RAHASIA
OPTIMALISASI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
GUNA MEMBERIKAN EFEK JERA DALAM RANGKA TERWUJUDNYA ORGANISASI TNI YANG BEBAS NARKOBA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum.
a. Tugas pokok yang di emban TNI sebagaimana dirumuskan dalam
Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan
Undang Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas
pokok tersebut dilakukan dengan melaksanakan Operasi Militer Perang
(OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Untuk melaksanakan
tugas pokoknya TNI membutuhkan Alutsista dan sumber daya manusia yang
profesional dalam wadah organisasi TNI yang solid dan senantiasa menjaga
kesiap siagaan dalam menjalankan tugas. Agar selalu siap dalam
melaksanakan tugasnya prajurit TNI harus mempunyai tingkat disiplin yang
tinggi dan profesional di bidangnya, untuk itu perlu di didukung oleh perangkat
hukum yang melindungi kepentingan militer guna menjaga tetap tegaknya
sendi-sendi kehidupan prajurit.
b. Salah satu ancaman bagi organisasi TNI saat ini adalah dampak dari
Perkembangan tindak pidana Narkotika pada lingkungan strategis yang
semakin meningkat dan berpengaruh terhadap generasi muda termasuk
prajurit TNI. Berdasarkan data perkara yang di peroleh menunjukkan bahwa
tindak pidana narkotika di lingkungan TNI sejak berlakunya Undang-undang
No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika semakin meningkat, data Dinas
Penerangan Umum Mabes TNI menyebutkan bahwa anggota TNI yang
2
terlibat narkoba tahun 2010 sebanyak 150 kasus, tahun 2011 menjadi 165
kasus atau naik 10%.1 Sehubungan dengan hal ini perlu di lakukan
penegakan Hukum yang tegas dan berkeadilan dengan menerapkan sanksi
pidana berefek jera untuk menjaga tingkat disiplin prajurit agar senantiasa
berprilaku sesuai dengan tata kehidupan keprajuritan. Untuk dapat
menjatuhkan sanksi pidana kepada seorang prajurit TNI yang melanggar
aturan hukum diperlukan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki
wewenang untuk itu. Di Indonesia institusi atau lembaga itu adalah
Pengadilan Militer yang dalam pelaksanaan tugasnya dilakukan oleh hakim.
“Dalam melaksanakan tugasnya, hakim sebagai kekuasaan yang merdeka
harus bebas dari segala campur tangan pihak manapun, sehingga hakim
dapat dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya”.2 Dengan
kebebasan hakim inilah maka keadilan diharapkan dapat tercipta sesuai
dengan jiwa kemanusiaan serta keadilan sosial dalam masyarakat.
c. Demi keselamatan bangsa dan negara serta kepentingan pertahanan
nasional telah diberlakukan UU No. 35 Tahun 2009 tentang tindak Pidana
Narkotika yang mengancam pelakunya dengan Hukuman minimum khusus,
namun dalam penerapannya terdapat perbedaan pendapat diantara Hakim
yang memutus perkara yang disebabkan perbedaan persepsi tentang
penerapan sistem Hukuman minimum khusus, dalam tataran aplikasi, ternyata
ada beberapa hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas
ancaman pidana minimum khusus, dengan argumentasi hukumnya masing-
masing. sehingga harus di temukan formulasi yang jelas tentang bagai mana
menerapkan sistem Hukuman minimum khusus agar memenuhi prinsip-prinsip
keadilan, kepastian Hukum dan kemanfaatan. Keresahan akan muncul dalam
masyarakat apabila hakim dalam putusannya menetapkan pidana yang
berbeda dalam sebuah kasus yang sama, perbedaan putusan inilah yang
sering disebut sebagai disparitas pidana. “Menurut pendapat Cheang seperti
yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi disparitas pidana adalah
penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same
ofference) atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat
diperbandingkan (offerences comparable seriosness) tanpa dasar
1 http://kelanakota.suarasurabaya.net/?id di akses pada tanggal 4 maret 2012. 2 Wahyu Afandi. Hukum Pengakan Hukum. Alumni Bandung. 1981. Hal: 4.
3
pembenaran yang jelas”.3 Penerapan sistem Hukuman minimum khusus
akan optimal apabila sistem penegakan hukum berjalan dengan baik dan
adanya kesamaan persepsi dalam menerapkan Hukum. Oleh karenanya di
perlukan kebijakan, strategi dan upaya-upaya mengoptimalkaan sistem
penegakan Hukum di lingkungan TNI guna memberikan efek jera dalam
rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba.
2. Maksud dan Tujuan.
a. Maksud. Maksud dari penyusunan naskah ini adalah untuk
memberikan gambaran tentang pentingnya penerapan sistem Hukuman
minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek
jera dalam rangka terwujudnya organisasi TNI yang bebas Narkoba.
b. Tujuan. Tujuan penulisan naskah ini adalah untuk mengetahui
secara mendalam tentang penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi
pelaku tindak pidana narkotika, kebijakan, strategi dan upaya-upaya
mengoptimalkan sistem penegakan Hukum di lingkungan TNI untuk
memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas
Narkoba.
3. Ruang Lingkup dan Sistematika.
a. Ruang Lingkup. Tulisan dalam naskah ini dibatasi pada
pembahasan mengenai kebijakan, strategi, dan upaya untuk optimalisasi
sistem penegakan Hukum dan penerapan sistem Hukuman minimum khusus
bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka
mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba.
b. Sistematika. Adapun sistematika dalam penulisan naskah ini
adalahsebagai berikut :
3 Muladi dan Barda Nawai. Teori-teori Pidana. Alumni. Bandung. 1998. Hal: 53.
4
1) Bab I .Pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan tentang latar
belakang permasalahan, maksud dan tujuan, ruang lingkup, metoda
dan pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah,
sistimatika dan pengertian.
2) Bab II. Landasan Pemikiran. Bab ini berisikan uraian tentang
landasan yang mengantar untuk memasuki permasalahan penerapan
sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika
guna memberikan efek jera dari sudut pandang instrumental input yaitu
paradigma nasional sebagai kekuatan inti, peraturan perundang-
undangan sebagai landasan operasional, landasan teori dan tinjauan
pustaka.
3) Bab III. Kondisi penerapan sistem Hukuman minimum khusus
bagi pelaku tindak pidana narkotika Saat Ini, dan Permasalahan yang
Dihadapi. Pada bab ini diuraikan tentang penerapan sistem Hukuman
minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika dan implikasinya
terhadap organisasi TNI yang bebas Narkoba. Disamping itu dalam
bab ini juga dijelaskan tentang kondisi permasalahan yang dihadapi
penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak
pidana narkotika saat ini.
4) Bab IV. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis. Bab ini
menjelaskan dan menganalisis mengenai pengaruh-pengaruh langsung
maupun tidak langsung perkembangan lingkungan global, regional dan
nasional terhadap tindak pidana narkotika yang di lakukan prajurit TNI,
yang diuraikan dari yang umum ke khusus. Setelah diperoleh
kesimpulan dari masing-masing perkembangan lingkungan strategis
selanjutnya ditelaah dan dirumuskan, sehingga diperoleh unsur-unsur
peluang dan kendala.
5) Bab V. Kondisi penerapan sistem Hukuman minimum khusus
bagi pelaku tindak pidana narkotika yang Diharapkan. Dalam bab ini
dijelaskan tentang kondisi ideal penerapan sistem Hukuman minimum
khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek
5
jera, kontribusi kondisi ideal tersebut terhadap organisasi TNI yang
bebas Narkoba serta indikator keberhasilan kondisi yang diharapkan.
6) Bab VI. Konsepsi optimalisasi penerapan sistem Hukuman
minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika. Bab ini berisi
suatu diskusi dan analisis yang menggambarkan pengaruh, korelasi,
saling ketergantungan dari aspek-aspek yang dibahas bab-bab
sebelumnya, sehingga sampai kepada sebuah rumusan perlunya
diambil suatu kebijaksanaan, strategi dan upaya untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi.
7) Bab VII. Penutup. Penutup merupakan kesimpulan yang
merupakan jawaban dari masalah-masalah yang disampaikan dalam
bab-bab sebelumnya, dan saran yang memuat harapan dan reaksi
tindak lanjut dari pihak berwenang yang merupakan tugas dan
tanggung jawabnya.
4. Metode dan Pendekatan.
a. Metode. Pembahasan permasalahan dalam naskah ini bersifat
kualitatif dan menggunakan metode deskriptif-analitis berbasiskan pada
penelitian yang dilakukan pada beragam sumber pustaka yakni buku-buku,
makalah-makalah ilmiah nasional dan internasional dalam bentuk jurnal,
prosiding, dan majalah serta sumber-sumber dari situs-situs di Internet.
b. Pendekatan. Pendekatan kesisteman yang merupakan keterpaduan
dari unsur-unsur yang masing-masing saling berhubungan, saling terkait,
saling mempengaruhi dan saling ketergantungan menuju tujuan yang
diharapkan sehingga diperoleh penjelasan yang lebih lengkap guna
mendapatkan pemecahan yang terbaik.
5. Pengertian. Untuk menyamakan persepsi dalam pembahasan
permasalahan yang disampaikan dalam naskah ini, disampaikan pengertian-
pengertian yang telah dirangkum pada Lampiran ( terlampir )
6
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
6. Umum. TNI sebagai institusi yang mengemban tugas Pertahanan
negara mempunyai kewajiban membentengi dirinya untuk menangkal setiap bentuk
ancaman yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara termasuk
bahaya yang di akibatkan oleh tindak pidana narkotika yang di lakukan oleh anggota
TNI. Peran penegakan Hukum sangatlah penting guna menghadapi maraknya
peredaran narkotika saat ini, salah satu upaya untuk menegakkan Hukum adalah
dengan menerapkan sanksi pidana yang memberikan efek jera terhadap pelaku dan
efek Deterrence terhadap masyarakat Militer dan masyarakat pada umumnya.
Dengan penerapan sistem Hukuman minimum khusus tujuan pemidanaan akan
tercapai dan kepentingan Militer terlindungi. Untuk itu diperlukan dasar pemikiran
yang relevan dan kuat.
7. Paradigma Nasional.
a. Pancasila sebagai Landasan Idiil. Pancasila adalah falsafah dan
pandangan hidup Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dasar dan
cita-cita luhur serta tujuan yang hendak dicapai bangsa Indonesia. Pancasila
memberikan nilai-nilai keselarasan, keseimbangan dan keserasian, persatuan
dan kesatuan, kekeluargaan dan kebersamaan yang senantiasa menjadi
bagian dari setiap manusia Indonesia dalam hubungan dengan antar
sesamanya, dengan masyarakat, dengan alam, serta dalam hubungan
dengan Tuhannya. Nilai persatuan dan kesatuan menghendaki kebhinekaan
yang melekat pada bangsa Indonesia untuk dijadikan sebagai kekuatan guna
mewujudkan tujuan nasional yang telah diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara RI (UUD) Tahun 1945. Hukum di Indonesia
bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak
terlepas dari sumbernya yaitu pancasila. Demikian juga dengan perundang-
undangan di bidang narkotika merupakan manifestasi nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila.
