BAB I
PENDAHULUAN
I.I. LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,
ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000
menjadi366jutatahun 2030.WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking
ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India
danAmerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4
juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia
akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentuakan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.
Berbagai penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat
penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati,nefropati
maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga
pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai
diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan
dimengerti 3
1
1.2. Aspek Disiplin Ilmu yang terkait dengan Pendekatan Diagnosis
Holistik pada Penderita Diabetes Melitus
Untuk pengendalian permasalahan Diabetes Melitus pada tingkat individu
dan masyarakat secara komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka mahasiswa program profesi
dokter Universitas Muslim Indonesia melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada
bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer
(Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang dilandasi oleh
profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta
komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan berupa
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis,
dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.2.1. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1): untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian Diabetes Melitus secara
individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama, etik
moral dan peraturan perundangan.
1.2.2. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2): Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis, sosial dan
budaya sendiri dalam penangan Diabetes Melitus, melakukan rujukan bagi
kasus Diabetes Melitus, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
2
1.2.3. Komunikasi efektif (Kompetensi 3): Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian Diabetes Melitus.
1.2.4. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4):Mahasiswa mampu memanfaatkan
teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik
kedokteran.
1.2.5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5): Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian Diabetes Melitus secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang
optimal.
1.2.6. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6): Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah Diabetes Melitus dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.
1.2.7. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7): Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat
secara komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan
berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer
3
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT STUDI KASUS
Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah penatalaksanaan
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri
dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih
berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence
based medicine).
1.3.1. Tujuan Umum:
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan pelayanan dokter keluarga secara paripurna (komprehensif) dan
holistik, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis
evidence based medicine (EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor
risiko dan masalah klinis serta prinsip penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus
berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien (problem oriented).
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui cara penegakan diagnosa klinis dan diagnosa psikososial
Diabetes Melitus di fasilitas layanan primer.
b. Mengidentifikasi permasalahan yang didapatkan dalam keluarga dan
lingkungan sosial yang berkaitan dengan penyakit Diabetes Melitus.
c. Mengidentifikasi faktor resiko yang berhubungan dengan Diabetes
Melitus.
4
d. Mengetahui terapi diabetes mellitus dengan pendekatan holistik pada
fasilitas pelayanan dokter primer.
e. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan
Masyarakat dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif dalam pengendalian Diabetes Melitus.
1.3.3. Manfaat Studi Kasus
1. Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
2. Bagi Penderita (Pasien).
Menambah wawasan akan Diabetes Melitus yang meliputi proses penyakit
dan penanganan menyeluruh Diabetes Melitus sehingga dapat memberikan
keyakinan untuk tetap berobat secara teratur.
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita Diabetes Melitus.
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based dan
pendekatan diagnosis holistik Diabetes Melitus serta dalam hal penulisan
studi kasus.
5
1.4. INDIKATOR KEBERHASILAN TINDAKAN
Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien
dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis
evidence based medicine adalah:
1.4.1. Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah
teratur.
1.4.2. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan
didapatkan tercapainya target gula darah dan berkurangnya gejala.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian
keberhasilan tindakan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan gula darah
dan berkurangnya gejala. Hal ini disebabkan pengobatan diabetes melitus
umumnya seumur hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti
dengan naiknya gula darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan diabetes
melitus. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan
jumlah obat diabetes melitus secara bertahap bagi pasien yang diagnosis diabetes
melitusnya sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis.
6
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1 KERANGKA TEORI
Gambaran Penyebab Diabetes Melitus
Faktor Genetik autoimun
Obesitas lifestyle
idiopatik
defek sekresi insulin
atau aksi insulin
Faktor resiko Diabetes Melitus Mekanisme
7
Hiperglikemia
DM
PENDERITA
2.2 PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PELAYANAN
KEDOKTERAN KELUARGA DI LAYANAN PRIMER
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya. Untuk
melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat dari beberapa
aspek yaitu:
Aspek personal : Keluhan utama, harapan, kekhawatiran.
Aspek klinis: diagnosis klinis dan diagnosis bandingnya
Aspek faktor resiko internal: perilaku kesehatan, persepsi kesehatan
Aspek faktor resiko eksternal: psikososial dan ekonomi keluarga, keadaan
lingkungan rumah dan pekerjaan.
Derajat fungsional (1 - 5)
8
2.3 DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO dikatakan bahwa diabetes melitus
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin. 1
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA), 2005, yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas.Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia
muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
9
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
10
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998
DM TIPE 1:
Defisiensi
insulin absolut
akibat destuksi
sel beta,
karena:
1.autoimun
2. idiopatik
DM TIPE 2 :
Defisiensi insulin
relatif :
1, defek sekresi
insulin lebih
dominan daripada
resistensi insulin.
