dapat dipahami sebagai pengkajian kekuatan dan kelemahan
internal suatu organisasi serta peluang dan ancaman lingkungan eksternal. Alat
umum digunakan dalam tahap awal pembuatan kebijakan perencanaan strategik
untuk beragam jenis aplikasi. Jika diaplikasikan dengan benar, keputusan strategi
yang baik dapat diperoleh. Secara skematis analisis SWOT disajikan pada
Gambar 12.
Gambar 12. Analisis SWOT Sumber : Flouris dan Yilmaz (2010)
Proses awal yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT adalah
pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian
ini, pengambilan data internal dan eksternal pengelolan PKL di kota Bogor
dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner dari responden pakar dan
stakeholder. Dalam hal ini peneliti mendaftar faktor internal kunci (kekuatan dan
kelemahan) dan faktor eksternal kunci (peluang dan ancaman) yang disebutkan
atau diidentifikasikan dari responden (Marimin, 2004) ke dalam matrik internal
dan eksternal.
(ii) Melakukan Perbandingan Berpasangan Antar Faktor-faktor SWOT
yang Dilakukan Secara Terpisah dalam Setiap Grup SWOT
Data yang didapatkan dimasukkan dalam matrik internal dan eksternal untuk
dilakukan pembobotan. Matrik internal dan eksternal berisi daftar faktor internal
KEKUATAN
KELEMAHAN PELUANG
ANCAMAN
ANALISIS SWOT
96
dan eksternal kunci yang didapatkan pada tahap pengumpulan data. Contoh
matrik internal dan eksternal disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Matrik Internal dan Eksternal
Faktor Rating Skor Faktor Internal (kekuatan – kelemahan) 1. Kekuatan (Strengths) S 1 S 2 S 3 S 4 ….
Total 2. Kelemahan (Weaknesses) W 1 W 2 W 3 W 4 ….
Total Faktor Eksternal (peluang – ancaman) 3. Peluang (Opportunities) O 1 O 2 O 3 O 4 ….
Total 4. Ancaman (Threats) T 1 T 2 T 3 T 4 ….
Total Sumber : Marimin (2004)
Dari daftar faktor internal dan eksternal tersebut dilakukan pembobotan faktor-
faktor kunci. Tujuannya adalah mensistematiskan masalah dan menyelesaikannya
pada berbagai level dan beragam aspek. Skala yang digunakan adalah skala Likert
1, 2, ..., 9 untuk menunjukkan perbandingan dari semua bobot sehingga
membentuk suatu matrik. Skala perbandingan berpasangan yang dikembangkan
oleh Saaty (1993) disajikan pada Tabel 16.
97
Tabel 16. Skala Perbandingan Berpasangan
Nilai Kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian dengan kuat menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya
Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam kenyataan
9
Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dan pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua komponen di antara dua pilihan
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibanding dengan i
Sumber : Saaty (1993)
Data yang didapatkan dari masing-masing responden ahli disebut sebagai
Matrik Pendapat Individu (MPI). Contoh formulasi matrik pendapat individu
disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Matrik Pendapat Individu (MPI)
G C C1 ……. 2 Cn C a1 a11 …… 12 a1n C 2 a …… 22 a….
2n a ….. ....
Cn Ann Keterangan : G = Faktor internal atau eksternal; C = Faktor ke-n Sumber : Diadopsi dari Chang, Huang (2005)
98
Dalam hal ini C1, C2, …, Cn adalah set elemen faktor kunci dalam SWOT
dan G adalah grup SWOT. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi
berpasangan membentuk matrik n x n. Nilai aij merupakan nilai matrik
pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.
Mengingat bahwa terdapat beberapa responden dengan respon penilaian yang
berbeda, maka matrik pendapat individu ini perlu digabungkan sehingga akan
dihasilkan apa yang disebut sebagai Matrik Pendapat Gabungan (MPG). MPG
merupakan matrik baru yang elemen-elemennya ( ) berasal dari rata-rata
geometrik elemen matrik pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya
(CR) memenuhi syarat. Matrik ini selanjutnya digunakan untuk mengukur
tingkat konsistensi serta vektor prioritas dari elemen-elemen hirarki yang
mewakili semua responden. MPG ini didapatkan dengan menggunakan
formulasi sebagai berikut :
Dimana = MPG baris ke-i kolom ke-j dan m adalah jumlah MPI (atau aij
adalah matrik pendapat individu).
Jika menggunakan AHP untuk menentukan bobot kriteria dalam
perbandingan berpasangan maka harus membentuk matrik perbandingan
berpasangan (A). Dalam struktur hirarki ini, faktor untuk setiap level ditandai
sebagai A1, A2, ..., An. Berdasarkan indek dari level di atas, bobot faktor w1,w2,
..., wn ditentukan. Arti penting relatif ai dan aj ditunjukkan sebagai aij. Matrik
perbandingan berpasangan dari faktor A1, A2, ..., An adalah A = [aij] sedangkan
elemen-elemennya ditunjukkan dalam formula :
Dalam martik ini, berpandingan berpasangan dari elemen aij = 1/aij dan
dengan demikian jika i = j, aij = 1. Nilai wi bervariasi antara 1 sampai 9 (Tabel
skala penilian).
99
Setelah dilakukan berbandingan berpasangan pada MPG, pengolahan
berikutnya adalah mencari vektor antara (VA) dan vektor prioritas (VP). Vektor
priotitas inilah yang disebut sebagai bobot. Contoh formulasi matrik pendapat
gabungan, VA, dan VE disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Perbandingan berpasangan pada Matrik Pendapat Gabungan (MPG), VA, dan VP (bobot)
G C C1 ……. 2 Cn VA VP (bobot) C a1 a11 …… 12 a VAC1n VPC1 1 C a2 A21 …… 22 a VAC2n VPC2 ….
2 …… …… a ….. .... …. ….
Cn a An2 n1 …… A VACn nn VPCn Jumlah VA tot
Rumus yang digunakan dalam menghitung VA dan VP adalah sebagai
berikut :
Dan
Saaty (1993) menyatakan bahwa nilai eigen maksimum (λmax) dapat dihitung
menggunakan formulasi sebagai berikut :
Jika A adalah matrik yang konsisten, eigen vector w dapat dihitung
menggunakan rumus :
(A − λmax I)w = 0
dimana λmax adalah eigen value maksimum dari matrik A, w adalah vektor bobot,
dan I adalah matrik identitas.
100
Untuk menentukan indek konsistensi suatu matrik, dilakukan uji konsistensi.
Konsistensi logis menunjukan intensitas relasi antara pendapat yang
didasarkan pada suatu kriteria tertentu dan saling membenarkan secara
logis. Tingkat konsistensi menunjukkan suatu pendapat mempunyai nilai
yang sesuai dengan pengelompokan elemen pada hirarki. Tingkat konsistensi
juga menunjukan tingkat akurasi suatu pendapat terhadap elemen-elemen pada
suatu tingkat hirarki. Untuk mengetahui indeks konsistensi (CI) digunakan
formulasi sebagai berikut :
Dimana: λmax = Nilai eigen value dan n = jumlah yang dibandingkan
Untuk mengetahui konsistensi secara menyeluruh dari berbagai
pertimbangan dapat diukur dari nilai Ratio Konsistensi (CR). Nilai CR adalah
perbandingan antara CI dengan Random Index (RI), dimana nilai RI telah
ditentukan seperti terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Nilai Random Index (RI)
n RI n RI n RI n RI n RI 1 0.00 2 0.00 3 0.52 4 0.89 5 1.11 6 1.25 7 1.35 8 1.40 9 1.45 10 1.49
Sumber : Saaty dan Vargas (1994)
Pengolahan yang terkait dengan perbandingan berpasangan ini dilakukan
menggunakan software expert choice ver 9.0 atau menggunakan MS Excell.
Dalam penelitian ini, program MS Excell dipilih karena kesederhanaannya dan
penggunaan metode AHP tidak melibatkan penggunaan level hirarki.
(iii) Penyusunan Alternatif Strategi Menggunakan Matrik SWOT
Setelah didapatkan bobot yang konsisten dari setiap faktor kunci, baik
untuk faktor internal dan eksternal, langkah berikutnya adalah menyusun
alternatif strategi berdasarkan kesesuaian terbaik dari faktor-faktor tersebut.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strengths) dan peluang (opportunities) suatu kegiatan umum secara bersamaan
101
dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Matrik
analisis SWOT disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Matrik Analisis SWOT
Faktor Internal Faktor Eksternal
Strenghts (Kekuatan) S S
1
S2
S3
… 4
S
Weaknesses (Kelemahan)
n
W W
1
W2
W3
… 4
Wn Opportunity (Peluang) O O
1
O2
O3
… 4
O
Strategi S – 0
n
Strategi W - P
Threats (Ancaman) T T
1
T2
T3
… 4
T
Strategi S – T
n
Strategi W - T
Sumber : Pearce and Robinson, 1997
Dalam matrik ini dihasilkan empat alternatif strategi (SO, ST, WO, WT).
Hasil pembobotan dari setiap faktor SWOT menggunakan metode perbandingan
berpasangan di atas dimasukkan ke dalam tabel pembobotan seperti yang
disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Pembobotan Tiap Unsur SWOT
Kekuatan Bobot Peluang Bobot Kelemahan Bobot Ancaman Bobot S 1 P 1 W 1 T 1 S 2 P 2 W 2 T 2 S 3 P 3 W 3 T 3 S.. P.. W.. T.. S n P n W n T n
102
Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari
penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO),
penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang
(ST), pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada
(WO) dari pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang
akan datang (WT). Penjumlahan dari bobot faktor SWOT dilakukan terhadap
keterkaitan faktor-faktor SWOT, seperti disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Ranking Alternatif Strategi
Faktor SWOT Keterkaitan Bobot Prioritas Strategi SO
SO S1 1, S2,..,Sn, O1,O2,..,O n SO 2 SO… SO n
Strategi ST ST 1 ST 2 ST… ST n
Strategi WO WO 1 WO 2 WO… WO n
Strategi WT WT 1 WT 2 WT… WT n
Penggunan teknik AHP masih menjadi perdebatan teoritis. Perbandingan
berpasangan adalah yang paling banyak diperdebatkan. Fenomena ini masih
belum dapat diselesaikan dan mungkin tidak pernah terselesaikan karena agregasi
preferensi yang ditransformasikan dari skala dengan unit berbeda tidak mudah
diinterpretasikan dan cukup dapat dipertanyakan (Roy, 1996). Asumsi
independensi kriteria (tidak ada korelasi) juga menjadi kelemahan AHP (dan
metode pengambilan keputusan kriteria majemuk lainnya). Analytic Network
Process (ANP), yang merupakan generalisasi AHP dengan umpan balik untuk
menyesuaikan bobot, bisa jadi menjadi penyelesaian (Saaty and Takizawa, 1986).
103
3.6. Definisi Operasional
•
Untuk menyamakan persepsi maka perlu dikemukakan definisi operasional dari
beberapa istilah yang dipergunakaan dalam penelitian ini, antara lain :
•
Konsumen adalah bagian masyarakat yang pernah, suka, ataupun sering
berbelanja pada PKL.
•
Masyarakat non pengguna adalah bagian masyarakat yang tidak pernah
berbelanja pada PKL.
•
Masyarakat umum adalah masyarakat secara keseluruhan, baik konsumen
ataupun masyarakat non pengguna.
•
Pasar kuliner adalah para PKL yang berjualan bermacam-macam makanan dan
menempati lokasi secara bersama-sama di tempat tertentu dan biasanya
berjualan mulai sore hari sampai menjelang pagi hari.
•
Pasar sayur malam adalah para PKL yang berjualan sayur-mayur serta
bermacam-macam keperluan dapur atau keperluan untuk masak-memasak dan
menempati lokasi secara bersama-sama di tempat tertentu dan biasanya
berjualan mulai malam hari sampai pagi hari.
• Pelaku PKL adalah orang yang berusaha mencari nafkah dengan
menggunakan bahu jalan atau badan jalan atau ruang-ruang publik untuk
tempat usahanya dengan lokasi yang tetap (tidak berkeliling).
Pasar tumpah adalah para PKL yang berjualan bermacam-macam barang dan
jasa atau peralatan-peralatan kecil kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan
kebutuhan-kebutuhandan lain, yang menempati lokasi secara bersama-sama,
di tempat tertentu sekitar pasar tradisional resmi yang diremajakan dan
biasanya kebanyakan mereka berasal dari pedagang pasar lama yang tergusur
karena tidak mampu membeli kios-kios di pasar yang baru atau sebab lain, dan
biasanya berjualan mulai pagi hari sampai sore hari.
• Pemberdayaan PKL adalah usaha pemerintah kota atau lembaga-lembaga lain
untuk meningkatkan kemampuan modal dan sumber daya lainnya dari PKL
dengan cara yang benar dan manusiawi, bertujuan agar suatu saat mereka
mampu menjadi pengusaha formal yang tidak menggunakan lokasi ruang
publik lagi untuk tempat usahanya.
104
• Penataan PKL adalah usaha pemerintah kota atau lembaga-lembaga lain
untuk menata atau mengatur tata letak tempat usaha PKL dengan tujuan
menghilangkan kesan-kesan negatif atas keberadaan PKL.
• Toko pesaing adalah mereka yang berusaha di tempat formal (tidak
menggunakan ruang publik), menjual atau memproduksi barang atau jasa yang
sama ataupun berbeda dengan PKL, tetapi tempat tersebut menjadi terhalang
oleh keberadaan PKL.
• Pungutan liar adalah pembayaran yang dilakukan oleh PKL kepada oknum
atau orang atau kelompok orang yang tidak jelas peruntukannya dan tidak
ada dalam peraturan resmi dari instansi terkait, atau pembayaran yang
dilakukan bukan karena adanya transaksi jual-beli atau sewa-menyewa atas
pemilikan dan atau penggunaan suatu barang tertentu.
3.7. Keterbatasan Penelitian
Penelitian PKL di suatu perkotaan adalah sangat kompleks karena
melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan
tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu:
1. Hanya menggunakan tiga tipologi sebagai pewakil PKL sehingga tidak
sepenuhnya dapat mewakili semua tipologi PKL yang ada di kota
Bogor.
2. Terbatasnya ruang kota dan dana pembangunan perkotaan yang
membatasi opsi-opsi strategisnya yang dapat dirumuskan.
3. Ketidaktersediaan database PKL terbaru sehingga informasi jumlah dan
sebaran PKL di kota Bogor masih tidak konklusif
4. Kompleknya permasalahan PKL karena melibatkan banyak stakeholder
dan banyak kepentingan yang pada gilirannya membatasi penyelesaian
masalah PKL.
BAB IV
KONDISI UMUM KOTA BOGOR
4.1. Kondisi dan Potensi
Kota Bogor adalah salah satu kota yang berada di bawah wilayah
administratif Propinsi Jawa Barat dan hanya berjarak lebih kurang 50 km dari
pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta. Kota dengan luas 11.850 ha ini dihuni
lebih dari 820.707 jiwa yang tersebar di 6 kecamatan, 68 kelurahan, yang
dibatasi oleh Kabupaten Bogor.
Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede, dan
Kecamatan Sukaraja.
Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas.
Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi.
Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin.
Kota Bogor terletak pada ketinggian antara 190 sampai dengan 350 meter di
atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 4.000 mm/tahun. Tingginya
curah hujan di Kota Bogor menyebabkan mendapat julukan Kota Hujan, dan
terkadang salah diartikan juga sebagai daerah “pengirim” banjir ke Jakarta
melalui dua sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane.
Secara administratif, kota Bogor dikelilingi oleh Kabupaten Bogor dan sekaligus
menjadi pusat pertumbuhan Bogor Raya dan secara geografis dikelilingi oleh
bentangan pegunungan, mulai dari Gunung/Pegunungan Pancar, Megamendung,
Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Salak dan Gunung Halimun yang
menyerupai huruf U.
Secara topografis, kemiringan tanah di Kota Bogor berkisar antara 0-15
persen dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30
persen. Jenis tanah di hampir seluruh wilayah adalah lotosil coklat kemerahan
dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus
serta bersifat agak peka terhadap erosi. Dengan ketinggian antara 190-330 m
diatas permukaan laut, suhu di Kota Bogor relatif sejuk, didukung frekuensi curah
hujan cukup tinggi. Pada tahun 2010 curah hujan tertinggi pada bulan Februari
106
(806,4 mm) dan terendah pada bulan Desember (276,8 mm). Jumlah rata-rata
hujan di Kota Bogor selama tahun 2010 adalah 21 hari per bulan.
Berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(Tahun 1999-2009), fungsi Kota Bogor adalah :
1. Sebagai kota perdagangan
2. Sebagai kota industri
3. Sebagai kota permukiman
4. Wisata ilmiah
5. Kota pendidikan
Dalam konteks regional, posisi straregis kota Bogor adalah :
1. Kabupaten Bogor, bahwa kota Bogor sebagai pusat pengembangan di
Wilayah VII yang melayani areal kota Bogor dan areal sekitar kota Bogor.
2. Jabodetabek, bahwa kota Bogor merupakan kota yang diarahkan untuk
menampung 1,5 juta jiwa pada tahun 2009.
3. Negara, kota Bogor merupakan kota yang menampung kegiatan yang jenuh di
ibukota.
Dalam konteks internasional, kota Bogor merupakan pusat kegiatan-kegiatan
internasional seperti konferensi antara lain Jakarta Informal Meeting untuk
APEC yang dihadiri oleh para pemimpin negara dari Asia Pasifik termasuk
Amerika Serikat. Dengan demikian kota Bogor harus menyiapkan dirinya
menjadi kota jasa yang siap melayani kebutuhan event-event
nasional/internasional yang diselenggarakan di kota Bogor.
Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga juga menjadi
tuntutan utama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh
warga terhadap barang dan jasa. Implikasi dari semua ini adalah meningkatnya
kebutuhan pengadaan sarana transportasi masyarakat kota, timbulnya kemacetan,
meningkatnya jumlah PKL secara berlebihan, rusaknya tata kota, semakin
menurunnya kualitas kebersihan kota sebagai akibat dari kelebihan penduduk dan
segala aktivitasnya yang melebihi daya dukung lingkungan.
Dengan posisi yang strategis sebagai salah satu penyangga ibukota serta
kondisi alamnya yang relatif lebih nyaman dibanding kota penyangga lainnya,
kota Bogor menjadi pilihan bagi penduduk, baik yang datang dari sekitar Bogor
107
maupun para perantau dari daerah lain yang menjadikan Bogor atau Jakarta
sebagai sumber mencari mata pencaharian. Kondisi tersebut memberikan dampak
yang luas bagi kota Bogor, baik dalam tatanan kependudukan, kemasyarakatan
maupun perekonomian, dan kondisi lainnya.
4.2. Sejarah Kota Bogor
Kota Bogor merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang telah berdiri
pada abad XV (Tahun 1579) sebelum masuknya VOC. Dulu merupakan pusat
Kerajaan Pajajaran, namun setelah penyerangan pasukan Banten, kota ini menjadi
hancur lebur dan hampir hilang ditelan sejarah selama satu abad. Pada saat VOC
menguasai Banten dan sekitarnya wilayah Bogor berada dibawah pengawasan
VOC. Dalam rangka “membangun” wilayah kekuasaannya, Pemerintah Belanda
melakukan ekspedisi dan ternyata tidak ditemukan reruntuhan bekas ibukota
Pajajaran (Scipio-1687) kecuali di daerah Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan
Parung Angsana.
Selanjutnya Parung Angsana diberi nama Kampung Baru dan dari sinilah
cikal bakal Bogor dibangun (Tanujiwa 1689-1705). Di Kampung Baru didirikan
tempat peristirahatan oleh GJ. Baron Van Imhoff (1740), yang sekarang dikenal
dengan Istana Bogor dan tahun 1745 Bogor ditetapkan sebagai Kota Buitenzorg.
Di sekitar tempat peristirahatan tersebut dibangun Pasar Bogor (1808) dan Kebun
Raya (1817). Tahun 1904 Buitenzorg resmi menjadi pusat kedudukan dan
kediaman Gubernur Jenderal dengan wilayah seluas 1.205 ha, terdiri dari 2
kecamatan dan 7 desa.
Dengan keputusan Gubernur Jendral Van Nederland Indie Nomor 289 tahun
1924, ditambah dengan Desa Bantar Jati dan Desa Tegal Lega seluas 951 ha
sehingga luasnya menjadi 2.156 ha yang diproyeksikan untuk 30.000 jiwa.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1941, Buitenzorg secara resmi lepas dari
Batavia dan mendapat otonomi sendiri. Berdasarkan UU No. 16 tahun 1950 Kota
Bogor ditetapkan menjadi Kota Besar dan Kota Praja yang terbagi dalam 2
wilayah kecamatan dan 16 lingkungan. Tahun 1981 jumlah kelurahan menjadi 22
kelurahan, 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Terakhir berdasarkan PP.
No. 44/1992 Perwakilan Kecamatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya menjadi
108
kecamatan. Saat ini terdapat 6 kecamatan dan 68 kelurahan dengan luas 11.850 ha
dan diproyeksikan untuk 1.500.000 jiwa pada tahun 2009.
4.3. Pemerintahan
Kota Bogor terdiri dari 6 kecamatan dengan total kelurahan sejumlah 68.
Pada tahun 2010 ada 758 RW serta 3.392 RT. Jumlah anggota DPRD Kota Bogor
adalah 45 orang dengan mayoritas anggota dari fraksi Partai Demokrat sebanyak
15 Orang. Menurut SIMPEG Kota Bogor, tahun 2010 terdapat 3.241 PNS di
lingkungan Pemda Kota Bogor dengan jumlah PNS tertinggi bergolongan II yaitu
1.359 orang (41,93%) dan terendah pada PNS golongan IV yaitu 238 orang
(7,34%). Pada tahun 2010 terdapat 3.328 anggota Linmas di Kota Bogor.
4.4. Penduduk Dan Ketenagakerjaan
Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk 2010, jumlah penduduk
Kota Bogor adalah 950.334 orang dengan rincian 484.791 lakilaki dan 465.543
perempuan. Sex rasio Kota Bogor tahun 2010 adalah 104 dan jumlah rata-rata
anggota 4 orang per rumah tangga. Kepadatan jumlah penduduk di Kota Bogor
adalah 8.020 orang/ km2. Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah
Kecamatan Bogor Tengah yaitu 12.472 orang/ km2, dan kepadatan terendah ada di
Kecamatan Bogor Selatan yaitu 5.887 orang/ km2
Kecamatan
.
Tabel 23. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 20011
Luas Penduduk (Orang) Kepadatan Penduduk
(Orang/Km2)
Km % 2 Jumlah %
Bogor Selatan 30,81 26,00 181.392 19,09 5.887
Bogor Timur 10,15 8,57 95.098 10,01 9.369
Bogor Utara 17,72 14,95 170.443 17,94 9.619
Bogor Tengah 8,13 6,86 101.398 10,67 12.472
Bogor Barat 32,85 27,72 211.084 22,21 6.426
Tanah Sareal 18,84 15,90 190.919 20,09 10.134
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
109
Tabel 24. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Bogor Tahun 1990, 2000, dan 2010
Kecamatan Jumlah penduduk Laju Pertumbuhan
Penduduk per tahun (%) 1990 2000 2010 1990-2000 2000-2010
Bogor Selatan 52.061 147.507 181.392 10,50 2,09
Bogor Timur 62.403 77.000 95.098 2,12 2,13
Bogor Utara 81.046 132.113 170.443 4,93 2,57
Bogor Tengah 35.393 91.230 101.398 9,55 1,07
Bogor Barat 40.808 166.427 211.084 14,17 2,40
Tanah Sareal - 136.542 190.919 - 3,38
Jumlah 271.711 750.819 950.334 10,25 2,38
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pada tahun 2010 di Kota Bogor terdapat 418.742. orang angkatan kerja
dengan 82% sudah bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun
2010 adalah 65,56% dan tingkat pengangguran 17,20%. Proporsi tertinggi
penduduk bekerja di Kota Bogor, yaitu 31,38% adalah di bidang perdagangan,
rumah makan dan hotel.
Tabel 25. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama di Kota Bogor Tahun 2008-2010
Jenis Kegiatan Utama 2008 2009 2010
I. Angkatan Kerja 463.172 476.126 418.742
1. Bekerja 377.388 385.488 346.727
2. Penganguran 85.784 90.638 72.015
II. Bukan Angkatan Kerja
Sekolah, Mengurus, Rumah tangga, dan Lainnya 303.907 316.876 220.004
Jumlah 767.079 793.002 638.746
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)(%) 60,38 60,04 65,56
Tingkatan Pengangguran (%) 18,52 19,04 17,20
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
110
4.5. Pendidikan, Kesehatan/ Keluarga Berencana Dan Agama
Hasil Susenas 2010 menyatakan bahwa 98,36% penduduk Kota Bogor
sudah dapat membaca dan menulis. Penduduk usia 10 tahun keatas yang
menamatkan SMA/MA/SMK sebesar 31,48% sedangkan yang memiliki ijazah
lebih dari tingkat SMA hanya sebesar 9,51%. Kondisi ini menunjukan bahwa
usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan formal
di Kota Bogor belum cukup optimal.
Tabel 26. Penduduk 10 Tahun Ke atas Menurut Partisipasi Sekolah Dan Jenis Kelamin di Kota Bogor Tahun 2010
Partisipasi Sekolah Jenis Kelamin Jumlah Laki-Laki Perempuan Tidak/Belum sekolah 3.419 10.258 13.677
SD/MI 21.370 24.790 46.160
SMP/MTs 22.653 23.935 46.588
SMA/MA/SMK Kejuruan 20.516 14.959 35.475
Perguruan Tinggi 18.806 10.258 29.064
Tidak Bersekolah Lagi 309.016 302.178 611.194
Jumlah 395.780 386.378 782.158
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pembangunan bidang kesehatan di Kota Bogor menunjukan hasil yang
cukup signifikan. Ada 10 rumah sakit dengan 1.808 tempat tidur yang tersebar di
6 kecamatan di Kota Bogor. Selain ada 24 Puskemas dan 28 Pustu di seluruh Kota
Bogor. Untuk mendukung program Keluarga Berencana (KB), tersedia banyak
fasilitas KB di seluruh wilayah Kota Bogor yang mampu melayani 22.938
akseptor baru KB. Akseptor baru KB terbanyak di Kecamatan Tanah Sareal, yaitu
6.238 akseptor dan terendah di Kecamatan Bogor Utara (1.984 akseptor) serta
Kecamatan Bogor Barat (1.968 akseptor).
Selain data pendidikan dan kesehatan, data sosial lain yang sering
dimanfaatkan untuk analisis sosial adalah tentang agama. Agama mayoritas
penduduk Kota Bogor adalah Islam dengan jumlah pemeluk Islam terbesar
91,78%, jumlah haji yang berasal dari Kota Bogor tahun 2010 sebanyak 1.025
orang.
111
4.6. Pertanian
Sektor pertanian di Kota Bogor bukan merupakan sektor ekonomi yang
dominan, tetapi penggunaan lahan baik sawah maupun bukan sawah masih tetap
mendapat perhatian utama pemerintah daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010
terdapat 793 Ha lahan sawah dan 2.375 Ha lahan bukan sawah di Kota Bogor.
Selain padi dan palawija, tanaman holtikultura merupakan andalan sektor
pertanian di Kota Bogor. Selain pertanian tanaman pangan, sektor peternakan dan
perikanan juga masih cukup berkembang di Kota Bogor.
Penggunaan Lahan Pertanian Sawah menurut Kecamatan di Kota Bogor
Tahun 2010 disajikan pada Tabel 27. Dari total luas lahan sawah sebesar 793 ha,
luasan lahan sawah yang beririgasi teknis adalah 295 Ha, Irigasi setengah teknis
120 ha, irigasi sederhana 370 ha, dan sawah tadah hujan 8 ha.
Tabel 27. Penggunaan Lahan Pertanian Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010
Kecamatan Irigasi teknis
Irigasi setengah
teknis
Irigasi sederhana
Tadah Hujan
Bogor Selatan 156 0 127 0
Bogor Timur 139 38 1 0
Bogor Utara 0 0 2 0
Bogor Tengah 0 1 0 0
Bogor Barat 0 76 239 0
Tanah Sareal 0 6 0 8
Jumlah 295 120 370 8 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Penggunaan Lahan Pertanian bukan sawah menurut kecamatan di Kota
Bogor Tahun 2010 disajikan pada Tabel 28. Dari total luas lahan bukan sawah
sebesar 2.375 Ha ha, penggunaan untuk kebun adalah yang terbesar yaitu 964 ha,
diikuti oleh penggunaan lainnya yaitu 912 ha, hutan rakyat 366 ha, kolam/empang
75 ha, perkebunan 30 ha dan sementara tidak diusahakan 28 ha.
112
Tabel 28. Penggunaan Lahan Pertanian bukan sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 (dalam Ha)
Kecamatan Tegal/ kebun Perkebunan Hutan
Rakyat Tambak Kolam/ empang
Sementara tidak
diusahakan lainnya
Bogor Selatan
282 0 73 0 19 11 195
Bogor Timur
137 0 54 0 18 7 167
Bogor Utara
195 0 93 0 13 3 192
Bogor Tengah
3 0 3 0 5 0 5
Bogor Barat
128 30 72 0 8 2 235
Tanah Sareal
219 0 71 0 12 5 118
Jumlah 964 30 366 0 75 28 912
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Penggunaan lahan pertanian bukan sawah ditujukan untuk produksi
beragam komoditas seperti jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar dan talas.
Dilihat dari nilai total produksi, ubi kayu menunjukkan produksi tertinggi sebesar
4.424 ton, diikuti oleh Ubi jalar (1.332 ton), talas (957 ton), jagung (815 ton) dan
kacang tanah (121 ton) dengan total produksi sebesar 7.649 ton.
Tabel 29. Target, Realisasi dan Produksi Tanaman Palawija (Lahan Bukan Sawah) Menurut Jenis Tanaman di Kota Bogor Tahun 2010
Tanaman Target (Ha)
Realisasi (Ha)
Produksi (Ton)
1. Jagung 187 194 815
2. Kacang Tanah 74 67 121
3. Ubi Kayu 308 316 4.424
4. Ubi Jalar 110 111 1.332
5. Talas 177 165 957
Jumlah 856 853 7.649 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Sama seperti pertanian tanaman pangan, produksi ternak juga bukan
merupakan sektor unggulan di kota Bogor. Total produksi ternak besar (sapi
perah, sapi potong, kerbau dan kuda) adalah 1307 ekor yang didominasi oleh jenis
sapi perah sebesar 952 ekor. Total produksi ternak kecil (kambing dan domba)
adalah 10.752 ekor yang didominasi oleh jenis domba sebanyak 8.255 ekor.
113
Tabel 30. Populasi Ternak Besar dan Ternak Kecil Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010
Kecamatan Ternak Besar (ekor) Ternak Kecil (ekor)
Sapi perah
Sapi Potong Kerbau Kuda Kambing Domba
Bogor Selatan 256 3 26 29 595 4.518
Bogor Timur 28 18 0 5 259 547
Bogor Utara 21 10 0 0 213 386
Bogor Tengah 0 0 0 0 0 206
Bogor Barat 14 189 19 20 755 1.720
Tanah Sareal 633 0 0 36 648 878
Jumlah 952 220 45 90 2.470 8.255 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Pada kelompok unggas, produksi terbesar adalah ayam kampung sebanyak
237.397 ekor, diikuti oleh ayam ras potong (265.000 ekor), itik (15.758 ekor) dan
ras petelur (4.000 ekor). Dilihat dari total produksi per kecamatan, kecamatan
Bogor Selatan menunjukkan produksi tertinggi sebesar 172.769 ekor dan yang
terendah adalah Bogor Timur sebanyaj 24.192 ekor.
Tabel 31. Populasi Unggas Menurut Jenisnya di Kota Bogor Tahun 2010
Kecamatan Ayam kampung
Ras Petelur
Ras Potong Itik Jumlah
(ekor) Bogor Selatan 58.267 0 110.000 4.502 172.769
Bogor Timur 22.030 500 0 1.662 24.192
Bogor Utara 31.999 2.000 5.000 2.323 41.322
Bogor Tengah 24.579 0 0 994 25.573
Bogor Barat 58.321 0 10.000 3.613 71.934
Tanah Sareal 42.201 1.500 40.000 2.664 86.365
Jumlah 237.397 4.000 165.000 15.758 422.155 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Produksi ikan dapat dibedakan menurut tipe kolamnya. Produksi ikan
kolam air tenang di Kota Bogor adalah yang tertinggi yaitu 2.609.036 ekor,
diikuti produksi ikan kolam air deras (637.439 ekor), Ikan di sawah (114.759 ekor)
dan Ikan Keramba (12.665 ekor) dengan total produksi 3.373.899 ekor. Kontribusi
terbesar produksi ikan adalah dari kecamatan tanah sareal sebesar 1,221.585 ekor dan
yang terkecil dari Bogor Tengah yaitu 56.468 ekor.
114
Tabel 32Produksi Ikan menurut tipe kolam di Kota Bogor Tahun 2010
Kecamatan Kolam air tenang
Kolam Air Deras
Ikan di sawah
Ikan Keramba Total
Bogor Selatan 271.906 - 34.319 4.265 310.490
Bogor Timur 343.956 637.439 38.975 - 1.020.370
Bogor Utara 460.786 - - 3.714 464.500
Bogor Tengah 56.464 - - 4.426 56.468
Bogor Barat 256.924 - 15.615 260 272.799
Tanah Sareal 1.219.000 - 25.850 - 1,221.585
Jumlah 2.609.036 637.439 114.759 12.665 3.373.899
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
4.7. Perindustrian, Pertambangan dan Energi
Pembangunan industri di Kota Bogor diarahkan untuk mendorong
terciptanya struktur ekonomi yang kuat dan berimbang sehingga dapat menjadi
landasan pengembangan ekonomi daerah yang kokoh dan mandiri. Unit usaha
industri di Kota Bogor masih dominan oleh industri kecil non formal. Jumlah
tenaga kerja yang terserap di bidang industri selama tahun 2010 adalah 55.892
orang dengan total nilai investasi sebesar lebih dari 790 milyar rupiah.
Tabel 33 Potensi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan di Kota Bogor Tahun 2010
Jenis Usaha Unit
Usaha (buah)
Tenaga Kerja
(orang)
Nilai Investasi (Rp)
I. Industri Besar dan Menengah
1. Makanan 25 1.422 30.171.184.400
2. Minuman 13 1.819 113.021.251.278
3. Kayu Olahan dan Rotan 13 2.362 31.103.084.707
4. Pulp dan Kertas 12 671 67.688.516.000
5.Bahan Kimia Industri dan Karet
9 507 13.308.955.000
6. Bahan Galian Non Logam 2 65 7.085.000.000
7. Kimia 9 1.223 46.058.175.250
115
Jenis Usaha Unit
Usaha (buah)
Tenaga Kerja
(orang)
Nilai Investasi (Rp)
II. Industri Kecil Formal
1. Makanan 240 2.213 10.620.830.800
2. Minuman 69 534 3.552.910.000
3. Kayu Olahan dan Rotan 120 1.104 3.504.610.000
4. Pulp dan Kertas 93 645 7.744.520.000
5Bahan Kimia Industri dan Karet 1 193 4.676.618.974
6. Bahan Galian Non Logam 37 823 2.323.400.000
7. Kimia 71 565 4.963.312.850
III. Industri Kecil Non Formal
1. Makanan 1.057 4.895 1.082.969.470
2. Minuman 221 964 197.671.950
3. Kayu Olahan dan Rotan 84 355 321.959.872
4. Pulp dan Kertas 41 123 70.243.100
5Bahan Kimia Industri dan Karet - - -
6 Bahan Galian Non Logam 36 198 288.650.000
7 Kimia 31 126 124.787.000
Jumlah 2.206 20.807 347.908.650.651 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Tabel 34. Potensi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka di Kota Bogor Tahun 2010
Jenis Usaha Unit Usaha (buah)
Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (Rp)
I. Industri Besar dan Menengah 1. Mesin & Rekayasa - - -
2. Logam 12 1.966 23.727.455.000
3. Alat Angkut 5 938 32.276.500.000
4. Industri Tekstil 26 21.129 206.576.740.000
5. Industri Kulit 2 68 6.736.000.000
6. Industri Alpora 1 300 3.652.152.000
7. Industri Elektronika 3 622 38.454.160.000
116
Jenis Usaha Unit Usaha (buah)
Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (Rp)
II. Industri Kecil Formal
1 Mesin & Rekayasa 6 211 1.636.560.000
2 Logam 91 877 12.409.160.000
3 Alat Angkut 52 1.069 4.124.260.000
4 Industri Tekstil 88 3.176 5.917.878.650
5 Industri Kulit 75 1.695 2.608.630.000
6 Industri Alpora 15 180 917.620.000
7 Industri Elektronika 9 47 311.369.000
III. Industri Kecil Non Formal
1 Mesin & Rekayasa - - -
2 Logam 155 377 373.540.000
3 Alat Angkut 65 184 314.600.000
4 Industri Tekstil 152 664 389.192.700
5 Industri Kulit 333 1.326 2.325.813.800
6 Industri Alpora 18 49 52.294.600
7 Industri Elektronika 42 207 119.762.500
Jumlah 1.150 35.085 342.923.688.250 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Untuk mengimbangi pertumbuhan pemukiman dan kebutuhan sektor
ekonomi lainnya, PLN meningkatkan pelayanan dalam pemenuhan kebutuhan
listrik di Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 201.850 pelanggan listrik dengan
jumlah daya tersambung sebanyak 385.170.581 VA.
Selain listrik, pemenuhan kebutuhan gas kota juga terus meningkat. Tahun
2010, jumlah pelanggan gas adalah 16.792 pelanggan dengan jumlah gas yang
disalurkan sebanyak 401.606.548 m3 dan nilai sebesar Rp 885.518.458,-
sedangkan PDAM “Tirta Pakuan” selama tahun 2010 memiliki 94.995 pelanggan
dan menyalurkan air sebanyak 28.185.401 m3 bernilai sebesar Rp
101.942.938.200,-.
4.8. Perdagangan
Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor ekonomi andalan di Kota
Bogor. Pada tahun 2010 jumlah realisasi eksport non migas mengalami
117
peningkatan sebesar 0,24%. Eksport non migas ini masih didominasi oleh
komoditas pakaian jadi yaitu senilai US $ 74.189.259 atau sekitar 48,85%.
Tabel 35. Jumlah Realisasi Ekspor Non Migas Menurut Jenis Komoditi di Kota Bogor Tahun 2010
Jenis Komoditi Satuan Volume Nilai (US$)
1. Pakaian Jadi Pcs 23.289.288 74.189.259
2. Ban Kendaraan Bermotor Unit 4.523.209 40.239.289
3. Tekstil Meter 4.253.259 6.920.249
4. Kera Ekor Panjang Ekor 753 120.000
5. Busana Muslim Bordir Pcs 512 9.359
6. Sandal Pcs 929.249 982.259
7. Obat-obatan Farmasi Kg 3.205.329 3.982.289
8. Makanan dan Minuman Karton 982.102 10.282.249
9. Ikan Hias Ekor 16.259 6.102
10. Kerajinan Mainan Anak dari Kayu Pcs 2.000 25.000
11. Furniture Pcs 8.298.289 14.389.788,9
12. Tas Pcs 6.650 7.259
13. Kerajinan Daur Ulang Kertas Pcs 8.500 10.258
14. Kerajinan Bordir Pcs 5.000 10.500
15. Minyak Atsiri Kg 30.000 318.914
16. Serpihan Kayu Gaharu & Kayu Cendana Kg 10.000 35.000
17. Sari Mengkudu Botol 153.259 280.235
18. Bola Kaki Pcs 120.000 52.259
Jumlah 151.860.268,9 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
4.9. Transportasi, Komunikasi, dan Pariwisata
Disektor transportasi, jasa angkutan kereta api merupakan primadona bagi
penduduk Kota Bogor yang bekerja di luar kota, terutama Jakarta. Selama tahun
2010 jumlah penumpang yang terangkut oleh moda angkutan ini sebanyak
12.793.217 orang. Penjualan tiket kereta api pada
tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 4,27% dibanding tahun sebelumnya.
Seiring perkembangan di sektor komunikasi, peran Kantor Pos dalam
pengiriman surat mengalami penurunan. Namun jasa pengiriman pos ekspres dan
118
paket pos cenderung meningkat. Pada tahun 2010 Kantor Pos Kota Bogor
mengirimkan 818.637 surat/paket ke seluruh wilayah
Indonesia. Selain itu, jumlah wesel dan giro pos yang dikirim pun cenderung
meningkat dan tahun ke tahun.
Selain sektor transportasi dan komunikasi yang berkembang secara positif,
Kota Bogor juga senantiasa meningkatkan kunjungan wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Posisi strategis Kota Bogor yang cukup dekat dengan
Jakarta serta potensi wisata yang cukup beragam menjadikan Kota Bogor sebagai
salah satu kota tujuan wisata nasional.
Pada tahun 2010 wisatawan yang mengunjungi Kota Bogor terus
meningkat namun tetap didominasi oleh wisatawan domestik yaitu sebesar
97,38%. Kebun Raya Bogor merupakan tujuan utama wisata yang paling banyak
dikunjungi dengan jumlah pengunjung sebanyak 1.678.237 orang. Untuk
menunjang sektor pariwisata, fasilitas perhotelan juga terus ditingkatkan.
4.10 Keuangan dan Harga
Menurut laporan pertanggungjawaban akhir walikota Bogor tahun 2010,
realisasi penerimaan daerah Kota Bogor adalah Rp 842.751.061.665,- sedangkan
pengeluarannya adalah Rp 944.550.304.942,-. Ditinjau dari sisi harga, inflasi Kota
Bogor tahun 2010 rata-rata adalah sebesar 0.53. Dengan inflasi tertinggi di sektor
bahan makanan. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan Juli 2010.
Tabel 36. Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan di Kota Bogor Tahun 2010
Jenis Penerimaan Nilai (Rp.)
Penerimaan Daerah :
1. Bagian Pendapatan Asli Daerah 127.488 .089.831
1.1 Pajak Daerah 66.504.761.353
1.2 Retribusi Daerah 34.681.146.445
1.3 Bagian Laba Usaha Daerah 15.137.968.088
1.4 Penerimaan Lain-Lain 11.164.213.945
119
Jenis Penerimaan Nilai (Rp.)
2. Bagian Dana Perimbangan 659.141.536.834
2.1 Bagi Hasil Pajak 129.983.594.372
2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak 18.704.027.015
2.3 Dana Alokasi Umum 426.093.607.000
2.4 Dana Alokasi Khusus (DAK) 9.756.700.000
2.5 Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan dari Provinsi 74.603.608.447
2.5.1. Bagi Hasil Pajak Provinsi 74.603.608.447
2.5.2. Bantuan Keuangan dari Provinsi -
3. Lain-Lain Pendapatan Yg Sah 56.121.435.000
3.1. Pendapatan Hibah 2.999.965.000
3.1. Pendapatan Lainnya 53.121.470.000
Jumlah Penerimaan 842.751.061.665
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Tabel 37.Realisasi Pengeluaran Daerah Menurut Jenis Pengeluaran di Kota Bogor Tahun 2010
Jenis Penerimaan Nilai (Rp.)
1. Belanja Operasi 775.827.453.091
a. Belanja Pegawai/Personalia 513.777.201.790
b. Belanja Barang & Jasa 158.124.717.210
c. Bunga -
d. Subsidi -
e. Hibah 15.825.365.924
f. Bantuan Sosial 88.100.168.167
2. Belanja Modal 165.939.883.691
a. Belanja Tanah 42.273.009.900,00
b. Belanja Peralatan dan Mesin 23.877.998.920,00
c. Belanja Gedung dan Bangunan 13.536.944.046,00
d. Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan 86.040.827.925,00
e. Belanja Aset Tetap Lainnya 211.102.900,00
f. Belanja Aset Lainnya -
3. Belanja Tidak Tersangka 2.782.968.160
Jumlah Penerimaan 944.550.304.942
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
120
4.11 Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat ditinjau dari segi pendapatannya.
Namun karena data pendapatan sulit diperoleh maka tingkat kesejahteraan
masyarakat didekati dari sisi pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan hasil
SUSENAS 2010, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di Kota Bogor tahun
2010 adalah Rp 328.776,- untuk kelompok barang makanan dan Rp 417.704,-
untuk kelompok barang non makanan.
Tabel 38. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Makanan di Kota Bogor Tahun 2006 - 2010 (rupiah)
Makanan 2006 2007 2008 2009 2010
Padi-padian 31.253 31.756 32.102 37.370 38.789
Umbi-umbian 1.630 1.469 2.393 1.762 1.857
Ikan/cumi/kerang 14.011 15.710 15.805 17.376 15.297
Daging 10.681 12.452 14.546 18.630 10.988
Telur dan Susu 16.989 20.060 23.010 26.874 15.581
Sayur-sayuran 13.544 13.271 15.696 15.776 14.397
Kacang-kacangan 6.726 8.700 8.635 11.184 9.817
Buah-buahan 8.491 9.107 11.758 12.903 5.552
Minyak dan Lemak 6.345 7.561 10.392 9.143 8.307
Bahan Minuman 7.399 7.884 9.079 8.842 9.582
Bumbu-bumbuan 4.957 4.135 3.774 5.019 4.479
Konsumsi Lainnya 10.560 .922 9.250 10.279 10.266
Makanan/Minuman Jadi Non Alkohol
45.319 54.981 73.737 87.691 46.024
Minuman Beralkohol
169 258 44 18 -
Tembakau dan Sirih 24.173 24.091 27.961 33.382 25.420
Jumlah 202.247 220.357 258.182 296.249 216.356 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
Jika melihat perkembangan dari tahun ke tahun, pengeluaran ratarata per
kapita untuk kelompok barang makanan pada tahun 2010 mengalami penurunan
sekitar 26,97% dibanding tahun 2009 dan 16,20% dibanding tahun 2008.
