KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat, rahmat, dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sosial
Budaya Kediri.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah pemahaman kami tentang
sejarah, budaya, dan sosial masyrakat khususnya di wilayah Kediri. Terima kasih
pula kami ucapkan kepada teman-teman yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Banyak kendala yang kami alami
dalam menyusun makalah ini. Namun, itu semua tidak menyurutkan niat kami
untuk menyelesaikan makalah ini. Kami telah berupaya menyempurnakan
makalah ini, namun seperti kata pepatah, Tak ada gading yang tak retak maka
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman.
Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami sangat berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, 17 Maret 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya.
Demikian bunyi dari salah satu pepatah lama yang terngiang di telinga kami
ketika mengerjakan makalah ini. Untuk dapat mengerti kondisi dan
perkembangan masyarakat maka tak mungkin kita meninggalkan sejarah
dari masyarakat itu sendiri karena sosial dan budaya dari suatu masyarakat
tidak mungkin dibentuk dalam satu generasi melainkan dari generasi ke
generasi. Perkembangan itu selalu ada dan harus ada, jika tidak terjadi maka
akan terjadi kepunahan. Begitu halnya dengan manusia atau masyarakat.
Kediri menarik kami untuk dijadikan bahasan dalam makalah ini karena
keunikannya. Sebuah daerah kecil di tengah pulau jawa yang tidak memiliki
pantai seperti kebanyakan kerajaan atau daerah lain namun mampu hidup
dan berkembang pesat dan bertahan ditengah persaingan kerajaan-kerajaan
besar yang ada saat itu. Sungai Brantas menjadi nadi kehidupannya.
Sampai dengan saat inipun kota ini masih berdenyut dan bertumbuh
dengan baik dibanding dengan daerah-daerah disekitarnya. Perubahan pola
kehidupan masyarakat terjadi seiring dengan perkembangan jaman.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah Kediri pada masa kerajaan?
2. Bagaimana pemerintahan Kediri pada jaman penjajahan sampai dengan
kemerdekaan saat ini?
3. Warisan seni dan budaya apa saja yang masih lestari di Kediri?
4. Bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat Kediri saat ini?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui sejarah singkat berdirinya Kerajaan Kadiri, masa
kejayaannya, sampai pada masa keruntuhannya.
2. Mengetahui proses pembentukan pemerintahan pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang, hingga Indonesia merdeka saat ini.
3. Mengetahui apa saja yang menjadi warisan seni dan budaya yang dimiliki
oleh Kediri.
4. Mengetahui kondisi sosial budaya masyarakat Kediri dan
perkembangannya pada era modern.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SEJARAH KEDIRI
2.1.1. Letak Geografis
Kota Kediri adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota
berpenduduk 312.000 (2012) jiwa ini berjarak 128 km dari Surabaya, ibu kota
provinsi Jawa Timur terletak antara 0745'-0755' LS dan 11105'-1123' BT. Dari
aspek topografi, Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 meter diatas
permukaan laut, dengan tingkat kemiringan 0-40% dengan luas wilayah 63,40
km.
Struktur wilayah Kota Kediri terbelah menjadi 2 bagian oleh sungai Brantas
yang membujur dari selatan ke utara sepanjang 7 kilometer, yaitu sebelah timur
dan barat sungai. Terletak diantara sebuah lembah di kaki gunung berapi,
Gunung Wilis dengan tinggi 2552 meter. Wilayah dataran rendah terletak di
bagian timur sungai, meliputi Kec. Kota dan Kec. Pesantren, sedangkan dataran
tinggi terletak pada bagian barat sungai yaitu Kec. Mojoroto yang mana di bagian
barat sungai ini merupakan lahan kurang subur yang sebagian masuk kawasan
lereng Gunung Klotok (472 m) dan Gunung Maskumambang (300 m).
2.1.2. Jaman Kerajaan
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "KEDI" yang artinya
"MANDUL" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan". Menurut kamus Jawa
Kuno Wojo Wasito, 'KEDI" berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon
Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama
"KEDI WRAKANTOLO". Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci
yang bertapa di Gua Selomangleng, "KEDI" berarti Suci atau Wadad.
