Transcript

PENDAHULUAN1.1 Latar belakangSebagai masyarakat Indonesia, kita harus mengetahui berbagai macam kebudayaan yang ada di negara kita. Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, dengan mengenal dan mengetahui hal itu, masyarakat Indonesia akan lebih mengerti kepribadian suku lain, sehingga tidak menimbulkan perpecahan maupun perseteruan. Pengetahuan tentang kebudayaan itu juga akan memperkuat rasa nasionalisme kita sebagai warga negara Indonesia yang baik. Selain hal-hal di atas, kita juga dapat mengetahui berbagai kebudaya di Indonesia yang mengalami akulturasi. Karena proses akulturasi yang terjadi tampak simpang siur dan setengah-setengah. Contoh, perubahan gaya hidup pada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan yang seolah-olah sedikit demi sedikit mulai mengikis budaya dan adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa masyarakat yang masih sangat kolot dan hampir tidak mempedulikan perkembangan dan kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli mereka.Karena latar belakang di atas kita menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat Minangkabau. Makalah ini akan memberikan wawasan tentang masyarakat Minangkabau yang memiliki keragaman suku dan budaya.

1.2 Rumusan Masalah

1.Bagaimanakah Asal usul suku Minangkabau?2.Bagaimanakah Pembagian warisan dalam adat Minangkabau?3.Bagaimanakah Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Minangkabau?4.Bagaimanakah Subyek Hukum dalam Hukum Waris adat Minangkabau5.Bagaimanakah Perkembangan Hukum Waris Adat Khususnya dalam adat Minangkabau?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui keadaan masyarakat minangkabau, system kekerabatan, religi/kepercayaan,sistem pembagian warisan,serta adat istiadat yang ada dimasyarakat minangkabau.

PEMBAHASAN

2.1 Asal Usul Suku Minangkabau

Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat. Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau.Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja. Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula melengkapi menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya.Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termauk sedikit. Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, ataukeperluandagangolehMaatschappijKoningkliykeVOC. Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi lebih kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah,sesuatu yang pernah terjadidanberlaku. Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkanbukti -buktiprasasti. Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkankepada anakkemenakan.

Minangkabaumenurutsejarah Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakinisebagaitambo. Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaanMinangkabau itu sudahadasejakabad pertamaMasehi.Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijayaabad ketujuh sampai empat belas Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengankerajaanPagaruyung. Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung,sepertiDeli,Siak,NegeriSembilandan negeri-negeri lainnya. Minangkabau menuruttambo Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalam tambo terdapat dua hal:(1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertamadatangsampaikepada masakejayaan kerajaanPagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan. Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang keMinangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam,HarimauCampo,AnjiangMualim,KambiangHutan. Masing-masing nama itu kemudian dijadikan lambang dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunyai seorang penasehat ahliyang bernamaCatiBilangPandai. Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudiandikenal dengangelar DatukPerpatihNanSabatangpendiri kelarasan Bodi Caniago. Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasaidaerah sampai keBukitBatu Patah dan terus ke Pagaruyung. Makaurutankerajaandi dalamTambo Alam Minangkabau adalah:(1)Kerajaan Pasumayan Koto Batu,(2)Kerajaan Pariangan PadangPanjang(3)Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh DatukPerpatih NanSabatang(4)Kerajaan BungoSitangkai (5)Kerajaan BukitBatuPatahdanterakhir(6)Kerajaan Pagaruyung. Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasankerajaanPagaruyung. Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto PiliangdanBodiCaniago. Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari induknya Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punyaberbagaivariasi, karena setiapnagaripunya tambo. Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya.Namunpadaumumnyatambomenguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.

