BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berubahnya zaman yang disertai dengan perkembangan teknologi
membuat orang semakin kreatif untuk menciptakan sesuatu yang baru.Namun,
hal ini justru disalah gunakan dengan menciptakan barang-barang tiruan di
berbagai bidang. Sehingga di era perdagangan global saat ini, perlindungan
terhadap merek merupakan hal yang harus dilakukan oleh setiap negara.Hal ini
dikarenakan merek mempunyai peran yang penting untuk menciptakan iklim
persaingan usaha yang sehat antara para pelaku usaha.Indonesia sendiri juga
telah mengatur mengenai masalah perlindungan merek dalam satu undang-
undang tersendiri yaitu, UU No.15 tahun 2001 tentang merek. Yang dimaksud
merek oleh UU tersebut ialah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-
huruf, angka-angka, susunan warna, maupun kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa. Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat kita
lihat bahwa barang-barang yang kini banyak beredar di pasaran merupakan suatu
pelanggaran atas hak merek. Akibatnya para konsumen dibuat bingung karena
barang-barang tiruan tersebut sangat mirip dengan barang asli. Dengan harga
yang jauh lebih murah, para konsumen tentu akan memilih untuk membeli
barang tiruan tanpa menyadari kualitas barang tersebut yang akan lebih mudah
rusak dibanding barang asli.
Seiring berjalannya waktu setelah diundangkannya UU No.15 tahun
2001, implementasi UU tersebut ternyata belum berjalan secara optimal. Di
kabupaten Bondowoso sendiri misalnya, marak sekali peredaran dan penjualan
barang palsu terutama di bidang mode yang memberikan dampak bagi pemilik
industry, konsumen. Yang mana, Berdasarkan hasil studi MIAP dengan LPEM
FEUI terhadap 12 sektor industri pada periode 2002-2005, menyebutkan,
tindakan pemalsuan di industri sepatu, tekstil, pakaian jadi, rokok, dan pestisida
selama periode tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp 4,4 triliun. Ini
belum termasuk pemalsuan terhadap produk software yang menimbulkan
1
kerugian Rp 3,6 triliun. Kegiatan pemalsuan di 12 bidang industri tersebut telah
pula menghilangkan potensi lapangan pekerjaan sebanyak 124 ribu.1
Berdasarkan Fakta Hukum yang terjadi di kabupaten Bondowoso,
Banyak kasus pelanggaran terhadap HKI yang kini sedang dilakukan
pemeriksaan oleh para aparat hukum, seperti menurut penelitian Tim Nasional
Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI),
bahwa menurut catatannya telah terjadi 65 kasus pelanggaran dalam bidang
HKI, dengan rincian 45 pelanggaran terhadap hak cipta, 17 pelanggaran
terhadap hak merek, dan tiga kasus pelanggaran terhadap hak paten. Dari ke 65
kasus tersebut hanya enam kasus yang sudah terselesaikan, sedangkan 59 kasus
masih dalam tahap pemeriksaan. Data tersebut tentunya hanya sebagian kasus
yang terungkap di permukaan.Padahal berdasarkan penelusuran di lapangan,
masih banyak peredaran dan penjualan barang palsu, terutama dalam bidang
mode di pasar-pasar. Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur juga tak luput dari
praktek peredaran dan penjualan barang palsu, seperti pemalsuan merek
terhadap tas merek Coach, ransel, kaos merek nevada, sepatu merek jelly, crocs,
ariesta mode, new era, baju obral berkisar 10-35 ribu. Biasanya barang-barang
palsu tersebut dijual di pasar-pasar maupun toko-toko kecil. Hal ini yang
menyebabkan atau menimbulkan pertentangan antara das sollen dengan das
seinnya.
Setelah adanya fakta hukum yang bertentangan dengan undang-undang,
saatnya untuk mengetahui pengertian atau maksud dari barang palsu tersebut
yaitu merupakan barang-barang yang diproduksi dan / atau diperdeagangkan
dengan menggunakan merek terdaftar milik pihak lain. Pelanggaran terhadap
merek tersebut ternyata dilakukan secara sadar baik oleh si pembuat, pembeli
maupun penjual barangbpalsu tersebut. Bahkan penjualan barang palsu yang
merupakan pelanggaran dijadikan mata pencaharian tetap bagi sebagian penjual.
Maraknya peredaran barang di kabupaten Bondowoso dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor yang utama adalah sanksi hukum pada UU No.15 tahun
2001 hanya dapat dijatuhkan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hanya
1http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25 September 2012.
2
jika ada aduan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain.
Sehingga jika tidak pengaduan maka tidak dapat dilakukan proses hukum.
Faktor yang lain adalah sistem perlindungan hak merek yang dianut oleh
Indonesia saat ini adalah sistem first to file, yaitu pelanggaran merek terjadi jika
ada tindakan-tindakan penggunaan merek terdaftar oleh pihak-pihak beritikad
buruk yang dilakukan dalam masa perlindungan atas merek yang bersangkutan
sebagaimana tertera dalam sertifikat pendaftaran mereknya. Atau dengan kata
lain orang yang melakukan pengaduan harus mampu menunjukkan sertifikat
merek atau alas hak lainnya yang sah pada saat melakukan pengaduan atas suatu
tindak pidana merek. Jadi tidak ada pelanggaran tanpa pendaftaran merek. Selain
faktor yuridis diatas, faktor masyarakat pun juga memberikan pengaruh terhadap
maraknya peredaran dan penjualan barang palsu, seperti minimnya pengetahuan
mereka akan pelanggaran merek, faktor ekonomi masyarakat kabupaten
Bondowoso yang sebagian besar tidak dapat menjangkau untuk membeli barang
original atau barang asli, sehingga mereka beralih untuk membeli barang palsu
yang lebih murah dan hampir menyerupai barang asli meskipun kualitasnya
berbeda.
Adanya peredaran dan penjualan barang palsu dalam bidang mode di
kabupaten Bondowoso menyebabkan kerugian yang besar bagi pemilik merek,
seperti menurunnya nilai penjualan barang. Setelah meninjau alasan-alasan
tersebut, maka sangat diperlukan untuk membentuk suatu peraturan daerah di
kabupaten Bondowoso yang mengatur mengenai pelarangan dan peredaran
barang palsu dibidang mode. Hal ini sebagai upaya perlindungan terhadap
merek, serta penegakan aturan hukum. Salah satu upayanya adalah pengaturan
mengenai penjatuhan sanksi bagi mereka yang membuat, menjual, maupun yang
membeli barang palsu. Untuk meningkatkan efek jera dapat dijatuhkan sanksi
baik berupa sanksi perdata, sanksi pidana maupun kombinasi antara keduanya.
Sehingga dengan demikian dapat meminimalisir bahkan menghentikan
peredaran dan penjualan barang palsu dalam bidang mode di Kabupaten
Bondowoso.