Di samping itu kata Kediri berasal dari kata "DIRI" yang berarti Adeg,
Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).Untuk itu
dapat kita baca pada prasasti Wanua tahun 830 saka, yang diantaranya
berbunyi:
"Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake
panaraban"
(artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.)
Gambar 1. Prasasti Wanua
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa
Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon
Arang. Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri
seperti : Prasasti Ceker, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker,
sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini menyebutkan,
karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah,
"Tanah Perdikan". Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri
Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau
harapannya di Bhumi Kadiri.
Tatkala Bagawanta Bhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja
Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing. Mungkin
saja Kediri tidak akan tampil dalam panggung sejarah, andai kata Bagawanta
Bhari, seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi, tidak mendapatkan
penghargaan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tuladong. Boleh dikata, pada
waktu itu Bagawanta Bhari, seperti memperoleh penghargaan Parasamya
Purnakarya Nugraha, kalau hal itu terjadi sekarang ini. Atau mungkin seperti
memperoleh penghargaan Kalpataru sebagai Penyelamat Liangkungan. Memang
Kiprah Bagawanta Bhari kala itu, bagaimana upaya tokoh spiritual ini
meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang mengancam
daerahnya. Ketekunannya yang tanpa pamrih inilah akhirnya menghantarkan
dirinya sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat kala itu. Ketika itu tidak ada
istilah Parasamya atau Kalpataru, namun bagi masyarakat yang berhasil dalam
ikut serta memakmurkan negara akan mendapat "Ganjaran" seperti Bagawanta
Bhari, dirinya juga memperoleh ganjaran itu berupa gelar kehormatan "Wanuta
Rama" (ayah yang terhormat atau Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai
macam pajak (Mangilaladrbyahaji) di daerah yang dikuasai Bagawanta Bhari,
seperti Culanggi dan Kawasan Kabikuannya.
Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya. maka sebagai
peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai "Pengeleng-eleng"
(Peringatan). Prasasti itu diberi nama "HARINJING B" yang bertahun Masehi 19
September 921 Masehi. Dan disebutlah "Selamat tahun saka telah lampau 843,
bulan Asuji, tanggal lima belas paro terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi).
Budhawara (Hari Rabo), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewata
ahnibudhana, yoga wrsa. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai
nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun
dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini
benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana
tempat. Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah
wilayah administratif seperti sekarang ini.
Sebagian anggota tim penelusuran hari jadi Kota Kediri, yang terdiri dari para
sejarawan dan arkeolog, berpendapat bahwa hari jadi Kediri jatuh pada 27 Juli,
sesuai dengan prasasti Kwak yang ditemukan di Desa Ngabean, Magelang, Jawa
Tengah. Prasasti bertanggal 27 Juli 879 Masehi ini menyebut kata "Kwak", yang
kebetulan adalah nama sebuah desa di Kediri.
Gambar 2. Prasati Kwak
Daerah ini sampai sekarang masih ada. Sebagian lagi menganggap ulang
tahun Kediri seperti tertulis di prasasti Hanjiring A (25 Maret 804 Masehi). Tapi
ada pula yang memakai prasasti Hanjiring B bertanggal 19 September 921
Masehi sebagai patokan.
Menurut bapak MM. Sukarto Kartoatmojo menyebutkan bahwa "hari jadi
Kediri" muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-
C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimunculkan pada
ketiga prasasti. Alasannya Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 masehi,
dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19
September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi. Dilihat dari ketiga tanggal
tersebut menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M.
Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri
tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal
1 berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi
Kabupaten Kediri.
Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo, dalam kamus Melayu, kata "Kediri"
dan "Kendiri" sering menggantikan kata sendiri. Perubahan pengucapan "Kadiri"
menjadi "Kediri" menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala. Yang
pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan pada
kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, di mana perubahan
seperti tadi sering terjadi.
