1
PERCOBAAN I
IDENTIFIKASI HIDROKARBON TAK JENUH
A. Tujuan
Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa
hidrokarbon jenuh dan tak jenuh.
B. Dasar Teori
1. Hidrokarbon
Karbon dapat membentuk lebih banyak senyawa dibandingkan
unsur lain sebab atom karbon tidak hanya dapat membentuk ikatan
rangkap tiga, tetapi juga bisa terkait satu sama lain membentuk rantai
dan cincin.
Semua senyawa organik merupakan turunan dari golongan
senyawa yang dikenal sebagai hidrokarbon, sebab senyawa tersebut
terbuat hanya dari hidrogen dan karbon.
Senyawa hidrokarbon seperti golongan alkana tidak dianggap
sebagai senyawa yang reaktif akan tetapi pada kondisi tertentu
(mendekati titik bakarnya 0) senyawa golongan ini dapat mengalami
reaksi pembakaran atau reaksi oksidasi.
(Chang, 2004)
Senyawa hidrokarbon adalah senyawa kimia yang terdiri dari
unsur-unsur hidrogen dan karbon. Senyawa hidrokarbon yang dapat
dibagi atas tiga kelompok besar, yaitu senyawa parafin, senyawa
naftalena dan senyawa-senyawa aromatis (Umiati, 2009).
2. Klasifikasi Hidrokarbon
Berdasarkan bentuk karbonnya, hidrokarbon dapat dibagi ke
dalam senyawa alifatik, alisklik dan aromatik. Hidrokarbon yang semua
ikatan karbon-karbonnya merupakan ikatan kovalen tunggal disebut
hidrokarbon jenuh. Jika terdapat satu saja ikatan karbon-karbon
rangkap dua atau tiga, digolongkan sebagai hidrokarbon tak jenuh.
2
Suatu golongan senyawa dengan rumus umum yang sama dan sifat-
sifatnya mirip disebut homolog. Alkana merupakan hidrokarbon jenuh
dengan rumus umum CnH2n+2. Alkena merupakan hidrokarbon tak
jenuh dengan satu ikatan rangkap dua. Adapun rumus umumnya ialah
CnH2n. Sedangkan untuk hidrokarbon yang memiliki ikatan rangkap tiga
disebut alkuna dengan rumus umum CnH2n-2. Sumber utama alkana
adalah gas alam dan minyak bumi. Sedangkan alkena dibuat dari alkena
melalui proses perengkahan. Alkena, alkana dan alkuna mempunyai
tatanama tertentu (Dadani, 2012).
a. Alkana
Hidrokarbon yang tidak mempunyai ikatan rangkap dua atau
tiga disebut dengan alkana. Semua alkana mempunyai rumus
umum CnH2n+2, dan merupakan hidrokarbon jenuh. Alkana
memiliki ciri dengan adanya atom-atom karbon tetrahedral (Sp3).
Contohnya, metana (CH4) dan etana (C2H6) (Sarker, 2009).
b. Alkena
Sebuah alkena adalah suatu hidrokarbon yang mengandung
satu ikatan rangkap. Kadang-kadang alkena disebut olefin, dari
kata olifiant (gas yang membentuk minyak), suatu nama lain untuk
etilena (CH2=CH2 ) (Fessenden, 1986).
c. Alkuna
Seperti yang telah dinyatakan di atas, jika hidrokarbon induk
tidak mengandung ikatan rangkap maupun ganda tiga digunakan
akhiran -ana. Jika alkuna, rangkap tiga digunakan akhiran -una.
(Fessenden, 1986)
d. Sikloalkana
Sikloalkana merupakan alkana dalam bentuk siklik dengan
rumus molekul umum CnH2n. Anggota paling sederhana dari
kelompok ini tersusun atas cincin karbon tunggal tidak
tersubstitusi, dan struktur ini membentuk sekelompok seri homolog
serupa dengan alkana yang bercabang (Sarker, 2009).
3
e. Senyawa aromatik
Senyawa golongan hidrokarbon ini mempunyai cincin
benzena dimana struktur dasar dari benzena mengandung 6 atom
karbon yang dihubungkan dengan ikatan hibrid. Hidrokarbon
aromatik merupakan kelompok khusus dari senyawa siklik tak
jenuh yang mempunyai struktur seperti benzena. Disebut aromatik
karena adanya bau khas (Manengkey, 2012).
Semua obat adalah bahan kimia dan kebanyakan dari
senyawa-senyawa aromatis. Secara umum, istilah senyawa
aromatis merupakan senyawa-senyawa wangi/fragnan. Dulu
benzena dan kelompoknya diberi istilah sebagai aromatis.
Meskipun demikian, sejumlah senyawa non benzena dapat juga
dikelompokkan sebagai senyawa aromatis (Sarker, 2005).
3. Sifat-sifat Hidrokarbon
Tidak leleh dan tidak didih hidrokarbon meningkat seiring
dengan peningkatan massa molekul relatifnya. Titik leleh dan titik
didih senyawa-senyawa yang merupakan isomer berkurang seiring
dengan pertumbuhan jumlah cabang dalam molekulnya. Alkana
mempunyai reaksi-reaksi penting, yaitu pembakaran, substitusi dan
perengkahan. Alkena dan alkuna mempunyai ikatan rangkap dan
mengalami reaksi adisi dan penjenuhan (Dadani, 2012).
Struktur gugus fungsi dan ukuran molekul adalah faktor yang
menentukan sifat senyawa karbon.
a. Hidrokarbon tidak larut dalam air, karena sifatnya non polar, hal
ini dikarenakan kecilnya perbedaan keelektronegatifan antara C
dan H.
b. Alkohol dengan rantai karbon pendek larut dalam air, karena dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan air.
c. Makin besar ukuran molekul reduksi hidrokarbon dibandingkan
dengan gugus fungsinya, maka kelarutannya dalam air akan
berkurang.
4
d. Titik didih senyawa karbon dipengaruhi oleh massa molekul dan
kemampuan membentuk ikatan hidrogen.
e. Gugus fungsi dalam molekul senyawa karbon merupakan
penentuan reaksi yang terjadi.
f. Kuat ikatan mempengaruhi reaksi senyawa karbon.
(Dwiyanti, 2009)
5
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Tabung reaksi
b. Rak tabung
c. Pipet tetes
d. Gelas kimia
2. Bahan
a. I2 dalam kloroform
b. KMnO4 0,01 N
c. Minyak goreng
d. Minyak jelantah
e. Minyak VCO
f. H2SO4
g. Sikloheksana
D. Prosedur Kerja
1. Percobaan 1
a. Diambil tabung reaksi yang telah dibersihkan dan dikeringkan
b. Diisi tabung reaksi dengan masing-masing sampel
c. Ditetesi semua tabung dengan H2SO4 lalu dikocok
d. Diamati dan dicatat hasil pengamatan
2. Percobaan 2
a. Diulangi percobaan diatas, tetapi larutan H2SO4 diganti dengan
KMnO4 disetiap tabung
b. Diamati dan dicatat hasil pengamatan
3. Percobaan 3
a. Diisi dalan 3 tabung reaksi, diisi 5ml larutan I2 dalam kloroform
b. Ditetesi masing-masing tabung reaksi dengan minyak kelapa, minyak
goreng, minyak jelantah dengan menggunakan pipet tetes secara
perlahan-lahan
6
c. Dihitung jumlah tetesan minyak untuk menghilangkan warna merah
muda pada larutan I2 dalam kloroform
7
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel hasil pengamatan
No Sampel Pereaksi Warna ∑ tetes
1. Minyak VCO
H2SO4
Pekat
Jernih dan larutan 2
fase 20
2. Minyak Goreng Keruh dan larutan 2
fase 20
3. Minyak Jelantah Kuning dan larutan 2
fase 10
4. Sikloheksana Jernih dan larutan 2
fase 12
5. Minyak VCO
KMnO4
Atas bening dan
bawah ungu
(larutan 2 fase)
7
6. Minyak Goreng Kecoklatan
(larutan 2 fase) 7
7. Minyak Jelantah Endapan coklat 3
8. Sikloheksana Jernih dan larutan
2 fase 5
9. I2 dalam
Kloroform
Minyak
VCO Jernih 146
Minyak
Goreng
Larutan coklat
kemerahan 180
Minyak
Jelantah
Larutan coklat
kemerahan 190
Sikloheksa
na Ungu 80
8
H2C
HC
H2C
O C(CH2)14CH3
O
O
O
C(CH2)7CH
C(CH2)7CH
CH(CH2)7CH3
O
O
CHCH2CH CH(CH2)4CH3
2. Reaksi
a. Minyak nabati + H2SO4
+ H2SO4
b. Minyak nabati + KMnO
H2C
HC
H2C
O C(CH2)14CH3
O
O
O
C(CH2)7CH2
C(CH2)7CH
CH(CH2)7CH3
O
O
HSO4
CH CH2CH2 CH(CH2)4CH3
HSO4HSO4 HSO4 HSO4
H2C
HC
H2C
O C(CH2)14CH3
O
O
O
C(CH2)7CH
C(CH2)7CH
CH(CH2)7CH3
O
O
CHCH2CH CH(CH2)4CH3
+ MnO4 + 4H2O
9
c. Minyak nabati + I2 dalam kloroform
+ 3 I2
H2C
HC
H2C
O C(CH2)14CH3
O
O
O
C(CH2)7CH
C(CH2)7CH
CH(CH2)7CH3
O
O
CHCH2CH CH(CH2)4CH3
OH OH
OH OH OH OH
+ MnO2 + 2H + 3e
H2C
HC
H2C
O C(CH2)14CH3
O
O
O
C(CH2)7CH
C(CH2)7CH
CH(CH2)7CH3
O
O
CHCH2CH CH(CH2)4CH3
H2C
HC
H2C
O C(CH2)14CH3
O
O
O
C(CH2)7CH
C(CH2)7CH
CH(CH2)7CH3
O
O
CHCH2CH CH(CH2)4CH3
I I
I I I I
10
d. Sikloheksana
+ KMnO4
+ H2SO4
+ I2 dalam kloroform
11
F. Pembahasan
Percobaan ini berjudul identifikasi hidrokarbon tak jenuh yang
bertujuan untuk mengindentifikasi dan membedakan antara senyawa
hidrokarbon jenuh dan tak jenuh. Hidrokarbon adalah suatu golongan
senyawa kimia yang tersusun oleh atom-atom karbon (C) dan hidrogen (H).
Senyawa hidrokarbon dapat di golongkan berdasarkan bentuk rantainya dan
jenis antar ikatan atom-atom penyusunnya. Berdasarkan bentuk rantainya,
senyawa hidrokarbon dibagi menjadi hidrokarbon alifatik (rantai terbuka)
dan hidrokarbon siklik (rantai tertutup), sedangkan berdasarkan jenis ikatan
atom-atomnya, senyawa ini dibagi menjadi hidrokarbon jenuh dan tak jenuh.
Hidrokarbon jenuh adalah hidrokarbon yang ikatan antar atomnya berupa
ikatan tunggal (alkana), sedangkan hidrokarbon tak jenuh merupakan
hidrokarbon yang mengandung ikatan rangkap pada atom-atom
penyusunnya, baik ikatan rangkap dua (alkena) atau ikatan rangkap tiga
(alkuna). Berdasarkan hal inilah kedua golongan senyawa ini dapat
diidentifikasikan dan dibedakan antara satu dengan lainnya. Secara umum,
senyawa hidrokarbon memiliki sifat jenuh dan sukar bereaksi dengan zat
lain, sedangkan hidrokarbon tak jenuh lebih mudah bereaksi. Hal ini terjadi
karena pada hidrokarbon jenuh tidak terdapat ikatan rangkap sebagaimana
pada hidrokarbon tak jenuh. Ikatan tunggal menunjukkan bahwa senyawa
tersebut telah jenuh dengan hidrogen, hingga tidak dapat mengalami proses
penjenuhan.
Percobaan kali ini dilakukan tiga kali pengujian. Pengujian pertama
dan kedua yaitu untuk mengetahui jenuh atau tidak jenuhnya suatu sampel
yang digunakan, sedangkan pengujian ketiga yaitu untuk mengetahui tingkat
kejenuhan pada sampel. Percobaan ini menggunakan minyak VCO (Virgin
Coconut Oil), minyak goreng, minyak jelantah dan sikloheksana sebagai
sampel hidrokarbon yang akan diuji, selain itu digunakan pula H2SO4 pekat
dan KMnO4 sebagai pereaksi H2SO4 pekat pada percobaan I dan II. Tingkat
kejenuhan sampel dapat diketahui berdasarkan jumlah tetesan yang
diperlukan untuk memutuskan ikatan rangkap pada sampel yang ditandai
12
dengan adanya perubahan warna yang semakin pekat, perubahan ini
menunjukkan tingkat kejenuhan sampel yang diuji. Lalu pada percobaan III,
I2 dalam kloroform yang dimasukkan kedalam tabung reaksi dan sampel-
sampel minyak diteteskan kedalam tabung hingga terjadi perubahan warna.
Jumlah tetesan dan perubahan warna yang terjadi menunjukkan ada atau
tidaknya ikatan rangkap yang terkandung pada sampel-sampel minyak atau
sikloheksana. Pada percobaan hidrokarbon ini digunakan larutan KMnO4
sebagai pereaksi, hal ini dikarenakan kalium permanganat (KMnO4)
merupakan oksidator kuat yang mampu memutus ikatan Phi (π) dalam ikatan
karbon rangkap menjadi ikatan Sigma (σ), yaitu ikatan karbon tunggal
melalui reaksi oksidasi. Sama halnya dengan penggunaan H2SO4 pekat
sebagai pereaksi, H2SO4 pekat juga bertujuan untuk memutus ikatan rangkap
menjadi ikatan tunggal, namun melalui reaksi penambahan atom atau disebut
reaksi adisi. Semakin banyak jumlah tetesan H2SO4 pekat pada suatu sampel,
akan membuat sampel tersebut membentuk larutan 2 fase, pada bagian atas
berwarna kuning dan bagian bawah berwarna bening. Adapun penggunaan I2
dalam kloroform juga bertujuan untuk memutus ikatan rangkap menjadi
ikatan tunggal melalui mekanisme reaksi penggantian atau pertukaran atom
yang biasa disebut subtitusi. Pembuatan I2 dalam kloroform ialah untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan saat percobaan,
mengingat I2 bersifat sangat reaktif, mudah teroksidasi dan larut dalam air,
serta dapat menghasilkan gas yang bersifat racun.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkat
kejenuhan masing-masing sampel berbeda-beda. Hal ini terlihat dari
banyaknya jumlah tetesan pereaksi yang diteteskan kepada sampel hingga
terjadi perubahan. Tingkat kejenuhan juga dapat diketahui dari perubahan
warna yang terjadi pada sampel. Semakin banyak jumlah tetesan pereaksi,
menunjukkan semakin tidak jenuhnya sampel.
Sampel pertama, yaitu minyak VCO yang direaksikan dengan H2SO4
pekat. Minyak VCO yang direaksikan dengan H2SO4 pekat akan
menghasilkan larutan jernih dengan membentuk larutan 2 fasa. Berdasarkan
13
hal tersebut dapat diketahui bahwa semakin tidak jenuhnya sampel tersebut.
Hal ini sesuai dengan teori dimana hidrokarbon jenuh tidak dapat mengalami
reaksi adisi atau penambahan atom karena ikatan-ikatannya telah jenuh oleh
atom hidrogen, sehingga reaksi tidak berlangsung dan ditandai dengan tidak
adanya perubahan warna pada sampel. Hal ini pun sesuai dengan teori,
bahwa VCO mengandung asam laurat, yaitu asam lemak jenuh rantai sedang
dengan konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Adapun larutan 2 fasa yang terbentuk dikarenakan perbedaan sifat kepolaran
antara 2 senyawa tersebut, dimana minyak VCO merupakan hidrokarbon
yang bersifat non polar, sedangkan H2SO4 bersifat polar, sehingga kedua
larutan tersebut tidak bercampur.
Sampel kedua, yaitu minyak goreng. Jumlah H2SO4 yang dibutuhkan
sampai sampel mengalami perubahan sama dengan jumlah pada jumlah
pertama, yaitu 20 tetes. Berdasarkan pengamatan, sampel ini terjadi
perubahan menjadi keruh kekuningan dan membentuk larutan 2 fasa. Adanya
perubahan ini menunjukkan terjadinya reaksi adisi oleh H2SO4 terhadap asam
lemak tak jenuh yang terkandung dalam sampel. Reaksi ini merupakan reaksi
penjenuhan, dimana ikatan rangkap yang terkandung dalam asam lemak tidak
jenuh diputus menjadi ikatan tunggal dengan mekanisme penambahan atom
hidrogen. Hal ini sesuai dengan teorinya, bahwa minyak goreng mengandung
2 jenis asam lemak, yaitu asam lemak tak jenuh sebagai penyusun utama dan
asam lemak jenuh.
Sampel ketiga, yaitu minyak jelantah. Jumlah H2SO4 yang dibutuhkan
adalah 10 tetes sehingga sampel terlihat berwarna kuning membentuk larutan
2 fasa. Sebenarnya tidak ada perubahan yang terjadi pada sampel ini saat
jumlah tetesan tersebut. Warna kuning merupakan warna dari minyak
jelantah sendiri. Berdasarkan teori, jumlah tetesan harus lebih banyak dari
jumlah tetesan yang digunakan untuk menjenuhkan sampel sebelumnya,
yakni minyak goreng. Karena tingkat kejenuhan dari minyak jelantah lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak goreng. Karena minyak jelantah
merupakan minyak goreng yang telah mengalami oksidasi, sehingga ikatan-
14
ikatan rangkap dalam asam lemak tak jenuhnya sudah terputus menjadi
ikatan-ikatan tunggal. Berdasarkan hal inilah reaksi adisi memerlukan waktu
yang lama untuk dapat mengikat. Reaksi dapat berlangsung dengan
penambahan pereaksi yang lebih banyak. Karena di dalam minyak jelantah
masih terdapat komponen asam lemak tak jenuh dengan komposisi yang
sedikit. Hal yang sama terjadi pula pada sampel keempat, yaitu sikloheksana,
tetesan H2SO4 yang diberikan pada sampel tidak menyebabkan sampel
mengalami perubahan dan tetap terlihat jernih dengan membentuk larutan 2
fasa. Hal ini membuktikan bahwa sikloheksana tidak mengalami reaksi adisi
oleh H2SO4 karena tergolong hidrokarbon jenuh. Minyak VCO, minyak
goreng, minyak jelantah dan sikloheksana ketika direaksikan dengan H2SO4
sama-sama menghasilkan larutan 2 fasa namun minyak VCO dan minyak
goreng menghasilkan larutan 2 fasa dengan ada sedikit uap pada dinding
tabungnya. Hal ini terjadi karena adanya perubahan suhu secara eksoterm
karena sampel mengalami reaksi adisi dengan H2SO4. Dari percobaan
tersebut diketahui bahwa sikloheksana dan minyak jelantah termasuk
hidrokarbon jenuh sedangkan minyak VCO dan minyak goreng termasuk
hidrokarbon tidak jenuh.
Percobaan kedua dengan menggunakan pereaksi KMnO4 pada sampel
yaitu minyak VCO, minyak goreng, minyak jelantah, dan sikloheksana.
Minyak VCO yang direaksikan dengan KMnO4 sebanyak 7 tetes
menghasilkan larutan berwarna ungu dan terbentuk endapan ungu. Hal ini
menunjukkan terjadinya reaksi oksidasi dimana ikatan rangkap pada minyak
VCO diubah menjadi ikatan tunggal. Dalam hal ini ikatan pada ikatan
rangkap dua dari mintak VCO terputus karena sifatnya lebih lemah dan
menandakan bahwa minyak VCO termasuk hidrokarbon tak jenuh.
Sampel selanjutnya, yaitu minyak goreng dan minyak jelantah terjadi
perubahan warna setelah ditetesi dengan pereaksi KMnO4 sebanyak 7 tetes
dan 3 tetes, yakni terlihat bahwa sampel yang awalnya berwarna kuning
jernih menjadi larutan 2 fasa dengan warna keruh kecoklatan. Hal ini terjadi
karena Mn2+
merupakan unsur transisi, dimana unsur transisi memiliki
15
beberapa bilangan oksidasi yang ditandai dengan perbedaan warna pada
setiap bilangan oksidasi. Terjadi reaksi redoks, dimana senyawa hidrokarbon
mengalami oksidasi dan dan KMnO4 mengalami reduksi, mengubah bilangan
oksidasi Mn dalam KMnO4 yaitu +7 yang memberi warna ungu menjadi
senyawa MnO2 dengan biloks Mn +4 yang memberikan warna coklat. Selain
itu reaksi oksidasi yang terjadi mengakibatkan ikatan rangkap dua terputus
dan berubah menjadi menjadi ikatan tunggal. Dari percobaan tersebut
diketahui bahwa sampel tersebut termasuk hidrokarbon tak jenuh.
Sampel sikloheksana yang direaksikan dengan KMnO4 menghasilkan
larutan 2 fasa, diatas berwarna bening dan dibawah berwarna ungu. Terlihat
adanya cincin ungu yang memisahkan larutan tersebut. Hal ini terjadi karena
sikloheksana termasuk hidrokarbon jenuh sehingga tidak terjadi reaksi
meskipun jumlah pereaksi yaitu KMnO4 yang ditambahkan sangat banyak.
Hal itu terjadi karena sikloheksana merupakan hidrokarbon jenuh yang tidak
memiliki ikatan rangkap, sehingga reaksi oksidasi tidak terjadi. Minyak
jelantah seharusnya termasuk kedalam golongan hidrokarbon jenuh karena
minyak dipanaskan secara berulang-ulang (digunakan untuk menggoreng
berkali-kali) maka akan memutuskan ikatan rangkap pada minyak sehingga
terbentuk ikatan tunggal. Akan tetapi minyak jelantah yang dijadikan sampel
hanya baru digunakan sekali saja sehingga ikatan dalam minyak masih
banyak yang mengandung ikatan rangkap daripada ikatan tunggalnya.
Percobaan terakhir, dimana larutan I2 dalam kloroform dimasukkan
kedalam tabung reaksi dan ditetesi dengan keempat sampel sebelumnya.
Pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui sampel mana yang termasuk
hidrokarbon jenuh dan yang termasuk hidrokarbon tak jenuh. Untuk minyak
goreng dibutuhkan sebanyak 180 tetes untuk membuat larutan I2 berubah dari
warna ungu menjadi coklat kemerahan. Untuk minyak jelantah dan minyak
VCO masing-masing sebanyak 190 dan 146 tetes dengan hasil coklat
kemerahan dan jernih. Apabila suatu sampel yang mengandung ikatan
rangkap diteteskan pada larutan ini, maka perubahan warna akan terjadi,
yaitu warna ungu, dimana larutan I2 dalam kloroform akan hilang. Hal ini
16
terjadi, karena adanya mekanisme pertukaran atom atau subtitusi adisi yang
akan memutus ikatan rangkap pada hidrokarbon dan menghasilkan suatu
senyawa organo-halogen jenuh dan tidak berwarna. Dimana satu atom
hidrogen pada hidrokarbon diganti dengan gugus iodin dan membentuk
senyawa jenuh tidak berwarna. Hal ini terlihat saat I2 ditetesi dengan minyak
goreng, minyak jelantah dan minyak VCO. Kemudian, pada perubahan
warna yang terjadi seharusnya tidak berwarna atau bening untuk keempat
sampel yang di teteskan ini. Sehingga, apabila telah terjadi perubahan dari
warna asal maka hal itu dapat di simpulkan bahwa telah terjadi reaksi
substitusi adisi.
