DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II BARANG MILIK NEGARA DAN RUANG LINGKUP PENGELOLAANNYA
5
BAB III PENGGUNAAN 10
BAB IV PEMANFAATAN 19
BAB V PEMINDAHTANGANAN 38
BAB VI PENGHAPUSAN 53
1
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara disebutkan bahwa perbendaharaan adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang
dipisahkan, yang ditetapkan di dalam APBN dan APBD. Berdasarkan hal tersebut di
atas jelas sekali tergambar bahwa pengelolaan Barang Milik Negara merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pengelolaan Keuangan Negara.
Sebagai tindak lanjut dan penjabaran atas ketentuan Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 ayat
(6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut, maka pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. tentang Perbendaharaan Negara, dan untuk menjamin terlaksananya
tertib administrasi dan tertib pengelolaan BMN/daerah, maka telah diterbitkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 ini diterbitkan dengan tujuan untuk
memberikan landasan hukum bagi penyelenggara negara dalam melakukan tindakan
hukum yang terkait dengan pengelolaan barang milik negara tersebut, mulai dari
perencanaan barang, penggunaan, pemanfataatan pemindahtanganan sampai dengan
penghapusan tersebut. Di samping itu, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 pada dasarnya juga ditujukan sebagai langkah unifikasi peraturan-
peraturan mengenai pengelolaan BMN yang telah ada sebelumnya seperti Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 470 dan Nomor 350 tahun 1994, serta mengatur hal-hal yang
belum tertampung dalam peraturan-peraturan yang ada sebelumnya.
Dalam rangka menjamin efektifitas pelaksanaan pengelolaan Barang Milik Negara
/Daerah maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 74 Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006, Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang Milik Negara telah
menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
2
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara. Sedangkan dalam tataran Barang Milik Daerah, Menteri Dalam Negeri
telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Pedoman teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Oleh karena itu, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 diharapkan pengelolaan BMN/D semakin tertib baik dalam hal
pengadministrasiannya maupun pengelolaannya, sehingga pada akhirnya BMN/D
tersebut dapat memberikan manfaat dan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat.
B. Deskripsi Singkat
Materi pengelolaan Barang Milik Negara ini disajikan untuk meningkatkan
pemahaman dan ketrampilan bagi setiap pejabat atau pegawai yang pernah atau yang
memang memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai bagian dari satuan kerja
pada bagian atau seksi perlengkapan/ rumah tangga atau yang semacamnya.
Materi dalam modul ini difokuskan pada lima hal sebagai berikut:
a. Memperkenalkan istilah-istilah yang berkenaan dengan pengelolaan BMN;
b. Memberikan gambaran persoalan yang telah dan sedang terjadi pada beberapa
kementerian/lembaga yang memerlukan penanganan;
c. Latar belakang diaturnya pengelolaan BMN;
d. Ketentuan pokok berkenaan dengan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindahtanganan BMN;
e. Syarat dan prosedur pelaksanaan pengelolaan BMN.
Modul ini merupakan pelengkap Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, maupun ketentuan lain dalam pembelajaran
yang berkaitan dengan pengelolaan BMN. Sebagian terbesar materi tentang prosedur
pengelolaan BMN dalam modul ini dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor
96/PMK.6/2007. Untuk hasil belajar yang optimal, disamping membaca modul ini,
Anda disarankan membaca perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku,
mendiskusikan dengan teman di lingkungan kerja dan teman sesam peserta diklat.
3
C. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Modul Pengelolaan Barang Milik Negara disusun dan disampaikan kepada peserta
diklat dengan tujuan agar para peserta lebih memahami filosofi pengaturan dan
menguasai konsep-konsep penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanagan, dan
penghapusan BMN dalam kerangka Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, sehingga pada akhirnya nanti
dapat melaksanakan/mengaplikasikan pengelolaan barang milik negara tersebut
dengan baik dan benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diklat diharapkan mampu:
a. Mengetahui dan memahami pengertian Barang Milik Negara.
b. Menjelaskan Dasar Hukum Pengelolaan Barang Milik Negara.
c. Mengetahui ruang lingkup pengelolaan Barang Milik Negara.
d. Mengetahui Pejabat Pengelolaan Barang Milik Negara beserta tugas, dan
kewenangannya.
e. Menjelaskan alur pengelolaan Barang Milik Negara.
f. Menjelaskan konsepsi penggunaan, penetapan status penggunaan, penetapan
status penggunaan untuk dioperasionalkan oleh pihak lain, dan pengalihan status
penggunaan Barang Milik Negara.
g. Menjelaskan pengertian, bentuk, subyek dan obyek, serta tatacara pemanfaatan
Barang Milik Negara.
h. Menjelaskan pengertian, bentuk, subyek dan obyek, serta tatacara
pemindahtanganan Barang Milik Negara.
i. Menjelaskan pengertian, ruang lingkup, kewenangan, dan tata cara penghapusan
Barang Milik Negara baik yang dilakukan Pengelola Barang maupun Pengguna
Barang.
j. Menjelaskan pengertian, ruang lingkup, kewenangan, dan tata cara penatausahaan
Barang Milik Negara.
k. Memahani arti penting pengamanan dan pemeliharaan barang milik negara,
substansi pembinaan, evaluasi dan pengendalian atas barang milik negara.
E. Topik Bahasan
Hal-hal yang perlu dibahas meliputi:
4
a. Pengertian Barang Milik Negara;
b. Ruang lingkup pengelolaan Barang Milik Negara;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. Pemindahtanganan;
f. Penghapusan;
g. Penatausahaan;
h. Pengamanan, Pemeliharaan, Pembinaan, Pengawasan Dan Pengendalian
F. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran dalam pelatihan ini dilakukan dengan cara pemaparan terkait
dengan barang milik negara beserta ruang lingkupnya yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang barang milik negara, diikuti
dengan diskusi, tanya jawab serta pembahasan studi kasus dan solusi permasalahan
yang berkaitan dengan aplikasi pengelolaan barang milik negara.
G. Alat Bantu Ajar
a. Komputer/Laptop
b. ATK
c. LCD Projector
5
BAB II
BARANG MILIK NEGARA DAN RUANG LINGKUP PENGELOLAANNYA
A. Pengertian
Dalam konteks pengelolaan Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
telah mendefinisikan Barang Milik Negara sebagai semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap barang yang sumber pembelian dari anggaran pendapatan dan
belanja negara masuk dalam ruang lingkup Barang Milik Negara, termasuk di dalamnya
adalah Barang Milik Negara yang diperoleh dari dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, makna dari perolehan
lainnya yang sah adalah sebagai berikut:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/ kontrak;
c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pengertian barang dalam phrase barang milik negara tersebut memiliki pengertian sebagai
suatu bagian dari kekayaan negara yang merupakan satuan tertentu yang dapat
dihitung/diukur/ditimbang dan dinilai. Tidak termasuk dalam barang ini adalah uang,
surat berharga, investasi dan piutang.
B. Ruang Lingkup Pengelolaan dan Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara
Pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor
6 Tahun 2006 merupakan suatu siklus logistik yang lebih terinci sebagai penjabaran siklus
logistik sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004. Hal ini berarti bahwa sebagai suatu siklus logistik maka pengelolaan
Barang Milik Negara dapat dimaknai sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara sistematis, bertahap dan terus menerus yang dimulai dari suatu barang itu tidak ada
(perencanaan), kemudian diadakan (pengadaan), digunakan (penggunaan) sampai dengan
barang itu tidak ada (penghapusan).
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Pengelolaan barang
Milik Negara merupakan suatu rangkaian yang dimulai dari perencanaan, pengadaan,
peng
pem
terse
dan
Gam
seca
Siklu
Neg
digu
siklu
hal
dinil
Seda
sebe
tetap
ggunaan, pe
meliharaan, p
ebut ditatau
pengendalia
mbar tersebu
ara umum di
us regular d
gara yang tel
unakan, dia
us insidentil
tertentu saja
lai atau bahk
angkan yan
enarnya tida
pi pada dasa
emeliharaan
pemindahtan
usahakan de
an.
ut di atas me
ibagi dalam
dalam tahap
lah diadakan
wasi, ditata
l ini memilik
a Barang M
kan dimusn
ng dimaksu
ak termasuk
arnya pelaks
n dan penga
nganan sam
engan baik d
Siklus Penge
nunjukkan s
3 tahapan, y
utama terse
n pasti akan
ausahan dan
ki makna ba
Milik Negara
ahkan.
ud dengan
yang diatur
sanaan lelan
amanan, pem
mpai dengan
disertai den
Gambar 2.1
elolaan Barang
suatu siklus
yaitu tahap
ebut memilik
n melalui sik
n sampai d
ahwa hanya
a tersebut ak
siklus ikuta
r dalam Per
ng atau timb
manfaatan,
penghapusa
ngan kegiata
Milik Negara
pengelolaan
awalan, tah
ki pengertian
klus ini, artin
dengan taha
barang-bara
kan dimanf
an ini adal
aturan Peme
bulnya TGR
penilaian, p
an, dimana
an pembinaa
n Barang Mi
hap utama, d
n bahwa set
nya setiap B
ap dihapusk
ang tertentu
faatkan, dip
lah suatu t
erintah nom
ini merupak
pengamanan
seluruh keg
an, pengaw
ilik Negara,
dan tahap ik
tiap Barang M
Barang pasti
kan. Sebalik
u atau dalam
indahtangan
tahapan dim
mor 6 tahun
kan ekses/a
6
n dan
giatan
wasan,
yang
kutan.
Milik
akan
knya,
m hal-
nkan,
mana
2006,
akibat
7
dari pelaksanaan sebagian siklus utama tersebut. Sebagai contoh adalah, apabila suatu
Barang Milik Negara tersebut dipindahtangankan melalui penjualan, maka sesuai dengan
peraturan pelaksanaan penjualannya harus dilakukan dengan cara lelang. Demikian juga
dengan Tuntutan Ganti Rugi atau timbulnya Piutang Negara, kejadian ini akan timbul
pada saat suatu Barang Milik Negara yang digunakan untuk kepentingan tugas pokok dan
fungsi Kementerian Negara/Lembaga tersebut hilang sebagai akibat kelalaian dari
pengguna/penanggung jawab barang.
C. Konsepsi Dasar Pengelolaan Barang Milik Negara
Pada dasarnya, barang milik negara diadakan untuk digunakan dalam rangka
melaksanakan atau menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi dari masing-masing
kementerian negara/lembaga. Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya fungsi
pelayanan kepada masyarakat serta sebagai wujud pengamanan terhadap barang Milik
negara dimaksud, maka kementerian negara/lembaga selaku pengguna barang diwajibkan
untuk segera menyelesaikan dokumen kepemilikan atas Barang Milik Negara sesegera
mungkin setelah barang itu diperoleh.
Pada tahapan selanjutnya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004, maka barang tersebut digunakan oleh kementerian
negara/lembaga hanya sebatas untuk kepentingan tugas dan fungsi Kementerian
Negara/lembaga yang bersangkutan. Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi atas
penggunaan Barang Milik Negara tersebut maka Pengguna Barang diwajibkan untuk
melaporkan Barang Milik Negara yang diperolehnya kepada Pengelola Barang untuk
selanjutnya mendapatakan penetapan status penggunaan. Sesuai dengan Pasal 45 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, maka Barang Milik Negara yang digunakan untuk
kepentingan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga tersebut tidak dapat
dimanfaatkan, apalagi dipindahtangankan kepada pihak lain.
Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut di atas, maka Barang Milik Negara berupa tanah
dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan tugas dan fungsi
kementerian negara/lembaga wajib diserahkan pengelolaannya kepada Pengelola Barang.
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Atas
penyerahan tanah dana bangunan dari pengguna barang dimaksud, maka Pengelola
Barang harus memprioritaskan pengelolaan Brang Milik Negara tersebut untuk
mendukung dan melaksanakan fungsi pelayanan melalui pengalihan status penggunaan
kepada pengguna barang lainnya yang membutuhkan tanah dan/atau bangunan tersebut.
8
Gambar 2.2
Konsepsi Dasar Pengelolaan Barang Milik Negara
Dalam hal tidak ada pengguna barang lain yang membutuhkan tanah dan bangunan
tersebut maka Pengelola Barang dapat melakukan tindakan untuk mendukung fungsi
budgeter, melalui:
a. Pemanfaatan
Pemanfaatan merupakan suatu upaya optimalisasi barang milik negara dalam rangka
meningkatkan nilai guna dan hasil guna barang milik negara baik dalam bentuk
penambahan penerimaan negara atau penurunan pengeluaran negara, tanpa diikuti
dengan adanya perpindahan hak kepemilikan atas barang yang dimanfaatkan
tersebut. Secara umum, pemanfaatan atas barang milik negara tersebut dapat
dilakukan melalui 4 (empat) bentuk, yaitu sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan (KSP), dan bangun guna serah atau bangun serah guna (BGS/BSG).
b. Pemindahtanganan
9
Sedangkan pemindahtanganan merupakan suatu upaya optimalisasi barang milik
negara dalam rangka meningkatkan nilai guna dan hasil guna barang milik negara
baik dalam bentuk penambahan penerimaan negara atau penurunan pengeluaran
negara, diikuti dengan adanya perpindahan hak kepemilikan (transfer of title asset)
atas barang yang dipindahtangankan tersebut.
Dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2004, Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun
2006, maupun dal;am Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007
disebutkan bahwa pemindahtanganan barang milik negara dapat dilakukan melalui 4
(empat) bentuk, yaitu Penjualan, Tukar menukar, Hibah, dan Penyertaan Modal
Pemerintah Pusat.
D. Azas-Azas Pengelolaan Barang Milik Negara
Untuk menjamin tercapainya sasaran pengelolaan BMN maka pengelolaan harus
dilaksanakan berdasarkan azas-azasnya. Sesuai dengan penjelasan umum Peraturan
Pemerintah nomor 6 Tahun 2006, disebutkan bahwa azas-azas tersebut adalah:
a. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah di
bidang pengelolaan barang milik negara yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna
barang, pengguna barang dan pengelola barang sesuai fungsi, wewenang, dan
tanggung jawab masing-masing;
b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara harus dilaksanakan
berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;
c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara harus
transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar;
d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara diarahkan agar barang milik
negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan
dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan
secara optimal;
e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat;
f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara harus didukung oleh
adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan
dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah serta penyusunan Neraca
Pemerintah.
10
BAB III
PENGGUNAAN
A. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, penggunaan barang milik negara
didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam
mengelola dan menatausahakan barang milik negara/daerah yang sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa,
secara prinsip barang milik negara itu diadakan dan digunakan hanya untuk satu tujuan,
yaitu menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing pengguna
barang sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu, untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut di atas maka setiap
penggunaan harus dilengkapi dengan adanya suatu keputusan penetapan status
penggunaan atas barang milik negara tersebut. Secara umum, status penggunaan
didefinisikan sebagai suatu status penggunaan Barang Milik Negara yang ditetapkan oleh
Pengelola Barang untuk digunakan oleh Pengguna Barang pada Kementerian
Negara/Lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi atau untuk dioperasikan oleh
pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi
Kementerian Negara/Lembaga.
