Kondisi EBT di INDONESIA / Renewable
Energy in Indonesia
Sektor energi di Indonesia mengalami masalah serius, karena laju permintaan energi di dalam
negeri melebihi pertumbuhan pasokan energi. Minyak mentah dan BBM sudah diimpor guna
mengatasi permintaan yang melonjak dari tahun ke tahun sehingga ketahanan energi nasional
rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan/permintaan minyak mentah dunia.
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) harus mulai dikembangkan dan dikuasai sejak dini, dengan
mengubah pola fikir (mind-set) bukan sekedar sebagai energi altenatif dari bahan bakar fosil
tetapi harus menjadi penyangga pasokan energi nasional dengan porsi EBT >17% pada tahun
2025 (Lampiran II Keppres no.5/2006 tentang Kebijakan Energi nasional) berupa biofuel >5%,
panas bumi >5%, EBT lainnya >5%, dan batubara cair >2%, sementara energi lainnya masih
tetap dipasok oleh minyak bumi <20%, Gas bumi >30% dan Batubara >33%. Pemerintah
berkomitmen mencapai visi 25/25, yaitu pemanfaatan EBT 25% pada tahun 2025.
Program-program untuk mencapai target >17% (atau 25%) EBT adalah listrik pedesaan,
interkoneksi pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi (DME), Integrated
Microhydro Development Program (IMIDAP), PLTS perkotaan, pengembangan biofuel, dan
proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II berbasis EBT (panas bumi dan hidro).
Untuk mencapai itu, Indonesia membutuhkan dana Rp.134,6triliun (US$15,7miliar) guna
mengembangkan sumber-sumber EBT untuk 15 tahun mendatang. Dana tersebut (dalam
master plan 2011-2015) akan dibagikan ke 5 daerah, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Bali-Nusa
Tenggara, dan Papua-Maluku. Pemerintah mendukung innovasi pemanfaatan PLTS misalnya
untuk penerangan jalan, dan mendorong pula pemasangan panel surya di atap-atap pusat
pertokoan dan mal agar mendapatkan pasokan listrik sendiri.
Upaya penganekaragaman (diversifikasi) sumber energi lainnya selain minyak bumi terus
dilakukan, di antaranya pemanfaatan gas, batubara, EBT (air/mikrohidro, panas bumi,
biomassa, surya, angin, gelombang/arus laut, BB Nabati, nuklir), batu bara cair dan gas
(liquified, gasified coal).
Tahun 2011, Pemerintah merencanakan 35 Desa Mandiri Energi (DME) berbasis non BBN,
yaitu PLTMH 10 lokasi (5 di Sumatera, 2 di Jawa, 3 di Kalimantan 4 di Sulawesi, 2 di Nusa
tenggara, 1 di Maluku dan Papua), arus laut 1 lokasi, Hibrid 1 lokasi, peralatan produksi (sisa
energi listrik dari EBT) 10 lokasi.
Tahun 2010, Desa Mandiri Energi (DME) sudah dikembangkan di 15 wilayah di Indonesia, 9 di
luar P. Jawa dan 6 di P. jawa. Th 2009, program DME mencapai 633 desa, dengan rincian
Tenaga Air 244 desa, BB Nabati 237 desa, Tenaga Surya 125 desa, Biogas 14 desa, Tenaga
Angin 12 desa, Biomassa 1 desa.
Di lain fihak, PT Pertamina (Persero) berkomitmen mengembangkan 5 jenis EBT, yaitu
geothermal (panas bumi), Coal Bed Methane (CBM), Shale Gas, Alga, dan Angin (Bayu).
Beberapa pengusaha asing mulai tertarik untuk berpartisipasi dalam pengembangan EBT,
misalnya Australia yang berpengalaman di bidang infrastruktur energi di bidang panas bumi,
solar, alga, mikrohidro, biomassa untuk pembangkit listrik. Austria menawarkan kerjasama
membangun PLTA di Indonesia, sedangkan Jerman ingin bekerjasama di bidang panas bumi
(geothermal).Amerika Serikat yang diwakili oleh Exxon dan General Electric akan membantu di
sektor efisiensi energi, salah satunya adalah mengembangkan turbin dan Pembangkit Listrik
skala kecil berbasis EBT yang akan dikembangkan di pulau-pulau terluar dan di daerah
nelayan. Turki tertarik untuk mengembangkan energi geothermal di wilayah Palembang,
Sumatera Selatan, dan Argo Puro, Jawa Timur.
Indonesia sudah memberlakukan regulasi dengan memberikan insentif kepada perusahaan
pengembang EBT dengan tetap melibatkan fihak lokal terutama pembangunan pembangkit
berkapasitas di bawah 10 MW. Sistem feed-in-tariff sedang disusun guna mendorong
implementasi EBT secara komersial dan peningkatan akses kepada masyarakat.
Keragaman sumber EBT di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
AIR (PLTA)
Di seluruh Indonesia, potensi PLTA skala besar dan kecil sekitar 75.670 MW (75,7 GW), tetapi
hanya dimanfaatkan 5.940,04 MW atau 7,92% saja (PLTA 5.711,29 MW, PLTMH 228,75 MW)
dan Dirjen EBTKE menargetkan 9.700 MW pada tahun 2015. PLTA skala besar dan kecil yang
sudah beroperasi sekitar 1.941 MW, tersebar di 10 lokasi, di antaranya adalah
Sumatera Utara: Asahan-1 (180/2x90 MW), Sigura-gura / Asahan-2 (286 / 4x71,5
MW), Tangga(223 / 4x55,75 MW), Lau Renun (82/2x41 MW), Sipansihaporas (50/33+17 MW),
Sumatera Barat: Maninjau (68/4x17 MW), Singkarak (175/4x43,75 MW), Batang Agam (3x3,5
MW); Bengkulu: Tes (16/4x4 MW), Musi (210/3x70 MW); Riau: Koto Panjang (114/3x38 MW),
Talang Lembu (2x16 MW); Lampung: Way Besai (92,8/2x46,4 MW), Batutegi (28/2x14
MW); Jawa Barat: Ubrug/Cibadak (27,9/2x10,8+6,3 MW) (saat ini mati, bendungan jebol),
Bengkok (10,15/3x3,15+0,7 MW), Cikalong (19,2/3x3,64 MW), Cirata (1000 / 8X126 MW),
Saguling (700/4x178 MW), Jatiluhur (187 MW); Lamajan (19,2/3x6,4 MW), Parakan Kondang
(9,92/4x2,48 MW); Jawa Tengah: Sudirman (Mrica) (3x61,5 MW), Jelok (4x5 MW), Timo (3x4
MW), Wonogiri (2x6 MW), Garung (2x6 MW), Sempor (1x1 MW), Ketenger-1&2 (2x3,5 MW),
Ketenger-3 (1x1 MW), Wadaslintang (2x9 MW), Kedung Ombo (1x22,5 MW), Klambu 1x1,17
MW), Pejengkolan (1x1,4 MW), Sidorejo (1x1,4 MW), Gajah Mungkur (12,4 MW), Jawa
Timur: UP Brantas (281 MW): terdiri atas 12 unit PLTA, yaitu [Sengguruh (29/2x14,5 MW),
Mendalan (23,2/4x5,8 MW), Siman (10,8/3x3,6 MW), Selorejo (1x4,48 MW), Giringan (3,2 /
2x1,35+1x0,5 MW), Golang (2,7 MW), Ngebel (2,2 MW), Wlingi (54/2x27 MW), Lodoyo (1x4,5
MW), Tulung Agung (2x23 MW), Wonorejo (6,3 MW), Karangkates/Sutami (105/3x35
MW)], Tulis (2x7 MW); Kalimantan Selatan: Riam kanan (30/3x10 MW); Sulawesi Utara:
Tonsea Lama (14,38 / 1x4,44 + 1x4,5 + 1x5,44 MW), Tanggari-1 (1x17,2 MW), Tanggari-2 (1x19
MW); Sulawesi Selatan: Balambano (140/2x70 MW), Larona (195/3x65 MW), Karebbe
(140/2x70 MW), Bakaru (126/2x63 MW); Sulawesi Tengah: Sulewana-Poso I (160/4x40 MW),
Sulewana-Poso II (180/3x60 MW), Sulewana-Poso III (400/5x80 MW).
PLTA sedang dibangun: Genyem (19 MW) Jayapura, Papua, hasil perjanjian jual beli (US$4,3
juta) penurunan emisi karbon CER (Certified Emission Reduction); Angkup (88 MW) dan
Peusangan-1&2 (2x22 dan 2x22 MW) Aceh Tengah; Asahan-3 (2x87 MW) Sumut.
PT Bukaka Group membangun PLTA Malea 15 MW, Kec. Makale Selatan, Tana Toraja, yang
menghabiskan dana Rp. 300 miliar dan akan beroperasi Agustus 2011. Bukaka akan
menambah daya hingga sekitar 90 MW dengan masa kontrak 4 tahun dan dana Rp. 3 triliun.
PLTA berencana dibangun: PLTA di Papua (2000 MW), Sumatera Utara (763 MW), Lombok 2
lokasi (Muntur 2,8 MW, Kokok Putih 4,2 MW, Pekatan 5,3 MW), dan Sumbawa (Brang Rhee 16
MW, Bintang bano 40 MW, Brang Beh 103,5 MW).
Pemprov Papua membangun proyek PLTA Kapiraya (yang pertama di Papua) dengan
kapasitas 300-350 MW di distrik Mimika Barat Tengah yang diharapkan PT Freeport menjadi
pembeli utama listrik Kapiraya, sedangkan sisanya memenuhi kebutuhan listrik lebih dari lima
kabupaten, yaitu Mimika, Paniai, Deai, Doguyai hingga Nabire. Proyek tsb akan selesai 3-4
tahun dengan anggaran mencapai Rp 14 triliun.
Program ke depan (proyek percepatan 10.000 MW tahap II) : PLTA Upper Cisokan 4 x 260 MW
150 km Tenggara Jakarta (sungai Citarum) diharapkan akan beroperasi 2016 dengan investasi
US$800 juta dari Bank Dunia. PLN membantu biaya pendamping sekitar US$160juta. Selain itu,
PLTA Kalikonto Jawa Timur juga diharapkan beroperasi th 2014.
Proyek Rp.2,3 triliun untuk PLTA Asahan 3 mulai dibangun untuk memenuhi kekurangan
pasokan listrik di Sumatra Utara, dan diharapkan 2014 sudah terpasang secara komersial.
PT TEI (Topnich Energy Indonesia, asal China) berusaha patungan dengan PT Sulawesi Hydro
Power (asal Norwegia) akan membangun PLTA Enrekang 200 MW dengan nilai investasi Rp.5
triliun yang akan dimulai Juni 2011. PT Sulawesi Hydro Power juga akan mengoperasikan PLTA
Tangka Manipi 10 MW dengan nilai investasi Rp.280 miliar untuk memenuhi kebutuhan listrik di
Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Daecheong Construction Co Ltd. menggandeng Perusahaan Daerah (BUMD) untuk
membangunPLTA Deli Serdang 16 MW di Deli Serdang, Sumut yang memanfaatkan sungai Lau
Simeme, dan akan beroperasi pada 2013 dengan dana investasi US$150juta dari Korea
Selatan.
PLD dan Konsorsium (Kepco) Daewoo membangun PLTA Wampu 60 MW di sekitar Danau
Toba, Sumut, dengan dana investasi Rp.2,5 triliun, dan menggunakan skema IPP (Independent
Power Producer). Selain itu, PLN juga akan membangun PLTA Peusangan 89 MW (Peusangan-
1 2x22,5 MW, dan Peusangan-2 2x22,5 MW), Takengon, Aceh, yang akan dikerjakan
oleh Hyundaibersama dengan PTPP (PT Pembangunan Perumahan Tbk) dengan nilai investasi
Rp.3 triliun yang berasal dari pinjaman JICA Rp.2,6 triliun yang diharapkan akan selesai pada
tahun 2015.