Sedangkan apabila suatu senyawa hidrokarbon jenuh diteteskan pada
I2, maka tidak akan terjadi perubahan warna. Karena sukarnya atom I2
memutus ikatan tunggal pada hidrokarbon jenuh yang membentuk rantai
tertutup (cincin). Pada saat sikloheksana diberikan 80 tetes pereaksi,
sikoheksana tidak menunjukkan perubahan. Sehingga untuk mengefisienkan
waktu dan bahan, penetesan dihentikan. Sehingga dapat di simpulkan bahwa
reaksi subtitusi adisi tidak terjadi.
Menurut prosedur dan hasil pengamatan diatas dapat diketahui bahwa
hidrokarbon jenuh (alkana) sangat sukar bereaksi dengan zat lain. Hal ini
terjadi karena senyawa-senyawa hidrokarbun jenuh (alkana) memiliki
afinitas yang sangat kecil. Selain itu ikatan antar atomnya diatur oleh ikatan
sigma (σ) yang memiliki kekuatan yang besar, sehingga untuk memutusnya
memerlukan energi yang besar. Berbeda dengan hidrokarbon tak jenuh yang
ikatan antar atomnya disusun oleh ikatan sigma (σ) dan phi (π). Ikatan sigma
merupakan ikatan yang kuat, sedangkan ikatan phi adalah ikatan yang lemah
sehingga mudah untuk diputus oleh zat lain. Bila ikatan ini putus, maka
elektron yang bebas dapat dipergunakan untuk mengadakan ikatan dengan
atom/gugus atom yang kekurangan elektron, sehingga terjadilah mekanisme
adisi.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa
sampel yang termasuk hidrokarbon tak jenuh yaitu minyak VCO dan minyak
17
goreng sedangkan yang termasuk hidrokarbon jenuh yaitu minyak jelantah
dan sikloheksana. Hal ini sesuai dengan teori, dimana jenuh atau tidak
jenuhnya sampel dapat diketahui berdasarkan warna sampel yang dihasilkan.
Dimana semakin pekat warna yang dihasilkan pada sampel, maka semakin
jenuh pula sampel tersebut. Tingkat kejenuhan dari sampel dapat diketahui
berdasarkan jumlah tetesan pereaksi yang diberikan pada sampel.
Berdasarkan teori jumlah tetesan pereaksi mempengaruhi, hal ini dapat
diketahui jika semakin banyak tetesan pereaksi yang diberikan, maka
semakin jenuh pula sampel tersebut, sehingga tidak terjadi perubahan warna
yang signifikan pada sampel.
Dalam dunia kesehatan, penentuan kejenuhan dari suatu lemak atau
minyak yang dikonsumsi sehari-hari sangatlah penting. Minyak yang baik di
konsumsi adalah minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh dengan
konsentrasi yang banyak. Asam lemak jenuh rantai panjang sangatlah
berbahaya bagi kesehatan. Karena merupakan salah satu faktor penyebab
penyakit-penyakit degenaratif, salah satunya penyakit jantung koroner. Oleh
karena itu penggunaan minyak goreng yang layak konsumsi maksimal 4 kali
setelah penggorengan. Karena oksidasi yang terjadi saat penggorengan akan
memecah ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak
jenuh yang berbahaya bagi kesehatan.
18
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Minyak kelapa dan minyak goreng merupakan senyawa hidrokarbon tak
jenuh.
2. Minyak Jelantah dan sikloheksana adalah senyawa hidrokarbon jenuh.
3. Urutan tingkat kejenuhan sampel dari yang tertinggi yaitu
Minyak Jelantah > Minyak Goreng > Minyak VCO > Sikloheksana
19
PERCOBAN II
IDENTIFIKASI ALKIL HALIDA DAN ARIL HALIDA
A. Tujuan
Mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa alkil halida dan aril
halida.
B. Dasar Teori
Senyawa organohalogen digunakan secara meluas dalam masyarakat
modern sebagai pelarut, insektisida dan bahan dalam sintesis senyawa
organik. Kebanyakan senyawa organohalogen adalah sintetik. Senyawa
organohalogen agak jarang ditemukan dalam alam. Banyak senyawa
organohalogen yang bersifat racun (toksik) dana harus digunakan dengan
hati-hati. Misalnya, pelarut-pelarut karbon tetraklorida (CCl4) dan kloroform
(CHCl3) menyebabkan kerusakan pada hati bila dihirup secara berlebihan.
Dipihak lain beberapa senyawa halolgen tampaknya sangat aman dan
beberapa digunakan sebagai pemati rasa hirupan. Senyawa yang mengandung
hanya karbon, hidrogen dan suatu atom halogen dibagi dalam tiga kategori,
diantaranya alkil halida, aril halida (sebuah halogen terikat pada sebuah
karbon dari suatu cincin aromatik) dan halida unilik (sebuah hidrogen yang
terikat pada sebuah halogen yang terikat pada sebuah karbon berikatan
rangkap). Sebuah atom F, Cl atau Br, bersifat elektronegatif relatif terhadap
karbon. Meskipun kelektronegatifan iod dekat dengan keelektronegatifan
karbon sebab iod-iod mudah dipolarisasi. Oleh karena itu alkil halida bersifat
polar (Fessenden, 1986).
Senyawa halogen sangat penting karena berbagai sebab. Alkil dan aril
halida sederhana, terutama klorida dan bromida adalah awal sintesis senyawa
organik. Melalui reaksi subtitusi, halogen dapat diganti dengan gugus fungsi
lain. Halida-halida organik juga dapat di ubah menjadi senyawa jenuh
melalui reaksi eliminasi. Sehingga banyak senyawa organik mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari (Hart, 1983).
20
Dalam sistem IUPAC, suatu alkil halida diberi nama dengan suatu
awalan halo-. Banyak alkil halida yang lazim mempunyai nama gugus
fungsional trivial. Dalam nama-namanya gugus alkil disebut lebih dulu dan
diikuti nama halidanya. Struktur bagian alkil dari suatu alkil halida
berperanan, oleh karena itu perlu dibedakan empat tipe alkil halida,
diantaranya metil, primer, sekunder dan tersier. Suatu metal halida ialah suatu
struktur dalam, dimana satu hidrogen dari metana telah digantikan oleh
sebuah halogen. Karbon ujung sebuah alkil halida ialah atom karbon yang
terikat pada halogen (Fessenden, 1986).
Aril halida adalah senyawa dimana atom hidrogen terikat langsung
pada gugus aromatik dan berikatan dengan halogen. Rumus umum Ar,
dimana Ar = fenil atau fenil tersubtitusi.
Br Cl I COOH
Cl
Sebuah atom F, Cl atau Br bersifat elektronegatif relatif terhadap
karbon. Meskipun kelektronegatifan iod dekat dengan keelektronegatifan
karbon, iod-iod mudah dipolarisasi. Benzena merupakan senyawa aromatis
ysng paling sederhana dengan simbol Ar=Aril digambarkan dengan rumus
kimia C6H6, ada kalanya juga menunjukkan strukturnya dengan heksagonal
berisi lingkaran didalamnya. Enam titik heksagon menyatakan enam karbon
dan atom hidrogen tidak dituliskan untuk penyederhana lingkaran
menyatakan elektron π yang terdekolalisasi yang tersebar merata diseluruh
cincin (Respati, 1980).
Selain benzena senyawa aromatik yang paling lazim di dalam minyak
bumi adalah toluena, dimana satu atom hidrogen pada cincin benzena
digantikan oleh gugus metal dan xilena (Oxtoby, 2003).
21
Suatu surfaktan bersifat toksik bila tertelan. Sisa bahan surfaktan
terdapat didalam benzena dapat membentuk klorobenzena yang sifatnya
racun dan berbahaya bagi tubuh (Whasih, 2009).
Aril halida merupakan turunan dari asam karboksilat yang paling
mudah bereaksi karena ion halida merupakan gugus pergi yang baik. Dengan
adanya gugus penarik elektron akan meyebabkan aril halida membentuk atom
C karbonil yang bermuatan positif. Sehingga kereaktifan aril halida
meningkat (Suzana, 2010).
Pada tahap adisi, krifenil metanol sebagai nukleofil menyerang karbon
karbonil dari asetil klorida dengan menggunakan pasangan elektron bebas
pada atom oksigen gugus hidroksil membentuk hasil antara tetrahedral
(Widiyati, 2009).
Senyawa alkil halida mempunyai rumus umum R-X, dimana R adalah
gugus alkil yang sederhana maupun alkil tersubtitusi, misalnya :
CH3
H3C – C – Cl CH2 = CH – CH2Br
CH3 Aril Bromida
Tersier butil klorida
CH2 = CHCl
Vinil klorida
Adapun sifat-sifat fisik dari alkil halida, ialah :
1. Mempunyai titik didih yang jauh lebih tinggi daripada titik didih alkana
dengan jumlah atom C yang sama.
2. Bila gugus alkilnya sama, maka makin besar berat atom hidrogennya,
sehingga titik didihnya semakin tinggi.
3. Senyawa-senyawa alkil halida tidak larut dalam air, tapi larut dalam
pelarut organik.
4. Senyawa-senyawa bromo, iodo dan polikloro lebih berat dari pada air.
(Respati, 1980)
22
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Penangas air
b. Penjepit tabung
c. Pipet tetes
d. Pipet volume 5 mL
e. Propipet
f. Rak tabung
g. Tabung reaksi
2. Bahan
a. AgNO3 0,1 N
b. Diklorometana
c. Klorobenzena
D. Prosedur Kerja
1. Diambil dua buah tabung reaksi yang bersih dan kering,tabung 1 diberi 5
tetes diklorometana, tabung reaksi 2 diberi 5 tetes klorobenzena.
2. Ditambahkan kedalam dua tabung reaksi tersebut masing-masing 5 mL
AgNO3 0,1 N, dikocok dan dipanaskan selama 2 menit.
3. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
23
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
No Senyawa pereaksi Perubahan
1 Diklorometana AgNO3
Cepat bergelembung
2 Klorobenzena Lambat bergelembung
2. Reaksi
a. Diklorometana + AgNO3
+ AgNO3 Gelembung
b. klorobenzena + AgNO3
+ AgNO3 Lambat terbentuk gelembung
Cl C
H
H
Cl
Cl
24
F. Pembahasan
Percobaan yang berjudul identifikasi alkil halida dan aril halida ini
bertujuan untuk mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa alkil
halida dan aril halida. Alkil halida merupankan senyawa organohalogen,
dimana atom-atom halogen terikat pada gugus alkil sederhana atau alkil
tersubstitusi. Alkil halida memiliki rumus umum R-X, dimana R adalah
gugus alkil dan X adalah atom-atom halogen. Sedangkan aril halida adalah
senyawa organohalogen dimana sebuah halogen terikat pada sebuah karbon
dari cicin suatu gugus aromatik. Rumus umumnya Ar-X, dimana Ar adalah
gugus aromatik, biasanya gugus fenil sederhana atau fenil tersubstitusi,
sedangkan X adalah atom-atom halogen. Kedua senyawa ini memiliki
perbedaan sifat, baik secara fisik maupun kimia. Sehingga berdasarkan hal
inilah kedua senyawa ini dapat diidentifikasikan dan dibedakan.
Percobaan ini menggunakan sampel diklorometena dan klorobenzena.
Diklorometana adalah salah satu contoh senyawa alkil halida, sedangkan
klorobenzena adalah contoh dari senyawa aril halida. Selain kedua sampel
tersebut, digunakan pula perak nitrat (AgNO3) sebagai pereaksi dalam
percobaan ini. Penggunaan AgNO3 bertujuan untuk menguji seberapa kuat
ikatan yang terjadi antar atom-atom penyusun kedua senyawa ini. Adapun
beberapa hal yang penting dari prosedur kerja ialah adanya proses
pengocokan dan pemanasan terhadap sampel. Proses pengocokan bertujuan
untuk memberikan tekanan di dalam tabung reaksi, sehingga ikatan-ikatan
antar atom dalam sampel mudah diputuskan oleh pereaksi. Sedangkan tujuan
proses pemanasan ialah mempercepat berlangsungnya proses pemutusan
tersebut. Selain itu, proses pemanasan ini menjadi parameter dalam
percobaan ini, dimana waktu pemansan menujukkan seberapa kuat ikatan
yang terdapat dalam kedua sampel.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kedua sampel
memiliki kuat ikatan yang berbeda. Hal ini ditunjukkan, pada sampel yang
berisi diklorometana setelah ditambahkan pereaksi AgNO3 dan dipanakan
menghasilkan gelembung yang lebih cepat dibandingkan dengan sampel yang
25
berisi sampel klorobenzena. Adanya gelembung di dalam sampel saat
pemanasan, menunjukkan terjadinya reaksi pemutusan ikatan dalam senyawa
tersebut. Sedangkan waktu pemanasan yang dibutuhkan hingga sampel
bergelembung menunjukkan kuatnya ikatan yang terdapat dalam senyawa
tersebut, dimana semakin lama waktu pamanasan berarti semakin sukar
ikatan antar atom dalam senyawa tersebut untuk diputuskan.
Sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa ikatan antar atom
dalam senyawa klorobenzena lebih kuat dibandingkan ikatan dalam senyawa
diklorometana. Hal ini terjadi karena, pada senyawa diklorometana terjadi
perbedaan keelektronegatifan yang besar. Dimana atom klor (Cl) lebih
bersifat elektronegatif dibanding atom karbon (C). Tingginya
keelektronegatifan pada atom klor (Cl) akan menyebabkan elektron yang
dimiliki oleh atom karbon (C) tertarik pada atom klor (Cl), sehingga atom
karbon (C) bersifat elektropositif. Kemudian, adanya ion NO3- yang berasal
dari senyawa AgNO3 yang ditambahkan akan menyebabkan terputusnya atom
hidrogen dan atom klor dalam senyawa ini. Hal ini terjadi karena ion NO3-
merupakan suatu nukleofil atau pecinta nukleus (bermuatan positif) akan
menyerang atom karbon yang bersifat elektropositif atau bermuatan positif.
Adanya suatu nukleofil ini akan menyababkan ketidakstabilan pada atom
karbon. Untuk menstabilkannya atom karbon akan melepas atau memutus
ikatannya dengan atom hidrogen (H) dan atom klor (Cl), sehingga senyawa
ini akan membentuk suatu alkana yang memiliki muatan positif. Sedangkan
atom hidrogen yang lepas akan berubah menjadi ion H+ dan atom klor (Cl
-)
pun sama membentuk ion Cl-. Ion H
+ yang lepas tersebutlah yang
menyebabkan timbulnya gelembung, karena menguap saat pemanasan.
Sedangkan ion Cl- yang berlebih akan berikatan dengan ion Ag
+ yang berasal
dari AgNO3 terbentuk AgCl dalam larutan. Sedangkan pada senyawa
klorobenzena, pemanasan membutuhkan waktu yang lebih lama hingga
terlihat adanya suatu gelembung. Hal ini menunjukkan ikatan antar atom
dalam senyawa ini lebih kuat dibandingkan ikatan dalam senyawa
diklorometena. Hal ini terjadi karena struktur klorobenzena yang berupa
26
cincin aromatik. Suatu gugus aromatik, umumnya memiliki sifat sukar untuk
diputus ikatan antar atomnya meskipun pada senyawa ini juga terjadi
pebedaan keelektronegatifan yang besar antara atom karbon (C) dengan atom
klor (Cl). Resonansi/berputarnya elektron-elektron dalam cincin aromatik
menyababkan elektron-elektron tersebut secara merata, sehingga tidak ada
atom yang bermuatan lebih positif atau lebih negatif dan ini menyababkan
tarikan antar atom sama kuat, sehingga adanya suatu nukleofil yakni NO3-
tidak mengganggu kestabilan dari senyawa ini. Akibatnya tidak ada atom-
atom yang melepaskan diri. Hal ini ditandai dengan belum adanya gelembung
yang terjadi saat senyawa diklorometana sudah bergelembung. Pemanasan
yang lebih lanjut, tetap akan menyebabkan terjadinya disosiasi pada senyawa
ini, sehingga akan terjadi gelembung, hanya saja waktu yang dibutuhkan
lebih lama dari sampel awal. Atau dengan kata lain, klorobenzena dapat
mengalami pemutusan dengan energi yang lebih besar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa diklorometana, yang merupakan senyawa alkil halida
lebih mudah mengalami pemutusan ikatan dibandingkan klorobenzena,
senyawa aril halida bersifat lebih stabil dibandingkan dengan senyawa alkil
halida.
Dalam dunia kesehatan, terutama dunia farmasi alkil halida sangat
diperlukan sebagai bahan baku dalam pembuatan sediaan. Misalnya iodoform
merupakan bahan baku antiseptik dan obat luka. Sedangkan bromoform
digunakan untuk campuran obat tidur. Senyawa kloroform digunakan luas
sebagai anestesi atau obat bius.
Proses identifikasi dapat digunakan untuk membedakan senyawa alkil
dengan aril halida, karena alkil halida bersifat toksik jika dalam senyawa
murni. Misalnya kloroform jika tertiup dapat menyebabkan kerusakan pada
hati. Aril halida lebih sering digunakan pula sebagai bahan baku pembuatan
obat.
27
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Klorobenzena merupakan senyawa golongan aril halida.
2. Diklorometana merupakan senyawa golongan alkil halida.
28
PERCOBAAN III
IDENTIFIKASI ALDEHIDA DAN KETON
A. Tujuan
Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan membedakan antara senyawa
aldehida dan keton serta mengetahui perubahan dan reaksi reduksi yang
terjadi pada aldehida dan keton.
B. Dasar Teori
Aldehida dan keton adalah senyawa-senyawa yang mengandung salah
satu dari gugus penting di dalam kimia organik, yaitu gugus karbonil C=O.
Semua senyawa yang mengandung gugus ini disebut senyawa karbonil.
Gugus karbonil adalah senyawa yang paling menentukan sifat kimia aldehida
dan keton. Oleh karena itu banyak sekali sifat fisik dari yang lain senyawa-
senyawa ini adalah mirip satu sama lainnya.
Salah satu reaksi untuk pembuatan aldehida adalah oksidasi dari
alkohol primer. Kebanyakan oksidator tak dapat dipakai karena akan
mengoksidasi aldehidanya menjadi asam karboksilat. Oksidasi krompiridin
komplek seperti piridinium klor kromat adalah oksidator yang dapat merubah
alkohol primer menjadi aldehida tanpa merubahnya menjadi asam
karboksilat.
(Petrucci, 1987)
Aldehida dan keton barulah dua dari sekian banyak kelompok
senyawa organik yang mengandung gugus karbonil. Suatu keton (RCOR)
mempunyai gugus alkil (aril) yang terikat pada karbon karbonil, sedangkan
aldehida (RCHO) mempunyai sekurang-kurangnya satu atom hidrogen yang
terikat pada karbon karbonilnya (Fessenden, 2008).
Aldehida mempunyai gugus asli dengan hidrogen yang terikat pada
karbonil. Senyawa aldehida alami yang paling melimpah adalah glukosa.
Aldehida yang paling sederhana adalah formaldehida (CH2O) yang mana
karbonil mengikat dua atom H. Pada semua aldehida selain formaldehida,
29
karbon karbonil mengikat 1 atom hidrogen dan satu gugus alkil atau aril,
misalnya asetaldehida (CH3CH) (Sarker, 2009).
Keton adalah suatu senyawa organik yang mempunyai sebuah gugus
karbonil terikat pada dua gugus alkil, dua gugus alkil, atau sebuah alkil.
Keton juga dapat dikatakan senyawa organik yang karbon karbonilnya
dihubungkan dengan dua karbon lainnya. Keton tidak mengandung atom
hidrogen yang terikat pada gugus karbonil (Wilbraham, 1992).
Keton mempunyai suatu gugus fungsi asli dengan gugus alkil yang
lain atau gugus aril yang terikat dengan karbon karbonil. Beberapa hormon
steroid mengandung gugus fungsional keton, seperti hormon progesteron.
Keton yang paling sederhana adalah aseton (CH3COCH3) yang mana atom
karbonilnya mangikat 2 gugus metil (Sarker, 2009).
Pembuatan keton yang paling umum adalah oksidasi dari alkohol
sekunder. Hampir semua oksidator dapat dipakai. Pereaksi yang khas antara
lain kromium oksida (CrO3), piridinium klor kromat, natrium bikromat
(Na2Cr2O7) dan kalium permanganat (KMnO4) (Respati, 1986).
Reaksi-reaksi pada aldehida dan keton adalah reaksi oksidasi dan
reaksi reduksi. Reaksi oksidasi untuk membedakan aldehida dan keton.
Aldehida mudah sekali dioksidasi, sedangkan keton tahan terhadap oksidator.
Aldehida dapat dioksidasi dengan oksidator yang sangat lemah. Sedangkan
reaksi reduksi terbagi menjadi tiga bagian yaitu reduksi menjadi alkohol,
reduksi menjadi hidrokarbon dan reduksi pinakol (Wilbraham, 1992).
Senyawa aldehida, keton, ester, dan karboksilat adalah senyawa
organik yang memiliki gugus karbonil. Golongan senyawa ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penyedap dalam industri makanan dan minuman
maupun sebagai bahan pengharum bagi industri kosmetik. Senyawa aldehida,
keton, ester mengalami reaksi pada gugus karbonil. Gugus karbonil
mempunyai sifat yang polar dan memiliki orbital hibrida sp2
sehingga ketiga
atom yang terikat pada aseton karbon terletak pada bidang datar dengan
sudut ikatan 1200. Ikatan rangkap karbon-karbon pada gugus karbonil terdiri
atas enam dan satu ikatan π (Kalja, 2009).
30
Dalam sistem IUPAC aldehida diberikan akhiran –al (berasal dari suku
pertama aldehida). Contohnya adalah metanal (formaldehida), etanal
(asetaldehida), propanal, dan lain-lain. Sedangkan untuk keton diberikan
akhiran –on (dari suku kata terakhir keton). Penomoran dilakukan sehingga
gugus-gugus karbonil mendapat nomor kecil. Contohnya adalah propanon
(asetol), pentanon, butanon, dan lain-lain (Hart, 1993).
Bila aldehida diberikan dalam suasana basa seperti dengan NaOH
dalam air maka akan terbentuk ion enolat yang dapat bereaksi dengan gugus
karbonil dari molekul aldehida yang lain. Hasilnya adalah adisi suatu
molekul aldehida kedalam suatu molekul aldehida yang lain. Ion enolat akan
bereaksi dengan sutau molekul dengan cara mengadisi pada karbon karbonil
untuk membentuk suatu ion alkoksida yang kemudian menarik sebuah proton
dalam air untuk menghasilkan suatu aldol (Prawono, 2009).