2.2. PEMERINTAHAN
2.2.1. Jaman Penjajahan Hindia Belanda
Belanda yang berdagang di Lisbon untuk mengambil barang dagangan yang
didatangakan dari Asia Selatan oleh bangsa Portugis pada tahun 1580
menghadapi kesukaran, karena kesukaran-kesukaran tersebut Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Hautman datang ke Indonesia (Banten) pada tahun
1596. Dalam hal ini Belanda mendapat rintangan dari orang-orang Portugis
sehingga mereka berusaha untuk mempersatukan pedagang-pedagang Belanda
dal satu badan perdagangan yaitu VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)
pada tahun 1602. Pada tahun 1799 VOC mengalami kerugian besar sehingga
dibubarkan. Segala hal dan kewajibannya diambil oleh Pemerintah Republik
Bataaf (Bataafsche Republik) pada tahun 1799-1807. Pada tahun 1807 Republik
Bataafsche dihapus oleh Kaisar Napoleon Bonaparte dan diganti bentuknya
menjadi Kerajaan Belanda (Koninkrijk Holland), dengan perubahan
ketatanegaraan ini menyebabkan Indonesia menjadi bagian Kerajaan Belanda.
Berdasarkan Staasblad no. 148 tertanggal 1 maret 1906, mulai berlaku
tanggal 1 April 1906 dibentuk Gemeente Kediri sebagai tempat kedudukan
Resident Kediri, sifat pemerintahan otonom terbatas dan sudah mempunyai
Gemeente Road sebanyak 13 orang, yang terdiri atas 8 orang golongan Eropa
dan yang disamakan, 4 orang Pribumi (Inlander) dan 1 orang Bangsa Timur Asing,
dan berdasarkan Stbl No. 173 tertanggal 13 Maret 1906 ditettapkan anggaran
keuangan sebesar f. 15.240 dalam satu tahun, pada tanggal 1 Nopember 1928
berdasarkan Stbl No. 498 menjadi Zelfstanding Gemeenteschap mulai berlaku
tanggal 1 Januari 1928 (menjadi otonom penuh).
Meskipun telah dibentuk de Gemeente Kediri pemerintah dalam negeri ata
de Algemene bestuursvoering tidak dipegang oleh Gemeente Kediri tetepi
dipegang oleh Het Inlandeche Bestuur yang dipimpin oleh Regent Van Kediri
(Bupati) wewenang gemeente Bestuur hanya meliputi pengurusan got-got dalam
kota, pungutan karcis pasar, pemeliharaan jalan kota dan pungutan penneng
sepeda.
Pemerintah umum dipegang oleh Assisten Wedono dan Bupati. Jadi tidak ada
hubungan heararchis didalam pemerintahan umum dengan Bestuur hanya
merupakan hubungan kerja dan kepamongprajaan dipegang oleh Bupati Kediri
2.2.2. Jaman Pendudukan Jepang
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 10 Maret 1942, maka
Kota Kediri pun mengalami perubahan pemerintahan. Karena wilayah kerja
Gemeente Kediri yang begitu kecil dan tugasnya sangat terbatas oleh pemerintah
Jepang daerahnya diperluas menjadi daerah kota sekarang daerah Kediri Shi
dikepalai oleh Shicho. Kediri Shi terdiri dari 3 Son dikepalai oleh Shoncho Son itu
terdiri dari beberapa Ku dikepalai Kucho Pemerintahan Kediri Shi dipimpin oleh
seorang Shicho (Walikotamadya) tidak saja menjalankan pemerintahan otonomi
tetapi juga menjalankan algemeen bestuur (Pemerintahan Umum). Hanya di
bidang otonomi tidak didampingi oleh DPRD. Wewenang penuh ditangan Kediri
Shicho.
2.2.3. Jaman kemerdekaan
Dengan dijatuhkannya bom atom di Hirosyma dan Nagasaki pada tanggal 6
Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945, pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang
menyerah kepada sekutu tanpa syarat. Dengan penuh kesabaran disertai
keberanian dan bertekad lebih baik mati berkalang tanah daripada dijajah
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan kemerdekaanya pada tanggal
17 Agustus 1945 muncullah di Kediri Syodancho Bismo (Mayor Bismo) bersama-
sama tokoh Gerakan Pemuda beralihlah kekuasaan Pemerintah dari tangan
Jepang. Pertemuan besar-besaran dikalangan tokoh masyarakat Kediri dengan
pemuda bertempat di Perguruan Taman Siswa (Jl. Pemuda No. 16 Kediri) dengan
pokok pikiran :
a. Perlu segera diumumkan sikap pernyataan Daerah RI dan aparatur
Pemerintah RI
b. Segera melucuti senjata bala tentara Jepang
Sikap yang tidak ragu-ragu diteruskan dengan pertemuan yang dihadiri oleh
perwakilan tokoh masyarakat, pejabat-pejabat dan exponen bersenjata di
Gedung Nasional Indonesia (GNI).
