KARAKTERISTIK KOMUNITAS BELALANG PADA BEBERAPA
VEGETASI DI LAMPUNG SELATAN
(Skripsi)
Oleh
Aditya Ferdinan
1114121005
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
Aditya Ferdinan
ABSTRAK
KARAKTERISTIK KOMUNITAS BELALANG PADA BEBERAPA
VEGETASI DI LAMPUNG SELATAN
Oleh
Aditya Ferdinan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi genus-genus belalang yang
terdapat pada vegetasi lahan jagung, lahan padi, dan lahan bera yang merupakan
vegetasi utama bagi hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis L.)
(Orthoptera: Acrididae). Selain mengidentifikasi belalang sampai dengan tingkat
klasifikasi genus, penelitian ini menganalisis dan membandingkan proporsi
kepadatan populasi genus-genus belalang dan karakteristik komunitasnya pada
ketiga hamparan vegetasi yang disurvei di Kecamatan Natar, Jatiagung, dan
Tanjung Bintang di Kabupaten Lampung Selatan. Ketiga kecamatan ini pernah
mengalami ledakan populasi belalang kembara. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Januari hingga Mei 2016 dengan menggunakan metode penetapan titik
sampel terpilih (purposive sampling). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
belalang ditemukan sekurangnya-kurangnya terdiri dari empat famili, yaitu
Acrididae yang meliputi 7 genus, Tettigonidae yang meliputi 3 genus, Mantidae,
dan Tetrigidae. Berdasarkan hasil analisis data, indeks keragaman yang terdapat
pada ketiga lokasi tersebut termasuk dalam kategori sedang dengan nilai antara
2,01-2,08. Kepadatan relatif genus belalang tertinggi ditemukan pada genus Oxya
Aditya Ferdinan
di Wilayah Natar (27%) dan Jati Agung (24%), sedangkan di Kecamatan Tanjung
Bintang indeks keragaman tertinggi terdapat pada genus Tagasta (25%).
Kata kunci: belalang, genus, kelimpahan, keragaman, lahan bera/rumput, vegetasi
lahan jagung, vegetasi lahan padi.
KARAKTERISTIK KOMUNITAS BELALANG PADA BEBERAPA
VEGETASI DI LAMPUNG SELATAN
Oleh
ADITYA FERDINAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
Judul Slripsi
Namalvlahasiswa
Nomor Pokok Mahasiswa
Jurusan
Fakultas
ffiKOMT'NITASBELALAr{GPAI}A BEBERAPA VEGETASI DI LAMPT'NGSELATA,I\I
z{Sttc fier&wt1114121m5
Agroteknologi
Pertanian
MEITYETUJIJI
1. Komisi Pembimbing
WRza,*Prof, Dr. In Hlmim Sudarsonor lt{.Sc.NIP r96m1191984031003
hii LcstlrL SJ., M.SL
2. Ketua Jurusan Agroteknologi
Prof, Dr. In Sri Yusneini, nil.Si"NrP I 963050819881 12001
l- Tim Penesji
KGns
MENGESAHKA}I
: Prof. Ilr. Ir. rremim Sudanronor It4Sc.
(hL',e",""
Sdsetilis : Puii L€$tari, S.P.r IWSL
FengqiiBuhn Pembimbing : Ilr. Ir. I Gede Swibawa, MS.
-Sultri Banuwa" MSi"986031002
t
Tangeal Lulus Ujim Skipsi :tllvbrct20ll
(;$.-;i
a-
SURAT PtsRI\TYATAAI\I
Scya yang hrtanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa slaipsi saya yang
berjudul: _
&IGR+I(TEruSTIK KOMIIMTAS BELALANG PAIIA
BEBARAPA \aEGETASf DI LAMPUNG SELATAI\I" menrpakan hasil karya
sendiri dan bukan hasil karya orang lain. Semua hasil yang terhrang dalam skripsi
ini telah mengituti kaidah p"oo!* karya ilniah Universitas Lampung. Apabila
dikerrudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan hasil salinan atsu dibuat
oleh orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan
akademik yang berlaku
Bandarlampung, Agustus 2017
Penulis,
I\[PM 1114121005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Lampung Selatan pada
tanggal 04 Oktober 1992 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak
Nafrizal dan Ibu Tusirahani.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Al-Kautsar Bandar Lampung
pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama Al-Kautsar Bandar Lampung pada
tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bandar Lampung pada tahun
2011. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Lampung Jurusan Agroteknologi pada tahun 2011 melalui jalur SNMPTN.
Pada tahun 2014/2015 penulis melaksanakan Praktik Umum di Balai Penelitian
Tanaman Pangan (BPTP) Tegineneng dan di tahun yang sama melaksanakan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Tanggamus.
“Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat
buahnya, hidup di tepi jalan dan dilempari
orang dengan batu, tetapi dibalas dengan
buah”.(Abu Bakar Sibli).
“Bertakwalah pada Allah maka Allah akan
mengajarimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. ( Al-Baqarah: 282)
Puji dan syukur kuhaturkan kepada-Mu, Allah SWT
Kupersembahkan karya ilmiah ini dengan penuh sukacita kepada:
Bapak dan ibu tercinta
Nafrizal dan Tusirahani
Serta keluarga besar, para pendidik dan almamater tercinta,
Universitas Lampung
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat,
karunia, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Karakteristik Komunitas Belalang Pada Beberapa Vegetasi Di Lampung
Selatan”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hamim Sudarsono, M.Sc., Pembimbing Pertama yang
telah memperkenankan penulis mengerjakan penelitian ini serta memberikan
bimbingan, motivasi dan arahan selama melakukan penelitian ini dan
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Puji Lestari, S.P., M.Si., Pembimbing Kedua atas bimbingan, nasihat,
motivasi, saran dan arahan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. I Gede Swibawa, M.S., Pembahas yang telah memberikan
masukan dan saran kepada penulis.