2.2 Pembagian warisan dalam adat Minangkabau

Cara-cara pewarisan yang dimaksud ialah proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris dalam pengertian adat Minangkabau lebih banyak berarti proses peralihan peranan dari pewaris kepada ahli waris dalam hal yang menyangkut penguasaan harta pusaka. Cara-cara peralihan itu lebih banyak tergantung kepada macam harta yang akan dilanjutkan dan macam ahli waris yang akan melanjutkannya. Pewarisan harta ini di Minangkabau terbagi atas :

a.Pewarisan Harta Pusaka

Harta adalah harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota kaum secara kolektif pula, maka kematian seseorang dalam kaum tidak banyak menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu. Penerusan harta atau peranan pengurusan atas harta pusaka hanya menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum dimasuki unsur harta pencarian yang kemudian menjadi harta pusaka rendah. Bila harta pusaka telah tercampur antara pusaka tinggi dan pusaka rendah maka timbul kesukaran. Timbulnya kesukaran ini ialah karena adanya pemikiran bahwa harta pencarian suatu kaum atau rumah, hanya berhak dilanjutkan oleh keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih kerumah lain walaupun antara kedua rumah itu terlingkup dalam pengertian satu kaum dalam artian yang lebih luas. Menelaah pemaparan di atas, maka harta pusaka itu terdiri dari dan penguasaannya dilakukan oleh: Harta pusaka tinggi dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau kerabat (famili) yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau mamak kepala waris.

Harta pusaka rendah dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil, yang terdiri dari istri dan anak-anaknya; atau suami dengan saudara-saudara kandungnya beserta keturunan saudara perempuan yang sekandung.

Ria Agustar, Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hal. 53-59.

b.Pewarisan Harta Bawaan

Harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh seorang suami kerumah istrinya pada waktu perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil pencarian sendiri yang didapat menjelang berlangsungnya perkawinan atau hibah yang diterimanya dalam masa perkawinan dan harta kaum dalam bentuk hak pakai genggam beruntuk yang telah berada ditangan suami menjelang kawin atau didapatnya hak tersebut dalam masa perkawinan. Kedua macam harta bawaan itu, karena timbul diluar usaha suami istri, adalah hak penuh si suami, maka tidak ada hak istri didalamnya. Bila suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaanberlakulah ucapan adat bawaan kembali, tepatan tinggal.

Pengertian harta bawaan kembali ialah pulangnya harta itu kembali ke asalnya yaitu kaum dari suami. Tentang kembalinya harta yang berasal dari harta pusaka adalah jelas karena hubungan suami dengan harta pusaka itu hanya dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum.

Sebagaimana layaknya, harta pinjaman kembali ke asalnya. Sedangkan harta bawaan yang berasal dari hasil pencarian pembujangan si suami sebelum kawin juga kembali kepada kaum sebagaimana harta pencaharian seseorang yang belum kawin. Bila dibandingkan status kedua bentuk harta itu, maka pada harta pusaka, hak kaum didalamnya lebih nyata sedangkan pada harta pencaharian, adanya hak kaum lebih kabur. Oleh karena itu pada bentuk yang kedua ini lebih banyak menimbulkan sengketa. Pada bentuk yang pertama sejauh dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah harta pusaka, pengadilan menetapkan kembalinya harta itu kepada kaum dari suami.

c. Pewarisan Harta Tepatan Yang dimaksud dengan harta tepatan atau harta dapatan ialah harta yang telah ada pada istri pada waktu suami kawin dengan istri itu. Harta yang didapati oleh suami di rumah istri itu dari segi asal-usulnya ada dua kemungkinan yaitu harta pusaka yang ada di rumah itu dan harta hasil usahanya sendiri. Kedua bentuk harta itu adalah untuk anak anaknya kalau ia telah meninggal. Perbedaannya ialah bahwa harta hasil usahanya adalah untuk anak-anaknya saja, sedangkan harta pusaka di samping hak anak-anaknya, juga merupakan hak bagi saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya bersama dengan saudara-saudaranya. Bila si suami meninggal, maka harta tersebut tidak akan beralih keluar dari rumah istrinya itu. Kaum si suami tidak berhak sama sekali atas kedua bentuk harta itu. Apa yang dilakukan selama ini hanyalah mengusahakan harta itu yang hasilnya telah dimanfaatkannya bersama dengan keluarga itu. Suami sebagai pendatang, karena kematiannya itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap harta yang sudah ada di rumah si istri waktu ia datang kesana.

d. Pewarisan Harta PencarianHarta pencarian yang didapat seseorang dipergunakan untuk menambah harta pusaka yang telah ada. Dengan demikian, harta pencarian menggabung dengan harta pusaka bila yang mendapatkannya sudah tidak ada. Dengan menggabungkannya dengan harta pusaka, dengan sendirinya diwarisi oleh generasi ponakan.