B. Identifikasi Masalah
1. Permasalahan yang kini tengah dialami sebagian masyarakat kita adalah
berkenaan dengan peredaran barang-barang tiruan, sekilas permasalahan ini
3
nampak tidak terlalu serius sehingga luput dari perhatian pemerintah. Tidak
adanya tindakan yang nyata dari pemerintah juga menyebabkan masyarakat
semakin leluasa untuk melakukan tindakan yang melanggar UU No.15 tahun
2001 ini. Permasalahan ini dapat diatasi dengan membuat suatu peraturan
yang jelas, namun tidak cukup sampai disitu, peran struktur yang terdiri dari
pemerintah dan masyarakat juga dibutuhkan. Karena membuat masyarakat
untuk turut berperan aktif dalam pelaksanaan suatu peraturan tidak semudah
membalikkan telapak tangan maka perlu kesadaran dari dalam diri
masyarakat, soaialisasi oleh pemerintah juga dibutuhkan, kemudian
pelaksanaannya juga harus dalam pengawasan pemerintah.
2. Rancangan peraturan daerah terkait pelarangan peredaran barang palsu di
kabupaten Bondowoso dirasa perlu karena diharapkan mampu melindungi
hak merek dari suatu produk, hal ini juga berkaitan dengan perlindungan atas
kreativitas seseorang. Apabila tindakan memalsu barang terus dilanjutkan
tentu hal ini akan mengurangi inovasi-inovasi terhadap barang tertentu.
Keterlibatan negara maupun pemerintah dalam mewujudkan iklim
persaingan usaha yang sehat sangat dibutuhkan, karena mereka lah yang
mampu memberikan sanksi yang tegas bagi para pelanggar undang-undang.
3. Yang menjadi dasar filosofis dari pembuatan rancangan peraturan daerah ini
adalah agar masyarakat lebih menghargai ati nilai dari sebuah kejujuran,
diharapkan dengan adanya peraturan ini dapat mendidik masyarakat menjadi
masyarakat yang sadar akan akibat yang ditimbulkan apabila mereka tetap
membeli barang tiruan. Sedangkan dasar sosiologisnya adalah dalam
kehidupan bermasyarakat tentu tidak dibenarkan untuk merugikan orang
lain, mengingat persaingan yang sehat menuntut agar tidak saling merugikan
antara konsumen dan produsen.
4. Dengan adanya peraturan daerah ini nantinya diharapkan masyarakat dapat
mematuhinya serta merujuk pada UU No.15 tahun 2001 tentang merek. Para
pembuat barang bajakan dapat membuat dan mendaftarkan mereknya
sendiri. Diharapkan persaingan sehat di dunia usaha dapat tercipta do
kabupaten Bondowoso. Peraturan daerah ini nantinya juga diharapkan dapat
menjangkau masyarakat awam yang membutuhkan pemahaman lebih atas
peraturan yang telah ada sebelumnya.
4
C. Tujuan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat diuraikan sebagao
berikut :
1. Untuk mengetahui tindakan nyata dari pemerintah bagi yang melanggar
UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
2. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis Rancangan peraturan daerah
terkait pelarangan peredaran barang palsu di Kabupaten Bondowoso;
3. Untuk mengetahui pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis mengenai pembentukan rancangan Undang-undang atau
Rancangan Peraturan Daerah terkait pelarangan peredaran barang palsu
di Kabupaten Bondowoso;
4. Untuk mengetahui sasaran yang akan diwujudkan dari pembuatan
peraturan rancangan peraturan daerah tentang pelanggaran merek atau
barang palsu di Kab. Bondowoso.
D. Manfaat Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penyusunan perancangan Undang-
undang atau Rancangan Peraturan Daerah :
a. Memberikan pandangan yang luas dalam pemahaman terhadap tindakan
yang nyata dari pemerintah bagi yang melanggar UU No. 15 Tahun 2001
tentang Merek.
b. Sebagai sarana untuk pembelajaran dalam rancangan peraturan daerah
terkait peredaran barang palsu di kabupaten Bondowoso.
c. Sebagai Informasi sasaran yang wijudkan darirancangan pembuatan
peraturan daerah.
d. Bagi pemerintah sebagai masukan dan lebih tegas dalam rancangan
pembuatan peraturan daerah terkait peredaran barang palsu di kabupaten
Bondowoso;
e. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi dan pengetahuan terhadap
masyarakat mengenai adanya rancangan pembuatan peraturan daerah terkait
peredaran barang palsu di kabupaten Bondowoso.
5
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Sebagai suatu hak yang lahir melalui intelektual manusia, hak
merek yang merupakan salah satu dari hak kekayaan intelektual (HKI)
perlu mendapatkan perlindungan hokum. Tanpa adanya perlindungan
hukum yang memadai, tentunya hal ini dapat menyebabkan peredaran
barang palsu atau biasa disebut barang KW di kalangan masyarakat
mengalami peningkatan terus menerus.
1.1 Pengertian Merek
Pada umumnya diera perdagangan global yang terjadi seperti
sekarang, banyak pelaku usaha berlomba-lomba menarik minat
masyarakat untuk membeli produk dalam bentuk barang maupun jasa
yang telah diproduksinya. Strategi yang digunakan oleh para pelaku
usaha tersebut adalah melalui merek atas suatu produk. Merek
bermanfaat sebagai pembeda antara produk satu dengan produk lainnya
yang sejenis, selain itu merek juga dapat menentukan tinggi rendahnya
harga suatu produk, serta menjaga persaingan usaha yang sehat antar
pelaku usaha. Semakin terkenal suatu merek, maka semakin tinggi harga
produk tersebut, dan begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu, merek
merupakan komponen utama yang harus ada dalam suatu produk.
Menurut UU No.15 Tahun 2001 Tentang merek pasal 1 ayat 1,
merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-
angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa.
Banyak para ahli hukum di dunia yang memberikan pengertian
merek, seperti :
Suryodiningrat, di dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Merek,
bahwa merek adalah barang-barang yang dihasilkan oleh
pabriknyadengan dibungkus dan pada bungkusnya itu dibubuhi tanda
tulisan dan/atau perkataan untuk membedakannya dari barang-barang
6
sejenis hasil pabrik pengusaha lain. Tanda itu disebut merek
perusahaan2,
Soekardono mendefinisikan tentang merek dalam bukunya
hokum Dagang Indonesia Jilid I, merek adalah sebuah tanda, dengan
mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga untuk
mempribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang
dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau
diperniagakan oleh orang-orang atau badan perusahaan lain3.
H.M.N. Purwosutjipto, S.H. memberikan pengertian merek
sebagai berikut, merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda
tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain
yang sejenis4.
Menurut Knapp (2001), merek adalah internalisasi sejumlah
kesan yang diterima oleh pelanggan dan konsumen yang mengakibatkan
adanya suatu posisi khusus dalam ingatan mereka terhadap manfaat
emosional dan fungsional yang dirasakan. Sebuah merek dikatakan
khusus jika konsumen merasa yakin bahwa merek-merek tersebut benar-
benar khusus.
Menurut Aaker (1996), merek merupakan nama atau simbol yang
bersifat membedakan (seperti logo, cap, kemasan) dengan maksud
mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah
kelompok penjual tertentu.
Menurut Kotler (2000), merek adalah suatu janji penjual untuk
secara konsisten memberikan feature, manfaat dan jasa tententu kepada
pembeli, bukan hanya sekedar simbol yang membedakan produk
perusahaan tertentu dengan kompetitornya.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan, bahwa merek adalah :
1. Merupakan tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, maupun kombinasi dari
berbagai unsur tersebut
2. Berfungsi sebagai pembeda antara dengan produk lain yang
sejenis.
