TINJAUAN PUSTAKA
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan kesenjangan antara kecukupan dan kebutuhan
zat gizi. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang dipilih
berdasarkan tahapan kekuranganlkelebihan gizi. Antropometri merupakan metode
pengukuran status gizi secara langsung dan sederhana yang paling umum
digunakan untuk menilai masalah kurang energi protein (KEP) dan kelebihan energi
dan protein (kegemukan). Pengujian laboratorium yang mencakup hematologi dan
kimia klinik darah dapat dilakukan untuk penilaian anemia gizi (Jelliffe & Jelliffe,
1989; Gibson, 1990).
Status Gizi Antromopetri
Pengukuran antropometri telah digunakan secara luas sebagai indikator
atau perkiraan beragam kondisi yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi. -
Pengukuran pertumbuhan, kesehatan atau penyakit dengan antropometri telah
dilakukan sejak lama. lndeks antropometri digunakan sebagai kriteria utama
pengukuran kecukupan diit dan pertumbuhan pada anak (WHO, 1995). Beberapa
indeks telah direkomendasikan oleh WHO (1983) sebagai pengukuran utama status
gizi anak di masa lampau dan saat ini, dan dengan menggunakan indeks tersebut
dapat dibedakan underweight (kurus, BBIU), stunting (pendek, TBIU), dan' wasting
(kecil, BBTTB).
lndeks yang digunakan ui'ltuk Grang dewasa adalah indeks massa tubtih
(kg/m2) yang diklasifikasikan status gizi normal jika IMT berkisar 18,5 hingga 24,99,
status gizi kurang jika nilai IMT lebih rendah dari 18,5 dan status gizi lebih jika nilai
IMT lebih dari 25,O (Depkes-RI, 1996). lndeks massa tubuh merupakan indikator
yang baik untuk mengetahui simpanan kelebihan energi dalam bentuk lemak, juga
sebagai indikator kekurangan energi dan protein. Pada populasi, nilai IMT lebih dari
30 berkaitan dengan meningkatnya tekanan darah, risiko penyakit jantung koroner
dan diabetes mellitus non-insulin dependen (WHO, 1995).
Pertumbuhan anak yang stunting merupakan kejadian yang paling umum di
seluruh dunia. Kurang energi dan protein merupakan evaluasi awal sebagai
penyebab utama stunting (Rosado, 1999). Stunting selama masa kanak-kanak
berkaitan dengan outcome fungsional seperti perkembangan kognitif yang terganggu
(Pollitt et a/., 1995) dan perkembangan mental dan motorik yang terlambat
(Grantham-McGregor, 1995).
Status gizi kurang akan mempengaruhi hasil kehamilan, seperti berat bayi
lahir rendah dan tingkat kematian bayi yang tinggi, apabila dialami seorang calon ibu
(Ramskrishnan et a!, 1999) dan meningkatnya risiko obstetrik pada wanita karena
ukuran tubuh yang pendek (WHO, 1995). Kurang gizi yang terjadi pada masa kanak-
kanak akan menyebabkan kelainan tulang pelvis, sehingga setelah menjadi ibu akan
mengakibatkan ketidakmampuan mempertahankan pertumbuhan plasenta dan jal~in
di masa kehamilan akhir. Hal ini memperbesar risiko terkena stroke pada usia
dewasa (Martyn, Barker & Osmond, 1996). Pada orang dewasa, gizi kurang akan
mengurangi kapasitas kerja akibat kurangnya massa tubuh (WHO, 1995).
Kurang gizi pada awal kehidupan dapat memiliki peran dalam kegemukan di
usia dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa stunting secara positif
berhubungan dengan kegemukan di usia dewasa (Popkin et a/., 1996; Sawaya et a/.,
1997). Studi yang dilakukan Sawaya et a;. (1 997) menunjukkan adanya hubungan
kenaikan berat badan berlebih dan konsumsi lemak anak stunting di Brazil, yang
berarti bahwa peningkatan efisiensi pemanfaatan lemak dapat menyebabkan
peningkatan berat badan tubuh sejalan dengan waktu.
Anak stunting memiliki laju oksidasi lemak fasting (puasa) yang lebih rendah
daripada anak non-stunting, yang merupakan faktor penduga kuat kelebihan berat
badan. Berkurangnya oksidasi lemak dapat menyebabkan kegemukan dengan
jangka waktu tertentu karena lemak yang tidak dioksidasi harus disimpan (Hoffman
et a/. , 2000).
Sebagai salah satu negara berkembang, lndonesia juga mengalami
berbagai perrnasalahan gizi kurang, terutama pada beberapa golongan rawan gizi
seperti anak-anak. Analisis status gizi penduduk di lndonesia sejak tahun 1989
sampai 1999 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk anak balita memiliki
kecenderungan meningkat dari 6,0% pada tahun 1989 menjadi 9,45% tahun 1992
dan menurun menjadi 7,76% tahun 1999. Gizi kurang cenderung menurun dari
36,2% tahun 1989 menjadi 28,3% tahun 1998, tetapi prevalensi tersebut masih lebih
trnggi dibanding prevalensi negara-negara tetangga (Malaysia, Filipina dan Thailand)
yang besarnya sekitar 20% (Jahari et a/., 2000). Masalah gizi lebih juga mulai
muncu! di Indonesia, seperti yang ditunjukkan hasil pemantauan rnasalah gizi lebih
yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan pada
tahun 199611997 di 12 kota, yaitu sebesar 22,O persen (Satoto, Karjati, Darmojo,
Tjokroprawiro & Kodhyat, 1998).
