MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME ISLAM
(Studi Kasus Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh:
Dede Eka Nurdiyansah
NIM : 104032201019
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME ISLAM
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dede Eka Nurdiyansah
NIM : 104032201019
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Modernisme Dan
Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta) adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan
tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang
ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya
dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai
dengan aturan jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau
jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 28 September 2012
Yang menyatakan
Dede Eka Nurdiyansah
ABSTRAK
Nama : Dede Eka Nurdiyansah
NIM : 104032201019
Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik
Jurusan : Sosiologi
Dengan sejarahnya yang panjang Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta telah menjadi salah satu ikon universitas Islam di Indonesia.
ini di tandai dengan modernisasi pendidikan yang begitu intens dilakukan oleh
para pimpinan UIN Syahid dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu agama, dengan tujuan lebih mengembangkan Islam secara sosiologis
daripada sekedar kental warna normatifnya. Efek dari modernisasi ini, dengan
cara salah satunya pengintegrasian berbagai disiplin keilmuan, membuat
khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya “para
pembaharu”.
Akan tetapi, hal ini seakan kontras, dengan ditemukannya beberapa
beberapa mahasiswa dan alumni UIN Syahid Jakarta dalam kasus terorisme di
Indonesia belakangan ini. Seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi,
dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti
menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme Muhammad Sahrir dan
Saefuddin Zuhri di kamar kosan-nya di Jl Semanggi II, Ciputat, pada akhir tahun
2009 dan masing-masing dijatuhi vonis empat tahun enam bulan kurungan oleh
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kecenderungan di kampus
Islam UIN Syahid Jakarta yang lebih mengedepankan Islam yang modern,
rasional dan kompatibel seolah linear dengan yang terjadi di perguruan tinggi
umum seperti di Universitas Sriwijaya Palembang, yang menurut Kasinyo Harto
yang dalam kesimpulan penelitiannya ternyata corak pemikiran keagamaannya
cenderung fundamnetalis/radikalis.
Masalah inilah yang kemudian menggerakkan penulis untuk mengetahui
kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, apakah
mahasiswa UIN Syahid Jakarta pemikiran keagamaannya modernis atau lebih
bersifat fundamentalis. Kajian pustaka pemikiran keagamaan modernisme dan
fundamentalisme Islam menggunakan kajian modernisme dan fundamentalisme
dalam buku Yusril Ihza Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam
Politik Islam”. Untuk memecahkan masalah ini, penulis menggunakan
pendekatan studi kasus, dengan metode kualitatif untuk menghasilkan data
deskriptif. Pendekatan studi kasus digunakan untuk menjelaskan perbedaan
pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam masalah ijtihad,
preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Selanjutnya
metode kualitatif untuk menghasilkan data, berupa kata-kata dari informan.
Teknik pengumpulan data dengan wawancara, dan studi kepustakaan. Wawancara
dilakukan dengan informan sebanyak delapan orang mahasiswa UIN Syahid
Jakarta yang tersebar di 11 fakultas.
Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa:
Pertama, berkaitan dengan hal acuan atau dasar dalam membangun
masyarakat berdasarkan Al-Quran dan hadis, sebagian besar mahasiswa UIN
Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme dan
fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan atau
dasar dalam membangun tatanan masyarakat dengan sebagian kecil mengatakan
dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, Al-Quran dan
hadis tidak bisa dipakai sebagai landasan dalam membangun masyarakat dan
sisanya masih dilematis yaitu dalam masalah ibadah bisa Al-Quran dan hadis
dijadikan pedoman tapi dalam masalah horizontal (hubungan sesama
manusia/muamalah) masih dilematis.
Kedua, berkaitan dengan ijtihad, dalam hal hukum potong tangan, waris
dan kepemimpinan wanita, mahasiswwa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini selaras dengan modernisme Islam bahwa ayat-ayat Al-Quran seperti
hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita harus terus diijtihadkan.
Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, ayat-ayat Al-Quran tersebut sudah
jelas maknanya jadi memang tidak perlu diijtihadkan lagi.
Ketiga, berkaitan dengan tradisi zaman awal Islam dalam hal hukum
potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan atau tidak menurut
mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat
dengan modernisme Islam bahwa tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum
potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita tidak relevan lagi untuk
diterapkan dimasa sekarang. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, tradisi-
tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan
wanita masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang.
Keempat, Berkaitan dengan ijma dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat
dengan fundamentalisme Islam bahwa seorang muslim harus memberikan
apresiasi-peghargaan terhadap ulama-ulama jaman para tabiin dan tabi l-tabi‟in.
Akan tetapi sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini
menyatakan bahwa ijma-ijma terdahulu dapat diperbaharui hal ini cenderung
bersifat modernis karena aliran modernis memandang ijma (konsensus) yang
dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di
zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik
dan ekonomi yang melatarbelakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk
juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi.
Kelima, berkaitan dengan pluralisme, dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini
cenderung memandang positif terhadap pluralisme, dan hal ini selaras dengan
modernisme Islam.
Keenam, berkaitan dengan hikmah (kebijaksanaan) dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini cenderung bersifat modernis Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan)
akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam.
Dan mereka juga cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan
mengakulturasi prnsip-prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan
oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain.
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuhu
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT,
Tuhan Semesta Alam, yang telah memberikan segala kenikmatan-Nya kepada
penulis, baik itu nikmat iman, sehat , dan waktu serta nikmat kemudahan jalan
yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan
salam penulis haturkan kepada Nabi Besar umat manusia Muhammad SAW, yang
membawa risalah Allah SWT dan mengajarkannya kepada manusia sehingga
terhindar dari zaman kebodohan. Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan
pula kepada para keluarga nabi, sahabat nabi, tabi‟in, tabi-tabi‟in, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis melakukan penelitian ini untuk memenuhi persyaratan akan
kelulusan penulis untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi
Agama. Dan alhamdulillah penelitian ini dapat penulis selesaikan.
Dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua Orang tuaku, kakak dan adiku tercinta, terima kasih atas segala
dukungannya dan ridhonya baik dari segi moril maupun materil, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku pembimbing utama. Terima kasih
atas segala bimbingan, pendapat dan waktu yang diberikan kepada penulis.
3. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, Dr. Hendro Prasetyo. MA, dan seluruh staf
dekanat, terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepada penulis selama
ini.
4. Dosen-Dosen UIN Jakarta FUF dan FISIP Reguler yang telah mengajar dan
mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di FUF dan sekarang di FISIP
Reguler UIN Jakarta, terima kasih atas pengorbanan waktu dan ilmu yang
diberikan kepada penulis dan kawan-kawan mahasiswa lainnya. Semoga Allah
SWT mencatat semuanya sebagai amal ibadah yang tak akan terputus hingga
akhir zaman. Amin.
5. Mahasiswa/i UIN Syahid Jakarta, yang telah bersedia menjadi responden
dalam penelitian penulis. Terimakasih sekali lagi atas partisipasinya.
6. Keluarga besar penulis nenek teragung Hj. Nurnas, paman, bibi dan anak-anak
yang diridhoi Tuhan ”Agung, Yudha dan Salwa”, Bpk Hj. Sobari, istri dan
anak-anaknya, Bpk. Adang beserta keluarga, dll yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu disini, terima kasih atas doa dan motivasinya ya...!!!
7. Untuk Mahasiwa Sosiologi Agama FUF angkatan tahun 2004, terima kasih,
atas persahabatan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.
Dalam penelitian ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
yang dilakukan penulis. Oleh karena itu penulis akan membuka diri untuk
menerima kritik dan saran dari semua pihak terkait penelitian ini sehingga penulis
dapat memperbaiki dan menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata penulis
berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak
terkait.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 28 September 2012
Dede Eka Nurdiyansah
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 11
E. Metodologi Penelitian ......................................................................... 14
1. Pendekatan .............................................................................. 14
2. Metode..................................................................................... 14
3. Subjek ...................................................................................... 14
4. Jenis Data ................................................................................ 15
5. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 15
6. Teknik Analisis Data ............................................................... 17
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 17
BAB II KERANGKA TEORI
A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam ............................... 19
B. Landasan Historis Modernisme dan Fundametalisme Islam .............. 21
C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundametalisme Islam ...... 28
1. Ijtihad ............................................................................................ 30
2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam ............................................ 34
3. Ijma ............................................................................................... 38
4. Pluralisme Dan Hikmah ................................................................ 40
BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN MAHASISWA UIN SYAHID
JAKARTA
A. Sejarah Singkat Lahirnya UIN Syahid Jakarta.................................... 43
B. Visi, Misi Dan Tujuan ......................................................................... 54
C. Motto Dan Arah Pengembangan ......................................................... 56
D. Kerja Sama Dan Pengembangan Jaringan .......................................... 58
BAB IV ANALISIS DATA MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME
MAHASISWA UIN SYAHID JAKART
A. Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat ........................... 60
1. Ijtihad ............................................................................................ 66
2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam ............................................ 76
3. Ijma ............................................................................................... 82
4. Pluralisme ...................................................................................... 87
5. Hikmah .......................................................................................... 92
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan ................................................................................... 97
2. Saran .............................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Dengan sejarahnya yang panjang dalam sistem pendidikan Islam di
Indonesia dan perkembangan modernisasi pendidikan dilingkungan internal
kampus, UIN Syahid Jakarta telah memainkan peranan penting dan strategis
dalam spectrum pendidikan Islam di Indonesia dan sekarang ini telah menjelma
mejadi salah satu ikon universitas Islam terkemuka di Indonesia. Hal ini tidak
terlepas dari para perintis dan pemimpin UIN Syahid Jakarta sendiri, salah
satunya Harun Nasution. Ia merupakan salah satu pionir pembaharuan pendidikan
di UIN Syahid Jakarta. Ketika menjabat sebagai rektor pada tahun 1973 sampai
1984, Harun Nasution memfokuskan tentang pentingnya umat Islam untuk
berpikiran modern dalam mengembangkan keilmuan serta memahami khazanah
Islam, salah satunya, yaitu mengembangkan suasana dialogis antara berbagai
disiplin ilmu di lingkungan universitas, baik antara disiplin “sekuler” dengan
agama maupun diantara cabang-cabang ilmu agama itu sendiri. Basis penggunaan
pendekatan integrasi keilmuan ini untuk lebih mengembangkan Islam secara
sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya1. Gagasan integrasi
keilmuan Harun Nasution, kemudian dilanjutkan pada masa kepemimpinan-
kepemimpinan selanjutnya seperti Quraish Shihab, Said Agil Al-Munawar, dan
Azyumardi Azra. Menurut Raudah Agustiar:
1Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran
Harun Nasution” (Jakarta, Pustaka MAPAN, 2006), hal. 33-54.
“Integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta adalah dalam pengertian adanya keterpaduan yang utuh antara
ilmu-ilmu (termasuk nilai-nilai) keislaman dengan ilmu pengetahuan,
sains, dan teknologi, dengan menjadikan Al-Qur‟an dan Al-Hadis sebagai
sumner landasan yang utama2”.
Efek dari paradigma pendidikan yang dikembangkan oleh UIN Syahid
Jakarta, mempengaruhi cara mahasiwanya dalam menanggapi berbagai fenomena
kehidupan yang mereka hadapi. Seperti yang di kemukakan oleh Bachtiar Effendy
bahwa,:
“Mahasiswa UIN Jakarta pada awal 1980-an seperti Fachry Ali,
Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Mansoer Faqih, Kurniawan
Zulkarnaen dan lain-lain, mereka sering menggunakan “ilmu-ilmu lain”
dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam atau sejumlah
persoalan sosial politik yang berkembang di tanah air. Kegairan intelektual
seperti ini sempat menimbulkan penilaian bahwa mahasiswa IAIN lebih
menekanan “ilmu-ilmu sekuler” daripada “ilmu-ilmu Islam”. Menurt
Bachtiar, diskursus intelektual yang mereka bangun lebih sarat dengan
rujukan-rujukan berbahasa inggris daripada berbahasa arab. Inilah yang
memicu rekan-rekan mereka dari PT-PT umum untuk menganggap
mahasiswa IAIN Jakarta mempunyai kecenderungan yang “sekularistis”.3
Selanjutnya, tindak lanjut dari proses modernisasi paradigma pendidikan
Islam di lingkungan IAIN, adalah dengan melakukan pengiriman para dosen dan
para calon dosen dari seluruh Indonesia ke McGill University, yang kemudian
menjadi pionir untuk modernisasi studi Islam khususnya di UIN Syahid Jakarta4.
Menurut M. Amin Abdullah, selain peran Harun Nasution dan pengiriman tenaga
pengajar ke McGill University, bahwa:
“Negara juga sangat berperan dalam peralihan tipe pendidikan Islam dari
peran dakwah ke akademik, yaitu dengan melakukan berbagai perubahan
2Raudah Agustiar, Perubahan IAIN Menjadi UIN Jakarta: “Antara Kenyataan dan
Harapan”, Jurnal Mimbar Agama Dan Budaya, Vol. XXX, No. 2, 2004, h. 175
3Komarudin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN “Antologi
Pendidikan Tinggi Islam”, (Jakarta, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam Dan Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000), h. 103-114
4Kusmana, Eva Nugraha dan Eva Fitriati, Paradigma Baru Pendidikan Islam “Rekaman
Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007, (Jakarta, IISEP, 2008),
hal. 3.
yang didorong oleh berbagai kebijakan seperti mengakui pendidikan yang
dikembangkan masyarakat sendiri seperti pesantren dan lembaga
pendidikan swasta, pengalihan status dari lembaga pendidikan swasta ke
negeri, kebijakan arah pendidikan nasional, kebijakan perbaikan
kurikulum dan kelembagaan sampai kebijakan transformasi kelembagaan
dari institute ke universitas5.
Modernisasi pendidikan dengan pengintegrasian disiplin keilmuan,
pengiriman tenaga pengajar ke “Barat” dan kebijakan tipe pendidikan Islam,
membuat khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya
“para pembaharu” dan hal ini kemudian dikuatkan dengan Pola Ilmiah Pokok
(PIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam
dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan
perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan
keindonesiaan6. Dari uraian singkat diatas, kita dapat melihat bahwa UIN Syahid
Jakarta telah “mensimbolkan” dirinya sebagai institusi pendidikan keislaman yang
dapat menghasilkan sarjana muslim yang memiliki keunggulan kompetitif dalam
persaingan global. Dalam pandangan teori interaksionisme simbolik, apa yang
dilakukan UIN Syahid Jakarta ini merupakan proses “simbolisasi bahasa”, yang
memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan dunia sosial diluar diri
mereka. Dan penggunaan simbol-simbol ini menurut pandangan teori
unteraksionisme simbolik salah satunya berfungsi untuk berhubungan dengan
dunia material dan sosial dengan membolehkan “mereka” memberi nama,
membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang “mereka” temukan dimana
saja, dan dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting, dan
5Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan “Restropeksi dan Proyeksi
Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta, IIESP, 2008), hal. 35.
6Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas
Riset,(Jakarta,UIN Press,2006), h. 111.
menurut pandangan teori interaksionisme simbolik bahasa merupakan sistem
simbol yang mahabesar7.
Akan tetapi, “simbolisasi” UIN Syahid Jakarta seolah sudah berubah dan
mendapat tantangan dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan
alumni UIN Syahid Jakarta, seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi,
dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti
menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme yaitu Muhammad Sahrir dan
Saefuddin Zuhri8. Gagasan dan cita-cita kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang
lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear
dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya
Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya
ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis9.
Dalam melihat fenomena ini, penting untuk melihat pandangan William James
salah satu pemikir interaksionisme simbolik yang mengembangkan konsep
tentang „self‟ (diri). Ia mengatakan bahwa:
“Manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagai objek.
Dalam kemampuan itu, ia bisa mengembangkan suatu sikap dan persasaan
terhadap terhadap dirinya sendiri. Lebih lanjut ia juga dapat membentuk
tanggapan-tanggapan-tanggapan terhadap perasaan-perasaan dan sikap-
sikap itu. James menyebutkan kemampuan-kemampuan ini sebagai „self‟.
Dan dia mengakui pentingnya kemampuan-kemampuan ini dalam
membentuk cara-cara seseorang menanggapi dunia di sekitarnya”10
.
7 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta, Prestasi Pustakakarya, 2007), hal. 110
8 http://news.detik.com/read/2010/08/03/192306/1413027/10/tiga-mahasiswa-uin-jakarta-
divonis-4-tahun-6-bulan-penjara
9Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis Di Perguruan Tinggi Umum “Kasus Gerakan
Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI, 2008)
10
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, hal. 96
Dan karena kemampuan untuk mengerti arti dan simbol-simbol, menurut
Herbert Blumer maka manusia bisa melakukan pilihan terhadap tindakan-tindakan
yang diambil. Manusia tidak perlu menerima begitu saja arti-arti dan simbol-
simbol yang dipaksakan kepada mereka. Sebaliknya mereka bisa bertindak
berdasarkan interpretasi yang mereka buat sendiri terhadap situasi itu. Dengan
kata lain, manusia mempunyai kemampuan untuk memberikan arti baru kepada
situasi itu11
. Dalam melihat fenomena diatas, penting menyimak pendapat George
Herbert Mead tentang pranata sosial (sosial institutions). Menurutnya:
“Pranata didefinisikan sebagai “Tanggapan Bersama Dalam
Komunitas” atau “Kebiasaan Hidup Komunitas”. Proses ini disebut
“Pembentukan Pranata”. Kita membawa kumpulan sikap yang
terorganisir ini kedekat kita, dan sikap kita itu membantu mengendalikan
tindakan kita, sebagian besar melalui keakuan (me). Pendidikan adalah
proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor.
Pendidikan adalah proses yang essensial karena menurut pandangan Mead,
aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas
sesungguhnya hingga mereka mampu menanggapi diri mereka sendiri
seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat
demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas.
Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu
menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead
mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotif, dan
ultrakonservatif–seperti gereja–yang dengan kekakuan, ketidaklenturan,
dan ketidakprogresifannnya, menghancurkan atau melenyapkan
individualitas. Tetapi mead cepat-cepat menambahkan: “tidak ada alasan
yang tak terelakan mengapa pranata sosial harus menindas atau
konservatif, atau mengapa mereka itu tak selalu lentur dan progresif, lebih
membantu perkembangan individualitas keetimbang menghalanginya.
Menurut Mead pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang
sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan
umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi
individualitas dan kreativitas”.12
Fenomena fundamentalisasi atau radikalisasi agama yang muncul
belakangan ini, menurut beberapa pengamat adalah salah satu bentuk aliran
11 Ibid, h. 112
12
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta,Prenada Media Group,2007), h. 237-
238
pemikiran dan gerakan Islam yang ingin berusaha melahirkan arus penegasan
kembali identitas dan ideologi muslim dan berupaya mewujudkan cita-cita
politiknya kepentas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia belakangan
ini. Dalam melihat fenomena ini, menurut Mambaul Ngadimah:
“Pemikiran dan gerakan Islam adalah fenomena sejarah sekaligus budaya
yang beragam, yang perkembangannya sangat terkait dengan latar
sosiobudaya dan politik tertentu dari suatu masyarakat Islam yang hidup di
kawasan tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Dan permasalahan yang
menimbulkannya adalah pergumulan Islam dn modernitas, khususnya di
negara-negara belahan Dunia Ketiga, terutama sejak otoritas Islam sebagai
kekuatan politik merosot tajam pada abad ke 18. Persoalan ini menurut
Mambaul Ngadimah, telah menyita banyak energi kalangan intelektual
Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum
ada suatu pembahasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun
antisipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Ketegangan teologis
ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum
muslimin berupa aliran-aliran pemikiran keagamaan yang kemudian
memperkaya khazanah intelektual-keagamaan Islam. Diantaranya, apa
yang terkenal dengan sebutan Modernisme Islam, Fundamentalisme
Islam,”13
.
Perdebatan antara kalangan modernis dan fundamentalis tentang bagaiman
mensinergikan Islam dalam kondisi dewasa ini, telah memancing perdebatan dan
persaingan yang terus menerus, di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia.
Contohnya adalah di Pakistan. Di Pakistan kalangan nodernis dan fundamentalis
berdebat tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam pada zaman
aslinya, dan semangat zaman modern, hal ini berakibat pada persoalan serius
dalam mendefinisikan ke-Islaman-nya sejak berdiri pada 3 Juni 1947. Konflik
antara kalangan modernis dan fundamentalis ini juga terjadi di Afghanistan isunya
adalah sama yaitu tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam
ditengah kondisi modern. Di Indonesia sendiri, penerapan syariat Islam di
daerahnya menimbulkan krisis konstitusi karena dipandang bertentangan dengan
13 Jurnal Innovatio, Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008
undang-undang yang lebih tinggi14
. Menurut Yusril Ihza Mahendra, perbedaan
pendapat dalam bagaimana mensinergikan antara Islam dan modernitas di
kalangan modernis dan fundamentalis Islam merupakan akibat dari
kecenderungan penafsiran dalam memahami doktrin agama yaitu Al-Quran dan
Sunnah Nabi yang dijadikan acuan dalam membangun tatanan masyarakat.
Menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama
berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk
membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud
doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu. Namun
demikian meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama,
kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya
perbedaan yang cukup penting. Para modernis Islam cenderung
menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para
fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis.”15
Dijelaskan kembali oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa:
“Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini, menghasilkan
perbedaan pula dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-
masalah yang berhubungan dengan (a) itjihad; (b) preseden zaman awal,
serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan)
dan (e) hikmahi.”16
Aliran pemikiran dan gerakan kebangkitan Islam muncul dan mendapat
perhatian besar saat pada masa tiga kerajaan besar (Turki Utsmani, Safawai dan
Mughal), yang merupakan simbol kekuatan politik Islam yang tersisa, mengalami
kehancuran dan kemunduran yang berpuncak pada abad 18 dan sekarang semakin
menunjukkan intensitasnya dan mengkristal setelah negara-negara Muslim
14 Untuk memahami tentang perdebatan modernis dan fundamentalis dalam penerapan
syariat Islam di berbagai belahan dunia Muslim, baca Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal
Panggabean, Politik Syariat Islam “Dari Indonesia Hingga Nigeria”, (Jakarta, Alvabet, 2004), h.
138-168.
15
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 29.
16
Ibid., h 30.
terpecah kedalam negara–bangsa. Hancurnya kekuatan Islam sebagai sistem
sosial, ekonomi dan politik, menurut Azyumardi Azra:
“Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa
kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan
“kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi,
sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika
masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim
merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena
Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”17
Dan selanjutnya akibat dari krisis yang muncul di negara-negara Muslim,
menurut Tarmizi Taher :
“Krisis yang muncul dalam negara-negara baru ini memberi ruang bagi
sementara kalangan agamawan untuk membentuk gerakan-gerakan
radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada, baik sistem negara,
hukum dan kebudayaan, untuk kemudian diganti dengan sistem Islam.
Penolakan mereka sangat radikal, dan begitu juga konsep kehidupan yang
mereka tawarkan. Berbeda dengan kaum revivalis yang sekedar ingin
mengembalikan kemurnian Islam atau kaum modernis yang bertujuan
memodernisasi Islam, kalangan fundamentalis mempercayai
kesempurnaan Islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya,
mereka terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi, budaya,
dan politik dengan model Islam”.18
Aliran-aliran modernisme dan fundamentalisme Islam, selalu ditandai
dengan perdebatan persepsi dan pola berpikir, perbedaan-perbedaan itu tidak
jarang berujung pada kekerasan yang berlumuran darah, manakala kepentingan
politik terlibat didalamnya, namun kadangkala perbedaan-perbedaan itu seakan
menjadi tidak penting ketika kelompok-kelompok Islam tersebut merasa sedang
berhadapan dengan musuh bersama, atau pada masing-masing kelompok terasa
tidak berbenturan. Dari realitas diatas, menurut penulis yang menarik untuk di
cermati dan diteliti dalam kehidupan beragama pada umumnya tak terkecuali
17Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme”,(Jakarta, Paramadina, 1996), h. vi.
18
Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, Dalam,
Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), h.
30
kehidupan beragama Islam adalah fenomena dan kenyataan yang menunjukkan
bahwasannya kehidupan umat beragama-baik kaum awam maupun intelektual-
dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh
teks-teks, nash-nash dan kepustakaan keagamaan yang mereka miliki, baik yang
terkait dengan persoalan ibadah semata, maupun tata hubungan sosial keagamaan,
sosial-ekonomi, dan budaya. Jika timbul persoalan dalam kehidupan sehari-hari
pada umumnya, mereka tidak segera menyelesaikan persoalan tersebut secara
“spontan” dengan menggunakan commensense tetapi selalu merujuk terlebih
dahulu darip ada wejangan uraian, petuah, nasehat/fatwa ustadz ulama, bhiku,
pendeta, pastor atau organisaasi-organisasi, pemuka-pemuka masyarakat dan
orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Para tokoh agama kemudian
berkonsultasi dahulu dengan teks-teks dan kitab keagamaan yang mereka miliki
dan yang pernah mereka telaah dan pelajari dahulu, tanpa mempertimbangkan
lebih jauh dalam onteks dan situasi apa dan bagaimana teks-teks, kitab-kitab,
fatwa-fatwa dahulu tersebut di tulis. Maka dari itu, penulis sangat tertarik untuk
mempelajari aliran-aliran pemikiran keagamaan Islam, dan kecenderungan
gagasan-gagasan pemikiran Islam yang berkembang di perguruaan tinggi Islam,
khusunya Universitas Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan
tema “Modernisme dan Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta). Peneliti sangat yakin bahwa, sangatlah penting
untuk mendalami aliran-aliran pemikiran keagamaan dalam masyarakat, seperti
pemikiran-pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam Islam,
dan kemudian meminta reaksi atau tanggapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, hal
ini di karenakan UIN Syahid Jakarta dikenal Pola Ilmiah Pokok (PIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam dengan
menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan
zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan.
B. Pertanyaan Penelitian
Sesuai dengan pernyataan masalah diatas, maka dibuat pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jika dilihat dari kerangkan
pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam religio-
kultural Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan, untuk
mengidentifikasi kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam kerangka aliran pemikiran keagamaan modernisme
dan fundametalisme dalam religio kultural Islam.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan memiliki manfaat,
akademis dan praktis sebagai berikut:
a. Memberikan informasi mengenai kecenderungan pemikiran mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah dalam kerangka pemikiran keagamaan aliran
modernisme dan fundamentlisme Islam.
b. Memberikan gambaran arah kecenderungan mahasiswa apakah bersifat
modernis atau fundamentalis dalam kaitannya dengan doktrin agama.
c. Manfaat bagi peneliti, menambah khazanah pengetahuan tentang ragam
pemikiran keagamaan dalam Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, cukup banyak studi secara khusus yang
membahas kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang terhadap pemikiran
modernisme dan fundamentalisme Islam. Berikut adalah, penelitian tentang
modernisme dan fundamentalisme Islam dalam kaitannya dengan doktrin agama
yang kemudian digunakan untuk menganalisis berbagai arah kecenderungan
individu atau institusi sosial. Berikut adalah beberapa penelititan modernisme dan
fundamentalisme Islam.
1. Disertasi Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme
Dalam Politik Islam. Dalam Disertasi ini Yusril mencoba menghubungkan
kaitan pemahaman keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam
dalam pengaruhnya terhadap pembentukan partai politik Masyumi di
Indonesia dan partai Jama‟at Islami di Pakistan. Yusril mengatakan bahwa
modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas,
karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama berbeda-
beda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam
melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan
hikmah. Pandangan-pandangan dasar tersebut mempengaruhi tipologi
organisasi dan tipologi program partai modernis (Masyumi) dan partai
fundamentalis (Jama‟at-i-Islami). Dari disertasi ini, penulis mengambil
kerangka awal perbedaan modernisme dan fundamentalisme Islam. Bahwa
modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas,
karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama berbeda-
beda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam
melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan
hikmah. Disertasi Yusril Ihza Mahendra ini, merupakan pijakan awal
penulis dalam memetakan modernisme dan fundametalisme Islam untuk
melihat arah kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang, apakah
kecenderungannya bersifat modernis atau fundamentalis yang dilihat dari
bagaimana seseorang memaknai masalah ijtihad, preseden zaman awal
serta tradisi Islam, ijma, pluralisme dan hikmah.
2. Tesis Rihlah Nuraulia, Fundamnetalisme Islam Di Indonesia Studi Atas
Gerakan Dan Pemikiran Hizbut Tahrir. Dalam tesis ini Rihlah Maulia
ingin menggali pola-pola gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir yang
dikelompokkan dalam kalangan Islam fundamentalis. Dalam tesisnya ini,
Rihlah Nuraulia mengatakan bahwa, ciri utama fundamentalime adalah
pandangannya yang khas mengenai kedudukan ijtihad. Kaum
fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang
syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap
masalah-masalah tertentu. Selain itu harus ada preseden dari tradisi awal
Islam, ataupun pendapat para fuqoha terkemuka dari jaman silam tentang
persoalan-persoalan itu. Jika ijtihad dilakukan, ia hanya boleh dilakukan
oleh para mujtahid yaitu alim ulama yang telah memenuhi syarat-syarat
untuk melakukan ijtihad. Konsensus, meskipun diakui sebagai salah satu
sumber hukum Islam, tetapi terbatas pada ijma dari jaman para sahabat
nabi. Ijma pada zaman itu tidak boleh dihapuskan oleh ijma yang
disepakati oleh generasi-generasi yang hidup dijaman kemudian.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu
suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus
dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif19
. Pendekatan
ini dipilih untuk dapat menjelaskan kecenderungan pemikiran keagamaan
mahasiswa UIN Syahid dalam kerangka pemikiran keagamaan modernisme dan
fundamentalisme Islam.
2. Metode
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini
menggunakan metode kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskirpsikan tentang pandangan keagamaan modernisme dan
fundamentalisme mahasiswa UIN Syahid Jakarta, sehingga dapat dilihat arah
kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang. Maka metode yang akan
digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan
19
Sanafiah Faisak, “Format-Format Penelitian Sosiali”, (Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2001), h. 22.
Taylor, metode penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari orang-orang
dan perilaku yang teramati20
.
3. Subjek
Untuk teknik pencarian Informan dalam penelitian ini menggunakan
teknik pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan (Purposif Sampling),
merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh
dengan menggunakan pertimbangan tertentu21
. Informan dalam penelitian ini
adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah menyelesaikan
proses perkuliahan, yaitu semester 9, 10, 11, 12 13, dan 14. Dikarenakan mereka
sudah disosialisasikan tentang kajian-kajian keagamaan dalam religio-kultural
Islam, dan dianggap sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi keagamaan di
UIN Syahid Jakarta.
4. Jenis Data
Penjelasan Pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme
Islam, diperlukan data sebagai berikut; Pertama, data primer, data ini diperoleh
langsung dari sumbernya, terutama orang yang dipilih sebagai informan yang
akan diajak wawancara. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini
merupakan data mengenai unsur-unsur keagamaan modernisme dan
fundamentalisme Islamm. Kedua, data sekunder merupakan data yang diperoleh
secara tidak langsung, yaitu dengan cara mengutip atau mencatat dari buku-buku,
dokumen-dokumen berupa arsip UIN Syahid Jakarta (sejarah berdiri, Visi-misi
20 Febri Anwar, Kekuasaan Pemilik Modal Dan Resistensi Pemulung Dalam Hubungan
Kerja “Studi Kasus Pada Pemulung Di Pondok Pinang Jakarta selatan”, (Jakarta, FISIP UIN
Jakarta, 2012), h 11.
