1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan,
peralatan gelas, limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; 1,25 N; NaOH 3,5%; NaOH 40%;
50%; dan 60%.
1.2. Metode
Demineralisasi
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan
HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan
pengadukan.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-
60 mesh.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
2
2
Deproteinasi
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
3
3
Deasetilasi
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,
NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
4
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kel Perlakuan
Rendemen
Kitin I
(%)
Rendemen
Kitin II
(%)
Rendemen
Kitosan
(%)
C1 HCl 0,75 N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%
23,45 30,00 27,43
C2 HCl 0,75 N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%
37,82 44,00 27,38
C3 HCl 1 N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%
41,67 54,55 32,16
C4 HCl 1 N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%
40,00 58,30 24,30
C5 HCl 1,25 N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%
21,19 40,32 11,25
Pada tabel di atas diketahui, perlakuan C1 dengan penambahan HCl 0,75 N; NaOH
40%; dan NaOH 3,5% memberikan hasil terendah untuk rendemen kitin II sebesar
30,00%. Perlakuan kelompok C3 dengan penambahan HCl 1 N; NaOH 50%; dan NaOH
3,5% memberikan hasil tertinggi untuk rendemen kitin I sebesar 41,67% dan hasil
rendemen kitosan sebesar 32,16%. Perlakuan kelompok C4 dengan penambahan HCl 1
N; NaOH 50%; dan NaOH 3,5% memberikan hasil tertinggi untuk rendemen kitin II
sebesar 58,30%. Perlakuan kelompok C5 memberikan hasil terendah untuk rendemen
kitin I sebesar 21,19% dan terendah untuk rendemen kitosan sebesar 11,25%. Perbedaan
perlakuan pada setiap kelompok memberikan hasil yang berbeda antar kelompok.
5
3. PEMBAHASAN
Kitin dan kitosan dalam praktikum teknologi hasil laut dihasilkan dari limbah
crustaceans untuk dapat menghasilkan value-added by product. Kitin adalah hasil
pengolahan kulit udang yang bernilai ekonomis tinggi (Shahidi et al., 1999). Kitin
merupakan polisakarida dengan berat molekul tinggi yang tersusun dari N-
asetilglukosamin yang terikat dengan ikatan kovalen glikosidik (Mizani, 2007). Secara
lebih rinci kitin tersusun atas beta (1,4) linked 2-acetamido-2-deoxy-geta-D-glucose.
Kitin berwarna putih, keras, inelastis dan merupakan polisakarida yang mengandung
nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton dan pada struktur internal invertebrata.
Kitin merupakan polimer alam yang dapat ditemukan pada kulit hewan golongan
Crustaceae seperti kepiting dan udang (Wang et al., 2010). Menurut Sandford &
Hutchins (1978) dalam Hossain & Iqbal (2014) menyatakan bahwa produk kitosan
diproduksi dari limbah udang dengan metode kimia seperti demineralisasi, deproteinasi
dan deasetilasi. Praktikum yang telah dilakukan sesuai dengan pendapat tersebut,
dengan penggunaan bahan dasar pembuatan kitin dan kitosan dari kulit udang.
Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004)
Kitosan merupakan hasil deasetilasi kitin. Kitosan memiliki beberapa keuntungan
karena mudah didapat, prosedur isolasi mudah, tidak beracun dan tidak berbahaya.
Kitosan mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan yaitu hydrophilicity,
biocompatibility, biodegradability, sifat anti bakteri dan afinitas yang besar terhadap
enzim. Kitosan adalah senyawa poli N-amino-2 deoksi β-D-glukopiranosa atau
glukosamin hasil deasetilasi kitin atau poli N-asetil-2-amino-2 deoksi β-D-
glukopiranosa. Menurut Lertsutthiwong et al., (2002) dalam Khorrami et al., (2012),
kitosan dapat dibuat dengan mendeasetilasi N dari kitin dengan alkali cair (NaOH) 40-
6
50% pada suhu 120-160°C Hal ini sesuai dengan yang telah dilakukan dalam
pembuatan kitosan, yaitu menambahkan larutan alkali dalam bentuk NaOH dengan
perbedaan konsentrasi yaitu 40%, 50% dan 60% dengan dilakukan pada suhu tinggi.
Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositasnya tergantung dari derajat
deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan
terbuka dan terjadi kontak dengan udara maka akan terjadi dekomposisi, warnanya
menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang (Krissetiana, 2004).
