BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diapers
1. Pengertian
Diapers merupakan alat yang berupa popok sekali pakai berdaya
serap tinggi yang terbuat dari plastik dan campuran bahan kimia untuk
menampung sisa-sisa metabolisme seperti air seni dan feses (Diena,2009).
Dalam perkembangan anak, orang tua mempunyai peran penting
yang membantu menentukan bagaimana kepribadian anaknya akan
terbentuk dan membawa kehidupan mereka selanjutnya. Diapers ternyata
mempunyai efek yang berbahaya dalam jangka panjang dan akan
menghambat perkembangan anak anak-anak yang telah terbiasa dari bayi
hingga agak besar menggunakan diapers, akan mengalami beberapa
perbedaan dari anak-anak lainnya, tentu saja jika diapers itu dipakai setiap
saat, bukan pada saat-saat tidak berdekatan dengan toilet saja atau dalam
bepergian.
2. Faktor-faktor dalam penggunaan diapers
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
1) Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang penggunaan diapers pada anak
sangat berhubungan erat dengan pengetahuan ibu tentang toilet
training pada anak. Pengetahuan ibu yang rendah mengenai
dampak dari penggunaan diapers pada anak ini akan berpengaruh
pada perkembangan anak dalam hal toilet training. Semakin tinggi
pengetahuan ibu tentang dampak dari penggunaan diapers pada
anaknya semakin baik pula pengetahuan ibu tentang toilet training
pada anaknya, dimana apabila anak tidak memakai diapers maka
anak akan melalui masa toilet trainingnya.
2) Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu serta pengalaman
sangat berpengaruh dalam hal penggunaan diapers pada anak usia
1
2
toddler. Pendidikan akan memberikan dampak bagi pola pikir dan
pandangan ibu dalam penggunaan diapers pada anaknya.
3) Pekerjaan
Status pekerjaan ibu mempunyai pengaruh besar
dalam penggunaan diapers pada anak. Pekerjaan ibu yang menyita
waktu untuk anak dalam melakukan pelatihan toilet training
menjadi alasan penggunaan diapers pada anak.
4) Tingkat Sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi akan mempengaruhi penggunaan
diapers pada anak. Rata-rata masyarakat atau keluarga dengan
tingkat sosial ekonomi yang cukup baik akan lebih memilih
menggunakan diapers pada anaknya karena kelebihan dari diapers
seperti kenyamanan, kepraktisan dan lain-lain.
b. Faktor pendukung (factor enabling)
Ketersediaan sarana dan fasilitas dalam hal ini meliputi :
1) Banyaknya toko yang menjual diapers
Diapers bukan lagi suatu hal yang sulit didapat karena
sudah banyak dijual misalnya toko, pasar swalayan, atau
supermarket yang menjual diapers jadi diapers bisa didapat dimana
saja dan kapan saja terutama di kota-kota besar sehingga ini
menjadi alasan ibu menggunakan diapers untuk anaknya.
2) Iklan diapers
Banyak iklan yang manawarkan kelebihan dari diapers
dengan harga yang relatif murah. Ini menjadi salah satu alasan ibu
menggunakan diapers untuk anaknya.
c. Faktor pendorong (reinforcing factors)
1) Sikap dan kebiasaan ibu
Sikap adalah cara seseorang menerima atau menolak
sesuatu yang didasarkan pada cara dia memberikan penilaian
terhadap objek tertentu yang berguna ataupun tidak bagi dirinya
(Nuryani, 2008). Sikap dan kebisaan ibu hidup penuh dengan serba
3
praktis dan tidak mau repot ini akan berpengaruh dengan
penggunaan diapers pada anak. Kebiasaan ibu menggunakan
diapers pada anak sejak lahir sampai sekarang.
2) Pengaruh lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat mempunyai peranan penting dalam
penggunaan diapers pada anak, dimana ibu akan memperhatikan
lingkungan sekitar apakah anak usia toddler yang lain masih
menggunakan diapers atau tidak seperti anak ibu yang masih
menggunakan diapers. Misalnya anak yang berusia 2 tahun yang
lain masih menggunakan diapers seperti anak ibu. Hal ini akan
merepotkan ibu apabila anak sedang bersosialisasi atau bermain
dengan teman sebaya.
