Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi dan Kartografi
Kelompok Praktikum Hari Senin
MINI PROJECT; Analisis Pemetaan Zonasi Kawasan Resapan Air di Kabupaten Bogor
Disusun Oleh:
Gilang Sukma Putra
A14070010
Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2010
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air adalah faktor penting dari segala macam bentuk kehidupan di bumi. Dari air bermula
kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air
peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah. Air menopang kehidupan manusia,
termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itulah
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia;
artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian
air. Pemanfaatan air terutama air tanah yang terus meningkat dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap air tanah itu sendiri maupun lingkungan di sekitarnya, diantaranya berkurangnya
kuantitas dan kualitas air tanah, penyusupan air laut dan amblesan tanah. Menurunnya kuantitas
dan kualitas air tanah tersebut akan memberikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Agar pemanfaatan air tanah dapat optimal tanpa menimbulkan dampak negatif, maka dalam
pelaksanaan kegiatan tersebut diperlukan panduan perencanaan pendayagunaan air tanah
berwawasan lingkungan yang meliputi kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan,
pengembangan, dan pengusahaan air tanah.
Namun, inilah yang saat ini menjadi pokok masalah kita, umat manusia. Air secara sangat
cepat menjadi sumberdaya yang makin langka dan tidak ada sumber penggantinya. Walaupun
sekitar 70 persen permukaan bumi ditempati oleh air, namun 97 persen darinya adalah air asin dan
tidak dapat langsung dikonsumsi manusia. Dari jumlah yang sedikit yang mungkin dapat
dimanfaatkan tersebut, manusia masih menghadapi permasalahan yang amat mendasar. Pertama,
adanya variasi musim dan ketimpangan spasial ketersediaan air. Pada musim hujan, beberapa
bagian dunia mengalami kelimpahan air yang luar biasa besar dibandingkan dengan bagian lain
sehingga berakibat terjadinya banjir dan kerusakan lain yang ditimbulkannya.
Penggunaan air tanah sebagai sarana kehidupan semakin meningkat di daerah
Kabupaten Bogor, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk industri. Peningkatan
pemanfaatan air ini dapat kita jumpai pada daerah-daerah yang padat penduduk, daerah
pemukiman baru dan daerah-daerah industri. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan suatu
upaya mitigasi. Analisis Pemetaan Zonasi Resapan Air Untuk Kawasan Perlindungan Sumberdaya
Air Tanah (Groundwater) PDAM daerah Kabupaten Bogor. Usah ini dilakukan sebagai tindakan
dalam mempertahankan dan melestarikan sumberdaya air yang sangat bermanfaat untuk
kelangsungan hidup di Kabupaten Bogor.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari Mini Project ini adalah :
1. Pembuatan daerah zonasi resapan air untuk kawasan lindung sumberdaya air tanah
PDAM Kabupaten Bogor.
2. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor terkait terhadap zonasi resapan air tanah
PDAM Kabupaten Bogor.
3. Untuk membuat rekomendasi terhadap penentuan kebijakan penggunaan lahan zonasi
resapan air tanah PDAM Kabupaten Bogor.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Zonasi dalam konsep perlindungan mata air adalah bertujuan untuk menentukan batas-
batas alami dari suatu kawasan daerah resapan (recharge area) dari mata air atau air tanah
dimana semua aktifitas dan peruntukan lahan didalamnya akan memberikan pengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya mata air atau air tanah tersebut baik
secara kuantitas maupun kualitasnya. Menurut Herlambang (1996) air tanah adalah air yang
bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke
dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang disebut akuifer. Lapisan yang mudah
dilalui oleh air tanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan yang terdapat pada pasir atau
kerikil, sedangkan lapisan yang sulit dilalui air tanah disebut lapisan impermeable, seperti lapisan
lempung atau geluh. Air tanah adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah pada
lajur/zona jenuh air (zone of saturation). Air tanah terbentuk berasal dari air hujan dan air
permukaan, yang meresap (infiltrate) mula-mula ke zona tak jenuh (zone of aeration) dan
kemudian meresap makin dalam (percolate) hingga mencapai zona jenuh air dan menjadi air
tanah. Air tanah dan air permukaan saling berkaitan dan berinteraksi. Setiap aksi (pemompaan,
pencemaran dan perlakuan lainnya) terhadap air tanah akan memberikan reaksi terhadap air
permukaan, demikian sebaliknya.