Mayor Bismo mengawali masuk dan membimbing Fuko Cho Kan Alm. Abdul
Rochim Pratolikrama dan ditengah-tengah gelora massa mengumumkan
kesediaanya berdiri dibelakang Pemerintah RI dan mengangkat diri sebagai
Resident RI Daerah RI. Massa Rakyat dengan pimpinan Mayor Bismo dengan
disertai teriakan Merdeka-Merdeka-Merdeka menyerang markas Ken Pe Tai (Jl.
Brawijaya 27), kemudian dilangsungkan perundingan. Sebagai hasil perundingan,
Jepang menurunkan benderanya dan diganti bendera Merah Putih, habislah
sejarah Pemerintah Jepang di Kediri, maka Pemerintah beralih kepada RI. Mula-
mula walikota didampingi oleh Komite Nasional Kotamadya, kemudian daerah
berkembang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Karesidenan ini wilayahnya diserahkan kepada pemerintahan Hindia-Belanda
dari Mataram pada tahun 1830, setelah berakhirnya Perang Diponegoro.
Kemudian pada tahun 1957 pemerintah Republik Indonesia menghapus
karesidenan sebagai pembagian administratif negara. Wilayah eks-Karesidenan
Kediri melingkupi:
a. Kota Blitar
b. Kota Kediri
c. Kabupaten Blitar
d. Kabupaten Nganjuk
e. Kabupaten Kediri
f. Kabupaten Trenggalek
g. Kabupaten Tulungagung
Dalam administrasi kendaraan bermotor, wilayah Eks-Karesidenan Kediri
diberi kode Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dengan huruf AG.
Meskipun pembagian administratif tersebut sekarang sudah tidak berlaku, masih
banyak masyarakat di Eks-Karesidenan Kediri yang tetap menggunakan sistem
itu, terutama untuk menyelenggarakan acara atau festival, jadi jangan heran jika
banyak orang menemukan poster atau berita yang menuliskan se Eks-
Karesidenan Kediri.
Kota Kediri merupakan ibukota dari Karesidenan Kediri yang terdiri dari
beberapa kota dan kabupaten yaitu Kabupaten Jombang di utara, Kabupaten
Malang di timur, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Tulungagung di selatan,
Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo di barat, serta Kabupaten Nganjuk
di barat dan utara. Kabupaten Kediri memiliki luas wilayah 963,21 km dengan 26
kecamatan.
2.3. WARISAN SENI DAN KEBUDAYAAN KEDIRI
2.3.1. Candi dan prasasti
Benda-benda peninggalan sejarah yang ada di Kediri tergolong sangat banyak
namun sampai saat ini belum mendapat perhatian serius dan perawatan yang
baik dari Dinas terkait maupun pemerintah. Sehingga keadaannya sampai saat ini
cukup memprihatinkan. Beberapa situs yang sudah tertata dengan baik; karena
merupakan tempat tujuan wisata maupun ritual diantaranya adalah:
1. Petilasan Sri Aji Joyoboyo
Gambar 3. Petilasan Sri Aji Joyoboyo
2. Arca Thotok Kerot
Gambar 4. Arca Thotok Kerot
3. Pemandian atau Sendang Tirto Kamandanu
Gambar 5. Sendang Tirto Kamandanu
4. Candi Surowono
Gambar 6. Candi Surowono
5. Gua Selomangleng
Gambar 7. Gua Selomangleng
6. Candi Tegowangi
Gambar 8. Candi Tegowangi
7. Gereja Katolik Puh Sarang
Gambar 9. Gereja Tua Puh Sarang
8. Situs Setono Gedong
Gambar 10. Komplek Setono Gedong
Dari beberapa prasasti dan situs di atas juga terdapat beberapa lagi yang
kurang terawat dan terkenal dimana semuanya juga ada di Kediri dan merupakan
bagian dari sejarah panjang Kediri, yaitu :
9. Situs Tondowongso
Komplek Candi Tondowongso
merupakan situs temuan
purbakala yang ditemukan
pada awal tahun 2007 di
Dusun Tondowongso, Desa
Gayam, Kecamatan Gurah,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Situs seluas lebih dari satu
hektare ini dianggap sebagai
penemuan terbesar untuk
periode klasik sejarah
Indonesia dalam 30 tahun
terakhir (semenjak penemuan
Kompleks Percandian
Batujaya), meskipun
Prof.Soekmono pernah
menemukan satu arca dari
lokasi yang sama pada tahun
1957.
Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh
sejumlah perajin batu bata setempat. Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan
arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan
Gambar 11. Proses Ekskavasi Candi
Tondowongso
Gambar 12. Sudut Candi
Tondowongso
Kadiri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari
kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur.
10. Candi Pandean (Arca Durga)
11. Candi Siti Inggil
12. Candi Joko Dolog
13. Lingga Pakelan
14. Situs Dadapan
15. Situs Botolengket
16. Gua Selo Bale
17. Yoni Burengan
18. Situs Mbah Lumpang
2.3.2. Kesenian dan Sastra
Kesenian yang terkenal dan berkembang di daerah di Kediri antara lain adalah :
1. Kesenian Jaranan
Kesenian Jaranan menyuguhkan berbagai atraksi menarik yang kadang
mampu membangkitkan rasa takjub. Atraksi gerak pemain dengan diiringi
tabuhan gamelan serta sesekali diselingi unsur magis menjadikan kesenian ini
layak ditonton. Di Kabupaten Kediri terdapat beberapa kesenian Jaranan
yang dapat dinikmati diantaranya Jaranan Senterewe, Jaranan Pegon,
Jaranan Dor, dan Jaranan Jowo. Jaranan Jowo merupakan salah satu kesenian
Jaranan yang mengandung unsur magis dalam tariannya. Dimana pada
puncaknya penari akan mengalami trance (kesurupan) dan melakukan aksi
berbahaya seperti Debus yang terkadang di luar akal manusia.
Gambar 13. Penari Jaranan
2. Kesenian Kethek Ogleng
Tari Kethek Ogleng sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tari ini
mengalami masa puncak pada era 70-an. Seiring berjalannya waktu, tari
Kethek Ogleng perlahan-lahan mulai jarang ditampilkan. Pada era 90-an
kegemaran masyarakat dan seniman mulai bergeser. Mereka lebih suka
memainkan jaranan yang gerakan dan musiknya lebih sederhana. Tari Kethek
Ogleng merupakan rangkaian kisah percintaan Panji Asmorobangun dengan
Dewi Sekartaji dalam Cerita Panji.
Gambar 14. Kesenian Kethek Ogleng
Kera atau kethek yang ditampilkan pada cerita tersebut adalah jelmaan
dari Panji Asmorobangun. Dia berubah wujud menjadi seekor kera putih yang
sedang mencari calon pendamping hidup.
Saat berkelana di hutan kera putih berjumpa dengan Endang Roro
Setompe yang merupakan nama lain dari Dewi Sekartaji. Melihat sosok Dewi
Sekartaji yang cantik jelita, Panji pun tergoda. Namun sayangnya Sekartaji
tidak mau memiliki suami seeekor kera. Akhirnya Sekartaji meninggalkan
kera sendirian di tengah hutan.
3. Seni Tiban
Seni Tiban menampilkan aksi penari yang saling mencambuki tubuh
mereka sampai berdarah sebagai bentuk pengorbanan dan ritual untuk
meminta hujan kepada Yang Maha Kuasa. Diyakini oleh masyarakat setempat
darah yang keluar dari tubuh penari akan jatuh menimpa bumi dan mampu
mendatangkan hujan.
4. Seni Qosidah
Seni Qosidah merupakan bentuk kesenian dari perkembangan agama
Islam yang berkembang dengan pesat di Kediri. Hal ini juga dibuktikan
dengan bnyaknya Pondo Pesantren yang ada di Kediri, salah satunya yang
terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo yang ada di Kecamatan Mojoroto.
Qasidah dimainkan secara grup dengan alat musiknya yang paling pokok
adalah rebana, kecrek, dan lain-lain. Satu grup kesenian qasidah terdiri atas
lima hingga enam orang dengan memainkan rebana berbagai ukuran, dari
yang paling kecil hingga rebana yang paling besar, dan ditambah dengan alat
kecrek. Pada perkembangan selanjutnya kesenian qasidah dapat dimainkan
dengan alat kesenian lainnya sesuai keterampilan seniman itu sendiri.