Kitin dan kitosan secara struktural serupa dengan heparin, kondroitin sulfat dan asam
hialuronat yang semuanya merupakan mukopolisakarida penting dalam mamalia
(Sashiwa & Aiba, 2004). Kitin dan kitosan bersifat sebagai bahan pengemulsi dan
koagulasi. Sifat kitin lebih fleksibel dan lebih mudah larut dalam asam encer, asam
pekat seperti asam nitrit, asam sulfat tetapi tidak larut dalam air, asam organik, asam
anorganik encer, pelarut organik dan alkali pekat. Dalam asam pekat kitin akan
terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan gugus asetil.
Dalam praktikum ini, penggunaan kulit udang sebagai bahan dasar pembuatan kitin dan
kitosan ini, menurut Hargono, et al., (2008) dikarenakan kulit udang mengandung 20-
30% senyawa kitin, 21% protein, dan 40-50% mineral. Tujuan dari penggunaan limbah
kulit udang ini, menurut Sandford & Hutchins (1978) selain dapat mengurangi
pencemaran lingkungan, juga dapat menggunakan limbah untuk diolah sehingga
menghasilkan produk olahan yang memiliki nilai fungsional yang lebih tinggi. Proses
pembuatan kitin dan kitosan ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu demineralisasi,
deproteinasi dan deasetilasi. Tujuan demineralisasi adalah untuk menghilangkan
mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat. Pada tahap demineralisasi pertama-tama
limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Kemudian
dilakukan pencucian dengan air panas sebanyak 2 kali lalu dikeringkan kembali. Hasil
kulit udang yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan hingga menjadi serbuk dan
diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Hasil ayakan lalu dicampur dengan HCl (10:1)
dengan konsentrasi yang berbeda antar kelompok. Penggunaan HCl dalam tahap
demineralisasi ini, menurut teori Peter (1995) adalah untuk melarutkan ion Ca2+
dalam
cangkang udang, sehingga berikatan dan menghasilkan CaCl2 yang memiliki sifat larut
7
dalam air, sedangkan produk sampingan yang lainnya adalah gas CO2 dan air, serta
asam pospat yang larut air. Selain itu, hampir seluruh ion-ion logam dapat membentuk
garam-garam klorida yang sifatnya larut dalam air. Selanjutnya, dipanaskan di atas
hotplate dengan suhu 90oC, ketika larutan diukur suhunya dengan thermometer sudah
menunjukkan suhu mendekati 90oC, pengadukan selama 1 jam dimulai. Menurut
Johnson & Peterson (1974), pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat proses
perusakan mineral dimana tujuan dari proses demineralisasi adalah untuk
menghilangkan mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat. Pengadukan juga
bertujuan untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan
karena pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Lalu, sampel disaring dan
dicuci dengan air hingga pH-nya netral, selanjutnya dikeringkan selama 24 jam dengan
suhu 80oC. Mekawati, et al., (2000) mengatakan bahwa pencucian yang dilakukan
selain untuk menetralkan pH juga untuk menghindari resiko degradasi selama proses
pengeringan, juga berfungsi untuk melarutkan CaCl2 dan asam pospat yang bersifat
larut dalam air. Tahapan demineralisasi ini sesuai dan didukung dengan teori yang
dikemukakan oleh Prasetiyo (2006) yang menyatakan bahwa setiap tahapan yang
dilakukan dalam percobaan mulai dari penggunaan campuran antara HCl dengan sampel
kulit udang yang digunakan yaitu 10:1 dan dengan pemanasan yang digunakan adalah
juga 800C selama 24 jam.
Tahap demineralisasi menghasilkan rendemen kitin I yang berbeda antar tiap kelompok.
Hal ini terjadi karena adanya perlakuan yang dibedakan antar kelompok. Kelompok C1
dan C2 dengan penambahan HCl 0,75 N, menghasilkan kadar rendemen kitin I secara
berurutan sebesar kelompok 23,45% dan 37,82%. Kelompok C3 dan C4 dengan
penambahan HCl 1 N, menghasilkan kadar rendemen kitin I secara berurutan sebesar
kelompok 41,67 % dan 40,00%. Kelompok C5 dengan penambahan HCl 1,25 N,
menghasilkan kadar rendemen kitin I sebesar 21,19%. Berdasarkan hasil tersebut
rendemen yang paling tinggi adalah pada kelompok C3 dengan penambahan HCl 1 N
yaitu 41,67% dan yang paling rendah adalah pada kelompok C5 dengan penambahan
HCl 1,25 N yaitu sebesar 20%. Konsentrasi asam yang sesuai akan melarutkan mineral
dengan sempurna sehingga kadar mineral limbah berkurang. Konsentrasi asam yang
sesuai adalah 1 N. Pada konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menyebabkan reaksi
8
akan berjalan terlalu cepat, dimana terdapat komponen mineral yang belum terlepas
dengan sempurna, sedangkan konsentrasi di bawah 1 N terdapat kemungkinan pelarutan
mineral belum sempurna sehingga nilai rendemen tinggi. Hasil yang didapat tidak
sesuai dengan teori karena seharusnya nilai rendemen terendah diperoleh kelompok
yang menggunakan HCl 1 N, karena mineral telah terlarut sempurna. Ketidaksesuaian
ini bisa disebabkan karena pada saat penetralan, pencucian dan penyaringan banyak
kitin yang terbuang. Selain itu bisa juga disebabkan karena adanya kotoran dalam kitin
yang terhitung sebagai rendemen (Sudarmadji, et al., 1989).
