1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat menuju perubahan keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu
perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek
keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian
dalam keperawatan.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara
jelas terhadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada
Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya, pada ayat (4)
disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesional sebagai
profesi di pengaruhi oleh berbagai perubahan, perubahan ini sebagai akibat
tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan professional
antara lain adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keperawatan yang pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan
keperawatan professional di Indonesia.
Disamping itu dipicu juga adanya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
dan UU No. 8 tahun 1999 tentang perkembangan konsumen sebagai akibat
kondisi sosial ekonomi yang semakin baik, termasuk latar belakang pendidikan
yang semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan pelayanan keperawatan yang
semakin berkualitas. Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya
dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang profesional. Dalam konsep profesi
terkait erat dengan 3 nilai sosial yaitu:
1. Pengetahuan yang mendalam dan sistematis.
2
2. Ketrampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan
teliti.
3. Pelayanan atau asuhan kepada yang memerlukan, berdasarkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat
moral yang diyakini yaitu “Etika Profesi”.
Dalam profesi keperawatan tentunya berpedoman pada etika profesi
keperawatan yang dituangkan dalam kode etik keperawatan. Sebagai suatu
profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam
MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS
VI/PPNI/2010 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia.
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi
keprofesian untuk mengembangkan jaminan pelayanan keperawatan yang
berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang professional. Dalam
menjalankan profesinya sebagai tenaga perawat professional senantiasa
memperhatikan etika keperawatan yang mencakup tanggung jawab perawat
terhadap klien (individu, keluarga, dan masyarakat). Selain itu dalam memberikan
pelayanan keperawatan yang berkualitas tentunya mengacu pada standar praktek
keperawatan yang merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi
masyarakat terhadap praktek yang dilakukan oleh anggota profesi dalam hal ini
perawat.
Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja melakukan
kesalahan yang dapat merugikan klien sebagai penerima asuhan keperawatan,
bahkan bisa mengakibatkan kecacatan dan lebih parah lagi mengakibatkan
kematian, terutama bila pemberian asuhan keperawatan tidak sesuai dengan
standar praktek keperawatan, kejadian ini di kenal dengan Malpraktek. Di dalam
setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma
hukum.
Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut Ethical Malpractice dan dari sudut
3
pandang hukum disebut Yuridical Malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat
dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga
apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan
yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti
merupakan ethical malpractice. untuk menghindari terjadinya malpraktek ini,
perlu di adakan kajian-kajian etika dan hukum yang menyangkut malpraktek
khususnya dalam bidang keperawatan sehingga sebagai perawat nantinya dalam
menjalankan praktek keperawatan senantiasa memperhatikan kedua aspek
tersebut.
1.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
- Mahasiswa dapat memahami yuridical dan ethical malpraktek sebagai
dasar dalam menjalankan tugas keprofesian sesuai dengan profesinya.
b. Tujuan Khusus
- Mahasiswa memahami pengertian malpraktik,
- Mahasiswa memahami pengertian malpraktik keperawatan
- Mahasiswa mampu membedakan ethical dan yuridical malpraktik
- Mengidentifikasi dan menganalisis jenis malpraktek pada kasus
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Istilah malpraktek dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti tindakan yang
dilakukan dengan jalan tidak baik atau tindakan yang menimbulkan celaka. Dalam
Kamus Bahasa Inggris dikenal istilah malaprakxis dan malpractice yang
mengandung arti perbuatan buruk (bad) sering juga disebut bad practice. Menurut
Bambang Poernomo (2000), pengertian malpraktek adalah perilaku tidak baik
atau perilaku buruk dari tugas profesi. Malpraktek itu mencakup pelanggaran
terhadap etika, hukum, dan disiplin yang berhubungan dengan tugas profesi. Ellis
dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktek merupakan batasan yang
spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah
terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang
tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitannya
dengan malpraktek yaitu kelalaian dan malpratek itu sendiri. Kelalaian adalah
melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna
melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak
beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan
Kizilay, 1998).
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan
pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah
kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan
praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena
memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
5
dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam
arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat
bersifat perdata atau pidana. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan malpraktik adalah :
a) Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan;
b) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajibannya. (negligence); dan
c) Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
2.2 Malpraktek Dalam Keperawatan
Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang,
misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum. Vestal, K.W. (l995) mengatakan
bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila penggugat dapat
menunjukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu,
kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.
Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban
berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya,
artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar
profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara lain,
kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai
kebijakan rumah sakit.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kerugian (damage) yang
dapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai
akibat pelanggaran. Kelalaian nyeri, adanya penderitaan atau stres emosi
6
dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera jika terkait dengan cedera
fisik.
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan
cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung
berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat terhadap pasien).
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap
elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal
ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat berada pada tuntutan
malpraktik. Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area
yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap
pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning
errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih
jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1 Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi
tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi
yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda
vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan
dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan diagnosis
keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau
ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari kesalahan ini, perawat
seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan
mendasar.
2. Planning errors, termasuk hal-hal berikut :
a). Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam
rencana keperawatan.
b) . Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang
telah dibuat, misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan
yang tidak dimahami perawat lain dengan pasti.
7
c). Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang
disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana
keperawatan.
d). Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
Untuk mencegah kesalahan tersebut, jangan hanva menggunakan
perkiraan dalam membuat rencana keperawatan tanpa
mempertimbangkannya dengan baik. Seharusnya, dalam penulisan harus
memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan masalah pasien. Bila
dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang
terkumpul. Rencana harus realistis berdasarkan standar yang telah
ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien.
Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan.
Lakukan tindakan berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati
instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
3. Intervention errors, termasuk kegagalan menginterpretasikan dan
melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan
secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/pesan dari dokter atau
dari penyelia. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi
adalah kesalahan dalam membaca pesan/order, mengidentifikasi pasien
sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi
pembatasan (restrictive therapy).
Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya pada tindakan
pemberian obat. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara
anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan
program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education). Untuk
malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
1. Criminal malpractice
8
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan
tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344
KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat
keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis
pasal 299 KUHP). Kecerobohan (reklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan
(negligence) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau
meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan
operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan sarana pelayanan
jasa tempatnya bernaung.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang
telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggungjawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi
dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle ofvicarius liability.
Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana jasa dapat
9
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya selama orang
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala
orang tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga
perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kena, Surat Ijin Praktek),
batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hukum administrasi.
2.3 Kajian Hukum
Dalam perjalanannya hukum berkembang lebih lamban jika dibandikangkan
dengan kemajuan dunia kedokteran dan keperawatan serta tuntutan masyarakat,
lahirnya hukum kesehatan bukan berarti menghapus atau meniadakan norma
etika. Norma hukum dan norma etika memiliki kedudukan yang sama di
masyarakat, keduanya merupakan parameter untuk mengukur perilaku manusia.
Perkembangan hukum kesehatan yang relatif baru belum menemukan
ukuran secara tegas pemisah antara kesalahan medis dan kesalahan yuridis bagi
petugas kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya. Demikian pula dalam
undang-undang tentang kesehatan tidak secara tegas menyebutkan unsur-unsur
tindak pidana malpraktek secara ekplisit dalam suatu pasal tertentu, melainkan
menentukan tolak ukur pelaksanaan profesi. Pasal 24 ayat 1 undang-undang
nomor 36/2009, menegaskan bahwa tenaga kesehatan seperti yang dimaksud
dalam pasal 23 undang-undang tersebut harus memenuhi ketentuan kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur pelayanan.
Selanjutnya pasal 58 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak
menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan dan atau penyelenggara
10
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dalam kepustakaan dapat diperoleh
petunjuk konsepsional bahwa kesalahan melaksanakan tugas profesi terjadi ketika
perilakunya menunjukan:
1. Melalaikan tugas atau kewajiban yang seharusnya dilakukan.
2. Melakukan sesuatu hal yang yang seharusnya tidak boleh diperbuat baik
mengingat sumpah profesi maupun sumpah jabatan.
3. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi.
4. Berperilaku tidak sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang
diharapkan dari sesama rekan profesi dalam keadaan yang sama dan
tempat yang sama.
5. Adanya suatu akibat yang yang berbahaya bagi tugas profesi atau akibat
yang merugikan bagi pihak lain.
Kelima bentuk melaksanakan tugas profesi dapat disingkat menjadi
kesalahan tugas profesi atas dasar ketentuan profesional dari berbagai standar
pelayanan kesehatan. Kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar ketentuan
profesional harus dibedakan dengan kesalahan melaksanakan tugas profesi atas
dasar peraturan perundang-undangan. Standar profesi harus menjadi bagian yang
terpenting dalam menentukan kesalahan profesi dan standar profesi menjadi suatu
pertimbangan pada tingkat standar penegakan hukum yang objektif.