4. Bapak Ir. Herry Susanto, M.P, Pembimbing akademik, atas bimbingan,
motivasi dan arahan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M. Si., Ketua Jurusan Agroteknologi, Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
7. Seluruh dosen Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Lampung, atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama ini.
8. Keluargaku: Bapak Nafrizal, Ibu Tusirahani, Kakak Selfiyana, dan Adik Elsa
Riza Fadhillah, atas segala kasih sayang, doa, perhatian, kesabaran, dan
dukungan yang diberikan.
9. Ayu Annisafitri, atas semua doa, perhatian, dan motivasi yang diberikan.
10. Sahabat-sahabatku: Arif Firmanyah, S.P., Eko Saputro, S.P., Edy Wahyu
Himawan, S.P., Fajar Suryanto, S.P., Agung Prastiyo, S.P., Agung Susilo,
S.P., Akbar, S.P., Ali Muhtadi, S.P., Fransiska Dina, S.P., dan Eka Rizki
Amelia, S.P., atas segala nasihat dan motivasinya selama ini.
11. Serta seluruh teman-teman AGT 011 yang tidak bisa penulis sebutkan
namanya satu persatu atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama
ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, Agustus 2017
Penulis
Aditya Ferdinan
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Belalang ............................................................................ 5
2.2 Jenis-Jenis Belalang ........................................................................... 6
2.2.1 Valanga ..................................................................................... 6
2.2.2 Phlaeoba .................................................................................... 7
2.2.3 Acrida ........................................................................................ 8
2.2.4 Tagasta ...................................................................................... 8
2.2.5 Locusta ...................................................................................... 9
2.3 Keragaman/Biodiversitas ................................................................... 11
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 15
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 15
3.3 Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 15
3.3.1 Penetapan Petak Sampel ......................................................... 16
3.3.2 Pengambilan Spesimen Belalang ............................................ 17
3.3.3 Identifikasi Spesimen Belalang............................................... 18
3.3.4 Analisis Data ........................................................................... 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Genus Belalang yang Ditemukan dan Kelimpahannya ................... 21
ii
4.1 Kepadatan Realtif dan Nilai Penting Genus-Genus Belalang
Ditemukan ........................................................................................ 24
4.2 Indeks Kemiripan Genus ................................................................. 28
4.3 Kurva Akumulasi Genus ................................................................. 33
4.4 Indeks Keragaman Shannon Belalang ............................................ 36
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 40
5.2 Saran ................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakteristik lokasi pengambilan spesimen belalang ............. 17
2. Kelimpahan belalang pada vegetasi jagung, padi, dan
lahan bera di Kecamatan Natar, Jati Agung, dan Tanjung
Bintang ................................................................................... 23
3. Kepadatan relatif belalang pada vegetasi jagung, padi, dan
lahan bera di Kecamatan Natar, Jati Agung, dan Tanjung
Bintang ................................................................................... 25
4. Nilai penting belalang pada vegetasi jagung, padi, dan
lahan bera di Kecamatan Natar, Jati Agung, dan Tanjung
Bintang ................................................................................... 27
5. Indeks kemiripan genus belalang antar kecamatan ................ 28
6. Indeks kemiripan genus belalang antar vegetasi .................... 30
7. Indeks keragaman shannon pada vegetasi ditiga kecamatan .. 37
8. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi jagung di Natar ................. 44
9. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi padi di Natar ..................... 44
10. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi bera/rumput di Natar ......... 45
11. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi jagung di Jati Agung ......... 45
12. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi padi di Jati Agung ............. 46
iv
13. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi bera/rumput di Jati
Agung ..................................................................................... 46
14. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi jagung di Tanjung
Bintang ................................................................................... 47
15. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi padi di Tanjung Bintang ... 47
16. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang pada hamparan vegetasi bera/rumput di Tanjung
Bintang ................................................................................... 48
17. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang di Natar ..................................................................... 48
18. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang di Jati Agung ............................................................ 49
19. Indeks keragaman Shannon-Wiever dan nilai penting
belalang di Tanjung Bintang................................................... 49
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Contoh peta titik sampel ........................................................... 16
2. Famili Tettigonidae yang ditemukan pada hasil survei yang
dilakukan; A. Genus Ducetia, B. Conocephalus, dan C.
Holochlora ................................................................................ 21
3. Famili Acrididae yang ditemukan pada hasil survei yang
dilakukan; A. Genus Locusta, B. Oxya, C. Valanga, D.