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai Landasan Konstitusionil. UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis NKRI yang
7
memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara dan
mengamanatkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Pasal 30 ayat 2 dan ayat 3 menyebutkan
bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara
Indonesia Republik Indonesia (Polri), sebagai kekuatan utama, dan rakyat,
sebagai kekuatan pendukung, dan TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.4 Untuk
mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan pembangunan
nasional dalam suasana aman, tenteram, tertib dan dinamis dalam lingkungan
nasional maupun internasional, perlu di tingkatkan pengendalian terhadap hal-
hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
c. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional. Wawasan
Nusantara merupakan wawasan nasional yang pada hakikatnya merupakan
pandangan geopolitik dan geostrategi bangsa Indonesia yang memanfaatkan
dan mendaya gunakan wilayah nasional beserta segenap isinya, agar dapat
diatur sebaik baiknya guna menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara
salah satunya ditentukan oleh kestabilan bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya. Dalam rangka menjamin kestabilan gatra-gatra tersebut dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan situasi dan kondisi
pertahanan keamanan yang kondusif tanpa ada gangguan berarti dari pihak
manapun, dari dalam maupun luar wilayah nasional secara vertikal maupun
horisontal. Salah satu yang dapat menggagu stabilitas nasional adalah
dampak negatif penyalah gunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat
mengancam keselamatan bangsa dan negara. TNI sebagai alat pertahanan
negara mempunyai kewajiaban untuk ikut berperan dalam menanggulanginya.
d. Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional. Ketahanan
Nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa Indonesia yang memiliki
kemampuan, daya tahan, dan daya tangkal dalam menghadapi berbagai
4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 30, ayat (2) dan ayat (3).
8
bentuk ancaman. Salah satu komponen bangsa yang merupakan ujung
tombak dalam melaksanakan pertahanan negara adalah TNI yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana yang memadai dalam mengantisipasi ancaman
yang dihadapi, untuk menjamin integritas, kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.5 Untuk mewujudkan
ketahanan nasional TNI sebagai alat pertahanan negara harus mampu
mengatasi setiap bentuk ancaman. Salah satu bentuk ancaman yang
berdimensi ketahanan nasional adalah penegakan hukum terhadap kejahatan
narkotika.
8. Perundangan-Undangan sebagai Landasan Operasional. Perundang-
undangan sebagai landasan operasional yang digunakan dalam pembahasan
naskah ini adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Undang-undang Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 berisikan tentang,
ketentuan-ketentuan umum, susunan dan kekuasaan pengadilan, hukum
acara Pidana Militer dan hukum acara Tata Usaha Militer, pada pasal 1 butir 1
menyatakan bahwa “ Pengadilan adalah badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Militer yang meliputi
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan
Pengadilan Militer Pertempuran. Secara teknis undang-undang ini dijadikan
dasar proses beracara perkara pidana yang menjadi kewenangan Peradilan
Militer. Demikian juga terhadap prajurit pelaku tindak pidana narkotika,
perkaranya diselesaikan melalui proses berdasarkan hukum acara Peradilan
Militer sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pada Pasal 10 ayat (1) yang
menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan ayat (3) yang menyebutkan TNI bertugas
melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk mempertahankan
5 Seskoa, Naskah Sekolah Ketahanan Nasional Tahun Pelajaran 2012 ,Seskoau, Lembang , 2012, hal. 10.
9
kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan
keselamatan bangsa, melaksanakan OMSP, dan ikut serta secara aktif dalam
tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Mengingat tugas
yang di amanahkan oleh undang-undang kepada TNI maka sudah sepatutnya
TNI selalu melakukan upaya penangkalan setiap bentuk ancaman yang dapat
melemahkan ketahanan nasioanal termasuk kejahatan narkotika.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar
mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya
dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang Sudah
dirubah menjadi undang undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan
Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman,
jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum
dan dalam mencari keadilan. Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman
adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan
berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen
Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan
peradilan berada di bawah Mahkamah Agung. Organisasi, administrasi, dan
finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan
Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke
Mahkamah Agung. Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang
bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer beralih menjadi
personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi
personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. UU Nomor 34/2004 tentang TNI pada
pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan tugas pokok TNI adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan
10
seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara, dan ayat (2) sub ayat a dan b bahwa dalam
melaksanakan tugas pokoknya, TNI menyelenggarakan dua macam operasi
militer yakni OMP dan OMSP. Penyelenggaraan kedua macam operasi
tersebut berjalan dengan optimal bila di dukung dengan Alutsista yang
memadai dan SDM yang Profesional. Untuk menjadikan prajurit profesional
maka institusi TNI harus melakukan penegakan hukum guna menjaga sendi-
sendi kehidupan prajurit agar senantiasa mempunyai tingkat disiplin yang
tinggi dan selalu siap dalam melaksanakan tugas. Kejahatan narkotika di
lingkungan TNI berdampak terhadap tingkat kedisiplinan dan moral prajurit
serta kelangsungan hidup organisasi, oleh karenanya terhadap prajurit pelaku
kejahatan narkotika perlu di terapkan hukuman yang berefek jera.
e. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Saat ini
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober
2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana
pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e
dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional
yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi
canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk
menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut. Oleh sebab itu,
berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa
dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-
UndangNomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-
undang ini memuat ketentuan pidana yang mengancam pelakunya dengan
sanksi pidana minimum khusus dengan tujuan dapat meberikan efek jera.
11
9. Landasan Teori. Landasan-landasan teoritis yang digunakan dalam
pembahasan permasalahan dalam naskah ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Tentang Penghapusan Tindak Pidana Dalam Masyarakat.
Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial
yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada
masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat
dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya
manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena
tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat
dikurangi atau diminimalisir intensitasnya. Menurut Mardjono Reksodiputro,
untuk menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus
dalam masyarakat, melainkan hanya dapat digunakan istilah “untuk
menghapuskan tindak pidana sampai pada batas-batas toleransi”.6 Hal ini
disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara
sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin
berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai
pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak
dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat
menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial.
b. Teori Tujuan Pemidanaan. Banyak teori yang menjelaskan masalah
tujuan pemidanaan diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Herbert L Packer mengemukakan ada 4 teori yang merupakan
tujuan pemidanaan7, yaitu :
a) Untuk Pembalasan (Teori Retributif atau Teori Absolut);
Ada dua versi utama dari teori retributif yaitu pembalasan
dendam dan penebusan dosa. Pembalasan dendam merupakan
suatu pembenaran yang berakar pada pengalaman manusia
bahwa setiap serangan yang dilakukan seseorang akan
6 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 23. 7 Ibid, hal 25.
12
menimbulkan reaksi dari pihak yang diserang. Misalnya
penjatuhan pidana mati terhadap pelaku pembunuhan.
Sedangkan penebusan dosa maksudnya adalah bahwa hanya
dengan penderitaan sebagai akibat pemidanaan maka penjahat
dapat menebus dosanya sehingga pemidanaan yang memakan
waktu lama dianggap sebagai hal yang wajar.
b) Untuk Pencegahan (Teori Pencegahan/Deterrence)
Terdapat dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan
umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan
pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana secara
individu akan menjadi contoh bagi individu yang lain sehingga
mereka tidak akan berbuat tindak pidana yang sama.
Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan
untuk ditujukan kepada masyarakat umum, artinya pencegahan
tindak pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan
mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat agar tidak
melakukan tindak pidana melalui pembentukan Undang-undang
yang bersifat represif terhadap tindak pidana tertentu.
Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi bahwa
pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera
kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa
yang akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara
langsung pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar
tidak melakukan tindak pidana lagi dengan menghukum
terpidana selama-lamanya di penjara. Sebagai contoh,
penjatuhan pidana yang berat kepada pelakupelaku tindak
pidana di bidang narkotika.
c) Untuk Membuat Pelaku Menjadi Tidak Berdaya
(Incapacitation); Tujuan pemidanaan menurut teori ini hampir
sama dengan Teori pencegahan yaitu agar seorang terpidana
tidak mengulangi tindak pidananya maka terpidana harus
dipenjara selama-lamanya sehingga ia tidak memiliki
13
kesempatan dan akhirnya menjadi tidak berdaya untuk berbuat
tindak pidana lagi.
d) Untuk Pemasyarakatan atau Resosialisasi
(Rehabilitation); Tujuan dari pemidanaan adalah untuk membina
pelaku tindak pidana sehingga ia dapat sadar dan kembali ke
masyarakat.
2) Menurut Muladi dalam bukunya “ Lembaga Pidana Bersyarat “
yang menyatakan bahwa “Meskipun arti, sifat, bentuk dan tujuannya
bervariasi namun kehadiran pidana sebagai sarana pemberantasan
tindak pidana tetap sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena pidana
dianggap sebagai satu-satunya jawaban final dalam pemberantasan
tindak pidana yang masih dianut hingga sekarang. Namun demikian,
tidak berarti bahwa dengan pidana semua permasalahan akan
berakhir. Salah satu masalah pokok dalam pidana yang sering menjadi
perdebatan para ahli hukum adalah masalah pidana, disamping
masalah pokok yang lain yaitu masalah tindak pidana dan masalah
kesalahan. Ketiga masalah pokok tersebut masing-masing mempunyai
persoalannya sendiri, dimana satu sama lain berkaitan erat dengan
persoalan dasar manusia yakni hak-hak asasi manusia”.8 Selanjutnya
Muladi menjelaskan bahwa masalah pidana akan menimbulkan
persoalan-persoalan tentang pemberian pidana serta tentang masalah
pelaksanaan pidana. Sementara masalah tindak pidana akan
menyangkut persoalan kriminalisasi dan dekriminilisasi dengan segala
syarat-syarat yang terkandung di dalamnya. Sedangkan masalah
kesalahan akan menyangkut berbagai persoalan yang sangat rumit.
Misalnya saja tentang subyek hukum pidana berupa korporasi dan
masalah strict liability (suatu bentuk pertanggungjawaban yang tidak
memerlukan adanya kesalahan) yang sampai saat ini belum
terpecahkan dalam hubungannya dengan penyusunan Rancangan
KUHP baru.9
8 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, hal. 16. 9 Ibid.
