5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 1/13
KNOWLEDGE MANAGEMENT : SISI PANDANG KEPUSTAKAWANAN
Putu Laxman Pendit
Sejak Dr. Karl Wiig menggunakannya dalam pidato di International Labor
Organization (ILO) di tahun 1986, istilah Knowledge Management (KM) terus
menjadi pusat perhatian banyak disiplin. Penerapan prinsip-prinsipnya oleh
perusahaan besar multinasional semacam IBM dan Price Waterhouse (sekarang
ditambahi Cooper), membawa KM secara spesifik ke bidang niaga. Tulisan Nonaka
dan Takeuchi di Harvard Business Review tahun 1991 mengukuhkan KM sebagai
bidang studi niaga dan manajemen. Sejak 1996, setelah konferensi KM pertama di
tahun 1994, bidang studi ini menjadi semacam silang-kaji teknologi informasi
(terutama artificial inteligence dan database), manajemen (terutama organizational
change), dan ekonomi.
Tidak sedikit orang yang mencibir KM sebagai semata akal-akalan kaum bisnis untuk
mencari buzzword baru, yang dengan cepat diterjemahkan oleh industri teknologi
informasi (TI) sebagai keuntungan baru. Salah satu bidang yang menaruh curiga
adalah kepustakawanan. Sama halnya ketika Daniel Bell dan kawan-kawan
mencuatkan istilah Information Society (IS), kepustakawanan sering berperilaku
skeptis terhadap kepopuleran KM. Kita kini tahu, sosiologi dan ilmu komputer telah
sepenuhnya mengambil alih kepemimpinan pengkajian dan penerapan kaidah-kaidah
IS, sementara bidang lainnya (termasuk kepustakawanan) tinggal mengikuti.
Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, sikap skeptis kepustakawanan sudah pula
ditunjukkan ketika Information Retrieval (IR) muncul sebagai pusat perhatian baru
dengan adanya Crafield Test. Kalau saja kepustakawanan ikut memusatkan perhatian
kepada uji-coba pengindeksan berbasis mesin itu, tentu tidak perlu muncul bidang
baru yang dinamakan information science. Kita kini tahu, IR lebih diperhatikan oleh
ilmu komputer terutama dalam kaitannya dengan database design and development ,
dan oleh psiko-analisis terutama dalam kaitannya dengan information seeking
behaviour . Akan halnya kepustakawanan, sama dengan kedudukannya dalam
pengkajian dan penerapan prinsip IS, adalah pengikut dari kedua bidang ilmu di atas.
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 2/13
Sikap skeptis kepustakawanan bukanlah tanpa alasan. Sejak IR, lalu IS, dan akhirnya
KM dipopulerkan, para akademisi maupun praktisi bidang perpustakaan mendasari
keacuhan dan kecurigaan mereka pada semacam keyakinan bahwa dasar dari semua
jargon baru itu adalah kepustakawanan jua. Ketika IR muncul, kepustakawanan
menganggap bahwa itu semata-mata penggunaan mesin dalam praktek yang sudah
dari sononya urusan perpustakaan (yakni klasifikasi dan katalogisasi). Ketika IS
populer, kepustakawanan melengos karena yakin bahwa public librarianships sejak
baheula adalah akar dari prinsip penyebaran informasi secara sosial. Lalu ketika KM
mencuat, kepustakawanan berkeyakinan bahwa keterlibatan mereka dengan data
bibliografi sejak Abad Pertengahan adalah dasar dari penyebaran dan pemanfaatan
pengetahuan.
Kalau kita simak baik-baik, kepustakawanan memiliki semua justifikasi untuk
bersikap skeptis, karena memang semua jargon itu bermula dari ketergantungan
peradaban manusia pada bahasa tertulis yang tentu saja bermula sejak teknologi
massalnya (yakni buku!) pertama kali ditemukan manusia. Kepustakawanan boleh
mengaku bahwa mereka sudah duluan ( I was there first!) sebelum berbagai disiplin
lain berbondong-bondong mengurusi data, informasi dan pengetahuan.
Kepustakawanan boleh menunjuk dirinya bapak atau ibu ( founding fathers, founding
mothers), bahkan boleh mengaku moyang dari IR, atau IS, atau KM.