Atractomorpha, E. Acrida, F. Phlaeoba, dan G. Tagasta .......... 22
4. Famili lainnya yang ditemukan pada hasil survei yang
dilakukan; A. Famili Mantidae dan B. Famili Tetrigidae ....... 22
5. Kurva akumulasi genus belalang pada tiga vegetasi di
Kecamatan Natar dengan ekstrapolasi [tanda bulat adalah
koordinat (x,y) dengan x = jumlah titik sampel dan y =
jumlah genus belalang] ............................................................. 34
6. Kurva akumulasi genus belalang pada tiga vegetasi di
Kecamatan Jati Agung dengan ekstrapolasi [tanda bulat
adalah koordinat (x,y) dengan x = jumlah titik sampel dan
y = jumlah genus belalang]....................................................... 35
7. Kurva akumulasi genus belalang pada tiga vegetasi di
Kecamatan Tanjung Bintang dengan ekstrapolasi [tanda
bulat adalah koordinat (x,y) dengan x = jumlah titik sampel
dan y = jumlah genus belalang] ................................................ 36
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belalang merupakan kelompok serangga yang termasuk ke dalam ordo
Orthoptera yang sebagian anggotanya dikenal sebagai hama tanaman pertanian.
Belalang pada waktu-waktu tententu dapat menjadi hama penting karena jenis
hama ini dapat menyerang lahan pertanian dalam kelompok besar. Selain berperan
sebagai hama pertanian, sebagian anggota ordo Orthoptera ada yang berperan
sebagai pemakan bangkai, pengurai material organik nabati dan hewani
(dekomposer), pemakan bagian tumbuhan hidup dan mati, serta sebagai musuh
alami (pemangsa atau predator) dari berbagai jenis serangga lainnya (Borror et al.,
1992).
Hama belalang bersifat polifag, yaitu mempunyai kisaran inang yang luas
karena hampir semua tanaman dapat menjadi inangnya. Sifat polifag ini membuat
belalang dengan mudah ditemukan pada berbagai vegetasi dan populasinya
tersedia sepanjang musim tanam. Kisaran inang yang luas menyebabkan belalang
dan kerabatnya hidup pada berbagai tipe lingkungan atau ekosistem, antara lain
pada ekosistem pertanian, hutan, semak atau belukar, serta pada vegetasi lainnya.
Hal ini menyebabkan jenis belalang pada populasi dan keragaman normal
2
umumnya tidak menyebabkan kerugian besar. Namun demikian, perubahan
kondisi iklim dalam jangka yang panjang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi spesies belalang sehingga mengubah status keragaman dan
populasinya. Kondisi curah hujan yang sangat rendah selama 10 tahun pada tahun
1980-an misalnya, diduga menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dan
komposisi belalang di wilayah Sumatera bagian selatan yang kemudian
menyebabkan terjadinya ledakan populasi belalang kembara pada akhir tahun
1990-an (Sudarsono, 2003).
Secara ekologis, terjadinya eksplosi populasi salah satu spesies dalam suatu
kompleks komunitas serangga pada umumnya merupakan akibat dari adanya
perubahan proporsi dari populasi komunitas tersebut. Perubahan proporsi populasi
ini selanjutnya dapat memicu terjadinya perubahan komposisi dominansi spesies
yang ada dalam komunitas tersebut. Jika yang berubah menjadi dominan adalah
hama penting, seperti hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis),
maka dampak kerugian yang ditimbulkan menjadi besar. Belalang kembara yang
populasinya meningkat memicu terjadinya perubahan perilaku dan bahkan
mengubah status populasinya, dari soliter menjadi transien dan akhirnya
membentuk populasi gregarius yang sangat merugikan. Untuk mengantisipasi hal
ini diperlukan informasi biologis yang dapat digunakan sebagai salah satu
instrumen untuk memantau perkembangan populasi hama belalang kembara.
Dalam konteks ini, informasi biologis yang diperlukan antara lain proporsi
kelimpahan, keragaman, serta genus-genus belalang dalam kondisi populasi
normal atau dalam keadaan keseimbangan populasi (equilibrium). Untuk
3
memperoleh informasi biologis ini maka diperlukan penelitian untuk menjawab
beberapa pertanyaan yang relevan, yaitu:
(1) Genus belalang apa saja yang terdapat pada hamparan vegetasi jagung,
padi, dan lahan bera di Lampung Selatan?
(2) Bagaimanakah proporsi kepadatan populasi belalang, dominansi, dan
bagaimana karakteristik komunitasnya pada hamparan vegetasi jagung,
padi, dan bera di Lampung Selatan?
Informasi biologis tentang genus dan proporsi spesies belalang serta
kepadatan populasinya suatu hamparan vegetasi pertanian dalam kondisi normal
(kondisi tidak ada outbreak dari salah satu spesiesnya) perlu dipelajari agar
diperoleh informasi awal bagaimana keseimbangan populasinya secara relatif.
Informasi awal ini diharapkan bermanfaat untuk menganalisis dinamika populasi
dari hama belalang jika suatu ketika terjadi outbreak salah satu genus belalang
yang terdapat di dalam suatu hamparan vegetasi seperti pada vegetasi jagung,
padi, atau lahan bera.
Pada umumnya peningkatan populasi belalang terjadi akibat adanya
belalang yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara
ekologis sesuai untuk perkembangbiakan belalang. Lokasi tersebut biasanya
berupa lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput seperti hamparan bera
dan dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanah cukup lembab.
Hama belalang juga banyak ditemukan pada daerah dataran rendah seperti lahan
persawahan, serta lahan budidaya tanaman jagung yang berdekatan dengan
hamparan rerumputan (Jumar, 2000). Berdasarkan kondisi tersebut maka dalam
penelitian ini dilakukan survei lapangan untuk menganalisis komposisi belalang
4
pada hamparan pertanaman jagung dan padi yang banyak dibudidayakan di
Lampung Selatan. Untuk survei ini dipilih Kecamatan Natar, Jati Agung, dan
Tanjung Bintang yang pernah mengalami ledakan populasi belalang kembara.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan
tujuan:
(1) Mengidentifikasi belalang-belalang yang ada sampai tingkat genus pada
hamparan vegetasi jagung, padi, dan bera di Lampung Selatan.