Sementara untuk pengeluaran rata-rata per kapita kelompok barang non makanan
meningkat 5,13% dibanding tahun 2009.
121
Tabel 39. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Menurut Kelompok Barang Non Makanan dan Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan di Kota Bogor Tahun 2010 (rupiah)
Non Makanan 2006 2007 2008 2009 2010
Perumahan dan fasilitas rumah tangga
140.879 132.107 193.827 219.109 222.436
Aneka barang dan jasa 57.120 56.112 103.353 88.475 91.855
Biaya pendidikan 17.756 16.243 26.527 34.700 16.081
Biaya kesehatan 9.109 5.353 23.059 16.744 28.349
Pakaian, alas kaki dan tutup kepala
11.221 12.661 18.474 18.785 21.274
Barang tahan lama 5.315 3.281 34.873 8.823 11.299
Pajak, pungutan dan asuransi
6.783 4.788 13.038 10.700 14.571
Keperluan Pesta dan upacara
2.206 1.361 - - 11.839
Jumlah 250.389 231.906 413.151 397.336 417.704 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
4.12. Pendapatan Regional
Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor dapat dilihat dari laju
pertumbuhan PDRB menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan. Laju
pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2010 adalah sebesar 6,01%. Sektor
ekonomi di Kota Bogor tahun 2010 tetap didominasi oleh sektor perdagangan,
hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 38,04%, diikuti
oleh sektor industri pengolahan sebesar 25,57%.
Tabel 40. Produk Domestik Bruto (PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008 - 2010
Sektor 2008 2009* 2010**
1.Pertanian 22.265,70 24.008,43 25.916,73
2.Pertambangan Dan Penggalian 192,14 207,34 223,97
3. Industri Pengolahan 2.532.965,67 3.044.078,40 3.644.311,09
4. Listrik, Gas, Dan Air Bersih 214.413,78 245.221,37 281.368,13
5. Bangunan 575.020,92 653.511,28 744.153,29
6. Perdagangan, Hotel, Dan 3.955.080,82 4.528.576,95 5.228.757,94
122
Sektor 2008 2009* 2010**
7. Pengangkutan Dan 1.338.788,63 1.719.767,35 2.159.576,94
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
1.023.935,21 1.216.482,77 1.461.932,02
9. Jasa-Jasa 427.281,09 472.745,77 524.111,15
Produk Domestik Regional Bruto 10.089.943,96 11.904.599,66 14.070.351,26
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
Tabel 41. Produk Domestik Bruto (PDRB) Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008 - 2010
Sektor 2008 2009* 2010**
1.Pertanian 13.121,58 13.539,61 13.975,80
2.Pertambangan dan Penggalian 120,53 121,98 123,85
3.Industri Pengolahan* 1.197.768,02 1.273.762,00 1.355.090,75
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 136.829,56 146.236,51 156.395,94
5. Bangunan 299.804,17 312.096,14 324.954,50
6. Perdagangan, Hotel, Restoran 1.267.518,19 1.331.874,52 1.398.254,93
7.Pengangkutan dan Komunikasi 422.723,25 453.533,15 487.253,72
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan
602.517,87 648.625,82 699.701,41
9. Jasa-Jasa 312.418,61 328.811,32 346.556,29
Produk Domestik Regional Bruto 4.252.821,78 4.508.601,05 4.782.307,18
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
Tabel 42. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008 - 2010
Sektor 2008 2009* 2010**
1. Pertanian 3,18 3,19 3,22
2. Pertambangan Dan Penggalian 1,88 1,20
3. Industri Pengolahan* 6,32 6,34 6,38
4. Listrik, Gas, Dan Air Bersih 6,82 6,87 6,95
123
Sektor 2008 2009* 2010**
6. Perdagangan, Hotel, Dan Restoran 5,18 5,08 4,98
7. Pengangkutan Dan Komunikasi 7,17 7,29 7,44
8. Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan 7,44 7,65 7,87
9. Jasa-Jasa 5,22 5,25 5,40
Produk Domestik Regional Bruto 5,98 6,01 6,07
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
4.13. Kemiskinan
Sama seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia, Kota Bogor juga masih
bergelut dengan masalah kemiskinan, walaupun dari tahun ke tahun jumlah
penduduk miskin Kota Bogor mengalami penurunan dari 91.710 orang pada tahun
2009 menjadi 90.200 orang pada tahun 2010. Garis kemiskinan di Kota Bogor
tahun 2010 adalah RP 278.530,-.
Tabel .43. Jumlah, Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Kota Bogor Tahun 2009 – 2010
Rincian 2009 2010
Jumlah Penduduk miskin (000 Orang) 91,710 90,20
Persentase Penduduk Miskin (%) 8,82 9,47
Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bulan) 256.414 278.530
Indeks Kedalaman kemiskinan (P1) n.a 1,60
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) n.a 0,48
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2011
BAB V
KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA
DI KOTA BOGOR
Ekonomi informal mengalami pertumbuhan sangat cepat di negara-negara
berkembang dan semakin menarik perhatian akademisi, peneliti, aktivis
pembangunan sosial dan perencana kebijakan. Secara umum diyakini bahwa
pertumbuhan yang cepat pada sektor ini dipengaruhi oleh meningkatnya
pengangguran di negara berkembang. Menurut ILO (2004), terbatasnya pekerjaan
sektor formal dan terbatasnya keterampilan menyebabkan pertumbuhan sektor
informal. Sektor informal terdiri dari aktivitas usaha skala kecil yang sebagian
besar belum mendapatkan pengakuan, tidak tercatat dan tidak teregulasi, termasuk
usaha kecil, usaha rumah tangga, sektor wiraswasta seperti PKL, pembersih,
penyemir sepatu, pedagang asongan, penjaja makanan, dan lain sebagainya.
Mengingat luasnya jenis usaha sektor informal, kajian terhadap semua jenis
usaha sektor ini tentunya banyak membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga. Untuk
mendapatkan pemahaman lebih mendalam pada sektor ini, maka penelitian
difokuskan pada jenis usaha PKL. PKL merupakan jenis usaha yang umum
ditemukan pada sektor informal di kota, karena usaha ini relatif paling mudah
dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijakan perkotaan.
Aktivitas usaha PKL sangat beragam sehingga penelitian menyeluruh
terhadap aktivitas PKL akan sangat kompleks, membutuhkan waktu, biaya, dan
tenaga yang tidak sedikit. Dengan pertimbangan ini, penelitian ini hanya
membahas tiga tipologi PKL yang umum ditemukan di kota Bogor yaitu pasar
tumpah, pasar sayur malam, dan pasar kuliner.
Namun demikian, karena aktivitas PKL juga berhubungan dengan sektor
formal maka penelitian ini juga mengambil data pemasok dan pesaing bagi usaha
PKL. Pemasok dan pesaing umumnya adalah sektor formal berupa toko,
distributor atau pasar formal yang memasok kebutuhan barang dagangan PKL.
Data dari pemasok digunakan untuk mengetahui pengaruh PKL terhadap rantai
pasokan distribusi barang dan jasa, sedangkan data pesaing digunakan untuk
126
mengetahui kompetisi dengan usaha sejenis. Aktivitas PKL juga berhubungan
dengan masyarakat sekitar sehingga penelitian ini juga menggunakan masyarakat
sebagai responden untuk mengetahui persepsinya terhadap keberadaan PKL.
5.1. Distribusi Sampel dan Tipologi PKL
Total responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 180 responden
yang terdiri dari 120 responden untuk pelaku PKL, 9 responden pesaing, 6
responden pemasok, dan 45 responden masyarakat sekitar. Distribusi lokasi
pengambilan sampel penelitian (B11) disajikan pada Tabel 44.
Tabel. 44. Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL
No. Lokasi Responden Persen 1. Dewi Sartika 20 16,67
2. Jembatan merah 2 1,67
3. Mantarena 1 0,83
4. Merdeka 35 29,17
5. MA Salmun 6 5,00
7. Pasar Bogor 3 2,50
8. Pasar Anyar 25 20,83
9. Pajajaran 2 1,67
10. Pengadilan 1 0,83
11. Surya Kencana 24 20,00
12. Veteran 1 0,83
Total 120 100
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Data pada Tabel 44 menunjukkan bahwa mayoritas sampel diambil di tiga
lokasi utama konsentrasi PKL sesuai dengan tipologi yang dikaji yaitu di Dewi
Sartika (16,67 %), Merdeka (29,17 %) dan Pasar Anyar (20,83 %). Lokasi lain
pada umumnya terdapat di sekitar ketiga lokasi utama tersebut, kecuali Jalan
Pajajaran yang merupakan jalan utama di kota Bogor. Responden di Jalan
Pajajaran nampak agak terpisah dilihat dari posisinya terhadap tiga lokasi
konsentrasi. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa PKL bukan hanya
terdapat di lokasi-lokasi khusus tetapi juga di lokasi-lokasi lainnya.
127
Berdasarkan tipologi PKL yang digunakan sebagai responden (B7), jumlah
responden untuk tiap tipologi adalah 40 responden sehingga totalnya adalah 120
responden. Data mengenai pengelompokan tipologi ditunjukkan pada Tabel 45.
Tabel 45 Tipologi Jenis Usaha PKL
No. Tipologi Jenis Usaha Jumlah Persen 1. Pasar tumpah 40 33,33
2. Pasar sayur mayur malam 40 33,33
3. Usaha kuliner 40 33,33
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi
oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana PKL tersebut beraktivitas.
Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan
akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian,
dan lain-lain.
5.2. Karakteristik Demografis
Analisis demografis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai
karakteristik responden pelaku PKL. Analisis ini mencakup jenis kelamin, umur,
tingkat pendidikan, pengeluaran per bulan, dan pekerjaan. Analisis ini berguna
untuk mengetahui trend demografis pelaku PKL saat ini.
5.2.1. Jenis Kelamin (A3)
Hasil perhitungan analisis demografis untuk jenis kelamin responden
disajikan pada Tabel 46 yang menunjukkan bahwa responden yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 91,67 % (110 responden) sedangkan yang berjenis
kelamin perempuan sebanyak 8,33 % (10 responden).
Tabel 46. Jenis Kelamin Responden
No. Jenis Kelamin Jumlah Persen 1. Laki-laki 110 91,67
2. Perempuan 10 8,33
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
128
Hasil ini nampak wajar mengingat bahwa pada umumnya laki-laki adalah
kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah keluarga. Perempuan
yang bekerja sebagai PKL lebih bersifat membantu suami dalam mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarga.
Dominasi responden berjenis kelamin laki-laki juga ditunjukkan pada ketiga
tipologi PKL. Hasil analisis pada Tabel 47 menunjukkan bahwa responden laki-
laki mendominasi setiap tipologi dibandingkan perempuan. Mayoritas responden
pasar tumpah (90,00 %), pasar sayur malam (95,00 %), dan pasar kuliner (90,00
%) adalah laki-laki.
Tabel 47. Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi
No. Jenis Kelamin
Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
1. Laki-laki 36 90,00 38 95,00 36 90,00
2. Perempuan 4 10,00 2 5,00 4 10,00
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.2. Umur (A4)
Analisis demografis untuk umur responden dilakukan pada kelompok umur
17 sampai lebih dari 65 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok umur
produktif yang melakukan aktivitas usaha dalam mencukupi ekonomi keluarga.
Hasil analisis demografis kelompok umur responden disajikan pada Tabel 48.
Tabel 48. Kelompok Umur Responden
No. Kelompok Umur (tahun) Jumlah Persen
1. ≤ 20 5 4,17
2. 20 - 30 39 32,50
3. 31 - 45 57 47,50
4. 46 - 65 18 15,00
5. > 65 1 0,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur antara 31-
45 tahun sebesar 47,50 %. Urutan selanjutnya adalah kelompok umur 20-30
129
tahun (32,50 %), 46-65 tahun (15,00 %), ≤ 20 tahun (4,17 %), dan > 65 tahun
(0,83 %). Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kelompok
usia dewasa dan dipandang sudah memiliki pertimbangan yang rasional dalam
berusaha.
Kecenderungan serupa ditunjukkan dalam analisis kelompok umur responden
menurut tipologinya. Untuk ketiga tipologi, kelompok umur antara 31-45 tahun
mendominasi pasar tumpah (47,50 %), pasar sayur malam (55,00 %), dan pasar
kuliner (40,00 %). Kelompok umur responden menurut tipologi disajikan pada
Tabel 49.
Tabel 49. Kelompok Umur Responden menurut tipologi
No. Kelompok Umur
(tahun)
Tipologi
Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner
Jml % Jml % Jml %
1. ≤ 20 3 7,50 1 2,50 1 2,50
2. 20 - 30 14 35,00 12 30,00 13 32,50
3. 31 - 45 19 47,50 22 55,00 16 40,00
4. 46 - 65 4 10,00 5 12,50 9 22,50
5. > 65 0 0,00 0 0,00 1 2,50
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
5.2.3. Status Perkawinan
Analisis demografis untuk status perkawinan responden disajikan pada Tabel
50. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah (72,50
%) dan sisanya (27,50 %) belum menikah.
Tabel 50. Status Perkawinan No. Status Perkawinan Jumlah Persen
1. Belum menikah 33 27,50
2. Menikah 87 72,50
Total 120 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh ketiga tipologi dimana
mayoritas responden adalah sudah menikah. Hasil ini nampak konsisten dengan
130
hasil pada kelompok umur responden dimana mayoritas responden adalah
kelompok dewasa yang berada dalam usia pernikahan (Tabel 49). Hasil analisis
status perkawinan responden menurut tipologinya disajikan pada Tabel 51.
Tabel 51. Status Perkawinan menurut Tipologi PKL
No. Status Perkawinan
Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner
Jml % Jml % Jml % 1. Belum menikah 15 37,50 8 20,00 10 25,00 2. Menikah 25 62,50 32 80,00 30 75,00
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari Tabel 51 nampak bahwa untuk tipologi pasar tumpah, sebanyak 62,50 %
sudah menikah, untuk pasar sayur malam sebanyak 80,00 % sudah menikah, dan
untuk pasar kuliner sebanyak 75,00 % sudah menikah.
5.2.4. Tingkat Pendidikan (A6)
Salah satu ciri dari sektor informal adalah rendahnya tingkat pendidikan para
pelakunya. Analisis demografis untuk tingkat pendidikan responden disajikan
pada Tabel 52.
Tabel 52. Tingkat Pendidikan Responden No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen
1. SD/sederajat 67 55,83
2. SMP/sederajat 37 30,83
3. SMA/sederajat 13 10,83
4. Akademi/sederajat 3 2,50
5. Sarjana 0 0,00
6. Pascasarjana 0 0,00
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 52 menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendidikan SD atau
sederajat yaitu sebesar 55,83 %. Urutan selanjutnya adalah SMP atau sederajat
(30,83 %), SMA atau sederajat (10,83 %), dan akademi atau sederajat (2,50 %).
Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana.
131
Tabel 53. Tingkat Pendidikan Responden menurut Tipologi PKL
No Pendidikan Pasar tumpah Pasar Sayur
Malam Pasar Kuliner
Jml % Jml % Jml %
1 SD/sederajat 22 55,00 27 67,50 18 45,00
2 SMP/sederajat 12 30,00 13 32,50 12 30,00
3 SMA/sederajat 6 15,00 0 0,00 7 17,50
4 Akademi/sederajat 0 0,00 0 0,00 3 7,50
5 Sarjana 0 0,00 0 0,00 0 0,00
6 Pascasarjana 0 0,00 0 0,00 0 0,00
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Berdasarkan tipologinya, dapat dilihat bahwa ketiga tipologi menunjukkan
kecenderungan yang sama dimana tingkat pendidikan dasar (SD atau sederajat)
mendominasi responden. Tingkat pendidikan untuk pasar kuliner lebih beragam
dimana terdapat 7,50 % responden berpendidikan akademi atau sederajat yang
kemungkinan disebabkan karena usaha kuliner membutuhkan skill khusus.
Tingginya persentase tingkat pendidikan SD menunjukkan bahwa mayoritas
responden pelaku PKL berpendidikan rendah. Hasil ini konsisten dengan hasil
penelitian Timalsina (2011) bahwa aktivitas PKL didominasi oleh migran dari
pedesaan dengan pendidikan dan skill rendah. Beberapa peneliti seperti Suharto
(2003) dalam studi PKL di Bandung, Budi (2006) dalam studi PKL di Pemalang,
Disperindagkop kota Bogor (2009) juga menunjukkan bahwa mayoritas PKL
berpendidikan setara SD.
5.2.5. Asal Responden (A7)
Analisis demografis asal responden dimaksudkan untuk mengetahui dampak
migrasi tenaga kerja terhadap pertumbuhan PKL di kota Bogor. Hasil analisis
asal kota responden disajikan pada Tabel 54.
Tabel 54. Asal Kota Responden No. Asal Kota Jumlah Persen
1. Kota Bogor 82 68,33 2. Luar kota Bogor 38 31,67 Total 120 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
132
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berasal dari kota
Bogor (68,33 %) dan sisanya (31,67%) berasal dari luar kota Bogor. Hasil ini
mengindikasikan bahwa banyak warga kota Bogor yang bekerja sebagai PKL
untuk mendukung aktivitas perekonomiannya. Meskipun hasil ini kurang
konklusif, tetapi menunjukkan bahwa profesi PKL bukan saja didominasi oleh
pekerja migran tetapi warga lokal juga turut menjalankan aktivitas ini.
Tabel 55. Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL
No. Asal Kota Pasar Tumpah Pasar Sayur
Malam Pasar
Kuliner Jml % Jml % Jml %
1. Kota Bogor 33 82,50 29 72,50 20 50,00
2. Luar kota Bogor 7 17,50 11 27,50 20 50,00
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindagkop (2010) dalam studi pemetaan
lokasi PKL di kota Bogor dimana sebanyak 76 % PKL berasal dari kota Bogor.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam usaha PKL karena adanya
kedekatan dengan akses berjualan.
5.2.6. Suku Bangsa (A8)
Hasil analisis demografis suku bangsa responden menunjukkan bahwa
mayoritas responden adalah suku Sunda (79,17 %), diikuti oleh suku Jawa (15,83
%), Padang (3,33 %), dan suku lainnya (1,67 %). Hasil analisis suku bangsa
responden disajikan pada Tabel 56.
Tabel 56. Suku Bangsa Responden
No Suku Bangsa Jumlah Persen 1 Jawa 19 15,83
2 Sunda 95 79,17
3 Batak 0 0,00
4 Padang 4 3,33
5 Lainnya 2 1,67
Total 120 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
133
Berdasarkan tipologinya, suku bangsa responden menunjukkan
kecenderungan yang sama yaitu didominasi oleh suku Sunda. Hasil ini nampak
konsisten dengan Tabel 43 dimana mayoritas responden berasal dari kota Bogor
(Sunda). Namun perlu dipahami bahwa suku bangsa tidak selalu berkorelasi
dengan asal. Contoh, responden yang berasal dari kota Bogor tetapi suku bangsa
Jawa karena dia keturunan Jawa yang orang tuanya sudah lama menetap di Bogor
sehingga mempunyai KTP Bogor. Hasil analisis suku bangsa menurut tipologi
disajikan pada Tabel 57.
Tabel 57. Suku Bangsa Responden menurut Tipologi
No Suku Bangsa Pasar tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner
Jml % Jml % Jml %
1 Jawa 4 10,00 1 2,50 14 35,00
2 Sunda 32 80,00 39 97,50 24 60,00
3 Batak 0 0,00 0 0,00 0 0,00
4 Padang 3 7,50 0 0,00 1 2,50
5 Lainnya 1 2,50 0 0,00 1 2,50
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
5.2.7. Status dalam Keluarga (A9)
Analisis demografis responden juga dilakukan terhadap status responden
dalam keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah
kepala rumah tangga (69,17 %). Hasil ini konsisten dengan Tabel 50 dimana
mayoritas responden sudah menikah. Bila di-crosscheck antara responden yang
belum menikah (33 responden) dengan status sebagai anggota keluarga, terlihat
bahwa sebanyak 4 responden yang sudah menikah ternyata masih menjadi
anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah tangga tersebut merupakan
rumah tangga baru sehingga belum memiliki Kartu Keluarga sendiri dan masih
menginduk pada orang tua. Hasil analisis status dalam keluarga disajikan pada
Tabel 58 dan perbandingan menurut tipologinya disajikan pada Tabel 59.
134
Tabel 58. Status Responden Dalam Keluarga
No. Status dalam Keluarga Jumlah Persen
1. Kepala rumah tangga 83 69,17
2. Anggota keluarga 37 30,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 59. Status Responden Dalam Keluarga menurut Tipologi
No. Status dalam Keluarga Pasar Tumpah Pasar Sayur
Malam Pasar
Kuliner Jml % Jml % Jml %
1. Kepala rumah tangga 24 60,00 30 75,00 29 72,50
2. Anggota keluarga 16 40,00 10 25,00 11 27,50
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.8. Tanggungan dalam Keluarga (A10)
Responden bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya
sendiri tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hasil analisis
tanggungan dalam keluarga disajikan pada Tabel 60.
Tabel 60. Tanggungan dalam Keluarga
No. Tanggungan Jumlah Persen
1. Punya tanggungan 71 59,17
2. Tidak punya tanggungan 49 40,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 60 menunjukkan bahwa mayoritas responden (59,17 %) memiliki
tanggungan dalam keluarga. Jika di-crosschek dengan Tabel 46 maka terlihat
bahwa sebagian responden yang berstatus sebagai anggota keluarga memiliki
tanggungan keluarga. Tanggungan tersebut dapat berupa orang tua atau kerabat.
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 71 responden yang
menyatakan memiliki tanggungan, secara rata-rata responden menyatakan
memiliki tanggungan lebih dari 3 orang (62,50 %). Hasil ini sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan temuan Disperindagkop (2010) bahwa rata-rata PKL kota
Bogor memiliki tanggungan sebanyak 4 orang. Jumlah tanggungan akan
berimplikasi kepada beban ekonomi. Semakin banyak tanggungan maka semakin
135
besar beban ekonomi yang harus dipenuhi. Hasil analisis jumlah tanggungan
keluarga responden disajikan pada Tabel 61.
Tabel 61. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga No. Tanggungan Jumlah Persen
1. ≤ 2 orang 39 54,93
2. > 2 orang 32 45,07
Total 71 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.2.9. Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga (A12)
Analisis berikutnya diarahkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang
dicapai dalam keluarga responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 96
responden yang memberikan jawaban, mayoritas tingkat pendidikan tertinggi
yang dicapai dalam keluarga adalah SMA atau sederajat (35,42 %). Sebanyak
23,96 % responden menyatakan dapat menyekolahkan tanggungannya sampai ke
akademi atau sederajat, dan sebagian kecil (3,13 %) bahkan mampu
menyekolahkan sampai tingkat sarjana.
Tabel 62. Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen
1. SD/sederajat 13 13,54
2. SMP/sederajat 23 23,96
3. SMA/sederajat 34 35,42
4. Akademi/sederajat 23 23,96
5. Sarjana 3 3,13
6. Pascasarjana 0 0,00
Total 96 100,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Hasil ini kontradiktif dengan temuan Suharto (2003) pada studi PKL di kota
Bandung bahwa mayoritas (80 %) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan,
bahkan menurut pandangan umum pekerjaan PKL sebagai sektor inferior
dibandingkan sektor formal dan seringkali dikaitkan dengan faktor kemiskinan
perkotaan. Faktanya, mereka mampu menyekolahkan anak pada pendidikan
menengah sampai tinggi sehingga mereka tidak dapat dikatakan miskin.
136
5.2.10. Kondisi Kesehatan (A13)
Kondisi kesehatan keluarga PKL didekati dengan pertanyaan mengenai
jumlah keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir. Pertanyaan ini juga
digunakan untuk mengetahui kontribusi PKL terhadap pembangunan kota Bogor
dalam analisis regresi pada bagian pembahasan berikutnya. Hasil analisis kondisi
kesehatan keluarga PKL dalam tiga bulan terakhir disajikan pada Tabel 63.
Tabel 63. Kondisi Kesehatan Keluarga PKL selama 3 bulan terakhir No. Kondisi Kesehatan Jumlah Persen
1. Ya 45 37,50
2. Tidak 75 62,50
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan mayoritas responden (62,50 %) menyatakan
bahwa selama tiga bulan terakhir tidak ada keluarga yang sakit dan 37,50 %
menyatakan ada sebagian anggota keluarga yang sakit. Hasil ini menunjukkan
bahwa tingkat kesehatan responden secara umum cukup baik.
Perbandingan antar tipologi menunjukkan kecenderungan serupa dimana
mayoritas responden menyatakan tidak ada keluarga yang sakit dalam tiga bulan
terakhir. Untuk tipologi pasar kuliner, mayoritas responden (55,00 %)
menyatakan bahwa terdapat keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir meski
jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang menyatakan tidak ada keluarga yang
sakit. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga menurut tipologi disajikan pada
Tabel 64.
Tabel 64. Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi
No. Keberadaan Anggota Keluarga yang Sakit
Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam
Pasar Kuliner
Jml % Jml % Jml %
1. Ya 13 32,50 10 25,00 22 55,00
2. Tidak 27 67,50 30 75,00 18 45,00
Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tidak semua responden bersedia menyebutkan rata-rata pengeluaran
kesehatan per bulan (A14). Sebanyak 40 responden memberikan respon terhadap
137
biaya pengobatan. Asumsi kisaran biaya pengobatan adalah sakit ringan ke dokter
umum atau hanya membeli obat ringan ke apotik/toko adalah kurang dari Rp
30.000,-/bulan, sakit sedang antara Rp 30.000,- sampai Rp 100.000,-/bulan, dan
sakit berat lebih dari Rp 100.000,-/bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
mayoritas responden (47,50 %) mengeluarkan biaya pengobatan kurang dari Rp
30.000,-/bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa sakit yang dialami anggota
keluarga umumnya berupa sakit ringan seperti flu, pusing, demam, dan lain-lain
yang hanya membutuhkan obat-obatan ringan. Hasil analisis biaya berobat
disajikan pada Tabel 65.
Tabel 65. Biaya Berobat Responden No. Biaya Berobat (Rp) Jumlah Persen
1. ≤ 30.000 19 47,50
2. 30.000 - 100.000 15 37,50
3. >100.000 6 15,00
Total 40 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis lebih lanjut terhadap kondisi kesehatan keluarga responden
diarahkan pada pertanyaan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir (A15). Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa frekuensi sakit per bulan rata-rata adalah 1,6.
kali per keluarga. Merujuk pada hasil biaya berobat, sakit tersebut adalah sakit
ringan dan dapat diobati dengan obat-obatan yang umum tersedia di pasar.
5.2.11. Kondisi Ekonomi (A16)
Sektor informal seringkali dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan sehingga
pertanyaan berikutnya diarahkan pada salah satu indikator kemiskinan yang
digunakan di Indonesia yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT adalah
kompensasi berupa transfer cash akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak
bagi keluarga kurang mampu, yang diberikan per tiga bulan. Meski banyak
diperdebatkan BLT tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah. BLT
menjadi salah satu indikator apakah suatu keluarga dikatakan kurang mampu atau
tidak. Salah satu indikator penerima BLT adalah berpendapatan kurang dari Rp
600.000,- per bulan. Hasil analisis responden sebagai penerima BLT disajikan
pada Tabel 66.
138
Tabel 66. Responden Penerima BLT
No. Mendapatkan BLT Jumlah Persen
1. Ya 7 5,83
2. Tidak 113 94,17
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 94,17% responden tidak
menerima atau bukan penerima BLT. Hasil analisis tersebut mengejutkan dan
kontradiktif dengan pandangan umum bahwa PKL berhubungan dengan
kemiskinan. Suharto (2003) menemukan bahwa mayoritas (80%) PKL masih
dikategorikan miskin dan rentan. Dengan referensi indikator manusia dan modal
sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’ karena memiliki pendidikan dasar
mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski
propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Pendekatan dalam analisis ini digunakan
dengan asumsi bahwa penerima BLT adalah keluarga miskin.
5.3. Karakteristik Usaha
PKL sekarang bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi
pekerjaan utama sebagian masyarakat. Untuk lebih mengetahui kondisi usaha
PKL maka beberapa pertanyaan yang terkait dengan karakteristik usaha diajukan
kepada responden. Pertanyaan tersebut adalah : usaha sebelum menjadi PKL
(B1), motivasi menjadi PKL (B2), lama menjadi PKL (B3), pernah berusaha di
tempat lain (B4), alasan pemilihan lokasi PKL (B5), jenis barang dagangan (B6),
tipologi (B7), prasaranan usaha (B8), pengelompokan usaha (B9), waktu usaha
(B10), lokasi nama jalan tempat usaha (B11), tempat usaha (B12), luas
penggunaan tempat (B13), kondisi kebersihan lokasi usaha (B14), posisi lokasi
usaha (B15), usaha serupa di tempat lain (B16), jumlah usaha di tempat lain (B17)
dan registrasi usaha (B18).
Untuk kepentingan pembahasan, pertanyaan tipologi (B7) dan lokasi nama
jalan tempat usaha (B11) dibahas terpisah di bagian atas pada distribusi sampel
dan tipologi PKL.
139
5.3.1. Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL
Usaha PKL menjadi alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan posisi
pekerjaan di sektor formal. PKL sebagai bagian dari sektor informal muncul ke
permukaan karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup
sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Hasil
analisis usaha responden sebelum menjadi PKL disajikan pada Tabel 67.
Tabel 67. Usaha Sebelum menjadi PKL (B1) No. Usaha sebelum PKL Jumlah Persen
1. Tidak punya usaha 46 38,33
2. Karyawan swasta 25 20,83
3. Pedagang kios pasar 7 5,83
4. Usaha di rumah 12 10,00
5. Lainnya (kuli, asongan, sayur) 30 25,00
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (38,33 %)
menyatakan tidak mempunyai usaha sebelum menjadi PKL. Hasil analisis ini
sejalan dengan pandangan Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1996) yang
menyatakan bahwa usaha PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan
relatif khas dalam sektor informal di kota. Kekhususan tersebut dikarenakan usaha
ini relatif paling mudah dimasuki.
Hasil analisis juga menunjukkan meski masih dikategorikan PKL, banyak
responden memiliki usaha lain (25,00 %) berganti usaha ke tiga tipologi yang
digunakan dalam analisis penelitian ini yang mungkin lebih menguntungkan dari
sisi pendapatannya. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebenarnya PKL sudah
memiliki jiwa kewirausahaan sehingga sangat paham akan usahanya, jika
dirasakan kurang menguntungkan akan berganti ke usaha PKL lain.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 20,83 % responden
sebelumnya bekerja di sektor formal (karyawan swasta). Perpindahan menjadi
PKL disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara masif
selama krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 dan 1998. Alasan lain
terkait dengan rendahnya upah bagi pekerja kelas buruh di Indonesia. Upah
140
minimum regional untuk kota Bogor pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp
1.172.060,-. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Upah Minimum
Regional dan Upah Minimum Propinsi tetapi dirasakan masih kurang mencukupi
tuntutan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat.
Sebanyak 10 % responden memiliki usaha di rumah sebelum menjadi PKL.
Karakteristik usaha di rumah sangat berbeda dengan usaha PKL yang langsung
berhubungan dengan konsumen meski dari sisi tempat usaha lebih ada jaminan.
Sebanyak 5,83 % responden menyatakan bekerja sebagai pedagang kios pasar
sebelum menjadi PKL. Mereka menjadi PKL disebabkan oleh: Pertama, terjadi
kebakaran Pasar Anyar sehingga banyak pedagang kios pasar yang kehilangan
tempat usaha. Kedua, meningkatnya biaya sewa kios pasar resmi sehingga
mereka tidak mampu menutup biaya sewa untuk usahanya. Ketiga, semakin
longgarnya penertiban kawasan PKL yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor.
5.3.2. Motivasi Menjadi PKL (B2)
Beragam motif mendasari responden untuk menjadi PKL. Untuk mengetahui
jawaban motivasi ini maka responden dapat memberikan lebih dari satu jawaban
terhadap pertanyaan ini sehingga total diperoleh 123 jawaban. Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih bekerja sebagai PKL karena
lebih menguntungkan (29,27 %) dibandingkan usaha lain yang dapat mereka
lakukan.
Tabel 68. Motivasi Menjadi PKL
No. Motivasi Menjadi PKL Jumlah Persen
1. Menganggur 28 22,76
2. PHK 7 5,69
3. Usaha lebih menguntungkan 36 29,27
4. Merintis usaha lebih besar 28 22,76
5. Modal usaha ringan atau kecil 24 19,51
Total 123 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tabel 68 juga menunjukkan bahwa sebanyak 22,76 % responden memiliki
motivasi merintis usaha lebih besar. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki
harapan untuk mengembangkan usaha dimana aktivitas PKL digunakan sebagai
141
batu loncatan. Hal ini dapat terwujud bila Pemerintah Kota lebih memperhatikan
kapasitas mereka dalam berusaha. Banyak contoh PKL yang sekarang memiliki
usaha lebih besar.
Sebagian responden menjadi PKL karena menganggur (22,76 %) dan karena
PHK (5,69 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa PKL mampu menjadi pekerjaan
alternatif bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau mereka yang terkena
PHK di tempat kerjanya.
Survei Disperindagkop (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL memiliki
keinginan berdagang dari diri sendiri (66 %), diajak keluarga (23 %), diajak teman
(10 %), dan lainnya (1 %). Dari sisi pajak dan regulasi, Schneider (2002)
menemukan bahwa orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan,
di antara yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi.
5.3.3. Lama Menjadi PKL (B3)
Berdasarkan lama menjadi PKL, mayoritas responden telah menggeluti usaha
ini lebih dari 5 tahun (47,50 %). Sebanyak 52 responden (43,33 %) menyatakan
bahwa mereka telah mulai membuka usaha kaki lima antara 1-5 tahun dan
sebanyak 9,17 % responden menjalankan usahanya kurang dari setahun. Hasil ini
mengindikasikan bahwa kegiatan usaha kaki lima bukan lagi menjadi pekerjaan
sampingan tetapi alternatif mata pencaharian utama yang dapat menjaga
kelangsungan hidup keluarga PKL. Hasil analisis lama menjadi PKL disajikan
pada Tabel 69.
Tabel 69. Lama Menjadi PKL
No. Lama Menjadi PKL Jumlah Persen
1. ≤ 1 tahun 11 9,17
2. 1 - 5 tahun 52 43,33
3. >5 tahun 57 47,50
Total 120 100,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Di satu sisi, lama menjadi PKL juga menunjukkan bahwa usaha PKL dapat
memberikan pendapatan yang mencukupi bagi pelaku PKL dan di sisi lain
mengindikasikan bahwa belum tersedia lapangan kerja yang lebih baik bagi
pelaku PKL.
142
5.3.4. Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4)
Eksplorasi lebih lanjut terhadap pernah-tidaknya responden berusaha atau
berjualan di tempat lain menunjukkan bahwa mayoritas responden (55,00 %)
pernah berjualan di tempat lain dan sisanya (45,00 %) belum pernah berusaha di
tempat lain. Dengan kata lain mereka berpindah ke lokasi sekarang. Perpindahan
ini karena penggusuran, lokasi yang lebih ramai dan menguntungkan, lebih dekat
dengan tempat tinggal atau alasan-alasan lain. Hasil analisis pernah-tidaknya
responden berusaha atau berjualan di tempat lain disajikan pada Tabel 70.
Tabel 70. Pernah-Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain
No. Pernah Usaha di Tempat Lain Jumlah Persen
1. Ya 66 55,00
2. Tidak 54 45,00 Total 120 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.3.5. Pemilihan Lokasi (B5)
Keberhasilan usaha PKL sangat tergantung pada keputusan pemilihan lokasi.
Untuk mengetahui kisaran jawaban yang lebih luas, maka responden dapat
menjawab lebih dari satu jawaban. Hasil analisis faktor pemilihan lokasi
disajikan pada Tabel 71.
Tabel 71. Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel No. Alasan Memilih Lokasi Jumlah Persen
1. Ramai/sering dikunjungi pembeli 80 44,44
2. Pendapatan memuaskan 17 9,44
3. Biaya transportasi murah/dekat rumah 33 18,33
4. Berkumpul dengan usaha sejenis 10 5,56
5. Tidak mampu beli kios 25 13,89
6. Kios resmi penuh 3 1,67
7. Lainnya 12 6,67
Total 180 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis pada Tabel 71 menunjukkan bahwa mayoritas responden (44,44
%) memilih lokasi dengan pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli.
Urutan berikutnya adalah biaya transportasi murah/dekat rumah (18,33 %), tidak
143
mampu membeli kios (13,89 %), pendapatan memuaskan (9,44 %), pertimbangan
lainnya (6,67 %), berkumpul dengan usaha sejenis (5,56 %), dan kios resmi penuh
(1,67 %).
Pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli paling banyak menjadi
alasan responden. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi pemasaran, yaitu
mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Dengan demikian, aktivitas
kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian
seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan
lokasi-lokasi strategis lainnya. Bromley dalam Manning dan Effendi (1996)
menggunakan studi pedagang sektor informal di Cali, Colombo, menyatakan
bahwa para pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama
berpusat di tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukan,
sehingga menarik sejumlah besar penduduk.
Kecenderungan penggunaan ruang kota bagi aktivitas usaha PKL tidak lepas
dari keberadaan sektor formal di suatu lokasi. McGee dan Yeung (1977)
menyatakan bahwa pada umumnya PKL cenderung berlokasi secara
mengelompok pada area yang memiliki tingkat intensitas aktivitas yang tinggi,
seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau lokasi-lokasi yang memiliki
aktivitas hiburan, pasar, maupun ruang terbuka.
Studi yang dilakukan oleh Joedo (1977) dalam Widjajanti (2000) menemukan
bahwa lokasi yang diminati aktivitas perdagangan sektor informal, mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada
waktu yang relatif sama sepanjang hari. Ciri ini bisa kita jumpai di lokasi-
lokasi perdagangan, pendidikan, dan perkantoran.
2. Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian
kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam
jumlah besar. Kondisi ini merupakan ciri dari lokasi-lokasi wisata atau ruang-
ruang rekreatif kota, seperti taman kota dan lapangan olah raga yang biasa
ramai di hari libur.
3. Mempunyai kemudahan untuk terjadinya hubungan antara pedagang dengan
calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit.
144
4. Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum.
Transportasi murah/dekat rumah juga menjadi pertimbangan responden dalam
memilih lokasi usaha. Hasil penelitian Rachbini dan Hamid (1994) mengenai PKL
di Jakarta dan Surabaya mengemukakan bahwa ada korelasi yang tinggi antara tingkat
mobilitas tempat usaha dengan mobilitas tempat tinggal. Dengan kata lain mobilitas
tempat tinggal terjadi karena mobilitas tempat usaha dan bukan sebaliknya. Massa
pedagang dan jasa informal harus mengikuti dan bertempat tinggal di mana saja dan
ke mana gerobak alat dagangannya akan dipangkalkan. Mereka harus dekat dengan
tempat usaha. Jika tidak, mereka akan dililit oleh masalah ongkos transportasi dan
kesulitan-kesulitan lain menyangkut cara membawa dan menyimpan alat-alat
usahanya.
Dalam teori lokasi yang mengemukakan tentang transportasi disebutkan bahwa
penting untuk menentukan lokasi sehingga diperoleh biaya angkutan minimum
(Djojodipuro, 1992). Hal ini berkaitan pula dengan ketersediaan sarana transportasi,
baik bagi PKL bersangkutan maupun bagi pembeli/konsumen. Aktivitas
perekonomian kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh
masyarakat dan pelaku kegiatan.
5.3.6. Jenis Barang Dagangan (B6) Jenis barang dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar
kawasan di mana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan
perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa
makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Jenis dagangan yang
ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu :
1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah
seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.
2. Makanan siap saji, seperti nasi dan lauk-pauk serta minuman.
3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain
sebagainya.
Hasil analisis jenis barang dagangan PKL untuk tiga tipologi PKL disajikan pada
Tabel 72.
145
Tabel 72. Jenis Barang Dagangan PKL
No. Jenis Barang Dagangan Jumlah Persen
1. Sayur- mayur 51 42,50
2. Makanan/lauk-ppauk mentah 11 9,17
3. Bumbu dapur 4 3,33
4. Makanan/minuman jadi 36 30,00
5. Asesoris 1 0,83
6. Lainnya 17 14,17
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas pedagang (42,50 %) memilih
berdagang sayur-mayur, diikuti oleh makanan/minuman jadi (30,00 %), barang
dagangan lainnya (14,17 %), makanan/lauk-pauk mentah (9,17 %), bumbu dapur
(3,33 %), dan asesoris (0,83 %). Hasil ini konsisten dengan tipologi pedagang
yang digunakan sebagai populasi penelitian yaitu pasar tumpah dengan jenis
barang dagangan beragam (jenis barang dagangan lainnya), pasar sayur malam
(jenis barang dagangan sayur-mayur), dan pasar kuliner (jenis barang dagangan
makanan/lauk-pauk mentah dan makanan/minuman jadi).
5.3.7. Jenis Sarana Usaha yang Digunakan (B8)
Bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan
aktivitasnya sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGee dan
Yeung (1977) di kota-kota di Asia Tenggara menunjukkan bahwa pada umumnya
bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau
dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang
dijual.
Hasil analisis terhadap tiga tipologi PKL (Tabel 73) menunjukkan bahwa
mayoritas responden (49,17 %) menggunakan gelaran atau hamparan dalam
berdagang. Gelaran atau alas tersebut berupa tikar, terpal, kain atau lainnya untuk
menjajakan dagangan. Pedagang PKL tipe ini dapat dikategorikan dalam aktivitas
semi permanen (semi static).
146
Tabel 73. Sarana Usaha yang Digunakan PKL
No. Sarana Usaha Jumlah Persen
1. Warung tenda 23 19,17
2. Gerobak/kereta dorong 30 25,00
3. Pikulan/keranjang 6 5,00
4. Gelaran/hamparan 59 49,17
5. Kios 0 0,00
6. Sementara 1 0,83
7. Lainnya: mobil, sepeda, dan lain-lain 1 0,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sebanyak 25,00 % responden menggunakan gerobak atau kereta dorong .
Bentuk sarana ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan
gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari
pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan sebagai aktivitas PKL yang permanen
(static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang
berjualan makanan, minuman, dan rokok. Dikelompokkan permanen jika
gerobak/kereta dorong tersebut tidak dipindah-pindah atau menetap dan dikatakan
semi permanen jika berpindah-pindah.
Warung tenda juga banyak digunakan sebagai sarana usaha (19,17 %).
Gerobak/kereta dorong diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan
kursi dan/atau meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan
pelindung yang terbuat dari plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air.
Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL demikian dapat dikategorikan sebagai
pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan
minuman.
Sebagian PKL (5,00 %) menggunakan pikulan/keranjang. Bentuk sarana
perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen
(semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan beragam jenis barang
dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau
dipindah tempat.
Tidak terdapat PKL yang menggunakan sarana kios (0,00 %). Bentuk sarana
PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga
147
menyerupai sebuah bilik semi permanen dan si pedagang juga tinggal di tempat
tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).
Sarana lain seperti mobil, sepeda, dan lain-lain juga digunakan oleh PKL
(0,83 %). Bentuk sarana ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau
semi permanen (semi static) yang berpindah-pindah lokasi untuk mencari konsumen.
5.3.8. Pola Penyebaran PKL (B9) Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL dapat dikelompokkan dalam 2
pola, yaitu berkelompok dengan usaha sejenis dan bercampur dengan usaha jenis lain.
Hasil analisis pola penyebaran PKL disajikan pada Tabel 74.
Tabel 74. Pola Penyebaran PKL
No. Pengelompokan Dagangan Jumlah Persen
1. Berkelompok dengan usaha sejenis 35 29,17
2. Bercampur dengan usaha jenis lain 85 70,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden bercampur dengan
usaha jenis lain (70,83 %). Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier
concentration terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau pada jalan yang
menghubungkan jalan utama. PKL tipe ini dapat ditemukan di sekitar Taman Topi,
Merdeka, Pasar Bogor, Pasar Anyar dimana pola jaringan jalan menentukan aktivitas
PKL. Pola kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas
yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dari sisi pangsa pasar, hal ini sangat
menguntungkan, karena mempunyai peluang yang tinggi dalam maraih konsumen.
Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian, sepatu, kelontong, dan
sebagainya.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PKL memiliki pola berkelompok dengan
usaha sejenis (29,17 %). Pola penyebaran seperti ini biasanya banyak dipengaruhi
oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokan
pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau
saling menunjang di suatu tempat. Dari tiga tipologi pedagang yang dianalisis, pola
ini dapat ditemukan pada pasar sayur malam (Pasar Bogor, Pasar Anyar, Merdeka)
dan pasar kuliner (Merdeka, depan Pusat Grosir Bogor, dan Jembatan Merah).
148
5.3.9. Waktu Operasi PKL (B10)
McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan
denganp irama ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu
kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal. Adapun
perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan
aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya. Hasil
analisis waktu operasi PKL disajikan pada Tabel 75.