Penetapan status penggunaan Barang Milik Negara oleh Pengelola Barang tersebut
dilakukan dengan tujuan:
a. Untuk menjamin terciptanya tertib & pengamanan administrasi, pengamanan hukum
dan fisik. Dengan penetapan status, maka bukti-bukti kepemilikan yang menjadi
syarat suatu BMN dapat ditetapkan statusnya akan diurus dan dikelola dengan sesuai
ketentuan. Dengan demikian, keamanan BMN secara administrasi dan hukum akan
dapat lebih terjamin.
b. Untuk secepatnya menyesuaikan Daftar Barang Milik Negara dan penyediaan dana
operasional & pemeliharaan.
B. Subyek, Obyek dan Kewenangan
Secara prinsip, semua barang milik negara wajib ditetapkan status penggunaannya sejak
diperoleh. Adapun pembagian kewenangan dalam penetapan status penggunaan tersebut
adalah sebagai berikut:
11
1. Pengelola Barang menetapkan status penggunaan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan.
2. Pengelola Barang juga menetapkan status penggunaan BMN selain tanah dan/atau
bangunan berupa:
a. barang-barang yang mempunyai bukti kepemilikan, seperti sepeda motor, mobil,
kapal, pesawat terbang;
b. barang-barang dengan nilai perolehan di atas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah) atau lebih per unit/satuan.
3. Pengguna Barang menetapkan status penggunaan BMN selain tanah dan/atau
bangunan dengan nilai perolehan sampai dengan Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) atau lebih per unit/ satuan.
4. Penggunaan BMN selain tanah dan/atau bangunan oleh TNI dan Polri dalam rangka
pertahanan/keamanan negara, ditetapkan sendiri status penggunaaannya oleh
Pengguna Barang.
C. Bentuk dan Tata Cara Penggunaan
Tata cara penggunaan barang milik negara secara umum dan teknis di ataur dalam dalam
PMK nomor 96/PMK.6/2007. Secara rinci, tata cara penggunaan tersebut diatur sebagai
berikut:
1. Tatacara penetapan status penggunaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan
12
a. Untuk pengusulan status penggunaan, Pengguna atau Kuasa Pengguna Barang
terlebih dahulu harus menyelesaikan dokumen kepemilikan atas BMN berupa
tanah dan/atau bangunan berupa sertifikat tanah dan IMB (ijin mendirikan
bangunan). Agar secepatnya permohonan penetapan status penggunaan dapat
diajukan kepada Pengelola, maka seyogyanya pengurusan dokumen-dokumen
tersebut tidak menunggu BMN siap dipakai. Pengurusan IMB seyogyanya
dilakukan sebelum pembangunan gedung dimulai. Demikian pengurusan sertifikat
haruslah dilakukan pada kesempatan pertama agar tidak terjadi hambatan dalam
penetapan status penggunaan.
b. Kuasa Pengguna Barang mengajukan permintaan penetapan status penggunaan
kepada Pengguna Barang dengan melampirkan dokumen pendukung berupa asli
dokumen kepemilikan dan dokumen pendukung lainnya atas tanah dan/atau
bangunan yang bersangkutan paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya
dokumen kepemilikan.
c. Pengguna Barang mengajukan permintaan penetapan status penggunaan kepada
Pengelola Barang dengan disertai asli dokumen kepemilikan dan dokumen
pendukung lainnya paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya usulan dari
Kuasa Pengguna Barang.
d. Setelah meneliti dokumen-dokumen berkenaan dengan usulan penetapan status,
Pengelola Barang menetapkan status penggunaan tanah dan/atau bangunan
dengan surat keputusan.
e. Dengan diterbitkannya surat penetapan status penggunaan, maka untuk tertib
penatausahaan dilakukanlah pendaftaran, pencatatan, dan penyimpanan dokumen
kepemilikan sebagai berikut:
i. Pengelola Barang melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam
DBMN dan menyimpan dokumen-dokumen berkenaan menyatu dengan
salinan surat keputusan penetapan status penggunaannya;
ii. Pengguna Barang melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam DBP
dan menyimpan fotokopi dokumen kepemilikan dan dokumen pendukung
lainnya menyatu dengan asli surat keputusan penetapan status
penggunaannya;
iii. Kuasa Pengguna Barang melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN ke
dalam DBKP atas tanah dan/atau bangunan dan menyimpan fotokopi
dokumen kepemilikan dan dokumen pendukung lainnya menyatu dengan
salinan surat keputusan penetapan status penggunaannya.
13
2. Tatacara penetapan status penggunaan BMN selain tanah dan/atau bangunan
Dalam PMK nomor 96/PMK.6/2007 diatur prosedur penetapan status BMN selain
tanah/bangunan sebagai berikut
a. Kuasa Pengguna Barang menyelesaikan bukti kepemilikan atau berita acara serah
terima barang (BAST) atas perolehan BMN.
b. Kuasa Pengguna Barang mengajukan usul penetapan status penggunaan kepada
Pengguna Barang disertai dengan fotokopi dokumen tersebut pada angka 1) dan
dokumen pendukung lainnya paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya
dokumen dokumen tersebut.
c. Kuasa Pengguna Barang yang merupakan instansi vertikal dapat mengajukan
permintaan penetapan status penggunaan barang kepada instansi vertikal Pengelola
Barang di daerah setelah Instansi vertikal tersebut menerima kuasa untuk itu dari
Pengguna Barang.
d. Pengguna Barang mengajukan usul penetapan status penggunaan BMN kepada
Pengelola Barang dengan disertai fotokopi dokumen kepemilikan atau BAST paling
lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya usulan dari Kuasa Pengguna Barang.
e. Setelah melakukan penelitian atas usulan dan dokumen pendukung, Pengelola
Barang menetapkan status penggunaan BMN dengan menerbitkan surat keputusan
dan memutakhirkan DBMN.
21
14
f. Untuk tertib penatausahaan, dengan diterimanya surat keputusan penetapan status,
maka Pengguna Barang melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam
DBP dan menyimpan asli dokumen kepemilikan menyatu dengan asli surat
keputusan penetapan status penggunaan.
g. Dengan diterimanya salinan surat keputusan penetapan status penggunaan, Kuasa
Pengguna Barang melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam DBKP
dan menyimpan asli dokumen kepemilikan menyatu dengan salinan surat
keputusan penetapan status penggunaan.
3. Tata cara penetapan status penggunaan BMN yang dioperasikan oleh pihak lain
Pada PMK nomor 96/PMK.6/2007 diatur prosedur penetapan status penggunaan
BMN yang dioperasikan oleh pihak lain sebagai berikut:
a. Pengguna/Kuasa Pengguna Barang menyelesaikan dokumen kepemilikan atas
perolehan BMN.
b. Pengguna Barang mengajukan permintaan penetapan status penggunaan BMN
kepada Pengelola Barang disertai dengan penjelasan dan pertimbangan, dengan
melampirkan dokumen asli kepemilikan/berita acara serah terima.
c. Setelah menerima usulan secara lengkap dari Pengguna Barang, Pengelola Barang
menetapkan status penggunaan BMN yang akan dioperasikan oleh pihak lain
dengan surat keputusan.
OPERATOR PENGGUNA PENGELOLAURAIANNO
PENETAPAN STATUS BMN YANG DIOPERASIKAN OLEH PIHAK LAIN
15
d. Berdasar surat keputusan Pengelola tentang penetapan status penggunaan BMN,
Pengguna Barang menindaklanjuti dengan membuat Surat keputusan penunjukan
pengoperasian dan Berita acara serah terima pengoperasian BMN.
e. Dengan penerbitan surat keputusan, Pengelola Barang melakukan pendaftaran dan
pencatatan BMN ke dalam DBMN dan menyimpan asli dokumen kepemilikan dan
dokumen pendukung lainnya menyatu dengan salinan surat keputusan penetapan
status penggunaannya.
f. Dengan diterimanya surat keputusan penetapan status, Pengguna Barang
melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam DBP dan menyimpan
asli/fotokopi dokumen kepemilikan dan dokumen pendukung lainnya menyatu
dengan asli surat keputusan penetapan status penggunaannya.
g. Pengalihoperasian kepada operator lain harus terlebih dulu dilaporkan kepada
Pengelola Barang.
h. BMN yang sudah dioperasikan oleh pihak lain kemudian akan digunakan kembali
oleh Pengguna Barang, untuk pelaksanaannya harus dimintakan persetujuan lagi
kepada Pengelola Barang.
4. Tatacara penetapan BMN berupa tanah dan/atau bangunan idle
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004,
bahwa setiap tanah dan atau bangunan yang sudah tidak digunakan untuk
kepentingan tugas dan fungsi pengguna barang (idle) wajib diserahkan kepada
Pengelola Barang. Sebagai tindak lanjut atas pengaturan tersebut, maka pada PMK
nomor 96/PMK.6/2007 diatur prosedur penetapan BMN berupa tanah/bangunan
yang idle sebagai berikut:
16
a. Atas BMN berupa tanah/bangunan yang idle Pengguna/Kuasa Pengguna Barang
menyampaikan laporan kepada Pengelola Barang. Laporan tersebut disertai
penjelasan mengenai lokasi dan kondisi tanah dan/atau bangunan.
b. Atas dasar laporan Pengguna Barang, Pengelola Barang melakukan penelitian.
Jika pada BMN terdapat permasalahan, maka permasalahan tersebut harus
diselesaikan terlebih dulu oleh Pengguna Barang bersama Pengelola Barang sesuai
batas kewenangannya.
c. Jika menurut penelitiannya ternyata BMN tidak bermasalah, maka Pengelola
Barang menetapkan keputusan mengenai penyerahan BMN dari Pengguna
kepada Pengelola. Pengelola Barang dapat menetapkan BMN yang harus
diserahkan oleh Pengguna/Kuasa Pengguna Barang karena idle berdasarkan hasil
inventarisasi, hasil audit, dan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan
Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT).
d. Berdasarkan surat penetapan dari Pengelola Barang dan setelah dilakukan
penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau daftar barang kuasa
pengguna, Pengguna Barang menyerahkan BMN kepada Pengelola Barang disertai
fotokopi dokumen kepemilikan, asli surat keputusan penetapan status
penggunaan, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan
penghapusan.
e. Berdasarkan BAST, Pengelola Barang menyesuaikan catatan pada daftar BMN .
48
17
5. Tatacara pengalihan/perubahan status penggunaan BMN antar Pengguna Barang.
Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pelayanan atas barang milik negara,
maka atas barang milik negara khususnya tanah dan/atau bangunan yang sudah tidak
digunakan oleh suatu pengguna, dapat dialihkan status penggunaannya kepada
pengguna barang yang lain. Pengertian pengalihan/perubahan status adalah hanya
sebatas proses pengalihan hak penggunaan atas barang milik negara dari suatu
pengguna barang kepada pengguna barang yang lain tanpa diikuti dengan adanya
pengalihan hak kepemilikan atas aset tersebut.
Sesuai ketentuan pada PMK nomor 96/PMK.6/2007 prosedur pengalihan status
penggunaan BMN dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Skema ini dilaksanakan karena terdapat Pengguna/Kuasa Pengguna Barang yang
menguasai BMN namun penggunaannya tidak optimal disebabkan misalnya
karena berlebih, sementara itu terdapat Pengguna/Kuasa Pengguna yang se
wilayah kerja yang memerlukan BMN untuk penyelenggaraan tugas pokok fungsi.
Atas dasar hal ini, para pihak dapat melakukan kesepakatan awal untuk
pengalihan status.
b. Kuasa Pengguna lama mengajukan usulan pengalihan/perubahan status
penggunaan kepada Pengguna Barang, disertai dengan dokumen, penjelasan, dan
pertimbangannya.
c. Bila atas dasar penelitiannya, usul pengalihan tersebut telah memenuhi syarat dan
sesuai kebutuhan kementerian/ Lembaga, maka Pengguna Barang meneruskan
usulan tersebut kepada Pengelola Barang, dengan disertai penjelasan dan
pertimbangan, penetapan status penggunaan, serta surat pernyataan kesediaan
menerima pengalihan BMN dari calon Pengguna Barang baru.
d. Bila berdasarkan penelitian usulan tersebut telah memenuhi syarat untuk alih
status, maka Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan
pengalihan/perubahan status penggunaan. Surat tersebut disampaikan kepada
Pengguna Barang lama dan tembusannya disampaikan kepada Pengguna Barang
baru. Surat persetujuan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
i. Kewajiban Pengguna Barang yang lama untuk menghapus barang tersebut dari
DBP dengan surat keputusan Pengguna Barang.
ii. Bahwa pengalihgunaan BMN tersebut harus dituangkan dalam berita acara
serah terima antara Pengguna Barang lama dan Pengguna Barang baru.
18
e. Atas dasar persetujuan pengalihan status, Pengguna Barang menerbitkan surat
keputusan penghapusan dan menyerah terimakan BMN kepada Pengguna baru
dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima.
f. Berdasarkan tembusan surat keputusan penghapusan dari Pengguna Lama,
Pengelola Barang menerbitkan surat keputusan penetapan status penggunaan
kepada Pengguna Barang yang baru.
g. Atas dasar surat keputusan penetapan status penggunaan dari Pengelola Barang,
Pengguna Barang yang baru mencatat ke dalam DBP atas penyerahan barang
tersebut untuk dipergunakan sesuai tugas pokok dan fungsinya.
h. Berdasarkan berita acara serah terima barang, Pengelola Barang menyesuaikan
catatan dalam DBMN .
19
BAB IV
PEMANFAATAN
A. Pengertian
Sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006,
bahwa pemanfaatan merupakan pendayagunaan barang milik negara yang tidak
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, dalam bentuk
sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun guna serah atau bangun serah
guna dengan tidak mengubah status kepemilikan. Kalimat tidak mengubah status
kepemilikan pada pengertian tersebut bermakna bahwa setiap keputusan pemanfataan
atas barang milik negara yang diambil tidak akan pernah diikuti dengan beralihanya
kepemilikan atas barang milik negara tersebut. Dengan demikian maka selama masa
pemanfaatan sampai dengan berarkhirnya perjanjian pemanfaatan, status kepemilikan atas
barang milik negara tersebut tetap berada pada Pemerintah Republik Indonesia.
Seperti telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa pemanfaatan barang milik negara
pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari fungsi budgeter. Hal ini berarti bahwa
barang milik negara difungsikan sebagai alat untuk meningkatkan penerimaan negara
bukan pajak. Yang perlu digarisbawahi atas fungsi budgeter ini bahwa pelaksanaan fungsi
ini hanya dapat dilakukan atas barang milik negara yang tidak digunakan untuk
pelaksanaan tugas dan fungsi kementeriaan/lembaga, sedangkan untuk barang milik
negara yang sedang digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/lembaga
dilarang untuk dimanfaatkan atau bahkan dipindahtangankan karena akan mengganggu
fungsi pelayanann yang diberikan kepada masyarakat.