(2) Menganalisis dan membandingkan proporsi kepadatan populasi genus-
genus belalang dan karakteristik komunitasnya pada hamparan vegetasi
jagung, padi, dan bera di Lampung Selatan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Belalang
Ordo Orthoptera (bangsa belalang) sebagian anggotanya dikenal sebagai
pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai
predator pada serangga lain. Belalang memiliki tipe mulut penggigit dan
pengunyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang
maxilla dengan masing-masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan
palpus labialisnya. Sayap depan (tegmina) belalang berukuran lebih sempit
daripada sayap belakang dengan vena-vena menebal/mengeras. Sayap belakang
berupa membran dan melebar dengan vena-vena yang teratur (Jumar, 2000).
Beberapa spesies belalang mampu menimbulkan suara yang biasanya
dihasilkan dengan menggosokkan femur belakangnya terhadap sayap
depan/abdomen atau karena kepakan sayapnya sewaktu terbang. Femur belakang
belalang umumnya berukuran panjang dan kuat yang cocok untuk melompat.
Belalang terkenal sebagai hama dengan kemampuan melompat yang baik dengan
jarak lompatan dapat mencapai 20 kali panjang tubuhnya (Triharso, 1994).
Perkembangan daur hidup belalang terdiri dari fase telur, nimfa, dan imago.
Nimfa dan imago adalah stadia yang aktif merusak pertanaman, kedua stadia ini
memiliki habitat (tempat hidup) yang sama. Imago betina meletakkan telur di
dalam tanah yang selanjutnya akan menetas pada saat keadaan tanah cukup
6
lembab. Belalang betina meletakkan telurnya sekitar 1-2 inci di dalam tanah
menggunakan ovipositor pada ujung perutnya. Belalang betina akan bertelur
setiap interval 3-4 hari hingga semua telur dikeluarkan. Belalang betina dapat
meletakkan hingga ratusan butir selama masa bertelur. Telur dapat bertahan
berbulan-bulan jika keadaan tanah tak kunjung lembab (Tjahjadi, 1989). Telur
belalang menetas menjadi nimfa, dengan tampilan belalang dewasa versi mini
tanpa sayap dan organ reproduksi. Nimfa belalang yang baru menetas biasanya
berwarna putih, namun setelah terekspos sinar matahari, warna khas mereka akan
segera muncul.
2.2 Jenis-Jenis Belalang
2.2.1 Valanga
Genus Valanga merupakan belalang yang berukuran besar, hidup pada
tanaman dan semak-semak belukar dan belalang jenis ini dapat berkembang biak
dengan cepat. Genus Valanga dapat dikenali dengan ciri terdapat duri di bawah
prosternum dan collar lebih kecil, dan femur paling belakang mempunyai
sepasang tanda hitam. Valanga memiliki bintik-bintik yang jelas di femur
belakang serta tibia belakang berwarna ungu, sedangkan di bawah pangkal
sayapnya berwarna merah. Ukuran tubuh belalang betina Valanga adalah 58 – 71
mm, sedangkan yang jantan 49 – 63 mm (Kalshoven, 1981).
Belalang kayu (Valanga nigricornis) merupakan salah satu hama daun yang
penting karena serangga ini mempunyai kisaran inang yang luas. Tumbuhan inang
belalang kayu V. nigricornis meliputi rumput, padi, jagung, kelapa, palem, dan
7
lainnya. Ciri-ciri belalang kayu V. nigricornis antara lain memiliki antena pendek,
organ pendengarannya terletak pada ruas abdomen serta alat peletak telurnya
berukuran pendek. Kebanyakan belalang V. nigricornis warnanya kelabu atau
kecoklatan dan beberapa mempunyai warna cemerlang pada sayap belakangnya.
Serangga ini termasuk pemakan tumbuhan dan sering kali merusak tanaman.
Adapun alat mulutnya bertipe penggigit pengunyah (Sudarmono, 2002).
2.2.2 Phlaeoba
Belalang genus Phlaeoba umumnya berukuran kecil dengan panjang ukuran
tubuhnya lebih dari 20 mm. Belalang jenis ini berwarna coklat dan biasanya
ditemukan di rerumputan dan persawahan, baik pada dataran rendah maupun
dataran tinggi. Phlaeoba fumosa memiliki tipe kepala bertipe hypogantus
(vertikal) yaitu bagian dari alat mulutnya mengarah ke bawah dan segmen-segmen
kepalanya ada dalam posisi yang sama dengan tungkai, dan antenanya terdiri dari
10 ruas. Antena belalang Phlaeoba berbentuk clavate yang makin membesar pada
bagian ujungnya. Antena belalang ini berukuran lebih pendek dari panjang
tubuhnya, serta organ pendengarannya (timpana) terdapat pada ruas abdomen
pertama. Abdomen Phlaeoba fumosa terdiri dari 8 ruas dan memiliki bentuk
lonjong. Phlaeoba fumosa memiliki tungkai yang terdiri dari 5 ruas, memiliki
kuku bertipe saltatorial dan diantara kukunya terdapat arolium, sementara tibia
belalang ini berwarna kemerahan (Kalshoven, 1981). Contoh hama belalang dari
genus ini adalah Phlaeoba antennata dan Phlaeoba Infumata.
