1
KONSEP DASAR MODEL PEMBELAJARAN DI SEKOLAH BERASRAMA1
Muchlas Suseno2 & Elvy Usmiawati3
A. Konsep dan Hakikat Model PembelajaranPada bagian ini dibahas secukupnya tentang dua hal yang mendasar
yaitu model pembelajaran di sekolah dan model pembelajaran di asrama.
Kedua hal tersebut tentunya perlu dibahas dan disinergikan sehingga dapat
menjadi ciri pembeda dari model-model pembelajaran di sekolah pada
umumnya, yaitu sekolah non-asrama. Pembelajaran di sekolah dalam uraian
ini tetap digunakan dengan sebutan ‘Pembelajaran’ atau Learning, sedangkan
pembelajaran di asrama dibahas dengan menggunakan istilah ‘Pengasuhan’
atau Nurturing.
Selanjutnya, terkait dengan hal tersebut di atas dalam bab ini juga
dibahas tentang beberapa istilah yang pada umumnya maknanya terpisah
antara satu dengan yang lain. Namun demikian pada tataran praktis istilah-
istilah tersebut dapat terkait satu dengan lainnya yang saling bergantian dan
melengkapi (interchangeable and complementary) yang merujuk pada maksud
dan makna yang hampir sama. Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana
dicontohkan oleh Joyce dan Weil bahwa istilah model pembelajaran, misalnya,
dapat mencakup dan mewadahi beberapa istilah yang terkait dengan proses
pembelajaran, seperti pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran (Joyce,
1996). Ada dua alasan yang mendasari kesimpulan tersebut.
Pertama, istilah model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas,
melebihi makna yang terkandung dalam strategi, metode, atau prosedur. Model
pembelajaran mencakup pengertian yang luas dan menyeluruh. Misalnya,
problem-based model of instruction berupa kegiatan kelompok-kelompok siswa
dalam bekerjasama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati. Dalam
model ini, siswa seringkali menggunakan berbagai macam keterampilan dan
prosedur pemecahan masalah melalui kegiatan berpikir kritis. Jadi satu model
1 Makalah disampaikan pada rapat kerja Penyusunan Analisis dan Penetapan Kebutuhan ModelSekolah Berasrama, tanggal 26 – 28 Juli 2017 di Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Jakarta.
2Dosen Universitas Negeri Jakarta.3 Guru SMAN Moh. Husni Thamrin Jakarta.
2
pembelajaran dapat menggunakan sejumlah keterampilan metodologis dan
prosedural.
Kedua, model dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting,
apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di kelas, atau praktek
mengawasi siswa. Model pembelajaran diklasifikasikan berdasarkan tujuan
pembelajarannya, sintaks atau pola urutannya, dan sifat lingkungan belajarnya.
Penggunaan model pembelajaran tertentu memungkinkan guru dapat
mencapai pembelajaran tertentu dan bukan tujuan pembelajaran yang lain.
Berikut, selanjutnya, dibahas istilah-istilah yang digunakan terkait
dengan model pembelajaran serta uraian tentang maknanya,
Pembelajaran (learning) adalah kegiatan guru dalam membelajarkan siswa
di lingkungan sekolah yang utamanya berupa upaya menjadikan siswa
dalam kondisi belajar.
Pengasuhan (nurturing) adalah kegiatan pengasuh dalam membelajarkan
para siswa di lingkungan asrama tempat tinggal mereka melalui berbagai
kegiatan pengembangan diri dan kegiatan lain yang mendukung proses
pembelajaran di sekolah.
Strategi pembelajaran adalah cara guru mengatur keseluruhan proses
pembelajaran, yang antara lain meliputi pemilihan model, metode, dan
pendekatan pembelajaran.
Model Pembelajaran adalah pola yang menggambarkan urutan alur
pentahapan kegiatan belajar (pembelajaran)
Gaya belajar adalah cara atau strategi siswa dalam belajar.
Metode pembelajaran adalah cara guru menyampaikan materi ajar.
Pendekatan pembelajaran adalah landasan konseptual yang mendasari
strategi pembelajaran.