3) Dampak dari penggunaan pampers atau diapers adalah sebagai
berikut:
Menurut Anonim (2008) dampak dari penggunaan diapers
pada anak meliputi:
a) Dari aspek fisik
Aspek fisik yang paling berpengaruh adalah dibagian
pinggul bawah, yang terkait langsung dengan penggunaan
diapers tersebut adalah cara berjalan anak yang sedikit
mengangkang atau kakinya tidak bisa merapat. Pada kulit anak
juga akan mengalami iritasi karena terbiasa menggunakan
diapers setiap saat.
b) Dari aspek psikologis
Anak-anak yang terbiasa menggunakan diapers akan
mengalami kesulitan yang levelnya setingkat diatas anak-anak
lainnya yang tidak terbiasa menggunakan diapers ketika
dihadapkan pada tuntutan lingkungan yang mengharuskan
anak mengeluarkan sisa-sisa sari makanan dan minuman anak
ditempat yang semestinya. Anak akan mengalami
keterlambatan dalam beradaptasi dengan tuntutan lingkungan,
4
dan dampaknya akan panjang sampai anak dewasa. Anak
kurang sensitif dengan lingkungan sekitar dan rasa percaya diri
yang kurang terhadap lingkungan. Jika penggunaan diapers
berlangsung dalam jangka panjang misalkan sampai umur 2-3
tahun maka anak akan kehilangan masa toilet training, dimana
anak dapat belajar cara menggunakan toilet, kapan harus ke
toilet, bagaimana cara membersihkan toilet dan sebagainya.
Sehingga dikhawatirkan pada usia selanjutnya anak akan
ngompol/ malas ke kamar mandi, dan sedikit banyak akan
mempengaruhi perkembangan kreativitas anak karena sudah
terbiasa dengan hidup yang praktis.
B. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indera yang meliputi indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.. Pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga ( Green dalam Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan sebagai berikut:
a. Tahu (know) merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, yang
diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya,
yaitu mengingat kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, misalnya ibu
mengetahui dengan benar cara mengajarkan toilet training pada anak.
b. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar, misalnya ibu dapat
menjelaskan alasan perlu mengajarkan cara toilet training.
5
c. Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang
sebenarnya. Misalnya ibu dapat memberikan contoh sederhana dalam
melakukan toilet training dengan menggunakan pispot.
d. Analisa (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu obyek kedalam komponen-komponentetap masih didalam.
Suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain,
misalnya ibu dapat memperkirakan jam toilet training anaknya setiap
hari.
e. Sintesis (syinthesis) adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada,
f. Evaluasi (evaluation) merupakan kemampuan untuk melakukan atau
penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian itu didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang
telah ada, misalnya ibu dapat menjelaskan perlunya melatih dan
memberikan pengertian dan manfaat toilet training pada anaknya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Green
dalam Notoatmodjo (2003) yaitu :
a. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseoarang,maka dia akan
lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah
pula untuk menyelesaikan hal-hal tersebut
b. Informasi
Seseoarang yang mempunyai sumber informasi yang lebih
banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas.
6
c. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
seseorang, karena informasi-informasi baru akan disaring kira-kira sesuai
atau tidaknya dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.
d. Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan
individu, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan luas
sedangkan umur semakin bertambah tua.
e. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi yang rendah berpengaruh pada pengetahuan
orang tua tentang tumbuh kembang anak, dalam memenuhi hidup sehat
terutama perawatan kebersihan.
C. Toilet Training
Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak
agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air
besar Dalam proses toilet training ini diharapkan terjadi pengaturan atau
rangsangan dan instink anak dalam melakukan buang air besar dan buang air
kecil (Hidayat, 2005).
Toilet training merupakan proses pengajaran untuk kontrol buang air
besar dan buang air kecil secara benar dan teratur. Biasanya kontrol buang air
kecil lebih dahulu dipelajari oleh anak, kemudian kontrol buang air besar
(Zaviera, 2008). Pengaturan buang air besar dan buang air kecil diperlukan
untuk ketrampilan sosial. Mengajarkan toilet training pada anak
membutuhkan waktu, kesabaran, dan pengertian.