2.2 Kondisi Air Tanah
Air tanah adalah salah satu fase dalam daur hidrologi, yakni suatu peristiwa yang selalu
berulang dari urutan tahap yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer,
penguapan dari darat atau laut atau air pedalaman, pengembunan membentuk awan, pencurahan,
pelonggokan dalam tanah atau badan air dan penguapan kembali. Dari daur hidrologi tersebut
dapat dipahami bahwa air tanah berinteraksi dengan air permukaan serta komponen-komponen
lain yang terlibat dalam daur hidrologi termasuk bentuk topografi, jenis batuan penutup,
penggunaan lahan, tumbuhan penutup, serta manusia yang berada di permukaan (Handoyo,
2008). Objek material hidrologi dapat dilihat pada Gambar berikut,
Sumber: Sunarto (1997)
Air tanah tidak dijumpai di semua tempat. Keterdapatan air tanah tergantung dari ada
tidaknya lapisan batuan yang dapat mengandung air tanah yang disebut akuifer. Akuifer adalah
formasi batuan yang dapat menyimpan dan melalukan air, seperti misalnya pasir dan kerikil lepas
(Seyhan, 1977; Simoen, 2001; Purnama, 2004). Akuifer ditemukan pada sejumlah lokasi. Deposit
glacial, pasir dan kerikil, kipas alluvial dataran banjir dan deposit delta pasir semuanya merupakan
sumbersumber air yang sangat baik. Pada suatu akuifer, air tanah menempati lubang batuan yang
dikenal sebagai pori-pori batuan maupun lubang yang besar. Retakan mungkin terdapat dalam
batuan kristalin maupun batuan padat dan mungkin mempunyai ukuran kapiler maupun subkapiler.
Air yang disimpan dalam retakan disebut air celah dan air retakan. Lubang-lubang yang besar
merupakan ciri formasi batu kapur dan kadang-kadang batuan gunung berapi. Pori-pori merupakan
ciri batuan sedimen klasik dan bahan butiran lainnya. Kapasitas penyimpanan/cadangan air suatu
bahan ditujukan oleh porositas yang merupakan nisbah volume rongga dengan volume total
batuan (Seyhan, 1993).
2.3 Kondisi Air Tanah Dataran Alluvial
Dataran alluvial merupakan dataran yang terbentuk akibat proses-proses geomorfologi
yang lebih didominasi oleh tenaga eksogen antara lain iklim, curah hujan, angin, jenis batuan,
topografi, suhu, yang semuanya akan mempercepat proses pelapukan dan erosi. Hasil erosi
diendapkan oleh air ke tempat yang lebih rendah atau mengikuti aliran sungai. Dataran alluvial
menempati daerah pantai, daerah antar gunung, dan dataran lembah sungai. Daerah alluvial ini
tertutup oleh bahan hasil rombakan dari daerah sekitarnya, daerah hulu ataupun dari daerah yang
lebih tinggi letaknya. Potensi air tanah daerah ini ditentukan oleh jenis dan tekstur batuan
(Handoyo, 2008).
Volume air tanah dalam dataran alluvial di tentukan oleh tebal danpenyebaran
permeabilitas dari akuifer yang terbentuk dalam aluvium dan diluvium yang mengendap dalam
dataran. Apabila suatu daerah materi penyusunnya atas materi halus (liat/berdebu) umumnya
permeabilitasnya kecil, sedangkan suatu daerah yang tersusun atas pasir dan kerikil
permeabilitasnya besar. Air tanah yang mengendap di dataran banjir ditambah langsung dari
peresapan air susupan. Permukaan air tanahnya dangkal sehingga pengambilan air dapat dengan
sumur dangkal (Handoyo, 2008).
2.4 Sifat-sifat Batuan terhadap Air Tanah
Akuifer sering pula disebut waduk air atau formasi air. Formasi batuan yang merupakan
kebalikan dari akuifer adalah akuifug (Aquifug), seperti misalnya granit. Akuifug merupakan formasi
batuan yang tidak dapat menyimpan dan melalukan air (Fetter, 1988).
Sifat batuan lain yang berhubungan dengan air tanah adalah akuiklud dan akuitard.
