LAPORAN PRAKTIKUMTEKNOLOGI PENGENDALIAN GULMA
“ANALISA VEGETASI”
Oleh :
Nama : Nasrul Ardinan SativaNIM : 125040200111073Kelas : BKelompok : B1 (Kamis, 09.15)
MINAT SUMBERDAYA LINGKUNGANPROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYAFAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIANMALANG
2015
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam setiap lahan budidaya keberadaan gulma akan selalu ada.
Keberadaan gulma tersebut memicu petani untuk melakukan pengendalian gulma
dalam setiap melakukan kegiatan budidaya. Bahkan kegiatan penyiangan menjadi
salah satu kegiatan rutin petani dalam menjalankan kegiatan budidaya. Tidak
seperti perawatan lain seperti pemberian pupuk dan OPT yang mungkin tidak
secara terus-menerus dilakukan setiap kali melakukan penanaman komoditi,
pengendalian gulma akan selalu dilakukan mengingat mereka juga akan tumbuh
pada tanah juga seperti komoditi yang ditanam.
Dalam melakukan tindakan pengendalian tentu kita akan melihat dulu
bagaimana gulma yang tumbuh dipertanaman kita. Tentu gulma yang tumbuh
tidak hanya sejenis tapi beragam, ada gulma yang tumbuh semusim dan ada yang
tumbuh secara terus-menerus meskiun tanaman sudah berganti. Populasi gulma
juga berbeda ketika budidaya tanaman yang berbeda dan hal tersebut membuat
tingkat persaingan dengan tanaman memiliki nilai yang berbeda. Untuk melihat
itu semua kita harus melakukan analisa vegetasi untuk mengetahui populasi,
frekuensi dan dominansi pada setiap spesies gulma. Dengan memperoleh data-
data tersebut kita dapat mengatahui gulma atau tumbuhan apa yang paling
mendominasi dalam sebuah pertanaman. Dengan mengatahui tumbuhan yang
mendominasi kita dapat menentukan jenis pengendalian yang akan kita gunakan
untuk mengendalikan laju pertumbuhan gulma.
1.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukan praktikum analisa vegetasi adalah mengetahui tata cara
analisa vegetasi yang meliputi pengambilan data menggunakan petak contoh dan
tata cara analisa data untuk mendapatkan nilai dominasi spesies gulma.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Distribusi dan Penyebaran Gulma
Pada dasarnya data yang diperoleh dari analisis vegetasi dapat dibagi atas
dua golongan, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif
menunjukkan bagaimana suatu jenis tumbuhan tersebar danberkelompok,
stratifikasinya, perioditas, dan lain sebagainya; sedang data kuantitatif
menyatakan jumlah, ukuran, berat basah/kering suatu jenis, dan luas daerah yang
ditumbuhinya. Data kualitatif didapat dari hasil penjabaran pengamatan petak-
contoh di lapangan, sedangkan data kualitatif di dapat dari hasil pengamatan
lapangan berdasar pengalaman yang luas (Tjitrosoedirdjo dkk, 1984).
Penyebaran gulma biasanya tidak dikehendaki keberadaannya karena
memiliki pengaruh yang negatif terhadap tanaman pertanian.Tanaman
gulma mempunyai daya kompetisi yang sangat tinggi sehingga gulma
dianggap sebagai tanaman yang merugikan manusia karena daya
kompetisinya tinggi yang dapat menurunkan hasil panen.Kompetisi
semacam ini dapat berupa kompetisi ruang, air, hara, maupun cahaya.
Gulma sebagai rumah inang sementara dari penyakit atau parasit tanaman
pertanian yang disebabkan oleh banyak penyakit, parasit, dan hama yang
tidak hanya hidup pada tanaman pertanian saja, tetapi juga pada gulma
khususnya yang secara taksonomi erat kaitannya. Penyebaran dan
pengendalian gulma dapat menyebabkan kurangnya mutu hasil pasca panen.
Beberapa bagian dari gulma yang ikut terpanen akan memberikan pengaruh
negatif terhadap hasil panenan (pasca panen). Misalnya dapat meracuni,
mengotori, menurunkan kemurnian, ataupun memberikan rasa dan bau yang
tidak asli.