21
Sanafiah Faisak, “Format-Format Penelitian Sosiali”, h. 67
dan tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan
jaringan).
5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara,
dan telaah pustaka. Berikut adalah penjelasan teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini.
1. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Jenis wawancara yang
digunakan penelitian adalah wawancara tak terstuktur, yaitu adalah
wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancaran yang telah disusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang
digunakan hanya berupa garis-garis besar pemasalahan yang akan
ditanyakan22
. Wawancara ini akan menggali informasi tentang
pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Wawancara
menggunakan alat perekam elektronik. Infroman yang di
wawancarai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Nama Fakultas Jenis Kelamin Waktu Wawancara
SHI Ilmu Sosial dan Politik Laki-Laki 10- September-2012
IHN Dirasat Islamiyah Laki-Laki 11- September- 2012
DNU Syariah dan Hukum Laki-Laki 11-September- 2012
ISN Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Laki-Laki 12-September- 2012
IBL Ushuluddin dan Filasat Laki-Laki 13-September-2012
ROS Tarbiyah dan Keguruan Laki-Laki 14-September-2012
SPY Adab Laki-Laki 15-September-2012
IHM Tarbiyah dan Keguruan Laki-Laki 15-September-2012
22 Ibid., h. 233-234
2. Telaah pustaka yaitu dengan membaca, memahami, dan
menginterpretasikan buku-buku, jurnal-jurnal, laporan penelitian
yang berkaitan dengan pembahasan ini. Buku seperti, Modernisme
Dan Fundamentalisme Islam; “Perbandingan Partai Masyumi
(Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" Karya Yusril
Ihza Mahendra.
6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung terus menerus sampai tuntas. Data dianalisis dengan menggunakan
tiga tahap yaitu: Pertama, reduksi data (data reduction), mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting,
terhadap data yang terkait dengan perbedaan pemikiran keagamaan modernisme
dan fundamentalisme dalam masalah-masalah ijtihad, preseden tradisi zaman awal
Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Kedua, penyajian data (display data), dengan
mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami kecenderungan
unsur-unsur, kedalaman dan arah pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta. Ketiga, penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification) dengan
melakukan penyimpulan terhadap data tentang ijtihad, preseden tradisi zaman
awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah, dan mengaitkannya dengan kerangka
teori sehingga dapat dipahami fenomena pemikiran keagamaan mahasiswa UIN
Syahid Jakarta dan juga menjawab pertanyaan penelitian.
7. Sistematika Penelitian
Dalam penulisan daftar pustaka literatur yang digunakan, peraturan
kutipan dan cara-cara mengutip serta tata cara penulisan skripsi ini mengacu pada
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang termuat dalam buku panduan akademik program strata
1 2011/2012. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka. Bab ini berisi kajian modernisme dan
fundamentalisme Islam yang terdiri dari kontroversi istilah, landasan historis
modernisme dan fundamentalisme dan pandangan keagamaan modernisme dan
fundamentalisme Islam
Bab III Merupakan gambaran umum lokasi penelitian Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tinjau dari sejarah berdiri, Visi-misi dan
tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan jaringan.
Bab IV Merupakan hal yang beruhubungan dengan hasil penelitian
mengenai pernyataan pandangan keagamaan mahasiswa dalam hal, ijtihad,
preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah.
Bab V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan penelitian dan saran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam
Membicarakan istilah modernisme dan fundamentalisme di dalam Islam
terasa lebih sulit daripada di dalam Protestan, apalagi kedua istilah ini memang
selalu dikaitkan dengan tradisi Kristen Protestan. Menurut Asep Syamsul M
Romli:
“Dalam tradisi Kristen, Fundamentalisme sering dilawankan dengan
“modernisme”, yakni aliran (pemikiran) yang mengutamakan setiap yang
baru dari hal lama. Fundamentalisme merupakan oposan dari gerejawan
ortodoks terhadap sains modern, manakala sains modern (dianggap)
bertentangan dengan cerita atau ajaran bibble. Para aktivisnya menamakan
diri “fundamentalis”. Mereka adalah kaum oposisi yang menentang
liberalisme dan modernisme. Pihak fundamentalis menuduh kaum
modernis sebagai perusak agama Kristen dan mengorbankan bibble demi
kepentingan sains modern23
”.
Mengenai hal ini hemat penulis penting untuk menyimak pendapat dari
Yusril Ihza Mahendra:
“Modernisme dan fundamentalisme bukanlah istilah yang berasal dari
perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat-masyarakat muslim. Kedua
istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi barat dalam konteks
sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme pada
awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran
terhadap doktrin agama kristen untuk menyesuaikannya dengan
perkembangan modern. Fundamentalisme diartikan sebagai reaksi
terhadap modernisme. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang
23Asep Syansul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam
(Jakarta,Gema Insani Press, 2000), h. 30
berpegang teguh pada “fundamen” agama kristen melalui penafsiran
terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis24
”.
“Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh
sarjana-sarjana orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan barat
untuk membedakam dua kecenderungan pemikiran yang hampir sama
dengan apa yang dijumpai dalam agama kristen itu, di dalam masyarakat
yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk
mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim.
Sungguhpun demikian dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan
masa kini, baik ilmuwan barat maupun ilmuwan muslim telah
menggunakan istiah yang tidak sama dalam mengategorikan kedua aliran
tersebut. Istilah modernisme sering juga di ganti dengan istilah- istilah
lain, seperti “reformism”, reawakening, renaissance, dan renewal.
Sedangkan istilah fundamentalisme sering pula di ganti dengan istilah-
istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan
reconstruvtionsm. Dalam diskursus teoritis, sebagaimana biasanya, para
penulis bukan saja saling berbeda dalam menggunakan istilah, tetapi
istilah yang sama, sering pula didefinisikan dengan maksud yang
berbeda”25
.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang terdapat perbedaan
konteks dan aplikasi konsep modernisme dan fundamentalisme dalam Kristen dan
Islam. Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa masalah modernisme dan
fundamentalisme dalam Islam telah menjadi konsep yang mapan dan diterima
masyarakat luas, terutama untuk memotret fenomena orientasi ideologis aliran
pemikiran dan gerakan Islam. Meski secara terminologi modernisme dan
fundamentalisme masih diperdebatkan karena konteks munculnya khas Kristen
Protestan, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi agama, istilah
tersebut telah dianggap mapan dan diterima untuk menganalisis gejala
perkembangan aliran pemikiran dan gerakan agama26
. Untuk itu penulis, akan
24Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 5-6
25
Ibid. 5-6
26
Untuk lebih mengetahui perdebatan istilah modernisme dan fundamentalisme,
diterangkan lebih lanjut oleh Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme
tetap mempergunakan istilah ini dalam penulisan kerangka teori penulisan ini.
Dan sedapat mungkin, kedua istilah itu akan di gunakan secara netral. Penulis
sadar bahwa pemilihan istilah tekhnis dalam suatu kajian ilmiah memang akan
dihadapkan pada resiko-resiko tertentu yang tidak seluruhnya dapat di hindari.
Penggunaan modernisme dan fudamentalisme sebagai istilah tekhnis dalam
kerangka teori ini akan di perinci secara lebih jelas dala pembahasan pandangan
keagamaannya.
B. Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme Islam
Sebagaimana di ketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya
sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada
mulanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi
“negara-agama”, selanjutnya membesar pada masa khalifah, dan menjadi
kekuatan politik internasional yang tidak kecil pengaruhnya pada masa Dinasti
Umayah, dan Abasiyah. Dalam proses perkembangannya itu, Islam membuahkan
umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai
pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat
tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna
diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang
dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia dengan cemerlang,
sampai mencapai puncaknya di abad 12-13 M. Di masa inilah khususnya Dinasti
Abbasiyah, ilmu pengetahuan ke-Islam-an berkembang sampai puncaknya, baik
dalam bidang kajian agama, science, dan arsitektur. Di jaman itu pula para
dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari-
Juni 2003: 95-115.
pemikir muslim dihasilkan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai
kebudayaan Islam. Masa keemasan ini kemudian hancur, setelah jatuhnya Kota
Baghdad (Ibukota Dinasti Abbasiyah) pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa
Mongol, yang bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Abbasiyah, tapi juga
merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena
Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya
dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Setelah Khilafah Abbasiyah
di Baghdad runtuh akibat serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam
mengalami kemunduran secara drastis.
Setelah hancurnya Dinasti Abbasiyah, Islam menjadi statis atau dikatakan
mengalami kemunduran. Hancurnya tatanan masyarakat muslim itu semakin
terasa saat tiga kerajaan besar Islam pengganti Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti
Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan simbol masyarakat muslim secara
ekonomi, politik dan militer mengalami kehancuran. Dijelaskan oleh Akber S.
Ahmed, bahwa luluh lantahnya kejayaan Islam disebabkan oleh ketidakberdayaan
dan ketidakharmonisan tiga kerajaan Islam terakhir yaitu Utsmani, Safawi, dan
Mughal, yang merupakan kelanjutan dari dinasti Islam sebelumnya yaitu
Umayyah dan Abasiyah, menurutnya :
“Tidak ada kesatuan simbolik baik dalam sikap keagamaan,
maupun politik, satu sama lain tidak pernah akur, dan dalam rangka
memperluas kekuasaan, mereka tidak hanya menyerang serta
menaklukkan serta menaklukkan bangsa-bangsa non-muslim, tetapi juga
menganeksasi wilayah-wilayah muslim. Utsmani, misalnya, yang berbasis
di Turki terus memperluas wilayahnya dengan menundukkan Siria, dan
Irak sebagaian besar Afrika Utara. Sikap yang sama juga dilakukan oleh
dua kerajaan lainnya dengan cara menundukkan wilayah disekitar
mereka. Maka wajar kalau hubungan antarketiga kerajaan tidak
harmonis dan konflik internal di dalam wilayah masing-masing kerajaan
sangat tajam. Ketika kekuatan Eropa masuk kedalam wilayah muslim,
penguasa kerajaan-kerajaan tersebut tidak lagi bisa berbuat banyak.”27
Selain faktor yang disebutkan diatas, menurut Azyumardi Azra:
“Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa
kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan
“kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi,
sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika
masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim
merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena
Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”28
Dilain sisi lain masyarakat muslim mengalami kehancurannya,
Sementara itu di pihak lain, dunia Barat setelah belajar dari Timur
(muslim) dengan menterjemahkan buku-buku karya muslim dari bahasa arab ke
bahasa latin bangkit dan memasuki era Renaisance yang di warnai oleh revolusi-
revolusi: ketatanegaraan, gereja, ilmu pengetahuan, industri dan berlanjut ke
revolusi sosial. Arah bandul kebudayaan yang pada abad-abad sebelumnya,
berayun dari Timur ke Barat, kemudian beralih dari Barat ke Timur. Dunia
muslim pun karena kebekuaan dan kelemahnnya menjadi mangsa empuk bagi
dunia Barat sejak abad 1729
. Di lukiskan oleh John L. Esposito pergeseran besar
dominasi Islam dalam bidang kekuasaan, sebagai akibat kemerosotan nasib
muslim, kemudian terjadilah hubungan yang sebaliknya antara pihak Islam dan
pihak Barat, yaitu dari gerakan ekspansif yang demikian meluas pada masa
27Dalam Tarmizi Taher dkk, Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro
Prasetyo, h. 10
28
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme”, h. vi.
29
Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World Of Islam), terj. Mulyadi
Djoyomartono dkk, (Jakarta, Gunung Agung, 1966), hal. 29.
sebelumnya kepada posisi bertahan30
. Menurut John L. Esposito, kemunduran dan
kehancuran tatanan masyarakat muslim ini, disebabkan oleh tiga hal yaitu
pemberontakan-pemberontakan dan kekalahan-kekalahan militer, merosotnya
otoritas pusat yang kuat, dan kemunduran ekonomi yang dipengaruhi oleh
kompetisi Eropa dalam perdagangan dan industri31
. Selain faktor-faktor yang
sudah disebutkan diatas, menurut William Montgomery dalam bukunya
“Fundamentalisme Islam Dan Modernitas”:
“Kemunduran lembaga keagamaan di dunia muslim merupakan fakor yang
penting. Menurutnya, pada permulaan abad ke 19 lembaga ini masih
memiiki kekuasaan yang cukup besar di kesultanan Turki Utsmani (yang
merupakan kawasan terbesar di dunia Islam) dan memiliki kekuasaan yang
lumayan di berbagai dunia Islam lainnya, tetapi antara 1850 dan 1950
sebagian besar kekuasaan tersebut telah musnah, serta sejak 1950
peningkatan kekuasaan lembaga ini hanya bersifat pinggiran (terbatas).
Menurutnya, hilangnya kekuasaan tersebut sebagian besar disebabkan
ulama tidak ingin melakukan konsesi dalam bidang-bidang yang berada di
bawah kendalinya-perumusan hukum, pengelolaan peradilan, pendidikan-
untuk mengatasi hal-hal yang dipandang para negarawan sebagai sebagai
masalah mendasar dewasa ini. Tanpa perlu secara resmi mengebiri
kekuasaan ulama, para negarawan menciptakan lembaga-lembaga
alternatif secara bertahap mengambil alih sebagian besar pekerjaan yang
sebelumnya dijalankan ulama.”32
Dan menurut Gazalba, dalam bukunya “Masyarakat Islam Pengantar
Sosiologi Dan Sosiografi ” bahwa:
“Akulturasi dua kebudayaan yang berbeda tingkatannya, akan
mengakibatkan pola akulturasi yang politis yaitu penguasaan terhadap
kebudayaan yang tingkatannya rendah atau tradisional. Dan hal ini terjadi
ketika Islam kontak dengan masyarakat Barat. Yang terjadi waktu itu
menurutnya, adalah tumbuhnya nilai-nilai Barat dalam segi sosial,
30John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 56
31
Lihat John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al-
Shirat Al-Mutaqim)”, (Jakarta, Paramadina, 1998), hal. 145.
32
William Montgomery, Fundamentalisme Islam Dan Modernitas, Terj Taufik Adnan
Amal, (Jakarta, Grafindo Persada, 1997), hal. 51-87.
ekonomi, poitik, seni, filsafat, disamping nilai-nilai modern (ilmu dan
teknologi). Dalam masyarakat Islam menurut Gazalba hal ini bermakna
bahwa pandangan, faham, ideologi yang lahir dalam kebudayaan Barat
ikut tersemai dalam masyarakat Islam, antara lain: materialisme,
individualisme, sekularisme, agnositisme, kapitalisme, ateisme,
sosialisme, komunisme dan kristenisasi. Dan kalau Di pandang dari
kacamata sosiologis, menurut Gazalba tantangan-tantangan dari luar inilah
yang menghantam masyarakat Islam. Sedangkan tantangan dari dalam
umat Islam sendiri, Gazalba merangkum ada 12 faktor yaitu: rusaknya
perimbangan antara agama dan kebudayaan dalam addin, pembekuan
itjihad, masjid kehilangan fungsi, keawaman terhadap Islam, kelemahan
politik dan ekonomi, keterbelakangan sosial, ilmu, tekhnologi, pendidikan,
kesenian dan alam pikiran, dan tidak ujudnya masyarakat Islam.”33
Faktor-faktor diatas inilah yang kemudian, menurut Azyumardi Azra
menimbulkan apa yang disebut dengan “ketegangan teologis” diantara kaum
muslim yaitu antara keharusan memegangi doktrin dengan dengan keinginan
untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. ketegangan theologis
itu pada gilirannya tidak hanya menciptakan barrier psikologis bagi mereka yang
peduli terhadap posisi islam vis-avis realitas sosial-kultural, tetapi juga konflik
theologis, intelektual dan sosial di antara kaum muslim secara keseluruhan34
.
Perubahan besar yang terjadi di masyarakat muslim pada akhirnya membuat tidak
ada satu sistem budaya Islam pun yang mampu melindungi diri dari persaingan
yang diperkenalkan oleh sistem dari luar “Barat”. Bahkan, Khilafah Utsmaniah,
yang paling prestisius dan merupakan dinasti paling kuat saat itu, selain Dinasti
Safawi dan Mughal, merombak semua sistem politik sosial dan budayanya dengan
cara “Barat”, dan cenderung kearah sekuler. Contoh dari masuknya pengaruh
Barat di dunia Islam sendiri, dimulai pada abad ke-19, dilaksanakan pertama kali
33Sidi Gazalba, Masyarakat Islam “Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi”, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1976), hal. 302-309.
34
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme”, h. ii.
oleh kekhalifahan Utsmani di bawah Sultan Mahmud II (1808-1839). Menurut
Azyumardi Azra :
“Upaya modernisasi awal ini tidak meluas sampai seluruh bidang
kehidupan kaum muslim. Modernisasi model Barat dilakukan secara
terbatas pada lembaga birokrasi-militer negara. Perubahan tersebut
diadopsi negara dan implementasikan hanya oleh sekelompok elite.
Dengan kata lain reformasi diprakarsai, dirumuskan, untuk kemudian
dipaksakan dari atas, yakni dari elite penguasa. Mereka memberikan
respon terhadap ancaman eksternal, yakni ekspansionisme Eropa, bukan
terhadap tekanan internal yang datang dari masyarakat mereka sendiri
yang menghendaki perubahan”.35
Tetapi mulai paruh abad ke-19, modernisasi dengan cepat merambah
bidang-bidang kehidupan lain. Upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkokoh
pertahanan miiter dengan segera diikuti oleh program modernisasi yang lebih luas
dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abd al-Majid (1839-
1861) dan Abd al-Hamid II (1879-1909). Modernisasi bertahap yang dilakukan
oleh Sultan Mahmud II dikembangkan dan disistematisasi oleh anaknya, Abd al-
Majid, lewat serangkaian program reformasi ambisius yang disebut “Tanzimat”
(reorganisasi)”36
. Puncak modernisasi Turki Utsmani, pada akhirnya mengarah
pada sekularisasi dibawah pimpinan Mustafa Kemal At Taturk. Ia adalah Bapak
Sekulerisme dalam dunia perpolitikkan di negeri-negeri Islam. Dialah yang
menghapuskan kekhilafahan dari Turki Ustmani atas bantuan Inggris.
Kecintaannya terhadap peradaban Barat modernlah yang menyebabkannya
melakukan modernisme diberbagai bidang kehidupan, dengan Barat sebagai
kiblatnya. Menurutnya, jika kemajuan ingin dicapai oleh kaum muslimin maka
35Ibid, h. 8
36
Ibid, h. 18
tidak ada jalan lain selain mengambil keseluruhan nilai Barat tersebut37
.
Pembaharuan besar-besaran yang dilakukan para elite penguasa pada abad-abad
XVIII-XIX khususnya yang memerintah Turki yang mengarah pada sekularisasi,
dan sikap menuding, kaum muslim yang bersifat tertutup dan menolak
perkembangan kebudayaan pada unsur ilmu pengetahuan dan teknologi,
kemudian menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Keruntuhan supremasi
Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan ekonomi, yang
menenggelamkan dunia Muslim sampai ke titik nadirnya, kemudian
memunculkan pemikiran dan gerakan-gerakan keagamaan yang mencoba
menegakkan dan mengembalikan kejayaan Islam. Menurut Mambaul Ngadimah:
“Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu
permasalahan paling krusial yang di hadapi oleh kaum muslim. Hal itu
mengemuka terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik
merosot tajam pada abad 18. Persoalan ini telah menyita banyak energi
kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini
boleh dikatakan belum ada satu pembagasan yang tuntas baik dalam
bentuk solusi maupun antsipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas.
Modernisme yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar bahwa perjalanan
waktu adalah linear; pandangan-dunia antroposentris; idea of progress;
benar-benar bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tradisional Islam
yang memahami bahwa waktu berjalan siklikal; pandangan-dunia
teosentris dan; nasib manusia selalu berada dalam kehendak tuhan
(teisme). Uniknya, ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah
melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslim berupa aliran-aliran
keagamaan yang kemudian memperkaya pemikiran dan khazanah
intelektual Islam. Diantaranya apa yang terkenal dengan sebutan
modernisme Islam, Tradisionalisme Islam, Fundamentalisme Islam, neo-
modernisme Islam, neo-fundamentalisme Islam38
”.
37Dhabith Tarki Sabiq, Ar Rajul as Shanam Kamal At Taturk, Terj. Abdullah
Abdurrahman, (Jakarta: Senayan Publishing, 2008). Cet. 1, hlm. 11-24.
38
Innovatio, Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008
Dan menurut John L Esposito bahwa, maraknya perkembangan pemikiran
dan gerakan keagamaan dalam Islam merupakan merupakan salah satu bentuk
mekanisme pertahanan diri, dalam mempertahankan eksistensi agama dari
berbagai serangan baik dalam masyarakat agama tersebut maupun dari luar seperti
kolonialisme Eropa (Barat). Seperti yang digambarkannya:
“Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia lainnya, Islam telah
melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang panjang,
umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi
mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam
memiliki tradisi pembaharuan dan reformasi agama yang panjang,
membentang dari zaman terawal sejarahnya sampai sekarang. Dan Abad
ke 18 terbukti menjadi titik balik dalam sejarah Islam. Kekuatan,
kemakmuran, dan ekspansi dinamis umat dan peradaban Islam harus
berjuang mempertahankan hidupnya di hadapan kekuatan-kekuatan
pribumi dan ancaman politik dan religio-kultural dari kolonialisme
Eropa”.39
Dari pemaparan singkat diatas kita melihat bahwa, secara teologis, Islam
adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah – dan karena itu sekaligus
bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena
peradaban, kultural dan realitas dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas
sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjaman dan menjagatraya
(universal), tetapi juga mengejewantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang
dipengaruhi oleh situasi, dinamika ruang dan waktu.
C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundamentalisme Islam
Dalam menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan keagamaan aliran modernis
dan fundamentalis Islam, penulis mendasarkannya pada buku Yusril Ihza
39John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al-Shirat
Al-Mutaqim)”, h. 3.
Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”. Menurut
Yusril Ihza Mahendra:
“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama
berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk
membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud
doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”.40
Dari arti dan tujuan aliran pemikiran fundamentalis dan modernis, kita
dapat melihat bahwa keduanya bersepakat tentang bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan
masyarakat muslim. Namun demikian, menurut Yusril Ihza Mahendra meskipun
kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam
menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting.
“Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan
fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara
rigid dan litieralis”.41
Senada dengan Yusril Ihza Mahendra, Akh. Minhaji dalam buku “Relasi
Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme Dan Modernisme”, menggunakan
istilah yang berbeda namun mempunyai makna yang sama dengan yang
dituturkan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya ada dua model pendekatan dalam
menafsirkan doktrin agama dalam Islam, yaitu pertama, model normatif-deduktif
(ilahiyah, theocentris subjective theological transendentialism) dan kedua, empiris
deduktif (insaniyah, antropocentris, rational-empirical justification). Menurut
Akh. Minhaji:
40 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
29
41
Ibid, h. 29
“Pendekatan normatif-deduktif cenderung di dominasi oleh aristotelian
yang bercirikan dichotomous logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs
of dichotomies, lebih bercirikan eternalistic-absolutistic-spiritualistic
logic. Dengan model logika demikian maka kajian Islam cenderung
mendekati masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, dan yang
semacamnya akibatnya pemikiran yang ada bersifat sempit, kaku dan
menolak nuansa-nuansa yang berada di luar dua kubu ekstrim tersebut”.42
“Pendekatan empiris-deduktif menunjukkan gejala yang berbeda. Model
ini bernuansa hegelian logic yang bercirikan dialectical logic. Berdasarkan
logika Hegel ini maka “every one of them was (and is) right within it‟s
own field”. Artinya kebenaran itu bersifat relatif dan dipengaruhi oleh
asumsi-asumsi dasar yang di anut dan juga dialektika sosial yang terjadi
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah temporalistic-relativisti
materialistic logic dengan demikian hasil pemikiran ajaran Islam dengan
pendekatan model yang demikian bersifat relativ dan diyakini bersifat
luwes, fleksibel sekaligus di pandang mampu mengikutu denyut dan
perkembangan masyarkat”.43
Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama antara
modernisme dan fundamentalisme Islam, kemudian menghasilkan perbedaan pula
dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-masalah yang
berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi
Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e) hikmah.”
1. Ijtihad
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan
hadis. Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan
hadis. Hadis yang menunjukkan bolehnya berijtihad adalah hadis nabi yang
mengisahkan tentang sahabat Mu‟adz bin Jabal ketika di utus ke Yaman44
.
42 Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan
Modernis), (Jakarta, Yayasan Indonesia Tera, 2001), hal. xvi-xvii
43
Ibid, h. xvi-xvii.
44
Abu Yasid, Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama
Universal”, (Yogyakarta, LKIS, 2004), h. 64.
ه وسهم حن عن من فقال معاذ أن زسىل انهه صهى انهه عه بعثه إنى ان
ف تصنع إن عسض نك قضاء قال أقض بما ف كتاب انهه قال فإن نم ك
ه وسهم قال فإن نم ف كتاب انهه قال فبسنة زسىل انهه صهى انهه كن عه
ه وسهم قال أجتهد زأ نا آنى كن ف سنة زسىل انهه قال صهى انهه عه
ه وسهم صدزي ثم قال انحمد نهه انري فضسب زسىل انهه صهى انهه عه
ه وسهم نما سض زسىل انهه وفق زسىل زسىل انهه صهى انهه عه
ه وسهم صهى انهه عه
Artinya :“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz
ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”.
“Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam
kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada
dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra‟yu ku dan aku tidak akan
menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi
Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”
Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti
mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa,
ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut
istilah, al-ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau
beberapa orang ulama tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu
tempat dan waktu tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum
mengenai sesuatu atau beberapa perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya
secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis45
. Dan secara
terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari
syariat melalui metode tertentu.
45 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma
Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 55
Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan
Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran
dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung
elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis
dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah
ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan
fleksibel terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam
masalah-masalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi
ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus
digalakkan. Itjihad memunggkinkan corak pengaturan doktrin yang
berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan
kedalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu
zaman dan tempat terentu.”46
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra Fundamentalisme Islam
melihat bahwa:
“Kaum Fundamentalis seiring dengan kecenderungan
penafsirannya terhadap doktrin yang bersifat rigid dan literalis,
fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat
total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan
dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin
yang serba mencakup itu. Karena itu itjihad dengan sendirinya di batasi
hanya kepada masalah-masalah diantara doktrin tidak memberikan
petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan.”47
Dari uraian diatas, antara modernisme dan fundamentalisme keduanya
bersepakat tentang perlunya ijtihad dalam membuat dan merumuskan hukum-
hukum Islam (syariah Islam) sesuai dengan doktrin agama. Namun ada perbedaan
tentang doktrin agama (Al-Qur‟an dan hadis) mana saja yang perlu dilakukannya
46 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
29
47
Ibid., hal. 31
ijtihad. Modernisme Islam membatasi diri pada doktrin agama yang berkaitan
dengan masalah muamalah (kemasyarakatan). Karena menurut mereka dalam
masalah muamalah doktrin-doktrin hanya menerangkan prinsip-prinsip
universal48
. Sementara itu, fundamentalisme tidak membatasi diri pada masalah
muamalah, tapi langsung membatasi ijtihad pada doktrin agama, menurut mereka
doktrin agama yang sudah memberikan petunjuk dan pengaturan sampai ke detail-
detail persoalan, tidak perlu dilakukan ijtihad49
.
Menurut Saiful Mujani dalam bukunya “Muslim Demokrat „Islam, Budaya
Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU” dikalangan
Islam, terdapat sejumlah nas-nas doktrin agama tentang hukum muamalah
(kemasyarakatn) salah satunya adalah hukum potong tangan bagi pencuri. Dan
48 Kaum modernis membedakan doktrin agama kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan
muamalah. Semua peraturan dalam bidang ibadah sudah di perinci oleh syariah, sedangkan dalam
bidang muamalah, syariah memberikan prinsip-prinsip umum dan mendorong kreativitas, karena
tanpa kreativitas (ijtihad) Islam akan kehilangan relevansinya denga zaman. Dalam Chirzin, Jihad
Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal
Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2003: 95-115. Dalam buku Endang Saifuddin
Anshari, “Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, Secara
definitif muamalah dapat diartikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti yang luas, yaitu tata
aturan ilahi yang mengatur hubungan sesama manusia dan benda. Muamalah dalam arti luas ini,
secara garis besar terdiri atas dua bagian besar. A. Al-Qanunul Khas „hukum perdata‟ yang
meliputi: 1). Muamalah dalam arti sempit = hukum niaga, 2). Munakahah = hukum nikah, 3).
Waratsah = hukum waris, 4). Dan lain sebagainya. B. Al-Qanunul‟Am‟ „hukum publik‟ yang
meliputi: 1). Jinayah = hukum pidana, 2). Khilafah = ketatanegaraan, 3). Jihad = hukum perang
dan damai, dan lain sebagainya. Endang Saifuddin Anshari, “Wawasan Islam “Pokok-Pokok
Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 45.
49
Ijtihad modernisme dan fundamentalisme Islam diatas berkaitan dengan sifat-sifat dari
nas yang ada di Al-Quran dan Sunnah Nabi yang bersifat qath‟i dan zhanni yang sering digunakan
oleh para ulama dan pemikir Islam dalam kaitannya dengan pembahasan kedudukan Al-Qur‟an
dan sunnah Nabi dilihat dari wurud-nya (kedatangannya) atu tsubut-nya (penetapannya).
Pembagian status qath‟i dan zhanni terhadap dalil-dalil naqli (al-qur‟an dan as-sunnah) itu mereka
lakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan “kawasan” ajaran Islam yang tidak dapat lagi
dilakukan ijtihad dan masih dapat (bahkan ada yang harus) dilakukan ijtihad. Tentang sifat-sfat
dari doktrin agama ini diterangkan dalam buku Syuhudi Ismail, Hadists Nabi “Menurut Pembela,
Pengingkar Dan Pemalsunya”, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 94. Dalam buku ini
diterangkan bahwa, yang disebut dengan nas qath‟i (dharuri, yaqini, absolut, daan mutlak) dari
segi dalalah-nya (petunjuk atau pengertiannya) ialah nas yang menunjukkan satu pengertian
tertentu dan tidak mengandung kemungkinan takwil ataupun peluang untuk memberikan
pengertian yang selainnya. Adapun yang dimaksud dengan nas yang berstatus zhanni (nazhari,
relatif dan nisbi) di segi dalalah-nya (petunjuk dan pengertiannya) menurut penjelasan Khallaf
ialah nas yang menunjukkan satu pengertian, namun terhadap nas itu masih dimungkinkan
dilakukan takwil yang menghasilkan pengertian yang lain.
hukum ini, dapat dijadikan dukungan terhadap fundamentalisme Islam, karena
kecenderungannya yang bersifat literalis dalam menafsirkan doktrin agama. Dan
sebaliknya yang sarjana muslim yang melalui “kritisisme historis-nya” melihat
bahwa semangat yang medasari penerapan hukum itu adalah untuk menciptakan
tatanan keadilan dan keamanan dalam masyarakat50
. Berikut adalah contoh nas
Al-Qur‟an dan hadis tentang hukum jinayah (hukum pidana) potong tangan bagi
pencuri, hukum waris, dan hukum tentang kepemimpinan wanita:
a. Ayat Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.