B. Model Pembelajaran di Sekolah Berasrama1. Model Pembelajaran di Sekolah
Sebagian besar kita masih mempercayai bahwa dalam suatu kegiatan belajar-
mengajar di kelas, guru berperan sebagai pelaku utama proses belajar yang bertugas
memberi dan menyampaikan pengetahuan kepada para siswa. Dalam pandangan ini,
3
siswa dinyatakan telah berhasil dalam belajar bila mereka dapat mengungkapkan
kembali pengetahuan sesuai dengan keinginan guru. Bila apa yang diungkapkan oleh
siswa ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh guru maka siswa
dianggap belum berhasil atau bahkan belum melaksanakan kegiatan belajar. Dengan
asumsi ini maka guru berusaha sangat aktif dalam menyampaikan materi ajar melalui
kegiatan ceramah dan siswa berperan sebagai peserta pendengar yang tugas
utamanya mendengar, mencatat materi ajar yang disampaikan oleh guru, dan
melaksanakan tugas-tugas sesuai instruksi guru. Sudut pandang ini tidak seluruhnya
salah yang sekaligus perlu disikapi bahwa sebagian dari keseluruhan itu ada
benarnya. Tugas guru untuk menyampaikan materi ajar (delivery of material of
instruction) harus diterima dan diakui namun hal itu bukan satu-satunya tugas utama
guru dalam proses belajar-mengajar.
Berbeda dengan sudut pandang di atas, ada sudut pandang lain yang
mempercayai bahwa peran dan tugas guru dalam kegiatan belajar-mengajar yang
perlu diutamakan adalah menciptakan kondisi psikologis emosional siswa agar
mereka siap untuk menerima materi ajar yang disampaikan oleh guru. Hal ini menjadi
penting untuk dibahas karena kesiapan siswa dalam menerima informasi dalam
belajar akan menentukan hasil belajar. Secara lebih rinci, hal tersebut terkait dengan
kebermaknaan serta relevansi informasi yang diterima oleh siswa yang pada
gilirannya akan menumbuh-kembangkan kesadaran diri siswa untuk belajar mandiri,
khususnya dalam menemukan gayanya sendiri dalam belajar (Taber, 2011). Oleh
karena itu, guru perlu dan harus membantu proses ini dengan cara mengajar yang
menekankan aspek relevansi materi ajar dan strategi mengajar dengan gaya belajar
para siswanya.
Dua sudut pandang tersebut di atas, bila dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian di
bidang pendidikan, pada dasarnya bermuara dari dua aliran atau madzhab baku yang
telah lama dipraktikkan, yaitu aliran behavioristik dan konstruktivistik. Penganut aliran
behavioristik mempercayai bahwa para siswa harus dibiasakan aktif melakukan
(actively doing) melalui pembiasaan atau habituasi, peniruan dan pendisiplinan
perilaku. Bila kegiatan tersebut dapat dipraktekkan maka dipercayai para siswa akan
menampilkan hasil belajar yang tinggi. Sementara itu, pandangan konstruktivistik
menekankan bahwa tugas guru tidak hanya semata-mata memberikan informasi
pengetahuan kepada siswa dan mengharapkan siswa aktif mencerna informasi
4
tersebut melalui keharusan-keharusan melakukan sesuatu, yang pada banyak hal
sering tidak bermakna dan tidak sesuai dengan kondisi para siswa.
Tanpa mengesampingkan beberapa pendekatan lainnya yang mendasari praktek
pembelajaran di kelas, dua strategi belajar-mengajar tersebut menjadi penting untuk
dibicarakan dalam kaitan dengan kegiatan belajar-mengajar di sekolah berasrama.
Selanjutnya, di bawah ini dibahas beberapa model pembelajaran yang berkembang
dan bertumpu pada dua strategi tersebut di atas.
a. Pendekatan BehavioristikPendekatan pembelajaran behavioristik menjelaskan bahwa esensi belajar adalah
perubahan tingkah laku yang harus dapat diamati, diukur dan dinilai secara kongkret.