B. Bentuk-Bentuk Pemanfaatan
Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, pemanfaatan barang
milik negara secara garis besar dibagi ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu:
1. Sewa;
2. Pinjam pakai;
3. Kerjasama pemanfaatan;
4. Bangun guna serah atau bangun serah guna.
Penjelasan lebih lanjut atas masing-masing bentuk pemanfaatan adalah sebagai berikut:
20
1. Sewa
a. Pengertian dan pertimbangan
Sewa adalah pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu
dan menerima imbalan uang tunai. Sesuai dengan azas bruto dalam pengelolaan
keuangan negara maka pengguna/kuasa pengguna atau bahkan pengelola barang
tidak diperkenankan untuk menggunakan langsung sebagian atau seluruh
penerimaan negara yang dihasilkan dari penyewaan barang milik negara tersebut.
Hal ini berarti bahwa imbalan atas penyewaan atas barang milik negara
harus diwujudkan dalam bentuk uang tunai dan harus langsung disetorkan ke
rekening kas negara.
Secara prinsip, sewa atas barang milik negara ini dilakukan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
i. Mengoptimalkan pemanfaatan BMN yang belum/tidak dipergunakan dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
ii. Menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga. BMN
yang dibangun/diperoleh Kementerian/Lembaga yang disewakan kepada
pihak lain dengan perjanjian agar tetap digunakan untuk menghasilkan
barang/jasa sesuai maksud pengadaannya dapat diharapkan berfungsi lebih
optimal dan menunjang pelaksanaan tugas fungsi Kementerian/Lembaga yang
bersangkutan.
iii. Untuk efisiensi biaya pemeliharaan dan pengamanan BMN serta meningkatkan
penerimaan negara. BMN yang idle tetap memerlukan pemeliharaan dan
bahkan berpotensi untuk menjadi tidak aman. Dengan disewakan, maka biaya
pemeliharaan dan pengamanan ditanggung oleh penyewa dan negara
mendapatkan PNBP.
b. Jangka waktu dan tarif sewa
Dengan pertimbangan tersebut di atas, barang milik negara dapat disewakan
kepada pihak lain dalam jangka waktu maksimal 5 tahun dan dapat diperpanjang.
Hal ini memiliki pengertian bahwa dalam satu kali perjanjian sewa, penyewa hanya
dapat menyewa barang tersebut maksimal 5 tahun. Tetapi jika diakhir masa
perjanjian penyewa berkehendak untuk memperpanjang masa penyewaan tersebut,
maka perpanjangan masa sewa tersebut dapat dilakukan setelah terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari pengelola barang. Jangka waktu maksimal 5 tahun
21
ini juga memiliki pengertian bahwa pihak penyewa juga dapat menyewa barang
milik negara tersebut kurang dari 5 tahun, misalkan 4 tahun, 3 tahun, 2 tahun, 1
tahun atau bahkan dalam hitungan bulanan.
Dalam setiap pelaksanaan sewa, secara umum pihak penyewa akan dikenakan
suatu besaran sewa tertentu untuk jangka waktu penyewaan atas barang tersebut.
Demikian juga untuk penyewaan atas barang milik negara, pihak penyewa akan
dikenakan suatu tarif sewa tertentu yang ahrus disetorkan ke rekening kas negara.
Berdasarkan Lampiran II.A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007
diatur bahwa tarif sewa yang dikenakan kepada pihak penyewa adalah sebagai
berikut:
i. Formula Sewa Tanah Kosong
St = 3,33 % x (Lt x Nilai tanah)
Keterangan:
St = Sewa tanah
Lt = Luas tanah (M2)
Nilai Tanah = Nilai tanah berdasarkan hasil penilaian dengan estimasi
terendah menggunakan NJOP (per M2)
Luas tanah dihitung berdasarkan pada gambar situasi/peta tanah atau sertifikat
tanah dalam meter persegi.
ii. Sewa Tanah dan Bangunan
a) Stb = (3,33% x Lt x Nilai tanah) +( 6,64% x Lb x Hs x Nsb)
Keterangan:
Lb = Luas lantai Bangunan (M2)
Hs = Harga satuan bangunan standar dalam keadaan baru (Rp/M2)
Nsb = Nilai sisa bangunan (%)
- Penyusutan untuk bangunan permanen = 2 % / tahun
- Penyusutan untuk bangunan semi permanen = 4 % / tahun
- Penyusutan untuk bangunan darurat = 10 % / tahun
- Penyusutan maksimal 80 %
Dalam hal sisa bangunan menurut umur tidak sesuai dengan kondisi nyata,
maka Nsb ditetapkan berdasarkan kondisi bangunan sebagai berikut:
- baik = 85% s.d. 100 % siap pakai/perlu pemeliharaan awal
22
- rusak ringan = 70% s.d. < 85% rusak sebagian non struktur
- rusak berat = 55% s.d. < 70% rusak sebagian non struktur/struktur
- rusak berat = 35% s.d. < 55% rusak sebagian besar non struktur/struktur
b) Sewa Prasarana Bangunan
Sp = 6,64% x Hp x Nsp
Keterangan:
Sp = sewa prasarana bangunan (Rp/tahun)
Hp = harga prasarana bangunan dalam keadaan baru (Rp)
Nsp = nilai sisa prasarana bangunan (%)
Besar penyusutan / tahun dihitung dengan ketentuan:
- pekerjaan halaman = 5 %
- mesin/instalasi = 10 %
- furniture/elektronik = 25 %
- penyusutan maksimal = 80 %
iii. Sewa selain tanah dan/atau bangunan
Formula tarif sewa ditetapkan oleh masing-masing pengguna barang
berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.
Tarif sewa sebagaimana tersebut di atas merupakan tarif sewa minimum
yang akan dikenakan kepada pihak penyewa. Dalam hal sewa minimum
yang dihitung tersebut lebih rendah dari tarif sewa yang diajukan oleh
pihak penyewa, maka dengan menggunakan azas optimalisasi
penerimaan negara maka pengelola barang dapat menetapkan tarif sewa
tersebut didasarkan pada penawaran pihak penyewa tersebut.
Dalam hal sewa barang milik negara dilakukan atas tanah dan/atau
bangunan, maka nilai tanah dan/atau bangunan yang akan digunakan
dalam perhitungan sewa tersebut didasarkan pada hasil penilaian
dengan estimasi terendah menggunakan nilai jual obyek pajak. Dengan
ketentuan tersebut, maka dalam hal hasil penilaian tanah tersebut
memiliki nilai lebih rendah dari nilai jual obyek pajak, maka nilai tanah
yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan sewa barang milik
negara tersebut adalah nilai jual obyek pajak. Demikian juga sebaliknya.
23
c. Subyek, Obyek dan Mitra Sewa
Dalam rangka penyewaan barang milik negara, yang dapat bertindak sebagai
subyek/pihak yang dapat melaksanakan penyewaan adalah Pengelola dan
Pengguna Barang. Adapun pembagian kewenangan antara pengelola dan
pengguna barang dalam pelaksanaan sewa tersebut adalah sebagai berikut:
i. Pengelola Barang, dapat menyewakan tanah dan atau bangunan yang berada
pada Pengelola Barang;
ii. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang dapat menyewakan:
1). sebagian tanah dan/atau bangunan yang status penggunaannya ada pada
Pengguna Barang;
2). barang milik negara selain tanah dan atau bangunan.
Secara umum, penyewaan barang milik negara dapat dilakukan kepada semua
pihak baik itu yang berbadan hokum maupun yang bersifat perorangan. Dengan
demikian maka pihak yang dapat menjadi mitra sewa adalah sebagai berikut:
i. Badan Usaha Milik Negara;
ii. Badan Usaha Milik Daerah;
iii. Badan Hukum lainnya;
iv. perorangan.
d. Tata Cara Sewa
Tata cara penyewaan barang milik negara secara umum dan teknis di atur dalam
dalam PMK nomor 96/PMK.6/2007. Secara rinci, tata cara penyewaan tersebut
diatur sebagai berikut:
i. Penyewaan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan
Sesuai dengan prinsip pengelolaan barang milik negara sebagaimana tercantum
dalam Pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004, maka pelaksanaan
sewa atas tanah dan/atau bangunan tersebut pelaksanaannya dilakukan oleh
Pengelola barang. Dalam hal tanah dan/atau bangunan tersebut masih berada
dalam penguasaan pengguna barang, maka tanah dan atau bangunan tersebut
harus terlebih dahulu diserahkan oleh pengguna barang dan/atau kuasa
pengguna barang kepada pengelola barang.
Secara prinsip, prosedur dan tatacara penyewaan tersebut adalah sebagaimana
tergambar dalam diagram di bawah ini.
24
Gambar ini menunjukkan bahwa definisi pelaksanaan oleh pengelola barang
tersebut meliputi proses mulai dari usulan, pelaksanaan penilaian, pemberian
persetujuan, sampai dengan pelaksanaan penandatanganan perjanjian sewa
menyewa barang milik negara tersebut.
ii. Penyewaan sebagian tanah dan/atau bangunan, atau selain tanah dan/atau
bangunan
Secara prinsip penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan dan selain
tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh Pengguna Barang dengan terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang. Hal ini
mengindikasikan bahwa penyewaan atas BMN tersebut pelaksanaan sewa
tersebut menjadi kewenangan pengguna barang, sedangkan Pengelola Barang
hanya berwenang sebatas memberikan persetujuan atas permohonan sewa dari
pengguna barang dimaksud. Ruang lingkup pelaksanaan yang menjadi
kewenangan pengguna barang tersebut meliputi pengajuan usulan penyewaan,
pelaksanaan penilaian barang milik negara yang akan digunakan sebagai dasar
penetapan besaran nilai sewa, dan menandatangani perjanjian dengan pihak
penyewa.
Dalam rangka pengajuan usulan penyewaan barang milik negara tersebut,
dokumen pendukung yang harus dilengkapi oleh pengguna barang meliputi:
1) Sewa sebagian tanah dan/atau bangunan
- Pertimbangan penyewaan;
25
- Bukti kepemilikan;
- Gambar lokasi;
- Luas yang akan disewakan;
- Nilai perolehan dan NJOP tanah dan atau bangunan;
- Data transaksi sebanding dan sejenis;
- Calon penyewa;
- Nilai sewa;
- Jangka waktu penyewaan.
2) Sewa selain tanah dan atau bangunan
- Pertimbangan mengenai calon penyewa;
- Hasil penelitian mengenai kelayakan kemungkinan penyewaan barang
milik negara selain tanah dan/atau bangunan dimaksud;
- Nilai sewa;
- Jangka waktu penyewaan.
Adapun gambaran umum proses penyewaan sebagian tanah dan/atau
bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan oleh pengguna barang adalah
sebagai berikut:
2. Pinjam Pakai
a. Pengertian dan pertimbangan
26
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
disebutkan bahwa pinjam pakai barang milik negara merupakan
penyerahan penggunaan BMN antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah
jangka waktu berakhir BMN tersebut diserahkan kembali kepada
pemerintah pusat. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan pinjam pakai
merupakan gambaran hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah dalam kontek pengelolaan
barang milik negara ini tidak ada pelaksanaan pinjam pakai yang dilakukan
oleh suatu pengguna barang dengan pengguna barang lain.
Berdasarkan pengertian dan latar belakang pinjam pakai tersebut, maka
secara umum dapat dikatakan bahwa pertimbangan dari pelaksanaan pinjam
pakai BMN dimaksud adalah:
i. untuk mengoptimalkan penggunaan BMN yang belum/tidak
dipergunakan untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan
pusat;
ii. untuk menunjang pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
iii. Pengamanan BMN idle dari penggunaan pihak lain secara tidak sah.
iv. Efisiensi biaya pemeliharaan dan pengamanan.
b. Jangka Waktu dan Ketentuan Pokok
Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006, jangka waktu pinjam pakai barang milik negara telah ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. Jika pihak peminjam berkehendak untuk
memperpanjang jangka waktu peminjaman barang milik negara tersebut, maka
permintaan perpanjangan jangka waktu pinjam pakai harus sudah diterima
Pengelola Barang paling lambat 3 bulan sebelum jangka waktu pinjam pakai
berakhir.
Secara umum, dalam pelaksanaan pinjam pakai barang milik negara tersebut
aharus mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut:
i. Tanah dan atau bangunan yang dipinjampakaikan harus digunakan sesuai
peruntukan dalam perjanjian pinjam pakai dan tidak diperkenankan mengubah
bentuk bangunan, baik menambah dan/atau mengurangi konstruksi dasarnya.
27
ii. Pemeliharaan dan segala biaya yang timbul selama masa pelaksanaan pinjam
pakai menjadi tanggung jawab peminjam.
iii. BMN dikembalikan pada saat berakhirnya masa pinjam pakai dan harus dalam
kondisi sebagaimana yang dituangkan dalam perjanjian.
c. Subyek, Obyek dan Kewenangan
Sesuai dengan pertimbangan atas pelaksanaan pinjam pakai sebagaimana tersebut
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semua barang milik negara baik tanah
dana taua bangunan, sebagaian atanah dan/atau bangunan, maupun selain tanah
dan/atau bangunan dapat dipinjam pakaikan kepada pemerintah daerah sepanjang
tidak digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian
negara/lembaga.
Berkenaan dengan obyek pelaksanaan pinjam pakai tersebut, maka subjek
pelaksana pinjam pakai barang milik negara dapat dibedakan sebagai berikut:
i. Pengelola Barang, untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada
Pengelola Barang; atau
ii. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk sebagian
tanah dan/atau bangunan yang status penggunaannya ada pada
Pengguna Barang, dan BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Berdasarkan pengertian pinjam pakai barang milik negara tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa pihak yang dapat meminjam barang milik negara
adalah pemerintah daerah.
d. Tata Cara Pinjam Pakai
Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 telah mengatur
mengenai tatacara pinjam pakai barang milik negara, dimana secara umum tata
cara dimaksud dikelompokkan dalam 2 kelompok yaitu
i. Pinjam pakai yang dilaksanakan oleh Pengelola Barang
Sebagaimana tersebut pada poin c di atas, pinjam pakai yang dilaksanakan oleh
pengelola barang terjadi sepanjang barang milik negara yang dipinjamkan
tersebut adalah tanah dan/atau bangunan yang sifatnya idle serta telah
diserahkan pengelolaannya kepada pengelola barang. Dalam hal tanah
dan/atau bangunan idle tersebut masih berada di pengguna barang, maka
28
dalam rangka pelaksanaan pinjam pakai tersebut harus terlebih dahulu
diserahkan pengguna kepada pengelola barang.
ii. Pinjam Pakai yang dilaksanakan oleh Pengguna Barang
3. Kerjasama Pemanfaatan
a. Pengertian dan Pertimbangan
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 telah mendefinisikan
kerjasama pemanfaatan sebagai pendayagunaan BMN oleh pihak lain dalam
29
jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara
bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Definisi mengandung makna
bahwa kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara dilaksanakan dengan
pertimbangan sebagi berikut:
i. untuk mengoptimalkan pemanfaatan BMN yang belum/tidak
dipergunakan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan;
ii. meningkatkan penerimaan negara; dan
iii. mengamankan BMN dalam arti mencegah penggunaan BMN tanpa
didasarkan pada ketentuan yang berlaku.
b. Subyek, Obyek dan Mitra Kerjasama Pemanfaatan
Pada prinsipnya kerjasama pemanfaatan dapat dilaksanakan terhadap semua
jenis barang milik negara baik yang berupa tanah dan/atau bangunan,
sebagian tanah dan /atau bangunan, maupun atas selain tanah dan/atau
bangunan. Pembagian obyek kerjasama pemanfaatan ini akan memiliki
implikasi terhadap subyek yang bisa melaksanakan kerjasama pemanfaatan
tersebut, yaitu:
i. Pengelola Barang, untuk tanah dan atau bangunan yang berada pada Pengelola
Barang.
ii. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk:
1). sebagian tanah dan atau bangunan yang merupakan sisa dari tanah dan
atau bangunan yang sudah digunakan oleh Pengguna Barang dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya,
2). BMN selain tanah dan atau bangunan.