2. resistensi insulin
lebih dominan
daripada defek
sekresi insulin.
DM TIPE LAIN :
1. Defek genetik fungsi sel beta :
Maturity onset diabetes of the young
Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
Pankreatektomy
3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
hipertiroidisme
4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
5.Akibat virus: CMV, Rubella
6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter
DM
GESTASIONAL
2.5 PREVALENSI
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.2
2.6 FAKTOR RESIKO
1. Faktor Resiko yang tidak dapat diubah
a) Usia
Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat seiring dengan
peningkatan usia, terutama sejak usia 45 tahun ke atas. Hal ini mungkin
disebabkan karena berkurangnya aktivitas fisik dan bertambahnya berat badan
seiring dengan pertambahan usia.6Oleh sebab itu, ADA menganjurkan
dilakukannya pemeriksaan skrining DM terhadap orang yang berusia 45 tahun ke
atas dengan interval 3 tahun sekali.3
b) Jenis kelamin
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda
mengenai jenis kelamin yang paling berisiko menderita DM. Centers for Disease
Control and Prevention menyatakan bahwa perempuan lebih rentan terkena
11
diabetes dibandingkan laki-laki. Hal ini dibuktikan dari data yang menyebutkan
bahwa lebih dari 50% penderita diabetes melitus di Amerika Serikat adalah
perempuan. Namun, penelitian lainnya menyatakan bahwa kasus DM lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.4
c) Ras
Kelompok ras kulit hitam, Hispanik, Indian, dan Kepulauan Asia Pasifik
merupakan ras yang paling rentan menderita diabetes.Prevalensi diabetes di
kelompok ras tersebut sekitar 2 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit
putih.5
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes
melitus tipe 2. Menurut WHO, beberapa penelitian menemukan bahwa individu
dengan keluarga derajat pertama yang menderita DM tipe 2 memiliki risiko 3 kali
lebih besar untuk juga menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan individu yang
tidak memiliki riwayat keluarga. Selain itu, kembar monozigot juga lebih berisiko
menderita MD tipe 2 dibandingkan dengan kembar dizigot. Menurut ADA, selain
karena faktor genetik, hal ini juga dapat terjadi akibat kecenderungan anak untuk
meniru kebiasaan diet yang buruk dan kurangnya latihan fisik yang dilakukan
oleh orang tua atau keluarga mereka.5
2. Faktor Resiko yang dapat diubah
12
a) Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang lebih dari 25
kg/m2 berdasarkan standar Asia Pasifik. Obesitas merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya DM tipe 2. Obesitas menyebabkan terjadinya peningkatan massa
jaringan adiposa yang dikaitkan dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan
terganggunya proses penyimpanan dan sintesis lemak . Obesitas juga dikaitkan
dengan faktor diet yang tidak baik dan dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan
trigliserida > 250 mg/dl) yang juga merupakan faktor risiko DM tipe 2 .1
b) Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu faktor risiko DM tipe 2.
Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (susenas) 2004, kecenderungan
faktor resiko DM tipe 2 terutama di sebabkan oleh aktivitas fisik yang kurang
sebanyak 82,9%.1
Selain faktor-faktor di atas,faktor lainnya yang terkait dengan peningkatan
risiko terkena diabetes adalah penderita sindroma ovarium polikistik atau keadaan
lainnya yang terkait dengan resistensi insulin, sindroma metabolik, riwayat TGT
atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), serta riwayat penyakit
kardiovaskuler, seperti stroke dan penyakit jantung koroner.1
2.7 PATOGENESIS
1. Diabetes mellitus tipe 1
13
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar.Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua,
keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat.Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi.Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel
asing.Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang
dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan
mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan
penampakan diabetes.6
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 awalnya terjadi akibat sekresi fase 1 hormon insulin
yang inadekuat.Sekresi fase 1 atau acute insulin secretion response (AIR)
merupakan sekresi insulin yang terjadi segera setelah adanya rangsangan terhadap
sel beta, seperti pada keadaan post prandial (setelah makan).Sekresi fase 1 yang
inadekuat ini mengakibatkan hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) atau
lonjakan glukosa darah setelah makan (postprandial spike).Selain akibat sekresi
fase 1 insulin yang inadekuat, HAP juga disebabkan oleh resistensi insulin di
jaringan tubuh.Namun, pada tahap dini perjalanan penyakit, hiperglikemia lebih
dominan disebabkan oleh gangguan fase 1 sekresi insulin.7
14
Kinerja fase 1 sekresi insulin yang inadekuat ini pada awalnya dapat
dikompensasi dengan peningkatan sekresi insulin secara berlebihan pada fase 2
(sustained phase atau latent phase) sehingga kadar glukosa darah tetap normal.