5. Seni Tayub
6. Seni Campursari
7. Seni Ludruk
8. Seni Wayang Orang
9. Seni Wayang Kulit
10. Seni Bantengan
Pada zaman kekuasaan Kerajaan Kediri, kebudayaan berkembang pesat.
terutama pada bidang sastra. Hal ini terbukti dengan adanya hasil-hasil sastra
pada zaman Kerajaan Kediri di antaranya:
1. Krisnayana, diperkirakan berasal dari pemerintahan Raja Jayawarsa.
2. Bharatayuda, dikarang oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh tahun 1157,
pada masa pemerintahan Raja Jayabaya.
3. Arjuna Wiwaha, dikarang oleh Empu Kanwa. Dalam ceritera itu
mengisahkan upacara pernikahan Raja Airlangga dengan putri raja dari
kerajaan Sriwijaya. Cerita ini dibuat pada masa pemerintahan Raja
Jayabaya.
4. Hariwangsa, dikarang oleh Empu Panuluh pada masa pemerintahan Raja
Jayabaya.
5. Bhomakavya, pengarangnya tidak jelas.
6. Smaradhana, dikarang oleh Empu Dharmaja pada masa pemerintahan
Raja Kameswara.
7. Wratasancaya dan Lubdhaka, dikarang oleh Empu Tanakung.
2.4. SOSIAL MASYARAKAT
Menurut berita Cina, pada masa kerajaan masyarakat Kediri hidup
berkecukupan. Penduduk wanitanya memakai kain sarung sampai bawah lutut
dan rambutnya terurai. Rumah mereka bersih dan rapi, lantainya dari ubin
berwarna hijau dan kuning. Dalam upacara perkawinan mereka memakai mas
kawin dari emas dan perak. Masyarakatnya sering mengadakan pesta air (sungai
atau laut) maupun pesta gunung sebagai ungkapan terima kasih kepada para
dewa dan leluhur mereka. Kehidupan perekonomian Kediri berpusat pada bidang
pertanian dan perdagangan. Hasil pertanian masyarakat Kediri umumnya beras.
Sementara barang-barang yang diperdagangkan antara lain emas, kayu cendana,
dan pinang. Walaupun terletak di pedalaman, jalur perdagangan dan pelayaran
maju pesat melalui Sungai Brantas yang dapat dilayari sampai ke pedalaman
wilayah Kediri dan bermuara di Laut Selatan (Samudera Indonesia). Masyarakat
Kediri juga sudah mempunyai kesadaran tinggi dalam membayar pajak. Mereka
membayar pajak dalam bentuk natura yang diambil dari sebagian hasil bumi
mereka.
Dengan perkembangan jaman, pola kehidupan sosial masyarakat sedikit
berubah, penjajah mewariskan tanaman tebu dan beberapa pabrik gula untuk
Kediri. Sedangkan untuk moda transportasi, sekarang masyarakat sudah tidak
mengunakan kali Brantas sebagai jalurnya melainkan dengan jalur darat. Berikut
ringkasan singkat dari beberapa sektor kehidupan masyarakat Kediri.
2.4.1. Pertanian
Sebagian besar lahan pertanian di Kediri selain digunakan untuk sawah
dengan tanaman padi juga ditanami dengan tanaman penghasil gula yaitu tebu.
Kediri dari jaman penjajahan terkenal akan produksi gulanya yang melimpah.
Bahkan samapai saat ini masih ada 3 pabrik tebu yang masih beroperasi di
wilayah Kediri yang merupakan warisan dari bangunan penjajah yaitu :
1. Pabrik Gula Mrican
2. Pabrik Gula Ngadirejo
3. Pabrik Gula Pesantren
2.4.2. Perindustrian
Perindustrian yang terkenal di Kediri dan merupakan salah satu
penyumbang pajak cukai terbesar untuk Indonesia adalah Pabrik Rokok Gudang
Garam. Perusahaan rokok ini masih menggunakan tenaga kerja manusia untuk
melakukan sebagian besar produksinya dan lebih dari 3000 orang buruh bekerja
pada perusahaan ini setiap harinya.