Cuma, tentu saja, mengaku moyang sama saja dengan mengaku bahwa
kepustakawanan telah lama perlaya. Sudah jadi bagian dari masa lampau yang
dimumifikasi seperti layaknya penguasa-penguasa Mesir yang kini berbaring di dalam
piramid-piramid raksasa.
Tulisan pendek ini ingin mengajak pembaca meninggalkan skeptisisme dan keraguan
kepustakawanan kepada semua perkembangan eksternal di atas, tetapi terutama
terhadap KM karena artikel ini dibuat untuk diskusi tentang KM. Penulis ingin
berargumentasi bahwa kepustakawanan seharusnya adalah bidang yang dinamik, dan
bahwa kepustakawanan punya kepribadian, dignity, yang tidak mengharuskannya
menjadi pengikut (untuk tidak mengatakan pengekor). Kepustakawanan mengandung
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 3/13
di dalamnya unsur-unsur progresif yang bisa memberi sumbangan besar sekali kepada
semua perkembangan baru di atas, dan juga terutama kepada KM.
Dasar dari argumentasi penulis akan diuraikan dalam tiga bagian: (1) hubungan antara
data, informasi, pengetahuan; (2) hubungan antara klasifikasi dengan penemuan
pengetahuan; dan (3) peran teknologi.
DIK bukan KID
DIK adalah aksioma Data Information Knowledge, sedangkan KID adalah
sebaliknya (lihat Tuomi, 2000). Kepustakawanan (dan banyak bidang lainnya!)
sering menyangka bahwa DIK adalah aksioma yang tepat untuk KM. Asumsinya, jika
kita telah mengelola D dengan baik, maka praktis I dan K sudah terkelola. Jika sudah
terkelola, maka praktis sudah mudah dipakai. Jika sudah terpakai, maka praktis sudah
efektif dan efisien dalam konteks pemanfaatan K. Dengan kata lain, KM berbasis
pengelolaan data. Kalau kepustakawanan adalah jagoan dalam pengelolaan data, maka
kepustakawanan adalah jagoan KM.
Penulis berargumentasi lain. Persoalan utama dalam KM bukan pada pengelolaan data
sebagaimana yang selama ini dianut kepustakawanan pada umumnya. Kalau saja
persoalannya adalah pengelolaan data, niscaya praktik-praktik klasik kepustakawanan
sudah cukup untuk mengatasinya.
Sebabnya begini: data mentah (raw data) tidak pernah ada, jika pengertiannya adalah
sesuatu yang terpisah dari I maupun K. Data hanya ada setelah orang punya bayangan
tentang penggunaannya ( potential use), harapan kebergunaan (expectation), konteks,
dan konstruk (theoritical construct ). Contohnya adalah sebuah angka, misalnya
2.000.000. Angka ini tidak pernah ada, kalau kepadanya tidak dilekatkan potensi,
harapan, konteks, dan konstruk. Ia menjadi ada, misalnya, setelah kita
menganggapnya sebagai sejumlah nominal uang, dengan potensi untuk membeli
sesuatu, dalam konteks tertentu untuk suatu keperluan tertentu. Tergantung dari jenis
uangnya, dan untuk apa uang itu, angka 2.000.000 sendiri "tidak ada apa-apanya".
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 4/13
Dus, ada yang bilang bahwa kalau sudah diberi harapan, potensi, konteks maupun
konstruk semacam itu maka kita berurusan dengan I, informasi. Dengan kata lain,
sewaktu kita "membuat data" (sebelum menyimpan) kita melepaskan semua harapan,
potensi, konteks maupun konstruk darinya. Bagaimanakah kita bisa memisahkan
sesuatu dari harapan, potensi, konteks maupun konstruknya? Rasanya tidak mungkin
bisa, kecuali sesuatu itu memang tidak ada apa-apanya, dan dengan demikian ia tidak
ada!
Kunci dari persoalan di atas adalah pada kenyataan bahwa yang sebetulnya kita kelola
ketika kita memakai istilah "mengelola data", adalah representasi dari data, bukan
aslinya. Untuk bisa mengelola representasi data, kita memerlukan harapan, potensi,
konteks, maupun konstruk yang melekat pada data (aslinya). Kalau kita tadi
mengatakan bahwa semua itu adalah atribut dari informasi, maka untuk mengelola
representasi data kita memerlukan informasi. Dengan kata lain, D tidak menentukan I,
tetapi sebaliknya.