Menurut Walton (1970), akuiklud adalah formasi batuan yang dapat menyimpan air tetapi tidak
dapat melalukannya dalam jumlah yang berarti, misalnya liat, serpih, tuf halus dan batuan lain yang
butirannya berukuran liat, sedangkan akuitard adalah formasi batuan dengan susunan sedemikian
rupa, sehingga dapat menyimpan air, tetapi hanya dapat melalukannya dalam jumlah terbatas
seperti misalnya pada rembesan atau kebocoran.
Ada berbagai formasi geologi yang dapat berfungsi sebagai akuifer. Formasi geologi
tersebut adalah endapan aluvial, batu gamping, batuan vulkanik, batu pasir serta batuan beku dan
batuan metamorfose (Todd, 1980). Sekitar 90% air tanah terdapat pada endapan aluvial yang
merupakan bahan lepas seperti pasir dan kerikil. Ditinjau dari muka air tanah, akuifer
dikelompokkan menjadi akuifer bebas dan akuifer tertekan (Bouwer, 1978). Air tanah yang berasal
dari akuifer bebas umumnya ditemukan pada kedalaman yang relatif dangkal, kurang dari 40
meter. Tinggi permukaan air dan kemiringannya bervariasi, sedangkan fluktuasi muka air tanah
berhubungan erat dengan volume air dalam akuifer. Kasus khusus dari akuifer bebas adalah
adanya akuifer menggantung (perched aquifer), yang terjadi akibat terpisahnya air tanah dari tubuh
air tanah utama oleh suatu formasi batuan yang kedap air (Kodoatie, 1996). Lensa-lensa liat pada
batuan endapan seringkali membentuk akuifer menggantung.
Pada akuifer tertekan, air tanah terletak di bawah lapisan kedap air dan mempunyai
tekanan lebih besar daripada tekanan udara. Akuifer jenis ini sering pula disebut akuifer artesis. Air
tanah pada akuifer ini, dibagian atas ditekan oleh lapisan batuan kedap air, sehingga tekanannya
melebihi tekanan atmosfir. Bila sumur menembus lapisan akuifer ini, air tanah akan naik melebihi
lapisan penekannya atau bahkan muncul di permukaan tanah (Chorley, 1969).
Disamping kedua jenis akuifer tersebut, ada pula yang disebut akuifer semi tertekan dan
akuifer semi tidak tertekan yang merupakan kombinasi dari kedua jenis akuifer tersebut (Krussman
dan de Ridder, 1970). Akuifer semi tertekan sering dijumpai di daerah lembah aluvial dan dataran,
yang air tanahnya terletak di bawah lapisan yang setengah kedap.
Selanjutnya, air tanah sebagai salah satu komponen dalam siklus hidrologi, akan
mengalami perubahan komposisi kimia, baik berupa penambahan maupun pengurangan
konsentrasi unsur kimia (Stauffer dan Canfield, 1992). Adapun proses-proses yang dapat
mempengaruhi perubahan komposisi kimia tersebut diantaranya adalah hujan, evaporasi dan
transpirasi, pelarutan air fosil, pertukaran kation, pelarutan mineral, proses oksidasi-reduksi serta
aktivitas manusia. Menurut Wagner, et al (1992) adanya air tanah asin di daratan merupakan salah
satu bentuk pencemaran air, yang umumnya disebabkan oleh intrusi air laut. Aktivitas manusia
merupakan penyebab utama fenomena ini, terutama akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan,
pembangunan permukiman yang sangat pesat di perkotaan, serta usaha tambak udang dan ikan di
pantai. Meskipun demikian, faktor lingkungan alami juga dapat mempermudah terjadinya intrusi air
laut, seperti karakteristik pantai dan batuan penyusun, kekuatan aliran air tanah ke laut dan
fluktuasi air tanah di daerah pantai.
2.5 Jenis-Jenis Akuifer
Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air disebut akuifer. Menurut Krussman
dan Ridder (1970) bahwa macam-macam akuifer sebagai berikut:
2.5.1 Akuifer bebas (Unconfined Aquifer)
Akuifer bebas adalah lapisan lolos air yang hanya sebagian terisi oleh air dan
berada di atas lapisan kedap air. Permukaan tanah pada akuifer ini disebut dengan water
table (preatik level), yaitu permukaan air yang mempunyai tekanan hidrostatik sama
dengan atmosfer
2.5.2. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer)
Akuifer tertekan adalah akuifer yang seluruh jumlah air yang dibatasi oleh lapisan
kedap air, baik yang di atas maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih
besar dari pada tekanan atmosfer.