انهه ا كسبا كانا ي ا جزاء ب ده وانهه عزز وانسارق وانسارقة فاقطعىا أ
ه انهه تىب عه ه وأصهح فئ تاب ي بعد ظه انهه غفىر رحىحكى ف إ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka
barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-
Mâidah/5:38-39)
Dan nas Al-Qur‟an ini dipertegas kembali oleh hadis yang diriwayatkan
oleh Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
ته ثالثة دراهى ق ه و سهى قطع سا رقا ف يج أرسىل انهه صهى انهه عه
50 Dalam bukunya ini, Saiful Mujani memakai istilah yang berbeda dalam melihat varian
Islam tapi mempunyai makna yang sama dengan konsep varian Islam yang digunakan dalam
penelitian ini. Syaiful mujani mengasosiasikan Modernisme Islam dengan Islam Liberal,
sedangkan fundamentalisme Islam dengan Islamisme. Kalangan Islamis memahami ayat-ayat
diatas cecara harfiah (rigid dan literalis) dan menuntut agar hukum itu diterapkan. Namun
demikian banyak sarjana muslim, lagi-lagi melalui “kritisisme historis”, menegaskan bahwa
semangat yang mendasari ayat itu adalah menciptakan tatanan keadilan dan ketentraman dalam
masyarakat. Saeful Mujani, “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik
di Indonesia Pasca ORDE BARU”, (Jakarta, Gramedia, 2007), h. 104
Artunya: Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri
tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham (Muttafaqun „Alaihi).
b. Ayat Tentang Hukum Waris
دكى أولىصكى انهـه فى نهذكر يثم حظ انأث
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan (An-nisa ayat 11)
c. Ayat Tentang Hukum Kepemimpinan Wanita
عهى انساانرجال قى ءيى
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa
ayat 34)
Ayat Quran ini kemudian ditegaskan kembali dalam hadis berikut ini.
Hadits: Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Tidak akan beruntung
suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Bukhari,
Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa'i).
2. Preseden (Teladan) Tradisi Zaman Awal Islam
Kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan
fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, hal ini juga
mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah zaman awal, serta
sejarah dan tradisi Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang
dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa
Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan
menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang
bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat
beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal
prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini,
menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi
Muhamma dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin
hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut
hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa
masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus
berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa
seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang
berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu,
seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya
tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang
dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan
para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian
berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.”51
“Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah
“sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau
demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman
sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin –
yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan
aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di zaman ini
pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim
yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan
aspirasi yang tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman
yang lampau.”52
Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan
tradisi Islam kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah
mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya
mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya.
Fundamentalisme memandang orang-orang yang hidup dizaman awal
lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam awal itu, yaitu
51 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
30
52
Ibid., hal. 30
zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib
diwujudkan di segala zaman.”53
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tradisi adalah adat kebiasaan turun-
temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan, dan atau penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan
benar54
. Sedangkan tradisi secara umum di pahami sebagai pengetahuan, doktrin,
kebiasaan, praktek dan lain-lain yang diwariskan turun-temurun termasuk cara
penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut55
. Dari uraian diatas, kita
dapat melihat bahwa terjadi perdebatan antara modernisme dan fundamentalisme
Islam tentang tradisi-tradisi seperti apakah yang hendak di pelihara atau
ditegakkan di dalam dunia dimana seseorang dihadapkan tidak hanya kepada satu
kelompok tradisi tetapi kepada begitu banyak tradisi (pluralisme tradisi) dan juga
dihadapkan dengan dunia yang berubah dengan cepatnya. Menurut Waqar Ahmed
Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi
masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurispedensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan
oleh nabi muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum
yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap
tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat56
.
Dalam sejarahnya, Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang
berlainan, tetapi dalam perwujudannya dapat saling bertaut, saling mempengaruhi,
53 Ibid., hal. 32
54
http://kamusbahasaindonesia.org/tradisi
55
Anisatun Mu;tiah dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, Vol. 1 (Jakarta,
Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15
56
Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, (Bandung, Pustaka,
1983), h. 74.
saling mengisi dan saling mewarnai perilaku seseorang. Islam merupakan suatu
normatir yang ideal, sedangkan tradisi bisa bersumber dari ajaran nenek moyang,
adat istiadat setempat atau hasil pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai
ajaran yang ideal, sedangkan tradisi merupakan realitas dari kehidupan manusia
dan lingkungan57
. Dalam literatur kajian Islam banyak sekali tradisi (kebiasaan)
yang dicontohkan nabi Muhammad yang tertuang dalam hadis seperti yang
disebutkan Akaha dan Abduh Zulfidar dalam bukunya “160 Kebiasaan Nabi
saw”58
. Contoh dari preseden (teladan) zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam
adalah apakah tradisi hukum potong tangan bagi yang mencuir yang pernah di
terapkan pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Tradisi hukum ini,
menurut kalangan modernis harus di laksanakan hanya prinsip-prinsipnya saja,
semangat ayat ini menurut mereka untuk menciptakan tatanan dan keamanan
dalam masyarakat. Menurut kalangan modernis, hukum potong tangan boleh jadi
merupakan sebuah instrumen yang efektif dan dapat diterima untuk menciptakan
tatanan sosial. Dalam masyarakat modern, instrumen lain seperti penjara diyakini
lebih manusiawi dan mendidik, dan karenanya bisa menjadi pengganti hukum
Islam tersebut59
. Akan tetapi menurut kalangan fundametalis Islam hukum
potong tangan ini harus diterapkan sesuai apa yang dicontohkan nabi dan para
sahabat, jadi tidak termakan oleh kondisi jaman60
.
57 Ahmad Taufik Weldan dan M. Dimyati Huda, Metodologi Studi Islam “Suatu Tinjauan
Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru” (Malang, Bayumedia Publishing,2004), h. 29.
58
Dalam buku ini Akaha dan Abduh Zulfidar, menulis 160 kebiasaan nabi dalam hal
ibadah. Akaha dan Abduh Zulfidar, 160 Kebiasaan Nabi saw, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur,
cetakan I, 2002)
59
Saeful Mujani, “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik
di Indonesia Pasca ORDE BARU”, h. 104-106
60
Menurut Dwi Ratna Sari bahwa salah satu karakteeristik fundamentalisme Islam yaitu
berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah menegakkan
kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bisa dicapai dengan membangun tatanan Islam
3. Ijma
Dalam ensiklopedia umum, apabila ada kejadian atau peristiwa yang
hukumnya tidak terdapat dalam Al-Quran atau hadis. Dalam hal demikian para
alim ulama terkemuka mengambil suatu ketetapan atas kata sepakat. Cara
penentuan hukum ini disebut ijma61
. Ijma' (اع adalah mashdar (bentuk) dari (انئج
ajma'a (ع :yang memiliki dua makna (أج
1) Tekad yang kuat ( ؤكد عهى سفر :seperti (انعزو ان ع فها sifulan) أج
bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2) Kesepakatan (االتفاق) seperti: ( عهى كذا ى سه ع ان kaum (أج
muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
عصر ي ه وسهى بعد وفاته ف د صهى اهلل عه اتفاق يجتهدي أية يح
األيىر انعصىر عهى أير ي
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat
dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula" .
Menurut Khaled M. Abou El Fadl, dalam kajian Islam ada beberapa
permasalahan tentang teori dan praktek mengenai doktrin ijma dikalangan pemikir
muslim. Meskipun mayoritas ahli hukum pada dasarnya menerima doktrin ijma,
(Nizham al-Islam) yang memosisikan syariat sebagai Undang-Undang tertinggi. Dari pemahaman
ini, maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam
sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik hukum perdata
seperti perkawinan, perceraian, waris, maupun hukum jinayat seperti potong tangan dan lain
sebagainya. Dwi Ratna Sari, Fundamentalisme Islam, Jurnal Komunika Vol.4 No.1 Januari-Juni
2010, h. 40-57.
61
Ada pendapat bahwa pada hakekatnya ijma ialah ijtihad dengan dasar yang lebih luas.
Ijtihad mengenai (hasil) pemikiran oleh satu orang. Ijma mengenai kegiatan yang sama, tetapi oleh
lebih dari satu orang. Karena ijtihadlah yang sebenarnya yaang menjadi sumber hukum.
Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1973), h. 478
62
http://www.nurulilmi.com/maudhui/manhaj/287-ijma.html
mereka tidak sepakat menyangkut ijma siapa yang bisa dipedomani-apakah ijma
para sahabat, para ahli ilmu hukum, atau masyarakat awam? Mereka juga berbeda
pendapat tentang apakah semua ahli hukum harus diikuti, apakah hanya ahli
hukum di wilayah tertentu, atau hanya ijma ahli hukum yang memiliki kualifikasi
tingkatan tertentu. Selain itu menurut Khaled M. Abou El Fadl, mereka tidak
sepakat tentang apakah ijma suatu generasi mengikat generasi lain, dan apakah
ijma di sebuah wilayah tertentu mengikat wilayah lainnya63
. Perbedaan dalam
memanai masalah ijma ini, terlihat ketika aktivis modernisme dan
fundamentalisme Islam dalam memaknai masalah ijma. Menurut Yuril Ihza
Mahendra, perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah „ijma‟ anatara
modernisme dan fundamentalisme Islam, merupakan akibat dari perbedaan
kecenderungan penafsiran atas doktrin agama. Berikut adalah pandangan ijma
menurut kalangan modernisme Islam:
“Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis
terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga
memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat
diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini
dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang
melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga
kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis
juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus
mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi
konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu
zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus
diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti
itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah
ditentukan oleh doktrin.”64
63 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan “Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh Otoritatif”,
(Jakarta, Serambi,2001), h. 118.
64
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
30
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam
memaknai masalah ijma:
“Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah
ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman.
Ijma demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh
generasi yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbeda-
dengan kaum modernis-pada umumnya memberikan apresiasi yang
tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan
tabi l-tabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh
para ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.”65
4. Pluralisme Dan Hikmah
Kecenderungan penafsiran modernisme yang bersifat elastis dan fleksibel
dan fundamentalisme Islam yang rigid dan literalis dalam menghadapi doktrin
agama, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah,
khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan cara beritjihad yang,
modernisme lebih menekankan pada kritisisme historis yang dilandasi oleh
semangat perkembangan zaman, sedangkan fundamentalisme lebih pada
keterangan dari teks doktrin agama. Selain itu, kecenderungan penafsiran ini juga
mengakibatkan perbedaan dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal
nabi dan para sahabat, apakah mengikat secara keseluruhan atau hanya prinsip-
prinsipnya saja. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan modernis dan
fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan
diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme dan hikmah. Menurut Yusril
Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar modernis yang saling berhubungan
dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang positif dalam melihat
65Ibid., hal. 32
pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah (kebijaksanaan)
darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra:
“Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula
pluralisme tetap ada. Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim
adalah umat pertengahan dan umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada
seluruh manusia. Mereka menjadi penengah antara kecenderungan-
kecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat-umat yang lain.”66
“Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya
mendorong modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi
mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada
kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan berpegang teguh kepada
salah satu hadis mengenai “hikmah” (kebijaksanaan), modernisme
cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsip-
prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh
masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan
mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis
yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara
konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis.
Mereka bebas mencari hikmah, karena mereka percaya bahwa evolusi
kebudayaan manusia sebenarnya bergerak menuju nilai-nilai yang
ditunjukkan Islam. Sedangkan nilai-nilai Islam, menurut mereka, adalah
nilai-nilai universal yang sesuai dengan the human nature (watak
manusia), sungguhpun secara formal tentulah tidak semua manusia
memeluk agama Islam.”67
Sedangakan menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar
fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan
diatas yaitu, sikapnya yang cenderung memandang negatif dan pesimis kepada
pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah (kebijaksanaan)
darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra:
“fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada
pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu
antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara
66Ibid., hal. 31
67
Ibid., hal. 31
kafah (menyeluruh) dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan
mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai
sejarah pertentangan antara dua golongan masyarakat ini, yang
disimbolkan dengan sejarah para Nabi dan para penentangnya.”68
Dengan pembagian dikotomis masyarakat yang kaku diatas, menurut
Yusril Ihza Mahendra:
“Maka hikmah (kebijaksanaan) tidak perlu dicari dalam masyarakat yang
telah jelas-jelas bersifat Jahailiah itu. Karena itu, fundamentalisme
cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan
berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan
oleh masyarakat lain. Memang, bagi fundamentalisme, manusia didunia
ini hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi “mu‟min” atau menjadi
“kafir.”69
Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa kalangan modernisme Islam
memandang positif dan optimis ini terhadap pluralisme yang mendorong bersikap
terbuka dan toleran. Hal ini kemudian membuat mereka berkeyakinan bahwa
hikmah atau kebijaksanaan dapat ditemukan dimana saja tanpa terkecuali
teemasuk masyarakat Barat. Sedangkan kalangan fundamentalisme Islam
cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, masyarakat
cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu antara masyarakat Islam-i yang
meyakini dan mengamalkan doktrin secara kafah (menyeluruh) dengan
masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya.
68Ibid., hal. 32
69
Ibid., hal. 32
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN
MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Sejarah Singkat Lahirnya UIN Syahid Jakarta
Penulisan Sejarah singkat lahirnya UIN Syahid Jakarta dalam karya ilmiah
ini mengikuti formula yang di susun buku panduan akademik 2010/2011.
Penulisan demikian disebabkan minimnya literatur-buku yang membahas tentang
sejarah UIN itu sendiri. Berikut adalah sejarah singkat UIN Syahid Jakarta yang
penulis sadur secara langusung dari buku pedoman akademik 2010/2011. Sejarah
pendirian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan suatu mata rantai sejarah
perkembangan perguruan tinggi Islam Indonesia dalam menjawab kebutuhan
pendidikan tinggi Islam modern yang telah dimulai jauh sebelum Indonesia
merdeka. Sejak berdirinya sampai sekarang, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta telah melewati beberapa periodesasi sebelum menjadi
salah satu ikon universitas Islam di Indonesia. Babakan sejarah itu di bagi
kedalam empat periodesasi yaitu periode perintisan, periode fakutas dari IAIN al-
jami‟ah, periode IAIN Syarif Hidayatulah, dan periode UIN Syarif Hidayatullah.
Selama itu, lembaga pendidikan ini telah menjalankan mandatnya sebagai institut
pembelajaran dan transmisi ilmu pengetahuan, sebagai institusi riset yang
mendukung proses pengembangan ilmu dan pembangunan bangsa, dan sebagai
institusi pengabdian masyarakat yang terus mendorong program-program
peningkatan kesejahteraan sosial.70
Berikut adalah sejarah singkat UIN Syahid
Jakarta.
a. Periode Perintisan
Pada zaman penjajahan Belanda, seorang pelajar muslim Dr. Satiman
Wirjosandojo, tercatat pernah berusaha mendirikan Pesantren Luhur sebagai
lembaga pendidikan tinggi Islam. Namun, usaha ini gagal karena hambatan dari
pihak penjajah Belanda.71
Setelah itu, pada tahun 1940, Persatuan Guru Agama
Islam (PGAI) di Padang mendirikan hal serupa dengan nama Sekolah Tinggi
Islam (STI) tapi karena adanya pendudukan Jepang, lembaga pendidikan ini
hanya berjalan selama dua tahun. Namun, kegagalan pendirian lembaga
pendidikan tinggi Islam sebelumnya itu, tidak serta menyurutkan niat umat Islam
Indonesia untuk terus menyuarakan pentingnya pendidikan tinggi Islam bagi
kaum muslim Indonesia. Hal ini, membuat Pemerintah Jepang di Indonesia
kemudian mejanjikan kepada umat Islam untuk mendirian lembaga pendidikan
tinggi agama di Jakarta. Janji Jepang itu kemudian di respon tokoh-tokoh Muslim
seperti Muhammad Hatta dan Muhammad Natsir dengan membentuk yayasan,
yang diketuai oleh Muhammad Hatta sendiri dan Muhammad Natsir sebagai
sekertaris.72
Yayasan ini kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8
Juli 1945 di Jakarta dan mengangkat Abdul Kahar Mudzakkir sebagai ketua.
Tercatat ada beberapa tokoh Muslim lain ikut berjasa dalam proses pendirian dan
pengembangan STI. Mereka antara lain Drs. Muhammad Hatta, K.H. Kahar
70
Komarudin Hidayat dkk, Buku Pedoman Akademik Strata Satu 2011/2012,
(Jakarta,Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan, 2011), hal. 5.
71Ibid., h. 5
72
Ibid., h. 5-6
Mudzakkir, K.H. Wahidin Hasyim, K.H. Mas Mansur, K.H. Fatturrahman
Kafrawi, dan Farid Ma‟ruf. Dua tahun setelah pendirian STI, tahun 1946 STI
dipindahkan ke Yogyakarta karena mengikuti kepindahan Ibukota Negara dari
Jakarta ke Yogyakarta. Kemudian pada 22 maret 1948, STI mengubah namanya
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) karena perkembangannya yang
semakin besar. Sampai dengan tahun 1948, UII tercatat memilii empat fakultas,
yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas
Pendidikan73
.
Kemudian, didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 tahun
1950, Fakultas Agama UII ditransformasikan menjadi Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN). Hal in disebabkan oleh Kebutuhan akan tenaga fungsional
di Departemen Agama menjadi latar belakang penting berdirinya perguruan tinggi
agama Islam. Dalam konsideran disebutkan bahwa PTAIN bertujuan memberikan
pengajaran studi Islam tingkat tinggi dan menjadi pusat pengembangan serta
pendalaman ilmu pengetahuan agama Islam. Berdasarkan PP tersebut juga,
ditetapkan 26 september 1950 sebgai hari jadi PTAIN. PTAIN ini, dipimpin K.H.
Muhammad Adnan dengan jumlah mahasiswa pada tahun 1951 sebanyak 67
orang. Pada periode tersebut PTAIN memiliki tiga jurusan, yaitu Jurusan
Tarbiyah, Jurusan Qadla Syariah, dan Jurusan Dakwah.74
Mata kuliah pada waktu
itu terdiri dari Bahasa Arab, Pengantar Ilmu Agama, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Tafsir,
Hadits, Ilmu Kalam, Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, Ilmu Pendidikan dan
Kebudayaan, Ilmu Jiwa, Pengantar Hukum, Asas-Asas Hukum Publik Dan Privat,
Etnologi, Sosiologi dan Ekonomi. Kemudia, mahasiswa yang lulus tingkat
73Ibid., h. 6
74
Ibid., h. 6
bangkaloreat dan doktoral masing-masing mendapatkan gelar Bachelor Of Art
(BA) dan Doctorandus (Drs). Komposisis mata kuliah PTAIN terus berlanjut
sampai masa-masa berikutnya dan merupakan kajian utama perguruan tinggi
Islam. Dan gelar akademik yang ditawarkan ketika itu, juga terus bertahan sampai
pertengahan dekade 1980-an75
.
b. Periode ADIA (1957-1960)
Pada tahun 1 Juni 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Hal ini disebabkan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga fungsional di bidang guru agama Islam yang sesuai dengan tuntutan
modernitas pada dekade 1950-an. ADIA didirikan dengan tujuan mendidik dan
mempersiapkan pegawai negeri guna mendapatkan ijazah pendidikan akademi
dan semi akademi sehingga dapat menjadi guru agama, baik untuk sekolah umum,
sekolah kejuruan, maupun sekolah agama. Kepemimpinan ADIA dipercayakan
kepada Prof.Dr.H.Muhammad Yunus sebagai dekan dan Prof.H.Bustomi A. Gani
sebagai wakil dekan. ADIA memiliki tiga jurusan, dan dengan komposisi
kurikulum yang sama dengan PTAIN, hanya dengan beberapa tambahan
matakuliah untuk kepentingan tenaga fungsional. Ketiga jurusan itu yaitu Jurusan
Pendidikan Agama, Jurusan Bahasa Arab, dan Jurusan Dakwah Wal Irsyad yang
juga dikenal dengan Jurusan Khusus Imam Tentara. Sedangkan komposisi
kurikilum lengkapnya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris,
Bahasa Prancis, Bahasa Ibrani, Ilmu Keguruan, Ilmu Kebudayaan Umum dan
Indonesia, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir, Hadits, Husthalahah Hadits, Fiqh,
Ushul Fiqh, Tariqh Tasyri Islam, Ilmu Kalam/Mantiq, Ilmu Akhlak/Tasawuf,
75Ibid., h. 6
Ilmu Filsafat, Ilmu Perbandingan Agama, dan Ilmu Pendidikan Masyarakat76
. Ada
dua ciri utama ADIA. Pertama, sesuai dengan mandatnya sebagai akademi dinas,
mahasiswa yang mengikuti kuliah di ADIA terbatas pada mahasiswa tugas
belajar. Mereka diseleksi dari pegawai atau guru agama di lingkungan departemen
agama yang berasal dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia. Kedua, sesuai
dengan mandatnya untuk mempersiapkan guru agama modern, tanggung jawab
pengelolaan dan penyediaan anggaran ADIA berasal dari Jawatan Pendidikan
Agama (Japenda) Departemen Agama, yang pada waktu itu memiliki tugas
mengelola madrasah dan mempersiapkan guru agama Islam modern di sekolah
umum77
.
c. Periode Fakultas IAIN Al-Jamaah Yogyakarta (1960-1963)
Pada tahun 1960-an, ADIA di Jakarta dan PTAIN di Yogyakarta
diintegrasikan menjadi satu lembaga pendidikan tinggi agama Islam negeri.
Integrasi ini dikarenakan dalam satu dekade ternyata PTAIN di Yogyakarta,
memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari
Jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak dengan area of studies yang semakin
luas. Selain itu, mahasiswa PTAIN tidak hanya datang dari berbagai wilayah
Indonesia, tetapi juga datang dari negara tetangga seperti Malaysia. Meningkatnya
jumlah mahasiswa dan meluasnya area of studies, yang kemudian menuntut
peluasan dan penambahan, baik dari segi kapasitas kelembagaan, fakultas dan
jurusan, maupun komposisi mata kuliah mengharuskan dilaksanakannya integrasi
lembaga pendidikan ADIA di Jakarta dan PTAIN di Yogyakarta untuk memenuhi
76Ibid., h. 7
77
Ibid., h. 7
kebutuhan diatas. Integrasi ini terlaksana dengan keluarnya Peraturan Presiden
Republik Indonesia no. 11 tahun 1960 tertanggal 24 agustus 1960 bertepatan
dengan 2 rabiul awal 1380 hijriah. Peraturan Presiden RI tersebut sekaligus
mengubah dan menetapkan perubahan nama dari PTAIN menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) al-Jamiah al-Islamiyah al Hukumiyah. IAIN diresmikan oleh
menteri agama di gedung kepatihan Yogyakarta78
. Nama dan jabatan pimpinan
IAIN dan fakultas-fakultasnya pada saat diresmikan adalah sebagai berikut:”79
No Jabatan Nama Lokasi
1. Rektor/Presiden Institu Prof.Mr.R.H.A. Soenarjo Yogyakarta
2. Sekertaris Senat Mr. Wasil Azis Yogyakarta
3. Dekan Fakultas Tarbiyah Prof. Dr.H. Mahmud Yunus Jakarta
4. Dekan Fakuktas Adab Prof. H. Bustami A. Gani Jakarta
5. Dekan Fakultas Ushuluddin Prof.Dr. Muchtar Yahya Yogyakarta
6. Dekan Fakultas Syariah Prof. .T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy Yogyakarta
Peresmian IAIN ini di sambut antusias oleh umat Islam Indonesia.
Beberapa daerah kemudian mengajukan penegerian perguruan tinggi Islam yang
telah ada didaerahnya atau meminta untuk membuka fakultas yang sesuai dengan
kondisi daerahnya. Aspirasi ini diperkuat oleh ketetapan MPRS nomor
1/RIS/1963 lampiran A.ad 5 yang secara eksplisit dan tegas meminta perluasan
IAIN. Dalam kurun waktu dua tahun, yaitu sejak 1960 sampai dengan 1963, IAIN
berdiri di sembilan kota dengan perincian sebagai berikut; Fakultas Tarbiyah Di
Jakarta, Yogyakarta, Malang dan Banda Aceh. Fakultas Adab di Jakarta dan
Yogyakarta. Fakultas Ushuluddin di Jakarta dan Yogyakarta. Fakultas Syariah di
Yogyakarta, Banda Aceh, Banjarmasin, Palembang, Surabaya, Serang dan Ujung
78Ibid., h. 8
79
Ibid., h. 8
Pandang. Selanjutnya status dan struktur organisasi IAIN diperkuat dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 198780
.
d. Periode IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
IAIN kemudian mengalami perkembangan pesat, perkembangan tersebut
tidak dapat lagi tertampung oleh kapasitas kelembagaan IAIN yang terpusat di
Yogyakarta. Atas dasar semua itu, kemudian dipandang perlu mengembangkan
IAIN menjadi institut yang berdiri sendiri. Berdasarkan keputusan Menteri Agama
RI nomor 49 tahun 1963 tertanggal 25 februari 1963 ditetapkan adanya dua IAIN,
masing-masing IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengkoordinasi fakultas-fakultas di
wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Irian Jaya. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengkoordinasi fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jakarta, Jawa Barat,
dan Sumatera. Peresmian pembagian wilayah koordinasi dilakukan pada 18 maret
1963 di aula IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di hadiri menteri agama. IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berdiri sendiri dipimpin oleh Prof. Drs. H.
Soenardjo sebagai rektor81
. Pada saat peresmian itu, IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta memiliki empat fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah, Adab, dan Ushuluddin
di Jakarta dan Fakultas Syariah di Serang. Di samping itu IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta juga mengkoordinasikan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas
Syariah di Banda Aceh dan Palembang. Selanjutnya, dalam masa dua tahun, dari
1963 sampai 1965, di buka fakultas-fakultas baru, yaitu Fakultas Tarbiyah di
80Ibid., h. 8
81
Ibid., h. 8-9
Serang, Cirebon, Padang dan Pekanbaru, dan Fakultas Syariah di Jambi.82
Atas
aspirasi dan perjuangan masyarakat Muslim setempat, fakultas fakultas yang
berada di bawah koordinasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kemudian berdiri
sebagai IAIN yang mandiri. Antara lain, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh berdiri 5
oktober 1963, IAIN Raden Patah Palembang berdiri 22 oktober 1964, IAIN
Antasari Kalimantan Selatan diresmikan 22 november 1964, IAIN Imam Bonjol
Padang berdiri 21 November 1966, dan IAIN Sultah Taha Saefuddin di Jambi
berdiri tahun 1967.83
Sejak terbitnya keputusan Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1988, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta terdiri dari fakultas-fakultas Tarbiyah, Adab,
Ushuluddin, Syariah dan Dakwah di Jakarta dan Fakultas Tarbiyah di Pontianak.
Selanjutnya, berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 1997 tentang perubahan status fakultas daerah menjadi sebuah Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), maka Fakultas Tarbiyah Pontianak berdiri
sendiri sebagai STAIN Pontianak84
. Pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Harun
Nasution (1973-1984), IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dikenal luas sbagai
“kampus pembaharu”. Hal ini disebabkan karena Harun Nasution banyak
mengadakan pembaharuan-pembaharuan Islam dengan menekankan Islam
rasional. Harun nasution mengadakan perubahan kurikulum IAIN yang salah
satunya adalah memasukan maatakuliah filsafat dan menyelenggarakan Program
Pascasarjana (PPs). PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pertama di
lingkungan IAIN di seluruh Indonesia. PPs ini mengawali kuliah perdananya pada
82Ibid., h. 9
83
Ibid., h. 9
84
Ibid., h. 10
tanggal 1 September 1982, setelah sehari sebelunya (30 Agustus 1982) diadakan
peresmian pembukaannya85
.
e. IAIN With Wider Mandate
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu IAIN tertua di
Indonesia yang bertempat di Ibukota Jakarta, menempati posisi yang unik dan
strategis. Ia tidak hanya menjadi “jendela Islam di Indonesia”, tetapi juga menjadi
simbol bagi kemajuan pembangunan nasional, khususnya pembangunan di bidang
sosial-keagamaan, sebagai upaya untuk untuk mengintegrasikan ilmu agama dan
umum, lembaga ini mulai mengembangkan diri dengan konsep IAIN dengan
mandat yang lebih luas (IAIN with wider mandate) menuju terbentuknya
Universitas Islam Negeri, langkah konversi ini mulai diintensifkan pada masa
kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan dibukanya Jurusan
Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas Syariah, serta Jurusan
Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syariah pada tahun akademik
1998/1999.86
Untuk lebih memantapkan langkah konversi ini, pada tahun 2000 di
buka Program Studi Agri Bisnis dan Program Studi Teknik Informatika
bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), serta Program Studi Manajemen dan Program Studi
Akuntansi. Pada 2001 diresmikan Fakultas Psikologi, dan Fakultas Dirasat
Islamiyah bekerjasama dengan Universitas Al-Azhar, Mesir. Selain itu dilakukan
pula upaya kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) sebagai
penyandang dana pembangunan kampus yang modern; McGill University melalui
85Ibid., h. 10
86
Ibid., h. 10
Canadian International Development Agencies (CIDA), Leiden University (INIS),
Universitas Al-Azhar (Kairo); King Saud University (Riyadh); Universitas
Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB); Ohio University; Lembaga Indonesia
Amerika (LIA); Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Bank Mandiri,
Bank Muamalat Indonesia (BMI); dan universitas-universitas serta lembaga
lainnya.87
Langkan perubahan bentuk IAIN menjadi UIN mendapat rekomendasi
pemerintah dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara
Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 4/U/KB?2001 dan Menteri Agama RI
Nomor 500/2001 tanggal 22 November 2001, Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional memberikan rekomendasi dibukanya 12
program studi yang meliputi Program Studi Ilmu Sosial dan Eksakta, yaitu Teknik
Informatika, Sistem Informasi, Akuntansi, Manajemen, Sosial Ekonomi
Pertanian/Agribisnis, Psikologi, Bahasa dan Sastra Inggris, Ilmu Perpustakaan,
Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi.88
Seiring dengan itu, rancangan
keputusan Presiden tentang perubahan bentuk IAIN menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta juga telah mendapat rekomendasi dan pertimbangan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara RI dan Dirjen Anggaran Departemen Keuangan
RI Nomor 02/M-PAN/1/2002 tanggal 9 Januari 2002 dan nomor S-490/MK
2/2002 tanggal 14 Februari. Rekomendasi ini merupakan dasar bagi keluarnya
Keputusan Presiden Nomor 031 tanggal 20 Mei tahun 2002 tentang perubahan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.89
f. Periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mulai 20 mei 2002)
87Ibid., h. 10-11
88
Ibid., h. 11
89
Ibid., h. 11
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
031 tanggal 20 mei 2002 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah menjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Upacara peremiannya dilakukan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia Hamzah Haz pada 8 Juni 2002 bersamaan dengan
upacara Dies Natalis ke 45 (lustrum ke-9) serta pemancangan tiang pertama
pertama pembangunan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui dana
Islamic Development Bank (IDB). Setelah itu program konversi UIN dibubarkan
dan dirikan secara bersamaan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial dan Fakultas
Sains dan Teknologi.90
Belakangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambah
fakultas baru, yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Program Studi
Kesehatan Masyarakat) berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 1338/D/T/2004 tahun 2004 tanggal 12 April 2004 tentang ijin
penyelenggaraan Program Studi Kesehatan Masyarakat (S1) dan Keputusan
Direktur Jenderal Kelembagaanagama Islam tentang ijin penyelenggaraan
Program Studi Kesehatan Masyarakat program Sarjana (S1) pada Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor Dj.II/37/2004 tanggal 19
Mei 2004. Mulai tahun akademik 2009/2010 tiga program studi, Pemikiran Politik
Islam dan Sosisologi Agama dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dan Ilmu
Hubungan Internasional dari Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, bergabung
kedalam Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.91
90Ibid., h. 11
91
Ibid., h. 11
Sebagai bentuk reintegrasi ilmu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta sejak tahun akademik 2002/2003 menetapkan nama-nama
fakultas sebagai berikut:92
1. Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
2. Adab dan Humaniora
3. Ushuluddin dan Filsafat
4. Syari‟ah dan Hukum
5. Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
6. Dirasat Islamiyah
7. Psikologi
8. Ekonomi dan Bisnis
9. Sains dan Teknologi
10. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
11. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
B. Visi, Misi dan Tujuan
Visi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah :
“Berdaya saing tinggi dan terdepan dalam mengembangkan dan
mengintegrasikan aspek keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan”.93
Menurut Kusmana :
“Ke tiga aspek (aspek keislaman, keilmauan dan keindonesiaan) ini
membuka peluang bagi UIN Jakarta untuk menyelenggarakan tidak
hanya fakultas-fakultas kajian Islam tapi juga fakultas-fakultas umum.