PLTA Karebbe INCO 90 MW beroperasi th 2011. INCO sudah mengoperasikan 2 PLTA dengan
kapasitas total 275 MW. Bila Karebbe beroperasi, kapasitas total PLTA INCO mencapai 365
MW.
Bendungan untuk tandon air dan irigasi: Pandan Dure Swangi 340 Ha (Rp.728 miliar), Kab.
Lombok Timur, NTB dengan sumber air dari sungai palung.
PLTMH (Mini Hidro, < 1000 kW, Mikro Hidro < 100 kW, Piko Hidro <1 kW)
Potensi: 230.910 MW (231 GW) (th 2006). Tahun 2007, kapasitas terpasang masih 60 MW.
Pemanfaatan PLTMH dapat menghemat BBM dan CER sangat besar. PT Indonesia
Powermeyakinkan, bahwa Produksi listrik PLTMH Cileunca berkapasitas 1 (2x0,5) MW
(menelan biaya Rp.13 milyar), desa Warnasari, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, dapat
menghemat Rp. 10 milyar setahun. Bila seluruh PLTMH dapat mencapai kapasitas 500 MW,
penghematan biaya sekitar Rp.4,27 triliun dan keuntungan dari CER US$ 6 juta, serta ada
pemasukan kas desa (PADES, Pendapatan Asli Desa) Rp.2 triliun per tahun. Sistem Off-
Grid disarankan untuk digunakan di desa, yaitu sistem pemeliharaan alat/jaringan listrik dan
tagihan listrik dikelola oleh masyarakat / koperasi desa sendiri, agar kemandirian dan
pertumbuhan desa dapat terwujud.
Bila jaringan PLN sudah masuk desa, desa dapat menjual listriknya ke PLN (kalau harga yang
ditawarkan PLN sesuai, dengan melalui proses panjang dan melelahkan). Contoh: PLTMH
Curug Agung yang dibangun th 1991, th 1995 berkompetisi dulu dengan PLN ketika jaringan
listrik PLN masuk desa. Akhirnya th 2000, produk listriknya masuk ke jaringan ke PLN.
Sementara, PLTMHCinta mekar 10 kW, Subang, Jawa Barat, menjual seluruh produk listriknya
ke PLN dengan harga Rp.432,00 per kWh yang telah disepakati warga dan PLN (1 Maret 2011,
PLN mau membeli Rp.800.-/Kwh). PLTMH Kombongan 85 kW, Garut juga masuk jaringan listrik
nasional.
Penjualan listrik ke PLN dan masuk jaringan nasional didasari oleh Kepmen ESDM (Kepmen
ESDM 1122 K/30/MEM/2002) tentang SKEMA “PSK
TERSEBAR” (Pembangkit Skala KecilTeknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber Energi
Terbarukan). Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari PTL menggunakan ET skala
kecil/menengah dan kelebihan tenaga listrik mengacu kepada Permen ESDM No. 31 tahun
2009, dan Pedoman harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dari Koperasi /
Badan Usaha lain mengacu kepada Permen ESDM No.5 th 2009.
Pemkab Banyumas akan membangun PLTMH Kali sasak 4 MW Kec. Cilongok, Banyumas yang
dikelola oleh PT BIJ (Banyumas Investama Jaya) bekerjasama dengan PT IndoPower dengan
dana sebesar Rp.60 milyar. Sebelumnya PLTMH Tapen (1x0,75 MW) sudah dibangun di
Banyumas.
Dalam RIPEBAT (Rencana Induk Pengembangan Energi Baru Terbarukan) 2010-
2025 enamprovinsi memiliki potensi PLTMH seperti Papua (sungai Memberamo, Derewo,
Ballem, Tuuga, Wiriagar/Sun, Kamundan, dan Kladuk) dengan total potensi sekitar 12.725 MW;
Kalimantan Timur (sungai Kerayan, Mentarang, Tugu, Mahakam, Boh, Sembakung, dan Kelai)
dengan total potensi mencapai 6.743 MW. Sementara 4 provinsi lainnya adalah Sulawesi
Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. PLTMH dibangun pula di Pulau Sumba,
NTT.
Perusahaan konsorsium Malaysia membiayai pembangunan PLTMH di Sumatra Barat,
khususnya di Kab. Solok (Lembah Gumanti) via MoU dengan PT PLN sejak awal 2006. Listrik
dari PLTMH tersebut dibeli oleh PT PLN. Potensi PLTMH di Solok adalah Pinang Awam (462
kW), Koto Anau (167 kW), Sumani (625 kW), Balangir (500 kW), Leter W (7.500 kW), Pintu
Kayu (4.000 kW), Liki (2.000 kW), Sangir I (10.000 kW), Sangir II (7.658 kW), Liki Solok (60
kW), Jawi-Jawi (60 kW), dan Lubuk Gadang (103 kW).
Provinsi Sumatra Utara yang berpotensi PLTMH luar biasa, yaitu sekitar 250 MW akan dijadikan
Kiblat PLTMH di Indonesia. Gardu penghubung dibangun di 9 lokasi.
Dua PLTMH dengan kapasitas 2 x 5 MW (Batangtoru-3 Pearaja, Pahae Julu, oleh BALE / PT
Berkah Alam Lestari Energi dan Batangtoru-4 Pearaja oleh IALE / PT Indah Alam Lestari
Energi) akan dibangun di Tapanuli Utara, Sumut atas usaha BUMN dan BUMD dengan luas
area sekitar 35 Ha via kontrak kerjasama selama 25 tahun, perusahaan menyerahkan kedua
proyek ke Pemda setelah 25 tahun.
Lima belas (15) unit PLTMH di beberapa kecamatan di Toraja Utara (6 di kec. Rantebua, 3 di
kec. Rinding Allo, 1 masing-masing di kec. Buntupepasan, Sanggalangin, Sa'dan, Buntao,
Nanggala, dan Sesean Suloara) berhasil dibangun oleh BPMD (Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa) dengan dana berasal dari PDT (Kementrian Pembangunan Desa Tertinggal).
Tahun 2011, kucuran dana dari PDT sebesar Rp.4 miliar juga akan digunakan untuk
membangun PLTMH di 15 lokasi di kec. Baruppu, Buntupepasan, Balusu, Sa'dan, Denpina, dan
Awan Rante Karua dengan memanfaatkan air dari sungai Sa'dan dan Maiting.
PT PLN akan membangun PLTMH Lapopu 2x800 kW, di kec. Wanokaka, Kab. Sumba Barat
yang akan selesai pertengahan 2012.
Potensi hidro di Sumbawa, NTB (Nusa Tenggara Barat) sekitar 67,5 MW. Oleh karena itu, PT
PLN akan membangun 11 PLTMH, yaitu, Banggo, Sumpee, Beh I, Beh II, Beh III, Rea I, Rea II,
Bintang Bano, Rhee I, Rhee II, dan Belo. Potensi lokasi PLTMH NTB: Lombok Utara 10,
Lombok Barat 15, Lombok Tengah 17, Lombok Timur 16, Sumbawa 17, Sumbawa Barat 9,
Dompu 9, dan Bima 5.
PT Aek Simonggo dengan dana berasal dari PGLI 35% (PT Pembangunan Graha Lestari Indah
Tbk) dan Arcadia (Arcadia Energy Trading Pty Ltd.) 65% mengembangkan PLTMH Sei Wampu
di Sumatra Utara yang konstruksinya dimulai Juli 2011 selama 24 bulan.
GELOMBANG AIR LAUT
Metode Energi Listrik Gelombang Air Laut (400 W) karya mahasiswa dan
dosen PoliteknikManufaktur Timah, Bangka Berlitung mendapat hak Paten dari Kementrian
Hukum dan Ham RI, dan biaya hak paten ditanggung Dikti Kemendiknas.
Percobaan PLTGL-SB (Sistem Bandul) Zamrisyaf (pemilik paten No. HAKI P00200200854)
mampu menghasilkan listrik 3 kW dan menerangi 20 rumah nelayan. Bila hanya 20% saja
pantai Selatan Jawa dimanfaatkan untuk PLTGL, maka 6.500 MW dapat diperoleh, dengan
potensi 40 kW per meter lebar gelombang. Daya yang diperoleh ini tidak jauh berbeda dengan
PLTN.Investasi PLTGL-SB setara dengan PLTA. Dengan laut seluas 1 km2, daya listrik
dari PLTGL 20 MW dapat diperoleh.
PLT GRAVITASI
Djoko Pasiro, Pamekasan, Madura, memanfaatkan tenaga Gravitasi bumi yang murni berasal
dari kekuatan alam guna menggerakkan mekanik penarik dinamo generator untuk
menghasilkan listrik. PLT Gravitasi daya kecil, sebesar 2.500 Watt membutuhkan biaya hanya
15 Juta rupiah.
EAL (ENERGI ARUS LAUT)
Arus laut di Indonesia berupa pasang surut yang diakibatkan oleh interaksi bumi, bulan,
matahari, dan arus geostropik karena gaya Coriolis akibat rotasi bumi serta perbedaaan
salinitas, temperatur, dan densitas. Arus pasang surut menyimpan energi hidro-kinetik,
sehingga dapat dikonversikan menjadi daya listrik yang bergantung pada densitas fluida,
penampang aliran, dan kecepatan alirannya. Selat-selat yang menghadap Lautan Hindia dan
Samudra Pasifik teramati memiliki arus yang kuat.
Potensi EAL Indonesia menghasilkan listrik sangat besar, sekitar 5,6-9 TerraWatt (TW). Angka
itu kira-kira 30.000-50.000 kali PLTA Jatiluhur (187 MW). Bappenas mendorong EAL sebagai
sumber EBT yang handal guna memenuhi permintaan masyarakat pesisir 18 ribu pulau di
Indonesia yang tidak terjangkau oleh jaringan listrik nasional. Laju arus pasang-surut di pantai
umumnya kurang dari 1,5 m/detik, kecuali di selat-selat di antara P. Bali, Lombok, dan NTT
dapat mencapai 2,5-3,4m/detik. Arus pasang-surut terkuat tercatat di Selat antara P. Taliabu
dan P. Mangole di kepulauan Sula, Maluku Utara dengan laju 5,0 m/detik.
Tahun 2004, BPPT / BPDP (Balai Pengkajian Dinamika Pantai) membangun purwarupa OWC
(Oscilating Water Column, dinding tegak) pertama di pantai Parang Racuk, Baron, Gunung
Kiduldengan potensi gelombang 19 kW per panjang gelombang. Survei hidroseanografi
menunjukkan bahwa PLTAL (Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut) akan optimal bila
ditempatkan sebelum gelombang pecah atau pada kedalaman 4-11 m. Putaran turbin akan
dicapai antara 300-700 rpm dengan memiliki efisiensi 11%. Tahun 2006, OWC sistem Limpet /
terapung diletakkan berdampingan dengan OWC th 2004, di tempat yang sama.
Tahun 2005: penelitian karakteristik arus laut dilakukan oleh Puslitbang Geologi kelautan
(PPPGL) berkolaborasi dengan Program Studi Oceanografi ITB di selat Lombok dan selat Alas
menggunakan turbin Kobold 300 kW.
Th 2006-2010: penelitian BPPT dilakukan di beberapa selat Nusa Tenggara (NTB dan NTT), di
antaranya S. Lombok, S. Alas, S. Nusa Penida, S. Flores, dan S. Pantar. Selat-selat lainnya
yang diperkirakan memiliki arus laut cukup kuat adalah S. Sape, S. Linta, S. Molo, S. Boleng,
S. Lamakera, dan S. Alor. Bila satu selat dapat dipanen energi sebesar 300 MW dengan asumsi
100 buah turbin masing-masing berdaya 3 MW, maka akan dihasilkan listrik sekitar 3000 MW
untuk 10 selat. Tahun 2009, BPPT menguji purwarupa PLTAL sebesar 2 kW dan tahun 2011
sebesar 10 kW di S. Flores. Purwarupa pertama dibangun PPPGL bersama kelompok T-
files ITB dan PT Dirgantara Indonesia yang diuji di S. Nusa Penida dan mampu menggerakkan
generator listrik5.000 W.