Adanya tanaman gulma dalam jumlah populasi yang tinggi akan
menyebabkan kesulitan dalam melakukan kegiatan pertanian dan
menghambat kelancaran aktivitas pertanian. Misalnya pemupukan,
pemanenan dengan alat-alat mekanis, dan lain-lain (Tjitrosoedirdjo dkk,
1984).
2.2 Distribusi Petak Contoh
Menurut Widaryanto (2009), komposisi suatu vegetasi benar-benar merata,
maka cukup me-ngambil satu petak contoh dengan luas tertentu yang dapat
mewakili seluruh populasi vegetasi. Cara distribusi petak contoh :
a. Cara subyektif
- Keadaan hampir tidak pernah ada vegetasi berbeda-beda.
- Cara sederhana memilih sejumlah petak contoh yang mewakili populasi.
- Dengan melempar alat-alat petak contoh untuk menentukan petak contoh
kurang akurat, karena tergantung kemauan, bu-kan berdasar azas acak.
b. Sampling acak tidak langsung
- Cara ini paling sederhana dan memenuhi syarat statistika (valid).
- Seluruh areal di bagi dengan jarak yang sama.
- Sejumlah 10 petak contoh letaknya dipilih secara acak.
- Dibuat sumbu x dan y.
- Secara berpasangan nilai koordi-nat pada sumbu x dan y dipilih de-ngan
undian atau acak.
- Misal secara undian, pengambilan sumbu x angka 4 dan sumbu y angka 3,
maka letak petak
Gambar 1. Memilih Letak Petak Contoh
(Widaryanto, 2009)
- Demikian seterusnya diperoleh O (2,2).
- Terdapat kelemahan, petak dapat kebetulan berdekatan.
- Cara kurang tepat dalam membuat peta populasi vegetasi.
c. Sampling beraturan
- Mengatasi kelemahan pada sampling acak tidak lang-sung.
- Petak contoh secara beraturan diletakkan dengan jarak sama dalam seluruh
area.
- Pengamatan petak contoh diambil secara acak.
- Disebut pola kisi berjarak tetap dan beraturan (gambar 12).
- Dilakukkan penjelajahan setelah sampling mencatat jenis di luas petak.
Gambar 2. Letak petak contoh (lingkaran) dalam pola kisi
(Widaryanto, 2009)
d. Sampling bertingkat
Sampling bertingkat ini diperlukan bilamana vegetasi terdiri dari beberapa
blok atau stratum yang berbeda-beda fisionominya.
- Area dibagi-bagi dalam stratum yang fisionominya sama.
- Pada setiap stratum dilakukan sampling acak seperti uraian di atas.
- Bertujuan untuk memperoleh nilai variabilitas pada petak contoh dalam
stratum
Gambar 3. Area yang mempunyai 3 strata
(Widaryanto, 2009)
2.3 Metode Analisis Vegetasi
Menurut Tjirtrosoediro (1984), metode analisis vegetasi yang lazim
digunakan ada 4 macam yaitu estimasi visual, metode kuadrat, metode garis dan
metode titik.
1. Metode estimasi visual
Pengamatan dilakukan pada titik tertentu yang selalu tetap letaknya,
misalnya selalu di tengah atau di salah satu sudut yang tetap pada petak-contoh
yang telah terbatas. Besaran yang dihitung berupa dominansi yang dinyatakan
dalam persentase penyebaran.
2. Metode kuadrat
Yang dimaksud kuadrat di sini adalah suatu ukuran luas yang dinyatakan
dalam satuan kuadrat (misalnya m2, cm2, dan sebagainya) tetapi bentuk petak-
contoh dapat berupa segi-empat (kuadrat), segi panjang, atau sebuah lingkaran.
3. Metode garis
Metode garis atau rintisan, adalah petak-contoh memanjang, diletakkan di
atas sebuah komunitas vegetasi
4. Metode titik
Metode titik merupakan suatu variasi metode kuadrat. Jika sebuah kuadrat
diperkecil sampai titik tidak terhingga, akan menjadi titik
Sebagai tumbuhan, gulma juga memerlukan persyaratan tumbuh seperti
halnya tanaman lain misalnya kebutuhan akan cahaya, nutrisi, air, gas CO2 dan
gas lainnya, ruang dan lain sebagainya.