2.5.3. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer)
Akuifer semi tertekan adalah akuifer yang seluruhnya jenuh air, dimana bagian
atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dibagian bawahnya merupakan lapisan kedap
air.
2.5.4. Akuifer Semi Bebas (Semi Unconfined Aquifer)
Akuifer semi bebas adalah akuifer yang bagian bawahnya yang merupakan lapisan
kedap air, sedangkan bagian atasnya merupakan material berbutir halus, sehingga pada
lapisan penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air. Dengan demikian akuifer
ini merupakan peralihan antara akuifer bebas dengan akuifer semi tertekan.
Todd (1980) menyatakan tidak semua formasi litologi dan kondisi geomorfologi
merupakan akuifer yang baik. Berdasarkan pengamatan lapangan, akuifer dijumpai pada
bentuk lahan sebagai berikut:
a. Lintasan air (water course), materialnya terdiri dari aluvium yang mengendap di
sepanjang alur sungai sebagai bentuk lahan dataran banjir serta tanggul alam.
Bahan aluvium itu biasanya berupa pasir dan kerikil.
b. Lembah yang terkubur (burried valley) atau lembah yang ditinggalkan
(abandoned valley), tersusun oleh materi lepas-lepas yang berupa pasir halus
sampai kasar.
c. Dataran (plain), ialah bentuk lahan berstruktur datar dan tersusun atas bahan
aluvium yang berasal dari berbagai bahan induk sehingga merupakan akuifer
yang baik.
d. Lembah antar pegunungan (intermontane valley), yaitu lembah yang berada
diantara dua pegunungan, materialnya berasal dari hasil erosi dan gerak massa
batuan dari pegunungan di sekitarnya.
e. Batu gamping (limestone), air tanah terperangkap dalam retakan-retakan atau
diaklas-diaklas. Porositas batu gamping ini bersifat sekunder. Batuan vulkanik,
terutama yang bersifat basal. Sewaktu aliran basal ini mengalir, ia mengeluarkan
gas-gas. Bekas-bekas gas keluar itulah yang merupakan lubang atau pori-pori
dapat terisi air (Todd, 1980).
III. METODOLOGI
3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penetapan kawasan zonasi adalah dengan menggunakan
beberapa peta sebaran sumberdaya lembar kabupaten bogor yang terdiri dari,
1. Peta geologi
2. Peta hidrogeologi
3. Peta kemiringan lereng
4. Peta kawasan hutan
5. Peta jenis tanah, dan
6. Peta administrasi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari hardwere menggunakan computer
jenis PC Intel Core 2 Duo ® dan Softwere Arcview GIS 3.3 serta Ms. Word dan Ms. Excel untuk
pengolahan data.
3.2 Teknik Analisis Data
Pendekatan yang dilakukan pada dasarnya bersifat deskriptif analisis dengan melakukan
upaya pendeskripsian zonasi resapan air tanah dengan menggunakan beberapa data dan peta-
peta yang menggunakan aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografik) dengan teknik tumpang susun
(over lay) sehingga menghasilkan peta analisis zonasi resapan air tanah, dapat dilihat pada
gambar bagan. Analisis peta-peta yang memiliki skala peta yang berbeda dapat diproyeksikan ke
skala lebih besar dengan menambah informasi dalam peta tersebut. Selanjutnya peta dikonversi
dan dikoreksi dengan memasukkan data-data yang terdapat pada peta-peta yang dilakukan over-
lay.
3.6 Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metoda deskriptif. Secara harfiah dimaksudkan untuk
membuat gambaran mengenai situasi, kondisi, atau kejadian, sehingga lebih mengarah
menghimpun data dasar. Metoda ini secara lebih umum sering disebut sebagai metoda survei.