14
c. Teori kebijakan Hukum Pidana (Penal policy). Teori-teori yang
menjelaskan Kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah sebagai berikut :
1) Menurut Solly Lubis dalam bukunya “Serba Serbi Politik dan
Hukum Pidana” bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan.10
2) Menurut Mahfud M.D. dalam bukunya “ Politik Hukum Indonesia”
bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan
peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.11 Mahfud. M.D. juga
memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai
hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana
politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam
kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam
penegakannya.12
d. Teori Efektivitas Hukum. efektifitas hukum adalah kesesuaian antara
apa yang diatur dalam hukum dengan pelaksanaannya. Bisa juga karena
kepatuhan masyarakat kepada hukum karena adanya unsur memaksa dari
hukum. Hukum yang dibuat oleh otoritas berwenang adakalanya bukan
abstraksi nilai dalam masayarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum
10 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 19. 11 Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,1989, hal. 159. 12 Mahfud M.D,Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES,1998, hal. 1-2.
15
tidak efektif, tidak bisa dijalankan (unworkable), atau bahkan –atas hal tertentu
terbit Pembangkangan Sipil 13. Pada hakekatnya persoalan efektivitas Hukum
seperti yang diungkapkan DR. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam
bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektivitas Hukum
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan-persoalan
penerapan, pelaksanaan dan penegakan Hukum dalam masyarakat demi
tercapainya tujuan Hukum. Artinya Hukum berlaku secara filosofis, Yuridis dan
sosiologis. Untuk membahas masalah ketidak efektifvan Hukum ada baiknya
juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu
penerapan Hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang di ungkapkan oleh Ishaq,
SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan
dalam proses penegakan Hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan
mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatif terletak pada isi faktor
tersebut. Menurut Soerjono Soekamto faktor tersebut ada lima, yaitu :
1) Hukum itu sendiri.
2) Penegak Hukum.
3) Sarana dan Fasilitas.
4) Masyarakat.
5) Kebudayaan14.
10. Tinjauan Kepustaka. Tinjauan kepustakaan dari naskah ini adalah sebagai
berikut :
a. Buku “ Politik Hukum Dalam Undang-undang Narkotika (UU Nomor 35
Tahun 2009)” pengarang DR. H. Siswanto S. S.H., MH., M.Kn. dalam buku
tersebut membahas tentang penerapan Undang-undang Narkotika dengan
pendekatan teori dan praktik. Buku ini mengilhami penulis untuk melakukan
penulisan mengenai penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi
prajurit pelaku tindak pidana narkotika yang telah diterapkan di lingkungan
Peradilan Militer.
13 http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapan-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012. 14 http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012.
16
b. Buku “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence)” pengarang Prof. DR. Achmad Ali, S.H., M.H. buku ini
merupakan buku yang banyak di baca oleh kalangan akademisi dan praktisi
hukum karena buku ini kaya dengan pemikiran-pemikiran mengenai teori
hukum khususnya teori hukum yang berkaitan dengan dunia peradilan. Ada
beberapa teori yang dibahas dalam buku ini yang penulis ambil sebagai
bahan acuan dalam menerapkan sistem hukuman minimum khusus pada
tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI, teori tersebut yaitu: Teori Tentang Penghapusan Tindak Pidana Dalam Masyarakat, Teori Tujuan
Pemidanaan, Teori kebijakan Hukum Pidana (Penal policy) dan Teori
Efektivitas Hukum. Teori-teori ini sangat relevan dengan pembahasan naskah
ini sehingga memberikan dasar yang kuat dilihat dari aspek hukum.
c. Buku “Cetak Biru (Blue Print) Pembaruan Peradilan Indonesia 2010-
2035”. Cetak Biru ini merupakan penyempurnaan dari Cetak Biru yang
diterbitkan tahun 2003, guna lebih mempertajam arah dan langkah dalam
mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Berdasarkan
sebuah proses yang partisipatif bersama para perwakilan hakim dan
staf dari Mahkamah Agung dan pengadilan dari 4 (empat) lingkungan
peradilan di bawahnya, serta pemangku kepentingan seperti Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi,
para pakar dari berbagai universitas, masyarakat madani (civil society
organization) dan lain-lain, Mahkamah Agung berhasil menyepakati visi
serta misi yang akan dicapai dalam 25 (dua puluh lima) tahun mendatang.
“Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung” adalah visi Mahkamah Agung
yang akan menjadi arah dan tujuan bagi setiap pengembangan
program dan kegiatan yang akan dilakukan di area-area fungsi teknis
dan fungsi pendukung serta fungsi akuntabilitas. Cetak biru ini menjadi
pedoman penulis dalam menentukan kebijakan, starategi dan upaya yang
terkait dengan penulisan naskah ini.
d. Buku “Pedoman Teknis Administrasi dan Pemeriksaan Sidang
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer”. Merupakan konkritisasi
Hukum Acara Peradilan militer yang menjadi pedoman dalam menjalankan
tugas dan fungsi Pengadilan Militer dan memberikan kemudahan bagi Hakim,
17
Panitera dan personel pengadilan lainnya sebagai dasar penulis dalam
penulisan naskah ini terurama dalam hal yang berkaitan dengan penerapan
Hukum Acara Peradilan Militer.
18
BAB III
KONDISI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT
PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA SAAT INI DAN PERMASALAHAN YANG DI HADAPI
11. Umum. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.15 Di satu sisi
narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan,
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain
dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan
tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. Permasalahan
penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika mempunyai dimensi yang
sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun psikososial (ekonomi,
politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan massal dan lain sebagainya).
Seringkali terjadi dimasyarakat, dampak dari penyalahgunaan ketergantungan
narkotika antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan
belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan
baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku antisosial,
gangguan kesehatan, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan,
dan kriminalitas lainnya.16
12. Kondisi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Saat Ini. Kondisi penerapan hukuman minimum
khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika saat ini dapat di jelaskan sebagai
berikut.
a. Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus. Berdasarkan data
perkara yang telah di putus pada tahun 2010 dan 2011 hukuman penjara
dibawah minimum dari ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, pada tahun 2010 jika di prosentase
15 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 16 Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual ,Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008, hal. 11.
19
dari jumlah perkara yang di putus sebanyak 7,4% putusan hakim dibawah
minimum. Pada tahun 2011 perkara narkotika yang masuk di Pengadilan
Militer sebanyak 165, telah di putus dengan hukuman penjara dan pemecatan
sebanyak 102 perkara, 63 perkara di putus dengan hukuman penjara tanpa
pemecatan dan 16 perkara diputus dibawah hukuman minimum. Prosentase
penjatuhan hukuman dibawah minimum naik 2,3% menjadi 9,7%. Hal ini
merupakan indikator bahwa penerapan hukuman minimum khusus belum
sepenuhnya di terapkan oleh semua Hakim yang memutus perkara narkotika,
ini menunjukkan bahwa norma sebagaimana diatur dalam undang narkotika
tidak selaras dengan praktek penegakan hukum (Das solen dan Das sain
tidak selaras)
b. Kewenangan Mengadili. Mengingat tindak pidana Narkotika
termasuk tindak pidana umum, berkaitan dengan kewenangan mengadili
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, Sebagai akibat lahirnya
ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal
65 ayat (2) yang menyatakan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan
peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk
pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana
umum yang diatur dengan undang-undang. Karena belum berfungsinya
sistem penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak
pidana umum, berdasarkan Pasal 65 Ayat (3) menyatakan apabila kekuasaan
peradilan umum tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan
peradilan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karenanya hingga saat
ini penerapan sistem hukuman minimum khusus kepada prajurit pelaku tindak
pidana narkotika masih dilakukan oleh institusi penegak hukum dilingkungan
TNI sebagaimana di atur dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Proses penyelesaian perkara terdiri dari empat
tahap yaitu :
1) Tahap penyidikan. Tahap ini dilaksanakan oleh Polisi Militer
angkatan.
2) Tahap Penuntutan. Tahap ini dilaksanakan oleh Oditur Militer.
20
3) Tahap Persidangan. Tahap ini dilaksanakan oleh Pengadilan
Militer untuk dilaksanakan proses persidangan yang dilakukan oleh
Majelis Hakim sampai adanya putusan.
4) Tahap Pelaksanaan Hukuman (Eksekusi). Tahap akhir dari dari
proses penyelesaian perkara pidana prajurit TNI adalah pelaksanaan
hukuman yang di laksanakan oleh Oditur Militer dengan menempatkan
Terpidana pada lembaga pemasyarakatan khusus Militer atau lembaga
pemasyarakatan umum apabila Terpidana dipecat dari dinas TNI ( lihat
gambar proses penyelesaian perkara pidana pada lingkup Peradilan
Militer pada lampiran VI dan VII).
c. Kesenjangan Antar Institusi Penegak Hukum di Lingkungan TNI.
Masing-masing tahapan sebagaimana tersebut diatas merupakan suatu
sistem yang saling terkait dan saling mempengaruhi sehingga dalam
pelaksanaannya harus bersinergi agar sistem dapat berjalan secara efektif
dan efisien. Kondisi saat ini diantara ketiga institusi yang melaksanakan
penegakan hukum dilingkungan TNI terjadi kesenjangan sebagai dampak dari
perubahan struktur organisasi jajaran Pengadilan Militer dalam lingkup
Peradilan Militer yang berada di bawah Mahkamah Agung RI berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
badan-badan Peradilan berada di bawah Mahkamah Agung, meliputi
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara dan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 56 Tahun
2004 tanggal 9 Juli 2004, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004
beralih dari Mabes TNI ke Mahkamah Agung RI. Kesenjangan tersebut
terlihat dari beberapa aspek yaitu :
1) Sarana dan Prasarana Penegakan hukum. Sejak berada satu
atap dengan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung RI. Peradilan
Militer mengalami kemajuan yang sangat pesat dari aspek sarana dan
prasarana di bandingkan ketika berada di bawah Mabes TNI hal ini
karena anggaran Peradilan Militer meningkat.
21
2) Kualitas SDM. Kualitas SDM terutama Hakim Militer dan
Panitera relatif lebih baik di bandingkan dengan Oditur Militer dan
Penyidik POM angkatan karena di jajaran Peradilan Militer pembinaan
kualitas SDM dilakukan sangat intensif yang didukung dengan sarana
pendidikan dan latihan yang sangat memadai serta dukungan
anggaran yang cukup.
3) Peningkatan Kesejahteraan. Kesejahteraan Hakim Militer dan
Panitera jauh lebih baik dibandingkan dengan Oditur Militer dan
penyidik.
4) Modernisasi penangana perkara. Penanganan perkara oleh
Pengadilan Militer telah dilakukan secara modern yang didukung oleh
teknologi informasi, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat
dan transparan.
