KELAINAN TELINGA
KELAINAN TELINGA LUAR
A. Kongenital
1. Mikrotia
Pada Mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna.
Mikrotia adalah kelainan kongenital berupa malformasi daun telinga yang
memperlihatkan kelainan bentuk dengan derajat kelainan dari ringan sampai
berat, daun telinga berukuran kecil sampai tidak terbentuk sama sekali (anotia).
Pada kelainan ini daun telinga mengandung sisa kartilago yang tidak terbentuk
dengan baik yang melekat pada jaringan lunak lobul dan posisinya tidak sesuai
dengan telinga normal.
Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia)
liang telinga dan kelainan tulang pendengaran. Jika terjadi pada satu telinga
akan disebut sebagai unilateral microtia. Sedangkan apabila terjadi pada dua
telinga akan disebut sebagai bilateral microtia. Bentuk unilateral lebih banyak
terjadi jika dibandingkan dengan bilateral ( 90% angka kejadian microtia
adalah unilateral). Bila ditemukan mikrotia yang bilateral pikirkan kemungkinan
adanya sindroma kraniofasial (sindroma Treacher cillins dan sindroma nager)
Grade I : Deformitas ringan, helix dan antihelix yang sedikit dismorfik.
Termasuk dalam grup ini adalah low-set ears, lop ears, cupped ears,
dan mildly constricted ears. Semua struktur telinga luar masih
lengkap hingga derajat tertentu.
Grade II : Stuktur pinna masih ada, namun terjadi defisiensi jaringan dan
deformitas yang cukup signifikan
Grade III : dikenal juga sebagai mikrotia klasik/ telinga kacang karen Terdapat
bagian-bagian aurikula sudah tidak dapat dikenali. Lobulus biasanya
masih ada dan terdapat pada daerah anterior. Termasuk pada grade
ini adalah anotia, yaitu daun telinga yang tidak terbentuk sama
sekali.
2. Telinga caplang/jebang (bats ear)
Daun telinga tampak lebih lebar dan lebih menonjol. Fungsi pendengaran
tidak terganggu. Namun karena bentuknya yang tidak normal serta tidak
enak dipandang kadang kala menimbulkan masalah psikis sehingga perlu
dioperasi
3. Fistula preaurikular
Fistula preaurikula terjadi bila terdapat kegagalan penggabungan
tuberkelkesatu dengan tuburkel kedua. Fistula dapat ditemukan di depan tragus
dan sering terinfeksi. Pada keadaan tenang tampak muara fistula berbentuk bulat
atau lonjong, berukuran seujung pensil, dan dari muara tersebut sering keluar
secret yang berasal dari kelenjar sebasea.
Anotia Microtia grade III
Fistula preaurikular Fistula preaurikular terinfeksi
4. Lobus aksesori
Biasanya ditemukan di anterior dari tragus, biasanya dihilangkan untuk
alasan kosmetik. Nodul kartilago yang kecil dapat ditemukan pada kelainan ini.
B. Infeksi
1. Perikondritis
Adalah radang pada tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga.
Biasa terjadi akibat trauma, operasi daun telinga yang terinfeksi dan sebagai
komplikasi pseudokista daun telinga. Pus akan terkumpul diantara kartilago dan
lapisan jaringan ikat di sekitarnya (perikondrium). Pemilihan antibiotik
berdasarkan beratnya infeksi dan bakteri penyebabnya Bila pengobatan
antibiotik gagal dapat timbul komplikasi berupa mengkerutnya daun telinga
akibat hancurnya telinga rawan yang menjadi kerangka daun telinga
(cauliflower ear).
2. Erisipelas
Erisipelas adalah infeksi pada dermis yang disebabkan oleh Streptokokus
β hemolitikus grup A yang memberikan gejala berupa nyeri, eritema, bengkak,
Cauliflower ear
keras, dan panas. Eritema dan pembengkakan tidak mengikuti batas anatomis
tapi berbatas tegas. Gejala sistemik berupa demam dan malaise juga dapat
ditemukan. Infeksi ini diobati dengan penisilin oral. Karena penyakit ini
berjalan dengan progresif dan berpotensi mengurangi kualitas hidup,
penanganan dibutuhkan sedini mungkin. Terapi yang diberikan adalah injeksi
penisilin atau eritromisin.