Perubahan terjadi melalui rangsangan atau stimulant yang menimbulkan tanggapan
atau response berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulant tersebut tidak lain
adalah lingkungan belajar, baik yang internal maupun eksternal yang erat kaitannya
dengan proses belajar. Sedangkan response adalah akibat atau dampak, berupa
reaksi fisik terhadap stimulant. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da
kecenderungan perilaku Stimulus-Response (S-R).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan teori behavioristik adalah ciri-
ciri yang mendasari proses pembelajaran, yaitu:
Mementingkan pengaruh faktor lingkungan belajar
Mementingkan peranan reaksi
Mengutamakan mekanisme terbentuknya perilaku melalui prosedur
stimulus-respon
Mengutamakan pembentukan kebiasaan melalului latihan dan pengulangan
dan pendisiplinan
Beberapa model pembelajaran yang berbasis pada pendekatan behavioristik
yang masih dipraktekkan sampai saat ini biasanya terkait dengan kegiatan
belajar yang mementingkan keterampilan fisik kejuruan, misalnya antara lain
pembelajaran keterampilan komputer dan multi-media, dan keterampilan teknik
mekanik. Model-model pembelajaran tersebut, antara lain:
Ceramah
Drill and Practice atau juga disebut Demonstrasi
Simulasi
Permainan termasuk permainan peran (role play)
5
b. Pendekatan KonstruktivistikTerdapat dua jenis pendekatan pembelajaran konstuktif, yaitu
konstruktif kognitif dan konstruktif sosial. Secara umum dua jenis pendekatan
ini memiliki prinsip dasar yang relatif sama sehingga dalam naskah ini tidak
dibahas secara sendiri-sendiri, melainkan diuraikan sekaligus bersamaan.
Dalam konsep konstruktivistik ini belajar merupakan proses aktif di
mana siswa mengkonstruksi arti, wacana, dialog, dan pengalaman fisik. Belajar
juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau
informasi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa
sehingga pengetahuannya berkembang.
Untuk mewujudkan hal tersebut, guru harus dapat menfasilitasi para
siswanya agar dapat membangun atau mengkonstruksi pengetahuan dalam
benak pikiran mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru adalah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
idea-ideanya sendiri sesuai dengan kondisi serta gaya belajarnya. Dalam hal
ini, guru dapat memberi siswa cara-cara untuk meniti tangga dalam mencapai
tingkat pemahaman pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi sesuai
dengan kemampuannya.
Ada beberapa ciri yang menandai pembelajaran konstruktivistik, antara
lain:
1) Pembelajaran berlangsung dengan model belajar kooperatif, yaitu
memanfaatkan interaksi dengan teman dalam teamwork, berbasis
proyek, dan berbasis penemuan.
2) Pembelajaran menekankan scaffolding, yaitu bantuan dari guru pada
awal proses pembelajaran yang lambat-laun berkurang sejalan dengan
tingkat kemandirian belajar siswa
3) Pembelajaran memperhatikan generative learning yang menekankan
peran aktif para siswa dalam berpartisipasi untuk mengkonstruksi makna
dari informasi dan kondisi yang ada di lingkungan kelas berdasarkan
pengetahuan awal dan pengalaman yang dimiliki mereka.
4) Pembelajaran menekankan prinsip self regulated learning yang
menekankan pada kemandirian belajar.
6
5) Pembelajaran mengutamakan aspek kontekstual (Contextual Learning)
(Slavin, 2009).
Sementara itu, beberapa pakar pedagogy lainnya seperti misalnya
(Christie, A, 2005; Grabowski, B, 2004) menemukenali sebelas ciri yang
mengindikasikan peran guru dalam proses belajar mengajar konstruktivistik,
yaitu:
1) Mendorong tumbuh-kembangnya inisiatif dan kemandirian siswa
2) Merangsang tumbuh-kembangnya ketrampilan kognitif tingkat tinggi,
seperti dalam hal mengklasifikasi, menganalisis, mepredeksi, dan
mencipta.