2012-2014: purwarupa skala besar (> 80 kW) dicoba untuk mengembangkannya menjadi skala
komersial. Tahun 2025, PLTAL diharapkan akan mencapai 5% dari sasaran kebijakan energi
25% bauran energi Indonesia.
PANAS BUMI
Potensi energi PLTP: 28.543 MW (28,5 GW), 40% potensi dunia di 265 lokasi, Indonesia
merupakan potensi terbesar di dunia, sehingga mendorong Indonesia untuk dijadikan pusat
pengembangan panas bumi dunia. Potensi itu ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, dan sisanya
tersebar di NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Potensi tersebut dua kali cadangan minyak
bumi Indonesia.
Sejarah pemanfaatan PLTP di Indonesia diawali oleh usulan Van Dijk asal Belanda tahun 1918
untuk membangun PLTP di Kamojang, Jabar. Kamojang menghasilkan uap tahun 1926,
kemudian dari 5 sumur uap hanya satu sumur yang produktif, tetapi tidak lama kemudian mati.
Tahun 1964 PLTP dihidupkan kembali oleh Direktorat Vulkanologi (Bandung), PLN, dan ITB.
Tahun 1971, PLTP Lahendong Sulut, dan PLTP Lempung, Kerinci dikembangkan. Tahun 1972,
pengeboran 6 sumur di Dieng, Jateng, dilakukan, tetapi tak satu pun mengeluarkan uap. Tahun
1974, Pertamina dan PLN mengembangkan PLTP Kamojang 30 MW. Tahun 1977, Selandia
Baru menyumbang NZ$24juta dari kebutuhan NZ$34juta, sisanya ditanggung Indonesia untuk
Kamojang. Tahun 1978, tim Kanada ke Lahendong dan lempung Kerinci. Monoblok Kamojang
diresmikan 27 November. Tahun 1981, Monoblok Dieng diresmikan 14 Mei; Pertamina diberi
wewenang melakukan survei, eksplorasi dan eksploitasi PLTP di Indonesia. Tahun 1982,
Pertamina meneruskan penelitian di Lahendong dan melakukan kontrak dengan UGI (Unocal
Geothermal Indonesia) untuk PLTP di Gunung Salak, Jabar. Tahun 1983, PLTP Kamojang-I 30
MW diresmikan 1 Februari. Tahun 1987, PLTP Kamojang-II dioperasikan. Pertamina, Amoseas
of Indonesia Inc., dan PLN melakukan kerma eksplorasi panas bumi di Gunung Drajat, Jabar.
Tahun 1991, keluar Keppres meleluasakan Pertamina dan kontraktor mengeksplorasi dan
mengeksploitasi panas bumi, dan menjual uap / listrik kepada PLN. Tahun 1994, PLTP Gunung
Drajat-I beroperasi, PLTP Gunung Salak-I dan II beroperasi, dan Pertamina melakukan kontrak
dengan 4 perusahaan swasta. Tahun 1995, Nota kesepahaman dilakukan Pertamina dan PLN
untuk membangun PLTP Lahendong 1x20 MW, Sulut, dan PLTP Sibayak 2 MW, Sumut.
Kapasitas terpasang PLTP Indonesia: 1.189 MW hanya 4%, yaitu di PLTP Kamojang (200 MW)
Jabar, Lahendong-1, 2, dan 3 (3x20 MW) Sulut, Dieng (60 MW) Jateng, Gunung Salak
(375 MW) jabar, Darajat (255 MW) Jabar, Sibayak (2x5 MW) Sumut, dan Wayan Windu (227
MW) Jabar. Kapasitas yang sudah terpasang menempati posisi ketiga dunia setelah Amerika
dan Pilipina. Bila digenjot hingga 4.000 MW bukan tidak mungkin PLTP Indonesia akan
menempati posisi nomor satu dunia. Program percepatan pembangunan pembangkit listrik
10.000 MW tahap II yang komposisi energi mix-nya mengarah ke Panas Bumi itu diharapkan
akan meningkatkan pemanfaatan panas bumi hingga 17% (4.713 MW) pada tahun 2015.
PLTP Ulubelu-1 dan 2 di Lampung dengan kapasitas 2 x 55 MW akan beroperasi th 2012.
Selain itu, PLTP lain yang masuk dalam target pemanfaatan panas bumi adalah PLTP
Lahendong-4 (20 MW) (Sulawesi Utara), PLTP Sarulla 330/3x110 MW (Sumatera Utara), PLTP
Ulumbu (10/4x2,5 MW) di Flores, NTT. PLN melakukan Studi kelayakan untuk PLTP
Hululais (110/2x55 MW) di Bengkulu , PLTP Sungai Penuh (110/2x55 MW) di Jambi, PLTP
Kotamobagu (80/4x20 MW) di Sulut, PLTP Tulehu (20 MW) di Ambon, dan PLTP Sembalun (70
MW), Lombok Timur.
Sayangnya sekitar 70% lokasi PLTP yang potensial berada di kawasan hutan lindung, sehingga
terjadi konflik kepentingan dengan Kementrian Kehutanan, yaitu apakah membangun PLTP
atau mempertahankan kawasan konservasi. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan
langkah-langkah berikut:
1. Revisi PP no. 68 th 1998 Perpu Panas Bumi di kawasan konservasi dan revisi UU No. 5
th 1990.
2. Perlu payung hukum untuk PP No.68 th 1998 agar terjalin kerjasama dan sinergi antara
Kementrian Kehutanan dan Kementrian ESDM
3. Revisi UU No.5 th 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya.
Sinkronisasi regulasi menjadi langkah mendesak guna mempercepat pengembangan energi
panas bumi di Indonesia. Indonesia memerlukan investasi USD30 miliar untuk
mengembangkan PLTP 11.000 MW hingga 2025.
Konsorsium (Medco Geothermal Indonesia, Ormat technology Inc / USA, Kyusu Electric Power
Inc / Jepang, dan Itochu Corp. / Jepang) proyek PLTP Sarulla 330/3x110 MW, di Kab. Tapanuli
Utara dan Selatan, Sumatera Utara, berminat menggarap proyek senilai US$(1,3-1,4) miliar
yang didanai oleh JBIC (Japan Bank for International Corp.) dan ADB (Asian Development
bank) dan beberapa bank komersial. Tarif jual listriknya ke PT PLN sekitar US$0,067/kWh.
PLTP Sarulla-1 110 MW, Sarulla-2 110 MWdan Sarulla-3 110 MW diharapkan beroperasi
komersial pada tahun 2014, 2015, dan 2016. Pihak PT PLN akan mengambil-alih proyek
tersebut akhir tahun 2011 bila konsorsium itu tidak segera membangun PLTP Sarulla.
PT Medco Geothermal Indonesia berencana membangun PLTP Ijen 110/2x55 MW, di Jawa
Timur senilai US$ 400juta pada tahun 2013 dengan lama konstruksi 2,5 tahun.
ADB (Asian Development Bank) mengucurkan dana US$500 juta untuk pengembangan 3 PLTP,
yaitu PLTP Karaha Bodas (2x55 MW) (PGE=Pertamina Geothermal Energy), Garut, Sungai
Penuh (55 MW), Jambi (PGE), dan Mataloko (2x2,5 MW) (PLN) di Ngada, P. Flores, NTT.
Pengembangan PLTP Karaha Bodas di lahan sekitar 40 Ha dilanjutkan kembali setelah
dibatalkan pemerintah (Soeharto) saat krisis ekonomi 1997. Pengoperasian PLTP Karaha
Bodas diharapkan berjalan sekitar tahun 2014. PLTP Sungai Penuh berlokasi di hutan lindung,
sehingga pembangunannya menunggu UU amandemen Panas Bumi, sedangkan PLTP
Mataloko akan beroperasi Mei 2011.
PT PLN (Persero) dan dua pengembang PLTP, Pertamina GE dan PT Westindo Utama Karya,
Maret 2011 menandatangani PPA (Power Purchase Agreement) untuk 6 PLTP (435 MW), yaitu
5 untuk PGE, 1 untuk WUK. PGE mengembangkan PLTP Lumut balai (2x55 MW) di Sumsel,
PLTP Ulubelu-3 dan 4 (2x55 MW) di Tanggamus, Lampung, PLTP Lahendong-5 dan 6 (2x20
MW) di Sulut, PLTP Karaha (1x30 MW), dan PLTP Kamojang -5 (1x30 MW) di Jabar,
sedangkan PT WUK mengembangkan PLTP Atadei (2x2,5 MW) di Lembata, NTT.
BPPT mengembangkan purwarupa PLTP skala kecil 3 MW di Kamojang, Jawa Barat, yang
akan selesai akhir 2011. Proyek ini menggunakan komponan lokal termasuk turbin (gandeng
NTP, Nusantara Turbin Propulsi anak perusahaan IPTN) dan generator (gandeng PT Pindad).
Dana diperoleh dari APBN BPPT Rp 50 milyar. Di sisi lain, BPPT mengkaji PLTP Ulu Ere 25
MW di Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan.
PT Supreme Energy bernegosiasi dengn PT PLN (Persero) guna membangun 2 PLTP di
Sumatera, PLTP Rajabasa 220 MW di Lampung, dan PLTP Muaralabuh 220 MW di Sumatera
Barat yang direncanakan beroperasi tahun 2015 dengan dana investasi US$650 juta per lokasi.
Proyek P LTP Gunung Slamet 220 MW, Jawa tengah, senilai Rp. 6 triliun (US$ 660 juta, 1 MW
membutuhkan investasi US$ 3 juta) siap dibangun Juni 2011 oleh 2 investor, PT Spring Energy
dan PT Tri Energy.
PT PLN akan membangun PLTP Hu'u 20-69 MW Kab. Dompu, dan PLTP Marongeh 5 MW di
Sumbawa, NTB.
Panax Geothermal Ltd . dengan menggandeng PT Bakrie Power berminat untuk
mengembangkan proyek PLTP Sokorja (P. Flores 30 MW) dan PLTP Dairi Prima (Sumut, 25
MW). PT Bakrie Powerberpartisipasi di PLTP Ngebel-Wilis 165 MW , Jawa Timur.
Pemprov Jabar siap melelang PLTP Ciremai 150 MW, di Kab. Kuningan, ke BUMN, BUMD, dan
BUMS.
Cadangan panas bumi baru yang ditemukan adalah Kebar (25 MW) Manokwari, Papua Barat;
Tehoru (75 MW), Banda Baru (75 MW), dan Pohon Batu (50 MW) Maluku Tengah; Kelapa Dua
(25 MW) Maluku Barat; Lili (75 MW), Mapili (50 MW), dan Alu (25 MW) Polewali Mandar,
Sulawesi Barat.
Calon lokasi PLTP yang belum disurvei adalah Sungai Betung/Kab. Kerinci (Jambi), Pesisir
Selatan (Sumbar), Sungai Tenang/Kab. Merangin, (Jambi), Ciseeng (Bogor, Jabar), Lebak
(Banten), Malawa/Kab. Maros, Pangkajene/Kab. Bone, dan Kab Barru (Sulsel), Gunung Dua
dara (Kab. Bitung, Sulut), Gunung Pangrango (Bogor, Jabar).
BIOMASSA
Potensi energi biomassa Indonesia diperkirakan: 49.810 MW (5 0 GW) yang berasal dari
perkiraan produksi 200 juta ton biomassa per tahun dari residu pertanian, kehutanan,
perkebunan dan limbah padat/sampah kota, sementara daya terpasang: hanya 445 MW (th
2005) atau sekitar 0,9 % saja dengan hutan produktif dan perkebunan seluas 23 juta Ha.
Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dan produksi CPO tahun 2011
diperkirakan 22 juta ton, (tahun 2005 masih 13,8 juta ton) dengan potensi biomassa dari residu
minyak kelapa sawit dan 350 pabrik minyak kelapa sawit dalam jumlah besar pula, dalam hal ini
tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sekitar 27,5 juta ton basah (1 ton TBS/Tandan Buah Segar
menghasilkan 200 kg CPO, limbah TKKS 250 kg, dan limbah cair 0,5 m3). Masih ada limbah
sawit lain, seperti pelepah 4%, cangkang 6,5%, serat 13%. Pemerintah melarang membakar
TKKS langsung guna menghindari pencemaran udara, lalu cara lain mengelolanya adalah
dengan ditimbun dalam tanah. Saat ini ada upaya memanfaatkan TKKS sebagai bahan
bakar generator listrik dengan mencacahnya lalu dipres untuk mengurangi kadar airnya,
kemudian diumpankan ke tungku air, uap yang terjadi dipakai menggerakkan turbin hingga
menghasilkan listrik.
Pemanfaatan biomassa untuk energi listrik masih sangat sedikit. Program jangka pendek
Kementrian ESDM meliputi promosi investasi, insentif fiskal dan pajak, kebijakan penetapan
harga energi, penyebarluasan informasi, dan penelitian dan pengembangan.
BPPT dan AIST (National Institute for Advance Industrial Science and Technology) Jepang yang
didukung oleh NEDO (New Energy and Industrial Technology Development Organization)
bekerjasama (via MoU) meneliti, mengembangkan, dan merekayasa teknologi biomassa untuk
pembangkit listrik.
Kerjasama Pemerintah dan Finlandia diteken 14/02/2011 membuahkan dana hibah 4 juta Euro
selama 3 tahun (2011-2014). Pada tahap pertama, program difokuskan kepada pemanfaatan
biomassa berbasis kayu dan limbah pertanian. Propinsi Kalimantan Tengah dan Riau dipilih
Finlandia mengimplementasikan program tersebut.
Pemprov Bangka Belitung merencanakan membangun pembangkit listrik
berbasis biomassa TKKS. Pasokan bahan baku TKKS dari kebun sawit seluas 80.000 Ha akan
menghasilkan 20 MW.
PT Ajiubaya memanfaatkan biomassa di Sampit (Kaltim) dengan kapasitas 4-6 MW. PT Boma
Bisma Indra memanfaatkan gasifikasi biomassa pada mesin diesel (listrik dan mesin giling)
dengan kapasitas 18 kW di beberapa daerah di Kalimantan, Sumatra, dan Sulut.
Limbah Jagung (+sekam padi)
Provinsi Gorontalo Mengembangkan PLBM (Biomassa) limbah jagung bekerjasama
dengan LIG Ensulting Co Ltd (Korea Selatan) dengan kapasitas 12 MW. Tahun 2009, areal
jagung seluas 105,479 Ha menghasilkan produksi 569.110 ton dan limbah berupa tongkol,
batang, dan daun sebanyak 2,2 juta ton. Sementara, padi seluas 44.829 Ha menghasilkan
limbah sekam padi 51.385 ton. PLBM tersebut membutuhkan limbah jagung dan sekam padi
350 ton/hari. Studi kelayakannya telah selesai Januari 2011.
Jerami+sekam padi
Per 1 Ha sawah menghasilkan kira-kira 5 ton jerami dan 1 ton sekam. Artinya, 1 MW listrik
dihasilkan dari 1500 Ha sawah. Sementara, luas lahan padi Indonesia sekitar 12,87 juta Ha (th
2010) yang berarti energi listrik setidaknya 8.600 MW dapat dipetik dari jerami+sekam padi,
bila panen dilaksanakan setahun sekali (panen umumnya dilaksanakan dua kali setahun).
PT Xoma Power Nusantara menggandeng pengembang listrik swasta dari Rusia (JSC
PromSvyaz Automatika) dan Babcock and Brown (Australia, penyandang dana sekitar Rp.220
miliar) akan membangun PLBM dari jerami+sekam berkapasitas 10-22 MW (tergantung
ketersediaan Jerami+sekam) di Serdang Bedagai (Sergai), Sumut. Kalori jerami+sekam sekitar
3.180 kalori/kg sedangkan batu bara sekitar 5.000-6.000 kalori/kg. Listrik sebesar 10 MW
memerlukan 80.000 ton jerami+sekam.
Gas TPA
Sampah diolah dengan 5 cara: 1) Ball Press, sampah dipres, padatan dibungkus plastik, untuk
dijadikan penahan erosi, air yang keluar dijadikan pupuk; 2) Incinerator skala besar, 900-1800
ton dibakar; 3) GALFAD (Gasification, Landfill, an Aerobic Digestion), gas methan yang timbul di
TPA dimanfaatkan untuk menjadi energi listrik. 1 MW setara dengan 30-50 ton sampah; 4) Bio
Pupuk: sampah terpilih dihancurkan dengan tekanan hingga menjadi bubur, lalu diberi mikroba
dalam bak cerna tanpa oksigen; 5) Limbah menjadi Energi: sampah digunakan sebagai bahan
baku PLBM. 1500-1800 ton/hari akan menghasilkan listrik 20 MW.
Sampah di kota besar Indonesia sungguh besar jumlahnya. Tahun 2006 Jakarta menghasilkan
sampah 25.700 m3/hari, Bandung 7.500 m3/hari, Surabaya 8.700 m3/hari (1.300 ton/hari,
2009), dan Semarang 4.651 m3/hari. Dari sampah itu, limbah organik saja yang akan masuk ke
TPA, sedangkan lainnya (kertas, plastik, logam, gelas, dll) didaur-ulang. Setiap 500 ton/hari
sampah yang diolah setara dengan daya listrik 5-6 MW.
Pemerintah Kota Bandung akan merealisasikan PLTSa (Sampah) di lahan 20 Ha yang akan
menelan biaya sekitar Rp. 1,5 triliun.
Pemerintah kota Surabaya via PT Navigat Energy Indonesia akan merealisasikan
PLTSa 10 MW guna menerangi 100.000 rumah.
Pemkot Denpasar, Pemkab Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA) bersama dengan
PTNOEI (Navigat Organic Energy Indonesia) membangun IPST (Instalasi Pengolahan Sampah
Terpadu) guna mengubah sampah menjadi energi listrik 9-10 MW. IPST dibangun di TPA
Suwung, Denpasar di atas tanah seluas 10 Ha (tersedia 40 Ha). Jumlah sampah dari kawasan
SARBAGITA yang diperkirakan sekitar 800 ton/hari diubah menjadi energi listrik menggunakan
teknologi GALFAD.
PLTSa di Bantar Gebang (proyek 700 milyar) di Bekasi baru memproduksi listrik 2-4 MW
dengan teknologi GALFAD dan kapasitas itu akan terus dinaikkan hingga 26 MW pada tahun
2013 guna memanfaatkan 6.000 ton sampah/hari dari Jakarta, dan 1.000 ton/hari dari Bekasi.
Di samping itu, pabrik kompos dari sampah organik telah dibangun dan telah mencapai 60
ton/hari dengan target 300 ton/hari pada 2013. Capaian PLTSa tersebut sempat disampaikan di
Pertemuan Penanganan Perubahan Iklim C40 di Sao Paulo, Brasil, 1-3 Juni 2011. Kesuksesan
di Bekasi itu akan ditularkan pula ke Ciangir, Legok Tangerang, dan Marunda, Jakarta
Utara. IPST Ciangir berada di atas lahan 50 Ha dan 48 Ha lainnya sebagai lahan hijau milik
Pemerintah DKI Jakarta yang akan menerima 1.500 ton sampah/hari dari Jakarta Barat dan
1.000 ton/hari dari Tangerang, sedangkan IPST Marunda dibangun di atas lahan 76 Ha di
kecamatan Cilincing, Jakarta Utara yang disiapkan untuk menerima sampah dari Jakarta Utara
dengan kapasitas desain perolehan energi listrik sebesar 10 MW.
Sisa sampah organik di Bantar Gebang diubah menjadi pupuk organik yang dikelola oleh PT
Gondang Tua Jaya dengan kapasitas produksi 350 ton/hari dan PT Mitra Patriot milik Perusda
Bekasi (50 ton/hari) yang potensinya dapat ditingkatkan menjadi 2.000 ton/hari. Harga pupuk
organik dipatok Rp.1.250,-/kg.
PT Gikoko Kogyo Indonesia mengembangkan PLT gas methan dari TPA di Makasar, Bekasi,
Pontianak, dan Palembang.
BIOGAS (gas Methan)
Limbah ternak/manusia dan buah busuk
Peluang pengembangan biogas Indonesia sangat menjanjikan. Th 2009, Indonesia
memiliki 13 juta sapi ternak dan perah, 28 juta kambing/domba/kerbau dan 238 juta penduduk
Indonesia penghasil biogas yang amat besar. Di sisi lain, banyak sekali buah dan sayur mayur
busuk di pasar tradisional Indonesia yang juga berpotensi untuk dijadikan biogas dan
menghasilkan listrik.
Potensi: 1 juta unit (bak cerna = digester). Tiga ratus unit yang memanfaatkan kotoran sapi
akan dibangun di DME Haurngombong, kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Provinsi
Jawa Barat. Energi biogas di sini baru dimanfaatkan 40% yang membangkitkan 130 instalasi,
sedangkan satu instalasi melayani 3-4 KK.
Koperasi SAE Pujon (beranggotakan 7000 orang peternak sapi) yang bermitra dengan HIVOS
(LSM Belanda), Kabupaten Malang siap membangun 2000 unit reaktor Biogas Rumah Tangga
(BIRU) hingga tahun 2012. Saat ini 193 unit BIRU sudah dibangun, 138 unit sudah menyala
dengan baik. Akhir tahun 2012 ditargetkan 8000 unit, sedangkan Desember 2010 baru
mencapai 1.184 unit. HIVOS juga melirik P. Sumba sebagai program EBT masa datang.
Pemerintah dan HIVOS juga membidik NTB, Bali (Gianyar, Bangli, Buleleng, Tabanan, Badung,
Klungkung), Sulawasi selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, JawaTimur, dan Yogyakarta untuk
mencapai target itu.
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, provinsi DIY, memanfaatkan biogas dari limbah ternak dan
limbah pabrik tahu dengan membangun bak cerna 136 unit yang dikembangkan sejak tahun
2008. Penduduk Kulon Progo juga telah membangun 200 unit yang tersebar di Kabupaten
Kulon Progo. Daerah yang dikenai Pilot Project adalah Lendah, Temon, Wates, Pengawasih,
dan Galur. Tahun 2011 pemerintah memberikan dana Rp.388juta untuk membangun 21 unit bak
cerna bagi keluarga miskin yang memiliki sapi dan kerbau. Setiap unit memerlukan dana
Rp.18juta untuk 3 KK yang membutuhkan kotoran 3-4 ekor sapi. Daerah lain di Kulon Progo
yang juga mengembangkan biogas hingga mencapai 160 unit adalah desa Pendoworejo,
Girimulyo.
UGM bekerjasama dengan pemerintah Swedia mengembangkan teknologi pengelolaan
limbahbuah busuk menjadi pembangkit listrik biogas di pasar buah Gemah Ripah Gamping,
Sleman, DIY. Buah busuk sekitar 4 ton/hari difermentasi dalam 2 bak cerna (D = 8 m dan t = 8
m) menghasilkan listrik sekitar 548 kWh/hari untuk 500 KK (termasuk penerangan jalan dan
pasar Gemah Ripah) dengan dana 1,6 milyar.
Rumput laut
Jepang memanfaatkan rumput laut Ulva dan Laminaria sebagai penghasil biogas. Rumput laut
jenis lain seperti Padina, Gracilia, dan Sargassum bila difermentasi anaerob menghasilkan gas
methan 19%.