C. Neoplasma
Neoplasma pada aurikula dapat bersifat jinak maupun ganas. Jenis tumor
jinak pada aurikula misalnya pappilioma, chondroma dan fibroma. Jenis tumor
ganas yang terjadi terbanyak adalah kanker sel basal (rodent ulcer) dan kanker
sel skuamosa ( epithelioma). Keganasan seringkali tumbuh pada telinga luar
setelah pemaparan sinar matahari yang lama dan berulang-ulang. Pda stadium
dini, bisa diatasi dengan pengangkatan kanker (wide excision) atau terapi
penyinaran.
Ephitelioma Rodent ulcer
D. Trauma
1. Laserasi
Laserasi hebat pada aurikula harus dieksplorasi untuk mengetahui apakah
ada kerusakan tulang rawan. Tulang rawan perlu diperiksa dengan cermat
sebelum dilakukan reparasi plastik pada kulit. Luka seperti ini perlu benar-benar
diamati akan kemungkinan infeksi pada perikondrium. Berikan antibiotik
profilaktik bila ada kontaminasi nyata pada luka atau bila tulang rawan terpapar.
2. Hematoma
Cedera pada telinga luar (misalnya pukulan tumpul) bisa menyebabkan memar
diantara kartilago dan perikondrium. Jika terjadi penimbunan darah di daerah
tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa
berwarna ungu kemerahan. Darah yang tertimbun ini (hematoma) harus
dikeluarkan secara steril untuk mencegah infeksi yang akan menyebabkan
perikondritis. Selain itu bisa menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago
sehingga terjadi perubahan bentuk telinga. Kelainan bentuk ini disebut telinga
bunga kol, yang sering ditemukan pada pegulat dan petinju. Untuk membuang
hematoma, biasanya digunakan alat penghisap dan penghisapan dilakukan
sampai hematoma betul-betul sudah tidak ada lagi (biasanya selama 3-7 hari).
Dengan pengobatan, kulit dan perikondrium akan kembali ke posisi normal
sehingga darah bisa kembali mencapai kartilago. Jika terjadi robekan pada
telinga, maka dilakukan penjahitan dan pembidaian pada kartilagonya. Pukulan
yang kuat pada rahang bisa menyebabkan patah tulang di sekitar saluran telinga
dan merubah bentuk saluran telinga dan seringkali terjadi penyempitan.
Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui pembedahan.
E. Lain-lain
1. Pseudokista
Terdapat benjolan di daun telinga yang disebabkan oleh adanya kumpulan
cairan kekuningan di antara lapisan perikondrium dan tulang rawan telinga.
Kumpulan cairan harus dikeluarkan secara steril untuk mencegahnya
perikondritis. Lalu dibalut tekan dengan bantuan semen gips selama 1 minggu
supaya perikondrium melekat pada tulang rawan kembali.
2. Impetigo
Berhubungan dengan infeksi staphylococcus pada kulit superfisial. Terdapat
berbagai vesikel yang mengandung serum didalamnya. Terapi yang diberikan
biasanya pembersihan dengan saline atua pengolesan salep Neosporin.
3. Nodulus
Nodulus pada heliks dapat merupakan kondritis setempat yang dikenal sebagai
kondrodermatitis superior atau antiheliks. Walaupun kadang-kadang dapat
diatasi dengan injeksi steroid, eksisi lokal dapat pula memberikan kesembuhan
dan diagnosis patologik.
Sumber :
- Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. USA: McGraw-Hill; 2008.
- Effendi H, editor. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed ke-6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
- Brown FE et al. Correction of Congenital Auricular Deformities by Splinting in the
Neonatal Period. Pediatrics 1986; 78: 406.
- Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
Otitis Eksterna
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akibat infeksi bakteri. Beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya otitis eksterna, yaitu :
a. Derajat keasaman (pH)
pH basa mempermudah terjadinya otitis eksterna. Sedangkan pH asam berfungsi
sebagai protektor terhadap kuman.
b. Udara
Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman bertambah banyak.
c. Trauma
Trauma ringan misalnya setelah mengorek telinga.
d. Berenang
Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah terkena air.
Klasifikasi
Ada 2 jenis OE yaitu otitis eksterna akut dan otitis eksterna kronik. Otitis eksterna akut
sendiri terbagi atas 2 yaitu : otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) dan otitis eksterna
difus.
1. Otitis Eksterna Akut
Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)
Adalah infeksi pada 1/3 luar liang telinga, khususnya adneksa kulit, yakni
pilosebaseus (folikel rambut & kelenjar sebaseus) dan kelenjar serumen akibat infeksi
bakteri Staphylococcus aureus & Staphyloccus albus.
Gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul), yaitu :
- Nyeri hebat
Nyeri ini tidak sesuai dengan besarnya furunkel (bisul). Nyeri timbul saat kita
menekan perikondrium karena jaringan ikat longgar tidak terkandung dibawah
kulit. Gerakan membuka mulut juga menjadi pemicu nyeri karena adanya sendi
temporomandibula.
- Gangguan pendengaran
Akibat furunkel (bisul) yang sudah besar dan menyumbat liang telinga.
Terapi otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) yang sudah membentuk abses,
yaitu :
Aspirasi steril untuk mengeluarkan nanah
Antibiotik topical (salep antibiotik) misalnya polymixin B dan bacitracin
Antiseptik : asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%.
Insisi : diakukan pada furunkel (bisul) yang berdinding tebal.
Pasang salir (drain) untuk mengalirkan nanah.
Obat simptomatik : analgetik dan penenang.
X Antibiotik sistemik biasanya tidak diperlukan.
Otitis Eksterna Difus
Merupakan infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri.
Umumnya bakteri penyebab utamanya yaitu Pseudomonas, selain itu dapat pula terjadi
akibat Staphylococcus albus, Escheria coli. Kulit liang telinga terlihat hiperemis dan
edem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul).
Gejala sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kadang-
kadang kita dapat menemukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir
(mucin). Lendir (mucin) merupakan sekret yang berasal dari cavum timpani dan kita
temukan pada kasus otitis media.
Terapi otitis eksterna difus, yaitu :
Tampon yang mengandung antibiotik.
Antibiotik sistemik jika diperlukan.
Otitis externa, diffuse desquamative type.Layers of wet soggy white shed skin are partially blocking the ear canal. Red swollen inflamed skin is preventing a proper view of the eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. Until the eardrum has been fully examined, it is impossible to know whether or not there is an underlying middle ear disease such as cholesteatoma.
2. Otitis Eksterna Kronik
Otitis eksterna kronik adalah infeksi liang telinga yang berlangsung lama dan ditandai
oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Terbentuknya jaringan ini menyebabkan liang
telinga menyempit. Otitis eksterna kronik dapat disebabkan oleh :
Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak adekuat.
Trauma berulang.
Benda asing.
Alat bantu dengar (hearing aid) : penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid.
Terapi otitis eksterna kronik dengan operasi rekonstruksi liang telinga.
Otitis externa secondary to infected grommet or ventilation tube. Mucoid discharge with bubbles from middle ear.
Otitis externa. Mixed fungal and bacterial infection. Viewed with operating microscope
c = conidiophoresm = myceliump = pus
Otitis externa. Suspicious for infected cholesteatoma.Red granulation tissue overlying the bone of the left ear canal, behind the eardrum. Layers of wet soggy white shed skin are stuck to the eardrum. The debris must be cleaned to see the eardrum. In this case it was too painful to complete the cleaning in out-patients. Microsuction under a general anaesthetic confirmed the diagnosis.
Sumber:
Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
KELAINAN TELINGA TENGAH
Otitis Media Akut ( OMA )
Klasifikasi stadium otitis media akut:
a. Stadium Oklusi : gambaran retraksi membran timpani pada telinga ke arah dalam
akibat tekanan negatif dalam telinga tengah, yang yang ditimbulkan oleh sumbatan
dan absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal atau berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi pada stadium ini.
Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus
atau alergi.
Th/ : dekongestan (A < 12th: HCl ephedrine 0.5% dalam lar fisiologis, A >12 th: HCl
efedrine1% dalam lar fisiologis), antibiotic, analgetic, antipyretic.
b. Stadium Hiperemis : tampak pembuluh darah melebar di membran timpani / seluruh
membran timpani tampak hiperemis atau edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin
masih bersifat eksudat yang serous sehingga sulit terlihat, dan ada rasa nyeri.
Th/ : dekongestan, analgetik, antibiotic local, amoxicillin 40 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis, ampicillin 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, eritromicin 40
mg/kgBB/hari.
c. Stadium Supurasi : edema pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di cavum timpani, menyebabkan
membran timpani bulging ke arah liang telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi
dan suhu meningkat, nyeri telinga bertambah hebat. Bila tekanan di cavum timpani
tidak berkurang, terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler serta trombophlebitis
pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada
membrane timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna
kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Th/ : antibiotic local, amoxicillin, ampicillin, eritromicin, miringotomy, antipiretik,
analgesik.
d. Stadium Perforasi : karena terlambatnya pemberian antibiotic atau virulensi kuman
yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran tympani dan nanah keluar mengalir
dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi
tenang, suhu badan menurun dan anak dapat tertidur nyenyak.