2 Suryodiningrat, R. M. Pengantar Ilmu Hukum Merek, Pradya Paramita, Jakarta, 1975, h. 30.3 Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I,Cetakan Ke 4, Soeroengan Jakarta, 1967, h. 1494 H. OK. Saidin, OP, cit, h.343.
7
3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang maupun jasa.
1.2 Pengertian Pemalsuan
Pada saat ini peredaran dan penjualan barang-barang palsu di
Indonesia terbilang tinggi dari tahun ke tahun.Sehingga seolah-olah pasar
di Indonesia dapat dikatakan sebagai surga bagi para penjual barang
palsu.Pemalsuan merupakan tindak pidana berupa pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI).
Menurut Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP),
pemalsuan adalah memproduksi suatu produk yang menyalin atau
meniru penampakan fisik suatu produk asli sehingga menyesatkan para
konsumen bahwa ini adalah produk dari pihak lain5. Yang termasuk
pemalsuan seperti produk yang melanggar merek dagang, pelanggaran
hak cipta, peniruan kemasan, label, dan merek.
Menurut para ahli, penggolongan barang palsu berdasarkan
tingkat pelanggaran dibagi menjadi empat golongan, yaitu ;
1. Produk palsu sejati (True Conterfeit Product)
2. Produk palsu yang tampak serupa (Look-Alike)
3. Reproduksi
4. Imitasi yang tak meyakinkan.
Dikalangan masyarakat barang palsu yang sering beredar adalah
produk palsu yang tampak serupa (Look-Alike) atau lebih dikenal dengan
istilah barang KW. Terdapat dua pendapat tentang pengertian barang
KW, yaitu petama, jika konteks barang KW yang dimaksud adalah
kwalitas 1, 2, 3, maka artinya barang tersebut merupakan produksi dari
satu perusahaan yang sama. Misalnya produk tas merek GEORGIO
ARMANI, Channel, Louis Vuitton, Esprit, Gucci. Dalam hal ini
perusahaan tersebut membuat barang yang sama namun dengan standar
kualitas yang bertingkat. Akan tetapi jika ini yang dilakukan maka
perusahaan tersebut harus memberikan informasi pada labelnya kepada
konsumen. Namun hal yang mustahil jika perusahaan yang ternama
5http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25 September 2012.
8
dengan barang branded nya membuat kualitas yang berbeda-beda, jika
hal itu terjadi tentunya akan menjatuhkan nama perusahaan dan
produknya.
Kedua, barang KW yang berarti produk tiruan (palsu).Barang ini
yang biasanya beredar di pasaran. Barang KW tersebut bukan hasil
produksi dari perusahaan yang mengeluarkan barang branded, misalnya
merek GEORGIO ARMANI, Channel, Louis Vuitton, Esprit, Gucci,
tetapi dibuat oleh perusahaan yang sama sekali berbeda. Pihak yang
meniru tersebut dapat meniru model atau memalsukan merek. Biasanya
barang-barang palsu ini di lingkungan para pedagang diberi nama barang
"tembakan", artinya mirip barang asli. Jika dilihat sepintas fisik barang
KW tidak kalah dengan barang asli, Namun ketika diperhatikan secara
teliti maka akan jauh berbeda dari sisi bentuk fisiknya apalagi
kualitasnya.
1.3 Teori
Terdapat teori yang menjadi dasar sehingga disusunnya naskah
akademik ini, teori tersebut antara lain :reward theory, bahwa teori ini
memberikan suatu pengakuan terhadap karya intelektual, dalam hal ini
hak merek yang telah dihasilkan oleh seseorang melalui kerja kerasnya.
Pengakuan tersebut dapat berupa penghargaan sebagai imbalan atas
upaya-upaya inovatif dan kreatif dalam menemukan atau menciptakan
karya-karya intelektual.Reward theory juga sejalan dengan teori recovery
theory, yakni pemilik merek yang telah mengeluarkan waktu, biaya, dan
tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh
kembali sesuai dengan apa yang telah dikeluarkannya tersebut.
Selanjutnya, teori Robert M. Sherwood dalam teorinya risk theory,
menurut teori ini Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu hasil karya
yang mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang
terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga
demikian adalah wajar untuk membentuk suatu perlindungan hokum
terhadap upaya yang mengandung resiko tersebut. Sherwood
berpendapat, bahwa resiko yang mungkin timbul dari penggunaan secara
illegal, sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomis maupun moral
9
bagi pencipta dapat dihindari, jika terdapat landasan hokum yang kuat
maka dapat melindungi HKI tersebut.
Berdasarkan teori-teori tersebut, maka naskah akademik ini
disusun sebagai upaya untuk melindungi hak intelektual yang dimiliki
para pemilik hak (hak merek), sehingga hasil karya intelektual yang
dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualnya melalui kerja keras,
dan pengorbanannya mendapatkan perlindungan hokum guna mencegah
bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa adanya
kompensasi kepada pihak yang menghasilkan karya-karya intelektual
tersebut. Selain itu, melalui naskah akademik ini diharapkan dapat
meminimalisir jumlah peredaran dan penjualan barang palsu di
Kabupaten Bondowoso, serta menumbuhkan dan meningkatkan
kreativitas masyarakat Kabupaten Bondowoso untuk menghasilkan suatu
produk baru yang berbeda dari produk yang lain. Dengan demikian dapat
menumbuhkan persaingan usaha yang sehat antara para pelaku usaha.
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
Asas di dalam suatu peraturan hokum merupakan hal yang sangat
penting, tidak ada hokum yang dapat dimengerti tanpa asas-asas
tersebut.Norma-norma adalah pengejawantahan dari asas yang ada dalam
peraturan hukum. Dalam Naskah Akademik ini, asas-asas yang
digunakan adalah :
a. Asas Kepribadian
Asas ini berarti bahwa penegakkan terhadap pelarangan dan peredaran
barang palsu merupakan suatu tindakan untuk melindungi, menghormati,
dan mengakui terhadap kepribadian manusia, dalam hal ini adalah pemilik
merek, Perlindungan kepada pemilik merek merupakan perlindungan
terhadap kepribadian manusia tersebut.
b. Asas Persekutuan
Asas ini menghendaki kehidupan yang tertib, aman, dan damai di dalam
masyarakat.Pelarangan peredaran dan penjualan barang palsu perlu untuk
ditegakkan untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di masyarakat,
sehingga tidak ada pihak (pemilik merek) yang merasa terganggu dengan
adanya keberadaan barang palsu.