Identifikasi aldehida dan keton berkaitan dengan berbagai macam
penelitian, contohnya pembuatan ekstrak vanili. Resistensi vanili ditentukan
oleh dua dari tiga gugus aldehida (-COH) dan hidroksil (-OH) dapat
teroksidasi karena keberatan oksigen disekelilingnya. Aldehida jika
teroksidasi akan berubah menjadi senyawa asam karboksilat (-COOH),
sedangkan hidroksil akan berubah menjadi aldehida (-COH).
(Sofyaningsih, 2011)
Dalam kehidupan sehari-hari, aldehida dapat digunakan sebagai :
1. Formalin untuk mengawetkan spesimen biologi di laboratorium,
karena dapat membunuh kuman.
2. Insektisida sebagai pembasmi kuman.
3. Etanol digunakan sebagai bahan karet atau zat warna.
(Fessenden, 2008)
Salah satu yang palig banyak digunakan adalah propanon atau aseton.
Aseton digunakan sebagai pelarut senyawa karbon. Aseton juga banyak
digunakan sebagai pembuatan organik lainnya. Keton siklik digunakan
sebagai pengharum (Syarifuddin, 2008).
31
Glukosa adalah karbohidrat terpenting. Banyak karbohidrat yang
berada di makanan diserap ke dalam aliran darah sebagai glukosa dan gula
ini akan diubah di dalam hati. Glukosa adalah prekursor untuk sintesis semua
karbohidrat lain di tubuh, termasuk glikogen untuk penyimpanan, ribosa dan
deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam gula susu, dalam
glikolipid dan sebagai kombinasi dengan protein dalam glikoprotein dan
proteoglikan. Karbohidrat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Monosakarida (tidak dapat terhidrolisis). Terdiri atas triosa, tetrosa,
pentosa, heksosa, atau heptosa, dan lain-lain.
2. Disakarida (terdiri dari 2 unit monosakarida). Terdiri dari maltosa dan
sukrosa.
3. Oligosakarida (kondensasi 3-10 monosakarida).
4. Polisakarida (kondensasi lebih dari 10 unit monosakarida). Terdiri dari
pati dan dekstrin yang mungkin merupakan polimer linier/bercabang,
selain itu ada juga selulosa dari dinding tumbuhan.
(Murray, 2009)
32
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Gelas kimia
b. Hot plate
c. Penjepit tabung
d. Pipet tetes
e. Pipet volume 1 ml
f. Propipet
g. Rak tabung reaksi
h. Tabung reaksi
2. Bahan
a. Aluminium foil
b. Asetaldehid
c. Aseton
d. Fehling
e. Fruktosa 1%
f. Galaktosa
g. Laktosa 1%
h. NaOH 10%
i. Tollens
D. Prosedur Kerja
1. Reduksi Pereaksi Tollens
a. Dimasukkan 1 ml sampel A dan sampel B ke dalam 2 tabung reaksi.
b. Ditambahkan masing-masing tabung 4 tetes tollens, dikocok, dan
dipanaskan dalam gelas kimia yang berisi aquades.
c. Diamati dan dicatat perubahannya.
2. Reduksi Larutan Fehling
a. Dimasukkan 1 ml sampel A dan sampel B ke dalam 2 tabung reaksi.
b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi fehling pada masing-masing tabung
dan dipanaskan.
33
c. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
3. Pembuatan Resin
a. Dimasukkan 1 ml sampel A dan sampel B ke dalam 2 tabung reaksi.
b. Ditambahkan masing-masing tabung 1 ml NaOH 10%, ditutup.
c. Dipanaskan dalam gelas kimia berisi air.
d. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
4. Uji Karboksilat
a. Dimasukkan ketiga sampel karbohidrat yaitu laktosa, fruktosa, dan
galaktosa ke dalam 3 tabung reaksi yang berbeda.
b. Ditambahkan 5 tetes pereaksi fehling dan tollens ke masing-masing
tabung, dipanaskan.
c. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
34
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
a. Uji Fehling
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Asetaldehid
Fehling
Larutan bening
2. Aseton Larutan bening
3. Laktosa Larutan merah bata dan
endapan merah bata
4. Fruktosa Larutan merah bata dan
endapan merah bata
5. Galaktosa Larutan merah bata dan
endapan merah bata
b. Uji Tollens
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Asetaldehid
Tollens
Cermin perak
2. Aseton Larutan hitam-coklat
3. Laktosa Cermin perak
4. Fruktosa Cermin perak
5. Galaktosa Cermin perak
c. Identifikasi sampel
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Sampel A NaOH
Endapan merah bata
2. Sampel B Tidak terdeteksi
35
2. Reaksi
a. Asetaldehid
1) Asetaldehid + Fehling
CH3 - C + Cu2+ + 2OH-
O
CH3 - C - H + Cu2+ + 2OH-
O
H
+ Cu2+ + OH-
O
+ Cu2+ + OH-
O
C HCH3
OH
OHCCH3H
CH3 - C - OH + Cu
O
2) Asetaldehid + Tollens
+ Ag (NH3)2OH
O
CCH3 H
O
CCH3 H + [Ag (NH3)2] + + OH-
O
CCH3 H
O
CCH3+ [Ag (NH3)2] + + OH-
OH
+ [Ag (NH3)2] +H
CH3 - C + Ag +
O
- OH H N
H
HH+
CH3 - C + Ag +
O
- OH H N
H
H
H
CH3 - C + Ag
O
- OH + 2NH+4
36
3) Asetaldehid + NaOH
CH3 C
O
H + NaOH H C
H
H
C
O
H + Na O H
H C
H
C
O
H + Na O
H
H H C
H
C
O
H + Na + H2O
H3C C H + C H
O O
H3C C H + H2C C H
O O
CH2
H3C C C H
O O
H O H
H
CH2
H3C C CH2 C H
OO
H OH
H
+
H3C CH CH2 C H
OH O
H3C CH HC C H
OHOH
H3C CH C H
O
+ H2OCH
37
b. Aseton
1) Aseton + Fehling
CH3 - C - CH3 + Cu2+ + 4OH
O
2) Aseton + Tollens
O
CH3 - C - CH3 + Ag2O
c. Fruktosa
1) Fruktosa + Tollens
CH2OH CH2OH
H
OH H
O-H
H OH + Ag(NH3)2OH
CH2OH
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O H
H
H
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O H
H
+ H
38
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O H
H
H
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O
H
H
+ H
C
C O
C HH + OH
C OHH
CH OH
CH2OH
O
H
H
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O
H
H
+ Ag
39
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
H
H
O
+ [Ag(NH3)2]+ + OH-
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
H
H
O-
+ [Ag(NH3)2]+ + OH-
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
H
H
O-
+ [Ag(NH3)2]+
OH
40
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
H
O
OH
N
H
HH+ Ag+ + + H+2
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
H
O
OH
N
H
HH+ Ag+ + 2
H
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
H
O
OH
+ Ag + 2NH4+
41
CH2OHOH
H
OH H
O
H OH
OH
C+ Ag + 2NH4
+
2) Fruktosa + Fehling
CH2OH CH2OH
H
OH H
O-H
H OH + Cu2+ + 4OH-
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O H
H
H
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O H
H
+ H
42
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O H
H
H
C
C O
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O
H
H
+ H
43
C
C O
C HH + OH
C OHH
CH OH
CH2OH
O
H
H
C
C OH
C HOH
C OHH
CH OH
CH2OH
O
H
H
+ Cu2 + 4OH
OH
Cu2+ + 4OH+H
OH
C
H
O
OH
H
H
CH2OH
OH
H
OH
C
H
O
OH
H
H
CH2OH
+ Cu2+ + 4OH
44
OH
H
OH
C
H
O
OH
H
H
CH2OH
+ Cu2+ + 3OHOH
OH
H
OH
C
O
OH
H
H
CH2OH
+ Cu2OOH
d. Laktosa
1) Laktosa + Fehling
H
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ 4Cu2+ + 8OHO
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OH
H
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ 4Cu2+ + 8OH
O
C
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
O
H
HHO
+
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ H + 4Cu2+ + 8OHC + H
C
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OHO
+
H
O
45
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ 4Cu2+ + 6OH
OH
C C
OHH
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OHO
O
H
OH + OH
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ 4Cu2+ + 8OH
OH
C C
OHH
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OHO
+
H
O
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ 4Cu2+ + 6OH
OH
C C
OHH
CH2OH
H
OH
H
H
OHO
HO
O
OH + OH
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ 2Cu2O + 4H2O
OH
C C
OHH
CH2OH
H
OH
H
H
OHO
HO
O
OH
+
OH
46
2) Laktosa + Tollens
H
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
O
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OH
+ Ag(NH3)2OH
O
H
CH2OH
H
OHH
OH
OH
H
H
H
OH
OH
H
H
H
H
H
CH2OH
H
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
O
C
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
O
H
HHO
+ + [Ag(NH3)2]+ + 2OH-
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
+ HC + H
C
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OHO
+
H
O
+ [Ag(NH3)2]+ + 2OH-
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
CC
H
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OHO
+
H
O
OHOH
+ [Ag(NH3)2]+ + 2OH-
47
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
CC
H
CH2OH
H
OH
H
H
OHO
HO
+
O
OHOH
+ [Ag(NH3)2]+ + 2OH-2H+
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
OH
C C
OHH
CH2OH
H
OH
H
H
OHO
HO
+
O
+ [Ag(NH3)2]+ + 2OH- 2H+
48
H
OH
OH
H
HOH
H
CH2OH
OH
CC
OHH
CH2OH
H
OH
H
H
OHO
HO
+OH
OH
O
+ [Ag(NH3)2]+ 2H+
CH2OH
O
H
OH
OH
H
H
OH
OH
H
H HH
O
CH2OH
+ AgC - OH
H
C
OH
+
O
OHN
H
HH+ H+
2+
CH2OH
O
H
OH
OH
H
H
OH
OH
H
H HH
O
CH2OH
+ AgC - OH
H
C
OH
+
O
OHN
H
HH
H
+ 2
CH2OH
O
H
OH
OH
H
H
OH
OH
H
H HH
O
CH2OH
+ AgC - OH
H
C
OH
+
O
OH+ 2NH4
+
e. Galaktosa
1) Galaktosa dan fehling
OH
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
O H
OH
+ Cu2+ + 4OH-
49
COH
CH2OH
H
OH
H
H
O
H
H
O
OH
+ H+ + Cu2+ + 4OH-
COH
CH2OH
H
OH
H
H
H
H
O
OH
+ Cu2+ + 3OH-
OH
OH
COH
CH2OH
H
OH
H
H
H
O
OH
+ Cu2+ + 3OH-
OH
OH
H
COH
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
OH
OH
O
+ Cu2O + H2O
2) Galaktosa dan tollens
OH
CH2OH
H
OH
H
H
O
H
H
O H
OH
+ Ag(NH3)2 OH
50
COH
CH2OH
H
OH
H
H
O
H
H
O
OH
+ H+ + [Ag(NH3)2 ]+ + OH-
COH
CH2OH
H
OH
H
H
H
H
O
OH
OH
+[ Ag(NH3)2]+ + OH-
OH
CH2OH
H
OH
H
H
OH
H
O
OH
C + [Ag(NH3)2]+ + OH-
H
OH
COH
CH2OH
H
OH
H
H
H
OH
O
OH
OH
N
H
HH+ Ag+ + + H+2
51
COH
CH2OH
H
OH
H
H
H
OH
O
OH
OH
+ Ag N
H
HH
H
+ 2
COH
CH2OH
H
OH
H
H
H
OH
O
OH
OH
+ Ag + 2NH4+
52
F. Pembahasan
Percobaan ini berjudul identifikasi aldehid dan keton yang bertujuan
untuk mengidentifikasi dan membedakan senyawa aldehid dan keton serta
mengetahui perubahan dan reaksi reduksi yang terjadi pada aldehid dan
keton. Aldehid adalah senyawa turunan alkana yang memiliki gugus
karbonil. Gugus tersebut terletak di ujung rantai karbon induk yang diakhiri
dengan atom hidrogen, sedangkan keton adalah senyawa turunan alkana yang
mempunyai gugus fungsi C=O. Senyawa keton berisomer dengan senyawa
aldehid. Meskipun merupakan suatu isomer, aldehid dan keton memiliki
beberapa perbedaan sifat terutama secara kimia. Melalui perbedan sifat inilah
keduanya ini dapat diidentifikasi dan dipisahkan.
Percobaan ini dilakukan identifikasi pada karbohidrat. Hal ini
dikarenakan glukosa yang berasal dari karbohidrat mengandung gugus fungsi
aldehid ataupun keton. Karbohidat atau hidrat arang adalah senyawa organik
yang mengandung atom karbon, hidrogen, dan oksiden. Karbohidrat di bagi
menjadi monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Monosakarida adalah
karbohidrat yang paling sederhana dan tidak dapat dihidrolisis lagi.
Contohnya glukosa, galaktosa dan fruktosa, sedangkan disakarida adalah
karbohidrat yang merupakan gabungan dari 2 monosakarida. Contohnya
sukrosa, laktosa, dan maltosa.
Percobaan ini menggunakan 2 buah sampel, yaitu sampel A dan
sampel B, sedangkan untuk uji karbohidrat digunakan 2 macam
monosakarida dan 1 macam disakarida yaitu, galaktosa, laktosa, dan
fruktosa. Selain itu digunakan peraksi-pereaksi seperti tollens, fehling, dan
NaOH 10%. Pereaksi fehling dan tollens digunakan saat uji identifikasi
aldehid, keton dan karbohidrat, sedangkan NaOH 10% digunakan dalam
pembuatan resin. Pereaksi fehling terdiri dari fehling A dan fehling B.
Fehling A, merupakan campuran dari CuSO4.5H2O dalam asam sulfat pekat
sedangkan fehling B terdiri dari kalium natrium tartrat dan NaOH murni.
Kedua larutan ini dicampurkan hingga terbentuk larutan fehling berwarna
biru tua, sedangkan pereaksi tollens di buat dengan mencampurkan AgNO3
53
dengan NaOH dengan perbandingan 1:1 hingga terbentuk endapan,kemudian
endapannya diambil dan ditambahkan NH3 pekat hingga larut.
Setiap pengujian dilakukan proses pengocokan dan pemanasan. Kedua
proses ini bertujuan untuk mempercepat reaksi karena semakin tinggi suhu
dan tekanan maka semakin cepat reaksi yang berlangsung.
Hasil pengamatan menunjukan saat pengujian sampel A dan sampel B,
terjadi perubahan dimana sampel A terbentuk pada dinding tabung reaksi
endapan cermin perak setelah ditambahkan pereaksi tollens dan dipanaskan,
sedangkan pada sampel B larutan tetap berwarna hitam kecoklatan. Hal ini
menunjukan bahwa sampel A adalah aldehid, yaitu asetaldehid, sedangkan
sampel B adalah senyawa keton, yaitu aseton. Adanya perubahan ini sesuai
dengan teori bahwa suatu aldehid akan mengalami suatu proses oksidasi
dengan pereaksi tollens (Ag[NH3]+). Pada pereaksi ini atom hidrogen yang
terikat dengan atom karbon yang mengikat gugus fungsi mengalami proses
oksidasi sedangkan ion Ag+ dari peraksi tollens akan direduksi menjadi
logamnya, yaitu Ag akan mengendap membentuk cermin perak, sedangkan
pada sampel B setelah di tambahkan pereaksi tollens warna larutan menjadi
hitam-kecoklatan hal ini menandakan reaksi oksidasi pada sampel oleh
pereaksi ini tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa, suatu keton tidak
dapat mengalami proses oksidasi dengan pereaksi tollens. Karena pada
senyawa keton tidak terdapat atom hidroden yang berikatan dengan gugus
fungsi,sehingga tidak ada atom hidrogen yang dapat dioksidasi, sehingga
ujinya bersifat negatif.
Uji karbohidrat menggunakan sampel laktosa dan fruktosa direaksikan
dengan tollen menghasilkan endapan cermin perak. Hal ini di sebabkan
karena laktosa merupakan suatu disakarida yang terdiri dari glukosa dan
galaktosa dimana monosakarida-monosakarida ini termasuk golongan aldosa
yaitu karbohidrat yang mengandung gugus aldehid, gugus aldehid mampu
mereduksi ion Ag+ dari pereaksi tollens sehingga sama seperti uji aldehid
pada sebelumnya akan dihasilkan logam Ag yang membentuk endapan
cermin perak pada sebagian dinding tabung.
54
Berbeda dengan halnya laktosa yang merupakan golongan aldosa.
Fruktosa merupakan monosakarida ketosa, yakni mengandung gugus keton.
Dimana, berdasarkan teori gugus keton tidak dapat mereduksi pereaksi
tollens dan mengalami reaksi oksidasi sebagaimana senyawa aldehid. Namun
berdasarkan pengamatan hasil uji dengan tollens menunjukan reaksi positif
yang ditandai pula dengan terbentuknya endapan cermin perak. Hal ini
disebabkan karena fruktosa mengalami proses tautomerasi menjadi senyawa
aldehid, selain itu fruktosa juga tergolong sebagai gula reduksi sehingga
mampu mereduksi pereaksi tollens sehingga mudah di oksidasi. Reaksi
tollens akan menghasilkan logam Ag yang akan mengendap sebagai cermin
perak, sedangkan oksidasi fruktosa akan menghasilkan kesetimbangan
aldehid diastereomik.
Pengujian fehling didapatkan hasil pengamatan sampel A dan B tetap
bewarna bening. Hal ini menandakan tidak adanya reaksi yang terjadi.
Padahal dalam salah satu sampel tersebut terdapat senyawa aldehid hal ini
bertentangan dengan teori, seharunya apabila senyawa aldehid direaksikan
dengan larutan fehling yang mengandung ion Cu2+
, akan mengalami proses
oksidasi menjadi suatu karboksilat. Hal ini terjadi karena aldehid memiliki
satu atom H yang terikat dengan satu atom C gugus fungsi. Selain itu juga,
aldehid mampu mereduksi ion Cu2+
menjadi Cu+, sehingga akan terbentuk
larutan berwarna merah bata, dimana dengan adanya pemanasan akan
terbentuk Cu2O yang lama-lama akan mengendap dalam suasana basa,
sedangkan untuk senyawa-senyawa keton akan menghasilkan uji yang
sifatnya negatif. Karena sama seperti sebelumnya, keton tidak dapat
dioksidasi karena tidak memiliki H karbonil dan tidak dapat mereduksi
karena sifatnya oksidator lemah. Kesalahan ini dapat terjadi akibat kesalahan
dalam pengambilan sampel, karena wadah sampel tidak diberi label sehingga
sulit membedakan sampel A yang berisi asetaldehid dan sampel B yang
berisi aseton. Kemungkinan sampel yang di ambil hanya sampel B saja yang
berisi aseton sehingga perubahan tidak terbentuk.
55
Uji menggunakan pereaksi fehling bisa bersifat negatif, apabila
digunakan dalam sampel yang berisi senyawa aldehid aromatik, karena pada
senyawa aromatik terjadi resonansi, sehingga atom-atomnya sulit diputuskan
ikatannya.
Pengujian karbohidrat, laktosa, fruktosa, dan galaktosa dengan
pereaksi fehling menunjukan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya
larutan merah bata. Sama seperti sebelumnya, laktosa dan galaktosa adalah
suatu aldosa, sehingga gugus aldehidanya mampu dioksidasi dan mereduksi
pereaksi fehling dan dan terbentuk Cu+ yang berwarna merah bata,
sedangkan fruktosa mengalami proses tautomerasi, dimana gugus ketonnya
mengalami penataan ulang menjadi gugus aldehid, sehingga uji bersifat
positif selain itu fruktosa merupakan gula reduksi.
Identifikasi aldehid dan keton juga dapat dilakukan dengan
mereaksikan kedua sampel yakni, sampel A dan sampel B dengan pereaksi
NaOH. Reaksi ini disebut juga pembuatan resin atau reaksi pendamaran atau
lebih dikenal dengan uji moore. Uji ini biasanya dilakukan untuk mengetahui
adanya gugus alkil dalam suatu senyawa. Reaksi pendamaran hanya
berlangsung apabila natrium hidroksida (NaOH) berikatan dengan suatu
aldehid dan tidak bereaksi dengan suatu keton. Pada percobaan ini di
gunakan NaOH sebagai sumber ion OH-
(alkali). Dimana hidroksil akan
berikatan dengan rantai aldehid membentuk aldol aldehid, yaitu aldehida
dengan ujung cabang gugus alkohol. Uji dikatakan positif jika menghasilkan
warna merah bata. Adapun proses pemanasan pada percobaan ini bertujuan
untuk membuka ikatan karbon dengan hidrogen dan menggantinya dengan
gugus OH- dari NaOH.
Adanya beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam percobaan ini
yaitu mengenai jumlah banyaknya pereaksi yang digunakan. Karena hal ini
sedikit banyaknya turut mempengaruhi perubahan pada sampel. Semakin
banyak pereaksi yang digunakan, semakin cepat dan jelas perubahan yang
dihasilkan. Hanya saja penggunaan pereaksi yang berlebihan akan
56
mengurangi keakuratan dan kevalitan data yang diperoleh. sehingga
penggunaan pereaksi hendaknya digunakan dalam jumlah tetesan yang wajar.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel A adalah senyawa aldehid,
yaitu asetaldehid dan sampel B adalah keton yaitu aseton. Laktosa adalah
disakarida aldosa, fruktosa adalah gula reduksi dan galaktosa juga suatu
aldosa.
Manfaat dari identifikasi aldehid dan keton di bidang farmasi salah
satunya ialah pengidentifikasian penderita ketoasidosis metabolik dan
ketonuria, yang merupakan manifestasi dari penderita diabetes melitus.
57
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa :
1. Sampel A adalah suatu aldehid, yaitu senyawa asetaldehid, dimana hasil
uji dengan fehling dan tollens positif
2. Sampel B adalah suatu keton, yaitu senyawa aseton, dimana hasil uji
dengan fehling dan tollens negatif
3. Asetaldehid dan galaktosa adalah senyawa-senyawa aldehid
4. Aseton, laktosa, dan fruktosa adalah senyawa-senyawa keton
58
PERCOBAAN IV
A M I N A
A. Tujuan
Mahasiswa dapat mempelajari sifat-sifat senyawa organik melalui
amina
B. Dasar Teori
1. Amina
Amina merupakan senyawa yang mengandung nitrogen, yang
mana gugus fungsionalnya adalah gugus amino (-NH2). Amina
memnyerupai amonia, yang mana satu atau lebih atom hidrogen pada
amonia diganti dengan alkil. Dengan demikian, suatu amina mempunyai
rumus R-NH2, R2-NH, dan R3-N. Senyawa amina paling sederhana dan
mungkin merupakan amina yang paling umum adalah metilamin (
CH3NH2) dan etilamin (CH3CH2NH2) (Saker, 2009).
