Transcript
Page 1: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

LAPORAN KEGIATAN D E S 2 0 1 0 - N O V 2 0 1 1

Page 2: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 20111

Daftar Isi

Pengantar 3Perpustakaan 6Akademi Merdeka Indonesia 7Replikasi Pelatihan Akademi Merdeka 8Penghargaan Achmad Bakrie 2011 9Diskusi Ekonomi Politik 10Diskusi Sastra 11Diskusi Publik 12Diskusi Terbatas 13Klub Sains 14Kine Klub 15Kuliah Umum 16Lampiran I Daftar Kegiatan Freedom Institute 17Lampiran II Kegiatan di website 23Lampiran III Statistik Perpustakaan 76

Editor: Luthfi AssyaukanieTata letak: Eru GunawanPhotographer: RiantoDokumentasi: Perpustakaan Freedom

Page 3: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 2

Gedung Wisma ProklamasiJl. Proklamasi No.41 Menteng Jakarta Pusat 10320

Page 4: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 20113

ejak menempati gedung baru di Ja-lan Proklamasi, Freedom Institute

terus memperbanyak kegiatan serta mem-perluas jaringan. Dengan fasilitas yang lebih baik, Freedom Institute menyeleng-garakan berbagai kegiatan rutin se perti diskusi publik, ceramah, dan workshop, serta mengembangkan kegiatan-kegiatan baru, seperti klub film, klub sains, klub jazz, dan kelompok studi pengembangan sains yang berada di bawah klub sains. Pengunjung diskusi semakin banyak dan minat mahasiswa yang terlibat dalam ke giatan-kegiatan workshop Freedom Insti-tute juga semakin besar.

Perpustakaan Freedom menjadi salah satu oase bagi para pecinta buku di Jakar-ta. Dibuka setiap hari kerja, perpustakaan Freedom terus mengalami peningkatan pengunjung. Tak hanya dari kalangan mahasiswa, perpustakaan Freedom juga mendapat perhatian dari masyarakat, baik para mahasiswa, pelajar tingkat SMA, ibu rumah tangga, maupun karyawan. Perpustakaan Freedom dengan taman bacanya telah menjadi alternatif tempat nongkrong warga Jakarta.

Freedom Institute memiliki cita-cita men-umbuhkan terus budaya baca di tengah masyarakat dengan memberikan fasilitas dan bantuan kepada lembaga-lembaga dan universitas-universitas yang ingin memperbaiki layanan perpustakaan mere-ka. Sejauh ini, kami telah bekerjasama dengan Perpustakaan Aksara, Perpus-takaan CSIS, Perpustakaan Utan Kayu,

Perpustakaan Paramadina dalam layanan perpustakaan bersama.

Untuk menyebarluaskan gagasan ke kalangan mahasiswa, Freedom Institute menyelenggarakan Akademi Merdeka, yakni sebuah kursus pendek tentang ide-ide emansipasi, sejarah dan filsafat individualisme, hak kepemilikan, pasar, pemerintahan minimal, hak asasi ma-nusia, dan kedaulatan hukum. Forum ini berformat lokakarya 3 hari, menghadirkan beberapa pakar pemikiran dan fasilitator berpengalaman sebagai mitra belajar bagi mahasiswa. Freedom Institute bekerjasa-ma dengan lembaga pemikiran IDEAS Malaysia, Atlas Network – yang memberi-kan Templeton Freedom Award kepada Freedom Institute pada 2006 – dan Frie-drich Naumann Stiftung (FNS) dalam me-nyelenggarakan program ini.

Selain kegiatan di atas, Freedom Institute juga terus mempertahankan kegiatan-kegiatan lainnya dan terus meningkatkan kualitas penyelenggaraannya, termasuk tentu saja Penghargaan Achmad Bakrie (PAB), yang pada Agustus 2012 akan memasuki tahunnya yang ke-10. Selain PAB yang semakin berwibawa sebagai satu-satunya ajang penghargaan intele-ktual yang berkredibilitas tinggi di tanah air ini (antara lain karena pemilihan juri yang selalu dipertanggungjawabkan se-cara tertulis dan terpublikasi luas baik le-wat website kami maupun iklan di koran dan televisi nasional), diskusi-diskusi publik yang diselenggarakan Freedom

PENGANTAR

Page 5: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 4

hampir setiap dua minggu sekali juga selalu menarik minat peserta, dengan rata-rata tingkat kehadiran sekitar 100 orang. Begitu juga, klub-klub yang dibuat Freedom semakin menarik peserta. Klub sains, selain menggelar diskusi bulanan, juga menghasilkan sebuah kelompok dis-kusi yang diikuti para mahasiswa, dosen, dan peminat sains, yang berkumpul setiap Jumat malam di kafe dan taman Wisma Proklamasi. Setiap pertemuan, kelompok

diskusi ini membahas satu tema mutakhir dari perkembangan sains modern.

Demikianlah beberapa kegiatan Freedom Institute yang kami selenggarakan selama tahun 2011. Semoga penyelenggaraan di tahun-tahun depan akan semakin baik.

Jakarta, 30 November 2011Rizal Mallarangeng Direktur Eksekutif

Page 6: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 20115

TAMAN WISMA PROKLAMASI

Page 7: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 6

ada 2011, koleksi buku Perpustakaan Freedom bertambah sekitar 357 judul. Jum-lah total koleksi yang ada kini 12.158 buku. Hingga kini, ada 8.579 orang, yang

tercatat sebagai anggota perpustakaan (lihat statistik lengkap di bagian lampiran lapo-ran ini). Mereka berasal dari kalangan mahasiswa, pelajar sekolah, dosen, pegawai dan umum di Jakarta dan sekitarnya. Selama 1 tahun terakhir Perpustakaan Freedom telah melakukan promosi di berbagai kegiatan di antaranya membuka stand di acara kampus Universitas Indonesia, Perpus-takaan Nasional Republik Indonesia, dan Badan Perpustakaan Arsip Daerah Jakarta.

PERPUSTAKAAN

Page 8: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 20117

elama 2011, kami menyelenggarakan tiga kali program Akademi Merdeka, yakni dua kali untuk Angkatan IV dan V, dan sekali merupakan acara reuni Akademi

yang menghadirkan perwakilan peserta dari Angkatan I hingga V. Setiap angkatan, Akademi Merdeka dihadiri 30 peserta yang dipilih dari berbagai perguruan tinggi di In-donesia. Yang menggembirakan, sebagian para alumni Akademi Merdeka ini tetap aktif terlibat dalam kegiatan Freedom Institute, dengan antara lain mereplikasi loka-karya kebebasan ini di kampus-kampus mereka. Ini telah terjadi misalnya di Sukabumi, Banten, Bandung, Lamongan, Jember, Malang, dan Semarang.

AKADEMI MERDEKA INDONESIA

Page 9: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 8

REPLIKASI PELATIHAN AKADEMI MERDEKA

ebagai upaya menyebarkan dan memperkuat apa yg didapat dari forum Akademi Merdeka, para alumni membuat Replikasi Akademi Merdeka di wilayah mereka

masing-masing. Sepanjang tahun 2011, terselenggara 6 (enam) Lokakarya Kebe-basan, yang diperuntukkan bagi rekan-rekan mahasiswa dari kampus-kapus sekitar domisili para alumni. Dengan nama yang berbeda-beda, keenam workshop tersebut adalah; 1) Sekolah Ekonomi Politik angkatan II (angkatan I, Oktober 2010): Sukabumi, 8 Februari 2011; 2) Sekolah Ideologi: Semarang 21 Maret 2011. 3) Sekolah Demokrasi Cendekia: Lamongan, 24 - 25 Mei 2011. 4) Workshop Demokrasi dan Nilai-nilai Liberal: Bandung, 21-22 September 2011. 5) Sekolah Politik: Banten, 25 - 26 Ok-tober 2011. 6) School of Democracy: Malang, 12 - 13 November 2011)

Page 10: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 20119

cara Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2011 diselenggarakan di XXI Ballroom Dja-karta Theatre dengan dihadiri lebih dari

500 undangan. Acara yang dihadiri oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini disiarkan langsung oleh TVOne. Ada enam orang yang mendapat Penghargaan Achmad Bakrie dari enam kategori berbeda, yakni Adrian B. Lapian (Pemikiran So-

sial), Satyanegara (Kedokteran), Nh. Dini (Kesusastraan), Jatna Supriatna (Sains), dan F.G. Winarno (Teknologi), Hokky Situngkir (Hadiah Khusus untuk Ilmuwan Muda Berprestasi).

PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE 2011

Page 11: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 10

elama 2011, ada lima diskusi yang diselenggarakan dalam seri ini dengan tema-tema sebagai berikut: (1) Buruh Migran dan Kesejahteraan Bangsa, (2) Pembe

rontakan Arab: Perkembangan Politik di Timur Tengah, (3) Freedom Update: Korupsi dan kebebasan Kita, (4) Kemiskinan: Statistik, Kebijakan, dan Kenyataan, dan (5) Pembangunan Berkelanjutan: Ekonomi Lingkungan dan Ekonomi Ekologis. Diskusi ini menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, seperti Daniel Murdiyarso (Ins titut Pertanian Bogor), Meidyatama Suryadiningrat (The Jakarta Post), Bara Hasibuan (Ketua Partai Amanat Nasional), Roby Mohamad (Fakultas Psikologi UI), Qaris Tadju-din (Wartawan Tempo), Ari P. Perdana (FEUI), Wahyu Susilo (INFID), Budiman Soed-jamiko (anggota DPR-RI PDI-P) dan lain-lain.

DISKUSI EKONOMI POLITIK

Page 12: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201111

eri Diskusi Sastra telah dimulai sejak tahun lalu (2010). Seri diskusi ini mengang-kat pemikiran tokoh-tokoh besar dalam bidang sastra yang telah wafat seperti

Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Untuk tahun 2011, kami mengangkat tiga tokoh seba-gai tema utama, yakni Umar Kayam, YB Mangunwijaya, dan HB Jassin. Seri Diskusi Sastra dipandu oleh Nirwan Dewanto, Associate Freedom Institute, dan diulas oleh sarjana dan sastrawan tanah air terkemuka, seperti Ayu Utami, Bagus Takwin, Kuskrid-ho Ambardi, Yusi Pareanom, dan Agus R Sarjono.

DISKUSI SASTRA

Page 13: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 12

iskusi buku merupakan kegiatan Freedom Institute yang cukup diminati banyak peserta. Selama 2011, kami menyelenggarakan diskusi buku, baik yang diseleng-

garakan di gedung Wisma Proklamasi maupun bekerjasama dengan universitas di Ja-karta. Ada lima buku yang diangkat untuk bahan diskusi dalam seri diskusi ini, yakni karya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow , (The Grand Design), buku Luthfi Assyaukanie, (Ideologi Islam dan Utopia), buku Julie Chernov Hwang, (Umat Bergerak), buku Francis Fukuyama, (The Origins of Political Orders), dan buku terjemahan FA Hayek, (Ancaman Kolektivisme).

DISKUSI BUKU

Page 14: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201113

iskusi terbatas ini merupakan inisiatif dari Sony Karsono, Research Fellow Free-dom Institute yang tengah menyelesaikan program PhD-nya di Ohio State Univer-

sity, Amerika Serikat. Tema yang diangkat dalam forum terbatas ini adalah ”Kelas Mene ngah Orde Baru dan Modernitas”. Diskusi terbatas ini dihadiri sekitar 30 peserta yang sebagian besar adalah para intelektual dan mantan birokrat yang pernah bekerja pada era Soeharto, seperti Harry Tjan Silalahi, M. Dawam Rahardjo, Daniel Dhakidae, Sar-wono Kusumaatmaja, dan lain-lain.

DISKUSI TERBATAS

Page 15: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 14

ejak dimulai tahun lalu, Seri Diskusi Klub Sains terus mengalami peningkatan peminat. Tak kurang 100 orang selalu hadir dalam setiap penyelenggaraan acara

ini. Ada lima tema yang diangkat selama penyelenggaraan seri ini di tahun 2011, yakni (1) Otak dan Peradaban, (2) Otak dan Moralitas, (3) AIDS: Tanggapan Ilmiah vs. Tang-gapan Religius, (4) Meretas Jalan Kompleksitas Indonesia, dan (5) Kompleksitas Bu-daya dan Renesans Indonesia.

KLUB SAINS

Page 16: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201115

egiatan utama Kine Klub adalah pemutaran dan diskusi film yang diselenggara-kan selama dua hari. Ada dua atau tiga film yang diputar yang kemudian dilanjut-

kan dengan diskusi film. Sebagian besar peserta program ini adalah para pengunjung perpustakaan dan mahasiswa yang ikut dalam kelas-kelas Forum Kebebasan. Setiap hari Sabtu minggu terakhir setiap bulan, para peserta Kine Klub juga dihibur dengan suguhan jazz yang diselenggarakan oleh Kelompok Jazz Kemayoran. Pentas jazz ini menampilkan 5 hingga 8 kelompok jazz setiap tampil.

KINE KLUB & FREEDOM JAZZ

Page 17: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 16

uliah umum adalah sebuah forum untuk para intelektual, peneliti dan sarjana sen-ior. Sebagian besar para pembicara dalam kuliah ini adalah para pemenang

Penghargaan Achmad Bakrie. Forum ini dirancang untuk mendengarkan pemaparan yang lebih mendalam tentang suatu penemuan atau pencapaian yang didapat para sarjana tersebut. Selama 2011, forum ini telah menghadirkan 5 pembicara dari berba-gai disiplin ilmu, yakni Jatna Supriatna yang berbicara tentang Asal-Usul Kehidupan, Sangkot Marzuki yang berbicara tentang Asal-Usul Manusia, Daoed Joesoef tentang Asal-Usul Kesadaran, Emil Salim tentang Lingkungan, dan FG Winarno tentang Pangan dan Peradaban.

KULIAH UMUM

Page 18: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201117

1. Penerbitan Judul KerjasamaAncaman Kolektivisme (FA Hayek)

Friedrich Naumann Stiftung

Ideologi Islam dan Utopia (Luthfi Assyau-kanie)Matinya Atheis (Zaim Rofiqi)Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut (AB Lapian) Komunitas Bambu

Sengketa Tiada Putus (Jeffrey Hadler)Sengketa Tiada Putus (Jeffrey Hadler)

Umat Bergerak (Julie Chernov Hwang) PT Newmont Pa-cific Nusantara

2. Diskusi Publik PembicaraSeri Diskusi Ekonomi-politik

Isu Buruh Migran dan Kesejahteraan Bangsa

Wahyu Susilo (Migrant Care), Ari A. Perdana (Staf Wapres), Nirwan Arsuka

Pemberontakan Arab: Perkem-bangan Politik di Timur Tengah (24 Februari 2011)

Qaris Tajudin (Tem-po), Medyatama Suryadiningrat (The Jakarta Post), Ulil Abshar Abdalla

Freedom Update: Korupsi dan ke-bebasan Kita (24 Maret 2011)

Teten Masduki (Transparency International), Kuskridho Ambardi (Lembaga Survei Indonesia), M. Hus-ni Thamrin (FNS)

Kemiskinan: Statis-tik, Kebijakan, dan Kenyataan (28 April 2011)

Ari A. Perdana (Staf Wapres), Vivi Ala-tas (World Bank), Luthfi Assyaukanie, Budiman Soed-jatmiko (anggota DPR-RI PDI-P)

Pembangunan Berkelanjutan: Ekonomi Lingkun-gan dan Ekonomi Ekologis (26 Mei 2011)

Daniel Murdiyarso (Institut Pertanian Bogor), Arianto A. Patunru (FEUI), Nirwan Arsuka

3. Seri Diskusi Sastra

LAMPIRAN IDAFTAR KEGIATAN FREEDOM INSTITUTE

Des 2010 - Nov 2011

Page 19: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 18

Umar Kayam (10 Februari 2011)

Kuskridho Ambari, Yusi Pareanom, Nirwan Dewanto

Romo Mangun (12 Mei 2011)

Ayu Utami, Bonnie Triyana, Nirwan Dewanto

HB Jassin (22 Sep-tember 2011)

Bagus Takwin, Agus Sardjono, Nirwan Dewanto

4. Seri Diskusi Buku

The Grand Design (17 Desember 2010)

Ioanes Rakhmat (Pengamat Sains), Ryu Hasan (Ahli Neurosains), Nir-wan Arsuka

Umat Bergerak (7 Juni 2011)

Julie Chernov-Hwang (Goucher College), Firdaus Syam (UNAS), Ulil Abshar Abdalla

Ideologi Islam dan Utopia (11 Agustus 2011)

Kuskridho Ambardi, Ulil Abshar Abdalla, Saidiman Ahmad (Jaringan Islam Liberal)

The Origins of Political Orders (4 Agustus 2011)

Rizal Mallarangeng, Akhmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla

Ancaman Kolektiv-isme (28 Oktober 2011)

Thee Kian Wie (LIPI), Ulil Abshar Abdalla

5. Seri Diskusi Klub SainsOtak dan Perada-ban (1 Juni 2011)

Ryu Hasan, Nirwan Arsuka

Otak dan Moralitas (20 Juli 2011)

Beni Atmadja (Insti-tut Teknologi Band-ung), Ryu Hasan, Ioanes Rakhmat

AIDS: Tanggapan Ilmiah vs. Tangga-pan Religius (5 Mei 2011)

Guntur Romli (Pengamat Sosial), Ryu Hasan, Nirwan Arsuka

Meretas Jalan Kompleksitas Indo-nesia (14 Septem-ber 2011)

Hokky Situngkir (Bandung Fe In-stitute), Nirwan Arsuka

Kompleksitas Budaya dan Rene-sans Indonesia (19 Oktober 2011)

Hokky Situngkir, I Gde Raka (Institut Teknologi Bandung)

6. Diskusi Terbatas

Page 20: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201119

Kelas Menengah ORBA dan Modernitas (3 Maret 2011)

Sony Karsono, et al.

