TUGASAL ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAAN II
MENYIKAPI KEMUNCULAN NABI DAN RASUL PALSU
Oleh:Iko Raditya Cahyudi
NIM : 201010370312390
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKAUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011
Di antara keyakinan di dalam agama islam yang tidak dapat diganggu gugat adalah bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah Al-Hasyimi Al-Qurasyi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah kepada seluruh bangsa di dunia, dari kalangan jin dan manusia. Dan bahwa beliau adalah penutup seluruh para nabi dan rasul, tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau. Maka barangsiapa mengaku sebagai nabi atau rasul, pembawa syari’at baru atau tanpa syari’at baru, setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membenarkan pengakuan seseorang sebagai nabi, sesungguhnya ikatan Islam telah lepas dari dirinya.Akan tetapi, hikmah Allah telah menetapkan bahwa Dia akan menguji keimanan hamba-hambanya dengan memunculkan orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi orang yang memiliki ilmu warisan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka peristiwa itu akan menambah keyakinan dan keimanannya terhadap kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama yang beliau bawa. Karena memang fenomena akan munculnya para dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai nabi itu telah diberitahukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa kehidupannya.Maka di sini, -insya Allah- kami akan membahas seputar masalah ini, agar kaum muslimin selamat dari kesesatan yang dapat mengeluarkan mereka dari agamanya ini. Mudah-mudahan Allah membimbing kita semua di atas jalan yang lurus. Aamiin.
1. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah kepada seluruh manusia.Allah berfirman,
�ح�ي� ي ه�و� �ال إ �ه� �ل إ آل ر�ض�� �أل و�ا م�او�ات� الس م�ل�ك� �ه� ل ذ�ي ال ج�م�يع�ا �م� �ك �ي �ل إ الله� س�ول� ر� &ي �ن إ اس� الن +ه�ا ي
� �اأ ي ق�ل��د�ون� �ه�ت ت �م� ك �ع�ل ل �ع�وه� ب و�ات �ه� �م�ات �ل و�ك �الله� ب �ؤ�م�ن� ي ذ�ي ال �م&ي& �أل ا �ي& ب الن �ه� ول س� و�ر� �الله� ب �وا �ام�ن ف�ئ �م�يت� و�ي
Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” [Al-A'raff : 158]
�م�ون� �ع�ل ي � ال اس� الن �ر� �ث �ك أ �ك�ن و�ل ا ��ذ�ير و�ن ا �ير �ش� ب اس� �لن ل ��آفة ك �ال إ �اك� �ن ل س� ر�� أ م�آ و�
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [Saba :28]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
�ع�امة اس� الن �ل�ى إ �ت� �ع�ث و�ب �خ�اصة ق�و�م�ه� �ل�ى إ �ع�ث� �ب ي �ي+ ب الن �ان� و�ك
Dan semua nabi (sebelumku) diutus hanya kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia. [HSR. Al-Bukhari no: 335; Muslim no: 521; An-Nasai no: 432, dari Jabir bin Abdullah]2. Barangsiapa –dari bangsa atau agama apapun juga- telah mendengar dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian tidak beriman kepada agama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia akan menjadi penghuni neraka, kekal di dalamnya, selama-lamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, �م ث Hي� ان �ص�ر� ن � و�ال Hه�ود�ي� ي �مة� األ� ه�ذ�ه� م�ن� Kح�د� أ �ي ب م�ع� �س� ي � ال �د�ه� �ي ب Nدم�ح�م �ف�س� ن ذ�ي و�ال ق�ال� ه� ن
� أ م� ل و�س�ار� الن ص�ح�اب�
� أ م�ن� �ان� ك �ال إ �ه� ب ل�ت� س� ر�� أ ذ�ي �ال ب �ؤ�م�ن� ي �م� و�ل �م�وت� ي
“Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah seorangpun dari umat ini, baik seorang Yahudi atau Nashrani, yang mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak beriman dengan (agama) yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”[HSR. Muslim, no: 240, dari Abu Hurairah]3. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup seluruh para nabi, tidak ada lagi nabi setelah beliau.Allah berfirman,
�يم�ا ع�ل Nى�ء ش� �ل& �ك ب الله� �ان� و�ك &ين� �ي ب الن �م� ات و�خ� الله� س�ول� ر �ك�ن و�ل �م� �ك ال ج� ر& م&ن Nح�د� أ �آ �ب أ Kدم�ح�م �ان� ماك
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[Al-Ahzaab : 40]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nة� او�ي ز� م�ن� Nة� �ن �ب ل م�و�ض�ع� �ال إ �ه� �ج�م�ل و�أ �ه� ن ح�س�� ف�أ �ا �ت �ي ب �ى �ن ب Nج�ل ر� �ل� �م�ث ك �ل�ي ق�ب م�ن� �اء� �ي �ب �ن األ� �ل� و�م�ث �ل�ي م�ث �ن إ
�م� ات خ� �ا �ن و�أ �ة� �ن ب الل �ا �ن ف�أ ق�ال� �ة� �ن ب الل ه�ذ�ه� و�ض�ع�ت� ه�ال �ون� �ق�ول و�ي �ه� ل �ون� ب �ع�ج� و�ي �ه� ب �ط�وف�ون� ي اس� الن ف�ج�ع�ل�
&ين� �ي ب الن
Sesungguhnya perumpamaan diriku dan para Nabi lainnya sebelumku, seperti seorang lelaki yang membangun sebuah rumah. Ia mengerjakannya dengan baik dan indah, kecuali sebuah batu bangunan di pojoknya. Manusia-pun lantas mengelilinginya dan mengaguminya, dan mereka berkomentar: “Kenapa tidak diletakkan sebuah batu bangunan di tempat ini?”.Beliau bersabda: “Akulah batu bangunan itu. Dan akulah penutup para Nabi.” [HSR. Al-Bukhari no: 3535; Muslim no: 2286, dan lainya, dari Abu Hurairah]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ع�ق�ب�ي ع�ل�ى اس� الن ر� �ح�ش� ي ذ�ي ال ر� �ح�اش� ال �ا �ن و�أ �ف�ر� �ك ال �ي� ب �م�ح�ى ي ذ�ي ال �م�اح�ي ال �ا �ن و�أ �ح�م�د� أ �ا �ن و�أ Kدم�ح�م �ا �ن أ Hي� �ب ن �ع�د�ه� ب �س� �ي ل ذ�ي ال �ع�اق�ب� و�ال �ع�اق�ب� ال �ا �ن و�أ
“(Saya memiliki empat nama:) Saya Muhammad (yang terpuji). Saya Ahmad (yang banyak memuji atau dipuji). Saya Al-Mahi (penghapus), dimana dengan perantaraanku Allah menghapus kekufuran. Saya Al-Hasyir (Pengumpul), yang mana manusia nanti akan dikumpulkan dihadapanku. Saya juga bernama Al-‘Aqib (yang belakangan) yaitu yang tak ada Nabi lagi yang datang sesudahku.” [HSR. Al-Bukhari no: 3532; Muslim no: 2354, dan lainya, dari Jubair bin Muth’im. Lafazh ini pada riwayat Muslim, kalimat dalam kurung pada riwayat Bukhari]Dalam hadits lain diriwayatkan,
\ا �ي ع�ل ل�ف� �خ� ت و�اس� �وك� �ب ت �ل�ى إ ج� خ�ر� م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى ه� الل س�ول� ر� �ن أ �يه� ب� أ ع�ن� Nع�د س� �ن� ب م�ص�ع�ب� ع�ن�
ه� ن� أ �ال إ م�وس�ى م�ن� ون� ه�ار� �ة� �ز�ل �م�ن ب &ي م�ن �ون� �ك ت �ن� أ ض�ى �ر� ت �ال� أ ق�ال� اء� &س� و�الن �ان� �ي الص&ب ف�ي �ي &ف�ن ل �خ� �ت أ ف�ق�ال�
�ع�د�ي ب Hي� �ب ن �س� �ي ل
Dari Mush’ab bin Sa’d dari bapaknya, bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Tabuk, dan menjadikan Ali sebagai pengganti beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam(memimpin kota Madinah). Lalu Ali berkata: “Apakah anda menjadikan aku sebagai pengganti(mu) mengurusi anak-anak kecil dan para wanita?”. Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidakkah engkau ridha jika kedudukanmu dariku sebagaimana kedudukan Harun dari Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku.” [HR. Bukhari, kitab: Al-Maghazi, no:4416; Muslim, no:2404, lafazhnya bagi imam Bukhari]Lihatlah betapa indahnya ungkapan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib, hal itu sekaligus menutup keyakinan adanya nabi ummati atau nabi tanpa syari’at setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [1], sebagaimana Nabi Harun adalah nabi yang syari’atnya mengikutri Nabi Musa ‘alaihimassalam.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
�ف�اء� ل خ� �ون� �ك ي و�س� �ع�د�ي ب �ي �ب ن ال� ه� �ن و�إ Hي� �ب ن �ف�ه� ل خ� Hي� �ب ن ه�ل�ك� م�ا �ل ك �اء� �ي �ب �ن األ� ه�م� �س�وس� ت �يل� ائ ر� �س� إ �و �ن ب �ت� �ان ك
ون� �ر� �ث �ك ف�ي
Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi, setiap seorang nabi wafat, dia diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku, tetapi akan ada para khalifah, dan jumlah mereka banyak. [HR. Bukhari, kitab: Ahadits al-Ambiya’, no:3455; Muslim, no:44/1842, dari Abu Hurairah]Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi, pemimpin orang-orang yang bertakwa, dan penghulu para rasul”. Beliau juga berkata: “Segala pengakuan Nabi sesudah baliau adalah kesesatan dan (mengikuti) hawa nafsu”.Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ketika terbukti bahwa beliau adalah penutup para Nabi, maka dapat diketahui bahwa siapapun yang mengaku Nabi sesudahnya adalah pendusta”.4. Wahyu Telah Terputus.
