22
“ANALISIS KONDISI EKONOMI POLITIK INDONESIA TAHUN 1945 - 2007" OLEH : EDDY PRAYITNO BAB I. PENDAHULUAN Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini (Oktober 2007) masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga dimaksudkan sebagai sebutan untuk kelompok negara – negara yang terbelakang. Istilah ini mulai populer sejak tahun 1960-an sebagai hasil rumusan dalam berbagai pertemuan Politik Internasional seperti Konferensi Bandung (1955) dan Konferensi Belgrado (1961). Dunia pada saat itu dilihat dari pola kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu : Dunia Pertama (Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis dan Amerika Utara), Dunia Kedua (meliputi negara – negara Eropa Timur dan Blok Uni Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Dunia Pertama dan Kedua bersama – sama berpenduduk 30% dari jumlah penduduk seluruh dunia (15 milyard, 2001) dan menghuni 40% daratan dunia seluruhnya (total luas bumi 510.074.600 km 2 , daratan 148.940.540 km 2 atau 30% dan lautan 361.134.060 km 2 atau 70%). Selebihnya 60% adalah sejumlah besar negara merdeka yang pada umumnya baru melepaskan diri dari penjajahan (tercatat dalam atlas tahun 1991 jumlah negara dunia 206 negara). Ada beberapa nama tambahan yang diberikan kepada negara – negara yang termasuk Dunia Ketiga /home/website/convert/temp/convert_html/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 1

Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

  • Upload
    karsam

  • View
    315

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

“ANALISIS KONDISI EKONOMI POLITIK INDONESIA TAHUN 1945 - 2007"

 OLEH : EDDY PRAYITNO

 BAB I. PENDAHULUAN

  Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini

(Oktober 2007) masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga

dimaksudkan sebagai sebutan untuk kelompok negara – negara yang

terbelakang. Istilah ini mulai populer sejak tahun 1960-an sebagai hasil rumusan

dalam berbagai pertemuan Politik Internasional seperti Konferensi Bandung

(1955) dan Konferensi Belgrado (1961). Dunia pada saat itu dilihat dari pola

kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu :

Dunia Pertama (Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis

dan Amerika Utara), Dunia Kedua (meliputi negara – negara Eropa Timur dan

Blok Uni Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin).

Dunia Pertama dan Kedua bersama – sama berpenduduk 30% dari jumlah

penduduk seluruh dunia (15 milyard, 2001) dan menghuni 40% daratan dunia

seluruhnya (total luas bumi 510.074.600 km2, daratan 148.940.540 km2 atau 30%

dan lautan 361.134.060 km2 atau 70%). Selebihnya 60% adalah sejumlah besar

negara merdeka yang pada umumnya baru melepaskan diri dari penjajahan

(tercatat dalam atlas tahun 1991 jumlah negara dunia 206 negara). Ada

beberapa nama tambahan yang diberikan kepada negara – negara yang

termasuk Dunia Ketiga (the third world) antara lain, negara terbelakang

(backward countries), negara yang belum maju termasuk Indonesia saat ini

(under developed countries), negara selatan, dan nama negara – negara miskin

(un-developing countries). Umumnya nama yang diberikan memiliki tiga ciri

umum yaitu 3K, Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan yang diukur dari

indikator GNP per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian

energi per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per

kepala, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan ukuran – ukuran sosial

lainnya.

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 1

Page 2: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak

konflik politiknya daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara

kaum borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok

nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai

tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih

mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.

Indonesia sejak tahun 1967, dibawah pemerintahan militer (Soeharto,

1965 - 1998), menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dalam melakukan

pembangunan ekonominya. Dalam teori ini, ada lima tahap pertumbuhan

ekonomi yaitu, tahap pertama ‘Masyarakat Tradisional’ (The Traditional Society),

tahap kedua ‘Pra Kondisi untuk Tinggal Landas’ (The Preconditions for Take-off),

tahap ketiga ‘Tinggal Landas’ (The Take-off), tahap keempat ‘Menuju

Kedewasaan’ (The Drive to Maturity) dan tahap kelima ‘Konsumsi Massa Tinggi’