BB NABATI
Tahun 2011, PLN melakukan uji-coba penggunaan BBN kepada 3 PLTD (diesel) di 3 provinsi,
yaitu PLTD Sudirman di Kalbar, PLTD Petung di Kaltim, dan PLTD Kuanino di NTT.
Potensi BBN Indonesia: sangat besar, bervariasi dan tersedia cukup melimpah seperti kelapa,
kelapa sawit, jarak pagar, ubi/singkong, sorghum, tetes tebu, tebu, aren, nipah, alga, dan
rumput laut.
Kapasitas: Bio-diesel: 2,3 juta kL; bio-ethanol: 192 ribu kL; bio-oil: 37 ribu kL.
BIODIESEL (SNI untuk biodiesel: 04-7182-2006)
Sumber: minyak kelapa / cocodiesel, CPO / minyak Sawit, Jarak Pagar / jatropha Curcas,
Nyamplung / Calophyllum Inophyllum / Alga.
Kebutuhan solar yang harus diganti oleh biodiesel sekitar 26 juta kL per tahun.
Minyak Kelapa
Produksi minyak kelapa Indonesia (tahun 2003) sekitar 1,23 juta ton/tahun, sedangkan
permintaan dunia sekitar 3,37 juta ton/tahun. BPPI (Badan Penelitian dan Pengembangan
Industri) Dep. Perindustrian tahun 2005 menguji-cobakan produksi cocodiesel di 3 lokasi,
Manado (Sulut), Pameung Peuk (Garut Selatan, Jabar), Banyuwangi (Jatim). Kelebihan
cocodiesel ialah ia dapat langsung digunakan 100% tanpa campuran solar pada mesin diesel
pabrik/industri, tetapi dicampur 70 % solar pada kendaraan bermotor (B30), karena cocodiesel
pada suhu di bawah 25oC memadat dan dapat menyumbat filter engine dan mengendap pada
injektor. BALITKA (Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain) Manado menyarankan komposisi
baik adalah cocodiesel 20% dan 80 % solar (B20).
Minyak Sawit
Kebun sawit sekitar 5,5 juta Ha. Produksi minyak sawit Indonesia sekitar 16,2 juta ton/tahun,
sedangkan 10 juta ton/th di ekspor. Sisanya untuk minyak makan dalam negeri dan sebagian
dijadikan biodiesel. Pasar luar negeri menginginkan biodiesel Indonesia guna memenuhi BB
transportasi dan pembangkit listrik mereka, dan sebagian diubah pula jadi minyak makan.
Harga CPO Indonesia berkisar US$600-700/ton. Pertamina menjualnya dalam bentuk biosolar.
Ada 134SPBU yang menjual biosolar di Jakarta, dan 5 SPBU di Jawa Timur. Hingga saat ini
harga biodiesel sawit di dalam negeri masih sekitar Rp 4.600 per liter, di atas harga solar
bersubsidi yang Rp 4.300 per liter. Oleh karena terjadi benturan penggunaan CPO sebagai
bahan baku minyak makan atau biodiesel, dan harga yang masih relatif tinggi, maka jarak
pagar dilirik sebagai pengganti biodiesel sawit.
Jarak pagar
jarak pagar dikembangkan untuk membangun industri biofuel nasional, karena harga biodiesel
minyak jarak jauh lebih murah ketimbang biodiesel sawit maupun bioethanol dari tebu. Hingga
saat ini harga crude jatropha oil (CJO) sangat murah, hanya Rp2.400 per liter. Perlu satu
langkah proses lagi menjadi biodiesel yang harga per liternya masih lebih murah sebagai
pengganti BBM residu (nonsubsidi) yang harganya sekitar Rp4.800 per liter.
Di sisi lain, petani kurang tertarik menanam jarak pagar, karena biji jarak hanya dipatok
pemesan sebesar Rp.1000,-/kg, sedangkan permintaan petani sekitar Rp.2000,-/kg. PT Alegria
Indonesia bekerjasama dengan KPRI Budikarti mendorong petani di Pasuruan (Jatim) untuk
menanam pohon jarak dengan harapan biji jarak akan dibeli dengan harga Rp.1200,-/kg. Saat
ini lahan jarak di Pasuruan seluas 1350 Ha dan akan terus dikembangkan hingga 30.000 Ha.
RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) menanami lahannya 2.400 Ha dengan jarak pagar yang
hasilnya akan digunakan sendiri. Lahan kritis Indonesia seluas 77 juta Ha (2008). PT Alegria
Indonesia, Juni 2010, menerima LoI dari Industri otomotif Jepang Mitsubishi, Asahi Sangyo
Kaisha, yang meminta pasokan 100 ribu ton CJO/bulan. Tiga perusahaan Jepang
lainnya, Tokyo Electric Power, Kanshai Electric Power, dan Okinawa Electric Power juga pesan.
Potensi jarak pagar NTB; 622.500 Ha.
Produsen biodiesel: PT Eterindo W (0,24 juta ton/th), PT Sumi Asih (0,1 juta ton/th), Wilmar
Bioenergy (0,7 juta ton/th), PT Bakrie RB (0,15 juta ton/th), PT Musim Mas (0,3 juta ton/th),
Dharmex (0,1 juta ton/th), dan produsen menengah-kecil lainnya adalah Platinum Serang (20
ribu kL/th), Sweden Bioenergy NTT (350 ribu kL/th), PT Ganesha Energy (4 ribu ton/th), PT
Energi AI, PT Indo Biofuels Energy (200 ribu kL/th), BPPT, Lemigas, RAP, dan beberapa BUMN
(Pertamina, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I, II, III (6.000 ton/th), IV (2.400 ton/th), V, VI,
VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII, XIV, dan RNI).
Nyamplung (biodiesel / biokerosin / biofuel)
Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) sebagai BBN lebih unggul ketimbang jarak pagar,
rendemennya 2 kali lebih banyak (74%), kualitas lebih bagus, budidaya lebih mudah,
produktivitas lebih tinggi (nyamplung: 20 ton/Ha; jarakpagar: 5 ton/Ha). DME Sumber
Makmur Desa Buluagung, Banyuwangi, provinsi Jawa Timur memproduksi 250 liter/hari
biodiesel nyamplung dari 1 ton nyamplung. Minyak nyamplung juga baik digunakan
sebagai biokerosin (pengganti minyak tanah, tetapi daya kapilernya lebih rendah, sehingga
perlu sumbu kompor lebih pendek). Sebaran nyamplung di seluruh pantai Indonesia
sekitar 480 ribu Ha, dan 60% nya di kawasan hutan. Kementerian Kehutanan
menyediakan 3 juta bibit untuk ditanam di pesisir pantai seluas 3.000 Ha, salah satunya
ditanam di pesisir pantai Cilacap seluas 350 Ha pada tahun 2007. Perusahaanyang
mengembangkan biji nyamplung adalah PT Tracon Industry dan PT Nabati Sumber Energi.
C. Jonathan, H. Tjokrobudiyanto, dan A. Gunawan mengusung rancangan pabrik PT Calofuel
Indo Persada berupa biji nyamplung sebagai bahan energi terbarukan dalam Lomba Rancang
Pabrik Tingkat Nasional (LRPTN) XII di ITB tahun 2011. Proses olah biji nyamplung menjadi
biodiesel disebut proses Saka-Dadan (methanol superkritik) tanpa katalis melalui 2 tahap
reaksi, yaitu hidrolisis dan esterifikasi pada suhu 270 oC dan tekanan 10 MPa selama 20 menit.
Proses hidrolisis trigliserida (minyak nabati) menghasilkan asam lemak bebas, gliserol, dan air,
kemudian setelah penambahan methanol diteruskan ke proses esterifikasi guna menghasilkan
biodiesel berupa metil ester, air dan sisa methanol. Rancangan mereka memerlukan biji
nyamplung 12.489,74 kg/jam dan methanol 441,48 kg/jam, yang menghasilkan biodiesel 4.186
kg/jam, gliserol (97,2 % massa) 434,24 kg/jam, resin (untuk industri Farmasi) 807,97 kg/jam.
Biaya investasi + peralatan diperkirakan Rp. 99 + 178 miliar, waktu bangun pabrik 2 tahun,
umur ekonomis pabrik 20 tahun. Harga bahan baku: Rp1.500,-/kg, Biodiesel Rp 6.500,-/kg, dan
gliserol Rp.4000,-/liter. Lokasi pabrik diperkirakan di kawasan industri Kariangau, Balikpapan
Barat, Balikpapan, Kaltim, dekat sumber bahan baku (21.700 Ha luar hutan + 10.100 Ha dalam
hutan) dan pasar. Satu Ha nyamplung menghasilkan 20 ton biji/tahun dengan kandungan
minyak 40-73%.
Alga (Microalgae, biodiesel, air laut)
Masyarakat mengenal Alga sebagai lumut/ganggang yang bersel banyak seperti di kolam ikan
atau kolam renang. Alga yang menghasilkan minyak adalah bersel satu, tak berakar, tak
berdaun, berkhlorofil, terutama yang hidup di laut. Pembiayaan budi-daya alga memang lebih
mahal (teknologi tinggi), tetapi menghasilkan minyak lebih banyak. Jika faktor kering 50%,
maka 5 kg alga basah dapat menghasilkan 2,5 kg sel alga, dan bila faktor lipida 40%, maka
akan diperoleh 1 liter biofuel. Biofuel alga merupakan B100, langsung dapat dipakai sebagai
bahan bakar tanpa campuran. Spesies Euchema dan Gracilaria pada lahan 1 Ha menghasilkan
58.700 liter biodiesel/th (dengan asumsi mengandung minyak 30%), sedangkan kelapa sawit
hanya 5.900 liter/th.
Alga memerlukan nutrisi (pupuk NPK, ZA, dll), gas CO2 (2,88 mt per 1 mt alga), dan matahari.
Pengeluaran minyak dari alga dengan teknik pengepresan, ekstraksi dengan heksana, dan
ekstraksi ultrasonik.
ExxonMobil membuka pintu kerjasama riset bagi Indonesia. Lemigas melakukan riset sejak th
1980 yang semula akan memungut CO2 dari blok Natuna, tetapi berpindah arah ke alga air
tawar.
PT Pengembangan Alga Indonesia (PPAI) melakukan produksi dan riset pula di Indonesia. ITB
membiakkan microalgae dengan teknik ultrafiltrasi, PT Rekayasa Industri mengembangkan
bioreaktor microalgae, dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan mencari
spesies microalgaeterbaik guna menghasilkan biofuel yang optimal.
Alga jenis Gelidium sp dipilih oleh kerma Indonesia dan Kores Selatan untuk menghasilkan
BBN biodiesel, karena tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. Indonesia sebagai tempat
budidaya gelidium sp dan Korea Selatan (KITECH = Korea Institute of Industrial Technology)
siap menerapkan teknologi biodiesel dengan biaya produksi 1-2 US$/liter. Budidaya gelidium
diupayakan di perairan Lombok hingga Papua, Maluku seluas 20.000 Ha, dan Belitung 10.000
Ha.
BIO-OIL
PLN mulai menggunakan Bio-oil (pure plant oil = PPO) dari minyak sawit untuk menyalakan 114
pembangkit listrik skala kecil dan menengah, seperti proyek percontohan di Lampung (11 MW)
dan di Nusa Penida (1,5 MW), Bali. Bahan bakarnya adalah campuran 80% PPO dan 20%
Diesel.
BIOETHANOL (SNI: DT 27-00010-2006)
Sepuluh pabrik ethanol siap memproduksi Gasohol (10% ethanol + 90% premium) 2 di Jatim, 1
di Jateng, 1 di DIY, 2 di Jabar, 3 di Sumatera, 1 di Sulsel.