Ketika kenabian telah ditutup dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dengan wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahyu telah terputus dari langit.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ة� �ح� الصال �ا ؤ�ي الر+ ق�ال� ات� ر� �ش& �م�ب ال و�م�ا �وا ق�ال ات� ر� �ش& �م�ب ال �ال إ �وة� +ب الن م�ن� �ق� �ب ي �م� ل
Tidak tersisa dari kenabian kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi yang baik.” [HR. Bukhari, kitab: Ta’bir, no:6990, dari Abu Hurairah]Hadits ini dengan nyata menunjukkan bahwa wahyu tidak tersisa lagi setelah beliau wafat, karena adanya kenabian itu dengan wahyu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,�ك�ن� ل ف�ق�ال� اس� الن ع�ل�ى ذ�ل�ك� ق ف�ش� ق�ال� �ي �ب ن و�ال� �ع�د�ي ب س�ول� ر� ف�ال� �ق�ط�ع�ت� ان ق�د� �وة� +ب و�الن �ة� ال س� الر& �ن إ
�وة� +ب الن اء� �ج�ز� أ م�ن� Kء ج�ز� و�ه�ي� � �م ل �م�س� ال �ا ؤ�ي ر� ق�ال� ات� ر� �ش& �م�ب ال و�م�ا ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال ات� ر� �ش& �م�ب ال
Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada Rasul dan tidak ada nabi setelah aku. Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat. Lalu beliau bersabda: “Kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi
seorang muslim, hal itu satu bagian dari bagian-bagian kenabian.” [HR. Ahmad III/267; Tirmidzi no: 2272, dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Irwaul Ghalil no:2473 danShahih Al-Jami’ush Shaghir no:1631]Dan hal itu adalah perkara yang telah maklum bagi para sahabat radhiyallahu ‘anhum,sebagaimana hadits di bawah ini:
�ق� �ط�ل ان �ع�م�ر� ل م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى ه� الل س�ول� ر� و�ف�اة� �ع�د� ب �ه� ع�ن ه� الل ض�ي ر� Nر� �ك ب �و �ب أ ق�ال� ق�ال� Nس� �ن أ ع�ن��ت� �ك ب �ه�ا �ي �ل إ �ا �ن �ه�ي �ت ان �ما ف�ل ه�ا ور� �ز� ي م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى ه� الل س�ول� ر� �ان� ك �م�ا ك ه�ا ور� �ز� ن �م�ن� �ي أ �م& أ �ل�ى إ �ا �ن ب�م� �ع�ل أ �ون� �ك أ ال� �ن� أ �ك�ي �ب أ م�ا ف�ق�ال�ت� م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى �ه� ول س� �ر� ل Kر� ي خ� ه� الل �د� ن ع� م�ا �ك�يك� �ب ي م�ا �ه�ا ل ف�ق�اال�
م�اء� الس م�ن� �ق�ط�ع� ان ق�د� �و�ح�ي� ال �ن أ �ك�ي �ب أ �ك�ن� و�ل م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى �ه� ول س� �ر� ل Kر� ي خ� ه� الل �د� ن ع� م�ا �ن أم�ع�ه�ا �ان� �ك�ي �ب ي ف�ج�ع�ال� �اء� �ك �ب ال ع�ل�ى �ه�م�ا ت ج� ف�ه�ي
Dari Anas, dia berkata: Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar pernah berkata kepada Umar: “Marilah kita pergi mengunjungi Ummu Aiman, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya”. Tatkala kami sampai kepadanya, Ummu Aiman menangis. Maka keduanya berkata kepadanya: “Apa yang menjadikanmu menangis, sedangkan apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Kemudian Ummu Aiman menjawab: “Aku menangis, bukan karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit”. Maka Ummu Aiman menggerakkan Abu Bakar dan Umar untuk menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman. [HSR. Muslim, kitab: Fadhail ash-Shahabat]Yang dimaksud wahyu di sini adalah arti secara istilah agama, bukan arti atau secara bahasa. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari (I/9): “Wahyu secara bahasa artinya memberitahukan secara rahasia/tersembunyi. Juga bisa berarti tulisan; sesuatu yang ditulis; mengutus; ilham; perintah; isyarat; dan menjadikan berbunyi sedikit demi sedikit. Juga dikatakan: asal artinya adalah memahamkan, dan apa saja yang engkau pakai untuk menjelaskan dinamakan wahyu, baik berupa: perkataan, tulisan, surat, atau isyarat. Sedangkan arti wahyu menurut istilah agama adalah: memberi-tahukan dengan agama”.Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Nabi Allah adalah orang yang diberi berita oleh Allah. Maka apa saja yang Allah beritakan itu adalah haq (benar dan bermanfa’at), sidhq(benar, sesuai dengan kenyataan), tidak ada kedustaan, atau kekeliruan, atau sengaja (dusta)”.Beliau juga berkata: “Dan tidaklah setiap yang diberi wahyu yang umum [2] menjadi nabi, karena selain manusiapun terkadang diberi wahyu [3]. Allah Ta’ala berfirman:
ون� �ع�ر�ش� ي و�م�ما ج�ر� الش و�م�ن� �ا �وت �ي ب �ال� ب �ج� ال م�ن� خ�ذ�ي ات ن�� أ ح�ل� الن �ل�ى إ +ك� ب ر� و�ح�ى
� و�أ
Dan Rabbmu mewahyukan (maksudnya: memerintahkan) kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” [An-Nahl : 68]Allah Ta’ala juga berfirman:
ض�ع�يه� ر�� أ �ن� أ م�وس�ى �م& أ �ل�ى إ �آ �ن ي و�ح�
� و�أ
Dan Kami wahyukan (maksudnya: ilhamkan) kepada ibu Musa: “Susuilah dia…” [Al-Qashas : 7]
�ا ي و�ح� �ال إ الله� &م�ه� �ل �ك ي �ن أ Nر �ش� �ب ل �ان� ك و�م�ا
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu (maksudnya: ilham atau yang semaknanya) [ASy-Syuura : 51]Perkataan wahyu pada ayat ini mencakup wahyu (kepada) para nabi dan kepada selain nabi, seperti muhaddats, orang yang mendapatkan ilham. Sebagaimana tersebut di dalam Shahihain(Shahih Al-Bukhari dan Muslim) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
�ه�م� م�ن ف�ع�م�ر� Kح�د� أ �ي مت� أ ف�ي �ن� �ك ي �ن� ف�إ �و�ن� م�ح�دث �م� �ك �ل ق�ب � �م�م األ� ف�ي �ان� ك ق�د�
Sesungguhnya pada umat-umat dahulu sebelum kamu ada muhaddatsun (orang-orang yang diberi pembicaraan oleh Allah, padahal mereka bukan nabi), jika ada seseorang di kalangan umatku, maka Umar termasuk mereka.[4]Ubadah bin Ash-Shamit berkata: “Mimpi seorang mukmin merupakan perkataan Allah yang Dia berkata-kata dengannya (mimpi tersebut) kepada hamba-Nya di dalam tidurnya”.