Tahap pembuatan kitin dan kitosan selanjutnya adalah deproteinasi. Tujuan proses ini
adalah menghilangkan kandungan protein pada limbah kulit udang dengan larutan yang
bersifat basa (Lehninger, 1975). Proses ini dimulai dengan melarutkan serbuk (tepung)
hasil demineralisasi dengan NaOH 3,5%. Perbandingan NaOH dengan tepung kitin
adalah 6:1. Dalam tahap ini juga ditambahkan NaOH 3,5% yang bertujuan untuk
memperbesar volume partikel bahan, sehingga ikatan antar komponen menjadi
renggang dan mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin dan kitin akan mengalami
deasetilasi sehingga berubah menjadi kitosan yang akan menyebabkan kadar kitin
berkurang. Setelah ditambahkan NaOH, kemudian larutan dipanaskan di atas hotplate
hingga mencapai suhu 70oC lalu diaduk selama 1 jam. Tujuan pemanasan larutan ini
adalah supaya protein dapat terdenaturasi sehingga protein lebih mudah dipisahkan,
sedangkan pengadukan juga berfungsi untuk meratakan proses denaturasi protein oleh
larutan NaOH (Patil, et al., 2000). Dengan pemanasan dan pengadukan dapat
mengkonsentrasikan NaOH, sehingga hasil kitin yang diperoleh lebih optimal (Patil et
al, 2000). Kemudian setelah proses pengadukan, larutan didinginkan selama 30 menit
ini bertujuan untuk mengendapkan kitin pada bagian dasar larutan sehingga ketika
dilakukan pencucian kitin tidak terbuang. Setelah itu, kitin dicuci dengan air mengalir
secara berulang-ulang hingga tercapai pH netral, dan pencucian ini bertujuan untuk
menurunkan kondisi basa larutan menjadi pH normal. Setelah dicuci kitin dikeringkan
kembali dalam dehumidifier pada suhu 80ºC selama 24 jam yang bertujuan dari
pengeringan ini untuk menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian
sehingga diperoleh produk kitin akhir yang kering (Rogers, 1986).
9
Setelah proses deproteinasi diperoleh hasil rendemen kitin II, pada kelompok C1
diperoleh hasil kadar rendemen terendah yaitu sebanyak 30,00%, dan hasil kadar
rendemen tertinggi diperoleh kelompok C4 yaitu sebesar 58,30%. Semakin tinggi
konsentrasi NaOH dan suhu proses maka pemisahan kitin dari gugus protein lebih
efektif. Berarti rendemen yang dihasilkan akan semakin sedikit karena protein terlepas
dan terbawa keluar dari kitin. Apabila konsentrasinya terlalu rendah maka reduksi gugus
protein kurang sempurna sedangkan pada konsentrasi terlalu tinggi dapat terjadi
degradasi protein. Hasil yang diperoleh memiliki keberagaman data, karena hasil
rendemen kitin II dipengaruhi oleh hasil rendemen kitin I dari proses demineralisasi
(Supitjah, 2004).