Harapan, potensi, konteks maupun konstruk tidak pula pernah ada dalam sebuah
vakum. Bagaimana kita punya harapan tentang kurs rupiah terhadap dollar, lalu
berdagang valuta asing karena melihat potensinya, membangun strategi untuk mencari
pembeli dan penjual uang, dan akhirnya kaya raya seperti George Soros? Satu-satunya
jalan untuk bisa menjadi seorang George Soros adalah dengan membangun
pengetahuan tentang valuta asing, ditambah moral dan etika tertentu (yang barangkali
tidak kita sepakati), keberanian dan rasa tega. Dengan kata lain, I pun tidak pernah
ada tanpa K yang sebelumnya. Maka bukan DIK yang berlaku, melainkan KID.
Dengan asumsi baru ini, maka KM harus dibangun dengan prinsip KID. Seseorang
baru bisa membangun sistem yang "mengelola data" kalau ia punya cukup I dan
cukup K. Persoalannya adalah tidak mungkin bagi siapa pun untuk punya semua I dan
semua K. Untuk bisa membuat representasi data (melepaskan harapan, potensi,
konteks dan konstruk dari data) seseorang harus punya semua atribut itu, dan untuk
punya atribut itu seseorang harus punya semua pengetahuan tentangnya. Ini mustahil.
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 5/13
Sebab itu pulalah KM tidak pernah bisa didasarkan pada mengelola data (lewat
representasinya). Untuk bisa memiliki KM yang baik, kita memerlukan lebih dari
representasi data, lebih dari sekadar melepaskan atribut-atribut data. Lalu apa
sebetulnya yang dikelola? Jawabannya adalah pada kenyataan bahwa K adalah sebuah
social phenomena, bahwa pengetahuan tak pernah merupakan unit-unit terpisah dalam
satu per satu kepala manusia. Berpikir, berpengetahuan, membangun pengetahuan ...
semua ini tidak dilakukan satu per satu orang. Terlebih-lebih lagi, untuk bisa berpikir,
berpengetahuan dan membangun pengetahuan, manusia memerlukan antar-hubungan
yang didasarkan pada kemauan bersama dan kepercayaan. Jadi dalam KM implisit
ada pengelolaan antar-hubungan manusia (untuk contohnya lihat Gupta dan
Govindarajan, 2000).
Mari kini kita kembali ke kepustakawanan. Dengan jalan berpikir di atas, maka
mustahil bagi profesional di bidang ini untuk memberikan sumbangan kepada
pengembangan KM jika tetap ngotot bahwa inti (core) dari aktifitasnya adalah
mengelola data (lewat representasinya). Prinsip KID dalam KM mengharuskan
kepustakawanan menunjukkan "sisi manusiawi"-nya. Sesungguhnya prinsip ini sudah
sejak 1960-an coba dibangkitkan secara formal oleh Jesse Shera yang mengusulkan
social epistemology bagi kepustakawanan (sebagaimana diulas Warner, 2001).
Dalam usulan Shera, kepustakawanan dan ilmu perpustakaan harus berhenti
berkonsentrasi kepada klasifikasi dan katalogisasi, dan harus mengembangkan profesi
dan ilmu yang berdasarkan kepada orientasi antar-hubungan manusia. Entah kenapa,
banyak praktisi dan akademisi perpustakaan menganggap remeh usulan ini dan
sampai sekarang masih merasa cukup berkonsentrasi kepada klasifikasi dan
katalogisasi dalam rangka menjernihkan jati diri kepustakawanan.
Penulis sama sekali tidak beranggapan bahwa klasifikasi tidak penting. Bagian yang
berikut ini justru menegaskan pentingnya klasifikasi, sebelum nanti kita kembali
membahas mengapa diperlukan tambahan selain keahlian klasifikasi.
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 6/13
Klasifikasi dan Pengetahuan
Aristoteles menghubungkan semesta pengetahuan dengan klasifikasi hirarkis. Prinsip
filsuf ini sampai sekarang jadi pegangan pustakawan setelah disempurnakan antara
lain oleh Dewey dan Ranganathan. Pada dasarnya klasifikasi adalah cara paling
sempurna yang selama ini ditemukan oleh manusia untuk mengelola pikirannya.