5) Independensi Hakim dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya lebih terjamin karena dilindungi oleh undang-undang.
d. Kondisi Penegakan Hukum pada Tingkat Penyidikan dan Penuntutan. Dampak dari kesenjangan sebagaimana dimaksud pada poin
3), berakibat terhadap penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi
prajurit pelaku tindak pidana narkotika menjadi tidak optimal. Kondisi ini
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum
secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap praktek
penegakan hukum dilingkungan TNI khususnya pada tingkat Penyidikan dan
Penuntutan. Dapat di ungkapkan faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Faktor kealpaan. Penerapan sistem hukuman minimum khusus
tidak optimal yang disebabkan tidak profesionalnya (kurang cermat,
tidak teliti dan ketidak tahuan) penyidik POM dan Oditur Militer dalam
melaksanakan tugasnya. Masih banyak di temui kekurangan baik
secara materil maupun formal yang dilakukan oleh penyidik dan Oditur
22
Militer dalam mengolah perkara sehingga sangat menyulitkan
pembuktian tindak pidana narkotika dan akhirnya Hakim Militer
membebaskan terdakwa karena tidak cukup bukti.
2) Faktor Kesengajaan. Penerapan sistem hukuman minimum
khusus tidak optimal yang disebabkan karena prilaku yang melanggar
kode etik, melakukan kesengajaan menghilangkan fakta-fakta dan alat
bukti dengan tujuan agar Terdakwa di tuntut ringan atau bebas dari
dakwaan karena tidak cukup bukti atau rekayasa lain yang bertujuan
meringankan hukuman dan atau membebaskan terdakwa dari segala
tuntutan atau dakwaan.
3) Faktor sarana dan Prasarana. Selain faktor aparat penegak
hukum, faktor sarana dan prasarana juga dapat menjadi kendala
dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika prajurit TNI, karena
sarana dan prasarana merupakan faktor penentu dalam proses
percepatan penanganan perkara.
4) Faktor intervensi pihak lain terhadap proses penegakan hukum.
Penegakan hukum dilingkungan TNI sering kali di intervensi oleh pihak
lain yang menghendaki penerapan hukum dilakukan tidak
sebagaimana mestinya, independensi terabaikan dan penegakan
hukum dilaksanakan berdasarkan kepentingan belaka. Hal ini
menyulitkan bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya
sehingga menuai kritik dan hujatan dari lingkungan TNI maupun
masyarakat pada umumnya.
e. Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Salah satu komponen
kekuatan angkatan bersenjata adalah kesiapan personel yang menyangkut
keterlatihan dan kedisiplinan prajurit. Dalam membangun kekuatan TNI,
prajurit merupakan aset yang tak ternilai harganya, oleh karenanya personel
harus di bina secara terus menerus agar mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan tugas-tugas militer. Untuk melaksanakan tugas-tugas militer
kuncinya adalah prajurit terlatih dan mempunyai disiplin yang tinggi sehingga
prajurit senantiasa siap sedia melaksanakan tugas. Fenomena yang terjadi
23
saat ini berdasarkan data perkara yang di peroleh menunjukkan bahwa tindak
pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI sejak berlakunya Undang-
undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika semakin meningkat, data Dinas
Penerangan Umum Mabes TNI menyebutkan bahwa prajurit TNI yang terlibat
narkoba tahun 2010 sebanyak 150 kasus, tahun 2011 menjadi 165 kasus atau
naik 10%. Berikut data perkara yang telah di putus oleh pengadilan militer
pada tahun 2010-2011 (lihat lampiran VI grafik Data Perkara Tindak Pidana
Narkotika Prajurit TNI Tahun 2010-2011)
f. Disparitas Penjatuhan Hukuman. Dari data Grafik diatas penjatuhan
hukuman bervariasi sesuai dengan pasal yang dilanggar dalam Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009. Berikut tabel 4 data perkara tindak pidana
narkotika yang dilakukan prajurit TNI pada tahun 2010-2011 berdasarkan
penjatuhan hukuman.
Tabel
Data Perkara Tindak Pidana Narkotika Prajurit TNI
Berdasarkan Penjatuhan Hukuman Tahun 2010-1011
Tahun
Jumlah Perkara Putus
Hukuman
Penjara dan tambahan pemecatan
Hukuman Penjara Tanpa
Pemecatan
Hukuman di bawah minimum
Prosentase Hukuman dibawah minimum
2010
150
96
54
11
7,4%
2011
165
102
63
16
9,7%
Sumber : Pengadilan Militer Utama
Tabel menunjukkan bahwa pada tahun 2010 perkara yang masuk ke
pengadilan militer sebanyak 150 dan sudah di putus, 96 perkara diputus
dengan hukuman penjara dan pemecatan dari dinas TNI, 54 di putus dengan
hukuman penjara tanpa pemecatan dan sebanyak 11 perkara diputus
24
dibawah hukuman penjara dibawah minimum dari ancaman hukuman
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Jika di
prosentase dari jumlah perkara yang di putus sebanyak 7,4% putusan hakim
dibawah minimum. Pada tahun 2011 perkara narkotika yang masuk di
Pengadilan Militer sebanyak 165, telah di putus dengan hukuman penjara dan
pemecatan sebanyak 102 perkara, 63 perkara di putus dengan hukuman
penjara tanpa pemecatan dan 16 perkara diputus dibawah hukuman
minimum. Prosentase penjatuhan hukuman dibawah minimum naik 2,3%
menjadi 9,7%. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada hakim yang
menjatuhkan hukuman dibawah minimum dengan berbagai alasan dan
pertimbangan, dalam praktek peradilan permasalahan ini di kenal dengan
istilah disparitas penjatuhan hukuman sebagai akibat dari perbedaan persepsi
hakim dalam menerapkan hukum. Hukuman dibawah ancaman minumum ini
secara formil menyimpang dari ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang narkotika yang menganut sistem hukuman minimum khusus
yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan melindungi
masyarakat dari kejahatan narkotika. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
perlu di optimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus dengan
menjamin terselenggaranya sistem penegakan hukum di lingkungan TNI
secara efektif dan efisien.
13. Implikasi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera dan Terwujudnya Organisasi TNI yang Bebas Narkoba.
a. Implikasi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera. Belum
optimalnya penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika akan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan yaitu
menimbulkan efek jera sehingga :
1) Tidak tercapainya tujuan pemidanaan yaitu memberikan efek
jera secara khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika.
25
2) Tidak tercapainya tujuan pemidanaan yaitu membuat takut (efek
deteren) bagi prajurit lainnya dan masyarakat pada umumnya untuk
melakukan tindak pidana narkotika.
3) Kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI
akan meningkat.
b. Implikasi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Terwujudnya Organisasi TNI yang Bebas Narkoba. Jika hukuman bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika tidak memberikan efek jera maka organisasi TNI yang
bebas Narkoba tidak akan terwujud sehingga:
1) Menurunnya tingkat disiplin prajurit disebabkan penegakan
hukum tindak pidana narkotika dilakukan tidak sesuai dengan yang
seharusnya.
2) Prajurit tidak takut melakukan tindak pidana narkotika karena
sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelakunya terlalu ringan di
bandingkan dengan bahaya yang di timbulkan akibat penyalahgunaan
narkotika.
3) Meningkatnya penyalahgunaan Narkotika di lingkungan TNI
menyebabkan tidak profesionalnya prajurit dalam melaksanakan tugas
sebab narkotika dapat merusak kesehatan baik fisik maupun psikis.
4) Menimbulkan citra negatif terhadap institusi TNI khususnya
penegak hukum dilingkungan TNI sehingga mendorong keinginan
masyarakat untuk merubah sistem penegakan hukum dilingkungan
TNI.
14. Permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hasil uraian yang disampaikan
di atas, diketahui ada beberapa masalah dalam penerapan sistem hukuman
minimum khusus, sebagai berikut :
26
a. Proses Penegakan Hukum di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan Belum Ada Transparansi. Proses penegakan Hukum di tingkat penyidikan
dan penuntutan dalam sistem penegakan hukum dilingkungan TNI adalah
Ankum ( Atasan yang berhak menghukum) yang dilaksanakan oleh penyidik
Pom (Polisi Militer) pada masing-masing angkatan sebagaimana diatur dalam
pasal 69 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selanjutnya tentang kewenangan penuntutan oleh Oditur Militer yang di atur
dalam pasal 124 dan seterusnya, pasal 182 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer mengatur kewenangan penuntutan oleh Oditur
Militer, hal ini di lakukan tanpa kontrol publik sebagaimana yang di wajibkan
oleh Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi
Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam
tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku
dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini
pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk
membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan
informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu yang tidak boleh di
publikasikan. Belum adanya akses publik di tingkat penyidikan dan
penuntutan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Adapun kewenangan pada tingkat penyidikan dan penuntutan yang
berpengaruh langsung terhadap Penjatuhan Hukuman bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut :
1) Kewenangan Penyidik pada tingkat Penyidikan. Kewenangan
Penyidik berdasarkan pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
adalah :
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan
tindak pidana;
b) Mlakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat
kejadian;
c) Mencari keterangan dan barang bukti;
27
d) Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai
Tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;
e) Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
dan pemeriksaan surat-surat;
f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g) Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa
sebagai Tersangka atau Saksi;
h) Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; dan
i) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
2) Kewenangan Oditur Militer pada tingkat penuntutan.
Kewenangan Oditur sebagaimana diatur dalam pasal 130 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 adalah melimpahkan berkas perkara
kepada Pengadilan yang berwenang dengan disertai surat dakwaan.
Oditur membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani
serta berisi:
a) Nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan,
kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin,
kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal Terdakwa;
b) Uraian fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
c) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada poin a) dan b) batal demi hukum.
28
b. Belum Terintegrasinya Sistem Penanganan Perkara di Lingkungan TNI. Penanganan tindak pidana narkotika adalah salah satu perkara yang
mendapat prioritas penanganan sejak dari tingkat penyidikan sampai tingkat
pengadilan, oleh karenanya di butuhkan percepatan penaganan perkara
sehingga perkara narkotika yang di lakukan oleh prajurit TNI dapat di
selesaikan dengan cepat. Penanganan perkara yang di laksanakan saat ini
menghadapi kendala dalam proses penyidikan dan penuntutan yang lamban,
hal ini di sebabkan karena belum terintegrasinya sistem penanganan perkara
dalam sistem penegakan hukum di lingkungan TNI sehingga menjadi
penghambat percepatan penanganan perkara. Dengan kemajuan teknologi
informasi (TI) dewasa ini merupakan peluang bagi Peradilan Militer untuk
membangun sistem penanganan perkara berbasis TI. Berdasarkan
pengalaman di banyak negara, penggunaan TI masih menitikberatkan pada
upaya-upaya pencatatan elektronis saja. TI belum dioptimalkan secara
maksimal untuk secara progresif meningkatkan kinerja badan peradilan.