(The Age of High Mass-Consumption). Pembangunan di Indonesia dilaksanakan

secara berkala untuk waktu lima tahunan yang dikenal dengan PELITA

(Pembangunan Lima Tahunan). PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)

memprioritaskan sektor pertanian dan industri, PELITA II (1 April 1974 – 31

Maret 1979) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan dititikberatkan

pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah

menjadi bahan baku. PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) memprioritaskan

pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian menuju

swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang mengolah

bahan baku menjadi barang jadi dalam rangka menyeimbangkan struktur

ekonomi Indonesia. PELITA IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989) memperioritaskan

pembangunan ekonomi dengan titikberat pada sektor pertanian untuk

memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang

menghasilkan mesin – mesin industri berat dan ringan, pembangunan bidang

politik, sosbud, pertahanan dan keamanan seimbang dengan pembangunan

ekonomi. PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1999) memprioritaskan

pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 2

Page 3: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian serta

industri yang menghasilkan barang ekspor, menyerap tenaga kerja, pegolahan

hasil pertanian dan menghasilkan mesin – mesin industri, meningkatkan

pembangunan bidang politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Namun

pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami Krisis Moneter yang membuat

Soeharto lengser (runtuhnya rezim Orde Baru). Indonesia belum sempat tinggal

landas malah kemudian meninggalkan landasannya hingga lupa pijakan

ekonominya rapuh dan mudah hancur.

Periode Orde Reformasi (1998 – 2007/sekarang) berjalan tak jelas

arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde

Reformasi yang  ditandai dengan silih bergantinya Presiden Republik Indonesia

dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999),

Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23

Juli 2001 – 20 Oktober 2004), semuanya belum menunjukkan pembangunan

ekonomi yang berarti. Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok

sebagai akibat kebijakan Rezim yang lalu (Orde Baru) yang membuat

pijakan/pondasi ekonominya sangat rapuh dan mudah hancur tersebut, disambut

dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde

Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini.

Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba

menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal

biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan

pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode

2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang

Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala

Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di

berbagai daerah di wilayah nusantara ini.

Wal hasil, proses pembangunan di Indonesia sudah dilakukan selama 62

tahun, namun masih banyak rakyatnya yang miskin, kebodohan masih banyak

ditemui terutama di wilayah pedesaan, pengangguran dimana – mana, nilai

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 3

Page 4: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

rupiah terhadap dolar terpuruk, dan sebagainya. Sebenarnya apa yang salah

dalam proses pembangunan di Indonesia? Mengapa semua itu terjadi?

Pertanyaan ini menarik untuk dikaji dan dianalisis. Dan dengan maksud itulah

tulisan ini dibuat.

BAB II. HASIL ANALISIS

Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang

memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan

dan administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan

dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan pertimbangan

utama  dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya.

Dua tipe ideal ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub berlawanan, yakni:

1. Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”;

2. Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi.

Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan

lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan

oleh swasta. Dan dalam Dirigisme / hegemoni, negara mengendalikan

sepenuhnya mekanisme dan lembaga-lembaga  itu. Dua kutub “laissez-faire” –

“hegemoni“ adalah gambaran yang ideal .

Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun

“hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan,

sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi

kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat campuran. Contoh

kasus dalam konteks  ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub

“hegemoni” dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara lebih spesifik kita bisa

menunjukkan sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan

lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih

jelas lihat tabel di bawah ini.

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 4

Page 5: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

Tabel 1. Dimensi – dimensi Sistem Ekonomi

NO. PertanyaanKutubLaisser-Faire Dirigisme

1.Siapa pembuatan keputusan investasi, produksi, dan distribusi?

Desentralisasi (individu)

Sentralisasi (negara)

2.Bagaimana transaksi informasi alokasi sumberdaya dan koord. keputusan dilakukan?

PasarProses administrasi

3.Siapa berhak memiliki faktor produksi dan menentukan penggunaannya?

Pemilikan Pribadi Pemilikan kolektif

4.Bgmn mekanisme memotivasi individu & prshn?

Insentif Ekonomi Komando

5.Bagaimana sifat interaksi  aktor-2  ekonomi?

Kompetitif Non-kompetitif

6.Bagaimana interaksi ekonomi domestik dengan sistem internasional?

