TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
MANAJEMEN KECELAKAAN
TRAUMA KEPALA
Oleh :
Mawarni Lestari
P 17420513045
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma
kepala dengan prosentase diatas 50%. Data dari Health Interview Survey
menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma kepada masuk kategori
moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di populasi yang
dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit
mempunyai GCS antara 3-11.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30
per 100.000 penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit
berkisar sangat lebar antara 4 – 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum
pasien masuk rumah sakit.
Menurut paparan dr Andre Kusuma SpBS dari SMF Bedah Saraf RSD dr
Soebandi Jember, cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak
yang bersifat non- degenerative, non-congenital, dilihat dari keselamatan
mekanis dari luar, yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi kognitif,
fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun sementara dan disertai
hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1. Apa definisi dari trauma Kepala ?
2. Apa etiologi dari trauma Kepala ?
3. Apa klasifikasi dari trauma Kepala ?
4. Bagaimanakah manifestasi klinis dari trauma Kepala ?
5. Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit trauma Kepala ?
6. Bagaimana penanganan trauma kepala di tempat kejadian?
7. Bagaimana teknik praktis menangani luka di kepala?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari trauma Kepala.
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit trauma Kepala.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari trauma Kepala.
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit trauma Kepala.
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit trauma Kepala.
8. Untuk mengetahui penanganan trauma kepala di tempat kejadian.
9. Untuk mengetahui teknik praktis menangani luka di kepala.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala atau cedera kepala adalah serangkainan kejadian
patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit
kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya, (Standar Pelayanan
Mendis ,RS DR Sardjito).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya
kontinuitas otak, (Paula Kristanty, dkk 2009).
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(acceleasi – decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serata notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tingkat pencegahan, (Musliha, 2010).
B. Etiologi
1. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan
lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau
hernia.
2. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
3. Etiologi lainnya
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
C. Klasifikasi
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
1. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
a. GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
b. Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
c. Tak ada fraktur tengkorak
d. Tak ada contusio serebral (hematom)
e. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
2. Cedera kepala sedang
a. GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
b. Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
d. Muntah
e. Kejang
3. Cedera kepala berat
a. GCS 3-8 (koma)
b. Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran
progresif)
c. Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
d. Tanda neurologist fokal
e. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur cranium
D. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Abnormalitas pupil
4. Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
5. Gangguan pergerakan
6. Gangguan penglihatan dan pendengaran
7. Disfungsi sensori
8. Kejang otot
9. Sakit kepala
10. Vertigo
11. Kejang
12. Pucat
13. Mual dan muntah
14. Pusing kepala
15. Terdapat hematoma
16. Sukar untuk dibangunkan
17. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70
% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /
menit / 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
F. Manajemen Kecelakaan Trauma Kepala
1. Penanganan di Tempat Kejadian
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang
perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang
tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian,
prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak
melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh
yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami
semacam brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini
ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan
dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil
midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati,
tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti
ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu
segera bantuan pernapasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway).
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin
lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga
patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila
hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan
cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai
warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi
perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala,
tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut
arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari
70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis
maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan
eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi
yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera
sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,
cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan
intrakranial.
Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan
untuk mendapatkan penanganan selanjutnya.
Langkah-langkah penanganan :
a. Lakukan penilaian dini
Gangguan pernafasan merupakan keadaan yang paling sering dijumpai
pada cedera kepala. Penurunan respons juga akan mempengaruhi jalan
nafas.
b. Baringkan dan istirahatkan penderita.
c. Imobilisasi kepala dan leher. Anggap penderita juga mengalami cedera
spinal Pasang bidai leher bila ada.
d. Untuk luka di kulit kepala, coba hentikan perdarahan dan perban
lukanya. Jangan melakukan tekanan langsung apabila daerah cedera
menunjukkan adanya patahan tulang atau bagian yang lekuk ke dalam.
e. Jika terbentur kecil di kepala dan tak ada perdarahan. Bubuhkan
kompres dingin (handuk yang direndam di air dingin dan diperas)
untuk mengurangi bengkak dan lebam.Jika korban gegar otak, dia
mungkin merasa nyeri, pening, dan pusing. Minta korban berisitirahat,
bahkan jika dia tampak pulih, dan mintalah bantuan medis.
f. Jika korban sadar tapi Anda menduga adanya cedera kepala seriuas,
bantu dia berbaring dalam posisi nyaman. Jaga punggung dan leher
agar tak bergerak dan jangan balikkan kepalanya. Tanyakan
pertanyaan sederhana. Jika dia bingung atau sulit berbicara, panggil
ambulans.