Th/ dewasa : H2O2 3% 5 gtt 3 dd 1 selama 3-5 hari, antibiotic local.
e. Stadium Resolusi : perlahan-lahan membran timpani akan sembuh, normal kembali
jika robekan tidak terlalu lebar. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan
berkurang dan akhirnya kering. Tetapi jika robekan lebar, stadium perforasi dapat
menetap dan berubah menjadi Otitis Media Supuratif Kronik.
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi
walau tanpa pengobatan.
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah selama lebih dari 3
minggu, maka kondisi ini disebut sebagai Otitis Media Supuratif Subakut ( OMSS ).
Sedangkan bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar selama lebih dari 1.5 bulan,
maka kondisi ini disebut sebagai Otitis Media Supuratif Kronis ( OMSK )
Sumber:
Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
Otitis Media dengan Efusi ( OME )
OME adalah suatu kondisi terkumpulnya cairan di dalam cavum timpani / telinga
tengah, tanpa adanya infeksi pada telinga.
Patogenesis
Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya OME adalah setiap
keadaan yang mempengaruhi muara/ujung proksimal tuba eustachius (TE) di nasofaring
ataupun mekanisme mukosiliari klirens dari TE. TE dianggap sebagai katup (valve)
penghubung telinga tengah dan nasofaring. Struktur ini menjamin ventilasi telinga tengah,
sehingga menjaga tekanan tetap equal di kedua sisi gendang telinga (membrana timpani =
MT). Karena itu berbagai keadaan yang merubah integritas normal TE dapat menyebabkan
akumulasi cairan di telinga tengah dan mastoid.
Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung proksimal
TE di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens TE. Keadaan lain seperti: alergi
hidung, barotrauma, penekanan terhadap muara/torus tuba oleh massa seperti adenoid yang
membesar ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas anatomi TE ataupun deformitas celah
palatum, benda asing seperti nasogastrik atau nasotrakeal tube, dapat pula menjadi faktor
predisposisi. Selain itu terdapat pula beberapa faktor resiko pada anak, antara lain:
1. Faktor resiko anatomi: anomali kraniofasial, down syndrome, celah palatum, hipertrofi
adenoid, dan GERD.
2. Faktor resiko fungsional: serebral palsy, down syndrome, kelainan neurologis lainnya,
dan imunodefisiensi.
3. Faktor resiko lingkungan: bottle feeding, menyandarkan botol di mulut pada posisi
tengadah (supine position), rokok pasif, status ekonomi rendah, banyaknya anak yang
dititipkan di fasilitas penitipan anak.
Diagnosis
Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak
bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala
seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi baik oleh
orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.
Diagnosis OME ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dengan menemukan
cairan di belakang MT yang normalnya translusen. Pada pemeriksaan dengan menggunakan
otoskopik dapat ditemukan :
- MT yang retracted (tertarik ke dalam), dull, dan opaque.
- Warna MT bisa merah muda cerah hingga biru gelap.
- Short process maleus terlihat sangat menonjol dan long process tertarik medial dari MT.
- Adanya level udara-cairan (air fluid level) membuat diagnosis lebih nyata.
Tatalaksana
Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga
tengah. Akan lebih baik menangani faktor predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan
barotrauma, maka aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti
penerbangan atau menyelam, sebaiknya dihindarkan. Jika OME ternyata menetap dan mulai
bergejala, maka pengobatan medis mulai diindikasikan, seperti:
1. Antihistamin atau dekongestan
Rasionalisasi kedua obat ini adalah sebagai hasil komparasi antara sistem telinga
tengah dan mastoid terhadap sinus paranasalis. Karena antihistamin dan dekongestan
terbukti membantu membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di
sinonasal, maka tampaknya logis bahwa keduanya dapat memberikan efek yang sama
untuk OME. Jika ternyata alergi adalah faktor etiologi OME, maka kedua obat ini
seharusnya memberikan efek yang menguntungkan terhadap OME.
2. Mukolitik
Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk
memperbaiki transport mukus dari telinga tengah melalui TE ke nasofaring. Namun
demikian mukolitik ini tidak memegang peranan penting dalam pengobatan OME.
3. Antibiotika
Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati. Karena OME bukanlah
infeksi yang sebenarnya (true infection). Meskipun demikian OME seringkali diikuti
oleh OMA, di samping itu isolat bakteri juga banyak ditemukan pada sampel cairan
OME. Organisme tersering ditemukan adalah S. pneumoniae, H. influenzae non
typable, M. catarrhalis, dan grup A streptococci, serta Staphyllococcus aureus.