7. Pelatihan Mahasiswa: AkademiMerdeka.org

Angkatan IV (Green Sentul Indah, 8-9-10 April 2011)

Rizal Mallarangeng, Luthfi Assyaukanie, Nirwan Arsuka, Ulil Abshar Abdalla

Angkatan V (Green Sentul Indah, 24-25-26 Juni 2011)

Luthfi Assyaukanie, Arianto Patunru, Poltak Hotradero, Sophie Quintin Adali

Reuni Angkt. I-V (Green Sentul Indah, 7-8 Oktober 2011)

Luthfi Assyaukanie, M. Husni Thamrin

8. Replikasi AkademiMerdeka.org di Daerah

- Sekolah Ekonomi Politik [angk 2] (Su-kabumi, 8 Februari 2011)

Nirwan A. Arsuka, M. Husni Thamrin, Hidayat

- Sekolah Ideologi (Semarang 21 Maret 2011)

Ulil Abshar Ab-alla, Purwanto, S.Ip.,MA, M. Husni Thamrin, Hidayat

- Sekolah Demokrasi Cendekia (Lamon-gan, 24 - 25 Mei 2011)

Luthfi Assyaukanie, M. Husni Thamrin, Hidayat

- Workshop Demokrasi dan Nilai-nilai Liberal (Bandung 21-22 September 2011)

Ulil Abshar Abdalla, Dr. Ir. Juniarso Ridwan, MH, H. Ayi Vivananda, SH, M. Husni Thamrin, Hidayat

- Workshop (Sekolah Politik), (Banten 25 - 26 Oktober 2011)

Nirwan A. Arsuka, Gandung Ismanto, M. Husni Thamrin, Hidayat

- School of Democracy (Malang, 12 - 13 November 2011)

Ulil Abshar Aballa, M. Husni Thamrin, Hidayat

9. Forum KebebasanPengantar umum (11 Mei 2011) Luthfi AssyaukanieKesetaraan dan Keadilan (24 Mei 2011) Nirwan ArsukaToleransi dan Pluralisme (18 Mei 2011) Luthfi AssyaukanieKebebasan Berusaha dan Tatanan Spon-tan (17 Juni 2011) Nirwan Arsuka

Page 21: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 20

Masyarakat Sipil dan Demokrasi (10 Mei 2011) Luthfi Assyaukanie

Kedaulatan Hukum (14 Juni 2011) Nirwan ArsukaKeadilan Distributive (31 Mei 2011) Luthfi Assyaukanie

10. Kine Klub, Diskusi Film, dan Pertunjukan Freedom JazzThe Wall (Alan Parker, 1982), (1-2 De-sember 2010) Nirwan Arsuka, Ulil

Abshar AbdallaThe Chorus (Christophe Barratier, 2004)The Italian (Andrei Kravchuk, 2007)

Saras Dewi, Nirwan Arsuka

The Road Home (Yimous Zhang, 1999), (21 Februari 2011)The English Patient (Anthony Minghella, 1996)Wings of Desire (Wim Wenders, 1987)A Short Film About Killing (Krzysztof Kieslowski, 1988), (16 Maret 2011) Natalia Laskowska

Qatsi Trilogy (Godfrey Reggio, 1988), (13-21 April 2011) Yani Saloh, Re-

vitriyoso Husodo, Nirwan ArsukaHome (Yann Arthus-Bertrand, 2009)

Film Dokumenter tentang PapuaMusik dan Kebebasan (Komunitas Jazz Kemayoran), (22 Juni 2011)

Beben Jazz dkkThe Glenn Miller Story (Anthony Mann, 1954) Musik dan Kebebasan (Saras Dewi), (19-20 Mei 2011)

11. Kuliah UmumJatna Supriatna: Asal-Usul Kehidupan di Bumi (11 November 2010)Sangkot Marzuki: Asal-Usul Manusia (20 Januari 2011)Daoed Joesoef: Asal-Usul Kesadaran Manusia (17 Februari 2011)Emil Salim: Ekonomi Ekologi (21 April 2011)FG Winarno: Pangan dan Peradaban (6 Oktober 2011)12. Sponsorship komunitasFreedom Jazz (lihat Kine Klub)

Diskusi Peluncuran Buku Penghancuran PKI (dengan Komunitas Bambu)

Pelatihan Wartawan “KabarJakarta.com”13. Naskah buku belum terbit (terjemahan maupun karya asli)

The Discoverers (Daniel Boorstin)

Liberalism: In A Classical Tradition (Ludwig von Mises)History of Philosophy (Will Durant)Sejarah Berhitung (Dali S. Naga)Lives Examined (James Miller)

Page 22: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201121

13. PerpustakaanData buku, pengunjung, layananDiskusi buku “Membaca Kembali Peringatan F.A. Hayek” (bersama Ioanes Rakh-mat)

Page 23: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 22

Page 24: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201123

LAMPIRAN IILaporan Kegiatan di website

Page 25: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 24

embaca bahasa Indonesia akhirnya dapat menikmati terjemahan The

Road to Serfdom karya Friedrich A. Hayek (1899-1992), dengan judul Ancaman Kolektivisme. Buku termasyur Hayek yang pertama kali terbit pada 1944 ini memper-ingatkan bahaya perencanaan terpusat demi keadilan sosial dan pemerataan ekonomi ala sosialisme.

D i s k u s i buku ini di W i s m a Proklama-si pada Kamis, 28 O k t o b e r lalu mem-bahas se-jauh mana k a r y a Hayek ini masih rel-evan un-

tuk publik Indonesia. Pembicara dalam diskusi ini: sejarawan ekonomi Thee Kian Wie (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indone-sia) dan intelektual Islam Ulil Abshar Ab-dalla (Direktur Program Freedom Insti-tute). Moderator diskusi: Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni lokakarya lib-eralisme dasar Akademi Merdeka. Jumlah peserta sekitar 100 orang.

Thee dan Ulil menilai buku Hayek ini tetap relevan untuk pembaca Indonesia, terutama karena masih sering disalahpa-

haminya paham liberalisme di Indonesia. Bahkan para pendukung paham ini sering dinistakan sebagai antek kapitalisme, bah-kan anti-Islam, demikian menurut mereka.

Menurut Thee, sebagai pendekar kebeba-san individu, Hayek secara efektif menun-jukkan mengapa dan bagaimana sosial-isme membuka jalan ke fasisme. Hayek mendiskusikan naiknya Nazisme di Jer-man dan Fasisme Mussolini di Italia pada 1920an hingga 1930an, suatu fenomena yang menurut pengamatan Hayek tam-paknya sedang berulang di Inggris pada masa itu. Waktu itu, kaum intelijensia Ing-gris gencar mendorong intervensi pemer-intah ke pasar lewat kebijakan perenca-naan ekonomi terpusat untuk mewujudkan cita-cita pembangunan ekonomi yang leb-ih merata dan berkeadilan sosial.

Hayek berpandangan bahwa perenca-naan terpusat boleh jadi efektif di masa-masa perang, saat masyarakat disatukan oleh nilai kebersamaan dalam menghada-pi musuh yang mengacam; mereka juga bisa memaklumi ketika sebagian kebeba-san mereka dikorbankan pemerintah demi mengalahkan musuh. Namun, kebijakan demikian jelas tidak jalan di dalam sistem politik demokratis pada masa damai. Ala-sannya: pasti akan terjadi ketidaksamaan nilai yang mengakitbatkan perbendaan pandangan di kalangan para politisi ten-tang bagaimana “rencana terpusat” itu mesti dijalankan. Perbedaan semacam ini akan berujung pada deliberasi yang tak

Ancaman Kolektivisme, terjemahan The Road to Serfdom F.A. Hayek

Page 26: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201125

habis-habisnya di parlemen.

Akibatnya kemudian, lanjut Hayek, terjadi suasana ketidakpastian politik, membu-ruknya keadaan ekonomi, meningkatnya ketidaksabaran massa akan pemenuhan tuntutan keadilan sosial seperti yang se-belumnya disuarakan kaum sosialis (yang kemudian ragu-ragu terhadap jalan otori-terisme untuk mewujudkan “rencana”). Lalu: Tuntutan terhadap “pemimpin kuat” muncul, seiring nyaringnya populisme ekstrem baik dari politisi Kanan (nasion-alis-chauvinis) maupun Kiri (komunis) dan menyatunya kalangan massa lugu berpendidikan rendah membentuk partai bersama para politisi populis itu, merebut kekuasaan (secara demokratis maupun tidak) dan kemudian memberangus kebe-basan dan bahkan nyawa jutaan manusia. Itulah jalan kekuasaan Nazisme di Jerman dan Fasisme di Italia, seperti yang ditun-jukkan oleh Hayek.

Menurut Thee, kaum pengkritik “neo-lib-eralisme” di Indonesia mesti membaca peringatan Hayek ini agar mereka bisa menangkap bagaimana esensi kebeba-san individu liberalisme terancam hilang jika ekonomi bebas dan kompetitif yang sudah berlaku sekarang diberangus dan diganti dengan ekonomi perencanaan ter-pusat, walaupun cita-cita mulianya adalah kesejahteraan bersama.

Karya Hayek ini, menurut Thee, memang dipengaruhi oleh pengalaman dia hidup di dua dunia yang memiliki kecenderungan serupa: Di Austria di mana dia berhada-pan langsung dengan eksperimen Na-zisme yang sedang naik daun di Jerman

saat itu, dan Inggris di mana dia men-yaksikan maraknya suasana “kolektivis-tik” yang mendorong intervensi pemerin-tah dan perencanaan terpusat. Munurut Thee, situasi seperti dialami oleh Hayek pada tahun 20an dan 30an sudah tak ada lagi saat ini. Tetapi, bagi Thee, peringatan Hayek akan jebakan kolektivisme tetap relevan untuk terus didengar.

Sementara itu, Ulil menyoroti pandan-gan Hayek tentang betapa tidak kompati-belnya paham kolektivis dan sistem politik demokratis.

Untuk konteks Indonesia, Ulil mengingat-kan bagaimana sebenarnya ada kesa-maan cita-cita antara liberalisme, sosial-isme dan Islamisme, yakni keadilan dan kesejahteraan. Yang berbeda adalah cara yang ditempuh. Jika liberalisme percaya dengan pasar bebas dan kompetitif serta penjaminan kebebasan individu, maka sosialisme maupun Islamisme mengingin-kan kolektivisme dan pemberangusan hak kepemilikan pribadi. Beda dengan liber-alisme, sosialisme dan Islamisme hanya bersedia menempuh jalan demokratis demi merebut kekuasaan dan lalu mem-berangus demokrasi itu.

Paham demokrasi ala sosialis dan Islamis seperti itulah yang dalam perkembangan ilmu politik setelah Hayek dikenal seba-gai one-stop democracy (one man, one vote, one time), suatu pandangan yang tampaknya dianut oleh kaum Islamis sep-erti Ikhwanul Muslimin dan Hizbuth Tharir. Menurut Ulil, Islamisme – seperti sosial-isme – hidup di alam demokrasi yang melindungi kebebasan individu (dalam

Page 27: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 26

hal ini kebebasan politik mereka) namun memperjuangkan agenda-agenda yang dengan atau tanpa sadar akan mem-berangus kebebasan individu itu.

Buku Hayek ini, demikian tandas Ulil, se-cara cergas menunjukkan keunggulan sistem ekonomi bebas, yang menyedia-kan sarana bagi individu untuk menyalur-kan energi kreatif mereka tanpa terlalu

mengandalkan pemerintah yang “meren-canakan” itu untuk mereka. Satu-satunya perencanaan yang diharapkan Hayek dari pemerintah adalah menciptakan kondisi-kondisi yang cocok (lewat kedaulatan hu-kum) bagi berlangsung sistem ekonomi bebas dan kompetitif, demikian Ulil. (*)

Page 28: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201127

Bagaimana manusia bisa hidup bersama dan berbagi kesejahteraan dengan jutaan bahkan milyaran manusia lainnya di dunia ini? Apa prasyarat kehadiran tatanan politik yang memungkinkan pertumbuhan dan penyebaran kesejahteraan itu, dan bagaimana tatanan politik itu berevolusi dari organisasi politik primitif masyarakat awal manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini mengiang di ruang serbaguna Wisma Proklamasi Freedom Institute di awal Ramadhan, 4 Agustus 2011. Buku baru Francis Fukuyama, The Origin of Political Order (April 2011) dibahas oleh Akhmad Sahal dan Rizal Mallarangeng dalam diskusi yang dipimpin oleh moderator Ulil Abshar Abdala dan dihadiri oleh sekitar 120 peserta.

Akhmad Sahal mula-mula menyinggung latar lalu meringkas buku Fukuyama itu. Sahal menggarisbawahi dua pertanyaan pokok buku itu. Pertama, mengapa ada sebagian masyarakat bisa mencapai demokrasi dan pada saat yang sama mampu merawat tata politik yang stabil, sementara masyarakat yang lain tidak? Dan apakah demokrasi bisa beradaptasi berhadapan dengan tantangan-tantangan baru?

Bagi Fukuyama, demokrasi modern baru bisa tumbuh kalau mempunyai tiga unsur ini: negara kuat, rule of law, dan pemerintahan yang akuntabel. Masalahnya, dalam sejarah peradaban manusia, tiga hal tersebut tidak selalu

ada bersama, dan sering kali terpisah satu sama lain. Baru di Inggris mulai abad 16-an tiga unsur tersebut hadir bersama-sama, dan saling menguatkan.

Penjelasan atas hal tersebut di atas dilakukan Fukuyama dengan melacak sejarah asal muasal pembentukan masyarakat dan negara. Manusia, menurut Fukuyama, sejak awalnya selalu punya hasrat untuk mengorganisir diri ke dalam kelompok. Masalahnya, pengelompokan yang terjadi pada periode purba cenderung berdasarkan ikatan/solidaritas sempit, seperti ikatan kekerabatan. Kriteria “kita” dan “mereka” juga ditentukan dengan prinsip ini. Inilah yang oleh Fukuyama disebut sebagai tyranny of cousins.

Untuk mengatasi kekakuan tyranny of cousins maka diperlukanlah negara yang kuat (otoritas politik yang sentralistik). Cina memang punya tradisi panjang membangun negara kuat. Problemnya, negara yang dikembangkan oleh dinasti-dinasti kerajaan Cina terlalu menekankan negara kuat tapi tak ada kedaulatan hukum, sementara di India dan Timur Tengah, kedaulatan hukum berkembang tapi sonder negara kuat.

Inggris jadi istimewa karena proses transformasi sosial historis yang dipicu oleh glorious revolution, hubungan yang unik antara raja, bangsawan dan rakyat bawah, pemikiran agama dan politik yang ada, memungkinkan negara yang

Evolusi Tatanan Politik

Page 29: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 28

kuat, rule of law dan pemerintahan yang akuntabel bisa berjalan seiring dan saling menguatkan. Akhmad Sahal juga mengatakan bahwa buku baru Fukuyama ini, selain diilhami oleh karya Samuel Huntington, juga banyak dipengaruhi oleh gurunya yang lain, Alexander Kojeve. Dalam pandangan Fukuyama, motor penggerak sejarah manusia bukanlah sekedar naluri dan dorongan material melainkan, mengutip tafsir Kojeve atas dialektika Hegel, hasrat akan pengakuan (desire for recognition). Dalam sejarah, mula-mula muncullah the First Man, sekelompok orang yang bertarung untuk mendapatkan pengakuan tersebut dengan cara memperbudak sekelompok orang lain.Tapi dalam perkembangannya, kaum budak dan kalangan bawah yang punya hasrat akan pengakuan, juga tak henti-henti berjuang untuk mendapatkan pengakuan juga. Perjuangan mereka akhirnya berhasil dengan munculnya demokrasi. Singkat kata, demokrasi adalah semacam universalisasi desire for recognition yang bisa dinikmati semua orang.

Sahal selanjutnya menyatakan, Kojeve membaca dan menafsirkan dialektika Hegel sebagai suatu proses yang akan berhenti di suatu titik puncak, yakni demokrasi liberal. Hal yang sama juga terjadi pada Fukuyama. Masalahnya, Fukuyama banyak mengacu pada teori evolusi Darwin untuk memperkuat kisahnya, meski dia juga mengakui ada perbedaan antara evolusi alam dengan evolusi institusi politik. Ini menarik, karena Darwin justru menampik adanya telos

(terminal akhir) dalam proses evolusi. Lalu kenapa evolusi institusi politik mesti secara deterministik mengarah pada satu titik, yakni demokrasi liberal dengan tiga pilarnya: negara kuat, rule of law, dan accountable government?”

Pembicara kedua, Rizal Mallarangeng, dengan menarik mengangkat pembahasan buku Fukuyama ini ke langit perbandingan pencapaian besar teori-teori sosial politik, sekaligus membumikannya dengan mengaitkannya pada konteks Indonesia. Rizal menilai Fukuyama berhasil mensintesakan ilmu pengetahuan modern, khususnya biologi evolusioner ke dalam kerangka filsafat pemikiran ekonomi-politik dan sosiologi modern untuk membaca kesejarahan evolusi pengaturan masyarajat. Rizal pun menunjukkan betapa tepat telaah Fukuyama untuk dipakai melihat sejarah modern Indonesia yang bergulat untuk membangun negara kuat dan rule of law sebelum sampai pada pemerintah yang akuntabel.

Rizal juga menggarisbawahi pertanyaan Fukuyama, kenapa ada pencapaian hebat dalam pembangunan sistem politik di sekian banyak negeri demokratis modern, namun banyak juga negeri gagal tanpa tata pemerintahan yang berfungsi baik di sebagian wilayah Asia dan Afrika di zaman ini? Adakah masa depan demokrasi liberal semakin bisa dipastikan untuk berkembang baik dan sintas dengan berkaca dan belajar dari sejarah panjang pengaturan masyarakat modern?

Dalam pandangan Fukuyama, jawaban

Page 30: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201129

atas semua pertanyaan di atas harus dicari dalam awal-mula terbentuknya pengaturan masyarakat ke dalam lembaga yang disebut negara. Fukuyama menegaskan bahwa perkembangan trinitas Negara kuat tersebut harus dibaca secara sekuensial, demikian disampaikan Rizal, yang sepakat dengan pandangan Fukuyama bahwa tanpa Negara, tidaklah orang bisa mendiskusikan perlunya ketertundukan Negara terhadap hukum, demikian pula tanpa kedaulatan hukum seperti itu, tak ada pula pemerintah yang akan bertanggung-jawab kepada rakyatnya.