Oleh karena itu, inisiatif TI yang dilakukan tidak memberikan hasil
memuaskan bagi lembaga peradilan. Salah satu penyebabnya adalah Badan
Peradilan gagal dalam menetapkan peran dan arah strategis TI di dalam
organisasi peradilan itu sendiri. Kegagalan ini berpotensi menciptakan
ketidakmampuan dalam memetik hasil maksimal, bahkan dalam implementasi
TI itu sendiri.17
c. Sumber Daya Manusia Masih Terbatas. Masalah sumber daya
manusia menjadi suatu hal yang sangat penting apabila dikaitkan dengan
hasil dari proses penaganan perkara berupa produk hukum yang menjadi
dasar dilakukan proses pengadilan yang menghasilkan suatu putusan hakim
yang berkualitas. Produk hukum yang berkaitan langsung dengan putusan
Hakim adalah BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang di buat oleh penyidik
POM, Surat Dakwaan dan Tuntutan yang di buat oleh Oditur Militer. Ketiga
produk tersebut merupakan dasar dilakukannya pengambilan keputusan oleh
majelis Hakim militer guna menentukan dan menerapkan hukuman kepada
terdakwa tindak pidana narkotika. Permasalahan yang dihadapi untuk
menghasilkan produk yang berkualitas adalah masih terbatasnya personel
yang berkualitas yang mampu menerapkan hukum dengan cepat dan tepat 17 Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010, Hal. 63.
29
sehingga menghambat proses penegakan hukum tindak pidana narkotika,
selain itu jumlah (kuantitas) aparat penegak hukum di tingkat penyidikan,
penuntutan dan pengadilan masih terbatas, hal ini dapat menghambat proses
penanganan perkara.
d. Sarana dan Prasarana Belum Memadai. Sistim penegakan hukum
harus didukung sarana dan prasarana yang memadai, apabila sarana dan
prasarana tidak terpenuhi maka akan membawa dampak tidak optimalnya
proses penegakan hukum dan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum.
Tindak pidana narkotika saat ini dilakukan dengan modus operandi yang
canggih dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga dunia peradilan dalam melaksanakan tugas pokoknya juga harus di
dukung oleh Iptek yaitu berupa peralatan yang dapat memudahkan proses
pengungkapan fakta yang di dukung oleh alat bukti sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Peralatan yang dapat membantu pengungkapan fakta baik di tingkat
penyidikan maupun di tingkat pengadilan seperti alat pendeteksi kebohongan
(lie detector), laboratorium kriminal dan peralatan lainnya yang berbasis
Teknologi Informasi untuk mendukung penyelesaian perkara dengan cepat.
e. Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas Putusan dan Prilaku Hakim Belum Optimal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997
Dilmiltama berwenang untuk mengadakan pengawasan teknis yustisial
terhadap Pengadilan Militer di bawahnya dalam penyelesaian perkara, tingkah
laku dan tindakan para hakim militer, agar proses penyelesaian perkara dapat
berjalan dengan baik dan benar serta transparan. Fungsi pengawasan
terhadap kualitas putusan dan prilaku Hakim ini telah berjalan namun belum
optimal khususnya dalam pelaksanaan pengawasan teknis yustisial yang
seharusnya direncanakan dalam program kerja Dilmiltama (Pengadilan Militer
Utama) baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :
1) Kegiatan langsung yaitu dengan kunjungan kerja/inspeksi ke
daerah-daerah dan mengadakan pemeriksaan terhadap hasil-hasil
pelaksanaan sidang serta minutasi perkara, dan pada saat itu pula
kepada para hakim, panitera serta personel yang melaksanaan
30
kegiatan tersebut diberikan petunjuk/bimbingan baik dalam hal
penerapan hukum acara maupun tata cara administrasi peradilan.
2) Kegiatan pengawasan tidak langsung dengan mengadakan
eksaminasi terhadap putusan-putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap termasuk kelengkapan /administrasi berkas
perkara, yang selanjutnya hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk
petunjuk Kadilmiltama ( Kepala Pengadilan Militer Utama) dan
dikirimkan kembali kepada Pengadilan Militer yang bersangkutan untuk
digunakan sebagai pedoman pelaksanaan tugas selanjutnya.
f. Peranti Lunak yang Tidak Selaras dengan Praktek Penegakan Hukum. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
merupakan hukum formil (hukum acara) dalam sistem Peradilan Militer saat
ini. Jika dikaji lebih mendalam berdasarkan ilmu hukum maka ditemui
beberapa kelemahan yang terdapat dalam sistem Peradilan Militer yang di
terapkan saat ini. Menurut pendapat penulis kelemahan tersebut ada pada 3
komponen penegakan hukum, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Subtansi. Subtansi berkaitan dengan norma-norma atau kaidah
yang terdapat dalam aturan hukum, norma atau kaidah ini tidak boleh
bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku secara universal
dan prinsip-prinsip penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam
masalah ini terhadap Undang-Undang Peradilan Militer secara subtansi
bertentangan dengan asas equality before the law ( asas persamaan di
depan hukum), ini terlihat dari adanya pengaturan kewenangan
mengadili pengadilan militer berdasarkan tingkat kepangkatan. Selain
itu Pengadilan Militer tidak dapat mengadili pejabat Militer yang
berpangkat bintang 3 dan bintang 4 hal ini terkait dengan persyaratan
formil tingkat kepangkatan Hakim yang mengadili sebagaimana yang di
atur dalam pasal 16 Undang-Undang Peradilan Militer.
2) Struktur. Struktur berkaitan dengan lembaga dan aparat
penegak hukum. Secara struktur lembaga penegakan hukum
dilingkungan TNI pada tingkat penyidikan dan penuntutan yaitu Pom
31
Angkatan dan Oditurat Militer masih berada dibawah garis komando
kepala staf angkatan dan Panglima TNI. Sedangkan Pengadilan Militer
secara organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah
Mahkamah Agung RI, hanya saja pembinaan personel militer masih
dilaksanakan oleh Mabes TNI. Perkembangan Peradilan Militer sudah
memasuki tahap yang lebih baik, namun masih adanya campur tangan
Mabes TNI dalam hal pembinaan personel militer hal ini akan
mengurangi independensi Pengadilan Militer dalam menangani
perkara.
3) Kultur. Budaya hukum juga merupakan unsur yang penting
dalam sistem hukum, karena budaya hukum memperlihatkan pemikiran
dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana hukum
tersebut ditaati, dihindari, atau disalahgunakan. Peradilan Militer
sebagai suatu sistem penegakan hukum dilingkungan TNI seharusnya
didukung oleh budaya hukum masyarakat militer agar penegakan
hukum yang berkeadilan dapat tercipta. Kondisi penegakan hukum
dilingkungan TNI saat ini masih memprihatinkan, hal ini disebabkan
adanya budaya penegakan hukum berdasarkan kepentingan. Jika
kepentingannya terlindungi hukum ditaati, apabila kepentingannya
terancam atau dirugikan maka hukum dihindari, diabaikan dan bahkan
disalahgunakan. Contoh konkrit dari hal ini adalah bahwa masih
adanya intervensi pejabat militer terhadap beberapa kasus yang di
tangani oleh peradilan militer dengan alasan mengamankan
kepentingan militer, ini sering dijadikan alasan untuk melindungi
kepentingan pribadi pejabat militer. Kedepan diharapkan terjadi
perubahan kultur hukum dengan menempatkan hukum sebagai
panglima sebelum perubahan itu dipaksakan oleh kekuatan lain diluar
TNI.
32
BAB IV
PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
15. Umum. Penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika juga dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis
yang dapat memberikan dampak baik negatif maupun dampak positif. Pengaruh
negatif perkembangan lingkungan strategis harus dihadapi dengan menggunakan
segala upaya. Sedangkan pengaruh positif perkembangan lingkungan strategis
dapat dijadikan peluang untuk lebih mengoptimalkan penerapan sistem hukuman
minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek
jera. Pengaruh global, regional dan nasional terhadap penegakan hukum narkotika
harus dicermati untuk menentukan kebijakan, strategi dan upaya, agar dapat
mengoptimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya
organisasi TNI yang bebas Narkoba.
16. Pengaruh Global. Perkembangan teknologi dan globalisasi pada satu sisi
telah memberikan berbagai macam kemudahan dalam kerjasama dan hubungan
internasional, baik dalam bidang ekonomi dan perdagangan, sosial budaya serta
pertahanan keamanan. Namun di sisi lain juga telah mempermudah para pelaku
kejahatan untuk memperluas aksinya. Perkembangan kejahatan tidak lagi
memperhatikan batas-batas wilayah negara. Salah satu kejahatan yang menjadi
pusat perhatian masyarakat internasional adalah peredaran gelap narkotika.
Masyarakat internasional menyadari bahwa peredaran gelap narkotika adalah
kejahatan yang serius sehingga penanganannya hanya bisa dilakukan melalui
kerjasama internasional yang intensif. Kejahatan peredaran gelap yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun perlu mendapat perhatian khusus karena jumlah dan
modus operandi yang dilakukan untuk mengedarkan narkotika semakin canggih dan
seringkali menimbulkan kesulitan bagi pihak berwajib untuk mengungkapnya.
Perkembangan peredaran gelap narkotika yang bersifat lintas batas negara semakin
berkembang dewasa ini sehingga merupakan permasalahan bagi masyarakat
internasional. Dalam hal ini narkotika tidak hanya menimbulkan masalah bagi
kesehatan manusia tetapi juga menjadi bahaya yang serius yang mengancam
falsafah kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, termasuk bangsa Indonesia.
33
Perkembangan peredaran gelap narkotika ini memerlukan suatu kerjasama untuk
menanggulanginya baik secara nasional maupun internasional.
17. Pengaruh Regional. Kawasan regional dalam hal ini negara-negara di
kawasan Asia Tenggara telah membuat kesepakatan untuk membentuk Kerjasama
Bidang Penanggulangan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika dan Obat-obat Terlarang (P4GN). Secara umum, inti dari kerjasama
penanggulangan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
(P4GN) di tingkat regional ASEAN diarahkan pada upaya realisasi komitmen Drug
Free ASEAN 2015 (Kawasan Bebas Narkoba ASEAN 2015), yang dipertegas dalam
Rencana Aksi Komunitas Sosial-Budaya. Upaya di tingkat regional tersebut
diselaraskan dengan langkah-langkah di tingkat nasional yang menetapkan
pencapaian Kawasan Bebas Narkoba Indonesia 2015.18 Dengan adanya kerja sama
di bidang pemberantasan peredaran gelap narkotika maka hal ini merupakan suatu
kondisi yang dapat mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika
dilingkungan TNI dengan menggunakan sarana penegakan hukum.