Amina dikelompokkan sebagai amina primer (1o), sekunder (2
o),
tersier (3o), atau aminaquartener (4
o), tergantung pada bagaimana beberapa
gigis alkil diikatkan pada atom N. Amina kuartener, (CH3)4 N+, dikenal
sebagai kation amonium (Fessenden, 1986).
2. Reaksi-reaksi amina
a. Reaksi subsitusi dengan amina
Kegunaan reaksi ini adalah amina dapat digunakan untuk
mensintesis amina lain dengan pengubahan menjadi amida, yang
disusul dengan benzena sulfonil klorida digunakan untuk menguji
apakah suatu amina itu primer, sekunder. Atau tersier. Uji itu disebut
uji hinsberg. Amina juga bereaksi dengan aldehida dan keton untuk
menghasilkan imina dan enamina (Fessenden, 1986).
59
b. Reaksi amina dengan asam nitrit
1) Amina primer
Amina primer bila direaksikan dengan NaNO2 dan HCl
akan memnghasilkan garam diazonium, tetapi garam alkil
diazonium tidak stabil dan terurai menjadi campuran alkohol dan
alkena bersama-sama N2. Penguraian itu berlangsung lewat suatu
karbokation.
2) Amina sekunder
Bila direaksikan dengan NaNO2 dan HCl, amina sekunder
(alkil ataupun aril) akan menhasilkan N-nitroso amina, senyawa
yang mengandung gugus N-N=O, banyak N-nitroso amina bersifat
karsinogen.
3) Amina tersier
Amina tersier sukar diramalkan reaksinya secara
keseluruhan dengan asam nitrit. Suatu aril amina tersier biasanya
mengalami substitusi cincin dengan –NO karena cincin itu
diaktifkan oleh gugus –NR2. Alkil amina tersier dapat kehilangan
gugus R dan membentuk suatu derivat N-nitroso dari suatu amina
sekunder.
(Suhartini, 2000)
a. Garam amina
Reaksi suatu amina dengan suatu asam mineral (seperti CHI)
atau suatu asam karboksilat (seperti asam asetat) menghasilkan suatu
garam amina, karena kemampuannya membentuk garam, suatu amina
yang tak larut dalam air dapat dilarutkan dengan mengolahnya dalam
asam encer. Dengan cara ini, senyawa yang mengandung gugus amino
dapat dipisahkan dari bahan-bahan yang tak larut dalam air maupun
asam (Fessenden, 1986)
60
3. Sifat-sifat amina
a. Sifat fisis amina
Dalam amina, baik ikatan C-N maupun N-H merupakan ikatan
polar yang disebabkan oleh elektronegatifitas atom N. Sifat polar
ikatan N-H pada amina menghasilkan pembentukan ikatan hidrogen
dengan amina yang akan lain atau pun sistem ikatan hidrogen yang
lain seperti amina dengan air dan amina dengan alkohol .
(Abdillahh, 2011)
Titik didih amina tersier lebih rendah daripada amina primer
atau sekunder yang bobot molekulnya sepadan dan titik didihnya lebih
dekat ke titik didih antara alkana yang bobot molekulnya bersamaan.
Seyawa amina memiliki titik didih da titik lebur yang lebih tinggi dan
lebih mudah larut dalam media air, apabila dibandingkan dengan
alkana analog (Suhartini, 2000).
Amina berbobot molekul rendah larut dalam air karena
membentuk ikatan hidrogen dengan air. Amina tersier maupun amina
sekunder dan primer dapat membentuk ikatan hidrogen karena
memiliki pasangan elektron menyendiri yang dapat digunakan untuk
membentuk ikatan hidrogen dengan air (Sarker, 2009).
b. Sifat spektial amina
1) Spektra inframerah
Ikatan yang menimbulkan absorpsi inframerah yang
karakteristik amina adalah ikatan C-N dan ikatan N-H. Semua
amina alifatik menunjukan ukuran C-N dalam daerah sidak jari.
Namun hanya amina primer dan sekunder yang mana menunjukan
absorpsi ukuran N-H yang berbeda.
2) Spekta nmr
Amina alifatik menunjukkan absorpasi N-H pada harga 6
kurang kebih 1,0-2,0 ppm, sedangkan aril amina menyerap sekitar
2,6-4,7 ppm
(Nugrahaningtyas, 2009)
61
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Gelas kimia 200 mL
b. Hotplate
c. Penjepit tabung
d. Pipet tetes
e. Pipet volume 1 mL
f. Pro pipet
g. Rak tabung reaksi
h. Tabung reaksi
2. Bahan
a. Aquades
b. Aliminium foil
c. Anilin
d. EDTA
e. HCl 2M
f. NaOH 2M
g. Kertas lakmus
h. Piridin
D. Prosedur Kerja
1. Kelarutan dalam aquades
a. Diambil 3 tabung reaksi
b. Diisi tabung reaksi 1 dengan EDTA 5 tetes, tabung reaksi 2 dengan
anilin 5 tetes, tabung reaksi 3 diisi dengan piridin 5 tetes
c. Ditambah 10 tetes aquades pada masing-masing tabung
d. Dicatat dan diamati yang terjadi
e. Diulangi percobaan sekali lagi.
2. Kelarutan dalam HCl
a. Dimasukkan 1 mL aniline kedalam tabung reaksi
b. Ditambah 10 tetes HCl 2M
62
c. Digoyang tabung reaksi dan diamati apa yang tejadi
d. Diulangi percobaan sekali lagi.
3. Kelarutan dalam NaOH
a. Dimasukkan 1 mL larutan NaOH 2M kedalam tabung reaksi yang
sudah berisi larutan dari percobaan 2
b. Diamati apa yang terjadi dan dicatat hasilnya
c. Dimasukkan 1 mL amina hidroklorida kedalam tabung reaksi
d. Ditambahkan NaOH 2M
e. Dipanaskan selama 2 menit
f. Diperiksa dengan kertas lakmus, dicatat apa yang terjadi
g. Diulangi percobaan sekali lagi.
63
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
a. Kelarutan dalam air
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. EDTA
Air
Larutan Bening
2. Anilin Tidak Larut, 2 fase
atas merah kecoklatan,
bawah bening
3. Piridin Larutan Bening
b. Kelarutan dalam HCl
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Anilin HCl 2M Tidak Larut
2. Anilin HCl Pekat Larutan Merah
Kecoklatan
c. Kelarutan dalam NaOH
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Anilin HCl 2M +
NaOH
2 fase (atas merah,
bawah bening)
+ pemanasan Tetap tidak berubah
Lakmus Merah Warna Lakmus tetap
merah (atas)
Warna Lakmus
menjadi biru (bawah)
Lakmus Biru Warna Lakmus
menjadi merah (atas)
Warna Lakmus tetap
biru (bawah)
2. Anilin HCl pekat +
NaOH
2 fase (atas merah,
bawah bening)
+ pemanasan Tetap (tidak berubah)
Lakmus Merah Warna Lakmus tetap
merah (atas)
Warna Lakmus
menjadi biru (bawah)
Lakmus Biru Warna Lakmus
menjadi merah (atas)
Warna Lakmus tetap
biru (bawah)
64
N
..
+ H+ + OH-
N
+ OH-
H+
2. Reaksi
a. EDTA dan H2O
b. Anilin + H2O
NH2 NH2HO
H
+ H2O
c. Piridin + H2O
d. Anilin + HCl
65
e. Anilin + NaOH
66
F. Pembahasan
Percobaan yang berjudul mengenai amina bertujuan untuk
mengetahui sifat-sifat senyawa organik melalui amina. Amina merupakan
turunan organik dari ammonium dimana satu atau lebih atom hidrogen pada
nitrogen telah tergantikan oleh gugus alkil atau aril. Amina dapat
diklasifikasikan menjadi amina primer, amina sekunder dan amina tersier,
tergantung pada beberapa atom hidrogen yang tergantikan.
Percobaan pertama adalah menentukan kelarutan senyawa-senyawa
organik golongan amina dengan air, yaitu EDTA, anilin, dan piridin. EDTA
(asam etilen diamin tetra asetat) merupakan salah satu jenis asam
polikarboksilat dan merupakan jenis amina alifatik tersier, dimana atom
nitrogennya mengikat 3 atom karbon rantai terbuka. Ikatan pada EDTA
yaitu ikatan N yang bersifat basa dapat mengikat ion H+ dan ikatan
karboksil yang bersifat asam menyebabkan EDTA dapat larut dengan air
dan menghasilkan warna yang bening. Kelarutan EDTA ini terjadi karena
adanya reaksi intramolekul yang berarti reaksi terjadi dalam molekul itu
sendiri. Anilin merupakan jenis amina aromatik primer, dimana atom
nitrogennya mengikat 1 atom karbon dari gugus aromatik. Anilin
merupakan cairan minyak tak berwarna yang mudah menjadi coklat karena
oksidasi atau terkena cahaya. Anilin dengan air menghasilkan larutan yang
tidak larut dan menghasilkan larutan dua fase yang berwarna merah-bening,
warna merah yang berasal dari warna anilin yang teroksidasi dan bening dari
warna EDTA. Hal ini disebabkan oleh anilin yang hanya memiliki 1 ikatan
hidrogen sehingga hasil yang diperoleh adalah sukar larut, sedangakan pada
EDTA banyak membentuk ikatan hidrogen sehingga lebih larut dalam air.
Anilin strukturnya berupa cincin aromatik serta resonansi yang ada pada
senyawa ini menyebabkan tidak mampunya anilin membentuk ikatan
hidrogen dengan senyawa air sehingga anilin sulit membentuk ikatan
hidrogen intramolekular dengan air. Adapun senyawa dengan struktur
berupa cincin aromatik sifatnya cenderung stabil karena atom-atom
didalamnya mengalami resonansi dan menyebabkan anilin bersifat nonpolar
67
sehingga tidak dapat larut atau bercampur dalam air, membentuk larutan dua
fase. Piridin adalah basa organik dengan pKb 8,75 merupakan amina
aromatis tersier dengan hibridisasi sp2, pasangan elektron bebas nitrogen
piridin lebih tertarik ke arah cincin aromatis sehingga sifat kebasaannya dan
kenukleofilannya agak rendah. Hasil yang diperoleh dari reaksi antara
piridin dalam air adalah piridin dapat larut dan larutan berwarna bening.
Piridin memiliki sifat mudah larut dalam air dengan titik didih 115ºC dan
berat molekul 79,10. Piridin bersifat mudah larut dalam air karena atom N
pada piridin bereaksi dengan atom H pada air untuk membentuk ikatan
hidrogen, selain itu kebasaan piridin lebih kuat daripada anilin yang akan
berinteraksi secara ionisasi dan berat molekul piridin yang kecil juga
menyebabkan mudahnya piridin larut di dalam air, sedangkan jika
dibandingkan dengan anilin, anilin dapat larut dalam air 36 g/L (20ºC)
dimana atom N terikat pada struktur benzena menyebabkan sulitnya
membentuk ikatan lebih banyak jika dibandingkan dengan atom C pada
piridin, hal ini menyebabkan anilin lebih bersifat nonpolar sehingga tidak
larut didalam air, karena semakin panjang rantai karbon pada suatu senyawa
maka kemampuan senyawa tersebut untuk dapat membentuk ikatan
hidrogen akan semakin sukar sehingga menyebabkan kelarutan di dalam air
semakin berkurang dan sebaliknya semakin pendek rantai karbon pada suatu
senyawa maka kemampuan senyawa tersebut untuk membentuk ikatan
hidrogen akan semakin tinggi yang menyebabkan kelarutan di dalam ait
akan semakin besar.
Amina dengan jumlah atom karbon di bawah enam biasanya larut
dalam air akibat adanya interaksi ikatan hidrogen. Meskipun nitrogen tidak
seelektronegatif oksigen namun mampu mempolarisasi ikatan N-H sehingga
terbentuk gaya dipol-dipol yang kuat antara molekulnya.
Percobaan kedua adalah menguji kelarutan anilin dalam asam
dengan mereaksikan senyawa anilin dengan HCl 2M dan HCl pekat. Hasil
yang diperoleh adalah anilin dapat larut dengan HCl pekat dan
menghasilkan warna merah kecoklatan serta dapat mengubah kertas lakmus
68
biru menjadi merah. Tetapi reaksi antara anilin dan HCl 2M tidak dapat
larut. Anilin merupakan amina aromatis primer. Reaksi substitusi terhadap
amina aromatis dapat berupa substitusi pada cincin benzena atau substitusi
pada gugus amina. Reaksi antara anilin dengan asam klorida membentuk
garam ammonia hidroklorida yang dapat larut, serta reaksi anilin dengan
HCl dapat mengubah kertas lakmus yang berwarna biru menjadi merah, hal
ini juga menandakan bahwa campuran atau reaksi yang terjadi antara anilin
dan HCl bersifat asam. Pada penambahan antara anilin dengan HCl 2M
tidak dapat larut atau bercampur dikarenakan kurang pekatnya konsentrasi
HCl yang digunakan, sedangkan dalam HCl pekat, anilin membentuk
larutan merah kecoklatan yang berasal dari warna dasar merah pada anilin
dan putih kekuningan pada HCl pekat, adanya perubahan warna
menunjukkan bahwa anilin lebih larut sempurna dalam HCl pekat. Hal ini
terjadi karena HCl pekat memiliki kemampuan protonasi yang lebih kuat
dibandingkan dengan HCl encer. Dalam HCl encer, anilin tidak mengalami
protonasi sempurna, sehingga ada sebagian anilin yang mengendap
membentuk gelatin.
Percobaan ketiga adalah mereaksikan aminohidroklorida dari hasil
reaksi anilin dengan asam klorida dengan senyawa NaOH. Larutan anilin
yang sebelumnya ditambah HCl 2M ketika direaksikan dengan NaOH
membentuk 2 fase yaitu pada bagian atas berwarna merah tua sedangkan
pada bagian bawah berwarna keruh yang menandakan anilin tidak larut
dalam NaOH. Hal ini disebabkan karena NaOH merupakan pelarut basa
kuat dimana gugus amina (NH2) pada anilin sendiri merupakan basa lemah
sehingga keduanya tidak bereaksi. Penambahan basa kuat dalam garam
amina menghasilkan larutan dengan pH yaitu 14 karena NaOH dapat
mengikat sisa asam yang ada pada mekanisme reaksi pada tahapan
sebelumnya menyangkut serangan nukleofil oleh amina pada atom karbon
dari turunan asam. Pada percobaan ketiga, penambahan basa kuat pada
garam amina menghasilkan larutan dengan pH asam lemah pada lapisan
atas, dimana garam amina berasal dari anilin dan HCl yang membentuk
69
aminohidroklorida, sedangkan pada lapisan bawah yaitu NaOH yang
merupakan basa kuat. Hal ini yang menyebabkan reaksi NaOH dan
aminohidroklorida lebih asam lemah daripada reaksi anilin dengan HCl.
Sedangkan pada anilin dengan HCl, anilin berfungsi membentuk garam
yang karena sifat ioniknya larut dalam lapisan air sedangkan pada reaksi
aminohidroklorida dengan NaOH tidak larut sehingga menimbulkan
keadaan dua fase pada reaksinya. Keadaan dua fase ini disebabkan karena
perbedaan massa jenis antara NaOH dan aminohidroklorida dimana massa
jenis NaOH lebih besar daripada aminohidroklorida. Selain itu juga dapat
disebabkan karena jumlah anilin yang kurang cukup untuk dapat terlarut,
mengingat anilin juga dapat digunakan sebagai pengemulsi sehingga jika
jumlah yang ditambahkan sedikit tidak dapat mencapai keseimbangan dan
terbentuklah larutan dua fase (adanya tegangan permukaan di antara fase).
Alasan lainnya ialah karena NaOH mampu mengikat sisa asam yang ada
pada mekanisme sebelumnya, yakni saat anilin ditambahkan dengan asam
kuat, yaitu HCl. Kemudian jika dilihat berdasarkan sifat keasaman dari
anilin, anilin merupakan basa lemah sehingga dapat larut dalam asam karena
adanya serah terima elektron membentuk garam. Sedangkan di dalam
NaOH, anilin tidak dapat larut karena tidak terjadi serah terima elektron,
sehingga anilin tidak dapat membentuk garam. Hal ini yang menyebabkan
anilin terpisah terletak di bagian atas dan NaOH sebagai basa kuat berada di
bagian bawah.
Senyawa amina memiliki kegunaan yang luas dalam kehidupan yaitu
dapat berguna sebagai pencegah korosif, bakterisida, fungisida, dan
pengemulsi. Senyawa amina yang relatif sederana sangat penting dalam
fungsi tubuh manusia, di antara lain adalah sekresi kelenjar adrenal,
epinefrin dan norepinefrin, dopamin dan serotonin, serta dapat digunakan
sebagai obat parasit Leishmania.
70
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat dismpulkan
bahwa:
1. Kelarutan amina dalam air, amina yang dapat larut dalam air adalah
EDTA dan piridin sedangkan anilin tidak dapat larut dalam air
2. Kelarutan amina dalam HCl, anilin tidak dapat larut dalam HCl 2M tetapi
larut di dalam HCl pekat
3. Kelarutan dalam NaOH, aminohidroklorida yang berasal dari HCl 2M
maupun HCl pekat tidak dapat larut dalam larutan NaOH
71
PERCOBAAN V
PEMBUATAN ASPIRIN
A. Tujuan
Mengetahui dan memahami teknik pembuatan aspirin dari asam
salisilat dan asam asetat anhidrat.
B. Dasar Teori
1. Aspirin
Aspirin atau asam asetil salisilat sangat berbeda dengan bentuk
pendahulunya, yaitu asam salisilat. Hal ini dikarenakan bentuk asetilasi
dari asam salisilat ini memiliki tolerabilitas yang sempurna dengan efek
samping gastrointestinal yang lebih ringan. Aspirin merupakan salah satu
obat yang paling banyak digunakan diseluruh dunia, terutama sebagai obat
antiinflamasi dan antirematik (Adji, 2010).
Aspirin (asam asetil salisilat) bekerja dengan cara menghambat
sintesis prostaglandin, yaitu suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan
mediator nyeri dan radang atau inflamasi. Ia terbentuk dari asam
arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim siklooksigenase
(COX). Dengan menghambat pada enzim COX, maka prostaglandin tidak
terbentuk dan nyeri atau radang pun reda. Prostaglandin juga merupakan
senyawa yang mengganggu pengaturan suhu tubuh oleh hipotalamus
sehingga menyebabkan demam (Ikawati, 2010).
Selain efek analgesiknya, aspirin juga mengurangi agregasi platelet
(pembekuan). Oleh karena itu, beberapa dokter meresepkan satu tablet
aspirin setiap hari atau dua hari sekali sebagai usaha untuk mencegah
serangan iskemia sementara. Serangan jantung, atau episode
tromboemboli (Kee, 1996).
Asam O-asetil salisilat (aspirin) adalah turunan asam salisilat yang
telah dikenal sebagai prototip obat analgesik kelompok NSAIDs. Namun,
stabilitas senyawa ini dapat menjadi salah satu kelemahannya, disamping
72
efek sampingnya. Reaksi yang paling berkontribusi dalam degradasi
aspirin adalah hidrolisis yang menghasilkan produk asam salisilat dan
asam asetat. Reaksi ini berlangsung dalam berbagai pH dan laju reaksinya
mengikuti kinetika orde pertama semu, tetapi dalam suasana yang lebih
basa, aspirin terhidrolisis lebih cepat (Diyah, 2010).
2. Reaksi Asetilasi
Obat terapeutik dirancang agar jauh lebih spesifik dan mirip dengan
substrat atau stadium antara reaksi untuk menghindari reaksi dengan
enzim. Misalnya, aspirin (asam asetil salisilat) menimbulkan efek
farmakologisnya melalui asetilasi kovalen serin ditempat aktif pada sintesa
enzim prostaglandin endoperoksida. Aspirin mirip satu bagian dari
prostaglandin yang menajdi substrat fisiologis untuk enzim tersebut.
(Marks, 2000)
Reaksi asetilasi merupakan reaksi yang sama dengan reaksi
esterifikasi, yaitu reaksi antara alkohol dengan asam menghasilkan air dan
ester. Reaksi ini adalah reaksi kesetimbangan, berjalan lambat pada
kondisi biasa, tetapi dapat dipercepat apabila ditambahkan katalis asam
kuat. Reaksi asetilasi adalah reaksi memasukkan gugus asetil (CH3COO-)
ke dalam molekul organik seperti (–OH dan –NH2), reagen yang dipakai
adalah asetat anhidrida atau etanol klorida (CH3COCl).
Reaksi asetilasi ini merupakan reaksi yang setimbang. Dengan
mengambil satu arah reaksi yang menuju pada sisi ester, dapat diperoleh
hasil yang besar dan konversi yang tinggi. Salah satu cara untuk mencapai
konversi yang tinggi adalah dengan penghilangan air yang terbentuk.
Oksidasi reduksi dan asetilasi adalah reaksi enzimatik fase I yang
berfungsi menurunkan efek toksik bahan kimia, membuatnya lebih larut
air, pada beberapa kasus memudahkan reaksi konjugasi dan ekskresi.
Selama proses detoksifikasi, yang mana terdiri dari berbagai tipe reaksi
enzimatik yang rumit.
(Dewati, 2010)
73
3. Asam Salisilat
Asam organis ini berkhasiat fungisid terhadap banyak fungsi pada
konsentrasi 3-6% dalam salep. Di samping itu zat ini berkhasiat
bakteriostatis lemah dan berdaya keratolitik, yaitu dapat melarutkan
lapisan tanduk kulit pada konsentrasi 5-10%. Asam salisilat banyak
digunakan dalam sediaan obat luar terhadap infeksi jamur ringan.
Seringkali asam ini dikombinasi dengan asam benzoat dan belerang yang
keduanya memiliki kerja fungistatis maupun bakteriostatis. Bila
dikombinasikan dengan obat lain, misalnya kortikosteroida, asam salisilat
meningkatkan penetrasinya ke dalam kulit. Tidak dapat dikombinasikan
dengan ZnO karena akan terbentuk garam seng salisilat yang tidak aktif.
(Tjay, 2007)
Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih
dari 101,0% C2H6O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian, hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau serbuk hablur
putih halus, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk sintesis
warna putih dan tidak berbau. Jika dibuat dari metil salisilat alami dapat
berwarna kekuningan atau merah jambu dan bau lemah mirip menthol.
Kelarutan, sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut dalam
etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih, agak sukar larut dalam
kloroform (Depkes RI, 1995).
Efek samping dari asam salisilat biasanya reaksi alergi. Kemerahan
pada kulit, urtikaria, eksantem, edema angioneurotik, edema laring, asam
dan syok anafilaktik, gejala ini sering dijumpai pada mereka yang sering
menderita alergi terutama pada penderita asma (Staf Pengajar UI, 2008).
74
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Gelas kimia 250 mL
b. Labu erlenmeyer 250 mL
c. Pemanas listrik
d. Pipet volume 10 mL
e. Timbangan analitik
f. Propipet
g. Tabung reaksi
h. Rak tabung reaksi
i. Pipet tetes
2. Bahan
a. Asam asetat anhidrat
b. Asam salisilat
c. FeCl3 1%
d. H2SO4 pekat
e. NaHCO3 1%
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Aspirin
a. Uji pembuatan aspirin dengan metode pemanasan
1) Uji 1
a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia.
b) Ditambahkan 2,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk.
c) Ditambahkan 2,5 mL H2SO4 pekat.
d) Dipanaskan sambil diaduk.
e) Didinginkan dan diamati Kristal yang terbentuk.