Gizi lebih merupakan manifestasi dari intik energi yang melebihi
pengeluaran yang berlangsung lama (Linder, 1992). Banyak studi yang menemukan
hubungan obesitas pada orang dewasa dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas akibat berbagai kelainan klinis. Bray (1996) mengindikasikan kelainan
yang sering terjadi antara lain penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit kandung empedu, osteoarthritis dan kanker usus (Heald & Gong, 1999)
Masa kritis perkembangan obesitas ada tiga yaitu masa pra-kelahiran,
masa kanak-kanak ketika terjadi pembentukan jaringan adiposa, yaitu antara umur 4
sampai 6 tahun, dan masa remaja (Dietz, 1997). Koniribusi relatif masing-masing
masa kritis terhadap morbitas dan mortalitas orang dewasa yang mengalami
obesitas masih belum jelas.
Sampai saat ini masih sedikit diketahui tentang dampak gizi lebih selama
remaja sebagai penduga penyakit di masa dewasa. Salah satu studi menunjukkan
bahwa risiko kematian dari semua penyakit dan penyakit jantung koroner meningkat
pada laki-laki yang gemuk ketika remaja, sebaliknya pada perempuan yang gemuk
ketika remaja risiko kematian tersebut tidak meningkat (Heald & Gong, 1999). Studi
lain oleh Must et a/. (1992) menunjukkan bahwa adanya peningkatan risiko penyakit
jantung koroner dan aterosklerosis pada laki-laki dan perempuan yang gemuk ketika
remaja (Heald & Gong, 1999),
Status Anemia Gizi
Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak
mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi. Anemia
dapa: disebsbkan kurangnya kadar hemoglobin (Hb) darah yang mampu mengikat
oksigen ataupun berkurangnya jumlah sel darah merah karena pendarahan akibat
infeksi maupun pecahnya sel darah merah karena penyakit malaria (King & Burgess,
1995).
Status anemia gizi ditinjau dari kadar Hb darah untuk anak usia < 15 tahun
adalah kurang dari 1 1,8 g/dL, orang dewasa laki-laki adalah kurang dari 13,5 g/dL,
dan perempuan usia 2 15 tahun adalah kurang dari 12,O g/dL serta untuk
perempuan hamil adalah kurang dari 11,O g/dL (CDC, 1998). Jumlah sel darah
merah diperhitungkan dengan kisaran normal 4,6 - 6,2 x lo6 per mm3 untuk laki-laki
dan 4,2 - 5,4 x lo6 per mm3 untuk perempuan (Widmann, 1985).
Kurangnya kadar Hb darah berkaitan dengan defisiensi besi. Status bes~
merupakan fungsi dari intik, simpanan dan hilangnya zat besi. Absorpsi besi dari
makanan tergantung jumlah zat besi dalam tubuh, laju produksi sel darah merah,
jumlah dan jenis zat besi dalam pangan serta adanya penghambat dan pendorong
absorpsi dalam pangan (Fairbanks, 1999). Pengaturan keseimbangan besi terjadi
dalam saluran pencernaan melalui absorpsi. Kapasitas tubuh untuk mengabsorpsi
besi dari pangan tergantung jumlah besi dalam tubuh (CDC, 1998). Jika simpanan
besi berkurang maka absorpsi besi dari pangan akan meningkat. Orang sehat
mampu mengabsorpsi besi sekitar 5 - 10% dari pangan, sedangkan orang yang
mengalami defisiensi akan mengabsorpsi sekitar 10 - 20% (Fairbanks, 1999).
Defisiensi besi merupakan defisiensi paling umum terjadi di dunia dan
menjadi perhatian utama bagi 15 persen penduduk dunia (DeMaeyer & Adiels-
Tegman dalam Beard & Tobin, 2000). Defisiensi besi ditunjukkan mulai dari
berkurangnya simpanan besi yang tidak menyebabkan gangguan fisiologis, hingga
anemia defisiensi besi yang mempengaruhi fungsi beberapa sistem organ. Anemia
defisiensi besi merupakan bentuk defisiensi yang paling berat, yang dapat
menyebabkan berkurangnya produksi hemoglobin. Sel darah merah orang yang
mengalami anemia defisiensi besi adalah mikrositik dan hipokromik (CDC, 1998).
Prevalensi anemia gizi besi yang tertinggi adalah pada anak balita karena
kebutuhan untuk pertumbuhan dan perempuan dewasa akibat kehilangan ketika
menstruasi dan melahirkan (CDC, 1998). Pada bayi dan anak pra-sekolah, anemia
besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku (seperti aktivitas
motorik, interaksi sosial dan perhatian) (Idjradinata & Pollit, 1993). Anak sekolah
yang mengalami anemia akan mempengaruhi aktivitas belajar dan selanjutnya akan
berdampak pada rendahnya prestasi belajar (Stoltzfus, Chwaya et al.. , 1997).
Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalatni anemia ketika bayi akan
memiliki kemampuan kognitif dan prestasi sekolah yang rendah, serta masalah
perilaku ketika memasuki masa pertengahan kanak-kanak (Grantham-McGregor &
Ani, 2001). Anemia besi juga dapat mengakibatkan keracunan pada anak dengan
meningkatnya kemampuan saluran pencernaan untuk mengabsorpsi logam berat,
termasuk timah (Goyer, 1995)
Pada perempuan hamil, anemia berhubungan dengan berat dan ukuran
plasenta (Hindmarsh et al., 2000) dan dapat meningkatkan risiko dua kali
melahirkan prematur dan tiga kali melahirkan bayi yang lahir memiliki berat badan
yang rendah (Scholl et a/., 1994). Bukti dari beberapa studi randomized control trial
menunjukkan bahwa suplementasi besi dapat mengurangi insiden anemia defisiensi
besi selama hamil, tetapi uji terhadap suplementasi besi selama hamil terhadap
outcome kehamilan dzn bayi yang merugikan belum meyakinkan (CDC, 1998).