3) Menfasilitasi siswa agar menemukan sendiri gaya dan strategi belajar
yang sesuai dengan ciri karakter dirinya
4) Melibatkan siswa untuk berbagi pendapat sesuai dengan
pemahamannya sebelum guru menyampaikan pendapatnya
5) Mendorong siswa untuk terlibat dalam dialog dan interaksi dengan guru
dan juga dengan sesama teman
6) Menggali dan merangsang tumbuhnya keberanian bertanya dan
mengemukakan pendapat dengan cara melontarkan pertanyaan
pancingan (probing questions)
7) Mengelaborasi jawaban pendek dan spontan yang dikemukakan oleh
siswa agar berkembang lebih luas
8) Mendorong keterlibatan siswa dalam diskusi
9) Memanfaatkan waktu jeda setelah guru melontarkan pertanyaan
10) Menyediakan waktu untuk siswa agar dapat mengkonstruksi dan
mencipta
11) Memupuk dan merawat sifat alamiah siswa dalam memenuhi hasrat
keingin-tahuan mereka (learning curiosity).
Model-model pembelajaran konstruktivistik yang banyak dipraktekkan
guru dalam proses pembelajaran, antara lain:
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-based Learning)
Pembelajaran Melalui Inkuiri (Inquiry-based Learning).
7
c. Pendekatan EklektikPada kenyataannya bila ditanyakan metode mana yang paling efektif
untuk dipraktikkan dalam pengajaran maka tidak ada jawaban yang tepat dan
pasti yang dapat ditemukan karena sebagaimana disimpulkan dalam berbagai
artikel hasil penelitian, sesungguhnya tidak ada satu pun metode yang efektif
dalam pembelajaran melainkan gabungan antara satu metode dengan metode
lainnya yang disebut dengan istilah Metode Eclectic (Mwanza, 2017). Hal
tersebut terjadi karena tiap-tiap metode mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing sehingga dengan metode eclectic ini guru
dapat memilih dan menyesuaikan metode mana yang cocok sesuai dengan
kondisi dan situasi di tempat mereka mengajar (Brown, 2013). Hal tersebut
menjadi penting untuk dibicarakan dalam kajian ini berdasarkan, paling tidak,
pada dua alasan, yaitu (1) amanah dari kurikulum tahun 2013, dan (2) amanah
program yang menjadi fokus pembicaraan dalam hal ini, yaitu sekolah
berasrama.
Berkaitan dengan kurikulum 2013 disebutkan dalam Permendikbud
Nomer 103 tahun 2014 bahwa pembelajaran pada pendidikan dasar dan
pendidikan menengah dilaksanakan melalui pendekatan saintifik dengan
urutan kegiatan logis (1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan
informasi/mencoba, (4) menalar/mengasosiasi, dan (5) megomunikasikan.
Langkah-langkah pendekatan saintifik tersebut pada prinsipnya merupakan
implementasi dari konsep pembelajaran konstruktivistik. Selanjutnya dalam
lampiran Permendikbud Nomer 103 tahun 2014 dijelaskan tentang tiga jenis
proses interaksi dalam pembelajaran, yaitu (1) interaksi antarpeserta didik, (2)
interaksi antara peserta didik dengan tenaga pendidik, dan (3) interaksi antara
peserta didik dengan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sesungguhnya, masih ada satu jenis interaksi yang dapat ditambahkan untuk
melengkapi tiga jenis interaksi tersebut, yaitu interaksi antara peserta didik
dengan dirinya sendiri, yang dalam praktiknya dapat dilakukan dalam bentuk
upaya memotivasi diri sendiri, berpikir positif dan kegiatan intrapersonal lainnya
(Suseno, 2012).
Jenis interaksi yang pertama dan kedua sepenuhnya dapat
dilaksanakan dan bahkan menjadi inti kegiatan utama dalam proses
8
pembelajaran di sekolah. Jenis interaksi yang ketiga dan keempat merupakan
kegiatan pendukung yang fungsi dan perannya sangat penting dan bahkan
dipercaya menjadi fungsi penentu sukses peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu menfasilitasi dan menciptakan
kondisi yang memungkinkan terjadinya proses dua interaksi terakhir tersebut
sebagai tambahan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Hal ini menjadi
alasan utama mengapa metode eklektik perlu diterapkan.