Gambar 15. Pabrik Gudang Garam Kediri
2.4.3. Perdagangan
Dalam beberapa tahun terakhir, berdiri beberapa bangunan baru yang
merupakan pusat belanja dan perdagangan antara lain:
1. Golden Swalayan
2. Borobudur Swalayan
3. Sri Ratu Toserba
4. Kediri Town Square
5. Kediri Plaza
6. Dhoho Plaza
7. Kediri Mall
2.4.4. Pariwisata
Perkembangan jaman mulai melihat bahwa unsur rekreasi penting. Untuk
itu Kediri juga mulai berbenah untuk menata wilayahnya sebagai salah satu
daerah tujuan pariwisata. Hal ini terbukti dengan penataan dan pembangunan
fasilitas yang memadai di lokasi wisata yang sudah ada mauapun dengan
membangun tempat wisata baru.
Ada satu ikon atau landscape baru yang terkenal di Kediri dan menjadi pusat
berkumpul masyarakat ketika liburan yaitu Monumen Simpang Lima Gumul.
Gambar 16. Monumen Simpang Lima Gumul
Monumen ini dibangun di salah satu pintu masuk dan keluar kota Kediri
yang berada di sebelah timur, dimana akan menyambut pengunjung yang datang
dari arah kota Malang dan sekitarnya. Pembangunannya memakan waktu yang
cukup lama karna diimbangi dengan penataan wilayah sekitarnya. Dengan desain
mirip dengan salah satu landscape terkenal yang ada di luar negeri, monumen ini
cukup banyak menarik minat wisatawan untuk mengunjungi dan berfoto.
Wisata Alam yang terdapat di Kediri juga tak kalah menarik untuk
dikunjungi. Fenomena baru-baru ini yang terjadi di Kediri cukup membuat
banyak orang kerepotan adalah peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada Kamis,
13 Februari 2014. Dampaknya cukup luas untuk kawasan pulau jawa, terdeteksi
abu letusannya sampai di kawasan Jawa Barat.
Sebelum meletus, obyek wisata Gunung Kelud menarik banyak minat
pengunjung dengan fenomena terakhirnya adalah Anak Gunung Kelud. Di dalam
obyek wisata ini sebelumnya sudah dibangun dan ditata dengan apik diantaranya
jalan akses yang lebih mudah, pemanfaatan kolam air panas, dan obyek wisata
alam lainnya seperti tempat camping, arena panjat tebing, dan pendakian.
Berikut adalah penampakan Kelud sebelum meletus.
Gambar 17. Gunung Kelud
Selain Gunung Kelud, ada beberapa obyek wisata alam lain seperti air terjun di
wilayah Kediri. Diantaranya adalah:
1. Air terjun Dolo
Air terjun Dolo berada di bagian timur
lereng Gunung Wilis (2.850m) dengan
ketinggian 1800 m dpl. Tumpahan airnya
terbagi tiga bagian dimana bagian yang
paling tinggi sekitar 90 m dan dibawahnya
sekitar 2-5 m. Debit air yang dicurahkan
tidaklah terlalu besar, namun cukup
menarik untuk dinikmati.
Terletak di Dusun Besuki, Desa Jugo
Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri,
Propinsi Jawa Timur. Gambar 18. Air Terjun Dolo
2. Air terjun Ngleyangan
Air terjun Ngleyangan disebut juga Air
Terjun Sekartaji. Jatuhnya air dari
ketinggian + 123 Meter merupakan daya
tarik obyek wisata ini disamping udara
sejuk karena berada diketinggian 800
meter dari permukaan laut. Air terjun ini
terletak di lereng timur gunung Wilis,
tepatnya di Dusun Goliman, Desa Parang
Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri,
Propinsi Jawa Timur.
3. Air terjun Irenggolo
Air Terjun Irenggolo berada di Kawasan
Wisata Besuki, Desa Jugo, Kecamatan
Mojo, Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa
Timur. Di ketinggian 1200 di atas
permukaan laut di gugusan lereng Gunung
Wilis (1950 m). Tumpahan airnya sekitar
80 meter dengan bentuk trap-trap mini
dan pemandangan alam yang indah
dengan suhu sekitar 18 derajat Celcius.