Pada orang dewasa, anemia dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas
kerja yang dapat diperbaiki dengan suplementasi besi (Li et a/., 1994). Pada atlet
yang mengalami anemia, defisiensi besi tidak hanya menurunkan kamampuan
atletik tetapi juga mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan selanjutnya akan
mengakibatkan kelainan fisiologis (Beard & Tobin, 2000).
Status Kesehatan
Status kesehatan merupakan derajat kondisi fisik, mental dan psikososial
seseorang untuk dapat melangsungkan hidup dengan baik (WHO, 1995). Status
kesehatan yang selanjutnya akan dibahas adalah kesehatan fisik yang mencakup
penyakit infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi mencakup infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), diare, kecacingan dan malaria, sedangkan penyakit non
infeksi mencakup gangguan fungsi hati dan ginjal.
Penyakit infeksi pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di negara berkembang dan telah diketahui mempengaruhi
pertumbuhan linier anak, yaitu dengan mempengaruhi status gizi. Hal ini terjadi
karena infeksi dapat menyebabkan berkurangnya intik makan, absorpsi zat gizi yang
terganggu, rnengakibatkan hilangnya zat gizi secara langsung, meningkatkan
kebutuhan metabolik atau kehilangan katabolik zat gizi dan terganggunya transpor
zat gizi ke jaringan target (Stephensen, 1999).
Selama masa bayi dan balita, infeksi dan ketidakcukupan intik zat gizi,
khususnya energi, protein, vitamin A, seng dan besi, akan mengakibatkan
pertumbuhan yang terhambat. Sebagian besar hambatan, yang merupakan hasil
dari status gizi kurang terjadi pada periode yang relatif pendek, yaitu mulai lahir
hingga umur sekitar 2 tahun (ACCISCN, 2000). Selain itu, anak-anak yang kurang
gizi cenderung lebih mudah mengalami sakit yang berat, termasuk diare dan radang
paru-paru (WHO, 1995).
Jika dilihat dari porporsi pola penyakit penyebab kematian penduduk
Indonesia, maka hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit sistem
sirkulasi merupakan proporsi terbesar (1 8,9%), selanjutnya sistem pernafasan
(15,7%), TBC (9,6%), infeksi dan parasit lain (7,9%j dan diare (7,4%). Pola ini tidak
jauh berbeda dari hasil SKRT tahun 1992, yaitu proporsi terbesar adalah penyakit
sistem sirkulasi (16%), TBC (1 I%), infeksi saluran pernafasan (9,5%) dan diare (8%)
(Depkes-RI, 2000b).
lnfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Penyakit sistem pernafasan terdiri dari penyakit yang menyebabkan
gangguan akut fungsi normal dan yang menyebabkan perubahan kronis. Penyakit
infeksi sistem pernafasan akut berhubungan dengan gejala sistemik, seperti
anoreksia, kelelahan dan tidak enak badan. Gejala tersebut jika dikombinasi dengan
batuk dan/atau sesak nafas akan mengakibatkan terganggunya intik melalui mulut
(Johnson, Chin & Haponik, 1999).
Menurut Depkes, ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung
sampai dengan 14 hari. Berat dan ringannya penyakit ISPA tergantung dari
lamanya sakit dan tanda-tanda yang menyertainya. Penderita ISPA ringan jika sakit
panas selama 2 - 3 hari, ISPA sedang jika gejalanya ditambah frekuensi pernafasan
iebih dari 50 kali per menit danlatau panas-dingin (suhu 2 3 9 ' ~ ) ~ sedangkan ISPA
berat jika ditambah gejala nafas cuping hidung, kejang, dehidrasi dan kesadaran
menurun (Handayani, 1997).
Kombinasi kurang konsumsi dan peningkatan proses metabolik dapat
menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif, karena proses katabolisme protein
serta gangguan fungsi kekebalan tubuh kurang (Johnson, Chin & Haponik, 1999).
Hasil studi Bart et a/. (1982) menunjukkan bahwa seseorang yang menderita ISPA
juga akan mengalami keseimbangan energi negatif (Johnson, Chin & Haponik,
1999). Studi lain oleh Giner et a/. (1996) menunjukkan bahwa komplikasi ISPA akan
terjadi pada orang yang mengalami gizi kurang. Berbagai penelitian laboratorium
dan klinis menunjukkan bahwa dampak utama gizi kurang terhadap sistem
pernafasan adalah dalam ha1 struktur dan fungsi pernafasan serta daya tahan tubuh
(Johnson, Chin & Haponik, 1999).
lnfeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang
penularannya melalui udara, sehingga lingkungan rumah yang buruk dan tidak
memenuhi syarat kesehatan akan memudahkan terjadinya penularan penyakit
infeksi ini (Handayani, 1997).
Diare - Secara umum, etiologi sebagian besar diare akut adalah bakteri atau virus.
Di beberapa negara berkembang, bakteri enteropatogenik (Salmonella, Shigella dan
enteropatogenik Eschericia co11) menjadi penyebab diare (Heird & Cooper, 1999).
Anak kurang gizi dapat menderita diare akut, sehubungan dengan tipe
infeksi virus dan bakteri. Diare yang dialaminya sering persisten yang dimulai
seperti diare akut, tetapi berlanjut hingga lebih dari dua minggu. Diare kronis juga
umum terjadi, yang diawali dengan lambat tetapi berlanjut untuk jangka waktu yang
panjang dan terus terjadi. Diare persisten dan kronis sebagian merupakan hasil .dari
kurang gizi. Dinding usus menjadi tipis dan rusak dan membutuhkan waktu yang
lama untuk sembuh dari infeksi dan tidak mampu mencerna dan mengabsorpsi
makanan dengan baik. Zat gizi yang hilacg selslma dizre akan membuat kurang gizi
menjadi lebih buruk (King & Burgess, 1995). Anak kurang gizi yang mengalami
diare akan menderita dehidrasi yang akan meningkatkan risiko kematian. Anak
kwashiorkor yang mengalami dehidrasi akan kehilangan oedema-nya dan akan
muncul kembali jika ia direhidrasi (Torun & Chew, 1999).