Internasionalis Nasionalis

Dalam rangka menganalisis kondisi ekonomi politik di Indonesia,

kondisinya dibagi dalam 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966),

periode Orde Baru (1966 – 1998), dan periode Reformasi (1998 – 2007). Analisis

per periode sebagai berikut :

1.      Periode Orde Lama (1945 – 1966), Pandangan strukturalis tentang

pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an.

Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh

kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau

mencegah perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang

dan jasa tidak elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas

manajemen dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang –

kadang target tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi

yang kurang baik. Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada

negara di luar Eropa pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang

berkembang sudah sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi

terpusat. Pada tahun 1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 5

Page 6: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

dalam rangka perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di

Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan

kemerdekaannya. Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang

berpendidikan Barat dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara

ekonomi, Belanda masih menguasai perusahaan – perusahaan di sektor

perkebunan dan menguasai perdagangan internasional {Konferensi Meja

Bundar (KMB), 1949}. Periode 1945 – 1949 adalah periode Indonesia

berjuang untuk status negara merdeka dan diakui oleh dunia yang ditandai

dengan pengakuan Belanda di KMB dengan syarat perusahaan Belanda di

Indonesia tidak dinasionalisasikan. Di sisi lain, Cina menguasai perdagangan

dalam negeri dan mayoritas orang Indonesia pribumi masih tetap menjadi

petani, hanya sedikit elit politik (kaum elit terpelajar dan militer) yang

menguasai negara. Elit politik itu berperan sebagai birokrat negara tanpa

basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuasi

yang berperan dalam ekonomi. Demokrasi Parlementer (1949 – 1959),

menghasilkan kebijakan “Politik Benteng” yang bertujuan menciptakan

pengusaha pribumi. Akumulasi modal pengusaha pribumi terjadi melalui jalur

politik benteng dan jalur perusahaan – perusahaan negara, namun masih

relatif kecil dibandingkan akumulasi modal pengusaha asing dan Cina.

Demokrasi Liberal (1957 - 1959), menghasilkan gejolak politik yang cukup

serius yaitu Sumatera Barat dan Sulawesi Utara melakukan perlawanan

bersenjata sebagai reaksi dominasi Jawa dan ketimpangan ekonomi antara

daerah dan pusat, akibatnya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia

dibubarkan. Pada masa ini, politisi kelas menengah ke atas menguasai

ekonomi politik Indonesia sedangkan rakyat Indonesia belum berubah, masih

miskin. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Dekrit Presiden 1959 (yang

mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya Soekarno menggeser

dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus upaya

mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana

Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi

negara. Pada tahun 1957, perusahaan – perusahaan Belanda

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 6

Page 7: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan

asing makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan – perusahaan Inggris

juga diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965.

Semua perusahaan tersebut dikelola oleh perwira – perwira militer namun

bisnis masih dikuasai pengusaha Cina. Konflik antara PKI dan Militer

mencapai klimaksnya pada 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan

kemenangan Militer dimana Soeharto sebagai simbolnya. Kondisi ekonomi

sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara

tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.

Jadi periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya,

sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti

prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub

“Dirigisme/hegemoni”.

2.      Periode Orde Baru (1966 – 1998), pemerintah didukung kuat Militer dan

kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politk kelas

menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga

mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga

industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun

(REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal

1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde

Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum

militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi

dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya

ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi

Indonesia (PDI). Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk

sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non

pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara

banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 7

Page 8: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha

pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan

dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat

rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang

hanya dinikmati segelintir orang saja.  Dampak negatif kondisi ekonomi

Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :

a.       Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi

anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi

pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan

menurunnya pendapatan negara.

b.      Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri

Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan

penjadualan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada,

terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan

peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta

peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju.

Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang

dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun

1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar

hutang lama ditambah bunganya.

Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market

failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya

merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama

disebabkan oleh “market failure”.

Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga

non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 8

Page 9: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan

penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan

pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural

adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :

1.      Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan

dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan

tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah

melakukan berbagai kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong

atau menghapus berbagai subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan

uang ketat) demi mengendalikan inflasi, mempertahankan nilai tukar yang

realistik (terutama melalui devaluasi September 1986).