Aristoteles dan para filsuf lain-lain berhasil membuktikan supermasi manusia atas
pikirannya sendiri, sehingga peradaban bisa terus maju berdasarkan rasio.
Dari kenyataan ini saja, adalah mustahil menafikan pentingnya klasifikasi dalam
dunia pengetahuan manusia, apalagi dalam KM. Berbagai jenis klasifikasi selain
hirarkis, yaitu klasifikasi pohon, paradigma, facet, bersama-sama maupun sendiri-
sendiri, telah memberikan sumbangan besar untuk mengelola dokumen dalam rangka
pengembangan pengetahuan manusia. Beberapa hal penting yang menyebabkan
klasifikasi mutlak dalam urusan tahu dan pengetahuan adalah (lihat Kwasnik, 1999):
Mampu meringkas pengetahuan sehingga mudah dicerna,
Memberikan deskripsi yang kaya terhadap sebuah butir pengetahuan dalam
kaitannya dengan pengetahuan yang lain,
Memperlihatkan antar-hubungan pengetahuan sehingga memungkinkan
penggunanya memiliki prespektif yang lebih menyeluruh atau holistic.
Memperlihatkan "jarak" antara satu butir pengetahuan dengan yang lainnya
(terutama dalam klasifikasi pohon),
Dapat membantu menemukan pola atau keteraturan dalam pemberian kriteria
kepada butir-butir pengetahuan.
Namun pada saat yang sama, sistem klasifikasi yang selama ini kita kenal juga
mengandung kelemahan:
Klasifikasi hirarkis hanya cocok untuk pengetahuan dalam domain yang sudah
mapan, yang masing-masing entitasnya sudah memiliki batas dan definisi
yang jelas,
Klasifikasi pohon, walaupun mungkin lebih luwes untuk domain yang sedang
berkembang, hanya cocok untuk menggambarkan arah perkembangan
pengetahuan yang satu dimensi,
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 7/13
Klasifikasi paradigma, yang mengandalkan perpotongan (intersection) dua
atribut entitas, seringkali juga membatasi perspektif penggunanya,
Klasifikasi facet yang diperkenalkan Ranganathan, walaupun sangat ampuh
untuk menampung berbagai perspektif (multiple perspectives), sangatbergantung kepada pengetahuan yang lengkap tentang domain yang akan
diklasifikasi dan juga kebutuhan pemakai klasifikasi.
Selain itu, perlu diingat bahwa sistem klasifikasi berkembang dalam sistem sosial-
politik tertentu, sehingga sangatlah naif kalau kita mengatakan bahwa semua ideologi
tercermin dengan adil dalam, misalnya, DDC. Tidak semua agama pula diwakili
secara konprehensif dan setara dalam sistem klasifikasi. Secara intrinsik, sistem
klasifikasi juga melakukan marjinalisasi (penyingkiran) terhadap pandangan-
pandangan tertentu. Penyingkiran ini menimbulkan "wilayah kumuh" (ghetto) dalam
keseluruhan sistem klasifikasi, sebagaimana yang dialami pengetahuan tentang wanita
atau kelompok minoritas lesbian dan homoseksual (Olson, 1998)
Perkembangan pengetahuan yang sangat cepat juga menimbulkan keterbatasan dalam
penggunaan klasifikasi, sebab secara alamiah sistem klasifikasi membutuhkan
standardisasi dan definisi yang mapan sebelum bisa digunakan secara efektif-efisien.
Kesenjangan antara sistem klasifikasi dengan pengetahuan yang sedang berkembang
bisa bertambah parah jika para praktisi yang menggunakan klasifikasi itu sendiri juga
tidak pernah mengikuti perkembangan pengetahuan yang sedang diklasifikas inya.
Pada titik ini kita bisa kembali ke pembahasan di atas tentang DIK dan KID, terutama
ketika kita bicara tentang KM sebagai sistem yang mengkamodasi sistem sosial dan
yang berdasarkan antar-hubungan serta kepercayaan antar manusia.