Sayuran yang kaya serat dapat diberikan kepada anak karena dapat
memendekkan durasi diare. Risiko mengalami infeksi harus dikurangi karena
interaksi antara gizi dan infeksi. Prioritas yang harus dilakukan adalah imunisasi,
memperbaiki sanitasi untuk mengurangi kontaminasi fekal dan rehidrasi oral serta
memberi makan anak yang mengalami diare (Torun & Chew, 1999).
lnfeksi Kecacinsan
Lebih dari seperempat penduduk dunia saat ini terinfeksi kecacingan.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah (Bundy & Cooper, 1989).
Anak sekolah yang terinfeksi Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan Ascaris
lumbricoides (cacing gelang) cenderung memiliki fungsi kognitif dan prestasi sekolah
lebih rendah daripada anak yang tidak terinfeksi (Hutchinson et al., 1997). lnfeksi
cacing tambang (hook worm) merupakan penduga terkuat status besi, khususnya
dengan simpanan besi yang kurang. Serum retinol merupakan faktor paling
berhubungan dengan anemia ringan, sebaliknya P. vivax malaria dan infeksi cacing -
tambang merupakan penduga lebih kuat untuk anemia berat dan sedang (Dreyfuss
et a/. , 2000).
lnfeksi cacing merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh berbagai
cacing dalam rongga usus yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam tubuh,
spesies yang palicg sering msnyebabkan infsksi cacing pada manusia sdalah
cacing cambuk, cacing gelang dan cacing tambang. Cacing-cacing tersebut
mempunyai tahapan dalam kehidupannya, yaitu tahap telur, tahap larva dan tahap
dewasa. Cacing dalam tahap telur dan larva ukurannya sangat kecil dan tidak dapat
dilihat dengan mata biasa, sedangkan pada tahap dewasa dapat dilihat dengan
mata (Depkes-RI, 1987).
lnfeksi cacing dapat menimbulkan gejala dan keluhan. Gejala-gejala dapat
timbul apabila jumlah cacing dalam usus banyak dan infeksi diderita dalam jangka
waktu yang lama dan penderita dalam kedaan kurang gizi. Gejala kecacingan
berbeda antar penderita. Gejala atau keluhan yang sering dirasakan oleh penderita
antara iain: (1) badan kurus walaupun makan tetap makan, (2) sakit perut atau diare
(mencret), (3) badan kurus tetapi perut buncit, (4) mengeluarkan cacing ketika buang
air besar atau muntah, (5) nafsu makan berkurang, (6) batuk atau sesak nafas; (7)
muka, telapak tangan dan selaput mata pucat, (8) lemah dan lesu jika beraktivitas
agak berat, (9) gatal-gatal setelah berjalan di tanah tanpa alas kaki (Depkes-RI,
1 992).
Prevalensi penderita infeksi cacing yang tinggi di negara Indonesia
disebabkan oleh beberapa faktor yang mendukung terjadinya penularan dan
peluasan infeksi, yaitu: (1) iklim negara tropis dengan tanah yang lembab sangat
baik untuk pertumbuhan cacing, (2) banyak penduduk yang belurn mengetahui cara
menjaga kebersihan pribadi, kebersihan makanan serta minuman, (3) banyak yang
belum memiliki jamban sendiri, sehingga membuang kotoran di halaman, kebun
maupun selokan yang terbuka, (4) beberapa daerah berpenduduk padat sehingga
memudahkan penularan penyakit (Depkes-RI, 1992).
Hasil studi Warren et a/. (1993) menunjukkan bahwa infeksi cacing akan
mernberikan pengaruh negatif terhadap partisipasi sekolah, pertumbuhan dan status
besi (Stoltzfus, Albonico et a/., 1997). lnfeksi cacing juga dapat menyebabkan
malabsorpsi zat gizi dengan merusak set-sel epitel mukosa usus halus sehingga
akan mengganggu absorpsi zat gizi mikro dan makro (Stephensen, 1999).
Malaria
Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium, yaitu
Plasmodium falciparum, P. vivax. P. malarie dan P. ovale. P. falciparum merupakan
penyebab infeksi paling berat. Daur hidup yang dimiliki plasmodium adalah manusia
(fase aseksual) dan nyamuk (fase seksual). Pada awal fase aseksual dalam
manusia, tidak akan terlihat manifestasi klinis yang dapat menentukan diagnosis
(Pribadi & Sungkar, 1994). Penularan penyakit malaria adalah melalui gigitan
nyamuk Anopheles, dan di Indonesia terdapat 77 spesies dan diketahui hanya 20
spesies sebagai vektor (Kirnowardoyo dalam Boewono et al., 1997).
Perubahan patologik yang terjadi adalah pertama penghancuran sel darah
merah dan penyumbatan pembuluh darah dan kedua kalainan yang disebabkan
anoksemia jaringan hati dan organ lain. Jumlah sel darah merah dapat menurun
sebanyak 10 hingga 20 persen pada malaria vivax sedangkan malaria falciparum
dapat lebih banyak (Pribadi & Sungkar, 1994). P. fakiparum merupakan spesies
plasmodium yang memiliki siklus terpendek di dalam sel hati dan menyerang semua
bentuk sel darah merah sehingga multikomplikasi di dalam darah cepat terjadi
(Tjitra, 1989).