18. Pengaruh Nasional. Pengaruh kehidupan nasional terhadap penerapan
sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika adalah
kemampuan Asta Gatra yang kuat maka Penerapan sistem hukuman minimum
khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika dapat ditegakkan. Asta Gatra
yang kuat akan memperkuat pula posisi tawar baik di lingkungan nasional maupun
regional. Pengaruh kehidupan Nasional mengalami pasang surut dipengaruhi oleh
dinamika perkembangan lingkungan internasional dan regional19, kecenderungan
stategis nasional yang berkembang hingga saat ini dapat dikategorikan ke dalam
aspek-aspek kehidupan nasional sebagai berikut :
a. Geografi. Luas wilayah negara Republik Indonesia secara politis
merupakan negara kesatuan, namun struktur fisiknya terdiri dari pulau besar
dan kecil yang menurut perhitungan terakhir berjumlah 17.508 buah. Luas
wilayah Republik Indonesia termasuk ZEE kurang lebih 7,7 juta km², wilayah
daratan 1,9 juta km², serta lautan sebesar 5,5 juta km². Sebagai negara
18 http://www.suarapembaruan.com/home/asean-teken-deklarasi-kawasan-bebas-narkotika-2015/18806 diakses pada tanggal 28 juli 2012. 19 http://www.docstoc.com/docs/43191288/Pendekatan-Asta-Gatra di akses pada tanggal 7 juli 2012.
34
kepulauan Indonesia memiliki posisi yang strategis berada di antara dua
benua Asia-Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik mengakibatkan
tingkat kerawanan sangat tinggi dan sangat potensial untuk di jadikan tempat
dilakukan kejahatan transional diantaranya kejahatan peredaran gelap
narkotika.
b. Demografi. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010,
jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 237.556.363 orang (Buku Hasil
Sensus Penduduk Tahun 2020 data Agregat per Provinsi - BPS 2010), yang
terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Distribusi
penduduk Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yaitu sebesar 58
persen, yang diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21 persen. Selanjutnya
untuk pulau-pulau/kelompok kepulauan lain berturut-turut adalah sebagai
berikut: Sulawesi sebesar 7 persen; Kalimantan sebesar 6 persen; Bali dan
Nusa Tenggara sebesar 6 persen; dan Maluku dan Papua sebesar 3 persen.
Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi dengan urutan
teratas yang berpenduduk terbanyak, yaitu masing-masing berjumlah
43.021.826 orang, 37.476.011 orang, dan 32.380.687 orang. Sedangkan
Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang terbanyak penduduknya di
luar Jawa, yaitu sebanyak 12.985.075 orang. Dengan luas wilayah Indonesia
yang sekitar 1.910.931 km2, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk
Indonesia adalah sebesar 124 orang per km2. Provinsi yang paling tinggi
kepadatan penduduknya adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440
orang per km2. .20 Jumlah penduduk Indonesia yang besar sebenarnya
mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan Negara dalam
mempertahankan kedaulatan NKRI. Tetapi di sisi lain, jumlah penduduk
Indonesia yang besar dengan kualitas yang masih rendah dan terbatasnya
lapangan kerja merupakan potensi kerawanan yang perlu diwaspadai,
jumlah penduduk yang besar apabila dapat didayagunakan dan dimanfaatkan
dengan baik maka menjadi aset dalam pembangunan, namun sebaliknya juga
akan menjadi beban negara apabila pertumbuhan ekonomi rendah, karena
akan tercipta pengangguran dan kemiskinan. Penduduk yang jumlahnya besar
20http://wartapedia.com/nasional/statistik/167-sosial-demografi-secara-umum-penduduk-indonesia.htm diakses tanggal 7 Juli 2012.
35
jika di kaitkan dengan peredaran gelap narkotika merupakan pangsa pasar
yang potensial untuk bisnis narkotika.
c. Sumber Kekayaan Alam. Wilayah Indonesia dikarunia beraneka
ragam sumber kekayaan alam, baik dari pertambangan, hutan, potensi
perikanan maupun kondisi lahan pertanian yang subur. Namun pengelolaan
kekayaan alam ini belum dilaksanakan dengan optimal. Sumber Kekayaan
alam yang memiliki potensi sebagai bahan untuk penggerakan industri-industri
dalam negeri. Industri tersebut merupakan obyek vital nasional yang harus
dilindungi. Untuk melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam indonesia
maka di butuhkan SDM yang baik dan profesional, untuk itu negara wajib
meningkatkannya dengan melakukan pembinaan melaui pendidikan dan
kegiatan lain sebagai upaya meningkatkan SDM. Selain itu negara juga
mempunyai kewajiban melindungi seluruh bangsa indonesia dari berbagai
bentuk ancaman termasuk ancaman bahaya narkotika yang dapat
melemahkan ketahanan nasional dengan hancurnya genarasi muda harapan
bangsa.
d. Ideologi. Pancasila adalah pandangan hidup dan sekaligus sebagai
ideologi telah diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada era
globalisasi ini maka Pancasila mendapat tantangan dengan masuknya
informasi dan ideologi lain yang begitu bebas ke Indonesia. Dengan arus
informasi seolah-olah dunia tidak mempunyai batas-batas negara. Derasnya
arus globalisasi berdampak terhadap Indonesia yakni masuknya faham
negara lain dan tatanan nilai budaya barat yang dapat merubah pola pikir,
pola tindak dan pola sikap bangsa Indonesia. Dengan masuknya paham
yang tidak selaras dengan Pancasila khususnya sila ke-3 Persatuan
Indonesia akan menimbulkan permasalahan disintegrasi bangsa. Hal ini
harus mendapat perhatian serius dari seluruh penyelenggara
pemerintahan negara untuk mengambil tindakan yang tepat termasuk
meningkatkan ketahanan nasional. Salah satu bentuk ancaman yang
dapat melemahkan ketahanan nasional adalah bahaya peredaran gelap
narkotika.
36
e. Politik. Perkembangan politik nasional sebagai dampak dari reformasi
melahirkan proses politik yang cukup demokratis dan signifikan , telah
meletakkan TNI kepada profesi dirinya dengan peran yang cukup realistis
yakni sebagai alat pertahanan. TNI di tuntut untuk profesional di bidangnya
sebagai alat pertahanan negara, untuk mewujudkan TNI yang profesional
dibutuhkan personel yang terlatih dan berdisiplin tinggi. TNI berkepentingan
terhadap segala bentuk ancaman yang dapat menggoyahkan ketahanan
nasional karena TNI mengemban tugas tersebut. Salah satu bentuk ancaman
yang dapat menggoyahkan ketahanan nasional dan merusak sendi-sendi
kehidupan prajurit adalah bahaya penyalahgunaan narkotika.
f. Ekonomi. Daya dukung anggaran negara untuk mewujudkan
kemampuan pertahanan negara sangat terbatas, sedangkan Indonesia
termasuk negara yang tingkat ancamannya sangat tinggi. Anggaran
pertahanan negara yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN, hal ini berpengaruh terhadap kemampuan Alutsista di TNI khususnya
TNI AU. Demikian juga dengan anggaran bidang lain diantaranya anggaran di
bidang penegakan hukum termasuk penegakan hukum terhadap kejahatan
narkotika masih terbatas sehingga berdampak belum optimalnya penegakan
hukum terhadap kejahatan narkotika.
g. Pertahanan dan Keamanan. Ancaman militer berupa invasi atau agresi
militer diperkirakan kecil, walaupun demikian pembangunan komponen utama,
cadangan dan pendukung tetap perlu dipersiapkan secara dini demi
kewibawaan dan martabat bangsa terutama dalam mengatasi konflik
perbatasan. Ancaman non militer seperti terorisme, narkoba, separatis, dan
konflik komunal dapat terjadi karena faktor kurangnya rasa nasionalisme dan
sistem ekonomi yang belum kondusif. Untuk itu perlu adanya pembangunan
postur TNI yang kuat, sehingga ancaman militer maupun non militer dapat
teratasi. Permasalahan perbatasan dengan negara tetangga masih banyak
yang tersisa, dan diantaranya rawan menjadi potensi konflik terbatas dengan
Indonesia. Aktivitas kegiatan transnasional seperti penyelundupan barang
dan senjata, drugs dan human trafficking, illegal logging, illegal fishing, juga
masih menonjol. Walaupun pemerintah telah berupaya melakukan berbagai
37
cara, termasuk dengan menggelar operasi keamanan, tetapi aktivitas ilegal
tersebut masih tinggi.
19. Peluang dan Kendala. Perkembangan lingkungan strategis yang terus
berkembang secara dinamis akan berdampak adanya peluang dan kendala dalam
optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak
pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya organisasi
TNI yang bebas Narkoba, sebagai berikut :
a. Peluang. Perkembangan lingkungan strategis yang dapat menjadi
peluang adalah :
1) Aspek Global.
a) Adanya fakta kejahatan transnaional dan kesadaran
masyarakat internasional akan bahaya peredaran gelap narkotika
sehingga ada paradigma pemikiran untuk memperberat ancaman
pidana bagi pelaku kejahatan narkotika sebagaimana yang telah
di tuangkan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.
b) Kemajuan Teknologi membawa dampak positif dan negatif.
Dampak positif dari kemajuan di bidang teknologi khususnya
teknologi informasi dapat di manfaatkan guna mendukung upaya-
upaya pemberantasan tindak pidana narkotika.
2) Aspek Regional. Adanya kerjasama negara-negara ASEAN di
bidang Penanggulangan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika dan Obat-obat Terlarang (P4GN). hal ini
merupakan suatu kondisi yang dapat mendukung upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika dilingkungan TNI dengan
menggunakan sarana penegakan hukum
3) Aspek Nasional. Guna peningkatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Narkotika dilakukan pembaruan terhadap
38
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini juga
untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik
secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,
terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada
umumnya. Pemerintah berkomitmen untuk memberantas peredaran
gelap narkotika dengan menandatangani kerjasama baik nasional
maupun internasional. kondisi ini sangat mendukung upaya TNI untuk
memberantas kejahatan narkotika dilingkungan TNI.
b. Kendala. Perkembangan lingkungan strategis yang dapat menjadi
kendala adalah :
1) Aspek Global. Globalisasi selain memberikan dampak positif
dengan pesatnya kemajuan teknologi yang memudahkan hubungan
antar individu-individu yang tidak mengenal batas negara, tetapi di sisi
lain globalisasi juga memberikan dampak terhadap kegiatan kegiatan
bisnis narkotika. Peredaran gelap dilakukan dengan modus operandi
yang canggih dengan menggunakan teknologi untuk memudahkan
peredaran narkotika, dilakukan dengan terorganisir dan transnasioanal.
Dalam beberapa kasus peredaran narkoba internasional melibatkan
anggota TNI untuk melancarkan peredaran gelapnya. Fakta
menunjukkan bahwa anggota TNI sering kali dimanfaatkan oleh bandar
narkoba untuk memuluskan jalannya dalam peredaran gelap narkoba.
Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan anggota TNI dalam beberapa
kasus, salah satu kasusnya adalah keterlibatan anggota TNI dalam
peredaran gelap ekstasi sebesar 1.412.476 butir ekstasi atau ineks
dengan berat total 3.784.358 gram yang ditangkap aparat Gabungan
Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tanggal 8 Mei 2012. Dengan
fakta ini menunjukkan bahwa adanya korelasi antara perkembangan
lingkungan strategis khususnya perkembangan kejahatan narkotika
internasional terhadap meningkatnya tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anggota TNI. Gambar berikut menunjukkan bahwa
indonesia adalah salah satu negara yang sangat strategis bagi jalur
perdagangan dan penyelundupan narkoba, sehingga dari aspek
39
kriminologi faktor ini dapat menjadi penyebab meningkatnya tindak
pidana narkotika oleh prajurit TNI.(lihat lampiran VII jalur penrdagangan
dan penyelundupan narkoba jenis kokain)
2) Aspek Regional. Negara-negara Asean merupakan negara-
negara yang menjadi pangsa pasar bagi bisnis narkotika beberapa
diantaranya merupakan negara-negara produsen narkoba termasuk
indonesia. Indonesia saat ini tidak hanya sebagai negara yang menjadi
salah satu tempat peredaran narkoba, bahkan ditemukan beberapa
pabrik pembuatan narkoba. Ini menunjukkan bahwa begitu besarnya
pasar narkoba di Indonesia. Kondisi lingkungan strategis dikawasan
regional ini secara faktual berkorelasi terhadap meningkatnya tindak
pidana narkotika di indonesia khususnya tindak pidana narkotika yang
di lakukan prajurit TNI sebagaimana yang telah penulis buktikan pada
bab terdahulu melalui data statistik yang di himpun dari sumber-sumber
terpercaya. Dari data tersebut memperlihatkan keterlibatan anggota TNI
dalam peredaran gelap narkoba dan beberapa diantaranya terjerumus
sebagai penyalahuna narkoba karena faktor lingkungan dan pergaulan
yang kurang tepat. Gambar berikut menunjukkan perkembangan
lingkungan strategis regional kejahatan narkotika.(lihat lampiran IX)
3) Aspek Nasional. Indonesia dikenal sebagai produsen extasi
nomor 1 didunia, tetapi sebagai pengedar, Indonesia dikenal sebagai
pengedar ganja terbesar didunia. Hal tersebut memungkinkan karena
ganja dari Indonesia merupakan mariyuana dengan kualitas no.1 di
dunia.21 Untuk kasus ganja, mengutip data dari Badan Narkotika
Nasional yang bersumber dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba, per
Maret 2012 telah disita ganja dengan total 23.891.244,25 gram, pohon
ganja (stalks) 1.839.664 batang dan luas area penanaman ganja
305,83 hektare. Hasil pengungkapan Polri Per 2011 terdapat 5.909
kasus berkaitan dengan ganja. Kondisi lingkungan strategis secara
nasional juga berkorelasi terhadap meningkatnya tindak pidana
narkotika secara nasional khususnya peningkatan tindak pidana
21 http://veromons.blogspot.com/2012/02/6-negara-produksi-narkoba-terbesar-di.html di akses pada tanggal 11 Agustus 2012.
40
narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI. Pernyataan ini juga didukung
oleh pengalaman penulis selama bertugas di Pengadilan Militer I-01
Banda aceh dengan wilayah hukum provinsi aceh yang di kenal secara
internasional sebagai daerah penghasil ganja dengan kualitas nomor 1
didunia. Jika di kalkulasi dalam prosentase berdasarkan jenis tindak
pidana yang di tangani oleh Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh
menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika menduduki rengking
teratas yakni berkisar 30% dari semua jenis tindak pidana yang di
lakukan prajurit TNI. Ini membuktikan bahwa kondisi lingstra secara
nasional berpengaruh terhadap meningkatnya tindak pidana narkotika
yang dilakukan prajurit TNI. Gambar berikut merupakan jalur
perdagangan narkoba jenis ganja terkait dengan peningkatan tindak
pidana yang dilakukan prajurit TNI (lihat lampiran X)
41
BAB V
KONDISI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS
BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIHARAPKAN
20. Umum. Ketertiban, keteraturan dan kepastian hukum merupakan dambaan
setiap orang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, tidak terlepas kehidupan
prajurit TNI. Namun demikian perwujudan kondisi tersebut tidaklah mudah karena
menyangkut berbagai aspek terkait, apakah itu aturannya, aparatnya,
penegakannya, maupun hal-hal lain. Penegakan hukum yang dilakukan dalam
kehidupan prajurit TNI harus dilaksanakan secara cepat, tepat dan memberikan
kepastian. Karena prajurit TNI pada dasarnya dituntut adanya kesiap-siagaan,
sehingga manakala ada persoalan yang dilakukan oleh prajurit TNI, dan agar tidak
mengganggu tingkat kesiapan prajurit dalam pelaksanaan tugasnya, dan terkait
sistem pembinaan prajurit dikesatuan, maka penyelesaian perkara yang dilakukan
oleh prajurit merupakan sesuatu hal yang menjadi prioritas utama.
21. Kondisi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika yang Diharapkan. Kondisi penerapan hukuman
minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika yang diharapkan dapat
di jelaskan sebagai berikut.
a. Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus. Aparat penegak
Hukum dilingkungan TNI berkewajiban menerapkan norma hukum yang
selaras dengan praktek penegakan hukum, sehingga tercipta suatu kondisi
harmonisasi antara das sollen dan das sain khususnya dalam menerapkan
sistem penjatuhan Hukuman Pidana sebagaimana yang di anut oleh Undang-
Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu Sistem Hukuman
Minimum Khusus.
b. Kewenangan Mengadili. Masalah kewenangan mengadili terkait
dengan tindak pidana umum yang dilakukukan oleh prajurit TNI saat ini masih
timbul perdebatan antara kalangan yang menghendaki diadili oleh peradilan
umum dan kalangan yang mempertahankan yuridiksi peradilan militer
terhadap tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer. Diharapkan
42
pemerintah dan DPR dapat menemukan solusi yang terbaik atas masalah ini
demi kepentingan bangsa dan negara. Tindak pidana umum yang dilakukan
oleh prajurit TNI sebaiknya masih diadili oleh pengadilan militer, terutama
tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI, berdasarkan
argumentasi hukum sebagai berikut :
1) Tindak pidana narkotika berdimensi ancaman terhadap
pertahanan negara sehingga terkandung kepentingan militer yang
harus di selamatkan.
2) Anggota TNI merupakan orang-orang terlatih yang di persiapkan
untuk bertempur dan kepadanya dibebankan tugas dan tanggungjawab
yang berat yaitu mempertahankan kedaulatan, menjaga keselamatn
bangsa dan negara, sehingga apabila melakukan pelanggaran hukum
mereka harus di tanggani oleh institusi khusus yaitu Peradilan Militer
guna mendukung tugas pokok TNI.
3) Masyarakat miiliter mempunyai kebudayaan sendiri yang harus
diakui keberadaannya, terkait dengan hal ini maka pemaksaan
pemberlakuan yuridiksi peradilan umum terhadap prajurit yang
melakukan tindak pidana umum akan menimbulkan masalah jika dilihat
dari aspek penegakan hukum. Hukum tidak dapat berlaku efektif
apabila tidak didukung oleh kebudayaan suatu masyarakat yang
menjadi objek keberlakuan suatu aturan hukum, berdasarkan teori
lowrence meir friedmen mengajarkan 3 komponen dalam sistem hukum
yang merupakan satu kesatuan dalam upaya penegakan hukum yaitu
subtansi, struktur dan kultur.
4) Pemaksaan keberlakuan yuridiksi peradilan umum terhadap
prajutit TNI yang melakukan tindak pidana umum di khawatirkan justru
akan menimbulkan ketidaktertiban dalam masyarakat sehingga
bertentangan dengan filosofi tujuan hukum yaitu memberikan rasa
keadilan dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
43
c. Kesenjangan antar Institusi Penegak Hukum Dilingkungan TNI.
kondisi yang diharapkan terhadap kesenjangan yang terjadi antar institusi
penegak hukum dilingkungan TNI yaitu hilangnya kesenjangan dan
terciptanya sinergi sehingga sistem penegakan hukum dapat berjalan secara
efektif dan efisien
d. Kondisi Penegakan Hukum pada tingkat Penyidikan dan Penuntutan. Diharapkan faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam
optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum khusus dapat di atasi
melalui kebijakan, strategi dan upaya-upaya yang akan di uraikan pada bab
berikut.
e. Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Penyalahgunaan narkotika
sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu setiap masyarakat diharapkan
partisipasinya dalam menanggulangi bahaya narkotika. Prajurit TNI sebagai
bagian integral dari masyarakat harus memberikan contoh kepada
masyarakat untuk tidak terlibat dalam tindak pidana narkotika dan ikut
berperan dalam pencegahan dan penanggulangannya baik melalui sarana
penal maupun non penal. Sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi
dimana prajurit TNI bebas dari keterlibatan tindak pidana narkotika.
f. Disparitas Penjatuhan Hukuman. Faktor yang menyebabkan
disparitas penjatuhan hukuman adalah belum adanya pedoman bagi hakim
dalam menjatuhkan hukuman minimum khusus dan perbedaan persepsi di
kalangan hakim tentang penerapan sistem hukuman minimum khusus, kondisi
yang di harapkan guna mengatasi persoalan ini yaitu terciptanya suatu
pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman dan terwujudnya
persamaan persepsi dalam penerapan hukuman minimum khusus.
22. Kontribusi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit
Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera dan Terwujudnya Organisasi TNI yang Bebas Narkoba.
a. Kontribusi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi
Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera. Optimalnya
44
penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak
pidana narkotika akan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan yaitu
menimbulkan efek jera sehingga :
1) Tercapainya tujuan pemidanaan yaitu membuat jera prajurit
pelaku tindak pidana narkotika.
2) Tercapainya tujuan pemidanaan yaitu membuat takut (efek
deteren) bagi prajurit lainnya untuk melakukan tindak pidana narkotika.
3) Kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI
akan menurun.
b. Kontribusi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Terwujudnya Organisasi TNI yang Bebas Narkoba. Jika hukuman bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika memberikan efek jera maka organisasi TNI yang
bebas Narkoba akan terwujud sehingga:
1) Prajurit senantiasa menjaga kedisiplinannya sesuai dengan tata
kehidupan Militer dalam melaksanakan tugas yang di embannya, hal ini
disebabkan penegakan hukum khususnya tindak pidana narkotika
dilakukan sesuai dengan yang seharusnya.
2) Prajurit enggan melakukan tindak pidana narkotika karna sanksi
pidana yang dijatuhkan terhadap pelakunya berat dan menyadari
bahaya yang di timbulkan akibat penyalahgunaan narkotika.
3) Terciptanya semangat perlawanan di kalangan prajurit terhadap
usaha-usaha melemahkan kekuatan TNI melalui peredaran gelap
narkotika.