Kaum liberal, demikian Rizal, tidak perlu berpikir romantis bahwa nilai-nilai pencerahan seperti keutamaan individualisme, toleransi, kebebasan sipil dan politik, kebebasan ekonomi dan sebagainya, haruslah lebih dulu disemai sebagai prakondisi bagi tegaknya demokrasi liberal. Pandangan demikian barulah relevan jika kekuasaan negara sudah terlebih dulu diperkuat, karena kebebasan yang harus diperjuangkan bukanlah kebebasan satu atau dua kelompok orang saja namun 230 juta orang, untuk mengambil contoh Indonesia. Pernyataan Rizal ini ia keluarkan untuk menanggapi komentar Ulil Abshar Abdalla bahwa pandangan Fukuyama cenderung bertentangan dengan libertarianisme yang lebih menitikberatkan pada pentingnya nilai-nilai kebebasan individu sebagai yang mengawali perumusan tentang cakupan negara.

Yang jelas, tanpa negara kuat, kebebasan individu tak bisa dipertahankan, demikian

penegasan Rizal. Inilah pandangan yang disintesakan oleh Fukuyama dari penelusurannya atas sejarah munculnya negara pertama di Cina (namun masih tanpa kedaulatan hukum dan akuntabilitas), dan kedaulatan hukum (namun tanpa Negara dan akuntabilitas) di India dan Turki. Faktor kebetulan sejarah semata di Inggris, demikian Fukuyama, menyatukan untuk pertama kalinya trinitas negara kuat ini. Inilah yang kemudian berkembang di negeri Barat hingga kini dan tampaknya paling bertahan. Inilah sistem pengaturan masyarakat manusia yang, setidaknya hingga saat ini, paling mampu mengendalikan dua sifat dasar manusia yang lebih mementingkan diri sendiri dan keluarga (nepotisme) sekaligus melembagakan kecenderungan alamiah lain seperti altruisme dan resiprokalitas, sifat-sifat yang secara meyakinkan telah terungkap dari berbagai studi mutakhir biologis evolusioner.

Dalam sesi tanya jawab, Nirwan Arsuka melontarkan dua pertanyaan menarik: pertama, kalau dalam The End of History Fukuyama menandaskan bahwa motor sejarah pada level individu adalah hasrat akan pengakuan, maka apa motor sejarah pada level organisme sosial? Kedua, jika evolusi Darwinian di ranah biologis telah menghasilkan kehidupan dan keanekaragaman hayati yang begitu menakjubkan, maka apa yang mungkin akan muncul dari evolusi di ranah sosial politik yang dikaji Fukuyama itu? Rizal, dan terutama Sahal, berharap semoga pertanyaan ini akan dijawab Fukuyama dalam karyanya yang akan datang. (*)

Page 31: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 30

Hubungan negara dan agama merupakan isu yang cukup tua di Indonesia. Pada setiap pembahasan mengenai hubungan negara dan agama, biasanya dua kubu selalu diperhadapkan. Di satu kubu berdiri kaum agama yang diandaikan sepenuhnya menolak ide pemisahan agama dan negara. Sementara ada kubu di seberangnya yang memiliki pandangan berbeda.

Diskusi Freedom Institute, 11 Agustus 2011, mencoba mengekplorasi perdebatan di kalangan kaum agama (Islam) sendiri mengenai isu hubungan negara dan agama, khususnya negara Islam. Diskusi ini sendiri membahas satu buku baru yang ditulis oleh Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia.” Buku tersebut awalnya adalah disertasi penulis yang diajukan di Universitas Melbourne. Hadir dalam diskusi ini dua orang narasumber: Kuskrido Ambardi (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia) dan Ulil Abshar-Abdalla (Direktur Freedom Institute).

Ulil mengakui bahwa buku tersebut sangat baik menerangkan perkembangan pemikiran di kalangan tokoh-tokoh sentral Islam di Indonesia pasca kemerdekaan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab oleh Luthfi adalah kenapa pada tahun lima puluhan para pengusung Islam politik sangat besar (43% pada Pemilu 1955), tapi empat puluhan tahun kemudian menurun

drastis (14% pada Pemilu 1999)?Ulil memulai pemaparan dengan memberi pembedaan antara “tipologi” dan “model.” Bagi Ulil, yang dicari dalam “tipologi” adalah ilusi. Sementara sasaran “model” adalah “utopia.” Buku karya Luthfi itu sedang berusaha menjelaskan tiga utopia mengenai negara Islam dan demokrasi yang berkembang dalam pemikiran tokoh-tokoh Islam Indonesia.

Utopia pertama muncul dari kalangan pengusung negara Islam. Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh yang bergabung dalam Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Mereka antara lain adalah M. Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Mohamad Roem, Abu Hanifah, Hamka, dan Muhammad Rasjidi. Luthfi Assyaukanie menyebut utopia model ini sebagai Negara Demokrasi Islam (NDI).

Meski kelompok pertama ini mengusung gagasan negara Islam, tapi negara yang mereka bayangkan sebagai model bukanlah Pakistan, Iran, apalagi Arab Saudi, melainkan Belanda, Swedia atau Inggris. Kelompok ini secara cerdik mengemukakan sejumlah argumen yang menyatakan bahwa gagasan negara Islam tidak sama sekali bertentangan dengan demokrasi. Kenyataannya, para pendukung model ini adalah mereka yang juga sangat getol mendukung demokrasi ketika demokrasi terancam oleh kediktatoran rezim Soekarno dan ancaman totalitarianisme komunis.

Kemenangan Argumen

Page 32: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201131

Utopia kedua adalah Negara Demokrasi Agama (NDA). Kelompok ini didukung oleh tokoh-tokoh semacam Amin Rais, Syafi’i Ma’arif, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Sahal Mahfudz, Ali Yafie, Achmad Siddiq, Munawir Syadzali, dan Adi Sasono. Kelompok ini memiliki pandangan yang lebih terbuka dibanding kelompok pertama. Mereka tidak mendukung pendirian negara Islam, sebagaimana yang diusung kelompok pertama. Tapi mereka memperjuangkan pemberian hak yang sama bagi semua agama untuk memberi inspirasi bagi negara. Sebagaimana kelompok pertama, mereka juga menolak konsep pemisahan negara dan agama. Itulah sebabnya mereka menganggap tidak ada persoalan dengan UU yang bersifat keagamaan.

Utopia ketiga adalah Negara Demokrasi Liberal (NDL). Model ini terutama diusung oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, dan Harun Nasution. Kelompok ini secara tegas mendukung gagasan sekularisme. Bagi mereka, negara adalah institusi rasional yang juga harus dikelola dengan menggunakan kalkulasi rasional.

Meski utopia ketiga semakin meninggalkan gagasan negara Islam, tapi justru kelompok inilah yang memiliki argumentasi yang lebih mengakar pada tradisi Islam. Para tokoh pendukungnya adalah sarjana-sarjana Muslim yang paling serius. Mereka memiliki semua perangkat keilmuan Islam. Tapi pada saat yang sama mereka juga menguasai khazanah intelektual Barat.

Yang menarik bahwa meski ketiga utopia ini memiliki pandangan yang berbeda dalam hal hubungan negara dan agama, tapi ketiganya adalah pendukung demokrasi. Ulil menggarisbawahi bahwa bahkan tokoh-tokoh Masyumi (model I) pun merupakan pendukung demokrasi. Kelompok ini tidak bisa dibandingkan dengan HTI (pengusung negara Islam kini). “Jauh,” tegas Ulil.

Pada diskusi kali ini, Dodi Ambardi lebih banyak memberi masukan dan kritik terhadap doktrin negara Islam. Menurut Dodi, salah satu kelemahan fatal pengusung negara Islam adalah bahwa mereka gagal menempatkan warga non-Muslim setara dengan warga Muslim. Bentuk negara seperti itu pastilah diskriminatif, dan itu menyalahi semangat negara modern.

Nirwan Ahmad Arsuka, dalam sesi komentar, memberi semacam kesimpulan dalam bentuk pertanyaan mengenai kemungkinan teori evolusi diterapkan dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Ulil mengamini pendapat Nirwan tersebut. Sebetulnya Luthfi Assyaukanie, melalui bukunya, sedang mencoba memotret perjalanan evolusi pemikiran Islam Indonesia di tangan tokoh-tokoh utamanya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam evolusi tersebut adalah bentuk nyata dari kemenangan argumen. Argumen-argumen barulah yang menjadikan pengusung negara Islam semakin terdesak ke pinggir. (*)

Page 33: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 32

Freedom Institute bersama Pusat Studi Kompleksitas Sosial di Indonesia: Bandung Fe Institute mengadakan diskusi serial yang membedah ke-Indonesia-an dalam perspektif ilmu-ilmu kompleksitas sosial. Diskusi serial ini direncanakan akan berlangsung sebulan sekali. Diskusi pertama telah dimulai pada hari Rabu, 14 September 2011 yang lalu, dengan mengetengahkan Direktur Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir, sebagai pembawa diskusi yang dimoderatori oleh Nirwan A. Arsuka. Dalam diskusi bertema “Menuju Wawasan Kompleksitas untuk Memahami Narasi Kompleksitas Negeri” tersebut diketengahkan berbagai fondasi dasar trans-disiplin yang menjadi latar belakang teoretis dan empiris ilmu-ilmu kompleksitas.

Diskusi dimulai dengan mengjak peserta diskusi untuk mendalami sebuah perdebatan dua filsuf kenamaan, yakni Richard Rorty yang berlatar belakang pemikiran posmodernisme, dan Daniel Dennett yang berlatar belakang ilmu hayat. Keduanya ditunjukkan memperdebatkan ikhwal metafora, yang merupakan fundamen atas apapun risalah observasional umat manusia atas semesta alam dan sosialnya. Hal ini yang kemudian dikontraskan dengan pandangan sistemik dari teori chaos, sebuah teori yang menghebohkan pada dekade 1980-an yang merupakan latar belakang utama dari kajian kompleksitas.

Dari kajian yang disampaikan oleh Hokky Situngkir, ditunjukkan beberapa butir kajian dasar yang menjadi tolok pemikiran utama kajian kompleksitas sosial, antara lain: Hal sederhana dapat menghasilkan keadaan yang sangat kompleks: “chaos tak mesti dihasilkan dari keadaan chaotik”.

Kehidupan semesta alam dan sosial pada dasarnya berada pada keadaan antara: simpel dan chaos (kacau balau dan serba kebetulan absolut). Hidup bukanlah hal yang sifatnya kebetulan, karena pada dasarnya terdapat pola-pola sederhana yang dapat diobservasi dengan tradisi ilmu pengetahuan warisan abad pencerahan. Secara sistemik, justru hal-hal sederhana, deterministik, dan sebagainya justru dapat melahirkan berbagai hal (dalam proses iteratif) yang sifatnya tak pasti, penuh kejutan, dan seolah-olah acak/random.

Pengukuran yang mutlak akurat itu tak mungkin.

Akurasi merupakan hal yang mustahil mengingat begitu banyaknya ketidakpastian dalam sistem, baik sistem alamiah maupun sosial. Ini yang memberikan perspektif baru akan kesadaran sains dan matematika akan batasan-batasannya sebagai produk budaya manusia. Pada akhirnya, sains mesti “mengalah” pada skalabilitas dalam berbagai pengukuran yang dilakukannya

Meretas jalan Wawasan Kompleksitas Indonesia

Page 34: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201133

atas berbagai penerapan metodologi ilmiah.

Kegagalan pengetahuan akan suatu fenomena kompleks bukan semata-mata karena informasi yang kurang banyak, melainkan suatu karakteristik inheren dari sistem kompleks itu sendiri.Ini merupakan akibat dari dua proposisi sebelumnya, bahwa banyaknya hal yang tak kita ketahui akan sistem alam dan sosial, bukan semata-mata karena kita kurang informasi atas sistem alam dan sosial tersebut, melainkan disebabkan karakteristik sistem chaotik alam dan sosial yang “tidak mengizinkan” kita untuk secara deterministik memahami determinisme dari sistem tersebut.

Interaksi elemen-elemen sistem merupakan sumber utama kompleksitas sistem.

Yang menjadi biang keladi dari ketakpastian sistemik alam dan sosial adalah interaksi yang terjadi di antara elemen-elemen penyusunnya. Dengan memasukkan karakteristik interaksionisme inter-elemen sistem, begitu banyak perspektif modern sebagai warisan zeitgeist abad pencerahan mesti diubah. Kajian interdisiplinaritas dalam observasi dan penerapan metode ilmiah merupakan salah satu langkahnya.

Keadaan katastropik, krisis, terjadi oleh adanya aspek akumulasi secara endogen (self-organized criticallity)

Apa yang kita alami dan observasi sebagai keadaan katastropik, misalnya: krisis ekonomi dan sosial, konflik sosial, dan sebagainya, pada umumnya terjadi oleh karena akumulasi secara endogen dari sistem sosial tersebut. Keserakahan yang memupuk terus-menerus dalam sistem kapitalistik berbuah menjadi krisis ekonomi, konflik sosial yang pecah hingga pergantian rezim politik secara paksa terjadi oleh akumulasi kesulitan hidup yang dialami oleh individu-individu sosial. Ini merupakan karakteristik sistem alam dan sosial yang senantiasa bersifat self-referential yang memungkinkannya melakukan “pengaturan diri sendiri dalam keadaan kritikal”.

Cara sistem kompleks ber-adaptasi adalah melalui proses optimisasi apa yang terbaik dalam keterbatasan dalam horizon elemen-elemennya.

Di level individual dan elementer, usaha mikro-struktural untuk mencapai keadaan optimum merupakan cara sistem kompleks beradaptasi dan ber-evolusi. Pola dapat dikenali secara mikro, namun secara makro, akan dibrojolkan (emerge) pola makro yang seringkali (seolah) tak berhubungan dengan apa yang terjadi pada level deskripsi yang mikro.

Prediksi itu tak mungkin. Yang bisa dilakukan adalah mendeteksi awal (precursors) menuju sebuah keadaan.

Wawasan kompleksitas memberikan keinsyafan bahwa prediksi merupakan hal yang “terlarang” dalam sistem

Page 35: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 34

kompleks yang penuh ketakpastian. Namun dengan implementasi metodologis yang baik, prediksi dapat dilakukan dengan memperhatikan dan mendeteksi precursors (gejala-gejala awal) akan sebuah keadaan sistemik.

Diskusi dilakukan dengan memberi kesempatan seluasnya kepada para peserta diskusi yang berjumlah sekitar 70 orang untuk membenturkan butir-butir yang mendasari perspektif kompleksitas tersebut dengan pengalaman-pengalaman personal para peserta diskusi. Adalah menarik, mendengarkan berbagai pendapat di sesi komentar dan tanya jawab, di antaranya dari Ulil Abshar Abdala yang menunjukkan bagaimana perspektif

kompleksitas memberikan penjelasan atas berbagai keunikan fenomenologis yang dialami dalam aktivitasnya di bidang kajian agama. Arif Mas Wijaya, periset cytogenetic biomolekuler di Tokyo, yang juga akan jadi pembicara pada diskusi seri neurosains, membagi pengalaman dan pengetahuannya yang menjabarkan sekian kompleksitas di ranah biologi molekuler dan evolusi.

Moderator kemudian menutup diskusi pertama ini dengan menggaris bawahi kesadaran baru pengetahuan ilmiah yang kian tahu batas-batasnya, tapi yang justru membuat pengetahuan itu tumbuh makin kokoh. (*)

Page 36: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201135

Pengetahuan untuk menumbuhkan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat miskin sekaligus juga mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup sebenarnya sudah ada. Yang seringkali menjadi masalah dalam realitas kehidupan bermasyarakat adalah absennya kepemimpinan yang cerdas dan berani mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan itu. Politik kompromi yang lebih nyaman ditempuh, seringkali menghasilkan rentetan tindakan populis yang segera menyenangkan masyarakat luas tapi yang justru bisa bersifat kontraproduktif di masa depan. Kebijakan dan tindakan populis itu tak jarang membawa pembangunan ekonomi ke jalan yang tidak menyejahterakan sekaligus merusak daya dukung lingkungan hidup. Karena terlalu terikat pada tuntutan berjangka pendek, kebijakan itu bisa mengorbankan dan merampas pilihan dari generasi yang akan datang untuk menikmati tanahair bumi mereka. Demikianlah setidaknya garis besar pemikiran yang disampaikan oleh ekonom Arianto A. Patunru dan ahli kehutanan Daniel Murdiyarso ketika berdiskusi dengan sekitar 70 mahasiswa dan kaum muda komunitas Freedom Institute pada Kamis, 26 Mei lalu di Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta.

Menurut Arianto, pengetahuan ekonom sejak 20 tahun terakhir telah mengembangkan apa yang dikenal sebagai kerangka pembangunan

ekonomi ramah lingkungan (green economy framework). Jika sebelumnya pembangunan ekonomi awal selalu diasosiasikan dengan penurunan kualitas lingkungan (environment Kuznet Curve), perkembangan masyarakat kini, menurut Ketua Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi FEUI ini, telah memungkinkan koordinasi antar- maupun intra-negara untuk setidaknya meminimalkan efek negatif pembangunan ekonomi ini. Meskipun pelaksanaannya masih jauh dari sempurna, Arianto mencontohkan mekanisme kerjasama REDD (kemudian REDD+).

Contoh terbaru koordinasi ini adalah antara pemerintah Indonesia dan Norwegia, yang baru-baru ini telah melahirkan keputusan penundaan pembukaan hutan Indonesia, yang kemudian dibahas lebih jauh oleh Daniel. Di dalam negeri, pimpinan politik sebenarnya bisa menggalakkan kerjasama antar daerah, melalui berbagai pilihan kebijakan pertukaran yang saling menguntungkan. Arianto menyebutkan, antara lain, mekanisme PES (Payment for Environmental Services) yang bisa diterapkan di Jakarta dan wilayah di sekitarnya untuk bekerjasama menuntaskan masalah banjir, kemacetan, polusi udara, dll. Pada tingkat nasional pun kebijakan penerapan perhitungan PDB maupun APBN ramah lingkungan sebenarnya bisa ditempuh. Ini adalah kebijakan strategis yang ampuh untuk memasukkan perhitungan kelestarian

Pembangunan Berkelanjutan: Tipisnya Kehendak Politik

Page 37: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 36

lingkungan hidup (silakan ikuti ppt dan video AAP untuk detail perhitungan PDB dan APBN ini).