Manisfestasi klinis penyakit malaria dapat dikelompokkan menjadi malaria
ringan tanpa konplikasi dar: malaria berat clengan komplikasi. Malaria ringan
umumnya disertai demam, menggigil dan mual serta tanpa kelainan fungsi organ,
sedangkan malaria berat disertai kelainan klinis antara lain anemia berat (Tjitra,
1994). lnfeksi malaria yang menahun akan menimbulkan kelainan fungsi hati yang
disebabkan kelainan aliran darah ke hati (Pribadi & Sungkar, 1994).
Gangguan Fungsi Hati
Hati memiliki peran penting dalam metabolisme perantara. Hati mengatur
metabolisme karbohidrat dengan mensintesis, menyimpan dan memecah glikogen;
sebagai tempat sintesis trigliserida dan pemecahan asam lemak yang menyediakan 0
sumber energi alternatif ketika tidak ada glukosa ketika puasa atau kelaparan; dan
sebagai peran pusat dalam sintesis dan pemecahan protein (Lieber, 1999). Hampir
semua zat gizi disaring oleh hati dan bersama dengan sirkulasi mempunyai fungsi
penyangga. Hati dan ginjal bertanggung jawab untuk menjamin plasma perifer
(perrnukaan) dan cairan ekstraseluler agar komposisinya tidak mengalami fluktuasi
(Linder, 1992). Hati merupakan tempat simpanan cadangan berbagai vitamin larut
lemak dan mineral (Bardanier, 1998).
Enzim-enzim yang mengkatalis asam amino dan asam alfa-keto disebut
aminotransferase. Dua aminotransferase yang paling sering diukur adalah aianine
aminotransferase (ALT), yang dahulu disebut giutamic-piruvic transaminase (GPT),
dan aspartate aminotansferase (AST), yang dahulu disebut glutamic-oxaioacetic
transaminase (GOT) (Widmann, 1985).
Hati, yang merupakan organ ssngat penting dalam sintesis protein dan
menyalurkan asam amino ke jalur biokimia lain, merupakan sumber
aminotransferase. Hepatosit, yaitu tipe sel utama hati. merupakan satu-satunya sel
dengan konsentrasi ALT tinggi, walaupun ginjal, jantung dan otot rangka
mengandung ALT dalam jumlah sedang. Konsentrasi AST yang tinggi tidak hanya
di hati, tetapi juga dalam sel-sel mitokondria; konsentrasi lebih rendah di otot rangka,
ginjal, otak dan pankreas. Hepatosit mengadung tiga hingga enipat kali AST lebih
banyak dibanding ALT (Widmann, 1985). Menurut Zimmerman & Henry (1979),
kadar ALT serum merupakan indeks lebih sensitif terhadap kerusakan hati, karena
sedikitnya kondisi non-hati yang mempengaruhi kadar ALT (Widmann, 1985).
lndikator kelainan fungsi hati adalah peningkatan kadar serum transaminase
(AST dan ALT), alkaline phosphatase, y-glutamyltransferase (GGT) dan bilirubin
dalam darah. Peningkatan AST, ALT dan bilirubin terjadi pada orang yang
memperoleh hanya gula sebagai kalori non-protein (Buchmiller et a/. 1993 dalam
Shils & Brown, 1999). Kadar normal serum AST adalah 5 - 40 IUIL, sedangkan
ALT adalah 10 - 35 IUIL (Widmann, 1985).
Menurut McCullogh et a/. , (1 989), komplikasi gizi sering terjadi ketika fungsi
hati terganggu khususnya sirosis, yang mungkin sekali menyebabkan pasien
memiliki ukuran antropometri yang tidak normal (seperti, wasting) dan menjadi
matirasa pada uji kulit (Lieber, 1999). Hasil studi Mezey (1988) menunjukkan bahwa
kadar sirkulasi vitamin larut air dan lemak rendah pada pasien dengan sirosis
alkohol, sedangkan kadar serum vitamin larut lemak yang rendah (dibanding vitamin
larut air) merupakan ksrakteristik sirosis non-alkohol (Lieber, 1999). Defisiensi zat
gizi tersebut muncul akibat salah satu atau lebih faktor berikut: intik pangan yang
tidak cukup, maldigestion, malabsorpsi dan metabolisme yang kurang baik.
Gangauan Funnsi Ginial
Ginjal memiiiki tiga fungsi utama, yaitu ekskresi, endokrin dan metabolik.
Ekskresi dan regulasi air, mineral dan komponen organik tubuh merupakan fungsi
ginjal yang paling penting (Kopple, 1999).
Ketika terjadi luka, nekrosis dan goresan pada parenkim ginjal dapat
menyebabkan hilangnya fungsi ginjal, sehingga ginjal gagal menyaring bahan-
bahan. Banyak bahan yang terakumulasi pada gagal ginjal (Bergstr6m, 1997 dalam
Kopple, 1999); yang sebagian besar adalah produk metabolisme asam amino dan
protein. Secara kuantitatif, yang paling banyak adalah urea, kreatinin, komponen
guanidin lain dan asam urat. Sebagian komponen ini beracun pada konsentrasi
tinggi. Konsentrasi protein yang rendah akan mengurangi akumulasi bahan-bahan
tersebut (Kopple, 1999).
Setiap hari ginjal mengeluarkan 500 hingga 2000 mL urin melalui proses
penyaringan, reabsorpsi dan sekresi. Hasil akhir metabolisme protein, yaitu urea,
kreatinin dan asam urat harus dikeluarkan oleh tubuh melalui ginjal. Konsentrasi
senyawa tersebut akan meningkat jika terjadi gagal ginjal (Guyton, 1994).
Orang yang mengalami gagal ginjal sering mengalami wasting (gizi kurang
menurut indeks BBTTB), yang mencakup penurunan berat badan relatif, lemak
tubuh, massa otot lengan, total nitrogen dan kalium tubuh; laju pertumbuhan yang
rendah pada anak; penurunan konsentrasi berbagai serum protein, termasuk
albumin, transferin dan komplemen protein tertentu; dan protein otot larut-basa
(Kopple, 1999).