g. Jika korban tidak sadar, panggil ambulans, monitor denyut nadi,
pernafasan, dan level respons secara teratur hingga datang bantuan
medis atau hingga ia sadar.
h. Jika korban berhenti bernafas. Angkat rahangnya hati-hati untuk
membuka saluran udara dan mulai lakukan CPR. Berikan oksigen bila
ada sesuai protokol.
i. Setelah cedera kepala, perhatikan gejala fisik seperti sakit kepala,
lemah, ukuran pupil yang tak sama, dan bingung beberapa jam atau
hari setelah gejala cedera. Minta bantuan medis segera jika gejalanya
memburuk.
j. Tutup dan balut luka.
k. Periksa tanda vital secara berkala.
l. Rujuk ke fasilitas kesehatan.
Catatan :
a. Jangan mencoba mencabut benda yang menancap di kepala, tetapi
upayakan benda tersebut tetap pada tempatnya dengan beri balutan
disekitarnya.
b. Jangan menghalangi aliran cairan otak melalui hidung atau luka di
kepala. Tutup dengan longgar memakai penutup kasa steril.
c. Jika disertai dengan cedera berat pada wajah maka perhatikan jalan
nafas ( Airway ). Pastikan jalan nafas terbuka dengan baik tanpa terlalu
menggerakkan kepala penderita.
2. Teknik Praktis Menangani Luka di Kepala
Perdarahan dari luka kulit di kepala biasanya banyak karena area ini
penuh dengan pembuluh darah kecil. Cedera kulit kepala tampak lebih
serius dari kondisi sebenarnya. Jika Anda khawatir soal parahnya luka,
minta saran medis.
a. Kenakan sarung tangan sekali pakai, atau cuci tangan bersih. Tutup
luka dengan kasa steril, tekan luka untuk mengontrol pendarahan.
b. Perban kasa di tempatnya. Jika darah perban tambahkan kasa kedua di
atasnya. Jika terus mengeluarkan darah, buka keduanya dan pasang
yang baru.
3. Rujukan
Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi,
pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan, keadaan
geografis, dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan.
Prinsipnya adalah ‘To get 0a definitif care in shortest time’. Dengan
demikian, bila memungkinkan sebaiknya semua penderita dengan trauma
kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas CT Scan dan tindakan
bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di negara kita, di mana
hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut
(khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit
dilaksanakan.
Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan:
a. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita,
sebaiknya langsung dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah
saraf (rumah sakit propinsi).
b. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit terdekat
yang ada fasilitas bedah.
c. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat
untuk mendapatkan penanganan lebih baik.
Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok,
kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam
perjalanan, keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat.
Dengan adanya risiko selama transportasi, maka perlu persiapan dan
persyaratan dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal
perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat
(di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen,
cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc,
diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat
rujukan yang lengkap dan jelas.
Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan
kita untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita
untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien.
Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di
rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu :
a. Orientasi waktu dan tempat masih baik
b. Tidak ada gejala fokal neurologis.
c. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.
d. Tidak ada fraktur tulang kepala.
e. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.
f. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya, (Standar Pelayanan Mendis ,RS DR Sardjito). Seleksi
(triage) penderita dengan cidera kepala tergantung pada beratnya cidera dan
fasilitas yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan
persiapan persetujuan pengiriman dengan rumah sakit yang mempunyai
fasilitas yang lebih lengkap, dengan demikian penderita dengan cidera kepala
sedang dan berat dapat segera dikirim untuk mendapatkan perawatan yang
memadai.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70
% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
B. Saran
1. Sebagai tenaga kesehatan yang lebih tahu tentang kesehatan, kita dapat
menerapakan perilaku yang lebih berhati-hati agar tidak memicu terjadinya
cedera pada kepala.
2. Perawat harus melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik pada
pasien penderita Cedera Kepala sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai
dengan baik
3. Perawat maupun calon perawat harus memahami konsep dasar dariCedera
Kepala dan ruang lingkupnya sehingga dalam proses memberikan asuhan
keperawatan pada pasien penderita Cedera Kepala dapat terlaksana dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : GramediaPustaka Utama, 1998 : 147-176.
Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : PendidikanKedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.
Darmadipura MS. Cedera otak primer dan cedera otak sekunder tinjauanmekanisme dan patofisiologis. In: Pendidikan Kedokteran BerkelanjutanIlmu Bedah Saraf. 2000.
Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In : PendidikanKedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.
Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar penanganancidera otak.Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.