Namun,lama-kelamaan akan terjadi kelelahan atau disfungsi sel beta yang disebut
juga dengan tahap dekompensasi. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan
penurunan fungsi sel beta, yaitu glukotoksisitas, lipotoksisitas, penimbunan
amiloid, resistensi insulin, dan efek inkretin.7
Pada tahap dekompensasi tersebut, terjadi defisiensi insulin abolut
sehingga fase 2 sekresi insulin juga tidak mampu mempertahankan keadaan
normoglikemia.Secara klinis, keadaan ini disebut dengan toleransi glukosa
terganggu (TGT)atau Impaired Glucose Tolerance (IGT).Tahap ini juga disebut
dengan prediabetes yang memperlihatkan kadar glukosa darah 2 jam post prandial
sebesar 140 – 200 mg/dl pada tes toleransi glukosa oral (TTGO).Seiring dengan
perjalanan penyakit, tingkat resistensi tubuh terhadap insulin semakin tinggi
sehingga kadar glukosa darah semakin meningkat. Peranan resistensi insulin
sebagai penyebab hiperglikemia semakin dominan semenjak konversi fase TGT
menjadi fase DM Tipe 2 (Manaf, 2006). Fase DM ini ditandai dengan kadar
glukosa darah puasa sebesar ≥ 126 mg/dl, atau gula darah sewaktu sebesar ≥ 200
mg/dl, atau hasil TTGO sebesar ≥ 200 mg/dl.2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui.Secara deskriptif, tiga fase dapat
dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal
15
walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.8
2.8 MANIFESTASI KLINIK
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan,
rasa baal dan gatal di kulit 2.
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.9
Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal
2x.10
16
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau
GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh
TGT : glukosa darah plasma2jam setelah pembebanan antara 140-199 mg/dl
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl
2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis DM pada umumnya akan diperkirakan dengan ditemukannya
gejala khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Gejala lain yang mungkin ditemukan
pada pasien DM adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria, dan pruritus vulvae pada pasien wanita. Kemudian, diagnosis DM harus
didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.Sampel darah yang digunakan
dapat berasal dari darah vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria kadar gula darah yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. 11
Jika terdapat keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang
memberikan hasil ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Selain itu, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga dapat
digunakan sebagai patokan diagnosis DM.2
Jika tidak terdapat keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja memperlihatkan hasil yang abnormal belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik berupa kadar glukosa darah puasa
17
≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau
kadar glukosa darah 2 jam post prandial pada TTGO ≥ 200 mg/dl .2
Tahap pemeriksaan TTGO adalah sebagai berikut:
1. Subjek pemeriksaan tetap makan dan melakukan kegiatan jasmani seperti
yang biasa dilakukan selama tiga hari sebelum pemeriksaan.
2. Subjek pemeriksaan berpuasa minimal 8 jam sejak malam hari sebelum
pemeriksaan. Subjek masih diperbolehkan untuk minum air putih.
3. Lakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Subjek pemeriksaan meminum larutan glukosa 75 gram dalam air sebanyak
250 ml dalam waktu 5 menit.
5. Lakukan pemeriksaan kadar glukosa darah pada waktu 2 jam setelah
pembebanan glukosa pada tahap ke-4.
6. Selama proses pemeriksaan, subjek pemeriksaan tetap beristirahat dan tidak
merokok.
18
GDP
GDSatau
≥126
≥ 200
≥126
≥ 200
<126
<200
GDP
GDSatau
GDP
GDSatau
<126
<200
≥126
≥ 200
Alur diagnosis diabetes melitus 2
2.10 PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan
kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol
sehingga sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus
dimulai dari :
1. Edukasi
19
Keluhan Klinik Diabetes
Keluhan Khas (+)
Ulang GDS atau GDS
DIABETES MELITUS
Keluhan Khas (-)
110 - 125
110 - 199
< 110
TTGO GD 2 Jam
≥ 200 140 - 199 < 140
TGT GDPT NORMAL
Pemberdayaanpenyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat.