10
c. Asas kesamaan
Asas ini berarti bahwa setiap orang dianggap sama di depan hokum, keadilan
merupakan realisasi dari asas ini. Asas kesamaan yang dimaksud dalam
naskah akademik ini adalah bahwa setiap orang berhak untuk memiliki
merek dan mendapatkan hak merek.Hak atas merek dapat diperoleh jika
telah memenuhi persyaratan, yaitu melalui pendaftaran merek.Berdasarkan
hal tersebut, maka para pihak yang melakukan peredaran dan penjualan
barang palsu telah melanggar hak pemilik merek. Para penjual yang menjual
barang palsu sudah sepantasnya tidak berhak untuk memperjual belikan
barang palsu, sedangkan pemilik merek berusaha untuk membuat merek
tersebut terkenal di kalangan masyarakat melalui berbagai cara dengan
investasi dan strategi usaha tertentu. Agar pemilik merek memperoleh
keadilan, maka perlu suatu peraturan untuk menegakkan hokum, yaitu
melalui suatu peraturan daerah tentang pelarangan peredaran dan penjualan
barang palsu.
d. Asas pemisahan antara baik dan buruk
Asas ini berarti bahwa adanya pemisahan antara perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.Tindakan untuk mengedarkan dan
penjualan barang palsu adalah perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.
e. Asas perlindungan terhadap merek terdaftar
Mengingat Indonesia menggunakan asas konstitutif pada pendaftaran merek,
maka hanya merek yang terdaftar yang dapat memeperoleh perlindungan
hokum.Perlindungan terhadap merek terdaftar perlu dilakukan untuk
melindungi hak-hak para pemilik merek yang dirugikan akibat adanya
peredaran dan penjualan barang palsu di pasaran.Berdasarkan hal tersebut,
jika merek yang dipalsukan bukan merupakan merek yang terdaftar, maka
bukan merupakan suatu tindak pidana.
f. Asas persamaan dan ketidaksamaan
Salah satu fungsi merek adalah untuk membedakan antara produk yang satu
dengan produk lainnya. Sehingga suatu merek harus memiliki suatu ciri
khusus atau daya pembeda antara produk lain yang sejenis.
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta
Masalah yang dihadapi Masyarakat
11
Fenomena pemalsuan merek berbagai macam produk yang terjadi di
berbagai wilayah Indonesia menjadi sangat penting untuk segera ditangani,
mengingat derajat permasalahannya yang semakin kompleks, sedangkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan merek
masih terkesan lemah dalam rangka melindungi hak merek pemilik merek. Hal
ini terlihat di dalam UU No.15 tahun 2001 Tentang Merek, hanya
menitikberatkan pada pengaturan merek barang/jasa.Selain itu, secara eksplisit
Undang-Undang ini juga menyebut seluruh tindak pidana penggunaan merek
terdaftar oleh para pihak yang beritikad buruk sebagai pelanggaran dan bukan
kejahatan (pasal 94 ayat 2 UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek).Kemudian,
pemalsuan merek merupakan delik aduan, yang diatur pada pasal 95 UU No.15
Tahun 2001. Dalam ilmu hokum pidana, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana
di dalam UU No.15 Tahun 2001 berlaku jika terdapat laporan dari seseorang
yang dirugikan atas perbuatan orang lain. Dan sebaliknya, jika tidak ada laporan
maka tidak akan ada penyidikan dari kepolisian.
Tak hanya itu saja, dalam menilai sebuah barang merupakan barang
palsu atau bukan di mata hokum, polisi tidak dapat melakukannya secara
sepihak.Hal ini dikarenakan, sistem perlindungan hak merek yang saat ini dianut
oleh Indonesia, adalah sistem First to file6. Pelanggaran merek hanya terjadi
apabila ada tindakan-tindakan penggunaan merek terdaftar oleh pihak-pihak
beriktikad buruk yang dilakukan dalam masa perlindungan atas merek yang
bersangkutan sebagaimana tertera dalam sertifikat pendaftaran mereknya.Tidak
ada pelanggaran tanpa pendaftaran merek karena dalam sistem First to file,
perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemilik pendaftaran merek.Pelapor
harus mampu menunjukkan sertifikat merek atau alas hak lainnya yang sah pada
saat melakukan pelaporan atas suatu tindak pidana merek.Selain harus mampu
menunjukkan bukti kepemilikan merek yang sah, pelapor juga harus mampu
menunjukkan kepada kepolisian perbedaan-perbedaan antara barang asli dan
barang palsu secara jelas.Hal ini tentu saja untuk menghindari penegak hukum
melakukan kekeliruan dalam menangkap dan memproses pidana para pelaku
pelanggaran merek.
6 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f98f0a42a785/apakah-pembeli-tas-kw-bisa-dipenjara , diakses pada tanggal 8 September 2012.
12
Dengan adanya peredaran barang palsu tersebut, tentunya memberikan
dampak bagi pemilik industry, konsumen, bahkan Negara. Berdasarkan hasil
studi MIAP dengan LPEM FEUI terhadap 12 sektor industri pada periode 2002-
2005, menyebutkan, tindakan pemalsuan di industri sepatu, tekstil, pakaian jadi,
rokok, dan pestisida selama periode tersebut menimbulkan kerugian mencapai
Rp 4,4 triliun. Ini belum termasuk pemalsuan terhadap produk software yang
menimbulkan kerugian Rp 3,6 triliun. Kegiatan pemalsuan di 12 bidang industri
tersebut telah pula menghilangkan potensi lapangan pekerjaan sebanyak 124
ribu7.
Banyak kasus pelanggaran terhadap HKI yang kini sedang dilakukan
pemeriksaan oleh para aparat hukum, seperti menurut penelitian Tim Nasional
Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI),
bahwa menurut catatannya telah terjadi 65 kasus pelanggaran dalam bidang
HKI, dengan rincian 45 pelanggaran terhadap hak cipta, 17 pelanggaran
terhadap hak merek, dan tiga kasus pelanggaran terhadap hak paten. Dari ke 65
kasus tersebut hanya enam kasus yang sudah terselesaikan, sedangkan 59 kasus
masih dalam tahap pemeriksaan8. Data tersebut tentunya hanya sebagian
kasus yang terungkap di permukaan.Padahal berdasarkan penelusuran di
lapangan, masih banyak peredaran dan penjualan barang palsu, terutama dalam
bidang mode di pasar-pasar. Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur juga tak
luput dari praktek peredaran dan penjualan barang palsu, seperti pemalsuan
merek terhadap tas merk Coach, ransel, kaos merk nevada, sepatu merk jelly,
crocs, ariesta mode, new era, baju obral berkisar 10-35 ribu. Biasanya barang-
barang palsu tersebut dijual di pasar-pasar maupun toko-toko kecil.Mereka (para
penjual) menjual barang-barang palsu tersebut dilatarbelakangi oleh factor
ekonomi, yaitu ingin meraup keuntungan yang sebesar mungkin dari hasil
penjualan barang palsu, yang biasanya dijual dengan membanting harga melalui
obral.Konsumen atau pembeli juga ikut andil dalam maraknya peredaran dan
penjualan barang palsu di Kabupaten Bondowoso, Factor ekonomi kembali yang
menjadi penyebabnya, para pembeli yang membeli barang-barang palsu tersebut
7 http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25 September 2012.
8http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25 September 2012.
13
rata-rata perekonomiannya yang rendah sampai dengan menengah.Karena tidak
mampu membeli barang original atau barang asli, pembeli beralih untuk
membeli barang palsu.Kualitas barang tidak lagi dipikirkan oleh para pembeli,
sudah cukup bagi mereka memiliki barang yang meyerupai barang original atau
barang asli.Berdasarkan hal tersebut, maka terlihat factor prestige juga ikut andil
dalam peredaran dan penjualan barang palsu.