Kreatinin darah akan meningkat ketika fungsi ginjal menurun. Jika terjadi
penurunan fungsi ginjal yang lambat secara simultan bersamaan dengan penurunan
dalam massa otot, konsentrasi kreatinin serum dapat tetap stabil, walaupun tingkat
ekskresi 24- jam akan lebih rendah dibanding normal. Hal ini dapat terjadi pada
orang tua. Nilai rujukan kadar normal untuk laki-laki dewasa berkisar antara 0,6
hingga 1,3 mgIdL dan untuk perempuan dewasa berkisar antara 0,5 hingga 1 mgIdL
(Widmann, 1985).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Status Gizi Antropometri
Di Indonesia, penyakit infeksi merupakan salah satu faktor yang paling
banyak mempengaruhi status gizi anak selain konsumsi makan yang kurang
memenuhi syarat gizi. Salah satu infeksi yang sering menyerang anak usia sekolah
dasar adalah infeksi cacing usus (Ismid, 1996). Anak kurang gizi sering berasal dari
keluarga miskin, dengan rumah yang sesak dan kurang higienis, sehingga mereka
terpapar lebih banyak infeksi (King & Burgess, 1995).
Penyebab dasar kurangnya intik pangan yang mengakibatkan KEP adalah
faktor sosial, ekonomi, biologi dan lingkungan. Faktor ekonomi, yaitu kemiskinan,
akan menyebabkan ketersediaan pangan rendah, kondisi lingkungan terlalu ramai
dan sanitasi kurang, pengasuhan anak yang tidak tepat, sedangkan masalah sosial
antara lain penyiksaan anak, pengabaian anak dan lansia, konsumsi alkohol dan
ketergantungan obat-obatan. Faktor biologi mencakup kurang gizi ibu ketika hamil
dan penyakit infeksi (diare, campak, AIDS, TBC) yang sering menyebabkan
keseimbangan protein dan energi negatif. Parasit memiliki sedikit pengaruh atau
tidak sama sekali kecuali infeksi meluas dan menyebabkan anemia atau diare.
Faktor lingkungan meliputi kondisi lingkungan yang terlalu ramai danlatau sanitasi
klirang yang akan menyebabkan infeksi berulang; pola pertanian, kekeringan, banjir,
perang dan migrasi terpaksa yang akan mengakibatkan kelangkaan pangan
sehingga KEP dapat dialami oleh seluruh populasi (Torun & Chew, 1999).
Hasil studi Alderman dan Garcia (1994) menunjukkan bahwa pendidikarl
orangtua memiliki pengaruh positif terhadap status gizi, baik status gizi jangka
pendek maupun jangka panjang. Hal ini dikarenakan pendidikan orangtua memiliki
Kopple, 1999); yang sebagian besar adalah produk metabolisme asam amino dan
protein. Secara kuantitatif, yang paling banyak adalah urea, kreatinin, komponen
guanidin lain dan asam urat. Sebagian komponen ini beracun pada konsentrasi
tinggi. Konsentrasi protein yang rendah akan mengurangi akumulasi bahan-bahan
tersebut (Kopple, 1999).
Setiap hari ginjal mengeluarkan 500 hingga 2000 mL urin melalui proses
penyaringan, reabsorpsi dan sekresi. Hasil akhir metabolisme protein, yaitu urea,
kreatinin dan asam urat harus dikeluarkan oleh tubuh melalui ginjal. Konsentrasi
senyawa tersebut akan meningkat jika terjadi gagal ginjal (Guyton, 1994).
Orang yang mengalami gagal ginjal sering mengalami wasting (gizi kurang
menurut indeks BBTTB), yang mencakup penurunan berat badan relatif, lemak
tubuh, massa otot lengan, total nitrogen dan kalium tubuh; laju pertumbuhan yang
rendah pada anak; penurunan konsentrasi berbagai serum protein, termasuk
albumin, transferin dan komplemen protein tertentu; dan protein otot larut-basa
(Kopple, 1 999).
Kreatinin darah akan meningkat ketika fungsi ginjal menurun. Jika terjadi
penurunan fungsi ginjal yang lambat secara simultan bersamaan dengan penurunan
dalam massa otot, konsentrasi kreatinin serum dapat tetap stabil, walaupun tingkat
ekskresi 24- jam akan lebih rendah dibanding normal. Hal ini dapat terjadi pada
orang tua. Nilai rujukan kadar normal untuk laki-laki dewasa berkisar antara 0,6
hingga 1,3 mgIdL dan wntuk perempuan dewasa berkisar antara 0,5 hingga 1 mg/dL
(Widmann, 1985).
pengaruh terhadap pengasuhan anak dan pendapatan keluarga. Hasil studi Begin,
Frongillo dan Delisle (1999) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
berhubungan dengan status gizi anak adalah pendapatan keluarga. lnsiden gizi
kurang (wasting) dapat berkurang 30 hingga 70 persen dengan meningkatnya
pendapatan per kapita (Alderman & Garcia, 1994).
Kekurangan gizi dan kelebihan gizi merupakan gizi salah juga dialami oleh
orang dewasa. Penyebab utama penurunan berat badan pada orang dewasa
adalah berkurangnya konsumsi pangan, sering dikombinasi dengan penyakit, tetapi
ketika intik energi melebihi penggunaan energi, kelebihan tersebut disimpan dalam
lemak tubuh (ACCISCN, 2000).