2) Uji 2
a) Ditimbang 2,5 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia.
b) Ditambahkan 3,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk.
c) Ditambahkan 3 tetes H2SO4 pekat.
75
d) Dipanaskan sambil diaduk.
e) Didinginkan dan diamati Kristal yang terbentuk.
3) Uji 3
a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia.
b) Ditambahkan 1 mL asam asetat anhidrat, diaduk.
c) Ditambahkan 1 tetes H2SO4 pekat.
d) Dipanaskan sambil diaduk.
e) Didinginkan dan diamati Kristal yang terbentuk.
b. Uji pembuatan aspirin dengan metode tanpa pemanasan
1) Uji 1
a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia.
b) Ditambahkan 2,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk.
c) Ditambahkan 2,5 mL H2SO4 pekat.
d) Digoyang-goyangkan gelas kimia dan diamati perubahan yang
terjadi.
2) Uji 2
a) Ditimbang 2,5 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia.
b) Ditambahkan 3,5 mL asam asetat anhidrat, diaduk.
c) Ditambahkan 3 tetes H2SO4 pekat.
d) Digoyang-goyangkan gelas kimia dan diamati perubahan yang
terjadi.
3) Uji 3
a) Ditimbang 1 g asam salisilat, dimasukkan dalam gelas kimia.
b) Ditambahkan 1 mL asam asetat anhidrat, diaduk.
c) Ditambahkan 1 tetes H2SO4 pekat.
d) Digoyang-goyangkan gelas kimia dan diamati perubahan yang
terjadi.
2. Uji Aspirin
a. Diambil sedikit aspirin yang terbentuk dari masing-masing pengujian.
b. Masing-masing dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi.
c. Ditambahkan NaHCO3 pada tabung 1 dan FeCl3 pada tabung 2.
76
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
No Komposisi Uji Kemurnian Keterang
an FeCl3 NaHCO3
1
1 g Asam Salisilat + 2,5
mL Asam Asetat Anhidrat
+ 2,5 mL H2SO4 pekat +
kalor
Ungu, lalu
kuning
Terbentuk
gelembung
gas
Tidak
murni
2
1 g Asam Salisilat + 2,5
Asam Asetat Anhidrat +
2,5 mL H2SO4 pekat,
tanpa kalor
Ungu, lalu
hilang
Terbentuk
gelembung
gas
Tidak
murni
3
2,5 g Asam Salisilat + 3,5
mL Asam Asetat Anhidrat
+ 3 tetes H2SO4 pekat +
kalor
Sedikit
ungu
Terbentuk
gelembung
gas
Tidak
murni
4
2,5 g Asam Salisilat + 3,5
mL Asam Asetat Anhidrat
+ 3 tetes H2SO4 pekat +
tanpa kalor
Sedikit
ungu
Terbentuk
gelembung
gas
Tidak
murni
5
1 g Asam Salisilat + 1 mL
Asam Asetat Anhidrat + 1
tetes H2SO4 pekat + kalor
Ungu tua
Terbentuk
gelembung
gas
Tidak
murni
6
1 g Asam Salisilat + 1 mL
Asam Asetat Anhidrat + 1
tetes H2SO4 pekat + tanpa
kalor
Sedikit
ungu
Terbentuk
gelembung
gas
Tidak
murni
77
O
COOH
C
O
CH3
+ NaHCO3
2. Reaksi-Reaksi
a. Pembuatan Aspirin
O H
+ H3C C
O
O C
O
CH3
H2SO4
O
COOH
COOH
+ H3C C
O
O C
O
CH3
H
O
COOH
+ C CH3
O
+ H3C C
O
OH
O
COOH
C
O
CH3
+ H3C C
O
OH
Aspirin Asam Asetat
b. Pengujian Aspirin
1) Aspirin + NaHCO3
78
O
C
C
O
CH3
O
O H
+ Na O C O H
O
O
C
C
O
CH3
O
O
+ Na+ + H+ + O C
O
OH
O
C
C
O
CH3
O
ONa
+O C O
O
H
H
O
C
C
O
CH3
O
ONa
+ H O + C O
O
H
O
C
C
O
CH3
O
ONa
+ O C O
O
H
H
79
O
C
C
O
CH3
O
ONa
+ H O H + C O
O
O
C
C
O
CH3
O
ONa
+ H2O + CO2
2) Aspirin + FeCl3
O - C - CH3
C - O - Na
O
O
+ Fe - Cl
Cl
Cl
3) Asam salisilat + FeCl3
O - H
C - O - H
O
+ Fe - Cl
Cl
Cl
80
C
Fe
O
O
c. Resonansi OH yang berikatandengan benzene
O - H O - H..
..
O -..
.. O..
..
_
O..
.. O..
..
O..
..
d. Resonansi COOH yang berikatandengan benzene
C - O - H
O
C - O - H
O
..
.. ..
..
- H+
....
....
81
C - O -
O
..
..
..
..
C = O
O
..
..
..
..
_
82
F. Pembahasan
Aspirin atau asam asetil salisilat sangat berbeda dengan bentuk
pendahulunya, yaitu asam salisilat. Hal ini dikarenakan bentuk asetilasi dari
asam salisilat ini memiliki tolerabilitas yang sempurna dengan efek samping
gastrointestinal yang lebih ringan. Aspirin merupakan salah stu obat yang
paling banyak dan paling luas digunakan di seluruh dunia, terutama sebagai
obat antiinflamasi dan antirematik.
Selain efek analgesiknya, aspirin juga mengurangi agregasi platelet
(pembekuan). Oleh karena itu beberapa dokter meresepkan satu tablet aspirin
setiap hari atau dua hari sekali sebagai usaha untuk mencegah serangan
iskemia sementara, serangan jantung atau episode tromboemboli.
Aspirin dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan asam asetat
anhidrat dengan menggunakan katalis berupa H2SO4 pekat yang bertindak
sebagai zat penghidrasi. Asam salisilat merupakan asam bifungsional yang
mengandung dua gugus, yaitu –OH dan –COOH. Sehingga asam salisilat
dapat mengalami dua jenis reaksi yang berbeda. Dalam pembentukan aspirin,
asam salisilat berperan sebagai alkohol karena mempunyai gugus –OH dan
asam asetat anhidrat berperan sebagai anhidrat asamnya.
Percobaan yang dilakukan membahas mengenai teknik pembuatan
aspirin dari asam salisilat dan asam asetat anhidrat. Percobaan pertama
dilakukan pembuatan aspirin, dimana sediaan asam salisilat ditimbang dan
ditambahkan dengan asam asetat anhidrat ke dalam gelas kimia. Seperti yang
diketahui asam asetat anhidrat merupakan hasil dari pembuangan air pada
asam asetat melalui penggabungan dua molekul asam asetat. Pencampuran
kedua bahan tersebut diaduk hingga berubah warna menjadi putih keruh. Hal
tersebut dikarenakan terjadi reaksi asetilasi. Reaksi asetilais merupakan
reaksi yang sama dengan reaksi esterifikais, yaitu suatu reaksi antara alkohol
dengan asam, dalam hal ini gugus hidroksil (OH) pada asam salisilat dengan
asam menghasilkan produk berupa ester dan air. Kemudian dilakukan
penambahan pereaksi berupa H2SO4 yang bertindak sebagai katalisator yang
mengkatalis reaksi yang terjadi agar dapat berjalan lebih cepat. Penambahan
83
yang terjadi menyebabkan pemutusan ikatan hidroksil (OH) antara ion O dan
ion H pada asam salisilat sehingga ion O pada struktur asam salisilat
bermuatan parsial negatif, sedangkan ion O penghubung ikatan karbon pada
struktur asam asetat anhidrat bermuatan parsial positif akibat pengikatan
hidrogen. Penambahan pereaksi tersebut menyebabkan perubahan warna
menjadi kekuningan. Selain itu pereaksi H2SO4 mempercepat pemutusan
ikatan hidrogen pada hidroksida karena adanya pengaruh resonansi gugus
hidroksil yang lebih besar dibandingkan resonansi yang terjadi di gugus
karboksilat pada asam salisilat.
Resonansi yang terjadi sebanyak 4 kali melalui ikatan benzena dengan
OH yang bertujuan untuk mengembalikan elektron ke tempatnya semula
pada atom O, sedangkan distribusi elektron pada karboksilat terjadi sebanyak
2 kali antara atom C dengan atom O yang diikatnya sehingga tidak terjadi
resonansi dan ikatan benzena dengan karboksilat stabil dan lebih kuat.
Pemutusan ikatan pada asam asetat anhidrat akan menghasilkan senyawa
CH3COOH + H. CH3COOH dengan cara atom O pada asetat yang akan
berikatan dengan atom H pada asam salisilat karena bersifat elektropositif.
Selanjutnya dilakukan pemanasan dalam waktu beberapa menit. Tujuan
pemanasan tersebut agar reaksi yang terjadi dapat berjalan lebih cepat.
Setelah dilakukan pemanasan, didinginkan hingga membentuk kristal yang
menunjukkan telah terbentuknya aspirin.
Percobaan kedua, dilakukan pengujian terhadap sediaan aspirin yang
telah terbentuk, yang proses pembuatannya sama seperti pada percobaan
sebelumnya. Pengujian dilakukan dengan menambahkan suatu pereaksi yaitu
FeCl3 maupun pereaksi NaHCO3 atau yang lebih dikenal dengan soda kue.
Pengujian dengan pereaksi FeCl3 bertujuan untuk menguji kemurnian aspirin
yang ditandai dengan terbentuknya warna ungu. Pembentukan warna ungu
tersebut menunjukkan bahwa sediaan aspirin yang dibuat memiliki
kemurnian yang rendah. Hal tersebut dimungkinkan karena sediaan masih
terdapat asam salisilat yang secara keseluruhan tidak bereaksi menjadi
aspirin dan terbentuknya kompleks yang reaksinya terjadi antara asam
84
salisilat dengan pembentukan dari FeCl3 dalam air [Fe(H2O)6]3+
. Terdapat
perbedaan pada pembentukan aspirin yang dibuat dengan berat bahan asam
salisilat dan meningkatkan volume larutan asam asetat anhidrat, namun
sebaliknya menurunkan volume dari H2SO4. Pencampuran bahan-bahan
tersebut akan membentuk aspirin yang ketika ditambahkan dengan pereaksi
FeCl3 menghasilkan intensitas warna ungu yang berbeda-beda. Semakin
pekat warna ungu, maka semakin sedikit aspirin yang terbentuk. Dengan
penggunaan asam salisilat dan asam asetat anhidrat yang besar, namun
katalis yang berupa H2SO4 yang sedikit akan di peroleh aspirin yang
memiliki kemurnian yang tinggi, dan begitu sebaliknya.
Pengujian yang dilakukan terhadap aspirin yang telah terbentuk
dengan pereaksi natrium bikarbonat (NaHCO3) akan menimbulkan
gelembung yang diakibatkan karena terbentuknya karbondioksida yang
dilepaskan. Hal tersebut menandakan bahwa sediaan yang dibuat positif
mengandung aspirin. Jika sediaan yang terbentuk ditambahkan NaHCO3 dan
tidak terbentuk gelembung, maka sediaan yang dibuat negatif atau tidak
mengandung aspirin. Sehingga pengujian dengan NaHCO3 menunjukkan ada
atau tidaknya aspirin pada sediaan yang terbentuk.
Pemanfaatan aspirin telah banyak digunakan dalam berbagai bidang,
salah satunya yaitu dalam bidang farmasi yang digunakan sebagai obat
golongan AINS (antiinflamasi non steroid) dalam asetilasi dan inaktivasi
siklooksigenase irreversibel. Aspirin dapat dengan cepat dilakukan proses
asetilasi oleh suatu enzim berupa esterase dalam tubuh dengan menghasilkan
salisilat yang mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesik.
Aspirin juga dapat dibuat dengan cara lain yaitu dengan mereaksikan antara
asam salisilat dengan asam asetat anhidrat, dengan anilin sebagai
katalisatornya.
85
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan mengenai pembuatan
aspirin, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Aspirin terbentuk dari asam salisilat dengan asam asetat anhidrat yang
dikatalis oleh H2SO4 dengan reaksi asetilasi.
2. Pengujian aspirin dengan FeCl3 membentuk warna ungu yang
menandakan tingkat kemurniannya rendah, namun aspirin dengan FeCl3
yang membentuk sedikit warna ungu menandakan tingkat kemurniannya
tinggi, sedangkan pengujian dengan NaHCO3 menimbulkan gelembung
yang menandakan bahwa sediaan yang dibuat positif mengandung
aspirin.
86
PERCOBAAN VI
PEMBUATAN SABUN
A. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami teknik pembuatan sabun
dari minyak dengan basa kuat.
B. Dasar Teori
1. Sabun
Sabun adalah golongan alkali karboksilat (RCOONa). Gugus R
bersifat hidrofobik karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat
hidrofilik (polar). Ada 2 jenis sabun yang dikenal yaitu sabun padat
(batangan) dan sabun cair. Sabun padat dibedakan atas tiga jenis yaitu
sabun opaque, trasnsluenct dan transparan (Hernani, 2010).
Sabun merupakan satu macam surfaktan (bahan surface active),
senyawa yang menurunkan tegangan permukaan air. Sifat ini
menyebabkan larutan sabun dapat memasuki serat, menghilangkan dan
mengusir kotoran dan minyak (Sari, 2010).
Sabun mengandung terutama garam C16 dan C18, namun dapat juga
mengandung beberapa karboksilat dengan bobot asam lebih lemah. Suatu
molekul sabun mengandung suatu hidrokarbon panjang dengan ujung
ion. Bagian hidrokarbon dari molekul bersifat hidrofobik dan larut dalam
zat-zat non polar. Sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam
air. Karena adanya rantai hidrokarbon, molekul sabun secara keseluruhan
tidaknya benar-benar larut dalam air. Namun mudah tersuspensi dalam
air karena membentuk misel (micelles) yakni segerombolan (50-150)
molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung-
ujung ionnya menghadap ke air (Hernani, 2010).
Lemak dan sabun dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang
(C16
-C18
) menghasilkan sabun keras dan minyak dari asam lemak tak
87
jenuh dengan rantai pendek (C12
-C14
) menghasilkan sabun yang lebih
lunak dan lebih mudah larut. Sabun yang dibuat dari natrium hidroksida
lebih sukar larut dibandingkan dengan sabun yang dibuat dari kalium
hidroksida. Menurut Ali, sabun sekarang dicampur untuk mendapatkan
sifat-sifat yang diinginkan. Sabun mandi megandung minyak wangi, zat
warna, dan bahan obat (Sari, 2010).
Sabun pertama kali ditemukan oleh seorang dari Mesir kuno
beberapa ribu tahun yang lalu. Sedangkan pembuatan sabun oleh suku
bangsa Jerman dilaporkan oleh Julius Caesar. Teknik pembuatan sabun
dilupakan oleh orang zaman kegelapan, penggunaan sabun baru mulai
meluas pada abad ke-19 (Fessenden, 1992).
Dewasa ini sabun dibuat praktis sama dengan teknik yang
digunakan pada zaman yang lampau. Lelehan lemak sapi atau lemak lain
dipanaskan dengan lendi (NaOH) dan karenanya terhidrolisis menjadi
gliserol dan garam natrium dan asam lemak. Dulu digunakan abu kayu
(yang mengandung basa seperti kalium karbonat) sebagai ganti dari
penggunaan lendi digunakan larutan alkali (Fessenden, 1992).
Kegunaan sabun ialah kemampuannya dalam mengemulsi kotoran
berminyak sehingga dapat dibuang dengan adanya pembilasan.
Kemampuan ini disebabkan oleh adanya dua sifat dari sabun. Pertama,
rantai hidrokarbon adalah sebuah molekul sabun larut dalam zat non
polar, seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul-
molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak-
menolak antara tetes-tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat
saling bergabung tetapi tetap akan tersuspensi (Fessenden, 1992).
Dalam kerjanya menyingkirkan kotoran, molekul sabun
mengelilingi dan mengemulsi butiran minyak atau lemak. “Ekor”
lipofilik dan molekul sabun melarutkan minyak. Ujung hidrofilik dari
butiran minyak terstabilkan dalam larutan air sebab muatan permukaan
yang negatif dari butiran minyak mencegah penggabungan.
88
Sifat menonjol lain dari larutan sabun ialah tegangan permukaan
yang sangat rendah, yang larutan sabun lebih memiliki daya pembasahan
dibandingkan air basa. Akibatnya sabun termasuk golongan zat yang
disebut surfaktan. Gabungan dari daya pengemulsi dan kerja permukaan
dari larutan sabun memungkinkan untuk melepas kotoran, lemak dan
partikel dari minyak dan permukaan yang sedang dibersihkan dan
mengemulsikannya sehingga kotoran itu terurai bersama air.
(Harold, 2003)
2. Saponifikasi
Saponifikasi adalah reaksi hidrolisis asam lemak oleh adanya basa
lemah. Saponifikasi tidak hanya menghasilkan kolesterol akan tetapi juga
pengotor lain dari asam lemak (Muharrami, 2011).
Sabun merupakan hasil hidrolisa asam lemak dan basa. Peristiwa
ini dikenal dengan peristiwa safonifikasi. Safonifikasi adalah proses
penyabunan yang mereaksikan suatu lemak atau gliserida dengan basa
(Sari, 2010).
Pembentukan ester dari alkohol dan asam adalah reaksi
kesetimbangan. Reaksi kebalikan dapat terjadi dengan memindahkan
asam dari campuran reaksi. Misalnya, dengan mengolahnya dengan
NaOH, lemak hewan dikonversi menjadi sabun (garam dari asam lemak)
dan gliserol (suatu trialkohol) dengan cara
3C17H35CO2H + CHOH
CHOH
CH2OH
CHOCOC17H35
CHOCOC17H35
CH2OCOC17H35
+ 3N2O + 3NaOH + 3Na+ + C17H35CO2 + 3H2O
(Goldberg, 2005)
Bila lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali, ester terkonversi
menjadi gliserol dan garam dari asam lemak. Reaksi tersebut
digambarkan disini dengan penyabunan gliserol tri palmitrat.
89
CHOC(CH2)14CH3 + 3NaOH
O
CH2C(CH2)14CH3
CH2OC(CH2)14CH3
O
O
CHOH + 3CH3(CH2)14CO2Na+
CH2OH
CH2OH
(Harold, 2003)
3. Parameter Kualitas Sabun
Parameter kualitas sabun meliputi :
a. Bilangan penyabunan menunjukan jumlah asam lemak, baik asam
lemak terikat (trigliserida) maupun asam lemak bebas yang
terkandung dalam minyak atau lemak. Bilangan penyabunan
merupakan jumlah alkali yang diperlukan untuk dapat
menyabunkan 1 g minyak atau lemak dinyatakan dalam jumlah mg
KOH/NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 g minyak atau
lemak.
b. Bilangan iod adalah banyak gram halogen yang diserap oleh 100 g
lemak dan dinyatakan dalam berat iod. Nilai ini digunakan untuk
menentukan derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak.
Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan suatu minyak semakin
banyak iod yang terabsorpsi dan semakin tinggi pula nilai bilangan
iod tersebut.
c. Bilangan peroksida merupakan parameter yang penting untuk
mengetahui derajat kerusakan minyak atau lemak dan menentukan
daya simpan minyak atau lemak. Bilangan peroksida adalah jumlah
peroksida yang terdapat dalam contoh, dinyatakan dengan mili
ekivalen O2 aktif per kg yang mengoksidasi kalium iodida.
(Ketaren, 1986)
90
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Batang pengaduk
b. Cetakan Sabun
c. Erlenmeyer 250 mL
d. Gelas kimia 100 mL
e. Kaca arloji
f. Pemanas listrik
g. Pipet tetes
h. Pipet volume 10 mL
i. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Aquades
b. KOH
c. Minyak kelapa (VCO)
d. NaOH
e. Pewangi
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan sabun padat
a. Ditimbang 2 gram NaOH, dilarutkan dalam 2 mL aquades.
b. Dipanaskan larutan NaOH hingga hangat pada pemanas listrik.
c. Dimasukkan 10 mL minyak kelapa ke dalam larutan NaOH (a)
pada suhu yang sama. Diaduk hingga mengental.
d. Diberi pewangi, diaduk kembali hingga terbentuk sabun padat.
e. Diulangi langkah (a), dengan ditimbang 2 gram NaOH, dilarutkan
dalam 2 mL aquades.
f. Dipanaskan larutan NaOH (e) hingga hangat pada pemanas listrik.
g. Dimasukkan 25 mL minyak kelapa ke dalam larutan NaOH (e)
pada suhu yang sama. Diaduk hingga mengental.
91
h. Diberi pewangi, diaduk kembali dan dimasukkan kedalam
cetakan. Didiamkan hingga terbentuk sabun padat.
2. Pembuatan sabun cair
a. Ditimbang 2 gram KOH, dilarutkan dalam 2 mL aquades.
b. Dipanaskan larutan KOH hingga hangat pada pemanas listrik.
c. Dimasukkan 10 mL minyak kelapa ke dalam larutan KOH (a) pada
suhu yang sama. Diaduk hingga mengental.
d. Diberi pewangi, diaduk kembali hingga terbentuk sabun cair.
e. Diulangi langkah (a), ditimbang 2 gram KOH, dilarutkan dalam 2
mL aquades.
f. Dipanaskan larutan KOH (e) hingga hangat pada pemanas listrik.
g. Dimasukkan 25 mL minyak kelapa ke dalam larutan KOH (e) pada
suhu yang sama. Diaduk hingga mengental.
h. Diberi pewangi, diaduk kembali hingga terbentuk sabun cair.