Sistem klasifikasi sangat berguna dalam pengembangan sistem pengelolaan
representasi data (penulis akan memakai istilah ini selanjutnya, bukan "pengelolaan
data"). Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, ketika seorang
pengelola memproses representasi data untuk disimpan di sebuah sistem (katakanlah
sebuah pangkalan data), ia memerlukan akses ke semua atribut harapan, potensi,
konteks dan konstruk dari data. Di sinilah sistem klasifikasi berperan, sebab sistem ini
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 8/13
memang bertugas meringkas pengetahuan sehingga bisa ditangani oleh seseorang
yang tidak harus memiliki seluruh pengetahuan tentang suatu domain.
Jika diamati, selain kemampuan memakai sistem klasifikasi, ia memerlukan pula
pengetahuan lain yang tak kalah penting, yakni tentang siapa yang akan menggunakan
representasi data yang ia buat. Kesadaran di dalam diri pengelola sistem bahwa ada
orang lain yang akan menggunakan representasi data yang dibuatnya, merupakan titik
menentukan dalam keseluruhan. Mengapa?
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pengetahuan manusia tidak pernah merupakan
unit-unit terpisah, melainkan adalah sebuah hasil antar-hubungan yang berdasarkan
kesepakatan dan kepercayaan. Berkembang-tidaknya sebuah pengetahuan, dan bisa
digunakan-tidaknya pengetahuan tersebut di dalam sebuah organisasi manusia (karena
hanya organisasi manusia yang sungguh-sungguh menggunakan pengetahuan secara
sadar), ditentukan oleh kesepakatan dan saling-percaya antar anggota-anggotanya.
Bagi anggota-anggota ini --yang bisa kita kategorikan sebagai pengguna dari
pengetahuan untuk keperluan tertentu-- maka yang pertama-tama mereka inginkan
dari sebuah sistem yang merepresentasi data dari pengetahuan mereka adalah
kepercayaan kepada pengelola sistem tersebut. Kalau sebuah sistem representasi data
ingin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah institusi dalam konteks
pemanfaatan pengetahuan, maka yang pertama-tama harus tercipta adalah hubungan
berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan antara pengelola sistem dengan pengguna
pengetahuan.
Di sinilah usul Shera tentang social epistemology memerlukan perhatian
kepustakawanan. Hubungan antar manusia sebagaimana digambarkan di atas, tidak
bisa diciptakan atau dipelihara dengan mempelajari sistem klasifikasi semata.
Kepustakawanan, jika ingin memberikan sumbangan kepada pengembangan KM,
harus memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan dan pelatihan kemampuan
menciptakan dan memelihara hubungan antar manusia.
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 9/13
Davenport, De Long dan Beers (1998), setelah mengkaji berbagai proyek
pengembangan KM, juga sampai pada kesimpulan yang sama tentang pentingnya
hubungan antar-manusia ini. Mereka mengistilahkannya sebagai "knowledge friendly
culture" yang di dalamnya mengandung unsur keleluasaan dan kemauan untuk saling
berbagi pengetahuan. Jika kita kaitkan hal ini dengan pembahasan di alinea
sebelumnya, maka jelaslah bahwa sebuah sistem representasi data tidak bisa berbuat
apa-apa kalau si pengelolanya tidak mampu menciptakan --atau memberikan
sumbangan kepada-- suasana yang saling percaya dan saling berbagi. Bahkan sebuah
sistem representasi data yang tidak dilengkapi oleh upaya untuk membangun rasa
percaya pemakainya ini akan hanya menjadi penghambat bagi pengembangan KM,
atau menghabiskan biaya besar yang sia-sia.
Sampai di sini barangkali akan timbul pertanyaan: bagaimana "kongkrit"-nya sistem
KM dilihat dari sisi pandang kepustakawanan? Bagi banyak orang, "kongkrit" selalu
dihubungkan dengan benda, terutama mesin, dan terutama lagi teknologi informasi
atau komputer. Penulis berargumentasi bahwa "kongkrit" tidak selalu material. Tetapi
sebelum memberikan alasannya, penulis ingin membahas dulu aspek teknologi
(kongkrit) dari KM.