Singkong/ubi kayu/Ketela Pohon/Manihot Utilissima
KNMI (Komisi Nasional Masyarakat Indonesia) bekerjasama dengan PT Energi Karya Madani
menemukan pengganti bahan bakar premium yang disebut Biopremium yang ramah lingkungan
dengan bahan dasar bioethanol (kadar ethanol 96-99 %) yang berasal dari proses fermentasi
singkong. Satu liter ethanol perlu 6 kg singkong. Biopremium (bensin premium + bioethanol 5%)
dijual dengan harga minimal Rp.3.400,-/liter. Uji-coba pada beberapa kendaraan (Kijang super
1995, Avanza, dll.) (Jakarta-Surabaya pp) dengan variasi bahan bakar premium dan bioethanol
(kadar 100%, 75%, 50%) telah sukses dilakukan.
ICMI Orwil Jawa Barat mendirikan pabrik bioethanol (90-94%) berbahan baku singkong 1,5
ton/hari di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, yang pengoperasiannya sejak
Maret 2009 dengan kapasitas 200 liter/hari. Harga per liter bioethanol dipatok Rp.10 ribu dari
biaya produksi Rp 7 ribu.
Pabrik bioethanol di sentra singkong terbesar Indonesia, Lampung, adalah
PT Medco EthanolLampung (180 kL/tahun untuk ekspor), PT Madusari Lampung Indah
(50 ML/tahun, dari Singkong+Tebu), PT Indonesia Ethanol Industry (50 ML/tahun).
Sri Nurhatika (Ika) Dosen Biologi ITS dan timnya mengenalkan bioethanol dari singkong
raksasa/telo genderuwo/limbah pabrik tepung tapioka beserta kompornya. Kompor aluminium
diproduksi bersama Koperasi Manunggal Sejahtera. Ika + tim mengenalkan produknya kepada
pembatik di Jawa.
Limbah Biomassa
BPPT (PTPSE = Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi) dan MHI (Mitsubishi
Heavy Industries Ltd) bekerjasama memanfaatkan TKKS sebagai bahan baku (lignosellulose
bioethanol) untuk memproduksi bioethanol. Proses dari TKKS menjadi Saccharide
liquid menggunakan teknik hydrothermal dilakukan oleh MHI, kemudian cairan yang dihasilkan
difermentasi dan dijadikan ethanol oleh B2TP (Balai Besar Teknologi Pati).
LIPI (Kimia Terapan) dan pemerintah Korea Selatan bekerjasama melakukan
penelitianpengolahan sampah organik menjadi bioethanol via fermentasi. Teknologi yang
ditemukan mampu mengolah 80 kg sampah menjadi 10 liter bioethanol dengan tingkat
kemurnian 99,5%. Korsel memberikan dana hibah US$3 juta, dan LIPI memberikan dana
pendamping US$ 600 ribu. Stasiun percontohan Laboratorium Penelitian Energi, Lingkungan
dan Bahan Kimia Alami akan dibangun di Serpong yang akan berproduksi pada tahun 2012.
Limbah Buah (Salak)
Mahasiswa UGM Yogyakarta mengembangkan kompor berbahan bakar bioethanol dari limbah
buah salak yang cacat atau busuk. Dusun Ledoknongko, Kec. Turi, Kab. Sleman, DIY, adalah
sentra penghasil salak dengan limbah salak sekitar 1-3 ton/bulan. Satu liter bioethanol diperoleh
dari 10 kg limbah salak melalui proses fermentasi selama sepekan dengan menambah ragi dan
urea, kemudian cairan yang dihasilkan dikenai proses distilasi pada temperatur 70oC.
Sorghum
Pengembangan Sorghum / canthel (Jawa) di Indonesia masih belum masuk skala komersial.
DesaLegundi adalah salah satu lokasi DME bioethanol sorghum. Pabrik bioethanol sorghum
yang produk bioethanolnya akan menggantikan minyak tanah dibangun dengan kapasitas 400
liter /hari yang didukung penanaman sorghum manis seluas 15 Ha. Masyarakat sekitar
mendapatkan kompor bioethanol 300 unit. Limbah padat perasan batang sorghum dijadikan
kompos dan sebagian untuk pakan ternak.
PT BLUE (Banyu Lancar Unggul Engineering) Indonesia membudidayakan 15 varietas bibit
unggul Sorghum dari BATAN di Balikpapan, Kaltim, yang disebarkan ke masyarakat dengan
pola inti plasma yang hasil panennya akan dijamin pembeliannya oleh PT BI. Satu liter
bioethanol sorghum memerlukan batang 16-20 kg, atau bila dari biji sorghum perlu 2,5 kg biji
(dengan proses kimia yang lebih panjang).
Tetes Tebu/Tebu
Produk tetes seluruh pabrik gula di Indonesia sekitar 1,4 juta ton/th, digunakan untuk industri
bioethanol hanya 600 ton/th, sisanya diambil industri MSG/moto + industri pakan ternak (600),
dan diekspor (200). Bila konversi tetes 600 ton/th itu ke bioethanol 4:1, maka produksi
bioethanol masih di bawah rencana pemerintah 194 ribu kL. Produsen: PT Molindo Raya
(Jatim) 70 ribu kL/tahun.
PTPN XI bekerjasama dengan Jepang (NEDO) membangun pabrik bioethanol tetes di samping
pabrik gula Mojokerto dengan kapasitas 30 ML per tahun yang akan berproduksi tahun 2013.
Medco akan membangun pabrik bioethanol di Papua dengan bahan baku tebu. Tanah seluas
65.000 Ha (dari total 200.000 Ha) telah dialokasikan di Papua Selatan.
Aren (Arenga Pinnata)
Sekitar 60% pohon aren dunia ada di Indonesia (Sulawesi, Maluku, Sumatera, Papua, Jawa,
Kalimantan, dan daerah lainnya) dengan perkiraan seluas 60.482 Ha. Satu pohon
menghasilkan nira 15-20 liter/hari, diproses menjadi satu liter bioethanol 99.5 %, atau
sekitar 36.000liter/Ha/tahun (pohon aren produktif disadap selama 6-8 tahun, baru dapat
disadap setelah berumur 5 tahun). di Sulut saja hanya ada 2942 Ha (th 2004), terdapat 300-400
pohon per Ha. Pabrik yang diketahui memproduksi bioethanol dari aren adalah Kreatif Energi
Indonesia dan PTBLUE Indonesia. Pacitan menyiapkan areal kebun aren hingga 10.000 Ha
guna mengakomodasi 4 juta pohon aren di daerah aliran sungai (DAS) Girindulu, sekitar
kecamatan Bandar, Hawangan, Tegalombo, Arjosari, dan Tulakan. Kabupaten Hulu Sungai
Tengah (HST), Kalimantan Selatan juga sedang menyiapkan kebun aren seluas 668 Ha.
Investor yang tertarik: PT Halmahera Engineering. PT Molindo Raya Industrial, Sugar Crop
Company (SGC), PT Tirtamas Majutama. Investor Canada, Amerika, dan Brazil juga berminat
untuk mendanai sekaligus membeli bioethanol aren Indonesia. Dana sekitar US$ 17 juta
diperlukan untuk membangun pabrik bioethanol dengan kapasitas 500 ton/hari.
Nipah (Nypa Fruticans)
Salah satu komoditas penghasil bioenergi non-pangan adalah tanaman nipah yang cukup
melimpah di Kalimantan Barat, dan dapat dijadikan bahan baku pembuatan bioethanol. Kelapa
Nipah tumbuh subur di daerah pasang surut (hutan mangrove/bakau), rawa-rawa, di pesisir
pantai atau muara sungai berair payau. Di Indonesia, luas daerah tanaman nipah sekitar 10%
dari 7 juta Ha daerah pasang-surut, yaitu 700.000 Ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Jawa Sulawesi, Maluku, dan Irian jaya. Nipah adalah spesies utama penyusun hutan bakau
dengan komposisi 30%. Panjang tangkai tandan bunga sekitar 100-170 cm yang dapat
disadap untuk diambil niranya. kadar gula (sucrose) berkisar antara 15-17%, dan setiap tandan
bunga menghasilkan 0,5 liter nira per hari selama 4-5 bulan, atau 75 liter per tahun. Bila jumlah
pohon nipah efektif 3000 pohon per Ha, dan 40% saja yang menghasilkan tandan bunga, maka
nira yang dihasilkan adalah 0,4 x 3000 x 75 liter/tahun atau 90.000 L/Ha/Tahun. Sementara nira
yang dapat diubah menjadi ethanol sekitar 7% (atau lebih), atau 90.000 x 0,07 sebesar 6300
liter/Ha/tahun atau sekitar 4,4 juta kL/tahun bioethanol, bahkan diberitakan mampu
menghasilkan ethanol hingga20.000 liter/Ha yang lebih tinggi 2-3 kal i dibanding menggunakan
bahan baku tebu. Struktur buah mirip buah kelapa yang dalam satu tandan dapat mencapai 30-
50 butir. Bila buah masak akan gugur ke air, bergerak mengikuti arus air dan tersangkut di
tempat tumbuhnya, dan tumbuh menjadi kecambah dan pohon baru.
Rumput Laut (Macroalgae, bioethanol / biofuel)
Rumput laut banyak mengandung aneka protein dan selulosa, sehingga sangat mungkin untuk
dibuat bioethanol. Spesies rumput laut terpilih yang cocok untuk dibuat bioethanol
adalah Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa, karena mengandung selulosa tinggi yang
dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan difermentasi menjadi bioethanol. Kelebihan rumput laut:
1) Lahan budidaya di laut yang saat ini dimanfaatkan baru seluas 222.180 Ha, hanya 20% dari
1.110.900 Ha tersedia di perairan Indonesia; 2) Waktu budidaya hanya 1,5-2 bulan; 3)
menyerap gas CO2 7 kali lebih besar dari kayu; 4) Lebih murah, dapat dipanen 6 kali
setahun (100-125ton/th/Ha). Kebun bibit disediakan di Lampung, DKI jakarta,
Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTT, NTB, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera,
Maluku, dan Papua.
Norwegia memanfaatkan rumput laut Laminaria sebagai penghasil bioethanol.
Alga (Microalgae, air tawar / payau, bioethanol)
Alga Spyrogyra yang berkarbohidrat tinggi telah diteliti oleh mahasiswa ITS Surabaya untuk
mendapatkan bioethanol. Satu liter bioethanol diperoleh dari 6 kg singkong, dan hanya 0,67 kg
dari alga spyrogyra.
Jerami Padi
Produksi jerami Indonesia sangat besar. Bila 1 ton beras setara dengan 1 ton jerami, dan
produksi beras tahun 2011 diperkirakan 37,8 juta ton maka produksi jerami per tahun sekitar
37,8 juta ton. Jerami mengandung hemiselulosa (27,5%), selulosa (39%), danosa (39%), dan
lignin (12%) yang dapat diubah menjadi bioethanol via fermentasi. Bila 1 kg jerami
menghasilkan 0,2 L bioethanol, maka produk bioethanol Indonesia kira-kira 7,56 juta kL/tahun.
Sementara kebutuhan premium (Jan 2011) tercatat sekitar 22,1 juta kL/tahun, maka
sumbangan bioethanol dari jerami terhadap premium sekitar 34,2%.
Sagu (Metroxylon Sagu Rottb.)
Lahan sagu Indonesia sekitar 1,2 juta Ha (budidaya 148.000 Ha). Sagu sangat berpotensi
sebagai bahan baku ethanol dengan kadar karbohidrat 82-85%. Dari Satu ton sagu, dapat
diperoleh 550 liter bioethanol melalui proses hidrolisis, fermentasi, destilasi, dan dehidrasi.
Sagu Meranti (dari Kepulauan Meranti, Riau, produsen sagu terbesar di Indonesia 440.309
ton dari areal 44.657 Ha / 2006, 2,98% luas tanaman sagu nasional) dinobatkan menjadi pusat
pengembangan Sagu nasional. Tepung sagu Meranti dikirim ke Cirebon 400 ribu ton/bulan guna
diolah menjadi penganan dari sagu, bahan kosmetik, kesehatan, dan lainnya. Pemanfaatan
sagu lainnya adalah bahan plastik alami, sorbitol, sirup, dll.