Keberanian pimpinan politik, dalam hal Indonesia kita Presiden SBY, juga dituntut untuk meniadakan subsidi BBM, kata Arianto. Kebijakan populis subsidi hanya menyimpan bom waktu. Menurut data yang dihimpun Arianto, kebijakan subsidi BBM ini tidak menguntungkan rakyat miskin, bahkan menghilangkan kesempatan pertumbuhan ekonomi yang bisa mereka nikmati jika alokasi subsidi tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur Indonesia yang sangat tertinggal dibandingkan dengan negeri-negeri tetangga.

Persoalan keberanian pimpinan politik nasional juga menjadi catatan Daniel Murdiyarso, yang dalam presentasinya mendiskusikan kelemahan keputusan politik Presiden SBY terkait dengan moratorium pembukaan hutan. Meskipun patut disambut positif, keputusan yang hampir setahun terlambat sejak ditandatanganinya komitmen REDD+ dengan pemerintah Norwegia, namun efektivitas Inpres 10/2011 sangat bisa dipertanyakan. Meskipun masih perlu dilihat apakah evaluasi pada November nanti akan semakin memperjelas luasan dan tetapan lahan hutan yang akan terlindungi lewat Inpres ini, menurut Daniel, Inpres ini mengalihkan pimpinan koordinasi pelaksanaan Inpres ke Kementerian Kehutanan yang selama ini belum terbukti efektif mengelolah kehutanan Indonesia secara berkelanjutan. Di samping itu, terang Daniel, masih banyak terdapat

kelemahan lain dari Inpres ini. Kelemahan itu antara lain berupa tidak jelasnya definisi hutan “primer” yang hendak dilindungi, banyaknya instansi negara yang terlibat namun tidak mencakup Kementerian Pertambangan dan Sumber Daya Alam maupun Kementerian Pertanian, tidak diaturnya mekanisme pertukaran lahan atau swapping jika ternyata lahan yang dikecualikan mengandung karbon tinggi, dll.

Daniel, demikian pula Arianto, yakin bahwa pimpinan nasional, terutama Presiden SBY, punya kesempatan berbuat lebih banyak untuk meletakkan jalur pembangunan ekonomi Indonesia menjadi lebih berkelanjutan. Namun waktu itu semakin pendek, apalagi tahun depan, secara politik sangat tidak menguntungkan lagi untuk membuat kebijakan yang tidak populis, sepakat kedua pembicara.

Diskusi juga menanggapi beberapa pertanyaan peserta tentang perlunya perubahan mindset masyarakat. Pandangan yang perlu diubah itu antara lain yang menyangkut posisi manusia yang meletakkan dirinya lebih tinggi dari alam, tentang subsidi yang sebenarnya merugikan masyarakat dalam jangka panjang, dan tentang kebijakan reboisasi yang bisa menyesatkan. Menurut Daniel, kebijakan penanaman tunas pohon ini sangat disenangi pengambil kebijakan karena bisa diliput media secara besar-besaran, padahal kebijakan pelestarian hutan yang ada sebenarnya lebih mudah dikerjakan dan lebih bermanfaat ketimbang penanaman kembali hutan yang sudah terlanjur rusak itu.

Page 38: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201137

Nirwan Arsuka dalam kesimpulannya kembali menyitir pernyataan Emil Salim dalam Kuliah Umum sebelumnya di Freedom Institute. Ia menandaskan perlunya penguatan masyarakat sipil untuk menekan dan menuntut para pengambil kebijakan untuk menggerakkan pembangunan ekonomi ke arah yang berkelanjutan. Karena cakrawalanya yang sempit, yang hanya terentang paling jauh lima tahun ke depan, para politisi pada umumnya memang tak dapat diharapkan untuk melepaskan kepentingan kelompoknya sendiri, dan

mendorong kebijakan yang mengabdi pada kepentingan masyarakat luas dan generasi yang akan datang. Hanya tekanan sistematis dari masyarakat sipil yang terdidik dan berjaringan luas, yang bisa membuat para politisi itu tergerak menautkan pertumbuhan ekonomi yang mengangkat mutu hidup masyarakat luas dengan pengelolaan lingkungan yang menjaga mutu sistem pendukung kehidupan Planet Bumi. (*)

Page 39: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 38

Diskusi seri ke-2 Kompleksitas yang diselenggarakan Freedom Institute dan Bandung Fe Institute, mengambil tema “Kompleksitas Budaya dan Renesans Indonesia”. Diskusi yang dipimpin oleh moderator Nirwan A. Arsuka ini diawali dengan pemaparan bertajuk “Menjelaskan Kemajuan/Kekuatan Bangsa-bangsa” oleh I Gde Raka, seorang guru budaya dan manajemen inovasi yang pernah menjabat Kepala Pusat Penelitian Teknologi Institut Teknologi Bandung, dilanjutkan dengan paparan berjudul “Dari Kompleksitas Budaya Tradisi Ke Renesans Indonesia” oleh Hokky Situngkir, Presiden Bandung Fe Institute.

Dalam pemaparannya, I Gde Raka menyoroti perspektif yang sangat sederhana dari Jared Diamond (berdasarkan bukunya yang berjudul “Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies,” terbit tahun 1997), bagaimana bangsa-bangsa Eropa bisa maju dan menaklukkan Amerika dan Australia oleh dukungan (kebetulan, accidental) dari biogeografi yang cocok dengan pola domestikasi yang dilakukan, yang pada gilirannya memungkinkan perkembangan teknologi dan politiknya. Dalam buku itu, sebagaimana disoroti oleh I Gde Raka, Diamond menunjukkan bahwasanya “penaklukan” Eropa atas Amerika dan Australia semata-mata tak dikarenakan oleh dukungan gen mereka, namun juga oleh germs (kuman, penyakit) mereka (dalam hal ini cacar).

Paparan ini dikaitkan pula dengan pandangan Eduard Spranger tentang dimensi-dimensi nilai pada suatu masyarakat: dimensi teoretis (terkait pencarian nilai kebenaran), dimensi ekonomi (terkait nilai kegunaan), dimensi estetis (terkait nilai atas bentuk dan harmoni), dimensi sosial (terkait nilai berlandas kasih sayang pada orang lain), dimensi politik (terkait nilai kekuasaan), dan dimensi keagamaan (nilai totalitas spiritual). Menurut I Gde Raka, kita perlu melakukan “pemetaan “ keenam dimensi ini dalam melihat kehidupan masyarakat kita relatif dengan bangsa-bangsa lain, sebelum kita pada akhirnya bisa mencapai rumusan akan kebangkitan budaya bangsa, atau “renesans” sebagaimana dibawakan sebagai tajuk diskusi. Yang jelas, mengutip Lawrence E. Harrison, bagi I Gde Raka, “underdevelopment is a state of mind”.

Pemaparan ini disambut oleh Hokky Situngkir dengan menunjuk pada 3 titik yang mungkin seolah tak berhubungan, namun jika kita mampu menggambarkan sebuah bangun atas ketiga titik tersebut, maka renesans bukanlah hal yang mustahil. Titik pertama, yang disoroti adalah keadaan krisis epistemologis dalam perjalanan kesejarahan kecendekiaan Eropa. Di sini ditunjukkan secara sekilas bagaimana peradaban Eropa yang mendominasi dunia ini sebenarnya berjalan “tertatih-tatih” dalam evolusinya. Ia beberapa kali tergelincir bahkan semenjak

Komplektisitas Budaya dan Renesans Indonesia

Page 40: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201139

zaman Yunani Kuno (terkait geometri, aritmatika, aljabar, dan numerologi) yang di-revive pada masa Renesans di Eropa dan menjadi titik tolak kehidupan modernisme dunia, hingga berujung pada berbagai “krisis cendekia” akan kemunculan berbagai “pemberontakan” dalam kehidupan posmodernitas kekinian. Sorotan akan ketaklengkapan aritmatika (Kurt Godel, 1931), mekanika kuantum (Werner Heissenberg, 1927), hingga perspektif sosial (Lyotard, 1979) dan kemunculan era seni populer industrial (misalnya Andy Warhol, 1970-an), kesemuanya merupakan titik-titik yang terkait secara tak langsung sebagai tantangan terhadap modernitas yang berakar pada filsafat helenisme.

Titik kedua, adalah tendensi pergerakan ilmu-ilmu pengetahuan dari cara pandang mono-disipliner warisan abad pencerahan menjadi perspektif kompleks yang interdisiplin. Hokky Situngkir menyoroti perkembangan ilmu-ilmu yang mulai melihat tiap elemen observasi (baik alam maupun sosial) sebagai hal yang tak pernah sepenuhnya independen, sebagaimana di-“ideal”-kan oleh ilmu-ilmu warisan abad pencerahan. Kritik generalisasi gerak acak yang berpijak pada normalitas data “ditantang” dengan kenyataan bahwa parameter-parameter statistika normal perlu ditinjau ulang terkait temuan empiris akan sebaran statistik data-data.

Titik ketiga,perkembangan antara matematika mutakhir, dalam hal ini

geometri fraktal, sebagai bentuk apresiasi baru atas berbagai warisan kebudayaan Indonesia, misalnya batik, candi, dan sebagainya. Penemuan geometri fraktal pada desain batik tradisional Indonesia merupakan sebuah titik temu yang menarik antara “yang barat” dan “yang timur”, harmoni antara yang modern dengan yang tradisional, yang seringkali justru dipertentangkan satu sama lain. Hal ini ditambah pula dengan kenyataan faktual akan kekayaan kultural yang dimiliki orang –orang di kepulauan Indonesia sebagai salah satu negeri di mana kemajemukan budaya sebagai salah satu yang tertinggi di dunia.

Dalam pemaparannya, Hokky Situngkir menunjukkan bahwa “menggambar tiga neksus” tersebut merupakan sebuah peluang akan kebangkitan budaya Indonesia, bahkan “Renesans Indonesia” atau “Renesans Asia” dengan menilik pada tahapan-tahapan umum yang biasanya dialami banyak negara maju. Tahapan-tahapan tersebut adalah revitalisasi budaya, restrukturisasi sistem pendidikan, bangkitnya budaya baru, revolusi sains, restrukturisasi politik, dan kemudian transformasi sosial dan ekonomi yang menyebabkan pada akhirnya, mereka dikenal sebagai “negara maju”.

Pada kesempatan itu pula, Hokky menunjukkan inisiatif pengumpulan data budaya ala Wikipedia di situs partisipatif ensiklopedia terbuka Budaya Indonesia:http://www.budaya-indonesia.org/ yang dibangun dengan keprihatinan bahwa sekian tahun Indonesia merdeka, belum pernah ada pencatatan yang

Page 41: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 40

komprehensif dan menjadi portal terpusat data-data kebudayaan tradisional Indonesia. Ironis, mengingat kepulauan Indonesia menyimpan sejuta potensi budaya tradisi yang menjadi satu elemen yang memungkinkan terwujudnya “Renesans Indonesia”. Diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab seputar pemaparan kedua narasumber. Kebanyakan peserta diskusi membenturkan peluang besar kebangkitan Indonesia tersebut dengan kenyataan umum Indonesia, baik di kemasyarakatan maupun birokrasi politik yang menjadi tontonan sehari-hari, yang penuh kesemrawutan dan perlu pembenahan di sana-sini. Setidaknya, benturan-benturan

impian akan kebangkitan budaya Indonesia dan Asia ini diharapkan dapat menjadi pemicu yang bermanfaat tatkala kita mulai lagi memperbaiki struktur dan kultural sosial kemasyarakatan kita, tahap demi tahap, pelan tapi pasti.

Yang jelas, pemaparan kedua narasumber, terutama Hokky Situngkir, menunjukkan betapa memang kaya negeri Indonesia ini, dan kekayaannya itu bukan hanya mampu menguntungkan dirinya sendiri tapi juga bisa menguntungkan seluruh dunia. (*)

Page 42: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201141

Pengetahuan untuk menumbuhkan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat miskin sekaligus juga mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup sebenarnya sudah ada. Yang seringkali menjadi masalah dalam realitas kehidupan bermasyarakat adalah absennya kepemimpinan yang cerdas dan berani mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan itu. Politik kompromi yang lebih nyaman ditempuh, seringkali menghasilkan rentetan tindakan populis yang segera menyenangkan masyarakat luas tapi yang justru bisa bersifat kontraproduktif di masa depan. Kebijakan dan tindakan populis itu tak jarang membawa pembangunan ekonomi ke jalan yang tidak menyejahterakan sekaligus merusak daya dukung lingkungan hidup. Karena terlalu terikat pada tuntutan berjangka pendek, kebijakan itu bisa mengorbankan dan merampas pilihan dari generasi yang akan datang untuk menikmati tanahair bumi mereka. Demikianlah setidaknya garis besar pemikiran yang disampaikan oleh ekonom Arianto A. Patunru dan ahli kehutanan Daniel Murdiyarso ketika berdiskusi dengan sekitar 70 mahasiswa dan kaum muda komunitas Freedom Institute pada Kamis, 26 Mei lalu di Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta. Menurut Arianto, pengetahuan ekonom sejak 20 tahun terakhir telah mengembangkan apa yang dikenal sebagai kerangka pembangunan

ekonomi ramah lingkungan (green economy framework). Jika sebelumnya pembangunan ekonomi awal selalu diasosiasikan dengan penurunan kualitas lingkungan (environment Kuznet Curve), perkembangan masyarakat kini, menurut Ketua Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi FEUI ini, telah memungkinkan koordinasi antar- maupun intra-negara untuk setidaknya meminimalkan efek negatif pembangunan ekonomi ini. Meskipun pelaksanaannya masih jauh dari sempurna, Arianto mencontohkan mekanisme kerjasama REDD (kemudian REDD+). Contoh terbaru koordinasi ini adalah antara pemerintah Indonesia dan Norwegia, yang baru-baru ini telah melahirkan keputusan penundaan pembukaan hutan Indonesia, yang kemudian dibahas lebih jauh oleh Daniel. Di dalam negeri, pimpinan politik sebenarnya bisa menggalakkan kerjasama antar daerah, melalui berbagai pilihan kebijakan pertukaran yang saling menguntungkan. Arianto menyebutkan, antara lain, mekanisme PES (Payment for Environmental Services) yang bisa diterapkan di Jakarta dan wilayah di sekitarnya untuk bekerjasama menuntaskan masalah banjir, kemacetan, polusi udara, dll. Pada tingkat nasional pun kebijakan penerapan perhitungan PDB maupun APBN ramah lingkungan sebenarnya bisa ditempuh. Ini adalah kebijakan strategis yang ampuh untuk memasukkan

Pembangunan Berkelanjutan: Tipisnya Tekad Politik

Page 43: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 42

perhitungan kelestarian lingkungan hidup (silakan ikuti ppt dan video AAP untuk detail perhitungan PDB dan APBN ini). Keberanian pimpinan politik, dalam hal Indonesia kita Presiden SBY, juga dituntut untuk meniadakan subsidi BBM, kata Arianto. Kebijakan populis subsidi hanya menyimpan bom waktu. Menurut data yang dihimpun Arianto, kebijakan subsidi BBM ini tidak menguntungkan rakyat miskin, bahkan menghilangkan kesempatan pertumbuhan ekonomi yang bisa mereka nikmati jika alokasi subsidi tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur Indonesia yang sangat tertinggal dibandingkan dengan negeri-negeri tetangga. Persoalan keberanian pimpinan politik nasional juga menjadi catatan Daniel Murdiyarso, yang dalam presentasinya mendiskusikan kelemahan keputusan politik Presiden SBY terkait dengan moratorium pembukaan hutan. Meskipun patut disambut positif, keputusan yang hampir setahun terlambat sejak ditandatanganinya komitmen REDD+ dengan pemerintah Norwegia, namun efektivitas Inpres 10/2011 sangat bisa dipertanyakan. Meskipun masih perlu dilihat apakah evaluasi pada November nanti akan semakin memperjelas luasan dan tetapan lahan hutan yang akan terlindungi lewat Inpres ini, menurut Daniel, Inpres ini mengalihkan pimpinan koordinasi pelaksanaan Inpres ke Kementerian Kehutanan yang selama ini belum terbukti efektif mengelolah kehutanan Indonesia secara berkelanjutan. Di samping itu, terang Daniel, masih banyak terdapat

kelemahan lain dari Inpres ini. Kelemahan itu antara lain berupa tidak jelasnya definisi hutan “primer” yang hendak dilindungi, banyaknya instansi negara yang terlibat namun tidak mencakup Kementerian Pertambangan dan Sumber Daya Alam maupun Kementerian Pertanian, tidak diaturnya mekanisme pertukaran lahan atau swapping jika ternyata lahan yang dikecualikan mengandung karbon tinggi, dll. Daniel, demikian pula Arianto, yakin bahwa pimpinan nasional, terutama Presiden SBY, punya kesempatan berbuat lebih banyak untuk meletakkan jalur pembangunan ekonomi Indonesia menjadi lebih berkelanjutan. Namun waktu itu semakin pendek, apalagi tahun depan, secara politik sangat tidak menguntungkan lagi untuk membuat kebijakan yang tidak populis, sepakat kedua pembicara. Diskusi juga menanggapi beberapa pertanyaan peserta tentang perlunya perubahan mindset masyarakat. Pandangan yang perlu diubah itu antara lain yang menyangkut posisi manusia yang meletakkan dirinya lebih tinggi dari alam, tentang subsidi yang sebenarnya merugikan masyarakat dalam jangka panjang, dan tentang kebijakan reboisasi yang bisa menyesatkan. Menurut Daniel, kebijakan penanaman tunas pohon ini sangat disenangi pengambil kebijakan karena bisa diliput media secara besar-besaran, padahal kebijakan pelestarian hutan yang ada sebenarnya lebih mudah dikerjakan dan lebih bermanfaat ketimbang penanaman kembali hutan yang sudah terlanjur rusak itu.