Tabel 75. Waktu Operasi PKL No. Waktu Operasi Jumlah Persen
1. Malam-Pagi 39 32,50
2. Pagi-Malam 9 7,50
3. Pagi-Siang 51 42,50
4. Siang-Malam 21 17,50
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dalam penelitian ini, waktu operasi dibagi ke dalam 4 kelompok. Jika diamati,
pengelompokan waktu operasi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas operasi PKL di
kota Bogor berlangsung penuh selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mayoritas PKL beroperasi pada waktu pagi-siang (42,50 %). Waktu operasi ini
sesuai dengan aktivitas masyarakat umum yang umumnya berlangsung pagi-siang
sehingga dengan waktu tersebut mereka dapat memperoleh konsumen secara
maksimal. Kondisi ini dapat teramati di sekitar Pasar Anyar dan Merdeka dimana
pada waktu pagi-siang PKL beroperasi penuh, sedangkan menjelang sore-malam
kondisinya sangat sepi.
Urutan waktu operasi berikutnya adalah malam-pagi (32,50 %). PKL tipe ini
umumnya adalah pasar sayur malam. Waktu operasi berikutnya adalah siang-
malam (17,50 %) yang biasanya adalah PKL pasar kuliner, penjual kelontong dan
penjual pakaian yang menggunakan tempat/kios kecil di tempat-tempat ramai .
5.3.10. Lama Waktu Operasi (C2)
Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata PKL bekerja selama 10 jam
(9,73 jam) per hari. Waktu operasi ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan jam
kerja kantoran dari jam 08.00-16.00 yaitu sekitar 8 jam. Pengamatan lapangan
149
menunjukkan bahwa lama waktu operasi ini tergantung pada setiap PKL. Mereka
cenderung berhenti bekerja jika barang dagangannya sudah cukup terjual.
Tabel 76. Lama Waktu Operasi
No. Lama Kerja (jam) Ya Persen
1. < = 5 5 4,17
2. 5-10 77 64,17
3. >10 38 31,67
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari sisi jumlah hari kerja dalam seminggu (C3), hasil analisis yang disajikan
pada Tabel 77 menunjukkan bahwa mayoritas responden (75.00%) bekerja penuh
selama seminggu tanpa memiliki hari libur. Kondisi ini mencirikan aktivitas
usaha informal dimana mereka mengatur sendiri waktu liburnya. Mereka akan
libur bila ada keperluan tertentu saja.
Tabel 77. Lama Hari Kerja dalam Seminggu No. Lama Kerja (Hari) Ya Persen
1. 5 5 4,17
2. 6 25 20,83
3. 7 90 75,00
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.3.11. Tempat Usaha (B12)
Hasil analisis pemanfaatan ruang bagi usaha PKL disajikan pada Tabel 78.
Hasil analisis untuk ketiga tipologi menunjukkan bahwa mayoritas PKL
menempati badan jalan (48,33 %), trotoar (37,50 %), dan lahan parkir (14,17 %).
Tabel 78. Tempat Usaha No. Tempat Usaha Jumlah Persen
1. Trotoar 45 37,50
2. Lahan Parkir 17 14,17
3. Badan Jalan 58 48,33
Total 90 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
150
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa PKL menempati ruang publik dan
ruang privat. Ruang publik merupakan ruang milik pemerintah yang
diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, seperti taman atau hutan kota,
trotoar, ruang terbuka hijau, lapangan, dan sebagainya, termasuk fasilitas atau
sarana yang terdapat di dalamnya seperti halte, jembatan penyeberangan, dan
sebagainya. Ruang privat atau pribadi adalah ruang yang dimiliki oleh individu
atau kelompok tertentu, seperti lahan pribadi pemilik pertokoan, perkantoran, dan
sebagainya. Penggunaan ruang-ruang inilah yang akhirnya menimbulkan konflik
kepentingan (conflict of interest) antara Pemerintah Kota, PKL, masyarakat dan
bahkan pemilik ruang privat yang lahannya dipakai untuk PKL. Bentuk
penyelesaian konflik sangat kompleks.
Dari sisi pelaku PKL (Tabel 79), penempatan usaha di ruang publik dan
privat tersebut dipandang strategis (96,67 %). Dari sisi usaha, PKL akan memilih
lokasi yang mendekati pasar atau pembeli. Mereka akan berusaha agar barang
atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli.
Tabel 79. Posisi Lokasi Usaha
No. Posisi Usaha Jumlah Persen
1. Strategis 116 96,67
2. Tidak Strategis 4 3,33
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari aspek pemasaran, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang strategis dan
menguntungkan di pusat kota atau lokasi aktivitas masyarakat, seperti lokasi
aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat
lainnya. Dalam teori lokasi disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat
kecenderungan untuk berorientasi kepada konsentrasi konsumen dalam
menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992). Sesuai pula dengan yang
dikatakan dalam ilmu manajemen bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan
lokasi adalah dekat dengan pasar ( Umar H, 2005).
5.3.12. Luas Tempat Usaha (B13)
Analisis berikutnya diarahkan pada luas tempat (ruang) yang digunakan oleh
PKL dalam menjalankan usaha (Tabel 80). Dari keseluruhan responden yang
151
dianalisis rata-rata pemanfaatan ruang PKL adalah 4 m2. Hasil ini lebih rendah
dibandingkan hasil analisis Budi (2005) yang mengkaji penyebaran PKL di Tegal
dimana rata-rata pemanfaatan ruang oleh PKL adalah lebih dari 5 m2
No.
. Perbedaan
hasil ini terkait dengan perbedaan tipologi PKL yang dianalisis. Semakin besar
luas ruang yang digunakan maka akan semakin banyak ruang publik atau privat
yang terpakai. Dengan kata lain hasil ini berimplikasi strategis bagi pengaturan
ruang yang dapat dipakai PKL dalam menjalankan usahanya.
Tabel 80. Luas Ruang yang Digunakan PKL
Luas Lahan (m2 Jumlah ) Persen
1. ≤ 1 24 26,67 2. 1 - 3 42 46,67 3. > 3 54 60,00 Total 120 133,33
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menempati
ruang lebih dari 3 m2 (60,00 %), menempati ruang 1 sampai 3 m2 (46,67 %), dan
sisanya kurang dari 1 m2. Luas penggunaan ruang ini berhubungan erat dengan
sarana dan prasarana PKL. Budi (2005) menemukan hubungan yang signifikan
antara sarana dagang dengan luas ruang. Implikasinya adalah dalam peraturan
daerah perlu diperhitungkan jenis sarana dagang dan luas tempat agar dapat
dibatasi jumlah PKL yang menempati suatu lokasi.
5.3.13. Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14)
Pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL berhubungan dengan kondisi
kebersihan sekitarnya. Terdapat pandangan umum bahwa PKL menyebabkan
lingkungan yang kotor dan mengurangi estetika wajah kota. Kondisi kebersihan
juga berhubungan dengan rentan-tidaknya pelaku PKL terhadap penyakit.
Untuk menguji pandangan ini maka dilakukan penilaian terhadap kondisi
kebersihan untuk aktivitas PKL yang dilakukan oleh petugas survei dengan
melakukan pengamatan kondisi sekitar usaha dan kondisi usaha PKL tanpa
sepengatahuan PKL. Hasil analisis kondisi kebersihan aktivitas PKL disajikan
pada Tabel 81.
152
Tabel 81. Kondisi Kebersihan
No. Kondisi Kebersihan Jumlah Persen
1. Bersih 31 25,83
2. Kotor 89 74,17
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL dikategorikan kotor (74,17
%). Hasil ini berimplikasi penting bagi strategi penataan PKL yang membutuhkan
keterlibatkan beberapa pihak secara langsung seperti Dinas Kebersihan dan Dinas
Kesehatan terutama untuk memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap
masalah kebersihan dan kesehatan. Dalam konteks ini, Mehrotra and Mario
(2002) menemukan bahwa masalah kesehatan PKL memerlukan intervensi publik
yaitu perhatian dari otoritas kota untuk memberikan bimbingan kepada PKL.
5.3.14. Keberadaan Usaha di Tempat Lain
Kepemilikan usaha PKL di tempat lain perlu juga dikaji. Pertanyaan ini
dimaksudkan untuk mengeksplorasi lebih lanjut jiwa kewirausahaan responden
pelaku PKL. Jika usahanya dipandang layak dan menguntungkan, biasanya
mereka akan membangun usaha sejenis di tempat lain. Pertanyaan ini juga
berimplikasi pada strategi pengelolaa PKL dimana perlu pengaturan batas
maksimal usaha PKL yang dapat dimiliki seseorang. Dengan demikian maka
jumlah PKL tidak melebihi ambang batas kapasitas maksimal yang dapat diterima
di suatu tempat atau kota. Berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2005, terdapat
larangan bagi PKL untuk mempunyai tempat usaha di lebih dari satu tempat yang
bertujuan untuk membatasi jumlah PKL.
Tabel 82. Kepemilikan Usaha di Tempat Lain No. Usaha di Tempat Lain Jumlah Persen
1. Ya 14 11,67
2. Tidak 106 88,33
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sesuai tipologinya maka hasil analisis pada Tabel 82 menujukkan bahwa
mayoritas PKL di kota Bogor tidak memiliki usaha sejenis di tempat lain
153
(88,33%) dan sisanya (11,67 %) memiliki usaha di tempat lain.
Analisis lebih lanjut terhadap 14 responden (yang memiliki lapak di tempat
lain) menunjukkan bahwa secara rata-rata mereka memiliki 2 lapak. Lapak yang
satu biasanya dioperasikan oleh kerabat atau orang lain yang diberi upah.
5.3.15. Registrasi PKL (B18)
Salah satu karakteristik sektor informal adalah tidak teregulasi atau tidak
terdaftar dalam institusi resmi. Untuk menguji tesis ini, maka diajukan beberapa
pertanyaan terkait dengan apakah responden terdaftar dalam institusi pajak,
pemerintah lokal, koperasi, paguyuban atau ormas/LSM. Pertanyaan tersebut
mempunyai implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di kota Bogor.
Hasil analisis disajikan pada Tabel 83 yang menunjukkan bahwa mayoritas
respoden tidak terdaftar di kantor pajak (90,83 %), namun bukan berarti mereka
menghindari pajak. Richardson (1984) menyatakan bahwa motivasi utama
sebagai PKL adalah untuk mata pencaharian dan pendapatan dibandingkan
keuntungan. Schneider (2002) menyatakan hal sebaliknya dimana salah satu
motivasi dalam menjalankan PKL adalah pajak.
Kedua pendapat di atas dapat saja benar karena inti permasalahannya adalah
tidak atau belum terdaftar di kantor pajak sehingga sering disebut juga sebagai
hidden economy. Timalsina (2011) menyatakan bahwa karena dipandang sebagai
aktivitas non profit, maka PKL (atau lebih umumnya sektor informal) tidak
berkontribusi dalam ekonomi nasional dalam sisi pajak. Implikasi kebijakannya
adalah jika sektor ini ingin diformalkan maka kantor pajak atau pemerintah
daerah/kota perlu melakukan pendataan pelaku sektor ini.
Tabel 83. Registrasi PKL
No. Terdaftar di Institusi Ya % Tidak % Tidak
Tahu % Total
1. Kantor pajak 1 0,83 109 90,83 10 8,33 120
2. Pemerintah Daerah 4 3,33 105 87,50 11 9,17 120
3. Koperasi 3 2,50 106 88,33 11 9,17 120
4. Paguyuban 44 36,67 74 61,67 2 1,67 120
5. Ormas/LSM 0 0,00 109 90,83 11 9,17 120
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
154
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di
pemerintahan daerah (87,50 %). Dalam penelitian ini yang dimaksud terdaftar
adalah sudah diberi ijin penggunaan lokasi. Data Disperindagkop kota Bogor per
25 Nopember 2008 seperti tertera pada Tabel 84 menunjukkan jumlah PKL yang
sudah terdaftar di Disperindag sangat kecil dibandingkan jumlah PKL yang ada di
kota Bogor.
Tabel 84. Rekapitulasi PKL yang Sudah Mendapatkan Ijin Penggunaan Lokasi PKL per 28 Nopember 2008
No. Lokasi Jumlah PKL berijin
1. Jl. Pajajaran (samping Balitnak IPB) 32
2. Gg. Selot (samping SMAN 1 Bogor) 30
3. Seputar Air Mancur 30
4. Jl. Pengadilan (samping DTKP) 40
5. Jl. Pajajaran (samping Damkar) 21
6. Jl. Otista 14
Jumlah 167 Sumber : Disperindagkop (2011)
Di sisi lain data yang didapatkan dari Disperindagkop hanya berisi daftar
PKL tahun 2005. Belum terdapat update versi terbaru untuk data ini. Dengan
metodologi yang kurang tepat dan jumlah sampel yang kurang representatif, pada
tahun 2010 konsultan PT. Oxalis Subur (2010) melakukan penelitian untuk
memetakan PKL dengan menggunakan GIS. Hasil penelitian tersebut ternyata
semakin mengaburkan pemetaan PKL. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa
diperlukan pendaftaran ulang secara detil, PKL di kota Bogor.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar
di koperasi (88,33 %). Koperasi adalah organisasi otonom yang berada dalam
lingkungan sosial ekonomi dan sistem yang memungkinkan setiap
individu/kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan
mewujudkan tujuan itu melalui aktivitas ekonomi yang dilaksanakan secara
bersama. Kegiatan koperasi dilandasiprinsip gerakan ekonomi rakyat berdasarkan
asas kekeluargaan. Yang dimaksud koperasi dalam penelitian ini adalah koperasi
hasil bentukan PKL atau Pemerintah Kota sebagai wadah organisasi PKL.
155
Dengan kata lain mayoritas PKL belum memiliki wadah yang dapat digunakan
untuk menyalurkan aspirasinya.
Mayoritas respoden tidak terdaftar di paguyuban (61,67%) namun cukup
banyak yang terdaftar di paguyuban (36,67%). Paguyuban dapat diartikan sebagai
perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan oleh orang-orang yang
sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para
anggotanya. Dalam konteks PKL, paguyuban biasanya bersifat lokasional
(misalnya paguyuban PKL Pasar Anyar) atau asal daerah (paguyuban pedagang
Minang, Batak). Paguyuban dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi politis
bagi anggota, sebagaiwadah berkeluarga dan mengatasi kesulitan finansial
anggotanya.
Mayoritas respoden tidak terdaftar di LSM (90,83 %). Dikaitkan dengan
paguyuban, maka paguyuban lebih berperan sebagai wadah PKL dalam
menyalurkan aspirasinya. Hasil ini juga menunjukkan kurangnya peran LSM
lokal dalam mewadahi atau memberdayakan PKL di kota Bogor. Peranserta LSM
akan sangat membantu PKL dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi.
5.4. Pekerja dan Kompensasi
Analisis lebih lanjut dilakukan terhadap pekerja dan kompensasi. Analisis
ini diperlukan karena kegiatan usaha kaki lima mampu memberikan lapangan
pekerjaan, tidak hanya bagi PKL tetapi juga bagi tenaga kerja yang membantu
kegiatan PKL. Kompensasi yang dimaksud adalah imbalan bagi tenaga kerja,
seperti gaji atau bonus keuntungan, tunjangan kesehatan atau hari raya. Ini perlu
diketahui karena dapat menunjukkan absorbsi tenaga kerja dari aktivitas PKL.
Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 85 menunjukkan bahwa mayoritas
PKL (80,83 %) tidak memiliki pegawai, artinya mereka sendiri bertindak sebagai
pemilik dan sekaligus pekerja dalam usaha PKL. Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa sebanyak 19,17 % PKL menggunakan pegawai untuk membantu aktivitas
usaha. Ini menunjukkan bahwa usaha ini mampu berkontribusi dalam menyerap
tenaga kerja yang tidak terserap sektor formal. Lapangan kerja sektor formal
mensyaratkan skill dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal,
156
sehingga tenaga kerja yang tidak tertampung akan memilih sektor informal untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Tabel 85. Jumlah Responden yang Menggunakan Tenaga Kerja
No. Memiliki Pegawai Ya Persen
1. Ya 23 19,17
2. Tidak 97 80,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Kemampuan PKL dalam menyerap tenaga kerja juga berdimensi sosial.
Effendy (2000) menyatakan bahwa ketidakmampuan sektor formal dalam
menampung tenaga kerja dan kemampuan sektor informal sebagai pengaman
antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja, menyebabkan sektor
informal mampu meredam kemungkinan keresahan sosial akibat langkanya
peluang kerja.
Eksplorasi lebih lanjut terhadap responden yang menggunakan tenaga kerja
(23 responden) menunjukkan bahwa mayoritas responden memberikan bonus bagi
tenaga kerjanya (52,17 %). Ini menunjukkan bahwa mereka memahami arti
reward bagi para pekerjanya. Dalam konteks ekonomi, rewards dapat berfungsi
sebagai perangsang agar mereka berkinerja lebih baik, sekaligus retensi agar
mereka tidak berpindah ke tempat lain.
Tabel 86. Tunjangan dan Bonus bagi Pekerja No. Bonus bagi Pekerja Ya Persen
1. Ya 12 52,17 2. Tidak 11 47,83 Total 23 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Tunjangan atau bonus yang diberikan dapat berupa tunjangan sakit, tunjangan
hari raya, bonus keuntungan, dan bentuk-bentuk lain seperti lembur. Hasil analisis
bentuk tunjangan atau bonus disajikan pada Tabel 87.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 12 responden yang memberikan
bonus bagi pekerjanya, mayoritas (75,00 %) memberikan bonus atau tunjangan
dalam bentuk tunjangan hari raya (THR). Sebagian memberikan tunjangan sakit
(8,33 %), bonus keuntungan (8,33 %), dan tunjangan atau bonus bentuk lain
157
(8,339 %). THR adalah bentuk tunjangan yang paling umum diberikan di
Indonesia sehingga seperti yang diduga menunjukkan hasil mayoritas.
Tabel 87. Bentuk Tunjangan atau Bonus bagi Pekerja No. Jenis Bonus Ya Persen
1. Tunjangan sakit 1 8,33
2. Tunjangan hari raya 9 75,00
3. Bonus keuntungan 1 8,33
4. Lainnya 1 8,33
Total 12 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.5. Aspek Keuangan dan Lain-Lain
Menurut Sari (2003), salah satu ciri sektor informal dari aspek keuangan
adalah modal, peralatan dan perlengkapan, serta omzet biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian. Untuk menguji pandangan ini maka
penelitian diarahkan dengan memberikan pertanyaan terkait dengan jumlah modal
awal, jumlah modal kerja harian, jumlah pendapatan (omzet), sumber modal dan
kemampuan pengembalian modal.
5.5.1. Modal Awal
Hasil analisis pada Tabel 88 menunjukkan bahwa mayoritas responden (40,83
%) membutuhkan modal antara Rp 1.000.000,- sampai Rp 5.000.000,- untuk
memulai usaha sebagai PKL. Urutan berikutnya adalah kebutuhan modal antara
kurang dari Rp 500.000,- (37,50 %), antara Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,-
(15,00 %), lebih dari Rp 5.000.000,- (3,33 %) dan tanpa modal (3,33 %).
Hasil analisis ini sedikit berbeda dengan yang ditemukan oleh Budi (2005)
bahwa mayoritas responden PKL mempunyai modal kurang dari Rp 1.000.000,-.
Perbedaan ini terkait dengan tipologi PKL yang dianalisis dalam penelitian ini.
Budi (2005) tidak memilah PKL menurut tipologi, sementara penelitian ini
menggunakan tiga tipologi.. Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindag (2010)
bahwa rata-rata modal awal yang dikeluarkan PKL kota Bogor adalah Rp
1.566.629,-. Hasil analisis menemukan adanya PKL yang tidak menggunakan
modal untuk memulai usaha sebagai PKL. Jika data yang diperoleh (Lampiran)
dilihat lebih mendalam, maka responden yang tidak menggunakan modal
158
ditemukan pada tipologi pasar tumpah (2 responden) dan pasar sayur malam (2
responden).
Tabel 88. Modal Awal yang Diperlukan dalam Memulai Usaha
No. Modal Awal Ya Persen
1. Tanpa Modal 4 3,33
2. <=500.000 45 37,50
3. 500.000-1.000.000 18 15,00
4. 1.000.000-5.000.000 49 40,83
5. > 5.000.000 4 3,33
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Modal mereka hanya tenaga karena mereka mengambil barang dari bos
(distributor), menjualnya, dan melakukan setoran ke bos ketika jam operasinya
selesai. Mereka memperoleh pendapatan dari selisih harga dari bos dengan harga
jual.
Berdasarkan rata-rata modal awal yang digunakan, hasil analisis
menunjukkan bahwa tipologi pasar kuliner paling banyak membutuhkan modal
awal (Rp 3.860.250,-). Hal ini karena pasar kuliner lebih banyak membutuhkan
sarana dan prasarana usaha seperi tenda, kursi, meja, mangkok, piring, sendok dan
lain sebagainya. Pasar tumpah rata-rata membutuhkan modal awal Rp 1.957.500,-
dan yang terkecil adalah pasar sayur malam (Rp 855.000,-). Hasil ini tentunya
tidak konklusif atau tidak dapat digeneralisasi mengingat bahwa kebutuhan
modal awal akan sejalan dengan skala usaha yang digunakan.
Analisis modal awal mencirikan PKL di kota Bogor dalam konteks tipologi
PKL. Secara keseluruhan, hasil survai modal awal tersebut menunjukkan bahwa
usaha pada sektor informal terutama PKL merupakan usaha dengan modal relatif
kecil dan merupakan unit usaha skala kecil yang sesuai dengan karakteristik
sektor informal pada umumnya.
5.5.2. Jenis dan Sumber Modal
Modal usaha dapat berupa modal sendiri, modal sendiri ditambah sebagian
pinjaman, dan seluruhnya pinjaman dari sumber-sumber modal. Hasil analisis
pada Tabel 89 untuk 116 responden yang menggunakan modal menunjukkan
159
bahwa mayoritas responden menggunakan modal sendiri (81,90 %) dalam
memulai usaha sebagai PKL. Hasil ini konsisten dengan Tabel 78 bahwa modal
yang diperlukan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga mayoritas responden
tidak harus melakukan pinjaman.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa responden mengkombinasikan modal
sendiri dan pinjaman (14,66 %) untuk memulai usaha dan sebagian kecil
menggunakan modal yang seluruhnya pinjaman (3,45 %).
Tabel 89. Sumber Modal PKL
No. Sumber Modal Ya Persen
1. Modal sendiri 95 81,90
2. Sebagian pinjaman 17 14,66
3. Seluruhnya pinjaman 4 3,45
Total 116 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Beragam sumber penyedia modal tersedia di pasar seperti dari saudara, teman,
perbankan atau lembaga keuangan pemerintah, rentenir atau bank keliling, dan
sumber-sumber lainnya. Hasil analisis pada Tabel 90 menunjukkan bahwa dari 21
responden yang menggunakan modal sebagian pinjaman dan seluruhnya pinjaman
(jumlah No. 2 dan 3 pada Tabel 89), mayoritas responden meminjam dari teman
(47,62 %) untuk modal usaha. Urutan berikutnya adalah meminjam dari saudara
sendiri (33,33 %), rentenir atau bank keliling (9,52 %), bank atau lembaga
keuangan pemerintah (4,76 %), dan dari sumber lain (4,76 %).
Tabel 90. Sumber Pinjaman Modal No. Sumber Pinjaman Modal Ya Persen
1. Saudara sendiri 7 33,33
2. Teman 10 47,62
3. Bank/lembaga keuangan pemerintah 1 4,76
4. Rentenir/bank keliling 2 9,52
5. Lainnya 1 4,76
Total 21 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
160
Hasil ini cukup menarik dicermati. Bank atau lembaga keuangan pemerintah
belum banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan dana pinjaman. Hasil ini
mengkonfirmasi salah satu karakteristik sektor informal yang disebutkan oleh Sari
(2003) yaitu kurang mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan
sebagainya. Mitullah (2003) dalam kajian empiris PKL di Kenya, Pantai Gading,
Ghana, Zimbabwe, Uganda, dan Afrika Selatan juga menemukan bahwa PKL
tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung
pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat.
Kurangnya ketergantungan PKL terhadap sumber kredit formal tidak
mencerminkan kemampuan PKL dalam melakukan pembayaran pinjaman. Untuk
mengetahui kemampuan pengembalian modal pinjaman maka diajukan
pertanyaan berapa lama mereka mampu melunasi pinjaman. Hasil analisis
terhadap responden yang memberikan jawaban menunjukkan bahwa rata-rata
mereka dapat mengembalikan pinjaman kurang dari 2 bulan. Ini menunjukkan
bahwa mereka sebenarnya bankable yang berarti memiliki kemampuan dalam
mengembalikan pinjaman. Kurangnya penggunaan lembaga bank karena
kebanyakan bank mensyaratkan agunan, perijinan, atau kepastian usaha dimana
PKL relatif tidak memilikinya. Sebab lain adalah mereka tidak mau terlibat
dengan proses birokratis dalam melakukan pinjaman ke bank.
5.5.3. Modal Kerja dan Pendapatan
Analisis lebih lanjut terhadap aspek keuangan dilakukan terhadap jumlah
modal kerja/operasional dan pendapatan yang merupakan variabel ekonomi
penting dalam mempengaruhi kinerja usaha PKL. Dengan sifat dari data survey,
maka pengukuran modal kerja dilakukan secara harian.
McGee (1975) dan McGee and Yeung (1977) mengukur modal kerja dan
pendapatan usaha menggunakan nilai stok dan pendapatan harian. Nilai stok
(didekati dengan harga barang) dipandang sebagai indikator terbaik karena
umumnya mencerminkan modal kerja PKL. Dalam penelitian ini, pengukuran
modal kerja dilakukan dengan menanyakan langsung pada responden dan tidak
menggunakan pendekatan stok barang. Pendekatan ini dipilih karena lebih simpel
tanpa harus mengestimasi stok barang.
PKL juga membutuhkan modal kerja harian untuk menjalankan aktivitas
161
usahanya. Dalam analisis ini ukuran yang digunakan adalah nilai uang (Rp) per
hari karena PKL umumnya mendasarkan perhitungan profit secara harian. Hasil
analisis modal kerja harian disajikan pada Tabel 91.
Tabel 91. Modal Kerja Harian
No. Modal Kerja Harian (Rp) Ya Persen
1. Tanpa modal 4 3,33
2. ≤ 100.000 31 25,83
3. 100.000-500.000 67 55,83
4. > 500.000 18 15,00
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (55,83%)
membutuhkan modal kerja harian antara Rp 100.000,- sampai Rp 500.000,-.
Urutan berikutnya adalah kurang dari atau sama dengan Rp 100.000,- (25,83 %),
lebih dari Rp 500.000,- (15,00 %), dan tanpa modal (3,33 %).
Hasil ini sejalan dengan temuan Suharto (2003) dalam kajian PKL di kota
Bandung bahwa mayoritas penggunaan modal kerja harian sebesar kurang dari Rp
200.000,-. Hasil serupa juga ditemukan oleh Budi (2005) dimana mayoritas PKL
menggunakan modal kurang dari Rp 500.000,-.
Hasil analisis mengindikasikan bahwa usaha PKL membutuhkan modal kerja
yang relatif tidak terlalu besar. Hasil ini mengkonfirmasi salah satu karakteristik
PKL yaitu tidak membutuhkan modal kerja yang besar sehingga sektor ini dapat
dengan mudah dimasuki oleh masyarakat umum.
Untuk tujuan pragmatis, pendapatan kotor (omzet) dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pendapatan dari usaha PKL. Pendapatan kotor (pendapatan kotor
harian sebelum dikurangi total biaya operasional perdagangan sehari-hari)
diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden. Untuk menghindari respon
jawaban yang terlalu rendah, maka dapat dilakukan pengecekan jumlah stok atau
display di lapak PKL. Karena sifat fluktuatif usaha PKL, maka jumlah penjualan
untuk tiga tipologi PKL dibagi ke dalam tiga kelas yaitu minimum, rata-rata dan
maksimum.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tanpa membedakan tipologinya,
162
jumlah penjualan/pendapatan minimum adalah Rp 299.917,-/hari, jumlah
penjualan/pendapatan rata-rata adalah Rp 431.833,-/hari, dan jumlah
penjualan/pendapatan maksimum Rp 641.849,-/hari. Angka ini diperoleh dengan
merata-ratakan penjualan atau pendapatan untuk semua responden.
Tabel 92. Omzet Kotor Harian PKL menurut Tipologi.
No Tipologi Pendapatan Harian (Rp)
Minimum Rata-rata Maksimum
1 Pasar tumpah 473.750 673.750 980.000
2 Pasar sayur malam 203.625 305.000 448.625
3 Pasar kuliner 222.375 316.750 505.375
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Jika dilihat dari tipologinya, pendapatan harian rata-rata tipologi pasar
tumpah (Rp 673.750,-) lebih tinggi dibandingkan pasar sayur malam (Rp
305.000,-) dan pasar kuliner (Rp 316.750,-). Dilihat dari gap antara pendapatan
minimum, rata-rata, dan maksimum, nampak bahwa pasar tumpah lebih fluktuatif.
Ini disebabkan karena pendapatan pada pasar tumpah sangat tergantung dari
jumlah pengunjung. Jumlah pengunjung akan banyak pada hari-hari libur dan
biasanya sepi pada hari biasa.
Manajemen keuangan sangat penting bagi seorang pelaku usaha sehingga
analisis berikutnya diarahkan pada jenis pembukuan yang dilakukan responden.
Tabel 93. Jenis Pembukuan Pelaku PKL
No. Jenis Pembukuan Ya Persen
1. Tidak ada pembukuan 109 90,83
2. Pembukuan untuk kepentingan pribadi 8 6,67
3. Pembukuan sederhana untuk pajak 1 0,83
4. Pembukuan format yang rinci 1 0,83
5. Lainnya 1 0,83
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis pada Tabel 93 menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak
memiliki pembukuan (90,83 %) dan sebagian kecil memiliki pembukuan untuk
kepentingan pribadi (6,67 %). Hanya satu responden yang menyatakan memiliki
163
pembukuan sederhana untuk pajak dan satu responden memiliki pembukuan
format rinci. Responden yang memiliki tipe pembukuan format rinci adalah PKL
waralaba yang memiliki format pembukuan dari pewaralabanya
Hasil analisis pada Tabel 93 memiliki implikasi dari sisi pemberdayaan PKL,
yaitu perlunya pelatihan pembukuan sederhana bagi pelaku PKL oleh dinas-dinas
yang relevan. Pelatihan ini penting agar pelaku PKL dapat membedakan atau
memilah pos-pos keuangan mereka dalam sistem akuntansi. Mereka seharusnya
faham apa yang termasuk dalam komponen pendapatan, komponen pengeluaran,
komponen hutang, piutang usaha, dan sebagainya. Yang sering terjadi mereka
mencampur-adukkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha sehingga
keuntungan yang didapat terkadang merupakan keuntungan semu.
5.5.4. Sewa Lapak
PKL memerlukan lokasi dalam memulai usaha. Pemilihan lokasi merupakan
hal penting untuk mendapatkan konsumen yang pada gilirannya mempengaruhi
keberhasilan usaha. Beberapa lokasi membutuhkan biaya sewa (lapak) dan
beberapa lokasi lainnya tidak. Hasil analisis pada Tabel 94 menunjukkan bahwa
mayoritas PKL membayar untuk mendapatkan tempat usaha (59,17 %), tidak
membayar tempat usaha (32,50 %), dan tidak memberikan respon jawaban
(8,33%).
Tabel 94. Pembayaran Tempat Usaha
No. Pembayaran Tempat Usaha Ya Persen 1. Ya 71 59,17 2. Tidak 39 32,50 3. Tidak menjawab 10 8,33 Total 120 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Sebanyak 71 responden menyatakan mereka membayar untuk memperoleh
tempat usaha, rata-rata sebesar Rp 126.693,- per bulan atau sekitar Rp 5.000,- per
hari, suatu jumlah yang relatif kecil. Mayoritas responden (85,92 %) menyatakan
bahwa sistem pembayaran umumnya harian (85,92 %), bulanan (9,86 %), dan
tahunan (4,23 %).
164
Tabel 95. Jangka Waktu Pembayaran
No. Jangka Waktu Pembayaran Ya Persen
1. Harian 61 85,92
2. Mingguan 0 0,00
3. Bulanan 7 9,86
4. Tahunan 3 4,23
Total 71 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Untuk mengetahui apakah pembayaran tersebut masuk ke pendapatan asli
daerah (PAD) yang dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan maka
diperlukan kajian terhadap penerima pembayaran sewa lapak tersebut. Pihak
penerima pembayaran sewa lapak dapat berupa pihak resmi atau Pemerintah Kota,
koperasi, paguyuban, LSM/ormas dan oknum tertentu. Hasil analisis pihak
penerima pembayaran menurut responden disajikan pada Tabel 96.
Tabel 96. Pihak Penerima Pembayaran Sewa Lapak No. Penerima Pembayaran Ya Persen
1. Pemerintah (resmi) 5 7,04
2. Koperasi 0 0,00
3. Paguyuban 37 52,11
4. LSM/ormas 0 0,00
5. Oknum 29 40,85
Total 71 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih setengah dari responden melakukan
pembayaran pada paguyuban (52,11 %), diikuti oleh oknum tertentu (40,85 %),
dan hanya 7,04 % yang melakukan pembayaran resmi pada pihak Pemerintah
Kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pendapatan dari
sewa lapak tidak masuk ke dalam PAD tetapi diterima organisasi pedagang itu
sendiri dan oknum-oknum tertentu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sedikit PKL yang melakukan
pembayaran resmi ke Pemerintah Kota Bogor. Kondisi ini berhubungan dengan
masih banyaknya PKL yang belum berijin dalam menggunakan lokasi PKL.
Berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No. 511.23.45-23 tahun 2007, Kepala
165
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi ditunjuk untuk memberikan ijin
penggunaan lokasi, pembinaan dan penataan PKL. Pemerintah Kota Bogor
mewajibkan pembayaran restribusi pemakaian kekayaan daerah, restribusi
pelayanan sampah dan bagi PKL kuliner wajib membayar pajak restoran, tetapi
tidak mewajibkan pembayaran lapak atau tempat usaha.
5.5.5. Fluktuasi Usaha
Tingkat pendapatan PKL rata-rata per hari tergantung pada waktu. Pada hari-
hari biasa, tingkat pendapatan mereka sangat minim, tetapi pada hari libur atau
pada waktu ada keramaian, tingkat pendapatan mereka akan naik tajam. Untuk
mengetahui fluktuasi kegiatan usaha PKL pada ketiga tipologi, responden diminta
memberikan penilaian terhadap kegiatan usahanya selama 12 bulan terakhir
(D11). Dalam penilaian ini, responden memberikan nilai 1 untuk bulan dengan
minimum kegiatan, 2 untuk rata-rata dan 3 untuk kegiatan maksimal. Hasil
analisis fluktuasi usaha disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Fluktuasi Kegiatan PKL selama 12 Bulan Terakhir Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari Gambar 13 nampak bahwa kegiatan PKL sangat fluktuatif setiap
bulannya. Pada bulan Januari kegiatan berlangsung di atas rata-rata,
kemungkinan terkait dengan meningkatnya kebutuhan di awal tahun. Pada bulan
Pebruari mengalami penurunan drastis dan mulai meningkat lagi sampai Mei dan
puncaknya dicapai pada bulan Desember (akhir tahun). Analisis menggunakan
regresi linier menghasilkan persamaan y = 0.004x + 2.002 (R2 = 0.057) dengan
166
nilai R2
= 0,057 (kecil) dan datar. Hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya
kegiatan tersebut berada di sekitar angka rata-rata tertentu sepanjang tahun.
5.5.6. Pengeluaran
Analisis lebih mendalam tentang kondisi keuangan dilakukan terhadap
komponen pengeluaran yang terdiri dari biaya operasional, biaya resmi dan biaya
tidak resmi. Penilaian dilakukan per hari dan dikonversi menjadi per bulan karena
beberapa komponen dibayarkan bulanan. Selain itu juga dilakukan pembagian
antara perhitungan yang menggunakan tenaga kerja (dan bonus) dengan yang
tanpa biaya tenaga kerja (dan bonus). Pembedaan ini diperlukan terkait hasil pada
Tabel 85, dimana hanya sebagian PKL yang menggunakan tenaga kerja,
sementara mayoritas tidak menggunakan tenaga kerja. Bila PKL menggunakan
tenaga kerja maka komponen bonus akan dimasukkan dan sebaliknya jika tidak.
Hasil analisis rata-rata item pengeluaran responden disajikan pada Tabel 97.
Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran PKL yang
menggunakan tenaga kerja adalah Rp 4.601.342,- dan yang tidak menggunakan
tenaga kerja sebesar Rp 2.525.820,-. Pada PKL yang menggunakan tenaga kerja,
komponen terbesar pengeluaran adalah upah dan gaji pekerja yaitu sebesar 27,09
%, sedangkan pada PKL yang tidak menggunakan tenaga kerja komponen terbesar
adalah kuli angkut yaitu 22,78 %. Pengamatan lebih mendalam menunjukkan
bahwa komponen biaya resmi (kebersihan dan restribusi) lebih kecil dibandingkan
biaya tidak resmi (keamanan).
Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak pihak luar yang mengambil
keuntungan dari keberadaan PKL. Biaya keamanan yang dimasukkan ke dalam
komponen tidak resmi dapat berupa biaya untuk preman, satpam setempat, oknum
satpol PP, oknum desa atau kecamatan dan sebagainya. Istilah keamanan dapat
merujuk pada pengertian keamanan dari pencurian, tindakan penggusuran dan
sebagainya. Implikasi bagi kebijakan adalah seharusnya biaya tidak resmi dapat
diturunkan atau dihilangkan agar PKL mendapat keuntungan yang layak dan jika
perlu dikonversi ke biaya resmi sehingga pendapatan pemerintah lebih besar untuk
tujuan pembangunan.
167
Tabel 97. Rata-rata Pengeluaran Bulanan Responden
No. Komponen Biaya
Dengan Tenaga
dan Bonus (Rp)
%
Tanpa Tenaga
dan Bonus (Rp)
%
Biaya Operasional
1. Upah dan gaji pekerja 1.246.522 27,09 - -
2. Jaminan sosial (asuransi yang berhubungan dengan pekerja, misalnya : jamsostek, asuransi jiwa dan kesehatan) jika ada
615.000 13,37
3. Bonus pekerja 214.000 4,65
4. Minyak tanah/LPG 243.172 5,28 243.172 9,63
5. Air 98.333 2,14 98.333 3,89
6. Listrik 78.696 1,71 78.696 3,12
7. Sewa tempat (lapak) dan peralatan
193.588 4,21 193.588 7,66
8. Transportasi 357.807 7,78 357.807 14,17
9. Makan 508.750 11,06 508.750 20,14
10. Komunikasi (HP, telp.) 166.750 3,62 166.750 6,60
11. Kuli angkut 575.455 12,51 575.455 22,78
12. Biaya perbaikan dan pemeliharan fasilitas usaha
166.583 3,62 166.583 6,60
Biaya Resmi
13. Kebersihan 46.686 1,01 46.686 1,85
14. Retribusi 90.000 1,96 90.000 3,56
Biaya Tidak Resmi
15. Keamanan 480.000 10,43 480.000 19,00
Total 4.601.342 100,00 2.525.820 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Usaha PKL menjadi mata pencaharian utama bagi mereka yang terlibat di
dalamnya. Untuk mengetahui keuntungan/profit PKL maka responden diberi
pertanyaan mengenai berapa besar penghasilan yang dibawa pulang (D16), yang
dalam konteks ekonomi dapat dikatakan sebagai net profit atau pendapatan bersih.
Dengan kelemahan PKL yang tidak memiliki pembukuan yang jelas (Tabel 93)
maka mereka tidak melakukan perhitungan profit bulanan, tetapi profit harian.
Dengan demikian maka pengukuran terhadap pertanyaan tersebut adalah harian,
yang hasil analisisnya disajikan pada Tabel 98.
168
Tabel 98. Penghasilan Yang dibawa Pulang Harian
No. Tipologi Penghasilan Yang dibawa Pulang Harian Rata-rata (Rp)
1. Pasar tumpah 85.132
2. Pasar sayur malam 81.500
3. Pasar kuliner 110.485
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Penghasilan yang dibawa pulang harian adalah saldo uang atau kas harian
setelah dikurangi pengeluaran-pengeluaran dan modal operasional harian atau
harga beli barang yang terjual (penghasilan harian yang dibawa kerumah).
Analisis terhadap tiga tipologi yang dikaji menunjukkan tipologi pasar kuliner
memiliki pendapatan bersih rata-rata tertinggi yaitu sebesar Rp 110.485,- diikuti
oleh pasar tumpah Rp 85.132,- dan pasar sayur malam Rp 81.500,-. Hasil ini
sedikit berbeda dengan hasil penelitian Suharto (2003) yang mengkaji sektor
informal di Bandung, dimana sektor informal dibagi menjadi sektor pangan,
barang dan jasa. Kisaran pendapatan yang digunakan adalah interval Rp 10.000,-
dari mulai kisaran terendah Rp 0,- sampai Rp 10.000,- hingga kisaran tertinggi
lebih dari Rp 40.000,-. Suharto (2003) menemukan bahwa sektor barang (pasar
tumpah dan sayur malam) memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan sektor
pangan (dalam hal ini pasar kuliner). Perbedaan ini terkait dengan perbedaan nilai
uang tahun 2002 dan tahun 2011 dimana penelitian ini berlangsung.
Penghasilan yang dibawa pulang harian rata-rata di atas tidak dapat diartikan
bahwa tipologi pasar kuliner lebih menguntungkan dibandingkan dua tipologi
lainnya. Hasil di atas bersifat deskriptif dan masih memerlukan penelitian lebih
lanjut terkait dengan kelayakan usaha menurut tipologi PKL. Studi kelayakan
akan lebih baik jika memperhitungakan resiko dengan menggunakan analisis
sensitivitas. Mengingat tidak adanya data yang valid dari Pemerintah Kota Bogor
maka studi tersebut sebaiknya menggunakan data primer dengan jumlah sampel
lebih besar.
Sebagian besar penghasilan yang dibawa pulang digunakan untuk kebutuhan
konsumsi dan pengeluaran rumah tangga lainnya. Dalam penelitian ini
pengukuran pengeluaran rumah tangga didekati dengan kebutuhan konsumsi
harian karena konsumsi merupakan komponen terbesar pengeluaran rumah
169
tangga. Hasil analisis pengeluaran rumah tangga (D17) disajikan pada Tabel 99.
Tabel 99. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (RT) Harian
No. Tipologi Pengeluaran Konsumsi RT Harian Rata-rata (Rp)
1. Pasar tumpah 36.711
2. Pasar sayur malam 30.000
3. Pasar kuliner 35.900
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi harian rata-rata
pasar tumpah (Rp 36.711,-) lebih besar dibandingkan pasar kuliner (Rp 30.000,-)
dan pasar sayur malam (Rp 35.900,-). Namun demikian, jumlah pengeluaran
konsumsi sebenarnya tergantung pada jumlah anggota keluarga. Semakin banyak
tanggungan keluarga maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi yang
diperlukan.
Kombinasi Tabel 98 dan Tabel 99 menghasilkan pendapatan bersih
(Penghasilan – Konsumsi RT) harian PKL di kota Bogor (Tabel 100). Tabel 100
menunjukkan bahwa pasar kuliner memiliki pendapatan bersih harian tertinggi
(Rp 74.585,-) dibandingkan pasar sayur malam (Rp 51.500,-) dan pasar tumpah
(Rp 48.421,-). Perhitungan ini masih kasar karena belum dikurangi pengeluaran-
pengeluaran lain, tetapi setidaknya mengindikasikan bahwa usaha PKL mampu
memberikan pendapatan yang mencukupi bagi para pelakunya.
Tabel 100. Pendapatan bersih PKL Harian Rata-rata
No. Tipologi Rerata Pendapatan (Rp)
Rerata Konsumsi
Rumah Tangga (Rp)
Net (Rp)
1. Pasar tumpah 85.132 36.711 48.421
2. Pasar sayur malam 81.500 30.000 51.500
3. Pasar kuliner 110.485 35.900 74.585
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.6. Permasalahan dan Prospek
Beragam masalah dihadapi oleh PKL, antara lain masalah perlindungan
sosial, rendahnya pendidikan, dan buruknya kesehatan (Mehrotra and Biggeri,
2002), miskin dan rentan (Suharto, 2003), bekerja dalam lingkungan yang keras
170
tanpa infrastruktur dan layanan dasar, serta masalah pasar dan investasi (Mitullah
2003), tata kota (Nitisudarmo, 2009), proteksi sosial dan legal (Henley et al,
2009), penggusuran dan kekerasan (Akharuzzama et al, 2010), dan kendala
finansial (Takim, 2011).
Untuk mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi PKL di
kota Bogor maka dilakukan pertanyaan mengenai kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi. Pertanyaan ini memiliki implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di
masa datang. Hasil analisis disajikan pada Tabel 101.
Tabel 101. Masalah/Kesulitan yang Dihadapi PKL
No. Permasalahan Ya Persen
1. Pasokan bahan baku 21 7,92
2. Penjualan produk – kekurangan pelanggan 23 8,68
3. Penjualan produk – terlalu banyak pesaing 26 9,81
4. Kesulitan keuangan 36 13,58
5. Tempat usaha sempit 16 6,04
6. Kekurangan perlengkapan 16 6,04
7. Kesulitan mengatur usaha 13 4,91
8. Terlalu banyak biaya resmi 11 4,15
9. Terlalu banyak biaya tidak resmi 22 8,30
10. Penggusuran 38 14,34
11. Pendapatan kecil 31 11,70
12. Ketidakamanan (preman, pencurian, dan lain-lain) 11 4,15
13. Ketidak pastian tempat usaha 1 0,38
Total 265 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL menghadapi kesulitan terkait
dengan penggusuran (14,34 %). Selain itu mereka juga menghadapi kesulitan keuangan
(13,58 %), pendapatan kecil (11,70 %), penjualan produk – terlalu banyak pesaing (9,81
%), penjualan produk – kekurangan pelanggan (8,68 %), terlalu banyak biaya tidak
resmi (8,30 %) pasokan bahan baku (7,92 %), tempat usaha sempit (6,04 %),
kekurangan perlengkapan (6,04 %), kesulitan mengatur usaha (4,91 %), terlalu banyak
biaya resmi (4,15 %), ketidakamanan seperti preman dan pencurian (4,15 %), dan
ketidak pastian tempat usaha (0,38 %).
Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu ditanyakan harapan mereka
171
terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi. Hasil analisis pada Tabel 102
menunjukkan bahwa mereka mengharapkan akses memperoleh pinjaman (18,87
%), bantuan memperoleh suplai (12,45 %), penataan usaha atau tempat (12,45%),
pelatihan teknis (9,81 %), pelatihan manajemen dan keuangan (9,43 %), akses
informasi pasar (9,43 %), pendaftaran usaha (6,04 %), dan iklan produk/layanan
baru (1,13 %).
Tabel 102. Bentuk Bantuan yang Diharapkan
No. Bentuk Bantuan yang Diharapkan Ya Persen
1. Pelatihan teknis 26 9,81 2. Pelatihan manajemen dan keuangan 25 9,43 3. Bantuan memperoleh suplai 33 12,45 4. Akses memperoleh pinjaman 50 18,87 5. Akses informasi pasar 25 9,43 6. Penataan usaha/tempat 33 12,45 7. Pendaftaran usaha 16 6,04 8. Iklan produk/layanan baru 3 1,13 9. Lainnya 0 0,00 Total 211 80,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
5.7. Persepsi PKL terhadap Penataan
Eksplorasi lebih lanjut diarahkan pada pemahaman PKL terhadap peraturan
yang ada. Di Bogor sudah terdapat Perda yang berhubungan dengan PKL yaitu
Perda No. 13 Tahun 2005. Yang perlu dikaji adalah apakah Perda ini sudah
disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat umum atau PKL, karena masih
terdapat PKL yang menempati titik-titik yang peruntukannya bukan untuk PKL.
Hasil analisis kesadaran responden PKL terhadap peraturan yang ada
disajikan pada Tabel 93, yang menunjukkan bahwa mayoritas PKL (67,50 %)
menyadari bahwa usaha mereka di ruang publik atau privat menyalahi atau
melanggar aturan Pemerintah Kota. Namun demikian PKL yang tidak
mengetahui bahwa mereka melanggar aturan juga cukup besar (32,50 %). Hasil
ini mengindikasikan dua hal, yaitu:
• Sosialisasi Perda belum maksimal karena masih cukup banyak PKL yang tidak
mengetahui.
172
• Perda belum mengakomodasi kepentingan PKL sehingga mereka cenderung
mengabaikan peraturan yang ada.
Kedua hal tersebut berimplikasi pada kebijakan atau strategi pengelolaan PKL di
Kota Bogor.
Tabel 103. Pemahaman Responden terhadap Aturan
No. Pemahaman terhadap Aturan Ya Persen
1. Paham 81 67,50
2. Tidak paham 39 32,50
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Eksplorasi lebih lanjut terhadap kesediaan PKL untuk ditata (Tabel 94)
menunjukkan bahwa mayoritas responden (60,83 %) berkeinginan untuk ditata,
sedangkan 39,17 % PKL tidak mau ditata.
Tabel 104. Kemauan PKL untuk Ditata
No. Kemauan Ditata Ya Persen
1. Bersedia 73 60,83
2. Tidak bersedia 47 39,17
Total 120 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Bagi PKL yang mau ditata maka perlu dicarikan bentuk-bentuk pengelolaan
yang selaras dengan Perda untuk mengakomodasi harapan atau keinginan mereka.
Bagi mereka yang tidak mau ditata, diperlukan tindakan persuasif dari dinas-dinas
yang relevan sehingga mereka mau berpartisipasi dalam pembangunan kota Bogor
sesuai dengan visi dan misi kota Bogor. Tindakan persuasif diperlukan untuk
menghindari konflik antara PKL dengan Pemkot Bogor, tetapi tetap
mengakomodasi kepentingan keduanya.
Analisis lebih lanjut terhadap bentuk penataan yang diharapkan oleh mereka
yang mau ditata (Tabel 95) menunjukkan bahwa dari 73 responden, mayoritas
(60,27 %) mengharapkan tetap di tempat usaha sekarang tetapi lebih dikelola.
Sebanyak 30,14 % menginginkan ditempatkan di pasar yang ada (mendapatkan
lapak usaha), dan sebagian kecil (9,59 %) ingin ditempatkan di lokasi baru.
173
Tabel 105. Bentuk Penataan yang Diharapkan
No. Bentuk Penataan Ya Persen
1. Ditempatkan di pasar yang telah ada 22 30,14
2. Tetap di tempat sekarang dan diatur 44 60,27
3. Direlokasi ke tempat baru 7 9,59
Total 73 100,00
Sumber : Data Primer 2011 (diolah)
Bentuk-bentuk penataan ini membutuhkan biaya APBD Kota Bogor yang
signifikan dan komitmen Pemkot untuk melakukan pengelolaan PKL. Untuk
memberikan kontribusi positif bagi pembangunan kota Bogor, setiap lapak standar
perlu dikenai pembayaran dengan sistem dan jumlah yang dapat diterima oleh
PKL. Sistem pembayaran dapat bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan atau
membeli kios-kios pasar milik pemerintah.
Hasil analisis pada Tabel 96 menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,41
%) menginginkan bentuk pembayaran harian, sebanyak 6,85 % menginginkan
bentuk pembayaran bulanan dan 2,74 % menginginkan secara mingguan. Hasil
ini sesuai dengan pendapatan PKL yang bersifat harian sehingga mereka dapat
langsung menyisihkan sebagian pendapatan hariannya untuk membayar sewa
lapak.
Tabel 106. Sistem Pembayaran yang Diharapkan er Lapak Standar
No. Bentuk Penataan Ya Persen
1. Harian 66 90,41
2. Mingguan 2 2,74
3. Bulanan 5 6,85
4. Tahunan 0 0,00
5. Beli permanen 0 0,00
Total 73 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari sisi jumlah uang yang harus dibayarkan, secara rata-rata responden
mengharapkan besaran sewa lapak Rp 8.564 per hari atau jika dikonversi menjadi
Rp 256.920,- per bulan. Jumlah ini cukup besar jika mampu dikelola oleh
Pemerintah Kota untuk kepentingan pembangunan. Untuk memaksimalkan
174
kontribusi sewa lapak terhadap pembangunan diperlukan strategi lebih lanjut agar
dana tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu bagi kepentingan
pribadi.
5.8. Persepsi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat terhadap Keberadaan PKL
Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap keberadaan PKL
menjadi salah satu komponen penting dalam penelitian ini. Hal ini menjadi unsur
yang membedakan bila dibandingkan dengan penelitian lain tentang PKL di
Indonesia. Suharto (2003) dalam penelitian PKL di kota Bandung, Jawa Barat
dan Brata (2008) di Yogyakarta tidak membahas persepsi masyarakat terhadap
PKL. Budi (2006) dalam kajian lokasi PKL di kota Pemalang hanya
menggunakan persepsi masyarakat umum terhadap keberadaan PKL.
Dalam penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah pemasok (9
responden), pesaing (6 responden) dan masyarakat umum (45 responden). Jumlah
masyarakat lebih banyak mengingat mereka adalah pihak yang terkena dampak
langsung dan tidak langsung dari keberadaan PKL.
Usaha PKL (informal) tidak berlangsung tanpa kompetisi. Mereka
berkompetisi dengan PKL sejenis dan toko-toko (formal) yang ada di sekitarnya.
Walsh (2010) dan Timalsina (2011) menyatakan bahwa PKL mampu
menyediakan harga produk lebih murah sehingga” menguntungkan” konsumen
masyarakat umum tetapi menjadi pesaing bagi usaha toko-toko di sekitarnya.
Dengan demikian maka perlu memasukkan persepsi pesaing dalam analisis.
Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 97 menunjukkan bahwa mayoritas
pesaing (55,56 %) memandang bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu
mereka dalam berusaha, tetapi proporsi yang terganggu juga cukup besar yaitu
44,44 %. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan PKL di sekitar warung/toko
mereka dipandang sebagai pesaing bila barang yang dijual adalah barang sejenis.
Tabel 107. Persepsi Gangguan PKL terhadap usaha Pesaing dan Pemasok No. Gangguan Usaha Pesaing Pemasok
Jumlah Persen Jumlah Persen
1. Ya 4 44,44 1 16,67 2. Tidak 5 55,56 5 83,33 Total 9 100,00 6 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
175
Dari sisi pemasok, mayoritas responden (83,33 %) menyatakan bahwa
keberadaan PKL tidak mengganggu aktivitas usaha mereka. Pemasok adalah
penyedia suplai PKL sehingga PKL bukan dipandang sebagai gangguan usaha.
Eksplorasi lebih lanjut terhadap pesaing yang merasa terganggu menunjukkan
bahwa mayoritas (23,08 %) mengalami penurunan omzet penjualan. Hal ini tekait
dengan keberadaan PKL yang mengganggu parkir konsumen (15,38 %) dan
menyebabkan tempat usaha kurang dapat dilihat konsumen (15,38 %).
Tabel 108. Bentuk Gangguan usaha PKL terhadap Pesaing
No. Bentuk Gangguan usaha Ya Persen
1. Menurunkan omzet penjualan 3 23,08
2. Menyebabkan konsumen enggan berbelanja 1 7,69
3. Mengganggu parkir konsumen 2 15,38
4. Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen 2 15,38
5. Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 2 15,38
6. Jalanan menjadi sesak dan macet 2 15,38
7. Merasa kurang aman 1 7,69
8. Lainnya 0 0,00
Jumlah jawaban 13 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Berdasarkan data Persepsi Pesaing (B3) menunjukkan bahwa adanya PKL
sejenis dengan usaha pesaing menyebabkan penurunan omzet penjualan pesaing
rata-rata sekitar Rp. 377.778,- per bulan. Angka ini sebaiknya diverifikasi lebih
lanjut dengan sampel pesaing lebih banyak untuk memastikan apakah
keberadaan PKL menyebabkan penurunan omzet pesaing atau toko di sekitarnya.
PKL dipandang memberikan manfaat bagi pemasok. Mayoritas responden
pemasok (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL menambah rantai
pemasaran dan sebagian kecil (16,67 %) menyatakan bahwa PKL memberikan
manfaat lain seperti mitra usaha dan sebagainya.
176
Tabel 109. Manfaat Keberadaan PKL bagi Pemasok
No. Manfaat Keberadaan PKL Ya Persen
1. Menambah rantai pemasaran 5 83,33
2. Meningkatkan jumlah barang yang dipasok (diversifikasi produk)
0 0,00
3. Lainnya 1 16,67
Total 6 100,00 Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Penelitian lebih lanjut diarahkan pada manfaat aktivitas PKL bagi pesaing,
pemasok, dan masyarakat umum. Hasil analisis disajikan pada Tabel 110.
Tabel 110. Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat Umum
No. Manfaat keberadaan PKL
Pesaing Pemasok Masyarakat
Jml % Jml % Jml %
1. Tidak Ada 2 11,76 0 0,00 2 3,39
2. Lokasi menjadi lebih ramai
3 17,65 0 0,00 3 5,08
3. Mudah mendapatkan kebutuhan
5 29,41 2 33,33 21 35,59
4. Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil
1 5,88 2 33,33 19 32,20
5. Mengurangi pengangguran
6 35,29 1 16,67 13 22,03
6. Lainnya 0 0,00 1 16,67 1 1,69
Total 17 100,00 6 100,00 59 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Mayoritas pesaing (35,29 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat
menurunkan jumlah pengangguran di masyarakat. Mayoritas pemasok (33,33 %)
dan masyarakat umum (35,59 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat
mereka mudah mendapatkan kebutuhan. Hasil untuk masyarakat ini sejalan
dengan temuan Budi (2005) pada kajian PKL di Pemalang bahwa aktivitas PKL
memiliki manfaat yang bervariasi bagi konsumennya. Intinya adalah aktivitas
PKL memberikan kemudahan karena keberadaan mereka yang cenderung dekat
dengan aktivitas masyarakat. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata
177
frekuensi berbelanja masyarakat umum ke PKL adalah 14,33 (∼15) kali dalam
sebulan. Ini menunjukkan ketergantungan masyarakat umum terhadap aktivitas
PKL di sekitarnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap aktivitas PKL terkait dengan beberapa
alasan. Alasan mereka berbelanja ke PKL sangat beragam. Hasil analisis alasan
masyarakat memilih berbelanja/makan di lokasi PKL disajikan pada Tabel 111.
Tabel 111. Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL
No. Alasan Berbelanja Ya Persen
1. Harga lebih murah dibanding yang lain 35 64,81
2. Lokasinya dekat 14 25,93
3. Suasana lebih santai 1 1,85
4. Produk dan jasa yang ditawarkan beragam 3 5,56
5. Kualitas produk/jasa sesuai 1 1,85
6. Lainnya, sebutkan............. 0 0,00
Total 54 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Mayoritas responden (64,81 %) menyatakan bahwa mereka berbelanja karena
harganya lebih murah dibandingkan yang lain. Alasan ini dapat dicontohkan
dalam harga kran air. Harga level PKL adalah Rp 5.000,- sampai Rp 7.500,-
sedangkan harga level toko kelontong atau toko bangunan antara Rp 10.000,-
sampai Rp 15.000,-. Jika kualitas yang menjadi ukuran, barang di toko tentunya
lebih bagus, namun ukuran yang digunakan masyarakat menengah ke bawah
umumnya adalah adalah harga dibandingkan kualitas.
Kedekatan lokasi juga menjadi pertimbangan utama konsumen (25,93 %),
khususnya untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti rokok, sabun, shampo, dan
sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membeli rokok maka dia
akan mencari warung terdekat yang menjual rokok yang biasanya adalah toko
kelontong PKL.
Meskipun bermanfaat bagi masyarakat, keberadaan PKL sering dianggap
mengganggu kepentingan umum. Untuk itu persepsi pemasok, pesaing dan
masyarakat terhadap gangguan aktivitas PKL perlu dikaji. Hasil analisis disajikan
pada Tabel 112.
178
Tabel 112. Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum
No. Persepsi Keberadaan
PKL untuk Kepentingan Umum
Pesaing Pemasok Masyarakat
Jml % Jml % Jml % 1. Tidak ada 3 18,75 0 0,00 6 9,09
2. Mengganggu aktivitas pejalan kaki
1 6,25 0 0,00 12 18,18
3. Parkir menjadi sulit 2 12,50 2 33,33 5 7,58
4. Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi
3 18,75 2 33,33 14 21,21
5. Jalanan menjadi sesak dan macet
6 37,50 1 16,67 28 42,42
6. Merasa kurang aman 1 6,25 1 16,67 1 1,52
Total Jawaban 16 100,00 6 100,00 66 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Dari hasil analisis pada Tabel 112 terlihat bahwa persepsi pesaing dan
pemasok menunjukkan hasil yang cenderung sama. Mayoritas pesaing (37,50 %)
dan masyarakat (42,42 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan jalanan menjadi
sesak dan macet. Banyak pesaing (18,75 %) dan masyarakat (21,21 %)
menyatakan bahwa PKL menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi.
Bagi pemasok, PKL menyebabkan parkir menjadi sulit (33,33 %), lingkungan
menjadi kotor dan kurang rapi (33,33 %).
Jika hasil di atas dicermati, baik pesaing, pemasok maupun masyarakat
sedikit sekali yang menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka menjadi
kurang aman (masing-masing 1 %). Terkait dengan hasil ini, Budi (2005)
menemukan bahwa mayoritas masyarakat berpendapat PKL menyebabkan
gangguan sebagai berikut : ketidaknyamanan pejalan kaki kerena sempitnya
trotoar (18 %), parkir menjadi sulit (10 %), lingkungan kotor (10 %), jalanan yang
macet (18 %), merasa tidak aman (4 %), dan alasan lain (6 %). Yang dimaksud
dengan gangguan lain adalah gangguan secara visual karena tampilan PKL yang
tidak teratur dan tidak tertib. Sebanyak 18 % masyarakat menganggap bahwa
kehadiran PKL tidak memberi gangguan yang berarti. Umumnya masyarakat yang
berpendapat demikian adalah masyarakat yang lokasi aktivitasnya belum dipenuhi
oleh aktivitas PKL sehingga mereka beranggapan bahwa aktivitas PKL yang ada
belum terlalu mengganggu.
179
Analisis selanjutnya diarahkan pada persepsi terhadap perlunya pengaturan
khusus untuk aktivitas PKL di Kota Bogor (Tabel 113). Hasil analisis
menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (88,89 %), pemasok (66,67 %) maupun
masyarakat (84,44 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL perlu diatur secara
khusus.
Tabel 113. Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL
No. Persepsi Penataan PKL
Pesaing Pemasok Masyarakat
Jml % Jml % Jml % 1. Ya 8 88,89 4 66,67 38 84,44
2. Tidak 1 11,11 2 33,33 7 15,56
Total 9 100,00 6 100,00 45 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Beragam bentuk pengaturan bisa dilakukan seperti pengelompokan usaha,
pengaturan sarana dan prasarana usaha, pengaturan waktu usaha, relokasi usaha,
registrasi usaha, dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya. Hasil analisis persepsi
pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap bentuk pengaturan disajikan pada
Tabel 114.
Tabel 114. Persepsi terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan
No. Bentuk Pengaturan Pesaing Pemasok Masyarakat
Jml % Jml % Jml % 1. Pengelompokan usaha 4 36,36 0 0,00 7 12,73
2. Sarana dan prasarana usaha 5 45,45 2 50,00 28 50,91
3. Waktu usaha 0 0,00 0 0,00 4 7,27
4. Relokasi usaha 1 9,09 2 50,00 14 25,45
5. Registrasi usaha 1 9,09 0 0,00 2 3,64
Total Jawaban 11 100,00 4 100,00 55 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pesaing memandang perlunya pengaturan
sarana dan prasarana usaha (45,45 %), pengelompokan usaha (36,36 %), relokasi
usaha (1 %), dan registrasi usaha (1 %). Bagi pemasok, bentuk pengaturan yang
perlu dilakukan adalah sarana dan prasarana usaha (50,00 %) dan relokasi usaha
(50,00 %). Bagi masyarakat, hal yang paling perlu diatur adalah sarana dan
180
prasarana usaha (50,91 %), relokasi usaha (25,45 %), pengelompokan usaha
(12,73 %), waktu usaha (7,27 %), dan registrasi usaha (3,64 %).
Bentuk pengaturan sarana dan prasarana dapat dicontohkan di Blitar dimana
pemerintah menyediakan tenda-tenda dengan warna tertentu sehingga
memberikan keunikan sendiri pada wajah kota. Tenda tersebut dapat dimiliki
PKL dengan cara pembayaran angsuran yang besarannya disesuaiakan dengan
kemampuan PKL.
Dalam konteks pengaturan PKL, Pemerintah Kota Bogor sering melakukan
penggusuran di lokasi-lokasi tertentu sehingga persepsi terhadap penggusuran
perlu diketahui. Penggusuran pada dasarnya merupakan penerapan Perda, namun
terkadang bersifat represif sehingga menimbulkan bentrok fisik antara PKL dan
petugas (Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi, Dinas Tata Kota, dan sebagainya).
Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap penggusuran
disajikan pada Tabel 115.
Tabel 115. Persepsi terhadap Penggusuran
No. Perlunya Penggusuran
Pesaing Pemasok Masyarakat
Jml % Jml % Jml %
1. Ya 7 87,50 4 66,67 30 68,18
2. Tidak 1 12,50 2 33,33 14 31,82
Total 8 100,00 6 100,00 44 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa, baik pesaing (87,50 %), pemasok (66,67
%), dan masyarakat (68,18 %) memandang perlu dilakukan penggusuran pada
lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya bukan untuk PKL. Agar penggusuran
tidak menimbulkan bentrok fisik yang terkadang merenggut korban jiwa,
diperlukan mekanisme yang tepat sehingga masing-masing pihak merasa tidak
dirugikan. Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap mekanisme
penggusuran yang seharusnya, disajikan pada Tabel 116.
181
Tabel 116. Mekanisme Penggusuran
No. Mekanisme Penggusuran
Pesaing Pemasok Masyarakat
Jml % Jml % Jml %
1. Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi
0 0,00 0 0,00 0 0,00
2. Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi
2 28,57 0 0,00 1 20,00
3. Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi
0 0,00 0 0,00 2 40,00
4. Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi
5 71,43 5 100,00 26 20,00
5. Lainnya 0 0,00 0 0,00 1 20,00
Total Jawaban 7 100,00 5 100,00 30 100,00
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pesaing, pemasok, dan masyarakat
mayoritas berpendapat bahwa sosialisasi, kompensasi, dan relokasi adalah
mekanisme penggusuran yang sesuai. Mekanisme ini pernah dilakukan dalam
pengaturan PKL di Solo, Jawa Tengah dimana Pemerintah Kota melakukan
pemberitahuan sebelumnya (sosialisasi), menyediakan tempat (relokasi),
menyediakan angkutan secara gratis ditambah modal awal untuk berusaha di
lokasi baru (kompensasi). Bentuk pengaturan ini terbukti tidak menimbulkan
konflik antara petugas dan PKL karena PKL secara sukarela bersedia pindah ke
lokasi baru.
BAB VI
KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH
Pembahasan tentang kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah difokuskan
pada faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota Bogor dan kajian
deskriptif kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah, baik pada level lokal,
nasional, maupun global. Kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan PKL di kota Bogor dianalisis menggunakan analisis regresi berganda
dan kajian deskriptif kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah dianalisis secara
empiris menggunakan literatur yang tersedia.
6.1. Kontribusi PKL terhadap Ekonomi Wilayah
Timalsina (2011) menyatakan bahwa PKL mampu memberikan peran krusial
dalam menyediakan lapangan kerja dan mata pencaharian bagi penduduk miskin
urban dan pedesaan. Meski demikian perannya masih kurang banyak diakui
dalam strategi pengentasan kemiskinan dan dalam program kebijakan perkotaan.
1. PKL sebagai Mata Pencaharian Urban
Mata pencaharian penduduk miskin ditentukan oleh konteks dimana mereka
tinggal, kendala, dan peluang pada tempat tinggalnya. Ini karena konteks
ekonomi, lingkungan, sosial dan politis menentukan aset-aset yang dapat diakses
oleh warga, bagaimana mereka dapat menggunakannya (Meikle, 2002), dan
kemampuannya dalam mendapatkan matapencaharian yang aman. Penduduk desa
melihat peluang baru di wilayah urban dalam konteks lapangan kerja, fasilitas
fisik, dan sebagainya. Akibatnya, pekerja pertanian pedesaan memiliki insentif
kecil untuk tetap di sektor pertanian. Mereka lebih memilih bermigrasi ke kota-
kota mencari lapangan kerja non pertanian yang lebih menjanjikan. Mata
pencaharian migran urban ini bervariasi menurut level pendidikan dan skill yang
dimiliki. Migran yang kompeten dan memiliki skill dapat menemukan pekerjaan
formal, sementara yang kurang kompeten dan tidak ber-skill bekerja di sektor
informal.
Di antara beragam aktivitas informal, PKL tumbuh cepat selama beberapa
dekade terakhir. Di kota Bogor, meski keabsahan datanya masih diragukan, dari
184
hasil pendataan oleh Pemerintah Kota Bogor tahun 1996 tercatat PKL berjumlah
2.140 pedagang. Pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali lipat
menjadi 6.340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi
menjadi 10.350 PKL yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 % dari para
pedagang tersebut berasal dari luar kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50 lokasi
PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12.000 PKL.
Dari sisi aspek ekonomi, pertumbuhan PKL berkontribusi positif. Peran PKL
dalam menggerakkan roda perekonomian tidak dapat diabaikan. Perputaran uang
PKL setiap hari jumlahnya sangat besar. Hasil analisis pada Tabel 91 (Bab 5)
menunjukkan bahwa rata-rata modal kerja harian PKL di kota Bogor adalah Rp
421.336,-. Dengan jumlah PKL sebanyak 12.000 makajumlah perputaran uang per
hari yang dihasilkan sekitar Rp 5.056.034.483,-, suatu jumlah yang luar biasa
besar. Jumlah ini akan mempu menggerakkan roda ekonomi kota Bogor dan
berkontribusi positif terhadap ekonomi wilayah.
Kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah dapat dilihat dari jumlah retribusi
yang mampu ditarik dari PKL. Regulasi di kota Bogor (Surat Keputusan
Walikota No. 511.23.45.146. tahun 2008) mensyaratkan bahwa PKL harus
mendapatkan ijin usaha. Pemkot Bogor mewajibkan PKL yang sudah berijin
membayar retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pelayanan
persampahan, dan pajak restoran khusus untuk pedagang makanan dan minuman.
Sayangnya belum banyak PKL yang sudah berijin. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata PKL membayar sekitar Rp 1.000,- per hari untuk kebersihan.
Dengan jumlah PKL sebanyak 12.000 maka dihasilkan sekitar Rp 12.000.000,-
per hari (∼ Rp 360.000.000,- per bulan), suatu jumlah yang sangat besar bagi
PAD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKL mau membayar pemakaian
kekayaan daerah rata-rata sebesar Rp 8.564,- per hari (E6), sehingga potensi PAD
yang dapat dikumpulkan adalah Rp 102.768.000,- per hari (∼Rp 3.083
milyar/bulan), suatu jumlah sangat fantastis.
185
Widodo (2006) yang menggunakan analisis input-output dalam analisis PKL
di Yogyakarta menyatakan bahwa sektor informal berkontribusi positif pada
pembangunan DIY melalui peningkatan output, penyediaan lapangan kerja,
pendapatan masyarakat. Perlu diingat bahwa kontribusi positif sektor informal
mempunyai batas tertentu sehingga kontribusinya akan menurun jika sudah
melebihi batas tersebut.
2. PKL sebagai Peluang Mata Pencaharian
PKL adalah suatu profesi yang hadir seiring dengan perkembangan kota.
Selain sebagai lapangan kerja, PKL juga mampu memberikan jasa yang dapat
terjangkau mayoritas penduduk urban. PKL adalah bagian integral dari ekonomi
kota, menyediakan jasa-jasa penting dan menciptakan lapangan kerja sendiri dan
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi (Timalsina, 2011). Peran PKL dalam
ekonomi sama pentingnya dengan penyediaan barang dan jasa bagi penduduk
urban.
Dalam konteks ini, bekerja sebagai PKL menarik bagi mereka yang memiliki
peluang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan formal atau bisnis yang prestisius,
dan meminimalkan peluang ekslusi sosial dan marginalisasi. PKL semakin
menjadi opsi mata pencaharian bagi orang-orang termarginalkan. PKL mampu
menyediakan lapangan kerja musiman bagi penduduk pedesaan dan menjadi
sumber pendapatan. Oleh karenanya, PKL dapat dipandang sebagai peluang bagi
komuniytas miskin.
a. Peluang Kerja dan Lapangan Kerja
Agar dapat bertahan hidup maka penduduk yang bermigrasi ke wilayah urban
harus menciptakan lapangan kerja sendiri untuk menghasilkan pendapatan. PKL
menjadi peluang pekerjaan dan lapangan kerja bagi penduduk miskin dan
penduduk yang kurang sejahtera. Sektor ini juga berhubungan dengan sektor
formal dalam penyediaan tenaga kerja dan pemasaran produk. Studi menunjukkan
bahwa beragam barang yang dijual oleh PKL seperti baju, sepatu dan sandal,
barang-barang plastik dan alat-alat rumah tangga diproduksi oleh industri rumah
tangga. Industri ini sangat tergantung pada PKL dalam memasarkan produknya
(Gottdiener and Budd, 2005). Dengan cara ini, PKL memberikan jasa dalam
186
keberlanjutan industri-industri rumah tangga yang akan menggerakkan ekonomi
wilayah.
Selain menjadi mata pencaharian bagi sebagian penduduk kota, sektor ini juga
memberikan peluang kerja bagi warga yang lebih berpendidikan, seiring
menurunnya lapangan kerja formal. Dalam derajat tertentu, PKL menjadi pilihan
bagi orang yang tidak mendapatkan pekerjaan meski berpendidikan dan
berketerampilan mencukupi. Pekerjaan sebagai PKL di kota Bogor dapat
menyerap mereka yang berpendidikan SMA atau sederajat (10,83 %) dan akademi
atau sederajat (2,50 %).
Di sisi lain, melalui penyediaan barang yang murah maka penduduk miskin
mampu mendapatkan kebutuhan dasarnya melalui PKL. Kelompok berpendapatan
rendah membelanjakan pendapatannya ke PKL karena harga murah dan
terjangkau (Bhowmik, 2005). Dengan cara ini, PKL membantu kelompok warga
lain untuk bertahan hidup. Melalui penyediaan barang murah, PKL dapat
dikatakan menyediakan subsidi bagi penduduk miskin urban, subsidi yang
seharusnya disediakan oleh Pemerintah Kota.
b. Mata Pencaharian bagi Keluarga Batih
PKL mampu memberikan peluang pendapatan dan mata pencaharian bagi
anggota keluarga batih karena para migran terkadang membawa keluarganya ke
kota. Kebutuhan dasar anggota keluarga ini menjadi tanggung jawab anggota
keluarga yang muda dan dewasa. Di kota Bogor, beberapa PKL bekerja sebagai
PKL untuk menghidupi keluarga tanggungannya. Hasil analisis menunjukkan
bahwa secara rata-rata responden PKL di kota Bogor memiliki tanggungan lebih
dari 3 orang (62,50 %).
6.2. Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan PKL
Pendapatan PKL dipengaruhi banyak faktor. Tohar (2003) menyatakan bahwa
pendapatan pedagang sektor informal di kota Medan dipengaruhi oleh modal
investasi, jam kerja, tenaga kerja, dan modal kerja. Gonec and Harun (2007)
menemukan bahwa ukuran usaha, jumlah tenaga kerja, keluarga, dan akses pasar
sebagai faktor penting bagi ekonomi informal di Turki. Japina (2010)
menunjukkan bahwa modal kerja, total tenaga kerja, dan waktu berdagang secara
187
signifikan mempengaruhi pendapatan PKL di Kecamatan Rantau Utara,
Kabupaten Labuhan Batu, Medan, Sumatera Utara.
Seperti hasil penelitian di atas, pendapatan PKL di kota Bogor juga
dipengaruhi faktor yang beragam.
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota
Bogor model yang digunakan adalah :
Yi = β0 + β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i + β4 X4i + β5 X5i+ β6 X6+ β7 X7i + β11D1i + β12D2i+ β13D3i + β14D4i + ei
dimana Y i = Pendapatan bersih PKL ke-i (Rp/hari) X1i = Omzet PKL ke-i (Rp/hari) X2i = Modal awal/investasi PKL ke-i (Rp.) X3i = Jumlah lapak/tempat usaha PKL ke-i X4i = Modal kerja PKL ke-i (Rp/hari) X5i = Retribusi/pungutan resmi PKL ke-i (Rp/hari) X6i = Biaya-biaya internal PKL ke-i (Rp/hari) X7i = Pungutan tidak resmi PKL ke i (Rp/hari} D1i = Nilai lokasi (strategis, tidak strategis) D2i = Jenis kelamin (laki-laki, perempuan) D3i = Asal pedagang (Bogor, luar Bogor) D4i = Kebersihan lokasi ei = Error standar ke -i Regresi tersebut dianalisis menggunakan analisis regresi berganda dengan
program SPSS ver. 16 for Win.
Persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Y = 102773.132* + 0.012 X*1 + 0.002 X*2 – 2.04E4 X3 + 0.014 X4 - 0.055 X5 (1.679) (1.889) (1.936) (-0.930) (0.806) (-0.858) + 0.004 X6 – 5.41E2 X7 + 1.14E4 D1 – 4.0E3D2 – 3.64E4D*3 + 2.47E4D*4
(0.590) (-0.757) (0.327) (-0.167) (-2.754) (1.709) R = 0.652 ; R2= 0.425, Sig-F=0.000 , (.....) = t–hitung,* = nyata pada α=0.10
Nilai R (multiple R) adalah koefisien korelasi berganda untuk mengukur
keeratan hubungan antara variabel dependent dan independent. Dari persamaan di
atas diperoleh nilai R sebesar 0.652, yang berarti bahwa model tersebut secara
keseluruhan dapat mengukur keeratan sebesar 65,2 %.
188
Nilai R2 (koefisien determinasi) adalah nilai yang menunjukkan seberapa jauh
model yang dihasilkan menerangkan kondisi yang sebenarnya. Dari persamaan di
atas, nilai R2 yang didapat adalah 0.425, yang berarti bahwa model tersebut
mampu menjelaskan kondisi riil sebesar 42,5 %. Secara rinci, hasil analisis
disajikan pada Lampiran.
Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel X1 (omzet, Sig-t = 0.062), X2
Tipologi
(modal awal, Sig-t = 0.056), dan D4 (dummy lokasi, Sig-t = 0.07) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pendapatan PKL pada taraf 10 %. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan omzet Rp1000,-/hari akan meningkatkan
pendapatan bersih pedagang sebesar Rp12,-/hari , cateris paribus. Peningkatan
modal awal Rp1000,- akan meningkatkan pendapatan bersih sebesar Rp2,-/hari.
Variabel asal pedagang (D3) berpengaruh signifikan (Sig-t = 0.007) dengan tanda
negatif. Dummy kebersihan juga berpengaruh signifikan (sig-t = 0.091).
Untuk melihat pengaruh pendapatan PKL tiap tipologi terhadap tingkat
pendidikan tertinggi anggota keluarga, kesehatan, dan konsumsi maka dilakukan
analisis regresi linier sederhana untuk tiap tipologi. Hasil analisis disajikan pada
Tabel 117.
Tabel 117. Pengaruh Pendapatan PKL terhadap Tingkat Pendidikan, Kesehatan, dan Konsumsi Keluarga PKL
Model Variabel Regresi
Pasar sayur malam
Z1i = β0 + β1
Y1i,
Z2i = β0 + β1 Y1i Z3i = β0 + β1 Y
Y
1i
1i = Pendapatan PKL sayur malam ke-i
Z1i = Tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga PKL sayur malam ke-i
Z2i = Kesehatan keluarga PKL sayur malam ke-i
Z3i
Z
= Konsumsi keluarga PKL sayur malam ke-i
1i = 7E-06Y1 + 1.944 R² = 0.034, Sig-F = 0.24 Z2i = 2E-06 Y1 + 1.643 R² = 0.020, Sig-F =0.37 Z3i = 0.214 Y1 + 18928 R² = 0.179, Sig-F = 0.006*
189
Tipologi Model Variabel Regresi
Pasar kuliner
Z4i = β0 + β1 Y2i
Z5i = β0 + β1 Y2i Z6i = β0 + β1 Y
Y
2i
2i = Pendapatan PKL kuliner ke-i
Z4i = Tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga PKL kuliner ke-i
Z5i = Kesehatan keluarga PKL kuliner ke-i
Z6i
Z
= Konsumsi keluarga PKL kuliner ke-i
4i = 1E-06Y2 + 2.733 R² = 0.011; Sig-F = 0.51 Z5i = 4E-07 Y2 + 1.407 R² = 0.006 ; Sig-F = 0.60 Z6i = 0.122 Y2 + 19924 R² = 0.451 ; Sig-F = 2.04569E-06*
Pasar tumpah
Z7i = β0 + β1 Y3i
Z8i = β0 + β1 Y1i Z9i = β0 + β1 Y
Y
1i
3i = Pendapatan PKL pasar tumpah ke-i
Z7i = Tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga PKL pasar tumpah ke-i
Z8i = Kesehatan keluarga PKL pasar tumpah ke-i
Z9i
Z
= Konsumsi keluarga PKL pasar tumpah ke-i
7i = 3E-06Y3 + 2.295 R² = 0.055 ; Sig-F = 0.14 Z8i = -7E-07 Y3 + 1.808 R² = 0.015 ; Sig-F = 0.45 Z9i = 0.139 Y3 + 23989 R² = 0.245 ; Sig-F = 0.001*
Keterangan : * Berbeda nyata pada level kepercayaan 95 %
Pada tipologi pasar sayur malam, pendapatan PKL tidak berpengaruh nyata
terhadap tingkat pendidikan tertinggi dan kesehatan anggota keluarga meski trend-
nya menunjukkan peningkatan dengan nilai R2 yang rendah. Hasil serupa
didapatkan untuk tipologi pasar kuliner dan pasar tumpah. Secara keseluruhan
untuk ketiga tipologi, pendapatan tidak berpengaruh nyata pada tingkat pendidikan
dan kesehatan, tetapi berpengaruh nyata pada konsumsi keluarga PKL.
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa konsumsi meningkat dengan
bertambahnya pendapatan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa komponen
konsumsi mendominasi pengeluaran keluarga PKL, sedangkan terhadap tingkat
pendidikan dan kesehatan keluarga PKL ada kecenderungan yang lemah.
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui perbedaan net pendapatan
antara ketiga tipologi. Untuk memulainya, pada Gambar 14 disajikan boksplot
net pendapatan untuk ketiga tipologi. Gambar 14 menunjukkan bahwa pasar
tumpah dan pasar kuliner memiliki batas bawah dan atas hampir sama namun
cukup berbeda dengan pasar sayur malam. Untuk menguji lebih lanjut dilakukan t
test antar masing-masing tipologi.
190
Gambar 14. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) menurut Tipologi
dalam Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Uji ragam untuk net pendapatan antara pasar tumpah dan pasar sayur malam
menunjukkan P value sebesar 0.059, berbeda nyata pada taraf 10 %. Hasil uji
ragam disajikan pada Tabel 108 sedangkan boksplot disajikan pada Gambar 15.
Tabel 118. Uji Ragam untuk Pendapatan Bersih Antara Pasar Tumpah dan Pasar
Sayur Malam Pasar tumpah Pasar sayur malam
Mean 80875 59000
Variance 6147291667 1550256410
Observations 40 40
Pooled Variance 3848774038
df 78
t Stat 1.576891646
P(T<=t) one-tail 0.059433918
t Critical one-tail 1.292499597
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
191
Gambar 15. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Tumpah dalam Bentuk Boksplot
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis antara pasar tumpah dan pasar kuliner tidak menunjukkan perbedaan
nyata pada taraf 10 %, dengan P value 0.313. Hasil uji ragam disajikan pada
Tabel 119 sedangkan boksplot disajikan pada Gambar 16.
Tabel 119. Uji Ragam untuk Pendapatan Bersih antara Pasar Tumpah dan Pasar
Kuliner Pasar tumpah Pasar kuliner
Mean 80875 91150
Variance 6147291667 11691874359
Observations 40 40
Pooled Variance 8919583013
df 78
t Stat -0.486546724
P(T<=t) one-tail 0.313971957
t Critical one-tail 1.292499597
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
192
Gambar 16. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) antara Pasar Tumpah
dan Pasar Kuliner dalam bentuk Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
Analisis antara pasar sayur malam dan pasar kuliner menunjukkan
perbedaan nyata pada taraf 10 %, dengan P value 0.040. Hasil uji ragam disajikan
pada Tabel 110, sedangkan boksplot disajikan pada Gambar 17.
Tabel 120. Uji Ragam untuk Pendapatan Bersih antara Pasar Sayur Malam dan Pasar Kuliner
Pasar sayur malam Pasar kuliner
Mean 59000 91150
Variance 1550256410 11691874359
Observations 40 40
Pooled Variance 6621065385
df 78
t Stat -1.766981639
P(T<=t) one-tail 0.040571501
t Critical one-tail 1.292499597
Sumber : Data primer 2011 (diolah)
193
Gambar 17. Distribusi Pendapatan Bersih PKL (Rp/hari) antara Pasar Kuliner
dan Pasar Sayur Malam dalam bentuk Boksplot Sumber : Data primer 2011 (diolah)
6.3. Keterkaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan (Forward) dari PKL
Penelitian ini tidak secara langsung mengkaji adanya keterkaitan ke
belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) dari keberadaan
PKL. Keterkaitan yang dikemukakan terbatas pada keterkaitan langsung baik
manfaat maupun kerugian atau pengorbanan yang diakibatkan oleh keberadaan
PKL. Pemaparan yang dilakukan lebih bertujuan untuk mengingatkan para
pembuat kebijakan bahwa setiap kebijakan ataupun regulasi yang dibuat untuk
PKL akan berpengaruh langsung terhadap banyak pihak yang terkait.
Oleh karenanya, pembahasan mengenai backward linkage dan forward linkage
bersifat deskriptif dan menggunakan studi literatur.
Adanya peningkatan output sektor tertentu akan mendorong peningkatan
output sektor-sektor lainnya, melalui dua cara. Pertama, peningkatan output
sektor i akan meningkatkan permintaan input sektor i tersebut. Input sektor i
tersebut dapat berasal dari sektor i sendiri atau berasal dari sektor lain, misal
sektor j. Oleh karenanya, sektor i akan meminta output sektor j lebih banyak
194
daripada sebelumnya (sebagai input dalam proses produksi). Dengan demikian
harus ada peningkatan output sektor j yang pada gilirannya akan meningkatkan
permintaan input untuk sektor j itu sendiri atau dengan kata lain akan terjadi
peningkatan output sektor-sektor lainnya, begitu seterusnya. Keterkaitan ini adalah
keterkaitan ke belakang karena bersumber dari mekanisme penggunaan input
produksi. Keterkaitan ke depan terjadi melalui penggunaan output sektor i untuk
sektor i sendiri atau sektor lainnya dalam ekonomi.
Dalam penelitian ini, peningkatan output (penjualan) pada tipologi
pedagang sayur malam mempunyai backward linkage secara langsung dengan
kebutuhan akan lebih banyak input produk sayur-sayuran dari petani. Output
pasar sayur malam digunakan untuk kebutuhan industri pengolahan seperti
warung makan, restoran dan sebagainya sehingga pasar sayur malam mempunyai
forward linkage secara langsung dengan industri pengolahan makanan. Sebagian
output pasar sayur malam juga digunakan sebagai input makanan olahan yang
dijual pada pasar kuliner seperti bakso, siomay, pecel lele dan lain sebagainya.
Peningkatan output pasar kuliner tersebut akan meningkatkan kebutuhan input
dari industri alat-alat pengolalahan makanan.
Secara deskriptif kualitatif keterkaitan ke depan dan ke belakang dari tiga
tipologi PKL yang dikaji dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 121.
195
Tabel 121. Keterkaitan Manfaat Langsung ke Depan dan ke Belakang dari PKL
Tipologi PKL Backward Linkage Forward Linkage
Pasar Sayur Malam, Pasar Tumpah dan Pasar Kuliner
Sektor Pertanian dan Industri: Memperpendek rantai pemasaran hasil produksi pertanian maupun industri lain. Untuk sektor pertanian, petani dimungkinkan membawa langsung hasil produksinya ke pasar.
Konsumen : - Konsumen langsung - Industri Pengolahan, warung makan, restoran dan lain-lain - Pedagang keliling dan pedagang kecil di perkampungan
- Pemulung, baik pemulung sisa dagangan untuk diolah menjadi makanan ternak maupun kompos ataupun pemulung lain
Sektor Angkutan: Jasa angkutan mulai dari produsen hingga ke PKL
Jasa Angkutan Angkutan kota ,Ojeg dan sebagainya
Sektor Tenaga Kerja : Menciptakan peluang/ kesempatan kerja dalam berbagai bentuk
Penciptaan kesempatan / peluang kerja dalam berbagai bentuk baaik sebagai tenaga kerja bagi PKL maupun sebagai akibat keberadaan PKL, antara lain Lapangan kerja sebagai petugas kebersihan, Lapangan kerja bagi Satpol PP, Lapangan kerja sebagai penarik Retribusi ataupun sebagai kuli angkut bagi konsumen dan sebagainya.
Sektor Jasa lain-lain Penerangan, bongkar muat, parkir, sewa tempat, sewa alat dan sebagainya.
Sektor Jasa lain-lain : Jasa pedagang penyedia kebutuhan pedagang atau konsumen saat itu, seperti, pedagang bahan-bahan pembungkus, pengikat, penyedia toilet, jasa bongkar muat, pedagang kuliner, parkir dan sebaginya.
Widodo (2006) dalam studi peran sektor informal terhadap perekonomian
daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan pendekatan delphi IO
menemukan bahwa dari lima sektor yang dikaji yaitu : 1). pertanian dan
pertambangan; 2). industri pengolahan; 3). perdagangan, restoran, hotel, listrik,
gas, air dan bangunan; 4). angkutan dan komunikasi; dan 5). lain-lain;
kesemuanya menunjukkan perubahan backward dan forward linkage yang positif
terhadap sektor informal. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan sektor
informal (termasuk PKL) mampu meningkatkan keterkaitan ke depan dan ke
belakang dari sektor formal. Output sektor formal tertentu yang pada awalnya
196
tidak berhubungan dengan sektor formal lainnya, dengan kehadiran sektor
informal, keduanya menjadi terhubung. Dalam hal ini, kegiatan sektor informal
menjadi jembatan bagi sektor formal. Keterkaitan kerugian atau pengorbanan
langsung sebagai akibat keberadaan dari ketiga tipologi PKL tersebut antar lain
adalah, kesemrawutan , kekumuhan, kemacetan dan penyerobotan hak-hak publik
lain selain PKL.
Dari paparan selintas di atas ternyata bahwa kontribusi PKL terhadap
perekonomian wilayah sangat luas, belum lagi manfaat-manfaaat lain yang
berhasil dimanfaatkan oleh fihak-fihak tertentu seperti oknum dan preman. Oleh
karenanya para pembuat kebijakan harus jeli daan jujur melihat keterkaitan–
keterkaitan ini ini agar penataan dan pemberdayaan PKL dapat memperoleh hasil
yang optimal.