Teknologi untuk KM
Beckman (1999) meringkas perspektif teknologi untuk KM sebagai berikut:
Knowledge repository, pada umumnya berupa database
Direktori sumber
Direktori sumberdaya pembelajaran
Groupware
Ditambah dengan "business model" yang dipengaruhi unsur:
o Arsitektur TI
o Platform TI (hardware)
o Komunikasi
o Interfaces
o Software
o User support
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 10/13
Sistem pakar merupakan salah satu teknologi andalan dalam KM, terutama melalui
empat skema penerapan: (1) case-based reasoning (CBS) yang merupakan
representasi pengetahuan berdasarkan pengalaman, termasuk kasus dan solusinya, (2)
rule-based reasoning (RBS) mengandalkan serangkaian rules yang merupakan
representasi dari pengetahuan manusia dalam memecahkan kasus-kasus yang rumit,
(3) model-based reasoning (MBR) melalui representasi pengetahuan dalam bentuk
atribut, perilaku, antar-hubungan maupun simulasi proses terbentuknya pengetahuan,
dan (4) constraint-satisfaction reasoing yang merupakan kombinasi dari RBS dan
MBR.
Sepintas mungkin dapat dilihat bahwa tidak ada satu pun dari teknologi di atas,
kecuali database, yang akrab dengan dunia kepustakawanan. Salah satu sebabnya
adalah keengganan kepustakawanan dalam melangkah lebih jauh dari sekadar
mengelola representasi data. Prinsip-prinsip interface dan user support , yang oleh
Beckman di atas dianggap sebagai bagian dari "business model" untuk KM, tidak
terlalu dikenal dalam kepustakawanan. Sistem pakar yang dikaitkan langsung dengan
IR sebenarnya juga pernah coba dimasukkan kedalam kepustakawanan, tetapi tidak
ditanggapi secara antusias.
Keengganan ini sebenarnya bukan ciri intrinsik kepustakawanan. Prinsip-prinsip
layanan rujukan bisa dikatakan sebagai bentuk interface dan user support yang
pertama kali ada dalam sebuah sistem yang berurusan dengan informasi dan
pengetahuan. Boleh dikatakan, kepustakawanan sudah mengandung benih-benih
tetapi tampaknya luput menumbuh-kembangkan. Salah satu sebabnya, menurut
penulis, adalah karena layanan rujukan lebih banyak berorientasi kepada menemukan
dokumen katimbang membantu pemakai memecahkan masalah. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari pandangan bahwa ketersediaan dokumen setara dengan ketersediaan
informasi. Apalagi jika kemudian skema pengetahuan yang dipakai oleh petugas
rujukan ketika menjalankan wawancara adalah skema kaku yang dipakai untuk
mengklasifikasi dokumen atau representasi data.
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 11/13
Masalah kekakuan (rigidity) skema yang dipakai untuk menata representasi data
sebenarnya bukan hanya masalah kepustakawanan, melainkan juga sudah diakui oleh
para pengembang database. Berbagai upaya pendekatan dalam pengembangan
database kini sangat memperhatikan keluwesan dalam re-interpretasi representasi
data setelah ia ditemukan kembali lewat proses pencarian. Sebaliknya,
kepustakawanan kurang memperhatikan persoalan yang timbul dari perbedaan skema
petugas rujukan dengan pengguna jasa. Bahkan ketika database mulai umum dipakai
di perpustakaan pun, kepustakawanan tetap menganggap bahwa interface tidak
problematik sehingga tidak perlu dipermasalahkan (dalam banyak hal,
kepustakawanan bahkan bersikeras memakai luaran tercetak katalog dari sebuah
database management system).
Kesan bahwa kepustakawanan tidak kritis terhadap teknologi yang akhirnya diadopsi,
sama kuatnya dengan kesan bahwa kepustakawanan enggan menerima teknologi baru.
Di dalam paradigma KM, sikap seperti ini akan menimbulkan masalah. Terutama jika
kita ingat bahwa KM bermaksud pula mengurus tacit knowledge (lawan dari explicit
knowledge). Teknologi informasi yang telah selama ini dikembangkan adalah
teknologi yang lebih cocok untuk pengetahuan eksplisit yang oleh Nonaka dan
Takeuchi dikatakan sebagai pengetahuan yang rasional, sequential, dan dengan
demikian bisa digital. Untuk bisa berurusan dengan tacit knowledge para pengembang
teknologi tidak bisa hanya mengandalkan representasi data dari pengetahuan yang
sudah menjadi eksplisit (misalnya dalam bentuk dokumen). Diperlukan pemahaman
yang lebih dalam tentang cara kerja otak manusia berpindah-pindah dari tacit ke
explicit tanpa kehilangan konteks dan konstruk pengetahuan.