Maka mereka itu, yaitu muhaddatsun (orang-orang yang diberi pembicaraan oleh Allah), orang-orang yang mendapatkan ilham, orang-orang yang mendapatkan pembicaraan Allah, Allah memberikan wahyu [5] kepada mereka dengan pembicaraan tersebut, yang hal itu merupakan perkataan, dan ilham. Mereka itu bukanlah nabi, mereka tidaklah maksum (terbebas dari kesalahan), dan mereka tidaklah selalu benar di dalam setiap yang mereka dapatkan. Karena sesungguhnya syaithan dapat memberikan bisikan kepada mereka dengan perkara-perkara yang bukan merupakan wahyu Allah, tetapi dari wahyu (bisikan) syaithan. Dan untuk membedakan hal itu hanyalah dengan apa yang dibawa oleh para nabi. Karena sesungguhnya para nabi itu dapat membedakan antara wahyu Allah dengan wahyu (bisikan) syaithan. Karena syaithan merupakan musuh mereka, dan syaithan memberikan wahyu (bisikan) yang berbeda dengan wahyu (Allah) yang diterima para nabi. Allah Ta’ala berfirman,
ا �ور غ�ر� �ق�و�ل� ال ف� خ�ر� ز� Nع�ض� ب �ل�ى إ �ع�ض�ه�م� ب �وح�ي ي �ج�ن& و�ال �س� �ن �إل ا �اط�ين� ي ش� ع�د�و\ا nي� �ب ن �ل& �ك ل �ا �ن ع�ل ج� �ذ�ل�ك� و�كون� �ر� �ف�ت و�م�اي ه�م� ف�ذ�ر� �وه� م�اف�ع�ل +ك� ب ر� آء� ش� �و� و�ل
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka memberikan wahyu (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. [ASy-Syu'araa : 112]Allah Ta’ala juga berfirman,
�ون� ر�ك �م�ش� ل �م� ك �ن إ �م�وه�م� �ط�ع�ت أ �ن� و�إ �م� �وك اد�ل �ج� �ي ل �ه�م� �آئ �ي و�ل� أ �ل�ى إ �وح�ون� �ي ل �اط�ين� ي الش �ن و�إ Kف�س�ق� ل ه� �ن و�إ
Sesungguhnya syaitan itu memberikan wahyu (membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [Al-An'aam : 121] [6]Ringkasnya bahwa wahyu menurut istilah agama adalah: pemberitahuan secara rahasia (bisikan) dari Allah kepada nabi-Nya, yang berupa syara’ (agama; peraturan; sesuatu yang harus diyakini beritanya dan ditaati perntahnya serta dijauhi larangannya), yang pasti kebenarannya.
Wahyu ini khusus diberikan oleh Allah kepada nabi-Nya, dan dengan wafatnya nabi dan rasul terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terputuslah berita dari langit tersebut.5. Munculnya Nabi-Nabi Palsu.
Termasuk kesempurnaan agama Islam ini adalah bahwa tidak ada satu kebaikanpun yang dapat mendekatkan ke sorga, dan menjauhkan dari neraka, kecuali telah diperintahkan atau dianjurkan kepada umat.
Demikian pula tidak ada satu keburukkan-pun yang dapat menjauhkan dari sorga, dan mendekatkan ke neraka, kecuali umat telah dilarang atau diperingatkan darinya.
Dan termasuk keburukan tersebut adalah akan munculnya para pembohong yang mengaku sebagai nabi, hal itu termasuk tanda-tanda kecil hari kiamat, sebagaimana telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ه� الل س�ول� ر� ه� ن� أ ع�م� �ز� ي +ه�م� �ل ك �ين� ث �ال� ث م�ن� �ا ق�ر�يب �ون� �ذاب ك �ون� ال د�ج �ع�ث� �ب ي ى ح�ت اع�ة� الس �ق�وم� ت � ال
“Tidak akan datang hari kiamat sehingga dibangkitkan pembohong – pembohong besar yang jumlahnya mendekati tigapuluh orang, masing – masing mengaku sebagai utusan Allah.” [HSR. Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab: ‘Alamatan-Nubuwwah; Muslim, Kitab Al-Fitan wa Asyroth As-Sa’ah, dari Abu Hurairah]Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ف�ي �ون� �ك ي س� ه� �ن و�إ �ان� و�ث� األ� �د�وا �ع�ب ي ى و�ح�ت ر�ك�ين� �م�ش� �ال ب �ي مت
� أ م�ن� �ل� �ائ ق�ب �ح�ق� �ل ت ى ح�ت اع�ة� الس �ق�وم� ت � ال�ع�د�ي ب �ي �ب ن � ال &ين� �ي ب الن �م� ات خ� �ا �ن و�أ Hي� �ب ن ه� ن
� أ ع�م� �ز� ي +ه�م� �ل ك �ون� �ذاب ك �ون� ث �ال� ث �ي مت� أ
“Tidak akan datang kiamat sehingga beberapa qabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sehingga mereka menyembah berhala-berhala. Dan sesungguhnya akan ada di kalangan umatku ini tiga puluh orang pembohong besar yang masing-masing mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sama sekali sesudahku.”[HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Tsauban, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir no: 7295]Al-Hafizh Ibnu hajar Al-‘Asqalani rahimahullah mengomentari tentang jumlah tiga puluh nabi palsu tersebut dengan perkataannya: “(Jumlah 30) yang dimaksudkan di dalam hadits tersebut bukanlah untuk semua orang yang mengaku sebagai nabi secara mutlak. Karena jumlah mereka sebenarnya tak terbatas; tetapi yang dimaksud dengan jumlah dalam hadist tersebut ialah untuk orang yang mengaku menjadi nabi dan memiliki kekuasaan, serta menimbulkan syubhat (kesamaran)”. [7]6. Kenyataan Membuktikan Kebenaran:
Kemudian sejarah telah mencatat nama-nama pendusta yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, di antara mereka yang telah muncul ialah:[8]1.Musailamah Al-Kadzdzab. Dia berasal ldari kota Yamamah, dan mengaku menjadi nabi pada akhir zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuratinya dan menamainya Musailamah Al-Kadzdzab. Orang ini memiliki banyak pengikut, dan bahaya yang ditimbulkannya terhadap kaum muslimin cukup
besar, hingga ia dihabisi riwayatnya oleh para sahabat pada masa pemerintahan Abu-Bakar Ash-Shiddiqradhiyallahu ‘anhu dalam perang Yamamah.2. Di Yaman muncul pula Al-Aswad Al-‘Ansi yang mengaku sebagai nabi, lalu dibunuh pula oleh para sahabat sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.3. Dan muncul pula Sajah At-Tamimiyah, seorang wanita yang mengaku sebagai nabi, dan dia dikawini oleh Musailamah. Konon Sajah ini kemudian bertobat.4. Demikian pula Thulaihah bin Khuwailid As-Asadi. Dia muncul di zaman khalifah Abu Bakar, namun lalu ia bertobat dan meninggal di dalam agama Islam, di zaman khalifah Umar bin Al-Khaththab, menurut pendapat yang benar.
5. Lalu muncul pula Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi yang menampakkan cintanya kepada ahlul-bait (keluarga rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), serta menuntut balas atas kematian Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Pengikutnya banyak sekali, bahkan dapat mendominasi kota Kufah pada permulaan pemerintahan Ibnu Zubair. Kemudian ia diperdayakan oleh syaitan, sehingga ia mengaku menjadi nabi dan mengaku malaikat Jibril turun kepadanya. Di dalam Sunan Abu Daud, sesudah meriwayatkan hadits mengenai pembohong-pembohong besar itu, Ibrahim An-Nakha’i bertanya kepada Ubaidah As-Salmani: [9]. “Apakah engkau menganggap Mukhtar ini termasuk mereka (pembohong – pembohong besar itu)?”. Ubaidah menjawab: “Ketahuilah, ia termasuk tokohnya.” [Aunul Ma’bud Syarh Abi Dawud XI: 486]6. Dan diantaranya lagi adalah Al-Harits Al-Kadzdzab yang muncul pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, lalu dia di bunuh. Dan pada pemerintahan Bani Abbas juga muncul sejumlah pembohong.7. Termasuk para pendusta tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani dari India. Dia dilahirkan th 1839 M atau 1840 M di Qadiyan, India. Ia mengaku sebagai nabi, dan sebagai Al-Masih yang ditunggu. Ia juga mengatakan bahwa Isa tidak hidup di langit, serta lain – lain pengakuan dan ajaran batilnya. Para ulama telah membantah pendapatnya dan ajarannya-ajarannya, dan mereka menyatakan bahwa dia termasuk salah seorang pembohong besar. Para pengikut Qadiyaniyah ini (mereka sering menyebut sebagai Ahmadiyah) tersebar di Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan lainnya. Termasuk di Bogor, Semarang dan lainnya di Indonesia.Pendusta ini memulai pengakuannya dengan sedikit demi sedikit. Mula-mula dia mengaku mendapatkan ilham, lalu mengaku sebagai mujaddid (pembaharu agama), lalu mengaku serupa dengan nabi Isa, lalu mengaku sebagai nabi Isa yang dijanjikan akan turun di akhir zaman, lalu pada th 1901 M mengaku sebagai nabi yang sempurna kenabiannya, lalu pada th 1904 M mengaku sebagai Kresna. Sedangkan Kresna adalah salah satu tuhan yang disembah orang-orang Hindu.