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hal. 267. Ria Agustar, op.cit., hal. 54-59.

Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seseorang ayah terhadap anaknya. Dengan adanya perubahan ini, maka harta pencaharian ayah turun kepada anaknya. Dalam penentuan harta pencarian yang akan diturunkan kepada anak itu, diperlukan pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencarian itu. Adakalanya harta pencarian itu milik kaum namun adakalanya pula harta pencarian itu merupakan hasil usaha yang modalnya dari harta kaum, jadi tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta pencarian secara murni. Dalam keadaan demikian tidak mungkin seluruh harta pencarian itu diwarisi oleh anak. Dalam bentuk yang kabur ini maka berlaku cara pembagian menurut alur dan patut. Tidaklah adil bila semua harta diambil oleh anak. Bila harta pencarian tercampur langsung dengan harta pusaka, maka masalahnya lebih rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang didalamnya hanya terdapat unsur harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh karena hak ponakan pasti terdapat didalamnya, hanya kabur dalam pemisahan harta pencarian dari harta kaum. Oleh karena tidak adanya kepastian tentang pemilikkan harta itu, sering timbul sengketa yang berakhir di pengadilan antara anak dan ponakan. Ponakan menganggap harta itu adalah harta pusaka mkaum sedangkan si anak menganggap harta adalah harta pencarian dari ayahnya. Penyelesaian biasanya terletak pada pembuktian asal usul harta itu.

e. Pewarisan Harta Bersama Yang dimaksud harta bersama disini ialah harta yang didapat oleh suami istri selama ikatan perkawinan. Harta bersama ini dipisahkan dari harta bawaan yaitu yang dibawa suami kedalam hidu perkawinan dan harta tepatan yang didapati si suami pada waktu ia pulang ke rumah istrinya itu walaupun sumber kekayaan bersama itu mungkin pula berasal dari kedua bentuk harta tersebut. Harta bersama dapat ditemukan secara nyata bila si suami berusaha dilingkungan istrinya, baik mendapat bantuan secara langsung dari istrinya atau tidak. Dengan demikian hasil usaha suami diluar lingkungan si istri dalam keluarga yang tidak, disebut harta bersama.

2.3 Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Minangkabau

Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi berikutnya. Penegrtian keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan. Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang tata cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam kewarisan. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan Minangkabau adalah sebagai berikut:

a.Asas Unilateral Yang dimaksud asas unilateral yaitu hak kewarisan yang hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan, dan satu garis kekerabatan disini adalah garis kekerabatan ibu. Harta pusaka dari atas diterima dari nenek moyang hanya melalui garis ibu kebawah diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan. Sama sekali tidak ada yang melalui garis laki-laki baik keatas maupun kebawah.

b.Asas Kolektif Asas ini berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang perorangan, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. Dalam bentuk harta pusaka tinggi adalah wajar bila diteruskan secara kolektif, karena pada waktu penerimaannya juga secara kolektif, yang oleh nenek moyang juga diterima secara kolektif. Harta pusaka rendah masih dapat dikenal pemiliknya yang oleh si pemilik diperoleh berdasarkan pencahariannya. Harta dalam bentuk inipun diterima secara kolektif oleh generasi berikutnya.

c.Asas Keutamaan Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibanding yang lain dan selama yang berhak itu masih ada maka yanag lain belum akan menerimanya. Memang asas keutamaan ini dapat berlaku dalam setiap sistem kewarisan, mengingat keluarga atau kaum itu berbeda tingkat jauh dekatnya dengan pewaris. Tetapi asas keutamaan dalam hukum kewarisan Minangkabau mempunyai bentuk sendiri. Bentuk tersendiri ini disebabkan oleh bentuk- bentuk lapisan dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.

2.4 Subyek Hukum dalam Hukum Waris adat Minangkabau

a.Dalam masyarakat Adat Minangkabau dikenal Sistem Kewarisan KolektifCiri sistem kewarisan kolektif ini yaitu harta peninggalan diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaannya dan pemilikannya, setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Kebaikan dari sistem kolektif ini dapat terlihat apabila fungsi harta kekayaan itu diperuntukkan bagi kelangsungan harta anggota keluarga tersebut. Kelemahan dari sistem kolektif ini yaitu menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit, kurang terbuka karena selalu terpancang pada kepentingan keluarga saja.