2.      Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi

dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat

pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan,

tarif maupun non tarif. Kebijakan “Paknov 1988” yang menghapus monopoli

impor untuk beberapa produk baja dan bahan baku penting lain, telah

mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada saat itu.

3.      Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan

tabungan dan investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi

fiskal, meningkatkan tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial

dan menggalakkan investasi dengan cara memberi insentif dan

melonggarkan pembatasan. Kebijakan “Pakdes I/1987” yang menggalakkan

penarikan pajak sehingga menghidupkan kembali pasar modal, “Pakto

27/1988” yang menyebabkan menjamurnya bank – bank swasta, “Pakdes

II/1988” yang menderegulasikan bisnis asuransi dan berbagai jasa finansial.

“Pakem 1986” dan “Pakjun 3/1991” yang mengurangi hambatan perdagangan

internasional dan memberi insentif yang sangat menarik pada investor asing

dan terakhir “Pakjul 1993” yang bertujuan mempermudah perijinan investasi.

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 9

Page 10: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

4.      Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa

mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak

milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan

peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai

program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang

– Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari

berbagai paket di atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson,

1990:3-5).

Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara

Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap

pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya.

Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry

barrier), pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi

terbatas yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta.

(Nasution, 1991:14-17)

Dampaknya cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti investasi asing

terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan sistem pajak,

produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga meningkat.

Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar

adalah hutang komersial swasta) dan debt-service rationya sudah melewati 30%.

Hutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Rezim Orde Baru runtuh akibat

krisis moneter (penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dari

2.000-an menjadi 10.000-an per 1 US$). Rezim Orde Baru membangun ekonomi

hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian

inflasi tanpa memperhatikan pondasi ekonomi. Kualitas Sumber Daya Manusia

(SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi,  tidak disiapkan

untuk mendukung proses industrialisasi. Barang – barang impor (berasal dari

luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses industri

sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang impor tersebut.

Pembangunan tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 10

Page 11: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta

pengusaha – pengusaha Cina yang dekat dengan kekuasaan saja yang

menikmati hasil pembangunan. Jadi periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto

lebih kuat peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya

nepotisme/non kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan

kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-

Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

 3.      Periode Orde Reformasi (1998 – 2007)

Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di

Indonesia sebagai akibat krisis moneter di ASIA yang dampaknya sangat terasa

di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar

Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah

terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai

dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang

Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk

dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki

berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi

dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai

syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).

Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar

adalah hutang komersial swasta).

Pembangunan ekonomi periode Orde Reformasi (1998 – 2004) berjalan

tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru

ke Orde Reformasi yang  ditandai dengan silih bergantinya Presiden RI dalam

waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999),

Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23

Juli 2001 – 20 Oktober 2004). Pembangunan ekonominya berjalan terseok –

terseok, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang

selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 11

Page 12: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

Reformasi ini. Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali

dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata

sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk

pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES,

periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo

Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan

Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini

di berbagai daerah di wilayah nusantara ini.

Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua

tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik

oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama

ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang

pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan

internasional dan mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi

memang menunjukkan kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak

yang miskin, pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih

sekitar 9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih

rendah, korupsi masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima

negara terkorup di dunia (TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.

Secara politis, kondisi Indonesia memasuki periode Orde Reformasi

semakin membaik. Demokrasi bisa berjalan baik, seluruh rakyat Indonesia

mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih dengan bebas tanpa tekanan dari

siapapun serta dijamin keamanannya di masa reformasi ini. Partai politik tumbuh

subur, tercatat sebanyak 42 partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang

kemudian bertambah lagi dari tahun ke tahun. Setiap warga negara bebas

berbicara dan menyampaikan pendapatnya baik melalui media massa maupun

aksi – aksi demonstrasi dengan dibingkai aturan hukum yang berlaku. Semua itu

tidak didapat di rezim Orde Baru. Proses otonomi daerah (desentralisasi

kekuasaan) sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan proses pemilihan

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 12

Page 13: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

kepala daerah melalui PILKADA, praktek nepotisme sedikit demi sedikit

berkurang sehingga aktor ekonominya berusaha secara kompetitif. Jadi periode

Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan

pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme),

desentralisasi, internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu

dijamin, sehingga bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “

Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.