Menurut Suherman (2000) Toilet training merupakan latihan moral
yang diterima anak dan sangat berpengaruh pada perkembangan moral
selanjutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Havighurt bahwa toilet training
merupakan latihan moral dalam membentuk karakter seseoarang.
7
1. Tahapan perkembangan toilet training
Dilihat dari kesiapan anak, menurut Douglas (2009) pada pelatihan
toilet training harus dilihat tanda kesiapan fisik dan emosional. Kesiapan
fisik antara lain anak sudah bisa mengenali perasaannya bahwa anak
tersebut ingin buang air besar dan buang air kecil. Anak merasa risih jika
basah atau kotor dan menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan dengan
diapers yang basah dan kotor. Anak bisa tetap kering selama beberapa jam
dan bisa mengeluarkan urinenya sendiri. Anak bisa mengendalikan otot
anusnya yang bisa menahan kotoran saat buang air besar. Anak sudah bisa
melepas celananya sendiri dan bisa duduk sendiri diatas pispot atau kloset.
Kesiapan emosional antara lain anak menunjukkan ketertarikannya
pada pispot atau kloset. Anak mau duduk diatas pispot atau kloset bukan
didiapers. Anak mengerti kegunaan kloset dan cara menggunakannya.
Anak sudah mampu berkomunikasi secara efektif dengan kata-kata
maupun isyarat, sehingga memudahkan orang tua untuk mengangkatnya
pada saat anak mau ke kloset. Anak mampu memberitahu orang tua jika
ingin buang air besar atau buang air kecil.
2. Cara Toilet Training
Latihan buang air besar atau kecil pada anak atau dikenal dengan
nama toilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada orang
tua anak, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai
kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air
besar tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan
mengalami pertumbuhan dan pekembangan sesuai dengan usia tumbuh
kembang anak. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam
melatih anak untuk buang air besar dan kecil, diantaranya :
a. Teknik lisan
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan
instruksi pada anak dengan kata- kata sebelum atau sesudah buang air
kecil atau besar. Cara ini kadang- kadang merupakan hal biasa yang
dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa
8
teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan
rangsangan untuk buang air besar atau kecil dimana dengan lisan ini
persiapan psikologis pada anak akan semakin matang dan akhirnya
anak mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air kecil dan
buang air besar.
b. Teknik Modelling
Merupakan usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air
besar dengan cara meniru untuk buang air besar atau memberikan
contoh. Cara ini juga dapat dilakukan dengan memberikan contoh-
contoh buang air kecil dan buang air besar atau membiasakan buang
air kecil dan buang air besar secara benar. Dampak yang jelek pada
cara ini adalah apabila contoh yang diberikan sala sehingga akan
dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga mempunyai
kebiasaan yang salah.Selain cara- cara tersebut diatas terdapat
beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi waktu
pada saat anak merasakan buang air kecil dan besar, tempatkan anak
diatas pispot atau ajak anak ke kamar mandi, berikan pispot dalam
posisi aman dan nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan
buang air kecil dan buang air besar, dudukkan anak diatas pispot atau
orang tua duduk atau jongkok dihadapannya sambil mengajak bicara
atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil jangan disalahkan dan
dimarahi, biasakan akan pergi ke toilet pada jam- jam tertentu an
berikan anak celana yang mudah dilepas dan dikembalikan.
3. Pengkajian masalah toilet training
Pengkajian kebutuhan terhadap toilet training merupakan sesuatu
yang harus diperhatikan sebelum anak melakukan buang air kecil dan
buang air besar. Proses ini akan dialami oleh setiap anak, untuk mencegah
terjadinya kegagalan maka dilakukan suatu pengkajian meliputi,
pengkajian fisik, intelektual dan pengkajian psikologis.