Terkait dengan mitra kerjasama pemanfaatan ini, Lampiran IV Peraturan Menteri
Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 telah menyebutkan bahwa pihak yang dapat
menjadi mitra kerjasama pemanfaatan meliputi:
i. Badan Usaha Milik Negara;
ii. Badan Usaha Milik Daerah;
iii. Badan hukum lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa mitra kerjasama pemanfaatan ini harus berbadan
hukum, dengan kata lain pihak swasta yang bersifat perorangan tidak bisa menjadi
mitra kerjasama pemanfaatan.
30
Dalam rangka mendukung terciptanya transparansi, akuntabilitas serta
menerapkan praktek bisnis yang sehat, maka mitra kerjasama pemanfaatan
ditentukan melalui pemilihan calon mitra KSP (tender) dengan diikuti minimal 5
calon peserta/peminat, kecuali barang milik negara yang bersifat khusus. Untuk
BMN yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung.
c. Jangka waktu dan ketentuan pokok
Sebagaimana tersebut pada Pasal 26 ayat 1 huruf g Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006, ditetapkan bahwa jangka waktu kerjasama pemanfaatan
paling lama adalah 30 (tiga puluh) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian,
dengan klausul dapat diperpanjang setelah terlebih dahulu dievaluasi dan
mendapatkan persetujuan Pengelola Barang. Lamanya jangka waktu
kerjasama pemanfaatan tersebut berimplikasi pada perlunya monitoring dan
evaluasi yang kontinyu yang dilaksanakan baik oleh pengelola barang mapun
pengguna barang untuk menjamin hak-hak negara dipenuhi secara jujur oleh
mitra, tepat pada waktunya, serta menjamin keamanan atas barang milik
negara yang dikerjasamakan tersebut.
Hal ini sesuai dengan filososfis dari pemanfaatan itu sendiri bahwa setiap
pemanfaatan termasuk yang berbentuk kerjasama pemanfaatan kerjasama
pemanfaatan yang dilakukan baik oleh pengelola barang maupun oleh
pengguna barang tidak akan berakibat pada berubahnya status kepemilikan
barang milik negara tersebut.
Terkait dengan penerimaan negara bukan pajak yang akan menjadi hak
negara, secara jelas disebutkan bahwa terdapat dua jenis penerimaan negara
dari kegiatan Kerjasama Pemanfaatan dimaksud dan wajib disetorkan oleh
mitra kerjasama pemanfaatan selama jangka waktu kerjasama pemanfaatan
yaitu:
i. Kontribusi tetap
Kontribusi tetap adalah merupakan penerimaan negara yang harus disetorkan oleh
mintra kerjasamana pemanfaatan secara periodik. Kata tetap tersebut memiliki
makna bahwa setiap tahun negara akan tetap mendapatkan penerimaan meskipun
atas pelaksanaan kerjasama tersebut mitra masih menderita kerugian. Dengan
demikian selama masa kerjasama tersebut, kontribusi tetap akan secara reguler
diterima oleh negara tanpa melihat untung atau ruginya mitra kerjsama
31
pemanfaatan tersebut
ii. Pembagian keuntungan
Sedangkan pembagian keuntungan merupakan penerimaan negara dari
keuntungan yang diperoleh dari operasional kerjasama pemanfaatan dimaksud.
Definisi tersebut mengindikasikan bahwa penerimaan negara yang bersumber dari
pembagian keuntungan tersebut hanya akan diterima oleh negara manakala mitra
kerjasama memperoleh keuntungan atas pelaksanaan kerjasama tersebut. Tetapi
ketika mitra menderita kerugian, maka negara tidak berkewajiban untuk
menanggung kerugian tersebut.
Terkait dengan penetapan besaran kontribusi tetap telah diatur bahwa:
i. besaran kontribusi tetap atas BMN berupa tanah dan/atau bangunan
ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil perhitungan penilai; dan
ii. besaran kontribusi tetap atas BMN selain tanah dan/atau bangunan,
ditetapkan oleh Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang
berdasarkan hasil perhitungan penilai.
Pembayaran kontribusi tetap oleh mitra kerjasama pemanfaatan untuk
pembayaran pertama harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian
kerjasama pemanfaatan, dan bayaran kontribusi tahun berikutnya harus dilakukan
paling lambat tanggal 31 Maret setiap tahun sampai berakhirnya perjanjian
kerjasama pemanfaatn, dengan penyetoran ke rekening kas umum negara.
Selanjutnya ditetapkan pula bahwa pembagian keuntungan hasil pendapatan
harus disetor ke rekening kas umum negara paling lambat tanggal 31 Maret
tahun berikutnya. Setiap keterlambatan pembayaran kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan dari tanggal tersebut pada butir 12 dan butir 13
dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 %o (satu per seribu) per hari.
Terkait dengan pembebanan biaya yang timbul dalam pelaksanaan kerjasama
peemanfaatan tersebut diatur sebagai berikut:
i. Seluruh biaya yang timbul sampai dengan ditetapkannya mitra KSP
dibebankan pada APBN. Biaya tersebut antara lain meliputi biaya/honor Tim
yang bekerja dalam rangka pelaksanaan penilaian tanah, lelang, dan biaya
penilaian tanah, serta biaya penilai independen apabila diperlukan.
ii. Seluruh biaya yang timbul setelah ditetapkannya mitra KSP sampai dengan
berakhirnya pelaksanaan KSP menjadi beban mitra KSP. Biaya tersebut
meliputi antara lain biaya perizinan, konsultan pengawas, biaya konsultan
32
hukum, dan biaya pemeliharaan objek kerjasama pemanfaatan, menjadi
beban mitra kerjasama pemanfaatan;
Surat persetujuan kerjasama pemanfaatan dari Pengelola Barang dinyatakan
tidak berlaku apabila dalam jangka waktu satu tahun sejak ditetapkan tidak
ditindaklanjuti dengan penandatanganan surat perjanjian kerjasama pemanfaatan.
d. Tata Cara Kerjasama Pemanfaatan
Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 telah mengatur
mengenai tatacara pinjam pakai barang milik negara, dimana secara umum tata
cara dimaksud dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu:
i. Kerjasama pemanfaatan atas tanah dan/atau bangunan yang berada pada
pengelola barang
Sebagaimana tersebut pada poin b di atas, kerjasama pemanfaatan yang
dilaksanakan oleh pengelola barang terjadi sepanjang barang milik negara yang
dipinjamkan tersebut adalah tanah dan/atau bangunan yang sifatnya idle serta
telah diserahkan pengelolaannya kepada pengelola barang. Dalam hal tanah
dan/atau bangunan idle tersebut masih berada di pengguna barang, maka
dalam rangka pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tersebut harus terlebih
dahulu diserahkan pengguna kepada pengelola barang.
33
ii. Kerjasama pemanfaatan atas sebagian tanah dan/atau bangunan dari tanah
dan/atau banguanan yang sudah digunakan oleh pengguna barang
iii. Kerjasama pemanfaatan atas selain tanah dan/atau bangunan
34
4. Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
a. Pengertian dan Pertimbangan
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, bangun guna
serah dan bangun serah guna didefinisikan sebagai berikut:
i. Bangun Guna Serah (BGS) yang secara umum biasa disebut dengan Build,
Operate and Transfer (BOT) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat
oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan atau sarana, berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka
waktu tertentu yang disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan
atau sarana berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang
setelah berakhirnya jangka waktu.
ii. Bangun Serah Guna (BSG) yang secara umum biasa disebut dengan Build,
Transfer, and Operate (BTO)adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat
oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan atau sarana, berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada Pengelola
Barang untuk kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut selama jangka
waktu tertentu yang disepakati.
Perbedaan lebih jelas atas kedua definisi tersebut sebenarnya dapat kita lihat pada
PSAK Nomor 39 tentang Kerjasama Operasi, dimana:
i. Pada pola bangun guna serah (BGS), barang milik negara dikelola oleh investor
yang mendanai pembangunan sampai berakhir masa konsesi. Di akhir masa
konsesi investor akan menyerahkan barang milik negara beserta asset yang
dibangunnya dan pengelolaannya kepada negara. Pada pola BGS ini, investor
akan secara langsung mengelola tanah yang di BGS-kan beserta bangunan yang
telah dibangun, begitu pembangunannya selesai. Pada tahap ini, dan
berlangsung sampai berakhir masa konsesi, investor secara lazim memiliki
kendali yang signifikan atas pengelolaan asset tersebut.
ii. Pada pola bangun serah guna (BSG) investor akan mendanai pembangunan aset
KSO sampai siap dioperasikan. Begitu aset BSG siap dioperasikan, aset tersebut
diserahkan kepada negara untuk dioperasikan Pada pola Bangun, Serah, Guna
(BGS), investor akan menyerahkan aset yang dia danai pembangunannya
kepada negara, begitu aset siap dioperasikan. Pada tahap ini, negara secara
lazim memegang kendali pengelolaan aset secara material. Negara harus
35
mengakui aset pada saat investor menyerahkan pengelolaan aset KSO
kepadanya.
Sesuai dengan definisinya bahwa pada prinsipnya BGS dan BSG dilakukan untuk
menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana pembangunannya tidak
tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
b. Subyek, Obyek dan Mitra BGS/BSG
Pihak yang dapat melaksanakan BGS/BSG BMN adalah Pengelola Barang. hal ini
berarti bahwa semua pelaksanaan BGS/BSG dilakukan oleh pengelola barang sehingga
jika terjadi permohonan BGS/BSG atas tanah yang masih berada di penguasaan maka
tanah dimaksud harus diserahkan kepada Pengelola Barang terlebih dahulu.
Sesuai dengan tujuan dan pertimbangan BGS/BSG, maka barang milik negara yang
dapat dijadikan objek BGS/BSG hanyalah barang milik negara berupa tanah, baik
tanah yang ada pada Pengelola Barang maupun tanah yang status penggunaannya
ada pada Pengguna Barang.
Sedangkan pihak-pihak yang dapat menjadi mitra BGS/BSG adalah BUMN, BUMD,
dan Badan Hukum lainnya.
c. Jangka Waktu dan Ketentuan Pokok
Selama masa pengoperasian BGS/BSG, Pengguna Barang harus dapat
menggunakan langsung objek BGS/BSG, beserta sarana dan prasarananya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan penetapan dari
Pengelola Barang, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas objek dan sarana
prasarana BGS/BSG dimaksud. Jangka waktu pengoperasian BGS/BSG oleh mitra
BGS/BSG paling lama 30 tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.
Ada tiga kewajiban mitra BGS/BSG selama jangka waktu pengoperasian yaitu:
i. membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
ii. tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindah-tangankan objek
BGS/BSG; dan
iii. memelihara objek BGS/BSG agar tetap dalam kondisi baik. Hal ini
dimaksudkan agar BMN yang di BGS/BSG-kan dimaksud dapat terpelihara
keberadaanya.
Dalam pemilihan mitra BGS/BSG tidak dilakukan dengan penunjukan langsung, akan
tetapi dilakukan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5
36
(lima) peserta/peminat. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya memenuhi
tranparansi dan keadilan kepada setiap calon peserta/peminat.
Penghitungan nilai tanah dalam rangka penentuan nilai limit terendah besaran
kontribusi dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh Pengelola Barang. Sedangkan
nilai limit terendah besaran kontribusi atas pelaksanaan BGS/BSG BMN ditetapkan
oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil perhitungan penilai.
Pembayaran kontribusi dari mitra BSG/BGS, kecuali untuk pembayaran pertama yang
harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian BSG/BGS, harus
dilakukan paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun sampai dengan
berakhirnya perjanjian BSG/BGS dimaksud, dengan penyetoran ke rekening
kas umum negara. Setiap keterlambatan pembayaran kontribusi dari tanggal
tersebut akan dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 %o per hari. Dalam hal mitra
tidak melakukan pembayaran kontribusi sebanyak tiga kali dalam jangka waktu
pengoperasian BGS/BSG, Pengelola Barang dapat secara sepihak mengakhiri
perjanjian.
Seluruh biaya yang timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan kerjasama
pemanfaatan, antara lain meliputi biaya perizinan, konsultan
pengawas, biaya konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan objek BGS/BSG,
dan biaya audit oleh aparat pengawas fungsional menjadi beban mitra
kerjasama pemanfaatan.
Setelah masa pengoperasian BGS/BSG berakhir, objek pelaksanaan BGS/BSG harus
diaudit oleh aparat pengawas fungsional sebelum diserahkan kepada Pengelola
Barang dan/atau Pengguna Barang. Setelah masa pemanfaatan berakhir,
bangunan dan fasilitas hasil BGS/BSG ditetapkan status penggunaannya oleh
Pengelola Barang. Sesuai dengan ketentuan dalam PP nomor 6 tahun 2006, maka
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka BGS/BSG harus atas nama
Pemerintah Republik Indonesia
d. Tata Cara Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Adapun tata cara pelaksanaan BGS/BSG telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor 96/PMK.06/2007. Tata cara pelaksanaan BGS dan BSG
dikelompokkan dalam 2 kelompok yaitu:
i. BGS/BSG atas tanah yang berada pada Pengelola Barang
37
ii. BGS/BSG atas tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang.
38
BAB V
PEMINDAHTANGANAN
A. Pengertian
Sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006,
bahwa pemindahtanganan merupakan pengalihan kepemilikan barang milik
negara/daerah sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan,
dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah.. Kalimat mengubah status
kepemilikan pada pengertian tersebut bermakna bahwa setiap keputusan
pemindahtanganan atas barang milik negara yang diambil akan berakibat pada
beralihanya kepemilikan atas barang milik negara tersebut.
Seperti telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa pemindahtanganan barang milik
negara pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari fungsi budgeter. Hal ini berarti
bahwa barang milik negara difungsikan sebagai alat untuk meningkatkan penerimaan
negara bukan pajak. Yang perlu digarisbawahi atas fungsi budgeter ini bahwa pelaksanaan
fungsi ini hanya dapat dilakukan atas barang milik negara yang tidak digunakan untuk
pelaksanaan tugas dan fungsi kementeriaan/lembaga, sedangkan untuk barang milik
negara yang sedang digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/lembaga
dilarang untuk dimanfaatkan atau bahkan dipindahtangankan karena akan mengganggu
fungsi pelayanann yang diberikan kepada masyarakat.