8
2.2.3 Acrida
Belalang dari genus Acrida dapat ditemukan dengan mudah karena hama ini
tersebar cukup luas. Acrida turrita dapat ditemukan di tempat-tempat terbuka
seperti pada hamparan lahan berumput, taman, dan sawah. Acrida turrita
merupakan spesies yang mempunyai kepala berbentuk memanjang dan
mempunyai beberapa ciri khusus seperti tubuh berwarna hijau kekuningan,
kemudian antena belalang ini pada bagian pangkalnya memipih dan melebar serta
meruncing pada bagian ujungnya. Bagian dari kepala sampai sayap belalang
Acrida memiliki jarak 62-75 mm untuk serangga betina dan 38-45 mm untuk
serangga jantan. Selain ciri-ciri tersebut, Acrida turrita mempunyai kriteria yang
sangat unik yaitu dapat menimbulkan bunyi ketika terbang dan nimfanya biasanya
memiliki anal yang panjang (Kalshoven, 1981).
2.2.4 Tagasta
Belalang genus Tagasta merupakan belalang yang memiliki kepala
berbentuk lonjong. Jenis belalang ini berukuran kecil dan berwarna hijau. Nimfa
dan imago belalang Tagasta memakan daun dan menyebabkan daun berlubang-
lubang tidak teratur. Salah satu spesies genus Tagasta adalah Tagasta marginella
yang banyak ditemukan pada vegetasi jagung dan padi. Jenis belalang T.
marginella memiliki ukuran yang bervariasi, dari yang kecil sampai sedang.
Belalang ini mempunyai kepala berbentuk kerucut dengan tubuh berwarna hijau
dan coklat jerami disertai dengan adanya bercak-bercak hitam pada femurnya.
Belalang T. marginella betina berukuran 3,2 cm, lebih besar jika dibandingkan
dengan belalang jantan yang hanya berukuran sekitar 2 cm. Femur belalang T.
9
marginella berwarna kuning dengan tibia yang berduri dan berwarna hitam.
Belalang genus ini memiliki abdomen yang terdiri dari l0 tergum dan 5 sternum.
Belalang ini banyak terdapat di daerah padang rumput tetapi biasanya banyak
ditemukan di daerah persawahan (Kalshoven, 198l).
2.2.5 Locusta
Belalang Locusta merupakan serangga yang dapat merugikan tanaman
budidaya karena selain memakan rumput-rumputan juga dapat memakan bagian
tanaman. Salah satu jenis belalang Locusta yang menjadi hama penting di
Indonesia adalah belalang kembara (Locusta migratoriamanilensis L.). Jenis
belalang ini paling senang hidup di daerah yang kering. Dalam kondisi ini pada
waktu-waktu tertentu belalang kembara dapat mencapai populasi yang sangat
tinggi dan sering bermigrasi dalam kelompok yang besar dari areal pertanaman
jagung yang satu ke areal pertanaman jagung yang lain (Surachman & Suryanto,
2007).
Belalang kembara, baik yang masih muda (nimfa) maupun yang sudah
dewasa, memakan daun-daun tanaman jagung sehingga mengurangi luas
permukaan daun. Belalang dewasa biasanya memakan bagian tepi daun,
sementara nimfanya memakan diantara tulang-tulang daun sehingga menimbulkan
lubang-lubang pada daun. Kerusakan daun ini pasti berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman yang diserang. Jika serangan belalang ini dalam jumlah
populasi yang tinggi, daun tanaman jagung yang diserang akan habis dimakannya
(Surachman & Suryanto, 2007).
10
Belalang kembara mempunyai tiga fase populasi yang sangat khas. Yang
pertama adalah fase soliter, yaitu ketika belalang kembara berada dalam populasi
rendah di suatu hamparan sehingga mereka cenderung mempunyai perilaku
individual. Dalam fase ini belalang kembara bukanlah merupakan hama yang
merusak karena populasinya berada di bawah ambang luka ekonomi (economic
injury level, tingkat populasi hama yang telah menyebabkan kerusakan ekonomis)
dan perilakunya tidak rakus. Tahap berikutnya fase transisi (transient), yaitu
ketika populasi belalang kembara sudah cukup tinggi dan mulai membentuk
kelompok-kelompok kecil. Fase ini sudah perlu diwaspadai karena apabila kondisi
lingkungan mendukung maka belalang kembara akan membentuk fase gregarius,
yaitu ketika kelompok-kelompok belalang telah bergabung dan membentuk
gerombolan besar yang sangat merusak. Pada keadaan ini belalang kembara
menjadi lebih agresif dan rakus sehingga setiap areal pertanian yang dilewatinya
mengalami kerusakan total (Kalshoven, 1981).
Selain perubahan sifat yang segera terjadi pada tiap fase populasi, terdapat
juga perubahan sifat-sifat biologis belalang kembara yang baru terlihat pada
populasi generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini antara lain bentuk dan
morfologi tubuh, jumlah ovariol, berat tubuh, ukuran nimfa, jumlah fase nimfa,
lama hidup, dan beberapa karakteristik biologis lainnya. Selain itu terdapat
beberapa ciri morfologis lain yang diketahui dapat digunakan untuk membedakan
fase transformasi dari belalang kembara, misalnya bentuk bagian pronotum.