DR. Nashir bin Abdullah Al-Qifari dan DR. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql berkata di dalam buku keduanya: “Sebagaimana telah lewat, bahwa Mirza Ghulam Ahmad memulai pengakuannya dengan sedikit demi sedikit. Oleh karena inilah orang-orang Qadiyaniyah sering mengelabui sebagian kaum muslimin dengan perkataan-perkataan lama Mirza Ghulam Ahmad sebelum pengakuannya sebagai nabi, karena barangsiapa mengaku sebagai nabi, dia menjadi kafir. Mereka berusaha menutupi pengakuan-pengakuannya yang baru, yang dia
mengaku sebagai nabi, dengan teks-teks yang lama tersebut. Dan sebagian penulis telah tertipu dengan hal ini.” [Al-Mujaz Fil Adyan Wal Madzahib Al-Mu’ashirah, hal:151]
Akhir riwayat nabi palsu tersebut adalah ketika pada th 1907 M, dia menantang mubahalah [10] salah seorang alim salafi terkenal di India yang bernama Syeikh Tsanaullah Al-Amiritsari, yang membongkar kekafiran pendusta ini. Pada 5 April 1907 Mirza membuat tulisan yang berisi permohonan dan doa kepada Allah, agar mematikan si pendusta di antara keduanya, semasa salah satunya masih hidup, dan agar Allah menimpakan penyakit semacam wabah yang membawa kematiannya. Maka Allahpun menampakkan al-haq dan membongkar kedustaan itu. Setelah 13 bulan dan 10 hari datanglah apa yang dimohon oleh pendusta tersebut, dan dia mampus dengan penyakit wabah pada tgl 26 Mei 1908 M. Adapaun Syeikh Tsanaullah masih hidup 40 th setelah kematian pendusta tersebut. Beliau wafat pada tgl 15 Maret 1948. [Al-Mujaz Fil Adyan Wal Madzahib Al-Mu’ashirah, hal:148]Pembohong – pembohong itu akan senantiasa muncul satu persatu hingga muncul yang terakhir, yang buta sebelah matanya, Dajjal. Imam Ahmad meriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu pada waktu khutbahnya pada waktu terjadi gerhana matahari yang terjadi pada zamannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الدجال� �ع�و�ر� األ� ه�م� آخ�ر� �ا �ذاب ك �ون� ث �ال� ث ج� �خ�ر� ي ى ت ح� اع�ة� الس �ق�وم� ت ال� ه� و�الل ه� �ن و�إ
Demi Allah, tidak akan datang kiamat sehingga muncul tigapuluh orang pembohong besar, dan yang terakhir dari mereka adalah (dajjal) yang buta sebelah matanya, sang pembohong besar.” [HR. Ahmad, dari Samurah bin Jundub]Dan di antara pembohong-pembohong besar itu terdapat empat orang wanita. Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambarsabda,
�ع�د�ي ب �ي �ب ن ال� &ين� �ي ب الن �م� ات خ� &ي �ن و�إ Nو�ة �س� ن �ع� ب ر�� أ �ه�م� م�ن ون� ر� و�ع�ش� Kع�ة� ب س� �ون� ال و�د�ج �ون� �ذاب ك �ي مت
� أ ف�ي
“Akan muncul dikalangan umatku pembohong-pembohong besar sebanyak duapuluh tujuh orang, empat orang diantaranya adalah wanita. Sedangkan saya adalah penutup para nabi,tidak ada lagi nabi sesudahku.” [11]7. Membantah Syubhat:
1. Sebagian orang berkata: “Memang sudah tidak ada nabi lagi setelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi yang dimaksudkan adalah nabi pembawa syari’at, sedangkan nabi ummati/nabi pengikut maka masih ada”.Jawab:Perkataan ini terbantahkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang umum (Lihat pembahasan ke 3: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup seluruh para nabi, tidak ada lagi nabi setelah beliau, dan ke 4: Wahyu sudah terputus), bahwa tidak ada nabi sesudah beliau, baik nabi pembawa syari’at atau bukan. Karena wahyu dari langit sudah terputus, sedangkan adanya nabi itu jika mendapatkan wahyu dari Allah.Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib sebagaimana telah disebutkan di atas memperjelas hal itu.
2. Sebagian orang berkata: “Yang mendapatkan wahyu bukan hanya para nabi, seperti ibu nabi Musa, Maryam binti Imran. Maka setelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat bisa jadi ada orang yang mendapatkan wahyu”.Jawab:Kesesatan ini muncul karena tidak membedakan arti wahyu menurut bahasa arab dan arti wahyu menurut istilah agama/syara’, lihat penjelasannya di pembahasan di atas. Karena wahyu yang diterima oleh ibu nabi Musa, Maryam binti Imran, dan lainnya, itu adalah ilham, atau wahyu (pemberitahuan secara rahasia) tetapi bukan wahyu syari’at.
3. Sebagian orang berkata: “Kalau Allah tidak mengutus nabi lagi, berarti Allah kehilangan sifat berbicara”.
Jawab:Masya Allah, perkataan ini tidak keluar kecuali dari orang yang jahil terhadap sifat berbicara bagi Allah, sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah Wal jama’ah. Karena sesungguhnya sifat berbicara bagi Allah adalah sifat dzitiyyah dilihat dari jenisnya, yaitu sifat yang selalu ada pada Allah, tidak pernah lepas dari-Nya. Dan sifat itu juga sifat fi’liyyah, yaitu sifat yang dilakukan sesuai dengan kehendak-Nya. Maka Allah berbicara kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhlukNya, baik malaikat, manusia atau lainnya. Dan dengan cara yang Dia kehendaki. Bukan harus berupa wahyu kepada nabi, karena Dia sudah memberitakan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup seluruh para nabi, sehingga tidak ada nabi setelah beliau.8. Peringatan:Maka setelah kita mengetahui hal ini, masihkah kita tertipu dengan dakwaan para pendusta yang mengaku mendapat ilmu/ berita/ wahyu/ wangsit dari Allah. Seperti pengakuan Lia Aminuddin, atau para pendiri aliran kepercayaan, semacam: Sumarah, Subud, Sapto Darmo, Bratakesawa, Pangestu, Pransuh, Adam Makrifat, dan aliran-aliran sesat lainnya yang tersebar di nusantara ini. Wahai Allah tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq sehingga kami dapat mengikutinya. Dan tunjukkanlah kebatilan kepada kami sebagai kebatilan sehingga kami dapat menjauhinya. Amiin.
Meneladani Rasulullah SAW
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min. Jika mereka berpaling (dari
keimanan), maka katakanlah : “Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain Dia. Hanya
kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS.
9:128-129).
Kecintaan seorang mu’min kepada Rasulullah SAW adalah sebuah keniscayaan. Bahkan
keimanan yang kita ikrarkan dengan mulut kita tidak akan bisa dibenarkan tanpa adanya
kecintaan kepada Rasulullah SAW. Dan inti keimanan kita kepada Rasulullah SAW
adalah al-mahabbah (cinta). Tanpa al-mahabbah kepada Rasulullah, tidak ada keimanan kita
kepadanya. Oleh karena itu mencintai Rasulullah SAW adalah hal yang sangat prinsipil, hal
yang sangat mendasar dalam kehidupan seorang muslim. Dalam Al-Qur’an Allah SWT
berfirman :
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS.
9:24).
Pada ayat ini Allah SWT mengawali ayat ini dengan kalimat qul (katakanlah). Suatu ayat Al-
Qur’an yang dimulai dengan kata qul, menunjukkan bahwa hal yang dibicarakan di dalamnya
adalah hal yang besar bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, jika manusia tidak
komitment dengan hal yang dibicarakan pada ayat itu, ia diancaman Allah dengan ancaman
yang keras.
Pada ayat ini Allah SWT mengatakan bahwa kalau kita tidak mencintai Allah, Rasulullah dan
jihad fi sabilillah melebihi delapan hal yang dikemukakan pada ayat ini, (maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya). Jadi jika seorang muslim yang lebih mencintai
orang tuanya, atau anak-anaknya, atau saudara-saudaranya, atau isteri-isterinya, atau kaum
keluarga, atau harta kekayaan yang diusahakannya, atau perniagaan yang dikhawatirkan
kerugiannya, atau rumah-rumah tempat tinggal daripada kecintaannya kepada Allah, Rasul-
Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka berarti keimanannya tidak benar. Jadi pada ayat ini
Allah SWT menekankan betapa pentingnya kecintaan kita. Oleh karena itu kita tidak boleh
sembarangan memberikan cinta kita, apalagi kalau sampai mengalahkan kecintaan kita
kepada Allah, RasulNya dan jihad fi sabilillah.