B. Kewenangan Pelaksanaan Pemindahtanganan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa pemindahtanganan barang milik negara
hanya dapat dilakukan sepanjang barang milik negara tersebut tidak digunakan untuk
kepentingan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga. Pasal 45 ayat 2
Undang-Undang nomor 1 Tahun 2004 telah mengatur bahwa secara prinsip
pemindahtanaganan barang milik negara dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari
Dewan perwakilan Rakyat (DPR).
Persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut dilakukan untuk
pemindahtanganan berupa:
i. Tanah dan/atau bangunan, kecuali:
a) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
b) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan
dalam dokumen penganggaran;
39
c) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
d) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
e) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika
status
f) kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
ii. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp.100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).
Hal ini mengindikasikan bahwa sekecil apapun luas tanah dan/atau bangunan yang akan
dipindahtanganankan, apabila tidak termasuk dalam perkecualian tersebut maka proses
pemindahtanganannya harus dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
dari Dewan perwakilan Rakyat (DPR).
Atas pemindahtanganan tanah dan atau bangunan yang masuk perkecualian tersebut dan
pemindahtanaganan selain tanah dan atau bangunan di bawah Rp.100.000.000.000,-,
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 telah mengatur sebagai berikut:
i. Pemindatanganan sampai dengan nilai Rp.10.000.000.000,- kewenangan persetujuannya
berada pada Pengelola barang (Menteri Keuangan);
ii. Pemindatanganan untuk barang milik negara di atas Rp10.000.000.000,- sampai dengan
nilai Rp.100.000.000.000,- kewenangan persetujuannya berada pada Presiden;
C. Bentuk-Bentuk Pemindahtanganan
Berdasarkan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, pemanfaatan barang
milik negara secara garis besar dibagi ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu:
1. Penjualan;
2. Tukar Menukar;
3. Hibah;
4. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat.
Penjelasan lebih lanjut atas masing-masing bentuk pemindahtanganan adalah sebagai
berikut:
1. Penjualan
a. Pengertian dan Pertimbangan
40
Penjualan adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara kepada pihak
lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. Pertimbangan
penjualan barang milik negara adalah dalam rangka optimalisasi BMN yang
berlebih atau idle, karena secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara,
dan sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun BMN yang dapat dijual adalah meliputi tanah dan/atau bangunan,
dan selain tanah dan/atau bangunan. Tanah dan/atau bangunan terbagi
dua yaitu tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang;
dan tanah dan/atau bangunan yang status penggunaannya ada pada
Pengguna Barang.
b. Subyek, Obyek dan Kewenangan
Pelaksana penjualan dapat dilakukan oleh pengelola barang maupun pengguna
barang. Pengelola Barang melakukan penjualan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan, kecuali untuk bangunan yang harus dihapuskan karena
anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen
penganggaran, dan untuk penjualan tanah dan/atau bangunan yang
merupakan kategori rumah negara golongan III. Pengguna Barang melakukan
penjualan untuk tanah dan/atau bangunan yang tidak dilakukan oleh
pengelolaan barang sebagaimana dimaksud di atas, dan BMN selain tanah
dan/atau bangunan.
c. Ketentuan Pokok dan Persyaratan
Sesuai Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.6/2007,
penjualan BMN dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
i. Pelaksanaan penjualan tidak boleh mengganggu pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
ii. Penjualan BMN dilaksanakan dengan cara lelang, kecuali:
a) BMN yang bersifat khusus sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku, yaitu:
- rumah negara golongan III yang dijual kepada penghuninya;
- kendaraan dinas perorangan pejabat negara yang dijual kepada pejabat
negara;
b) BMN lainnya, ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang berdasarkan
pertimbangan yang diberikan oleh Pengguna Barang dan instansi teknis
terkait, yaitu:
41
- BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang akan digunakan untuk
kepentingan umum;
- BMN yang jika dijual secara lelang akan merusak tata niaga berdasarkan
pertimbangan dari instansi yang berwenang, misalnya gula atau beras
selundupan yang disita oleh negara;
- BMN berupa tanah yang merupakan tanah kavling yang menurut
perencanaan awal pengadaannya digunakan untuk pembangunan
perumahan pegawai negeri, sebagaimana tercantum dalam dokumen
penganggaran.
Terhadap BMN yang tidak laku dijual secara lelang:
i. dilakukan pemindahtanganan dalam bentuk lainnya;
ii. dalam hal tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk lain, BMN dimaksud
dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang.
Terkait dengan penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan, Lampiran VII
Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.6/2007 mengatur bahwa penjualan
BMN selain tanah dan/atau bangunan dilakukan apabila memenuhi persyaratan
teknis dan ekonomis sebagai berikut:
i. Persyaratan teknis:
a) secara fisik barang tidak dapat digunakan karena rusak, dan tidak ekonomis
apabila diperbaiki
b) secara teknis barang tidak dapat digunakan lagi akibat modernisasi;
c) barang mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan, seperti
terkikis, aus, dan lain-lain sejenisnya; atau
d) berkurangnya barang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/
susut dalam penyimpanan/pengangkutan.
ii. Persyaratan ekonomis :
Secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila barang dijual,
karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar daripada
manfaat yang diperoleh.
Sedangkan terkait dengan penjualan BMN berupa kendaraan bermotor dinas
operasional Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.6/2007,
mengatur bahwa penjulanan tersebut harus dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
42
i. Telah berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun :
a) terhitung mulai tanggal perolehannya, untuk perolehan dalam kondisi
baru;
b) terhitung mulai tanggal pembuatannya, untuk perolehan selain tersebut
pada huruf a).
ii. Tidak akan mengganggu penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian/ lembaga yang bersangkutan.
iii. Penjualan kendaraan bermotor selain tersebut huruf 1) dapat dilakukan apabila
kendaraan bermotor tersebut rusak berat akibat kecelakaan atau bencana alam
dengan kondisi paling tinggi 30% (tiga puluh persen) berdasarkan keterangan
instansi yang berkompeten.
iv. Penjualan BMN berupa kendaraan bermotor pada kantor perwakilan
Pemerintah RI di luar negeri, persyaratannya mengikuti ketentuan negara
setempat.
d. Tata Cara Penjualan
Adapun tata cara pelaksanaan penjualan telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor 96/PMK.06/2007. Tata cara penjualan dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu:
i) untuk tanah dan/atau bangunan;
ii) bangunan yang harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti
sudah disediakan dalam dokumen penganggaran; dan
iii) untuk selain tanah dan/atau bangunan.
Penjualan barang milik negara sebagaimana tersebut pada butir ii) dan iii) tersebut
di atas dilaksanakan oleh pengguna barang dengan terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari pengelola barang.
Sedangkan penjualan sebagaimana diatur pada angka i) sepenuhnya dilakukan
oleh Pengelola Barang. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 ayat 3 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004, dimana tanah dan/atau bangunan yang akan dijual berarti
sudah dalam keadaan idle, dengan demikian penjualan atas tanah dan/atau
bangunan yang berada pada pengguna barang harus terlebih dahulu diserahkan
kepada pengelola barang.
Dibawah ini merupakan bagan alur penjualan barang milik negara yang dilakukan
oleh pengguna barang.
43
2. Tukar Menukar
a. Pengertian dan pertimbangan
Tukar-menukar berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
didefinisikan sebagai pengalihan kepemilikan barang milik negara yang dilakukan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau antara pemerintah pusat
dengan pihak lain, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang-
kurangnya dengan nilai seimbang.
Tukar-menukar barang milik negara dilakukan dengan pertimbangan:
i. dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan
pemerintahan;
ii. untuk optimalisasi penggunaan barang milik negara;
iii. karena tidak tersedia dana dalam APBN.
b. Subyek, Obyek dan Mitra Tukar Menukar
Pada dasarnya semua jenis barang milik negara dapat dipertukarkan, yakni:
i. tanah dan/atau bangunan:
i. yang berada pada Pengelola Barang;
ii. yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang;
ii. selain tanah dan/atau bangunan.
44
Berdasarkan obyek tukar menukar tersebut, maka dapat dibagi-bagi kewenangan
pelaksanaan tukar menukar adalah sebagai berikut:
i. Pengelola Barang, yakni untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada
Pengelola Barang;
ii. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, yakni untuk:
i. BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang berada di Pengguna Barang
akan tetapi tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
ii. BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Sesuai dengan pengertian tukar menukar sebagaimana tersebut di atas, pihak-pihak
yang dapat menjadi mitra tukar menukar adalah sebagai berikut:
i. Pemerintah Daerah;
ii. Badan Usaha Milik Negara;
iii. Badan Usaha Milik Daerah;
iv. Badan Hukum milik pemerintah lainnya;
v. Swasta, baik yang berbentuk badan hukum maupun perorangan.
Mitra tukar-menukar sebagaimana tersebut di atas ditentukan melalui pemilihan
calon mitra tukar menukar (tender) dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya
5 (lima) peserta/peminat, kecuali tukar menukar yang dilakukan dengan
Pemerintah Daerah dan pihak-pihak lain yang mendapatkan penugasan dari
pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum.
c. Ketentuan Pokok
Sesuai Lampiran VIII Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.6/2007, barang
milik negara yang dapat ditukarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
i. BMN berupa tanah dan/ atau bangunan yang sudah tidak sesuai dengan tata
ruang wilayah atau penataan kota;
ii. BMN belum dimanfaatkan secara optimal;
iii. penyatuan BMN yang lokasinya terpencar;
iv. pelaksanaan rencana strategis pemerintah/ negara; atau
v. BMN selain tanah dan/ atau bangunan yang ketinggalan teknologi sesuai
kebutuhan/ kondisi/ peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menjamin dan mewujudkan tertib administrasi, hukum serta
menjamin akuntabilitas, maka setiap pelaksanaan tukar-menukar barang milik
negara harus didasarkan pada suatu kajian yang meliputi aspek:
i. aspek teknis, antara lain:
45
a). kebutuhan Pengelola Barang/Pengguna Barang;
b). spesifikasi aset yang dibutuhkan.
ii. aspek ekonomis, antara lain kajian terhadap nilai aset yang dilepas dan nilai
aset pengganti;
iii. aspek yuridis, antara lain:
a). Rencana Umum Tata Ruang Wilayah dan penataan kota
b). Peraturan perundang-undangan terkait
Dalam hal tukar menukar dilakukan atas barang milik negara berupa tanah, atau
tanah dan bangunan, maka aset pengganti dalam tukar menukar tersebut harus
memenuhi syarat:
i. penggantian utama berupa tanah atau tanah dan bangunan;
ii. nilai barang pengganti sekurang-kurangnya sama dengan nilai BMN yang
dilepas.
Dalam hal nilai barang milik negara yang disetorkan lebih tinggi dibandingkan
dengan aset pengganti, maka mitra diwajibkan menyetorkan uang ke rekening kas
negara atas sejumlah selisih nilai lebih antara barang yang dilepas dengan barang
pengganti, yang dilakukan paling lambat sebelum pelaksanaan serah terima
barang.
d. Tata Cara Tukar Menukar
Adapun tata cara pelaksanaan tukar menukar telah diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007. Tata Tata cara pelaksanaan tukar
menukar dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu:
i. tukar menukar untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengelola
barang;
ii. tukar menukar untuk tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan
untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak
sesuai dengan RUTR wilayah atau penataan kota; dan
iii. tukar menukar untuk selain tanah dan/atau bangunan.
Tukar menukar barang milik negara sebagaimana tersebut pada butir ii) dan iii)
tersebut di atas dilaksanakan oleh pengguna barang dengan terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari pengelola barang.
46
Sedangkan tukar menukar sebagaimana diatur pada angka i) sepenuhnya
dilakukan oleh Pengelola Barang. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 ayat 3 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004, dimana tanah dan/atau bangunan yang akan
dipertukarkan berarti sudah dalam keadaan idle, dengan demikian tukar menukar
atas tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengguna barang harus terlebih
dahulu diserahkan kepada pengelola barang.
Dibawah ini merupakan bagan alur tukar menukar barang milik negara yang
dilakukan oleh pengguna barang.
3. Hibah
a. Pengertian dan Pertimbangan
Sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006, hibah barang milik negara merupakan proses pengalihan kepemilikan
barang milik negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau
kepada pihak lain tanpa memperoleh penggantian.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka secara jelas dapat
diidentifikasikan pertimbangan dan tujuan hibah barang milik negara
tersebut, yaitu:
i. untuk kepentingan sosial;
ii. untuk kepentingan keagamaan;
47
iii. Untuk kepentingan kemanusiaan; dan
iv. Untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
b. Subyek, Obyek dan Penerima Hibah
Secara prinsip semua barang milik negara baik berupa tanah dan/atau
bangunan, maupun selain tanah dan/atau bangunan dapat dihibahkan
kepada pemerintah daerah atau pihak lain, sepanjang tidak digunakan untuk
kepentingan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga atau memang
sejak awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan
Dalam pelaksanaan hibah barang milik negarra tersebut, Pihak-pihak yang dapat
melaksanakan hibah adalah:
i. Pengelola Barang, untuk tanah dan/atau bangunan;
ii. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk:
a) tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan
untuk dihibahkan sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran;
b) tanah dan/atau bangunan yang diperoleh dari dana Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan;
c) sebagian tanah yang berada pada Pengguna Barang;
d) selain tanah dan/atau bangunan.
Berdasarkan pertimbangan pelaksanaan hibah tersebut di atas, maka Pihak yang
dapat menerima hibah adalah:
i. Lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan organisasi kemanusiaan, yang
mendapatkan pernyataan tertulis dari instansi teknis yang kompeten bahwa
lembaga yang bersangkutan adalah sebagai lembaga termaksud;
ii. Pemerintah Daerah.
c. Persyaratan dan Ketentuan Pokok
Sesuai lampiran IX PMK nomor 96/PMK.6/2007, barang milik negara dapat
dihibahkan kepada pemerintah daerah atau pihak lain sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
i. BMN yang dari awal perencanaan pengadaannya dimaksudkan untuk
dihibahkan sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran;
ii. bukan merupakan barang rahasia negara, bukan merupakan barang yang
menguasai hajat hidup orang banyak, dan tidak digunakan lagi dalam
48
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Pengguna Barang, serta tidak
digunakan lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
iii. BMN berasal dari hasil perolehan lain yang sah, dalam hal ini berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, ditentukan untuk dihibahkan;
iv. Sebagian tanah pada pengguna dapat dihibahkan sepanjang dipergunakan
untuk pembangunan fasilitas umum yang tidak mendapatkan penggantian
kerugian sesuai ketentuan perundang-undangan, fasilitas sosial dan
keagamaan.
Terkait dengan besaran nilai barang milik negara yang dapat dihibahkan
adalah nilai barang milik negara hasil dari pelaksanaan kegiatan anggaran,
yang dari awal pengadaannya telah direncanakan untuk dihibahkan,
didasarkan pada realisasi pelaksanaan kegiatan anggaran yang bersangkutan.
Sedangkan atas nilai barang milik negara selain tersebut di atas didasarkan
pada hasil penilaian yang dilakukan oleh penilai sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007.