Penelitian dilakukan untuk memperoleh fakta dari gejala gejala yang ada secara faktual (Nasir,
1988). Kajian dalam pendekatan ini memberi gambaran mengenai situasi yang berkaitan dengan
bentang alam (land scape) berdasarkan peta topografi wilayah untuk menentukan batas-batas
alami dari suatu kawasan daerah resapan (recharge area), sebaran batuan berdasarkan peta
geologi dan sebaran vegetasi (tutupan lahan)
Gambar bagan langkah kerja pembuatan peta zonasi Kawasan Resapan Air
Peta administrasi
Peta jenis tanah
Peta kawasan hutan
Peta kemiringan lereng
Peta hidrogeologi
Peta geologi
Digitasi Peta sebaran SDA
Over lay
Peta Zonasi Kawasan resapan Air
Nilai-nilai dan kriteria
penetapan Zonasi
IV. HASIL PROJECT
Berikut peta hasil digitasi dan peta zonasi,
4.1 Peta geologi
4.2 Peta hidrogeologi
4.3 Peta kemiringan lereng
4.4 Peta kawasan hutan
4.5 Peta jenis tanah
4.6 Peta administrasi
4.7 Peta daerah Rawan Erosi
4.8 Peta Zonasi Kawasan Resapan Air
V. PEMBAHASAN
5.1 Pembentukan Zonasi Daerah Resapan Air
Zonasi merupakan pengelompokan dari suatu kawasan yang memiliki satu kesamaan
atau keseragaman. Zonasi dalam ilmu bentang alam (land scape) adalah pembentukan zona atau
wilayah yang memiliki keseragaman tertentu di suatu kawasan dengan pembatasan wilayah atau
bentukan topografi.
Teknik zonasi ini juga digunakan untuk menjaga kualitas air dan menjaga debit
produktifitas air disuatu kawasan, dengan menentukan luas daerah wilayah dan mengkaji daya
serap tanah dengan teknik peresapan air melalui penanaman tumbuhan yang tepat dan
pembangunan sumur-sumur resapan. Zonasi juga terkait erat dengan perilaku masyarakat sekitar
daerah zonasi, apakah sebuah wilayah zona tertentu akan dijaga atau dialih-fungsikan.
5.2 Delineasi Zonasi Kawasan
Dalam konsep perlindungan sumberdaya air atau mata air ini adalah menentukan zonasi
dari kawasan daerah resapan yang telah ditentukan batas-batas alaminya (delineasi). Setelah
dilakukan delineasi zonasi daerah resapan air dengan proses Sistem Informasi Geografis dengan
metoda tumpang susun (over lay) yang menggunakan data-data dan peta-peta sebaran SDA maka
dapat terbentuk peta arahan zonasi.
Pembagian dan banyaknya zonasi dari sebuah daerah resapan mata air tersebut sangat
bergantung kepada sifat dan karakteristik dari kawasan daerah resapan itu sendiri, misalnya jenis
dan karakteristik batuan penyusun kawasan, penggunaan dan peruntukan lahan daerah resapan,
kondisi topografi dan lainnya.
Di Indonesia dan khususnya di kalangan PDAM, dikenal dengan pembagian zonasi
kawasan daerah resapan dalam 3 (tiga) zona, yaitu zona I, zona II dan zona III. Pembagian ke
dalam tiga zona tersebut lebih mempertimbangkan kepada aspek mobilitas dan daya tahan hidup
bakteri dalam aliran air tanah (air bawah permukaan), dimana asumsinya bahwa bakteri akan
dapat bertahan hidup didalam tanah dalam aliran air selama kurang lebih 30 hari, dimana secara
umum dianggap bahwa kecepatan aliran air tanah adalah sekitar 2 meter per harinya, sehingga
disimpulkan bahwa diperlukan jarak sekitar 60 meter sejak bakteri masuk pertama kali kedalam
tanah dan diharapkan akan mati pada saat keluar terbawa oleh air dari mata air setelah melewati
jarak dalam tanah sekitar 60 meter, sehingga PDAM membuat pedoman batasan untuk zona I
adalah sekitar 60 s/d 70 meter dari lokasi dimana mata air keluar dari dalam tanah.