 

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 13

Page 14: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

BAB III. KESIMPULAN

Dari hasil analisis di BAB II., dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1.      Periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya,

sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti

prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub

“Dirigisme/hegemoni”.

2.      Periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran

pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non

kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif

bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan

mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

3.      Periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya

diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha

menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif

ekonomi dan kepemilikan individu dijamin bisa disimpulkan berarti prosesnya

menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.

4.     Pemerintahan Soekarno bermaksud untuk membangun Indonesia secara

mandiri namun tidak didukung kualitas SDM yang tangguh. Jadi seharusnya

investasi yang dilakukan Orde Lama lebih banyak investasi SDM dan

investasi pada sarana / prasarana penunjang ekonomi. Soekarno termasuk

agak terburu – buru menasionalisasikan perusahaan – perusahaan asing

tanpa disertai kesiapan sarana dan prasarana penunjang aktifitas ekonomi

baik di dalam negeri yang dikuasai Cina maupun di luar negeri yang dikuasai

Belanda, Inggris dan Amerika. Pandangannya untuk mandiri dalam

membangun sudah baik namun proses pembangunan yang mandiri tersebut

tidak berjalan dengan baik.

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 14

Page 15: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

5. Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga puluh tahun membuat

Negara Indonesia semakin miskin. Soeharto hanya membangun ekonomi di

tingkat permukaan saja tidak sampai di tingkat akar. Soeharto hanya

mementingkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan

hasil pembangunan dan mengendalikan inflasi tanpa memperhatikan

kemampuan daya beli rakyat Indonesia. Soeharto bisa dibilang tidak

membangun meskipun dikenal sebagai ”Bapak Pembangunan” karena

proses pembangunan yang terjadi lebih banyak dibantu dari harga minyak

bumi yang tinggi. Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama

bagi anggaran belanja negara. Di akhir masa jabatannya, Soeharto hanya

membuat hutang Indonesia semakin besar. Negara Indonesia semakin miskin

sehingga masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga namun Soeharto dan

kroni – kroninya semakin kaya dan makmur.

6.  Di masa reformasi inilah harapan bergantung, meskipun masih banyak

kekurangan demi kekurangan terjadi, namun proses demokrasi sudah

berjalan dengan baik. Yang masih menjadi penghambat proses reformasi

adalah sisa – sisa kekuatan Orde Baru yang masih memiliki pengaruh baik

dalam proses politik maupun dalam bidang ekonomi. Mereka hanya berubah

bajunya saja namun gerakan maupun pemikiran – pemikirannya masih sama

baik dari kaum borjuis, militer maupun dari kalangan birokrasinya. Salah satu

solusi agar proses reformasi di Indonesia berjalan dengan baik adalah

mengurangi peran sisa – sisa kekuatan Orde Baru baik di bidang ekonomi

maupun politik dengan tidak mengabaikan hak – hak politik mereka. Hal ini

bisa terjadi jika Presiden Indonesia atau para Kepala Daerah adalah seorang

”reformis sungguhan” bukan ”reformis gadungan”. Semua pimpinan sekarang

dipilih melalui proses demokrasi, artinya alam demokrasi telah dibuka lebar –

lebar sehingga pemegang kekuasaan adalah rakyat Indonesia. Mendidik

rakyat Indonesia menjadi rakyat yang cerdas berpolitik dan menguasai

perekonomian adalah bagian solusi agar proses reformasi berjalan di relnya.

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 15

Page 16: Analisis Kondisi Ekonomi Politik Indonesia Tahun 1945

DAFTAR PUSTAKA

 

Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan. Indonesia: Yayasan Padi dan Kapas.

 Effendi Siregar, Amir. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: PT. TIARA WACANA YOGYA.

 Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan.

 Rachbini, Didik J. 2004. Ekonomi Politik, Kebijakan dan Strategi Pembangunan.

 Suryono, Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan Dalam Perspektif Teori Ilmu Sosial.. Jawa Timur: Universitas Negeri Malang.

 

/tt/file_convert/5571f86049795991698d4bb8/document.doc 16