Untuk hibah atas barang milik negara yang sejak perencanaan
pengadaannya dimaksudkan untuk dihibahkan, pelaksanaan hibah
tersebut dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola
barang tanpa memerlukan persetujuan DPR dan pelaksanaannya
dilakukan setelah terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawas fungsional.
d. Tata Cara Hibah
Adapun tata cara pelaksanaan hibah telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor 96/PMK.06/2007. Tata cara pelaksanaan hibah dikelompokkan
dalam 5 bagian yaitu:
i. untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang;
ii. untuk tanah dan/atau bangunan yang dari sejak perencanaan pengadaannya
dimaksudkan untuk dihibahkan sebagaimana tercantum dalam dokumen
penganggaran;
iii. untuk tanah dan/atau bangunan yang diperoleh dari dana Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan mengikuti ketentuan sebagaimana tersebut pada romawi
VI angka 2 PMK nomor 96/PMK.06/2007dengan penyesuaian seperlunya
49
dan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang mengatur Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
iv. untuk sebagian tanah yang berada pada Pengguna Barang mengikuti
ketentuan sebagaimana tersebut pada romawi VI angka 2 PMK
nomor 96/PMK.06/2007 dengan pengecualian persyaratan dan
penelitian terkait dengan dokumen penganggarannya serta
persyaratanhasil audit aparat pengawas fungsional; dan
v. hibah BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Dibawah ini merupakan bagan alur tukar menukar barang milik negara yang
dilakukan oleh pengguna barang.
4. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat
a. Pengertian dan Pertimbangan
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat berdasarkan Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 diartikan sebagai suatu proses pengalihan
kepemilikan barang milik negara yang semula merupakan kekayaan negara
yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk
diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Hukum
lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.
50
Secara umum, penyertaan modal pemerintah pusat dilaksanakan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
i. Dalam rangka pendirian dan/atau mengembangkan/ meningkatkan
kinerja BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya;
ii. Dalam rangka mendukung BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya
untuk menjalankan tugas Kewajiban Pelayanan Umum yang diberikan
oleh Pemerintah;
iii. Yang diusulkan merupakan proyek selesai kementerian/ lembaga yang
dari awal pengadaannya telah diprogramkan untuk diserahkan
pengelolaannya pada BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya;
iv. Kekayaan negara yang tidak dipisahkan tersebut menjadi lebih optimal
apabila dikelola oleh BUMN, BUMD, atau Badan Hukum lainnya.
b. Subyek, Obyek dan Calon Penerima Penyertaan
Pihak-pihak yang dapat melaksanakan penyertaan modal pemerintah
adalah:
i. Pengelola Barang yaitu untuk tanah dan/atau bangunan yang berada
pada Pengelola Barang;
ii. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang yaitu:
a) BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang dari awal
pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal
51
pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen
penganggaran;
b) BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Sedangkan jenis barang milik negara yang dapat dilakukan PMPP adalah
meliputi
i. tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang;
ii. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya
direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat
sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggarannya; serta
iii. selain tanah dan/atau bangunan.
Berdasarkan pengertian sebagaimana tersebut pada huruf A. Tersebut di
atas, maka dapat disebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat menerima
penyertaan modal pemerintah pusat meliputi:
i. BUMN;
ii. BUMD; dan
iii. Badan Hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah.
c. Ketentuan Pokok
Pengajuan PMPP atas BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan
untuk disertakan sebagai PMPP dilakukan oleh Pengguna Barang kepada
Pengelola Barang. Selanjutnya pengajuan penyertaan modal tersebut di atas
dilaksanakan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah penetapan status
penggunaannya oleh Pengelola Barang. Ditetapkan pula bahwa dalam hal
pengajuan penyertaan modal tersebut dilakukan setelah batas waktu
tersebut di atas, penerima/calon penerima penyertaan modal dimaksud
dikenakan sewa penggunaan BMN terhitung sejak tanggal penetapan
status penggunaan sebagaimana dimaksud di atas.
Nilai PMPP diatur bahwa BMN hasil dari pelaksanaan kegiatan anggaran
yang dari awal direncanakan untuk disertakan sebagai PMPPkepada
BUMN, BUMD atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki negara, nilainya
berdasarkan realisasi pelaksanaan kegiatan anggaran. Untuk BMN selain
tersebut di atas nilainya didasarkan hasil penilaian.
Pelaksanaan PMPP atas BMN yang dari awal pengadaannya direncanakan
untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat, terlebih
dahulu harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional pemerintah untuk
52
menentukan kewajaran BMN yang akan disertakan sebagai PMPP
dibandingkan realisasi pelaksanaan kegiatan anggaran.
Dalam pelaksanaan PMPP, Pengelola Barang dapat mempersyaratkan adanya
pernyataan tidak keberatan dari pemegang saham atau instansi yang
dianggap kompeten mewakili pemegang saham. Persyaratan tersebut tidak
diperlukan untuk penyertaan modal pemerintah pusat atas BMN yang dari
awal pengadaannya telah direncanakan untuk PMPP.
Setiap PMPP atas BMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Adapun
pengajuan rancangan peraturan pemerintah penetapan PMPP kepada
Presiden dilakukan oleh Pengelola Barang. Semua biaya yang timbul dari
pelaksanaan PMPP dibebankan pada penerima PMPP.
d. Tata Cara Penyertaan Modal Pemerintah Pusat
Adapun tata cara pelaksanaan PMPP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor 96/PMK.06/2007, dikelompokkan dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:
i. BMN berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengguna Barang yang dari awal
pengadaannya, sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggarannya,
direncanakan untuk disertakan sebagai PMPP;
ii. BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang;
iii. BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Dibawah ini merupakan alur pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat
yang dilakukan oleh pengguna barang.
53
BAB VI
PENGHAPUSAN
A. Pengertian dan Jenis Penghapusan
Secara harfiah, penghapusan didefinisikan sebagai suatu tindakan menghapus BMN
dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang
untuk membebaskan Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dan/atau
Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik barang yang berada
dalam penguasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut maka secara jelas
penghapusan barang milik negara itu dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
i. Penghapusan BMN dari daftar barang pengguna dan/atau daftar barang kuasa
pengguna barang
Penghapusan ini dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan
Pengguna Barang dan atau Kuasa Pengguna Barang karena salah satu hal:
a. penyerahan BMN kepada Pengelola Barang,
b. pengalihgunaan BMN kepada Pengguna Barang lain,
c. pemindahtanganan BMN kepada pihak lain,
d. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah
tidak ada upaya hukum lainnya, atau menjalankan ketentuan undang-undang,
e. pemusnahan,
f. sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab
penghapusan, antara lain hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap, mencair,
terkena bencana alam, kadaluwarsa, dan mati/cacat berat/tidak produktif untuk
tanaman/hewan/ternak, serta terkena dampak dari terjadinya force majeure.
ii. Penghapusan dari Daftar Barang Milik Negara pada Pengelola Barang, yang dilakukan
karena salah satu hal:
a. beralih kepemilikannya karena terjadi pemindahtanganan.
b. menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya.
c. menjalankan ketentuan undang-undang.
d. Pemusnahan.
e. sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab
penghapusan, antara lain hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap, mencair,
54
terkena bencana alam, kadaluwarsa, dan mati/cacat berat/tidak produktif untuk
tanaman/hewan/ternak, serta terkena dampak dari terjadinya force majeure.
Dengan demikian maka penghapusan sebagaimana tersebut di atas dilakukan setelah
surat keputusan penghapusan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yaitu:
i. Pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari Pengelola Barang, untuk
penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau daftar barang kuasa
pengguna barang;
ii. Pengelola barang, untuk penghapusan dari daftar BMN.
B. Persyaratan Penghapusan
Berdasarkan Peraturan Menteri keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, barang milik
negara dapat dihapuskan jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
i. Persyaratan penghapusan BMN selain tanah dan/atau bangunan harus
memenuhi :
a) persyaratan teknis yaitu secara fisik barang tidak dapat digunakan karena
rusak, dan tidak ekonomis apabila diperbaiki, secara teknis barang tidak
dapat digunakan lagi akibat modernisasi, barang telah melampaui batas
waktu kegunaannya/ kadaluarsa, barang mengalami perubahan dalam
spesifikasi karena penggunaan, seperti terkikis, aus, dll sejenisnya; atau
berkurangnya barang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/
55
susut dalam penyimpanan/pengangkutan.
b) persyaratan ekonomis, yaitu lebih menguntungkan bagi negara apabila
barang dihapus, karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih
besar daripada manfaat yang diperoleh; atau
c) barang hilang, atau dalam kondisi kekurangan perbendaharaan atau
kerugian karena kematian hewan atau tanaman.
ii. Penghapusan BMN berupa tanah dan/atau bangunan harus memenuhi
persyaratan yaitu:
a) barang dalam kondisi rusak berat karena bencana alam, atau karena sebab
lain di luar kemampuan manusia (force majeure);
b) lokasi barang menjadi tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) karena adanya perubahan tata ruang kota;
c) sudah tidak memenuhi kebutuhan organisasi karena perkembangan tugas,
penyatuan lokasi barang dengan barang lain milik negara dalam rangka
efisiensi; atau
d) pertimbangan dalam rangka pelaksanaan rencana strategis pertahanan.
C. Ketentuan Lain Dalam Pelaksanaan Penghapusan
Khusus untuk kendaraan bermotor dinas operasional hanya dapat dihapuskan
apabila telah berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, dengan ketentuan
untuk kendaraan dengan perolehan dalam kondisi baru, terhitung mulai tanggal,
bulan, tahun perolehannya, dan untuk kendaraan untuk perolehan dalam kondisi
tidak baru terhitung mulai tanggal, bulan, tahun pembuatannya. Penghapusan
kendaraan bermotor dinas dimaksud sebagaimana tercatat sebagai BMN dan
tidak akan mengganggu penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga yang bersangkutan.
Penghapusan kendaraan bermotor selain tersebut di atas dapat dilakukan
apabila kendaraan bermotor tersebut hilang, atau rusak berat akibat kecelakaan
atau force majeure dengan kondisi paling tinggi 30% (tiga puluh persen) berdasarkan
keterangan instansi yang kompeten. Sedangkan penghapusan BMN berupa
kendaraan bermotor pada kantor perwakilan Pemerintah RI di luar negeri,
persyaratannya mengikuti ketentuan negara setempat.
Pemusnahan dapat dilakukan dalam hal:
56
i. tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat
dipindahtangankan,
ii. alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pemusnahan dilakukan dengan cara:
i. dibakar,
ii. dihancurkan,
iii. ditimbun,
iv. ditenggelamkan dalam laut, atau
v. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
D. Tata Cara Penghapusan
Tata cara pelaksanaan penghapusan atas barang milik negara yang berada pada
pengguna barang atau kuasa pengguna barang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan nomor 96/PMK.06/2007, dan dikelompokkan dalam 6 kelompok yaitu:
i. penghapusan karena penyerahan barang milik negara kepada pengelola barang;
ii. penghapusan karena pengalihan status penggunaan barang milik negara kepada
pengguna barang lain;
iii. penghapusan karena pemindahtanganan barang milik negara;
iv. penghapusan karena barang milik negara tidak dapat lagi digunakan, tidak dapat
dimanfaatkan, dan tidak dapat lagi dipindahtangankan serta alasan lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, yang mengharuskan dilakukan pemusnahan;
v. penghapusan karena adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya atau penghapusan untuk
menjalankan ketentuan undang-undang; dan
vi. penghapusan karena sebab-sebab lain.
Selain tata cara penghapusan atas BMN yang berada pada pengguna barang atau kuasa
pengguna barang, juga ada tata cara penghapusan BMN atas BMN yang ada pada
pengelola barang.
Adapun penjelasan dan rincian tatacara lebih lanjut atas pelaksanaan penghapusan
tersebut di atas, dapat dibaca pada Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan Nomor
96/PMK.06/2007.
57
Di bawah ini merupakan gambaran hubungan antara konsep pemindahtanganan dan
penghapusan barang milik negara.
58
BAB VII
PENATAUSAHAAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup
Seluruh BMN merupakan objek penatausahaan, yakni semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah, yang berada dalam penguasaan Kuasa Pengguna
Barang/Pengguna Barang dan berada dalam pengelolaan Pengelola Barang.
Penatausahaan BMN meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan BMN. Dalam
penatausahaan BMN ini termasuk didalamnya melaksanakan tugas dan fungsi akuntansi
BMN. Penatausahaan BMN dalam rangka mewujudkan tertib administrasi termasuk
menyusun Laporan BMN yang akan digunakan sebagai bahan penyusunan neraca
pemerintah pusat. Sedangkan penatausahaan BMN dalam rangka mendukung
terwujudnya tertib pengelolaan BMN adalah menyediakan data agar pelaksanaan
pengelolaan BMN dapat dilaksanakan sesuai dengan azas fungsional, kapastian hukum,
transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Hasil penatausahaan BMN ini nantinya dapat digunakan dalam rangka (a) penyusunan
negara pemerintah pusat setiap tahun, (b) perencanaan kebutuhan pengadaan dan
pemeliharaan BMN setiap tahun untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana
anggaran, dan (c) pengamanan administrasi BMN.
B. Pengorganisasian
Sebagaimana diketahui BMN tersebar pada 77 kementerian negara/lembaga yang terbagi
lagi pada 20.964 satuan kerja yang lokasinya tersebar diseluruh Indonesia tentunya
membutuhkan koordinasi yang baik agar tujuan penatausahaan dapat tercapai. Untuk itu,
diperlukan pengorganisasian yang nantinya digunakan dalam alur bisnis proses
penatausahaan BMN.
Penatausahaan BMN meliputi penatausahaan pada Kuasa Pengguna Barang/Pengguna
Barang dan Pengelola Barang. Pelaksana penataausahaan BMN pada Kuasa Pengguna
Barang/Pengguna Barang dilakukan oleh unit penatausahaan Kuasa Pengguna
Barang/Pengguna Barang dan pada Pengelola Barang dilakukan oleh unit penatausahaan
Pengelola Barang. Selanjutnya dalam pelaksanaan penatausahaan BMN di Kantor Wilayah
dan/atau Unit Eselon I, Pengguna Barang dibantu oleh unit penatausahaan wilayah
59
dan/atau unit penatausahaan eselon I. Sedangkan Pengelola Barang dibantu oleh Kantor
Vertikal DJKN di daerah yaitu Kanwil DJKN dan KPKNL.
Adapun organisasi penatausahaan BMN pada Pengguna Barang adalah sebagai berikut:
i. Unit Penatausahaan Pengguna Barang (UPPB);
UPPB adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat Kementerian Negara/Lembaga
(pengguna barang), yang secara fungsional dilakukan oleh unit eselon I yang
membidangi kesekretariatan, unit eselon II, unit eselon III dan unit eselon IV yang
membidangi BMN. Penanggung jawab UPPB adalah Menteri/Pimpinan Lembaga.