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan salah satu dari terapi non farmakologik yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes.Terapi ini pada
prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.
a. Jenis Bahan Makanan
(i) Karbohidrat
Sebagai sumber energy, karbohidrat yang diberikan pada diabetes tidak
boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energy sehari, atau tidak boleh lebih
dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (monounsaturated fatty acids atau MUFA). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energy sebesar 4 kilokalori.6
(ii) Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari
total kalori per hari.Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari,maka perlu ditambahkan
pemberian suplementasi asam amino esensial.Protein mengandung energy sebesar
4 kilokalori/gram.6
(iii) Lemak
20
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Bahan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti
vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal (MUFA) merupakan salah satu asam lemak yang dapat
memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada
diabetes dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL,
dan meningkatkan kadar kolesterol HDL.Sedangkan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang (poly-unsaturated fatty acid atau PUFA) dapat melindungi jantung,
menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. 6
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
Adalah konsentrasi Haemoglobin yang tergantung pada gula darah dan
masa hidup eritrosit dandinyatakan dalam persentase.International Expert
Commite menetapkan pentingnya pemeriksaan HbA1C berperan dalam skrining
diagnose penyakit diabetes melitus. ADA (America Diabetic Association)
menetapkan nilai normal HbA1C <7% dinyatakan gula darah terkendali.IDF
(International Diaetic Federation) menetapkan nilai HbA1C <6.5% adalah angka
yang paling ideal yang harus dicapai oleh seorang penderita diabetes
mellitus.HbA1C tinggi berarti gula semakin jelek dan kemungkinan timbul resiko
21
komplikasi.Kalau HbA1C rendah bukan berarti penderita diabetes mellitus bebas
dari komplikasi, namun akan beresiko rendah dibandingkan penderita HbA1C
yang tinggi.Pemeriksaan HbA1C tidak perlu puasa dan dapat diperiksa kapan saja
d) Glycated Albumin (GA)
Adalah penanda glikemik untuk diabetes mellitus yang menunjukkan
kadar rata-rata glukosa darah selama 1 bulan terakhir. Nilai GA rendah ketika
glukosa darah rendah sedangkan GA tinggi ketika glukosa darah meningkat.
Kadar GA diperoleh dengan membandingkan nilai albumin yang berikatan
dengan glukosa (glycated albumin) dan nilai total albumin dalam darah, sehingga
hasil akan diperoleh dalam (%),yaitu :
%GA : Presentase GA
GA : Konsentrasi GA
Alb : Konsentrasi Albumin
Perbandingan antara Hb1AC dan Glycated Albumin , antaralain:
Kadar GA perbandingan antara albumin glikat dan total albumin
KadarHbA1C perbandingan antara haemoglobin glikat dan
totalhaemoglobin
GA merupakan parameter rata-rata glukosa darah lebih pendek
dibandingkan dengan HbA1C.GA menunjukkan waktu 2-4 minggu (sesuai
paruh albumin 2-4 minggu)
HbA1C mengukur rata-rata glukosa darah selama 2-3 bulan sesuai waktu
paruh haemoglobin, HbA1C ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
22
haemoglobin. Bila terganggu seperti pada pasien gagal ginjal yang
menjalani haemodialisa, thalasemia, anemia, kehamilan dll.
GA merupakan penanda glikemik yang baik untuk memonitor kondisi
diabetes mellitus. Dengan waktu paruh yang lebih pendek, GA dapat
menggambarkan kadar glukosa rata-rata pasien pada saat menjalani
pengobatan. GAdapat menangkap fluktuasi glukosa darah secara cepat dan
nyata dibanding HbA1C.
Nilai normal GA adalah 11-16%.Nilai cut off dari GA pada diabetes
mellitus dengan hemodialisa ialah 20%. Nilai cut off dari GA pada
diabetes mellitus dengan kecenderungan kejadian kardiovaskuler dan
hipoglikemik pada hemodialisa adalah 24%
Keuntungan GA dibanding HbA1C adalah datang periksa ke dokter tiap
bulan, pertama kali terdiagnosa diabetes mellitus, kadar gula darah tidak
terkontrol/fluktuatif, dan tidak dipengaruhi oleh kelainan hemoglobin.
Kadar GA sangat dipengaruhi oleh nilai albumin tubuh maka pada kasus
Malnutrisi berat dan hipoalbuminuria, GA sedikit bias.
Beberapa kondisi khusus GA jauh lebih spesifik dan efektif pada : ibu
hamil karena gangguan hormonal dan penurunan besi nilai HbA1C
terganggu menjadi lebih tinggi, dan pada kasus hemodialisa karena usia
sel darah merah pendek menyebabkan nilai HbA1C rendah. Di Jepang
setiap kasus hemodialisa diwajibkan pemeriksa dengan parameter GA
karena lebih stabil.
2. Tekanan darah <130/80
23
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,
status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia.Selain itu ada beberapa
faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan
pencernaan padausia tua, dan lainnya.Pada keadaan infeksi berat dimana
terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus.Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang
bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.
5. Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena
mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah
terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan
berlebihan yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan penimbunan
LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita.
Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini
akan menurunkan kadar gula darah.
Aktivitas latihan :
24
5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa
10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan
meningkat 7-20x. Lemak juga akan mulai dipakai untuk
pembakaran sekitar 40%
> 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyak pula benda keton
yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke
keadaan asidosis.Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan
atau terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350
mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu.
6. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.
obat hipoglikemik oral
a. insulin secretorius:
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurangnamun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih.Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator.
Penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini
beresiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid, nateglinid.
b. insulin sensitizers
25
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan
efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan hepar).
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer
meningkat.Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan
lemak.
c. glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga
memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan
gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan
hipoksemia.
d. Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi
glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek
hipoglikemi.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal. Sulfonilurea
generasi I dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum
26
makan.Repaglinid,Nateglinid sesaat/sebelum makan.Metformin sesaat/pada
saat/sebelum makan.Penghambat glukosidase α bersama makan suapan
pertama.Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.
Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam
merespon glukosa.Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
tersusun dalam2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas
dalam pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel.
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang
fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa,sedangkan defisiensi insulin prandial akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau
insuli campuran tetap (premixed insulin)
27
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia yang berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau
ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
kemudiandinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang diberikan pada
malam hari atau menjelang tidur.Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil.Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai
kadar gula darah puasa keesokan harinya.Bila dengan cara seperti ini kadar gula
darah sepanjang hari masih tidak terkendali,maka OHO dihentikan dan diberikan
insulin.
2.11 KOMPLIKASI
Penyulit akut
Ketoasidosis diabetik
28
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relative dan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol
dan hormon pertumbuhan).Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati
meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir
hiperglikemia.Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle
menurun,asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang
tidak dapat diteruskan dalam krebcycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan
energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat
sinyal sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa
benda keton yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein
dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.
Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35,HCO3 rendah, anion
gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa anorexia,
nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah pernapasan
kussmaul dan berbau aseton.14
Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari
600 mg% tanpaketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.
Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin
dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD,
sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darahnya masih cukup untuk
mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga
tidak timbul hiperketonemia.14
29
Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
parasimpatik:lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan :
lemah lesu,sulit bicara dan gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik,
gejalaadrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibirgemetar dan dada
berdebar-debar.Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik : pusing,
gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.15
Penyulit menahun
Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan thrombosis
Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif,karenahiperpermeabilitas dan
inkompetens vasa kapiler.Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol
seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan
berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan
retina.Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina
menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan
sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang.Pada
retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum
dalam jumlah besar.Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi kebagian
dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa
30
terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan
mendadak.Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali
sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro
untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol
memperlambat progresivitas kerusakan retina.15
Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminuria menetap >300 mg/24 jam atau >200
mg/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut
menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus.Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product
yang irreversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear
serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang
reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
berkembang menjadi chronic kidney disease.15
• Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal.Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi.Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri
dan lebih terasa sakit di malam hari.Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap
pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal
dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram,
dilakukan sedikitnya setiap tahun.15
31
Makroangiopati
Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan
terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayat keluarga
PJK atau DM.15
Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya
terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.15
2.12 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktorresiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk
mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.Materi penyuluhan meliputi
program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan
kebiasaan merokok.Perencanaan kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan
memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas
yang memadai dalam upaya pencegahan primer.13
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penyakit DM.Penyuluhan ditujukan terutama bagi pasien
32
baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap
pertemuan berikutnya.Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya
kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
• Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
melanjut.Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan
juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal.Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan
sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis
rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi
yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah
ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatri dll sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
BAB III
METODOLOGI STUDI KASUS
3.1. LOKASI DAN WAKTU MELAKUKAN STUDI KASUS
Studi kasus dilakukan pada tanggal 21 Juli 2015 saat pasien melakukan
pengobatan di Puskesmas Jumpandang Baru, dan selanjutnya dilakukan home
visit untuk mengetahui secara holistik dari keadaan penderita dan lingkungannya.
3.3. PENGUMPULAN DATA ATAU INFORMASI33
Semua yang berkaitan dengan penyakit atau permasalahan kesehatan
penderita informasinya dikumpulkan dengan melakukan komunikasi personal
dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.