2.4 Parameter Kuantitatif Analisis Vegetasi
Menurut Kusmana (1997), untuk kepentingan deskripsi vegetasi ada tiga
macam parameter kuantitatif vegetasi yang sangat penting yang umumnya diukur
dari suatu tipe komunitas tumbuhan nyaitu:
1. Kerapatan (density)
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan
tertentu, misalnya 100 individu/ha. Dalam mengukur kerapatan biasanya muncul
suatu masalah sehubungan dengan efek tepi(side effect) dan life form (bentuk
tumbuhan). Untuk mengukur kerapatan pohon atau bentuk vegetasi lainnya yang
mempunyai batang yang mudah dibedakan antara satu dengan lainnya umumnya
tidak menimbulkan kesukaran yang berarti. Tetapi, bagi tumbuhan yang menjalar
dengan tunas pada buku-bukunya dan berrhizoma (berakar rimpang) akan timbul
suatu kesukaran dalam penghitungan individunya. Untuk mengatasi hal ini, maka
kita harus membuat suatu kriteria tersendiri tentang pengertian individu dari tipe
tumbuhan tersebut.
Masalah lain yang harus diatasi adalah efek tepi dari kuadrat sehubungan
dengan keberadaan sebagian suatu jenis tumbuhan yang berada di tepi kuadrat,
sehingga kita harus memutuskan apakah jenis tumbuhan tersebut dianggap berada
dalam kuadrat atau di luar kuadrat. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan
perjanjian bahwa bila > 50% dari bagian tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat,
maka dianggap tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat dan tentunya barns
dihitung pengukuran kerapatannya.
2. Frekwensi
Frekwensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana
ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya
frekwensi dinyatakan dalam besaran persentase. Misalnya jenis Avicennia
marina (api-api) ditemukan dalam 50 petak contoh dari 100 petak contoh yang
dibuat, sehingga frekwensi jenis api-api tersebut adalah 50/100 x 100% = 50%.
Jadi dalam penentuan frekwensi ini tidak ada counting, tetapi hanya suatu
perisalahan mengenai keberadaan suatu jenis saja.
3. Cover (Kelindungan)
Kelindungan adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi
tajuk tumbuhan. Oleh karena itu, kelindungan selalu dinyatakan dalam satuan
persen. Misalnya, jenisRhizophora apiculata (bakau) mempunyai proyeksi tajuk
seluas 10 mZ dalam suatu petak contoh seluas 100 m-, maka kelindungan jenis
bakau tersebut adalah 10/100 x 100% = 10%. Jumlah total kelindungan semua
jenis tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan mungkin lebih dari 100%,
karena sering proyeksi tajuk dari satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya
bertumpang tindih (overlapping). Sebagai pengganti dari luasan areal tajuk,
kelindungan bisa juga mengimplikasikan proyeksi basal area pada suatu luasan
permukaan tanah. Untuk mengukur/menduga luasan tajuk dari vegetasi lapisan
pohon, biasanya dilakukan dengan menggunakan proyeksi tajuk dari pohon
tersebut terhadap permukaan tanah dan luasannya diukur dengan planimeter atau
sistem dotgrid dengan kertas grafik. Cara lain adalah dihitung dengan rumus :
Basal area ini merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang
dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal area diduga dengan mengukur
diameter batang. Dalam hal ini, pengukuran diameter umumnya dilakukaii pada
ketinggian 1.30 m dari permukaan tanah (diameter setinggi data atau diameter at
breast height, DBf). Dalam pengukuran diameter pohon setinggi dada terdapat
beberapa ketentuan yang umumnya ditaati oleh para peneliti, yaitu:
Bila pohon berada di lereng, diameter diukur pada ketinggian 4,5 kaki dari
permukaan tanah atau 1,3 m di atas permukaan tanah lereng sebelah atas
pohon;
Bila pohon membentuk cabang tepat pada ketinggian 1,3 m dari tanah,
maka diameter diukur sedikit (di atas percabangan tersebut dan pohon
tersebut dianggap sebagai satu individu seperti halnya kalau percabangan
terjadi di atas ketinggian 1,3 m di alas tanah). Tetapi bila percabangan
terjadi dibawah 1,3 m dari atas tanah, maka masing-masing batang diukur
diametemya setinggi dada serta batang-batang tersebut dianggap sebagai
individu masing-masing;
Bila pohon berakar papan atau berbentuk tidak normal tepat pada atau
melebihi setinggi dada, maka pengukuran diameter dilakukan di atas batas
batang dari bentuk tidak normal; dan
Sesuai dengan informasi yang diinginkan, diameter pohon yang diukur
bisa merupakan diameter di luar kulit pohon atau diameter dekat kulit
pohon.