92
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel pengamatan
Sampel Minyak VCO Hasil
NaOH 2g 10 mL Terbentuk
20 mL atas cair, bawah padat
KOH 2g 10 mL Terbentuk
20 mL Terbentuk
2. Reaksi
a. Pencampuran minyak dengan NaOH
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O C R3
O
O
O
+ 3 NaOH
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O C R3
O
O
2 NaOH
Na O
O
+
H
93
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O C R3
O
O
+ 2 NaOH
Na O
O
H+ +
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O
C R3
O
O
+2 NaOH
Na O
O
H+ +
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
O
+ 2 NaOH
Na O
O
+
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
Na O
O
+
Na O
O
NaOH+
H
94
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
Na O
O
+
Na O
O NaOH
+ H+ +
CH OH C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
Na O
O
+
Na O
O
NaOH+ +
CH OH C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
Na O
O
+
Na O O
+
O
Na O
H
CH OH C R2
CH2 O
CH2 OH
C R3
Na O
O
+
O
++ H+
Na O
C R1
Na O
O
+
95
CH OH C R2
CH2 OH
CH2 OH
C R3
Na O
O
+
O
+
Na O
C R1
Na O
O
+
b. Pencampuran minyak dengan KOH
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O C R3
O
O
O
+ 3 KOH
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O C R3
O
O
2 KOH
K O
O
+
H
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O C R3
O
O
+ 2 KOH
K O
O
H+ +
96
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 O
C R3
O
O
+2 KOH
K O
O
H+ +
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
O
+ 2 KOH
K O
O
+
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
K O
O
+
K O
O
KOH+
H
CH O C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
K O
O
+
K O
O KOH
+ H+ +
97
CH OH C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
O
K O
O
+
K O
O
KOH+ +
CH OH C R2
CH2 O C R1
CH2 OH
C R3
K O
O
+
K O O
+
O
K O
H
CH OH C R2
CH2 O
CH2 OH
C R3
K O
O
+
O
++ H+
K O
C R1
K O
O
+
CH OH C R2
CH2 OH
CH2 OH
C R3
K O
O
+
O
+
K O
C R1
K O
O
+
98
F. Pembahasan
Percobaan ini adalah tentang pembuatan sabun yang bertujuan untuk
mengetahui dan memahami teknik pembuatan sabun dari minyak dengan basa
kuat. Minyak yang digunakan pada percobaan ini adalah Virgin Coconut Oil
(VCO). Minyak VCO dipilih karena mengandung 92 % asam lemak rantai
sedang atau trigliserida rantai menengah sehingga mudah mengalami reaksi
saponifikasi ketika bereaksi dengan basa kuat. Basa kuat yang digunakan
dalam proses pembuatan sabun adalah NaOH dan KOH.
Sabun adalah garam logam alkali karboksilat dimana gugus R bersifat
hidrofobik karena bersifat nonpolar dan gugus karboksil alkali bersifat
hidrofilik atau polar. Kegunaan sabun adalah kemampuannya mengemulsi
kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan
ini dapat terjadi karena dua sifat sabun yaitu larut dalam zat non polar dan
bila terikat dengan air akan terjadi tolak-menolak yang akan mengemulsi
minyak dalam air menjadi bola-bola kecil yang larut. Terdapat dua jenis
sabun yaitu sabun padat dan sabun cair. Sabun dengan berat molekul rendah
memiliki struktur sabun yang lebih keras, sebaliknya sabun dengan berat
molekul tinggi memiliki struktur sabun yang lebih cair. Dari jenis kedua
sabun tersebut yang membedakan adalah basa kuat yang digunakan dalam
proses saponifikasi dimana sabun padat menggunakan NaOH sedangkan
sabun cair menggunakan KOH. Natrium memiliki berat molekul yang lebih
rendah daripada kalium.Proses saponifikasi adalah proses yang terjadi pada
saat pembuatan sabun, yaitu asam lemak yang direaksikan dengan NaOH dan
KOH membentuk lemak yang tersabunkan.
Percobaan pertama yang dilakukan adalah pembuatan sabun padat.
Pada pembuatan sabun padat, basa alkali yang digunakan adalah NaOH.
NaOH merupakan basa kuat yang nantinya akan menghasilkan garam natrium
dalam sabun.Garam natrium cenderung memiliki ikatan yang kuat satu sama
lain sehingga membuat konsistensi dari sabun akan menjadi keras. NaOH
ditimbang terlebih dahulu kemudian dimasukkan kedalam gelas kimia yang
telah terisi dengan aquades, karena bila dilakukan sebaliknya maka akan
99
terjadi ledakan, karena NaOH merupakan basa yang kuat yang bersifat
eksoterm yang menyebabkan panas pada dinding gelas kimia. Kemudian
dipanaskan minyak VCO yang dicampurkan dengan larutan NaOH pada suhu
yang sama yaitu 80o C hingga 100
o C. Pada suhu campuran yang sama, energi
untuk memutuskan ikatan dan rantai pada masing-masing senyawa pada
proses reaksi akan sama sehingga membuat jumlah hasil reaksi dapat
maksimal. Pemanasan bertujuan untuk merenggangkan ikatan antara gugus
karboksilat terhadap alkil yang terdapat dalam minyak. Kemudian campuran
diaduk-aduk hingga bercampur rata dan wujudnya seperti susu kental. Proses
pencampuran antara minyak dan NaOH kemudian akan membentuk suatu
cairan yang mengental. Selanjutnya ditambah pewangi sebagai bahan
tambahan yang berfungsi untuk memberi aroma dan kesegaran pada sabun
dan kemudian didiamkan dalam cetakan yang diinginkan.
Percobaan kedua yang dilakukan adalah pembuatan sabun cair. Pada
pembuatan sabun cair, basa alkali yang digunakan adalah KOH. Proses
pembuatan sabun cair sama dengan pembuatan sabun padat, yang
membedakan hanya basa alkali yang digunakan. KOH merupakan basa kuat
yang menghasilkan garam kalium dalam sabun yang membuat konsistensi
dari sabun akan menjadi cair. Ini merupakan karakteristik dari garam kalium
yang membuat sabun menjadi cair dan lunak, tidak kaku dan mengeras seperti
garam natrium. Pada percobaan yang telah dilakukan, proses pembuatan
sabun cair berhasil dan terbentuk, baik pada penggunaan 10 ml minyak VCO
dan 20 ml VCO.
Proses yang terjadi pada proses pembuatan sabun padat dan cair adalah
proses saponifikasi yaitu dengan mereaksikan suatu asam lemak atau minyak
dengan basa alkali sehingga terbentuk sabun. Asam lemak terdiri dari rantai
karbon panjang yang terakhir dengan gugus asam karbosilat pada ujungnya.
Gugus asam karbosilat terdiri dari sebuah atom karbon yang berikatan dengan
2 buah atom O. Satu ikatannya terdiri dari ikatan rangkap dua dan satunya
merupakan ikatan tunggal. Dalam saponifikasi ini terjadi hidrolisis basa pada
minyak dengan basa sehingga membentuk ikatan alkali-COOR dan gliserol,
100
dimana mekanismenya melibatkan serangan nukleofil –OH pada karbonil.
Indikasi yang menyatakan terjadi reaksi saponifikasi adalah pada minyak
yang direaksikan semakin lama diaduk, semakin kental cairannya dan adanya
gliserol yang tampak seperti minyak pada sabun padat dan cair. Setelah
dilakukan percobaan, dapat diketahui semakin banyak minyak VCO yang
digunakan, maka semakin lama proses saponifikasi untuk menghasilkan
sabun. Hal ini terlihat pada pembuatan sabun padat dengan 20 ml minyak
VCO, sabun yang terbentuk tidak cepat mengeras. Dimungkinkan pada
proses saponifikasi yang terjadi belum sempurna terjadi ketika dituang ke
cetakan sehingga hanya bagian bawah yang mengeras sedangkan pada bagian
atas masih ada minyak yang belum bereaksi dengan NaOH sehingga tidak
mengeras.
Dalam percobaan ini diberikan perlakuan yang berbeda berupa
perbedaan volume minyak kelapa yang digunakan. Setelah dilakukan
percobaan, diketahui semakin banyak minyak kelapa yang digunakan, maka
semakin lama proses saponifikasi untuk menghasilkan sabun dan sabun yang
terbentuk lebih banyak. Untuk basa kuat pada proses pembuatan sabun yaitu
NaOH dan KOH, keduanya memiliki kelebihan masing-masing dimana
kedua basa kuat akan membentuk konsistensi sabun yang berbeda sehingga
tidak dapat dibedakan yang mana lebih baik. Penggunaan sabun padat dan
sabun cair berbeda-beda tergantung fungsi dan cara penggunaan efektifnya
dalam membersihkan kotoran.
Sabun tidak terlepas dari fungsi utamanya untuk mengangkat kotoran
kerena sifat surfaktan yang terkandung didalamnya. Surfaktan merupakan
molekul yang memiliki gugus polar yang suka air (hidrofilik) dengan gugus
non–polar yang suka minyak (hidrofobik). Ini sesuai dengan teori like
dissolve like yang mana kotoran biasanya bersifat non polar sehingga
sabundapat membawa campuran yang terdiri dari minyak dan kotoran,
sehingga kotoran dapat terangkat. Akan tetapi sabun juga dapat menimbulkan
iritasi dan alergi kulit akibat dari sejumlah efek daya kerjanya, antara lain
alkalisasi, yaitu akibat terurainya sabun dalam air sehingga menyebabkan pH
101
sabun lebih besar dari pH fisiologi kulit yang berkisar 4,5–6,5 sehingga dapat
merusak kulit misalnya pembengkakan keratin yang memudahkan masuknya
bakteri dan kulit dapat kering serta pecah–pecah.
Dalam bidang farmasi penggunaan sabun banyak digunakan dalam
produk perawatan dan pengobatan kulit karena rute pemberiannya yang
digunakan secara topikal. Adanya sabun kesehatan dengan menambahkan
bahan tambahan seperti asam salisilat sebagai fungisida , sulfur mencegah
dan mengobati penyakit kulit. Selain itu ada juga sabun kecantikan dengan
bahan tambahan seperti vitamin E untuk mencegah penuaan dini, dan
hidroquion untuk memutihkan dan mencerahkan kulit. Sabun juga digunakan
sebagai surfaktan pada jenis sediaan yang mencampurkan bahan hidrofilik
dan lipofilik seperti emulsi dan krim.
102
G. Kesimpulan
Berdasakan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Proses saponifikasi dengan basa NaOH dan minyak VCO
menghasilkan sabun padat.
2. Proses saponifikasi dengan basa KOH dan minyak VCO
menghasilkan sabun cair.
3. Semakin banyak minyak yang digunakan, maka semakin lama proses
saponifikasi untuk menghasilkan sabun.
103
PERCOBAAN VII
PEMBUATAN METIL ESTER
A. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami teknik pembuatan metil
ester.
B. Dasar Teori
1. Metil ester
Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari
minyak nabati, baik minyak yang belum digunakan maupun minyak bekas
dari penggorengan dan melalui proses transesterifikasi.Biodiesel
digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak
(BBM) untuk motor diesel, dan apat diaplikasikan baik dalam bentuk
100 % (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat
konsentrasi tertentu (BBX), seperti 10 % biodiesel dicampur dengan 90 %
solar yang dikenal dengan nama B10 (Erliza, 2007).
Pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki
beberapa kelebihan, diantaranya sumber minyak nabati mudah diperoleh,
proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati mudah dan cepat, serta
tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel yang tinggi (95 %).
Minyak nabati memiliki komposisi asam lemak berbeda-beda tergantung
dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak (nabati
maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu triester gliserol dengan asam-
asam lemak (C8 – C24). Komposisi asam lemak dalam minyak nabati
menentukan sifat fisik kimia minyak (Erliza, 2007).
Metil ester sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan
yang berfungsi untuk menurunkan tegangan antarmuka/interfacial tension
(IFT) minyak dan air sehingga dapat bercampur dengan homogen.
Surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri
sabun, detergen, farmasi, kosmetika, cat, dan industri perminyakan. Bahan
104
baku pembuatan surfaktan dapat diperoleh dari minyak bumi (fossil fuel)
atau dari minyak nabati dan hewani. Kelemahan surfaktan dari minyak
bumi adalah bahan baku bersifat tidak dapat diperbarui, harga mahal, tidak
tahan pada kesadahan tinggi, dan sulit didegradasi oleh mikroba sehingga
tidak ramah lingkungan. Saat ini surfaktan detergen masih didominasi oleh
produk turunan petrokimia, salah satunya adalah Linier Alkyl Benzene
Sulfonat (LABS). Harga minyak bumi dunia yang semakin mahal
membuat beberapa industri detergen di Amerika dan Jepang mulai
menggunakan minyak nabati untuk bahan baku pembuatan surfaktan
(Hidayati, 2009).
Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan hasil olahan dari daging buah
kelapa segar (non kopra), dalam pengolahannya tidak melalui proses
kimiawi dan tidak menggunakan pemanasan tinggihingga minyak yang
dihasilkan berwarna bening (jernih) dan beraroma khas kelapa. Menurut
standar internasional yang dikeluarkan oleh Asian Pacific Coconut
Community (APCC, 2004) bahwa kandungan asam lauratnya mencapai
43-53 %, kandungan asam lemak bebas sangat rendah yaitu ≤ 0,5 % serta
kadar airnya mencapai 0,1-0,5 %. Komposisi asam lemak tertinggi dalam
minyak kelapa murni adalah asam laurat yang berfungsi dapat memberi
gizi serta melindungi tubuh dari penyakit menular dan penyakit
degeneratif (Sutarmi, 2005).
Komposisi asam lemak berbeda-beda sesuai dengan sumber minyak
itu. Komposisi asam lemak dalam daging buah kelapa terdiri dari asam
lemak jenuh yaitu asam kaproat (0,5 %), asam kaprilat (8,0 %), asam
kaprat (6,4 %), asam laurat (48,5 %), asam miristat (17,6 %), asam
palmitat (8,4 %), asam stearat (2,5 %) dan asam lemak tidak jenuh yaitu
asam oleat (6,5 %), asam linoleat (1,5 %) (Pontoh, 2011).
Transesterifikasi (biasa disebut alkoholisis) adalah tahap konversi
dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan
alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol.
(Muryanto 2009)
105
Tabel Parameter SNI Biodiesel Indonesia
(Muryanto, 2009)
2. Esterfikasi
Reaksi esterifikasi adalah suatu reaksi antara asam karboksilat dan
alkohol membentuk ester. Turunan asam karboksilat membentuk ester
asam karboksilat. Ester asam karboksilat ialah suatu senyawa yang
Parameter SNI 04-7182-2006
Massa jenis pada 40oC, g/mm3 0,850-0,890
Viskositas kinematik (40oC,
mm2/s)
2,3-6,0
Angka setana Min. 51
Tititk nyala (closed cup), oC Min. 100
Titik kabut, oC Maks. 18
Korosi tembaga (3 jam,50 oC) Maks. No.3
Residu karbon
- Dalam contoh asli
- Dalam 10 % ampas distilasi
Maks. 0,05% Massa Maks. 0,3%
massa
Air dan sedimen Maks. 0,05%-v
Temperatur distilasi 90 % Maks. 360oC
Abu tersulfatkan, %-b Maks. 0,02%-b
Belerang, ppm-b (mg/kg) Maks. 100
Fosfor, ppm-b (mg/kg) Maks. 10
Angka asam, mg-KOH/g Maks. 0,8
Gliserol bebas, %-b Maks. 0,02
Gliserin total, %-b Maks. 0,24
Kadar ester alkil, %-b Min. 96,5
Angka Iodium, %-b (g/l2/100g) Maks. 115
Uji Halphen Negatif
106
mengandung gugus -CO2 R dengan R dapat berupa alkil maupun aril.
Esterifikasi dikatalisis asam dan bersifat dapat balik (Fessenden, 1982).
Penamaan ester hampir menyerupai dengan penamaan basa,
walaupun tidak benar-benar mempunyai kation dan anion, namun
memiliki kemiripan dalam sifat lebih elektropositif dan
keelektronegatifan. Suatu ester dapat dibuat sebagai produk dari suatu
reaksi pemadatan pada suatu asam (pada umumnya suatu asam organik)
dan suatu alkohol ( atau campuran zat asam karbol), walaupun ada cara-
cara lain untuk membentuk ester. Pemadatan adalah suatu jenis reaksi
kimia di mana dua molekul bekerja sama dan menghapuskan suatu
molekul yang kecil, dalam hal ini dua gugus OH yang merupakan hasil
eliminasi suatu molekul air
(Clark, 2002)
Suatu reaksi pemadatan untuk membentuk suatu ester disebut
esterifikasi. Esterifikasi dapat dikatalis oleh kehadiran ion H+. Asam
belerang sering digunakan sebagai sebagai suatu katalisator untuk reaksi
ini. Nama ester berasal dari Essig-Äther Jerman, sebuah nama kuno untuk
menyebut etil asam cuka ester (asam cuka etil) (Anshory, 2003).
Ester dapat dibuat oleh suatu reaksi keseimbangan antara suatu
alkohol dan suatu asam karbon. Ester dinamai menurut kelompok alkil
dari alkohol dan kemudian alkanoat (bagian dari asam karbon). Sebagai
contoh, reaksi antara metanol dan asam butir menghasilkan ester metil
butir C3H7-COO-CH3 seperti halnya air. Yang paling sederhana adalah H-
COO-CH3,metil metanoat. Karena ester dari asam yang lebih tinggi,
alkana menyebut dengan - oat pada akhiran. Secara umum ester dari asam
berbau harum meliputi benzoat seperti metil benzoat. Suatu ester asam
karboksilat mengandung gugus –CO2R dengan R dapat berbentuk alkil
maupun aril (Poedjiadi, 1994).
Reaksi esterifikasi merupakan reaksi pembentukan ester dengan
reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan suatu alkohol. Laju
esterifikasi suatu asam karboksilat bergantung pada halangan sterik dalam
107
alkohol dan asam karboksilatnya. Kuat asam dari asam karboksilat hanya
memainkan peranan kecil dalam laju pembentukkan ester.
Seperti kebanyakan reaksi aldehida dan keton, esterifikasi suatu
asam karboksilat berlangsung melalui serangkaian tahap protonasi.
Oksigen karbonil diprotonasi, alkohol nukleofilik menyerang karbon
positif dan eliminasi air akan menghasilkan ester yang dimaksud seperti
reaksi singkat berikut:
H3C-COOH + HO-CH2-CH3 → H3C-COO-CH2-CH3 + H2O
(Fessenden, 1982)
Proses esterifikasi dengan asam fosfat yang berlangsung dalam
tubuh kita disebut juga proses fosforilasi dengan bantuan enzim esterase
yang mampu memecah ikatan ester dengan cara hidrolisis (Anshory,
2003).
3. Transesterifikasi
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap
konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui
reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi transesterifikasi adalah
pengaruh air dan asam lemak bebas, pengaruh perbandingan molar antara
molar alkohol dengan bahan mentah, jenis alkohol, jenis katalis, dan
temperatur.
Reaksi transesterifikasi berjalan lambat sehingga untuk mempercepat
reaksi dipengaruhi oleh suhu dan jumlah katalisator yang digunakan.
Kedua faktor tersebut berhubungan dengan energi aktivasi (Ea) reaksi
yang bersangkutan. Suatu reaksi dapat berlangsung bila sudah melewati
energi aktivasinya. Persamaan Arrhenius menunjukkan bahwa dengan
naiknya suhu akan memperbanyak fraksi molekul yang bertumbukan
sehingga energi aktivasinya akan cepat tercapai. Katalisator dalam suatu
reaksi berperan menurunkan harga energi aktivasi (Ea) sehingga reaksi
berjalan lebih cepat. Katalisator basa bekerja dengan cara menaikkan sifat
nukleofilitas, biasanya digunakan logam alkali alkoksida.
108
(Kusumaningsih, 2006)
Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu
menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang
maksimum. Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta
perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh air dan asam lemak bebas
Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka
asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar
kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5 % (<0.5 %). Selain
itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air
akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi
berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak
mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.
b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah
Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi
adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol
alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak
nabati 4,8:1 dapat menghasilkan konversi 98 %. Secara umum
ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan,
maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada
rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99 %,
sedangkan pada 3:1 adalah 74-89 %. Nilai perbandingan yang terbaik
adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.
c. Pengaruh jenis alkohol
Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang
tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.
d. Pengaruh jenis katalis
Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi
transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa
yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium
hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida
109
(NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati bagi reaksi
sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi
akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis
0,5-1,5 %-b minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi
adalah 0,5 %-b minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1 %-b
minyak nabati untuk natrium hidroksida.
e. Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati
Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak
nabati refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan
sebagai bahan bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa
minyak yang telah dihilangkan getahnya dan disaring.
f. Pengaruh temperatur
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 - 65° C
(titik didih metanol sekitar 65° C). Semakin tinggi temperatur, konversi
yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.
(Freedman, 1984)
110
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Batang pengaduk
b. Corong
c. Corong pisah
d. Gelas kimia 100 mL dan 200 mL
e. Gelas ukur 10 mL dan 100 mL
f. Hot plate
g. Kaca arloji
h. Pinset
i. Pipet skala 10 mL
j. Pipet volume 50 mL
k. Propipet
l. Statif dan klem
m. Stirrer
n. Termometer
o. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Metanol
b. Minyak VCO
c. NaOH
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Natrium Metoksida
a. Ditimbang 1 gram NaOH yang telah dihaluskan dan dilarutkan
dengan 40 mL metanol
b. Diaduk dengan stirrer hingga semua NaOH larut
c. Ditempatkan pada gelas kimia 250 mL.
111
2. Pembuatan Metil Ester
a. Dipanaskan 20 mL sampel minyak di atas hot plate dan diaduk
dengan stirrer kira-kira 120 rpm, hingga mencapai suhu 45-55oC
b. Ditambahkan larutan natrium metoksida yang telah dibuat pada
langkah 1 ke dalam minyak yang telah dipanaskan dan
dipertahankan suhu pengadukan 55oC, dilakukan penambahan
larutan ini sedikit demi sedikit. Dihitung waktu pengadukan hingga
45 menit, setelah semua natrium metoksida bercampur semua
c. Dipindahkan metil ester ke dalam corong pisah dan diamkan
hingga terbentuk dua lapisan selama 10-15 menit, lalu dikeluarkan
lapisan bawahnya.
3. Pemurnian Metil Ester
a. Dimasukkan metil ester ke gelas kimia dan dilakukan pemurnian
dengan memanaskan aquades hingga suhu 60oC, dituangkan metil
ester ke dalam aquades, diaduk perlahan selama 10 menit
b. Dipindahkan metil ester dan aquades ke dalam corong pisah dan
dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan, kemudian lapisan
bawahnya dikeluarkan
c. Dihitung volume metil ester yang didapat.
112
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil pengamatan
No Sampel Sebelum
pemanasan
Setelah
pemanasan
1 Minyak VCO 210 ml 312 ml
2 Minyak VCO 180 ml 162 ml
3 Minyak VCO Tidak terbentuk Tidak terbentuk
2. Reaksi
a. Pembuatan Natrium Metoksida
CH3OH + NaOH CH3ONa + H2O
(Metanol) (Natrium hidroksida) (Natrium Metoksida) (Air)
b. Pembuatan Metil Ester
CH2 O C R1
O
CH O C
O
R2
CH2 O C
O
R3
+ 3CH3ONa
Trigliserida Natrium Metoksida
H2C C R3
O
+ CH3O- + H+
113
H2C O C+
O-
R3 + 3CH3O-
H2C O-C R3
O CH3
O-
H2C O- + C
O CH3
R3
O
H+
HC O C
O
R2 + CH3O- + H+
H2C OH + H3C C R3
O
114
HC O C+ R2 + 3CH3O-
O-
HC O C
O CH3
R2
O-
HC OH- + C
O
R2
O CH3
H+
HC OH + CH3 O C
O
R2
115
CH2 O C R1 + CH3O-H+
O
+
CH2 O C
O CH3
R1
O-
CH2 OH C R1
O
O CH3
CH2 O C+R1 + 3CH3O-
O-
116
CH3 O C R1
O
CH3 O C R2
O
CH3 O C R3
O
+
CH2 OH
CH
CH2
Metil EsterGliserol
OH
OH
117
F. Pembahasan
Percobaan mengenai pembuatan metil ester ini bertujuan untuk
mengetahui dan memahami teknik pembuatan metil ester. Metil ester adalah
suatu senyawa ester yang mengikat gugus metil. Metil ester merupakan ester
asam lemak yang dapat dibuat melalui proses esterifikasi dan
transesterifikasi. Esterifikasi merupakan reaksi antara asam lemak dengan
alkohol menghasilkan ester dan air sebagai hasil samping. Sedangkan
transesterifikasi adalah reaksi yang dialami ester untuk menghasilkan suatu
ester baru yang mengalami pertukaran posisi asam lemak. Biasanya
transesterifikasi terjadi antara trigliserida dengan alkohol dan menghasilkan
ester dan gliserol sebagai hasil samping.
Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti misalnya waktu reaksi, dimana semakin lama suatu reaksi
berlangsung maka kemungkinan kontak zat akan semakin besar, sehingga
akan menghasilkan produk yang besar. Faktor kedua berupa proses
pengadukan. Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antar molekul
zat yang bereaksi sehingga reaksi akan berlangsung semakin cepat. Faktor
ketiga yaitu katalisator. Katalis merupakan zat yang dapat mempercepat
reaksi tanpa ikut bereaksi sehingga tidak mempengaruhi hasil akhir.
Penambahan katalis dapat menurunkan energi aktivasi sehingga reaksi dapat
berlangsung lebih cepat. Adapun faktor terakhir adalah suhu reaksi. Suhu
yang tinggi akan memperbesar energi kinetik molekul zat, sehingga
tumbukan antar zat sering terjadi dan reaksi akan berlangsung semakin cepat.
Percobaan kali ini menggunakan minyak VCO yang bertindak
sebagai bahan baku, NaOH sebagai katalisator dan metanol sebagai pelarut.
Minyak VCO digunakan sebagai bahan utama yang menjadi sumber asam
lemak dalam reaksi esterifikasi. Penggunaan minyak VCO bertujuan agar
metil ester yang dihasilkan berwarna jernih dan tidak mudah tengik saat
proses pemanasan. Hal ini mengingat bahwa minyak kelapa murni (VCO)
memiliki kandungan asam lemak yang jenuh dengan konsentrasi yang tinggi.
Sehingga saat pemanasan minyak tidak mudah teroksidasi. Hal ini juga
118
sejalan dengan tujuan awal dari pemanasan minyak saat pembuatan metil
ester adalah untuk merenggangkan ikatan antar asam lemaknya dan
bukannya untuk memutus ikatan tersebut. Karena apabila ikatannya terputus
maka kualitas metil ester yang dihasilkan tidak dapat memenuhi standar,
salah satunya berbau tengik dan mudah mengalami degradasi saat
penyimpanan.
Penggunaan metanol pada percobaan ini bertujuan agar pembentukan
metil ester dapat berlangsung lebih cepat dengan reaksi yang berlangsung
sempurna. Hal ini disebabkan karena metanol memiliki struktur berupa
alkohol rantai primer. Dimana semakin pendek rantai karbon dari suatu
alkohol maka reaktivitasnya akan semakin meningkat. Berdasarkan hal inilah
metanol dapat bertindak sebagai sumber pemasok gugus alkil yang baik.
Hanya saja kekurangannya metanol memiliki sifat yang mudah menguap
sehingga dalam pengerjaannya hendaknya ditutup dengan alumunium foil.
Selain dua bahan utama tersebut, dalam percobaan ini juga digunakan
larutan Natrium hidroksida (NaOH). NaOH bertindak sebagai katalis yang
dapat mempercepat berlangsungnya reaksi transesterifikasi ketika
direaksikan dengan metanol. Jika suatu ester direaksikan dengan suatu
alkohol maka akan diperoleh ester baru dan alkohol baru. Reaksi ini yang
dinamakan transesterifikasi yang dapat berlangsung dalam suasana asam
maupun basa. NaOH akan mengaktifkan gugus alkoksi dari metanol sehingga
membentuk natrium metoksida. Katalis yang bersifat basa/alkali banyak
digunakan dalam pembuatan metil ester. Hal ini dikarenakan reaksi
transesterifikasi yang dikatalisi oleh basa kuat akan berlangsung sangat cepat
dan sempurna serta dapat dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi.
Langkah pertama dilakukan pembuatan natrium metoksida terlebih
dahulu, dimana larutan Natrium hidroksida (NaOH) direaksikan dengan
metanol. Hal ini dikarenakan sifat dari natrium metoksida yang merupakan
suatu alkoksida memiliki sifat basa yang lebih kuat dibandingkan hidroksida.
Sehingga dengan adanya basa yang lebih kuat, reaksi akan berlangsung lebih
cepat dan sempurna. Karena pada dasarnya reaksi esterifikasi dan
119
transesterifikasi memerlukan suatu nukleofil yang kuat untuk memutus ikatan
rangkap pada asam lemak.
Setelah terbentuknya metil ester dilakukan proses selanjutnya berupa
proses pemurnian. Proses pemurnian bertujuan untuk memisahkan metil ester
dengan pengotor. Dalam hal ini metanol dan NaOH yang tersisa atau gliserol
sebagai hasil samping reaksi dapat bertindak sebagai zat pengotor. Sehingga
dapat diperoleh metil ester yang murni atau bebas dari pengotor. Pemurnian
dilakukan di dalam corong pisah. Prinsip corong pisah yakni memisahkan
senyawa tertentu berdasarkan densitas atau berat jenis dari senyawa-senyawa
tersebut. Pemurnian ini dilakukan dengan menggunakan aquades sebanyak
50% dari volume metil ester dikarenakan pengotor-pengotor tersebut dapat
bercampur dan larut dalam air sehingga dapat terbilas dan terbuang bersama
air.
Hasil pengamatan yang diperoleh berupa data dari tiga replikasi.
Replikasi pertama berhasil terbentuk dengan volume sebelum pemurnian
adalah 210 mL dan sesudah pemurnian adalah 312 mL. Data yang diperoleh
tidak sesuai dengan teori yang ada. Menurut teori, seharusnya volume
sesudah pemurnian harus lebih sedikit dibandingkan dengan volume sebelum
pemurnian bukan sebaliknya. Karena sebelum pemurnian bukan hanya metil
ester yang terkandung tetapi juga terdapat gliserol yang merupakan hasil
samping reaksi. Kemudian setelah dimurnikan dengan air, gliserol akan
terbilas dan terbuang bersama air sedangkan metil ester tidak. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Adapun kemungkinan terbesar dapat
disebabkan karena gliserol tidak dapat terbilas dengan air, bahkan air
pembilasnya sebagian tercampur dengan metil ester sehingga didapatkan
volumenya bertambah. Selain itu juga dapat disebabkan karena pengocokan
dan pengadukan yang terlalu lama dan kuat sehingga menyebabkan aquades
sulit untuk terpisah dari larutan metil ester.
Pembuatan natrium metoksida yang berasal dari NaOH dan metanol
akan mengakibatkan adanya reaksi esterifikasi jika ditambahkan dengan
asam lemak yang berasal dari minyak. Namun pada saat pembuatan natrium
120
metoksida, pemanasan yang dilakukan memungkinkan adanya metanol yang
menguap sehingga ketika direaksikan dengan asam lemak yang berasal dari
minyak tidak terjadi reaksi transesterifikasi dan terbentuk sabun. Asam lemak
tersebut dapat membentuk lapisan gel yang lama-kelamaan akan membentuk
sabun. Meskipun hanya sedikit, adanya sabun dapat menyulitkan proses
pemurnian dan pemisahan gliserol karena air dapat terikat dengan metil ester
yang terbentuk dengan adanya sabun. Sabun akan menurunkan tegangan
permukaan antara air dengan metil ester. Sehingga yang tadinya air dan metil
ester tidak dapat bercampur menjadi bercampur meskipun hanya sedikit.
Sehingga air tidak membilas dan memurnikan metil ester melainkan
menambah volume metil ester yang dihasilkan.
Data untuk replikasi kedua, metil ester yang murni berhasil diperoleh
ditandai dengan volume metil ester sesudah pemurnian lebih sedikit daripada
volume metil ester sebelum pemurnian yakni dari 180 mL menjadi 162 mL.
Hal ini membuktikan bahwa pengotor-pengotor dalam metil ester telah
terbilas bersama air yang ditambahkan. Pada saat pemurnian metil ester
berada di lapisan atas corong pisah, sedangkan gliserol berada di lapisan
bawah. Hal ini dikarenakan berat jenis gliserol lebih besar dibandingkan
dengan berat jenis metil ester. Sehingga ketika corong pisah dibuka, gliserol
dan pengotor lainnya dapat terbuang dan yang tersisa hanya metil ester saja.
Pada replikasi ini juga, pembuatan natrium metoksida tidak melalui proses
pemanasan sehingga metanol tidak ada yang menguap. Hal ini menyebabkan
metanol sebagai sumber alkil tetap ada dalam reaksi dan dapat
mengakibatkan asam lemak mengalami esterifikasi dan transesterifikasi
secara sempurna dan tidak membentuk sabun. Sehingga proses pemurnian
dan pemanasan gliserol dapat berhasil dan diperoleh metil ester yang murni.
Hasil pengamatan yang diperoleh untuk replikasi ketiga yaitu metil
ester tidak terbentuk, melainkan yang terbentuk adalah sabun. Kegagalan ini
dapat terjadi dikarenakan pemanasan yang berlebihan setelah pencampuran
minyak dengan natrium metoksida. Pemanasan yang berlebihan akan
menyebabkan metanol yang terkandung di dalam campuran NaOH dan
121
metanol menguap karena melebihi titik didih metanol yang berkisar antara
60-65˚C. Apabila metanol telah menguap dan habis, yang tersisa hanyalah
NaOH saja. Sehingga apabila ditambahkan ke dalam minyak reaksi
metanolisis atau esterifikasi tidak terjadi karena metanol yang bertindak
sebagai sumber gugus metil tidak ada dalam reaksi dikarenakan metanol
yang telah menguap tadi. Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi
atau biasa disebut reaksi penyabunan antara asam lemak dengan basa kuat
(NaOH) yang akan menghasilkan garam alkali berupa sabun.
Pemanfaatan metil ester dalam bidang farmasi umumnya digunakan
sebagai bahan baku atau emolien dalam pembuatan kosmetik dan surfaktan.
Selain itu metil ester dapat juga digunakan sebagai biodiesel atau pengganti
bahan bakar minyak.
122
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Teknik pembuatan metil ester menggunakan reaksi transesterifikasi
karena menggunakan katalis basa yaitu NaOH
2. Volume metil ester yang didapatkan sebelum pemurnian adalah 210 mL
dan sesudah pemurnian adalah 213 mL pada pengujian pertama
sedangkan pada pengujian kedua dihasilkan metil ester sebelum dan
sesudah pemurnian adalah 180 mL dan 162 mL.
123
PERCOBAAN VIII
IDENTIFIKASI ALKOHOL DAN FENOL
A. Tujuan
Mahasiswa dapat membedakan dan mengidentifikasi alkohol dan fenol.
B. Dasar Teori
1. Alkohol
Alkohol adalah senyawa dimana molekulnya mempunyai gugus
hidroksil (-OH) yang terletak pada atom karbon jenuh. Jika –OH terikat
pada atom karbon tidak jenuh disebut etanol, dan bila terikat secara
langsung pada cincin benzena disebut fenol. Sering suatu gugus fungsi
alkohol dalam molekul mengandung gugus fungsi lain. Dalam sistem
IUPAC penomoran multifungsi ditentukan oleh prioritas tata nama.
a. Sifat-Sifat Alkohol
1) Titik Didih
Alkohol dapat membentuk ikatan hidrogen antara molekul-
molekulnya sehingga titik didih alkohol lebih tinggi daripada titik
didih alkil halida yang bobot molekulnya sebanding.
2) Kelarutan dalam Air
Alkohol berbobot molekul rendah larut dalam air sedangkan
alkil halida dengan BM yang sama tidak larut. Kelarutan dalam air
disebabkan oleh ikatan hidrogen antara alkohol dan air.
(Fessenden, 1984)
Etanol adalah campuran etilalkohol dan air. Mengandung tidak
kurang dari 94,7% atau 92,0% v/v dan tidak lebih dari 95,2% atau
92,7% v/v C2H6O. Pemerian etanol, yaitu cairan tak berwarna, jernih,
mudah menguap dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutannya sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P.
124
Identifikasi etanol dengan cara 5 mL larutan 0,5% b/v
tambahkan 1 mL NaOH 0,1 N, kemudian tambahkan perlahan-lahan 2
mL larutan iodium P, tercium bau iodoform dan terbentuk endapan
kuning.
(Depkes RI, 1979)
b. Sintesis Alkohol
1) Reaksi Substitusi Nukleofilik (R-X+OH-)
Bila alkil halida primer dipanasi dengan NaOH dalam air
terjadi reaksi SN2.
Alkil halida sekunder dan tersier menghasilkan produk-produk
eliminasi maka halida ini umumnya tidak digunakan untuk
menyintesis alkohol.
2) Reaksi Grignard
Reaksi Grignard memberikan suatu cara yang sangat baik
untuk membuat alkohol yang berkerangka karbon rumit.
a) Reagen Grignard + formaldehid → alkohol primer
b) Reagen Grignard + aldehid → alkohol sekunder
c) Reagen Grignard + keton → alkohol tersier
d) Reagen Grignard + etilen oksida → alkohol primer
e) Reagen Grignard + ester format → alkohol sekunder
f) Reagen Grignard + ester → alkohol tersier
3) Reaksi Karbonil
Reaksi reduksi dimana atom-atom hidrogen ditambahkan
kepada gugus-gugus karbonilnya.
4) Hidrasi Alkena
(Fessenden, 1984)
2. Fenol
Fenol adalah salah satu bahan kimia organik yang memiliki banyak
variasi sintesis organik, seperti kimia agrikultural dan peptisida. Fenol
dapat diisolasi dari tar batu bara (Basha, 2010).
125
Sifat dan bahaya fenol antara lain dapat menyebabkan toksisitas dan
bersifat korosif. Faktanya, kematian dapat disebabkan oleh tertelannya
fenol 15 mL. Fenol cair dapat berpenetrasi ke dalam kulit dengan potensi
yang hampir sama dengan inhalasi fenol. Fenol dapat memberikan efek
anastetik (Lynch, 2010).
Sifat keasaman fenol bila dibandingkan dengan metanol lebih
bersifat asam. Hal ini terjadi karena efek induksi dan kestabilan dari ion
fenoksida. Reaksi pada fenol terdiri dari:
a. Reaksi esterifikasi
b. Reaksi substitusi elektrofilik aromatik
c. Reaksi Kolbe
d. Reaksi Reamer-Tiemann
e. Reaksi oksidasi
(Fessenden, 1984)
Salah satu tanaman obat yang mengandung fenol adalah daun
Achirathes aspera L yang mengandung saponin, polifenol dan alkaloid.
Selain itu senyawa fenol juga dimodifikasi untuk sebagai obat penghilang
rasa nyeri gigi yaitu eugenol (4-alil-2-metoksifenol). Eugenol termasuk
antiseptik golongan fenol yang mempunyai daya antiseptik yang lemah
(Dewi, 2006).
126
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Gelas kimia 100 mL
b. Pipet tetes
c. Pipet volume 10 mL
d. Propipet
e. Rak tabung
f. Tabung reaksi
2. Bahan
a. Aluminium foil
b. Benzil alkohol
c. Etanol
d. Etanol encer
e. FeCl3 1%
f. Fenol
g. Fenol encer
h. Isopropanol
i. Kristal iodium
j. Metanol
k. NaOH 2 N
D. Prosedur Kerja
1. Uji adanya gugus hidroksil
a. Diambil 3 buah tabung reaksi yang bersih dan kering.
b. Diisi tabung 1 dengan 4 butir Kristal fenol, diisi tabung 2 dengan 4
tetes etanol, diisi tabung 3 dengan 4 tetes benzil alkohol.
c. Ditambahkan 4 tetes larutan NaOH 2 N ke dalam tabung 1, 2 dan 3.
Dikocok.
d. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
127
2. Membedakan gugus hidroksil pada alkohol dan fenol
a. Diamati 2 buah tabung reaksi yang bersih dan kering.
b. Diisi tabung 1 dengan 2 mL etanol encer, diisi tabung 2 dengan 2 mL
fenol encer.
c. Ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 1% ke dalam kedua tabung di atas.
d. Diamati dan dicatat perubahan yang terjadi.
3. Uji alkohol dan tes iodoform
a. Diambil sebuah tabung reaksi yang bersih dan kering, dimasukkan ke
dalamnya sejumlah Kristal iodium.
b. Ditambahkan 3 tetes alkohol yang akan diperiksa.
c. Diteteskan larutan NaOH 2 N ke dalam tabung, sambil dikocok.
Dilakukan penambahan NaOH 2 N sampai warna coklat hilang.
d. Dikocok terus sampai timbul warna kuning atau larutan bau iodoform.
128
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
a. Uji adanya gugus hidroksil
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Fenol
NaOH
Larutan Bening
2. Benzil Alkohol 2 Fasa
3. Etanol Larutan Bening
b. Membedakan gugus hidroksil pada alkohol dan fenol
No. Sampel Pereaksi Hasil
1. Etanol encer
FeCl3
Larutan Kuning
muda
2. Fenol encer Larutan Ungu
c. Uji tes alkohol dengan iodofrom
No. Sampel Positif/negatif ∑ tetesan
1. Metanol + 7
2. Etanol + 6
3. Isopropanol + 10
4. n-butanol + 19
2. Reaksi
a. Uji adanya gugus hidroksil
1.) Etanol + NaOH
H3C – CH2 – OH + NaOH
2.) Benzilalkohol + NaOH
CH2OH
+ NaOH
3.) Fenol + NaOH
O - H..
..
+ Na - O - H
129
O H..
..
+..
..Na O H
O..
..
+..
..Na+ + O H + H +
O..
..
+..
..H O H
Na
b. Membedakan gugus hidroksil pada alkohol dan fenol
1.) Fenol + FeCl3
O - H..
..
+ Fe
Cl
Cl
Cl
O - H..
..
+ Fe
Cl
Cl
Cl
O..
..
+ Fe Cl
Cl
+ Cl + H++
130
C
H
C
H CH3
O + H+ + OH-
H3C CH
CH3
OH
OH C C
H
H CH3
O + OH-
O
Fe
ClCl
+ H - Cl
c. Uji alkohol dengan tes iodoform
1.) Etanol + I2 + NaOH
H3C - CH2 - OHOksidasi
H3C - C - H + OH-
O
H - C - C - H + OH-
+ I - I
H O
H
2) Isopropanol + I2 + NaOH
H - C - C - H + OH-
+ I - I
H O
H
131
C
H
C
H CH3
O H2O + I I+
+C
H
C
H CH3
OI OH-H+ + OH-
C
H
C
CH3
OI +
C
I
C
CH3
OI + H2O + I I C
I
C
CH3
OI
I
H3C OH
OH C H
O
H C H
O
+ OH-C H
O
+ H+ + OH-
C H
O
+ I I H2O+ C H
O
+ OH-I
3). Metanol + I2 + NaOH
C
H
C
H CH3
O + H2O I I+ +
C
O
+I I I H2O+ C I
O
I+
132
4) n-Butanol + I2 + NaOH
H3C CH2
C C H
I
I
+
O
OH- H3C CH2
C C H
I
I
O
OH
H3C CH2
C
I
I
C H
O
OH
+ + I I H3C CH2
C
I
I
+I C H
O
OH
H3C CH2
C C H
O
I
I I+ + H+ + OH- H3C CH2
C C H
OI
I
+ H2O
H3C CH2
H2C
H2C OH
O
H3C CH2
H2C C H
O
+ OH-
H3C CH2
C C H
O
+ OH-
H
H
H3C CH2
C C H
O
+
H
H+ + OH-
H3C CH2
C C H
OH
I I+ + H2O H3C CH2
C C H
OH
I
+ OH-
133
F. Pembahasan
Alkohol adalah senyawa dimana molekulnya mempunyai gugus
hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon jenuh. Fenol adalah senyawa
yang memiliki suatu gugus hidroksil yang terikat langsung pada cincin
benzena.
Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membedakan
alkohol dan fenol. Uji pertama yaitu uji untuk mengetahui adanya gugus
hidroksil pada senyawa alkohol dan fenol di dalam sampel. Sampel yang
digunakan yaitu fenol, etanol dan benzil alkohol. Pereaksi yang digunakan
adalah larutan NaOH. Larutan NaOH berfungsi sebagai basa kuat, dimana uji
positif pada reaksi ini ditandai dengan terbentuknya larutan bening. Sampel
pertama yaitu fenol, berdasarkan hasil pengamatan, ketika fenol ditambahkan
NaOH, kemudian dilakukan pengocokan, terbentuk larutan bening. Hal
tersebut terjadi dikarenakan fenol memiliki tingkat keasaman 10.000 kali lebih
kuat daripada air sehingga dapat dengan mudah bereaksi dengan larutan basa.
Hasil tersebut juga sesuai dengan BPOM yang menyatakan bahwa fenol
merupakan asam lemah dengan pKa 9,8 yang dapat bereaksi dengan basa, dan
diubah menjadi anion fenoksida. Ka merupakan konstanta keasaman. Semakin
tinggi nilai pKa suatu senyawa, maka semakin kurang sifat asamnya. Cincin
benzen pada fenol bertindak sebagai gugus penarik elektron sehingga atom O
dan gugus –OH bermuatan positif dan proton mudah dilepaskan. Adanya
resonansi dari cincin benzen inilah yang menyebabkan ketidakstabilan pada
cincin benzen sehingga mudah lepas dan bereaksi dengan basa.
Sampel kedua yaitu etanol, ketika etanol ditambahkan dengan NaOH,
kemudian dikocok, terbentuk larutan bening. Pengocokan berfungsi agar
campuran terhomogenkan. Berdasarkan teori, seharusnya ketika etanol
ditambahkan NaOH tidak larut dan membentuk 2 fasa. Hal tersebut
dikarenakan etanol sukar bereaksi dengan NaOH karena tingkat keasamannya
yang lebih mendekati netral, yaitu memiliki pKa yang cukup tinggi yaitu 16.
Semakin panjang rantai karbon pada alkohol maka akan semakin sukar
bereaksi dengan NaOH, karena pKa nya semakin tinggi maka alkohol akan
134
semakin bersifat basa dan sulit bereaksi dengan NaOH. Kemungkinan
perbedaan hasil pengamatan pada etanol dengan teori disebabkan pada saat
menambahkan NaOH ke dalam etanol yang terlalu banyak, karena seharusnya
NaOH ditambahkan sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan.