3.4. CARA PENGUMPULAN DATA ATAU INFORMASI
Dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara
langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when dan
how.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. IDENTITAS PASIEN
- Nama : Ny. A
- Umur : 46 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Bangsa/Suku : Makassar
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga34
- Alamat : Jl. Korban, Lorong 1 no 21
- Tanggal pemeriksaan : 21 Juli 2015
2. LATAR BELAKANG SOSIAL – EKONOMI – DEMOGRAFI-
LINGKUNGAN KELUARGA
Status Perkawinan : Menikah
Jumlah Saudara : 5 orang
Status Ekonomi Keluarga : Cukup
Kondisi Rumah :
- Rumah pribadi dengan 2 kamar, luas bangunan 350 m2, pekarangan
sempit.
- Listrik ada.
- Sumber air : Air PDAM
- Jamban ada di dalam rumah 1 buah
- Sampah dibuang ke tempat penampungan sampah yang dijemput
petugas kebersihan
- Kesan : Higienitas dan sanitasi cukup
Kondisi Lingkungan Keluarga
- Jumlah penghuni 10 orang, terdiri dari pasien, suami, 3 orang anak, 5
orang keponakan.
- Tinggal di daerah perkotaan
3. DIAGNOSIS HOLISTIK
a) Aspek Personal
Harapan : Pasien berharap dapat hidup sehat dan dapat terkontrol
gula darahnya.
Kekhawatiran:Ketakutan bahwa penyakitnya akan semakin
bertambah parah dan berlanjut ke komplikasi yang lebih berat.
Pasien juga takut jika sewaktu-waktu kadar gula darahnya sangat
tinggi.
b. Aspek Klinis
35
1. Keluhan Utama: Sering kencing lebih dari 6 kali dalam sehari
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak satu bulan belakangan ini pasien mengeluh sering kencing
lebih dari 6 kali dalam sehari, terutama pada malam hari pasien
merasa sering terbangun karena harus buang air kecil.Keluhan ini
sangat mengganggu aktivitasnya, tetapi pasien masih tetap
beraktivitas.Pasien juga mengeluh haus serta lapar yang dirasakan
1 bulan terakhir. Selain itu pasien juga mengeluhkan gatal pada
daerah kelamin yang dirasakan terus menerus selama 3 bulan
terakhir.
- Riwayat penurunan berat badan ada sebesar 6 kg sejak 1 tahun
terakhir.
- Riwayat mudah lelah ada sejak 1 tahun terakhir.
- Riwayat mata kabur tidak ada.
- Pasien sehari-hari bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga
- Pasien mengaku tidak pernah berolahraga secara teratur.
- Riwayat mengkonsumsi makanan tinggi lemak, tinggi gula.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat dengan penyakit yang sama dalam keluarga disangkal
5. Pemeriksaan Fisik
- Tinggi Badan : 153 cm
- Berat Badan :70 kg
Tanda Vital
- Keadaan Umum : sakit ringan/sadar
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
- Frekuensi Napas : 20 kali/menit
- Suhu : 36,8OC
Pemeriksaan Sistemik
36
- Kulit: Teraba hangat
- Kepala: Bentuk bulat, simetris, rambut hitam, tidak
mudahdicabut
- Mata: Tidak cekung, air mata ada, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3mm/3mm,
reflex cahaya +/+ (normal)
- Mulut : Lidah dan mulut basah, oral thrush tidak ada
- Telinga : Dalam batas normal
- Hidung : Dalam batas normal
- Tenggorok: Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring
tidakhiperemis
- Leher: Tidak teraba pembesaran KGB
- Dada: Dalam batas normal
- Paru: Dalam batas normal
- Jantung: Dalam batas normal
- Abdomen: Dalam batas normal
- Punggung: Dalam batas normal
- Alat kelamin : Hiperemis ada, keputihan ada.
- Ekstremitas : Dalam batas normal
6. Pemeriksaan Penunjang
Gula darah sewaktu : 171 mg/dl
7. Diagnosis Kerja
Diabetes mellitus tipe 2
c. Aspek Risiko Internal
- Usia ≥ 45 tahun.
- Jenis kelamin perempuan.
- Terdapat riwayat mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi gula.
- Tidak pernah melakukan olahraga secara teratur.
37
d. Aspek Risiko Eksternal
Tinggal di lingkungan masyarakat makassar yang biasa mengkonsumsi
makanan tinggi lemak dan tinggi gula
e. Derajat Disfungsional
Penyakit yang diderita tidak menimbulkan halangan dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari.
f. Aspek Mental, Psikologis, dan Sosial
- Pasien tinggal bersama suami, 3 orang anak, dan 5 orang keponakan.
- Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga
yang lainnya, baik yang tinggal didalam rumah maupun yang tidak.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini meliputi pencegahan
primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga pasien).