2.4 Contoh Kasus
Kesalahan Dalam Pemberian Obat
Pada kasus Tn V. Tahun 2009 Jakarta di RS X. Terjadi tuntutan terhadap sebuah
Rumah Sakit, dimana pengadilan memutuskan untuk menentang sebuah Rumah
Sakit atas meninggalnya seorang pasien berinisial Tn. V, putusan tersebut dibuat
atas putusan berdasarkan ketentuan hukum atas kematian akibat kesalahan yang
menetapkan sebuah Rumah Sakit melalui staf keperawatan dan medisnya, telah
melakukan kelalaian.
11
Seorang yang datang ke Rumah sakit dengan keluhan nyeri setelah
mengalami cedera di tempat kerja dan dokter mendiagnosanya mengalami
nekrosis avaskuler bilateral. Pasien tersebut setuju atas tindakan yang akan
dilakukan, dan pasien di berikan alternatif berupa tindakan pembedahan, sebelum
dilakukan pembedahan pasien tersebut diberikan terapi profilaksis anti koagulan
yang bertujuan menurunkan insiden pembentukan bekuan atau emboli pulmoner
selama bedah penggantian panggul, pada hari penggantian bedah panggul kiri
berlangsung pasien diprogramkan mendapat heparin, namun pasien tidak
mendapatkannya karena kelalaian dari perawat, pasien tersebut tidak mendapatkan
terapi profilaksis antikoagulan selama 36 jam setelah pembedahan ketika ia mulai
diberi aspirin dengan frekuensi 2x/hari.
Tujuh hari berikutnya pembedahan selanjutnyaa dilakukan pada panggul
sebelah kanan dan satu-satunya terapi yang diberikan kepada pasien adalah
aspirin. Pada hari berikutnya pemeriksaan venogram pada tungkai kiri ada bekuan
darah dibeberapa vena dalam di bawah lutut dan trombus pada banyak
percabangan otot. Meskipun telah ditemukan dari hasil pemeriksaan venogram,
heparin tidak diprogamkan untuk mengatasi bekuan yang ada, dan pemeriksaan
pembuluh darah pada tungkai kanan tidak diprogramkan.
Pada hari kepulangan pasien, perawat mencatat pergelangan kaki sebelah
kanan bengkak. Akan tetapi, perawat tidak mengukur betis pasien atau memberi
tahu dokter jaga. Pasien telah di pulangkan tanpa pemerikasaan lebih lanjut dan
pemberian terapi anti koagulan untuk mengatasi bekuaan darah yang telah
terbentuk tidak dilakukan. Beberapa hari kemudian pasien meninggal di rumah
akibat emboli polmuner bilateral dan tidak diragukan lagi bahwa bekuan pada
tungkai kanan bawah adalah penyebab emboli terbentuk.
12
Dari kasus di atas bisa di ambil mekanisme putusan tuntutan malpraktek
seperti dibawah ini:
Tuntutan Kasus Malpraktek
↓
Penilaian dengan tolak
ukur standar profesional
↓
Kesalahan berat ←Ada tidaknya kesalahan→ Kesalahan ringan
↓
Jika tidak ada kesalahan
↓
Memenuhi standar profesi
↓
Bebas
Keterangan:
Untuk Kesalahan Berat mendapatkan sanksi berupa:
1. Pidana
2. Administrasi
3. Perdata
Untuk Kesalahan ringan mendapat sanksi berupa:
1. Perdata
2. Administrasi
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Malpraktek merupakan isu hukum yang dapat menimbulkan kecemasan
bagi perawat karena secara psikologis dapat menyiksa, secara profesi dapat
menghancurkan karir, dan dapat menurunkan status sosial di masyarakat. Oleh
sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah
diukur atau dilihat dari sudut pandang norma etic dan hukum. Hal ini perlu
dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan
norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut Ethical Malpractice dan dari
sudut pandang hukum disebut Yuridical Malpractice. Antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan
sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical
malpractice atau yuridical malpractice juga berbeda. Dalam menjalankan praktek
keperawatan, perawat sentiasa memperhatikan kedua aspek tersebut untuk
menghindari terjadinya malpraktik.
Kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar ketentuan profesional
harus dibedakan dengan kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar
peraturan perundang-undangan. Standar profesi harus menjadi bagian yang
terpenting dalam menentukan kesalahan profesi dan standar profesi menjadi suatu
pertimbangan pada tingkat standar penegakan hukum yang objektif.
14