Dengan demikian, kapasitas layanan pendidikan tinggi di UIN Jakarta
lebih luas dan pada saat yang sama menjadi terbuka untuk berkompetisi
dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lain di Indonesia khususnya
maupun diluar negeri”.94
Sedangkan Misi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ada lima yaitu:
a) Menghasilkan sarjana yang memiliki keunggulan kompetitif dalam
persaingan global.
b) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan untuk
mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman, keilmuan
dan keindonesiaan.
92Ibid., h. 12
93
Ibid., h. 13
94
Kusmana, “Integrasi Keilmuan “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas
Riset”, (Jakarta, PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006), hal. 110.
c) Meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian yang bermanfaat
bagi kepentingan keilmuan dan kemasyarakatan.
d) Membangun good university governance dan manajemen yang
profesional dalam mengelola sumber daya perguruan tinggi
sehingga menghasilkan pelayanan prima kepada sivitas akademika
dan masyarakat;
e) Membangun kepercayaan dan mengembangkan kerjasama dengan
lembaga nasional, regional, maupun international.95
Misi UIN Jakarta di atas, yang secara keseluruhan bermuara pada
terciptanya lulusan yang mempunyai competitive advantage sejalan dengan tujuan
UIN Jakarta yaitu dalam:
a) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu
pengetahuan, bidang keagamaan, sosial maupun sains dan
teknologi.
b) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama,
sosial dan sains teknologi serta mengupayakan penggunaannya
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional.96
Menurut Kusmana, usaha kearah realisasi tujuan tersebut didukung oleh
pola ilmiah pokok (PIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu pembaharuan
dalam Islam dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel
dengan perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, keilmuan, dan
keindonesiaan. Atas dasar itu maka orientasi pengembangan UIN Jakarta kedepan
diorientasikan pada beberapa hal berikut:
a) Pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia (SDM)
seluruh sivitas akademika UIN yang memiliki keluruhan moral,
kedalaman spiritual, kecerdasan intelektual, dan kematangan
professional.
b) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas akademik, administrasi,
pelayanan dan seluruh komponen berikut perangkat kerja di UIN
Jakarta secara professional dan optimal.
c) Pembaharuan sistem pendidikan menuju reintegrasi keilmuan,
keislaman, keindonesiaan, dan wawasan global, serta
95Komarudin Hidayat dkk, Buku Pedoman Akademik Strata Satu 2011/2012, h. 13
96
Ibid., h. 13
pengembangan UIN sebagai pusat keunggulan dalam studi dan
pemikran Islam.97
C. Motto dan Arah Pengembangan
Menurut situs http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html, sejak tahun 2007
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menetapkan knowledge, piety, dan integrity
sebagai mottonya. Motto ini pertama kali di sampaikan rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dalam pidato wisuda sarjana
ke-67 tahun akademik 2006-2007.
“Knowledge mengandung arti bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memiliki komitmen menciptakan sumber daya insani yang cerdas, kreatif,
dan inovatif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkeinginan memainkan
peranan optimal dalam kegiatan learning, discoveries, and engagement
hasil-hasil riset kepada masyarakat. Komitmen tersebut merupakan bentuk
tanggung jawab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam membangun
sumber daya insani yang mayoritas muslim. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ingin menjadi sumber perumusan nilai keislaman yang sejalan
dengan kemodernan dan keindonesiaan. Oleh karena itu, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menawarkan studi-studi keislaman, studi-studi sosial,
politik dan ekonomi serta sains dan teknologi modern – termasuk
kedokteran – dalam persfektif integrasi ilmu.”98
“Piety mengandung pengertian bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memiliki komitmen mengembangkan inner quality dalam bentuk
kesalehan dikalangan sivitas akademika. Kesalehan yang bersifat
individual (yang tercermin dalam terma habl min allah) dan kesalehan
sosial (yang tercermin dalam terma habl min al-nas) merupakan basis bagi
sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam membangun
relasi sosial yang lebih luas.”99
“Sedangkan integrity mengandung pengertian bahwa sivitas
akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pribadi yang
menjadikan nilai-nilai etis sebagai basis dalam pengambilan keputusan dan
perilaku sehari-hari. Integrity juga mengandung pengertian bahwa sivitas
akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki kepercayaan diri
sekaligus menghargai kelompok-kelompok lain.”100
97Kusmana, “Integrasi Keilmuan “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas
Riset”, h. 111
98
http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html
99
http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html
100
http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html
“Dalam motto knowledge, piety, dan integrity terkandung sebuah spirit
untuk mewujudkan kampus madani, sebuah kampus yang berkeadaan, dan
menghasilkan alumni yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu,
ketulusan hati dan kepribadian kokoh.”101
Sedangkan berkaitan dengan arah arah pengembangan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam situsnya yaitu http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-
pengembangan.html :
“UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi jendela keunggulan
akademis Islam Indonesia (windw of academic excellence of Islam in
Indonesia) dan barometer perkembangan pembelajaran, penelitian dan
kerja-kerja sosial yang diselenggarakan kaum muslim indonesia dalam
berbagai bidang ilmu. Dalam kerangka memperkuat peranannya tersebut,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkomitmen utuk mengembangkan diri
sebagai universitas riset (research university) dan universitas kelas dunia
(world class university).”102
“Universitas riset dapat diartikan sebagai universitas yang menjadikan
tradisi riset sebagai basis normatif aktivitas universitas. Secara operasional
unversitas riset adalah universitas yang mengimplementasikan sistem
pendidikan berbasis riset dengan menerapkan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) dan SKS secara utuh; keseluruhan aktivitas penelitian
menerapkan standar ilmiah; penyelenggaraan manajemen universitas
mengacu pada total quality management (TQM); dan mengupayakan
produk-produk unggulan perguruan tinggi yang diapresiasi publik.”103
“Sedangkan universitas kelas dunia dapat diartikan bahwa pengembangan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diarahkan untuk membangun jaringan
kerja sama dengan universitas-universitas terkemuka didunia. Jaringan
kerja sama itu dirancang dalam berbagai tingkatan, baik pembelajaran
dalam bentuk pertukaran mahasiswa (students exchange), penelitian, dan
program-program pengabdian masyarakat (social services). Pada saat
bersamaan pembangunan jaringan itu diharapkan dapat memberikan
manfaat berupa pengakuan dunia internasional terhadap UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu universitas berkualitas dunia.”104
D. Kerja Sama dan Pengembangan Jaringan
Untuk menjadi World Class University, Kerjasama dan pengembangan
jaringan merupakan bagian penting yang harus dilakukan UIN Syarif
101 http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html
102
http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html
103
http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html
104
http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html
Hidayatullah Jakarta. Hal inilah yang membuat petinggi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta selalu berusaha memperluas kerja sama dan jaringan dengan berbagai
institusi yang dipandang dapat memberikan dukungan terhadap kemajuan
peningkatan kulitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikut adalah MOU kerja
sama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan beberapa lembaga-lembaga:
a. Pergururan Tinggi Dalam Negeri
1. Universitas Indonesia (UI)
2. Universitas Gadjah Mada (UGM)
3. Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
4. Universitas Pendidikan Indonesia ((UPI)
5. Universitas Muhammadiyah
6. Institut Pertanian Bogor (IPB)
7. Institut Teknologi Bandung (ITB)
8. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
9. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru
10. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
11. IAIN Sumatera Medan
12. IAIN Alaudin Makassar
13. IAIN Raden Intan Lampung
14. STAIN Ternate
15. STAIN Manado
16. Perguruan Tinggi Swasta (PTIS) Kopertais Wilayah I
Jakarta.105
b. Pergururan Tinggi Dalam Negeri
1. Al-Azhar University, Cairo, Mesir
2. Universitas Leiden, Belanda
3. McGill University, Montreal, Kanada
4. Univesitas Sains malaysia (USM) Penang Malaysia
5. Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat.
6. Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat.
7. Emory Univesity, Atalanta, Amerika Serikat.
8. Duke Univesity, Amerika Serikat.
9. University of Melbourne, Australia.
10. Australia National University, Australia
11. Griffith University, Australia
12. Sun Moon University, Korea
13. Kolej University Islam Malaysia (KUIM), Malaysia
14. Institut Agama Islam Negeri (Insaniah) Alor Setar Kedah,
Malaysia
15. Carrol College, Montana, Amerika Serikat
105Ibid., h. 28-29
16. St. Mary‟s College Of Maryland, Amerika Serikat
17. Islamitische Universitiet Van Europa, Rotterdam, The
Netherlands
18. Prince of Songkla University, Thailand
19. Hadramout University Of Science And Technology, Yaman
20. Universitas Umum Al-Qurra
21. King Abdul al-Aziz Univesity
22. Cairo University
23. „Ains Shams University di Mesir
24. Umdurman University Sudan
25. Ulumal-Qur‟an Sudan
26. Universitas Santo Tomas, Manila Fhilipina106
c. Lembaga-lembaga luar negeri
1. CIDA (The Canadian International Development Agency),
Kanada
2. TAF (The Asia Foundation)
3. The Ford Foundation
4. USAID (The United States Agency For International
Development)
5. AMNEF (America Indonesia Exchange Foundation), IIEF
(The Indonesian International Education Foundation),
Amerika Serikat
6. Japan Foundation Association, Jepang
7. JFPR (The Japan Fund For Poverty Reduction), Jepang
8. Toyota Foundation, Jepang
9. Japanese Government (Mombusho) Scholarship, Jepang
10. Konrad-Adenauer-Stiftung, Jerman
11. DAAD (Deuthcher Akademinscher Austausch Dienst),
Jerman
12. AusAID, (The Australia Government‟s Overseas Aid
Program), Australia
13. INIS (The Indonesia-Netherland Cooperation In Islamic
Studies)
14. ISIM (International Institute For The Study Of Islam In The
Modern World), Belanda
15. EFEO (Ecole Francaise d‟Extreme Oreint), Perancis
16. Islamic Cultural Center Iranian Embassy107
106Ibid., h. 29
107
Ibid., h. 30
BAB IV
ANALISIS DATA MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME
MAHASISWA UIN SYAHID JAKARTA
A. Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat.
Pembahasan ini secara keseluruhan merupakan penelitian, untuk melihat
kecenderungan pemikiran keagaamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
kerangka modernisme dan fundamentalisme Islam. Modernisme dan
fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan dalam religio-kultural Islam,
yang berusaha merumuskan, mengaplikasikan, dan mensinergikan Islam dalam
alam modernitas. Keduanya modernisme dan fundamentalisme Islam dapat
dibedakan karena kecenderungan penafsirannya yang berbeda ketika berhadapan
dengan doktrin agama (Al-Quran dan hadis) yang dijadikan landasan dalam
membangun masyarakat. Modernisme Islam cenderung elastic dan fleksibel
dalam menafsirkan doktrin agama, sedaangkan fundamentalisme Islam cenderung
rigid dan literalis. Perbedaan kecenderungan ini kemudian membuat keduanya
berbeda dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-masalah yang
berhubungan dengan (a) ijtihad, (b) preseden (teladan) zaman awal Islam, (c)
ijma, (d) pluralisme dan (e) hikmah. Kelima hal inilah yang akan penulis gunakan
sebagai indikator dalam melihat kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa
UIN Syahid Jakarta apakah cenderung bersifat modernis atau fundamentalis.
Menurut penulis sebelum membahas kelima hal diatas, ada baiknya
membahas tentang kesatuan pandangan modernisme dan fundamentalisme bahwa
Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan dalam membangun tatanan masyarakat
Pembahsan yang ini penting untuk melihat apakah informan mempunyai
kecenderungan yang sama dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa
Al-Quran dan hadis dapat dijadikan landasan dalam membangun tatanan
masyarakat, atau sebaliknya. Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya
“Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, tidak ada perbedaan
acuan atau dasar antara modernisme dan fundamentalisme dalam permasalahan
“Apa” yang harus dijadikan acuan dalam membangun masyarakat. Menurut Yusril
Ihza Mahendra:
“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama
berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk
membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud
doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”108
.
Dari pemaparan diatas, kita dapat melihat bahwa keduanya aliran
pemikiran modernis dan fundamentalis, bersepakat bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan
masyarakat muslim. Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa
UIN Syahid Jakarta, sebagian besar bersepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah Nabi
bisa dijadikan pedoman dalam membangun tatanan masyarakat. Sedangkan
sebagian kecil, mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi bisa dijadikan
acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, akan tetapi dengan
pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lainnya, mengatakakan tidak bisa dengan
alasan. Dan yang lainnya mengatakan masih dilematis. Berikut adalah
pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini.
108Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 29
1. Bisa. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar Untuk
Membangun Masyarakat.
Sebagian besar informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa Al-Qur‟an
dan Sunnah Nabi bisa dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh IBL.
“Ya. Bisa lah, Al-Quran dan hadis itu kan memang pedoman hidup umat
manusia”109
.
Hal senada juga diungkapkan oleh DNU bahwa tidak ada yang tidak diatur
dan dijelaskan oleh Al-Quran dan hadis, keduanya sudah mengatur segala-
galanya, dari hal yang besar sampai yang kecil.
“Oh sangat, sangat bisa. Islam itu sebenarnya memang sudah mengatur
segala-galanya melalui Al-Quran, yang kemudian dijelaskan oleh
perkataan, dan perbuatan nabi yang dinamakan hadits. Sebenarnya tidak
ada yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits semuanya ada
bahkan sampai hal-hal kecil juga, misalnya proses penciptaan manusia
ada di dalam Al-Qur‟an, dalam kehidupan sehari-hari, makan itu kan
harus menggunakan tangan kanan ga boleh pake tangan kiri, sampai
buang hajat saja sebenarnya diatur dalam Islam, harus doa dulu tidak
boleh berisik dll”110
.
Hampir sama dengan informan diatas, IHM menyatakan bahwa
penggunaan Al-Quran dan hadis dalam membangun tatanan masyarakat sudah
digunakan ketika Fathul Mekkah.
“Menurut saya bisa. Bisa banget pertama al-Quran dan hadits itu dikalau
kita menilisik dijaman Rasulullah ketika fathul mekkah. Fathul mekkah itu
dimana masyarakat madani ada disana itu yang muslim dan non muslim
109 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
110
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 20112
bersama-sama membangun negara yang tidak ada gontol-gontokan dan
itu landasannya itu Islam”111
.
Dari pemaparan pendapat sebagian besar informan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta diatas kita dapat melihat bahwa, penggunaan Al-Quran dan Sunnah Nabi
dimungkinkan dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, karena
kedua sumber utama hukum Islam ini, sudah mengatur segala-galanya baik itu
dalam masalah-masalah besar seperti sains, bahkan social, ekonomi dan politik,
sampai hal-hal kecil kehidupan manusia yang dilakukan sehari-hari. Dan
penggunaan sumber hukum ini, telah dan sudah digunakan dan dicontohkan oleh
Muhammad ketika peristiwa Fathul Mekkah, dimana muslim dan non-muslim
disatukan dalam satu simbol keagamaan Islam. Kecenderungan pendapat sebagian
besar informan ini, selaras dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa
Al-Qur‟an dan Sunnah nabi memang bisa dijadikan acuan atau dasar dalam
membangun tatanan masyarakat.
2. Bisa Dengan Pertimbangan. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan
Atau Dasar Untuk Membangun Masyarakat.
Sedangkan sebagian kecil informan seperti ISN dan IHN mengatakan bahwa
bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman dalam membangun tatanan
masyarakat akan tetapi dengan pertimbangan dan tambahan dalam penerapannya.
ISN melihat bahwa dibutuhkan dasar-dasar lain seperti ijma dan qiyas dan
kearipan-kearipan lokal bukan hanya Al-Quran dan hadis.
“Bisa, bisa Quran dan hadis itu. Ya kalau memang secara Islam
merupakan sumber kuat untuk mengatur kehidupan manusia baik itu
sosial ekonomi dan bernegara”. Tapi selain itu juga kan kita negaranya
111 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
banyak perbedaan-perbedaan suku bangsa dan budaya disini dibutuhkan
dasar-dasar hukum lain seperti ijma dan qiyas kan seperti juga kearipan-
kearipan lokal yang ada itu bisa dijadikan hukum jadi kita ini enggak
hanya terpaku hanya dengan quran dan hadits secara leterlek gitu loh.
Jadi ada ijma ada qiyas yang dalam Al-Quran gak ada dalam hadits gak
disebutkan tetapi kalau musyawarah-musyawarah para ulama para
pemimpin itu bagus ya itu bisa dijadiin hukum. Semisal dahulu itu waktu
perumusan negara ini kan ini apa ijma juga waktu merumuskan negara
kita Indonesia berasaskan dengan pancasila dan Bhineka Tungggal Ika itu
ijma itu kan di al-Quran gak ada Bhineka Tunggak Ika sama Pancasila.
Bhineka Tunggal Ika sendiri itu kan dari kitab itu Sutasoma, sedeangkan
kitab Sutasoma itu sendiri kan dari ajaran-ajaran leluhur kita pada masa
kerajaan Prabujayanegara, itu raja kedua Majapahit. Jadi sangat apa
menyeluruh. Jadi Quran dan hadis enggak begitu bisa dipaksakan yang
penting kalau di Quran dan hadis gak ada bisa di pake kesepakatan ulama
dan para pemimpin”112
Sedangkan IHN berpendapat bahwa penggunaan Al-Quran dan hadis
sebagai dasar dalam membangun masyarakat bisa kalau masyarakatnya
mempunyai keyakinan yang sama (Islam). Akan tetapi dalam masyarakat yang
plural, harus didasarkan pada kebaikan bersama dan asalkan tidak keluar dari
nilai-nilai yang ada dalam Al-Quran dan hadis.
“Bisa gak bisa, tapi sebaiknya kita lihat konteks dulu. Masyarakat mana.
Kalau di Timur Tengah kemungkinannya bisa karena mereka punya satu
keyakinan yang sama, ya kan Islam semuanya ga ada yang lain, terus
budayanya sama lagi. Tapi kalau dikita kan beda. Di kita bukan hanya
keyakinan yang beda tapi suku bahasa dan adat istiadat juga beda. Jadi
kondisional aja, asal begini enggak keluar dari nilai-nilai dalam Quran
dan hadis dan didasarkan pada kebaikan bersama. Itu aja kali”113
.
Dari pemaparan pendapat sebagian kecil informan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta diatas kita dapat melihat bahwa, penggunaan Al-Quran dan Sunnah Nabi
dimungkinkan dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, akan
tetapi dengan pertimbangan, dikarenakan setiap daerah mempunyai kondisi sosial
112 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
113
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
yang berbeda-beda seperti beraneka ragamnya suku, adat istiadat dan sudah
adanya kearipan-kearipan lokal yang tertanam sebelum datangnya Islam. Kondisi
inilah yang memungkinkan Al-Quran dan Sunnah Nabi tidak dapat diterapkan
secara menyeluruh ke masyarakat. Karena itu diperlukan dasar hukum lain seperti
ijma, qiyas dan disandarkan pada kebaikan bersama asalkan memang tidak keluar
dari dua sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi. Kecenderungan
pendapat sebagian kecil informan ini, selaras dengan modernisme dan
fundamentalisme Islam bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah nabi memang bisa
dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat. Akan tetapi,
penerapannya yang tidak kaffah, karena memperhatikan kondisi sosial
masyarakat, diberlakukannya qiyas dan penggunaan ijma yang diperluas pada
ijma para ulama setempat, bukan pada ijma dari zaman sahabat nabi dan
didasarkan pada kebaikan bersama yang tidak keluar dari Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi membuat kecenderungan ini lebih bersifat modernis. Karena menurut Yusril
Ihza Mahendra, kaum modernis memperluas konsep tradisional mengenai ijma-
yaitu konsesus mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum–
menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu
zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus diputuskan
dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Dan Ijma seperti itu tentu saja
tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah ditentukan oleh
doktrin, Hal ini berbeda dengan fundamentalisme Islam yang memandang ijma
zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim
hingga akhir zaman114
.
114
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
3. Tidak Bisa. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar
Untuk Membangun Masyarakat.
Berbeda dengan informan-informan diatas, yang mengatakan bahwa Al-
Quran dan Sunnah Nabi dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun
masyarakat, dan tentunya dengan pertimbangan yang telah disebutkan diatas,
SPO dan SHI berpendapat bahwa Al-Qur‟an dan hadis tidak bisa digunakan
dalam membangun tatanan masyarakat. SPO mengatakan bahwa karena di
Indonesia sudah ada UUD dan juga menurutnya:
“Kasihan orang Kristen dan juga kita kan bukan negara Islam”115
.
Senada dengan SPO, SHI menambahkan bahwa “formalisasi” Al-Quran
dan hadis dalam UU untuk membangun masyarakat akan dan selalu menimbulkan
masalah karena penafsirannya beragam dan hal ini tidak akan mendatangkan
kebaikan bersama. Dan juga menurutnya tidak semua solusi ada dalam al-Quran
itu, karena al-Quran hanya menerapkan landasan-landasan kebaikan. Tapi secara
personal penerapan Al-Quran dan hadis itu bisa.
“Al-Quran dan hadis itu kan banyak penafsirannya, para ulam itu banyak
berbeda-beda. Terus pemahaman ulama mana sebenarnya yang akan
dijadikan landasan? Apa kita bikin pemahaman sendiri. Nah kalau
pemahaman pemerintah gak sama dengan salah satu ulama terkenal
bagaimana? Nanti kan jadi cek-cok. Ketika al-Quran akan dijadikan UU
pasti banyak pertentangan enggak akan selalu mulus dan proses dalam
menjadikan landasan al-Quran itu justru tidak membawa kebaikan itu
akan mempersulit, memperumit dan akan menambah masalah sendiri bagi
pemerintah. Tapi secara personal bisa maksudnya tiap orang kan punya
keyakinan untuk menerapkan kebaikan. Tapi ketika dijadikan undang-
undang kepemerintahan itu kemudian yang akan jadi bermasalah. Karena
memang sejak dulu selalu bermasalah ketika al-Quran itu dijadikan
30
115
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
landasan dan masalahnya bukan pada isi al-Quran-nya, tapi ketika
diterapkan pada konteks tertentu itu ada yang menyatakan itu baik atau
enggak? Apakah sudah sesuai pemahaman terhadap al-Quran untuk
menerapkan kebaikan. Menurut saya dalam memahami al-Quran itu
banyak beraneka ragam dan penerapannya pun selalu beragama dan itu
akan menambah masalah sendiri dan solusinya tidak selalu berada dalam
al-Quran, karena kalau kita selalu melihat bahwa yang mengatakan
semua solusi ada dalam al-Quran itu salah, karena al-Quran hanya
menerapkan landasan-landasan kebaikan”116
.
Pemaparan pendapat sebagian kecil informan yang berbeda dengan
informan diatas yang mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi tidak bisa
dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, dengan alasan bahwa
negara Indonesia, bukanlah negara Islam dan juga beraneka ragamnya penafsiran
terhadap Al-Quran dan Sunnah Nabi, akan menambah sulit penerapan kedua
sumber hukum tersebut, hal ini akan diperumit karena akan bertentangan dengan
UU yang sudah dijadikan formula dalam mengatur dan membangun tatanan
masyarakat, kecenderungan ini berbeda dengan sebagian besar informan dalam
penelitian ini, dan hal ini juga bertolak belakang dengan keyakinan modernisme
dan fundamentalisme Islam yang mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi
bisa dijadiakn acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat.
4. Dilematis. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar
Untuk Membangun Masyarakat.
Sedangkan pendapat dilematis dikemukakan ROS. Ia mengemukakan
bahwa Al-Quran dapat dijadikan pedoman umat manusia dan dapat dijadikan
acuan dalam segala hal tapi dalam hubungan horizontal (sesama manusia) masih
banyak yang dilematis.
116 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
“Bisa sebenarnya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran dan
hadis. Quran itu pedoman bagi umat manusia untuk dijadikan sebagai
acuan dalam segala hal. Termasuk dalam persoalan sesama kita atau
vertikal dengan tuhan. Karena al-quran itu bersifat universal maknanya.
Tapi banyak yang masih dilematis terutama yang horizontal”117
.
Dari pemaparan informan ROS diatas, dalam hal hubungan dengan Tuhan
dan sesama manusia, penggunaan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat dijadikan
acuan, akan tetapi kompleksnya masalah manusia, menyebabkan masih banyak
yang harus dipertimbangkan. Pendapat ragu-ragu yang dikemukakan ROS dalam
hal ini, kemungkinannya masih bertanya-tanya kira-kira dalam masalah
masyarakat apa saja Al-Quran dan Sunnah Nabi dijadikan acauan atau dasar.
Akan tetapi, secara implisit kita dapat melihat pendapat ini bertolak belakang
dengan modernisme dan fundamentalisme Islam, dimana menurut Yusril Ihza
Mahendra, keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) meyakini bahwa
Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun
suatu tatanan masyarakat Islam, yang tentunya sesuai dengan maksud doktrin
yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu.
Dari acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat, aliran
pemikiran modernisme dan fundamentalisme diatas, kita dapat melihat bahwa
keduanya bersepakat tentang bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat digunakan
sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan masyarakat muslim.
Namun demikian, menurut Yusril Ihza Mahendra meskipun kedua aliran itu
mempunyai acuan atau dasar yang sama dalam membangun tatanan masyarakat
muslim, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin (Al-Quran dan
117 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
Sunnah Nabi) yang dijadikan landasan dalam membangun masyarakat
menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting.
“Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan
fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara
rigid dan litieralis”.118
1. Ijtihad
Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama diatas antara
modernisme dan fundamentalisme Islam, menurut Yusril Ihza Mahendra
menghasilkan perbedaan dalam memahami berbagai masalah, salah satunya
masalah-masalah yang berhubungan dengan Ijtihad. Pembahasan ini merupakan
hasil penelitian untuk melihat kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa
UIN Syahid Jakarta dalam masalah ijtihad yang dihubungkan dengan konsep
ijtihad aliran modernisme dan fundamentalisme Islam, sehingga diharapkan dapat
melihat kecenderungan ijtihad mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Ijtihad dalam
penelitian ini adalah mengacu pada perumusan ijtihad modernisme dan
fundamentalisme Islam. Sedangkan ijtihad secara istilah adalah usaha yang
sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang ulama tertentu yang
memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu untuk
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau beberapa
perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan positif, baik
dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis119
.
Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan
Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran
118 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, h. 29.
119
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 55
dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung
elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis
dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah
ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan fleksibel
terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam masalah-
masalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi ketentuan
umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus digalakkan. Itjihad
memunggkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan
umum itu dapat diimplementasikan kedalam suasana konkret, yaitu
suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat terentu.”120
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra Fundamentalisme Islam
melihat bahwa:
“Kaum Fundamentalis seiring dengan kecenderungan penafsirannya
terhadap doktrin yang bersifat rigid dan literalis, fundamentalisme
memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba
mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan
kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang
serba mencakup itu. Karena itu itjihad dengan sendirinya di batasi hanya
kepada masalah-masalah diantara doktrin tidak memberikan petunjuk dan
pengaturan sampai detail-detail persoalan.”121
Dalam bukunya “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU” Saiful Mujani mengatakan
bahwa terdapat sejumlah nas-nas doktrin agama tentang hukum muamalah
(kemasyarakatn) yang menimbulkan kontroversi dalam aplikasinya dalam
masyarakat seperti hukum potong tangan bagi pencuri, waris, dan kepemimpinan
wanita. Dan ketiga ijtihad terhadap hukum dalam ayat ini, menurut Saiful Mujani
dapat dijadikan dukungan terhadap fundamentalisme karena bacaannya yang
120 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
29
121
Ibid., hal. 31
literal dalam memaknai ayat-ayat tersebut. Sedangkan sebaliknya kalangan
modernis Islam menilai bahwa semangat yang mendasari ayat-ayat tersebut adalah
untuk menciptakan tatanan dan keamanan dalam masyarakat. Berikut adalah ayat-
ayat tersebut.
a. Ayat Hukum Potong tangan
انهه ا كسبا كانا ي ا جزاء ب ده وانهه وانسارق وانسارقة فاقطعىا أ
ه انهه تىب عه ه وأصهح فئ تاب ي بعد ظه انهه عزز حكى ف إ
غفىر رحى
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka
barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-
Maidah :38-39)
Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta, ada tiga pendapat berlainan tentang kebijakan hukum potong tangan
dalam Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 38-39. Berikut adalah pengkategorisasian
jawaban informan dalam penelitian ini.
1. Perlu dilakukan Ijtihad kembali.
Sebagian besar informan dalam penelitian ini, mengakui ini adalah salah
satu dari karakterisstik syariat Islam. Akan tetapi, secara umum mereka
menyatakan bahwa ayat tentang hukum potong tangan harus di ijtihadkan atau di
tafsir ulang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Muslim bersangkutan, seperti
penggantian solusi kebijakan potong tangan dengan penjara. Pergantian
penggunaan hukum potong tangan dengan penjara, lebih mengandung sisi
kemanusiaan. Seperti yang dikemukakan IHN.