Controlled studies menunjukkan antibiotika golongan amoksisilin, amoksisilin-
klavulanat, sefaklor, eritromisin, trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-
sulfisoksazole, dapat memperbaiki klirens efusi dalam 1 bulan. Pemberian antibiotika
juga meliputi dosis profilaksis yaitu ½ dosis yang digunakan pada infeksi akut. Namun
demikian perlu dipertimbangkan pula hubungan antara antibiotika profilaksis dengan
tingginya prevalensi dan meningkatnya spesies bakteri yang resisten.
4. Kortikosteroid
Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi respon
inflamasi di kompleks nasofaring-TE dan menstimulasi agent-aktif di permukaan TE
dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui TE. Pemberian dapat berupa
kortikosteroid oral atau topikal (nasal), ataupun kombinasi. Berdasarkan clinical
guidance 1994, pemberian steroid bersama-sama antibiotika pada anak usia 1-3 tahun
mampu memperbaiki klirens OME dalam 1 bulan sebesar 25%. Namun demikian
karena hanya memberikan hasil jangka pendek dengan kejadian OME rekuren yang
tinggi, serta resiko sekuele maka kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan.
Sumber:
Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
Mastoiditis
Coalescent Mastoiditis
Etiologi: jika pasien mengalami otitis media akut dan mastoiditis hingga 2-4 minggu. Ini
merupakan infeksi yang akut dan progresif dengan perubahan pada tulang dan
mukoperiosteum di system sel udara mastoid.Penyakit ini lebih sering pada orang muda
terutama laki-laki.Sebagian besar pasien berusia 4 tahun atau kurang.Virulensi bakteri dan
daya tahan penderita berperan dalam perkembangan penyakit.
Patologi: pada awalnya, edem dan hiperemis dari lapisan mukoperiosteal akan menyumbat
aditus yang sempit dan mengganggu aliran udara. Membran mukosa menebal dan
terganggunya fungsi silia mencegah drainase normal telinga tengah melalui tuba
eustachius.Eksudat serosa menjadi purulen karena berkumpulnya sel inflamasi.Inflamasi
yang berlanjut, hiperemis, dan akumulasi debris menyebabkan stasis vena, asidosis local, dan
dekalsifikasi septa tulang.
Patofisiologi: seiring dengan berlanjutnya infeksi, tekanan dalam rongga mastoid meningkat
dan infeksi dapat meluas keluar mastoid. Hal ini dapat menyebabkan flebitis, dan periflebitis,
serta penyebaran ke bagian lain seperti meninges, sinus sigmoid, serebelum, dan lobus
temporal.jalur infeksi yang paling sering ialah melalui korteks lateral di belakang telinga.
Selain itu infeksi juga bisa meluas ke jaringan lunak dileher bagian atas.Sangat jarang ke
jaringan lunak di atas dan bawah aurikuler.
Diagnosis: tanda dan gejala pada coalescent mastoiditis sama dengan tanda dan gejala otitis
media akut: otore purulen, demam, toksisitas dan otalgia. Riwayat yang penting ialah
kronologis infeksi berupa secret purulen dan otalgia yang berlangsung selama 2 minggu atau
lebuh, rekuren setelah 10-14 hari.Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada perkusi,
eritema mastoid, dan tenggelamnya dinding posterior superior kanal akustikus eksterna.Perlu
juga dilakukan pemeriksaan darah rutin dan CT scan.Jika dicurigai ada komplikasi
intracranial perlu dilakukan MRI.
Tatalaksana: bisa dengan obat-obatan maupun tindakan operasi. Mastoidektomi komplit
dengan antibiotic yang tepat mengeradikasi jaringan yang terinfeksi dengan segera. terapi
menggunakan antibiotik selama 3-6 minggu juga dapat mengeradikasi proses infeksi pada
pasien tanpa komplikasi lain.
Mastoiditis Kronik
Etiologi: terjadi berhubungan dengan perforasi membrane timpani dalam waktu lama, dengan
kolestatoma, atau sebagai komplikasi dari pemasangan tube ventilasi telinga tengah.
Mastoiditis dengan perforasi membrane timpani terjadi ketika episode otitis media akut
menjadi infeksi kronik. Walaupun koleastoma seringkali tidak terinfeksi untuk waktu yang
lama, koleastoma cenderung mengalami supurasi dan membentuk jaringan granulasi dan
mengenai tulang. Ketika mastoiditis mengakibatkan secret yang purulen selama 8 minggu
atau lebih maka resolusi lengkap dengan antibiotic semakin kecil angka keberhasilannya.