Page 44: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201143

Nirwan Arsuka dalam kesimpulannya kembali menyitir pernyataan Emil Salim dalam Kuliah Umum sebelumnya di Freedom Institute. Ia menandaskan perlunya penguatan masyarakat sipil untuk menekan dan menuntut para pengambil kebijakan untuk menggerakkan pembangunan ekonomi ke arah yang berkelanjutan. Karena cakrawalanya yang sempit, yang hanya terentang paling jauh lima tahun ke depan, para politisi pada umumnya memang tak dapat diharapkan untuk melepaskan kepentingan kelompoknya sendiri, dan

mendorong kebijakan yang mengabdi pada kepentingan masyarakat luas dan generasi yang akan datang. Hanya tekanan sistematis dari masyarakat sipil yang terdidik dan berjaringan luas, yang bisa membuat para politisi itu tergerak menautkan pertumbuhan ekonomi yang mengangkat mutu hidup masyarakat luas dengan pengelolaan lingkungan yang menjaga mutu sistem pendukung kehidupan Planet Bumi. (*)

Page 45: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 44

Freedom Institute bersama komunitas pemerhati sains modern telah mengadakan sebuah diskusi tentang pencapaian modern dalam studi otak manusia beberapa minggu yang lalu. Sejalan dengan filsafat liberalisme klasik yang mendasarkan argumennya pada temuan-temuan ilmiah yang mencoba memahami manusia dan upayanya mengorganisasikan diri dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, diskusi ini dibayangkan sebagai peretas bagi terbentuknya komunitas Indonesia yang lebih berpikiran rasional dan terbuka terhadap beragam pemikiran maupun perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir. Temuan-temuan ilmiah itu seringkali berbenturan dengan prasangka, paham, bahkan tatanan yang dominan saat ini, yang semuanya menghambat gerak maju perkembangan manusia. Seri diskusi pertama, dimulai Rabu 1 Juni 2011, diawali dengan diskusi tentang otak manusia menurut riset dan temuan-temuan terbaru di bidang neurosains. Otak, ditunjukkan lewat presentasi pakar neurosains Roslan Yusni Hasan, didudukkan sebagai faktor penentu pembentuk peradaban manusia. Tanpa otak yang telah berevolusi cukup jauh, tak akan ada peradaban. Tanpa otak yang bekerja untuk keperluan survival manusia, maka tidak akan ada Tuhan, apalagi agama, yang memang cukup efektif untuk mendukung survivabilitas manusia pada kurun waktu dan keadaan

sejarah yang silam. Konsep agama dan Tuhan, sampai batas tertentu telah membantu leluhur manusia untuk bekerjasama menghadapi keadaan yang buruk sehingga bisa lestari menghadapi seleksi alam. Namun kini, banyak hal yang diajarkan agama-agama, yang justeru tegak menghambat perkembangan manusia menuju tingkat yang lebih baik. Agama-agama, dalam posisi seperti ini, menjadi sesuatu yang dengan sistematis menampik tujuan besarnya sendiri. Ryu Hasan yang juga terlibat dalam tim penelitian tentang telemorase (bagian dari gen penentu panjang umur organisme) di Tokyo University ini memaparkan serangkaian penelitian mutakhir untuk mendukung argumen tentang keterkaitan kerja otak dan kelahiran serta perkembangan agama itu. Ryu yang tumbuh dalam keluarga ulama muslim itu berbicara agak banyak tentang agama islam yang dikenalnya dengan cukup rinci itu. Video dan audio Ryu dapat didapatkan di website ini. Diskusi yang dihadiri sekitar 100 orang dan berlangsung hampir tiga jam ini akan dilanjutkan lagi dalam diskusi selanjutnya yang akan dilaksanakan secara berkala. Tentatif tema diskusi adalah sebagai berikuit: 1.Otak dan Moralitas 2.Otak, Gender, dan Identitas - identitas Lainnya 3. Evolusi dan Watak Manusia: Kasus Nusantara

Klub Sains: Otak dan Peradaban

Page 46: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201145

4. Otak dan Kemungkinan-kemungkinan Masa Depan Manusia

Tema-tema yang akan dibahas itu akan disorot dengan perspektif neurosains dan evolusi biologi. Moderator diskusi yang juga koordinator Klub Sains Freedom Institute, Nirwan Arsuka, menginformasikan bahwa selain diskusi umum yang dilaksanakan setiap bulan, klub sains juga akan mengadakan serangkaian lokakarya di mana peminat yang terpilih akan berkesempatan mendalami lebih lanjut diskusi sejenis ini secara intensif dan santai. Lokakarya ini akan mencoba merangkum berbagai spektrum pembicaraan tentang sains, tentang perubahan pandangan dunia yang disebabkan oleh temuan-temuan terbaru terutama di berbagai bidang Ilmu-

ilmu alam (physical sciences) dan Ilmu-ilmu kehidupan (life sciences). Dengan diskusi terbuka dan lokakarya berkala itu diharapkan akan berkembang jaringan komunitas epistemis yang berpikir dinamis dan anti-dogma, sejalan dengan watak dan pencapaian ilmu pengetahuan modern yang, mengutip filosof Ernst Cassirer, merupakan langkah terakhir dalam perkembangan mental manusia dan boleh dianggap sebagai pencapaian tertinggi dan paling karakteristik dalam kebudayaan manusia. Harapan klub sains ini, pada dasarnya, adalah penerusan dari semangat inti agama dan filsafat yang hendak mendekati kebenaran, menyisihkan kesalahan, dan merayakan kehidupan. (*)

Page 47: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 46

Seri ke-2 dari diskusi Sain Klub Freedom Institute melanjutkan diskusi seri pertama dengan pokok bahasan neurosains. Diskusi yang diadakan pada 20 juli 2011 ini mengangkat topik peranan otak dalam membentuk pola moralitas pada tiap individu manusia. Moral selama ini lebih sering dianggap sebagai keadaan yang dibentuk oleh lingkungan dan merupakan hal yang sepenuhnya bisa dikendalikan secara rasional lewat pendidikan dalam berbagai bentuknya. Pengetahuan tentang proses terbentuknya sistem moral dalam diri seseorang menjadi sangat penting karena ini akan berimplikasi dalam menyikapi sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat secara lebih rasional. Pembicara dalam diskusi ini adalah dr. Beny Atmadja SpBS, seorang ahli bedah saraf dan noeurosaintis yang tinggal di Bandung. Beny Atmadja membuka presentasinya dengan mengetengahkan pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf dan otak manusia sejak awal kehidupannya hingga saat otak seseorang mencapai fungsi maksimalnya.

Tidak ketinggalan dijelaskan juga proses evolusioner terbentuknya otak beserta sistem-sistem dan sirkuit-sirkuitnya, di mana otak manusia telah mengalami proses evolusi sehingga beberapa fungsi sistemnya berkembang bagus, sementara ada juga fungsi yang tidak berkembang karena memang tidak

terlalu dibutuhkan. Sebagai contohnya fungsi penglihatan manusia berkembang bagus sementara fungsi penciumannya tidak sebagus pada anjing. Hal ini terjadi karena selama proses evolusi otak manusia, seleksi alam lebih memilih manusia dengan sistem penglihatan yang berkembang bagus. Sementara seleksi alam lebih berpihak kepada anjing dengan penciuman yang tajam ketimbang yang penciumannya kurang berkembang baik. Sudut pandang genetika juga diajukan untuk menjelaskan bagaimana gen-gen dalam kromosom barperan besar dalam terbentuknya berbagai macam kecenderungan perilaku manusia. Secara umum perilaku semua spesies didorong dan diarahkan oleh kerja dopamine dalam berbagai sirkuit di otaknya. Tapi hanya pada primata saja yang secara evolusioner berkembang sirkuit moral di otaknya. Tak ada binatang lain yang mengenal konsep moralitas selain primata. Konsep moralitas yang timbul pada otak primata ini merupakan hasil dari kerja korteks orbitofrontal yg secara evolusioner berkembang baik. Kerja sirkuit ini mendorong individu primata untuk melakukan tindakan-tindakan altruistik, tindakan yang secara umum dianggap sebagai tindakan yang baik. Sirkuit moral di otak primata ini bertentangan secara langsung dengan sirkuit pahala di nucleus accumbent. Pertentangan antara kedua sirkuit ini terjadi setiap saat secara dinamis, kecenderungan individu untuk melakukan

Klub Sains: Otak dan Moralitas

Page 48: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201147

tindakan “bermoral” berbanding lurus dengan apakah sirkuit moral lebih dominan ketimbang sirkuit pahala di otaknya. Lebih jauh Beny menjelaskan bagaimana sitem-sistem di dalam otak manusia bekerja melalui berbagai macam sirkuit-sirkuit perilaku yang saling berhubungan satu dengan yang lain secara rumit. Secara garis besar manusia mengambil keputusan dan melakukan tindakan berdasarkan kerja otak emosional dan otak rasionalnya. Namun demikian, sirkuit moral di otak ternyata bekerja bukan berdasar rasionalitas semata tapi didorong juga oleh otak emosional. Alih-alih ditimbang secara jernih dan obyektif oleh rasionalitas, keputusan moral ternyata lebih mirip dengan selera estetika yang cenderung subyektif itu. Pada saat kita melihat sebuah lukisan tertentu, mungkin seketika itu juga kita bisa merasakan daya tarik lukisan itu, yang tentu saja sangat subyektif. Dan kalau kita ditanya mengapa kita menganggap lukisan itu menarik, maka kita baru mencari-cari alasannya. Demikian juga keputusan moral di otak: alasan mengapa tindakan itu baik atau tidak, cenderung baru dicari belakangan. Dalam sesi tanya jawab, lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan baru yang disinggung, yang ternyata berbeda dengan anggapan umum bahwa moralitas adalah keputusan yang sepenuhnya rasional. Dalam sudut pandang neurosains yang dibangun dari berbagai penelitian empiris, pengambilan keputusan moral ternyata berbeda dari konsep yang dilontarkan oleh para filsuf mulai dari Plato, Leibniz, Descrate atau Kant. Para filsuf ini menganggap

bahwa moral sepenuhnya terbebas dari perasaan dan emosi, bahwa berbuat baik adalah konsekwensi dari bertindak logis dan bahwa amoralitas adalah merupakan hasil pemikiran yang tidak logis. Menurut hasil riset neurosains, sebenarnya tidak ada proses yg dikendalikan oleh otak rasional dalam pengambilan keputusan-keputusan moral. Semuanya ada dalam kendali otak emosional. Konsep moralitas dalam kelompok primata pun berbeda-beda tingkatannya pada tiap spesies, sesuai dengan perkembangan evolusi otaknya, dan manusia ternyata bukanlah yang paling altruistik dibanding primata-primata lain. Pada otak bonobo, sirkuit moral berkembang jauh lebih dominan sehingga dalam masyarakat bonobo hampir tidak dikenal kekerasan. Solidaritas yang diperlihatkan bonobo tampak juga pada pada simpanze, tapi simpanze masih sering melakukan penyerangan – bahkan penyerangan yang mematikan - kepada kelompok simpanze lain. Penyerangan mematikan ini tidak pernah teramati pada masyarakat bonobo. Bahkan kecenderungan masyarakat bonobo menghindari konflik bisa begitu besar sehingga mereka bisa melakukan tindakan yang tampak tidak alami. Jika, misalnya, terjadi ketidakseimbangan populasi jantan dan betina, maka agar tidak terjadi perkelahian karena perebutan pasangan dalam kelompoknya, beberapa bonobo memilih untuk melakukan homoseksualitas. Untuk mendapatkan pasangan, yang mungkin juga hanya sekedar pasangan tambahan saja, manusia bukan saja sanggup untuk berdusta dan berkhianat.

Page 49: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 48

Demi pasangan sexual, manusia bahkan sanggup menumpahkan darah dan mengobarkan perang yang memusnahkan nyawa banyak manusia, sebagaimana yang terekam dalam sejumlah catatan sejarah dan dalam banyak karya sastra yang dianggap agung. Untuk menunjukkan peran otak yang sangat penting dalam menentukan perilaku manusia, moderator Ryu Hasan yang juga seorang ahli bedah saraf, bercerita tentang seorang mahasiswi Jepang yang prestasi akademiknya sangat cemerlang dan perilaku moralnya cukup terpuji. Suatu saat, mahasiswi teladan ini mengalami pertumbuhan tumor di otaknya. Prestasi akademiknya menurun dan tindak-tanduk seksualnya menjadi liar tanpa kendali. Meski demikian, pengujian psikiatris yang dikenakan padanya menunjukkan bahwa ia tetap mengetahui hal-hal yang dianggap benar dan tidak benar. Ketika tumor kecil di otaknya berhasil diangkat, si mahasiswi kembali menunjukkan

prestasi akademik yang cemerlang dan perilaku sosial yang menggembirakan. Diskusi yang dihadiri oleh sekitar 90 peserta ini berjalan dinamis dan variasi pertanyaan yang diajukan juga sangat beragam. Salah satu pernyataan yang menarik sejumlah tanggapan adalah bahwa moralitas bukanlah apa-apa yang diajarkan oleh para pendahulu, tetapi apa yang diturunkan secara genetik, dan itu mengatur kecenderungan seseorang untuk menjadi bermoral atau amoral. Diskusi dinamis ini akan dilanjutkan pada diskusi neurosains seri ketiga pada Jumat 19 Agustus, dengan pembicara Ryu Hasan dan Jalalludin Rakhmat, seorang ahli psikologi komunikasi yang juga seorang pengamat perkembangan sains modern. Diskusi ini akan didahului dengan buka puasa bersama dan akan berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00. Terbuka untuk umum dan gratis. (*)

Page 50: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201149

Ahli bedah saraf, Dr Ryu Hasan, dan pakar teologi yang beralih menjadi pemerhati perkembangan ilmu, Dr Ioanes Rakhmat, bergabung kembali sebagai pembicara di forum diskusi umum Freedom Institute (10/3) yang dipimpin oleh moderator Nirwan A. Arsuka. Diskusi bertajuk “Merayakan Kekekalan Manusia” ini sedikit banyak merupakan kelanjutan dari diskusi sebelumnya (16/12/2010) yang membahas buku “The Grand Design” karya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow.

Ryu Hasan mengawali pembahasannya dengan meninjau evolusi genetik makhluk hidup. Sambil menandaskan bahwa genom adalah sebuah kitab, ia memaparkan proses penyalinan informasi dalam kitab itu yang memungkinkan genom menjadi abadi meskipun wahana penyebarannya, yakni makhluk hidup seperti manusia, terpaksa mengalami kematian. Riset-riset yang mendalam atas genom itu, di mana Ryu juga terlibat di dalamnya, kini memungkinkan manusia untuk membuat proses penyalinan informasi itu bukan saja mengekalkan sang genom tapi juga memperpanjang usia wahanyanya. Usia manusia pun, secara teoretik, menjadi mungkin direntang hingga seribu tahun lebih.

Pembahasan Ioanes Rakhmat ditujukan pada kemungkinan menuju kekekalan peradaban species-species cerdas dalam jagat raya. Dengan mendasarkan diri

pada pemikiran Michio Kaku dan Nicolai Kardashev, ia menguraikan tingkat-tingkat peradaban manusia berdasarkan konsumsi dan ekspolitasi energinya. Sebuah peradaban hipotesis yang penguasaanya terhadap ilmu fisika telah berkembang sangat maju, dibayangkan dapat memainkan hukum-hukum fisika itu sehingga dapat mempengaruhi dinamika planet, galaksi, bahkan alam semesta itu sendiri. Paparan ditutup dengan mengutip perhitungan Alan Guth mengenai jumlah energi yang dibutuhkan menciptakan suatu jagat raya bayi di dalam laboratorium.

Sesi tanya jawab yang meraih karena dihadiri oleh lebih dari 100 peserta itu, diisi antara lain tentang perkembangan riset pemanjangan usia pada makhluk-makhluk tingkat tinggi seperti primata. Meskipun proses terbaru penyalinan informasi genetik dan pemanjangan usia manusia relatif telah terbebas dari problem etik, namun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah proses pemanjangan usia itu dilakukan, sejauh ini belum juga diketahui. Masalah tentang belum diketahuinya efek biologis dan sosial dari pemanjangan usia manusia, karena memang belum pernah dicoba dan diriset, itu telah memancing berbagai tanggapan. Namun, ilmu pengetahuan tumbuh justeru karena adanya masalah. Yang jelas, fakta bahwa manusia sudah dapat memperpanjang usia jenis mamalia tertentu di laboratorium, dan kemungkinan teoretik peradaban manusia

Merayakan Kekekalan Manusia

Page 51: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 50

untuk mengintervensi usia alam semesta, telah mendorong pemikiran ulang yang mendalam mengenai banyak hal yang selama ini membentuk hidup ummat manusia.