Secara teknis model pembagian zona seperti tersebut, maka pembagian zona dapat
dibagi ke dalam beberapa zona yang dapat disesuaikan dengan kompleksitas dan kondisi
dilapangan juga disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pembagian zonasi tersebut. Berdasarkan
kompilasi data dan peta, kondisi dan data-data dilapangan juga berdasarkan hasil diskusi dan
kesepakatan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, maka dalam proses pembuatan model
zonasi ini dibuat ke dalam 3 (tiga) zonasi, antara lain :
5.2.1 Zona I
Suatu kawasan yang berada di bagian hulu (atas) dari lokasi keluarnya mata air
atau kolam penampungan alami. Tidak ada batasan luas area dan jarak mendatar,
adapun dalam penentuan batasan di lapangan sangat bergantung kepada kondisi
topografi dan geologi (jenis batuan) serta penggunaan lahan. Zona I ini berada dan
berbatasan langsung dengan kolam penampungan alami dari suatu mata air, maka
penggunaan lahan untuk zona ini hanya diperuntukan sebagai kawasan konservasi dan
kawasan lindung dengan penggunaan lahan sebagai hutan, tidak boleh ada kegiatan
pengolahan dan penggunaan lahan secara konvensional, pemukiman, kandang ternak,
lokasi penimbunan sampah dan sumber-sumber potensi polutan lainnya.
5.2.2 Zona II
Zona II adalah kawasan yang berada lebih ke arah hulu dan berbatasan langsung
dengan zona I, tetapi tidak ada batasan jarak secara mendatar dan batasan luas.
Beberapa kondisi dalam menentukan jarak mendatar dan luas zona II ini adalah
penggunaan dan peruntukan lahan, jenis batuan dan geologi, kondisi topografi dan
kelerengan. Pada zona II ini mulai diperbolehkan melakukan beberapa penggunaan dan
pengolahan lahan secara sangat terbatas. Kegiatan pada area zona II ini tidak akan
secara langsung mempengaruhi kondisi kualitas sumberdaya air, akan tetapi masih
sangat besar pengaruhnya terhadap potensi sumberdaya air dari mata air tersebut.
5.2.3 Zona III
Zona III adalah suatu kawasan yang berada pada bagian hulu diatas kawasan
zona II, tidak terdapat batasan jarak mendatar dan besarnya luas. Dalam menentukan
batasan zona III ini sangat ditentukan oleh kondisi dilapangan sehingga dalam proses
analisis dan penentuan zonasi diperlukan data primer yang langsung diamati dilapangan
dan juga verifikasi data pada saat penentuan batas zonasi. Beberapa aspek yang
mempengaruhi zona III ini adalah aspek topografi dan kelerengan, tata guna dan
peruntukan lahan serta geologi dan jenis batuan.
5.3. Analisis Zonasi
Berikut disajikan data hasil perhitungan luas daerah tipa zonasi daerah resapan air pada
table:
Zonasi Hidrogeologi Luas (ha) Presentase Luas
(%)
Zona I Akuifer dengan produktivitas sedang dan penyebaran luas
9750.54 4.112052496
Zona II Akuifer dengan produktivitas sedang dan penyebaran luas, setempat Akuifer produktif
87860.66 37.05309104
Zona III Setempat akuifer produktif 122074.00 51.48173295
Daerah air Tanah Langka 17435.80 7.353123511
Jumlah 237121 100
Berdasarkan data pada table di atas, didapat bahwa secara umum daerah resapan air di
Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelas zonasi. Yaitu Zona I, Zona II, dan Zona
III. Daerah air tanah langka dimasukkan ke dalam Zona III dimana pada daerah ini hanya sedikit
ditemukan daerah resapan air, walaupun ada biasanya resapannya tidak berarti. Zona I memiliki
luas 9750.54 Ha, Zona II dengan luas 87860.66 Ha, dan Zona III dengan luas 139509.8 Ha.
Dari ketiga Zona tersebut, Zona I memiliki presentase luas paling kecil (hanya sekitar
4.112 %) dari luas total kabupaten Bogor. Sedangkan Zona III merupakan yang paling
besar presentasenya (mencapai 58.83 %) dari luas tital Kabupaten Bogor. Jika dilihat dari
persebaran kondisi geologi maupun hidrogeologinya, daerah dengan Zona I merupakan
daerah yang memiliki Akuifer kecil produktif lokal dengan jenis batuan tersier yang
tersebar sangat terbatas pada bagian timur Kabupaten Bogor. Di sekitar daerah
Kecamatan Jonggol dan Sukamakmur dan sedikit di daerah Cigudeg. Zona I merupakan
daerah resapan utama dan tidak boleh digunakan untuk fungsi selain daerah resapan.