Pencegahan Primer
- Promosi kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat
- Perbaikan lifestyle
- Memperbaiki diet
- Selalu mengenakan alas kaki agar mencegah terjadinya lukayang mungkin
tidak disadari dan terabaikan
Pencegahan sekunder
Promotif
38
Pada American Diabetes Association (ADA) menganjurkan pasien
diabetik untuk diet seimbang dan rendah lemak.Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur dan stress akut disertai kegiatan jasmani untuk
mencapai berat badan ideal.
Kuratif
- Metformin 0,5 mg/hari 2x1
- Vitamin B Com 3x1
Rehabilitatif
- Melaksanakan latihan jasmani secara teratur yaitu dengan frekuensi 3-5
kali per minggu, selama 30-60 menit per kali, berupa jalan, jogging,
bersepeda, atau berenang. Latihan jasmani harus tetap memperhatikan
prinsip-prinsip olahraga, yaitu pemanasan, latihan inti, pendinginan, dan
peregangan.
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) atau rutin
kontrol gula darah ke Puskesmas.
- Lakukan perawatan luka secara berkala, yaitu:
Tidak boleh melakukan aktivitas yang berhubungan dengan benda
tajam
Periksa jari tangan setiap hari dan laporkan ke dokter jika ditemukan
ada kulit yang terkelupas atau daerah yang kemerahan atau luka di
tempat lainnya.
Selalu menjaga luka dalam keadaan bersih, dan mengoleskan losion
pelembab ke kulit yang kering.
- Minum obat secara teratur.
- Kontrol secara teratur ke puskesmas.
- Jika merasakan keluhan pada mata, susah buang air kecil, rasa kebas-kebas
dan kesemutan yang sangat mengganggu, sakit kepala yang tidak dapat
39
ditahan, dan kondisi luka yang semakin memburuk segera ke puskesmas
agar mendapatkan pengobatan yang sesuai.
- Meminta kerja sama keluarga untuk turut mendukung program
penatalaksanaan pasien,baik dari segi membantu pengaturan pola makan,
mendukung latihan jasmaninya, serta mengingatkan pasien untuk rutin
minum obat dan kontrol khususnya pada perawatan luka.
- Mencegah timbulnya luka baru.
- Edukasi tentang penyulit akut diabetes, seperti hipoglikemia kepada pasien
dan keluarga agar dapat mengenali tanda-tandanya dengan segera, seperti
berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, pusing, gelisah, penurunan
kesadaran, hingga koma. Jika ditemukan gejala di atas, maka pasien harus
segera dibawa ke Puskesmas atau IGD terdekat.
- Edukasi pada keluarga pasien, terutama anak-anaknya, agar juga dapat
membiasakan gaya hidup sehat, seperti pola makan yang rendah gula dan
rendah lemak, serta olahraga yang teratur.Selain itu, menyarankan agar
keluarga pasien dapat memeriksakan kesehatan ke puskesmas jika
mengalami keluhan sering haus, sering lapar, atau sering buang air kecil,
mengingat adanya faktor risiko diabetes melitus yang dimiliki.
Gambar 2. Kondisi ruang tamu
40
Gambar 3. Kondisi ruang tengah
Gambar 4. Kondisi dapur
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
HASIL
Berdasarkan hasil studi kasus yang dilakukan di layanan primer
(Puskesmas) mengenai penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus dengan
penegakan diagnostic holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
41
1. Mengetahui cara penegakan diagnosa klinis dan diagnosa psikososial
Diabetes Melitus di fasilitas layanan primer
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosa menderita Diabetes Melitus.
Diagnose Holistik (multiaksial):
a. Aspek personal:Pasien berharap dapat hidup sehat dan terkontrol gula
darah.
b. Aspek klinik:Diabetes Melitus
c. Aspek resiko internal:Aspek resiko internal yang didapatkan pada
pasien yaitu : usia ≥ 45 tahun, jenis kelamin perempuan, terdapat
riwayat mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi gula, dan
tidak pernah olahraga secara teratur.
d. Aspek resiko eksternal : Aspek resiko eksternal atau psikososial
keluarga yaitu pasien tinggal di lingkungan masyarakat yang biasa
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi gula.
e. Aspek mental, psikologis dan social :Pasien tinggal bersama suami, 3
orang anak, dan 5 orang keponakan. Pasien memiliki hubungan yang
baik dengan sesama anggota keluarga yang lainnya, baik yang tinggal
didalam rumah maupun yang tidak.
2. Permasalahan yang dapat ditinjau dari beberapa fungsi diantaranya:
Pasien tinggal dilingkungan masyarakat yang biasa mengkonsumsi
makanan tinggi lemak dan tinggi gula.