BAB VII
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA
DI KOTA BOGOR
Dalam menganalisis kebijakan pengelolaan PKL di kota Bogor terdapat dua
issu penting saling kontradiktif yang perlu dikaji yaitu apakah PKL menciptakan
peluang peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat kecil perkotaan atau
tantangan bagi pengelolaan pembangunan perkotaan. Di satu sisi, PKL menjadi
sumber penting mata pencaharian bagi sebagian penduduk di wilayah perkotaan
dan menyediakan barang lebih murah kepada. Di sisi lain, terdapat issu yang
berhubungan dengan manajemen perkotaan dan pengendalian penurunan kualitas
lingkungan kota terkait meningkatnya aktivitas PKL yang menghadirkan
tantangan bagi pembangunan perkotaan. Terjadi konfrontasi antara otoritas kota
dan PKL dalam hal perijinan, pajak, penggunaan tempat publik, trotoar dan badan
jalan serta meningkatnya masalah-masalah sosial.
Dalam menganalisis kebijakan pengelolaan PKL di kota Bogor, aspek-aspek
yang dianalisis mencakup peraturan daerah (Perda) yang berlaku terkait PKL di
kota Bogor, Keputusan Walikota Bogor terkait PKL, dan implementasi kedua
kebijakan tersebut. Implementasinya dianalisis dalam konteks efektivitas
pelaksanaan dan hasilnya dibandingkan dengan implementasi di beberapa kota
lain di Indonesia.
Analisis juga dilakukan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan
PKL. Metode analisis yang digunakan adalah studi literatur, wawancara intensif
dan mendalam dengan pihak yang relevan seperti Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP); Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop);
Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP); Dinas Kebersihan dan Lingkungan
Hidup (DLHK); serta Dinas Lalulintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ).
7.1. Peraturan Daerah Pengelolaan PKL
Pemerintah Kota Bogor telah mensahkan Perda yang berhubungan dengan
Penataan PKL yaitu Perda No. 13 tahun 2005. Perda tersebut antara lain
mengatur penataan dan pengaturan yakni pasal 2 ayat (1) mengenai penunjukan
198
lokasi dimana kegiatan usaha PKL dapat dilakukan di daerah. Ayat (2)
menyebutkan bahwa lokasi PKL ditentukan oleh Walikota atau pejabat yang
ditunjuk, kecuali untuk lokasi di dalam lingkungan instansi pemerintah,
lingkungan sekolah, lingkungan tempat peribadatan, sekitar lokasi pasar, parit dan
tanggul, taman kota dan jalur hijau, monumen dan taman pahlawan, di sekeliling
Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan. Dalam pasal 3
disebutkan, setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL
pada lokasi yang dilarang untuk digunakan PKL.
Perda juga mengatur jenis komoditi. Pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa
jenis komoditi yang diperdagangkan oleh PKL berupa barang dan atau jasa
kecuali, daging, ikan dan telur, palawija dan bumbu, sayuran, tahu dan tempe,
sembako, pakan ternak serta unggas dan atau ternak kecil. Bangunan dan jenis
tempat usaha diatur dalam pasal 5 ayat (1): bentuk bangunan tidak
permanen/sementara, yang bentuk dan jenisnya diatur Walikota. Ayat (2)
mengatur jenis tempat usaha yang terdiri dari lesehan, gelaran, tenda, gerobak
beroda, motor, dan mobil.
Waktu berjualan diatur dalam pasal 6 bahwa penetapan waktu berjualan PKL
diatur oleh Walikota. Pasal 7 mengatur mekanisme perizinan, yaitu pasal 7 ayat
(1): setiap PKL yang akan menggunakan izin usaha wajib mendapat izin tertulis
Walikota atau pejabat yang ditunjuk; ayat (2): setiap PKL hanya dapat memiliki
satu izin; ayat (3): izin diberikan dalam jangka waktu satu tahun dan dapat
diperpanjang.
Permohonan izin PKL disebutkan dalam pasal 8 ayat (2): harus melampirkan
tanda penduduk kota Bogor, pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar,
dan mengisi formulir yang memuat nama, alamat/tempat tinggal/lama tinggal,
jenis usaha yang dimohon, tempat usaha yang dimohon, luas tempat usaha, waktu
usaha, perlengkapan yang digunakan, surat pernyataan persetujuan dari pemilik
tanah, dan jumlah modal usaha. Selain itu harus membuat pernyatan belum
memiliki tempat usaha, membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menjaga
ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan, dan keindahan serta fungsi fasilitas
umum. Harus membuat surat pernyataan tidak akan memperdagangkan barang
ilegal, tidak akan merombak, menambah dan mengubah fungsi serta fasilitas yang
199
ada di tempat atau lokasi PKL, kesanggupan mengosongkan atau mengembalikan
atau menyerahkan lokasi PKL kepada Pemerintah Kota tanpa syarat apapun
apabila lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Pemerintah Kota, dan
lokasi usaha tidak ditempati selama satu tahun.
Hal lain yang diatur antara lain perpanjangan izin (pasal 11); pajak dan
retribusi (pasal 12); hak, kewajiban, dan larangan (pasal 13, 14, dan pasal 15).
Yang menarik adalah bahwa Perda ini juga mengatur tentang pembinaan,
pemberdayaan, dan pengembangan (pasal 16); dan peran-serta masyarakat (pasal
18). Selain itu, Perda juga mengatur tentang ketentuan pidana, bahwa setiap orang
yang melanggar ketentuan dalam pasal 2 ayat (2), pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal
6, pasal 7, pasal 8, pasal 11, pasal 12, pasal 14 dan pasal 15, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta yang
dibayarkan langsung ke rekening kas daerah setelah ditetapkan oleh Hakim
Sidang Pegadilan Negeri Bogor. Sanksi administrasi diatur dalam pasal 20, 21, 22
dan 23.
Perda di atas sudah secara rinci dan lengkap mengatur pengelolaan PKL.
Permasalahannya terletak pada implementasi yang melibatkan beberapa pihak
yang berhubungan dengan pengelolaan PKL. Selain itu, keterlibatan pihak-pihak
lain yang berkepentingan juga perlu dianalisis. Sejauh ini tindakan yang
dilakukan Pemerintah Kota Bogor berupa penertiban (penggusuran) dan relokasi
PKL sehingga implementasi Perda tersebut perlu dianalisis.
7.2. Pihak-pihak yang Terkait
Penataan PKL melibatkan secara langsung lembaga terkait yang tergabung
dalam Tim Penataan PKL Kota Bogor, meliputi Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP), Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop),
Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP), Dinas Kebersihan dan Lingkungan
Hidup (DLHK), serta Dinas Lalulintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ).
Hasil analisis pada Bab 5 menunjukkan perlunya keterlibatan beberapa pihak
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tabel 122 menjustifikasi
beberapa hasil penelitian terdahulu dan hasil penelitian ini tentang keterlibatan
pihak selain yang disebutkan di atas.
200
Tabel 122. Perlunya Keterlibatan Pihak-pihak Lain
No. Peneliti Judul Hasil Analisis 1 ILO
(2006) Indonesia : Extension of Social Insurance Coverage to the Informal Economy; ILO Subregional Office for South East Asia; Asian Decent Work Decade; 2006-2015
Keterbatasan jaring pengaman sosial bagi sektor informal .
Perlunya melibatkan dinas sosial
2 Straub (2003)
Informal Sector: The Credit Market Channel
Dengan menurun-kan ketergantung-an PKL terhadap mekanisme kredit informal akan berdampak penting terhadap kesejahteraan. Manfaat potensial program micro-credit bagi PKL.
Perlunya keterlibatan lembaga keuangan seperti bank, lembaga keuangan mikro
3 The Ford Foundation (2010)
Roundtable on Microinsurance Services in The Informal Economy: The Role of Microfinance Institutions
Beberapa lembaga pembiayaan mikro, grup riset, akademisi, LSM, lembaga networks dan akar rumput bekerja sama membangun mekanisme proteksi sosial melalui layanan asuransi mikro
Perlunya keterlibatan LSM, institusi akar rumput dalam membangun mekanisme perlindungan sosial
4 Yahya et al. (2003)
Pemberdayaan Masyarakat Sektor Informal di Perkotaan (Studi Kasus Pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [P2KP] di Kelurahan Kasin Kecamatan Klojen Kota Malang)
Proses pemberdayaan melalui social learning dengan media institusi lokal yang dibentuk atas prakarsa masyarakat
Perlunya keterlibatan LSM
201
Hasil kajian literatur di atas menunjukkan perlunya keterlibatan pihak-pihak
lain dalam pengelolaan PKL. ILO (2006) menemukan lemahnya jaring
pengaman sosial bagi sektor informal (termasuk PKL) sehingga dalam
pengelolaan PKL membutuhkan peran serta dinas sosial. Straub (2003)
menemukan manfaat potensial program micro-credit bagi PKL, sehingga peran
lembaga finansial penyedia kredit mikro juga diperlukan. Ford Foundation (2010)
dan Yahya (2003) menunjukkan perlunya keterlibatan LSM dan institusi akar
rumput dalam membangun mekanisme perlindungan sosial.
Dalam konteks hasil penelitian ini (Bab 5), PKL rentan terhadap masalah
kesehatan, dengan demikian ada kebutuhan keterlibatan secara tidak langsung dari
dinas kesehatan. Tabel 42 menunjukkan bahwa PKL lemah atau rendah dalam hal
pendidikan sehingga perlu juga melibatkan dinas pendidikan. Tabel 76
menunjukkan bahwa PKL rentan dalam jaminan asuransi tenaga kerja sehingga
perlu melibatkan pihak atau lembaga asuransi ketenagakerjaan.
Dari analisis regresi pada Bab 6 diketahui bahwa pendapatan PKL tidak
berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anggota keluarga dan tingkat kesehatan.
Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan PKL merasa tidak terlalu penting
untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Mereka menganggap sekolah cukup
sampai tingkat SLTA, yang terlihat dari persentase terbesar pendidikan anggota
keluarga adalah SLTA. Dengan demikian diperlukan penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mencapai pendidikan yang lebih
tinggi.
Analisis regresi memperlihatkan bahwa pendapatan PKL berpengaruh nyata
terhadap tingkat konsumsi rumah tangga, pendapatan bersih (D16) menunjukkan
nilai yang cukup besar, yang pada akhirnya dipergunakan untuk hal-hal konsumtif
dan bukan untuk invstasi. Kondisi demikian menyebabkan perlunya pemerintah
memberikan penyuluhan/pemberdayaan kepada mereka untuk merubah pola pikir
agar mempunyai keinginan untuk meningkatkan status usahanya. Tidak sedikit
PKL yang berfikiran maju dan berhasil menjadi pengusaha formal yang cukup
besar. Karenanya dalam rangka pemberdayaan diperlukan keterlibatan akademisi
serta keterlibataan LSM yang terkait.
202
7.3. Implementasi Perda PKL di Bogor
Implementasi Perda PKL dapat dilihat pada Tabel 113. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa sejauh ini pengelolaan PKL di kota Bogor masih berupa
penertiban (penggusuran) dan/atau relokasi. Contoh lokasi yang ditertibkan adalah
di depan Polwil Bogor. Di tempat tersebut selanjutnya dibangun pot-pot bunga,
pagar besi yang ditumbuhi tanaman, dan pemasangan pengumuman Perda PKL.
Cara ini bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa peruntukan lokasi tersebut
bukan untuk PKL.
Tabel 123. Beberapa Tindakan Pemerintah Kota Bogor terhadap PKL di beberapa Lokasi
No. Lokasi Penataan
Pelaksanaan Tindakan Hasil Analisis
1. Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas
Nopem ber 2007
• 4.000 PKL ditata dan dipindahkan ke lokasi lain
• Mengembali-kan fungsi jalan seperti semula sebagai jalan raya dua jalur.
• Membuat pot-pot bunga dan pagar besi yang ditumbuhi tanaman, memperbaiki badan jalan yang berlubang, serta memasang rambu dan mengatur arus lalulintas
Kondusif Sejumlah PKL tetap berjualan di Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas, meskipun jumlahnya tidak sebanyak sebelum ditertibkan dan belum mengguna-kan lapak berkonstruksi kayu. PKL di bawah awning di Jalan Nyi Raja Permas, sudah penuh kembali seperti sebelumnya
2. Taman Kencana
Maret 2009
20 bangunan terpaksa dibongkar paksa puluhan petugas Satpol PP tanpa perlawanan
Lokasi eks PKL berubah menjadi taman publik
Sejumlah PKL berpindah ke sekitar kampus IPB Taman Kencana
Sumber : BogorPlus.com
Hasil analisis dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa untuk lokasi
penataan Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas, sebanyak 4.000
203
PKL ditata dan dipindahkan ke lokasi lain. Penataan ini tanpa perlawanan karena
sudah dilakukan sosialisasi sejak awal. Namun demikian, setelah beberapa
minggu penataan, sejumlah PKL kembali berjualan. Dewasa ini, jumlah PKL di
Jalan MA Salmun, Dewi Sartika, dan Nyi Raja Permas tidak sebanyak sebelum
ditertibkan dan belum menggunakan lapak berkonstruksi kayu, sedangkan di Jalan
Nyi Raja Permas PKL di bawah awning sudah penuh kembali seperti sebelumnya.
Pengamatan ini menunjukkan bahwa implementasi Perda melalui
penggusuran dan relokasi belum mencapai hasil optimal dan tidak ada tindak
lanjut dalam hal pemantauan PKL untuk tidak kembali ke lokasi yang sudah
ditertibakan. Tindakan penggusuran pada dasarnya bukan merupakan solusi yang
efektif meski tindakan tersebut dibenarkan oleh Perda.
Penggusuran juga dilakukan pada tahun 2009 di Taman Kencana. Sebanyak
20 bangunan terpaksa dibongkar paksa puluhan petugas Satpol PP tanpa
perlawanan, dan lokasi tersebut dirubah menjadi taman publik. Berdasarkan
pengamatan di lapangan diketahui bahwa sebenarnya PKL bukan hilang tetapi
berpindah ke lokasi di sekitar kampus IPB Taman Kencana dan masih menempati
badan-banda jalan. Hal ini menunjukkan bahwa penggusuran bukan penyelesaian
terbaik karena inti permasalahan PKL masih belum tersentuh kebijakan.
Dalam menganalisis apa yang sudah dilakukan terhadap PKL di kota Bogor
adalah perlu membandingkan dengan tindakan-tindakan yang sudah dilakukan di
beberapa kota di Indonesia. Hasil perbandingan program dan pendekatan
terhadap pengelolaan PKL di beberapa kota di Indonesia disajikan pada Tabel
124.
Sama seperti kota Bogor, kota-kota besar dan metropolitan seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Makassar masih menggunakan
program penggusuran PKL dan relokasi ke tempat yang kurang strategis. Berbeda
dengan keenam kota besar tersebut, Bogor tidak menerapkan retribusi yang mahal
untuk sewa tempat. Kota-kota kecil seperti Blitar dan Kendari hanya melakukan
relokasi PKL ke lokasi kurang strategis. Blitar menerapkan langkah lebih konkrit
yaitu mengelola PKL melalui penyediaan tenda-tenda khusus sehingga PKL lebih
tertata rapi.
204
Tabel 124. Program dan Pendekatan Pengelolaan PKL di Beberapa Kota di Indonesia
Program dan Pendekatan Metropolitan dan Kota Besar Kota
Menengah Kota Kecil
Neg
atif
Jaka
rta
Sura
baya
Ban
dung
Sem
aran
g
Med
an
Mak
assa
r
Bog
or
Bal
ikpa
pan
Blit
ar
Ken
dari
Menggusur • • • • • • • � � �
Relokasi ke lokasi tidak strategis • • • • • • • � • •
Retribusi mahal untuk sewa tempat • • • • • • � � � �
Keterangan: • = ada indikasi dukungan pemerintah kota � = Tidak ada indikasi dukungan pemerintah kota Sumber : Kosasih (2007)
Hasil analisis yang dilakukan Kosaih (2007) tersebut juga menunjukkan
indikasi dukungan kepada pelaku ekonomi informal, baik dari pemerintah, swasta
maupun LSM, walau umumnya masih bersifat parsial (case-by-case). Skala
dukungan juga tidak sebanding dengan skala permasalahan yang luar biasa besar
sehingga kebijakan yang disusun belum menyentuh akar permasalahan yang
dihadapi PKL.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan yang dilakukan di kota
Bogor masih belum efektif dan efisien dalam mengelola PKL. Program atau
pendekatan yang digunakan seharusnya mempertimbangkan terciptanya
“enabling environment” yang dapat memberikan peluang bagi semua orang yang
paling miskin sekalipun, baik warga maupun pendatang untuk mencari sumber
penghidupan guna meningkatkan kesejahteraan tanpa merugikan orang lain.
Disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, penanganan
PKL yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi
masyarakat, baik kepentingan pelaku PKL maupun kepentingan masyarakat
konsumen. Konsep yang digunakan adalah konsep penataan dan penertiban.
Hasil yang dicapai sejauh ini belum signifikan sehingga situasi dan kondisi
PKL dalam kota relatif belum beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. PKL masih
memadati kawasan seputar pasar, terutama Pasar Kebon Kembang dan Pasar
Bogor, karena tingginya aktivitas perekonomian di kawasan tersebut. Lokasi yang
205
juga dipadati PKL adalah seputar Air Mancur, Jembatan Merah, Jalan Pajajaran,
Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Surya kencana.
Penertiban yang telah dilakukan sejauh ini lebih dititikberatkan pada upaya
mengurangi gangguan PKL terhadap kelancaran lalu lintas dan pejalan kaki
sehingga seperti Jalan MA Salmun, Jalan Merdeka, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan
Surya kencana bisa dilalui kendaraan. Pada beberapa kawasan yang berhasil
dibebaskan dari PKL telah dibuat taman dan pagar untuk mencegah kembalinya
PKL ke lokasi tersebut.
Kegiatan penertiban PKL memang menjadi tantangan tersendiri di tengah
belum idealnya jumlah personil Satpol PP dibandingkan jumlah penduduk. Dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaran Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa 1 orang Satpol PP melayani 400 orang penduduk. Dari ketentuan tersebut
terlihat bahwa jumlah personil Satpol PP di kota Bogor masih belum ideal. Pada
tahun 2010 nilai rasio hanya mencapai 0,025 atau satu orang personil Satpol PP
melayani 3.975 penduduk.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesemrawutan yang terjadi bukan hanya
disebabkan oleh PKL, tetapi juga karena ketidak-konsistenan, ketidak-tegasan,
persiapan yang kurang matang, kurangnya sosialisasi peraturan dari fihak
pemerintah, serta banyaknya oknum yang memanfaaatkan keberadaan PKL untuk
kepentingan pribadi atau kelompok.
Beberapa contoh kegagalan pemerintah dalam melaksanakan peraturan dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat, adalah sebagai berikut:
1. Pemindahaan pedagang dan PKL dari Pasar Ramayana (sekarang Bogor Trade
Mall atau BTM) ke Pasar Jambu Dua sekitar akhir tahun 1990-an masih
menyisakan janji-janji pemerintah yang tidak dilaksanakan. Hal ini
mengakibatkan pedagang kembali menjadi PKL di sekitar Pasar Bogor, Jalan
Juanda, dan Jalan Suryakancana.
2. Banyaknya PKL di Jalan Pedati cenderung mematikan usaha ikan asin,
padahal pada awalnya Lawang Saketeng dan Jalan Pedati merupakan pusat
distributor ikan asin ke sebagian besar pelosok Jawa Barat.
206
3. Kegagalan relokasi PKL ke Pasar Yasmin yang mengakibatkan bangkrutnya
para pedagang yang mengikuti aturan.
4. Kegagalan relokasi PKL di sekitar Taman Topi atau Jalan Dewi Sartika, Jalan
Nyi Raja Permas, Jalan MA Salmun, Jalan Pabrik Gas serta Jalan Merdeka.
Pembentukan PD Pasar pada tahun 2011 diharapkan dapat berpengaruh
terhadap pengelolaan PKL di seputar kawasan pasar, melalui langkah penertiban
dan optimalisasi pemanfaatan kios-kios dan lahan yang berada dalam pasar.
BAB VIII
STRATEGI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN
PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR
Keberadaan dan tumbuh berkembangnya PKL dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Formulasi strategi yang efektif akan dapat dirumuskan jika
kedua faktor tersebut dianalisis dengan tepat. Metode SWOT yang berbasis pada
kondisi internal dan eksternal suatu organisasi telah banyak digunakan untuk
merumuskan strategi pada berbagai bidang kajian. Dalam perkembangannya,
metode ini sering dikombinasikan dengan teknik-teknik pembobotan (weighting)
terhadap faktor internal dan eksternal sehingga rumusan strategis yang dicapai
memiliki aspek kualitatif.
Dalam penelitian ini, pembobotan faktor internal dan eksternal dalam metode
SWOT menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison)
dari Saaty (1983). Menurut Kangas et al (2001) penggunaan pairwise comparison
dalam SWOT ini menghasilkan teknik yang disebut sebagai A’WOT atau AHP-
SWOT. Cara ini akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti. Strategi
yang disusun dalam bab ini secara bertahap diharapkan akan mampu
mentransformasi sektor informal PKL menjadi kegiatan yang lebih formal.
8.1. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Formulasi strategis pengelolaan PKL di kota Bogor perlu mengiidentifikasi
faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi PKL. Faktor internal
didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam lingkungan organisasi
(Pearce & Robinson, 1997), dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor, sedangkan
faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar organisasi.
Faktor internal dapat menjadi kekuatan dan kelemahan sedangkan faktor
eksternal dapat berupa peluang atau ancaman dalam strategi pengelolaan PKL di
kota Bogor. Identifikasi faktor internal dan eksternal diperoleh dari data primer
berupa pengisian kuesioner dan wawancara dengan responden yang relevan.
Dengan demikian, pembobotan lebih didasarkan pada penilaian (judgement) ahli.
Responden yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Bab 3 Metode
208
Penelitian. Hasil wawancara tersebut selanjutnya disintesis untuk mendapatkan
bobot faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan PKL secara
optimal di kota Bogor.
8.1.1 Faktor Eksternal
a. Peluang (Opportunity)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, beberapa faktor diidentifikasi
sebagai peluang dalam pengelolaan PKL di kota Bogor. Peluang-peluang
tersebut mencakup keberadaan Perda tentang PKL, ketersediaan SDM, kontribusi
PKL pada PAD, ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau,
ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan kontribusi terhadap pengentasan
kemiskinan. Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Tabel
125.
Tabel 125. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Peluang
Peluang VE VP VA VB λ-
Max CI RI CR
Keberadaan Perda tentang PKL
2,06 0,29 4,29 14,86 6,51 0,10 1,40 0,07
Ketersediaan SDM 0,86 0,12 0,98 8,16
Kontribusi PKL pada PAD
1,70 0,24 3,04 12,78
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
0,47 0,07 0,21 3,25
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
0,44 0,06 0,31 4,98
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
1,60 0,22 2,54 11,31
7,13 1,00 39,05
Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n = 8 responden Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris λmax = Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
209
Hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio (CR) sebesar 0.07
yang berarti bahwa data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten
sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat. Revisi pendapat dilakukan
apabila nilai CR > 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau melakukan
pengolahan data (adjustment) (Saaty, 1983).
Hasil analisis pembobotan faktor eksternal yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa keberadaan Perda tentang PKL mendapatkan bobot relatif
tertinggi (0,29) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah
kontribusi PKL pada PAD (0,24), kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
(0,22), ketersediaan SDM (0,12), ketersediaan barang dan jasa dengan harga
terjangkau (0,07), dan ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,06).
Keberadaan Perda tentang PKL (0,29) adalah peluang yang dapat
dimanfaatkan dalam mengelola PKL di kota Bogor. Perda PKL yang saat ini
digunakan adalah Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki
Lima. Keberadaan Perda ini didukung dengan adanya Surat Keputusan Walikota
Bogor Nomor 511.23.45.237 tentang Penunjukan Lokasi dan Penataan PKL.
Kedua perangkat legal ini masih didukung dengan Perda Kota Bogor Nomor 1
Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 1999-2000 dimana kota Bogor
memiliki fungsi sebagai kota perdagangan, kota industri dan kota pemukiman,
kota wisata ilmiah, dan kota pendidikan.
Peluang kedua adalah kontribusi PKL pada PAD (0,24). Beberapa hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa PKL memberikan kontribusi positif dan
signifikan terhadap PAD. Merujuk pada data Disperindagkop tahun 2005, jumlah
PKL di Kota Bogor mencapai 10 ribu orang. Jumlah tersebut dewasa ini
diperkirakan telah bertambah.
Meski jumlahnya sangat banyak, kontribusi mereka terhadap PAD sangat kecil,
padahal mereka dikenakan setoran Rp 2.000,- sampai Rp 3.000,- setiap hari.
Dengan jumlah PKL sebanyak 10 ribu orang, maka jumlah setoran mencapai Rp
30 juta per hari atau Rp 900 juta per bulan atau dapat mencapai lebih dari Rp 10
miliar per tahun.
Sejak 30 September 2009, legalitas PKL di kota Bogor sudah dicabut sesuai
Perda No. 13 tahun 2005 tentang PKL. Sejak saat itu, Dinas Pendapatan,
210
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bogor tidak lagi
memungut retribusi PKL. Sejauh ini retribusi yang dibayarkan ternyata
dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Apabila Pemerintah Kota Bogor mampu
mengumpulkan serta mengelola dengan baik dan benar maka jumlah ini tentunya
sangat signifikan untuk pembangunan kota Bogor..
Terkait dengan pengentasan kemiskinan, PKL turut berpeluang dalam
program pengentasan kemiskinan (0,22). Mitullah (2003) menyatakan bahwa
PKL berperan penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja sehingga
dapat meminimalkan dampak sosial. Widodo (2006) menemukan bahwa sektor
informal berkontribusi positif pada pembangunan DIY melalui peningkatan
output, penyediaan lapangan kerja, dan pendapatan masyarakat. Dalam
penelitiannya di Dhaka City, Akharuzzama, et al (2010) menemukan bahwa PKL
adalah sektor perdagangan urban penting di Dhaka City. Semua hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa PKL mampu memberikan peluang dalam menciptakan
pendapatan bagi para pelakunya.
Ketersediaan SDM (0,12) di lingkungan pemerintah kota Bogor adalah
sumber peluang lain bagi strategi pengelolaan PKL. Saat ini terdapat bebeberapa
instansi/dinas yang terlibat langsung dalam pengelolaan PKL di kota Bogor yaitu
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan
Koperasi (Disperindagkop), Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP), Dinas
Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DLHK), serta Dinas Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (DLLAJ).
PKL mampu menyediakan barang dan jasa dengan harga terjangkau (0,07)
bagi sebagian komunitas kota. PKL merupakan salah satu penggerak roda
perekonomian, karena memberikan kontribusi positif dalam menjalankan aktivitas
transaksi keuangan antara penjual (pedagang) dengan pembeli (konsumen).
Dengan harga yang murah/terjangkau dan mutu barang yang bagus kaki lima
menjadi salah satu alternatif untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Peluang terakhir adalah ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,06) yang
memberikan peluang pendanaan bagi PKL agar dapat bertransformasi dari sektor
informal ke sektor formal. Dalam dua dasawarsa terakhir keuangan mikro telah
menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi metode
211
untuk mengatasi kemiskinan. Di Indonesia posisi keuangan mikro dalam tataran
wacana dan kebijakan masih marjinal meski sebenarnya keuangan mikro
memiliki sejarah yang amat panjang. Beberapa waktu lalu wacana keuangan
mikro kembali diangkat seiring perhatian yang semakin besar untuk mencari
pendekatan alternatif dalam menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan
ekonomi rakyat yang peran strategisnya semakin diakui (Krisnamurthi, 2002).
b. Ancaman (Threath)
Beberapa faktor diidentifikasikan sebagai ancaman bagi pengelolaan PKL.
Secara rinci dan hasil perhitungan bobot faktor eksternal yang memberikan
ancaman dalam pengelolaan PKL di kota Bogor disajikan pada Tabel 126.
Tabel 126. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Eksternal Ancaman
Ancaman VE VP VA VB λ-Max CI RI CR
Kebijakan tata ruang kurang konsisten
1,14 0,12 1,41 11,40 10,11 0,14 1,40 0.10
Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik
1,30 0,14 1,73 12,32
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
1,30 0,14 1,71 12,15
Terbatasnya dana operasional
0,83 0,09 0,83 9,21
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
1,05 0,11 1,18 10,33
Lemahnya penegakan hukum
1,24 0,13 1,67 12,46
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
0,98 0,11 1,03 9,67
Lemahnya posisi politis PKL
0,68 0,07 0,49 6,66
Belum adanya registrasi pelaku PKL
0,72 0,08 0,53 6,80
9,24 1,00 90,99 Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n= 8 responden Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan
data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris
212
λmax
Ancaman lainnya adalah kebijakan tata ruang kurang konsisten (0,12).
Hingga 2009, telah ditetapkan 18 lokasi atau Zoning Pembinaan dan Penataan
PKL, yaitu : Jalan Bangbarung, Batu Tulis, Siliwangi, Papandayan, Otista, Gang
= Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
Hasil pembobotan di atas memberikan nilai konsistensi rasio (CR) sebesar
0,10 yang berarti bahwa data kuesioner cukup konsisten sehingga cukup valid
untuk analisis lebih lanjut. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa dua faktor
secara relatif dipandang sebagai ancaman utama dalam pengelolaan PKL di kota
Bogor yaitu terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik (0,14) dan
kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL (0,14). Faktor yang dipandang
sebagai ancaman terlemah adalah lemahnya posisi politis PKL (0,07).
Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik (0,14) dipandang sebagai
ancaman utama pengelolaan PKL di kota Bogor. Sampai akhir tahun 2009 angka
pengangguran di kota Bogor berkisar 15 % atau naik 1,36 % dari tahun 2008 yang
mencapai 13,64 %. Tantangan untuk menurunkan angka pengangguran tidak
mudah karena selain menyangkut ketersediaan lapangan kerja yang masih
berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja, juga ada beberapa faktor lain
yang turut memperburuk kondisi tersebut. Pertama, pasar kerja yang tidak sesuai
dengan pencari kerja. Kedua, tersedianya lapangan kerja yang sesuai potensi
tetapi tidak sesuai dengan minat pencari kerja. Ketiga, tidak terdapat lapangan
kerja karena keterbatasan potensi pencari kerja. Keterbatasan lapangan kerja yang
lebih baik ini menjadikan usaha PKL sebagai lapangan kerja alternatif bagi
mereka yang tidak tertampung di sektor formal sehingga akan memperbesar
jumlah PKL di kota Bogor.
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL (0,14) juga menjadi ancaman
utama dalam pengelolaan PKL. Untuk pembinaan dan penataan PKL, relokasi
pedagang merupakan salah satu solusi alternatif penataan PKL. Untuk
melakukannya, Pemerintah Kota Bogor masih memiliki keterbatasan dalam hal
ketersedian lahan serta lokasi strategis bagi relokasi PKL. Hal ini membuat
program penataan PKL menjadi semakin sulit sehingga memberikan ancamana
bagi pengelolaan PKL di kota Bogor.
213
Selot di Jalan Djuanda, seputar Air Mancur, Kelurahan Sempur, Jalan Pengadilan,
Pajajaran (sekitar Villa Duta-B dan samping Damkar Sukasari), Jalan Cidangiang,
Jalan Sukasari III, Pejagalan, Dadali, Ahmad Yani, dan KH. Abdullah bin Nuh di
Curug.
Upaya penggusuran di beberapa lokasi seperti di Taman Kencana tidak
berhasil memindahkan PKL ke zonasi pembinaan dan penataan PKL tersebut.
Mereka hanya berpindah beberapa meter ke sekitar kampus IPB Taman Kencana,
bahkan hasil pengamatan terbaru menunjukkan mereka masih berada di sekitar
lokasi penggusuran. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penertiban yang
dilakukan tidak konsisten karena tidak ada evaluasi apakah program yang
dijalankan berjalan sesuai harapan atau tidak.
Ancaman berikutnya adalah keterbatasan dana operasional (0,09) bagi
pengelolaan PKL di kota Bogor. Dana operasional bersumber dari APBD kota
Bogor. Dalam Renstra kota Bogor, penanganan PKL menjadi salah satu prioritas,
namun model penanganan dengan penertiban PKL sebenarnya sangat mahal
harganya bagi pemerintah kota..
Untuk tahun 2011 Pemerintah Kota Bogor telah mengalokasikan anggaran
sebesar Rp 498,1 juta untuk program pembinaan PKL dan asongan, namun dana
ini masih terbatas untuk pelaksanaan program, belum termasuk honor petugas.
Rahmawati (2007) menemukan bahwa staf yang bertugas di Satpol PP dan Hartib
Pasar 80 % masih berstatus honorer dengan gaji Rp 300.000,- ditambah dengan
tunjangan lain mencapai Rp 600.000,-/bulan. Untuk meningkatkan kinerja
petugas maka diperlukan anggaran cukup besar.
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi (0,11) menjadi ancaman lain bagi
pengelolaan PKL di kota Bogor. Upaya penataan PKL membutuhkan penanganan
yang komprehensif, melibatkan banyak pihak. Karena setiap pihak memiliki
kepentingan berbeda maka diperlukan kesamaan persepsi antar dinas/instansi
dalam menata PKL. Kelemahan ini dapat ditunjukkan dengan tidak adanya tindak
lanjut pasca penataan, perbedaan data jumlah PKL di tiap institusi, dan tidak
adanya pembinaan PKL.
Lemahnya penegakan hukum (0,13) juga dapat menjadi ancaman dalam
penataan PKL. Berdasarkan Perda tentang PKL maka sudah ditentukan zona atau
214
tempat yang diperbolehkan untuk berdagang, tetapi dari pengamatan di lapangan
terlihat bahwa penegakan hukum belum dilakukan secara konsisten. Suatu saat
hukum/aturan diberlakukan, tapi pada saat lain seperti terjadi pembiaran. Dua
contoh berikut dapat menggambarkan kondisi tersebut.
Sejumlah PKL diajukan ke sidang tindak pidana ringan karena melanggar
Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. PKL tersebut terjaring operasi
penertiban yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di sejumlah
lokasiseperti di Jalan Ir. H. Djuanda, Sudirman, Suryakencana, Sukasari,
Lawanggintung, Bondongan, Batu Tulis, Empang, Kapten Muslihat (Taman
Topi), Pajajaran, dan Warung Jambu. Operasi berjalan lancar, tanpa ada
penolakan dan perlawanan dari PKL. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Andi
Risajaya, SH dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andi Hermawati SH, mereka
divonis hukuman denda rata-rata Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu, subsider 3 bulan
kurungan. Pada awalnya sejumlah pedagang keberatan atas keputusan itu karena
mereka menilai denda yang djatuhkan terlalu tinggi. Namun, akhirnya para
pedagang menerima vonis yang dijatuhkan majlis hakim. Ancaman hukuman
yang melanggar Perda No. 13 Tahun 2005 adalah kurungan 3 bulan atau denda Rp
50 juta, tetapi karena mereka kebanyakan pedagang kecil, majelis hakim hanya
menjatuhkan denda rata-rata Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu.
Adanya semacam pembiaran oleh Pemerintah Kota Bogor dapat dilihat di
sepanjang Jalan Pajajaran yang merupakan zona larangan PKL. tetapi masih
terdapat PKL yang menempati trotoar jalan untuk berdagang. Bila hukum tidak
ditegakkan, akan semakin banyak PKL yang berjualan di ruas jalan tersebut.
Lemahnya posisi politis PKL (0,07) juga dapat menjadi ancaman dalam
penataan PKL. Keterwakilan PKL dalam ranah politis masih lemah khususnya
terkait dengan pembahasan kebijakan. Pemerintah Kota Bogor tidak pernah
melakukan komunikasi sebelumnya dengan PKL mengenai langkah penataan
yang diinginkan pemerintah, sehingga timbul mis-komunikasi karena komunikasi
politik hanya bersifat satu arah. Ketika Perda diajukan ke Pemkot dan disetujui
oleh DPRD, maka PKL tidak mematuhinya karena dianggap sangat merugikan.
Belum adanya registrasi pelaku PKL (0,08) juga menjadi ancaman lain dalam
pengeloalaan PKL di kota Bogor. Dalam Perda No. 13 tahun 2005 telah diatur
215
tatacara registrasi (perijinan) PKL. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
PKL yang akan menggunakan izin usaha wajib mendapat izin tertulis Walikota
atau pejabat yang ditunjuk; ayat (2), setiap PKL hanya dapat memiliki satu izin;
ayat (3), izin diberikan dalam jangka waktu satu tahun dan dapat diperpanjang.
Dalam Pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa permohonan izin , harus
melampirkan tanda penduduk kota Bogor, pasfoto terbaru ukuran 4 x 6 cm
sebanyak 2 lembar, mengisi formulir yang memuat tentang nama, alamat/tempat
tinggal/lama tinggal, jenis usaha yang dimohon, tempat usaha yang dimohon, luas
tempat usaha, waktu usaha, perlengkapan yang digunakan, surat pernyataan
persetujuan dari pemilik tanah, dan jumlah modal usaha. Menurut
Bogorplus.com (25 Mei 2011), jumlah pedagang ilegal (tidak terdaftar) di kota
Bogor mencapai 4.500 pedagang dan mayoritas berjualan pada malam hari.
8.1.2 Faktor Internal
Beberapa hal diidentifikasi sebagai faktor eksternal yang dapat memberikan
kekekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan PKL secara optimal di Kota Bogor.
a. Kekuatan (Strength)
Hasil pembobotan faktor internal di kota Bogor disajikan pada Tabel 117.
Hasil analisis menunjukkan bahwa konsistensi data hasil pengisian kuesioner
cukup baik (CR < 0.10) sehingga hasil analisisnya cukup valid untuk dikaji lebih
jauh.
Tabel 127. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kekuatan
Kekuatan VE VP VA VB λ-Max CI RI CR
Kebijakan dan komitmen Pemda
1,29 0,16 1,78 11,36 8,86 0,12 1,40 0.09
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
0,87 0,11 0,78 7,41
Stabilitas nilai mata uang
0,96 0,12 0,92 7,94
Tersedianya pasar 0,81 0,10 0,75 7,66 Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
1,30 0,16 1,73 10,96
216
Kekuatan VE VP VA VB λ-Max CI RI CR
Penciptaan lapang kerja baru
1,38 0,17 2,00 11,92
Mengurangi masalah sosial
0,99 0,12 0,98 8,23
Kemudahan sistem registrasi
0,65 0,08 0,42 5,40
8,24 1,00 70,87 Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n = 8 responden Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan
data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris λmax
Di sisi lain Disnakersostrans juga harus membuat jejaring kerja dengan
semua lini ketenagakerjaan di antaranya bursa khusus yang ada di swasta seperti
di sekolah-sekolah, lembaga latihan swasta yang pada dasarnya untuk
= Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
Hasil penilaian terhadap bobot relatif (VP) menunjukkan bahwa penciptaan
lapangan kerja baru (0,17) serta kebijakan dan komitmen Pemda (0,16)
merupakan kekuatan utama dalam mengelola PKL di kota Bogor. Urutan bobot
berikutnya adalah pulihnya sektor ekonomi dari krisis global (0,16), stabilitas nilai
mata uang (0,12), mengurangi masalah sosial (0,12), perkembangan sistem
teknologi dan informasi (0,11), tersedianya pasar (0,10), dan kemudahan sistem
registrasi (0,08).
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Kota Bogor untuk menciptaan
lapangan kerja baru (0,17) bagi penduduk. Dinas Tenaga Kerja Sosial dan
Transmigrasi (Disnakersostrans) Kota Bogor secara rutin setiap tahun menggelar
bursa kerja untuk menyalurkan angkatan kerja pada perusahaan-perusahaan
sesuai dengan kompetensinya. Bursa kerja digelar sebagai salah satu upaya
mempertemukan pengguna jasa dan pencari kerja sehingga dapat mengurangi
jumlah angka pengangguran di kota Bogor. Dari jumlah penduduk kota Bogor
sebanyak 973.113 jiwa, sebanyak 42.475 adalah penganggur dan 16.876 adalah
pencari kerja.
217
menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Bogor. Upaya ini dapat menjadi
kekuatan dalam mengelola PKL dimana salah satu faktor penyebab tumbuh dan
berkembangnya PKL adalah terbatasnya lapangan kerja.
Kebijakan dan komitmen dari Pemda (0,16) adalah kekuatan dalam
pengelolaan PKL di kota Bogor. Pemda bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah harus menyatukan visi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang
kondusif bagi upaya terkait, mencakup perumusan dan revisi perda PKL,
penertiban, dan fasilitasi kepentingan PKL. Tanpa komitmen yang jelas dan
tegas, maka upaya ini hanya sebatas konsep yang tidak pernah terealisasi.
Komitmen Pemda Bogor ditunjukkan dengan memasukkan penertiban atau
pengelolaan PKL dan Rencana Strategis kota Bogor. Isu strategis ini meliputi
masalah transportasi dan kemacetan lalu lintas kota Bogor, PKL, kebersihan
kota dan lingkungan hidup, dan kemiskinan yang masih melanda sebagian warga
kota Bogor.
Perkembangan sistem teknologi dan informasi (0,11) menjadi kekuatan lain
dalam pengelolaan PKL di kota Bogor. Perkembangan sistem teknologi dan
informasi yang pesat membuat arus informasi berjalan sangat cepat dan dapat
diakses oleh semua lapisan masyarakat. Kondisi ini semakin membuka wawasan
masyarakat tentang berbagai hal, seperti peraturan daerah terkait PKL, sumber-
sumber lapangan kerja alternatif selain PKL, sumber-sumber pembiayaan untuk
usaha formal, dan sebagainya.
Pengelolaan PKL akan semakin prospektif bila stabilitas nilai mata uang
terjaga (0,12). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2011
diproyeksikan relatif stabil dengan kecenderungan relatif melemah seperti yang
diproyeksikan oleh Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution saat rapat
kerja dengan Badan Anggaran DPR. Asumsi nilai tukar rupiah RAPBN 2011
sebesar Rp 9.300,- per dolar AS dan masih menjadi daya tarik bagi arus modal
yang masuk ke Indonesia. Hal ini juga didukung oleh fundamental makro
Indonesia dan sovereign credit rating yang membaik. Kondisi ini bisa tercapai
bila pemerintah pusat dan daerah mampu menjalankan sistem perekonomian
dengan tepat, masyarakat mendukung pemerintahan, dan pada akhirnya
kepercayaan investor semakin bertambah sehingga arus investasi meningkat.
218
Upaya ini memerlukan waktu yang panjang terutama bila dikaitkan dengan
kenyataan krisis ekonomi dan politik baru di Indonesia.
Ketersediaan pasar (0,10) bagi produk domestik juga menjadi kekuatan dalam
pengelolaan PKL. Kota Bogor merupakan sentra bagi beberapa UKM seperti
sandal, sepatu, dan tas. Penyediaan pasar bagi produk lokal akan membuat
sektor UKM tumbuh positif dan dapat menyerap tenaga kerja lokal lebih besar
sehingga mampu mengurangi angka pengangguran dan menciptakan lapangan
kerja alternatif selain menjadi PKL. Ini merupakan kekuatan dalam kaitannya
dengan pengelolaan PKL di kota Bogor. Penyediaan pasar diperlukan untuk
menampung hasil produksi dari masyarakat sehingga ekonomi tumbuh, daya beli
meningkat dan perputaran uang semakin meningkat.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1987
memberikan implikasi jangka panjang bagi sektor riil dan dampaknya masih
tersisa hingga sekarang. Krisis ekonomi yang disertai dengan PHK besar-besaran
telah meningkatkan jumlah pelaku sektor informal (termasuk PKL) di Indonesia.
Upaya pemulihan krisis ekonomi telah membawa hasil yang cukup signifikan bagi
pertumbuhan ekonomi. Krisis tersebut memberi pelajaran penting bagi Indonesia
akan pentingnya stabilitas ekonomi sehingga krisis global tahun 2008 tidak terlalu
berimbas pada perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada
2009 dii Bogor mencapai 6,02 %, meningkat dibanding tahun sebelumnya 5,98 %.
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis (0,16) akan menjadi kekuatan lain dalam
pengelolaan PKL.
Keberadaan PKL yang menjadi alternatif pekerjaan bagi mereka yang tidak
terserap sektor formal dapat mengurangi masalah sosial (0,12). PKL memiliki
aspek sosial yang bagus yaitu adanya hubungan baik antara PKL dengan warga
setempat dalam merespon kegiatan kemasyarakatan (keagamaan maupun
nasional). Kondisi ini harus selalu dijaga dan dipelihara agar menjadi kekuatan
dalam mengelola PKL. Mitullah (2003) menemukan bahwa PKL memberikan
peluang yang dapat meminimalkan dampak sosial. Slack (2005) menemukan
bahwa jejaring dan norma sosial timbal-balik berperan penting dalam
memfasilitasi ekonomi informal.
219
Kemudahan sistem registrasi (0,08) sangat diperlukan dalam mengelola PKL.
Perda No. 13 Tahun 2005 telah mengatur tata cara sistem registrasi seperti
mengatur mekanisme perizinan dan persyaratan permohonan izin menjadi PKL.
Kemudahan sistem registrasi akan membuat pelaku PKL secara sukarela
mendaftar ke Disperindagkop.
b. Kelemahan (Weakness)
Beberapa kelemahan yang diidentifiksikan terkait dengan pengelolaan PKL di
kota Bogor mencakup pertumbuhan angka pengangguran, perilaku free rider
PKL, sektor informal inferior dibandingkan sektor lain, keinginan menggunakan
lahan secara permanen, pertumbuhan ekonomi yang rendah, sektor “abu-abu”
lahan korupsi, ketidakberpihakan dinas/institusi terkait, kemacetan dan
kekumuhan wajah kota, dan perbedaan persepsi aktor. Hasil perhitungan bobot
(VP) terhadap faktor-faktor kelemahan disajikan pada Tabel 128.