Maraknya peredaran dan penjualan barang palsu di Kabupaten
Bondowoso menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk mentaati hokum
masih kurang, padahal sejak tahun 2001 lalu Undang-Undang merek telah
disahkan, maka sudah 11 tahun waktu berjalan dan ternyata dalam prakteknya
pelanggaran merek masih sering terjadi.
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur
dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat dan Dampaknya terhadap Beban Keungan Negara
Permasalahan peredaran dan penjualan barang palsu di Indonesia,
khususnya di Kabupaten Bondowoso yang terus meningkat tiap tahunnya, hal ini
menunjukkan bahwa implementasi UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
masih belum efektif. Akibatnya Negara Indonesia juga mengalami kerugian
yang besar akibat adanya peredaran serta penjualan barang palsu, sehingga
dibutuhkan suatu peraturan daerah untuk menyelesaikan masalah tersebut agar
tidak berlarut-larut. Dengan adanya naskah tentang pelarangan dan peredaran
barang palsu juga dapat berdampak positif bagi keuangan Negara, yaitu
memberi dampak efisiensi dan penghematan terhadap keuangan Negara.
Peraturan Daerah Tentang Pelarangan Peredaran dan Penjualan Barang
Palsu dalam Bidang Mode di kabupaten Bondowoso dibuat untuk menekankan
pelaksanaan peraturan yang sudah ada, yaitu UU No.15 tahun 2001 Tentang
Merek. Jika peraturan daerah ini dapat diterapkan dengan baik, maka setidaknya
dapat merubah mentality masyarakat Kabupaten Bondowoso untuk lebih
menghargai barang original atau barang asli, serta apabila peredaran dan
penjualan barang palsu dapat diminimalisir, hal ini tentu saja dapat berdampak
positif dalam meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Bondowoso. Dampak
lainnya dengan adanya perda ini adalah masyarakat sekitar terdorong
14
meningkatkan kreativitasnya untuk menghasilkan produk sendiri guna
memenuhi kebutuhan hidup dibidang mode tanpa harus melanggar hokum.
15
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Pengaturan mengenai pelarangan peredaran barang palsu memiliki
keterkaitandengan dengan9:
1. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization).
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 tentang Komisi
Banding Merek ditetapkan Tangga1 29 Agustus 1995.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata
Cara Permintaan Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret 1993.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas
Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret 1993.
Meskipun Undang-Undang mengenai merek telah ada sejak tahun 1961
namun keberadaannya seringkali mengalami perubahan. Sedikitnya Undang-
Undang merek telah mengalami lima kali perubahan. Hingga pada saat ini
Indonesia menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang merek
sebagai upaya nyata Pemerintah untuk memberi perlindungan bagi pemilik merek
terdaftar. Secara umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur tentang
merek, permohonan pendaftaran merek, persyaratan pendaftaran merek,
penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek, penyelesaian sengketa merek dan
sebagainya. Dalam kurun waktu 11 tahun pelaksanaannya, Undang-Undang
tersebut dirasakan kurang mampu lagi untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Bondowoso.
Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pelarangan Peredaran Barang-
Barang Palsu Dalam Bidang Mode Di Kabupaten Bondowoso memiliki keterkaitan
dengan berbagai Peraturan Perundang-undangan lain baik secara vertikal maupun
horizontal. Antara Rancangan Peraturan Daerah tersebut dengan Peraturan
Perundang-undangan lain diharapkan dapat saling melengkapi, mengingat peraturan
9 http://umarikmawaru.blogspot.com/2012/07/aspek-hukum-dalam-ekonomi-hak-atas.html#.UGcKpGMR3Mw
16
baru dibuat dengan tujuan untuk menambah suatu aturan yang belum diundangkan
maupun memperbaiki suatu aturan yang telah ada namun dirasakan tidak lagi
mampu untuk menyelesaikan permasalahan terhadap kondisi yang ada. Dengan
adanya Rancangan Peraturan Daerah tersebut nantinya diharapkan permasalahan
mengenai peredaran barang-barang palsu di Kabupaten Bondowoso dapat teratasi,
karena telah ada suatu aturan yang lebih khusus mengatur tentang peredaran barang
palsu.Sanksi bagi para produsen dan pedagang barang palsu yang selama ini hanya
tertulis di dalam Undang-Undang nantinya dapat di implementasikan secara baik
dengan Rancangan Peraturan Daerah Tersebut sebagai landasan hukumnya.
Dalam Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001, diatur mengenai berbagai peraturan maupun keputusan
pemerintah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan merek.Apa yang telah diatur
sebelumnya tentu berkaitan dengan kondisi hukum yang ada pada saat itu. Misalnya
saja pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang
Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret 1993, pada
saat itu tentu kondisi hukum yang terjadi mengenai tata cara permintaan
pendaftaran merek tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga Pemerintah
memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai Tata Cara
permintaan Pendaftaran Merek.
17
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis disusunnya naskah akademik ini adalah pancasila atau
rechtsidee, yaitu konstruksi pikir yang mengarahkan hukum kepada suatu hal
yang dicita-citakan. Menurut Rudolf Stamler, rechtsidee berfungsi sebagai
leitsern atau bintang pemandu bagi terwujudnya cita-cita sebuah masyarakat10.
Falsafah atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai moral dan etika
dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik
dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah nilai yang wajib dijunjung
tinggi,didalamnya ada nilai kebenaran,keadilan dan kesusilaan dan berbagai nilai
lainnya yang dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil dan susila tersebut
menurut takaran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan.Hukum dibentuk tanpa
memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkan tidak akan dipatuhi. Semua
nilai yang ada nilai yang ada dibumi Indonesia tercermin dari Pancasila, karena
merupakan pandangan hidup, cita-cita bangsa, falsafah, atau jalan kehidupan
bangsa (way of life). Falsafah hidup berbangsa, merupakan suatu landasan untuk
membentuk hukum suatu bangsa, dengan demikian hukum yang dibentuk harus
mencerminkan falsafah suatu bangsa. Sehingga dalam penyusunan naskah
akademik harus mencerminkan moral dari daerah yang bersangkutan. Kaidah-
kaidah filsafati secara normatif dituangkan ke dalam asas-asas penyusunan
peraturan perundang-undangan. Berlakunya undang-undang dalam arti materiil,
dikenal adanya beberapa asas. Asas-asas itu dimaksudkan, agar perundang-
undangan mempunyai akibat yang positif, apabila benar-benar dijadikan
pegangan dalam penerapannya, walaupun untuk hal itu masih diperlukan suatu
penelitian yang mendalam, untuk mengungkapkan kebenarannya.
Terhadap setiap sila yang terdapat dalam pancasila, problem mengenai
peredaran barang palsu memiliki keterkaitan dengan tiap-tiap silanya, yaitu:
10Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, Jogjakarta: Radjagrafindo, 1996, hal.11
18
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam sila pertama diatur mengenai kewajiban kita sebagai sesama umat
manusia yang percaya akan adanya Tuhan untuk saling membina kerukunan
antar manusia. Kerukunan tercipta apabila setiap hak dan kewajiban
masyarakat seimbang dan tidak adanya konflik antara sesama umat
beragama. Apabila kita melihat permasalahan mengenai peredaran barang
palsu, hal ini sangat tidak mencerminkan adanya kerukunan yang
seharusnya tercipta antar sesama manusia. Para produsen maupun pengedar
barang palsu bertindak tanpa berlandaskan prinsip ketuhanan sehingga
menyebabkan perbuatannya cenderung ke arah yang negatif. Sehingga
diperlukan suatu aturan yang bersifat memaksa mereka untuk memperbaiki
tindakan negatif tersebut demi terpenuhinya kerukunan antar sesama
manusia ciptaan Tuhan.