Sampel ketiga yaitu benzil alkohol, ketika ditambahkan dengan NaOH
dan dilakukan pengocokan terbentuk 2 fasa. Pengocokan bertujuan agar
campuran terhomogenkan. Berdasarkan hail pengamatan, benzil alkohol dan
NaOH terbentuk 2 fasa, hasil tersebut sesuai dengan teori, karena benzil
alkohol memiliki pKa yang cukup tinggi mendekati etanol yaitu 15,4, artinya
sifat keasamannya sangat kecil dan cenderung bersifat basa, sehingga sukar
bereaksi dengan basa.
Uji diatas mengikuti ketentuan dari teori asam basa Lewis, yaitu asam
bertindak sebagai penerima pasangan elektron dan basa sebagai donor
pasangan elektron. Sampel yang memiliki pKa tinggi tidak mampu atau sukar
bereaksi dengan NaOH, karena nilai pKa yang tinggi menunjukkan sifat
keasaman yang lemah. Sampel yang mengandung gugus hidroksil bertindak
sebagai asam dan NaOH sebagai basa. Nilai pKa merupakan minus logaritma
terhadap konsentrasi ion H+ dalam larutan, definisi ini menyebabkan
konsentrasi yang lebih tinggi memberikan nilai yang lebih rendah, artinya pKa
merupakan ukuran kelarutan suatu asam atau basa dalam pelarut. Jadi, benzil
alkohol dan etanol yang memiliki pKa tinggi sulit menerima elektron dari
NaOH karena sifat keasamannya yang rendah.
Uji kedua yaitu untuk mengidentifikasi gugus hidroksil pada alkohol
dan fenol. Sampel pertama yaitu etanol encer, yang kemudian ditambahkan
FeCl3, menghasilkan warna larutan kuning muda. Hasil tersebut sesuai dengan
teori, karena apabila alkohol ditambahkan FeCl3 maka tidak beraksi.
Terbentuknya warna kuning menunjukkan bahwa di dalam etanol terdapat
gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon alifatik maupun atom
karbon tak jenuh. Sampel kedua yaitu fenol encer, ketika fenol ditambahkan
FeCl3 terbentuk larutan berwarna ungu. Hasil tersebut sesuai dengan teori
karena FeCl3 merupakan pereaksi yang digunakan untuk menguji keberadaan
135
fenol. Gugus hidroksil yang melekat langsung, pada aromatiuk terdeteksi oleh
FeCl3, dibuktikan dengan terbentuknya larutan berwarna ungu. Terbentuknya
warna ungu disebabkan karena adanya reaksi kompleks antara ion Fe3+
dengan gugus fenol.
Uji ketiga yaitu uji iodoform. Pereaksi yang digunakan adalah Kristal
iodium dan NaOH. Kristal iodium berfungsi untuk menguji ikatan antara
gugus –OH dengan rantai hidrokarbon, kemudian penambahan NaOH untuk
mengetahui kekuatan ikatan tersebut setelah ditambah iodium. Berdasarkan
hasil pengamatan, jumlah penambahan NaOH yang paling banyak adalah n-
butanol dan yang paling sedikit adalah etanol. Berdasarkan teori, seharusnya
jumlah NaOH yang ditambahkan hingga warna coklat hilang paling sedikit
adalah metanol. Karena metanol memiliki jumlah atom karbon yang paling
sedikit, sehingga kekuatan ikatan antara gugus –OH dengan rantai
hidrokarbon tidak sekuat etanol, isopropanol dan n-butanol. Hasil pengamatan
yang tidak sesuai dengan teori ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi antara lain pada saat penetesan
NaOH ke dalam sampel, tidak menggunakan pipet dengan ukuran yang sama.
Kedua, jumlah kristal iodium yang dimasukkan ke dalam tiap sampel berbeda-
beda. Ketiga, proses pengocokan yang kurang benar dapat mempengaruhi
hasil, pengocokan seharusnya dilakukan sambil penambahan NaOH
menghilangkan warna coklat, kemudian terbentuk warna kuning dan bau
iodoform. Bau iodoform terdapat pada semua sampel, hal tersebut
dikarenakan alkohol bereaksi dengan hidrogen halida menghasilkan alkil
halida ditandai dengan larutan berwarna kuning, berarti terbukti pada tiap
sampel mengandung iodoform.
Alkohol dan fenol dalam bidang farmasi digunakan dalam pembuatan
desinfektan, obat-obatan, zat pewarna, antiseptik, plastik, bahkan peledak.
Salah satu contoh tanaman obat yang mengandung fenol adalah daun
Achyranthes aspera.
136
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Alkohol dan fenol keduanya mempunyai gugus hidroksil yang terikat pada
rantai hidrokarbon.
2. Gugus hidroksil pada alkohol terikat pada rantai hidrokarbon alifatik,
sedangkan gugus hidroksil pada fenol terikat pada hidrokarbon aromatik.
3. Kekuatan ikatan hidroksil dengan rantai hidrokarbon dibuktikan dengan
tes iodoform, urutan dari yang kekuatannya rendah ke tinggi adalah etanol
< metanol < isopropanol < n-butanol.
137
PERCOBAAN IX
IDENTIFIKASI ASAM KARBOKSILAT
A. Tujuan
Mempelajari dan memahami sifat-sifat senyawa organik dan reaksi
yang terjadi pada asam karboksilat.
B. Dasar Teori
Asam karboklsilat adalah suatu senyawa yang mengandung gugus
karboksil. Suatu istilah yang berasal dari karboksil dan hidroksil gugus
karboksil:
C
O
H
COH
O
CO2H COOH
Gugus yang terikat pada gugus karboksil dalam suatu asam
karboksilat bila gugus apa saja, bahkan bisa suatu gugus karboksil lain.
Suatu molekul asam karboksilat yang mengandung gugus -OH dan dengan
sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena
adanya ikatan hidrogen, asam karboksilat yang mengandung atom karbon
satu sampai empat dapat bercampur lebih banyak kebanyakan larut sebagai:
R C
O
O
H O
H
H O H
H
( Fessenden, 2010 )
Asam karboksilat juga membentuk ikatan hidrogen dengan molekul
asam karboksilat lainnya dimana terjadi dua ikatan hidrogen diantara dua
138
gugus karboksilat. Dalam larutan yang tidak mempunyai ikatan hidrogen,
asam karboksilat aromatik seperti benzena atau cincin piridin, tanpa cincin
samping alkil tidak mudah dioksidasi (Fessenden, 2010).
Asam karboksilat mempunyai gugus fungsional yang mengandung
oksigen merupakan tapak reaktif dalam mengikat logam (Wahjudin, 2006).
Golongan asam karboksilat memiliki karakteristik gugus fungsi C-H
stretching alifatik, C-H bending alifatik, dan gugus karbonil (C=O), serta
menyerap sinar UV-vis pada panjang gelombang maximum 290,1 nm yang
kemungkinan disebabkan karena adanya transisi n- (Suirta, 2007).
Dalam air asam karboksilat berada dalam kesetimbangan dengan ion
karboksilat dan ion hirdoalum
R C H + HOH RCO
O
+ HOH
H
Asam Karboksilat( lebih lemah )
ion karboksilat ion hidronium( lebih kuat )
O
(Fessenden, 2010)
Suatu ukuran dari kekuatan asam adalah besarnya ionisasi dalam air.
Lebih besar jumlah terionisasi, maka lebih kuat asamnya. Asam karboksilat
umumnya asam yang lebih lemah daripada H3O+ dalam larutan air,
kebanyakan molekul asam karboksilat tidak terionisasi (Fessenden, 2010).
Kekuatan asam dinyatakan sebagai konstanta asam Ka, kekuatan
kesetimbangan ionisasi dalam air, konsentrasinya berubah sedikit sekali dan
dianggap konstan dan termasuk dalam Ka. Hanya Ka yang lebih
besar,berarti asam tersebut lebih kuat sebab konsentrasi RCO2- dan H
+ lebih
besar.
(Fessenden, 2010)
Ketika membandingkan keasaman asam karboksilat yang mempunyai
gugus halida penarik elektron yang terikat dekat dengan gugus karbon
karbonil, ingatlah aturan umum berikut ini:
139
1. Semakin banyak halida terikat pada molekul asam, makin kuat asam
tersebut.
2. Semakin dekat letak ikatan atom halida terhadap gugus fungsional
karboksilat, maka akan semakin kuat asam tersebut pada gugus
karboksilat.
(Bresnick, 2004)
Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh asam karboksilat adalah:
1. Reaksi Pembentukan Garam
Garam organik yang membentuk dan memiliki sifat fisik dari
garam anorganik padatannya, NaCl dan KNO3 adalah garam organik
yang meleleh pada temperatur tinggi, larut dalam air dan tidak berbau.
Reaksi yang terjadi adalah:
HCOOH + Na+ → HCOONa + H2O
2. Reaksi Esterifikasi
Ester asam karboksilat ialah senyawa yang mengandung gugus –
COOR dengan R dapat berbentuk alkil. Ester dapat dibentuk berkat
reaksi langsung antara asam karboksilat dengan alkohol. Secara umum
reaksinya adalah:
RCOOH + R’OH → RCOOR + H2O
3. Reaksi Oksidasi
Reaksi terjadi pada pembakaran atau oleh reagen yang sangat
kokoh dan kuat seperti asam sulfat, CrO3, panas. Gugus asam karboksilat
teroksidasi sangat lambat.
4. Pembentukan Asam Karboksilat
Beberapa cara pembentukan asam karboksilat dengan jalan sintesa
dapat dikelompokkan dalam 3 cara yaitu: reaksi hidrolisis turunan asam
karboksilat, reaksi oksidasi, reaksi Grignat.
(Fessenden, 1997)
Asam karboksilat umumnya bersifat polar, tetapi kepolaran berkurang
dengan bertambahnya rantai karbon. Semakin panjang rantai atom karbon,
maka akan semakin berkurang kepolarannya, akibatnya kelarutan dalam air
140
juga akan semakin berkurang. Asam karboksilat juga dapat larut dalam
pelarut yang kurang polar, seperti eter, alkohol, dan benzena. Kelarutan
asam karboksilat di dalam pelarut yang kurang polar ini akan semakin tinggi
dengan bertambahnya rantai karbon. Oleh karena itu, lemak dapat larut
dalam benzena dan eter (lemak adalah eter dari asam karboksilat). Akibat
kepolaran struktur dimer dari molekul asam karboksilat ini dapat
menimbulkan titik didih dan titik beku yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan alkohol dengan massa molekul yang relatif sama (Suranya, 2007).
Ikatan utama pada polimer superabsorben adalah gugus hidrofilik
karena terdiri dari gugus asam karboksilat (-COOH) yang mudah menyerap
air. Ketika polimer superabsorben dimasukkan ke dalam air atau pelarut
akan terjadi interaksi antara polimer dengan molekul zat (Swantomo, 2008).
141
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Kaca arloji
b. Pipet tetes
c. Plat tetes
d. Rak tabung reaksi
e. Sendok tanduk
f. Tabung reaksi
g. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Anilin
b. Aquades
c. Asam asetat
d. Asam benzoat
e. Asam salisilat
f. Etanol
g. Fenol
h. Indikator universal
i. NaOH 2N
D. Prosedur Kerja
1. Uji Keasaman
a. Dimasukkan asam salisilat, aquades, fenol, etanol, asam asetat dan
anilin ke dalam plat tetes
b. Diteteskan dengan menggunakan indikator universal
c. Diamati perubahan yang terjadi dan ditentukan pH dari perubahan
warna, dibandingkan dengan tabel indikator universal
2. Uji Kelarutan
a. Diambil 3 buah tabung yang bersih dan kering
b. Diisi tabung I dengan 0,2 gram asam benzoat, tabung II dengan
asam salisilat dan tabung III dengan fenol
142
c. Ditambahkan NaOH 2N tetes demi tetes sampai asam-asam tersebut
larut
d. Dicatat jumlah tetesan NaOH untuk melarutkan asam
143
E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
a. Tes Keasaman
Sampel Pereaksi pH
Air Suling Indikator Universal 4
Fenol Indikator Universal 3
Etanol Indikator Universal 5
Asam Asetat Indikator Universal < 3
Asam Salisilat Indikator Universal 5
Anilin Indikator Universal < 3
b. Tes Kelarutan dalamNaOH
Senyawa Replikasi Jumlah TetesanNaOH
Asam Benzoat 1 52
2 118
Asam Salisilat 1 57
2 65
Fenol 1 15
2 44
2. Reaksi
a. Asam Benzoat + NaOH
COOH
+ NaOH
COOH
+ NaOH
144
H
O
C
O
O
+ Na O H
COO- H+
+ Na+ OH-
COONa
+ H2O
b. Asam Salisilat + NaOH
OH
+ NaOH
COOH
C
O
O H
OH
+ Na O H
COO- H+
OH
+ Na+ OH-
145
OH
COONa
+ H2O
c. Fenol + NaOH
OH
+ NaOH
O H + Na O H
O- H+
+ Na+ OH-
ONa
+ H2O
ONa
+ H2O
ONa
+ H2O
Dinatrium Fenoksida
146
3. Urutan Tingkat Keasaman
NH2 H3CH2C OH H O H
OH
CH3 C
O
OH COOHOH
Anilin Etanol AirSuling Fenol Asam Asetat Asam Salisilat
Semakin ke kanan, maka semakin kuat asamnya
4. Urutan Tingkat Kelarutan
OH
COOHOH
COOH
Fenol Asam Salisilat AsamBenzoat
Semakin ke kanan, maka semakin mudah larut
147
F. Pembahasan
Percobaan ini adalah tentang identifikasi asam karboksilat. Percobaan
ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami sifat-sifat senyawa organik
dan reaksi yang terjadi pada asam karboksilat. Sampel yang digunakan
adalah anilin, asam asetat, asam benzoat, asam salisilat, aquades, etanol, dan
fenol.
Asam karboksilat adalah suatu senyawa yang mengandung gugus
karboksil. Gugus karboksil adalah istilah yang berasal dari karbonil (C=O)
dan gugus hidroksil (-OH). Gugus yang terikat pada asam karboksilat dapat
mengandung gugus apa saja. Asam karboksilat dapat membentuk ikatan
hidrogen dengan molekul asam karboksilat lainnya. Asam karboksilat
aromatik seperti asam benzoat atau asam salisilat tidak mudah dioksidasi.
Pengujian pertama adalah penentuan tingkat keasaman senyawa-
senyawa organik termasuk asam karboksilat. Beberapa indikator asam basa
yang sering digunakan di laboratorium antara lain kertas lakmus,
fenolftalein (pH 8,3-10,0), dan metil merah (pH 3,2-4,4). Alat dan indikator
yang digunakan dalam pengujian ini adalah plat tetes dan indikator
universal. Indikator universal merupakan indikator yang memiliki tingkat
kepekaan yang tinggi. Indikator universal terdiri atas berbagai macam
indikator yang memiliki warna berbeda-beda untuk pH dari rentang 1–14.
Cara kerjanya dengan memasukkan atau meneteskan larutan indikator
universal ke dalam larutan yang hendak kita ketahui pH-nya. Warna yang
terbentuk kemudian dicocokkan atau dibandingkan dengan warna standar
yang sudah diketahui nilai pH-nya. Dengan mengetahui nilai pH maka dapat
ditentukan apakah larutan bersifat asam, basa atau netral. Jika sampel
berada pada suasana asam, larutan sampel yang ditambahkan indikator
universal akan berubah warna cenderung ke warna merah, sedangkan jika
sampel berada di suasana basa maka larutan sampel akan berubah warna
cenderung ke warna biru.
Sampel senyawa organik yang diteteskan indikator universal akan
memberikan warna sesuai tingkat keasaman yang dimiliki. Sampel yang
148
memiliki tingkat keasaman tinggi berdasarkan hasil pengamatan adalah
asam asetat, air suling, fenol, dan anilin, pH ketiga senyawa tersebut < 3
dimana suasana sangat asam. Selanjutnya sampel lainnya yaitu etanol dan
asam salisilat menunjukkan nilai pH 5. Berdasarkan teori, tingkat keasaman
senyawa organik dapat dilihat dari mudahnya melepas ion H+
dalam air dan
membentuk basa konjugasi yang stabil. Apabila diurutkan berdasarkan teori
tersebut maka urutannya dari yang paling asam adalah asam salisilat, asam
asetat, fenol, aquades, etanol, dan anilin. Teori ini didasarkan pada nilai pKa
dari masing-masing senyawa dimana semakin kecil nilai pKa, maka
semakin kuat tingkat keasaman suatu senyawa. Nilai pKa senyawa dalam
percobaan ini yaitu asam salisilat (pKa = 3,0), asam asetat (pKa = 4,75),
fenol (pKa = 10), etanol (pKa = 16), dan anilin (pKb = 9,3). Sedangkan
untuk aquades memiliki pH yang netral (pH = 7). Apabila dibandingkan
dengan teori, hasil pengamatan yang dilakukan tidak sesuai dengan teori
yang ada. Ketidaksesuaian ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu
penambahan pelarut, warna dari sampel, serta pemberian indikator. Seperti
pada fenol, larutan fenol didapat dari kristal fenol dengan dilarutkan dalam
aquades. Penambahan aquades yang tidak sesuai akan menyimpangkan hasil
pengukuran pH,selain itu pH aquades yang ditambahkan setelah diuji
ternyata bersifat asam, berbeda dengan teori yang seharusnya bersifat
netral.Hal ini bisa terjadi karena kondisi wadah tempat penyimpanan
aquades yang tidak steril dan sesuai sehingga dimungkinkan kontaminasi
dengan zat-zat lain yang dapat merubah sifat aquades.Warna dasar sampel
seperti anilin yang seharusnya berwarna hijau kebiruan namun berwarna
merah akibat warna dasar anilin yang berwarna merah. Selain itu juga
penambahan tetesan indikator universal yang berbeda-beda pada setiap
sampel akan memberikan pengukuran pH yang kurang akurat karena jumlah
yang ditambahkan tidak sama banyak.
Pengujian kedua adalah pengujian kelarutan dengan NaOH. Sampel
yang digunakan adalah asam benzoat, asam salisilat, dan fenol. Larutan
NaOH digunakan sebagai pereaksi yang akan menguji kelarutan sampel.
149
Sampel-sampel yang berupa padatan diteteskan NaOH hingga seluruh
padatan larut. NaOH adalah senyawa basa yang termasuk dalam golongan
basa kuat, sehingga apabila direaksikan dengan suatu asam, gugus hidroksil
pada NaOH akan bereaksi dengan H+
membentuk air dan garam natrium
yang mudah larut dalam air.
Hasil pengamatan yang dilakukan sebanyak 2 kali. Pada replikasi I,
asam benzoat memerlukan 52 tetes NaOH, asam salisilat memerlukan 53
tetes NaOH, dan fenol memerlukan 15 tetes NaOH. Pada replikasi II, asam
benzoat memerlukan 118 tetes NaOH, asam salisilat memerlukan 65 tetes
NaOH, dan fenol memerlukan 44 tetes NaOH. Data pada replikasi I dan II
dikatakan tidak sesuai dengan teori. Menurut teori HSAB, suatu senyawa
dikatakan semakin asam apabila dalam senyawa terdapat ikatan rangkap
polar sehingga memiliki kutub positif yang dapat menarik pasangan
elektron, seperti O=C(R)2. Bila dilarutkan dalam NaOH, semakin asam
suatu senyawa maka akan semakin mudah larut dalam NaOH. Ketika suatu
asam karboksilat bereaksi dengan basa maka reaksi tersebut akan
menghasilkan garam natrium karboksilat dan menjadi larut dalam air. Pada
asam benzoat, cincin benzena hanya terikat dengan gugus karboksil
sehingga NaOH akan bereaksi, saat NaOH bereaksi dengan asam benzoat,
atom H+
akan lepas dari gugus karbonil asam benzoat, dan bereaksi dengan
gugus hidroksil dari NaOH membentuk air, dan Na+
akan bereaksi dengan
COO- yang terikat pada benzena membentuk garam natrium benzoat yang
lebih mudah larut, sehingga asam benzoat dapat terlarut dalam NaOH.
Sedangkan pada asam salisilat terdapat gugus hidroksil dan karboksil,
NaOH bereaksi dengan karboksil namun tidak bereaksi dengan hidroksil,
gugus hidroksil pada NaOH akan menyerang atom H+
pada gugus karboksil
(COOH) dari asam salisilat, bukan atom H+
dari gugus hidroksil pada asam
salisilat. Ini dikarenakan pada gugus karboksil, atom O yang pada bagian
gugus karbonil (C=O) bersifat elektrofilik atau suka akan elektron, sehingga
atom O akan menarik elektron dari atom C menjadi bermuatan positif
karena kekurangan elektron, sehingga untuk menstabilkan atom C, atom C
150
tersebut akan menarik elektron dari atom O yang berada disampingnya,
sehingga atom O menjadi kekurangan elektron, untuk menstabilkan kembali
atom O tersebut, atom O akan menarik elektron dari atom H sehingga atom
H akan lepas dan atom O menjadi bermuatan negatif. Atom H yang lepas
tersebut akan bereaksi dengan gugus hidroksil dari NaOH membentuk air,
dan gugus COO- akan bereaksi dengan Na
+ membentuk suatu garam natrium
karboksilat. Adanya gugus hidroksil pada natrium salisilat menyebabkan
sifat polar asam salisilat kurang sama dengan NaOH dan menjadi agak
sukar melarut dalam NaOH bila dibandingkan kelarutan asam benzoat
dalam NaOH. Sedangkan pada fenol, senyawa ini sukar melarut karena
fenol kurang asam bila dibandingkan dengan asam salisilat dan asam
benzoat sehingga fenol memiliki kelarutan yang kecil dalam NaOH. Fenol
pada hasil pengamatan mudah larut karena mungkin disebabkan oleh sifat
higroskopis dari fenol sehingga fenol hanya butuh sedikit NaOH karena
fenol telah mencair terlebih dahulu akibat kontak dengan udara bebas.
Berdasarkan teori tersebut, urutan kelarutan dari paling tinggi ke paling
rendah dalam NaOH adalah asam benzoat, asam salisilat, dan fenol. Urutan
tersebut didasarkan pada tingkat keasaman dari senyawa dimana semakin
asam suatu senyawa maka akan semakin mudah larut dalam NaOH.
Ketidaksesuaian hasil pengamatan yang dilakukan dengan teori disebabkan
oleh beberapa kesalahan yaitu volume penetesan, karena volume tetesan
dalam setiap tetes NaOH tidak sama, selain itu kemurnian dari sampel dan
sifat-sifat sampel seperti mudah menguap dan higroskopis sehingga
mempengaruhi kelarutan yang diinginkan dalam teori.
Dalam bidang farmasi, pengujian asam karboksilat bermanfaat untuk
mengetahui tingkat keasaman suatu senyawa, dimana hal-hal tersebut dapat
berpengaruh pada stabilitas suatu sediaan farmasi agar dapat menentukan
tingkat kestabilan suatu sediaan.
151
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Urutan tingkat keasaman dari yang paling kuat hingga paling lemah
adalah asam salisilat, asam asetat, fenol, aquades, etanol, dan anilin.
2. Urutan tingkat kelarutan dari yang mudah larut ke sukar larut dalam
NaOH adalah asam benzoat, asam salisilat, dan fenol.
Recommended