Tahap terakhir pada pembuatan kitin dan kitosan ini adalah tahap deasetilasi. Tahap
deasetilasi adalah proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses
penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi amina pada kitosan (Ramadhan, et al.,
2010). Chitin dari tahap deproteinasi, ditambah dengan larutan basa (NaOH) sebanyak
20:1 yaitu NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2, 50%, untuk kelompok C3 dan C4,
dan 60% untuk kelompok C5. Penambahan larutan NaOH bertujuan sebagai pelarut,
dan digunakan untuk menghidrolisa kitin dari gugus asetamida menjadi gugus amina
(Ramadhan et al., 2010). Martinou (1995) berpendapat bahwa larutan NaOH mampu
merubah pembentukan kitin yang sangat rapat menjadi renggang sehingga enzim lebih
mudah terekspos untuk mendeasetilasi polimer kitin. Larutan tersebut dipanaskan di
atas hotplate sampai suhu 90oC, kemudian diaduk selama 1 jam, dengan suhu dijaga
tetap 90oC. Menurut Reece, et al., (2003) bahwa proses pengadukan ini berguna untuk
meratakan antara kitin dengan NaOH sehingga proses dapat berjalan baik ketika
pemanasan. Setelah dipanaskan, kemudian didinginkan selama 30 menit. Proses
pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses deasetilasi, sedangkan proses
pendinginan bertujuan agar bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap dibawah,
sehingga tidak terbuang saat pencucian. Naiknya suhu reaksi menyebabkan derajat
deasetilasi kitosan yang diperoleh juga meningkat maka pH yang didapatkan akan
menjadi basa. Kemudian disaring, dan dilakukan pencucian dengan air mengalir untuk
menetralkan kembali pH yang menjadi basa. Ketika jumlah ion hidroksida yang
ditambahkan sama dengan jumlah ion hidrogen maka larutan menjadi netral, jika ion
10
hidroksida ditambahkan lebih banyak maka larutan akan bersifat basa (Rogers, 1986).
Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 70°C selama 24 jam, pengeringan ini
bertujuan untuk menguapkan seluruh kandungan air, sehingga dapat ditimbang berat
kering rendemen kitosan.
Hasil akhir kadar rendemen kitosan diperoleh kadar tertinggi pada kelompok C3
sebanyak 32,16% dengan penambahan HCl 1,25 N pada proses demineralisasi, NaOH
3,5% pada proses deproteinasi, dan NaOH 50% pada proses deasetilasi. Kadar
rendemen kitosan terendah pada kelompok C5 sebanyak 11,25% dengan penambahan
HCl 1,25 N pada proses demineralisasi, NaOH 3,5% pada proses deproteinasi, dan
NaOH 60% pada proses deasetilasi. Hasil tersebut sesuai dengan teori Alamsyah, et al.,
(2007) yang menyatakan bahwa penambahan NaOH pada konsentrasi 60%, larutan
menjadi lebih kental, akibatnya proses pengadukan menjadi tidak sempurna artinya ada
bagian kitin tidak bereaksi sempurna dengan larutan NaOH sehingga gugus amino yang
terbentuk sedikit.
Franco et al., (2004) dalam Krishnaveni & Ragunattan (2015), mengatakan bahwa
pembuatan kitin dan kitosan, selain berguna untuk memanfaatkan limbah udang, dapat
dimanfaatkan dalam beberapa bidang, seperti kosmetik, industri pangan, pertanian dan
pengelolaan lingkungan. Kitosan juga dapat digunakan sebagai makanan kesehatan
yang dapat menurunkan kolesterol dalam tubuh. Muzarrelli et al., (1999) dalam
Younnes & Rinnaudo (2015) menambahkan bahwa potensi kitosan dapat dijadikan
bahan antimikrobia karena mengandung enzim lisozim dan gugus aminopolisakarida
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kitin dan kitosan dapat digunakan
sebagai pewarna makanan karena dapat mengikat air dan lemak. Mikrokristalin kitin
dapat berfungsi sebagai pengembang, pengental dan pengemulsi. Pada pemanasan yang
tinggi kitin dapat berpotensi sebagai penambah cita rasa. Selain itu kitosan dapat
menurunkan kadar asam pada buah-buahan karena dapat bereaksi dengan asam, bahkan
dapat juga digunakan sebagai penjernih jus apel. Menurut Suseno, (2006) kitosan juga
berfungi sebagai pengawet karena merupakan polisakarida dan mudah didegradasi
secara biologis, contohnya adalah pada pengawetan ikan asin yang bisa bertahan sampai
3 bulan.
11
4. KESIMPULAN
Kitin merupakan makromolekul yang memiliki bentuk berupa padatan amorf atau
kristal yang berwarna putih, dapat ditemukan dalam komponen struktural
eksoskeleton dari serangga dan crustacea.
Kitin memiliki sifat lebih fleksibel, lebih mudah larut dalam asam encer, larut
dalam asam pekat, tidak larut dalam air, asam organik, asam anorganik encer,
pelarut organik dan alkali pekat.
Pembuatan kitin dan kitosan menggunakan limbah udang (kulit) yang sudah
dipisahkan dari dagingnya yang melalui proses demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi.