Tabel 128. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Internal Kelemahan
Kelemahan VE VP VA VB λ-max CI RI CR
Pertumbuhan angka pengangguran
0,99 0,11 1,07 9,86 9.86 0.11 1.40 0.08
Perilaku free rider dari PKL
1,10 0,12 1,29 10,70
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
1,20 0,13 1,51 11,40
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
0,80 0,09 0,72 8,19
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
0,95 0,10 0,96 9,18
sektor abu-abu lahan korupsi
1,11 0,12 1,36 11,12
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
1,01 0,11 1,07 9,69
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
0,77 0,08 0,62 7,35
Perbedaan persepsi aktor
1,17 0,13 1,45 11,27
Total 9,10 1,00 88,75 Sumber : Data primer, 2011 (diolah), n= 8 responden
220
Keterangan : CR = Konsistensi rasio, CR < 0,1 menunjukkan konsistensi yang baik, CR > 0.1 menunjukkan data perlu direvisi VE = Perkalian baris VP = Vektor prioritas atau vektor Eigen. VA = Vektor antara VB = Vektor baris λmax
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain (0,13). Keberadaan PKL
khususnya di perkotaan dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah setempat
karena mereka menjalankan aktivitas usaha bukan pada tempat dan menyebabkan
kesemerawutan, kemacetan, yang merupakan salah satu problematika
pembangunan kota maupun modernisasi kota, padahal salah satu image dari suatu
kota yang baik adalah tertib dan nyaman bagi masyarakat kota itu. PKL juga
dianggap merupakan salah satu penyakit kota yang harus bisa disembuhkan oleh
kebijakan / Perda yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh wakil
rakyat (anggota DPRD) tanpa mendengar serta memperhatikaan keinginan atau
= Nilai Eigen maksimum CI = Indeks konsistensi CR = Rasio Konsistensi
Pertumbuhan angka pengangguran (0,11) dapat menjadi ancaman dalam
pengelolaan PKL di kota Bogor. Dengan meningkatnya angka pengangguran,
masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja akan mencari sumber-sumber
pekerjaan alternatif dan usaha sebagai PKL prospektif untuk dimasuki karena
kemudahannya untuk entry. PKL membutuhkan modal, skill, dan pengetahuan
yang relatif rendah dan dapat dimasuki semua jenjang pendidikan.
Akintoye (2008) dalam studi mengenai sektor informal di Nigeria
menemukan bahwa sektor informal sebagai media dalam menurunkan
pengangguran di Nigeria. Mitullah (2003) menemukan bahwa PKL penting
sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja.
Kelemahan lain adalah perilaku free rider PKL sendiri (0,12). Perilaku free
rider adalah pelaku PKL yang memanfaatkan fasilitas publik tanpa kepedulian
terhadap lingkungan sekitar seperti kebersihan, keindahan, dan ketertiban.
Sebagian PKL bahkan membangun bangunan semi dan permanen di tempat
tersebut dan merasa memiliki sehingga melakukan perlawanan bila ditertibkan .
Sebagian mereka juga memanfaatkan usaha PKL untuk menghindari pajak,
menjual barang-barang hasil pencurian, dan sebagainya.
221
kebutuhan dari PKL dan masyarkatnya. Pemerintah kota harus menyadari bahwa
tidak mungkin PKL dapat hidup tanpa adanya konsumen sehingga dalam
pembuatan kebijakan tentang PKl terlebih dulu pemerintah harus melihat,
mencermati dan mengkaji lebih dalam dari berbagai aspek (Ekonomi, Sosial dan
Politik) yang melatarbelakanginya.
Banyak PKL yang memiliki keinginan menggunakan lahan secara permanen
(0,09). Di beberapa lokasi publik (lapangan Sempur, Papandayan, Gunung Gede)
PKL membangun lahan semi permanen untuk aktivitas usaha, bahkan sebagai
tempat tinggal. Kondisi tersebut akan mengancam pengelolaan PKL karena tidak
jarang terjadi bentrok fisik antara Satpol PP dengan PKL ketika dilakukan
penertiban dan pembongkaran.
Gambar 18. Pembongkaran Kios PKL Semi Permanen di Pomad oleh Satpol PP
Sumber : BogorNews.com (2011)
Pertumbuhan ekonomi rendah juga mengancam pengelolaan PKL.
Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) laju pertumbuhan ekonomi kota
Bogor tahun 2009 berada pada kisaran 6,02 %, lebih baik dari tahun 2008 yang
mencapai 5,98 %. Pertumbuhan ekonomi kota Bogor juga tergambar dari
pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku tahun 2009 yang
mencapai Rp 12,294 triliyun. Peningkatan makro pembangunan tergambar dari
total investasi tahun 2009 yang mencapai Rp 869,51 miliar, naik sebesar Rp 1,09
miliar dari tahun 2008 yang mencapai Rp 868,42 miliar. Inflasi berhasil ditekan
pada tingkat 6 % dibandingkan tahun 2008 sebesar 14,20 %.
Dari gambaran di atas, perekonomian kota Bogor mengalami pertumbuhan,
namun belum mampu menekan angka pengangguran.
222
Dengan dikeluarkannya Perda No. 13 Tahun 2005, maka sejak 30 September
2009 legalitas PKL di Kota Bogor sudah dicabut. Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bogor tak lagi memungut retribusi
PKL sehingga kontribusi mereka untuk PAD adalah nihil. Berdasarkan
pengakuan para PKL, mereka dikenakan setoran Rp 2.000,- sampai Rp 3.000,-
setiap hari, tetapi mereka tak tahu penggunaan dana tersebut. Ini menunjukkan
bahwa pada sektor PKL terdapat sektor abu-abu lahan korupsi bagi oknum-oknum
tertentu. Kondisi ini akan melemahkan upaya pengelolaan PKL, karena oknum-
oknum tersebut tentu tidak mau kehilangan lahan.
Ketidak berpihakan dinas atau institusi terkait (0,11) juga menjadi kelemahan
dalam upaya pengelolaan PKL di kota Bogor. Berbagai institusi terlibat dalam
pengelolaan PKL. Dalam prakteknya, pengelolaan lebih diterjemahkan sebagai
penggusuran tanpa solusi bagi PKL. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi Kota Bogor tidak pernah melakukan upaya pembinaan PKL yang telah
digusur atau ditertibkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa PKL menyebabkan kemacetan dan kekumuhan
wajah kota (0,08) meski tidak sepenuhnya demikian. Keberadaaan angkutan
umum dan kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan juga turut menjadi
penyebab kemacetan. Persepsi terhadap penyebab kemacetan dan kekumuhan
kota adalah kelemahan dalam mengelola PKL. PKL cenderung ditindak represif
tanpa memperhatikan hak-hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dari sisi aktor yang terlibat dalam masalah PKL, perbedaan persepsi aktor
(0,13) dapat menjadi sumber kelemahan dalam pengelolaannya. Pemerintah Kota
berpersepsi bahwa PKL perlu ditertibkan karena menempati ruang publik.
DLLAJ memandang bahwa PKL menyebabkan kemacetan. Toko-toko formal
memandang PKL menyebabkan berkurangnya pendapatan dan menjadi pesaing
usaha. LSM memandang PKL sebagai sumber mata pencaharian bagi rakyat kecil
sehingga perlu diperlakukan manusiawi. Oknum-oknum pelaku pungli
memandang PKL sebagai ”sumber basah” untuk korupsi, dan sebagainya.
Perbedaan pandangan ini akan menyebabkan benturan-benturan kepentingan
dalam pengelolaan PKL sehingga akan memperlemah upaya pengelolaan PKL di
kota Bogor.
223
Selanjutnya, identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal ini digunakan
untuk merumuskan strategi penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor
dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan cara sistematis
untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal dan internal dan merumuskan
strategi yang menggambarkan kecocokan yang paling baik di antara faktor-faktor
tersebut. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif
akan memaksimalkan kekuatan dan peluang yang ada serta meminimalkan
kelemahan dan ancaman yang dimiliki. Bila diterapkan secara akurat, asumsi ini
mempunyai dampak yang sangat besar bagi keberhasilan rancangan suatu strategi
(Pearce & Robinson, 1997).
8.2. Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL
Perumusan strategi penataan dan pemberdayaan PKL menggunakan beberapa
asumsi karena kompleknya permasalahan PKL. Beberapa Asumsi atau batasan
dalam perumusan strategi ini adalah :
PKL :
- Berusaha memperoleh keuntungan maksimal.
- Berusaha meminimalkan biaya.
- Bersedia untuk ditata dan diberdayakan.
Masyarakat dan konsumen :
- Memaksimalkan kepuasan.
- Meminimalkan pengeluaran.
Pemerintah Kota Bogor :
- Memaksimalkan manfaat bagi masyarakat banyak.
- Meminimalkan pengorbanan dan biaya.
- Dalam setiap kebijakan lebih mengedepankan/ berpihak pada kepentingan
masyarakat banyak (pro rakyat banyak) dari pada pemilik modal
(kapitalis).
- Memiliki komitmen kuat dalam melaksanakan strategi yang diusulkan.
Strategi penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor dirumuskan dengan
mengindentifikasi faktor internal dan eksternal, kemudian merumuskannya
menjadi strategi menggunakan matrik SWOT. Hasil perumusan strategi
menggunakan matrik SWOT disajikan pada Tabel 129.
224
Tabel 129. Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Bogor
INTERNAL EKSTERNAL
Kekuatan (Strength) : 1. Penciptaan lapang
kerja baru (0,17) 2. Kebijakan dan
komitmen Pemda (0,16)
3. Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global (0,16)
4. Stabilitas nilai mata uang (0,12)
5. Mengurangi masalah sosial (0,12)
6. Perkembangan sistem teknologi dan informasi (0,11)
7. Tersedianya pasar (0,10)
8. Kemudahan sistem registrasi (0,08)
Kelemahan (Weakness) : 1. PKL inferior
dibandingkan sektor lain (0,13)
2. Perbedaan persepsi aktor(0,13)
3. Perilaku free rider dari PKL (0,12)
4. sektor abu-abu lahan korupsi (0,12)
5. Pertumbuhan angka pengangguran (0,11)
6. Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait (0,11)
7. Pertumbuhan ekonomi yang rendah (0,10)
8. Keinginan menggunakan lahan permanen (0,09)
9. Kemacetan dan kekumuhan wajah kota (0,08)
Peluang (Opportunity) : 1. Keberadaan Perda tentang
PKL (0,29) 2. Kontribusi PKL pada PAD
(0,24) 3. Kontribusi terhadap
pengentasan kemiskinan (0,22) 4. Ketersediaan SDM (0,12) 5. Ketersediaan barang dan jasa
dengan harga terjangkau (0,07) 6. Ketersediaan lembaga
keuangan mikro (0,06)
Strategi S – O : • Penundaan penggusuran
& dialog dengan pemda (S1,2,7,8 : O1,2,3,5)
• Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL (S1,2,3,4,5,7: O2,3,6)
• Konsolidasi Program pemodalan dan perkreditan (S1, 2,3,7 : O2,3,6)
Strategi W – O : • Penataan lokasi PKL
(W5,8, 9 : O1,2,4,5) • Pembatasan jumlah
pedagang dalam satu lokasi (W1,2,3,4,6, 8,9 : O1,2,3)
• Perubahan Persepsi terhadap PKL (W1,2,6 : O1,2,3,4)
• Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu (W1,2, 8,9 : O1,2,3,4)
Ancaman (Threat) : 1. Terbatasnya kesempatan kerja
lain yang lebih baik (0,14) 2. Kurangnya alokasi tempat
untuk relokasi PKL (0,14) 3. Lemahnya penegakan hukum
(0,13) 4. Kebijakan Tata ruang kurang
konsisten (0,12) 5. Lemahnya kerjasama lintas
badan/institusi (0,11) 6. Kebijakan intervensi pemda
yang tidak konsisten (0,11) 7. Terbatasnya dana operasional
(0,09) 8. Belum adanya registrasi pelaku
PKL (0,08) 9. Lemahnya posisi politis PKL
(0,07)
Strategi S – T : • Pelatihan-pelatihan
ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain-lain (S1,2,3,5,6,7 : T1,2,3,4,6)
• Registrasi dan pembuatan database PKL (S1,2,3,4,5,6,7,8 :T2,4, 8, 9)
• Penguatan kelembagaan PKL (S1,2, 5 : T6, 7,8,9)
Strategi W – T : • Penguatan sektor riil
(W5,7 : T1, 2,7) • Menyatukan persepsi
dalam pengelolaan PKL (W1,2,6,7, 8, 9 : T4,5,6)
• Pembangunan pasar sentra kaki lima (W1, 3, 4, 6, 8,9 : T1,2,3,4)
• Mensyaratkan setiap pengelola gedung/ pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL (W1,3,4,5,7,8,9 : T1,2,4,6)
225
Dari hasil analisis SWOT pada Tabel 125, dirumuskan empat strategi kunci
untuk penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor. Pearce dan Robinson
(1997) dan Hunger & Thomas (2003) menyatakan bahwa dalam matrik SWOT
terdapat empat strategi utama yaitu strategi agresif (S-O) yang berorientasi pada
pertumbuhan, strategi diversifikasi (S-T), strategi berbenah diri (W-O), dan
strategi defensif (W-T).
Strategi agresif menunjukkan situasi yang paling disukai suatu organisasi.
Organisasi memiliki banyak peluang lingkungan dan banyak kekuatan yang
mendorong dimanfaatkannya peluang tersebut. Situasi ini menyarankan strategi
yang berorientasi pada pertumbuhan (growth oriented strategy) untuk
memanfaatkan situasi yang menguntungkan ini. Dalam matrik SWOT di atas
strategi agresif yang berhasil dirumuskan adalah penundaan penggusuran &
dialog dengan Pemda (S1,2,7,8 : O1,2,3,5), pemberdayaan ekonomi pelaku PKL
(S1,2,3,4,5,7: O2,3,6), dan konsolidasi program pemodalan dan perkreditan (S1,2,3,7 :
O2,3,6).
Strategi diversifikasi adalah kondisi organisasi dengan kekuatan-kekuatan
tertentu menghadapi lingkungan yang tidak menguntungkan (ancaman). Dalam
situasi ini strateginya akan memanfaatkan kekuatan yang ada untuk
meminimalkan ancaman. Dalam matrik SWOT di atas strategi diversifikasi yang
dirumuskan adalah pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan
lain-lain (S1,2,3,5,6,7 : T1,2,3,4,6), registrasi dan pembuatan database PKL (S1,2,6,8 :
T2,3,4,8,9), dan penguatan kelembagaan PKL (S1,2,5 : T6,7, 8,9).
Strategi berbenah diri adalah kondisi dimana organisasi menghadapi peluang
yang impresif tetapi terkendala oleh kelemahan-kelemahan internal sehingga
fokus strateginya adalah menjadikan kendala internal untuk mengefektifkan
peluang yang ada. Strategi berbenah diri yang dirumuskan dalam analisis SWOT
di atas mencakup penataan lokasi PKL (W5,8,9 : O1,2,4,5), pembatasan jumlah
pedagang dalam satu lokasi (W3,4,8,9 : O1,2,3,4,5), perubahan persepsi terhadap PKL
(W1,2,6 : O1,2,3,4) dan pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan
terpadu (W1,2,8,9 : O1,2,3,4).
226
Terakhir, strategi defensif adalah kondisi yang paling tidak disukai suatu
organisasi. Organisasi menghadapi ancaman lingkungan yang besar dan
kelemahan internal yang kritis sehingga fokus strateginya adalah dengan
meminimalkan kelemahan dalam menghadapi ancaman lingkungan. Strategi
defensif yang dirumuskan dari analisis SWOT di atas adalah penguatan sektor riil
(W5,7 : T1,2,7), menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL (W1,2,6,7, 8,9 : T4,5,6),
pembangunan pasar sentra kaki lima (W1,3,4,6,8,9 : T1,2,3,4,6,7), dan mensyaratkan
setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi
tertentu bagi PKL (W1,3,4,5,7,8,9 : T1,2,4,6
Alternatif Strategi
).
Strategi-strategi yang dirumuskan di atas perlu diprioritaskan dalam konteks
kepentingan relatifnya. Banyak cara dilakukan dalam memprioritaskan strategi
seperti penilaian subyektif (judgement) dari peneliti, focos group discussion
(FGD) yang melibatkan banyak aktor dalam penetapan prioritas, atau penggunaan
matriks QSPM (Quantitive Strategic Planning Matrix). Dalam penelitian ini,
prioritasi strategi menggunakan matrik QSPM dengan menjumlahkan nilai total
dari penggabungan faktor penentu internal dan eksternal pada matrisk SWOT.
Hasil penyusunan prioritas alternatif strategi untuk penataan dan pemberdayaan
PKL di kota Bogor disajikan pada Tabel 130.
Tabel 130. Prioritas Alternatif Strategi untuk Penataan dan Pemberdayaan PKL di kota Bogor
Nilai Prioritas
• Registrasi dan pembuatan database PKL (S1,2,3,4,5,6,7,8 :T2,4, 8, 9)
0,59 1
• Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL (S1,2,3,4,5,7: O2,3,6)
0,31 2
• Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL (W1,2,6,7, 8, 9 : T4,5,6) 0,30 3 • Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda
(S1,2,3,4,5,6,7,8 : O1,2,3) 0,27 4
• Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi (W1,2,3, 4, 6, 8,9 : O1, 2, 3)
0,24 5
• Mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL (W1,3,4,5,7,8,9 : T1,2,4,6)
0,24 6
• Penataan lokasi PKL (W5,8, 9 : O1, 2, 4, 5)
0,18 7
• Pembangunan pasar sentra kaki lima W1, 3, 4, 6, 8,9 : T1,2,3,4)
0,13 8
• Perubahan Persepsi terhadap PKL (W1,2,6 : O1, 2,3,4)
0,10 9
227
Alternatif Strategi Nilai Prioritas
• Konsolidasi Program pemodalan dan perkreditan (S1, 2, 3, 7 : O2, 3,6)
0,07 10
• Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu (W1, 2, 8,9 : O1,2,3,4)
-0,44 11
• Pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain-lain
(S1,2,3,5,6,7 : T1,2,3,4,6)
-0,53 12
• Penguatan kelembagaan PKL (S1,2, 5 : T6, 7, 8,9)
-0,44 13
• Penguatan sektor riil (W5,7 : T1, 2,7)
-0,16 14
Agar upaya penataan dan pemberdayaan PKL di kota Bogor lebih terfokus
maka strategi yang telah disusun menggunakan matrik SWOT dibagi menjadi
strategi prioritas dan strategi alternatif. Sebanyak 7 strategi dengan nilai tertinggi
ditetapkan sebagai strategi prioritas dan sebanyak 7 strategi ditetapkan sebagai
strategi alternatif
8.2.1 Strategi Prioritas
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu memperoleh strategi penataan dan
pemberdayaan PKL di Kota Bogor sehingga peneliti membatasi pembahasan
hanya sampai pada strategi. Peneliti tidak membahas mendalam sampai dengan
tehnis pelaksanaan., karena untuk keperluan tersebut penulis menganggap masih
perlu adanyaa penelitian lanjutan.
Untuk menentukan strategi prioritas ini peneliti mendasarkan kepada hasil analisis
ASWOT yang pembobotan untuk masing-masing strategi tidak dilakukan secara
kualitatip oleh peneliti tetapi atas dasar pilihan para responden dengan
menggunakan metode perbandingan berpasangan yang selanjutnya diolah dengan
menggunaakaan matrix QSPM..
Hasil pembobotan menggunakan matrik QSPM menunjukkan bahwa terdapat
tujuh strategi yang dapat dijadikan strategi prioritas dalam pengelolaan dan
pemberdayaan PKL yaitu : Registrasi dan pembuatan database PKL,
Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, Menyatukan persepsi dalam pengelolaan
PKL, Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, Pembatasan jumlah
228
pedagang dalam satu lokasi, Mensyaratkan setiap pengelola
gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL,
dan Penataan lokasi PKL.
Mengingat bahwa masing-masing strategi ini merupakan seperangkat
formulasi yang komprehensif, sehingga dalam implementasinya strategi-strategi
ini tidak dilakukan satu persatu atau tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus
bersamaan agar dapat memperoleh hasil yang optimal.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan masing-masing strategi tersebut
Strategi registrasi dan pembuatan database PKL.
Strategi ini layak mendapatkan prioritas utama karena registrasi dan database
yang ada saat ini belum seperti yang diharapkan. Keputusan Walikota Bogor No.
511.23.45.23 tahun 2007 tentang penunjukan Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Bogor untuk menandatangani penggunaan ijin lokasi
pembinaan dan penataan usaha PKL. Disperindag mencatat hanya sebanyak 267
PKL yang teregistrasi sampai 29 Juli 2008, sementara database PKL yang ada di
Disperindag adalah data tahun 2005 yang tentunya telah mengalami perubahan
signifikan. Database tersebut masih berbentuk hardcopy dan belum dibuatkan
softcopy-nya. Untuk dapat menata dan memberdayakan PKL diperlukan data
dasar yang valid yang merupakan hasil survei komprehensif dan selalu di-update
setiap tahun.
Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa program sebagai berikut :
1. Sosialisasi syarat-syarat registrasi sesuai Perda No. 13 Tahun 2005.
2. Melakukan sistem jemput bola dengan mendatangi PKL untuk melakukan
registrasi agar mendapatkan ijin sebagai PKL sambil melakukan survei PKL
secara komprehensif.
3. PKL yang sudah diregistrasi diwajibkan memasang foto dan Surat Ijin Usaha
di tempat usahanya. Bila tidak, maka dianggap sebagai PKL ilegal.
4. Membuat hardcopy dan softcopy hasil survei PKL. Untuk selanjutnya
dilakukan update per tahun untuk mendapatkan data yang valid mengenai
jumlah PKL, khususnya PKL yang masuk dan keluar.
5. Registrasi PKL juga perlu memasukkan mereka sebagai wajib pajak melalui
pembuatan NPWP.
229
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah didapatkan data PKL yang up
to date sehingga pergerakan PKL selalu dapat diamati dan dikontrol. Dengan
memasukkan mereka sebagai wajib pajak, PKL akan mampu memberikan
kontribusi positif bagi pembangunan kota Bogor. Dari sisi kebijakan, Henley et
al, (2009) menyarankan pengambil kebijakan harus jelas mengenai sub-group
dalam sektor informal untuk mendesain kebijakan yang tepat.
Strategi pemberdayaan ekonomi pelaku PKL.
Dengan adanya database PKL maka dapat disusun strategi pemberdayaan
ekonomi PKL, dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada pelaku PKL
terkait masalah usaha seperti pelatihan pembukuan, manajemen, pasar, dan
investasi. Tabel 82 menunjukkan bahwa PKL lemah dalam hal pembukuan
sehingga diperlukan pelatihan pembukuan agar akuntansi keuangan usahanya
lebih baik. Mitullah (2002) menemukan bahwa PKL menghadapi masalah pasar
dan investasi sehingga diperlukan pelatihan pemasaran dan investasi.
Akharuzama (2010) menemukan bahwa PKL menjalankan usaha secara temporer
tanpa sistem manajemen berkelanjutan sehingga diperlukan pelatihan manajemen
usaha. Walsh (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL lemah dalam konsep
marketing atau nilai tambah produk sehingga diperlukan pelatihan pemasaran dan
nilai tambah produk.
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah pelaku PKL yang sudah
teregistrasi semakin kuat dari sisi kewirausahaan sehingga mereka mampu
menjalankan usahanya secara lebih efektif dan efisien. Melalui pemberdayaan
ekonomi, ada harapan bahwa dengan berkembangnya usaha, pelaku PKL akan
bertransformasi dari informal menjadi formal, misalnya mereka mampu menyewa
kios resmi di dinas-dinas pasar. Gonec and Tanrivermis (2007) menemukan
bahwa transformasi struktur informal menjadi formal dapat dilakukan dengan
memfasilitasi integrasi usaha dengan pasar.
Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL.
Prioritas strategi berikutnya adalah menyatukan persepsi dalam pengelolaan
PKL. Strategi ini menjadi prioritas mengingat banyaknya stakeholder yang
berhubungan langsung dengan penataan dan pemberdayaan PKL. Para
stakeholder harus duduk bersama dengan pelaku PKL (atau wakilnya) sehingga
230
ditemukan kesamaan persepsi dalam mengelola PKL. Nitisudarmo (2009)
menyarankan perlunya kerjasama antar stakeholder termasuk Pemkot, LSM,
universitas, komunitas PKL dan pemimpin lokal. Akintoye (2008) menyarankan
bahwa pemerintah dan semua stakeholder yang relevan harus berusaha
menurunkan pengangguran dengan memberikan dukungan keberadaan sektor
informal.
Dalam penyatuan persepsi terhadap penataan dan pemberdayaan PKL, perlu
dipikirkan langkah yang lebih berani. Pemerintah kota Bogor perlu
merestrukturisasi lembaga/dinas yang selama ini mengkoordinasikan pengelolaan
PKL. Penataan kelembagaan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1)
menyederhanakan dan mengkonsolidasikan badan atau institusi yang mengurusi
kegiatan fasilitasi PKL, (2) membentuk komite yang berfungsi sebagai think tank
untuk tugas-tugas policy formulation, yang wewenang keputusan akhimya berada
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan (3) merevisi peraturan daerah PKL
yang benar-benar serius menangani sektor informal di level lokal.
Strategi ini diharapkan menghasilkan upaya yang lebih fokus dalam penataan
dan pemberdayaan PKL, menghindari pemborosan dana dan duplikasi program.
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi lebih difungsikan sebagai
pelaksana kebijakan (bukan sekedar koordinasi) dengan fokus pada penataan dan
pemberdayaan PKL.
Penundaan penggusuran & dialog dengan Pemda.
Strategi ini perlu dilakukan karena pemerintah belum mampu menurunkan
angka pengangguran dan menciptakan lapangan kerja yang mencukupi.
Akaruzama (2009) menyatakan bahwa penggusuran dan kekerasan dalam
pengelolaan PKL. tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan menciptakan
pengangguran-pengangguran baru karena hilangnya pekerjaan di sektor formal.
Greenidge et al, (2009) menyarankan untuk tidak menghilangkan sektor informal
(melalui penggusuran atau penertiban), tetapi perlahan-lahan memformalkannya.
Rahmawati (2007) menemukan bahwa PKL kembali ke lokasi yang sama
beberapa saat setelah penggusuran dan penertiban. Ini menunjukkan bahwa
penggusuran hanya efektif sementara waktu, namun tidak efektif jika digunakan
sebagai program jangka panjang. Hasil ini sesuai dengan Takim (2011) yang
231
menemukan bahwa kebijakan jangka pendek bukanlah penyelesaian permanen
untuk ekonomi informal. Semua hasil penelitian tersebut menjustifikasi perlunya
penundaan penggusuran dan dialog antara Pemerintah Kota dan PKL.
Melalui dialog diharapkan tercipta penyelesaian yang memberikan manfaat
bagi semua pihakyang berkepentingan. Penyelesaian ini akan dapat
mengakomodasi kepentingan Pemerintah Kota Bogor dan kepentingan PKL.
Konsensus yang dicapai harus dihormati bersama dan secara konsekuen
dijalankan sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Patut
kiranya keberhasilan Pemda Solo dalam merelokasi PKl dijadikan pembelajaran,
dimana sebelumnya Walikota Solo telah melakukan puluhan kali dialog dengan
PKL kota Solo. Pelaksaanaan dialog inipun diperlukan sejak sebelum pendataan
dilakukan agar dapat dicegah kemungkinan salah pengertian dari PKl dan fihak-
fihak terkait yang dapat merugikan semua fihak.
Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi.
PKL merupakan aktivitas yang dapat mengurangi pengangguran dan
terbatasnya lapangan kerja di sektor formal. Akan tetapi jika pertumbuhannya
melebihi daya tampung kota, akan berdampak buruk juga bagi perkembangan
perkotaan. Schneider (2002) menemukan bahwa besaran ekonomi informal di
sebagian besar negara transisi dan OECD cenderung meningkat selama dekade
terakhir. Greenidge et al, (2009) menemukan bahwa sektor informal cukup besar
dan tumbuh sepertiga dari besaran ekonomi formal.
Pertumbuhan sektor informal, khususnya PKL, perlu dicermati dan dikontrol.
Kontrol dilakukan terkait dengan beberapa hasil penelitian. Widodo (2006)
menemukan bahwa kontribusi positif sektor informal mempunyai batas tertentu.
Jika batas itu sudah terlewati maka kontribusinya akan menurun. Nitisudarmo
(2009) menyimpulkan bahwa penempatan PKL di pedestrian tidak sesuai dengan
konsep place for people dan PKL yang beroperasi di ruang publik tidak
mendukung dan memotivasi pembangunan landskap urban yang berimbang dalam
hal elemen alami lingkungan urban. Takim (2011) menyatakan bahwa untuk
mengontrol ekonomi informal, terlebih dahulu harus dibangun kebijakan yang
mengarah kepada penurunan volume ekonomi informal sampai pada level
minimum yang dapat diterima.
232
Strategi pembatasan jumlah PKL dalam satu lokasi dapat dikaitkan dengan
strategi prioritas pertama yaitu registrasi dan pembuatan database PKL.
Tersedianya database PKL pada lokasi tertentu membuat jumlah PKL dapat
dikelola dan dipantau. Selain itu, perlu dilakukan kajian tentang daya tampung
suatu lokasi sehingga jumlah PKL tidak melebihi ambang batas yang berdampak
negatif bagi perkembangan perkotaan. Registrasi tidak akan dikeluarkan lagi jika
jumlah PKL sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan.
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah pemerintah kota akan
mendapatkan kontribusi positif dari keberadaan PKL, untuk Pendapatan Asli
Daerah. Di sisi lain, dampak negatif seperti kemacetan, kekumuhan, dan
kesremawutan dapat dihindari. PKL akan lebih nyaman berusaha, kompetisi
berlebihan tidak terjadi, dan tingkat profit dapat terjaga.
Mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk
menyediakan lokasi tertentu bagi PKL.
Harus ada keberanian Pemkot untuk mensyaratkan setiap pengelola
gedung/ruko memberikan ruang bagi PKL. Alternatif strategi ini akan
memberikan tiga keuntungan, yaitu: PKL tetap dapat menjalankan usaha, ruang
publik yang digunakan PKL akan berkurang, dan masalah utama kemacetan
dapat diturunkan.
Strategi ini diperlukan bukan saja untuk menampung konsumen dari luar,
tetapi terutama adalah untuk menampung kebutuhan atau permintaan dari pegawai
atau penduduk dari lokasi itu sendiri. Sebagai contoh di depan garment di jalan
Sudirman yang menjadi macet pada saat-saat waktu istirahat dan waktu pulang
pegawainya. Demikian pula disekitar lokasi Botanic Square di Baranang Siang
tumbuh PKL kuliner yang kebanyakan adalah menampung permintaan dari
karyawan pertokoan serta hotel di Botanic Square sendiri, hal ini dikarenakan
tidak mungkin para karyawan tersebut setiap makan atau berbelanja di restauran
atau di toko yang ada di Botanic Square sendiri. Dengan demikian terjadi
simbiosis mutualistis antara sektor informal (PKL) dengan sektor formal.
Patut dicontoh penampungan pedagang kecil yang ada di dalam kampus IPB
Dramaga dan Universitas Ibn Khaldun Bogor.
233
Penataan lokasi PKL.
Strategi ini dicapai dengan penetapan kawasan-kawasan khusus yang
diperbolehkan untuk aktivitas PKL. Berdasarkan Keputusan Walikota Bogor No.
511.23.45.146 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 telah ditetapkan daftar lokasi
pembinaan dan penataan usaha PKL, namun belum mencantumkan jumlah PKL
maksimal yang diperbolehkan di kawasan tersebut. Konsistensi pelaksanaan
strategi ini sangat diperlukan sehingga ada kepastian bahwa apa yang sudah
diputuskan benar-benar dijalankan.
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam keputusan Walikota Bogor di atas,
masih menceminkan lokasi yang umum terjadi untuk sebuah lokasi PKL, yaitu
kumuh, kotor becek dan semrawut. Dengan demikian penetapan lokasi tersebut
perlu ditindak lanjuti dengan penataan ruang dan infrastrukturnya. Disamping itu
perlu di bentuk suatu entitas sendiri yang dapat mengelola masing-masing lokasi
tersebut dan dapat mereduksi penambahan PKL yang terus menerus (Over
capacity). Hal sama untuk lokasi-lokasi yang tidak termasuk dalam Keputusan
Walikota di atas, namun di bawah kapasitas, dan masih bisa ditolerir keberadaan
PKL perlu dilakukan penataan ruang dan infrastrukturnya.
Sedangkan untuk lokasi yang sudah tidak bisa ditolelir lagi maka tidak ada
jalan lain harus di relokasi , apakah ketempat yang sudah ada atau ke tempat yang
baru. Strategi ini akan terlaksana dengan baik apabila pemda sudah punya data
PKL serta melakukan dialog yang intensif.
8.2.2 Alternatif Strategi Lainnya
Selain strategi yang telah diuraikan di atas, terdapat strategi-strategi lain
sebagai alternatif, yaitu :
Pembangunan pasar sentra kaki lima.
Strategi ini dihadapkan pada kendala terbatasnya alokasi lahan untuk PKL di
kota Bogor. Alternatif strategi ini dapat dicapai apabila Pemkot Bogor
mengalokasikan dana khusus untuk pembelian lokasi pembangunan pasar sentra
kaki lima. Lokasi yang potensial adalah eks gedung Muria atau eks Gedung Film
Merdeka.
Strategi ini harus disertai dengan relokasi ke tempat tersebut dengan
mekanisme yang berpihak pada PKL. Mekanisme tersebut dapat berupa
234
penyediaan angkutan gratis (seperti yang dilakukan di Solo, Jawa Tengah),
kepastian PKL mendapatkan lapak, bantuan dana untuk memulai usaha di tempat
baru, dan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung usaha PKL (seperti
yang dilakukan di Blitar).
Konsolidasi program pemodalan dan perkreditan.
Strategi ini adalah peran yang harus dimainkan secara intensif oleh
Pemerintah Kota Bogor. Pemikiran yang mendasarinya adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam melakukan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, terdapat tiga
pelaku ekonomi yaitu masyarakat, pemerintah, sektor swasta atau privat.
Ketiganya harus dapat bekerja sama, saling membagi fungsi. Fungsi pemerintah
adalah menfasilitasi kegiatan usaha kerakyatan. Kedua, rendahnya akses PKL
pada kredit perbankan atau lembaga finansial disebabkan oleh faktor internal
perbankan, internal PKL, dan regulasi yang menyebabkan derajat keleluasaan
perbankan dalam menyalurkan kredit kepada PKL tidak begitu besar. Ketiga,
meskipun dalam beberapa media massa sering diungkapkan bahwa usaha mikro
akan menjadi target perbankan, dalam kenyataan perbankan masih menganggap
usaha mikro mempunyai resiko yang tinggi. Keempat, aspek lain yang
menyebabkan tingginva resiko penyaluran kredit pada usaha mikro berkaitan
dengan regulasi Bank Indonesia. Perbankan hanya dapat menerima sertifikat tanah
dan bangunan sebagai bentuk agunan yang dapat menjadi pengurang PPAP
(Penghapusan Penyusutan Aktiva Produktif). Di sisi lain, sebagian besar usaha
mikro di Indonesia tidak merniliki agunan seperti yang dipersyaratkan oleh
regulasi Bank Indonesia. Perbankan lebih memilih menyimpan dalam bentuk
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Dari empat dasar pemikiran di atas jelas bahwa pemerintah mempunyai peran
signifikan dalam mengkoordinasikan program permodalan dan kredit bagi usaha
mikro, khususnya PKL. Untuk menjalankan strategi tersebut, beberapa program
yang dapat dilakukan adalah : (1) penyediaan informasi sumber-sumber
pembiayaan, (2) menjembatani akses ke sumber pembiayaan tersebut, (3)
menyediakan pendampingan (advisory role), baik dari segi penyusunan kelayakan
usaha, kewirausahaan, pemasaran maupun dari aspek teknis-manajerial, (4)
menjaga iklim eksternal yang kondusif untuk dunia usaha.
235
Pengendalian dan pengawasan berkesinambungan dan terpadu.
Konsistensi dalam pengendalian dan pengawasan terhadap aktivitas PKL
diperlukan agar aktivitas tersebut dapat ter-managable. Upaya ini dapat dilakukan
apabila ada keseriusan dari pihak-pihak terkait dalam mengelola PKL sehingga
tidak menjadikannya sebagai komoditas untuk kepentingan politis praktis dan
lahan korupsi melalui pungutan liar. Harus ada kejelasan tugas dan wewenang
setiap stakeholder dalam mengawasi PKL sehingga tidak ada tumpang-tindih
dalam pelaksanaannya. Takim (2011) menemukan bahwa kontrol yang efektif
berperan penting dalam menyelesaikan permasalahan klasik sektor informal.
Pelatihan-pelatihan ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan lain-lain.
Alternatif strategi ini akan membantu kelemahan PKL dalam permasalahan
ekonomi, hukum dan kesejahteraan sosial. Mehrotra and Mario (2002)
menemukan bahwa rendahnya level pendidikan dan masalah kesehatan pekerja
informal memerlukan intervensi publik yang dapat berupa pelatihanl-pelatihan
bagi sektor ini. Takim (2011) menemukan perlunya peningkatan kesadaran sosial
melalui pelatihan dalam mengekang sektor informal.
Penguatan kelembagaan PKL.
Alternatif strategi ini diperlukan terkait dengan lemahnya komunikasi antara
PKL dan otoritas urban. Mitullah (2002) menemukan bahwa komunikasi yang
lemah antara PKL, otoritas urban, dan asosiasi PKL menyebabkan perlunya
fasilitasi dalam berorganisasi. Pemerintah kota perlu memperkuat kelembagaan
PKL yang berfungsi bukan hanya mewakili kepentingan PKL tetapi juga menjadi
mitra kerja pemerintah kota dalam mengelola dan mengontrol PKL. Dengan
demikian asosiasi ini seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman yang
memperkuat posisi PKL tetapi sebagai partner dalam penataan dan pemberdayaan
PKL. Asosiasi PKL akan lebih baik bila sifatnya lokasional, bukan menurut
tipologi barang dagangan karena mereka akan dapat mewakili dan mengontrol
setiap lokasi PKL.
Apapun strategi yang dipilih oleh Pemerintah Kota Bogor dalam menata dan
memberdayakan PKL, harus ada persepsi pada pemerintah kota bahwa PKL dapat
236
berkontribusi signifikan dan positif dalam pembangunan kota Bogor apabila
mampu ditata dan diberdayakan secara manusia.
8.3. Usulan Penataan dan Relokasi PKL
Penataan dan relokasi PKL tidak dapat dipisahkan dari teori lokasi karena
berdimensi spasial. Usulan penataan dan relokasi PKL di kota Bogor dapat dibagi
menjadi usulan jangka pendek (mendesak dilaksanakan) dan usulan jangka
panjang.
Beberapa usulan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
- Penataan ulang Pasar Jambu Dua
Pasar sayur malam di Jalan Juanda, Jalan Surya kencana, Jalan Roda, dan
Jalan Otista seharusnya dikembalikan ke Pasar Jambu Dua, sesuai dengan
janji pemerintah, bahwa tidak akan ada pasar sayur malan di daerah sekitar
Pasar Bogor
- Pasar tumpah di Jalan Pedati seharusnya dikembalikan ke Pasar Bogor sesuai
janji pemerintah bahwa pasar tumpah di Jalan Pedati bersifat sementara.
Dengan demikian pengusaha di Jalan Pedati dan Lawang Saketeng kembali
hidup.
- Tata kembali pasar-pasar tradisional lama.
- Penataan ulang Pasar Yasmin.
- Penataan lokasi yang sudah sangat sulit untuk dihindari dengan
memperhatikan daya dukung spatial.
- Pembebasan lokasi-lokasi yang peruntukannya bukan untuk PKL sesuai Perda
untuk direlokasi ke tempat baru. Dalam hal ini, satu-satunya opsi yang
tersedia bagi PKL adalah pindah ke lokasi baru.
- Penataan lokasi yang berpotensi akan menjadi lahan keberadaan PKL di waktu
yang akan datang.
Usulan jangka panjang adalah penyediaan lokasi baru untuk sentra PKL.
Relokasi PKL adalah salah satu bentuk intervensi pembangunan perkotaan
(menciptakan ruang kota yang lebih nyaman dengan memindahkan sebagian PKL)
yang harus dilakukan oleh pemerintah kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor harus
merubah konsep dan strategi pembangunan yang bias kota dan mengedepankan
237
aglomerasi pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan. Friedman (1968)
berpendapat bahwa hanya pertumbuhan kota-kota kecil di kawasan peripheri
(hinterland) yang dapat menandingi kecenderungan aglomerasi yang berlebihan di
pusat-pusat kota.
Keterbatasan lahan di kota Bogor dikaitkan dengan rencana pembangunan
jangka panjang kota Bogor membuat pilihan lokasional untuk relokasi PKL
menjadi terbatas. Salah satu lokasi yang paling memungkinkan adalah relokasi ke
dekat rencana lokasi terminal baru di daerah tanah baru. Tanah adalah wilayah
periphey (hinterland) dari Kota Bogor yang berdekatan dengan lokasi pedesaan
baik wilayah Kabupaten maupun Kota. Usulan relokasi PKL ke jalan baru
diharapkan dapat menciptakan hubungan desa-kota yang lebih kuat atau
keterkaitan sinergis dalam arti dapat mendorong perkembangan secara berimbang
baik pedesaan maupun perkotaan.
Menurut Douglas (1998) keterkaitan desa-kota (rural-urban linkage)
setidaknya dapat dideskripsikan dalam lima bentuk keterkaitan atau aliran utama
yaitu : 1) Orang/penduduk; 2) Produksi; 3) Komoditas; 4) Modal dan informasi.
Keterkaitan penduduk/orang adalah berwujud aliran migrasi, dalam hal ini migrasi
tidak lagi terkonsentrasi ke pusat kota tetapi menyebar ke pinggiran. Aliran
produksi dan komoditas berujud aliran barang dalam sistem bisnis. Pemindahan
PKL ke lokasi baru ini akan mendekatkan aliran produksi pertanian dan home
industri dari desa ke kota dan sebaliknya. Aliran modal berlangsung karena
terjadi aliran yang meningkatkan nilai tambah dan juga melalui perputaran uang
di usaha PKL dan terakhir aliran informasi akan menjembatani informasi dari kota
ke desa dan sebaliknya.
Usulan relokasi PKL ke tanah baru ini juga tidak dapat dipisahkan dari
pertimbangan teori lokasi karena berdimensi spasial. Untuk merelokasi PKL ke
lokasi yang tepat dapat dikaji dari beberapa teori lokasi seperti yang dikemukakan
oleh von Thunen, Weber, Christaller dan Losch.
Teori Lokasi von Thunen. Von Thunen menggunakan model zona konsentris
yang didasarkan pada economic rent dimana setiap penggunaan lahan akan
menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda. Rustiadi et al, (2009)
menyatakan bahwa konsep land rent yang dikembangkan von Thunen untuk
238
aplikasi landuse perkotaan menghadapi sejumlah kendala karena : 1) Penggunaan
lahan perkotaan terbesar untuk sektor perumahan, bukan untuk aktivitas produksi;
2) Kota mempunyai struktur sangat kompleks, tidak hanya berdimensi horisontal
tetapi juga vertikal sehingga landuse perkotaan juga bercampur baur; dan 3)
Masih ada kota-kota besar yang mempunyai aksesibilitas tunggal terhadap pasar.
Oleh karenanya di kota tidak ditemukan pola konsentris yang rapi, tidak seperti di
lokasi pertanian. Dengan demikian pola konsentris von Thunen tidak dapat
diterapkan namun konsep land rent dapat diaplikasikan pada lokasi baru untuk
PKL dalam bentuk sewa lapak kepada pelaku PKL
Teori lokasi Alferd Weber. Untuk tujuan relokasi PKL, teori lokasi
industri yang dikemukan oleh Alfred Weber dapat digunakan. Weber
mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total
biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus
minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang
minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Konsep ini
dapat diaplikasikan dalam pemilihan lokasi untuk relokasi PKL yaitu penyediaan
lokasi dengan biaya transportasi termurah bagi pelaku PKL sehingga dapat
diperoleh keuntungan maksimum bagi PKL
Teori lokasi industri Agust Losch. Losch melihat persoalan pemilihan lokasi
dari sisi permintaan pasar. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh
terhadap jumlah konsumen yang dapat dijaringnya karena berhubungan dengan
biaya transportasi. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan
terbesar. Disisi lain Losch juga mengemukakan bagaimana economic landscape
terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara supply dan demand.
Terkait dengan teori ini, untuk menentukan lokasi PKL maka terdapat beberapa
syarat yaitu : 1) lokasi tersebut harus menjamin keuntungan maksimum bagi
penjual (PKL) maupun pembeli (konsumen); 2) Terdapat free entry dan tak ada
PKL yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada rangsangan bagi
PKL dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut;
3) Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan PKL yang ada
untuk mencapai besar optimum; dan 4) Konsumen bersikap indifferent terhadap
239
penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga
yang rendah.
Dari konsep-konsep teoritis lokasi di atas, pemilihan relokasi PKL adalah di
dekat/bersebelahan dengan lokasi terminal bis antar kota yang akan dipindahkan
dari Baranangsiang ke lokasi antar Tanah Baru dan Cimahpar (Gambar 19)
Pemindahan terminal ini akan membawa konsumen yang besar bagi PKL di lokasi
baru, sesuai dengan teori Losch yang mendekatkan penjual ke pembeli.