Mastoiditis
Adalah peradangan pada tulang mastoid .mastoiditis akut ditandai dengan ;
a. Demam
b. Nyeri
c. Gangguan pendengaran
d. Membran timpani menonjol
e. Dinding posterior kanalis menggantung
f. Pebengkakan postaurikular
g. Nyeri tekan mastoid
h. Temuan radiologis
Rontgen untuk mastoid
a. Law (merupakan foto yang sering untuk melihat mastoiditis akuta, hampir
sama dengan “direct lateral view, sampai sekarang sering digunakan foto ini
untuk menentukan batas penting seperti tegmen mastoid dan sinus sigmoid)
b. Schuller (elevasi lateral tambahan sehingga tidak hanya melihat foto
dihasilkan oleh Law tetapi juga epitimpanum atau attic)
c. Mayer (dengan cara angulasi kepala 45 derajat, dapat melihat anthrum dan
caput os. Maleus, dengan memodifikasi arah sinar Xray maka dapat terlihat
inkus dan area epitimpanum)
d. Owens (hampir mirip dengan Mayer yang dimodifikasi tapi dengan sedikit
angulasi dari datangnya sinar menyebabkan visualisasi yang lebih baik dari
tulang-tulang pendengaran dan recessus epitimpani)
e. Chausse III (membantu melihat struktur pada telinga tengah)
f. Towne (memperlihatkan kedua petrous piramid dan canalis akusticus internus)
g. Stenvers (memperlihatkan canalis akustikus internus, labirin, dan anthrum).
Sumber: Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tangah dan Mastoid. In
Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.
1994. h. 88-117.
KARAKTERISTIK MEMBRAN TIMPANI DAN REFLEKS CAHAYA
Membran timpani
Membrane timpani adalah suatu membrane yang tipis dan tersusun dari jaringan
fibrosa yang berwarna abu-abu mutiara (pearly grey). Membrane berada berbentuk konkaf dari
lateral dan bagian terdalam dari lengkungan konkaf disebut sebagai umbo. Umbo adalah bagian
membrane timpani yang berhubungan dengan tulang malleus. Ketika membrane disinari cahaya,
misalnya melalui pemeriksaan otoskop, bagian konkaf akan memberikan reflex cahaya ( cone of
light) yang terletak anterior inferior dari umbo. Membrane timpani berbentuk sirkular dan
berukuran diameter kurang lebih 1 cm. beberapa bagian dari membrane timpani mengikuti
bentuk hubungannya dengan tulang pendengaran dibelakangnya. Perlekatan tulang maleus
dengan membrane timpani terjadi pada permukaan bagian dalam dari membrane timpani pada
membrane mukoid. Membrane timpani adalah bagian yang sangat sensitive terhadap nyeri,
dipersyarafi oleh nervus auriculotemporal dan cabang auricular dari nervus vagus.
Fungsi dari membrane timpani adalah: membantu menyalurkan gelombang suara
menuju telinga bagian tengah (tulang pendengaran). Membrane timpani akan bergetar ketika
dilalui oleh gelombang suara dan getaran ini yang akan disalurkan ke telinga bagian tengah.
Tekanan pada bagian lateral dan medial membrane timpani adalah sama (tekanan atmosfir).
Bagian lateral berhubungan langsung dengan udara luar sedangkan bagian dalam berhubungan
dengan udara luar melalui tuba eustachius yang menghubungkan telinga bagian tengah dengan
nasopharing. Pada keadaan normal, tuba eustachius tertutup, akan terbuka pada keadaan-
keadaan dimana terjadi perbedaan tekanan antara telinga luar dan dalam. Terbukanya tuba
eustachius akan kembali menyeimbangkan tekanan di telinga luar dan tengah.
Membrane timpani dan reflex cahaya kanan
Membrane timpani dan reflex cahaya kiri
Membran timpani mempunyai reflex cahaya meredup pada:
1. Membran timpani yang menebal : radang akibat timbunan kolagen terhialinisasi pada
bagian tengah.
2. Membran timpani yang menebal : hilangnya lapisan tengah (membrana propria),
sebagai akibat dari disfungsi ventilasi tuba eustachius.
3. Retraksi Membran timpani : akibat vakum pada telinga tengah.
4. Menonjol : akibat massa atau infeksi pada telinga tengah.
5. Membran timpani meradang : miringitis.
Sumber :
- Snell RS. Clinical Anatomy 7thed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2004.