42
3. Faktor resiko yang berhubungan dengan Diabetes Melitus pada pasien ini
termasuk faktor usia,jenis kelamin, pola makan, dan tidak berolahraga
secara teratur.
4. Penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini meliputi pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer atau promosi
kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat, seperti perbaikan
lifestyle, memperbaiki diet, selalu mengenakan alas kaki agar mencegah
terjadinya luka yang mungkin tidak disadari dan terabaikan. Pencegahan
sekunder yang meliputi promotif, kuratif, rehabilitatif.
Promotif: menurut ADA menganjurkan pasien diabetik untuk diet
seimbang dan rendah lemak, jumlah kalori harus disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, dan stress akut disertai kegiatan jasmani
untuk mencapai berat badan ideal. Sedangkan dari aspek kuratif yaitu
pemberian obat-obatan sesuai indikasi yaitu metformin.
PEMBAHASAN
Diagnosis DM pada umumnya akan diperkirakan dengan
ditemukannya gejala khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Gejala lain
yang mungkin ditemukan pada pasien DM adalah lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada pasien
wanita.Kemudian, diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar
43
GDP
GDSatau
≥126
≥ 200
≥126
≥ 200
<126
<200
GDP
GDSatau
glukosa darah, sampel darah yang digunakan dapat berasal dari darah vena
ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria kadar gula darah
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. 11
Jika terdapat keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang
memberikan hasil ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM. Selain itu, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl
juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM.2
Jika tidak terdapat keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja memperlihatkan hasil yang abnormal belum cukup
kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik berupa kadar glukosa
darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari
yang lain, atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial pada TTGO ≥ 200
mg/dl .2
44
Keluhan Klinik Diabetes
Keluhan Khas (+)
Keluhan Khas (-)
110 - 125
110 - 199
< 110
GDP
GDSatau
<126
<200
≥126
≥ 200
Alur diagnosis diabetes melitus 2
5.2 SARAN
Penderita DM sebaiknya kontrol secara teratur dan tidak putus
obat.Edukasi mengenai pengenalan tanda-tanda terjadinya ancaman komplikasi
diberikan selama perawatan dan kontrol berobat.Edukasi untuk diet dan latihan
jasmani agar memperingan intervensi farmakologis. Agar terapi tepat sasaran
perlu dilakukan pemeriksaan kultur luka dan tes resistensi obat agar penyembuhan
luka maksimal. Penderita DM sebaiknya dilakukan pengontrolan kadar kolesterol
dan tekanan darah, bila ada kelainan sebaiknya segera diobati karena akan
mempercepat terjadinya komplikasi.
Disarankan penderita DM untuk melakukan pemeriksaan Glycated
Albumin tiap 2-3 minggu selama mendapat pengobatan, untuk melihat apakah
pengobatan berhasil atau tidak, dengan memeriksa kembali kadar gula darah.
45
Ulang GDS atau GDS
DIABETES MELITUS
TTGO GD 2 Jam
≥ 200 140 - 199 < 140
TGT GDPT NORMAL
DAFTAR PUSTAKA
1. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2
di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
2. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar
ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
46
3. Kurniawan I, 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Maj Kedokt
Indon, Volum: 60, Nomor: 12, Desember 2010.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/
511/508
4. Grant JF, Hick N, Taylor AW, Chittleborough CR, Phillips PJ, dan the North
West Adelaide Health Study Team, 2009. Gender-Specific Epidemiology of
Diabetes: a Representative Cross-Sectional Study. International Journal for
Equity in Health 2009, 8:6. http://www.equityhealthj.com/content/pdf/1475-
9276-8-6.pdf.
5. Hicks J, 2008.Racial and Genetic Risk Factors
for Diabetes.http://diabetes.about.com/lw/Health-Medicine/Healthcare-
industry/Racial-and-Genetic-Risk-Factors-for-Diabetes.htm
6. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
7. Manaf A, 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal: 1890 – 1891.
8. Foster DW.2000. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC. Hal.2196.
9. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal.
1873
47
10. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006; 1906.
11. Suyono S, 2011. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang
Diabetes.Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi II. Cetakan ke-8.
Jakarta: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 6 –
22.
12. Manaf A, 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal: 1890 – 1891.
13. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2006
14. Suyono S, 2011. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang
Diabetes.Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi II. Cetakan ke-8.
Jakarta: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 6 –
22.
15. Handoko T, Soeharto B.1995. Insulin,Glukagon,dan Antidiabetik Oral. Ed.
Ganiswara. Edisi IV. Jakarta : Gaya Baru. Hal 467
48
Recommended