Kalau kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, bukankah wajar jika seorang manusia
mencintai bapaknya ? Bukankah sesuatu yang lumrah jika seorang manusia mencintai anak-
anaknya ? Bukankah memang sudah seharusnya kalau seseorang mencintai saudara-
saudaranya ? Bukankah seorang suami memang harus mencintai isterinya ? Bukankah
mencintai bisnis yang ditekuni adalah hal yang terjadi pada setiap manusia ? Memang benar
bahwa kecintaan-kecintaan manusia pada hal-hal di atas adalah sesuatu yang wajar. Tidak
ada seorang pun yang bisa mengingkari hal itu. Dan pada ayat ini pun Allah SWT
memberikan legitimasi bahwa manusia memang boleh mencintai isterinya, mencintai
anaknya, mencintai bapaknya dan hal-hal yang lain yang diungkapkan pada ayat ini. Ini
artinya, kita memang boleh mencintai itu semua. Akan tetapi bukti bahwa keimanan
seseorang itu benar adalah bahwa cintanya kepada delapan perkara itu harus berada di bawah
cintanya kepada Allah, RasulNya dan jihad fi sabilillah. Ini artinya kalau cinta kita kepada
delapan perkara tadi lebih daripada kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad fi sabilillah,
berarti kita tidak bisa disebut sebagai orang yang beriman.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Hisyam r.a. disebutkan bahwa
pada suatu ketika Rasulullah SAW memegang tangan Umar bin Khothob r.a.. Kemudian
Umar mengatakan kepada Rasulullah “Ya Rasulullah, laanta ahabbu ilayya min kulli amrin,
illa binafsiy (Ya Rasulullah, sungguh engkau adalah orang yang paling saya cintai daripada
seluruh perkara, kecuali kecintaanku pada diriku sendiri).” Mendengar perkataan Umar ini,
Rasulullah SAW menjawab “Laa Ya Umar, walladzi nafsi biyadihi, laana ahabbuu ilaikaa
min nafsika (tidak demikian ya Umar, seharusnya kamu harus menjadikan aku lebih kamu
cintai daripada dirimu sendiri)”. Mendengar ini Umar berkata “Al-an Ya Rasulullah (saya
lebih mencintai dirimu daripada diriku sendiri)”. Kemudian Rasulullah berkata “Al-an Ya
Umar (sekarang engkau benar ya Umar)”. Dari percakapan antara Umar bin Khothob r.a.
dengan Rasulullah SAW ini dapat kita perhatikan bahwa seharusnya kita memang harus lebih
mencintai Rasulullah SAW daripada kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Kita hendaknya
benar-benar lebih mencintai Rasulullah SAW daripada kecintaan kita kepada kepentingan-
kepentingan diri kita sendiri, kepentingan-kepentingan golongan, kepentingan-kepetingan
kesukuan, dan kepentingan-kepentingan yang lainnya.
Kalau kita renungi, orang tua, anak, saudara, isteri, keluarga besar, adalah ibaarotun an-
dhowaabit al-ijtima-iyyah (merupakan ekspresi daripada kepentingan-kepentingan
kemasyarakatan). Bapak, anak, saudara, isteri, keluarga besar, semua merupakan wujud
kepentingan sosial, karena pada dasarnya manusia tidak akan bisa hidup sendirian. Manusia
adalah makhluk sosial. Dan orang yang paling dekat dengan orang lain adalah orang tuanya,
anaknya, saudaranya, dan isterinya. Pertanyaannya kemudian adalah sudahkah dalam
kehidupan yang kita laksanakan ini kita benar-benar lebih mencintai Rasulullah SAW
daripada kepentingan-kepentingan sosial itu ? Kalau kita masih lebih berat pemihakan kita
pada kepentingan-kepentingan sosial itu daripada pemihakan kita kepada Rasulullah SAW,
berarti keimanan kita tidak/ belum bisa mendapatkan legitimasi dari Allah SWT.
Sedangkan harta benda, bisnis, dan rumah tempat tinggal kita, itu semua kalau kita renungi
merupakan al-masholih al-i’tishodiyyah (wujud dari kepentingan-kepentingan ekonomi).
Manusia dalam hidupnya tidak bisa terlepas daripada kepentingan-kepentingan ekonomi.
Namun permasalahannya adalah sudahkan kita menempatkan cinta kita kepada Rasulullah
SAW diatas kepentingan-kepentingan ekonomi ? Kalau kita masih lebih mencintai urusan
ekonomi kita daripada kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, berarti keimanan kita perlu
ditinjau kembali. Dengan kata lain, keimanan kita harus direformasi. Dan sebenarnya
reformasi dalam Islam itu bukan hal yang baru. Diantara inti risalah yang diemban oleh
Rasulullah SAW adalah tentang reformasi, yaitu reformasi dari jahiliyah menuju Islam,
reformasi dari ma’shiyat kepada taat kepada Allah, reformasi dari syirik menuju tauhid.
Dengan Islam, kita juga melakukan reformasi dari segala bentuk kedholiman kepada aturan
Islam, seperti kedholiman dalam bidang ekonomi, kedholiman dalam dunia pendidikan,
kedholiman dalam masalah sosial kemasyarakatan, kedholiman dalam berpolitik, dan lain
sebagainya menuju nuuril Islam (cahaya Islam). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb
mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. 14:1)
Jadi tujuan Allah SWT menurunkan Al-Qur’an adalah untuk mengeluarkan manusia dari
gelapnya segala bentuk kedholiman menuju pada terang benderangnya Islam. Kalau kita
perhatikan, ketika Allah mengatakan bentuk-bentuk kedholiman, Allah
mengatakan dhulumaat (kedholiman-kedholiman – bentuk jama’). Ini menunjukkan bahwa
bentuk kedholiman itu beraneka ragam. Semua kedholiman-kedholiman itu harus kita
tinggalkan menuju nuuril Islam. Dan subhanallah, ketika Allah mengatakan cahaya Islam,
Allah mengatakan nuur (bentuk tunggal). Allah SWT tidak mengatakan anwar (bentuk
jama’). Ini karena cahaya Islam itu hanya satu. Inilah inti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
SAW.
Jadi jika kita tidak mencintai Allah, RasulNya dan jihad fi sabilillah melebihi delapan perkara
yang diungkapkan pada ayat ini, (maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-
Nya). Kalau kita perhatikan, dalam kehidupan kita sekarang ini terjadi bermacam-macam
krisis. Kita tengah dilanda krisis kepemimpinan, krisis ekonomi, krisis moral, krisis
kepercayaan dan berbagai macam krisis yang lainnya. Semua itu terjadi sebagai akibat dari
kesalahan kita dalam masalah al-mahabbah (cinta). Semua krisis yang kita alami ini
merupakan peringatan Allah SWT kepada kita. Ini memberikan pelajaran agar kita meninjau
kembali kebenaran keimanan kita kepada Allah SWT dan RasulNya.Inilah yang dikatakan
bahwa al-mahabbatu min shomiimil ‘aqiidah (cinta itu termasuk esensi daripada ‘aqidah
Islamiyah). Oleh karena itu kita tidak bisa sembarangan memberikan cinta kita. Dalam ilmu
‘aqidah kita mengenal pelajaran yang dinamakan al-wala’ wal baro’ (siapa yang berhak kita
cintai dan siapa yang harus kita benci). Di sini masalah cinta dan benci secara jelas diatur
dalam Islam.
Sebenarnya ummat Islam adalah ummat yang terbaik, sesuai firman Allah :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. 3:110).
Konsekuensi sebagai penyandang gelar ummat terbaik adalah bahwa ummat Islam
menanggung beban dan kewajiban yang berat. Jangan sampai kita mau mendapatkan
supremasi menjadi ummat terbaik, akan tetapi tidak mau melaksanakan konsekuensinya. Dari
awal-awal turunnya Al-Qur’anul Karim, Allah SWT sudah menegaskan :
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. 73:5).
Ucapan yang berat yang dimaksud pada ayat ini adalah Al-Qur’anul Karim. Artinya, menusia
akan berbobot dalam kehidupannya apabila ia komitmen dan selalu berafiliasi dengan aturan-
aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ketika kita jauh dari Al-Qur’an, maka kita akan
terjatuh ke dalam lembah kehinaan. Dan untuk bisa komitmen dengan segala aturan yang
terdapat dalam Al-Qur’an, maka kita harus meneladani kehidupan Rasulullah SAW, karena
beliaulah yang paling memahami aturan-aturan tersebut dan bagaimana mengaplikasikannya
dalam kehidupan nyata. Inilah pentingnya selalu mengingat Rasulullah SAW, dan
meneladani perjuangan beliau.
Dan mengingat Rasulullah SAW tidak hanya ketika datang maulid saja, akan tetapi kita harus
mengingat dan meneladani Rasulullah SAW sepanjang hidup kita. Ketika kita sedang sholat,
diantara bacaan tasyahud yang kita ucapkan adalah asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.
Jadi setiap saat kita berhubungan dengan Rasulullah SAW. Dengan senantiasa mengingat
beliau, kita memperbarui loyalitas kita kepada Rasulullah SAW.