Ria Agustar,op.cit., hal. 48-50.

b.Ahli WarisDalam hukum waris pada umumnya yang menjadi subyek adalah pewaris dan ahli waris demikian pula halnya dengan hukum waris adat. Pewaris adalah seorang yang menyerahkan atau meninggalkan harta warisan, sedang yang dimaksud dengan ahli waris orang-orang yang berdasarkan hukum berhak menerima warisan. Dalam hukum waris pada umumnya serta pada asasnya yang menjadi ahli waris adalah keturunan langsung dari pewaris, dalam hal ini anak si pewaris. Ini biasa disebut ahli waris utama dan pertama. Selanjutnya siapa yang dapat menjadi pewaris dan ahli waris dalam hukum waris adat, sangat tergantung dari sistem kekeluargaan yang dianut, apakah ssitem patrilineal, matrilineal, parental/bilateal ataukah sistem kewarisan kolektif maupun mayorat. Kalau kita perhatikan sifat dari hukum waris adat, tampak jelas menunjukkan corak-corak yang memang khas yang mencerminkan cara berpikir maupun semangat dan jiwa dari pikiran tradisional Indonesia yang didasarkan atas pikiran kolektif/komunal, kebersamaan serta konkriet bangsa Indonesia. Rasa mementingkan serta mengutamakan keluarga, kebersamaan, kegotong-royongan, musyawarah dan mufakat dalam membagi waris benar-benar mewarnai dari hukum waris adat.

2.5 Perkembangan Hukum Waris Adat Khususnya dalam adat Minangkabau Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihar dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik mamak telah membuatkan suatu aturan permainan antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya. Kedudukan laki-laki dan perempuan berada dalam posisi berimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Dalam hal ini peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan di dalam masyarakat Minangkabau. Pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Hanya saja, waktu itu mereka tidak memakai kata emansipasi, persamaan hak, kesetaraan gender dan lain sebagainya sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat. Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah. Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang. Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja. Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya, sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri. Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal, langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba. Itu berarti, bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada. Dengan demikian, bagaimana perempuan menempatkan dirinya di tengah-tengah keluarga dalam masyarakat Minangkabau dapat diukur berdasarkan, sejauh mana mereka dapat menjalankan aturan adatnya dengan baik. Bila mereka menjalankan adatnya dengan baik, maka sekaligus dia telah menjalankan ajaran Islam dengan baik pula. Matrilinial ini berkaitan erat dengan dengan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari ibu. Ayah tetap menjadi anggota dari kaumnya, demikian pula Ibu masih tetap menjadi anggota keluarganya.

a. Kedudukan suami dalam sistem keturunan matrilinial. Suami tetap menjadi anggota dari kaumnya. Jika yang meninggal dunia suami, maka anak-anaknnya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi ini di karenakan sistem matrilinial menarik garis keturunan dari ibu dan segala bentuk dalam pewarisan hanya akan dibagikan kepada anggota dari kerabat itu sendiri. Sehingga ketika istri yang meninggal suami tidak memiliki hak terhadap harta istri terkecuali terhadap harta suarang dalam masyarakat Minangkabau. Karena harta suarang, harta yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama perkawinan.

b. Kedudukan Istri dalam sistem keturunan matrilinial. Begitu juga istri dalam sistem keturunan matrilinial tetap menjadi anggota dari kaumnya. Di dalam pewarisannya kedudukan seorang istri hanya memperoleh hak waris dari keluarga keterunannya. Ketika istri meninggal maka pewarisan hanya dibagikan kepada garis keturunan dari ibu yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Harta suarang dapat diwariskan kepada pihak suami dan anak-anaknya karena harta suarang,harta yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama perkawinan. c. Kedudukan anak dalam sistem keturunan matrilinial. Kedudukan anak hanya mendapat pewarisan dari pihak ibu dalam pewarisan matrilinial anak tidak mendapatkan pewarisan dari ayah akan tetapi apabila istri yang meninggal atau salah satu kerabat dari garis keturunan ibu yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. meninggal dunia maka anak akan mendapatkan warisan, Ini di karenakan sistem keturunan matrilinial ditarik dari garis ibu.