“Ya memang benar bahwa ini adalah salah satu karakteristik hukum yang
ada dalam quran, tapi ini kan sifatnya masih belum jelas, menurut saya
kita harus mencari penetapan lain tapi bukannya menyalahi quran loh ya
ini hanya tentang bagaimana kita membuat semua orang yang ada dalam
wilayah itu bahagia, yang esensinya tidak menyalahi jati diri kita sebagai
seorang muslim, yang penting itu kan hukumannya entah bentuknya apa
yang jelas kalau ada orang yang berbuat jahat ya harus dihukum, dan itu
dengan landasan bahwa semua orang tidak merasa dirugikan dan
diberatkan. Ya kalau hukum potong tangan jangan lah, bisa syich tapi kita
belum siap untuk itu. Dan menurut saya juga hukum sekarang cukup lah
untuk mewakili potong tangan tersebut”122
.
SPO melihat bahwa hukum ini kurang mengandung rasa kemanusiaannya.
“Kalau saya kurang setuju aja, kalau mencuri potong tangan gituh loh.
Apa ya, rasa kemanusiaannya itu gak ada, lebih baik kalau misalkan yang
pencuri itu kita komunikasi, lu benar-benar mencuri ya? Jadi kalau
mencuri kemudian potong tangan no, itu rasa kemanusiaannya
kurang”123
.
Hal yang sama dikemukakan oleh ISN.
“Hukum potong tangan itu ya. Islam itu perlu tafsiran ulang itu. Al-Quran
memang hukum potong tangan ya pake arab ya. Kalau di Arab hukumnya
potong tangan tapi kalau di Indonesia itu kan hukum itu enggak bisa di
gunain disini karena kalau hukum potong tangan digunain disini yang
mayoritas masih gimana ya?, di pake di Indoenesia ya tahu sendiri kalau
kita jalan-jalan keluar jalannya pada buntung-buntung, di ganti dengan
kesepakatan ulama diganti dengan penjara. Kalau mau ditetapin potong
tangan pada buntung”124
.
Senada dengan informan diatas, menurut ROS dalam berhadapan dengan
ayat seperti ini (hukum potong tangan), harus diartikan sebagai peringatan.
122
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012
123
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
124
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
“Banyak dikalangan para ulama menafsirkan ayat tersebut sengat
berbeda-beda ada yang tekstual personal. Saya pikir dalam konteks ketika
kita dihadapkan pada ayat seperti ini harus diartikan sebagai peringatan
atau ajaran yang harus kita aplikasikan dalam konteks keislaman. Islam
itu bukan hanya nilai-nilai yang bersifat normatif”125
.
Sedikit berbeda dengan ROS, menurut IBL maksud dari ayat potong
tangan ini, yang dipotong itu bukan tangannya tapi kesempatannya, jadi
kesempatan untuk dia mencuri itu yang dipotong.
“Waduh, ribet ini, Gua syih bukan ahli tafsir, filsafat gua, hahahaha. Tapi
sepengetahuan gua dan keyakinan gua niyh ya, dari bacaan-bacaan yang
gua pahami, hukum potong itu, hmmm kan disana tertulis tentang
potonglah tangan keduanya, menurut gua syih yang di potong itu bukan
tangannya tapi kesempatannya, kesempatannya untuk dia mencuri itu
yang dipotong. Sepengetahuan gua niyh ya, tapi gua gak tau kalo ada
tafsir yang lain”126
.
2. Perlu dilakukan Ijtihad kembali, Tapi Perlu Diterapkan Pada Koruptor.
Sementara pendapat berbeda dalam objek penerapan hukum ini
dikemukakan oleh SHI. Menurutnya, hukum ini memang tidak bisa diberlakukan
dan harus di uji kembali apakah akan mendatangkan kebaikan bersama atau tidak.
Akan tetapi menurutnya hukum ini perlu di terapkan tapi khusus pada koruptor
yang mengambil uang negara.
“Tidak bisa hukum potong tangan, ini masalah kebijakan bukan prinsip.
Tapi lebih pada kebijakan atau peraturan, ya mungkin bisa bagi orang-
orang tertentu tapi. Potong tangan itu harus dilihat pada konteksnya,
asbabun nuzulnya. Karena setahu saya ayat ini sudah tidak berlaku saat
Umar dengan beberapa alasan bahwa ayat ini tidak sesuai lagi dengan
konteks ayat itu. Pada zaman rasul umar setuju. Di Indonesia harus diuji
lagi apalah hukum potong tangan akan memberikan kebaikan yang lebih
luas tidak, karena yang mencuri itu kebanyakan terpaksa tapi kalau
koruptor saya setuju potong tangannya, mereka itu sudah kaya tapi masih
125 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
126 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
nyomot-nyomot uang negara. Tapi kalau orang miskin mencuri karena
terpakasa, bagaimana ia mencari nafkah? Malah membunuh dia dong”127
.
3. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali.
Sementara itu, DNU memiliki pendapat berbeda dibandingkan dengan
sebagian besar informan lain. Ia menyatakan bahwa kewajiban seorang muslim
adalah mentaati apa yang sudah diperintahkan Tuhan dan rasul, bukan mentaati
apa yang sudah manusia buat.
“Nah ini dia salah satu yang membuat masyarakat kita itu ngeri, salah
satunya hukum potong tangan ini, coba deh baca lagi mas artinya
jelaskan dan surat itu juga dijelaskan lagi oleh Nabi bahwa apabila
Aisyah eh maksudah saya Fatimah, Fatimah anakku mencuri maka aku
sendiri yang akan memotongnya tangannya. Sebagai seorang muslim yang
baik, sebenarnya kita kan harus mengikuti perintah Tuhan dan Rasul-nya
kan, kalau ada yang mencuri yang potong tangannya, kalau sekarang kan
gak dipenjara kan, karena ini bukan negara Islam ini negara pancasila.
Tinggal milih mau ikut perintah Tuhan dan Rasul atau perintah buatan
manusia, kalau saya ikut yang pertama, kalau saya loh mas kalo yang lain
syich ya monggo”128
.
Dan hampir senada dengan DNU, menurut IHM bahwa memang
menurutnya hukum potong tangan bagi yang mencuri itu merupakan klimaks dari
perbuatan yang berulang-ulang yang dilakukan oleh individu, yang kemudian
dilakukan potong tangan jadi memang tidak dilakukan serta merta yang mencuri
potong tangan. Akan tetapi menurutnya, lagi-lagi bahwa hukum ini, belum bisa
diterapkan di Indonesia karena sudah ada UU yang jelas tentang itu.
“Yang saya yakini yang Allah turunkan dan yang diantarkan oleh jibril
dan diterima oleh muhammad ketika ada potong tangan di awal saya
sudah sampaikan kita lihat asbabunnujul-nya ayat itu turun, jangan
127 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
128
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
sampai intrepretasi kita malah mengartikan saklek dengan potong tangan.
Bisa kita lihat asbabunnujul-nya potong tangan itu. Beberapa pendapat
ulama mengatakan hukum potong tangan itu sebenarnya bentuk ketika
kita sudah benar-benar memuncak sudah berulang-ulang melakukan
kesalahan tersebut sudah diingatkan dan itu pun barulah dilakukan hukum
seperti itu dan itu bukan semerta-merta dilakukan hukum potong tangan
enggak sama sekali seperti itu. Dan tentunya dengan pertimbangan-
pertimbangan yang banyak. Kebijakan potong tangan itu ada pada
kebijakan seorang pemimpin bagaimana ulama-ulama itu bisa
menyingkapi pasti kan ketika jaman Rasulullah hukum potong tanga itu
ada. Tapi inget di Indonesia kita sudah punya UU yang jelas untuk saat
ini dan itu belum bisa, Yang bisa melakukan hukum potong tangan itu
adalah negara yang mengaplikasikan syariat Islam. Kalau di Indonesia
belum bisa”129
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
penelitian ini melihat ayat hukum potong bagi pencuri dalam Al-Qur‟an surat al-
Maidah ayat 38-39, harus diartikan sebagai peringatan dan perlunya pengijtihadan
kembali kebijakan hukum tersebut. Selain itu, usaha penemuan hukum baru
(ijtihad) selain potong tangan, yang digantikan dengan penjara dengan alasan
kondisi sosial masyarakat, rasa kemanusiaan, kebaikan bersama dan sudah adanya
UU, membuat kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa UIN Syahid
Jakarta dalam penelitian ini cenderung bersifat elastic dan fleksibel. Hal ini,
selaras dengan kecenderungan penafsiran modernisme Islam. Senada dengan
sebagian besar informan diatas, sebagian kecil informan hanya berbeda dalam
objek penerapannya, yang menurutnya perlu diterapkan terhadap para pelaku
korupsi. Dalam hal ini, kecenderungan ijihad ini masih bersifat modernis. Karena
dalam perspektif fundamentalis, penerapan hukum potong tangan bagi pencuri ini
tidak memilih kasus, tapi harus menyeluruh. Sedangkan sebagian kecil informan
129
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
dalam penelitian ini mengatakan bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dalam
Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 38-39, maknanya sudah jelas dan memang tidak
perlu diijtihadkan lagi. Kecenderungan penafsiran ini bersifat fundamentalis
karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis.
b. Ayat Tentang Hukum Waris
دكى أولىصكى انهـه فى نهذكر يثم حظ انأث
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan (An-nisa ayat 11).
Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kebijakan hukum waris dalam Al-
Qur‟an surat an-Nisa ayat 11. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban
informan dalam penelitian ini.
1. Perlu dilakukan Ijtihad kembali.
Menurut sebagian besar informan dalam penelitian ini, perlu dilakukannya
pengkajian ulang atas kebijakan hukum ini. Kebijakan yang didasarkan pada keadilan,
maslahat, musyawarah, dan kondisi keluarga yang ada dalam masyarakat. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh IBL.
“Kalo hukum waris kayak di Islam emang gitu syich, tapi, sebenarnya gua
lebih setuju lagi kalo dibagi secara adil antara laik-laki dan perempuan.
tapi kalo yang lain gak tau. Jadi kalo warisannya serebu gituh, ya dibagi
gope-gope. Nah itu baru adil ya gak”130
.
Hal ini senada juga dinyatakan oleh SHI.
“Waris konteksnya juga harus di kaji lagi. Ya karena untuk kebaikan tidak
ada yang pasti. Ga bisa dipukul rata, karena setiap orang punya kondisi
130 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
dan akan selalu beragam untuk solusinya. Rasul waktu itu masih dalam
lingkungan terbatas untuk saat itu, tapi untuk kebijakan memang harus
ditafsirkan ulang”131
.
Sedangkan SPO, menyatakan bahwa faktor kebutuhan dan peran yang
berbeda dalam setiap masyarakat membuat hukum ini perlu pengkajian ulang.
“Kalau pendapat aku sendiri syih harus di tafsir ulang, mungkin
ini kan konteks Arab jadi mungkin di Arab itu benar-benar laki-laki jadi
kepala keluarga, terus kemudian laki-laki dapat satu terus perempuan
dapat setengah. Mungkin laki-laki itu kepala keluarga yang harus
menghidupi istri dan juga anak-anaknya tapi kalau kemudian
konteksnya sekarang laki-laki tidak selamanya jadi kepala keluarga,
bahkan ada yang balance keduanya mencari nafkah, kemudian ada
yang isterinya aja yang mencari nafkah nah itu harus di tafsir ulang.
Menurut saya itu lebih kepada perannya kalau misalkan kebutuhan
perempuan lebih besar dari laki-laki gimana, kalau kebutuhan dan
perannya dalam keluarga itu penting gitu jadi di tafsir ulang aja gitu apa
yang kita lihat kondisi aja jangan ayatnya seperti itu terus kita ikutin
gituh gak apa ya saya rasa itu mengesampingkan akal kita”132
.
Hampir senada dengan SPO, IHN berpendapat bahwa hukum waris adalah
hukum keluarga jadi sebaiknya diserahkan pada keluarga dengan pertimbangan
musyawarah dan keadilan bagi semua anggota keluarga.
“Ya itu tadi sama mas kalau inikan hukum keluarga. Jadi sebaiknya
diserahkan ke keluarga tersebut. Asal itu tadi semua orang yang terlibat
dalam masalah ini bahagia semua gak ada yang merasa dirugikan jadi di
musyawarahkan aja. Tapi jangan sampai ada klaim gak islami atau gak
sesuai islam gituh, gk boleh itu. Itu urusan yang diatas, wong pelacur aja
ada koq yang masuk surga. Gitu loh mas”133
.
131 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
132
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
133
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012
2. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali.
Berbeda dengan sebagian informan lain DNU mengatakan bahwa ayat
waris ini memang sudah jelas dan detail jadi tidak perlu ada kajian ulang atas ayat
ini. Menurutnya.
“Coba lihat ayatnya oh ayat waris ini iya itu sama kalo saya syich gitu
kayak ayat potong tangan diatas memang harus gitu laki-laki dapat ¾
bagian. Ya gak pake kenapa-kenapa yan gak boleh ditafsir lagi itu kan
udah jelas perintahnya, kenapa harus di tafsir lagi, saya tuh bingung ma
temen-temen di UIN termasuk mas ini, mereka tuh lebih mengutamakan
akalnya daripada hatinya, baru baca teori-teori marx, feminis, teori-teori
sosial kayak gitu lah, udah merasa hebat aja mereka pikir mereka itu
siapa, mereka itu ibaratnya burung gereja yang meminum air dilautan ya
segitu yang mereka ambil dari Tuhannya”134
.
Senada dengan DNU, IHM menyatakan bahwa pada ayat tersebut
sebenarnya tersimpan keadilan yang tersembunyi, karena pada akhirnya harta
laki-laki akan menjadi harta perempuan juga, jadi memang hukum waris ini sudah
adil.
“Itu unik itu pertanyaan teman sma dulu. Bu kenapa bu perempuan dapat
lebih dikit dari laki-laki, guru agamanya perempuan. jawaban guru
agama saya simpel banget ya perempuan juga nanti dapat dari laki-laki
karena perempuan itu hartanya. Jadi kalau misalkan keluarga gitu kan
hartanya suami itu hartanya istri gitu kan jadi bukan hartanya suami jadi
kalaupun perempuan dapatnya setengah dia dapat satu juga karena suami
itu kan hartanya dibagi dua buat dia ama buat istrinya gituh jadi sama
aja. Adil gituh karena suami itu kepala rumah tangga jadi dia banyak
bebannya dibandingkan perempuan. itu sudah adil nanti kalau kita
bekeluarga pun yang saya rasakan pasti seperti itu, nanti juga hartanya
laki-laki juga hartanya perempuan”135
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
134
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
135
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
penelitian ini melihat ayat waris dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 11,
diijtihadkan kembali kebijakan hukum tersebut. Dan ijtihad hukum yang baru itu
harus didasarkan pada keadilan, maslahat, musyawarah, dan kondisi keluarga yang
ada dalam masyarakat, membuat kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa
UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini terhadap ayat waris diatas cenderung
bersifat elastic dan fleksibel. Hal ini, selaras dengan kecenderungan penafsiran
modernisme Islam. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini
mengatakan bahwa kebijakan hukum waris dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat
11, maknanya sudah jelas dan memang tidak perlu diijtihadkan lagi, karena itu
memang datangnya dari Tuhan, sudah adil, dan sebenarnya menyimpan kebaikan
tersembunyi bagi manusia. Kecenderungan penafsiran ini bersifat fundamentalis
karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis.
c. Ayat Tentang Kepemimpinan Wanita
عهى انساانرجال قى ءيى
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa
ayat 34).
Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kepemimpinan wanita dalam Al-
Qur‟an surat an-Nisa ayat 34. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban
informan dalam penelitian ini.
1. Perlu dilakukan Ijtihad kembali
Dari delapan informan, sebagian besar secara umum menyatakan bahwa
Al-Quran surat an-Nisa ayat 34 perlu ditafsirkan dan diijtihadkan ulang karena
menurut mereka bahwa laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Pertimbangan
kemampuan yang tidak didasarkan pada jenis kelamin merupakan faktor utama
ayat ini harus di tafsirkan ulang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh IBL.
“Ini kalo menurut gua ya, sesuai yang gua pahami aja ya. Menurut gua
syich simpel aja, kalo perempuan bisa ya kenapa enggak, yang dilihat kan
sebenarnya bukan jenis kelaminnya tapi kemampuannya. Kalo dia bisa
mimpin negara ya kenapa enggak. Jadi siapa yang yakin niyh merasa
mampu ya monggo maju. Tapi jangan blee juga dikita mah jadi
negarawan itu bukan dari hati, jadi dari kesadarnnya gitu, ini mah giliran
ada duit maju, gak ngeliat, jadi bertanya gitu, berdialog dengan dirinya
gitu, apa saya bisa gak, jangan jadi negarawan jadi-jadian. Ya jadi nya
gini niyh negara kita”136
.
Hal senada juga dikemukakan oleh SPO.
“Gak harus lihat skill aja. Bisa aja perempuan lebih dari laki-laki,
terlepas dari kekurangan dan kelebihannya. Kalau mau lebih lihat
kekurangannya seperti hamil, haid dan lain-lain, laki-laki juga punya
kekurangan gituh jadi ya dipertimbangkan mana yang lebih pantas aja,
kalau misalkan mau lihat kekurangan dari perempuannya hamil dsb, tapi
laki-laki juga punya kekurangan gituh, jadi yang mana diantara laki-laki
dan perempuan itu yang pantas jadi pemimpin dari kekurangan dan
kelebihan yang dimiliki itu aja. Banyak koq perempuan yang jadi
pemimpin kayak di inggris seperti Ratu Elizabeth. Sebenarnya ga
bertentangan ini kan harus kontekstual kalau di arab kan mungkin
konteksnya kayak gitu tapi kalau sekarang kan beda. Kalau aku lebih pada
perkembangan kondisi saat ini aja”137
.
Hampir sama dengan informan diatas, menurut ISN bahwa tidak masalah
perempuan memimpin dalam berbagai hal, karena dalam sejarah memang banyak
perempuan yang menjadi pemimpin dan itu berhasil.
“Yang penting punya kemampuan. Di kita buktinya namanya Ratu Tri
Buana Tungga Dewi itu ibunya Hayam Wuruk ratu itu bisa memimpin
negara Majapahit setelah Prabujayanegara itu kekuasaannya sanagat
luas dan bisa bersifat adil makmur. Maksud dari arti jalalukaumalannisa
itu kan dalam konteks keluarga jadi ibunya ini harus nurut sama sang
136
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
137
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
suami bagaimanapun walau pun istrinya ini seorang pejabat misal bupati
misalnya itu ketika sudah nyampai rumah harus tunduk sama suami.
Walau diluar rumah suaminya bawahan bupati perempuan itu,
tafsirannya ibu rumah tangga itu. Jadi kalau pemimpin negara gak apa-
apa”138
.
Sedangkan SHI melihat bahwa pemerintah, organisasi dan anggotanya
harus bekerjasama untuk menghasilkan pemimpin dan itu tidak dilihat dari jenis
kelamin.
“Ya iya, tapsirnya ini sudah beragam. Bagi saya konteks itu lebih penting
dari hanya pemahaman teks. Konteks dan hati nurani. Boleh wanita itu
mimpin mimpin negara, kenapa enggak. Tapi harus teruji dulu
kepemimpinannya. Laki-laki dan perempuan gak ada bedanya. Jadi
intinya pemerintah, organisasi, dan anggotanya harus bekerjasama.
Pemimpin ini bisa enggak memberikan sumbangan yang besar atau hasil
maksimal”139
.
Sedikit berbeda dengan informan diatas, IHN mengatakan bahwa hanya
dalam masalah agama saja perempuan harus tetap mengedepankan laki-laki
sebagai pemimpin.
“Gak-gak harus seperti itu, karena kalau zaman sekarang secara personal
perempuan juga ada yang melebihi laki-laki. Ini kan masalah mampu dan tidak
mampu kalau mampu ya gak apa. Saya yakin pereempuan bisa koq. Dalam
semua hal kalau perempuan bisa ya gak apa-apa. Oh ya tapi kalau masalah
agama selama ada laki-laki mas, perempuan harus memposisikan dirinya”140
.
2. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali
Berbeda dengan sebagian besar informan lainnya, DNU mengatakan bahwa
walaupun perempuan memang mempunyai kemampuan tapi perempuan memang
harus memposisikian dirinya di belakang laki-laki.
138 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
139
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 140
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
“Kalo saya syich selama ada laki-laki ya perempuan harus tau posisinya
walaupun mereka hebat tapi laki-laki juga kan banyak juga. Dan juga
urusannya perempuan itu ribet kalau mimpin negara ya kan, belum dia
hamil nanti itu kan 9 bulan mas, belum haidnya, dll. Jangan dech kalau
menurut saya mah ini urusan laki-laki. Perempuan itu sebaiknya berdiri
dibelakang laki-laki, mereka itu salah satu penyemangat paling hebat loh.
Tapi gak berarti posisi perempuan dibawah loh tapi lebih pada saling
mengisi satu sama lain”.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
penelitian ini melihat ayat dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 34, diperlukan
ijtihad kembali kebijakan hukum tersebut, yang didasarkan pada pertimbangan
kemampuan yang tidak didasarkan pada jenis kelamin. Hal ini, membuat
kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini terhadap Al-Quran surat an-Nisa ayat 34 diatas cenderung bersifat
elastic dan fleksibel. Hal ini selaras dengan kecenderungan penafsiran
modernisme Islam. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini
mengatakan bahwa kebijakan hukum kepemimpinan laki-laki tas wanita dalam
Al-Quran surat an-Nisa ayat 34, sudah cukup jelas karena menurutnya walaupun
perempuan memang mempunyai kemampuan tapi perempuan memang harus
memposisikan dirinya dibelakang laki-laki. Kecenderungan penafsiran ini bersifat
fundamentalis karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis.
2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam
Pembahasan ini merupakan hasil penelitian untuk melihat pemikiran
keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam masalah preseden (teladan)
tradisi zaman awal Islam yang dihubungkan dengan pemaknaan preseden tradisi
zaman awal Islam aliran modernisme dan fundamentalisme Islam. Menurut Yusril
Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam
Politik Islam”, kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara
modernisme dan fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam
berijtihad, mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah preseden
tradisi zaman awal Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang
dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa
Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan
menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang
bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat
beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal
prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini,
menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi
Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin
hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut
hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa
masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus
berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa
seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang
berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu,
seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya
tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang
dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan
para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian
berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.”141
“Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah
“sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau
demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman
sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin –
yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan
141 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
30
aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di zaman ini
pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim
yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan
aspirasi yang tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman
yang lampau.”142
Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan
tradisi Islam kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra:
“Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah
mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya
mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya.
Fundamentalisme memandang orang-orang yang hidup dizaman awal
lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam awal itu, yaitu
zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib
diwujudkan di segala zaman.”143
Tradisi di dalam penelitian ini dimaknai sebagai kerelevanan kebiasaan
yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, yang di batasi pada tradisi hukum
potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. Kerelevanan dalam penelitian ini
dimaknai sebagai cocok atau tidak pengaplikasian hukum tersebut dijaman
modern. Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kerelevanan tradisi hukum potong
tangan, waris dan kepemimpinan wanita. Berikut adalah pengkategorisasian
jawaban informan dalam penelitian ini.
1. Tidak Relevan.
Dari delapan informan yang dimintai pendapatnya tentang tradisi potong
tangan, waris dan kepemimpinan wanita apakah masih relevan atau tidak untuk
diterapkan di saat sekarang (modern), sebagian besar informan menyatakan bahwa
tradisi Islam tersebut sudah tidak relevan lagi. Secara umum, pertimbangan-
142Ibid., hal. 30
143
Ibid., hal. 32
pertimbangan yang dijadikan alasan adalah pertama, bahwa setiap daerah
mempunyai masalahnya sendiri-sendiri yang tidak bisa diterapkannya ketiga
hukum itu. Kedua, ketiga hukum itu (potong tangan bagi yang mencuri, waris dan
kepemimpinan wanita) tidak bisa menjaga kemaslahatan atau kebaikan bersama
karena setiap daerah berbeda budaya dan akan menimbulkan ancaman bagi yang
lain (non-Muslim). Hal ini seperti diungkapkan oleh SHI.
“Yang jelas setiap daerah punya perbedaan masing-masing karena setiap
daerah punya masalahnya masing-masing. Satu masalah ya satu solusi.
Ya saya berani mengatakan itu hukum potong tangan, saol wanita
dipimpin ama laki-laki dan hukum waris tidak relevan. Karena zaman
modern solusinya harus ditemukan benar-benar, mengatasi tidak bisa oh
ini diterapkan di masa Rosul pasti benar ini gak bisa. Kalau gitu caranya
ya sama kayak jaman raja pokoknya manut-manut aja sama pemimpinnya
ga ada solusi yang diberikan”144
.
Senada dengan SHI, IHN menambahkan bahwa diluar masalah ibadah, ia
mengatakan bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita sudah
tidak relevan lagi diterapkan.
“Gak gak relevan yang kita bicarakan tadi kan, diluar hukum ibadah niyh
loh ya. Karena itu tadi, kalau saya dasar hukum itu yang paling penting
adalah menjaga kemaslahatan dan kebaikan bersama. Kalau kemudian
ketetapan hukum itu mencurangi bagian lain, maka hukum itu wajib untuk
diganti atau di hapus”145
.
Menurut ROS bahwa hukum potong tangan, waris, dan kepemimpinan
wanita memerlukan pengkajian ulang. Ketiga hal itu, dapat relevan asal menjadi
kesepakatan bersama, akan tetapi di negara yang beranekaragam, hal itu tidak
relevan karena dapat menimbulkan ancaman bagi yang lain.
144 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
145
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
“Semua tradisi hukum yang kita bahas tadi seperti potong tangan, waris
dan masalah pemimpin laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak relevan
tapi masih bisa diterapkan dengan alasan menjadi kesepakatan bersama
di komunitas bersama dan di keyakinan bersama juga. Tapi dalam konteks
kita bernegara itu hampir semua warga negara punya keyakinan yang
berbeda hal seperti itu kalau dijadikan dalam aturan bernegara pasti akan
jadi ancaman bagi yang lain. Syariat Islam itu tidak relevan lagi di
terapkan dalam konteks bernegara. Tapi lebih pada ketika hal-hal seperti
itu kita terapkan dalam kontek kehidupan bersama seorang muslim harus
ada semacam kesadaran bersama tanpa harus diterapkan dalam bentuk
UU yang harus dipatuhi oleh semuanya”146
.
Hal ini ditegaskan oleh ISN bahwa, di Indonesia sudah ada UU dan ini
merupakan kesepakatan ulama dan para pemikir-pemikir, jadi kesepakatan
hukumnya sudah sah. Dan juga negara ini menurutnya bukan negara yang
berdasaran Islam.
“Tergantung negara. Kalau negara kita belum itu kan negara kita kan
menggunakan hukumnya UU. UU itu bikinan manusia, UU itu ijma
kesepakatan para pemikir pemikir, para ulama, kalau itu sudah
kesepakatan berarti itu sudah sah”147
.
“Hukum waris masih relevan tapi yang menggunakan sebagian-sebagaian
untuk kemaslahatan”148
.
“Kita gak apa-apa mau pemimpinnya wanita laki laki gak apa-apa inin
kan negara ini apa bebas yang bukan berdasarkan Islam”149
.
Senada dengan informan diatas, IBL berpendapat hanya soal ibadah yang
masih relevan sedangkan yang lainnya kurang relevan.
“Soal ibadah doang syih kalo menurut gua mah, yang sangat dan sangat
relevan gak boleh itu ditambah-tambah misal solat asar jadi 5 rakaat gitu
atau waktunya diubah, jangan-jangan gak boleh itu. Soal yang lain
146 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012
147
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
148
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta,12 September 2012
149
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
misalnya hukum potong tangan, jangan lah kasihan masyarakat kita de ya
gak”150
.
“Terus apa tadi waris tadi kan, emang bagus syich bagi gua tapi kasihan
cuy perempuan, ade gua soalnya banyakan perempuan yang cowok cuma
gua doang. Astagfirullahaladzim, ampunilah aku ya Allah, hahahaha”151
.
“Terus yang satu lagi tadi soal apakah perempuan boleh mimpin ya,
menurut gua mah yang penting itu, tidak melanggar batas-batas yang
ditentukan aja, yang penting itu, asal dia mampu yang silahkan”152
.
Berbeda dengan informan lainnya diatas, SPO memberikan jawaban
sederhana soal ketidakrelevanan ketiga tradisi potong tangan, waris dan
kepemimpinan wanita.
“Tradisi. Yap. Intinya akumah Beda kodisi sosial maksudnya begini kopi
ini cocoknya pake gula apa misalnya, tapi kemudian kita kasih gula yang
lain ya gak akan cocok jadinya. Ya kayak gituh”153
.
2. Relevan.
Berebeda dengan informan lainnya, IHM mengatakan bahwa hukum
potong tangan, waris dan kepemimpinan laki-laki diatas perempuan, masih
relevan di terapkan karena banyak mengandung manfaatnya.
“Kalau menurut saya sangat relevan, kenapa karena banyak ibrohnya
sebeanarnya. Kita lihat dari sisi potong tangan, ketika itu memang sudah
klimaks, dan itu merupakan sebuah aib jadi ketika akan melakukannya
lagi, menurut saya kemungkinannya lebih kecil daripada hukum yang
sekarang penjara gitu kan hanya beberapa tahun sudah bebas gitu kan
efek jeranya kurang apa lagi di penjara dengan fasilitas yang mewah jadi
kurang adil”154
.
“Karena gak ada lagi nanti perselisihan adil gak adil. Yang paling jelas
itu adalah waris sampai ukurannya pun ada sampai cucunya pun bisa
150 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012
151
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012
152
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012
153
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta 15 September 2012
154
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
dapet sampai segitunya itu jelas banget kalau dirubah itu bagi saya
kurang relevan jadinya. Karena sudah jelas Allah bilangnya seperti itu
rasul juga jadi enggak ada perselisihan jadi menurut saya sangat baik
menggunakan hukum waris Islam. Karena itu sangat adil”155
.
“Kalau yang pemimpin jatuhnya itu musyawarah, maksudnya ketika
memang sudah tidak ada pilihan lain baru kemudian permpuan tapi
karena laki-laki punya porsi istimewa yang allah berikan. Tapi bukan
berarti laki-laki lebih baik”156
.
Hal senada juga diungkapkan oleh DNU bahwa hukum potong tangan,
waris dan kepemimpinan wanita dalam Islam masih relevan diterapkan di masa
sekarang.
“Masih dan sangat relevan sekali kalau kita melihat kondisi sekarang,
dimana moralitas itu sudah hancur banget. Maka hukum potong tangan
ini bisa dan bagus untuk diterapkan, tinggal para pemimpinya saja
apakah mereka mau atau tidak. Kalau saya syich siap untuk itu”157
.
“Kalau hukum waris dalam Islam memang ketentuannya sudah seperti itu
tidak boleh dirubah-rubah lagi. Dan ini merupakan ketetapan Tuhan,
hitungannya sudah jelas dan saya yakin ini dapat mendatangkan kebaikan
bagi kita”158
.