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah apa indikasi daripada kecintaan kepada
Rasulullah SAW ? Ini perlu kita pahami benar agar jangan sampai kita terjatuh dalam sebuah
fenomena, dimana ada orang yang selalu menggembar-gemborkan bahwa ia mencintai
Rasulullah SAW, akan tetapi perbuatannya tidak menunjukkan demikian. Indikasi bahwa kita
mencintai Rasulullah SAW adalah seperti firman Allah SWT :
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. 3:31)
Jadi bukti bahwa kita mencintai Allah dan Rasulullah SAW adalah dengan mengikuti
ajarannya. Jangan sampai kita termasuk orang yang hanya ikut-ikutan saja dalam masalah
cinta ini. Cinta kita haruslah ‘ala bashiroh (sesuai dengan dalil). Mengomentari ayat ini,
Imam Hasan Al-Basri rohimahullah, seorang sayyidut tabi’in (tokoh para tabi’in,
pemimpinnya para tabi’in) mengatakan “Kaana qaumun yaj-umuun, annahu yuhibbunar
Rasul, fabtaahum fii hadzil ayah (ada sebuah kaum yang mengaku bahwa mereka mencintai
Allah dan RasulNya, maka kemudian Allah menguji pengakuan mereka itu dengan ayat ini).
Artinya cinta kita kepada Rasulullah SAW itu harus kita buktikan dengan perbuatan, yaitu
dengan mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW. Ketika kita mengetahui bahwa Rasulullah
suka musyawarah, maka bukti bahwa kita mencintai Rasulullah adalah kita harus juga
menyukai musyawarah. Kalau Rasulullah SAW selalu sholat berjama’ah di masjid dan di
awal waktunya. Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah sepanjang hidupnya selalu sholat
berjama’ah, kecuali ketika beliau akan meninggal. Ketika maut hendak menjemputnya,
Rasulullah tidak mampu lagi shalat berjama’ah. Dan baru di saat itulah Rasulullah tidak
sholat berjama’ah dan kedudukan beliau sebagai imam dalam sholat digantikan oleh Abu
Bakar r.a. Pertanyaannya kemudian, ketika kita mengaku mencintai Rasulullah SAW,
sudahkah kita menegakkan sholat jama’ah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ?
Jangan sampai kita selalu mengatakan mencintai Rasulullah, akan tetapi perbuatan kita
bertentangan dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jika demikian, berarti kita
tidak komitmen dengan keimanan yang kita ucapkan. Inilah pentingnya kita senantiasa
mengingat-ingat kehidupan Rasulullah SAW.
Kenapa kita harus mencintai Rasulullah SAW ? Karena Rasulullah SAW adalah orang yang
terbaik yang diciptakan Allah SWT di jagad raya ini. Rasulullah adalah orang yang paling
baik akhlaqnya. Dan yang mengatakan seperti ini bukanlah hanya manusia, akan tetapi Allah
SWT sendiri, Yang Maha Menciptakan jagad raya ini dan yang menciptakan manusia. Allah
berfirman :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. 68:4)
Ketika Allah mengatakan (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung), merupakan sebuah pujian dari Al-Kholiq (Allah SWT Sang Maha Pencipta) kepada
Rasulullah SAW. Biasanya, kalau ada seseorang yang dipuji, apalagi kalau pujian itu
dilakukan di hadapan orang banyak, seringkali menyebabkan orang yang dipuji itu menjadi
merasa besar. Dan orang yang sering menerima pujian akan sulit untuk menerima kritik dan
nasehat dari orang lain. Namun ternyata hal ini tidak terjadi pada Rasulullah SAW. Walaupun
Rasulullah dipuji oleh Allah SWT, namun beliau tidak kemudian merasa besar. Beliau
tetaplah seorang Rasul yang senantiasa tetap tegak dalam bertingkah laku sesuai dengan
aturan Islam. Oleh karenanya, sangatlah layak pujian Allah itu diberikan kepada Rasulullah
SAW, karena memang demikian tinggi keluhuran akhlaq beliau SAW.
Ketika Rasulullah SAW dipuji tidak meresa besar, sebaliknya ketika Rasulullah SAW ditegur
oleh Allah, beliau tidak kemudian ‘ngambek’ dari melaksanakan tugas da’wah. Allah SWT
pernah menegur Rasulullah SAW dalam firmanNya :
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia
(ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? (QS.
80:1-4)
Sababun nuzul ayat ini adalah bahwa ketika Rasulullah SAW sedang menda’wahi shinadiid
quraisy(pemimpin-pemimpin kafir Quraisy) seperti Abu Jahal dan lain-lain (kalau sekarang
adalah ‘pengajian elit), tiba-tiba Abullah bin Ummi Maktum r.a. yang buta datang dan
kemudian mengatakan “Ya Rasulullah, ‘alimni mim maa ‘alamallah (Ya Rasulullah, ajarilah
aku dari apa yang engkau diajari oleh Allah)”. Permintaan itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW berulang kali, sementara Rasulullah SAW sedang serius menda’wahi pemimpin-
pemimpin kaum Quraisy. Mendengar permintaan Abdullah bin Ummi Maktum ini, dalam diri
Rasulullah ada sesuatu yang terasa kurang. Akhirnya Rasulullah bermuka masam (‘abasa)
dan berpaling (watawalla) kepada Abdullah bin Ummi Maktum ini.
Pada saat itu sebenarnya Rasulullah SAW sebenarnya sibuk. Rasulullah bukan sibuk untuk
kepentingan pribadinya, akan tetapi Rasulullah SAW sibuk berda’wah di jalan Allah. Namun
demikian, ketika Rasulullah SAW tidak memperhatikan dan tidak menanggapi pertanyaan
Abdullah bin Ummi Maktum, seorang yang matanya buta, Allah SWT menegur beliau. Jika
kita lihat dari sudut pandang kedudukan sosial, seolah-olah Abdullah bukanlah orang yang
penting, karena ia buta dan juga fakir. Sementara yang dihadapi oleh Rasulullah SAW adalah
pemimpin-pemimpin Quraisy. Menurut akal kita, adalah hal yang wajar jika Rasulullah SAW
lebih memperhatikan pemimpin-pemimpin Quraisy itu daripada memperhatikan Abdullah bin
Ummi Maktum. Namun hal itu ternyata tidak dibenarkan oleh Allah SWT. Kenapa
demikian ? Karena Abdullah bin Ummi Maktum, walaupun secara strata sosial dan ekonomi
lemah, namun dia jujur. Kedatangannya benar-benar untuk bertanya dan kemudian menerima
Islam selanjutnya bertekad untuk mengamalkannya. Sementara pemimpin-pemimpin kufar
Quraisy yang datang ke majlis itu hanya untuk basa-basi saja. Buktinya, pada waktu-waktu
sebelumnya mereka mengusir para shohabat Rasulullah yang miskin. Dalam kondisi
semacam itulah Rasulullah ditegur oleh Allah dengan firman Nya yang terdapat pada ayat ini
ketika lebih memperhatikan pemimpin-pemimpin kafir Quraisy itu daripada Abdullah bin
Ummi Maktum.
Seandainya kita menjadi seorang pemimpin, kemudian kita ditegur langsung oleh atasan kita
di depan rakyat dan lawan politik kita, hanya karena kurang memperhatikan seorang warga
yang miskin, bagaimana sikap kita ? Apakah kita akan berterima kasih kepada orang yang
miskin itu, ataukah kita akan memarahinya ? Kita mungkin akan memarahi orang yang
miskin ini. Namun subhanallah, tidak demikian dengan yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW ketika diingatkan dan ditegur dengan bahasa yang sedemikian keras oleh Allah SWT
karena kurang memperhatikan Abdullah ini. Beliau sama sekali tidak marah kepada Abdullah
bin Ummi Maktum. Bahkan ketika Abdullah bin Ummi Maktum ini datang kepada
Rasulullah SAW setelah peristiwa tersebut, Rasulullah mengatakan “Ahlan wa sahlan, biman
attabani robbi lii ajriy (selamat datang wahai Abdullah bin Ummi Maktum, inilah orang baik
karena sebab Anda, saya diingatkan oleh Allah SWT). Dan sikap Rasulullah SAW benar-
benar tulus, terbukti Abdullah bin Ummi Maktum pernah ditunjuk menjadi amir (pemimpin)
kota Madinah ketika Rasulullah pergi keluar.
Inilah sosok pemimpin yang ideal. Rasulullah SAW baik ketika dipuji atau ketika ditegur
oleh Allah SWT, beliau tetap komitmen dengan jalan Islam. Sungguh suatu teladan yang
sejati bagi kita. Oleh karena itu jangan kita ‘ngambek’ dari jalan da’wah ini hanya karena
mendapat teguran sedikit saja. Ada orang yang ketika ditegur karena suatu kesalahan yang
diperbuatnya, langsung tidak mau lagi datang ke masjid. Padahal ketika kita tidak mau
berteman dengan orang yang sholeh, maka kita akan ditemani oleh syaithon.Na’udzubillah.