Pronotum belalang kembara yang berada dalam fase soliter berbentuk cembung
sementara yang berada dalam fase gregarius berbentuk cekung. Seperti halnya
proporsi panjang sayap depan, karakteristik pronotum ini baru terbentuk di dalam
11
populasi belalang kembara pada generasi berikutnya setelah terjadinya
transformasi dari fase soliter menjadi gregarius. Selanjutnya, fase gregarius yang
telah terbentuk ini akan kembali menjadi fase soliter apabila populasinya segera
diisolasi dan tidak mendapat kesempatan berkembangbiak secara meluas
(Kalshoven, 1981).
2.3 Keragaman/Biodiversitas
Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat
keragaman jenis organisme yang ada di dalamnya (Krebs, 1985). Dalam
ekosistem alami semua mahluk hidup berada dalam keadaan seimbang dan saling
mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di ekosistem alamiah keragaman
jenis sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan
fauna yang beragam. Tingkat keragaman pertanaman mempengaruhi timbulnya
masalah hama.
Menurut Krebs (1985) ada enam faktor saling berkaitan yang menentukan
derajat naik turunnya keragaman jenis, yaitu :
a. Waktu
Selama kurun waktu geologis akan terjadi perubahan keadaan lingkungan,
yang mengakibatkan banyak individu yang tidak dapat mempertahankan
kehidupannya, tetapi ada juga kelompok-kelompok individu yang mampu
bertahan hidup terus dalam waktu relatif lama sebagai hasil proses evolusi.
Keragaman jenis suatu komunitas bergantung pada kecepatan penambahan jenis
melalui evolusi tetapi bergantung pula pada kecepatan hilang jenis melalui
12
kepunahan dan emigrasi. Komunitas yang lebih tua dan yang telah lama
berkembang akan memiliki lebih banyak jenis jasad hidup daripada komunitas
muda sehingga tingkat keragaman hayatinya juga akan lebih tinggi. Meskipun
demikian, faktor waktu tidak dapat berfungsi sendiri, tetapi hanya akan berfungsi
melalui satu atau lebih faktor lain dalam mempengaruhi keragaman hayati.
b. Heterogenitas Ruang
Semakin heterogen suatu lingkungan fisik menyebabkan komunitas flora
dan fauna di tempat tersebut semakin kompleks dan semakin tinggi keragaman
jenisnya. Lingkungan yang heterogen memiliki daya dukung lebih besar tehadap
keragaman organisme yang ada di dalamnya. Heterogenitas tipografik dan
mikrohabitat tampaknya lebih dulu berpengaruh pada banyaknya spesies
tumbuhan (vegetasi) yang bisa berkembang di dalamnya. Diversitas vegetasi ini
yang memungkinkan berkembangnya keragaman herbivor maupun komponen-
komponen trofik berikutnya.
c. Kompetisi
Kompetisi terjadi apabila sejumlah organisme (dari spesies yang sama atau
yang berbeda) menggunakan sumber yang sama ketersediaannya kurang, atau
walaupun ketersediaan sumber tersebut cukup namun persaingan tetap terjadi juga
bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu
menyerang yang lain atau sebaliknya. Kompetisi (persaingan) dalam suatu
komunitas dapat dikelompokkan menjadi dua jika dilihat dari asalnya yakni
persaingan yang berasal dari dalam populasi jenis itu sediri yang disebut
13
intraspesifik dan persaingan yang berasal dari luar populasi tersebut yang disebut
ekstraspesifik. Proses persaingan merupakan bagian dari ko-evolusi spesies,
karena strategi spesies dalam persaingan merupakan arah seleksi spesies yang
menentukan keberhasilan spesies tersebut dalam mempertahankan suatu tingkat
kerapatan populasi tertentu dalam lingkungan hidupnya (Krebs, 1985).
d. Pemangsaan
Keragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan
fungsional pemangsaan. Pemangsaan dan persaingan saling menunjang dalam
mempengaruhi kenaekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap
keragaman spesies-spesies yang dimangsa sedang fluktuasi keragaman jenis
pemangsa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persaingan. Kondisi daerah tropik
memungkinkan keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan di subtropik dan aktivitasnya menekan populasi inang.
Turunnya populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi lebih
longgar. Pada kondisi ini sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang
lain dan kemudian sekaligus menyebabkan bertambahnya jenis pemangsa dan
parasit di dalam ekosistem tersebut.
e. Kestabilan Iklim.
Makin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas, dan pH dalam suatu
lingkungan lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi. Komunitas sangat
dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (radiasi matahari, curah hujan, suhu,
kelembaban, salinitas, dan pH) yang secara bersama-sama mempengaruhi
14
ekosistem. Komunitas di dalam lingkungan fisik yang relatif stabil seperti pada
hutan tropik mempunyai keragaman jenis yang lebih tinggi daripada komunitas
yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak stabil atau sering mengalami
gangguan musiman secara periodik. Lingkungan yang stabil lebih menjamin
keberhasilan adaptasi suatu organisme dan lebih memungkinkan berlangsungnya
evolusi daripada lingkungan yang berubah-ubah (tidak stabil) sehingga evolusi
tersebut menyebabkan antara lain menyempitnya relung spesies sehingga suatu
habitat dapat ditempati jasad hidup yang lebih beranekaragam (Krebs, 1985).
f. Produktivitas
Produktivitas atau arus energi dapat mempengaruhi keragaman jenis dalam
suatu komunitas karena makin besar produktivitas suatu ekosistem maka semakin
tinggi keragaman jenis suatu organisme, jika keadaan semua faktor lain sama.
Produktivitas yang tinggi di daerah tropik menghasilkan komponen spesies yang
terbagi dalam ruang dan waktu di ekosistem, sehingga memungkinkan keragaman
jenis yang lebih banyak (Krebs, 1985).