Diskusi ditutup oleh Nirwan A Arsuka dengan penandasan untuk melihat perkembangan-perkembangan radikal

yang membuat pengekalan manusia bukan saja sesuatu yang mungkin, tapi juga sesuatu yang berharga dan karena itu layak disongsong bahkan dirayakan. (*)

Page 52: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201151

Di petang 16 Maret 2011, Kine Klub Proklamasi yang merupakan bagian dari Perpustakaan Umum Freedom Institute, menyelenggarakan diskusi salah satu karya sutradara besar Polandia, Krzysztof Kieslowski. Natalia Laskowska, mahasiswi program doktor Universitas Warsawa, tampil sebagai pembicara. Diskusi bertajuk “Kieslowski dan Hukuman Mati” ini, diawali dengan pemutaran film“A Short Film About Killing” yang berdurasi 84 menit, hal yang membuat seorang peserta diskusi berkomentar bahwa mungkin inilah film pendek yang paling panjang di dunia. Diskusi yang dihadiri tak terlalu banyak peserta namun berlangsung cukup intens ini, dipimpin oleh Nirwan A. Arsuka. Natalia mula-mula menyinggung sejarah sinematik“A Short Film About Killing”. Film ini berasal dari salah satu rangkaian seri TV berjudul “The Decalogue” yang mengambil ilham dari Sepuluh Perintah Tuhan. Karena Kieslowski mulanya adalah pembuat film dokumenter, Natalia pun menyinggung asas-asas mazhab dokumenter Polandia. Salah satu asas itu adalah tanggungjawab pembuat film terhadap pribadi yang digambarkan, yang tak boleh dihadirkan secara sangat rinci, diblejeti sampai tingkat menjijikkan. Itu sebabnya citraan di film ini tampak lebih banyak menyaran, tak langsung. Asas yang amat penting namun bisa sangat membatasi ini, membuat Kieslowski meninggalkan film dokumenter dan sepenuhnya menggarap film fiksi. Natalia juga memberi konteks

sosial politik yang melatari pembuatan film itu. Ia menyebutkan tentang hukuman mati yang kerap dipakai oleh rejim otoriter komunis untuk menumpas para pembangkang. Ia menyinggung kuasa dan pengetahuan yang dulu melahirkan kamp-kamp konsentrasi di Jerman dan Polandia. Natalia menutup pengantarnya dengan dua hal. Yang pertama tentang fakta munculnya aspirasi sebagian warga Polandia untuk memberlakukan kembali hukuman mati, dan kemustahilan untuk mengabulkan aspirasi itu karena berbagai hal termasuk pertautan Polandia dengan Uni Eropa yang melarang hukuman mati. Yang kedua berupa penegasan keberuntungan Kieslowski dalam membuat film karena adanya bakat menonjol para sinematografer yang bisa menerjemahkan visi sinematik Kieslowski. Sesi tanya jawab yang berjalan lumayan seru itu diisi antara lain oleh tanggapan mengenai pilihan warna kuning yang sengaja dibuat dominan dalam film. Dibicarakan juga mengenai stuktur simetris film yang terdiri dari dua babak ini. Simetri itu mempertajam sekian persamaan absurd antara pembunuhan yang dilakukan oleh seorang narapidana dengan yang dilakukan oleh Negara. Paradoks tentang menurunnya mutu karya artistik justeru ketika rejim otoriter runtuh dan kebebasan berekspresi beroleh angin, sebagaimana yang juga terjadi pada film-film Polandia, sempat pula dibicarakan. Perbandingan antara film-film tentang hukuman mati

Kieslowski dan Hukuman Mati

Page 53: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 52

juga muncul, melengkapi perbandingan struktur formal antar film. TrilogiThree Colors, misalnya, sempat dibandingkan sekilas dengan trilogi Amores Perros, 21 Grams, dan Babel, dari Alejandro Gonzales Inarritu. Menjelang akhir, diskusi diwarnai pembicaraan tentang keberuntungan lain Kieslowski berupa dukungan setia seorang komposer cemerlang yakni Zbigniew Preisner. Diskusi yang dihadiri antara lain oleh Hasif Amini, Ulil Abshar Abdalla, dan sejumlah peserta yang kebetulan juga membuat film

itu, berlangsung sekitar dua jam. Sambil menegaskan lagi ketakterdugaan hidup manusia yang membuat hukuman mati jadi problematik, moderator Nirwan A. Arsuka menutup diskusi dengan sebuah ajakan. Ia menawarkan kepada para peserta diskusi yang juga pembuat film itu untuk sekali waktu mendiskusikan karya-karya mereka di Kine Klub Proklamasi 41. (*)

Page 54: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201153

Di minggu ketiga Februari 2011, tanggal 21 dan 22, Kine Klub Proklamasi menayangkan dan mendiskusikan film-film bertema cinta. Atmosfir Valentine Day dan status Kine Klub Proklamasi sebagai bagian dari Perpustakaan Umum Freedom Institute yang pengunjungnya sebagaian besar muda-mudi itu, ikut mempengaruhi program diskusi film ini. Saras Dewi, penyanyi dan penulis fiksi sekaligus pengajar filsafat pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, meramaikan diskusi sebagai pembicara. Moderator Nirwan A. Arsuka membuka diskusi dengan menyingung sekilas tiga film yang sudah ditayangkan sebelumnya. Tiga film tersebut masing-masing adalah The English Patient (Anthony Minghella, 1996, 162 menit) yang diangkat dari novel berjudul sama karya Michael Ondaatje. Film kedua adalah Wings of Desire (Wim Wenders, 1988, 127 menit) yang menghadirkan kakater malaikat yang jatuh cinta dan menolak keabadian agar ia bisa jadi manusia biasa saja. Film terakhir adalah The Road Home (Zhang Yimou, 1999, 85 menit) yang berkisah tentang cinta seorang perawan desa kepada guru sekolah culun yang datang dari kota.

Saras Dewi menyajikan makalah sepanjang 6 halaman yang berjudul “Membaca Cinta”. Warna filsafat tentu saja hadir cukup kental dalam sajian Saras. Ia mengulas cinta dan sejumlah karakternya. Sambil mengutip Kierkegaard dan Fromm, ia menyebutkan bahwa cinta itu sabar,

dan hal ini ditunjukkan dengan baik oleh karakter Zhao Di dalam film The Road Home. Ia juga menunjukkan bahwa cinta itu absurd, sebagaimana yang diperlihatkan Count Lazlo de Almasy dalam The English Patient. Watak absurd ini ia perjelas dengan beberapa topangan dari Camus dan Marcell. Di bagian akhir makalahnya, Saras mengulas cinta sebagai eksistensi. FilmWings of Desire ia jadikan ilustrasi sekaligus pengukuh argumen. Sejumlah monolog dari Damiel, sang malaikat yang bercita-cita besar untuk jadi manusia itu, diulas cukup panjang lebar. Bagian pertama sesi tanya jawab diramaikan antara lain oleh komentar dokter bedah otak Ryu Hasan. Ia mengatakan bahwa berbagai jenis cinta yang demikian menyita energi para seniman dan filsuf itu, sebenarnya cuma masalah yang sepele saja. Semua itu hanyalah soal kerja otak dan komposisi cairan kimiawi tubuh. Semuanya berujung pada kebutuhan untuk reproduksi dan kelangsungan hidup species. Saras menanggapi balik bahwa sekalipun dorongan reproduksi bekerja dalam proses bernama cinta itu, namun perwujudannya ternyata tidak sederhana. Mereka yang jatuh cinta toh tidak asal-asalan memilih pasangan hanya agar bisa beroleh keturunan. Ada pilihan-pilihan tertentu, ada arah yang dituju, yang sama sekali tidak sepele, dalam proses-proses biokimia yang tampak tak punya tujuan selain reproduksi itu.

Membaca Cinta

Page 55: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 54

Bagian kedua sesi tanya jawab lebih banyak diisi dengan perbandingan antar ketiga film dan jenis-jenis cinta yang ditonjolkannya. Dibicarakan misalnya bagaimana para kartografer di The English Patient yang bekerja untuk kepentingan ilmu yang melintasi batas-batas negara terpaksa harus mengalami kehancuran cinta karena nasionalisme yang bertikai, nasionalisme yag membuat sang tokoh tetap bisa mengingat segala hal tapi tak ingat namanya sendiri. Dibicarakan juga tentang ditinggalkannya posisi agung dan kekal sang malaikat hanya untuk hal-hal sepele dan duniawi, dalam Wings of

Desire. Juga tentang bertautnya kembali cinta anak pada orang tua, cinta murid pada guru, cinta isteri pada suami, cinta tetangga pada sesamanya, dalam The Road Home. Moderator menutup diskusi dengan menegaskan bahwa bertautnya berbagai jenis cinta di The Road Home, dan hadirnya tradisi upacara antar jenazah yang menemukan maknanya dalam kehidupan modern, semua itu terjadi karena ulah seorang perempuan desa buta huruf yang hanya tahu satu hal: mencinta sepenuh hat. (*)

Page 56: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201155

Aktivis anti korupsi Teten Masduki dan wartawan Metta Dharmasaputra mendiskusikan kemunduran Indonesia dalam memberantas korupsi (Kamis, 24/3). Teten, analis Transparency International Indonesia, mengusulkan adopsi democratic governance ala Kerala atau Porto Allegre untuk menggantikan sekadar good governance ala Bank Dunia. Teten yakin itu lebih mampu memperkuat peran masyarakat sipil dalam mencegah dan memerangi korupsi. Alasannya:saat ini, korupsi sudah sangat merasuki sistem politik demokratis Indonesia, bahkan telah terjadi apa yang disebutnya sebagai elite capture, akibat pemberantasan korupsi yang dirancang terlalu teknis seperti sekarang ini, sementara masalah korupsi adalah isu politik. Dalam keadaan demokrasi tersandera ini, korupsi dilakukan secara berjamaah, terjadi dengan sepengetahuan para elit pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan, demikian Teten. Metta, wartawan majalah mingguan Tempo, mengusulkan lembaga perlindungan saksi kasus korupsi yang lebih kuat serta penerapan UU pencucian uang yang

lebih efektif. Beberapa contoh kebijakan perlindungan yang telah membuahkan hasil bisa dilihat di dan dicontoh dari Amerika Serikat, katanya. Indonesia juga perlu melangkah ke pemberantasan korupsi sektor swasta, tidak melulu di wilayah pemerintahan, usulnya. Masyarakat sipil harus mendesak Bank Indonesia dan otoritas keuangan Indonesia lainnya yang relevan untuk menerapkan transaksi non-cash, baik antara sektor korporasi-parpol maupun personal-korporasi-parpol, dsb. Hal-hal ini,menurutnya, bisa membantu melengangkan jalan bagi penerapan UU pencucian uang yang efektif di tanah air. Sekitar 70 peserta hadir dalam diskusi ini, yang antara lain juga membahas Freedom Barometer Asia 2010 terbitan Friedrich Naumann Stiftung Asia mencatat kemunduran dalam hal penegakan kedaulatan hukum ini. Moderator diskusi adalah M. Husni Thamrin, Project Officer Friedrich Naumann Stiftung di Indonesia. Tema seri diskusi selanjutnya, Kamis 28 April, adalah update perkembangan pengentasan kemiskinan di Indonesia. (*)

Seri ke-3 Diskusi Freedom Institute-Friedrich Naumann Stiftung

Page 57: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 56

Membaca intervensi militer Amerika Serikat di Libya perlu sikap kritis. Tuduhan bahwa AS bermotivasi memetik keuntungan ekonomi sangat lemah, demikian salah satu poin diskusi Freedom Institute Kamis lalu (31/3), yang menghadirkan pengamat politik Bara Hasibuan dan wartawan Meidyatama Suryadiningrat. Ulil Abshar Abdalla memoderatori diskusi, yang dihadiri sekitar 80 orang.

Alih-alih keuntungan bagi AS, pihak-pihak yang paling menikmati masa damai dan pembangunan kembali pasca intervensi militer, selama ini (contohnya di Irak), adalah yang sebelum maupun selama intervensi berlangsung hanya diam saja - meskipun saat telah terjadi tragedi kemanusiaan akibat gejolak politik di negeri yang diintervensi, kata Meidyatama, pemimpin redaksi harian The Jakarta Post. Perusahaan-perusahaan Cina terbukti yang sering diuntungkan, katanya. Motivasi menguasai minyak tidak meyakinkan, karena Libya bukan penghasil minyak utama dunia, hanya termasuk dalam 15 teratas, tambah Bara, yang juga politisi Partai Amanat Nasional.

Kedua pembicara setuju dengan poin Ulil, bahwa bahkan idealisme kemanusiaan AS lebih merupakan faktor yang lebih kuat mendorong mereka ikut terlibat dalam serangan militer ke Libya baru-baru ini, ketimbang ambisi minyaknya. Meskipun tentu saja ada faktor lain yang tak kalah penting.

Faktor lain yang tak kalah penting itu termasuk pelaporan media massa yang gencar, yang ikut membangkitkan rasa tanggung jawab kemanusiaan khalayak di banyak negara Barat, sehingga kemudian dituruti oleh pemerintah Barat untuk ambil sikap tegas, kata Bara. Meidyatama menggaris bawahi tak kalah pentingnya real politiek di negara AS sendiri. Alasan kemanusiaan saja tidak cukup menggerakkan untuk pemerintah AS mengirimkan militernya umtuk intervensi di negeri asing, katanya. Contohnya Darfur dan Korea Utara, di mana terjadi krisis kemanusiaan parah, tapi AS - dunia internasional – seolah-olah tidak peduli.

Trauma Somalia mencegah AS intervensi di Darfur, kata Meidyatama. Kekuatan nuklir dan dukungan Cina menciutkan nyali untuk campur tangan di negeri itu, kata Meidyatama. Krisis Libya, laporan intens dari media massa tentang pembantaian masyarakat sipil oleh Moammar khadafi, keinginan Obama untuk tidak mengulangi kesalahan Clinton di Somalia, multilateralisme serta dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Liga Arab pun memantapkan AS ikut campur, demikian disetujui Meidyatama dan Bara.

Ulil mengingatkan bagaimana intervensi kemanusiaan seperti di Libya ini sudah terjadi di Bosnia dan Kosovo yang akhirnya

Membaca Intervensi Amerika di Libya

Page 58: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201157

menghentikan pembantaian atas ratusan ribu Muslim di Yugoslavia. Intervensi di Libya akhir-akhir ini berkembang menjadi semakin ruwet karena jatuhnya korban masyarakat sipil akibat serangan udara serta lemahnya pasukan pemberontak. Sementara AS dan sekutu ragu untuk terlibat perang darat di negeri itu. Faktanya, kedua pembicara juga setuju,

AS sebenarnya sangat berkepentingan dengan tegaknya status quo di hampir semua negeri-negeri Arab dan Timur Tengah. Akibatnya, bagaimana end-game krisis Libya hingga sekarang belum jelas, simpul Ulil. (*)

Page 59: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 58

Economic development and industrialisation could not be separated from capitalism. The success of capitalism has inspired and become the foundation of development in many countries. An important question is how a system which relies on market forces, individualism, and the recognition of property rights, can be fused with local wisdom.

This important question was the focus of discussion during the workshop II Political Economy School, organised by the Youth Study Circle Sukabumi, West Java, in cooperation with the Freedom Institute and the Friedrich Naumann Foundation for Freedom (FNF) on 8 February 2011 in Sukabumi, Indonesia. The short workshop on the basics of liberalism was held for the second time, following the first one in 2010. The initiative was raised by several students from Sukabumi who are alumni of trainings in Liberalism at the Freedom Academy.

At the first session M. Husni Thamrin of FNF, Indonesia Office provided exposure to the individualism paradigm and how the framework of individualism is the foundation of market economy and capitalism, which leads to the recognition of property rights. This individualism is also considered to have relevance for the present condition of Indonesia. Participants at the workshop explained about problems that faces by most of the peasants in Sukabumi related to the land issues. Property rights become a problem especially related to the land

disputes with state owned plantation.

Mean while in the second session Nirwan Arsuka of the Freedom Institute talked about political freedom and economic perspectives, and its relation to the rule of law. Connecting with the material given in the first session, freedom values practiced in the political and economic life of everyday life, such as recognition of the property rights for example, is guaranteed by rule of law.

Each session is followed by a discussion group and group explanation on the material they discuss. In general they linked the economic value or market value of liberalism with the existing realities in Sukabumi. Interesting discussion emerged related to the issue of investment, privatization, and foreign capital. The question always related to the problem of workers or farmers that they assume created by capitalism.

The workshop was attended by about 28 participants from various universities in Sukabumi and Cianjur and planned to run frequently. Participants also planned to discuss further openly in a workshop involving some other community stakeholders in Sukabumi. (*)

Fusing Local Wisdom with Individualism, Market, and Property Rights

Page 60: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201159

Keadaan Planet Bumi yang memangku kehidupan manusia, didiskusikan di Proklamasi 41 dalam rangkaian acara Pekan Peringatan Hari Bumi 2011 Freedom Institute. Ada dua bentuk acara yang dilakasanakan, yakni diskusi film dan ceramah umum.

Diskusi film hari pertama, 13 April 2011, mengambil Papua dan lingkungannya sebagai pusat perhatian. Hadirnya Papua sebagai titik fokus ini dimungkinkan oleh kerjasama dengan Bumi Bagus, sebuah LSM yang bergerak di sejumlah bidang, termasuk lingkungan hidup. Bumi Bagus menyodorkan empat seri film dokumenter yang total berdurasi satu jam. Sebelum seri film itu ditayangkan, dihadirkan dulu film dokumenter eksperimental karya Godfrey Reggio, yakni Koyaanisqatsi yang adalah bagian pertama dari Trilogi Qatsi. Film produksi 1982 dengan musik gubahan Philip Glass ini membentuk mood sembari menghadirkan gambaran besar pengrusakan Bumi oleh kegiatan manusia. Rincian bentuk pengrusakan Bumi itu dihadirkan lebih realistis lewat film dokumenter tentang penyelundupan kayu dari hutan-hutan Papua. Setelah film penyelundupan kayu yang terutama sangat mengusik rasa keadilan di samping keprihatinan atas rusaknya hutan Papua itu, ditayangkanlah film dokumenter tentang problem lingkungan yang muncul dari penambangan dan perluasan perkebunan sawit di pulau

besar yang alamnya amat kaya itu. Kerugian yang dialami oleh penduduk asli Papua disajikan dengan cara yang terang benderang. Namun, di samping berbagai kerugian yang menimpa itu, dihadirkan juga kesadaran dan optimisme masyarakat Papua untuk memecahkan sendiri masalah mereka. Pemutaran film berlatar Papua ini diramaikan oleh sajian tari tradisional yang dimainkan oleh sekelompok mahasiswa Papua yang sedang belajar di Jakarta. Diskusi singkat yang berlangsung di antara pemutaran film-film dokumenter itu, memperjelas apa yang disajikan dalam film. Selain “isi” film, didiskusikan juga proses pembuatan film. Alvez, salah seorang pembuat film dokumenter itu yang juga aktif di Bumi Bagus, sempat menjelaskan bukan hanya proses pembuatan filmnya tapi juga benturan niat baik yang muncul dalam usaha perbaikan mutu lingkungan Papua. Diskusi hari kedua diawali dengan pemutaran film “Home” (2009) karya Yann Arthus-Bertrand. Film ini menghadirkan citraan yang dramatis, ditimpali dengan narasi yang puitis. Diskusi yang mengikutinya menghadirkan Yani Saloh (The Climate Project Indonesia) dan Revitriyoso Husodo (Bumi Bagus) sebagai pembicara. Yani antara lain membahas perubahan iklim dan pemanasan global, dan perilaku hidup manusia yang menyebabkan rusaknya keseimbangan lingkungan Bumi.