“Perempuan harus memposisikan dirinya, sebagi pelengkap bagi laki-laki
dan menurut saya kepemimpinan memang laki-laki memang harus diatas
perempuan. ya karena itu memang perintahnya”159
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
penelitian ini melihat tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita
sudah tidak relevan lagi diterapkan pada saat sekarang (modern). Hal ini,
membuat kecenderungan pemaknaan informan tentang tradis zaman awal Islam
155 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
156
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
157
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
158
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
159
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
cenderung bersifat modernis. Karena kalangan modernisme memandang tradisi
awal yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman
Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan
menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih
bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus
berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun
mampu menahannya. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini
mengatakan bahwa tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih
relevan diterapkan pada saat sekarang (modern). Hal ini, membuat kecenderungan
pemaknaan informan tentang tradis zaman awal Islam cenderung bersifat
fundamentalis. Karena fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam
adalah mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya
mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya.
3. Ijma
Menurut Yuril Ihza Mahendra, perbedaan dalam kecenderungan
penafsiran antara modernisme dan fundamentalisme Islam, bukan hanya
menibulkan perbedaan dalam masalah ijtihad dan preden zaman awal Islam, tapi
juga menghasilkan perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah ijma.
Berikut adalah pandangan ijma menurut kalangan modernisme Islam:
“Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis
terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga
memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat
diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini
dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang
melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga
kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis
juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus
mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi
konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu
zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus
diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti
itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah
ditentukan oleh doktrin.”160
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam
memaknai masalah ijma:
“Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang
mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman. Ijma
demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh generasi
yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbeda-dengan
kaum modernis- yang pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan tabi l-
tabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh para
ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.”161
Dari delapan orang informan, sebagian besar sepakat bahwa harus
diberikan apresiasi terhadap ijma-ijma terdahulu asalkan tidak taklid162
, karena
mereka adalah orang yang pintar, menjadi tulang punggung dan dihormati oleh
masyarakat163
. Dan karena sanad keilmuannya jelas yaitu datang dari Nabi
Muhammad sendiri164
. Selain itu ijma-ijma para ulama terdahulu ketika
mengeluarkan ketetapan hukum atas suatu masalah, ada proses yang panjang dan
tidak sembarangan orang165
. Berbeda dengan sebagian besar informan SPO tidak
mau diatur-atur dengan hal-hal seperti itu (ijma).
“Gak setuju, jadi apa ya kalau aku pribadi, aku orangnya memang gak
mau terlalu diatur-atur dikekang, i have my own conditions, yang beda
160 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
30
161
Ibid., hal. 32
162
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012
163
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
164
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
165
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
dengan orang lain ya kalau gak setuju dengan kondisi saya ngapain ikut
yang kayak gituh”166
.
Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitan, terhadap delapan mahasiswa UIN
Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang apakah ijma para ulama-ulama
pada zaman dahulu (tabiin dan tabi l-tabi‟in) dapat diperbaharui atau tidak.
Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini.
1. Ijma Zaman Tabiin Dan Tabi L-Tabi‟in Dapat Diperbaharui
Sebagian besar informan dalam penelitian ini, berkeyakinan bahwa ijma-
ijma para ulama terdahulu itu bisa diperbaharui sesuai dengan pertimbangan
jaman asalkan tidak keluar dari sumber hukum167
dan melibatkan bukan hanya
para ulama tapi juga para insan akademis diluar ulama168
, tetap mengacu pada
ijma terdahulu169
. Hal ini seperti diungkapkan oleh IHN.
“Tentu bisa, asal itu tadi tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal
yang ada dalam sumber hukum utama yang kita sebutkan tadi”170
.
Hampri senada dengan IHN, IBL mendasarkan pada kondisi zaman dan
masyarakat yang membuat ijma itu bisa diperbaharui.
“Ya boleh lah dirubah ijma itu, ya yang sesuai dengan zaman atau
masyarakatnya aja sesuai yang gua bilang di awal de tentang hukum
waris, potong tangan sama apakah wanita boleh mimpin gitu”171
.
Selaras dengan informan diatas, ROS mengatakan bahwa ijma itu bukan
sesuatu yang bersifat eksklusif tapi harus menjadi sesuatu yang inklusif agar bisa
melahirkan ijma-ijma baru yang masih relevan.
166 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta 15 September 2012
167
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
168
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta 10 September 2012
169
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
170
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
171
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 14 September 2012
“Ijma, hal-hal seperti itu harus diapresiasi itu kan ijtihad yang
kemudian dijadikan ijma yang harus dipatuhi oleh umat islam tapi tidak
berarti hal-ha seperti itu tidak bisa dirubah lagi. Hal-hal itu harus
senantiasa bersifat inklusif. Yang melahirkan bentuk- bentuk ijma baru
yang nanti masih bisa relevan dan kita pahami untuk dijadikan acuan
dalam konteks kehidupan”172
.
Kewajiban untuk tidak mempertahankan ijma terdahulu juga dikemukakan
oleh SHI, bahwa masalah-masalah itu sekarang semakin kompelks bukan hanya
datang dari agama tapi dari wilayah sosial, oleh karena itu perlu melibatkan
banyak orang dalam membuat keputusan hukum.
“Jelas bisa. Kalau dulu orang-orang yang memberikan ijma solusi itu
ulama-ulama keagamaan tapi sekarang bukan, ijma itu bukan hanya ahli
agama karena pemasalahan tidak hanya datang dari agama,
permasalahan itu datang dari masalah sosila, teknologi dan yang ahli
dalam bidang itu juga harus dilibatkan terhadap ijma karena kalau ahli
agama itu gak mungkin dan enggak akan menghasilkan solusi kalau
masalahnya bukan dari agama sebenarnya. Itu bagaimana kiai-kiai
ulama-ulama memberikan solusi? padahal mereka bukan ahlinya
makanya harus mengandalkan orang-orang yang punya kompetensi dalam
bidang itu kalau dalam masalah kemiskinan sosiologi ya harus dilibatkan
dalam ijma itu bukan MUI. Ijma itu bukan hanya ulama-ulama MUI”173
.
2. Ijma Tabiin Dan Tabi L-Tabi‟in Dapat Diperbaharui Dengan
Pertimbangan
Sedikit berbeda dengan dua orang diatas, ISN mengatakan bahwa ijma-
ijma pada zaman dahulu tetap dipakai acuan, dalam merumuskan ketetapan
hukum, tapi bukannya tidak bisa dirubah. Ia juga menambahkan bahwa ijma itu
tergantung dari setiap wilayah, karena setiap wilayah mempunyai ijma tersendiri.
“Jadi memberikan suatu penghargaan ijma-ijma menggunakan ijma-ijma
beliau terdahulu itu digunain aja. Nanti kalau kita bikin ijma sendiri. Itu
172 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
173
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
waktu permasalahan pancasila dasar-dasar negara itu kan ijma sendiri
bukan ijma mereka tapi itu seiring perkembangan jaman kan
permasalahan semakin komplek butuh pemikiran-pemikiran, itulah akan
timbul ijma-ijma yang baru”174
.
“Kalau ijma zaman dahulu Gak bisa dirubah semisal pendapatnya salah
satu imam. Biarlah itu pendapat beliau tapi kalau sekarnag pendapatnya
itu kan kadang-kadang bisa dipakai atau enggak tapi kalau enggak bisa
dipakai pemikir-prmikir sekarang kita berpikir lagi sesuai dengan konteks
sekarang. Jadi bukan pemikiran mereka yang dirubah. Ijma itu kan
tergantung dari setiap wilayah setiap wilayah kan punya ijma sendiri-
sendiri”175
.
Pendapat hampir sama dengan ISN dikemukakan oleh IHM ijma bisa
diperbaharui tetapi dengan catatan bahwa kita tetap harus mengacu pada ijma
terdahulu.
“Itukan mengqiyaskan kondisi dulu ke jaman sekarang. Bisa jadi
pendapat dulu belun ada disekarang gituh contohnya uang pada zaman
rasulullah itu kan adanya dinar sama dirham tapi kita memakai uang
kertas gitu kan ini merupakan suatu proses yang panjang pake uang
kertas. Jadi bukan diperbaharui bahasanya tapi bukan diperbaiki juga
sebenarnya dirubahpun enggak tapi menurut saya tetap haru mengacu
kepada ijma yang sudah ada ditetapkan. Ijma itu kan mengikuti kondisi
dan tempat sebenarnya, tapi mengan catatan mengikuti ijma yang
sebelumnya. Jadi ijma yang dulu gak kepakai dan diganti dengan ijma
yang baru”176
.
Berbeda dengan informan lainnya, DNU mengatakan bahwa ijma dapat
diperbaharui, asalkan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi, tapi
ia menambahkan bahwa para ulama sekarang tidak bisa menandingi kemampuan
ulama zaman dahulu dalam perumusan hukum Islam (fiqh).
“Kalau tidak bertentangan dengan al-quran dan hadis ya boleh dirubah
asal jangan dikorbankan untuk perkembangan jaman aja. Jangan atas
nama jaman berubah terus kita boleh mengubah-ngubah syariat gitu ya
174 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
175
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
176
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 Septeber 2012
gak boleh lah. Dan juga para ulama sekarng kan menurut saya gak ada
yang bisa menandingi kemampuan mereka dalam merumuskan fiqh.
Intinya gini mas kalau ulama zaman sahabat, tabiin seperti zaid bin tsabit,
abu hurairah, dll sudah bersepakat tentang masalah hukum ya harus
diikuti, karena mereka ya tadi sanad keilmuannya jelas mereka itu belajar
agamanya ke nabi Muhammad”177
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
penelitian ini, tidak melupakan sumbangsih ijma-ijma terdahulu, hal itu dapat
dilihat dari pemberian apresiasi (penghargaan) terhadap hasil ijma ulama-ulama
terdahulu. Akan tetapi, sebagaian besar informan memandang bahwa ijma-ijma
para ulama terdahulu (tabiin dan tabi l-tabi‟in) dapat diperbaharui. Hal ini,
membuat kecenderungan pemakanaan dalam melihat masalah ijma sebagian besar
informan dalam penelitian ini cenderung bersifat modernis. Karena kalangan
modernisme Islam memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi
terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal
ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang
melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan
memperbaharui ijma para sahabat nabi.
4. Pluralisme
Kecenderungan penafsiran modernisme yang bersifat elastis dan fleksibel
dan fundamentalisme Islam yang rigid dan literalis dalam menghadapi doktrin
agama, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah,
khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan cara beritjihad yang,
modernisme lebih menekankan pada kritisisme historis yang dilandasi oleh
177
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 20112
semangat perkembangan zaman, sedangkan fundamentalisme lebih pada
keterangan dari teks doktrin agama. Selain itu, kecenderungan penafsiran ini juga
mengakibatkan perbedaan dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal
nabi dan para sahabat, apakah mengikat secara keseluruhan atau hanya prinsip-
prinsipnya saja. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan modernis dan
fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan
diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme dan hikmah.
Menurut Yusril Ihza Mahendra pandangan dasar modernis yang saling
berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang positif
dalam melihat pluralisme.
“Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula
pluralisme tetap ada. Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim
adalah umat pertengahan dan umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada
seluruh manusia. Mereka menjadi penengah antara kecenderungan-
kecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat-umat yang lain.”178
Sedangakan menurut Yusril Ihza Mahendra pandangan dasar
fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan
diatas yaitu, sikapnya yang cenderung memandang negatif dan pesimis kepada
pluralisme.
“Fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada
pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu
antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara
kafah (menyeluruh) dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan
mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai
sejarah pertentangan antara dua golongan masyarakat ini, yang
disimbolkan dengan sejarah para Nabi dan para penentangnya”179
.
178Ibid., hal. 31
179
Ibid., hal. 32
Dalam pembahasan ini pluralisme dalam pandangan modernisme dan
fundamentalisme di sandingkan dan diukur dengan sikap toleransi dalam
memaknai tiga hal yaitu; Apakah boleh seorang muslim memberikan salam
kepada non-muslim? Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin non-
muslim? Dan apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama
melakukan gotong royong atau bakti sosial?
a. Apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada non-
muslim?
Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang apakah boleh seorang muslim
memberikan salam kepada non-muslim. Berikut adalah pengkategorisasian
jawaban informan dalam penelitian ini.
1. Boleh Seorang Muslim Memberikan Salam Kepada Non-Muslim.
Dari delapan informan sebagian besar informan menyataan boleh bagi
seorang muslim memberikan salam kepada non-muslim, dengan alasan bahwa itu
baik180
, budaya Islam bisa menjadi budaya nasional181
, doa182
dan sesama agama
samawi183
. Berikut adalah pendapat-pendapat yang menyatakan boleh bagi
seorang muslim memberikan salam bagi non-muslim menurut ROS.
“Ya kenapa juga itu kan baik jadi membudayakan Islam juga coba kalau
orang non-muslim menjawab salam kita itu kan baik artinya mereka juga
mengakui kehadiran dan arti budaya kita juga kan. Dan bisa jadi budaya
180 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
181
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
182
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
183
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
Islam menjadi nasional loh mas nah itu kan bagus. Pengislamisasian
secara diam-diam”184
.
2. Tidak Boleh Seorang Muslim Memberikan Salam Kepada Non-Muslim.
Dari delapan informan sebagian kecil menyatakan tidak boleh memberikan salam
kepada non-muslim185
, dan lebih baik diganti dengan selamat pagi atau apa
khabar186
, good morning187
. Berikut adalah pendapat-pendapat yang menyatakan
tidak boleh bagi seorang muslim memberikan salam bagi non-muslim menurut
DNU.
“Ooooh paham begini mas soal apa tadi, salam kepada non-muslim
assalammualaikum gitu kalau saya lebih senagn mengucapkan apa khabar
aja, senang berkenalan dengan anda, kalau salam gak dech kayaknya,
tapi bukan berarti saya enggak menghargai mereka loh ya”188
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
penelitian ini, cenderung bersifat modernis karena memandang positif terhadap
keanekaragaman dengan memberikan salam tanpa melihat identitas keagamaan.
Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini, cenderung bersifat
fundamentalis, hal ini dapat dilihat dari ketidak setujuan informan untuk
memberikan salam bagi non-muslim dan hanya mengkhususkan salam terhadap
sesama muslim saja.
b. Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin non-muslim?
Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang Apakah boleh seorang muslim
184 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
185
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 September 2012
186
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012
187
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta 12 September 2012
188
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012
memilih pemimpin non-muslim. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban
informan dalam penelitian ini
1. Boleh Seorang Muslim Memilih Pemimpin Non-Muslim
Mengenai pertanyaan ini, dari delpan informan sebagian besar informan
menyataan boleh bagi seorang muslim memilih pemimpin non-muslim dengan
pertimbangan dapat memimpin189
, tidak masalah karena pemimpim itu diatur oleh
UU dan itu tidak diluar Islam190
, visi misi yang baik dan adil191
, selama tidak
menghalangi umat Islam menjalankan Syariat Islam dan berdakwah192
. Berikut
adalah pendapat yang menyatakan bahwa boleh seorang muslim memilih non-
muslim. ROS menyatakan bahwa.
“Boleh juga gak apa-apa apa lagi kalau kita lihat pendapatnya ibnu
khaldun pemimpin non muslim yang adil itu lebih baik daripada pemimpn
muslim yang yang tidak adil. Itukan salah satu refleksi yang kemudian
harus di transformasikan dalam konteks kekinian yang serba komplit
termasuk dalam konteks kepemimpinan. Yang penting itu tidak
mengancam pada keyakinan kita misalkan pemimpin non-muslim
menerapkan aturan-aturan main yang ada dalam aturan kristen justru itu
yang harus di wasoadai tapi selama pemimpin itu mempunyai visi misi
yang baik dan adil bisa saja kita memilih itu. Kalau tidak adil itu juga
harus di tolak itu yang harus kita pertimbangkan”193
.
Senada dengan ROS, IHM memiliki pertimbangan yang sedikit berbeda.
Menurutnya boleh seorang muslim memilih non-muslim dengan pertimbangan
dikalangan muslim sudah tidak ada figur yang bagus memimpin.
“Prinsipnya sama dalam memilih pemimpin perempuan ketika memang
sudah tidak ada lagi laki-laki yang memimpin pada akhirnya kan
189 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
190
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012
191
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012
192
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
193
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012
perempuan naik sama seperti dengan pemimpin non muslim kalau
memang sudah tidak ada kriteria yang bagus dikalangan muslim yang gak
jadi masalah, yang jelas selama dia tidak serta merta menghalangi umat
Islam untuk menjalankan syariat Islam, untuk berdakwah dan apabila itu
dilarang itu baru bahaya. Tapi ketika ada yang islam milih yang Islam
saja”194
.
2. Tidak Boleh Seorang Muslim Memilih Pemimpin Non-Muslim
Berbeda denga tujuh informan lain, DNU menyatakan bahwa tidak boleh
sorang muslim memilih pemimpin non-muslim.
“Gak gak boleh masih banyak koq pemimpin non muslim hidayat nur
wahid itu bagus loh mas tapi masyarakat kita kan ya gitu belum mengerti
ya mau apa lagi. Wawlahuallambisohab”195
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam
penelitian ini, cenderung bersifat modernis karena memandang positif terhadap
keanekaragaman dengan menyatakan bahwa boleh seorang muslim memilih
pemimpin non-muslim. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini,
cenderung bersifat fundamentalis, karena memandang negatif pluralisme, hal ini
dapat dilihat dari ketidaksetujuan seorang muslim memilih pemimpin non-
muslim.
c. Apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama
melakukan gotong royong atau bakti sosial?
Mengenai pertanyaan ini, dari delapan informan semuanya menyatakan
bahwa melaukan gotong royong atau bakti sosial boleh, dengan alasan yang
194 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
195
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012
penulis rangkum sebagai berikut tolong menolong196
, baik197
, fardu ain198
.
Menurut IHM hal tersebut boleh selama tidak keluar dari batas-batas yang
ditetapan oleh Al-Qur‟an dan hadis.
“Gak apa-apa ibrohnya soalnya banyak yang terkandung dalam gotong
royong dan kerja bakti itu. dan rasulullah memang menyuruh kita untuk
melakukan itu, asal itu tadi tidak keluar dari batas-batas yang ditetapkan
oleh Quran dan hadis”199
.
Senada dengan IHM, DNU mengatakan bahwa hal itu memang
dicontohkan oleh Rasulullah ketika di Madinah.
“Kalau gotong royong ya boleh lah kita kan memang harus saling tolong
menolong antar sesaman manusia kan. Nabi juga mencontohkan itu ketika
di Madinah”200
.
Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, semua informan dalam penelitian ini,
cenderung bersifat modernis karena memandang positif terhadap keanekaragaman
(pluralisme) dengan menyatakan bahwa boleh seorang muslim dan non-muslim
bersama-sama melakukan gotong royong atau baktu sosial.
5. Hikmah
Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut Yusril Ihza Mahendra ada
dua pandangan modernis dan fundamentalis Islam yang saling berhubungan
dengan pandangan-pandangan diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme
dan hikmah. Modernisme Islam cenderung melihat hikmah secar terbuka untuk
196 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012
197
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta 12 September 2012
198
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta 10 September 2012
199
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 September 2012
200
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012
beradaptasi dan mengakulturasi hikmah yang telah disumbangkan oleh peradaban
lain termasuk Barat.
“Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya
mendorong modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi
mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada
kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan berpegang teguh kepada
salah satu hadis mengenai “hikmah” (kebijaksanaan), modernisme
cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsip-
prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh
masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan
mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis
yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara
konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis.
Mereka bebas mencari hikmah, karena mereka percaya bahwa evolusi
kebudayaan manusia sebenarnya bergerak menuju nilai-nilai yang
ditunjukkan Islam. Sedangkan nilai-nilai Islam, menurut mereka, adalah
nilai-nilai universal yang sesuai dengan the human nature (watak
manusia), sungguhpun secara formal tentulah tidak semua manusia
memeluk agama Islam.”201
Sedangakan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam yang
saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang
cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, karena sikapnya
yang memandang negatif terhadap pluralisme maka hikmah tidak perlu dicari di
masyarakat yang bersifat jahiliyah seperti Barat. Berikut adalah pandangan
fundamentalisme dalam memaknai masalah hikmah.
“Maka hikmah (kebijaksanaan) tidak perlu dicari dalam masyarakat yang
telah jelas-jelas bersifat Jahailiah itu. Karena itu, fundamentalisme
cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan
berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan
oleh masyarakat lain. Memang, bagi fundamentalisme, manusia didunia
201Ibid., hal. 31
ini hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi “mu‟min” atau menjadi
“kafir.”202
Dalam pembahasan ini masalah hikmah dalam pandangan modernisme
dan fundamentalisme diukur dengan dua hal yaitu, pertama, Adakakah nilai-nilai
dari negerti Barat yang sesuai dengan tradisi Islam? Kedua, menurut anda perlu
kah seorang muslim belajar tentang nilai-nilai Barat?. Dari delapan informan
sebagian besar menyatakan bahwa banyak nilai-nilai dari negeri barat yang sesuai
dengan tradisi Islam seperti penghormatan terhadap akal pikiran203
, demokrasi204
,
kebersihan205
. Dan semuanya juga menyatakan bahwa boleh seorang muslim
belajar nilai-nilai Barat karena kebudayaan Barat merupakan representasi dari
kebudayaan sebelumnya yaitu Islam206
. Hal ini seperti diutarakan oleh IBL.
“Gua cerita niyh ama lu sebentar ya. Ternyata dalam masalah
kebersihan, Barat itu lebih islami dari masyarakat Islam. Lu liat aja, ada
gak kota di Barat itu yang kotor-kotor gak ada kan? Ini kan sesuai dengan
apa yang dikatakan nabi annadopatunminaliman bahwa kebersihan itu
sebagian dari iman. Dan di kita malah sebaliknya. Menurut gua penting
kita belajar ke Barat itu sumpah, makanya kalau gua di kasih kesempatan
niyh, gua mau ngelanjutin S2 gua di Barat, amieeen. Amieen lu de”207
.
Senada dengan IBL, ISN menyatakan bahwa.
“Oh banyak. Ini maksudnya sekularisme ya. Jadi sekularisme di Islam itu
banayk contohnya aja niyh di kita dulu waktu NU itu jadi partai itu kan
sudah mulai kebarat-baratan ya kan. Partai itu adanya di barat. Jadi NU
ke barat-baratan208
.
“Demokrasi itu juga sesuai kan konsepnya dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat itu kan menurut konsep pemimpin al-adil, merakyat dan
202Ibid., hal. 32
203
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
204
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
205
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
206
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012
207
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
208
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
untuk bersama, ini masuk ini dulu khalifah-khalifah juga mencontohkan
ini mereka dipilih oeh orang-orang ngurusin rakyat sesuai ini”209
.
“Oh boleh banget itu di anjurkan itu kalau bisa itu semua kuliahnya
dibarat belajar semua. Soalnya ilmu-ilmu kita kan dicuri bukan dicuri
dipinjam lah”210
.
Berbeda sedikit dengan informan lain, DNU menyatakan bahwa sebaik-
baiknya tempat adalah Madinah dan Mekkah. Tapi apabila ada nilai-nilai dari luar
yang tidak bertentangan dengan Islam ya kenapa tidak.
“Sebaik-baiknya tempat kata nabi itu adalah madinah dan mekkah. Lebih
baik kita belajar kesana, tapi kalau sekiranya ada nilai-nilai yang tidak
bertentangan dengan agama ya kenapa enggak kita ambil, kayak teknologi
gitu, menurut saya boleh ya walaupun nilainya yang saya takutkan tapi
semoga enggak lah”211
.
Dari pemaparan delapan informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta diatas,
kita dapat melihat bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syhid Jakarta dalam
penelitian ini cenderung bersifat modernis. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan)
akan ditemukan dimana saja termasuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam.
Dan mereka juga cenderung terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi
prinsip-prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh
masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain.
209 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
210
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
211
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik pemikiran keagamaan yang bersifat modernis dan
fundamentalis merupakan potret yang dapat ditemui didalam semua agama tidak
terkecuali Islam dan dapat dijumpai dalam pemikiran pengikut agama Islam itu
sendiri, termasuk mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Dalam penelitian ini, penulis
menemukan bahwa seorang informan tidak seutuhnya bisa dikatakan
fundamentalis atau modernis. Yang ada adalah ia bisa dikatakan cenderung
bersifat fundamentalis dalam beberapa hal. Tapi juga bisa bersifat modernis dalam
beberapa hal. Untuk mempermudah melihat kecenderungan pemikiran keagamaan
mahasiswa UIN Syahid Jakarta apakah bersifat modernis atau fundamentalis,
dapat disimpulkan bahwa:
1. Berkaitan dengan hal acuan atau dasar dalam membangun masyarakat
berdasarkan Al-Quran dan hadis, sebagian besar mahasiswa UIN Syahid
Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme dan
fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan
atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat dengan sebagian kecil
mengatakan dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lain
mengatakan, Al-Quran dan hadis tidak bisa dipakai sebagai landasan
dalam membangun masyarakat dan sisanya masih dilematis yaitu dalam
masalah ibadah bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman tapi dalam
masalah horizontal (hubungan sesama manusia/muamalah) masih
dilematis.
2. Berkaitan dengan ijtihad yang diukur dengan hukum potong tangan, waris
dan kepemimpinan wanita, mahasiswwa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid
Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme Islam bahwa ayat-
ayat Al-Quran seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan
wanita harus terus diijtihadkan. Sedangkan sebagian kecil lain
mengatakan, ayat-ayat Al-Quran tersebut sudah jelas maknanya jadi
memang tidak perlu diijtihadkan lagi.
3. Berkaitan dengan tradisi zaman awal Islam dalam hal hukum potong
tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan atau tidak menurut
mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini
sepakat dengan modernisme Islam bahwa tradisi-tradisi zaman awal Islam
seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita tidak
relevan lagi untuk diterapkan dimasa sekarang. Sedangkan sebagian kecil
lain mengatakan, tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong
tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan untuk diterapkan
dimasa sekarang.
4. Berkaitan dengan ijma dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian
besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan
fundamentalisme Islam bahwa seorang muslim harus memberikan
apresiasi-peghargaan terhadap ulama-ulama jaman para tabiin dan tabi l-
tabi‟in. Akan tetapi sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini menyatakan bahwa ijma-ijma terdahulu dapat diperbaharui
hal ini cenderung bersifat modernis karena aliran modernis memandang
ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui
oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika
factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang
melatarbelakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga
kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi.
5. Berkaitan dengan pluralisme, yang diukur dengan Apakah boleh seorang
muslim memberikan salam kepada non-muslim? Apakah boleh seorang
muslim memilih pemimpin non-muslim? Apakah boleh seorang muslim
dan non-muslim bersama-sama melakukan gotong royong atau bakti
sosial? Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung
memandang positif terhadap ketiga pernyataan diatas, dan hal ini selaras
dengan modernisme Islam. Hanya sebagian kecil informan dalam
penelitian ini, cenderung memandang negatif terhadap ketiga pertanyaan
diatas, dan dalam hal ini cenderung fundamentalis.
6. Berkaitan dengan hikmah (kebijaksanaan) dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa semua mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini cenderung bersifat modernis. Bagi mereka hikmah
(kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-
kelompok dari luar Islam. Dan mereka juga cenderung bersikap terbuka
untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsip-prinsip doktrin dengan
“hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang
mendukung peradaban lain.
B. Saran
Penelitian lapangan tentang pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid
Jakarta melahirkan beberapa saran sebagai berikut:
Pertama, adanya perbedaan pemikiran keagamaan diantara mahasiswa
UIN Syahid Jakarta hendaknya tidak disingkapi sebagai permasalahan, tapi
dianggap sebagai suatu hikmah yang bisa membawa kebaikan pada sesama.
Kedua, institusi pendidikan Islam seperti UIN Syahid Jakarta, harus terus
menjaga dan meningkatkan kesadaran pemikiran keagamaan mahasiswanya untuk
lebih inklusif bukan eksklusif, dalam berhadapan dengan doktrin-doktrin agama
agar tercipta insan akademis yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
jaman sesuai dengan visi, misi dan tujuan UIN Syahid Jakarta.
Ketiga, penulis mengakui penelitian ini memiliki keterbatasan dalam
membongkar fenomena pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta.
Oleh karena itu, untuk kepentingan akademik penulis menyarankan adanya
penelitian sejenis dikemudian hari, penelitian yang melihat pemikiran keagamaan
bukan hanya dari ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan
hikmah, dan bagaimana pemikiran itu bisa terbentuk dan apa yang
mempengaruhinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abou El Fadl, Khaled M. Atas Nama Tuhan “Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh
Otoritatif”, Jakarta: Serambi, 2001.
Abdul Rahman Shaleh-Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar “Dalam
Persfektif Islam”, Kencana, Jakarta, 2004.
Adnan Amal, Taufik dkk. Politik Syariat Islam “Dari Indonesia Hingga
Nigeria”, Jakarta: Alvabet, 2004.
Akaha. 160 Kebiasaan Nabi saw, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2002)
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma Dan Sistem Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2004.
Asep Syansul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan
Islam, (Jakarta,Gema Insani Press, 2000)
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernism,
Hingga Post-Modernisme”. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta; Prestasi Pustakakarya, 2007.
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
............................ Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al-
Shirat Al-Mutaqim)”. Jakarta: Paramadina, 1998.
Ensiklopedia Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1973.
Faisak, Sanafiah. “Format-Format Penelitian Sosiali”, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2001.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam “Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi”. Jakarta:
Bulan Bintang, 1976.
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group, 2007
Husaini, Waqar Ahmad. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka,
1983.
Ihza Mahendra, Yusril. Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Ismail, Syuhudi. Hadists Nabi “Menurut Pembela, Pengingkar Dan
Pemalsunya”, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan
Modernis), Jakarta: Yayasan Indonesia Tera, 2001.
Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis Di Perguruan Tinggi Umum “Kasus
Gerakan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang”. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008.
Komarudin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN “Antologi
Pendidikan Tinggi Islam”. Jakarta; Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam Dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam DEPAG RI, 2000.
Kusmana dan Yudhi Munadi. Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta “Rekaman Media Massa., Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2001.
Kusmana, “Integrasi Keilmuan “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju
Universitas Riset”. Jakarta; PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006.
Kusmana, Eva Nugraha dan Eva Fitriati, Paradigma Baru Pendidikan Islam
“Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP)
2002-2007. Jakarta: IISEP, 2008).
Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan “Restropeksi dan
Proyeksi Pendidikan Islam di Indonesia”. Jakarta: IIESP, 2008.
Montgomery, William. Fundamentalisme Islam Dan Modernitas. Penerjemah
Taufik Adnan Amal. Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Mujani, Saeful. “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU”, Jakarta: Gramedia, 2007.
Mu‟tiah, Anisatun dkk. Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, Vol. 1
Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.
Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi
Pemikiran Harun Nasution”. Jakarta; Pustaka MAPAN, 2006.
Raudah Agustiar, Perubahan IAIN Menjadi UIN Jakarta: “Antara Kenyataan dan
Harapan”, Jurnal Mimbar Agama Dan Budaya, Vol. XXX, No. 2, 2004
Rangkuti, Freddy. “Riset Pemasaran”. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama dan
Sekolah Tinggi Ekonomi IBII, 2005.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustakakarya, 2007.