Defisiensi vitamin A yang agak berat, yang ditandai dengan xeropthalmia,
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan linear normal, tetapi pada tahap
defisiensi yang sedang tidak mempunyai pengaruh (West, 1997). Studi yang
mengenai pertumbuhan linear anak usia 6 bulan hingga 4 tahun di Indonesia
menunjukkan bahwa anak yang memiliki konsentrasi serum retinol yang rendah
mencapai peningkatan tinggi badan yang lebih besar secara signifikan setelah
suplementasi vitamin A dibanding kelompok kontrol (Hadi et a/., 2000). Demikian
pula halnya dengan defisiensi seng yang akan menunjukkan gejala kegagalan
pertumbuhan (Linder, 1992).
Status Anemia Gizi
Anemia gizi dapat disebabkan karena defisiensi zat gizi, infeksi dan
pendarahan (CDC, 1996). Konsumsi pangan sumber z2t besi yang kurang, baik
dalam kuantitas maupun kualitas pangan sumber besi. Bioavalaibilitas besi dalam
pangan tergantung pada komposisi pangan. Besi heme, yang hanya ditemukan
pada daging, unggas dan ikan, lebih mudah diserap dua hingga tiga kali dibanding
besi non-heme pada pangan nabati (Finch & Cook, 1984). Bioavailabilitas besi non-
heme sangat dipengaruhi jenis pangan lain yang dikonsumsi, yaitu pangan sumber
besi heme dan vitamin C akan meningkatkan absorpsi, sedangkan polifenol
(sayuran tertentu), tanin (dalam teh), fitat (dalam biji-bijian) dan kalsium (dalam
produk susu) (Siegenberg et a/., 1994).
Hasil studi Bhargava, Bouis & Scrimshaw (2001) menunjukkan bahwa
peningkatan pendapatan rumahtangga berhubungan dengan intik sumber besi dari
daging, ikan dan unggas. Penelitian yang dilakukan pada masyarakat pengungsi
Palestina oleh Hassan et a/. (1997) menunjukkan bahwa anemia pada anak balita
berhubungan dengan faktor sosial ekonomi dan diare.
Hasil studi Dreyfuss et a/., (2000) menunjukkan bahwa infeksi cacing
tambang merupakan penduga kuat status besi, yaitu berkurangnya simpanan besi
dalam tubuh. Defisiensi vitamin A berhubungan kuat dengan anemia ringan,
sedangkan malaria P. vivax dan infeksi cacing tambang merupakan penduga kuat
anemia berat.
Suatu studi yang dilakukan pada anak sekolah di Negara Zanzibar oleh
Stoltzfus, Chwaya et a/. (1997) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara infeksi cacing usus dan status besi yang memburuk, yaitu 25% mengalami
anemia, dimana 73% anemia berat diakibatkan oleh infeksi cacing tambang; dan
4 0 % anemia disebabkan oleh cacing gelang, infeksi malaria dan gizi kurang
(stunting). Jika anak sekolah mengalami anemia, maka akan mempengaruhi
aktivitas belajar mereka yang menurun dan selanjutnya akan berdampak pada
rendahnya prestasi belajar.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan
Penvakit ISPA, Diare, Kecacingan dan Malaria
Sanitasi di daerah miskin kurang baik yang menyebabkan meningkatnya
kejadian penularan infeksi melalui jalur fekal (seperti diare dan infeksi kecacingan).
Penyakit infeksi pada masa anak merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara sedang berkembang dan telah diketahui mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan anak. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya insiden infeksi di daerah
miskin negara sedang berkembang yang cukup tinggi (Stephensen, 1999). Kurang
gizi merupakan determinan utama kematian pada anak balita karena infeksi
pernafasan dan diare (Yoon et a/., 1997). Kurang gizi pada anak akan meningkatkan
risiko mengalami berbagai penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi pernafasan
(WHO, 1995).
Vitamin A memiliki peranan penting dalam fungsi normal sistem kekebalan
tubuh. Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan berkaitan dengan pengurangan
proliferasi limfosit; reaksi hipersensitivitas kulit; pengurangan fungsi makrofage,
sitotoksik sel-T dan sel NK; dan pengurangan proliferasi.sel-j3 dan produksi antibodi
(Wolf & Keusch, 1999). Mineral besi juga berperan dalam fungsi kekebalan tubuh.
Sehubungan dengan perubahan metabolisme, tikus yang defisiensi besi memiliki
kekebalar! terganggu ketika melawan patogen. Terdapat penurunan produksi
antibodi dan penurunan populasi sel pembunuh alami (Bardanier, 1998).
Beberapa studi terakhir pada percobaan klinis dan masyarakat yang diberi
suplementasi vitamin A pada anak-anak menunjukkan penurunan yang signifikan
semua penyebab kesakitan dan kematian (McLaren, 1999). Studi yang dilakukan di
New Delhi mengenai perlakuan selama masa diare akut pada anak usia 12-60 bulan
menunjukkan bahwa pemberian vitamin A selama masa diare akut dapat
menurunkan periode diare dan risiko diare yang menetap pada anak-anak yang
tidak diberi ASI, tetapi tidak terlihat pada anak yang memperoleh AS1 (Bhandari,
Bahl, Sazawal & Bhan, 1997). Studi yang dilakukan pada anak Indonesia oleh
Somer et a/. (1 983) menemukan bahwa anak dengan xeropthalmia sedang memiliki
risiko terkena infeksi pernafasan dan diare relatif lebih tinggi dibanding anak yang
tidak mempunyai tanda kelainan di mata (Wolf & Keusch, 1999).
Studi mengenai diare kronis pada tikus menunjukkan bahwa diare tidak
mempunyai pengaruh terhadap vitamin A di hati, tetapi menurunkan konsentrasi
serum vitamin A dari tikus yang diberi konsumsi laktosa dibanding tikus yang diberi
konsumsi kontrol. Diare kronik berkaitan dengan diet laktosa yang berlebih yang
akan mengurangi absorpsi vitamin A dan E dan secara khusus terhadap status
vitamin E (Liuzzi, Cioccia & Hevia, 1998).
Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah
tropis. Penularan penyakit malaria adalah melalui nyamuk Anopheles. Penyakit
malaria kebanyakan menyerang penduduk yang tinggal di pedesaan (Sopanto, 1981
dalam Lubis, 1994). Hasil studi Lubis (1 994) menunjukkan bahwa distribusi
penderita malaria terbanyak pada bulan Juni dan Juli, yang dipengaruhi oleh
lingkungan dan cuaca (suhu udara, kelembaban dan curah hujan). Anopheles farauti
merupakan vektor utama di lrian Jaya yang tersebar mulai dari pantai sampai ke
pegunungan (Sloff, 1964 dalam Pranoto & Munif, 1994).
Aspek yang perlu dipelajari dalam menanggulangi vektor adalah cara
penyebaran, tempat berkembang biak, kesenangan mencari darah, tempat
menggigit, waktu menggigit, tempat hinggaplistirahat, jarak terbang, status
kerentanan, musim penularan dan pengaruh faktor lingkungan terhadap nyamuk
(Pranoto & Munif, 1994).
Gannauan Funnsi Hati
Faktor risiko kelainan hati antara lain kerusakan usus, kekurangan gizi,
kelebihan kalori non-protein, konsumsi obat dan lamanya memperoleh parenteral
nutrition (Lieber, 1999). Luka pada hati yang akut sering berkaitan dengan
anoreksia, mual dan muntah. Hati yang luka sehubungan dengan alkohol, gejalanya
dapat bersamaan dengan perdangan lambung, sehingga luka hati menurunkan intik
pangan, tetapi dampaknya terhadap gizi akan minimal jika sakit dalam waktu
pendek. Luka hati karena alkohol atau non-alkohol dapat menyebabkan
hypoglykemia. Hal ini disebabkan berkurangnya simpanan glikogen hati dan
pembatasan glukoneogenesis dari asam amino (Lieber, 1999). Defisiensi seng juga
akan menunjukkan gejala gangguan pada hati dalam bentuk pembesaran hati
(Linder, 1992).
Defisiensi selenium umumnya akan menimbulkan penyakit yang juga
berkaitan dengan defisiensi vitamin El seperti nekrosis hati pada tikus, exudative
diathesis pada ayam dan penyakit white muscle pada kambing dan biri-biri (WHO,
1996). Se memiliki potensi racun yang menyebabkan kerusakan hati, otot rangka
dan jantung (Linder, 1992). Tanda-tanda kronis keracunan pada ternak termasuk
sirosis, kepincangan, ketidaknorrnalan pembentukan kuku, kerontokan bulu, dan
badan yang kurus. Studi pada hewan di laboratorium juga menunjukkan tands-
tanda yang umum termasuk sirosis hati. lntik minimum selenium yang diketahui
dapat mengakibatkan efek yang merugikan pada hewan adalah 4-5 pglg berat
basah makanan (Hathcock, 1997).
Pada tikus yang dibuat defisiensi besi terjadi perubahan dalam metabolisme
intermediat termasuk peningkatan produksi glukosa hati (glukoneogenesis)
(Bardanier, 1998).
lnfeksi malaria yang menahun akan menimbulkan kelainan fungsi hati yang
disebabkan kelainan aliran darah ke hati. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan
kadar serum AST dan ALT (Pribadi & Sungkar, 1994).
Gannnuan Funnsi Ginial
Gangguan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh gizi kurang (Kopple, 1999).
Gizi kurang dapat mengurangi laju penyaringan glomerulus (GFR = glomerulus
filtration rate) dan kapasitas untuk mengasamkan dan memekatkan urin (Klahr, 1970
dalam Kopple, 1999). Jika intik zat gizi diperbaiki, fungsi tersebut akan kembali
normal. lntik protein yang rendah atau tanpa protein juga akan mempengaruhi aliran
darah ginjal dan GFR (Kopple, 1999).
Pada manusia normal, setelah usia seperempat abad, fungsi ginjal menurun
menurut usia, dengan kemungkinan diet tinggi protein berperan dalam fenomena
tersebut (Kopple, 1999). lntik protein dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan
GFR baik secara langsung maupun dalam jangka waktu lebih lama (Kopple, 1999). -
Studi pada hewan dengan penyakit ginjal, diet tinggi protein akan merangsang
peningkatan GFR, aliran darah kapiler glomerulus, tekanan darah, pembesaran
nefron, sebaliknya diet rendah protein ~nenghambat respon tersebut (Hostetter, 1981
dalam Kopple, 1999).
Kelaparan akut dan konciisi lain yang berhubungan dengan peningkatan
katabolisme asam nukleat, purin dan asam amino dapat menyebabkan peningkatan
produksi asam urat. Hiperurisemia akan menyebabkan simpanan asam urat di ginjal
dar: mengurangi aliran grin dan dapat menyebabkan gagal ginjal atut (Owsn, ?969
dalam Kopple, 1999).
Beberapa studi melaporkan bahwa asam askorbat menjadi faktor risiko
timbulnya batu ginjal kalsium oksalat (Urivetzky, Kessaris & Smith, 1992 dalam
Hathcock, 1997). Laporan peningkatan konsentrasi oksalat dalam urin selama
periode waktu intik vitamin C yang tinggi menjadi sebuah analisis karena produksi
oksalat dari asam askorbat dalam prosedur analisis yang melibatkan panas (Hoffer,
1985 dalam Hathcock, 1997). Sebaliknya studi Curhan et a/. (1996) menunjukkan
penurunan risiko relatif batu ginjal oksalat pada orang yang mengkonsumsi 2 1500
mg vitamin C dibandingkan dengan yang mengkonsumsi hanya < 250 mg
(Hathcock, 1997).