Sungguh sangat mulia akhlaq Rasulullah SAW. Oleh karena itu adalah hal wajar kalau kita
harus mencintai beliau. Bahkan mencintai Rasulullah SAW adalah sebuah keniscayaan
sebagai konsekuensi daripada keimanan kita. Dan Rasulullah SAW adalah pribadi yang
sangat peduli dengan nasib ummatnya. Yang menjadi pikiran Rasulullah SAW adalah
bagaimana agar ummat benar-benar senantiasa berada dalam petunjuk Allah SWT. Demikian
besar perhatian Rasulullah SAW kepada ummatnya, sehingga beliau sangat sedih ketika
mengetahui ummatnya yang tidak bertindak sesuai dengan aturan Allah. Hal ini bisa kita
dapatkan pada firman Allah :
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena merekar tidak beriman.
(QS. 26:3)
Pada ayat ini jelas sekali bagi kita kesedihan Rasulullah SAW ketika ada diantara ummatnya
yang tidak mau beriman. Sedemikian sedihnya Rasulullah SAW, sampai-samapi beliau
hampir membinasakan dirinya sendiri, karena ummatnya tidak mau beriman. Dalam rangka
meneladani Rasulullah SAW, selayaknyalah kita bersedih ketika melihat saudara kita sesama
muslim yang tidak mau pergi mengaji, atau tidak mau sholat berjama’ah di Masjid, atau tidak
mau menjalin ukhuwwah dengan orang yang se-aqidah. Kalau kita menjadi seorang
pemimpin, selayaknyalah kita bersedih ketika melihat bawahan kita tidak mau beribadah
kepada Allah, bahkan suka memakan sesuatu yang haram. Dan kesedihan kita itu harus kita
tindaklanjuti dengan cara berda’wah untuk mengajak saudara-saudara kita untuk kembali ke
jalan Allah SWT. Dan hanya dengan berda’wah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkur
(mengajak kapada yang baik dan mencegah dari yang munkar) inilah masyarakat kita akan
selamat dari berbagai macam keburukan yang mungkin terjadi.
Jika kita meneladini generasi-generasi terbaik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan
para shohabat maupun generasi-generasi setelahnya, amar ma’ruf nahi munkar merupakan
sebuah kenisnayaan. Pada masa salafus sholeh (Ulama’-Ulama’ sholeh generasi terdahulu)
dan juga murid-muridnya, ketika mereka melakukan sholat jama’ah dan jika pada saat itu itu
adalah seorang saudara mereka se’aqidah yang tidak datang, mereka bukan bersikap masa
bodoh, akan tetapi mereka beramai-ramai datang ke rumah orang yang tidak datang sholat
berjama’ah itu untuk berta’ziah dan menanyakan mengapa tidak datang ke Masjid untuk
sholat jama’ah. Jika kita meneladani sikap seperti ini, sungguh terasa indah kehidupan ini.
Jangan sampai kita bersikap acuh tak acuh ketika melihat saudara kita berada dalam
kema’shiyatan yang diperbuatnya. Jangan sampai kita rela jika ada saudara kita yang diadzab
oleh Allah SWT karena kema’shiyatan yang dilakukannya. Jangan sampai kita tega melihat
saudara kita yang hanya pandai mengatakan cinta kepada Rasulullah dengan mulutnya, akan
tetapi perbuatannya bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Oleh
karena itu ketika kita meyelenggarakan acara-acara yang yang tujuannya untuk meningkatkan
kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, jangan sampai acara-acara itu hanya bersifat
seremonial belaka tanpa memberikan natijah (hasil) berupa keinginan kuat (‘azam) untuk
meneladani beliau. Dengan pengajian-pengajian yang kita selenggarakan, marilah kita
bercermin untuk mengetahui sejauh mana perilaku kita jika dibandingkan dengan teladan
kita. Kita memang tidak mungkin sama persis dengan Rasulullah SAW, namun hal itu bukan
alasan untuk tidak meneladi beliau sesuai dengan kemampuan optimal kita.
Para shohabat adalah orang-orang yang benar-benar mencintai dan meneladni Rasulullah
SAW. Bahkan mereka bukan hanya mengikuti Rasulullah SAW dalam hal-hal yang wajib
atau sunnah saja, akan tetapi sampai kepada hal-hal yang bersifat mubah pun diikuti.
Misalnya apa yang dikerjakan oleh Abdullah ibnu Umar, yang sampai mengikuti rute yang
dilewati Rasulullah SAW ketika hendak pergi ke masjid. Ini dilakukan karena demikian
dalamnya kecintaan para shohabat kepada Rasulullah SAW. Subhanallah. Jangankan untuk
hal-hal yang yang wajib atau sunnah, yang mubah pun diikuti. Ini adalah contoh bagi kita
agar benar-benar mengikuti Rasulullah SAW, karena kita mengharapkan syafa’at Rasulullah
SAW kelak. Bagaimana mungkin kita akan mendapatkan syafa’at kalau kita tidak mengikuti
jalan hidupnya.
Dalam masalah cinta, Rasulullah SAW lebih berhak untuk kita cintai daripada diri kita
sendiri sekalipun. Allah berfirman :
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan
isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah
satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang
mu’min dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-
saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (QS.
33:6)
Kenapa lebih berhak kita cintah daripada dri kita sendiri ? Karena Rasulullah SAW tidak
pernah mengajak ummatnya kecuali pada jalan yang benar, kecuali pada jalan yang menuju
hidayah Allah, kecuali pada jalan yang mengantar ummatnya menuju surga. Sedangkan diri
kita seringkali melakukan berbagai perbuatan ma’shiyat, dan sering pula berbuat tidak jujur.
Untuk bisa meneladani Rasulullah SAW, tidak cukup hanya dengan ilmu (al-’ilmu wahdahu
laa yakfiy), karena ada orang yang memiliki banyak ilmu tetapi tertipu oleh ilmunya sendiri.
Diperlukan upaya untuk melakukan tazkiyatun nafs (proses pembersihan diri sendiri).
Banyak contoh yang bisa kita angkat yang menunjukkan bahwa ilmu saja tidak cukup.
Misalnya ada orang yang berilmu sehingga mengetahui tentangfiqhuz zakat. Dengan ilmunya,
ia mengetahui batas wajibnya seseorang untuk membayar zakat. Namun karena dalam dirinya
tidak ada upaya untuk membersihkan diri, maka ilmunya itu disesuaikan dengan hawa
nafsunya agar ia tidak terkena kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Padahal zakat sangat
penting artinya bagi kehidupan kaum muslimin dan kebersihan hati orang yang
menunaikannya (zakat berasal dari kata zaki yang berarti suci, sehingga dengan
mengeluarkan zakat, proses pembersihan hati bisa dimulai). Karena demikian pentingnya arti
zakat, sampai-sampai Abu Bakar Ash-Shidiq, kholifah pertama yang menggantikan
Rasulullah SAW, pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat, yang terkenal
dengan sebutanqital maaniz zakah (peperangan pada orang yang tidak mau membayar
zakat).
Penguasaan fiqh harus didahului dengan akhlaq yang Islami, karena kemuliaan akhlaq itulah
yang akan memotivasi kita untuk berbuat baik. Demikian pentingnya masalah akhlaq,
sampai-sampai Rasulullah SAW menggambarkan bahwa seolah-olah inti daripada ajaran
Islam adalah akhlaq. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan “Innamaa bu’itstu li
utammima makaarimal akhlaq (Sesungguhnya aku diutushanyalah untuk menyempurnakan
akhlaq).” Pada pada hadits ini Rasulullah SAW menggambarkan misi yang diembannya
dengan ta’bir yang berbunyi innama, yang oleh pakar bahasa Arab dikatakan sebagai ‘adatul
hasr (alat untuk mengkhususkan), sehingga artinya ‘hanyalah’. Jadi dari pengungkapan
Rasulullah SAW seolah-olah inti daripada ajaran syariat Islam adalah tentang akhlaq. Di atas
akhlaq inilah syariat Islam akan tumbuh dan berkembang. Jadi kalau ada orang yang hanya
belajar fiqh saja, walaupun fiqh itu penting karena tanpa fiqh kita tidak akan tahu hukum
Islam. Akan tetapi penguasaan fiqh yang tidak didasari dengan akhlaq yang Islami, bisa saja
orang akan melanggar ajaran Allah.
Kalau kita perhatikan, orang-orang yang suka memakan barang yang diharamkan oleh Allah
SWT, melakukan korupsi dan sebagainya, apakah mereka semaunya tidak tahu bahwa yang
dilakukannya itu diharamkan oleh Allah ? Mereka itu tahu kalau yang dilakukannya salah.