Selanjutnya, dalam konteks sekolah berasrama, langkah-langkah dan
strategi pembiasaan atau habituasi termasuk penegakan disiplin juga perlu
diterapkan selama proses pembelajaran di sekolah. Hal ini khususnya
dilakukan untuk mendukung proses pengasuhan di di asrama. Pelaksanaan
strategi pembiasaan ini juga memperkuat alasan untuk menerapkan metode
eklektik pada sekolah berasrama. Selanjutnya, rincian langkah-langkah
penerapan metode eklektik pada kegiatan utama di sekelolah diuraikan pada
bagian akhir pada bab ini, yaitu pada bagian pembahasan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
2. Model Pengasuhan di AsramaSekolah berasrama (Boarding school) dapat diartikan sebagai sekolah yang
menyediakan asrama sebagai tempat tinggal sekali gus sebagai tempat
mengasuh (nurture) para siswa selama kurun waktu mereka menyelesaikan
tugas pembelajarannya. Ada sejumlah masalah sekali gus keunggulan
pada pengelolaan sekolah berasrama, sebagai berikut:
a. Keunggulan sekolah berasrama.
Menurut Muslimin (2012) keunggulan sekolah berasrama berupa,
antara lain:
1) Program pendidikan paripurna
Umumnya sekolah-sekolah regular (non-asrama) terkonsentrasi pada
kegiatan-kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang
tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada
dalam pegelolaan program pendidikan pada sekolah regular.
Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program
pendidikan yang komprehensif holistik dari program pedidikan
9
keamanan, perkembangan akademik, keahlian hidup (soft skills)
sampai membawa wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak
hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam
konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.
2) Fasilitas lengkap
Sekolah berasrama pada umumnya mempunyai fasilitas yang
lengkap, mulai dari fasilitas ruang belajar, fasilitas pendukung
kegiatan belajar, seperti sarana olahraga, ruang pertemuan serta
fasilitas pendukung lainnya.
3) Siswa yang heterogen
Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar
belakang yang tingkat heterogenitasnya tinggi. Berasal dari berbagai
daerah dengan latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan,
kemampuan akademik yaang sangat beragam. Kondisi ini sangat
kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa
berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga
sangat baik bagi anak untuk menghargai kebhenekaan/pluralitas.
b. Problematika sekolah berasrama
Sutrisno (http://iiecri.com/download) mengungkapkan bahwa sampai
saat ini sekolah-sekolah berasrama masih menghadapi banyak
persoalan yang belum dapat diatasi sehingga banyak sekolah
berasrama tidak berkembang sesuai dengan rencana. Persoalan dan
masalah yang dihadapi oleh sekolah berasrama, antara lain:
1) Kategorisasi identitas sekolah berasrama (apakah berbasis
religius, nasionalis, atau perpaduan keduanya) yang sering
menyulitkan pelaksanaannya.
2) Dikotomi antara guru sekolah yang bertugas melaksanakan
pembelajaran dan guru asrama yang bertugas melaksanakan
pengasuhan
3) Kurikulum pengasuhan yang tidak baku
Untuk mengatasi problematika tersebut di atas maka perlu dilakukan upaya
berikut ini:
10
1) Kategorisasi identitas perlu ditetapkan, yaitu dalam hal ini adalah
sekolah berasrama nasionalis
2) Perlu dibuat uraian tugas dan tanggungjawab yang jelas dan terpisah
antara guru sekolah dan guru asrama. Uraian tugas dan
tanggungjawab termasuk aturan pelaksanaanya diuraikan pada Bab
Pengelolaan Sekolah Berasrama
3) Perlu dibuat kurikulum pengasuhan yang dapat dijadikan patokan
dasar pelaksanaan pengasuhan siswa di asrama.
C. Kegiatan Intrakurikuler, Ekstrakulikuler dan Kokurikuler
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2017
tentang hari sekolah disebutkan tiga kegiatan di hari sekolah, yaitu (1) intrakurikuler,
(2) Kokurikuler, dan (3) Ekstrakurikuler (Ditjen Dikdasmen, Kemendikbud, 2017).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan belajar di
sekolah untuk memenuhi tugas dan kegiatan yang tercantum dalam kurikulum.