9
a. Pengkajian fisik
Pengkajian fisik pada anak yang akan melakukan buang air kecil
dan buang air besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti
berjalan, duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus seperti
mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus
mendapat perhatian karena kemampuan untuk buang air besar ini
lancar dan tidaknya dapat ditunjang dari kesiapan fisik sehngga ketika
anak berkeinginan untuk buang air kecil dan besar sudah mampu dan
siap untuk melaksanakannya.
b. Pengkajian psikologis
Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran
psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil dan basar,
seperti anak tidak rewel ketika akan buang air besar, anak tidak
menangis sewaktu buang air besar atau kecil, ekspresi wajah
menunjukkan kegembiraan, dan ingin melakukan secara sendiri, anak
sabar dan sudah mau tetap tinggal ditoilet selama 5-10 menit tanpa
rewel, atau meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet
training pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk
menyenangkan pada orang tuanya.
c. Pengkajian Intelektual
Pengkajian intelektual pada latihan buang air kecil dan besar
antara lain, kemampuan anak untuk mengerti buang air kecil atau
besar, kemampuan mengkomunikasikan buang air kecil dan besar,
anak menyadari timbulnya buang air kecil dan buang air besar,
mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat
seperti buang air kecil dan besar pada tempatnya serta etika dalam
buang air kecil dan buang air besar.
Dalam melakukan pengkajian kebutuhan buang air kecil dan
besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan selama toilet
training diantaranya :
10
1) Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diaper dimana anak akan
merasa aman.
2) Ajari anak mengucapkan kata- kata yang khas yang berhubungan dengan
buang air besar.
3) Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka
saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki dan lain-lain.
4) Jangan marah bila anak gagal dalam melakukan toilet training.
D. Dampak toilet training
Menurut Hidayat (2005), dampak yang paling umum dalam kegagalan
toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orangtua
kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung
bersifat retentif dimana anak cenderung bersikap keras keras kepala bahkan
kikir. Hal ini dapat dilakukan oleh orangtua apabila sering memarahi anak pada
saat buang air besar atau kecil, atau melarang anak saat bepergian. Bila orang
tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan
dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung
ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan
kegiatan sehari- hari.
E. Anak Usia Toddler
Menurut Potter Patricia A (2005), pada anak usia toddler ini dimulai dari
usia 1 sampai 3 tahun, pada periode ini meluas dari masa anak-anak mencapai
peningkatan daya gerak sampai anak masuk sekolah, yang ditandai dengan
aktivitas dan penemuan yang intens, ini adalah waktu penandaan
perkembangan fisik dan kepribadian. Perkembangan motorik meningkat secara
stabil. Anak-anak pada usia ini mendapatkan bahasa dan perluasan hubungan
sosial, belajar standar peran, meningkatkan kontrol diri dan penguasaan,
mengembangkan peningkatan kesadaran tentang ketergantungan dan
kemandirian, dan mulai mengembangkan konsep diri.
11
Menurut Wong (2003), toddler adalah anak antara rentang usia 12 sampai
36 bulan. Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan kemandirian yang
diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih besar.
Perkembangan fisik, perkembangan ketrampilan motorik yang cepat
membolehkan anak untuk berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri sendiri
seperti makan, berpakaian, dan eliminasi.
Peningkatan ketrampilan daya gerak, kemampuan untuk melepas pakaian
termasuk melepas celana pada saat anak akan buang air besar atau buang air
kecil, dan perkembangan kontrol spingter uretra dan spingter ani
memungkinkan anak usia toddler ini melakukan toilet training (Thompson,
2003)
Menurut Erick Ericson dalam Sukarmin (2009) anak usia toddler akan
melalui tahapan perkembangan sebagai berikut:
1. Otonomi versus rasa malu
Pada usia ini alat gerak dan rasa telah matang serta rasa percaya
terhadap ibu dan lingkungannya. Perkembangan otonomi selama periode
balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol
tubuhnya, dirinya dan lingkungan. Anak menyadari bahwa anak dapat
menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai dengan
kemauannya sendiri. Misalnya anak akan puas jika bisa berjalan, mampu
melakukan toilet training dengan baik. Selain itu anak menggunakan
kekuatan mentalnya untuk menolak dan mengambil sebuah keputusan.
Rasa otonomi ini perlu untuk dikembangkan karena sangat penting untuk
terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungan
dengan orang tua yang bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri.