Maluku memiliki lahan sagu seluas 31.000 Ha dan 3,1 juta pohon sagu dengan produksi 25
ton/Ha/tahun yang tersebar di 7 kabupaten dengan masa panen 10 tahun setelah ditanam.
Produktepung sagu basah dari Maluku dikirim ke Cirebon.
Tiga perusahaan domestik PT National Timber (10 ribu Ha), PT Nusa Ethanolasia (50 ribu Ha),
dan PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ Agri) (50 ribu Ha di Kab. Sorong Selatan, Papua)
membangun perkebunan sagu di Riau dan Papua Barat untuk memenuhi pasokan bahan baku
pabrik bioethanol sagu. ANJ Agri berencana membangun pabrik pengolahan sagu dengan
investasi US$20 juta di Sorong Selatan dengan kapasitas produksi 3.000 ton sagu/bulan.
PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) via anak perusahaannya PT Sampoerna Bio Fuels membeli
saham 95% PT National Sago Prima (NSP) seharga US$12juta guna menggarap lahan
sagu sekaligus menjadi raja sagu di Indonesia. Proyek pertama Sampoerna Agro adalah
garapan lahan seluas 22.000 Ha di Selat Panjang, Riau yang telah ditanami sagu seluas 10.000
Ha. Lahan sagu kedua terletak di Papua seluas 51.000 Ha yang telah ditanami sagu secara
alami. Lahan ketiga terletak di Sambas, Kalimantan Barat seluas 15.000 Ha. Sampoerna masih
mengincar lahan seluas 6.000 Ha di Lingga, Riau. Pembangunan pabrik bioethanol
dianggarkan US$8juta dengan bahan baku 100 ton sagu/hari dan dana replanting (tanam
kembali) sekitar US$5juta. NSP akan membangun pabrik sagu di distrik Sentani, Kab.
Jayapura, Papua.
Saat ini Indonesia penyumbang 55% sagu dunia (30% berada di Papua), kemudian disusul oleh
Papua Nugini 20%, Malaysia 20%, dan lain-lain 5%.
Karbohidrat sagu lebih banyak dibanding tanaman lainnya. Satu Ha lahan tapioka
menghasilkan pati 5,5 ton/th, kentang 2,5 ton/th, jagung 5,5 ton/th, beras 6 ton/th, dan sagu 15-
25 ton/th.
Limbah/ampas sagu dapat dibuat menjadi briket arang dengan teknik ampas sagu dikeringkan
dan dibakar terbatas hingga jadi serbuk arang, dicampur dengan cairan tapioka sebagi perekat,
dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Finlandia melirik limbah pengolahan tual sagu berupa
kulit batang sagu (uyung) yang dapat dijadikan bahan bakar bioenergi pengganti minyak tanah
atau dibuat pelet pencampur batubara untuk keperluan ekspor ke Eropa. Tim Finlandia
berharap ekspor uyung 10.000 ton/bulan ke Eropa dapat terwujud.
Pemanfaatan bioethanol berbagai konsentrasi
Bioethanol 80-85%: S. Budi Sunarto memanfaatkan bioethanol 80-85% untuk kendaraan
bermotor 2 tak, 4 tak, dan genset dengan tambahan alat pengabut. Di sisi lain, Budi mencampur
bioethanol 80% dengan asam stearat /lilin panas, kemudian didinginkan untuk
mendapatkanethanol padat yang cocok digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak
tanah.
Bioethanol 40%: Minto Supeno, Dosen USU, memanfaatkan bioethanol 40% yang dipanaskan
untuk kendaraan bermotor dan mobil disertai penyesuaian karburator dan busi, dan
pemanfaatan teknologi menggunakan oksida logam, bentonit terpilar switching dan
pasir switching.Usaha/penelitiannya untuk mengurangi kadar bioethanol sebagai bahan bakar
sedang berlangsung hingga, bila perlu, mendapatkan bahan bakar air saja.
BIOBUTANOL
Biofuel dari bahan pangan dikategorikan sebagai biofuel generasi pertama. Biofuel generasi
kedua berasal dari bahan non pangan. Salah satu pilihan adalah biobutanol yang dapat
diperoleh dari bahan non-pangan yang difermentasi (melalui proses A.B.E menggunakan
bakteri clostridium acetobutylicum yang disebut pula organisme Weizmann) atau non
fermentasi, meski biaya proses lebih mahal dari bioethanol. Di lain pihak, bakteri penyebab
diare, Escherichia Coli , ditemukan mampu menghasilkan n-butanol lebih dari 10 kali lipat
dibandingkan dengan proses biasa.
Kandungan energi butanol menyamai premium termasuk sifat fisika dan kimia
mirip bensin dengan angka oktan 96, sehingga menjadi pencampur bensin
terbaik. Infrastruktur transportasi baru tidak diperlukan. Biobutanol tidak larut dalam
air, tidak menyebabkan korosi, dan dapat dicampur dengan bensin beraneka variasi. Akan
tetapi, hingga saat ini belum ada rekomendasi penggunaan biobutanol 100% pada kendaraan
bermotor, kecuali bioethanol 100% (dengan memasang alat tambahan/engine dimodifikasi yang
disebut flexi-car) atau campuran bioethanol dan bensin di Brazil. Biomassa, bagas, jerami,
sekam, dan sejenisnya yang amat melimpah di Indonesia dapat diubah menjadi biobutanol
dengan hasil samping gas hidrogen, aceton, metanol, dll. BP danDupont memproduksi
biobutanol 20.000 L/tahun dari berbagai jenis tanaman. Cobalt Technologiessiap
mengkomersialkan pabrik biobutanol dari limbah hutan dan residu pabrik dengan menggandeng
Fluor Corp. Pabrik biobutanol di dunia hingga saat ini adalah: Sovert, Butamax, Gevo, Cobalt
Technologies, Green Biologics, Butyl Fuel LLC, Russian Technologies, Plantaonix, W2 Energy,
ZeaChem, Energy Quest, Butalco GmBH, Cathay Industrial Biotech, Laxmi Organics, Tetravitae
Bioscience, METabolic EXplorer, UCLA.
Tiga mahasiswa Teknik Kimia ITB (E. Bratadjaja, M.E. Prasetya, dan Richard) mengolah dan
merancang pabrik pengolahan tongkol jagung menjadi biobutanol, PT Tiga Perkasa. Karya
mereka menjadi finalis Lomba Rancang Pabrik Tingkat Nasional (LRPTN) XII kategori Energi di
kampus ITB tahun 2011. Pabrik rancangan mereka membutuhkan 1,2 juta ton tongkol
jagung/tahun, sedangkan produksi nasional sekitar 12,5 juta ton tongkol jagung/tahun. Mereka
menggunakan teknologi thermochemical, yaitu proses gasifikasi tongkol jagung
menjadi syngas, kemudian dikonversikan menjadi alkohol melalui reaksi Fischer-Tropsch.
Tongkol jagung dikeringkan (kadar air 5%), dipotong-potong (cone crusher), diolah
menjadi syngas (gasifier) yang dibersihkan dari pasir olivine dan char (via cyclone), tar diubah
menjadi syngas (tar reformer, reaktor berkatalis),water scrubber, dan MEA
absorber menyingkirkan gas CO dan Hidrogen. Syngas yang sudah bersih diumpankan ke
reaktor sintesis alkohol (fixed bed reactor dengan katalis Cu+Mn+Ni/ZrO2). Produk berupa
campuran alkohol cair (+sisa syngas dan alkana lain) yang dipisahkan dalam flash drum,
kemudian cairan dalam flash drum didistilasi menggunakan dua kolom. Kolom I menghasilkan
metanol (96,85 %, 32,28 ton/jam) dan butanol dengan kemurnian tinggi (99,99 % mol, sekitar
16,5 ton/jam), kolom II menghasilkan campuran etanol (48,66 %mol) , propanol (24,55 %mol),
dan air (20,5 %mol, 7,55 ton/jam).
Nilai ekonomi: Tongkol Jagung: Rp.800,-/kg, metanol Rp2.000,-/kg, biobutanol Rp.8,800,-/kg.
Limbah padat berupa pasir olivine, partikulat, dan char digunakan sebagai landfill; abu sisa
pembakaran diubah menjadi batako; katalis jenuh diregenerasi. Limbah cair berupa senyawa
organik dan sulfur diolah di WWT, sedangkan gas CO2 menuju sistem flare dibuang. Limbah
gas lainnya berupa NH3, H2S dikirim ke sistem scrubber dan absorber. Total investasi diduga
Rp800 miliar dengan kapasitas produksi 120 ribu ton/tahun (300 hari/tahun), dengan ROI
19,2%; RR 28,23%,; Payback Period 3,5 tahun; dan BEP 12%. Lokasi yang disarankan adalah
di Bojonegoro, Jawa Timur yang diharapkan dekat dengan bahan baku dan utilitas.
SURYA
Potensi PLTS Indonesia sangat besar, di atas 1 TW. Indonesia adalah negara dengan serapan
tenaga surya terbesar di ASEAN, karena matahari disajikan setiap hari sepanjang tahun.
Intensitas radiasi rata-rata 4,8 kWh/m2/hari, NTB dan Papua tertinggi 5,7 kWh/m2/hari dan
Bogor terendah 2,56 kWh/m2/hari. Kapasitas terpasang: 12.1 MW.
Untuk memenuhi kebutuhan PLTS di Indonesia, tahun 2011 pemerintah membangun pabrik
PLTS di Indonesia, dan PT LEN Industri (Persero) ditunjuk untuk mengelolanya dengan
kapasitas produksi pabrik fotovoltaik 50 MW per tahun menggunakan teknologi Thin film.
Kemampuan pabrik akan ditingkatkan 10 MW/tahun hingga 90 MW. Pabrik ini akan menelan
investasi US$ 125 juta atau sekitar Rp,1,25 triliun guna mengalihkan ketergantungan produk sel
surya yang selama ini diimpor.
Tahun 2011, PT Surya Energi Indotama, anak perusahaan PT LEN Industri (Persero),
membangun PLTS 100 kWp untuk PLN di Banda Naira yang terhubung ke jaringan listrik
nasional. Di samping itu, PLTS 200 kWp di Gili, P. Trawangan, 80 kWp di Tual, P. Dullah Laut,
dan 6 PLTS di 6 desa di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara atas biaya PT Antam Tbk
Rp.1,4 miliar yang berkapasitas masing-masing 0,5 kW juga sukses dibangun.
Tahun 2011, PLN sedang membidik pulau-pulau kecil di kawasan Indonesia Timur (KIT) guna
membangun 100 PLTS 22 MW dengan dukungan pendanaan dari Bank Dunia, sedangkan
pada tahun 2013, 1000 pulau terpencil diharapkan sudah dapat dialiri listrik dari PLTS dengan
polasistem listrik kepulauan.
Saat ini PLN sedang membangun 6 PLTS di KIT, yaitu di Derawan, Bunaken, Raja Ampat,
Wakatobi, Banda, dan Trawangan.
Februari 2011, PLTS Bunaken telah diresmikan oleh Gubernur Sulut dan Direktur PLN agar
beroperasi 24 jam yang dibangun di atas tanah 7 HA dan menghasilkan listrik hingga 400 kW.
Mesin utama berasal dari Australia, baterai dari Jerman, dan panel-panel surya dari China.
PLTS ini mampu menyediakan listrik seluruh perumahan penduduk dan sarana lainnya.
PT PLN bekerjasama dengan PT Surya Energi Indotama (anak perusahaan PT LEN Industri
(Persero) membangun PLTS di Pulau Miangas 85 kW Sulut dan Pulau Sebatik 340 kW Kaltim
dengan dana Rp.16,5 miliar yang berasal dari APLN (bagian dari proyek PLTS 100 pulau) dan
akan beroperasi Agustus2011.