Kegiatan ini pada dasarnya merupakan kegiatan baku yang berlaku pada sekolah-
sekolah pada umumnya, yaitu penyampaian materi ajar dari seluruh mata pelajaran
yang tercantum dalam kurikulum. Kegiatan intrakurikuler merupakan sarana
pelaksanaan jenis interaksi pertama dan kedua, yaitu interaksi antarpesertadidik dan
interaksi antara peserta didik dan tenaga pendidik.
Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan siswa di bawah bimbingan dan
pengawasan sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat,
kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian peserta didik secara optimal
untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan. Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 tahun 2014 disebutkan bahwa kegiatan
ekstrakurikuler terdiri dari dua jenis, yaitu (1) kegiatan wajib yang harus
dselenggarakan oleh semua satuan pendidikan dan harus diikuti oleh seluruh peserta
didik dan (2) kegiatan pilihan yang dikembangkan dan diselenggarakan oleh satuan
pendidikan sesuai bakat dan minat peserta didiknya. Kegiatan ekstrakurikuler wajib
dilaksanakan dalam bentuk pembinaan Pramuka sedangkan ekstrakurikuler pilihan
berupa pembinaan olah bakat, dan olah minat termasuk olahraga (Kemendikbud,
2014).
11
Kegiatan kokurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk memperkuat
atau memperdalam kompetensi dasar atau indikikator pada mata pelajaran/bidang
sesuai kurikulum. Kegiatan kokurikuler meliputi, antara lain: pengayaan mata
pelajaran ilmiah, pembimbingan seni dan budaya, dan/atau bentuk kegiatan lain untuk
penguatan karakter peserta didik. Kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler pada
dasarnya merupakan kegiatan pengembangan diri siswa untuk mendukung dan
melengkapi kompetensi akademik yang dikembangkan melalui kegiatan intrakurikuler.
Berdasarkan uraian di atas, khususnya terkait dengan pengertian makna
pengasuhan, maka perlu dibuat rekomendasi bahwa model pengasuhan siswa
sekolah berasrama perlu dikembangkan dengan tujuan utama mengembangkan
potensi diri siswa melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler. Bentuk-
bentuk kegiatannya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu (1) kegiatan
pembinaan bakat dan minat bidang olahraga, (2) kegiatan pengembangan bakat dan
minat bidang seni, dan (3) kegiatan pengembangan bakat dan minat bidang
kewirausahaan.
References
Brown, H. (2013). English Language Teaching in the ‗Post-Method‘ Era: Toward
better Diagnosis, Treatment, and Assessment. In W. Richard J. & Renandya,
Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice (pp. 9 -
18). Cambridge: Cambridge University Press.
Christie, A. (2005). Constructivism and its implications for educators. Diunduh dari
laman http://alicechristie.com/edtech/learning/constructivism/index.htm
Ditjen Dikdasmen, Kemendikbud. (2017, June 1). Hari Sekolah: Permendikbud.
Jakarta, DKI Jakarta, Jakarta.
Grobowski, Barbara (2004). Generative Learning Contributions to the Design ofInstruction and Learning. Handbook of Research on EducationalCommunication and Technology.
Joyce, B. W. (1996). Models of Teaching. Englewood Cliff, N.J.: Prentice-Hall.
Kemendikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 62.
Jakarta, DKI Jakarta, Jakarta.
12
Muslimin, Sutrisno (2012). Problem dan Solusi Pendidikan di SekolahBerasrama(Boarding School. Diunduh dari lamanhttps://www.academia.edu/4407946/
Mwanza, D. S. (2017). The Eclectic Approach to Language Teaching: Its
Conceptialisation and Misconceptions. International Journal of Humanities
Social Science and Education, 53 - 67.
Slavin, R. E. (2009). Educational Psychology: Theory and Practice. New Jersey:
Pearson Education, Inc.,.
Suseno, M. (2012). Power of Words: Seni Memotivasi Diri dan Orang Lain. Depok:
PT Komodo Books.
Taber, K. S. (2011). Constructivism as Educational Theory: Contingency in Learning,
and Optimally Guided Instruction. Cambridge: Nova Science Publisher, Inc.