Adapun peranan lingkungan dalam hal ini adalah memberikan dukungan
dan memberikan keyakinan yang jelas. Perasaan negatif pada anak adalah
rasa malu dan rasa ragu yang timbul jika anak merasa tidak mampu untuk
mengatasi segala tindakan yang dipilihnya sendiri serta kurangnya
dukungan dari kedua orang tua dan lingkungan, misalnya orang tua selalu
mengintervensi anak, orang tua tidak memberikan keleluasaan bagi anak
12
untuk memilih satu atau dua pilihan dari berbagai alternatif pilihan yang
ada.
2. Menurut Sigmund freud dalam anak usia toddler mengalami tahapan
perkembangan pada fase anal
Fungsi tubuh yang memberikan kepuasan terpusat pada anus.
Misalnya anak akan melakukan buang air besar dan buang air kecil secara
mandiri. Orang tua jangan memarahi anak jika dia tidak bersih menyiram
WC, atau jangan dimarahi jika anak kedapatan kencing ditembok belakang
rumah. Jika hal tersebut terjadi berikan pengertian dan contohkan dimana
dia harus buang air kecil dan buang air besar serta bagaimana cara
menyiram bekas kencing dan BAB dan bagaimana cara bercebok yang baik.
Apabila ibu memarahi anak akibatnya dilain hari jika anak ingin buang air
besar dan buang air kecil dia akan menahannya dan tidak memberitahukan
orang tua, atau dia akan buang air kecil dan buang air besar setelah selesai
akan mengacak-ngacaknya. Pada fase ini ajarkan anak konsep bersih,
ketetapan waktu dan cara mengontrol diri. Latihan otot anal dapat
menurunkan ketegangan.
3. Menurut Piaget anak usia toddler mengalami tahapan perkembangan
intelektual sebagai berikut:
a. Sensorik-Motorik (sejak lahir-2 tahun)
Merupakan tahap dimana anak menggunakan sistem penginderaan,
sistem motorik dan benda-benda untuk mengenal lingkungannya. Bayi
tidak hanya menerima rangsangan secara pasif dan luar tetapi juga akan
memberikan jawaban terhadap rangsangan tersebut. Jawaban tersebut
berupa reflek-reflek bersin, makan, menggenggam, dan lain sebagainya
yang diharapkan dengan adanya reflek ini bayi dapat berkomunikasi
dengan lingkungannya.
b. Pre operasional (umur 2-7 tahun)
Adanya perubahan fungsi kognitif pada tahap ini adalah yang
semula dari sensorik motorik menjadi pre operasional. Pada pre
operasional anak mampu menggunakan simbol-simbol dengan
13
menggunakan kata-kata, mengingat masa lalunya, masa sekarang dan
akan terjadi di masa yang akan datang. Tingkah laku akan mulai berubah
dari yang semula sangat egosentris menjadi lebih rasional.
F. Kerangka Teori
Faktor predisposisi (prediposing factors) penggunaan diapers :a. Pengetahuan
b. Tingkat pendidikan
c. Pekerjaan
d. Tingkat sosial ekonomi
Faktor pendukung (enabling factors) penggunaan diapers: Penggunaan Diapers
a. Ketersediaan sarana dan fasilitas
Faktor pendorong (reinforcing factors)
penggunaan diapers:
a. Sikap dan kebiasaan ibu
b. Pengaruh lingkungan masayarakat
Skema 2.1 Kerangka teori
(sumber : Nuryanti, 2008 danGreen dalam Notoatmodjo, 2003)
14
G. Kerangka Konsep
Pengetahuan ibu tentang toilet training Penggunaan diapers pada anak usia toddler
Skema 2.2 Kerangka konsep
H. Variabel Penelitian
1. Variabel independent pada penelitian ini yaitu pengetahuan ibu tentang
toilet training
2. Variabel dependent pada penelitian ini yaitu penggunaan diapers anak usia
toddler.
I. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka hipotesis yang akan
dihasilkan adalah adanya hubungan antara pengetahuan ibu tentang toilet
training dengan penggunaan diapers pada anak usia toddler.