2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila kedua mengatur mengenai keharusan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan serta pembelaan terhadap kebenaran dan keadilan. Nilai-nilai
tentang kemanusiaan harus diterapkan pada setiap tindakan agar tercipta
kondisi yang baik. Begitu pula dalam melakukan pekerjaan, sudah
seharusnya etika bekerja yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan
diimplementasikan. Apabila nilai-nilai akan kemanusiaan tersebut
diperhatikan dengan baik maka sudah pasti nilai kebenaran dan keadilan
terpenuhi. Namun pada faktanya mereka yang memproduksi serta
mengedarkan barang palsu tidak menerapkan nilai-nilai kemanusiaan
sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan akan kebenaran dan keadilan. Dari
kasus peredaran barang palsu di Kabupaten Bondowoso tersebut, keadilan
bagi pemilik hak cipta maupun hak merek tidak terpenuhi. Apa yang menjadi
haknya justru beralih kepada orang lain yang tanpa izin memalsukan inovasi
yang ditemukan oleh si pemegang hak merek. Keadilan yang belum
sepenuhnya terlaksana ini harus segera dikembalikan kepada hakikatnya
sehingga tidak ada lagi hak keadilan yang dilanggar. Dengan dibuatnya
Rancangan Peraturan Daerah ini diharapkan mampu untuk melindungi hak-
hak pemilik merek yang selama ini tidak terpenuhi.
3) Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini mencakup rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air Indonesia.
Kita sebagai warga negara Indonesia wajib untuk turut serta dalam hal
19
kepentingan negara. Terciptanya kondisi persaingan usaha yang sehat
merupakan salah satu kepentingan negara, sehingga demi nama baik bangsa
dan negara maka dengan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah ini
merupakan salah satu bentuk kontribusi untuk menjaga persatuan bangsa
Indonesia.
Selain berlandaskan Pancasila, landasan filosofis yang lainnya
terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan republik
Indonesia (UUD NRI 1945). Pada alinea keempat dijelaskan tujuan dari
bangsa Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, sehingga disusunnya Rancangan Peraturan
Daerah ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia. Seperti yang termuat pada pembukaan UUD NRI 1945 dengan
berlandaskan nilai-nilai yang termuat dalam Pancasila.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis dapat diartikan sebagai norma yang dituangkan
di dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mencerminkan suatu
kebutuhan masyarakat terhadap suatu peraturan yang sesuai dengan realitas
kehidupanmasyarakat setempat. Oleh sebab itu, dalam penyusunan
peratalam suatu peraturan sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat,
uran tersebut diperlukan suatu penelitian langsung di dalam
masyarakat.Dengan demikian gagasan-gagasan yang akan dirumuskan
sehingga jika peraturan tersebut nantinya disahkanakan dapat berjalan
dengan efektif.
Peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan
umum atau kesadaran hukum masyarakat.Suatu peraturan perundang –
undangan harus mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan –
ketentuan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum
masyarakat.Hukum dibuat harus dapat dipahami masyarakat sesuai dengan
kenyataan yang dihadapi masyarakat.Dengan demikian dalam penyusunan
rancangan peraturan daerah harus sesuai dengan kondisi masyarakt yang
bersangkutan.
Pelanggaran norma yang berlaku mengendurkan jiwa ketaatan
hukum secara meluas kepada masyarakat, sehingga ancaman sanksi belum
bisa menjadi tolak ukur kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Bentuk
20
ketaatan hukum yang ”terbukti kebenarannya” atau ”terdukung” secara
otoritatif (gesteunde naleving) dan ”pemeliharaan hukum preventif’
(preventieverechtszorg), yang bertujuan menghilangkan ketidakpastian
hukum dan mencegah, sejauh mungkin, sengketa di kelak kemudian hari.
Dengan cara ini isi-isi yang khusus dan validitas dari hubungan-
hubungan hukum (yang baru) sesungguhnya diuji oleh orang-orang yang
berpengetahuan hukum dan pemegang otoritas hukum. Kerja sama (atau
keterlibatan) yang terang-terangan dari mereka itu, atau persetujuan diam-
diam belaka, barangkali tidak memiliki ketegasan dan sifat dramatik seperti
halnya dengan keputusan akibat konflik dan argumen, namun hal tersebut
tetap berada dalam lingkungan pengendalian yang sah dan sanksi hukum
yang berkewenangan11. Tatanan dan praktik yang lama tidak dapat dengan
mudah begitu saja digantikan dengan yang baru. Hal itulah yang
menyebabkan bahwa masyarakat dalam transisi itu sekaligus merupakan
masyarakat yang bergolak. Demikian halnya dengan dunia pemikiran
hukum, secara dialektis terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada
perubahan. Di samping itu, Satjipto Rahardjo juga menegaskan bahwa
hukum bukan suatu institusi yang selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan
secara terus menerus. Negara hukum dan institusi hukum adalah proyek
yang ada dalam proses penyelesaian. Satjipto Rahardjo menambahkan
bahwa pemahaman hukum secara legalistik posivistis dan berbasis peraturan
(rule bound) tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak
mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalistis-
posivistis, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah
direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, maknistik, dan
deterministik, terutama untuk kepentingan profesi12. Permasalahan yang
terjadi juga berkaitan dengan efektifitas hukum
Landasan sosiologis terhadap pelarangan peredaran dan penjualan
barangpalsu dalam bidang mode di Kabupaten Bondowoso adalah semakin
meningkatnya peredaran dan penjualan barangpalsu, khususnya dalam
bidang mode di Kabupaten Bondowoso yang meresahkan para pemilik
11Holleman, JF. Kasus-kasus Sengketa dan Kasus-Kasus Di Luar Sengketa Dalam Pengkajian Mengenai Hukum Kebiasaan dan Pembentukkan Hukum Dalam Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, Penyunting Ihrom.TO. Edisi Pertama. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1993. Hal73
12Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Cetakan Kedua. Muhammadiyah University Press. Surakarta. 2004. Hal 167
21
merek, padahal telah ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan
merek, yakni UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek. Berdasarkan hal
tersebut maka terdapat kesenjanganantara das sollen dan das
sein.Kesenjangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti :Pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat Bondowoso bahwa
mengedarkan dan menjual barang palsu atau barang KW merupakansuatu
pelanggaran tetapi menurut mereka hal itu bukanlah suatu pelanggaran. Hal
ini dikarenakan belum daa para t penegak hukum yang menghentikan
aktivitas mereka.Kedua, adanya faktor ekonomi, para penjual barang palsu
ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara
membanting harga melalui obral. Obral merupakan salah satu strategi
penjual untuk menarik minat pembeli supaya membeli dagangan mereka
sebanyak mungkin. Ketiga, ikut berpartisipasinya konsumen, maksudnya
adalah peredaran dan penjualan barang palsu tidak akan pernah ada jika
konsumen tidak memintanya. Pada umumnya konsumen atau pembeli
menginginkan suatu produk yang memiliki brand tapi dengan harga yang
murah.Atas dasar persepsi tersebut, maka penjua lberlomba-lomba untuk
menjual barang palsusesuai dengan minat masyarakat dan taklupa dengan
harga yang murah. Barang-barang palsu yang banyak dijual di Kabupaten
Bondowoso diadaptasi dari merek-merek yang telah memiliki banyak
penggemar tersendiri, baik merek dari dalam negeri ataupun merek luar
negeri seperti Hermes, Jimmy Cho, Dolce & Gabbana, Chanel, Louis
Vuitton, Furla, Zara, Mango, Reebook, Nike, Cardinal, Dagadu, Jangkrik,
Jely dan massih banyak lagi.