- Sherwood, Lauralee. Human Physiology from Cell to System 6th ed. USA: Thompson;
2007.
PERFORASI MEMBRAN TIMPANI
a. Perforasi sentral (sub total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran
timpani. Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani.
b. Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau
sulkus timpanikum. Tipe marginal perforasi berada di pinggir membran timpani.
c. Perforasi atik (pars flacid). Letak perforasi di pars flaksida membran timpani.
d. Perforasi tipe tuba: perforasi dekat muara timpani dengan tuba eustachius.
tipe perforasi marginal
Ini menandakan bahwa tulang pada margo timpani telah mengalami destruksi
tipe perforasi sentral
tipe perforasi attic (pars flaksida)
Ini menandakan bahwa sudah ada kholesteatoma pada epi timpanum .
tipe perforasi tuba
Ukuran perforasi membrana timpani dibagi menjadi
1. Kecil : hanya melibatkan 1 kuadran atau < 10% pars tensa
2. Sedang : melibatkan 2 kuadran atau 10 – 40 % pars tensa
3. Besar : melibatkan 3 – 4 kuadran atau > 40% dari pars tensa dengan sisa membrana
timpani yang masih lebar .
4. Subtotal : melibatkan 4 kuadran dan mencapai annulus fibrosus
5. Total : perforasi seluruhnya dari pars tensa dan anulus fibrosus
* Perforasi membran timpani karena trauma umumnya berukuran kecil, dengan tepi yang
tidak rata dan kebanyakan memiliki bekuan darah, sedangkan perforasi membran timpani
karena otitis media ukurannya beradam dengan tepi yang rata dan tanpa bekuan darah.
Sumber: Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tangah dan Mastoid. In
Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.
1994. h. 88-117.
KELAINAN HIDUNG
Kelainan Mucosa Pada Cavum Nasi Normal Livid Hiperemis
Rinitis alergi Rinitis vasomotorRinitis vasomotor (terkadang) Benda asing
Sumber:1. http://www.entusa.com/nasal_pictures_html/normal-nasal-cavity.htm 2. http://www.entusa.com/nasal_pictures_html/allergic_rhinitis_3.htm
http://www.entusa.com/nasal_pictures_html/foreign_body_nose-5.htm
Kelainan pada Konka
- Hipertrofi, dapat terjadi pada rhinitis alergi, rhinitis simpleks dan rhinitis hipertrofi.
- Atrofi , dapat terjadi pada rhinitis atrofi.
Sumber: Hilger PA. Penyakit Hidung. In Adams GL, Bioes LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC. 1994. h. 200-92.
Polip Nasi
Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan
polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak
mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi
kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus
paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari
pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol
dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf
atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak
– anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler
dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat. Polip dapat timbul dari
bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hidung paling
sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan
masuk ke ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip
koana. Secara makroskopik polip tershat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel
tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma
sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf
dan kelenjar sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.
Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip hidung
sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara
lain:
Proses inflamasi yang multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter
Aktivasi respon imun lokal
Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa
akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu
struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid.
Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi
karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang
mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi
perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga
alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus
membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.
Manifestasi klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.
Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip
ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama: hidung terasa tersumbat, rhinore jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia, bersin-bersin, nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila
disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rhinore purulen.
Gejala sekunder: bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, dan gangguan tidur.
Juga dapat menyebabkan gejala pada saluran nafas bawah, batuk kronik dan mengi.
Stadium-stadium polip nasi menurut Mackaydan Lund :
- stadium 0 : tidak ada polip
- stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
- stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
- stadium 3 : polip yang masif
Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak
mekar. Pada rhinoskopi anterior terlihat massa pucat berasal dari meatus medius dan
mudah digerakkan.
Tatalaksana
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,
kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc,
tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat
untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan
pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil,
sehingga lebih aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi)
dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan
drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus
paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu,
pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya
perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian
dekongestan dan anestesi lokal.
Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh
karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni :
1. Intranasal
2. Ekstranasal
Sumber :
1. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
2. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea
& Febiger 14th edition. Philadelphia 1991
3. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
4. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta
2000
Rinitis Alergi
A. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
B. Epidemiologi
Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang menyerang kira-kira
10-50% penduduk dunia, yang dapat mengganggu kualitas hidup, kualitas pendidikan
di sekolah dan produktvitas kerja. (atopi). RA merupakan penyakit umum dan sering
dijumpai. Prevalensi penyakit RA pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3%
dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit
umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3
penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada
wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan
predisposisi genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan
memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua
menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.
C. Patofisiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk kom-plek peptida MHC kelas II (Major Histo-compatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan ThO
untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga ke dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecah-nya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
his-tamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menim-bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbul-nya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi.
D. Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang inter-seluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau
debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel
kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass ) serta jamur
(Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan iebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misal-
nya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari :
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respons tertier.
3. Respons tertier:
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
1. tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),
2. tipe 2, atau reaksi sitotoksik/sitolitik,
3. tipe 3, atau reaksi kompleks imun dan
4. tipe 4, atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT
adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.
E. Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen)
dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino
konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari , 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
F. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja Gejala
rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat
kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding Jateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).
G. Pemeriksaan penunjang :
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula peme-riksaan IgE total (prist-paper radio immuno-sorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya se-!ain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil
dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, .walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedang-kan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal~atau berseri .Skin End-point Titration/SET),
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan aiergen dalam berbagai
konsentrasi yang ver-tingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain aiergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-skhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus ^rovocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge Test").
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena
itu pada "Challenge Test", makanan yang dicurigai; berikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
H. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan aiergen pe-
nyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi, Pem-berian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, se-hingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada
SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang ter-masuk kelompok
ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat di-berikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik,
antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin di-
absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala
pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk me-
ngatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat
dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap
jantung tersebut disebabkan repolarisasi jan-tung yang tertunda dan dapat menye-
babkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah
diterik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
deslora tadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mo-metason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja
untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini me-nyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan
lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja men-stabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk me-ngatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada, inhalan dengan gejala yang berat
sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: antibody
dan penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan
sublingual.
I. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif utama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Sinusitis
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena,
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis
sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pan sinusitis.
a. Etiologi
(1) Rinitis akut
(2) Infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut
(3) Infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2 (dentogen)
(4) Berenang dan menyelam
(5) Trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
(6) Barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.
b. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan
juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus.
Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai
sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka
sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan
multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut
bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini
bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.
c. Faktor Predisposisi
Deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di
dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis
kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir
yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi
lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan
perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.
d. Gejala Subyektif
Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat ingus kental
yang kadang – kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena, serta kadang – kadang dirasakan juga
ditempat lain karena nyeri alih (referred pain).
Pada sinusitis maksila nyeri dibawah kelopak mata dan kadang – kadang menyebar ke
alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan didepan telinga.
Rasa nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius. Kadang –
kadang dirasakan nyeri di bola mata atau dibelakangnya, dan nyeri akan bertambah bila mata
digerakkan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal). Pada sinusitis frontal rasa nyeri
terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri diseluruh kepala. Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di
verteks, oksipital, dibelakang bola mata dan didaerah mastoid.
e. Gejala Obyektif
Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada
sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka
hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior
tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior
dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior
tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
f. Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
1. Kriteria Mayor :
- Sekret nasal yang purulen
- Drenase faring yang purulen
- Purulent Post Nasaldrip
- Batuk
- Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih 50% dari
antrum
- Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus
2. Kriteria Minor :
- Sakit kepala - Edem periorbital
- Nyeri di wajah - Sakit gigi
- Nyeri telinga Sakit tenggorok - Nafas berbau
- Bersin-bersin bertambah sering - Demam
- Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri
- Ultrasound
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :
Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria minor
g. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak
lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik yang dibuat
adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan
di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior untuk menilai sinus frontal dan
posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah
pemeriksaan CT-scan.
h. Pemeriksaan Mikrobiologi
Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus medius atau
meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam – macam bakteri yang merupakan flora
normal di hidung atau kuman patogen, seperti Pneumococcus, Streptococcus, Stphylococcus
dan Haemophylus influeanzae. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.
i. Terapi
Medikamentosa berupa antibiotika selama 10 – 14 hari, meskipun gejala klinik telah
hilang. Antibiotika yang diberikan adalah golongan penisilin. Diberikan juga obat
dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan
analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang
diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial; atau bila ada nyeri
yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
j. Komplikasi Sinusitis
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi
isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada
kelompok umur ini.
Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap
ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran
vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a. Oftalmoplegia.
b. Kemosis konjungtiva.
c. Gangguan penglihatan yang berat.
Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista
ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi
mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan
dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
Abses dural adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang
mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa
malaise, demam dan menggigil
Sumber :
1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
Recommended