Asri Thaher,op.cit., hal. 18. Ria Agustar,op.cit., hal. 48-50.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masyarakat Minangkabau yang menganut Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang timbul adalah semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol daripada pria di dalam pewarisan. Pada dasarnya dalam susunan kekerabatan masyarakat adat yang mempertahankan garis keibuan (matrilineal) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak-anak wanita, sedangkan anak-anak pria bukan ahli waris. Kedudukan anak-anak wanita sebagai ahli waris dalam susunan matrilineal berbeda dari kedudukan anak-anak pria sebagai ahli waris dalam susunan patrilineal. Dalam susunan patrilineal kedudukananak-anak lelaki sebagaimana diikatakan Ter Haar bersifat vaderreechtelijke ordening, yaitu berdasarkan tata-hukum bapak, yang berarti segala sesuatunya dikuasai oleh kebapakan, sedangkan dalam susunan matrilineal kedudukan anak wanita sebagai ahli waris bersifat moedererechtelijke groepering, yang berarti segala sesuatunya dikuasai oleh kelompok keibuan. Jadi, bukan semata-mata para ahli waris wanita yang menguasai dan mengatur harta peninggalan, melainkan didampingi juga oleh saudara-saudara ibu yang pria. Di Minangkabau yang menganut sistem kewarisan kolektif wanita terhadap harta pusaka, semua anak wanita yang bertali darah adalah ahli waris dari harta pusaka seketurunannya yang tidak terbagi- bagi pemilikannya, tetapi dikuasai dan diatur mamak kepala warisnya tentang hak-hak pemakaiannya. Para ahli waris anak-anak wanita boleh menggunakan, mengusahakan dan menikmati harta pusaka seperti tanah sawah pusaka, rumah gedung bersama-sama di bawah pengawasan mamak kepala waris. Adat Minangkabau menjalankan asas kekerabatan Matrilineal. Kehidupan mereka ditunjang oleh harta yang dimiliki secara turun temurun. Harta tersebut dimiliki oleh seluruh anggota keluarga. Dalam mekanisme peralihan harta berlaku asas kolektif. Agama Islam dan adat telah menyatu dalam tingkah laku suku bangsa Minangkabau. Ajaran Islam memberikan istilah baru terhadap harta yang diperoleh suami-istri selama melangsungkan perkawainan sebagai harta pencarian. Harta pencarian diwariskan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Harta pencarian tidak lagi diwarisi oleh keponakan secara adat, tetapi diwarisi oleh anak dan istri. Hubungan kekeluargaan juga sangat mempengaruhi terhadap proses pembagian warisan atas harta pencarian. Sistem pewarisan masyarakat adat matrilinial khususnya Minangkabau di tarik dari garis keturunan ibu. Keluarga yang diantaranya suami, istri dan anak tetap menjadi anggota kelompok dari garis keturunannya kecuali untuk harta suarang.Sistem kekeluargaan Minangkabau adalah sistem menarik keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta turun-menurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendahyaitu harta turun dari satu sampai dua generasi. Misalnya; jika yang meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknnya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.

3.2 Saran

Penulisan makalah yang mengenai adat Minangkabau dan pola serta tujuan hidup orang Minang ini masih jauh dari sempurna. Saya selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar pada penyusunan berikutnya semakin baik. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dari semua kalangan.

DAFTAR PUSTAKA

M.S, Amir.2006.Adat Minangkabau.Jakarta:PT. Mutiara Sumber WidyaSoekanto, Soerjono. 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.Agustar, Ria. 2008. Pelaksanaan Pembagian Warisan atas Harta Pencarian dalam Lingkungan Adat Minangkabau di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Nainggolan, Torop Eriyanto Sabar. 2005. Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota\Pontianak, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Thaher, Asri. 2006. Sistem Pewarisan Kekerabatan Matrilineal dan Perkembangannya di Kecamatan Banuhampu Pemerintah Kota Agam Propinsi Sumatera Barat, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.

UNIVERSITAS GADJAH MADAFAKULTAS HUKUM

TUGAS INDIVIDUHUKUM ADAT MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU

DIO AULIA SANDY2013/345450/HK/19447/Z


Recommended