Gambar 19. Air Terjun Ngleyangan
Gambar 20. Air Terjun Irenggolo
Beberapa taman bermain dan tempat berlibur keluarga yang ada di Kediri antara
lain:
1. Taman bermain dan kolam renang Pagora
2. Kolam renang Kuwak
3. Water boom Gumul
4. Taman bermain dan water boom Klothok
5. Bendung Gerak Waru Turi
Makanan khas yang ada di Kediri mungkin sama dengan beberapa daerah lain di
Jawa Timur , ada saat ini beberapa makanan atau jajanan yang sering dijadikan
oleh-oleh para wisatawan dari Kediri antara lain :
1. Tahu kuning
Gambar 21. Tahu kuning
2. Gethuk Pisang
Gambar 22. Gethuk Pisang
3. Krupuk Padang Pasir
Gambar 23. Krupuk Padang Pasir
Krupuk yang proses penggorengannya tidak menggunakan minyak
melainkan menggunakan pasir. Banyak ditemui di sepanjang jalan Yos
Sudarso, Kediri dan berbagai toko oleh-oleh khas Kediri.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Pelajaran yang dapat kami ambil dari pembahasan Kediri adalah dengan
segenap sumber daya yang ada, menerimanya, untuk selanjutnya
mengembangkannya. Tidak memiliki pantai tidak menjadi masalah dalam
hal perdagangan karena masih ada sungai yang dapat digunakan. Tak ada
rotan akar pun jadi, tidak menyerah akan keadaan namun hanya
memerlukan pemikiran kreatif untuk memanfaatkan segala sesuatunya
dengan baik. Berkembang menjadi lebih baik sesuai dengan perputaran
jaman itu perlu karena apabila kita berhenti dan diam maka kita akan
terlindas oleh rodanya.
Hal kedua yang menjadi penting untuk kami pelajari adalah mengenai
kekuasaan. Banyak orang ingin berkuasa dan berpikir enaknya saja akan
kekuasaan itu tanpa mampu melihat tanggung jawabnya, maka kekuasaaan
itu hanya akan melumatnya dan berdampak buruk bagi masyarakat yang
dipimpin.
Kediri, kota kecil di pulau Jawa yang tak pernah berhenti untuk berdenyut.
Bukan karena tidak ada halangan dan masalah, namun karena
masyarakatnya yang tak mau menyerah.
3.2. SARAN DAN KRITIK
Penulis sadar akan keterbatasan yang ada, dengan usaha terbaik pun
kekurangan itu mungkin tetap ada seperti kata pepatah ,Tak ada gading
yang tak retak. Oleh karena itu dengan besar hati penulis akan menerima
setiap kritik dan saran yang disampaikan pembaca guna sesuatu yang lebih
baik nantinya. Akhir dari penulisan ini kami selaku Penulis sampaikan terima
kasih dan semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Karesidenan_Kediri
http://id.wikipedia.org/wiki/Surya_Wonowidjoyo
https://sites.google.com/site/wisataairterjun/jawa-timur/air-terjun-dolo---jugo--
-kediri
https://sites.google.com/site/wisataairterjun/jawa-timur/air-terjun-
ngelayangan---kediri
http://kedirikab.go.id/images/stories/wisata/Surowono/surowono2.jpg
http://www.anneahira.com/kerajaan-kediri-lengkap.htm
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/masyarakat-kerajaan-kediri-
sistem-kehidupan-sosial-dan-ekonomi.html
http://anangpaser.files.wordpress.com/2012/07/od-14330-kawi-inscription-
1218-saka.jpg
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Kediri
http://id-id.facebook.com/notes/kota-kediri/asal-mula-nama-kediri-dan-hari-
jadinya/10150335850332136
http://www11.brinkster.com/kediri/sejarah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kediri
http://jawatimuran.wordpress.com/2012/07/07/pariwisata-dan-seni-budaya-
kabupaten-kediri/
http://nherdiyanto.wordpress.com/2011/01/27/menapak-jejak-kerajaan-kediri/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kediri
http://www.Brangwetan.wordpress.com
http://cahyarani.wordpress.com/2009/12/14/kehidupan-budaya-kerajaan-
kediri/
http://kedirikab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=270&Ite
mid=284&lang=en
http://www.phrikediriraya.com/images/free/real/jayabaya.jpg