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu peraturan yang
dapatmemberikanperlindungan hukum terhadappemilikmerek yang
seringkali mengalami eksploitasi komersil tanpa adanya kompensasi yang
diberikan oleh para pelaku tersebut. Dengan adanya suatu peraturan tentang
pelarangan peredaran dan penjualan barang palsu, diharapkan dapat
meminimalisir bahkan menghentikan peredaran dan penjualan barang palsu
di Kabupaten Bondowoso.
22
C. Landasan Yuridis
Salah satu pertimbangan yang digunakan untuk menyusun Rancangan
Peraturan Daerah mengenai peredaran serta penjualan barang palsu di
Kabupaten Bodowoso ialah karena ketidak efektifan implementasi dari
Peraturan Perundang-undangan yang ada, yaitu UU No.15 Tahun 2001. Dalam
problematika ini sebenarnya tidak terjadi kekosongan hukum dalam skala
nasional, namun apabila dilihat secara lebih fokus memang belum ada Peraturan
Daerah di Kabupaten Bondowoso yang mengatur mengenai peredaran barang
palsu, sehingga setelah melihat fakta tentang maraknya peredaran barang palsu
yang terjadi di wilayah Kabupaten Bondowoso muncullah suatu gagasan untuk
membuat suatu Rancangan Peraturan Daerah yang nantinya dapat secara lebih
khusus mengatur mengenai peredaran barang palsu di kabupaten Bondowoso.
Sebenarnya UU No.15 tahun 2001 tidak mengalami tumpang tindih
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya, apa yang diatur didalam
substansi UU tersebut juga belum terlalu ketinggalan jaman. Namun daya
berlaku dari UU tersebut sangatlah lemah. Sehingga dirasa perlu untuk
membentuk Rancangan Peraturan Daerah guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat di wilayah
Kabupaten Bondowoso.
Bukan hanya UU No. 15 tahun 2001 saja yang mengatur mengenai
merek, namun terdapat berbagai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
juga mengatur tentang merek baik secara vertikal maupun horizontal. Berikut
beberapa Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan merek
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade
Organization).
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 tentang
Komisi Banding Merek ditetapkan Tangga1 29 Agustus 1995.
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang
Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret
1993.
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993 tentang
Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31
Maret 1993.
23
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Mengenai Pelarangan Peredaran dan
Penjualan Barang Palsu dalam Bidang Mode Di Kabupaten Bondowoso
Pembentukan suatu Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelarangan
Peredaran dan Penjualan Barang Palsu dalam Bidang Mode Di Kabupaten
Bondowoso sebagai sasaran yang hendak diwujudkan. Perda ini diarahkan untuk
menegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Merek, yaitu
melalui pemberian sanksi bagi para pelaku usaha yang dengan sengaja
mengedarkan maupun menjual barang palsu dalam bidang mode di pasaran.
Pemberian sanksi juga dapat dikenakan kepada konsumen, mengingat selama ini
konsumen juga ikut berperan dalam meningkatkan peredaran barang
palsu.Sehingga dengan demikian, diharapkan dapat tercipta persaingan usaha
yang sehat antara para pelaku usaha di Kabupaten Bondowoso.Perda ini juga
diarahkan untuk mendorong dan memajukan kreativitas masyarakat Bondowoso
untuk menghasilkan karya-karya yang berasal dari intelektualnya guna
memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, serta meningkatkan
kemampuan daya saing produk intelektual khas lokal dengan produk yang
berasal dari luar negeri. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan daya saing tersebut, yaitu dengan cara meningkatkan perlindungan
hukum bagi para pelaku usaha lokal, dan memberikan kemudahan bagi para
pelaku usaha lokal untuk mengakses pendaftaran guna memperoleh status atau
sertifikat hak atas kekayaan intelektualnya.Rancangan peraturan daerah ini
diarahkan oleh landasan filosofis yang mengarahkan pada perlindungan hukum
Hak Kekayaan Intelektual yang adil, baik terhadap penemu, pencipta, maupun
pendesain yang bermodal besar atau kecil.
Kebutuhan hukum masyarakat Bondowoso yang menutut adanya
Peraturan Daerah tentang Pelarangan Peredaran dan Penjualan Barang Palsu
dalam Bidang Mode Di Kabupaten Bondowoso disebabkan oleh adanya kendala
24
penerapan UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, baik dari segi isi substansi
hukumnya maupun kendala teknis dalam pelaksanaannya.Kendala dari segi
substansi hukum, perlindungan terhadap hak merek masih terkesan
lemah,terlihat UU No. 15 Tahun 2001 hanya menitikberatkan pada pengaturan
barang/jasa.Selain itu, secara eksplisit Undang-Undang ini juga menyebut
seluruh tindak pidana penggunaan merek terdaftar oleh para pihak yang
beritikad buruk sebagai pelanggaran dan bukan kejahatan (pasal 94 ayat 2 UU
No.15 Tahun 2001 Tentang Merek).Kemudian, pemalsuan merek merupakan
delik aduan, yang diatur pada pasal 95 UU No.15 Tahun 2001. Dalam ilmu
hukum pidana, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana di dalam UU No.15
Tahun 2001 berlaku jika terdapat laporan dari seseorang yang dirugikan atas
perbuatan orang lain. Dan sebaliknya, jika tidak ada laporan maka tidak akan
ada penyidikan dari kepolisian. Kendala dari segi pelaksanaan, sistem
perlindungan hak merek yang saat ini dianut oleh Indonesia adalah system first
to file. Menurut sistem ini, pelanggaran merek hanya terjadi apabila ada
tindakan-tindakan penggunaan merek terdaftar oleh pihak-pihak beriktikad
buruk yang dilakukan dalam masa perlindungan atas merek yang bersangkutan
sebagaimana tertera dalam sertifikat pendaftaran mereknya atau dengan kata lain
tidak ada pelanggaran tanpa pendaftaran merek.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pelarangan Peredaran dan Penjualan Barang Palsu dalam Bidang Mode
Di Kabupaten Bondowoso
Materi muatan untuk Raperdatentang Pelarangan Peredaran dan penjualan
Barang Palsu dalam Bidang Mode Di Kabupaten Bondowoso
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Undang-undang yang dimaksud dengan :
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-
angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembedaserta
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa.
25
2. Hak atas merek adalahhak khusus yang diberikan negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk menggunakannya.