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Robert L. Oslo, Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin, Psikologi Kognitif, Jakarta,
Erlangga, 2008.
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam (The New World Of Islam). Penerjemah
Mulyadi Djoyomartono dkk. Jakarta: Gunung Agung, 1966.
Sugiyono, Statistik Untuk Penelitian. Jakarta: Erlangga, 2008.
Taher, Tarmizi dkk. Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM-IAIN, 1998.
Tarki Sabiq, Dhabith. Ar Rajul as Shanam Kamal At Taturk. Penerjemah
Abdullah Abdurrahman. Jakarta: Senayan Publishing, 2008.
Tim Penyusun, “Buku Pedoman Akademik Strata Satu 2011/2012”. Jakarta; Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan, 2011.
Weldan, Ahmad Taufik dkk. Metodologi Studi Islam “Suatu Tinjauan
Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru” Malang: Bayumedia
Publishing, 2004.
Yasid, Abu. Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama
Universal”, Yogyakarta: LKIS, 2004.
Skripsi:
Anwar, Febri. Kekuasaan Pemilik Modal Dan Resistensi Pemulung Dalam
Hubungan Kerja “Studi Kasus Pada Pemulung Di Pondok Pinang Jakarta
selatan”, Jakarta: FISIP UIN Jakarta, 2012.
Jurnal:
Jurnal Innovatio, Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008
Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme dan
Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner
Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2003.
Dwi Ratna Sari, Fundamentalisme Islam, Jurnal Komunika Vol.4 No.1 Januari-
Juni 2010.
Internet:
Digilib.petra.ac.id/
http://kamusbahasaindonesia.org/tradisi
http://news.detik.com/read/2010/08/03/192306/1413027/10/tiga-mahasiswa-uin-
jakarta-divonis-4-tahun-6-bulan-penjara
http://uinjkt.ac.id
\http://www.nurulilmi.com/maudhui/manhaj/287-ijma.html
Wawancara
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 20112
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK MAHASISWA UIN SYAHID
JAKARTA
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Ijtihad
1. Menurut anda apakah Al-Qur‟an dan Hadis dapat dijadikan landasan untuk
membangun dan menciptakan tatanan masyarakat?.
2. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa?
3. Menurut anda metode apa yang tepat dalam menafsirkan ayat-ayat yang
ada di dalam al-quran, interprtatif (tawil) atau tekstual (harfiah)
4. Bisa disebutkan alasannya? Kenapa?
5. Menurut anda apa yang di maksud dengan ijtihad?
6. Menurut anda ayat-ayat yang berkenaan dalam bidang apa saja yang bisa
ditafsirkan?
7. Menurut anda apakah ayat Al-Quran tentang hukuman potong tangan bagi
yang mencuri berikut ini perlu di ijtihadkan lagi atau tidak?
انهه ا كسبا كانا ي ا جزاء ب ده وانسارق وانسارقة فاقطعىا أ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. (al-Mâidah/5:38-39)
8. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa?
9. Menurut anda apakah ayat tentang hukum warisan dalam Islam berikut ini
perlu di ijtihadkan lagi atau tidak?
ىصكم انهـه فى أوندكم نهركس مثم حظ انأنث
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan (An-nisa ayat 11)
10. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa?
11. Menurut anda apakah ayat tentang hukum kepemimpinan wanita dalam
Islam berikut ini perlu di ijtihadkan lagi atau tidak?
انسجال قىمىن عهى اننساء
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa
ayat 34)
Hadits: Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Tidak akan beruntung
suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Bukhari,
Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa'i).
12. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa?
13.
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
1. Menurut anda apakah tradisi (kebiasaan) yang dilakukan Nabi
Muhammad masih relevankah diterapkan dalam masa sekarang?
2. Jika masih relevan relevan kenapa? Jika tidak relevan, kenapa?
3. Menurut anda tradisi hukum potong tangan bagi yang mencuri yang
dilakukan Nabi cocok atau tidak diterapkan untuk konteks zaman
sekarang?
4. Jika cocok, bisa disebutkan alasannya? Jika tidak bisa disebutkan
alasannya?
5. Menurut anda tradisi hukum hukum waris yang dilakukan Nabi cocok
atau tidak diterapkan untuk konteks zaman sekarang?
6. Jika cocok, bisa disebutkan alasannya? Jika tidak bisa disebutkan
alasannya?
7. Menurut anda apakah perempuan boleh menduduki posisi-posisi dalam
kenegaraan (menjadi khalifah/presiden)?
8. Jika boleh, bisa disebutkan alasannya? Jika tidak bisa disebutkan
alasannya?
Ijma
1. Menurut anda apa yang dimaksud denga ijma?
2. Menurut anda apakah kita harus memberikan aspirasi yang tinggi terhadap
kesepakatan ulama para tabiin dan tabi l-tabi‟in?
3. Menurut anda apakah kesepakatan para sahabat, zaman tabiin dan tabi l-
tabi‟in diperbaharui atau tidak?
4. Jika dapat diperbaharui sebutkan alasannya? Jika tidak, sebutkan
alasannya?
5. Menurut anda apakah kesepakatan ulama di Saudi Arabia harus diterapkan
di negara lain seperti Indonesia?
6. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa?
a. Menurut anda apakah kesepakatan ulama tentang hijab di
Saudi Arabia harus diterapkan di negara lain seperti
Indonesia?
b. Menurut anda apakah kesepakatan ulama tentang hukum
potog tangan di Saudi Arabia harus diterapkan di negara
lain seperti Indonesia?
Pluralisme
1. Menurut anda apa yang dimaksud dengan pluralisme?
2. Menurut anda apakah sama antara toleransi dan pluralisme?
3. Bagaimana tanggapan anda tentang hal-hal berikut ini.
a. Apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada non-
muslim?
b. Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin non-muslim?
c. Apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama
melakukan gotong royong atau bakti sosial?
Hikmah
1. Adakakah nilai-nilai dari negerti Barat yang sesuai dengan tradisi Islam?
2. Bila ya, berikan contoh?
3. Menurut anda perlu kah seorang muslim belajar tentang nilai-nilai Barat?
4. Jika perlu kenapa? Jika tidak, kenapa?
RANGKUMAN HASIL WAWANCARA
IDENTITAS INFORMAN
Nama Jenis
Kelamin
Fakultas Waktu
Wawancara
SHI Laki-Laki Ilmu Sosial dan
Politik
10- September-
2012
IHN Laki-Laki Dirasat Islamiyah 11- September-
2012
DNU Laki-Laki Syariah dan Hukum 11-September-
2012
ISN Laki-Laki Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan
12-September-
2012
IBL Laki-Laki Ushuluddin dan
Filasat
13-September-
2012
ROS Laki-Laki Tarbiyah dan
Keguruan
14-September-
2012
SPY Laki-Laki Adab 15-September-
2012
IHM Laki-Laki Tarbiyah dan
Keguruan
15-September-
2012
TRANSKIP WAWNCARA
1. Hasil Wawancara Dengan DNU
Nama Ijtihad
DNU oh sangat, sangat bisa. islam itu kan sebenarnya memang sudah
mengatur segala-galanya iya toh melalui al-quran, yang kemudian
dijelaskan oleh perkataan, dan perbuatan nabi yang dinamakan hadits.
nah, sebenarnya tidak ada yang tidak dijelaskan dalam al-quran dan
hadits semuanya ada bahkan sampai hal-hal kecil juga, misalnya proses
penciptaan manusia ada didalam al-qur‟an, dalam kehidupan sehari-hari,
makan itu kan harus menggunakan tangan kanan ga boleh pake tangan
kiri, sampai buang hajat saja sebenarnya diatur dalam islam, harus doa
dulu tidak boleh berisik dll.
Menurut saya, begini mas al-Quran itu kan sebenarnya ga boleh didebat
ia harus dipahami. Kalo kita membaca al-Quran misalnya surat al-ikhlas,
kulhuwawlahuahad artinya katakanlah bahwa tuhan itu satu, kita harus
menjawabnya, ya tuhan engkalau tuhan yang satu dan begitu juga
seterusnya. Nah cuman masalahnya yang mas tadi bilang bahwa memang
di al-quran itu ada surat-surat yang maknanya sudah jelas ada yang tidak,
nah terus permasalahannya kan bagaimana misalnya memahami dan
menerapkannya dalam kehidupan kita kan?. Misal, tentang perintah salat
disitu kan jelas perintahnya, cuman enggak detil nah disinilah fungsinya
hadits untuk menjelaskan ayat tadi misalnya salat asar itu harus empat
rakaat dll. Nah kalo saya mas dede, kalau al-Quran dan hadits itu sudah
memberikan rinciannya dengan jelas dan ini kemudian dijelaskan lagi
oleh hadits enggak boleh di ijtihadkan lagi, misalnya tentang perintah
shalat tadi. Misalnya dibuat shalat asar itu jadi dua rakaat gak boleh itu.
Sangat-sangat tidak boleh. Dalam masalah muamalah juga sama, apabila
ayat sudah memberikan rinciannya dengan jelas maka ya gak boleh di
tafsir ulang lagi seperti ayat waris itu kan jelas banget bahkan detail
banget menurut saya.
Nah ini dia salah satu yang membuat masyarakat kita itu ngeri, salah
satunya hukum potong tangan ini, coba deh baca lagi mas artinya jelas
kan dan surat itu juga dijelaskan lagi oleh nabi bahwa apabila aisyah eh
maksudah saya fatimah, fatimah anakku mencuri maka aku sendiri yang
akan memotongnya tangannya. Sebagai seorang muslim yang baik,
sebenarnya kita kan harus mengikuti perintah tuhan dan rasulnya kan,
kalau ada yang mencuri yang potong tangannya, kalau sekarang kan gak
dipenjara kan, karena ini bukan negara islam ini negara pancasila.
Tinggal milih mau ikut perintah tuhan dan rasul atau perintah buatan
manusia, kalau saya ikut yang pertama, kalau saya loh mas kalo yang
lain syich ya monggo.
Coba lihat ayatnya oh ayat waris ini iya itu sama kalo saya syich gitu
kayak ayat potong tangan diatas memang harus gitu laki-laki dapat ¾
bagian. Ya gak pake kenapa-kenapa yan gak boleh ditafsir lagi itu kan
udah jelas perintahnya, kenapa harus di tafsir lagi, saya tuh bingung ma
temen-temen di UIN termasuk mas ini, mereka tuh lebih mengutamakan
akalnya daripada hatinya, baru baca teori-teori marx, feminis, teori-teori
sosial kayak gitu lah, udah merasa hebat aja mereka pikir mereka itu
siapa, mereka itu ibaratnya burung gereja yang meminum air dilautan ya
segitu yang mereka ambil dari tuhannya.
Kalo saya syich selama ada laki-laki ya perempuan harus tau posisinya
walaupun mereka hebat tapi laki-laki juga kan banyak juga. Dan juga
urusannya perempuan itu ribet kalau mimpin negara ya kan, belum dia
hamil nanti itu kan 9 bulan mas, belum haidnya, dll. Jangan dech kalau
menurut saya mah ini urusan laki-laki. Perempuan itu sebaiknya berdiri
dibelakang laki-laki, mereka itu salah satu penyemangat paling hebat loh.
Tapi gak berarti posisi perempuan dibawah loh tapi lebih pada saling
mengisi satu sama lain.
Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
DNU Masih dan sangat relevan sekali kalau kita melihat kondisi sekarang,
dimana moralitas itu sudah hancur banget. Maka hukum potong tangan
ini bisa dan bagus untuk diterapkan, tinggal para pemimpinya saja
apakah mereka mau atau tidak. Kalau saya syich siap untuk itu.
Kalau hukum waris dalam Islam memang ketentuannya sudah seperti itu
tidak boleh dirubah-rubah lagi. Dan ini merupakan ketetapan Tuhan,
hitungannya sudah jelas dan saya yakin ini dapat mendatangkan
kebaikan bagi kita
Perempuan harus memposisikan dirinya, sebagi pelengkap bagi laki-laki
dan menurut saya kepemimpinan memang laki-laki memang harus diatas
perempuan. ya karena itu memang perintahnya.
Nama Ijma
DNU kesepakatan ulama.
Ya iya tentu harus mereka itu kan gurunya jelas nabi Muhammad. Jadi
sanad keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau tidak bertentangan dengan al-quran dan hadis ya boleh dirubah
asal jangan dikorbankan untuk perkembangan jaman aja. Jangan atas
nama jaman berubah terus kita boleh mengubah-ngubah syariat gitu ya
gak boleh lah. Dan juga para ulama sekarng kan menurut saya gak ada
yang bisa menandingi kemampuan mereka dalam merumuskan fiqh.
Intinya gini mas kalau ulama zaman sahabat, tabiin seperti zaid bin
tsabit, abu hurairah, dll sudah bersepakat tentang masalah hukum ya
harus diikuti, karena mereka ya tadi sanad keilmuannya jelas mereka itu
belajar agamanya ke nabi Muhammad.
Ya kalau hijab kan memang dianjurkan oleh agama juga, begitupun
hukum potong tangan ya toh. Cuma memang penerapannya aja yang
berbeda-beda dinegara muslim misal soal hijab tadi intinya kan asal
menutup aurat aja.
Nama Pluralisme
DNU Pluralisme itu keragaman, kayak disidang aja saya ini.
Hmmmm ya pluralisme itu paham perbedaan budaya dll karena ada
ismenya itu, kalau toleransi sikap menghargai perbedaan. Gitu ya bener
gak?
Ooooh paham begini mas soal apa tadi, salam kepada non-muslim
assalammualaikum gitu kalau saya lebih senagn mengucapkan apa
khabar aja, senang berkenalan dengan anda, kalau salam gak dech
kayaknya, tapi bukan berarti saya enggak menghargai mereka loh ya.
Gak gak boleh masih banyak koq pemimpin non muslim hidayat nur
wahid itu bagus loh mas tapi masyarakat kita kan ya gitu belum mengerti
ya mau apa lagi. Wawlahuallambisohab.
Kalau gotong royong ya boleh lah kita kan memang harus saling tolong
menolong antar sesaman manusia kan. Nabi juga mencontohkan itu
ketika di madinah.
Nama Hikmah
DNU Sebaik-baiknya tempat kata nabi itu adalah madinah dan mekkah. Lebih
baik kita belajar kesana, tapi kalau sekiranya ada nilai-nilai yang tidak
bertentangan dengan agama ya kenapa enggak kita ambil, kayak
teknologi gitu, menurut saya boleh ya walaupun nilainya yang saya
takutkan tapi semoga enggak lah.
2. Hasil Wawancara Dengan ISN
Nama Ijtihad
ISN
Bisa, bisa Quran dan hadis itu. Ya kalau memang secara Islam
merupakan sumber kuat untuk mengatur kehidupan manusia
baik itu sosial ekonomi dan bernegara.
tapi selain itu juga kan kita negaranya banyak perbedaan-
perbedaan suku bangsa dan budaya disini dibutuhkan dasar-
dasar hukum lain seperti ijma dan qiyas kan seperti juga
kearipan-kearipan lokal yang ada itu bisa dijadikan hukum jadi
kita ini enggak hanya terpaku hanya dengan quran dan hadits
secara leterlek gitu loh. Jadi ada ijma ada qiyas yang dalam al-
Quran gak ada dalam hadits gak disebutkan tetapi kalau
musyawarah-musyawarah para ulama para pemimpin itu bagus
ya itu bisa dijadiin hukum.
Semisal dahulu itu waktu perumusan negara ini kan ini apa ijma
juga waktu merumuskan negara kita Indonesia berasaskan
dengan pancasila dan bhineka tungggal ika itu ijma itu kan di al-
Quran gak ada bhineka tunggak ika sama pancasila. Bhineka
tunggal ika sendiri itu kan dari kitab itu sutasoma, sedeangkan
kitab sutasoma itu sendiri kan dari ajaran-ajaran leluhur kita
pada masa kerajaan Prabujayanegara, itu raja kedua Majapahit.
Jadi sangat apa menyeluruh. Jadi Quran dan hadis enggak begitu
bisa dipkasakan yang penting kalau di Quran dan hadis gak ada
bisa di pake kesepakatan ulama dan para pemimpin.
Ooh jadi kan Quran itu ada ayat muhkamat dan mutasyabihat
ada yang sudah jelas seperti hukum salat seperti puasa dan
sebagainya itu kan sudah jelas kan. Kalau yang belum jelas perlu
penafsiran, itu harus ditafsiri itu kan fungsi hadis dsini kan untuk
menafsirkan utnk menjelaskan Quran. Kalau Quran itu belum
jelas dijelasin sama hadis tapi belum jelas juga ditafisirinlah
sama penafsir2 sendiri kan seperti imam Jalalen, Jamakshari,
Syuthi dll. Kalau itu masih susah juga kan dahulu itu belum ada
perkara ada yang namanya bidah itu juga perlu di tafsirin lagi
kan sekarang ada tafsir kontemporer terus pake kesepakatan-
kesepakatan ulama tadi itu. Tafsirin semua itu.
Hukum potong tangan itu ya. Islam itu perlu tafsiran ulang itu.
Al-Quran memang hukum potong tangan ya pake arab ya. Kalau
di Arab hukum nya potong tangan tapi kalau di Indonesai itu kan
hukum itu enggak bisa di gunain disini karena apa kalau hukum
potong tangan digunain disini yang mayoritas masih gimana ya,
di pake di indoenesia ya tahu sendiri lah kalau kita jalan-jalan
keluar jalannya pada buntung-buntung, di ganti dengan
kesepakatan ulama diganti dengan penjara. Kalau mau ditetapin
potong tangan pada buntung.
Ini ya penggunaan ilmu mawaris disini kan sesama saudara sikut
sana sikut sini, tapi penggunaannya masih jarang lah sesuai
dengan Quran itu tadi laki-laki satu cewek dua.
Digunain tapi digunain tapi sebagian tapi mayoritas itu
membaginya itu sebelum meninggal dibagi dulu biar anak-
anaknya ga repot ga pada berantem. Kalau secara hukum islam
itu memang haru karena laki-laki menafkahi yang cewe tapi
disini kan di indonesia banyaknya sudah dibagi-bagi itu bukan
warisan sebelum bapaknya meninggal, kamu mau cewek mau
cowok di bagi sama rata biar gak gak pada iri. Tapi itu juga
masih disisain untuk biaya jenazah sama sukuran dan
sebagainya. Yang penting maslahat
Yang penting punya kemampuan. Di kita buktinya namanya
Ratu Tri Buana Tungga Dewi itu ibunya Hayam Wuruk ratu itu
bisa memimpin negara Majapahit setelah Prabujayanegara itu
kekuasaannya sanagat luas dan bisa bersifat adil makmur.
Maksud dari arti jalalukaumalannisa itu kan dalam konteks
keluarga jadi ibunya ini harus nurut sama sang suami
bagaimanapun walau pun istrinya ini seorang pejabat misal
bupati misalnya itu ketika sudah nyampai rumah harus tunduk
sama suami. Walau diluar rumah suaminya bawahan bupati
perempuan itu, tafsirannya iru rumah tangga itu. Jadi kalau
pemimpin negara gak apa-apa.
Nama Preseden Zaman Awal Islam
ISN
Tergantung negara. Kalau negara kita belum itu kan negara kita
kan menggunakan hukumnya UU. UU itu bikinan manusia, UU
itu ijma kesepakatan para pemikir pemikir, para ulama, kalau itu
sedah kesepakatan berarti itu sudah sah.
Hukum waris kurang relevan tapi yang menggunakan sebagian-
sebagaian untuk kemaslahatan.
Kita gak apa-apa mau pemimpinnya wanita laki laki gak apa-apa
inin kan negara ini apa bebas yang bukan berdasarkan Islam.
Nama Ijma
ISN
Jadi memberikan suatu penghargaan ijma-ijma menggunakan
ijma-ijma beliau terdahulu itu digunain aja. Nanti kalau kita bikin
ijma sendiri. Itu waktu permasalahan pancasila dasar-dasar negara
itu kan ijma sendiri bukan ijma mereka tapi itu seiring
perkembangan jaman kan permasalahan semakin komplek butuh
pemikiran-pemikiran, itulah akan timbul ijma-ijma yang baru.
Kalau ijma zaman dahulu Gak bisa dirubah semisal pendapatnya
salah satu imam. Biarlah itu pendapat beliau tapi kalau sekarnag
pendapatnya itu kan kadang-kadang bisa dipakai atau enggak tapi
kalau enggak bisa dipakai pemikir-prmikir sekarang kita berpikir
lagi sesuai dengan konteks sekarang. Jadi bukan pemikiran
mereka yang dirubah. Ijma itu kan tergantung dari setiap wilayah
setiap wilayah kan punya ijma sendiri-sendiri.
Hijab itu maknanya kan menutupi sebenarnya itu untuk menutupi
aurat, kalau dari cewek selain muka dan telapak tangan kalau laki-
laki dari perut sampai ini. Tapi kalau masalah cadar. Kenapa koq
suruh menutupi, tujuannya kan untuk menjaga ini loh harga diri
ketika tujuan tersebut bisa selain harga diri kan menjaga. Itu
hukumnya wajib untuk menutupi aurat tapi kan kalau disini ya
banyak yang gak menutup aurat itu ya dia pakenya oblong-oblong
itu kita doain aja itu kan urusan mereka-mereka sendiri mau ini itu
yang nanggung yang penting kan bisa menjaga.
Pada 1700 di Blambangan itu para wanitanya itu belum ada jilbab
itu masih kerajaan hindu budha putrinya itu cuma memakai ini
dari pusar kebawah jadi kalau putri disitu dari kerajaan
bambangan wanita-wanita Blambangan. Itu salah satu kerajaan
besar di Banyuwangi, wilayahnya luas seperti Lumajang Ponorogo
sama Surabaya itu ceweknya itu gak pakai. Buah dadanya itu
kelihatan, tapi masyarakat disitu paling anti kesusilaan. Jadi
walaupun mereka seperti itu mereka anti asusila. Tetapi setelah
kompeni datang mereka suruh menutup dengan kemban,
brengseknya disini sang kompeni itu suruh menutup eh malah
diperkosa nah permasalahnnya di situ. Walaupun sekarang pa
ngebuka-ngebuka yang penting jangan asusila percuma kalau
jilbabers tapi asusila yang penting disitu maknanya.
Nama Pluralisme
ISN
Inikan dalam Islam sendiri adan amanya konsep tasamuh saling
menghargai sesama manusia baik itu agama lain ataupun paham
yang lain itu kita saling menghargai dia mau jilbabnya apa, mau
dia salat mau gak, mau ajarannya apa, yang penting kita gitu juga
nmanusia kan. Jadi menurut sufi siapa yang masuk surga itu bukan
gara-gara amalnya, kan kalau cenderung yang makai jilbab
amalnya banayk kan tapi tapi kata beliau memanusiakan manusia
nah disinilah konsepnya menghargai memanusiakan manusia.
Ya gak siapa yang nuduh kafir itu kan urusan hati. Kalau non
muslim itu memang kafir. Itu kan untuk sebutan loh non muslim
itu kafir tapi kita selaku manusia kita tidak bisa menyebut
seseorang itu kafir walaupun sudah jelas-jelas orang itu masuk ke
gereja orang itu masuk ke wihara orang itu gak pernah solat kan
yang namanya iman cuman dalam kamar katanya.
Kalau itu kurang boleh itu pakenya assalamualaikum lebih baik
pake selamat pagi atau good morning.
Boleh gak apa-apa yan penting kan bisa memimpin.
Gak apa-apa. Tasamuh itu tolong menolong sesama, baik itu
gotong royong bikin jembatan bareng gak apa-apa.
Nama Hikmah
ISN
Oh banyak. Ini maksudnya sekularisme ya. Jadi sekularisme di
Islam itu banayk contohnya aja niyh di kita dulu waktu NU itu jadi
partai itu kan sudah mulai kebarat-baratan ya kan. Partai itu
adanya di barat. Jadi NU ke barat-baratan.
Demokrasi itu juga sesuai kan konsepnya dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat itu kan menurut konsep pemimpin al-adil,
merakyat dan untuk bersama, ini masuk ini dulu khalifah-khalifah
juga mencontohkan ini mereka dipilih oeh orang-orang ngurusin
rakyat sesuai ini.
Oh boleh banget itu di anjurkan itu kalau bisa itu semua kuliahnya
dibarat belajar semua. Soalnya ilmu-ilmu kita kan dicuri bukan
dicuri dipinjam lah.
3.Hasil Wawancara Dengan IHN
Nama Ijtihad
IHN Bisa gak bisa syich mas tapi sebaiknya kita lihat konteks dulu.
Masyarakat mana. Kalau di Timur Tengah kemungkinannya bisa karena
mereka punya satu keyakinan yang sama yak kan Islam semuanya gaka
ada yang lain, terus budayanya sama lagi. Tapi kalau dikita kan beda. Di
kita bukan hanya keyakinan yang beda tapi suku bahasa dan adat istiadat
juga beda. Jadi kondisional aja, asal begini enggak keluar dari nilai-nilai
dalam Quran dan hadis dan didasarkan pada kebaikan bersama. Itu aja
kali.
Fleksibel-fleksibel aja asal itu tadi tidak keluar dari nilai-nilai yang ada
dalam quran dan hadis. Di Quran itu juga kan memang terdapat nilai-
nilai yang saya pikir bisa di pakai dan masih nilai-nilai yang kita pakai
sekarang ini Islam-i koq.
Ya memang benar bahwa ini adalah salah satu karakteristik hukum yang
ada dalam quran, tapi ini kan sifatnya masih belum jelas, menurut saya
kita harus mencari penetapan lain tapi bukannya menyalahi quran loh ya
ini hanya tentang bagaimana kita membuat semua orang yang ada dalam
wilayah itu bahagia, yang esensinya tidak menyalahi jati diri kita sebagai
seorang muslim, yang penting itu kan hukumannya entah bentuknya apa
yang jelas kalau ada orang yang berbuat jahat ya harus dihukum, dan itu
dengan landasan bahwa semua orang tidak merasa dirugikan dan
diberatkan. Ya kalau hukum potong tangan jangan lah, bisa syich tapi
kita belum siap untuk itu. Dan menurut saya juga hukum sekarang cukup
lah untuk mewakili potong tangan tersebut.
Ya itu tadi sama mas kalau inikan hukum keluarga. Jadi sebaiknya
diserahkan ke keluarga tersebut. Asal itu tadi semua orang yang terlibat
dalam masalah ini bahagia semua gak ada yang merasa dirugikan jadi di
musyawarahkan aja. Tapi jangan sampai ada klaim gak islami atau gak
sesuai islam gituh, gk boleh itu. Itu urusan yang diatas, wong pelacur aja
ada koq yang masuk surga. Gitu loh mas.
Gak-gak harus seperti itu, karena kalau zaman sekarang secara personal
perempuan juga ada yang melebihi laki-laki. Ini kan masalah mampu dan
tidak mampu kalau mampu ya gak apa. Saya yakin pereempuan bisa koq.
Dalam semua hal kalau perempuan bisa ya gak apa-apa. Oh ya tapi kalau
masalah agama selama ada laki-laki mas, perempuan harus
memposisikan dirinya.
Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
IHN Gak gak relevan yang kita bicarakan tadi kan diluar hukum ibadah niyh
loh ya. Karena itu tadi, kalau saya dasar hukum itu yang paling penting
adalah menjaga kemaslahatan dan kebaikan bersama. Kalau kemudian
ketetapan hukum itu mencurangi bagian lain, maka hukum itu wajib
untuk diganti atau di hapus.
Nama Ijma
IHN Kesepakatan ulama.
Kalau apresiasi dalam hal penghargaan, itu harus asal jangan kemudian
ijma itu dijadikan patokan yang kaku saja, taklid buta gitu gak jangan-
jangan kalau kayak gitu gak akan maju agama kita mas.
Tentu bisa, asal itu tadi tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal
yang ada dalam sumber hukum utama yang kita sebutkan tadi .
Ya gak harus lah siapa juga arab saudi, kita punya hukum mereka punya
hukum jadi ya masing-masing aja dan sebenarnya itu tadi mas yang saya
bilang di awal kita ini gak bertentangan dengan islam gak, serius mas
boleh koq tanya pendapat lain juga pasti sama koq hasilnya sama saya.
Nama Pluralisme
IHN Keragaman ya beda ma toleransi itu kan sikap yang mengacu pada
pluralisme tadi.
Ya kenapa juga itu kan baik jadi membudayakan islam juga coba kalau
orang non-muslim menjawab salam kita itu kan baik artinya mereka juga
mengakui kehadiran dan arti budaya kita juga kan. Dan bisa jadi budaya
islam menjadi nasional loh mas nah itu kan bagus. Pengislamisasian
secara diam-diam hehe.
Gak gak masalah dan juga pemimpin negara itu kan diatur dalam koridur
UU dan UU itu kan banyak nilai-nilai yang menurut saya itu tadi tidak
diluar Islam seperti keadilan sosial bagi seluruh bangsa ini.
Nah apa lagi ini boleh benget dan menurut saya gak perlu pake alasan ini
laksanakan.
Nama Hikmah
IHN Kalau kita lihat sejarah kebudayaan, kebudayaan barat itu kan
representasi dari kebudayaan sebelumnya yaitu islam, cuman
bungkusnya aja yang berbeda tapi nilai-nilainya tetap islam, kecuali
dalam hal pokok aja seperti ibadah. Dan juga kalau ingin melihat islam
yang sesungguhnya itu di barat bukan di timur tengah, dalam masalah
muamalah tadi ya jadi dipilah-pilah gituh.
4. Hasil Wawancara IBL
Nama Ijtihad
IBL Ya. Bisa lah, Al-Quran dan hadis itu kan memang pedoman hidup
umat manusia.
Oooh, kalau gua syih, enggak, enggak saklek. Gua lebih seneng kalo
doktrin agama itu lebih menyesuaikan diri dengan kondisi
masyarakatnya. Ya bener, ada tuh orang-orang kalo ayatnya bilang
kayak gitu ya udah diikutin, ga bener itu. Harusnya kan dilihat konteks
kenapa ayat itu turun, untuk apa, semangat ayat itu apa, terus lihat
kondisi masyarakat juga kan. Itu baru bagus. Iqra ya kan bacalah kan
jadi kita harus banya membaca dan mengkaji jangan saklek gitu.
Ijtihad itu ya salah satu yang dilakukan seorarng muslim untuk menggali
hukum. Dalam Islam ini sangat penting.
Waduh,ribet ini, Gua syih bukan ahli tafsir, filsafat gua, hahahaha. Tapi
sepengetahuan gua dan keyakinan gua niyh ya, dari bacaan-bacaan yang
gua pahami, hukum potong itu, hmmm kan disana tertulis tentang
potonglah tangan keduanya, menurut gua syih yang di potong itu bukan
tangannya tapi kesempatannya, kesempatannya untuk dia mencuri itu
yang dipotong. Sepengetahuan gua niyh ya, tapi gua gak tau kalo ada
tafsir yang lain.
Kalo hukum waris kayak di Islam emang gitu syich, tapi hmmm,
sebenarnya gua sih lebih setuju lagi kalo dibagi secara adil antara laik-
laki dan perempuan. tapi kalo yang lain gak tau. Jadi kalo warisannya
serebu gituh, hahhaha yang dibagi gope-gope. Nah itu baru adil ya gak.