Namun dilanggar juga pengetahuannya itu. Dan orang yang seperti ini seringkali lebih hina
daripada binatang sekalipun. Binatang tahu mana yang halal dan mana yang haram. Manusia
juga tahu mana yang halal dan mana yang haram, akan tetapi manusia seringkali
melanggarnya. Misalnya, seekor kucing, ketika diberi makan oleh tuannya, makannya tenang,
karena ia tahu kalau makanan yang dimakannya itu halal. Namun ketika kucing itu makan
makanan yang didapatkan dengan cara mencuri makan milik tuannya, maka makannya tidak
akan bisa tenang. Dan ketika hal itu diketahui oleh tuannya, kucing itu langsung lari karena
tahu bahwa makanan yang dimakannya itu haram karena didapatkan dengan cara mencuri.
Kalau hal ini kita bandingkan dengan manusia, seringkali kita jumpai manusia yang
melakukan korupsi dengan tenang-tenang saja. Subhanallah. Jadi akhlaq-lah yang
membedakan kita dengan binatang. Makanya ketika kita tidak berakhlaq, kita bisa meluncur
dari atas ke bawah yang tidak hanya sama dengan binatang, akan tetapi bisa lebih rendah
daripada binatang. Allah SWT berfirman :
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179).
Oleh karena itu, hendaklah seluruh aktivitas dan kegiatan kita, hendaklah kita landasi dengan
akhlaq dengan niyat yang ikhlas karena Allah SWT. Karena Rasulullah adalah orang yang
paling ikhlas dan tidak sekalipun mengajak ummat kecuali kepada jalan menuju surga, maka
sudah sewajarnyalah kalau Rasulullah SAW lebih berhak untuk kita cintai daripada diri kita
sendiri.
Indikasi bahwa seseorang itu cinta kepada Rasulullah SAW adalah hendaklah dalam seluruh
aktivitas kehidupan setiap individu yang mengaku bahwa dirinya seorang mu’min, maka ia
harus tunduk kepada ajaran Rasulullah SAW. Artinya, tidak ada istilah hukum atau sistem
atau peraturan yang khusus kita buat yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW.
Sebagai seorang suami, hendaklah cara memberlakukan menajemen dalam rumah tangga,
adalah manajemen yang ditentukan oleh Rasulullah SAW. Sebagai seorang isteri, hendaklah
bersikap sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW melalui istri-istrinya. Sebagai
seorang guru juga demikian. Sebagai seorang pejabat juga demikian. Jadi tidak ada istilah
sesuatu yang khusus bagi diri kita sendiri sementara tidak mengikuti Rasulullah SAW. Dan
kalau ada orang yang mengaku seorang muslim akan tetapi membuat sistem sendiri, maka
Allah SWT mengatakan bahwa orang yang seperti ini adalah orang yang tidak beriman. Allah
berfirman :
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (QS. 4:65).
Menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim artinya tunduk kepada keputusan Rasulullah
SAW. Dan bukan hanya sekedar tunduk, akan tetapi dalam menerima keputusan Rasulullah
SAW, kita harus menerimanya dengan sepenuh hati kita. Kalau tidak demikian, berarti
keimana kita diragukan kebenarannya. Dan yang mengatakan tidak beriman adalah Allah
SWT, bukan kita dan bukan pula manusia yang lainnya. Dalam realita kehidupan kita,
sudahkah semuanya kita langsungkan dengan mencontoh Rasulullah SAW ? Misalnya dalam
melangsungkan sebuah pernikahan, mualai dari cara memilih calon isteri, sampai ketika
melangsungkan pernikahan hingga dalam melangsungkan rumah tangga kita, sudahkah itu
semua sesuai dengan ajaran Rasul ? Dalam kehidupan di masyarakat kita, masih banyak kita
jumpai kepercayaan-kepercayaan yang salah. Misalnya ada orang yang batal melaksanakan
akad nikah di suatu bulan, karena percaya bahwa pada saat itu nyi roro kidul sedang ‘mantu’.
Ada juga orang yang menghindari hari-hari tertentu untuk melaksanakan pernikahan
anaknya, karena pada hari seperti itulah keluarganya dahulu meninggal. Namun ironisnya,
yang mempunyai kepercayaan seperti itu seringkali sudah bergelar ‘Pak Haji’. Inilah potret
sebagian masyarakat kita.
Jadi indikasi bahwa kita cinta kepada Rasulullah SAW adalah bahwa kita mengikuti
kehidupan Rasulullah SAW secara totalitas. Tidak ada istilah satu sistem yang khusus untuk
kita yang tidak taat kepada Rasulullah SAW. Dan ciri-ciri orang munafik adalah yang selalu
cenderung kepada thoghut (berasala dari kata thogho yang artinya tirani, yang melampaui
batas). Hawa nafsu kita bisa jadi thoghut. Undang-undang atau sebuah peraturan juga bisa
jadi thoghut. Adat istiadat yang tidak Islami bisa juga jadi thoghut. Dan apa saja bisa menjadi
thoghut kalau tidak dalam rangka taat kepada Allah dan Rasulullah SAW. Dan orang munafik
adalah manusia yang dalam kehidupannya menuruti thoghut, bukan mentaati Allah dan
RasulNya. Allah katakan :
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-
jauhnya. (QS. 4:60)
Jadi orang yang selalu mengikuti thoghut, mereka adalah orang yang sesat sejauh-jauhnya.
Jadi sudah sulit untuk kembali ke jalan Islam. Kalau dinasehati ia tersinggung. Ada orang
yang berbuat baik dikatakan‘kemajon’, sehingga generasi muda tidak bisa maju karenanya.
Dengan orang yang lebih tua, tidak hormat. Akhirnya hubungan antar sesama ummat Islam
tidak harmonis. Yang tua, menganggap dirinya paling pengalaman. Yang muda, menganggap
dirinya mempunyai ilmu baru yang belum diketahui oleh orang-orang tua. Kalau yang seperti
ini tidak segera di-ishlah (diperbaiki), tentu akan merusak masa depan ummat Islam itu
sendiri. Baik yang tua maupun yang muda, merupakan aset ummat ini, yang semuanya
mempunyai potensi untuk memperjuangkan Islam.
Kalau kita perhatikan sejarah yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, ummat Islam
pernah mengalami pertentangan antara yang muda dengan yang tua semacam ini. Setelah
perang Badar selesai, pada waktu itu, ada golongan tua dan ada golongan muda. Yang tua
mengatakan kepada yang muda “Saya kemarin ketika perang ada di bawah bendera. Dengan
adanya sayalah kamu bisa lari ketempat saya” Kemudian yang muda tidak mau kalah dengan
mengatakan “Sayalah yang berperang dan memenggal leher musuh Islam, bukan kamu”.
Lanjutan dari perselisihan ini, antara yang tua dengan yang muda saling berebut kelebihan
pembagian harta rampasan perang. Krisis semacam ini jangan sampai terulang lagi, makanya
Allah SWT mengabadikan kisah seperti dalam Al-Qur’an. Dan krisis semacam ini akan
terhindar kalau dalam setiap kita ada mahabbah (perasaan cinta). Memang benar bahwa kita
harus memperjuangkan hak-hak kita. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa sebelum itu
kita harus mempunyai mahabbah (cinta) kita kepada saudara kita. Dan sebagai konsekuensi
logis atas cinta kita kepada Rasulullah SAW, maka kita juga harus cinta kepada ummatnya,
khususnya orang yangmemperjuangkan ummat Rasulullah SAW. Misalnya kalau sebuah
rumah tangga, dimana ada suami, isteri dan anak-anak, jika yang ada di dalam rumah itu
adalah perdebatan tentang masalah hak dan kewajiban saja, apa yang terjadi ? Yang terjadi
bukanlah ketenangan, akan tetapi mungkin malah keributan. Oleh karena itu, kalau masalah
hak dan kewajiban tidak dilandasi dengan mahabbah, maka sulit terjadi ketenangan dalam
kehidupan rumah tangga. Tidak ada salahnya jika seorang suami membantu memasak
isterinya ketika ia sedang libur, misalnya. Dan hal itu dilakukan karena rasa cintanya kepada
isterinya. Demikian juga seorang isteri, walau menyeterika bukan hanya kewajiban seorang
isteri akan tetapi tidak ada salahnya kalau sebagai wujud cintanya kepada suaminya ia
kemudian menyeterika baju suaminya.
Jadi masalah hak dan kewajiban adalah masalah fiqh. Agar pendekatan fiqh itu bisa berjalan
baik, maka pendekatan akhlaq harus senantiasa dilakukan. Suasana mahabbah harus
senantiasa dihidupkan, karena setiap muslim dengan muslim yang lainnya itu harus ada
mahabbah.
Mudah-mudahan kita bisa mencintai Rasulullah SAW dengan benar, yang kita ekspresikan
dengan mengikuti Rasulullah SAW. Mudah-mudah kita diberikan hidayah oleh Allah SWT,
disatukan hati kita, pemikiran kita dan langkah kita untuk bersama-sama
meniti Mardlotillahi. Dan semoga kita dipertemukan dengan Rasulullah SAW di surga Allah
kelak. Amin.