Keenam faktor tersebut di atas saling berinteraksi dalam mempengaruhi
keragaman jenis dalam suatu komunitas. Dalam keadaan ekosistem yang stabil,
populasi suatu jenis organisme selalu dalam keadaan keseimbangan dengan
populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan ini terjadi karena
adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik negatif yang
berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan dan predasi) dan tingkat inter
spesies (persaingan dan teritorial) (Untung, 1996).
15
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada hamparan vegetasi jagung, padi, dan
rumput/bera di Kecamatan Natar, Jati Agung, dan Tanjung Bintang, Kabupaten
Lampung Selatan. Proses identifikasi spesimen-spesimen belalang dilaksanakan di
Laboratorium Hama Tumbuhan, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung. Pengambilan sampel pertama di Kecamatan Natar
dilakukan pada tanggal 15 Februari 2016, pengambilan sampel kedua dilakukan
pada tanggal 5 April 2016 di Kecamatan Jati Agung, dan pengambilan sampel
ketiga dilakukan pada tanggal 2 Mei 2016 dan tanggal 17 Mei 2016 di Kecamatan
Tanjung Bintang.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spesimen belalang
yang tertangkap dari suvei, larutan kloroform, dan alkohol 70%. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu jala ayun (sweepnet), kantong plastik, kertas
label, botol koleksi, mikroskop stereo, kaca pembesar (lup), jarum koleksi
serangga, buku kunci identifikasi, kamera, dan alat tulis.
16
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Survei belalang pada penelitian ini dilaksanakan pada hamparan vegetasi
jagung, padi, dan bera ditiga kecamatan. Setiap hamparan yang disurvei memiliki
luas + 2 ha. Survei difokuskan pada rumput di sekitar vegetasi jagung, padi, dan
lahan bera yang telah ditentukan pada tiga kecamatan di wilayah Kabupaten
Lampung Selatan, yaitu Kecamatan Natar, Tanjung Bintang, dan Jati Agung.
3.3.1 Penetapan Petak Sampel
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei dan titik
sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditetapkan dengan metode sampel
terpilih (purposive sampling). Pemilihan titik sampel disesuaikan dengan kondisi
lahan dan diusahakan mewakili keseluruhan hamparan. Pada masing-masing
hamparan vegetasi ditentukan 10 titik sampel yang berukuran panjang +10 m dan
lebar +2 m. Penentuan jarak antar titik sampel dan lokasi titik sampel disesuaikan
dengan luas lahan dan kondisi lahan seperti contoh pada Gambar 1.
titik sampel
200 m
100 m
Gambar 1. Contoh peta titik sampel
20 m 40 m
5 m
35 m
10 m
17
3.3.2 Pengambilan Spesimen Belalang
Pengambilan spesimen belalalang dilakukan pada hamparan vegetasi
jagung, padi, dan lahan yang diberakan di Kabupaten Lampung Selatan pada tiga
Kecamatan, yaitu Kecamatan Natar, Jati Agung, dan Tanjung Bintang.
Karakteristik lokasi penelitian tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik lokasi pengambilan spesimen belalang
Keterangan: G = Generatif, V = Vegetatif
Pengambilan spesimen dilakukan dengan menggunakan jala ayun (sweep
net), sebanyak 20 ayunan ganda pada tiap titik sampel yang telah ditentukan.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menerapkan ayunan ganda tiap melangkah
pada titik sampel yang telah ditetapkan. Langkah ayunan ganda pada tiap titik
sampel sebanyak 10 kali. Belalang yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantong
plastik dan diberi label jenis vegetasi dan nomor titik sampel. Kantong plastik
yang berisi spesimen tersebut diberi kapas yang telah dicelupkan ke dalam larutan
Lokasi Tanaman Titik Koordinat Tgl
Sampling Luas (ha) Umur Lintang Bujur
Natar Jagung 2 G 5
o25’09,981” S 105
o46’94,57” E 15/2/2016
Padi 2 G 5o25’09,981” S 105
o46’94,57” E 15/2/2016
Bera 2
5o25’09,981” S 105
o46’94,57” E 15/2/2016
J. Agung Jagung 2 V 5
o18’11,68” S 105
o16’38,36” E 5/4/2016
Padi 2 G 5o18’1,02” S 105
o17’21,95” E 5/4/2016
Bera 2
5018’55,9” S 105
o18’18,91” E 5/4/2016
T. Bintang Jagung 2 G 5
o23’55,56” S 105
o23’23,43” E 17/5/2016
Padi 2 G 5o24’47,96” S 105
021’37,68” E 2/5/2016
Bera 2
5o25’15.99” S 105
o21’25,01” E 2/5/2016
18
kloroform agar belalang yang terkoleksi lemas dan mudah saat dilakukan
penyortiran. Selanjutnya spesimen dimasukkan ke dalam botol-botol koleksi
kemudian diberi alkohol 70% dan diberi label.
3.3.2 Identifikasi Spesimen Belalang
Identifikasi spesimen belalang sampai tingkat genus dilakukan dengan
membandingkan ciri-ciri morfologi spesimen dengan menggunakan buku
Kalshoven (1981) dan buku kunci identifikasi serangga Borror et al., (1981) serta
Lilis (1991). Untuk mempermudah proses identifikasi dan penentuan karakteristik
tiap belalang, digunakan alat bantu berupa kaca pembesar atau mikroskop stereo.