Ini kalo menurut gua ya, sesuai yang gua pahami aja ya. Menurut gua
syich simpel aja, kalo perempuan bisa ya kenapa enggak, yang dilihat
kan sebenarnya bukan jenis kelaminnya tapi kemampuannya. Kalo dia
bisa mimpin negara ya kenapa enggak. Jadi siapa yang yakin niyh
merasa mampu ya monggo maju. Tapi jangan blee juga dikita mah jadi
negarawan itu bukan dari hati, jadi dari kesadarnnya gitu, ini mah giliran
ada duit maju, gak ngeliat, jadi bertanya gitu, berdialog dengan dirinya
gitu, apa saya bisa gak, jangan jadi negarawan jadi-jadian. Ya jadi nya
gini niyh negara kita. Ceilehhh, gituh de.
Jadi sebenarnya Intinya gua mah gini kalo dalam masalah keyakinan
terus ibadah gua telen mentah-mentah, kayak kulhuwawlahuahad gitu,
terus masalah ibadah juga tapi kalo untuk masalah sosial gitu menurut
gua harus ditafsirkan ulang sesuai dengan masyarakatnya. Kasihan geng
masyarakat kita kalo curi itu harus dipotong tangannya, bisa ada
kuburan tangan di Indonesia.
Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
IBL Soal ibadah doang syih kalo menurut gua mah, yang sangat dan sangat
relevan gak boleh itu ditambah-tambah misal solat asar jadi 5 rakaat gitu
atau waktunya diubah, jangan-jangan gak boleh itu. Soal yang lain
misalnya hukum potong tangan, jangan lah kasihan masyarakat kita de
ya gak.
Terus apa tadi waris tadi kan, emang bagus syich bagi gua tapi kasihan
cuy perempuan, ade gua soalnya banyakan perempuan yang cowok
cuma gua doang. Astagfirullahaladzim, ampunilah aku ya Allah,
hahahaha
Terus yang satu lagi tadi soal apakah perempuan boleh mimpin ya,
menurut gua mah yang penting itu, tidak melanggar batas-batas yang
ditentukan aja, yang penting itu, asal dia mampu yang silahkan.
Nama Ijma
IBL Ijma itu ya kesepakatan ulama.
Oh iya dong kita harus memberikan aspirasi yang tinggi terhadap
mereka.
Ya boleh lah dirubah ijma itu, ya yang sesuai dengan zaman atau
masyarakatnya aja sesuai yang gua bilang di awal de tentang hukum
waris, potong tangan sama apakah wanita boleh mimpin gitu.
Ya ijma arab gak cocoklah diterapin di kita, kan budayanya beda,
mereka itu juga sebenarnya gak ikut perintah nabi, mereka kan monarkhi
kerajaan turun-temurun gituh. Kalo soal hijab yang penting nutup aurat
aja, malahan gini de kalo memnurut gua mah, hijab yang kayak di arab-
arab itu malah bisa mendatangkan perilaku pemerkosa, lu liat aja
tertutup rapat gitu jadi orang tuh makin penasaran aja ya gak, dalamnya
isinya apa ketan atau serabi ya gak hahahaha.
Nama Pluralisme
IBL Pluralisme itu Keragaman emang kenapa, kayak UAS aja gua ini. Lanjut
de lanjut.
Ya beda lah toleran dan pluralisme, pluralisme pemahaman tentang
keragaman, kalo toleransi sikap atau perilaku dalam menyikapi
keragaman itu, makanya muncul kata apakah toleran dan tidak toleran
ya kan. Terus masalahnya apa de lu nanya kayak gitu.
Ooooh lu mau nya itu ya boleh lah kenapa gak kita ngasih salam kepada
mereka, emang kita dilarang gitu yah? Menurut gua enggak apa-apa
syich, itu kan doa ya gak.
Memilih pemimpin non-muslim ya, ya boleh juga lah moga aja kita
sejahtera ya gak dari pada dipimpin ama orang yang seagama tapi
bleenya minta ampun.
Kalo ini apa lagi boleh banget. (melakukan gotong royong dengan non-
muslim)
Nama Hikmah
IBL Gua cerita niyh ama lu sebentar ya. Ternyata dalam masalah kebersihan,
Barat itu lebih islami dari masyarakat Islam. Lu liat aja, ada gak kota di
Barat itu yang kotor-kotor gak ada kan? Ini kan sesuai dengan apa yang
dikatakan nabi annadopatunminaliman bahwa kebersihan itu sebagian
dari iman. Dan di kita malah sebaliknya. Menurut gua penting kita
belajar ke Barat itu sumpah, makanya kalau gua di kasih kesempatan
niyh, gua mau ngelanjutin S2 gua di Barat, amieeen. Amieen lu de.
5. Hasil Wawancara ROS
Nama Ijtihad
ROS Bisa sebenarnya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam quran dan hadis.
Quran itu pedoman bagi umat manusia untuk dijadikan sebagai acuan
dalam segala hal. Termasuk dalam persoalan sesama kita atau vertikal
dengan tuhan. Karena al-quran itu bersifat universal maknanya. Tapi
banyak yang masih dilematis terutama yang horizontal.
Orang islam harus bersifat interaktif dengan quran ketika dihadapkan
dengan kontek sosial yang berbeda maknanya. Islam itu sangat
mengapresiasi akal pikiran manusia. Bagaimana quran itu bisa bisa di
transformasikan ke dalam konteks kehidupan sosial kita karena
bagaimanapun juga kita tidak bisa menafikan perubahan-perubahan
sosio kultural dari ke hari dari tahun ke tahun seterusnya makanya
dituntut peran yang signifikan terkait dengan persoalan keaktifan umat
islam menggunakan terkait dengan persoalan keaktifan umat islam
menggunakan pikirannya untuk mentransformasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam islam dan hadis itu sendiri. Maka dengan umat yang
seperti itu, kita bisa mengupayakan quran itu menjadi suatu yang bisa
menjawab persoalan persoalan yang di geluti umat islam.
Banyak dikalangan para ulama menafsirkan ayat tersebut sengat
berbeda-beda ada yang tekstual personal. Saya pikir dalam konteks
ketika kita dihadapkan pada ayat seperti ini harus diartikan sebagai
peringatan atau ajaran yang harus kita aplikasikan dalam konteks
keislaman. Islam itu bukan hanya nilai-nilai yang bersifat normatif.
Memahami ayat ini sangat terkait dengan aturan-aturan main. Dalam
islam memang begitu tapi dalam konteks bernegara di indonesia kita
tidak boleh semena-mena menerapkan hukum seperti itu seperti kita
tahu di indonesia, itu kan dari beraneka ragam keyakinan dan
semacamnya maka hal-hal itu lebih baik jadi penghayatan setiap muslim
saja tidak harus di formalisasikan melalui UU yang kemudian melibas
juga orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. itu kan sesuatu
yang tidak adil tidak menghormati keyakinan orang lain. Tapi misalkan
mayoritas muslim disuatu negara misalkan menerapkan itu karena itu
memang perintah dari quran yang diyakini umat islam untuk dijadikan
aturan, gak papa. Umat islam lantas kan di paksa berpikir dengan
pertimbangan-pertimbangan. Maka orang yang mencuri itu harus
berpikir 5 kali jadi efektif untuk dijadikan semacam hukum bagi yang
melanggar itu.
Ayat waris ini kan belum ada persoalan laki-laki misal dapat bagian satu
wanita setengah. Tapi, ini jadi persoalan ketika kita melihatnya dalam
konteks keadilan atau dalam konteks kesamaan ini tidak adil.
Pertimbangan-pertimbangan ini cukup rasional.
Pemimpin wanita. Ya boleh saja tidak harus laki-laki perempuan juga
mampu sah-sah juga. Ini kan ajaran islam yang kemudian makanya
harus, itu benar sebenarnya tapi harus dicari. Tapi harus di cari
rasionalisasinya
Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
ROS Semua tradisi hukum yang kita bahas tadi seperti potong tangan, waris
dan masalah pemimpin laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak
relevan tapi masih bisa diterapkan dengan alasan menjadi kesepakatan
bersama di komunitas bersama dan di keyakinan bersama juga. Tapi
dalam konteks kita bernegara itu hampir semua warga negara punya
keyakinan yang berbeda hal seperti itu kalau dijadikan dalam aturan
bernegara pasti akan jadi ancaman bagi yang lain. Syariat islam itu tidak
relevan lagi di terapkan dalam konteks bernegara. Tapi lebih pada ketika
hal-hal seperti itu kita terapkan dalam kontek kehidupan bersama
seorang muslim harus ada semacam kesadaran bersama tanpa harus
diterapkan dalam bentuk uu yang harus dipatuhi oleh semuanya
Nama Ijma
ROS Ijma, hal-hal seperti itu harus diapresiasi itu kan ijtihad yang kemudian
dijadikan ijma yang harus dipatuhi oleh umat islam tapi tidak berarti hal-
ha seperti itu tidak bisa dirubah lagi. Hal-hal itu harus senantiasa
bersifat inklusif. Yang melahirkan bentuk- bentuk ijma baru yang nanti
masih bisa relevan dan kita pahami untuk dijadikan acuan dalam konteks
kehidupan.
Ya gak bisa lah soalnya hal itu kan sebuah ancaman kalau hal-hal seperti
hijab dan hukum potong tangan. Alangkah baiknya menjadi
penghayatan pribadi-pribadi saja dalam konteks kita menjalankan agama
islam tapi kalau diterapkan dalam Uu jangan.
Nama Pluralisme
ROS Pluralisem hehe ya faham keragaman. Ya beda lah dengan toleransi itu
lebih kesikap dalam menghargai pluralisme.
Gak masalah gak apa-apa apalagi agama samawai. Apa lagi itu lahir
dalam tradisi ibrahim sama-sama meyakini itu.
Boleh juga gak apa-apa apa lagi kalau kita lihat pendapatnya ibnu
khaldun pemimpin non muslim yang adil itu lebih baik daripada
pemimpn muslim yang yang tidak adil. Itukan salah satu refleksi yang
kemudian harus di transformasikan dalam konteks kekinian yang serba
komplit termasuk dalam konteks kepemimpinan. Yang penting itu tidak
mengancam pada keyakinan kita misalkan pemimpin non-muslim
menerapkan aturan-aturan main yang ada dalam aturan kristen justru itu
yang harus di wasoadai tapi selama pemimpin itu mempunyai visi misi
yang baik dan adil bisa saja kita memilih itu. Kalau tidak adil itu juga
harus di tolak itu yang harus kita pertimbangkan.
Boleh banget justru bagus sisi-sisi kemanusiaan tolong menolong dalam
kehidupan itu kan baik justru islam mengapresiasi nilai-nilai itu. Selama
tidak melanggar aturan keyakinan.
Nama Hikmah
ROS Ya iyalah ada pasti. Demokrasi itu kan selaras dengan Islam.
Karena mengandung konsep musyawarah. Dan masih banyak lagi
Ya boleh malah saya anjurkan haahhaha.
6. Hasil Wawancara SPO
Nama Ijtihad
SPO Kalau saya syich, aduh jangan pake bawa-bawa al-Quran dan hadis dech,
gak apa gitu. Sebenarnya bisa syich tapi kita kan udah ada UUD, kasihan
orang kristen misalnya dan juga kita kan bukan negara islam.
Yang fleksibel-fleksibel aja lah. Ya karena, harus nyesuaiin dengan
kondisi aja.
Kalau saya kurang setuju aja, kalau mencuri potong tangan gituh loh.
Apa ya, rasa kemanusiaannya itu gak ada, lebih baik kalau misalkan
yang pencuri itu kita komunikasi, lu benar-benar mencuri ya? Jadi kalau
mencuri kemudian potong tangan no, itu rasa kemanusiaannya kurang.
Waris. Kalau pendapat aku sendiri syih harus di tafsir ulang, mungkin ini
kan konteks arab jadi mungkin diarab itu benar-benar laki-laki jadi
kepala keluarga, terus kemudian laki-laki dapat satu terus perempuan
dapat setengah. Mungkin laki-laki itu kepala keluarga yang harus
menghidupi istri dan juga anak-anaknya tapi kalau kemudian konteksnya
sekarang laki-laki tidak selamanya jadi kepala keluarga, bahkan ada yang
balance keduanya mencari nafkah, kemudian ada yang isterinya aja yang
mencari nafkah nah itu harus di tafsir ulang. Menurut saya itu lebih
kepada perannya kalau misalkan kebutuhan perempuan lebih besar dari
laki-laki gimana, kalau kebutuhan dan perannya dalam keluarga itu
penting gitu jadi di tafsir ulang aja gitu apa yang kita lihat kondisi aja
jangan ayatnya seperti itu terus kita ikutin gituh gak apa ya saya rasa itu
mengesampingkan akal kita.
Kepemimpinan wanita. Gak harus lihat skill aja. Bisa aja perempuan
lebih dari laki-laki, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya. Kalau
mau lebih lihat kekurangannya seperti hamil, haid dan lain-lain, laki-laki
juga punya kekurangan gituh jadi ya dipertimbangkan mana yang lebih
pantas aja, kalau misalkan mau lihat kekurangan dari perempuannya
hamil dsb, tapi laki-laki juga punya kekurangan gituh, jadi yang mana
diantara laki-laki dan perempuan itu yang pantas jadi pemimpin dari
kekurangan dan kelebihan yang dimiliki itu aja. Banyak koq perempuan
yang jadi pemimpin kayak di inggris seperti Ratu Elizabeth. Sebenarnya
ga bertentangan ini kan harus kontekstual kalau di arab kan mungkin
konteksnya kayak gitu tapi kalau sekarang kan beda. Kalau aku lebih
pada perkembangan kondisi saat ini aja.
Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
SPO Tradisi. Yap. Intinya akumah Beda kodisi sosial maksudnya begini kopi
ini cocoknya pake gula apa misalnya, tapi kemudian kita kasih gula yang
lain ya gak akan cocok jadinya. Ya kayak gituh.
Nama Ijma
SPO Ijma. Gak setuju, jadi apa ya kalau aku pribadi, aku orangnya memang
gak mau terlalu diatur-atur dikekang, i have my own conditions, yang
beda dengan orang lain ya kalau gak setuju dengan kondisi saya ngapain
ikut yang kayak gituh.
Bisa lah itu kan kayak rapat aja siapa yang menang dalam rapat itu yang
menjadi fatwa.
Nama Pluralisme
SPO Pluralisme. Itu keanekaragaman. Untuk urusan agama sudahlah itu
urusan pribadi aja, jangan dibawa-bawa ke orang lain itu untuk
kepentingan kita aja. Saya lebih respek ke barat, saya agama islam kamu
agama kristen, enggak di ekspos, jadi kepentingan yang tidak bawa-bawa
agama, jangan bawa-bawa kediri saya gituh.
Gotong royong. Ya bisa lah.
Nama Hikmah
SPO Hikmah. Ya harus belajar islam saya terapkan ke dalam diri saya, belajar
barat saya terapkan dala sosial saya
7. Wawancara Dengan IHM
Nama Ijtihad
IHM Menurut saya bisa. Bisa banget pertama al-Quran dan hadits itu
dikalau kita menilisik dijaman Rasulullah ketika fathul mekkah.
Fathul mekkah itu dimana masyarakat madani ada disana itu yang
muslim dan non muslim bersama-sama membangun negara yang
tidak ada gontol-gontokan dan itu landasannya itu Islam.
Yang pertama kita harus paham benar asbabun nujul dari ayat itu
turun atau asal muasal dari ayat itu turun. Dan kalau tadi misalkan
ditanyakan apakah kita harus saklek mengikuti apa yang dikatakan
dalam al-Quran ataukah hanya potongan-potongan ataukah kita
hanya buat yang mengikuti perkembangan jaman kalau menurut
saya jawabannya yang tepat adalah bagaimana kita tetap mengacu
mengambil yang ada dalam al-Quran tapi disesuaikan bukan
hanya motong-mtong tapi disesuaikan dalam artian dalam koridor
yang masih dalam ayat tersebut.
Yang saya yakini yang Allah turunkan dan yang diantarkan oleh
jibril dan diterima oleh muhammad ketika ada potong tangan di
awal saya sudah sampaikan kita lihat asbabunnujul-nya ayat itu
turun, jangan sampai intrepretasi kita malah mengartikan saklek
dengan potong tangan. Bisa kita lihat asbabunnujul-nya potong
tangan itu. Beberapa pendapat ulama mengatakan hukum potong
tangan itu sebenarnya bentuk ketika kita sudah benar-benar
memuncak sudah berulang-ulang melakukan kesalahan tersebut
sudah diingatkan dan itu pun barulah dilakukan hukum seperti itu
dan itu bukan semerta-merta dilakukan hukum potong tangan
enggak sama sekali seperti itu. Dan tentunya dengan
pertimbangan-pertimbangan yang banyak. Kebijakan potong
tangan itu ada pada kebijakan seorang pemimpin bagaimana
ulama-ulama itu bisa menyingkapi pasti kan ketika jaman
Rasulullah hukum potong tanga itu ada. Tapi inget di Indonesia
kita sudah punya UU yang jelas untuk saat ini dan itu belum bisa,
Yang bisa melakukan hukum potong tangan itu adalah negara
yang mengaplikasikan syariat Islam. Kalau di Indonesia belum
bisa.
Itu unik itu pertanyaan teman sma dulu. Bu kenapa bu perempuan
dapat lebih dikit dari laki-laki, guru agamanya perempuan.
jawaban guru agama saya simpel banget ya perempuan juga nanti
dapat dari laki-laki karena perempuan itu hartanya. Jadi kalau
misalkan keluarga gitu kan hartanya suami itu hartanya istri gitu
kan jadi bukan hartanya suami jadi kalaupun perempuan dapatnya
setengah dia dapat satu juga karena suami itu kan hartanya dibagi
dua buat dia ama buat istrinya gituh jadi sama aja. Adil gituh
karena suami itu kepala rumah tangga jadi dia banyak bebannya
dibandingkan perempuan. itu sudah adil nanti kalau kita
bekeluarga pun yang saya rasakan pasti seperti itu, nanti juga
hartanya laki-laki juga hartanya perempuan.
Perlu kita lihat kenapa syih harus laki-laki untuk jadi pemimpin
gituh banyak temuan yang menjelaskan bahwa sesungguhnya
untuk laki-laki kenapa dijadikan pemimpin bahasa gampangnya
itu dia laki-laki lebih mempunyai memakai logika daripada
perasaan gampangnya seperti itu dibandingkan perempuan yang
lebih mengutamakan perasaannya sehingga untuk masalah
kepemimpinan bisa jadi laki-laki lebih tegas dibandingkan
perempuan . kita melihat paradigmanya sekarang adalah banyak
sebenarnya perempuan itu sudah jadi pemimpin tapi bukan
pemimpin rumah tangga ia adalah pemimpin kepala sekolah ketua
jurusan iyakan tidak menutup kemungkinan wanita jadi pemimpin
tapi sekali lagi porsinya itu dibedakan antara laki-laki dan
perempuan dimana untuk mengambil suatu kebijakan pun seorang
kajur seorang, kepala kantor pasti akan membutuhkan masukan
dari laki-laki begitu juga pihak laki-laki ketika jadi pemimpin toh
kita juga perlu masukan dari perempuan karena sekali lagi yang di
pimpin bukan hanya laki-laki saja sama perempuan juga sama
yang dipimpin bukan hanya perempuan. Tapi Allah memang lebih
mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Dari beberapa
ilmu mengatakan seperti itu bahwa laki-laki lebih baik dari
perempuan. kalau menurut saya Allah mempunyai porsi yang
istimewa untuk laki-laki bukan berarti lebih baik tapi porsi
istimewa untuk laki-laki dibandingkan perempuan.
Nama Preseden Tradisi Zaman Awal Islam
IHM Kalau menurut saya sangat relevan, kenapa karena banyak
ibrohnya sebeanarnya. Kita lihat dari sisi potong tangan, ketika itu
memang sudah klimaks, dan itu merupakan sebuah aib jadi ketika
akan melakukannya lagi, menurut saya kemungkinannya lebih
kecil daripada hukum yang sekarang penjara gitu kan hanya
beberapa tahun sudah bebas gitu kan efek jeranya kurang apa lagi
di penjara dengan fasilitas yang mewah jadi kurang adil.
Karena gak ada lagi nanti perselisihan adil gak adil. Yang paling
jelas itu adalah waris sampai ukurannya pun ada sampai cucunya
pun bisa dapet sampai segitunya itu jelas banget kalau dirubah itu
bagi saya kurang relevan jadinya. Karena sudah jelas Allah
bilangnya seperti itu rasul juga jadi enggak ada perselisihan jadi
menurut saya sangat baik menggunakan hukum waris Islam.
Karena itu sangat adil.
Kalau yang pemimpin jatuhnya itu musyawarah, maksudnya
ketika memang sudah tidak ada pilihan lain baru kemudian
permpuan tapi karena laki-laki punya porsi istimewa yang allah
berikan. Tapi bukan berarti laki-laki lebih baik.
Nama Ijma
IHM Apresiasi itu penting karena bagian dari menghargai hasil karya
orang lain dan yakinlah ketika ulama-ulama itu melakukan suatu
ijma, itu memerlukan proses yang lama gak mungkin serta merta
menurut saya kayak gini enggak kan pasti itu ada prosesnya dan
enggak sembarangan orang yang menguasai.
Itukan mengqiyaskan kondisi dulu ke jaman sekarang. Bisa jadi
pendapat dulu belun ada disekarang gituh contohnya uang pada
zaman rasulullah itu kan adanya dinar sama dirham tapi kita
memakai uang kertas gitu kan ini merupakan suatu proses yang
panjang pake uang kertas. Jadi bukan diperbaharui bahasanya tapi
bukan diperbaiki juga sebenarnya dirubahpun enggak tapi menurut
saya tetap haru mengacu kepada ijma yang sudah ada ditetapkan.
Ijma itu kan mengikuti kondisi dan tempat sebenarnya, tapi
mengan catatan mengikuti ijma yang sebelumnya. Jadi ijma yang
dulu gak kepakai dan diganti dengan ijma yang baru.
Intinya menurut saya ada di menutup auratnya itu. kalau kemudian
ada perbedaan batas tutupan itu gak masalah. Tapi itu landasannya
kan muka dan telapak tangan. Jadi gak boleh asal-asalan juga yang
penting itu tadi aurat.
Nama Pluralisme
IHM Kalau saya memberikan salam itu kepada non-muslim gak usah.
Tapi kalau kita gak tahu ya gak apa-apa. Tapi lebih baik gak usah.
Prinsipnya sama dalam memilih pemimpin perempuan ketika
memang sudah tidak ada lagi laki-laki yang memimpin pada
akhirnya kan perempuan naek sama seperti dengan pemimpin non
muslim kalau memang sudah tidak ada kriteria yang bagus
dikalangan muslim yang gak jadi masalah, yang jelas selama dia
tidak serta merta menghalangi umat islam untuk menjalankan
syariat islam, untuk berdakwah dan apabila itu dilarang itu baru
bahaya. Tapi ketika ada yang islam milih yang islam saja
Gak apa-apa ibrohnya soalnya banyak yang terkandung dalam
gotong royong dan kerja bakti itu. dan rasulullah memang
menyuruh kita untuk melakukan itu, asal itu tadi tidak keluar dari
batas-batas yang ditetapkan oleh Quran dan hadis.
Nama Hikmah
IHM Ada banyak nilai-nilai Barat yang sesuai dengan Islam. Dan saya
pribadi kalau diberikan kesempatan mau untuk belajarr ke Barat
ke Harvard contohnya gituh.
8. Hasil Wawancara SHI
Nama Ijtihad
SHI Al-quran dan hadis itu kan banyak penafsirannya, para ulam itu
banyak berbeda-beda. Terus pemahaman ulama mana sebenarnya
yang akan dijadikan landasan? Apa kita bikin pemahaman sendiri.
Nah kalau pemahaman pemerintah gak sama dengan salah satu
ulama terkenal bagaimana? Nanti kan jadi cek-cok. Ketika al-
Quran akan dijadikan UU pasti banyak pertentangan enggak akan
selalu mulus dan proses dalam menjadikan landasan al-Quran itu
justru tidak membawa kebaikan itu akan mempersulit,
memperumit dan akan menambah masalah sendiri bagi
pemerintah. Tapi secara personal bisa maksudnya tiap orang kan
punya keyakinan untuk menerapkan kebaikan. Tapi ketika
dijadikan undang-undang kepemerintahan itu kemudian yang akan
jadi bermasalah. Karena memang sejak dulu selalu bermasalah
ketika al-Quran itu dijadikan landasan dan masalahnya bukan pada
isi al-Quran-nya, tapi ketika diterapkan pada konteks tertentu itu
ada yang menyatakan itu baik atau enggak? Apakah sudah sesuai
pemahaman terhadap al-Quran untuk menerapkan kebaikan.
Menurut saya dalam memahami al-Quran itu banyak beraneka
ragam dan penerapannya pun selalu beragama dan itu akan
menambah maasalah sendiri dan solusinya tidak selalu berada
dalam al-Quran, karena kalau kita selalu melihat bahwa yang
mengatakan semua solusi ada dalam al-Quran itu salah, karena al-
Quran hanya menerapkan landasan-landasan kebaikan.
Fleksibel. Karena yang paling dibutuhkan dalam menafsirkan al-
Qur‟an itu hati nurani, untuk bagaimana penerapan dari al-Quran
itu bisa membawa kebaikan bagi orang banyak jadi tujuan yang
paling penting itu tujuan itu. Karena al-Quran sebagai rahmatan
lilalamin untuk menyebarkan kebaikan. Jadi apakah yang akan
kita terapkan dalam al-Quran akan membawa kebaikan, itu kan
harus ditinjau ulang, enggak ada satu tinjau saja, harus ditinjau
apakah penerapannya seseuai dengan kebaikan umum? Kalau
tidak sesuai berarti, bukan al-Quran-nya yang salah, kita harus
melihat konteks atau penerapannya. Karena saat rosul kan
memang berdasarkan al-Quran waktu itu tapi ya begitu Rasul itu
selalu memperbaiki diri untuk disejajarkan dengan konteks maka
dari itu rosul tidak langsung punya otoritas untuk memberikan
solusi, rosul selalu bermusyawarah kepada sahabatnya, ketika ada
sebuah permasalahan. Kalau ada yang bilang al-Quran dan hadis
sudah cukup, apa fungsi harus bermusyawarah dengan
sahabatnya.Landasan kebaikan ada dalam al-Quran dan hadis ia
sama dengan pancasila, UUD 45 itu islami juga kedua-duanya,
tapi untuk kebijakan solusi ga ada dalam al-Quran.
Tidak bisa hukum potong tangan, ini masalah kebijakan bukan
prinsip. Tapi lebih pada kebijakan atau peraturan, ya mungkin bisa
bagi orang-orang tertentu tapi. Potong tangan itu harus dilihat
pada konteksnya, asbabun nuzulnya. Karena setahu saya ayat ini
sudah tidak berlaku saat Umar dengan beberapa alasan bahwa ayat
ini tidak sesuai lagi dengan konteks ayat itu. Pada zaman rasul
umar setuju. Di Indonesia harus diuji lagi apalah hukum potong
tangan akan memberikan kebaikan yang lebih luas tidak, karena
yang mencuri itu kebanyakan terpaksa tapi kalau koruptor saya
setuju potong tangannya, mereka itu sudah kaya tapi masih
nyomot-nyomot uang negara. Tapi kalau orang miskin mencuri
karena terpakasa, bagaimana ia mencari nafkah? Malah
membubuh dia dong.
Waris konteksnya juga harus di kaji lagi. Ya karena untuk
kebaikan tidak ada yang pasti. Ga bisa dipukul rata, karena setiap
orang punya kondisi dan akan selalu beragam untuk solusinya.
Rasul waktu itu masih dalam lingkungan terbatas untuk saat itu,
tapi untuk kebijakan memang harus ditafsirkan ulang.
Kepemimpinan wanita. Ya iya, tapsirnya ini sudah beragam. Bagi
saya konteks itu lebih penting dari hanya pemahaman teks.
Konteks dan hati nurani. Boleh wanita itu mimpin mimpin negara,
kenapa enggak. Tapi harus teruji dulu kepemimpinannya. Laki-
laki dan perempuan gak ada bedanya. Jadi intinya pemerintah,
organisasi, dan anggotanya harus bekerjasama. Pemimpin ini bisa
enggak memberikan sumbangan yang besar atau hasil maksimal.
Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
SHI Yang jelas setiap daerah punya perbedaan masing-masing karena
setiap daerah punya masalahnya masing-masing. Satu masalah ya
satu solusi. Ya saya berani mengatakan itu hukum potong tanga,
saol wanita dipimpin ama laki-laki dan hukum waris tidak relevan.
Karena zaman modern solusinya harus ditemukan benar-
benar,.mengatasi tidak bisa oh ini diterapkan di masa Rosul pasti
benar ini gak bisa. Kalau gitu caranya ya sama kayak jaman raja
pokoknya manut-manut aja sama pemimpinnya ga ada solusi yang
diberikan.
Nama Ijma
SHI Ijma. Ijma itu ya kesepakatan kepemimpinan ulama.
Ya lah penghormatan harus. Ya karena ulama itu kan pintar orang
yang diunggulkan dia yang ditauladani dia yang menjadi tulang
punggung masyarakat untuk memberi solusi-solusi baru.
Jelas bisa. Kalau dulu orang-orang yang memberikan ijma solusi
itu ulama-ulama keagamaan tapi sekarang bukan, ijma itu bukan
hanya ahli agama karena pemasalahan tidak hanya datang dari
agama, permasalahan itu datang dari masalah sosila, teknologi dan
yang ahli dalam bidang itu juga harus dilibatkan terhadap ijma
karena kalau ahli agama itu gak mungkin dan enggak akan
menghasilkan solusi kalau masalahnya bukan dari agama
sebenarnya. Itu bagaimana kiai-kiai ulama-ulama memberikan
solusi? padahal mereka bukan ahlinya makanya harus
mengandalkan orang-orang yang punya kompetensi dalam bidang
itu kalau dalam masalah kemiskinan sosiologi ya harus dilibatkan
dalam ijma itu bukan MUI. Ijma itu bukan hanya ulama-ulama
MUI.
Ya gak bisa lah kondisi di arab ma kita jauh banget. Dan juga
kondisi masyarakatnya juga beda. Dan satu hal lagi nabi kan
pernah bilang bahwa perbedaan di umatku itu adalah rahmat. Jadi
ya gak.
Nama Pluralisme
SHI Setahu saya paham tentang keanekaragaman bukan hanya soal
budaya, adat istiadat, tapi pemikiran juga.
Oh beda kalau toleransi lebih ke siap untuk menghargai atau
pluralisme tadi .
Boleh gak apa-apa baik itu
Ya gak apa-apa selama non muslim itu bisa dan tidak
diskriminatif, kenapa tidak?
Apa lagi ini fardu ain
Nama Hikmah
SHI Ada banyak, misalnya penghormatan terhadap akal pikiran, itu
sesuai dengan Islam karena di kita tuhan memang mewajibkan
kita untuk melakukan itu.
Perlu malah harus agar muslim bisa berkembang dan tidak
dianggap warga kelas dua.