Dengan asumsi bahwa penampang melintang batang suatu pohon berbentuk
lingkaran, basal area dari pohon tersebut dihitung dengan rumus:
BA :
= π . R 2
= ¼ π. D2
dimana:
BA : Basal area
R : jari-jari lingkaran dari penampang lintang batang
D : diameter batang pohon
Konsep basal area juga kadang-kadang diterapkan terhadap tumbuhan
penutup tanah seperti rumput, herba dan semak. Dalam hal ini basal area diukur
dad luasan areal pucuk dari tumbuhan tersebut dalam suatu luasan petak contoh
tertentu yang dibuat.
Selain kerapatan, frekwensi dan kelindungan (termasuk pengukuran
diameter), parameter kuantitatif lainnya yang biasa diukur adalah: tinggi potion,
dan biomassa. Dalam hal ini pengukuran tinggi pohon dalam penelitian ekologi
hutan biasanya dilakukan terhadap tinggi total dan tinggi bebas cabang. Tinggi
total pohon adalah suatu jarak linier antara permukaan tanah dengan titik tajuk
(suatu titik tempat cabang pertama berada). Pengukuran tinggi pohon di lapangan
dapat dilakukan dengan Hypsometer, Abney level, Haga altimeter, Blume-Leigg
Altimeter, dan Suunto Clinometer. Sedangkan biomassa dapat diukur dalam
bentuk volume kayu seperti halnya dalam kegiatan inventarisasi hutan atau bisa
juga melalui pemanenan individu vegetasi, besarnsa dinyatakan dalam berat
basah, berat kering atau gram kalori (ash free dry weight) per satuan luas areal
tertentu. Beberapa kriteria struktural berbentuk pertumbuhan juga dapat diukur
yaitu ukuran daun, tebal kulit, dan lain-lain. Begitu pula halnya dengan parameter
produktivitas seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan diameter
batang, dan seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan diameter batang,
dan lain-lain, dan parameter yang menggunakan tumbuhan secara fungsional
seperti ketahanan daun, reproduksi vegetasi, dan toleransi naungan. Parameter
vegetasi lain yang juga cukup penting diketahui adalah parameter fisiologi seperti
kecepatan transpirasi, kecepatan asimilasi bersih, keseimbangan air dalam
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Selain itu ada saw parameter vegetasi yang
sangat periling dalam kaitannya dengan kelindungan dan produktivitas yaitu leaf
area index (indeks luasan daun). Indeks luasan daun ini merupakan perbandingan
antara total luasan daun dari suatu jenis pohon atau suatu tegakan dalam satuan
luas tertentu, dengan luasan permukaan tanah tertentu, misalnya LAI (leaf area
index) dari jenis bakau dalam zona Bruguiera adalah 0,2 ha/ha atau misalnya LAI
dari tegakan hutan mangrove di Karawang adalah 3,9 ha/ha. Dalam hal ini hanya
salah satu permukaan daun yang diukur untuk mendapatkan LAI.
Dalam penelitian ekologi hutan, biasanya para peneliti ingin mengetahui
jenis vegetasi dominan yang memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu
komunitas hutan. Secara kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu
komunitas ini dapat diketahui dengan mengukur dominansi dari vegetasi tersebut.