Ekstraksi kitin secara kimiawi dilakukan melalui proses deproteinasi dengan
menggunakan basa kuat, dan proses demineralisasi dengan menggunakan senyawa
asam, baik asam kuat atau asam lemah.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel yang
dapat mencemari ektraksi kitin.
Keuntungan kitosan yaitu mudah didapat, prosedur isolasinya mudah, tidak
beracun, dan tidak membahayakan.
Penggunaan NaOH sebagai pelarut dikarenakan NaOH merupakan alkali yang
digunakan untuk menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus
asetamida menjadi gugus amina.
Proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses penghilangan
gugus asetil dari kitin menjadi amina pada kitosan yang dikenal dengan proses
deasetilasi.
Proses pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan proses pendeasetilan N dari
kitin.
Proses pencucian hingga pH-nya netral mempengaruhi sifat penggembungan kitin
dengan alkali oleh karena itu efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus
asetamida pada rantai kitin semakin baik.
Proses pengeringan dimaksudkan untuk menghilangkan kadar air yang masih
tersisa saat pencucian sehingga ketika dihitung rendemennya hanya ada kitosan
saja.
12
Faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kitin adalah jenis bahan baku dan
proses ekstraksi kitin.
Faktor yang mempengaruhi pembuatan kitosan adalah konsentrasi enzim, pH dan
suhu proses.
Semarang, 22 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Chikita Eljo Brilliarien M. Tjan, Ivana Chandra
13.70.0110
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal; et al. (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri. Bandung.
Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan:
Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial
Research Vol. 63 January 2004. pp 20-31.
Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah
Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak
Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik
UNDIP. Semarang.
Hossain, M. S., Iqbal A. (2014). Production and Characterization of Chitosan from
Shrimp Waste. Journal Food Technology and Agriculture. J. Agril. Univ. 12(1):
153–160. ISSN 1810-3030. Bangladesh.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.
The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Khorrami M., Najafpour, Younesi,H., Hosseinpour M. N. (2012). Production of Chitin
and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.
Journal Chemistry Biochemistry. Vol 26 (3) 217–223. Faculty of Chemical
Engineering, Noushirvani University of Technology. Babol. Iran.
Krishnaveni S., Ragunattan K. P. 2015. Immobilization of Dithizone onto Chitin
Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study
for the Adsorption of Cd(II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 36-78,
2008.
Krissetiana. 2004. Concurrent production of chitin from shrimp shells and fungi.
Elsevier Science Ltd. Singapore.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D., (2000), Aplikasi Kitosan Hasil Tranformasi
Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal,
Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for
Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European
14
Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September
2007.
Muzarelli, R.A.A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Ancona
Italy 60100. Pergamon Press.
Patil, R. S., V. Chormade, and M. V. Desphande. 2000. Chitinolytic enzymes an
exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and
Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm.
629-639.
Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad;
dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya
terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia
Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21. Diakses tanggal 13 September 2014.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.Science Published Ltd., England.
Sandford T.A., and Hutchins, H.S., (1978), “Reporting Degree of Deacetylation values
of Chitosan”, J. Pharm Pharmaceut Sci. Vol. 5(3), pp 205-212.
Sashiwa, H & Sei-Ichi, A. (2004). Chemically modified chitin and chitosan as
biomaterials. Diakses tanggal 13 September 2014.
Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon Y-J. (1999). Food Applications of Chitin and
Chitosans. Trends in Food Science and Technology 10 : 37- Slepecky, R. A. and
H. E. Hemphill. 1991. The genus Bacillius-nonmedical the prokaryotes. In
Balows, A. (ed). The Procaryotes, 2nd. Edn., Chapter 76, pp. 1663-1696. Springer
Verlag. NY.
Sudarmadji, S; B. Haryono; & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Penerbit Liberty. Yogyakarta.
15
Suhardi. (1992). Kitin dan Kitosan, Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU
UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses
Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
Suseno, H.S. 2006. Pelatihan Pembuatan Pengawet Alami dari Kitosan dan Teknik
Aplikasinya pada Pengolahan Ikan. Institut Pertanian Bogor. 11 hal.
16
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok C1
Rendemen Chitin I =
= 23,45 %
Rendemen Chitin II =
= 30,00 %
Rendemen Chitosan =
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I =
= 37,82 %
Rendemen Chitin II =
= 44 %
Rendemen Chitosan =
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I =
= 41,67 %
Rendemen Chitin II =
= 54,55 %
Rendemen Chitosan =
= 32,16 %
Recommended