Hari Bumi 2011

Page 61: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 60

Sampah dan pengelolaannya mendapat perhatian dalam prsesntasi Yani. Adapun Revi banyak membahas perlunya pembuat film dokumenter melalukan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas. Ia juga mengingatkan bahaya Ekofasisme yang lebih mementingkan perlindungan lingkungan di atas kepentingan masyarakat setempat. Pekan peringatan Hari Bumi dipuncaki oleh ceramah umum Emil Salim, Nabi Lingkungan Hidup Indonesia sekaligus Wali LSM Yang teraniaya di Tanahair. Dalam ceramah dan tanya jawab yang berlangsung pada malam Kamis, 21 April 2011 itu, Emil Salim dengan tandas menujukkan bahwa problem terbesar dalam masalah pembangunan

lingkungan di Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya, adalah lemahnya masyarakat madani. Padahal, justeru tekanan masyarakat madani itulah yang bisa membuat kebijakan pembangunan berkelanjutan bisa terwujud dan berjalan optimal. Jika penguatan masyarakat madani adalah solusi sosial politik pembangunan berkelanjutan, maka pasar yang sehat adalah solusi ekonominya, sementara pengukuhan keanekaragaman (pluralism) adalah solusi kulturalnya. Keberhasilan pembangunan lingkungan di berbagai tingkat hanya bisa dijamin oleh adanya keadilan dan kebebasan yang merengkuh seluruh rakyat, semua umat manusia, di satu Bumi.(*)

Page 62: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201161

Berapakah jumlah orang miskin di Indonesia? Tergantung kepada siapa Anda bertanya. Jika Anda menanyakannya kepada Bank Dunia, orang miskin di negeri ini cukup besar jumlahnya. Tapi jika Anda bertanya kepada pemerintah kita, jumlahnya menjadi cukup kecil. Mengapa berbeda? Bukankah kedua-duanya mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS)? Inilah salah satu pertanyaan yang dicoba jawab dalam diskusi bulanan Freedom Institute minggu lalu. Diskusi “Kemiskinan: Statistik, Kebijakan, dan Kenyataan” yang diselenggarakan pada 28 April silam itu menghadirkan dua pembicara, yakni Budiman Sudjatmiko, anggota DPR-RI yang juga salah satu ketua PDIP, dan Vivi Alatas, ekonom senior Bank Dunia. Diskusi itu dipandu oleh Ari Perdana, dosen dan peneliti dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Dalam presentasinya, Vivi Alatas menjelaskan bahwa angka kemiskinan nasional menurun hampir separuh dari angka kemiskinan tahun 1990an. Kecuali pada tahun 2005, angka kemiskinan sejak 1999 terus mengalami penurunan. Data terakhir, angka kemiskinan nasional berada di bawah 15% dari seluruh penduduk Indonesia. Sebagian besar kemiskinan terkonsentrasi di pedesaan. Data tahun 2010 menunjukkan, kemiskinan di desa sekitar 17% sementara kemiskinan di kota sekitar 9%.

Vivi mengakui bahwa program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah cukup berhasil. Hanya saja, kondisi sosial-politik dan juga iklim alam Indonesia sangat rentan membuat orang jatuh miskin. Ketiadaan sistem jaminan yang jelas membuat orang mudah jatuh miskin jika terjadi suatu bencana alam. Begitu juga, kondisi sosial-politik yang tidak menentu membuat orang bisa kaya dan miskin secara tiba-tiba. Budiman setuju dengan Vivi tentang rentannya kondisi sosial-politik Indonesia yang mengakibatkan munculnya orang-orang kaya baru dan orang-orang miskin baru secara tiba-tiba. Menurut Budiman, jumlah orang kaya dan orang miskin di Indonesia sebetulnya tak berubah, orangnya saja yang bertukar tempat. Budiman mengkritisi cara pemerintah menghitung angka kemiskinan di Indonesia, yang menurutnya agak manipulatif. Ada perbedaan yang mencolok antara angka yang dikeluarkan pemerintah dan angka yang dikeluarkan Bank Dunia. Menurut pemerintah, angka kemiskinan di Indonesia 17,8%, sementara menurut Bank Dunia, angka kemiskinan berjumlah 60%. Selisih angka 42,2% ini, menurut Budiman, sangat tidak wajar. Diskusi yang dihadiri sekitar 100 orang itu diakhiri dengan sesi tanya jawab. Seorang peserta menyatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia sering dijadikan komoditas politik untuk mendapatkan

Seri Diskusi Freedom Institute-Friedrich Naumann Stiftung

Page 63: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 62

suara dalam pemilihan umum. Ketika masih menjadi oposisi, seseorang biasanya senang menggelembungkan angka kemiskinan, tapi ketika berkuasa dia berusaha memperkecil angka itu, tentu saja dengan memanipulasi statistik. (*)

Page 64: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201163

Seri diskusi sains Freedom Institute kembali membahas peran ilmu pengetahuan modern dalam mengangkat kualitas hidup umat manusia. Subyek yang didiskusikan pada malam 5 Mei 2011 itu ini adalah AIDS: Tanggapan Ilmiah VS Tanggapan Religius. Meski jumlah korbannya kian menurun, namun UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa hingga kini, penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) telah merenggut lebih dari 25 juta jiwa, membuatnya jadi salah satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah. Pembicara pertama, Roslan Yusni Hasan, dokter ahli bedah dan peneliti sel, menyajikan antara lain sejarah pandangan medis atas AIDS sejak gejala penyakit mundurnya kekebalan tubuh ini diumumkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada 5 Juni 1981. Pada mulanya, CDC tidak punya nama resmi untuk gejala penyakit ini. Mereka sering merujuk keadaan ini sebagai hal yang berkaitan dengan beberapa penyakit, misalnya, radang kelenjar getah bening. Dari sini kemudian diketahui adanya virus yang pada saat itu diberi nama HIV (human immunodeficiency virus). Dalam keterangan CDC yang dirilis saat itu, muncul istilah Gay Related Imuno Deficiency (GRID), rusaknya kekebalan tubuh yang berhubungan dengan dunia Gay! Inilah benih stigma yang kelak tumbuh subur dan tak mudah ditumpas.

Dengan melihat berbagai gejala pada keadaan penyakit ini pada saat itu, CDC mendefinisikan keadaan ini sebagai “4H Disease”, karena diduga muncul dari Haiti, terjadi pada homoseksual, semua menderitahemophilia, dan pengguna heroin. Keterbatasan data memang membuat CDC melakukan kekeliruan yang belakangan berdampak besar. Namun, riset ilmiah atas gejala itu terus berlangsung, dan setelah didapati bahwa penyakit ini ternyata tidak hanya terjadi pada komunitas homoseksual, pada bulan September 1982 CDC mulai memakai nama AIDS. Riset AIDS yang terus berlangsung itu membuat para ilmuwan kian paham penyebab hilangnya imunitas tubuh manusia dan dari sana terus berupaya mencari pengobatan yang lebih efektif. Terapi yang terus berkembang itu kini sudah berada pada tahap yang menggembirakan. Jika awalnya AIDS adalah penyakit mematikan, saat ini ia sudah masuk kategori penyakit kronis saja, sama seperti antara lain penyakit tuberclosis. AIDS bukanlah penyakit yang tak bisa disembuhkan, demikian kata Ryu. Di ujung tahun 2010, diumumkan bahwa seorang warga Amerika yang berobat di Berlin, secara medis telah pulih dari leukemia dan AIDS yang menyerangnya. Dokter yang merawatnya, memanfatkan transplantasi stem-cell untuk menyembuhkannya. Kasus

AIDS: Metamorfosa Tiga Dekade

Page 65: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 64

“Pasien Berlin” ini memperbesar kemungkinan menaklukkan AIDS dan melenyapkannya dari kehidupan manusia. Terlepas dari kemajuan mutakhir ini, sebagaimana kemudian dikemukakan oleh pembicara kedua, Muhamad Guntur Romli, penulis dan penganjur Islam modern, sebagian kaum muslimin, khususnya di Timur Tengah, masih saja tertinggal pandangannya. Ketika di awal 1980an para peneliti masih bingung mencari penyebab rontoknya imunitas tubuh manusia, sejumlah kaum agamawan yang juga sedang bingung dan panik segera mengisi kekosongan penjelasan itu dengan mencapnya sebagai penyakit kutukan Tuhan akibat dosa homoseksualitas manusia. Pandangan religius yang secara medis terbukti keliru itu terus saja dipegang teguh sampai sekarang, bersama terus bertahannya anjuran pengasingan bagi para pengidap AIDS. Celakanya, walaupun pandangan tersebut bukanlah pandangan kaum agamawan mainstream di Indonesia (khususnya Islam), masih ada pejabat negara, setingkat menteri, yang tetap bersemangat menandaskan bahwa homoseksualitas adalah sumber penyakit AIDS. Ini jelas pandangan kolot yang tertinggal 30 tahun, kata Guntur. Mitos yang dikutif oleh sang menteri itu bukan berasal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau ormas Islam di Indonesia, tapi dari penjelasan dan fatwa Lembaga Fiqh Islam Internasional (al-Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Dawli) yang berkedudukan di Saudi Arabia. Forum ini

merupakan perkumpulan ulama-ulama fiqh dari dunia Islam yang didukung penuh oleh Kerajaan Saudi Arabia. Salah satu keputusan dari Lembaga Fiqh itu mengatakan bahwa AIDS disebabkan oleh perzinahan dan prilaku homoseks. Untuk mencegah AIDS maka ummat harus kembali ke ajaran Islam yang lurus. Lembaga ini juga menegaskan dan mendukung Kerajaan Saudi Arabia yang melarang individu yang terinfeksi virus HIV naik haji. Untuk menyikapi orang yang hidup dengan HIV/AID lembaga ini merekomendasikan agar dipisahkan (‘azl) dari masyarakat. Rekomendasi religius semacam ini menopang stigmatisasi dan diskriminasi, yang dasar-dasar pemikirannya sebenarnya telah dibantah oleh ilmu pengetahuan. Ketimbang ikut mengendalikan penyakit AIDS, rekomendasi religius ini, bersama sejumlah prasangka sosio-kultural yang lain, justeru bisa menghambat pengendalian AIDS, dan yang pasti melanggar hak dasar sejumlah warga. Sekalipun banyak tokoh agama yang memiliki pandangan kabur atas AIDS, namun agama itu sendiri tetap bisa sangat bermanfaat dalam kampanye pencerahan tentang AIDS, tegas Guntur. Seruan agama, betapa pun, memang masih sanggup menggerakkan ummat. Namun wacana keagamaan yang dipakai untuk pencerahan itu harus dengan sadar melengkapkan diri dengan pengetahuan modern dan terkini tentang berbagai hal, termasuk tentang penyakit AIDS, anjur Guntur.

Page 66: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201165

Diskusi yang dihadiri sekitar 80 peserta ini didahului dengan pemutaran film pendek yang dipinjamkan olehOneVoice. Film ini berisi kisah sejumlah perempuan muda yang berjuang menghadapi serangan HIV itu dan stigma yang ditempelkan masyarakat awam pada mereka, serta upaya mereka bergabung dalam gerakan kampanye sadar AIDS. Pemutaran film dan diskusi terbuka semacam ini, seperti ditegaskan moderator Nirwan Arsuka, adalah juga bagian dari kampanye menghadapi AIDS dengan rasional. Yang pasti, tanpa pendekatan rasional dan sistematis, penanggulangan wabah Maut Hitam (Black Death) di Mediterania dan Eropa Lama, misalnya, butuh waktu lebih dari 500 tahun. Berbaur dgn aneka tegangan sosial ekonomi, fanatisme agama justeru ikut membuat

Wabah Hitam menumpas populasi Eropa sekitar 30 sampai 60 persen. Cara-cara irasional dalam menghadapi wabah maut seperti yang pernah terjadi di masa silam, itu terbukti tak bisa menandingi cara-cara rasional. Kalangan medis, seperti yang diperlihatkan oleh CDC misalnya, memang tak kebal dari kesalahan, karena keterbatasan data. Namun, dalam waktu hanya tiga dekade, riset ilmiah sistematis atas AIDS telah terbukti bisa mengubah status penyakit itu dari wabah yang paling mengerikan bagi dunia modern ke penyakit biasa yang sungguh bisa disembuhkan. (*)

Page 67: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 66

Many people In Indonesia are not familiar with the exact definition of “Liberalism”. For more than 32 years, we have been mistified by the former authoritarian President Soeharto who protrayed Liberalism as something bad coming from ‘the West’ and is very dangerous for Indonesia. Material on Liberalism – and the other ideologies, for that matter – was not readily available, and open discussion about is was almost impossible. Now that democracy has come to Indonesia, it is time to straighten what has been bent, and to pull aside the curtain of truth. After the announcement of the selection forAkademi Merdeka has been sent out to students in campuses, interests have overflowed. From the 110 application submitted, only 26 were selected as participants. The enthusiasm were reflected in the essays they had to submit as part of the selection process. Participants came to the academy covering their own transport costs, and they came from various parts of Indonesia: Central Java, East Java, Sumatra, and even as far as South Sulawesi, and two observers from Malaysia. It is very interesting to see the diversity of the participants, sitting together and discuss Liberalism in an open learning context. The participants went further to have out-of-session discussion on future plans at nights. They planned to starty by creating their own little communities in

their respective campuses and spreading it through social media such as twitter, facebook, etc., and pledged support to the creation of a liberal party by 2019! First started in 2009, Akademi Merdeka is a program of the Freedom Institute in cooperation with the US-based Atlas of the Global Initiative for FreeTrade, Peace and Prosperity and the Institute for Democracy Economic Affairs (IDEAS) of Malaysia. Participants are variedly structured, with some having a basic to good understanding of Liberalism and some were blank and have come out of curiosity. But the quality resource persons in this series have successfully satisfied the participants who went home with new ideas to pursue for the next years to come. Economic obrserver Poltak Hotradero, Freedom Institute’s intellectual Luthfi Assyaukanie and Ulil Abshar Abdalla, and Executive director of Freedom Institute and politic observer Rizal Mallarangeng have contributed significantly to lift the mist covering Liberalism and free market ideas in the country. (*)

Akademi Merdeka Batch IV

Page 68: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201167

YB Mangunwjaya atau yang dikenal luas sebagai Romo Mangun adalah sosok multi-dimensi. Ia dikenal sebagai rohaniwan, arsitek, budayawan, sastrawan, dan aktivis dan pembela wong wong cilik (bahasa Jawa untuk “rakyat kecil”). Untuk mengenang, menghormati, dan mengkaji buah pemikiran dan karya-karya peraih penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada 1996 ini, Freedom Institute pada Kamis, 12 Mei 2011, menggelar diskusi “Romo Mangun: Telaah Pemikiran dan Karyanya”, yang menghadirkan para pembicara dari berbagai kalangan: Ayu Utami (Sastrawan), Bonnie Triyana (Ahli Sejarah), Erwinthon Napitupulu (Peneliti Arsitektur). Ayu Utami, pembicara pertama dalam diskusi ini menyoroti Romo Mangun dari sisi sastra pada khususnya, dan budaya pada umumnya. Secara khusus Ayu menggali sisi humanisme dan berbagai paradoks kecilnya dalam pemikiran dan karya Romo Mangun. Menurut Ayu, Romo Mangun lahir empat tahun saja setelah Pramoedya, tetapi ia baru mulai menyumbang dalam kesusastraan Indonesia di usia cukup larut. Novel pertamanya terbit tahun 1981, di puncak kejayaan presiden Suharto. Ketika itu Y.B. Mangunwijaya telah berumur 51 tahun. Karena itulah, barangkali, rentangan karya sastra Romo Mangun--selama hampir dua dekade kemudian--tidak berbagi kegelisahan yang sebangun dengan mereka yang telah menulis di era

Sukarno. Yang sangat jelas, misalnya, ia tidak mengambil peran dalam konflik Manifesto Kebudayaan di paruh awal tahun 60-an. Ia masih pastor muda di masa itu. Sebagai imam junior, ia memang tidak memiliki kebebasan untuk terlibat dengan urusan-urusan duniawi tanpa izin hirarki Gereja Katolik. Setelah sebagai imam, ia adalah arsitek, baru kemudian sastrawan--demikian secara urut-waktu. Sebagai pengarang ia adalah “generasi” 80-an. Dan saya kira ia membawa serta terbawa “ruh zaman” era itu. Pembicara kedua, Bonnie Triyana, membahas sisi kesejarahan dari Romo Mangun dan visi beliau tentang kebangsaan dan keindonesiaan. Seperti Ayu, Bonnie pun menganggap Romo Mangun sebagai sosok yang humanis. Bedanya Bonnie menambahkan embel-embel kritis di belakang kata humanisme itu. Bonnie beranggapan bahwa menurut Romo YB Mangunwijaya sejarah bukanlah soal menang atau kalah. “Kalah menang itu nisbi, dilihat oleh siapa dan dari segi mana,” kata dia dalam buku Mengenang Sjahrir (1980). Kemampuan melihat sejarah sebagai suatu pergumulan yang tak berujung menang atau kalah itu datang dari pemahaman bahwa sejarah merupakan perpaduan gugusan peristiwa dan interaksi kompleks dalam suatu proses “ekologis” pergulatan bangsa manusia, mempertinggi diri dari tingkat kebudayaan relatif rendah, berdimensi sedikit, ke tingkat relatif lebih tinggi,

Romo MangunTelaah Pemikiran dan Karyanya

Page 69: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 68

berdimensi lengkap secara lebih integral. Bonnie menambahkan, sudut pandang Romo Mangun melihat sejarah menunjukkan siapa dirinya: seorang humanis yang tak gegabah meringkus kesimpulan sebuah pergumulan sejarah. Sebuah cara memahami sejarah lebih berimbang: tidak hitam tidak putih tapi selalu tegas ketika menjadi “hakim” di “pengadilan sejarah” untuk mendakwa mereka yang telah menginjak-injak nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pembicara terakhir, Erwinthon Napitupulu, menyoroti pergulatan Romo Mangun dalam bidang yang selama ini kurang banyak dibahas orang: arsitektur. Pada umumnya, tilikan Erwinthon lebih berfokus pada buku Romo Mangun di bidang arsitektur, Wastu Citra. Erwinthon beranggapan bahwa materi yang dibahas buku ini sangat menarik dan sedikit lebih mudah dipahami ketimbang tulisan-tulisannya di bidang lain. Hal ini, menurut Erwinthon, mungkin karena dalam buku ini terdapat banyak ilustrasi, gambar, dan foto, yang masing-masing dilengkapi dengan keterangan yang cukup rinci. Bagi arsitek yang umumnya lebih dekat dengan gambar ketimbang kata, hal ini bisa dimaklumi. Lebih jauh, Erwinthon mengatakan bahwa untuk mencoba lebih jauh memahami

sebuah karya arsitektur Romo Mangun, bisa dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya: Pertama, membandingkannya dengan karya-karya arsitekturnya yang lain. Cara ini cukup jitu dilakukan pada bangunan-bangunan gereja karyanya yang umumnya punya gagasan desain yang tidak jauh berbeda. Kedua, mengaitkan dengan tulisan dan aktivitasnya di bidang yang lain, karena tidak jarang Romo Mangun berarsitektur sebagai perluasan dari kiprah sebelumnya di bidang lain. Ini dilakukan misalnya untuk karyanya di Kedungombo, Boyolali, berupa perahu yang selain sebagai alat penyeberangan antardesa yang dipisahkan oleh “danau”, juga digunakan sebagai perpustakaan terapung. Dan untuk bangunan SD Mangunan Kalasan, ketika ia memutuskan untuk berkiprah total pada pendidikan dasar untuk anak miskin. Ketiga, mengaitkan dengan tulisan dan pandangannya di bidang arsitektur, termasuk Wastu Citra. Cara ini ternyata membuat buku ini semakin menarik. Dan pengaitan itu dapat membuat hadirnya jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul ketika mencoba memahami karya-karya arsitektur Romo Mangun. Diskusi ini sendiri dihadiri oleh 150 peserta dari berbagai kalangan, dan dipandu oleh Nirwan Dewanto. (*)

Page 70: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201169

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Free-dom Institute kembali menyelenggarakan Penghargaan Achmad Bakrie. Malam penganugerahan penghargaan ini digelar pada Minggu, 14 Agustus 2011, di Djakar-ta Theater.