Ukuran dominansi ini dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu:
Biomassa dan volume dimana jenis tumbuhan yang dominan akan
mempunyai biomassa dan volume lebih besar dibandingkan dengan jenis-
jenis lainnya;
Kelindungan (cover) dan luas basal area;
Indeks Nilai Penting (INP). Biasanya indeks ini dihitung dengan
menjumlahkan nilai Frekwensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), dan
Dominansi Relatif (DR). Tetapi, untuk vegetasi yang besaran, parameter
dominancinya tidak diukur (misal, dalam kasus pengukuran tingkat
semai), maka INP bisa diperoleh dengan menjumlahkan KR dan FR saja;
dan
SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting.
Besaran ini diperoleh dengan cara membagi indeks nilai penting dengan
jumlah macam parameter yang digunakan.
Dalam ilmu ekologi kuantitatif, pengukuran/pendugaan parameter -
parameter vegetasi tersebut di atas biasa dilakukan oleh para peneliti. Tetapi,
untuk tujuan deskripsi vegetasi biasanya hanya nilai kerapatan. Sedangkan dalam
bidang.inventarisasi hutan, ada satu parameter vegetasi lagi yang lazim diduga
yaitu volume pohon berdiri per satuan unit luas tertentu.
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktikum Analisis Vegetasi di Lahan Percobaan Kepuharjo
Karangploso Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya pada tanggal 2 April 2015.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi frame petak contoh,
kamera dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah spesies gulma yang ditemukan dalam frame
petak contoh untuk diidentifikasi.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Diagram Alir
Siapkan alat dan bahan
Buat 4 plot masing-masing pada lahan ubi kayu dan tebu
Amati keadaan gulma menggunakan frame
Identifikasi dan Dokumentasi
Buat Laporan
3.3.2 Analisa Perlakuan
Memulai praktikum kita siapkan alat dan bahan yang meliputi semua
peralatan yang akan kita gunakan dalam melakukan identifikasi dan bahan yang
meliputi spesies gulma yang kita temukan pada masing-masing plot petak contoh.
Hitung kerapatan, frekuensi dan dominansi setiap spesies gulma yang ditemukan.
Dari hasil perhitungan itu nanti kita hitung IV (Important Value) dan SDR
(Summed Dominated Ratio) untuk mengetahui spesies gulma mana yang paling
mendominasi. Kemudian disajikan dalam bentuk laporan agar mudah dipahami.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisa Vegetasi Lahan Ubi Kayu
Spesies Populasi Frekuensi
KM FM KN FN IVPt 1 Pt 2 Pt 3 Pt 4 Pt 1 Pt 2 Pt 3 Pt 4
Cyperus rotundus 89 0 32 37 1 0 1 1 39.5 0.75 38.82 17.65 56.47
Cynodon dactylon 56 29 16 5 1 1 1 1 26.5 1 26.04 23.53 49.57
18 15 10 9 1 1 1 1 13 1 12.78 23.53 36.31
Axonopus compressus 20 19 22 281 1 1 1 22.25 1 21.87 23.53 45.40
Gynura segetum 0 1 1 0 0 1 1 0 0.5 0.5 0.49 11.76 12.26
Jumlah 102 4.25
Eclipta alba Hassk
Dari analisi diatas bisa kita ketahui bahwa gulma yang paling diominan
adalah Cyperus rotundus karena dari perhitungan SDR memiliki nilai yang
terbesar. Dengan mengetahui gulma yang dominan kita menentukan mekanisme
pengendalian yang akan dilakukan. Perlu kita identifikasi bagaimana morfologi,
cara hidup dari Cyperus rotundus agar tidak salah untuk mengendalikan, akan
tetapi juga perlu kita kaji pula gulma-gulma yang lain bagaimana pertumbuhannya
agar laju pertumbuhan gulma yang lain dapat ditekan pula.