Sentralisasi PKl ini sesuai dengan teori Aglomerasi Weber dimana aglomerasi
PKL akan memberikan beberapa manfaat diantaranya Aglomerasi memberikan
keuntungan antara lain berupa : fasilitas seperti tenaga listrik, air, perbengkelan,
pemondokan, dan lain-lain. Sering kali pada lokasi seperti ini sudah terdapat pula
tenaga kerja yang terlatih. Fasilitas ini akan menurunkan biaya
produksi/kebutuhan modal karena kalau terpisah jauh semua fasilitas harus
dibangun sendiri. Penggunaan ruang oleh aktivitas PKL dapat menciptakan land
rent (von Thunen) yang berupa sewa lahan/tempat/lapak bagi pelaku PKL. Ini
dapat menciptakan tambahan pendapatan bagi pemerintah kota Bogor.
240
Gambar 19. Peta Usulan Lokasi PKL di Terminal Baru Sumber: Google map
Namun demikian, beberapa hal perlu diperhatikan dalam mempersiapkan
lokasi relokasi PKL adalah sebagai berikut:
- Lokasi yang dipersiapkan diarahkan dapat berfungsi sebagi pasar PKL, sarana
olahraga ringan atau massal, sarana wisata belanja dan hiburan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi kegagalan relokasi PKL seperti kegagalan
kasus pemindahan PKL di Nairobi. Kamunyori (2007) dalam studi relokasi
PKL di Nairobi menyatakan bahwa kegagalan relokasi PKL dari pusat kota
Nairobi (Central Business District, CBD) dikarenakan lokasi baru memiliki lalu
lintas pejalan kaki yang rendah dan atau konsumen memiliki daya beli yang
rendah dibandingkan dengan di CBD.
- Ada jaminan dari pemerintah bahwa tidak ada PKL lain yang menempati lokasi
asal PKL setelah lokasi tersebut ditinggalkan
Lokasi relokasi yang diusulkan
241
- Tempat usaha PKL tidak dalam bentuk kios-kios permanen ataupun semi
permanen.
- Pembuatan tempat usaha diserahkan kepada PKL dengan ketentuan harus
portable. Pemerintah atau pengelola hanya menyediakan gambar model, aturan
warna atau jenis bahan yang dipergunakan.
- Sarana prasarana yang disediakan dalam bentuk jalan yang berputar-putar
(mempunyai aksesibilitas tinggi), sarana toilet, sarana ibadah, kantor pengelola,
prasarana parkir, sarana hiburan dalam bentuk panggung massal, dan sarana
lain yang benar-benar diperlukan.
- Pengaturan waktu berjualan.
- Jangan menghilangkan ciri khas PKL.
- Persiapkan akses angkutan umum dari banyak arah (angkutan umum hanya
diizinkan lewat, bukan parkir ataupun terminal).
- Lakukan sosialisasi dan promosi yang intensif.
8.4. Langkah-langkah Strategis
Untuk memperoleh hasil yaang optimal, langkah-langkah yang sangat
diperlukan dalam implementasi usulan strategi adalah sebagia berikut :
- Melakukan studi kelayakan menyeluruh sehingga dapat menampung keinginan
atau harapan PKL, masyarakat, pemerintah, dan pengelola.
- Prioritas utama penempatan adalah untuk pedagang lama. Apabila masih
terdapat tempat kosong, pemberian izin bisa diberikan kepada pedagang atau
PKL baru.
- Pedagang atau PKL tidak diperkenankan membeli atau mengontrak tempat
untuk jangka waktu lama, melainkan diberlakukan sewa harian jika mereka
berjualan. Jika dalam jangka waktu tertentu pedagangatau PKL tidak
beroperasi maka tempat tersebut dapat diberikan kepada pedagang atau PKL
lain yang memerlukan.
- Untuk jangka waktu tertentu pedagang dibebaskan dari sewa tempat. Ini
belajar dari kasus keberhasilan relokasi di Singapura dimana pada tahap awal
biaya sewa tempat sudah termasuk pada biaya perijinan (Azhar, 2011)
- Lakukan pendekatan persuasif, bijak, dan tegas kepada tokoh pedagang atau
oknum yang menjadi backing pedagang di tempat lama, karena mereka
242
diperlukan oleh PKL. Selama tidak melanggar hukum maka keberadaan
mereka tidak perlu dihilangkan, tetapi diatur dan dibatasi.
- Pemerintah harus konsekuen, konsisten, tegas, dan bijak. Pemerintah harus
mau belajar dari kegagalan masa lalu. Jangan semua kesalahan ditimpakan
hanya kepada PKL.
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik Umum. PKL Kota Bogor dapat dikarakteristikkan sebagai
berikut : (a) berpendidikan rendah, tidak dapat dikategorikan miskin karena
mereka bukan penerima BLT dan mampu mendapatkan pendapatan bersih di
atas UMR kota, mayoritas tidak memiliki usaha sebelum menjadi PKL, sudah
lama menjadi PKL dan mereka memilih berlokasi di tempat strategis
menempati badan jalan dan trotoar dengan luasan rata-rata 4m2; (b) Bekerja
dalam lingkungan kotor dengan jam kerja rata-rata 10 jam perhari dan tanpa
hari libur, pekerjanya tidak memiliki jaminan sosial dan sebagian besar
belum terdaftar di pemerintah kota; (c) Diperlukan modal kecil untuk
menjadi PKL (antara Rp 1.000.000,- – Rp 5.000.000,-) dengan mayoritas
bersumber dari modal sendiri, mereka harus membayar untuk mendapatkan
lapak kepada paguyuban atau oknum. Dari sisi biaya, komponen biaya resmi
(kebersihan dan restribusi) lebih kecil dibandingkan biaya tidak resmi
(keamanan).
Harapan PKL. Secara umum PKL mengharapkan akses memperoleh
pinjaman, bantuan memperoleh suplai dan penataan usaha atau tempat. PKL
menyadari bahwa usaha mereka di ruang publik atau privat
menyalahi/melanggar aturan Pemerintah Kota dan menunjukkan keinginan
untuk ditata dan dikelola di tempat usaha sekarang.
Persepsi Masyarakat, Pemasok, dan Pesaing. Baik pemasok dan pesaing
memandang PKL tidak mengganggu usaha mereka. Pemasok menyatakan
bahwa keberadaan PKL menambah rantai pemasaran. Dari sisi manfaat
keberadaan PKL, pesaing menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat
menurunkan jumlah pengangguran yang ada di masyarakat. Pemasok dan
masyarakat umum menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka
244
mudah mendapatkan kebutuhan dan memperpendek rantai pemasaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan PKL. Hasil analisis
menunjukkan bahwa variabel X1 (omzet, Sig-t= 0.062), X2
3. Analisis kebijakan menunjukkan sudah ada perangkat legal pengelolaan PKL
di kota Bogor dalam bentuk Perda No. 13 tahun 2005 dan Surat Keputusan
Walikota Bogor No. 511.23.45.146. Tahun 2008. Implementasi dari dua
bentuk regulasi tersebut masih belum optimal dan belum mengakomodasi
kepentingan bersama antara PKL dan Pemerintah Kota.
(modal awal,
Sig-t = 0.056) dan D4 (dummy lokasi, Sig-t = 0.07) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pendapatan PKL pada taraf 10 %. Peningkatan omzet
Rp.1 000,-/bulan akan meningkatan pendapatan bersih pedagang sebesar
Rp.12,-/bulan, cateris paribus. Peningkatan modal awal Rp.1 000,- akan
meningkatkan pendapatan bersih Rp.2,-/bulan. Variabel asal pedagang (D3)
meski berpengaruh signifikan (Sig-t = 0.007) tetapi menunjukkan tanda
negatif. Dummy kebersihan juga berpengaruh signifikan (sig-t = 0.091).
2. PKL berkontribusi terhadap ekonomi kota Bogor karena telah menjadi mata
pencaharian utama dan menciptakan peluang dan lapangan kerja. Potensi
kontribusi PKL terhadap PAD dikumpulkan melalui retribusi penggunaan
kekayaan daerah, retribusi sampah dan kebersihan dan pajak restoran untuk
pedagang makanan dan minuman. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
pendapatan PKL tidak berpengaruh nyata terhadap pendidikan dan kesehatan
tetapi berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga, hal ini berarti
bahwa kontribusi PKL terhadap perekonomian/pembangunan wilayah
terutama dari sisi belanja konsumsi.
4. Dari hasil analisis A’WOT menunjukkan bahwa seperangkat strategi prioritas
yang perlu dilakukan secara komprehensip adalah :
a. Registrasi dan pembuatan database PKL.
b. Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL.
c. Menyatukan persepsi dalam pengelolaan PKL.
d. Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda.
e. Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi.
f. Mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan
245
untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL,
g. Melakukan penataan lokasi PKL.
9.2. Saran
Terkait dengan hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat diajukan
adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah kota Bogor disarankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Melakukan pemetaan ulang jumlah PKL sebagai database yang valid
untuk keberadaan PKL yang di-update per 6 bulan sehingga jumlah dan
kondisi PKL akan selalu terkontrol dan terkelola.
b. Pembuatan Sistem Informasi Manajemen PKL dari hasil pemetaan ulang
dan pemetaan spasial menggunaan GIS untuk lebih mengetahui sebaran
PKL di kota Bogor.
c. Pemerintah kota Bogor seharusnya menjadikan lokasi tertentu sebagai pilot
project pengelolaan PKL dan akan lebih baik bila didasarkan pada
tipologi tertentu.
d. Ada kebutuhan bagi Pemerintah Kota untuk membeli lokasi-lokasi tertentu
yang nantinya digunakan sebagai sentra PKL agar mampu memberikan
kontribusi riil bagi pembangunan kota Bogor.
e. Pemerintah kota Bogor harus konsisten, konsekuen, tegas dan bijak dalam
mengimplementasikan kebijakan atau peraturan yang sudah dibuat dan
disepakati bersama dengan PKL.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan hal-hal berikut :
a. Kapasitas PKL pada suatu jalan sehingga tidak melebihi daya dukung
lingkungan.
b. Penelitian studi kelayakan (ekonomi, sosial dan lingkungan) apabila
pemerintah akan membeli lokasi-lokasi baru untuk sentra PKL.
c. Penelitian dengan pendekatan input-ouput untuk mengetahui multiplier
effect dari PKL dan batas optimum jumlah PKL yang masih mampu
memberikan kontribusi positif bagi pembangunan wilayah kota Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Handbook Apip A., 2006. Pembebanan pajak Pendapatan Perseroan (Inkomsbelsting)
terhadap badan Koperasi di Indonesia,Wawasan Tridharma nomor 2 tahun XIX September 2006, Kopertis Wilayah IV
Arifin B dan Didik J. Rachbini., 2004. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik : Di balik Krisis Ekonomi Di Indonesia Resensi Buku oleh M. Muzamil (Universitas Terbuka) Penerbit:Indef & FISIP UI. 294 hal.
Arsyad L.. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi 4. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Yayasan Keluarga Pahlawan Indonesia. Yogyakarta
Asian Development Bank and BPS-Statistics Indonesia, 2011, The informal sector and informal employment in Indonesia. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank.
Assauri S., 1999. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Bintarto R. dan Surastopo H., 1991, Metode Analisa Geografi, LP3ES, Bogor
Blunt, P dan D.M. Warren., 1996 Indigenous Organization and Development. Intermediete Technology Publications Ltd, London.
[BPS], Biro Pusat Statistik, 1998, Sakernas 1998. Jakarta. BPS [BPS], Biro Pusat Statistik, 2002, Sakernas 2002. Jakarta. BPS
Daldjoeni N., 1998, Geografi Kota dan Desa, PT. Alumni Bandung. David F., Robinson , 1999, Strategic Management : Concept and Case. Seventh
Edition. Prentice Hall International Inc. Upper Saddle River, New Jersey. [Disperindakop Kota Bogor] Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota
Bogor, 2005, Data Base Pedagang Kaki Lima Kota Bogor. Disperindakop Kota Bogor. Bogor.
Durianto D., Sugiarto dan Tony S., 2001, Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Edgcomb, E dan Tamrat H. 2004. The informal economy : making it in america. FIELD (Microenterprise Fund for Innovation,Effectiveness, Learning and Dissemination) The Aspen Institute One Dupont Circle, NW, Suite 700 Washington, DC.
Engel, J.F, R.D. Blackwell dan P.W. Miniard. 1994. Consumer Behavior. Edisi 8. Forth Worth: The Dryden Press.
Firdaus, M dan Farid, 2008. Aplikasi metode kuantitatif terpilih untuk manajemen dan bisnis. Seri metode kuantitatif. IPB Press, Bogor.
248
Gaspersz, V. 1997, Manajemen Kualitas Jasa dalam Industri Jasa. Terjemahan. Gramedia. Jakarta.
Hayami, Y. 2001, Development Economics From The Poverty to The Wealth of Nation, Second Edition.
Hendar dan Kusnadi, 2005, Ekonomi Koperasi, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta
[ILO], 2004, The Informal Economy & Workers in Nepal, International Labour Organization (ILO), Series 1, Kathmandu, Nepal.
Jauch, L.R. dan W.F. Glueck, 1995, Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan. Edisi ketiga. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Jhingan M L, 2008, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi keenambelas, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Juanda B, 2007, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, IPB Press, Bogor. Juanda B, 2009, Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan, IPB Press, Bogor.
Koestoer R.H., 1997, Prespektif Lingkungan Desa dan Kota, Teori dan Kasus, UI Press, Jakarta.
Korten D.C. 1986, Introduction : Community Based Resources Management. In Community Management : Asian Experiences and Perspective. Pp 1- 15, West Hartford CT : Kumarian Press.
Kotler P., 2000. Marketing Management : The Millenium Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Kunctjoro D, Ed. 1986, Kemiskinan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Mangara T, 2002. Strategi Industrialisasi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah : sebuah rekonstruksi pada masa pemulihan dan pasca krisis ekonomi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Marimin. 2004, Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan kriteria majemuk. Grassindo, Jakarta.
Pearce, J.A. dan R.B. Robinson, 1997, Manajemen Strategik, Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jilid I. Bina Rupa Aksara Jakarta.
Raharja P dan Manurung M, 2004,Pengantar Ilmu Ekonomi . Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi revisi.
Rangkuti, F, 1999, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D R, 2009, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Saaty, T.L. 1993, Pengambilan Keputusan bagi para Pemimpin. Seri Manajemen No. 134. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta
Sam Landon, 1998, Community-Based natural Resources Management. The International Development Research Center, Ontario; Kanada.
249
Soemitro R, 1987, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Eresco Bandung
Stanton, W. J., Michael, J.E dan B.J. Walker, 1994, Fundamentals of Marketing. Tenth Edition. McGraw Hill Inc.
Stoner J.A.F, Freeman R.E., and Gilbert D.R., Jr, 1996, Manajemen. Jilid I, Jakarta, PT. Buana Ilmu Populer.
Sumodiningrat, 1999, PemberdayaanMasyarakatdanJaringPengamanSosial, PT Gramedia, Jakarta.
Sumodiningrat G. ,2004, Strategi Pemberdayaan masyarakat dalam Pelaksnaaan Otonomi Daerah, PT. Gramedia Jakarta
Sumodiningrat G., 2007, Pemberdayaan Sosial, Penerbit Kompas, Jakarta.
Tarigan R, 2005, Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Tinker I., 1997, Street Foods: Urban Food and Employment in Developing Countries, New York: Oxford University Press.
Todaro M. dan Smith S.C, 2006, Economic Development, edisi IX,Pearson Education Limited, United Kingdom
Umar H., 2005, Studi Kelayakan Bisnis ,Edisi 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Uphoff N., Esman M.J. dan Khrisna A., 1998, Reason for Success : Learning from Instructive Experiences in Rural Development. Kumarian Press, Kanada.
Walpole R.E., 1995, Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Makalah, Paper dan Jurnal
Akharuzzaman, M dan Atsushi D., 2010, Public Management for Street Vendor Problems in Dhaka City, Bangladesh. Proc. of International Conference on Environmental Aspects of Bangladesh (ICEAB10), Japan, Sept. 2010
Akintoye I.R., 2008, Reducing Unemployment Through the Informal Sector: A Case Study of Nigeria. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences ISSN 1450-2275 Issue 11 (2008)
Anonimius, 2000, Kota Bogor Dalam Angka Tahun 1999, Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
Anwar A, 2001, Pembangunan Wilayah Pedesaan dengan Desentralisasi Spasial Melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-Kota Menengah dan Kecil, Makalah Disampaikan Pada Pembahasan Proyek Perintisan Pengembangan Wilayah Pedesaan, Jakarta 15 November 2001.
Aswindi, W., 2002, Perilaku Politis Pemanfaatan Ruang di Pusat Kota. Studi Kasus : Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota Majalaya. Jurnal Analisis Sosial Vol.7 No. 2 Juni 2002. Akatiga. Bandung. 2002
250
Ayub H., 2004, Analisis Industri Rumah Tangga untuk Penentuan Strategi Pemberdayaannya (Studi Kasus Industri Rumah Tangga Sepatu dan Sandal di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor). Thesis. Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah Jakarta
Azhar G., 2014, A Receipt For Success; How Singapore Hawker Come To Be. Institue Of Policy Studies, Sngapore.
Bhowmik S. K., 2005, 'Street Vendors in Asia: A Review', Economic and Political Weekly, May 28-June 4 pp.2256-2264.
Brown A., 2005, 'Claming Rights to the Street: the Role of Public Space and Diversity in Governance of the Street Economy', School of City and Regional Planning, Cardiff University.
Casanova Dorotan, Phoebe F.G, Maria CT dan Maria A.M., 2010, Informal Economy Budget Analysis in Philippines and Quezon City. Women in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO) under the Inclusive Cities Project. Research Report No. 6.
Commander S., Natalia I. dan Yulia R., 2009, A model of the informal economy with an application to Ukraine. paper were presented at LIRT-HSE’s seminar in the spring of 2009.
Davies R. dan James T., 2009, Formal–Informal Economy Linkages and Unemployment in South Africa. IFPRI Discussion Paper 00943, International Food Policy Research Institute December 2009.
Douglas M., 1998, A regional network strategy for reciprocal rural-urban linkage. A agenda for policy research with reference to Indonesia. TWPR, 20(1).
Elías Osuna E. dan Aranda A ., 2007, Combining Swot And Ahp Techniques For Strategic Planning. ISAHP 2007. Viña del Mar, Chile, August 2-6.
Ester, 2003, Pengarahan Lokasi Pedagang Kaki Lima Sebagai Dasar Pertimbangan Kebijakan Sidoarjo (Studi Kasus : Jl Gajah Mada). ITS Digital Library. Surabaya. 2003
Firnandy , 2002, Studi Profil Pekerja Di Sektor Informal Dan Arah Kebijakan Ke Depan. Direktorat Ketenagakerjaan Dan Analisis Ekonomi, Jakarta.
Flouris T dan A. Kucuk Y., 2010, The Risk Management Framework to Strategic Human Resource Management. International Research Journal of Finance and Economics, Issue 36 .
Friedman J., 1968, The Strategy to deliberate urbanization. AIP Journal. No. 364-71.
Gonec, S dan Harun T., 2007, Factor that affecting informal economy of rural turkey. Journal of Applied Sciences, 7(21) :3138-3153, 2007, Asian Network for scientific information.
Gottdiener M., and Budd L., 2005, Key Concepts in Urban Studies, Sage Publication, Thousand Oaks and India.
251
Greenidge, K., Carlos H dan Stuart M., 2009, Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados. Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1 .
Gunadi Brata A., 2008, Vulnerability Of Urban Informal Sector: Street Vendors In Yogyakarta, Indonesia. Paper prepared for the International Conference on Social, Development and Environmental Studies: Global Change and Transforming Spaces, November 18-19th , 2008, School of Social, Development and Environmental Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, University Kebangsaan Malaysia
Hart K., 1973, Informal Income Opportunities and Urban Employment in Ghana. Journal of Modern African Studies 11(1): 61-89.
Henley A.G., Reza A dan Francisco G. Carneiro, 2009, On Defining and Measuring the Informal Sector: Evidence from Brazil. World Development Vol. 37, No. 5, pp. 992–1003.
Ishizaka A, dan L. Ashraf. 2009, Analytic Hierarchy Process and Expert Choice: Benefits and Limitations, ORInsight, 22(4), p. 201-220, 2009.
Jungho Suh dan N.F. Emtage. 2005, Identification of Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats of the Community-based Forest Management Program. Annals of Tropical Research 27(1): 55-66 (2005)
Kamunyori, S.W. 2007, A Growing Space For Dialogue: The Case Of Street Vending In Nairobi’s Central Business District. Department Of Urban Studies And Planning, Massachusetts Institute Of Technology.
Kangas, Pesonen J. M., Kurttila M., dan Kajanus M., 2001, A'wot: Integrating The Ahp With Swot Analysis. Isahp. Berne, Switzerland, August 2-4. Kevin Greenidge, Carlos Holder And Stuart Mayers, 2009, Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados. Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1.
Korompis Fransiska R.,2005, Pemberdayaan Sektor Informal : Studi Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Loma dan Kontribusinya Terhadap Penerimaan PAD di Kota Manado. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Kosasih K., 2007, Potensi Dan Masalah Perdagangan Kaki Lima Sebagai Bagian Dari Ekonomi Informal Perkotaan. Bandung
Krisnamurthi B., 2002, RUU Keuangan Mikro : Rancangan Keberpihakan Terhadap Ekonomi Rakyat, www.bmm-online.org , Februari.
Kuncoro E.A., 2003, Peran Ikopin Membangun UKM. ARTIKEL dalam Kompas. Kamis, 24 Juli 2003, Jakarta
Laboratorium Hukum Fak. Hukum Universitas Sriwijaya, 2004, Laporan Regulatory Impact Assessment (Ria) Di Palembang.
Lynch O.J. dan Emily H., 2002, Whose Natural Resources ?. Whose Common Good ? : Toward A New Paradigm of Environmental Justice And National Interest In Indonesia. Center for International Environment Law (CIEL). Jakarta.
252
Marzuki L., 1999, Penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan Dalam Kerangka Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal. Paper dalam Seminar Penyusunan Aspirasi Masyarakat Sebagai Bahan Penyusunan Kerangka Penyusunan GBHN Tahun 2000 – 2002. Kerjasama MPR-RI Dengan Universitas Hasanudin.
McGee, Terry G., 1975, Hawkers in Selected Southeast Asian Cities: the Comparative Research Study Outline, Findings and Policy Recommendations, A report to be presented at a conference on the Role of Marginal Distribution Systems in Development sponsored by the International Development Research Centre, Canada, to be held in Kuala Lumpur, Malaysia, September 23-26.
McGee, Terry G. and T. Firman, 2000, “Labour Market Adjustment in the Time of Krismon: Changes in Employment Structure in Indonesia,1997-98”, Singapore Journal of Tropical Geography, Vol.21, No.3, pp.316-335.
McGee, Terry G. and Yeung Y.M., 1977, Hawkers in Southeast Asian Cities:Planning for the Bazaar Economy, Canada: International Development Research Centre.
Mehrotra, S dan Mario B., 2002, Social Protection in the Informal Economy: Home Based Women Workers and OutsourcedManufacturing in Asia. UNICEF Innocenti Research Centre and Department of Economics, University of Florence.
Meikle S., 2002, 'The Urban Context and Poor People', in Urban Livelihood: A PeopleCenter Approach to Reducing Poverty, edited by Rakodi, C. and Lloyd-Jones, T. , Earthscan Publications London.
Mitullah W.V., 2003, Street Vending In African Cities: A Synthesis Of Empirical Findings From Kenya, Cote D’ivoire, Ghana, Zimbabwe, Uganda And South Africa. Background Paper for the 2005 World Development Report, 16
August 2003
Nugroho, R.D., 2004, Kebijakan Publik, Formulasi, implementasi dan evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta
Purwanugraha, Heribertus A, Harsiwi Th. Agung M., 2000, Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Malioboro : Studi Pada Aspek Manajemen dan Pengelolaan Modal. Laporan Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.
Rahardjo B., 1999, Aplikasi Teknologi Informasi Bagi Industri Kecil Menengah. Pusat Penelitian Antar Universitas (PPAUME) Mikroelektronika, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Richardson, H.W., 1984, The role of the urban informal sector. An Overview. Regional Development Dialoque, 5:2.
Rustiadi, E. Saefulhakim dan Dyah P., 2009, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Ruston P., 1999, Shopping The Future of Retailing, The British Library, London
253
Schneider F., 2002, Size And Measurement Of The Informal Economy In 110 countries Around The World. Paper, disajikan pada Workshop of Australian National Tax Centre, ANU, Canberra, Australia, July 17, 2002
Singh A., 2000, Organising Street Vendors' in www.india-seminar.com, accessed on 28-09-06.
Slack T., 2005, Work, Welfare, and the Informal Economy : An Examination of Family Livelihood Strategies in Rural Pennsylvania. Manuscript disiapkan untuk presentasi pada Northeastern U.S. Rural Poverty Conference May 3-4, 2005 State College, PA
Stiglitz J.E., 1998, Towards a New Paradigm for Development : Strategies, Policies, and Processes Given as the 1998 Prebisch Lecture at UNCTAD, Geneva in October 19.
Straub S., 2003, Informal Sector: The Credit Market Channel. Paper for seminar in University of Edinburgh, November 13.
Suharto E., 2003, Accommodating the Urban Informal Sector in the Public Policy Process, New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2, pp.115-133.
Suryadi, 2004, Paradigma Pembangunan dan Kapabilitas Aparatur. Swara Diklat. Badan Pendidikan dan Pelatihan, Propinsi Jawa Timur.
Suwal R dan Bishnu P., 2009, Measuring Informal Sector Economic Activities in Nepal. Paper Prepared for the Special IARIW-SAIM Conference on “Measuring the Informal Economy in Developing Countries” Kathmandu, Nepal, September 23-26.
Takim A., 2011, Effectıveness of the In formal Economy in Tu rk ey. European Journal of Social Sciences – Volume 19, Number 2 (2011)
The Ford Foundation. 2010, Roundtable On Microinsurance Services In The Informal Economy: The Role Of Microfinance Institutions. International Coalition On Women And Credit, And Annette Krauss, Special Unit For Microfinance Of UNCDF
Thomas L. Saaty, 2008, Relative Measurement and Its Generalization in Decision Making Why Pairwise Comparisons are Central in Mathematics for the Measurement of Intangible Factors. The Analytic Hierarchy/Network Process. Rev. R. Acad. Cien. Serie A. Mat. Vol. 102 (2), 2008, pp. 251-318
Timalsina K. P., 2002, Impact of Bhimdhunga- Lamidanda-Road on the Livelihood Strategy of Rural People: A Case Study of Jivanpur VDC, Dhading District, M. A. Thesis in Georaphy, Central Department of Geography, Tribhuvan University, Kathmandu, Nepal
Venida V.S., 1998, Employment, Productivity And The Informal Sector In The Philippines, 1974-88: An Input-Output Analysis, Paper presentation at the Twelfth International Conference on Input-Output Techniques, New York City, May.
254
Walsh J., 2010., The Street Vendors of Bangkok: Alternatives to Indoor Retailers at a Time of Economic Crisis. American Journal of Economics and Business Administration 2 (2): 185-188, 2010
Widodo T., 2006, Peran sektor informal terhadap perekonomian daerah : pendekatan delphi-IO dan aplikasi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia vol 21, no.3, 2006, 254-267
Women in Informal Employment : Globalizing and Organizing (WIEGO), 2009. A Policy Response to the Informal Economy , Addressing Informality, Reducing Poverty .www.wiego.org/publication/ policy booklet.pdf diunduh 8 Januari 2009)
World Bank, 2003, Poverty Reduction and Economic Management, Report Document South Asia Region, World Bank, 2003.
Yahya, K, Suwondo dan Rijadi S. Pemberdayaan Masyarakat Sektor Informal Di Perkotaan (Studi Kasus Pelaksanaan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [P2KP] di Kelurahan Kasin Kecamatan Klojen Kota Malang), Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang
Thesis dan Desertasi Budi AS., 2006, Kajian Lokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi
PKL Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang. Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang
Rachmanu W., 2004, Analisa Sikap Dan Perilaku Karyawan Terhadap Budaya Kerja Perusahaan. Studi Kasus Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Utama Bogor. Thesis. Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi IMMI.
Tohar A., 2003, Profil Dan Strategi Pengembangan Sektor Informal Di Kota Medan. Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara
Wahyu B S, 2003, Distribusi Lokasi dan Tipe Pedagang Kaki Lima Kota Bogor 2002. Thesis Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Widjajanti R., 2000, Penataan Fisik Kegiatan PKL Pada Kawasan Komersial di Pusat Kota (Studi Kasus : Simpang Lima Semarang) Tesis tidak diterbitkan. Bidang Khusus Perencanaan Kota, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota , ITB, Bandung
Zahrah S., 2003, Sektor informal kota: analisis ekonomi rumah tangga pekerja sektor informal kota. Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara, Medan.
Surat Kabar dan Majalah Tamba H, Sijabat S, 2006, Infokop Tempointeraktif.com.,2005, Pedagang Kaki Lima Bisa Menata Diri. Jakarta. 14
Maret 2005. Harian Kompas, 2003, Penertiban PKL di Surabaya Parsial dan Diskriminatif. 13
Februari.
255
Internet dan Homepage http//www.google.maps.co.id http://www.kota-bogor.go.id
http://www.Kota-bogor.go.id http://en.wikipedia.org/wiki/Subsidy
http://id.wikipedia.org/wiki/Retribusi http//www.wiego.org/publication/ policy booklet.pdf,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/media/isu_kebijakan.pdf
http://www.djpk.depkeu.go.id/ http://www.scribd.com/doc/8524602/ringkasan-kebijakan-publik,
http//www.wiego.org/publication/ policy booklet.pdf http://tnp2k.wapresri.go.id/data/ketenagakerjaan-indnesia.html
http://www.tempo.co/read/news/2009/01/05/056153874/Jumlah-Pengangguran
Lampiran 1. Hasil Analisis Regresi untuk semua Tipologi
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered Variables Removed Method
1 D5, X2, X4, D2, X3, X10, D3, X5, X6, D4, D1, X9, X1a
. Enter
2 . X2 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 3 . D1 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 4 . D3 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 5 . D2 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 6 . X9 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 7 . X6 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 8 . X10 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 9 . X5 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 10 . X4 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). 11 . D5 Backward (criterion: Probability of F-to-remove >= .100). a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Y
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 3 .652c .425 .354 58658.63682 c. Predictors: (Constant), D5, X4, D2, X3, X10, D3, X5, X6, D4, X9, X1
ANOVAModel
l Sum of Squares df Mean Square F Sig.
3 Regression 2.266E11 11 2.060E10 5.987 .000c Residual 3.062E11 89 3.441E9 Total 5.329E11 100 c. Predictors: (Constant), D5, X4, D2, X3, X10, D3, X5, X6, D4, X9, X1 l. Dependent Variable: Y
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
3 (Constant) 102773.132 61217.025 1.679 .097
X1 .012 .006 .364 1.889 .062
X2 .002 .001 .162 1.936 .056
X3 -20465.543 21994.718 -.080 -.930 .355
X4 .014 .018 .154 .806 .422
X5 -.055 .065 -.074 -.858 .393
X6 .004 .006 .065 .590 .557
X7 -541.408 714.749 -.062 -.757 .451
D1 11460.455 35000.169 .027 .327 .744
D2 -4004.710 23917.428 -.014 -.167 .867
D3 -36458.094 13237.683 -.235 -2.754 .007
D4 24706.292 14455.625 .145 1.709 .091
c. Predictors in the Model: (Constant) : X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 D1, D2, D2, D4 k. Dependent Variable: Y
258
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Y 103 20000.00 500000.00 78796.1165 73328.21184 X1 103 100000.00 19500000.00 1369223.3010 2189190.44009 X2 103 3.00 17.00 9.6748 2.43112 X3 103 50000.00 60000000.00 2325339.8058 6402434.40458 X4 103 1.00 2.00 1.9126 .28377 X5 103 10000.00 7000000.00 449708.7379 779646.98687 X6 103 .00 960000.00 35058.2524 96360.51844 X9 103 150000.00 8280000.00 1373610.6796 1284143.83242 X10 101 .25 35.00 9.0751 8.33463 Valid N (listwise) 101
259
Lampiran 2. Hasil Analisis Regresi untuk Setiap Tipologi PKL 1. Tipologi Pasar Sayur Malam : Pendidikan Tertinggi vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.18692526 R Square 0.03494105 Adjusted R Square 0.00954477 Standard Error 1.13135888 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 1.761029151 1.76103 1.3758331 0.24811262 Residual 38 48.63897085 1.27997 Total 39 50.4
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept 1.94417562 0.352170818 5.52055 2.588E-06 1.23124307 2.65710816 X Variable 1 6.8925E-06 5.87615E-06 1.17296 0.2481126 -5.003E-06 1.8788E-05
2. Tipologi Pasar Sayur Malam : Kesehatan vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.144611 R Square 0.020912 Adjusted R Square -0.00485 Standard Error 0.439592 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 0.156843 0.156843 0.811643 0.373309 Residual 38 7.343157 0.193241 Total 39 7.5
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept 1.64381 0.136837 12.01293 1.65E-14 1.366798 1.920821 X Variable 1 2.06E-06 2.28E-06 0.900912 0.373309 -2.6E-06 6.68E-06
260
3. Tipologi Pasar Sayur Malam : Konsumsi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.42364072 R Square 0.17947146 Adjusted R Square 0.1578786 Standard Error 14322.4347 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 1704978840 1.705E+09 8.3116126 0.00645016 Residual 38 7795021160 205132136 Total 39 9500000000
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Intercept 18928.3607 4458.305516 4.2456401 0.0001353 9902.99308 27953.728 X Variable 1 0.21446275 0.074389085 2.8829867 0.0064502 0.06386992 0.3650556
4. Tipologi Pasar Kuliner : Pendidikan Tertinggi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.10638812 R Square 0.01131843 Adjusted R Square -0.0146995 Standard Error 1.08324001 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 1 0.510461306 0.51046 0.4350242 0.51351162 Residual 38 44.58953869 1.17341 Total 39 45.1
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept 2.73372826 0.245788373 11.1223 1.638E-13 2.23615572 3.231301 X Variable 1 1.1344E-06 1.71986E-06 0.65956 0.5135116 -2.347E-06 4.62E-06
261
5. Tipologi Pasar Kuliner : Kesehatan vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.08325978 R Square 0.00693219 Adjusted R Square -0.0192012 Standard Error 0.50864555 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 0.068628687 0.0686287 0.265262 0.609511042 Residual 38 9.831371313 0.2587203 Total 39 9.9
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Intercept 1.40736703 0.115412246 12.194261 1.05E-14 1.173727152 1.641007 X Variable 1 4.1593E-07 8.07577E-07 0.515036 0.609511 -1.2189E-06 2.05E-06
6. Tipologi Pasar Kuliner : Konsumsi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.672082921 R Square 0.451695452 Adjusted R Square 0.437266385 Standard Error 13729.46049 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 5900847760 5.9E+09 31.3046 2.04569E-06 Residual 38 7162927240 1.9E+08 Total 39 13063775000
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Intercept 19923.84989 3115.229983 6.39563 1.6E-07 13617.39654 26230.3 X Variable 1 0.12196244 0.021798287 5.59505 2E-06 0.077834115 0.166091
262
7. Tipologi Pasar Tumpah : Pendidikan Tertinggi vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.2365169 R Square 0.0559403 Adjusted R Square 0.0310966 Standard Error 0.9703481 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 2.12013572 2.12014 2.2516899 0.141732 Residual 38 35.77986428 0.94158 Total 39 37.9
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Intercept 2.2959341 0.228487421 10.0484 2.985E-12 1.833386 2.758483 X Variable 1 3.047E-06 2.03075E-06 1.50056 0.1417324 -1.1E-06 7.16E-06
8. Tipologi Pasar Tumpah : Kesehatan vs Pendapatan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.12322 R Square 0.01518 Adjusted R Square -0.01073 Standard Error 0.44088 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 0.113882 0.1139 0.5859 0.44873696 Residual 38 7.386118 0.1944 Total 39 7.5
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Intercept 1.80888 0.103813 17.424 1E-19 1.59872529 2.019041 X Variable 1 -7.1E-07 9.23E-07 -0.7654 0.44874 -2.574E-06 1.16E-06
263
9. Tipologi Pasar Tumpah : Konsumsi vs Pendapatan
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.4955635 R Square 0.2455832 Adjusted R Square 0.2257301 Standard Error 18961.191 Observations 40 ANOVA
df SS MS F Significance
F Regression 1 4447358253 4.4E+09 12.37 0.001148054 Residual 38 13662016747 3.6E+08 Total 39 18109375000
Coefficients Standard
Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept 23988.684 4464.783015 5.37287 4.1E-06 14950.20301 33027.1642 X Variable 1 0.139566 0.039682061 3.51711 0.00115 0.059233881 0.21989815
264
Lampiran 3. Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal dan
Eksternal
1. Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Eksternal –Peluang
Faktor Eksternal-Peluang 1 2 3 4 5 6
1 Keberadaan Perda tentang PKL 1.00 3.45 1.25 3.63 4.44 1.09
2 Ketersediaan SDM 0.29 1.00 0.59 1.09 4.73 0.45
3 Kontribusi PKL pada PAD 0.80 1.68 1.00 3.34 4.86 1.09
4 Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau 0.28 0.92 0.30 1.00 0.32 0.44
5 Ketersediaan lembaga keuangan mikro 0.23 0.21 0.21 3.08 1.00 0.25
6 Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan 0.92 2.20 0.92 2.28 4.00 1.00
2. Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Eksternal – Ancaman
Faktor Eksternal-Ancaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Kebijakan Tata ruang kurang konsisten 1.00 0.96 0.65 1.12 0.56 1.00 2.00 2.00 2.10
2 Terbatasnya kesempatan kerja lain yang lebih baik 1.04 1.00 0.96 1.93 1.76 0.90 1.71 2.04 0.99
3 Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL 1.54 1.04 1.00 1.83 1.62 1.77 1.51 0.81 1.02
4 Terbatasnya dana operasional 0.89 0.52 0.55 1.00 0.66 0.33 0.65 2.36 2.25
5 Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi 1.78 0.57 0.62 1.51 1.00 0.73 1.19 1.93 1.00
6 Lemahnya penegakan hukum 1.00 1.11 0.57 3.00 1.36 1.00 0.83 1.60 2.00
7 Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten 0.50 0.59 0.66 1.54 0.84 1.21 1.00 1.65 1.68
8 Lemahnya posisi politis PKL 0.50 0.49 1.23 0.42 0.52 0.63 0.61 1.00 1.26
9 Belum adanya registrasi pelaku PKL 0.48 1.01 0.98 0.44 1.00 0.50 0.59 0.79 1.00
3. Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Internal –Peluang
Faktor Internal-Kekuatan 1 2 3 4 5 6 7 8
1 Kebijakan dan komitmen Pemda
1.00 1.80 0.94 2.06 0.56 1.00 2.00 2.00
2 Perkembangan sistem teknologi dan informasi 0.56 1.00 0.65 1.15 1.03 0.53 0.95 1.55
3 Stabilitas nilai mata uang
1.06 1.54 1.00 0.77 0.54 0.92 0.97 1.13
4 Tersedianya pasar
0.49 0.87 1.30 1.00 0.66 0.33 0.65 2.36
5 Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
1.78 0.97 1.85 1.51 1.00 0.73 1.19 1.93
6 Penciptaan lapang kerja baru
1.00 1.89 1.08 3.00 1.36 1.00 0.99 1.60
7 Mengurangi masalah sosial
0.50 1.05 1.03 1.54 0.84 1.01 1.00 1.25
8 Kemudahan sistem registrasi
0.50 0.65 0.88 0.42 0.52 0.63 0.80 1.00
265
4. Matrik Pendapat Gabungan untuk Faktor Eksternal – Ancaman
Faktor Eksternal-Ancaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pertumbuhan angka pengangguran 1.00 0.57 0.65 1.12 0.56 1.00 2.00 2.00 0.96
2 Perilaku free rider dari PKL 1.77 1.00 0.92 1.30 1.76 0.90 1.14 1.53 0.39
3 Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain 1.54 1.09 1.00 1.41 1.62 1.77 1.51 0.81 0.64
4 Keinginan menggunakan lahan secara permanen 0.89 0.77 0.71 1.00 0.66 0.33 0.65 2.36 0.81
5 Pertumbuhan ekonomi yang rendah 1.78 0.57 0.62 1.51 1.00 0.73 1.19 0.96 0.82
6 sektor abu-abu lahan korupsi 1.00 1.11 0.57 3.00 1.36 1.00 0.83 1.28 0.97
7 Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait 0.50 0.88 0.66 1.54 0.84 1.21 1.00 1.65 1.41
8 Kemacetan dan kekumuhan wajah kota 0.50 0.65 1.23 0.42 1.04 0.78 0.61 1.00 1.12
9 Perbedaan persepsi aktor 1.04 2.57 1.57 1.23 1.22 1.03 0.71 0.90 1.00
266
Lampiran 4. Kuisioner untuk Pelaku PKL
Nama surveyor : ……..……………
Tgl survei : …………………..
Lokasi : ……………………
Tanda Tangan : ……………………
A. IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1. Nama Responden : ………………………………………………
A.2. Alamat : ………………………………………………
A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun A.5. Status Perkawinan 1 Belum menikah 2 Sudah menikah A.6. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu :
1 SD atau sederajat 2 SMP atau sederajat 3 SMA atau sederajat
4 Akademi atau sederajad 5 Sarjana 6 Pascasarjana
A.7. Tempat asal :
1 Kota Bogor 2 Luar Kota Bogor
A.8. Suku Bangsa :
1 Jawa 2 Sunda 3 Batak
4 Padang 5 Lainnya : …….
A.9. Status dalam Keluarga
1 Kepala Keluarga 2 Anggota keluarga
A.10. Jumlah tanggungan keluarga sekarang : .......orang
A.11. Jumlah tanggungan keluarga sebelumnya (1 bulan yang lalu) : ........ orang
A.12. Pendidikan tertinggi yang sudah dicapai oleh tanggungan keluarga sekarang atau
sebelumnya :
1 Tidak sekolah 2 Tamat SD : .......orang
3 Tamat SLTP :.......orang 4 Tamat SLTA : .......orang
5 Sarjana : .......orang 6 Pascasarjana : .......orang
A.13 Dalam 3 bulan terakhir, adakah salah satu anggota keluarga anda yang sakit:
1 Ya : ........orang 2 Tidak 2 (→A.15)
A.14 Jika Ya, berapa rata-rata pengeluaran kesehatan anda per bulan : Rp ......................
A.15 Frekuensi rata-rata sakit per bulan untuk anda dan keluarga anda ..................... kali
A.16. Apakah keluarag anda sekarang termasuk yang mendapatkan BLT ?
1 Ya 2 Tidak
267
B. KARAKTERISTIK USAHA
B.1. Apa usaha/pekerjaan anda sebelum menjadi PKL ?
1 Tidak Punya usaha 2 Karyawan swasta
3 Pedagang kios pasar 4 Usaha dirumah
5 Lainnya, sebutkan ...............
B.2. Apakah penyebab atau dorongan ( motivasi) terhadap anda untuk menjadi PKL?
1 Karena menganggur 2 Karena PHK
3 Karena Usaha yang lebih menguntungkan 4 merintis usaha lebih besar
4 Modal usaha ringan atau kecil 5 Lainnya, sebutkan ...............
B.3. Sudah berapa lama anda Menjadi PKL ditempati ini ? ...............tahun
B.4. Apakah sebelum ditempat ini anda sudah berusaha/ berjualan ditempat lain?
1 Ya 2 Tidak
B.5. Apakah alasan Anda untuk memilih lokasi ini sebagai tempat berdagang ? jawaban dapat
lebih dari satu
1 Ramai / sering dikunjungi pembeli 2 Pendapatan memuaskan
3 Biaya transportasi murah/dekat rumah 4 Berkumpul dengan usaha sejenis
5 Tidak mampu beli kios 6 Kios resmi Penuh
7 Lainnya, sebutkan : ……………….
B.6. Apa jenis barang dagangan anda ?
1 Sayur- mayur 2 Makanan/ Lauk Pauk mentah
3 Bumbu dapur 4 Makanan/ Minuman jadi
5 Acessories 6 Lain-lain : ...............................
B.7. Usaha Bapak/ Ibu/ Sdr, termasuk kelompok jenis usaha ? ( diisi petugas ) .
1 Pasar Tumpah (menawarkan macam-macam barang/jasa)
2 Pasar sayur mayur malam
3 Usaha Kuliner ( Makanan/Minuman)
B.8. Jenis sarana usaha yang anda gunakan :
1 Warung Tenda 2 Gerobak/kereta dorong 3 Pikulan/keranjang
4 Gelaran/hamparan 5 Kios 6 sementara
7 Lainnya, sebutkan : …………………………
B.9. Bagaimana pengelompokan dagangan anda saat ini :
1 Berkelompok dengan usaha sejenis 2 Bercampur dengan usaha jenis lain
B.10. Waktu berjualan mulai pukul : ..................... s.d. pukul ......................
B.11. Lokasi usaha saat ini (nama jalan/tempat) : …………………
B.12. Tempat usaha :
1 Trotoar 2 Lahan Parkir
3 Badan Jalan 4 Lainnya, sebutkan : ………………
B.13. Berapa luas tempat yang Anda gunakan untuk berdagang? ……………..……m
2
268
B.14. (Diisi petugas) Penilaian terhadap kondisi kebersihan ?