Identifikasi belalang dimulai dari menentukan famili belalang yang diidentifikasi
kemudian dilanjutkan ke tingkat genus belalang. Proses identifikasi dilakukan
dengan melihat karakteristik morfologi seperti panjang antena, tungkai, bentuk
sayap, warna, ukuran, dan lainnya.
3.3.3 Analisis Data
Untuk menentukan karakteristik komunitas belalang pada tiap vegetasi
dilakukan analisis data komunitas diantaranya: (1) proporsi kepadatan populasi
(kepadatan relatif) setiap genus belalang, (2) indeks keragaman Shannon-Wiever,
(3) nilai penting jenis (prominence value), (4) indeks kemiripan genus (similarity
index), dan (5) kurva akumulasi genus menggunakan sofware Estimateswin910
(Colwell, 2013).
19
Perhitungan proporsi genus belalang, indeks keragaman, nilai prominen, dan
indeks kemiripan belalang dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus berikut:
a. Proporsi (kepadatan relatif) genus belalang:
dengan:
pi = Proporsi (kepadatan relatif) jenis ke-i;
ni = kelimpahan jenis ke-i;
N = jumlah total seluruh individu.
b. Indeks keragaman Shannon-Wiever (Waite,2000):
dengan:
H = indeks keragaman Shannon;
pi = populasi relatif jenis ke-i; pi = (ni/N);
ni = kelimpahan jenis ke-i;
N = jumlah total seluruh individu.
c. Nilai promenence (Norton, 1999) untuk masing-masing jenis belalang:
dengan:
PV = nilai prominen jenis;
di = kelimpahan jenis ke-i;
fi = frekuensi jumlah sampel yang mengandung jenis i / jumlah seluruh
sampel.
20
d. Indeks kemiripan genus Sorensen (Odum, 1996):
dengan:
S = indeks kesamaan genus Sorensen
A = jumlah genus yang ditemukan pada lokasi A
B = jumlah genus yang ditemukan pada lokasi B
C = jumlah genus yang ditemukan baik pada lokasi A maupun lokasi B
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian keragaman belalang pada beberapa hamparan
vegtasi di tiga kecamatan yang disurvei dapat disimpulkan bahwa:
(1) Pada hamparan vegetasi jagung, padi, dan bera di tiga kecamatan yang
disurvei ditemukan sekurang-kurangnya 12 genus belalang dalam 4 famili.
(2) Pada hamparan vegetasi jagung di Natar genus belalang yang mendominasi
dan proporsi kepadatan relatif tertinggi adalah Acrida, di Jati Agung adalah
Tetrigidae, dan di Tanjung Bintang adalah Tagasta. Pada hamparan vegetasi
padi di Natar genus belalang yang mendominasi dan proporsi kepadatan
relatif tertinggi adalah Acrida, di Jati Agung adalah Tetrigidae, dan di
Tanjung Bintang adalah Tagasta. Pada hamparan vegetasi bera di Natar genus
belalang yang mendominasi dan proporsi kepadatan relatif tertinggi adalah
Acrida, di Jati Agung adalah Tetrigidae, dan di Tanjung Bintang adalah
Tagasta.
5.2 Saran
Sebaiknya pengambilan data pada masing-masing kecamatan dan vegetasi
dilakukan lebih dari satu kali agar mendapatkan data yang lebih akurat.
41
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D. J., C. A., Triplehorn, & N. F., Johson. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga Edisi ke-6. Diterjemahkan oleh Soetiyono Partosoedjono.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Colwell, R. K. 2013. EstimateS 9.1.0 User’s Guide. Departement of Ecology &
Evolutionary Biology. University of Connecticut. USA.
Erawati, V. E., & S. Kahono. 2010. Keragaman dan Kelimpahan Belalang dan
Kerabatnya (Otrhoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak. J. Entomol. Indon. 7(2): 100-115.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van
Hoeve. Jakarta
Krebs, C. J. 1985. Ecology. The Experimental Analisys of Distribution and
Abudance. Third Edition. Harper & Raws Publishers. New York.
Lestari, P. 2014. Diversitas dan Kelimpahan Semut Pada Tiga Tipe Perkebunan
Kakao. Tesis. Universitas Lampung. Lampung.
Lilis, C. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius. Yogyakarta.
Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity And Its Measurement. Princeton.
University Press. Princetton. USA.
Norton, D. C. 1999. Ecology of Plant Parasitic Nematodes. Wiley (Interscience).
New York.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Terjemahan Tjahjono
Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Pearl, L. S. 2011. Struktur Komunitas Belalang Pada Beberapa Lokasi di Provinsi
Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Sudarmono. 2002. Pengenalan Serangga, Hama, Penyakit, dan Gulma Padi.
Kanisius. Yogyakarta.
42
Sudarsono, H. 2003. Hama Belalang Kembara (Locusta Migratoria Manilensis
Meyen): Fakta dan Analisis Ledakan Populasi Di Provinsi Lampung. J.
HPT. Tropika. 3(2): 51-56.
Surachman, E., & A. W., Suryanto. 2007. Hama Tanaman Pangan, Hortikultura,
dan Perkebunan Masalah dan Solusinya. Kanisius. Yogyakarta.
Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
Triharso. 1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Untung, K. 1996. Penghantar Pengelolahan Hama Terpadu. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Waite, S. 2000. Statistical Ecology in Practice : A Guide to Analysing
Environmental and Ecological Field Data. Pearson Education Limited.
England.