Fungus alami dari daerah ini dibiarkan alami dan tidak digunakan untuk aktifitas industri,
pemukiman, maupaun aktifitas hasil budaya lainnya. Sedangkan Zona II persebarannya
cukup luas di daerah bagian selatan yang nerupakan daerah pegunungan dan termasuk
kawasan hutan lindung dengan jenis akuifer luas pruduktifitas sedang sampai tinggi dan
bahan dari gunung api muda. Zona II merupakan daerah penyangga resapan air utama
setelah daerah Zona I. dalam pemanfaatan atau kebijakan penggunaan lahan yang
digunakan di atas Zona II ini lebih tolerir dibandingkan daerah Zona I. Zona II masih
dimungkinkan dalam penggunaan lahan oleh manusia. Seperti pemggunaan pemukiman
dengan beberapa persyaratan dan penerapan pertanian konservasi. Daerah Zona III
paling besar persebarannya, hampir menutupi seluruh bagian Kota bogor. Sebenarnya,
daerah Zona III yang terbentuk di sini bukan merupakan proses pembentukkan secara
alami, melainkan akibat penyebaran daerah kedap air yang luas di Zona ini. Daerah-
daerah kedap tersebut antara lain, bangunan-banguan serta jalan-jalan buatan manusia.
Air tidak dapat masuk dan terinfiltrasi dengan baik ke dalam tanah. Sering terjadi
limpahan air ke daerah Jakarta yang menimbilkan banjir pada musim hujan. Sedangkan
pada musim kemarau tidak tersedia cukup air karena hanya sedikit air yang masuk ke
dalam tanah.
VI. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil Project ini didapat rekomendasi penentuan
kebijakan penggunaan lahan terhadap daerah Zonasi, natara lain :
a. Pada zona I tidak boleh ada aliran air permukaan (run-off) yang dapat masuk
kedalam kolam penampungan alami, untuk menghindari adanya berbagai material
polutan yang terbawa oleh aliran air permukaan sehingga akan menurunkan kualitas
sumberdaya air tersebut.
b. Pada area zona II diperbolehkan terdapatnya aktifitas pemukiman dengan batasan-
batasan yang secara ekologi, tidak diperbolehkan terdapatnya aktifitas penimbunan
sampah atau tempat pembuangan sampah akhir (TPS/TPA), lokasi penimbunan
bahan kimia, kandang ternak dan peternakan serta kegiatan yang berpotensi
menimbulkan pencemaran seperti perbengkelan dan industri. Akan tetapi pada area
zona II ini masih diperbolehkan beberapa kegiatan budidaya pertanian kering, seperti
ladang, kebun dengan tanaman keras dan tumpangsari dan pertanian dengan
menggunakan pupuk organik dan memperhatikan kaidah-kaidah ekologi kawasan.
c. Di dalam zona III tidak diperbolehkan ada kegiatan pengolahan dan aktifitas
masyarakat, karena kawasan ini merupakan Kawasan Pelestarian Alam lindung dan
juga kawasan lindung untuk kawasan zona II, di luar kawasan lindung kegiatan
pertanian diperbolehkan dengan batasan-batasan yang harus mengacu kepada
konservasi tanah dan air dan penggunaan pupuk organik, pemukiman penduduk
skala kecil (bukan komplek perumahan yang besar) yang sangat tergantung pada
aspek jenis dan sifat batuan penyusun daerah tersebut dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Ahnert, F.A. and Williams, P.W. 1997. Karst Landform Development in a Threedimensional
Theoretical Model. Z. Geonlorph. N.F, Suppl. Bd108, 63 - 80.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Bouwer, H. 1978. Ground Water Hydrology. McGraw-Hill Book Company., New York.
CIFOR, 2002, Warta Kebijakan, Ford Foundation and ADB.
Chorley. 1969. Introduction to Physical Hydrology. Barnes and Noble Inc., New York.
Fetter, C.W. 1988. Applied Hydrogeology. Second edition. MacMillan, New York.
Suharta, K.; Merit, N. dan Sunarta, N. 2008. Studi Peresapan Air Hujan di Kota Denpasar.
Journal Ecotropic 3 (2) : 49 - 54.
Todd, D.K. 1980. Ground Water Hydrology. John Wiley and Sons Inc., New York.
Todd, D. K. 1980. Ground Water Hydrology. Mc Graw ñ Hill Book Company., New York.