1 Bersih 2 Kotor
B.15. Menurut anda, bagaimana lokasi berusaha anda saat ini ?
1 Strategis 2 Tidak strategis
(cat : indikator :ada tidaknya kerumunan atau dekat dengan pasar)
B.16. Apakah anda mempunyai tempat usaha lain dimana anda juga menjalankan kegiatan
yang sama?
1 Ya 2 Tidak (→ B.18)
B.17. Jika “Ya” berapa jumlah lapak yang anda miliki ? …….buah
B.18. Apakah usaha anda terdaftar di salah satu intitusi di bawah ini ?
Ya Tidak tidak tahu
B.18.1. Kantor pajak 1 2 3
B.18.2. Pemerintah Daerah 1 2 3
B.18.3. Koperasi 1 2 3
B.18.4. Paguyuban 1 2 3
B.18.5. Ormas / LSM 1 2 3
C. PEKERJA DAN KOMPENSASI
C.1. Berapa orang termasuk anda, yang bekerja dalam usaha anda ? …….…orang
C.2. Berapa jam kerja usaha anda dalam sehari ? .................Jam
C.3. Berapa hari usaha berjalan dalam seminggu ? …………………..Hari
C.4. Berapa hari rata-rata anda libur usaha dalam seminggua : ..................Hari
C.5. Karakteristik pekerja (tidak termasuk anda) :
No Nama Jenis kelamin
Umur (tahun)
Status pekerjaan
Kontrak kerja
Jumlah Jam kerja
Jumlah Hari kerja
Dasar pembayaran
Gaji & pendapatan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Kode Kolom
Kolom 3 Kolom 5 Kolom 6 Kolom 9 Laki-laki 1 Pemilik yang mempekerjakan
orang lain 1 Pemilik 1 Per minggu
Perempuan 2 Usaha sendiri 2 Kontrak tertulis tanpa jangka waktu 2 Per bulan 3 Buruh/karyawan 3 Kontrak tertulis dengan jangka waktu 3 Setiap hari kerja 4 Pekerja keluarga yang dibayar 4 Perjanjian lisan 4 Per pekerjaan 5 Pekerja keluarga tidak dibayar 5 Masa percobaan 5 Komisi 6 Rekan kerja/ usaha 6 Tanpa kontrak 6 Bagi hasil 7 Kerja sama lisan 7 Tidak dibayar
C.6. Adakah tunjangan dan bonus yang dibayarkan ke pekerja?
1 Ada (→ C. 7 ) 2 Tidak ada (→ D )
269
C.7. Tunjangan atau bonus yang diberikan
1 Tunjangan sakit 2 Tunjangan hari raya
3 Bonus keuntungan 4 Jaminan sosial lainnya : ...................
D. KEUANGAN DAN LAIN-LAIN
D.1. Jumlah modal awal yang diperlukan dalam memulai usaha : Rp .......……….…
D.2. Jumlah modal kerja harian /operasional yang diperlukan dalam berusaha :
Rp. .............../Hr
D.3. Jumlah pendapatan harian dari hasil usaha (omzet) :
D.3.1 penjualan/pendapatan minimum : Rp. …………………/Hr
D.3.2 penjualan/pendapatan rata-rata : Rp. …………………/Hr
D.3.3 penjualan/pendapatan maksimum : Rp. …………………/Hr
D.4. Apa jenis pembukuan yang anda lakukan pada usaha ini ?
1 Tidak ada pembukuan 2 Pembukuan untuk kepentingan pribadi
3 Pembukuan sederhana untuk pajak 4 Pembukuan format yang rinci
5 Lainnya, sebutkan : ……............
D.5. Darimana anda memperoleh modal awal dalam berusaha:
1 Modal sendiri (→ D8) 2 Sebagian Pinjaman 3 Seluruhnya pinjaman
D.6. Jika anda melakukan pinjaman, dari mana pinjaman anda peroleh ?
1 Saudara sendiri 2 Teman
3 Bank/lembaga keuangan pemerintah 4 Rentenir / Bank Keliling
5 Lainnya :......................................
D.7. Jika anda melakukan pinjaman untuk modal , berapa lama biasanya anda mampu
melunasinya ? ..........bulan
D.8. Apakah anda membayar untuk memperoleh tempat usaha disini ?
1 Ya ( Rp. ...............) 2 Tidak ( → D.11)
D. 9 Untuk jangka waktu berapa lama pembayaran tersebut berlaku ?
1 Harian 2 Mingguan
3 Bulanan 4 Tahunan
D.10. Kepada siapa anda membayar uang tersebut ?
1 Pemerintah (resmi) 2 Koperasi
3 Paguyuban 4 LSM/ Ormas
5 Oknum 6 PKL Sebelumnya
D.11. Bagaimana fluktuasi kegiatan usaha anda selama 12 bulan terakhir ?
Variabel Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kode 0 = Tidak ada kegiatan 1 = Minimum 2 = Rata-rata 3 = Maksimum
270
D.12. Bagaimana fluktuasi kegiatan usaha anda selama 12 bulan terakhir ?
Variabel Bulan (hijriah)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kode 0 = Tidak ada kegiatan 1 = Minimum 2 = Rata-rata 3 = Maksimum
Keterangan : 1. Muharam 2. Shafar 3. Rabi’ul Awwal (Mulud) 4. Rabi’ul Akhir/ Silih Mulud 5. Jumadil Awwal 6. Jumadil Akhir 7. Rajab 8. Sya’ban /Ruwah 9. Ramadhan/Puasa 10. Syawwal 11. Dzulqa’dah / Hapit 12. Dzulhijjah/ Haji
D.13 Pengeluaran
No Item Pengeluaran Per Hari (RP Per bulan (Rp) Biaya Operasional: 1 Upah dan gaji pekerja 2 Jaminan sosial (asuransi yang berhubungan dengan pekerja,
misalnya : jamsostek, asuransi jiwa dan kesehatan ) jika ada
3 Bonus pekerja 6 Minyak Tanah/LPG 7 Air 8 Listrik 9 Sewa tempat (lapak) dan peralatan 10 Transportasi 11 Makan 12 Komunikasi (HP, Telp) 13 kuli angkut 14 Biaya perbaikan dan pemeliharan fasilitas usaha Biaya lainya yang resmi : 15 Kebersihan 16 Lainya sebutkan ........................... 17 Lainya sebutkan ........................... 18 Lainya sebutkan ........................... 19 Biaya tidak langsung (izin usaha) Biaya lainnya yang tidak resmi : 20 sebutkan ........................... 21 sebutkan ........................... 22 sebutkan ........................... 23 sebutkan ...........................
D.14 Apakah anda mengikuti arisan sesama pedagang kaki lima :
1 Ya (→D.15) 2 Tidak
D.15 Bentuk arisan yang diikuti :
1 Harian (Rp …………….) 2 Mingguan (Rp …………….)
3 Bulanan (Rp …………….)
D.16 Penghasilan yang dibawa ke rumah per hari dari usaha PKL : Rp ……………………
D.17 Rata-rata biaya konsumsi keluarga per hari : Rp. …………………….
E. PERMASALAHAN DAN PROSPEK
E.1 Apakah anda mempunyai masalah/kesulitan terkait dengan aspek-aspek berikut :
Jawaban dapat lebih dari satu
271
Permasalahan Ya Tidak 1. Pasokan bahan baku 2. Penjualan produk – kekurangan pelanggan 3. Penjualan produk – terlalu banyak pesaing 4. Kesulitan keuangan 5. Tempat usaha sempit 6. Kekurangan perlengkapan 7. Kesulitan mengatur usaha 8. Terlalu banyak biaya resmi 9. Terlalu banyak biaya tidak resmi 10. Penggusuran 11. Pendapatan kecil 12. Ketidakamanan (preman, pencurian dll) 13. Ketidak pastian tempat usaha : ………. 14. Lainnya, sebutkan : ………. 15. Lainnya, sebutkan : ………. 16. Lainnya, sebutkan : ……….
E.2 Untuk menyelesaikan masalah tersebut, apakah anda ingin dibantu dalam hal :
Bentuk bantuan yang diinginkan Ya Tidak 1. Pelatihan teknis 2. Pelatihan manajemen & keuangan 3. Bantuan memperoleh suplai 4. Akses memperoleh pinjaman 5. Akses informasi pasar 6. Penataan usaha / tempat 7. Pendaftaran usaha 8. Iklan produk/layanan baru 9. Lainnya, sebutkan : ………. 10. Lainnya, sebutkan : ………. 11. Lainnya, sebutkan : ……….
E.3. Apakah anda menyadari bahwa usaha ditempat ini menyalahi/ melanggar aturan?
1 Ya 2 Tidak
E.4. Bersediakah anda, jika kegiatan PKL di tata ?
1 Ya (→E. 5) 2 Tidak
E.5. Jika bersedia, maka bentuk penataan yang diharapkan berupa :
1 Ditempatkan dipasar yang telah ada 2 Tetap ditempat sekarang dan diatur
3 Direlokasi ke tempat baru 4 Lainnya, ……………
E.6. Jika bersedia bagaimana system pembayaran yang anda harapkan per lapak standar:
1 Harian : Rp……………. 2 Mingguan : Rp…………….
3 Bulanan : Rp……………. 4 Tahunan : Rp…………….
5 Beli Permanen : Rp…………….
Diisi Petugas :
Catatan Lain : ..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
272
Lampiran 5. Kuisioner Persepsi Pemasok terhadap PKL
Nama surveyor : ………………………………………………………. Tgl survei : ………………………………………………………. Kota : ………………………………………………………. Kecamatan : ………………………………………………………. Desa/Kelurahan : ……………………………………………………….
A. IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1. Nama Responden : ………………………………………………
A.2. Alamat : ………………………………………………
A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu :
1 SD atau sederajat 2 SMP atau sederajat 3 SMA atau sederajat 4 Akademi atau sederajad 5 Sarjana 6 Pascasarjana
B. PERSEPSI PEMASOK
B.1. Apakah keberadaan PKL mengganggu anda dalam berusaha ? 1 Ya 2 Tidak (→B3)
B.2. Jika ”Ya” dalam bentuk apa gangguan PKL terhadap usaha anda ? 1 Mengganggu pasokan barang ke ritel 2 Menyaingi penjualan barang dari ritel 3 Menyediakan produk sejenis dengan harga murah 4 Lainnya, sebutkan : ………………………………
B.3. Jika ”Tidak”, apa manfaat aktivitas PKL terhadap usaha anda ? 1 Menambah rantai pemasaran 2 Meningkatkan jumlah barang yang dipasok (diversifikasi produk) 3 Lainnya : ......................
B.4. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda bagi masyarakat
secara umum : 1 Tidak Ada 2 Lokasi menjadi lebih ramai 3 Mudah mendapatkan kebutuhan 4 Meningkatkan perekonomian
masyarakat kecil 5 Mengurangi pengangguran 6 Lainnya, sebutkan :
……………………
B.5. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL di sekitar anda ? 1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki
273
3 Parkir menjadi sulit 4 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi
5 Jalanan menjadi sesak dan macet 6 Merasa kurang aman 7 Lainnya, sebutkan : ………………………
B.6. Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?. 1 Ya 2 Tidak
B.7. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ? . 1 Pengelompokan Usaha 2 Sarana dan Prasarana Usaha 3 Waktu usaha 4 Relokasi usaha 5 Registrasi usaha 6 Lainnya, sebutkan :
………………………
B.8. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ? 1 Ya 2 Tidak B.8.1. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi 2 Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Diisi Petugas :
Catatan Lain : ..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
274
Lampiran 6. Kuisioner Persepsi Pesaing terhadap PKL
Nama surveyor : ………………………………………………………. Tgl survei : ………………………………………………………. Kota : ………………………………………………………. Kecamatan : ………………………………………………………. Desa/Kelurahan : ……………………………………………………….
A. IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1. Nama Responden : ………………………………………………
A.2. Alamat : ………………………………………………
A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu :
1 SD atau sederajat 2 SMP atau sederajat
3 SMA atau sederajat 4 Akademi atau sederajad 5 Sarjana 6 Pascasarjana
B. PERSEPSI PESAING
B.1. Apakah keberadaan PKL mengganggu anda dalam berusaha ? 1 Ya 2 Tidak (→B4)
B.2. Jika ”Ya” dalam bentuk apa gangguan PKL terhadap usaha anda ? 1 Menurunkan omzet penjualan (→B3) 2 Menyebabkan konsumen enggan berbelanja 3 Mengganggu parkir konsumen 4 Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen 5 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 6 Jalanan menjadi sesak dan macet 7 Merasa kurang aman 8 Lainnya, sebutkan : ………………………………
B.3. Berapa kira-kira penurunan omzet anda per bulan dengan adanya PKL sejenis dengan usaha anda ? Rp. ........................
B.4. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda :
1 Tidak Ada 2 Lokasi menjadi lebih ramai 3 Mudah mendapatkan kebutuhan 4 Meningkatkan perekonomian
masyarakat kecil 5 Mengurangi pengangguran 6 Lainnya, sebutkan :
…………………………
275
B.5. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL di sekitar anda ?
1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki 3 Parkir menjadi sulit 4 Lingkungan menjadi kotor dan
kurang rapi 5 Jalanan menjadi sesak dan macet 6 Merasa kurang aman 7 Lainnya, sebutkan : ………………………………
B.6. Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?.
1 Ya 2 Tidak
B.7. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ? .
1 Pengelompokan Usaha 2 Sarana dan Prasarana Usaha 3 Waktu usaha 4 Relokasi usaha 5 Registrasi usaha 6 Lainnya, sebutkan : ………………………
B.8. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ?
1 Ya 2 Tidak
B.9. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi 2 Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Diisi Petugas :
Catatan Lain : ..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
276
Lampiran 7. Kuisioner Persepsi Masyarakat terhadap PKL
Nama surveyor : ………………………………………………………. Tgl survei : ………………………………………………………. Kota : ………………………………………………………. Kecamatan : ………………………………………………………. Desa/Kelurahan : ……………………………………………………….
A. IDENTIFIKASI RESPONDEN
A.1. Nama Responden : ………………………………………………
A.2. Alamat : ………………………………………………
A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu : ………….Tahun
A.5. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu :
1 SD atau sederajat 2 SMP atau sederajat 3 SMA atau sederajat 4 Akademi atau sederajad 5 Sarjana 6 Pascasarjana
B. PREFERENSI RESPONDEN
B,1. Seberapa sering bapak/ibu berbelanja di PKL dalam sebulan ? ..................kali
B.2. Apa alasan Bapak/Ibu memilih berbelanja/makan di lokasi PKL : 1 Harganya lebih murah dibanding 2 Lokasinya dekat toko/Mall/swalayan 3 Suasana lebih santai 4 Produk/jasa beragam 5 Kualitas produk/jasa sesuai 6 Lebih Familiar 7 Harga dapat ditawar 8 Lainnya, sebutkan : ……….
B.3. Menurut Bapak/ibu, apa manfaat aktivitas PKL di sekitar anda : 1 Tidak Ada 2 Lokasi menjadi lebih ramai 3 Mudah mendapatkan kebutuhan 4 Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil 5 Mengurangi pengangguran 6 Lainnya, sebutkan : ………………………
B.4. Keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Permasalahan apa yang bapak/ibu rasakan dengan adanya aktivitas PKL ?
1 Tidak Ada 2 Mengganggu aktivitas pejalan kaki 3 Parkir menjadi sulit 4 Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 5 Jalanan menjadi sesak 6 Merasa kurang aman dan macet 7 Lainnya, sebutkan : ………………………………
277
B.5. Menurut bapak/ibu, apakah perlu dilakukan pengaturan khusus untuk aktivitas PKL ?.
1 Ya 2 Tidak
B.6. Jika “Ya”, hal-hal apa saja yang menurut bapak/ibu perlu diatur untuk aktivitas PKL ? .
1 Pengelompokan Usaha 2 Sarana dan Prasarana Usaha 3 Waktu usaha 4 Relokasi usaha 5 Registrasi usaha 6 Lainnya, sebutkan : ………………………
B.7. Menurut bapak/ibu, apakah pemda perlu melakukan tindakan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya memang bukan untuk aktivitas PKL ?
1 Ya 2 Tidak
B.8. Jika “Ya” bagaimana mekanisme yang seharusnya ? 1 Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi 2 Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi 3 Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi 4 Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi 5 Lainnya : …………………….
Diisi Petugas :
Catatan Lain : ..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
278
Lampiran 8. Kuisioner Untuk AHP-SWOT Nama Responden : ................................................................................... Umur : ................................................................................... Alamat : ................................................................................... Posisi /Jabatan : ................................................................................... Bidang Keahlian : ................................................................................... Petunjuk Pengisian Kuisioner Untuk Perbandingan Berpasangan 1. Untuk memberikan judgment (penilaian) terhadap elemen-elemen
permasalahan dari setiap level yang sedang diteliti prioritasnya, penilaian dinyatakan secara numerik (skala 1 hingga 9), dengan menggunakan skala sebagai berikut :
Skala
Perbandingan Numerik
Definisi (verbal) Penjelasan
1 3 5 7 9
2,4,6,8
Sama penting (equal importance) Sedikit lebih penting (moderate importance) Lebih penting (esensial/ strong importance) Sangat lebih penting (very strong importance) Mutlak sangat penting (extreme importance) Merupakan angka kompromi diantara penilaian diatas
Dua elemen menyumbang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan judgement agak menyukai sebuah elemen dari pada yang lainnya Pengalaman dan judgment kuat lebih menyukai sebuah elemen daripada yang lainnya Sebuah elemen sangat kuat lebih disukai daripada yang lainnya; dominasinya kelihatan nyata dalam keadaan yang sebenarnya Fakta sebuah elemen lebih disukai dari lainnya berada pada kemungkinan yang tertinggi Bila kompromi diperlukan antara dua penilaian
279
2. Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen, berlaku aksioma resiprokal
artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j 1/3 kali lebih penting dibanding elemen i.
Contoh Pengisian Kuisioner
Berikan tanda (←) atau (→) penilaian Bapak/Ibu terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan berpedoman pada petunjuk pengisian angket kuesioner. Bandingkan elemen-elemen pada kolom 1 dengan elemen-elemen pada kolom 2
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2
Ketersediaan SDM ← Regulasi dan Birokrasi
Ketersediaan SDM → Rencana Tata Ruang
Regulasi dan birokrasi
Rencana Tata Ruang
Penjelasan : a. Tanda arah panah ke kiri (←) menunjukan bahwa kolom 1 lebih penting dari
kolom 2. b. Tanda arah panah ke kanan (→) menunjukan bahwa kolom 2 lebih penting
dari kolom 1. c. Ketersediaan sumberdaya manusia (kolom1) 5 kali lebih penting
dibandingkan regulasi dan Biokrasi (kolom 2), d. Cara penulisan : tanda arah panah kekiri (←) ditulis dibawah angka 5. e. Jika Tata ruang 3 kali lebih penting dibandingkan Ketersediaan SDM, f. Cara penulisan : tanda arah panah kekanan (→) ditulis dibawah angka 3. g. Lanjutkan sampai selesai.
Catatan : Jika kolom 1 lebih penting daripada kolom, maka penilaian (←) diisikan dibawah Angka prioritas. Jika kolom 2 lebih penting daripada kolom 1, maka penilaian (→) diisikan dibawah Angka prioritas
280
PENENTUAN RATING CRITICAL SUCCESS FACTOR
1. Faktor Internal berikut diidentifikasi memberikan kekuatan dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor Faktor-faktor kekuatan mana yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2)
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2
Keberadaan Perda tentang PKL
Ketersediaan SDM
Keberadaan Perda tentang PKL
Kontribusi PKL pada PAD
Keberadaan Perda tentang PKL
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Keberadaan Perda tentang PKL
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Keberadaan Perda tentang PKL
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Ketersediaan SDM Kontribusi PKL pada PAD
Ketersediaan SDM Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Ketersediaan SDM Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Ketersediaan SDM Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
281
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 Kontribusi PKL pada PAD
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Kontribusi PKL pada PAD
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Kontribusi PKL pada PAD
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Ketersediaan barang dan jasa dengan harga terjangkau
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
Kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan
2. Faktor Internal berikut diidentifikasi memberikan kelemahan dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor. Faktor-faktor kelemahan apa yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2)
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Terbatasnya dana
282
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 operasional
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Lemahnya penegakan hukum
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Lemahnya posisi politis PKL
Kebijakan Tata ruang kurang konsisten
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Terbatasnya dana operasional
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Lemahnya penegakan hukum
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Lemahnya posisi politis
283
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 PKL
Terbatasnya kesempatan kerja lain
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Terbatasnya dana operasional
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Lemahnya penegakan hukum
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Lemahnya posisi politis PKL
Kurangnya alokasi tempat untuk relokasi PKL
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Terbatasnya dana operasional
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Terbatasnya dana operasional
Lemahnya penegakan hukum
Terbatasnya dana operasional
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Terbatasnya dana operasional
Lemahnya posisi politis
284
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 PKL
Terbatasnya dana operasional
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Lemahnya posisi politis PKL
Lemahnya kerjasama lintas badan/institusi
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Lemahnya penegakan hukum
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya posisi politis PKL
Lemahnya penegakan hukum
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Lemahnya posisi politis PKL
Kebijakan intervensi pemda yang tidak konsisten
Belum adanya registrasi pelaku PKL
Lemahnya posisi politis PKL
Belum adanya registrasi pelaku PKL
285
3. Faktor Eksternal berikut diidentifikasi memberikan peluang dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor Faktor-faktor Peluang apa yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2)
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 Kebijakan dan komitmen Pemda
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Kebijakan dan komitmen Pemda
Stabilitas nilai mata uang
Kebijakan dan komitmen Pemda
Tersedianya pasar
Kebijakan dan komitmen Pemda
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Kebijakan dan komitmen Pemda
Penciptaan lapang kerja baru
Kebijakan dan komitmen Pemda
Mengurangi masalah sosial
Kebijakan dan komitmen Pemda
Kemudahan sistem registrasi
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Stabilitas nilai mata uang
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Tersedianya pasar
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Penciptaan lapang kerja baru
Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Mengurangi masalah sosial
286
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 Perkembangan sistem teknologi dan informasi
Kemudahan sistem registrasi
Stabilitas nilai mata uang
Tersedianya pasar
Stabilitas nilai mata uang
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Stabilitas nilai mata uang
Penciptaan lapang kerja baru
Stabilitas nilai mata uang
Mengurangi masalah sosial
Stabilitas nilai mata uang
Kemudahan sistem registrasi
Tersedianya pasar Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Tersedianya pasar Penciptaan lapang kerja baru
Tersedianya pasar Mengurangi masalah sosial
Tersedianya pasar Kemudahan sistem registrasi
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Penciptaan lapang kerja baru
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Mengurangi masalah sosial
Pulihnya sektor ekonomi dari krisis global
Kemudahan sistem registrasi
Penciptaan lapang kerja baru
Mengurangi masalah
287
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 sosial
Penciptaan lapang kerja baru
Kemudahan sistem registrasi
Mengurangi masalah sosial
Kemudahan sistem registrasi
4. Faktor Eksternal berikut diidentifikasi memberikan ancaman dalam perumusan strategi pemberdayaan PKL di kota bogor. Faktor-faktor ancaman apa yang lebih penting untuk diperhatikan. (Bandingkan masing-masing elemen pada baris yang sama pada kolom 1 dengan kolom 2)
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 Pertumbuhan angka pengangguran
Perilaku free rider dari PKL
Pertumbuhan angka pengangguran
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Pertumbuhan angka pengangguran
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Pertumbuhan angka pengangguran
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Pertumbuhan angka pengangguran
Sektor abu-abu lahan korupsi
Pertumbuhan angka pengangguran
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Pertumbuhan angka pengangguran
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Pertumbuhan angka pengangguran
Perbedaan persepsi
288
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 aktor
Perilaku free rider dari PKL
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Perilaku free rider dari PKL
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Perilaku free rider dari PKL
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Perilaku free rider dari PKL
Sektor abu-abu lahan korupsi
Perilaku free rider dari PKL
Ketidak-berpihakan dinas/institusi terkait
Perilaku free rider dari PKL
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Perilaku free rider dari PKL
Perbedaan persepsi aktor
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Sektor abu-abu lahan korupsi
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Ketidak-berpihakan dinas/institusi terkait
289
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Sektor informal inferior dibandingkan sektor lain
Perbedaan persepsi aktor
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Sektor abu-abu lahan korupsi
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Ketidak-berpihakan dinas/institusi terkait
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Keinginan menggunakan lahan secara permanen
Perbedaan persepsi aktor
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Sektor abu-abu lahan korupsi
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Ketidak-berpihakan dinas/institusi terkait
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Pertumbuhan ekonomi yang rendah
Perbedaan persepsi aktor
Sektor abu-abu lahan korupsi
Ketidak-berpihakan dinas/institusi terkait
290
Kolom 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kolom 2 Sektor abu Kemacetan
dan kekumuhan wajah kota
Sektor abu Perbedaan persepsi aktor
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Ketidakberpihakan dinas/institusi terkait
Perbedaan persepsi aktor
Kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Perbedaan persepsi aktor
291
Lampiran 9. Perda PKL di Kota Bogor
LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR
TAHUN 2005 NOMOR 9 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR
NOMOR 13 TAHUN 2005
TENTANG
PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor
pada dasarnya adalah hak masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup;
b. bahwa kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh Pedagang
Kaki Lima merupakan usaha ekonomi kerakyatan yang perlu pembinaan dan penataan dalam melaksanakan usahanya sehingga sejalan dengan upaya mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan sesuai dengan visi Kota Bogor Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan Amanah;
c. bahwa dalam rangka peningkatan upaya perlindungan,
pemberdayaan, pengendalian, dan pembinaan terhadap Pedagang Kaki Lima serta perlindungan terhadap hak-hak pihak lain perlu dilakukan penataan dan pengaturan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penataan Pedagang Kaki Lima;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan Undang-
292
Undang Nomor 13 Tahun 1954 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3215);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
9. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
293
10. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139);
11. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 1 Tahun 1990
tentang Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 1990 Nomor 01 Seri C);
12. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 4 Tahun 1999 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 1999 Nomor 2 Seri B);
13. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 5 Tahun 2000
tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2000 Nomor 5 Seri D);
14. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 1 Tahun 2001
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2001 Nomor 1 Seri C);
15. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 2 Tahun 2001
tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2001 Nomor 1 Seri B);
16. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2002 Nomor 2 Seri A);
17. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2004
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2004 Nomor 4 Seri D);
18. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Lalu lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2005 Nomor 3 Seri E);
19. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Pasar (Lembaran Daerah Kota Bogor Tahun 2005 Nomor 4 Seri E);
294
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BOGOR
dan
WALIKOTA BOGOR
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENATAAN
PEDAGANG KAKI LIMA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Bogor. 2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. 3. Walikota adalah Walikota Bogor. 4. Pedagang Kaki Lima yang dapat disingkat PKL adalah penjual barang dan
atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang.
5. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaaan tanah, dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
6. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. 7. Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
295
8. Trotoar adalah bagian dari jalan yang fungsi utamanya diperuntukan bagi
lalu lintas pejalan kaki. 9. Jalur Hijau adalah setiap jalur tanah yang terbuka tanpa bangunan yang
diperuntukkan untuk pelestarian lingkungan sebagai salah satu sarana dalam pengadaan Taman Kota.
10. Fasilitas Umum adalah lahan, bangunan dan peralatan atau perlengkapan
yang disediakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan atau pihak lain. 11. Lokasi adalah batasan-batasan wilayah atau kawasan tertentu sesuai dengan
pemanfaatan wilayah atau kawasan tersebut yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan usaha bagi PKL.
12. Izin adalah penggunaan lokasi pedagang kaki lima yang diberikan oleh
Walikota. 13. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan usaha bagi orang pribadi atau kelompok.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dapat disingkat PPNS adalah pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
BAB II
PENATAAN DAN PENGATURAN
Bagian Pertama Penunjukan Lokasi
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha PKL dapat dilakukan di Daerah. (2) Usaha PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada
tempat yang ditetapkan oleh Walikota. (3) Lokasi yang tidak dapat ditetapkan sebagai tempat usaha PKL adalah sebagai
berikut:
296
a. di dalam lingkungan instansi pemerintah; b. di dalam lingkungan Sekolah; c. di dalam lingkungan tempat peribadatan; d. di sekitar lokasi pasar; e. menempati parit dan tanggul; f. menempati taman kota dan jalur hijau; g. di sekitar monumen dan taman pahlawan; h. di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor; i. di seluruh badan jalan.
(4) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kepentingan umum, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan, dan ketertiban serta kebersihan lingkungan sekitarnya.
(5) Walikota dalam menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melibatkan masyarakat di sekitar lokasi PKL.
Pasal 3
Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada lokasi yang dilarang digunakan untuk tempat usaha PKL.
Bagian Kedua Jenis Komoditi
Pasal 4
(1) Jenis komoditi yang diperdagangkan oleh PKL berupa barang dan atau jasa,
kecuali : a. daging, ikan, dan telur; b. palawija dan bumbu; c. sayuran, tahu, dan tempe; d. sembako; e. pakan ternak; serta f. unggas dan atau ternak kecil.
(2) Jenis komoditi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Walikota.
297
Bagian Ketiga
Bangunan dan Jenis Tempat Usaha
Pasal 5
(1) Bentuk bangunan tidak permanen/sementara yang bentuk dan jenisnya diatur oleh Walikota.
(2) Jenis tempat usaha terdiri dari lesehan, gelaran, tenda, gerobak beroda,
motor, dan mobil.
Bagian Keempat Waktu Berjualan
Pasal 6
Penetapan waktu berjualan PKL diatur oleh Walikota. BAB III
MEKANISME IZIN
Bagian Pertama Perizinan
Pasal 7
(1) Setiap PKL yang akan menggunakan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib mendapat izin tertulis Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Setiap PKL hanya dapat memiliki satu izin. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang.
298
Bagian Kedua Permohonan Izin
Pasal 8
(1) Setiap permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Walikota.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan:
a. kartu tanda penduduk Kota Bogor; b. pas photo terbaru ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar; c. mengisi formulir yang memuat tentang:
1) nama; 2) alamat/tempat tinggal/lama tinggal; 3) jenis usaha yang dimohon; 4) tempat usaha yang dimohon; 5) luas tempat usaha; 6) waktu usaha; 7) perlengkapan yang digunakan; 8) surat pernyataan persetujuan dari pemilik tanah; 9) jumlah modal usaha.
d. membuat surat pernyataan belum memiliki tempat usaha; e. membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menjaga ketertiban,
keamanan, kesehatan, kebersihan, dan keindahan serta fungsi fasilitas umum;
f. membuat surat pernyataan yang berisi : 1) tidak akan memperdagangkan barang ilegal; 2) tidak akan merombak, menambah, dan mengubah fungsi serta
fasilitas yang ada ditempat atau lokasi PKL; 3) kesanggupan mengosongkan atau mengembalikan atau menyerahkan
lokasi PKL kepada Pemerintah Daerah tanpa syarat apapun apabila: a) lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Pemerintah
Daerah; b) lokasi usaha tidak ditempati selama satu bulan.
(3) Tata cara untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
(4) Bentuk dan isi formulir permohonan izin beserta lampiran-lampirannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
299
Bagian Ketiga Penerbitan Izin
Pasal 9
(1) Izin diterbitkan setelah pemohon memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Permohonan izin yang diterima, Walikota menerbitkan izin paling lambat 5
(lima) hari kerja. (3) Permohonan izin yang ditolak, Walikota memberikan alasan yang jelas
secara tertulis paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pemohon mengajukan permohonan izin.
Bagian Keempat Pencabutan Izin
Pasal 10
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dicabut apabila: a. pemegang izin melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Surat Izin; b. lokasi usaha yang bersangkutan tidak lagi ditetapkan sebagai tempat usaha
PKL; c. pemegang izin melanggar ketentuan perundang-undangan; d. berakhir masa berlaku izin; e. tidak memperpanjang izin; f. tidak melakukan usaha PKL lagi; g. melanggar ketentuan jenis komoditi yang telah ditetapkan; h. memperjual-belikan izin PKL.
Bagian Kelima Perpanjangan Izin
Pasal 11
(1) Setiap permohonan perpanjangan izin harus diajukan secara tertulis kepada Walikota paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa izin.
(2) Persetujuan perpanjangan izin merupakan kewenangan Walikota.
300
BAB IV
PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 12 PKL wajib membayar pajak dan/atau retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Pertama
Hak
Pasal 13 Setiap PKL mempunyai hak: a. melakukan kegiatan usaha di lokasi yang telah diizinkan; b. mendapatkan pelayanan perizinan; c. mendapatkan pengaturan, penataan, dan pembinaan, supervisi dan
pendampingannya dalam pengembangan usahanya. Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 14 Setiap PKL mempunyai kewajiban:
a. mematuhi ketentuan perundang-undangan; b. mematuhi jam buka dan jam tutup kegiatan usaha yang ditetapkan oleh
Walikota; c. memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan
lingkungan tempat usaha; d. menempatkan dan menata barang dagangan dan atau jasa serta peralatan
dagangan dengan tertib dan teratur serta tidak mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum;
e. mencegah kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran; f. menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa menuntut ganti rugi
dalam bentuk apapun, apabila sewaktu-waktu lokasi tersebut dibutuhkan oleh pemerintah daerah atau lokasi usaha tidak ditempati selama 1 (satu) bulan;
g. menempati tempat atau lokasi usaha yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah sesuai izin yang dimiliki PKL;
301
h. melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Larangan
Pasal 15 PKL dilarang: a. melakukan kegiatan usahanya di dalam lingkungan instansi pemerintah,
sekolah dan tempat peribadatan serta di sekitar lokasi pasar, menempati parit, tanggul, taman kota, jalur hijau, monumen dan taman pahlawan;
b. melakukan kegiatan usahanya di ruas-ruas jalan tertentu yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL;
c. merombak, menambah, dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada di tempat atau lokasi usaha PKL yang telah disediakan dan atau ditentukan Walikota;
d. menempati lahan atau lokasi PKL untuk kegiatan tempat tinggal (hunian); e. berpindah tempat atau lokasi dan atau memindahtangankan izin tanpa
sepengetahuan dan seizin Walikota; f. menelantarkan dan atau membiarkan kosong tanpa kegiatan secara terus
menerus selama 1 (satu) bulan; g. mengganti jenis komoditi dan atau memperdagangkan barang ilegal; h. melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau mengubah bentuk
trotoar, fasilitas umum, dan/atau bangunan di sekitarnya; i. menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang dikhususkan
untuk lokasi PKL; j. PKL yang menggunakan kegiatan usaha dengan menggunakan kendaraan
dilarang berdagang di tempat-tempat larangan parkir, pemberhentian sementara, atau trotoar;
k. membuat bangunan tempat usaha yang bersifat permanen; l. memperjualbelikan tempat usaha PKL kepada pedagang lainnya.
BAB VI
PEMBINAAN, PEMBERDAYAAN, DAN PENGEMBANGAN
Pasal 16 (1) Pembinaan, pemberdayaan, dan pengembangan usaha PKL dilakukan
untuk meningkatkan usaha dari PKL menjadi Pedagang Kecil di dalam pasar yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan atau bekerja sama dengan pihak lain.
(2) Bentuk pembinaan, pemberdayaan, dan pengembangan, meliputi : a. pembinaan manajemen usaha; b. penguatan modal usaha; c. peningkatan kualitas dan kuantitas usaha PKL;
302
d. peningkatan kualitas alat peraga PKL; e. pengembangan usaha melalui kemitraan dan pelaku ekonomi yang
lain; f. pembinaan kesehatan lingkungan usaha.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 17 (1) Pengawasan terhadap usaha PKL dilakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung oleh Walikota. (2) Walikota dalam melaksanakan pengawasan terhadap PKL dapat meminta
bantuan kepada komponen masyarakat dan/atau instansi yang terkait.
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 18 (1) Masyarakat berhak:
a. berperan serta dalam penataan PKL; b. memperoleh informasi mengenai penataan PKL; c. memperoleh manfaat atas penataan PKL; d. dapat membentuk paguyuban PKL.
(2) Masyarakat dapat ikut menjaga ketertiban PKL. BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 19 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dibayarkan langsung ke rekening kas daerah setelah ditetapkan oleh Hakim Sidang Pengadilan Negeri Bogor.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
303
(3) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindakan yang menyebabkan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, serta mengakibatkan kerugian bagi pihak lain diancam hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB X
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 20
(1) Selain diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), terhadap pelanggaran ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 Walikota atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk :
a. Mencabut ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; b. Menutup usaha Pedagang Kaki Lima yang tidak mempunyai izin
dan/atau menempati lokasi selain yang telah diizinkan.
(2) Walikota atau pejabat yang ditunjuk selain mempunyai kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga mempunyai kewenangan untuk mencabut izin penggunaan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, apabila : a. Lokasi yang dipergunakan oleh Pedagang Kaki Lima, digunakan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum yang lebih luas; b. 30 (tiga puluh) hari berturut-turut lokasi tidak dipergunakan tanpa
keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Pedagang Kaki Lima melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 21
Tindakan pencabutan izin dan menutup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu adanya Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 22 Selain oleh penyidik umum, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah.
304
Pasal 23
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi dan atau kelompok tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi dan atau kelompok sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik POLRI memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, PKL yang melakukan kegiatan
usaha di luar tempat atau lokasi yang ditetapkan oleh Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Daerah ini wajib menempati lokasi yang telah ditentukan.
(2) Pedagang Kaki Lima yang telah melakukan usaha sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan tetap dapat melaksanakan usahanya dan diberikan hak lebih
305
dahulu untuk memperoleh izin dari Walikota sepanjang tempat usahanya ditetapkan sebagai lokasi atau tempat usaha Pedagang Kaki Lima.
(3) Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan PKL sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini mengenai pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Walikota paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal 26
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bogor.
Ditetapkan di Bogor pada tanggal 20 Desember 2005
WALIKOTA BOGOR,
t.t.d DIANI BUDIARTO
Diundangkan di Bogor pada tanggal 21 Desember 2005 SEKRETARIS DAERAH KOTA BOGOR,
t.t.d DODY ROSADI
LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 9 SERI E PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR
NOMOR 13 TAHUN 2005
TENTANG
PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA
306
I. PENJELASAN UMUM
Sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteran masyarakat berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, masyarakat Kota Bogor perlu diikutsertakan dan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian disadari bahwa kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas tempat berusaha disektor formal sangat terbatas, disisi lain masyarakat berharap mendapatkan peluang usaha yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan fasilitas yang tersedia. Oleh karena itu perlu diciptakan iklim yang mendorong kegiatan usaha oleh masyarakat, termasuk didalamnya yang dilaksanakan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan tetap memperhatikan hubungan yang saling menguntungkan dan persaingan usaha yang sehat dengan usaha lainnya dengan membentuk Peraturan Daerah tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan
jaminan tempat usaha yang layak serta menjadikan sektor usaha PKL tersebut sebagai suatu usaha yang lebih produktif dalam membangun perekonomian daerah. Dengan demikian PKL, masyarakat, dan Pemerintah Daerah dapat memperoleh manfaat yang maksimal. Peraturan Daerah ini merupakan dasar hukum bagi Pemerintah Kota untuk memfasilitasi, membina, mengatur, dan menertibkan PKL.
Selain hal tersebut diatas tujuan Penataan PKL juga untuk mewujudkan
sistem perkotaan Kota Bogor yang seimbang, aman, tertib, lancar, bersih, dan sehat. Dengan demikian, disamping PKL diberi kesempatan untuk dikembangkan, keseimbangan terhadap kebutuhan bagi kegiatan lainnya juga harus tetap terjaga.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 : cukup jelas
Pasal 2 ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas ayat (4) : cukup jelas ayat (5) : yang dimaksud masyarakat di sekitar lokasi PKL antara
lain LSM, LPM, RT, RW, Paguyuban PKL, dan Kelompok masyarakat lainnya
Pasal 3 : cukup jelas Pasal 4 ayat (1) : yang tidak termasuk dalam komoditi yang dilarang adalah
Talas Bogor dan yang dimaksud dengan barang dan jasa antara lain:
307
a. perlengkapan rumah tangga atau kelontong; b. aksesoris; c. alat-alat elektronik; d. sandang dan pakaian; e. buah-buahan; f. komoditi campuran; g. makanan dan minuman; h. Percetakan, Reklame; i. Cukur Rambut; j. Tukang Semir Sepatu; k. Jasa BPKB, STNK; l. Salon Motor.
ayat (2) : cukup jelas
Pasal 5 ayat (1) : Bentuk bangunan tidak permanen adalah bangunan yang
bersifat tidak tetap dan mudah dibongkar pasang. ayat (2) : Adanya penyeragaman dalam bentuk dan warna
bangunan
Pasal 6 : cukup jelas Pasal 7 :
ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas
ayat (3) : cukup jelas
Pasal 8 ayat (1) : cukup jelas
ayat (2) : Telah tinggal di Kota Bogor dan memiliki KTP Kota Bogor minimal 5 tahun ke belakang setelah Peraturan Daerah ini diberlakukan.
ayat (3) : cukup jelas
ayat (4) : cukup jelas
Pasal 9 ayat (1) : cukup jelas
ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas
308
Pasal 10 : cukup jelas
Pasal 11
ayat (1) : cukup jelas ayat (2) : cukup jelas
Pasal 12 : Jenis pungutan yang dipungut bagi yang melakukan kegiatan PKL
adalah retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan pajak restoran atau pajak rumah makan
Pasal 13 : cukup jelas
Pasal 14 : Ketentuan pada pasal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban, dan kesehatan lingkungan tempat usaha.
Pasal 15 : cukup jelas
Pasal 16 : ayat (1) : Yang dimaksud dengan penyelenggaraan
pembinaan adalah bimbingan, penyuluhan, dan pelaksanaan penataan tempat kepada PKL agar dapat tetap terjaga keamanan, ketertiban, keindahan dan kesehatan lingkungan.
ayat (2) : cukup jelas
Pasal 17 ayat (1) : cukup jelas
ayat (2) : cukup jelas
Pasal 18 ayat (1) : cukup jelas
ayat (2) : cukup jelas
Pasal 19 ayat (1) : cukup jelas
309
ayat (2) : cukup jelas
ayat (3) : cukup jelas
Pasal 20 ayat (1) : cukup jelas
ayat (2) : cukup jelas
Pasal 21 : cukup jelas Pasal 22 : cukup jelas
Pasal 23 : cukup jelas
Pasal 24 ayat (1) : Khusus lokasi Jl. MA. Salmun, Jl. Nyi Raja Permas, dan
Jl. Dewi Sartika berakhir sampai akhir bulan Oktober 2007
ayat (2) : cukup jelas ayat (3) : cukup jelas
Pasal 25 : cukup jelas
Pasal 26 : cukup jelas
310
Lampiran 10. Dokumentasi Aktivitas Penelitian
A. PKL dan Wajah Kota
Aktivitas PKL yang tidak teratur menyebabkan kemacetan dan kekumuhan wajah kota
Ketidakkonsistenan penataan PKL menyebabkan
kesremawutan wajah kota
311
B. Pasar Kuliner
Aktivitas Pasar Kuliner di Sekitar Terminal Baranangsiang
Aktivitas Pasar Kuliner di Jalan Pajajaran
Aktivitas Pasar Kuliner di Sekitar
Sukasari Aktivitas Pasar Kuliner di Warung
Jambu
Aktivitas Pasar Kuliner di Sekitar
Sukasari Aktivitas Pasar Kuliner di Air Mancur
312
C. Pasar Tumpah
Aktivitas Pasar Tumpah di sekitar
Taman Topi Aktivitas Pasar Tumpah depan Bioh
Aktivitas Pasar Tumpah di Djuanda Aktivitas Pasar Tumpah di Dewi Sartika
Aktivitas Pasar Tumpah di dekat masjid
raya Aktivitas Pasar Tumpah di Merdeka
313
D. Pasar Sayur Malam
Aktivitas Pasar Sayur Malam di Pasar
Bogor Aktivitas Pasar Sayur Malam di Pasar
Bogor
Aktivitas Pasar Sayur Malam di dekat
BTM Aktivitas Pasar Sayur Malam di
Merdeka
Aktivitas Pasar Sayur Malam di dekat
BTM Aktivitas Pasar Sayur Malam di
Merdeka
314
E. Propil salah seorang PKL di Taman Topi
Catatan : Lokasi Taman Topi Luas Tempat Usaha : 1 x 1,5 m2
Usia PKL : 26 Tahun Status perkawinan : Belum Menikah Pendidikan : SMP Tanggungan Keluarga : 4 orang ( seorang Ibu, seorang Kakak, seorang adik, seorang keponakan ) Lama berjualan : 3 Tahun Keeterangan lain : Komoditi yang dijual : kaus kaki Modal awal Rp. 2 Juta , diperoleh dengan pinjaman dari teman, Pinjaman lunas kurang lebih setelah 3 bulan . Nilai barang jualan sekarang sekitar Rp, 3 juta, uang sendiri. Mampu memberi uang belanja kepada orang tua rata-rata sekitar Rp. 40.000,-/ hari. Adik baru selesai SMA, keponakan di SD menjadi tanggungannya. Mampu membayar cicilan motor sekitar Rp. 500.000,- per bulan ( sudah satu tahun lebih)
315
Lampiran 11 Peta Kota Bogor dan Persebaran PKL
Sumber : Wahyu (2003)
316
Lokasi kerumunan PKL = kerumunan PKL
Daerah PasarAnyar , J Merdeka dan Jembatan Merah 2/4
317
Daerah Psr. Bogor, Suryakencana, Jl.Roda ,Otosta, Pajajaran dan Tanjakan Empang, Jl Juanda 3/4
Air Mancur Jambu Dua Sempur, Tmn. Kencana
4/4
124