Acara tersebut didahului dengan ramah tamah yang diadakan sehari sebelum malam penganugerahan yaitu pada Sab-tu, 13 Agustus 2011. Dalam acara yang digelar di Kantor Freedom Institute itu, saya hadir mewakili keluarga Achmad Bakrie bertemu dan beramah-tamah den-gan para penerima penghargaan. Acara ramah tamah kali ini sekaligus dirangkai dengan buka puasa bersama.

Para pemenang Penghargaan Achmad Bakrie 2011 adalah Prof Adrain B Lapian untuk bidang Pemikiran Sosial, Nh. Dini untuk Bidang Kesusastraan, Prof. Saty-anegara untuk Bidang Kedokteran, DR. Jatna Supriatna untuk Bidang Sains, Prof F.G. Winarno untuk Bidang Teknologi dan Hokky Situngkir yang menerima hadiah khusus untuk Ilmuwan Muda Berprestasi.

Semua pemenang hadir, kecuali Prof La-pian yang telah wafat pada 19 Juli 2011, beberapa saat setelah diumumkan seba-gai pemenang oleh panitia seleksi. Me-wakili Keluarga Besar Achmad Bakrie, saya menyatakan turut berduka dan menyampaikan bela sungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga yang diting-galkan. Indonesia kehilangan salah satu ilmuwan besarnya.

Prof Lapian merupakan sejarawan mar-itim yang berjasa menulis perspektif baru penulisan sejarah kawasan Indonesia dan Asia Tenggara. Menurutnya, Indonesia adalah ‘negara laut utama’ yang ditaburi pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut. Pemikirannya tentang sejarah maritim Indonesia ini salah satu-nya ditulis dalam bukunya yang terkenal berjudul “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”.

Dalam buku tersebut Prof Lapian menco-ba meluruskan tentang “bajak laut” yang dipersepsikan oleh penjajah Belanda se-bagai penjahat. Mereka sesungguhnya adalah para pejuang gagah berani yang melakukan perang gerilya melawan pen-jajahan Belanda.

Pemenang penghargaan lainnya tidak kalah hebat. Saya akui, saya sangat terke-san saat bertemu dengan mereka dalam pertemuan malam itu. Dalam acara sing-kat itu, masing-masing dari mereka men-

Inspirasi dari Para Pemenang Penghargaan Achmad Bakrie 2011

Page 71: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 70

dapat kesempatan untuk berbicara, dan mereka umumnya menyampaikan apre-siasi atas penghargaan yang diberikan pada mereka. Misalnya saja, Pak Saty-anegara, yang menerima penghargaan untuk Bidang Kedokteran.

Menurutnya, penghargaan itu merupa-kan bentuk apresiasi dan memberikan nilai pada hal-hal yang dilakukannya di bidang kedokteran, terutama atas kajian-nya tentang imunologi tumor otak pada tahun 1967. Diakui Pak Satyanegara, kajiannya tersebut memang telah lam-pau, dan ilmu kedokteran sekarang sudah jauh lebih maju. Tetapi, katanya, Penghar-gaan Ahmad Bakrie menghargainya se-bagai bagian dari sumbangsih berharga bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Pak Satyanegara mengaku merasa ada penghormatan dan penghargaan yang tak ternilai atas karya dan dedikasinya sela-ma ini. Beliau mengatakan “Penghargaan Achmad Bakrie, akan menjadi lukisan in-dah dalam perjalanan hidup saya” .

Selain kajiannya tentang imunologi tumor otak yang hasilnya menemukan protein dan antibodi spesifik tumor yang dapat menghambat pertumbuhan serta memus-nahkan sel-sel tumor, Pak Satyanegara juga berjasa mempelopori penentuan standar rumah sakit di Indonesia. Ia meru-pakan satu-satunya penulis buku teks ilmu bedah saraf di Indonesia. Dia dinilai layak disebut sebagai peletak fondasi sekaligus wali bedah saraf Indonesia. Atas jasanya itu, Beliau mendapat julukan wali bedah saraf Indonesia.

Berikutnya Ibu Nh. Dini, yang meraih

penghargaan untuk Bidang Kesusastraan juga mengungkapkan hal yang sama. Bahkan, dengan nada bercanda, Bu Dini mengatakan dengan reputasinya yang telah mendunia, sesungguhnya sudah berharap mendapat Penghargaan Ahmad Bakrie di tahun-tahun sebelumnya. Sebab saat ini beliau menderita vertigo dan os-teoporosis. Untuk pengobatan diperlukan biaya yang cukup besar. “Penghargaan ini selain membuat saya suka, juga bahagia,” ujarnya.

Khusus untuk ibu NH Dini rupanya punya pengalaman khusus dengan kakek saya almarhum Haji Achmad Bakrie. Semasa muda dan masih menjadi pramugari Garu-da, beliau ditempatkan di Bandara Kemay-oran, Jakarta pada bagian informasi. Tu-gasnya adalah membantu para pengguna Garuda dengan berbagai keperluan. Para pelanggan yang merasa terbantu sering membawakan berbagai oleh-oleh bila pu-lang bepergian dari luar negeri. “Salah satunya adalah Pak Achmad Bakrie. Kami sering di bawakan berbagai buah dan ma-kanan yang lezat, yang masih sulit diper-oleh di Indonesia,” kenangnya.

Nama Nh. Dini sudah saya kenal sejak kecil. Novel-novelnya merupakan karya sastra yang sangat legendaris. Novel Pada Sebuah Kapal pada 1972, terbit dua tahun sebelum saya lahir, atau La Barka pada tahun 1975, yang baru sempat saya baca setelah saya remaja, telah menjadi bacaan yang selalu dikenang dari waktu ke waktu, hingga sekarang. Maka, kes-empatan ini merupakan satu kehormatan bagi saya yang dapat bertemu secara langsung dengan beliau.

Page 72: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201171

Berikutnya adalah Bapak Jatna Supri-atna yang merupakan seorang ilmuwan dan pejuang konservasi. Ahli primata ini bercanda, bahwa banyak orang menye-butnya sebagai “manusia monyet”, karena ia banyak meneliti berbagai hal berkaitan dengan monyet. Hidupnya banyak didedi-kasikan untuk menjaga danmempromosi-kan pentingnya wallace area di Sulawesi sebagai laboratorium alam untuk mend-eduksi proses evolusi. Ia menemukan intergradasi sekunder dan hibridisasi di kawasan tersebut. Beliau menyampai-kan bahwa Indonesia adalah negara kaya dengan keanekaragaman hayati. Sebab sebagian besar kekayaan hayati dunia, ada di Indonesia.

Perjumpaan saya dengan Pak Jatna men-jadi berkah tersendiri, sebab kami di Grup Bakrie bekerja sama dengan lembaga in-ternasional, tengah mencoba untuk ikut berpatisipasi dalam konservasi orangu-tan yang jumlah semakin sedikit. Ternyata hampir seluruh orangutan itu ada di Indo-nesia, jumlahnya terus turun dari 35 ribu pada 15 tahun lalu, menjadi 20 ribu pada saat ini. Akan sangat sedih jika anak-cucu kita hanya bisa melihat keaneragaman hayati bangsa hanya dalam buku sejarah.

Selanjutnya adalah Prof. Dr F.G. Winarno. Beliau adalah salah satu ilmuwan yang sangat berjasa mengembangkan ilmu pangan dan memberi karakter pada per-tumbuhan teknologi pangan di Indonesia, yakni keamanan pangan dan teknologi tepat guna. Saya baru tahu beliau ternya-ta adalah tokoh yang sangat berjasa “me-nangkal” racun dalam tempe bongkrek, yang di masa lalu banyak menyebabkan

korban kematian bagi warga yang meng-konsumsinya.

Masalah kecukupan dan keamanan pangan yang menjadi concern-nya men-jadi sangat penting artinya karena men-yangkut kemandirian bangsa, apalagi kalau ke depannya kita bisa mengolah sehingga bisa memberi nilai tambah pada komoditas pangan Indonesia.

Prof. Winarno memahami betul arti pent-ing ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan yang baik akan meningkatkan status kesehatan, yang akan mendong-krak kinerja sumber daya manusia, dan secara nasional mendorong pertumbu-han ekonomi. Pak Winarno meyakini, jika suatu negara ingin memiliki sumberdaya berkualitas tinggi, maka yang harus di-lakukan adalah menjamin bahwa setiap bayi yang dilahirkan bisa mendapatkan asupan gizi yang cukup dan berkualitas. Potensi pangan Indonesia sangat besar.

Terakhir adalah Sdr. Hokky Situngkir. Dia ilmuwan muda berprestasi. Usianya ham-pir sebaya dengan saya, bahkan lebih muda, tapi prestasinya sangat membang-gakan. Sosok Hokky memberikan harapan cerah kepada semua anak-anak masa depan Indonesia dan menjadi contoh bagi kita semua.

Hokky telah melakukan banyak peneli-tian menarik. Bahan-bahan penelitiannya penting dan pendekatannya tidak tradis-ional. Dengan sadar, Hokky memanfaat-kan teknologi modern. Bersama Rolan Dahlan, dia menerbitkan buku Fisika Batik, yang menyorot unsur fraktal dalam motif-

Page 73: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 72

motif batik Nusantara. Dia juga mendiri-kan Indonesia Archipelago Cultural Initia-tives (IACI) dan mewujudkan Ensiklopedi Budaya Nusantara.

Hooky juga telah menghasilkan lebih dari seratus makalah ilmiah. Hasil penelitian-nya dimuat di berbagaiproceedings kon-ferensi dan jurnal internasional bergengsi lainnya. Di jurnal Physica A, Hokky Si-tungkir membahas penggunaan persepsi jaring saraf buatan pada peta Poincare data keuangan. Di Journal of Knowledge Management, ia membahas evolusi sis-tem ekonomi. Karyanya juga dimuat di Journal of Social Complexity, Journal of Peace and Conflict Resolution, Journal of Literary Complexity Studies, Journal of Mathematics and Culture, serta berbagai proceedings konferensi dan jurnal interna-sional bergengsi lainnya. “Kalau berbicara di luar negeri, dia sudah dipanggil profes-sor, walaupun dia tidak mau melanjutkan

S3, “ kata fisikawan Prof Johannes Surya yang banyak membimbing Hokky

Semua tokoh yang mendapat Penghar-gaan Ahmad Bakrie adalah pribadi-pribadi yang istimewa dan sangat inspiratif. Mes-ki pertemuan dalam acara ramah tamah tersebut cukup singkat, namun inspirasi yang mereka bagi begitu terasa bagi saya dan para hadirin malam itu.

Ini adalah pertemuan yang sangat menge-sankan, apalagi momennya bersamaan dengan bulan Ramadan. Kami keluarga Bakrie akan terus mengapresiasi orang-orang hebat seperti mereka. Bangsa ini membutuhkan orang-orang seperti mere-ka, orang-orang yang berprestasi dan bisa memberikan inspirasi kepada umat manu-sia.

sumber: http://aninbakrie.com/?p=1390

Page 74: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201173

LIFE & TIMESAn Oasis of Peace for Book-Lovers in Menteng

Tasa Nugraza Barley | November 04, 2011

Since its opening last year, Perpustakaan Freedom (Freedom Library) has become popular among university students and book lovers for its broad literary collection, cozy couches and comfortable ambience. (Photo courtesy of Freedom Library)

There’s a common perception among people in Jakarta that a library is an uncomfortable, boring or even spooky place, where dusty books are scattered everywhere. That’s not the case at Perpustakaan Freedom (Freedom Library), a public library on Jalan Proklamasi in Menteng, Central Jakarta. Every day, the library, which seems like an exciting oasis in an otherwise plain library desert, is packed with people who come to read quietly in a comfortable environment. In a city where public spaces are still hard to find, Freedom Library is a blessing.

Page 75: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 74

Owned by the Freedom Institute, which describes itself as the “Center for Democracy, Nationalism and Market Economy Studies,” the library opened late last year and was inaugurated by Vice President Boediono. Visitors will find that Freedom Library is different from other facilities they’ve visited. The library is located on the ground level of a beautiful minimalist, three-story building that resembles a roofless rectangle. The aesthetic warmth of the library permeates the entrance corridor, where you can see the rest of the facility through the large windows. Decorative wooden touches, such as ornate window frames, dominate the interior design, while the walls are decorated with photographs of Indonesian presidents and famous quotes, among them some apt words from Johann Wolfgang von Goethe: “To rule is easy, to govern difficult.” The library is filled with wooden tables and cubicles that can accommodate dozens of visitors, the majority of whom are university students who come to study or work on research projects. Freedom Library now has more than 12,000 book titles and 27,000 journals. Foreign magazines and newspapers are also available. Outside of the facility, visitors will find a small green garden that provides a social hub for visitors. There is also a coffee shop nearby, which is the perfect spot for people to enjoy some fresh air and caffeine while reading a good book. The garden also frequently hosts cultural events and social and political discussions. Oscar Gerhat is a librarian who manages a library in the Sudirman area. As a book-lover, he says he enjoys spending time at Freedom Library. “It’s a very comfortable library,” he said. “I love spending hours here.” Oscar said that a good library shouldn’t always be big. “As long as it has a nice ambience and good books, people will come,” he said, adding that the city needs more public libraries like Freedom. The library also has several cozy couches and reclining chairs, so visitors can get comfortable while enjoying their reading picks from the library’s wide selection of books, journals and other publications. To support and encourage constructive discussions among young minds, a special discussion room is also available for use; this way, a heated discussion will not disturb those who want to read in peace. To provide ample reading light, the facility is equipped with aluminum lamps hanging from the ceiling. And the large windows successfully create the illusion that the library is even more spacious.

Page 76: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201175

The windows also create an internal green space by allowing abundant views of the grass, plants and trees outside. And the facility is clean, which adds to its overall comfort. The library also has other modern conveniences such as air-conditioning and free Internet access. And the best part of Freedom Library is that it is free and open to the public so anyone can come in and enjoy a good read in comfort. With its welcoming environment and extensive collection, Freedom Library may quickly become the new hot spot for people in the capital who want to experience something different. Meanwhile, for book-lovers, this place will become a new haven. Freedom Library Wisma Proklamasi Jl. Proklamasi No. 41 Menteng Central Jakarta Tel. 021 3190 9226 Monday-Friday:9 a.m. to 9 p.m. Saturday-Sunday:10 a.m. to 5 p.m. freedom-institute.org

sumber: http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/an-oasis-of-peace-for-book-lovers-in-menteng/476299

Page 77: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 76

LAMPIRAN IIIStatistik Perpustakaan

Page 78: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201177

Grafik. Pengadaan koleksi buku pada tahun 2009 - 2011

Grafik. 10 Subjek terbanyak

Grafik. Layanan potokopi Buku pada tahun 2009 - 2011

Page 79: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 78

Grafik. Layanan potokopi Jurnal pada tahun 2009 - 2011

Grafik. Pendaftaran anggota perpustakaan pada tahun 2009 - 2011

Grafik. Kunjungan anggota perpustakaan pada tahun 2009 - 2011

Page 80: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201179

Grafik. Kunjungan berdasarkan jam layanan pada tahun 2010 - 2011

Grafik. Pengunjung perpustakaan berdasarkan institusi

Grafik. Kunjungan berdasarkan hari layanan pada tahun 2010 - 2011

Page 81: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 2011 80

Struktur Organisasi

Page 82: Laporan Kegiatan Freedom Institute periode Desember 2010 sampai November 2011

Laporan Kegiatan Feedom Institute 201181

@freedominstwww.freedom-institute.org


Recommended