UPPB ini membawahi UPPB-E1, UPPB-W dan/atau UPKPB.
ii. Unit Penatausahaan Pengguna Barang – Eselon I (UPPB-E1);
UPPB-E1 adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat eselon I, yang secara
fungsional dilakukan oleh unit eselon II yang membidangi kesekretariatan, unit eselon
III dan unit eselon IV yang membidangi BMN. Penanggung jawab UPPB-E1 adalah
pejabat eselon I. UPPB-E1 ini membawahi UPPB-W dan/atau UPKPB.
iii. Unit Penatausahaan Pengguna Barang – Wilayah (UPPB-W);
a) UPPB-W adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat kantor wilayah atau unit
kerja lain di wilayah yang ditetapkan sebagai UPPB-W, yang secara fungsional
dilakukan oleh unit eselon III yang membidangi kesekretariatan dan unit eselon IV
yang membidangi BMN. Penanggung jawab UPPB-W adalah Kepala Kantor
Wilayah atau Kepala unit kerja yang ditetapkan sebagai UPPB-W. UPPB-W ini
membawahi UPKPB.
b) Untuk unit penatausahaan BMN Dana Dekonsentrasi, penanggung jawab UPPB-W
adalah Gubernur, sedangkan untuk penatausahaan BMN Dana Tugas
Pembantuan, penanggung jawab UPPB-W adalah Kepala Daerah sesuai dengan
penugasan yang diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian
Negara/Lembaga.
iv. Unit Penatausahaan Kuasa Pengguna Barang (UPKPB).
a) UPKPB adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat satuan kerja (Kuasa
Pengguna Barang), yang secara fungsional dilakukan oleh unit eselon III, eselon IV
dan/atau eselon V yang membidangi kesekretariatan dan/atau BMN. Penanggung
jawab UPKPB adalah Kepala Kantor/Kepala Satuan Kerja.
60
b) Untuk unit penatausahaan BMN dari Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan, penanggung jawab UPKPB adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD).
c) Untuk unit penatausahaan BMN pada BLU, penanggung jawab UPKPB adalah
Pimpinan BLU atau Pimpinan Satuan Kerja pada BLU.
Organisasi penatausahaan BMN pada Pengelola Barang adalah sebagai berikut:
1) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)
DJKN adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat Pengelola Barang, yang
dilakukan oleh unit eselon II, unit eselon III dan unit eselon IV yang
membidangi BMN pada Direktorat BMN I dan Direktorat BMN II. Penanggung
jawabnya adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara. DJKN membawahi
Kanwil-DJKN dan KPKNL.
2) Kantor Wilayah-Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (Kanwil-DJKN)
KW-DJKN adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat Kantor Wilayah, yang
dilakukan oleh unit eselon III dan unit eselon IV yang membidangi BMN.
Penanggung jawabnya adalah Kepala Kantor Wilayah DJKN. Kanwil-DJKN
membawahi KPKNL.
3) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
KPKNL adalah unit penatausahaan BMN pada tingkat kantor daerah, yang
dilakukan oleh unit eselon IV yang membidangi BMN. Penanggung jawabnya
adalah Kepala KPKNL.
Adapun bagan pengorganisasian dalam pelaksanaan pentausahaan BMN adalah
sebagai berikut :
1) Bagan Organisasi Pada Pelaksana Penatausahaan pada Pengguna Barang.
61
2) Alur organisasi penatausahaan BMN pada Kuasa Pengguna Barang/Pengguna
Barang dan pada Pengelola Barang adalah sebagai berikut:
C. Tugas Pelaksana Penatausahaan
Tugas Pelaksana Penatausahaan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
nomor 6 tahun 2006 adalah meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan. Selain itu
juga termasuk tugas dari pelaksana penatausahaan adalah pengamanan dokumen.
Adapun tugas dari pelaksana penatausahaan adalah membuat daftar BMN, dan
62
melakukan pembukuan. Pembukuan ini dilakukan pada tingkat Satuan Kerja dan KPKNL.
Satuan Kerja (UPKPB) membukukan semua BMN kecuali tanah dan/atau bangunan yang
idle, dan KPKNL membukukan BMN berupa tanah dan/atau bangunan idle. Selain dua
kegiatan di atas tugas pelaksana penatausahaan adalah melakukan inventarisasi BMN,
melakukan pelaporan BMN, melakukan pengamanan dokumen, melakukan rekonsiliasi
data dan/atau pemutakhiran data, dan melakukan pembinaan.
D. Pembukuan
i. Pembukuan adalah merupakan kegiatan pendaftaran dan pencatatan BMN ke dalam
Daftar Barang menurut penggolongan dan kodefikasi barang. Tingkat Pengguna
Barang harus membuat Daftar Barang Pengguna (DBP), tingkat Kuasa Pengguna
Barang harus membuat Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP), dan tingkat Pengelola
Barang harus Daftar BMN (tanah dan/atau bangunan).
ii. Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang harus menyimpan dokumen kepemilikan
selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya. Sedangkan
Pengelola Barang harus meyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan
yang berada dalam pengelolaannya.
iii. Kegiatan Pembukuan pada UPKPB (Satker) adalah membukukan dan mencatat semua
BMN yang telah ada ke dalam Buku Barang dan/atau Kartu Indentitas Barang (KIB),
membukukan dan mencatat setiap mutasi BMN ke dalam Buku Barang dan/atau KIB,
membukukan dan mencatat hasil inventarisasi ke dalam Buku Barang dan/atau KIB,
menyusun Daftar Barang tersebut yang datanya berasal dari Buku Barang dan Kartu
Indentitas Barang, mencatat semua barang dan perubahannya atas perpindahan
barang antar lokasi/ruangan ke dalam Daftar Barang Ruangan dan/atau Daftar Barang
Lainnya, mencatat perubahan kondisi barang ke dalam Buku Barang, dan mencatat
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari pengelolaan BMN yang
berada dalam penguasaannya.
Sebagai catatan : Dalam membukukan dan mencatat BMN ke dalam Buku Barang,
Kartu Identitas Barang, Daftar Barang Ruangan dan Daftar Barang Lainnya dapat
menggunakan Sistem Aplikasi yang sudah ada (SABMN).
Dalam melakukan pembukuan dimaksud akan dikelompokkan jenis buku/kartu
identitas/daftar dan Daftar Barang.
a) Jenis Buku/Kartu Identitas/Daftar. Buku barang meliputi Buku Barang
Intrakomptabel, Buku Barang Ekstrakomptabel, Buku Barang Bersejarah, Buku
Barang Persediaan, dan Buku Barang Konstruksi Dalam Pengerjaan. Selanjutnya
63
Kartu Identitas Barang (KIB) meliputi KIB Tanah, KIB Bangunan Gedung, KIB
Bangunan Air, KIB Alat Angkutan Bermotor, KIB Alat Besar Darat, dan KIB Alat
Persenjataan. Selain itu ada Daftar Barang Ruangan, Daftar Barang lainnya.
Terakhir terdapat Buku Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
b) Jenis Daftar Barang. Daftar Barang ini terdapat pada UPKPB, UPPB-W, UPPB-E1,
dan UPPB. Daftar Barang ini meliputi Daftar Barang Persediaan, Daftar Barang
Tanah, Daftar Barang Gedung dan Bangunan. Selain itu terdapat Daftar Barang
Peralatan dan Mesin yaitu terdiri dari Alat Angkutan Bermotor, Alat Besar, Alat
Persenjataan, dan Peralatan Lainnya. Selanjutnya terdapat Daftar Barang Jalan,
Irigasi, dan Jaringan, Daftar Barang Aset Tetap lainnya, Daftar Barang Konstruksi
Dalam Pengerjaan, Daftar Barang Barang Bersejarah, dan Aset Lainnya.
iv. Kegiatan pembukuan pada UPPB-W/UPPB-E1/UPPB
Kegiatan pembukuan disini meliputi mendaftarkan dan mencatat setiap mutasi BMN
dan hasil inventarisasi ke dalam Daftar Barang, dan menghimpun PNBP yang
bersumber dari pengelolaan BMN yang berada dalam pengusaannya. Kemudian, jika
diperlukan UPPB-W dapat melakaukan pemutakhiran data dalam rangka penyusunan
Laporan Semesteran dan tahunan dengan unit penatausahaan di wilayah kerjanya.
Kegiatan lainnya adalah dapat melakukan pembinaan penatusahaan BMN kepada unit
penatusahaan di wilayah kerjanya, dan melakukan pengamanan dokumen
v. Kegiatan Pembukuan pada KPKNL
a) Melakukan pembukuan BMN berupa tanah dan/atau bangunan idel. Kegaitan
disini adalah membukukan dan mencatat BMN berupa tanah dan/atau bangunan
idle ke dalam Buku barang dan/atau KIB, mendaftarkan BMN berupa tanah
dan/atau bangunan idle ke dalam Daftar B arang berupa tanah dan/atau
bangunan idle, mendaftarkan dan mencatat setiap mutasi dan hasil inventarisasi
BMN berupa tanah dan/atau bangunan idle ke dalam Buku Barang, dan mencatat
PNBP yang bersumber dari pengelolaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan
idle yang berada dalam pengusaannya.
b) Melakukan pembukuan BMN yang berasal dari Kementerian Negara/ Lembaga
dengan cara menghimpun daftar barang, mutasi barang dan data PNBP dari
UKPPB diwilayah kerjanya
vi. Kegiatan pembukuan pada Kanwil DJKN
Kegiatan disini meliputi (a) pembukuan BMN berupa tanah dan/atau bangunan idle
dengan cara menghimpun daftar barang, mutasi barang, dan data PNBP dari KPKNL,
64
(b) melakukan pembukuan BMN dari Kementerian Negara/Lembaga dengan cara
menghimpun daftar barang, mutasi barang, dan data PNBP dari KPKNL dan/atau
UPPB-W, dan (c) melakukan pengamanan dokumen.
vii. Kegiatan pembukuan pada DJKN
Kegiatan disini adalah (a) melakukan pembukuan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan idle dengan cara menghimpun daftar barang, mutasi barang, dan data PNBP
dari Kanwil DJKN, (b) melakukan pembukuan BMN dari Kementerian
Negara/Lembaga dengan cara menghimpun daftar barang, mutasi barang, dan data
PNBP dari Kanwil DJKN dan/atau UPPB, dan (c) melakukan pengamanan dokumen.
E. Inventarisasi
Inventarisasi adalah merupakan kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan
pelaporan hasil inventariasi BMN yang meliputi :
i. Pengguna barang, melakukan inventarisasi sekurang-kurangnya dalam 5 tahun
(kecuali berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, dilakukan setiap tahun).
Kegiatan inventarisasi dalam 5 tahun sekali adalah sensus, sedangkan kegiatan
inventarisasi berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan adalah opname fisik.
Atas pelaksanaan inventarisasi dimaksud pengguna barang menyampaikan laporan
kepada pengelola barang selambat-lambatnya 3 bulan setelah selesainya inventarisasi.
ii. Pengelola Barang, melakukan inventarisasi berupa tanah dan/atau bangunan yang
berada dalam penguasaanya sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun.
F. Pelaporan
i. Kuasa Pengguna Barang menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna (LBKP)
semesteran dan tahunan untuk disampaikan kepada Pengguna Barang.
ii. Pengguna Barang menyusun Laporan Barang Pengguna (LBP) semesteran dan tahunan
untuk disampaikan kepada Pengelola Barang.
iii. Pengelola Barang menyusun Laporan Barang Milik Negara (LBMN) berupa tanah
dan/atau bangunan idle, menghimpun LBP semesteran dan tahunan, dan menyusun
LBMN sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat.
65
BAB VIII
PENGAMANAN, PEMELIHARAAN, PEMBINAAN,
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
A. Pengamanan
Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan
pengamanan BMN yang berada dalam penguasaannya, meliputi pengamanan
administrasi, fisik, dan pengamanan hukum. BMN berupa tanah harus disertifikatkan atas
nama Pemerintah RI. Sedangkan BMN berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti
kepemilikan atas nama Pemerintah RI. Selanjutnya, BMN selain tanah dan/atau bangunan
dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pengguna Barang. Selanjutnya, bukti
kepemilikan BMN wajib disimpan dengan tertib dan aman, dengan ketentuan
penyimpanan bukti kepemilikan BMN berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh
Pengelola Barang dan selain tanah dan/atau bangunan oleh Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang.
B. Pemeliharaan
Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang bertanggung jawab atas
pemeliharaan BMN, dengan berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang
(DKPB). Biaya pemeliharaan BMN dimaksud dibebankan pada APBN. Kuasa Pengguna
Barang wajib membuat Daftar Hasil Pemeliharaan Barang (DHPB) yang berada dalam
kewenangannya, dan melaporkan/ menyampaikan hasil pemeliharaan barang tersebut
kepada Pengguna Barang secara berkala. Selanjutnya, Pengguna Barang atau pejabat yang
ditunjuk meneliti laporan tersebut dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang
dilakkan dalam 1 tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai
efisiensi pemeliharaan BMN.
C. Pembinaan
Pasal 74 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 telah mengatur bahwa :
i. Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan BMN.
ii. Menteri Keuangan juga menetapkan kebijakan tehnis dan melakukan pembinaan
pengelolaan BMN .
Kebijakan teknis sebagaimana tersebut pada poin ii di atas diwujudkan dalam bentuk
Peraturan Menteri Keuangan yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari Peraturan
pemerintah dimaksud, contoh PMK nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata cara
66
Pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara, PMK Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik
Negara, dan sebagainya.
D. Pengawasan dan pengendalian
Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap penggunaan,
pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan, dan pengamanan yang
berada pada pengusaannya. Pelaksanaan pemantauan dan penertiban dimaksud untuk
kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh Kuasa Pengguna Barang. Selanjutnya Kuasa
Pengguna Barang dan Pengguna Barang dapat meminta aparat pengawas fungsional
untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban dimaksud.
Kemudian Kuasa Pengguna Barang dan Pengguna Barang menindaklanjuti hasil audit
dimaksud sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantuan dan investigasi atas
pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN, dalam rangka
penggunaan, pemanfaatan, dan pemindatanganan BMN sesuai ketentuan yang berlaku.
Sebagai tindak lanjutnya pengelola Barang dapat meminta aparat fungsional untuk
melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan
BMN. Selanjutnya, hasil audit dimaksud disampaikan kepada Pengelola Barang untuk
ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-undangan.
67
Daftar Pustaka
1) Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2) Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah;
4) Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
5) Peraturan Menteri Keuangan nomor 59/PMK.06/2005 Sistem Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
6) Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007 tentang tanggal 4 September
2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindatangnan Barang Milik Negara;
7) Peraturan Menteri Keuangan nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan
Barang Milik Negara;
8) Peraturan Menteri Keuangan nomor 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan
Kodefikasi Barang Milik Negara;
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PMK.06/2013
TENTANG
PENYUSUTAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA ASET TETAP
PADA ENTITAS PEMERINTAH PUSAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008, penetapan nilai Barang Milik Negara dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan;
b. bahwa berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan, Aset Tetap disajikan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut dikurangi akumulasi penyusutan;
c. bahwa agar penyusutan Barang Milik Negara berupa Aset Tetap dapat dilaksanakan secara efisien, efektif, optimal, dan terintegrasi, perlu adanya pengaturan sebagai suatu pedoman bagi entitas Pemerintah Pusat dalam melakukan penyusutan tersebut;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyusutan Barang Milik Negara Berupa Aset Tetap Pada Entitas Pemerintah Pusat;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);
5. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.05/2011;
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 53/KMK.06/2012 tentang Penerapan Penyusutan Barang Milik Negara Berupa Aset Tetap Pada Pemerintah Pusat;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYUSUTAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA ASET TETAP PADA ENTITAS PEMERINTAH PUSAT.