4.2 Analisis Vegetasi Lahan Tebu
Spesies Populasi Frekuensi
KM FM KN FN IVPt 1 Pt 2 Pt 3 Pt 4 Pt 1 Pt 2 Pt 3 Pt 4
Axonopus compressus 120 112 22 54 1 1 1 1 77 1 26.37 20.00 46.37
Ageratum conyzoides 0 10 20 8 0 1 1 1 9.5 0.75 3.25 15.00 18.25
Mikania Mucronata 9 0 8 0 1 0 1 0 4.25 0.5 1.46 10.00 11.46
Eleusine indica 125 185 177 0 1 1 1 0 122 0.75 41.70 15.00 56.70
Cyperus rotundus 43 54 142 53 1 1 1 1 73 1 25.00 20.00 45.00
Cynodon datylon 0 0 20 0 0 0 1 0 5 0.25 1.71 5.00 6.71
Mimosa pudica 1 3 0 2 1 1 0 1 1.5 0.75 0.51 15.00 15.51
Jumlah 292 5 100
Dari analisi diatas bisa kita ketahui bahwa gulma yang paling diominan
adalah Eleusine indica karena dari perhitungan SDR memiliki nilai yang terbesar.
Dari analisi diatas bisa kita ketahui bahwa gulma yang paling diominan adalah
Eleusine indica karena dari perhitungan SDR memiliki nilai yang terbesar.
Dengan mengetahui gulma yang dominan kita menentukan mekanisme
pengendalian yang akan dilakukan. Perlu kita identifikasi bagaimana morfologi,
cara hidup dari Eleusine indica agar tidak salah untuk mengendalikan, akan tetapi
juga perlu kita kaji pula gulma-gulma yang lain bagaimana pertumbuhannya agar
laju pertumbuhan gulma yang lain dapat ditekan pula.
4.3 Perbandingan Komunitas Vegetasi Gulma Lahan Ubi Kayu dan
Lahan Tebu
Spesies/Jenis
Komunitas
1 2
Kerapatan
Mutlak
Kerapatan
Nisbi
Kerapatan
Mutlak
Kerapatan
Nisbi
Cyperus rotundus 40 38,82 73 25,00
Cynodon dactylon 27 26,04 5 1,71
Eclipta alba Hassk 13 12,78 0 0
Axonopus compressus 22 21,87 77 26.37
Gynura segetum 1 0,49 0 0
Ageratum conyzoides 0 0 10 3,25
Mikania Mucronata 0 0 4 1,46
Eleusine indica 0 0 122 41,70
Mimosa pudica 0 0 3 0,51
Jumlah 103 100 294 100
C= 2 WA+B
×100 %
W= Jumlah dari 2 Kuantitas Terendah untuk jenis dari komunitas
A= Jumlah dari seluruh Kuantitas Komunitas Pertama
B= Jumlah dari seluruh kuantitas pada komunitas Kedua.
W= 40+5+0+22+0+0+0+0+0= 77
C: (2X77)/397X100% = 38,7
Berdasarkan nilai mutlak kerapatan, koefisien komunitas terdapat kesamaan
sebesar 38,7% atau berbeda (100-38,7) = 61,3%. Fungsi rumus koefisien
komunitas ini adalah untuk membandingkan dua komunitas atau dua macam
vegetasi dari dua daerah (Widaryanto, 2009). Dari dua tersebut telah diketahui
bahwa spesies gulma yang tumbuh di dua komunitas tersebut memiliki kesamaan
tetapi hanya berkisar 38,7%. Kesamaan tersebut bisa kita lihat dengan jenis
spesies gulma yang sama atau distribusi gulma.
5. KESIMPULAN
Dari dua komunitas yang diamati diperoleh kesimpulan bahwa pada lahan
ubi kayu gulma yang dominan adalah Cyperus rotundus dan pada lahan tebu
adalah Eleusine indica . Dengan diketahui gulma yang dominan dan sebaran
gulma yang lain kita dapat menentukan bagaimana tindakan pengendalian gulma
yang akan kita lakukan.
Dari analisis perbandingan komunitas diperoleh hasil 38,7% terdapat
kesamaan. Kesamaan tersbut bisa dari jenis spesies gulma atau sebaran dari salah
satu spesies gulma yang ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Kusmana. 1997. Metode Survei Vegetasi. Insitut Pertanian Bogor.Bogor
Tjitrosoedirdjo, S., H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo., 1984. Pengelolaan Gulma
di Perkebunan. PT Gramedia, Jakarta
Widaryanto, Eko. 2009. Diktat Kuliah Teknik Pengendalian Gulma. Universitas
Brawijaya. Malang.
LAMPIRAN
Pengamatan Frame Petak Contoh
Identifikasi Gulma