3. Barang palsu adalah barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
dengan menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek
terdaftar milik pihak lain
4. Mode adalah adalah gaya berpakaian yang populer dalam suatu budaya.
5. Peredaran adalah perputaran mengelilingi suatu tempat.
6. Penjualan adalah pembelian sesuatu (barang atau jasa) dari suatu pihak
kepada pihak lainnya dengan mendapatkan ganti uang dari pihak tersebut.
7. Distributor adalah perantara yang menyalurkan produk dari pabrikan
(manufacturer) ke pengecer (retailer).
8. Produsen adalah orang atau kelompok yang menghasilkan jasa & barang.
9. Penjual adalah penghubung langsung antara perusahaan dan konsumen,
dimana menurut pandangan mayoritas konsumen.
10. Pembeli adalah setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.
11. Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung
sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu
nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya.
12. Penadahan adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dijerat
dengan KUHP.
BAB II
Lingkup Barang Palsu
Bagian Pertama
Umum
PASAL 2
1. Barang palsu sebagaimana diatur dalam rancangan peraturan daerah ini hanya
meliputi barang palsu dibidang mode.
2. Barang palsu sebagaimana dimaksud padaayat (1) merupakan barang hasil
kejahatan.
26
PASAL 3
Setiap tindakan untuk membuat, memproduksi, mengedarkan, dan/atau menjual
barang palsu merupakan kejahatan pemalsuan atas hak merek.
Bagian Kedua
Peredaran dan Penjualan Barang Palsu
PASAL 4
1. Produsen yang dengan sengaja membuat dan/atau memproduksi barang palsu,
sehingga merugikan hak orang lain dihukum atas kejahatan pemalsuan hak atas
merek.
2. Distributor yang dengan sengaja membantu dan/atau mempermudah peredaran
dan penjualan barang palsu dihukum sebagai orang yang membantu melakukan
kejahatan pemalsuan.
3. Penjual yang dengan sengaja menjual barang palsu, sehingga menyebarluaskan
peredaran barang palsu dihukum sebagai orang yang membantu melakukan
kejahatan pemalsuan.
4. Pembeli yang dengan sengaja membeli barang palsu, dihukum sebagai orang
yang melakukan kejahatan penadahan.
BAB III
Pasal 5
Ketentuan Sanksi
Ketentuan sanksi mencakup beberapa hal, yaitu:
1. Sanksi Administratif, dapat berupa :
a. Peringatan tertulisb. Pencabutan izin usaha
2. Sanksi perdata, dapat berupa:a. Ganti rugi terhadap korban atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh
pelaku kejahatan pemalsuan.
3. Sanksi Pidana
Memuat ketentuan pidana pelanggaran ketentuan-ketentuan pasal
tertentu Peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan dan denda disetorkan ke
kas daerah.
27
BAB IV
Ketentuan Peralihan
Peraturan-peraturan pelaksanaan dan peraturan lainnya yang telah ada sebelum
berlakunya Perautan Daerah ini sepanjang materinya tidak bertentangan,
dinyatakan masih tetap berlaku.
BAB V
Ketentuan Penutup
Ketentuan ini merupakan peraturan yang mengatur mengenai peraturan
pelaksanaan dari peraturan daerah ini dan menyatakan hal-hal yang belum diatur
dalam Peraturan daerah ini akan diatur dalam Keputusan Kepala Daerah.
28
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu,
dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut :
1. Rancangan Peraturan Daerah tentang pelarangan dan Peredaran Barang Palsu
Dalam Bidang Mode di Kabupaten Bondowoso harus memenuhi ketentuan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
2. Peredaran dan penjualan barang palsu dalam bidang mode Di Kabupaten
Bondowoso yang semakin meningkat, berdasarkan hasil studi MIAP dengan
LPEM FEUI terdapat 12 sektor industri pada periode 2002-2005, tindakan
pemalsuan di industri sepatu, tekstil, pakaian jadi, rokok, dan pestisida selama
periode tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp 4,4 triliun.Sehingga
dengan demikian, masyarakat Bondowoso merasa perlu untuk dibentuk suatu
peraturan daerah guna menanggulangi peredaran dan penjualan barang palsu.
3. Adapun teori-teori yang menjadi dasar sehingga disusunnya naskah akademik
ini, antara lain reward theory, pemilik merek yang telah mengeluarkan waktu,
biaya, dan tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh
kembali sesuai dengan apa yang telah dikeluarkannya tersebut. Selanjutnya,
teori Robert M. Sherwood dalam teorinya risk theory, bahwa resiko yang
mungkin timbul dari penggunaan secara illegal, sehingga menimbulkan
kerugian secara ekonomis maupun moral bagi pencipta dapat dihindari, jika
terdapat landasan hokum yang kuat maka dapat melindungi HKI tersebut.
Berdasarkan teori-teori tersebut, maka naskah akademik ini disusun sebagai
upaya untuk melindungi hak intelektual yang dimiliki para pemilik hak merek,
sehingga hasil karya intelektual yang dihasilkannya melalui kerja keras dan
pengorbanan mendapatkan perlindungan hokum guna mencegah bentuk
eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa adanya kompensasi kepada
pihak yang menghasilkan karya-karya intelektualnya.
4. Dalam suatu peraturan, asas-asas merupakan hal yang sangat penting. Norma-
norma merupakan pengejawantahan dari asas yang ada dalam peraturan
29
hukum.Dalam naskah akademik ini, asas yang digunakan adalah asas
kepribadian, asas persekutuan, asas kesamaan, asas pemisahan antara baik dan
buruk, asas perlindugan terhadap merek terdaftar, asas persamaan dan
ketidaksamaan.
5. Sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan rancangan peraturan
daerah ini adalah :
a. untuk lebih menigkatkan keadilan dan kepastian hukum dibidang hak
merek guna memperlancar dan merealisasikan penegakan hukum.
b. untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat antara para pelaku
usaha.
c. untuk meningkatkan kreativitas masyarakat Bondowoso dalam hal
menghasilkan karya-karya melalui intelektualnya guna memenuhi
kebutuhan maupun kepentingan masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran
sebagai berikut:
1. Pengajuan Raperda Pelarangan Peredaran dan Penjualan Barang Palsu
dalam Bidang Mode di Kabupaten Bondowoso dalam Prolegda prioritas
Tahun 2012 sebaiknya ditinjau ulang dan dirundingkan kembali antar
instansi pemerintah, antara lain melibatkan Baleg DPRD, Ditjen HKI,
Ditjen PP.
2. Agar Peraturan Daerah tentang Pelarangan Peredaran dan Penjualan
barang palsu dalam bidang Mode di Kabupaten Bondowoso dapat
mencapai tujuan, maka dalam penyusunannya harus memberdayakan
masyarakat Bondowoso, agar semua aspirasi masyarakat setempat dapat
tertampung semua dalam substansi raperda ini, sehingga ketika disahkan
tidak akan mengalami penolakan dari masyarakat.
3. Pelaksanaan penerapan perda ini disarankan dilaksanakan oleh semua
pihak, dan diberi fasilitas oleh pemerintah daerah setempat, yakni berupa
koordinasi, pembinaan teknis, memantau pelaksanaan perda.
30