Karena belum ada teknologi yang bisa meniru kecepatan dan keakuratan otak manusia
dalam mengubah tacit menjadi explicit dan sebaliknya, maka teknologi yang sekarang
ada hanya berhasil mengekstrasi representasi data pengetahuan eksplisit sambil
mengorbankan fleksibilitas re-interpretasi. Sebab itulah, bantuan manusia (bukan
bantuan mesin!) sangat dibutuhkan untuk mengkompensasi keterbatasan teknologi ini.
Kepustakawanan memiliki potensi untuk memberi bantuan jika ia, pertama-tama dan
terutama, bersikap kritis terhadap teknologi informasi yang tersedia dan mau
melakukan eksplorasi terhadapnya secara terus menerus. Sikap ini bisa dimulai
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 12/13
dengan memperluas orientasi dari semata-mata menemukan dokumen (setelah
menyimpannya dengan baik) ke membantu memecahkan masalah. Dari orientasi ini
akan timbul tuntutan kepada teknologi yang dapat mengakomodasi pengetahuan yang
diperlukan untuk memahami representasi data yang tersimpan di dalam sistem.
Sampai di sini maka tulisan ini telah berputar penuh kembali ke isu utama, yakni
perubahan paradigma dalam memandang data, informasi, dan pengetahuan. Penulis
berharap uraian di atas cukup jelas mengetengahkan argumentasi pokok : bahwa
kepustakawanan memiliki potensi untuk memberi kontribusi penting kepada
pengembangan KM, jika ia terlebih dahulu mengubah pandangannya tentang data,
informasi dan pengetahuan, dan jika ia berhenti mengutamakan klasifikasi sebagai
kegiatan intinya.
Implikasi dari argumentasi ini pada bidang pendidikan dan pelatihan adalah pada
perubahan cukup mendasar dalam kurikulum dan orientasi pendidikan
kepustakawanan. Harus ada semakin banyak mata-ajaran tentang antar-hubungan
manusia dalam konteks sistem yang berurusan dengan informasi dan pengetahuan.
Juga harus ada upaya konsisten untuk menanamkan prinsip pengembangan sistem
yang berorientasi kepada fleksibilitas, sebagai lawan dari sistem yang serba
terstandar, rigid , dan formal. Ini hanya bisa dilakukan jika social epistemology
sebagaimana diusulkan Jesse Shera dikembalikan ke dalam kepustakawanan secara
utuh.
Pembahasan yang lebih rinci tentang hal ini memerlukan diskusi yang berbeda.
Sampai di sini penulis berharap agar tulisan di atas dapat menjadi picu bagi diskusi
yang lebih dalam lagi tentang sumbangan dan peran kepustakawanan dalam
pengembangan KM. Juga diharapkan, sikap untuk mau memberi kontribusi ini
meletakkan kepustakawanan pada kedudukan yang lebih terhormat, katimbang hanya
mengikuti perkembangan atau mengabaikannya.
5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 13/13
Referensi:
Gupta, Anil K. dan Vijay Govindarajan (2000). Knowledge management's social
dimension: lessons from Nucor Steel. Sloan Management Review, fall 2000,
71 - 80.
Kwasnik, Barbara H. (1999). The role of classification in knowledge representation
and discovery. Library Trends, 48 (1), 22 - 47.
Olson, Hope A. (1998). Mapping beyond Dewey's boundaries: constructing
classificatory space for marginalized knowledge domains. Library Trends. 47
(2), 233 - 254.
Tuomi, Ilkka (2000). Data is more than knowledge: implications of the reversed
knowledge hierarchy for knowledge management and organizational memory.
Journal of Management Information System, 16 (3), 103 - 117.
Warner, Julian (2001). W(h)ither information sciences? Library Quarterly, 71 (2),
243 - 255).