Sementara, Marampit, Kabupaten Talaud, dan pulau Makalehi di Sitaro menunggu giliran.
Target PLN lainnya adalah Manado Tua, Nain, Mantehage, Talisa, Dapalan, Karatung,
Nanedakele, Biaro, dan Gangga.
Tahun 2011, Pemprov Jawa Tengah menargetkan pembangunan 213 PLTS di Wonogiri,
Sragen, dan Boyolali.
Pemerintah Jepang membantu warga desa Labuan Sangor, Maronge, Sumbawa, NTT dengan
memberikan 2 alat penjernih air tenaga surya (buatan Torey International) sebagai sumbangan
dari PT Bio Greenland (BGL), investor tanaman jarak rambutan asal Jepang.
Samsung C&T Co. Korsel meneken MoU tgl 18 Mei 2011 dengan pemerintah Indonesia (yang
akan melibatkan PLN dan perusahaan lokal) untuk mengembangkan PLTS berdaya sekitar 50
MW di Madura/Bali.
ANGIN
Potensi energi: 9,3 GW. Kapasitas terpasang: 1,1 MW.
PT PLN (Persero) membangun PLTB 5x200 kW di Waingapu (sepanjang pantai) dan di Soe (di
atas bukit) Timor Tengah, Flores, NTT dengan skema IPP (Independent Power Producer, listrik
swasta). Beberapa PLTB sudah ada di P. Rote dengan daya 2x10 kW yang dilaksanakan oleh
BPPT, dioperasikan oleh PLN.
PLTB (Bayu) Jetpro Indonesia di Bulukumba dengan kapasitas 28 kW menggunakan 140 buah
turbin angin siap beroperasi Jan 2011.
PLTB berkapasitas 10 MW dibangun di Desa Suak Bakong, Kecamatan Kluet Selatan,
Kabupaten Aceh Selatan di lahan 75 HA yang berada di tepi pantai. PLTB dengan jumlah tower
200 unit rampung tahun 2011 untuk memenuhi kebutuhan 10.000 KK yang mencakup seluruh
kebupaten Aceh Selatan.
PT Viron Energy yang menggandeng perusahaan Suzlon, India membangun PLTB di
Sukabumi, Jawa Barat dengan kapasitas 5 x 2 MW yang akan beroperasi pada pertengahan
2011. Secara bertahap kapasitasnya akan dinaikkan hingga 100 MW selama 5 tahun ke depan.
Jembatan Suramadu bakal dilengkapi PLTB sepanjang 5,4 km bila laju angin mencapai 3
m/detik. Setiap lampu membutuhkan daya 500 Watt, 300 Watt dari PLTB, kekurangannya akan
dipasok oleh PLTS.
Kincir angin 77 kW sebanyak 48 buah dipasang di Pesisir bantul, di pantai Pandansimo, Kec.
Srandakan, Kab. Bantul, Yogyakarta. Listrik dari kincir angin tersebut dimanfaatkan pabrik
pengolahan es balok bagi nelayan untuk mengawetkan hasil tangkapannya, dan es kristal bagi
wisatawan yang berkunjung ke pantai Pandansimo.
Potensi PLTB di NTB cukup memadai dengan laju angin berkisar 3,5-7
m/detik. LAPAN membuat proyek percontohan PLTB 7 kW (7 unit). Potensi PLTB di P. Lombok
60 kW (10 unit), dan Sumbawa 40 kW ( 10 unit).
PLTH SBD (Hibrida Surya-Bayu-Diesel)
BPPT bekerjasama dengan KNRT, PT PLN (Persero) dan Pemda mengembangkan energi
terbarukan dengan cara menggabungkan 3 pembangkit listrik seperti tenaga surya, bayu/angin,
dan diesel yang disebut PLTH SBD (Pembangkit Listrik Tenaga Surya Hibrida), guna
mendapatkan catu daya listrik yang kontinyu dengan efisiensi yang optimal di pedesaan dan
daerah terpencil. Contoh: PLTH SBD Wini 64 kW, Kec. Insana Utara, Kab. Timor Tengah
Utara, NTT (akhir 2008) dengan komposisi alat berupa 1) Surya (50 kWp/240 Volt), 2) Bayu (10
kW), 3) Diesel (150 kVA, cadangan), 4) Baterai 4000 Ah (240 unit, masing-masing 120 unit, 240
V/2000 Ah), dan 5) BDI (Bi-directional inverter) yang memasok daya listrik kepada 509 KK rata-
rata 942 kWh/hari selama 24 jam. PLTH SBD dikembangkan guna membantu PLTD yang
sudah berjalan agar bila terjadi kekurangan pasokan BBM mendadak, Desa tersebut masih
dapat dialiri listrik. PLTD menjadi sumber energi cadangan saja. Beban dapat dipasok dari
genset maupuninverter secara paralel. Kelebihan daya dari genset dimasukkan ke baterai
BDI yang digunakan untuk menjembatani antara baterai dan sumber AC. BDI dapat mengisi
baterai dari genset (AC-DC converter) maupun sumber energi terbarukan, yang juga beraksi
sebagai DC-AC converter. PLTS dan PLTB masuk pada sisi DC, sedangkan genset masuk
pada sisi AC. Urutan kerja PLTH SBD adalah:
1) Kondisi beban rendah: pasok daya berasal dari baterai 100%, modul surya, dan angin,
sementara diesel mati.
2) Beban di atas 75%: bila baterai mulai kosong, diesel beroperasi, sekaligus mengisi baterai
hingga 70-80% (tergantung setting). Kendali hibrida berfungsi sebagai charger, tegangan AC
dari diesel diubah ke DC untuk mengisi baterai.
3) beban puncak: diesel dan inverter beroperasi paralel, bila diesel tak mampu sampai beban
puncak. Jika genset cukup memasok hingga beban puncak, maka inverter tidak bekerja paralel
dengan genset.
Semua pengaturan dilaksanakan oleh Kendali Hibrida.
NUKLIR
Potensi energi listrik dari EBT di Indonesia sungguh sangat besar (PLTA ~75 GW, PLTMH ~231
GW, PLTAL >7.000 GW, PLTP ~28,5 GW, Biomassa ~50 GW, PLTS >1.000 GW, PLTBayu ~9,3
GW), yaitu > 8394 GW. Jumlah itu belum termasuk potensi energi listrik dari BBM, Gas (PLTG),
dan Batubara (PLTU). Sementara, kapasitas pembangkit terpasang di Indonesia (2007)
adalah~35 GW (BBM ~16,2 GW, PLTP ~0,8 GW, Batubara ~7,4 GW, Gas Alam ~6,4 GW, PLTA
~4,2 GW, dan Biomassa ~0,5 GW). Kebutuhan listrik Indonesia sekitar 108 juta MWh/tahun
(tahun 2006) atau sekitar 166,17 juta MWh/tahun atau ~19 GW (tahun 2011) dengan catatan
kebutuhan listrik meningkat sekitar 9 % per tahun. Bila potensi EBT yang sangat besar itu
serius dikembangkan, maka pengembangan PLTN akan diperlukan beberapa puluh tahun
lagi. Kepala Negara (SBY) menegaskan pula bahwa PLTN dapat dikembangkan nanti sekitar
30-40 tahun mendatang dengan mengutamakan pembangkit listrik non nuklir terlebih
dahulu yang bersumber kepada energi terbarukan. Di sisi lain, PT PLN (Persero) belum
membutuhkan PLTN hingga tahun 2020, karena masih berkonsentrasi kepada EBT terutama
memaksimalkan pemanfaatan PLTP (+ 6 GW) dan PLTA (+5 GW) yang lebih layak dibanding
PLTN. Kecelakaan PLTN Fukushima akan menjadi pelajaran bagi Indonesia, sehingga
pemanfaatan energi nuklir akan menjadi opsi terakhir.
Pengusaha Rusia berminat mengembangkan nuklir di Indonesia dengan menawarkan tongkang
PLTN-nya (akademik Lomonosov), yang sesuai dengan kontur kepulauan di Indonesia.
Kelebihan tongkang PLTN (PLTN terapung) adalah dapat berpindah-pindah, dan limbah
nuklirnya dibawa pulang ke Rusia.
Provinsi Bangka Belitung (Babel) merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN), karena aspek geologi yang baik / lapisan granit di pulau ini tidak bergerak.
BATAN sedang meneliti soal batuan granit di Babel ini. Lokasi yang paling tepat adalah di
Tanjung Krasak, Premis, Bangka Selatan, dan Teluk Manggris di Muntok, Bangka Barat.
Keduanya berada sekitar 30 Km dari pantai Barat Sumatera yang mudah disambungkan
ke Jawa-Sumatera grid danAsean grid ke Singapura dan Malaysia. Bahan Bakar Nuklir thorium
(ditaksir sekitar 23.000 ton) juga ditemukan di Provinsi ini bersama timah, zirkon, dll. Lahan 825
HA di Muntok dan 500 HA di Premis telah disiapkan untuk beberapa PLTN ke depan. Slovakia,
Jepang, dan Korea selatan berminat membangun PLTN berbahan bakar uranium di Babel.
Dosen ITB Zaki Su'ud dan tim sejak tahun 1990 mengembangkan PLTN SPINNOR (Small
Power Reactor Indonesia No On-site Refueling) (10-20 MWe) dan VSPINNOR (Very Small
Power Reactor Indonesia No On-site Refueling) (6,25 MWe) berupa konsep PLTN Generasi IV
yang sangat aman dengan masa pengisian bahan bakar (UN-PuN, U diperkaya 10-12,5%) 15
tahun. Zaki+tim bekerjasama dengan Lab. Nuklir Institut Teknologi Tokyo (RLNR TItech)
Jepang. Lahirnya jenis PLTN mini ini adalah indikasi kesiapan SDM Indonesia
mengimplementasi nuklir di tanah-air dan paling siap di bidang teknologi nuklir di Asia Tenggara
[Majalah Energi, Edisi Februari 2011 hal./kol.18-19].
SANTRI, AGEN UTAMA EBT DI PEDESAAN
Pesantren dapat dijadikan basis mengubah pola fikir penggunaan energi fosil ke EBT. Di
Indonesia terdapat 9000 pesantren dan jutaan santri. Para santri memiliki posisi sangat
strategis di mata masyarakat, karena pemahaman agama mereka sangat menunjang dan kata-
kata mereka diikuti oleh warga. Oleh karena itu, mereka dapat dijadikan agen utama yang
berpotensi merevolusi kondisi penggunaan EBT saat menyosialisasikan kepandaian mereka.
Langkah awal, para santriperlu dilatih apa saja tentang EBT dan penerapannya, guna
meneruskan hasil pendidikan mereka ke teman-teman mereka, dan selanjutnya
meneruskannya ke masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Contohnya, Ponpes Nurul
Bayan, Desa Cihampelas, Kec. Cililin, Kab. Bandung, memanfaatkan biobriket dari enceng
gondok. Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah (PAYM) Bojonegoro, Jawa Timur, dan ponpes Al-
Amin, Desa Bojong gede, Kabupaten Bogor, Jabar, memanfaatkan biogas dari limbah sapi.
Pondok pesantren Darul Qur'an, (400 santri) di Kabupaten Gunung Kidul, dan ponpes Al
Hikmah (700 santri), Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggunakan biogas dari
limbah manusia. Ponpes Suryalaya (50kW) Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,
Ponpes Roudlotul Tolibin (174 kW), Wanganaji, Wonosobo, Ponpes Latansa,Parakan Santri,
Lebak (2x50 kW), dan Ponpes Nurussalam (Bunut Jambul, 30 kW) Tetebatu, Sikur, Kab.
Lombok Timur, NTB memanfaatkan PLTMH.
Sumber:
http://www.energiterbarukan.net/
http://www.pme-indonesia.com/news/