BAB I KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli dan diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
2. Barang Milik Negara Berupa Aset Tetap, yang selanjutnya disebut Aset Tetap, adalah aset berwujud yang mempunyai Masa Manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan, atau dimaksudkan untuk digunakan, dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
3. Penyusutan Barang Milik Negara berupa Aset Tetap, yang selanjutnya disebut Penyusutan Aset Tetap, adalah penyesuaian nilai sehubungan dengan penurunan kapasitas dan manfaat dari suatu aset.
4. Masa Manfaat adalah periode suatu Aset Tetap yang diharapkan digunakan untuk aktivitas pemerintahan dan/atau pelayanan publik atau jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan diperoleh dari aset
untuk aktivitas pemerintahan dan/atau pelayanan publik.
5. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara.
6. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang Milik Negara.
7. Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
8. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban Pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
9. Laporan Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat LBMN, adalah laporan yang disusun oleh Pengelola Barang yang menyajikan posisi Barang Milik Negara pada awal dan akhir suatu periode serta mutasi Barang Milik Negara yang terjadi selama periode tersebut.
Bagian Kedua Ruang Lingkup
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini mengatur Penyusutan Aset Tetap, yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang dan Pengguna Barang, termasuk yang sedang dimanfaatkan dalam rangka pengelolaan BMN.
(2) Aset Tetap yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Aset Tetap yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang diserahkan kepada Pengelola Barang (Aset Idle).
Bagian Ketiga Tujuan Pasal 3
Penyusutan Aset Tetap dilakukan untuk:
a. menyajikan nilai Aset Tetap secara wajar sesuai dengan manfaat ekonomi aset dalam laporan keuangan pemerintah pusat;
b. mengetahui potensi BMN dengan memperkirakan sisa Masa Manfaat suatu BMN yang masih dapat diharapkan dapat diperoleh dalam beberapa tahun ke depan;
c. memberikan bentuk pendekatan yang lebih sistematis dan logis dalam menganggarkan belanja pemeliharaan atau belanja modal untuk mengganti atau menambah Aset Tetap yang sudah dimiliki.
BAB II OBJEK PENYUSUTAN
Pasal 4
(1) Penyusutan dilakukan terhadap Aset Tetap berupa:
a. gedung dan bangunan;
b. peralatan dan mesin;
c. jalan, irigasi, dan jaringan; dan
d. Aset Tetap lainnya berupa Aset Tetap renovasi dan alat musik modern.
(2) Aset Tetap yang direklasifikasikan sebagai Aset Lainnya dalam neraca berupa Aset Kemitraan Dengan Pihak Ketiga dan Aset Idle disusutkan sebagaimana layaknya Aset Tetap.
(3) Penyusutan tidak dilakukan terhadap:
a. Aset Tetap yang dinyatakan hilang berdasarkan dokumen sumber yang sah dan telah diusulkan kepada Pengelola Barang untuk dilakukan penghapusannya; dan
b. Aset Tetap dalam kondisi rusak berat dan/atau usang yang telah diusulkan kepada Pengelola Barang untuk dilakukan penghapusan.
Pasal 5
Aset Tetap Renovasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d merupakan renovasi atas Aset Tetap bukan milik suatu satuan kerja atau satuan kerja pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan kapitalisasi Aset Tetap.
Pasal 6
(1) Aset Tetap yang dinyatakan hilang berdasarkan dokumen sumber yang sah dan telah diusulkan kepada Pengelola Barang untuk dilakukan penghapusannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a:
a. direklasifikasi ke dalam Daftar Barang Hilang;
b. tidak dicantumkan dalam Laporan Barang Kuasa Pengguna, Laporan Barang Pengguna, LBMN, dan Neraca; dan
c. diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Barang dan Catatan atas Laporan Keuangan.
(2) Dalam hal keputusan penghapusan mengenai Aset Tetap yang hilang telah diterbitkan oleh Pengguna Barang, maka aset tersebut dihapus dari Daftar Barang Hilang.
Pasal 7
Aset Tetap dalam kondisi rusak berat dan/atau usang yang telah diusulkan kepada Pengelola Barang untuk dihapuskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b:
a. direklasifikasi ke dalam Daftar Barang Rusak Berat;
b. tidak dicantumkan dalam Laporan Barang Kuasa Pengguna, Laporan Barang Pengguna, LBMN, dan Neraca; dan
c. diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Barang dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Pasal 8
(1) Dalam hal Aset Tetap yang dinyatakan hilang dan sebelumnya telah diusulkan penghapusannya kepada Pengelola Barang di kemudian hari ditemukan, maka terhadap Aset Tetap tersebut:
a. direklasifikasikan dari Daftar Barang Hilang ke akun Aset Tetap; dan
b. disusutkan sebagaimana layaknya Aset Tetap.
(2) Terhadap Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dalam hal memiliki bukti kepemilikan, maka atas Aset Tetap tersebut perlu dilakukan penilaian setelah Aset Tetap bersangkutan ditemukan kembali;
b. dalam hal tidak memiliki bukti kepemilikan, maka nilai akumulasi penyusutan atas Aset Tetap tersebut disajikan sebesar nilai akumulasi penyusutan saat sebelum dilakukan reklasifikasi ke Daftar Barang Hilang dan akumulasi penyusutan selama periode dimana Aset Tetap bersangkutan dicatat pada Daftar Barang Hilang.
BAB III NILAI YANG DAPAT DISUSUTKAN
Pasal 9
(1) Nilai yang dapat disusutkan pertama kali merupakan nilai buku per 31 Desember 2012 untuk Aset Tetap yang diperoleh sampai dengan 31
Desember 2012.
(2) Nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai yang tercatat dalam pembukuan.
(3) Untuk Aset Tetap yang diperoleh setelah 31 Desember 2012, nilai yang dapat disusutkan merupakan nilai perolehan.
(4) Dalam hal nilai perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diketahui, digunakan nilai wajar yang merupakan nilai estimasi.
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi perubahan nilai Aset Tetap sebagai akibat penambahan atau pengurangan kualitas dan/atau nilai Aset Tetap, maka penambahan atau pengurangan tersebut diperhitungkan dalam nilai yang dapat disusutkan.
(2) Penambahan atau pengurangan kualitas dan/atau nilai Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penambahan dan pengurangan yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pasal 11
(1) Dalam hal terjadi perubahan nilai Aset Tetap sebagai akibat koreksi nilai Aset Tetap yang disebabkan oleh kesalahan dalam pencantuman nilai yang diketahui di kemudian hari, maka dilakukan penyesuaian terhadap Penyusutan Aset Tetap tersebut.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyesuaian atas:
a. nilai yang dapat disusutkan; dan
b. nilai akumulasi penyusutan.
Pasal 12
(1) Penentuan nilai yang dapat disusutkan dilakukan untuk setiap unit Aset Tetap tanpa ada nilai residu.
(2) Nilai residu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai buku suatu Aset Tetap pada akhir Masa Manfaat.
(3) Nilai yang dapat disusutkan didasarkan pada nilai buku semesteran dan tahunan, kecuali untuk penyusutan pertama kali, didasarkan pada nilai buku akhir tahun pembukuan sebelum diberlakukannya penyusutan.
BAB IV MASA MANFAAT
Pasal 13
(1) Penentuan Masa Manfaat Aset Tetap dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor prakiraan:
a. daya pakai; dan
b. tingkat keausan fisik dan/atau keusangan,
dari Aset Tetap yang bersangkutan.
(2) Penetapan Masa Manfaat Aset Tetap pada awal penerapan penyusutan dilakukan sekurang-kurangnya untuk setiap kelompok Aset Tetap, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kodefikasi BMN.
(3) Masa Manfaat Aset Tetap tidak dapat dilakukan perubahan.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan Masa Manfaat Aset Tetap dapat dilakukan dalam hal:
a. terjadi perubahan karakteristik fisik/penggunaan Aset Tetap;
b. terjadi perbaikan Aset Tetap yang menambah Masa Manfaat atau kapasitas manfaat; atau
c. terdapat kekeliruan dalam penetapan Masa Manfaat Aset Tetap yang baru diketahui di kemudian hari.
Pasal 14
(1) Masa Manfaat Aset Tetap ditentukan untuk setiap unit Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Penentuan Masa Manfaat Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada Masa Manfaat Aset Tetap yang disajikan dalam Tabel Masa Manfaat Aset Tetap yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan.
Pasal 15
(1) Perbaikan terhadap Aset Tetap yang menambah Masa Manfaat atau kapasitas manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf b mengubah Masa Manfaat Aset Tetap yang bersangkutan.
(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. renovasi;
b. restorasi; atau
c. overhaul.
(3) Renovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan penambahan, perbaikan, dan/atau penggantian bagian Aset Tetap dengan maksud meningkatkan Masa Manfaat, kualitas dan/atau kapasitas.
(4) Restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kegiatan perbaikan Aset Tetap yang rusak dengan tetap mempertahankan arsitekturnya.
(5) Overhaul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan kegiatan penambahan, perbaikan, dan/atau penggantian bagian peralatan mesin dengan maksud meningkatkan Masa Manfaat, kualitas dan/atau kapasitas.
(6) Perubahan Masa Manfaat Aset Tetap akibat adanya perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada Masa Manfaat Aset Tetap Akibat Perbaikan yang disajikan dalam Tabel Masa Manfaat Aset Tetap Akibat Perbaikan, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan.
Pasal 16
(1) Masa Manfaat Aset Tetap dapat diusulkan untuk diubah oleh Pengguna Barang dengan mempertimbangkan kesesuaian sisa Masa Manfaat Aset Tetap dengan kondisi Aset Tetap.
(2) Usulan perubahan dalam rangka kesesuaian sisa Masa Manfaat Aset Tetap dengan kondisi Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terjadi sebab-sebab yang secara normal dapat diperkirakan menjadi penyebab sisa Masa Manfaat Aset Tetap tidak sesuai dengan kondisi Aset Tetap.
(3) Perubahan Masa Manfaat Aset Tetap ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan, setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 17
Tabel Masa Manfaat Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (6) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
BAB V METODE PENYUSUTAN
Pasal 18
(1) Penyusutan Aset Tetap dilakukan dengan menggunakan metode garis lurus.
(2) Metode garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan nilai yang dapat disusutkan dari Aset Tetap secara merata setiap semester selama Masa Manfaat.
(3) Perhitungan metode garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan formula sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB VI PENGHITUNGAN DAN PENCATATAN
Pasal 19
(1) Penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap dilakukan pada tingkat Kuasa Pengguna Barang.
(2) Penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap dilakukan oleh unit pembantu penatausahaan, dalam hal dibentuk unit pembantu penatausahaan di lingkungan Kuasa Pengguna Barang.
(3) Hasil penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap yang dilakukan oleh unit pembantu penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun oleh Kuasa Pengguna Barang.
(4) Hasil penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hasil penghimpunan yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihimpun oleh Pengguna Barang.
Pasal 20
(1) Penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap dilakukan untuk setiap Aset Tetap.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan dan pencatatan Aset Tetap diperlakukan sebagai 1 (satu) unit Aset Tetap sepanjang aset tersebut hanya dapat dipergunakan bersamaan dengan Aset Tetap lain.
(3) Penghitungan dan pencatatan terhadap Aset Tetap yang sebelumnya diperlakukan sebagai satu unit Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal akan dicatat secara sendiri-sendiri, nilai buku beserta akumulasi penyusutannya dialokasikan secara proporsional berdasarkan nilai masing-masing Aset Tetap, untuk dijadikan nilai yang dapat disusutkan selama sisa Masa Manfaat.
Pasal 21
(1) Penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap dilakukan setiap akhir semester tanpa memperhitungkan adanya nilai residu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(2) Penghitungan dan pencatatan Penyusutan Aset Tetap dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah dengan pembulatan hingga satuan Rupiah terkecil.
(3) Penghitungan Penyusutan Aset Tetap dilakukan sejak diperolehnya Aset Tetap sampai dengan berakhirnya Masa Manfaat Aset Tetap.
(4) Pencatatan Penyusutan Aset Tetap dalam Neraca dilakukan sejak diperolehnya Aset Tetap sampai dengan Aset Tetap tersebut dihapuskan.
BAB VII PENYAJIAN DAN PENGUNGKAPAN
Pasal 22
(1) Penyusutan Aset Tetap setiap semester disajikan sebagai akumulasi penyusutan di Neraca periode berjalan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual.
(2) Penyusutan Aset Tetap diakumulasikan setiap semester.
(3) Akumulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan dalam akun Akumulasi Penyusutan.
(4) Akumulasi Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pengurang pos Aset Tetap dan pengurang nilai pos Diinvestasikan Dalam Aset Tetap di Neraca.
Pasal 23
Informasi mengenai Penyusutan Aset Tetap diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Barang dan Catatan atas Laporan Keuangan yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nilai penyusutan;
b. metode penyusutan yang digunakan;
c. Masa Manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan; dan
d. nilai tercatat bruto dan akumulasi penyusutan pada awal dan akhir periode.
Pasal 24
(1) Aset Tetap yang seluruh nilainya telah disusutkan dan secara teknis masih dapat dimanfaatkan tetap disajikan di neraca dengan menunjukkan nilai perolehan dan akumulasi penyusutannya.
(2) Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam kelompok Aset Tetap dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Barang dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Pasal 25
(1) Tata cara penyajian, penghitungan dan pengungkapan Penyusutan Aset Tetap dilakukan dengan berpedoman pada Modul Penyusutan Aset Tetap.
(2) Modul Penyusutan Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan.
BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26
(1) Aset Tetap yang seluruh nilainya telah disusutkan tidak serta merta dilakukan penghapusan.
(2) Penghapusan terhadap Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.
Pasal 27
Penyusutan Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak berpengaruh pada nilai underlying asset Surat Berharga Syariah Negara.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Pada saat Peraturan Menteri ini diberlakukan:
a. Aset Tetap yang diperoleh sebelum diberlakukannya Penyusutan Aset Tetap, dikenakan koreksi Penyusutan Aset Tetap;
b. Koreksi Penyusutan Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a:
1. diperhitungkan sebagai penambah nilai akun Akumulasi Penyusutan
dan pengurang nilai ekuitas pada neraca;
2. diperhitungkan sebagai transaksi koreksi pada periode diberlakukannya penyusutan;
3. dikecualikan untuk Aset Tetap yang sudah dihapuskan pada akhir semester sebelum diberlakukannya Penyusutan Aset Tetap.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Penyusutan Barang Milik Negara berupa Aset Tetap pada Entitas Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dilaksanakan mulai Tahun Anggaran 2013.
Pasal 30
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 4
Lampiran...........................
Recommended