4) Terwujudnya prajurit TNI yang bersih dari penyalahgunaan
narkotika dan profesional dalam melaksanakan tugas.
45
5) Menimbulkan citra positif terhadap institusi TNI karena
penegakan hukum dilingkungan TNI telah dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
23. Indikator Keberhasilan. Untuk mengukur keberhasilan Penerapan Sistem
Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika melalui
beberapa indikator, baik imput, indikator proses maupun indikator output dan
outcome. Maka beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai indikator
keberhasilannya adalah sebagai berikut :
a. Terwujudnya Transparansi Proses Penegakan Hukum di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan. Terpenuhinya kewajiban kepada setiap Badan
Publik termasuk penyidik POM dan Oditurat Militer untuk membuka akses bagi
setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali
beberapa informasi tertentu. Adanya akses publik di tingkat penyidikan dan
penuntutan menutup peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Tranparansi di lakukan dengan menyediakan laporan penaganan perkara
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
b. Terintegrasinya Sistem Penanganana Perkara di Lingkungan TNI.
Guna mengatasi percepatan penanganan perkara narkotika dan perkara
lainnya kondisi yang di harapkan sebagai indikator keberhasilan adalah
terintegrasinya sistem penanganan perkara dengan memanfaatkan kemajuan
di bidang teknologi informasi yaitu terwujudnya pembangunan jaringan
penanganan perkara di lingkungan TNI yang terkoneksi dengan Mahkamah
Agung RI.
c. Terpenuhinya Sumber Daya Manusia. Di bidang sumber daya
manusia kondisi yang di harapkan adalah terpenuhinya standarisasi
kebutuhan personel baik dari kualitas maupun kuantitas dalam rangka
mendukung efektivitas penegakan hukum di lingkungan TNI. Salah satu
kriteria Badan Peradilan Indonesia yang Agung adalah bila Badan
Peradilan telah mampu mengelola dan membina SDM yang kompeten
dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta hakim dan aparatur peradilan yang
46
berintegritas dan profesional22. Demikian juga hendaknya pada aparat
penegak hukum lain dilingkungan TNI yaitu Polisi Militer dan Oditur Militer
harus mengimbangi pembangunan dan pembinaan SDM yang telah di
lakukan oleh Mahkamah Agung selama ini agar kinerja Peradilan Militer
secara keseluruhan dapat meningkat terutama dalam hal menangani perkara
narkotika prajurit TNI.
d. Terpenuhinya Sarana dan Prasarana. Sistim penegakan hukum harus
didukung sarana dan prasarana yang memadai, apabila sarana dan
prasarana tidak terpenuhi maka akan membawa dampak tidak optimalnya
proses penegakan hukum dan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum.
Oleh sebab itu kondisi yang di harapkan adalah terpenuhinya sarana dan
prasana. Sarana dan prasarana pendukung proses penanganan perkara
narkotika dan perkara lainnya adalah dukungan teknologi informasi. Hal ini
terkait dengan optimalisasi bagian-bagian lain dalam sistem penegakan
hukum di Peradilan Militer sebagai contoh adalah pengembangan SDM,
modernisasi manajemen perkara, peningkatan tranparansi dan akses publik
terhadap lembaga peradilan dan dukungan terhadap kegiatan peradilan
lainnya baik teknis yudisial maupun non teknis yudisial. Gambar berikut
merupakan program modernisasi menejemen perkara yang membutuhkan
dukungan TI. (lihat lampiran XI Modernisasi Manajemen perkara pengadilan)
e. Terlaksananya Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas Putusan dan Prilaku Hakim. Fungsi pengawasan pada hakekatnya adalah untuk
mengontrol penerapan kewenangan hakim agar dapat berjalan sesuai
dengan koridor dan mencegah terjadinya penyimpangan Berkaitan dengan
kewenagan Hakim dalam memutus perkara khususnya perkara narkotika
yang dilakukan oleh prajurit TNI. Terjadinya disparitas putusan Hakim dalam
perkara narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI dapat di mungkinkan
disebabkan adanya penyalahgunaan wewenag dan prilaku menyimpang
Hakim sebagaimana yang telah di tetapkan dalam kode etik hakim. Selain
itu dapat pula disebabkan karena kurang profesionalnya hakim dan
perbedaan persepsi dalam menerapkan hukum. Oleh karenanya kondisi yang
diharapkan pada fungsi pengawasan ini adalah terlaksananya fungsi 22 Ibid, Hal. 48.
47
pengawasan terhadap putusan dan prilaku Hakim secara efektif dan efisien.
f. Peranti Lunak yang Selaras Dengan Praktek Penegakan Hukum.
Adanya keselarasan antara Undang-undang Nomor : 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer sebagai hukum acara pidana militer dan praktek penegakan
hukum, maka indikator keberhasilannya adalah terwujudnya Undang-Undang
Peradilan Militer yang baru dengan merubah pasal-pasal yang tidak sesuai
dengan perkembangan penegakan hukum di lingkungan TNI, selaras dengan
kepentingan militer dan kepentingan Hukum, revisi buku petunjuk teknis
peradilan dan terciptanya buku pedoman Hakim tentang penerapan sistem
hukuman minimum khusus.
48
BAB VI
KONSEPSI OPTIMALISASI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
GUNA MEMBERIKAN EFEK JERA DALAM RANGKA TERWUJUDNYA
ORGANISASI TNI YANG BEBAS NARKOBA
24. Umum. Penerapan pidana di bawah minimal terhadap prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana narkotika tanpa ada pertimbangan hukum yang logis
terasa tidak adil karena bertentangan dengan kepentingan militer. Hakim Militer,
Oditur Militer dan Polisi Militer wajib memperhatikan hal ini sebagaimana yang telah
digariskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer. Asas kepentingan Militer dalam penyelenggaraan Peradilan Militer
yaitu, untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan
militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan.
Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan
dengan kepentingan hukum.23 Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah
sepatutnya aparat penegak hukum dilingkungan TNI melakukan suatu kebijakan,
strategi dan upaya untuk mengoptimalkan sistem penegakan hukum di lingkungan
TNI guna memberikan efek jera bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika.
25. Kebijakan. Terwujudnya Optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum
khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika melalui mewujudkan
transparansi proses penegakan Hukum di tingkat Penyidikan dan Penuntutan,
mengitengarasikan sistem penanganana perkara di lingkungan TNI, meningkatkan
kualaitas dan kuantitas sumber daya manusia, memenuhi sarana dan prasarana,
optimalisasi fungsi pengawasan terhadap kualitas putusan dan prilaku Hakim dan
memenuhi piranti lunak yang selaras dengan Praktek penegakan hukum guna
memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya organisasi TNI AU yang bebas
Narkoba.
26. Strategi. Dalam mewujudkan kebijakan di atas, maka rumusan strategi
adalah sebagai berikut :
23 Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
49
a. Strategi 1. Mewujudkan Transparansi Proses Penegakan Hukum di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan.
1) Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah Sebagai
sarana kontrol publik terhadap penggunaan wewenang oleh Penyidik
dan Penuntut agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan aturan
perundang-undangan dan ketentuan hukum.
2) Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah pengkajian,
pembangunan, koordinasi, kerjasama dan pembinaan.
3) Sarana yang digunakan adalah koordinasi dan kerjasama antara
kelembagaan Mahkamah Agung, Pengadilan Militer Utama, Babinkum
TNI.dan PUSPOM angkatan.
b. Strategi 2. Mengintegrasikan Sistem Penangana Perkara di Lingkungan TNI.
1) Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah
terintegrasinya sistem penanganan perkara dengan memanfaatkan
kemajuan di bidang teknologi informasi yaitu terwujudnya moderenisasi
manajemen perkara di lingkungan TNI yang berbasis teknologi
informasi guna mempercepat proses penanganan perkara.
2) Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah pengkajian,
pembangunan, pembinaan teknis penanganan perkara, pendidikan dan
pelatihan, koordinasi dan kerjasama.
3) Sarana yang digunakan adalah modernisasi manajemen perkara
dengan menerapkan prinsip Integrated Criminal Justice System”
sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Peradilan
Militer dengan melibatkan Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI,
PUSPOM angkatan, Pengailan Militer Utama dan Mahkamah Agung RI.
50
c. Strategi 3. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya Manusia.
1) Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah terpenuhinya
standarisasi kebutuhan personel baik dari kualitas maupun kuantitas
dalam rangka mendukung efektivitas penegakan hukum di lingkungan
TNI.
2) Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah optimalisasi,
pembinaan mulai dari rekrutmen, bimbingan teknis peradilan (Bintek
peradilan), pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), koordinasi dan Reward
and Punishment.
3) Sarana yang digunakan adalah dengan pembinaan yang
dilaksanakan oleh Mabes TNI, Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan PUSPOM angkatan.
d. Strategi 4. Memenuhi Sarana dan Prasarana.
1) Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah untuk
mendukung tugas pokok Peradilan Militer mulai dari tingkat Penyidikan
sampai tingkat pengadilan serta pada tahap pelaksanaan Hukuman
(eksekusi) agar dapat dilaksanakan secara cepat, efektif dan efisien.
2) Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah pembinaan
sistem informasi, pengadaan, dan peningkatan sarana.
3) Sarana yang digunakan adalah koordinasi antara kelembagaan
Mahkamah Agung Repulik Indonesia, Mabes TNI dan Mabes
Angkatan.
51
e. Strategi 5. Optimalisasi Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas Putusan dan Prilaku Hakim.
1) Tujuan yang ingin di capai dalam strategi ini adalah
melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif dan efisien
terhadap seluruh hakim, aparatur peradilan dan unit organisasi
yang berada di MA dan badan-badan peradilan di bawahnya.
2) Metode yang digunakan adalah kunjungan kerja, pemeriksaan,
bimbingan teknis, memberikan penghargaan dan melakukan tindakan
(Reward and Punishment)
3) Sarana yang digunakan adalah melaksanakan pengawas interen
oleh badan pengawasan MARI dan Pengadilan Militer Utama.
Pengawasan eksteren oleh Komisi Yudisial.
f. Strategi 6. Memenuhi Peranti Lunak yang Selaras dengan Praktek Penegakan Hukum.
1) Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah agar proses
penanganan perkara dan penggunaan wewenang oleh aparat penegak
hukum di lingkungan TNI mempunya dasar hukum yang kuat dan
sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas.
2) Metode yang digunakan adalah revisi, kerjasama, sosialisasi,
pokja dan evaluasi.
3) Sarana yang digunakan melaksanakan Pokja untuk menyusun
peranti lunak yang melibatkan DPR, Pemerintah, Mahkamah Agung RI,
Mabes TNI, Dinas hukum Angkatan dan PUSPOM Angkatan.
52
27. Upaya. Untuk mewujudkan kebijakan dan strategi guna efektivitas
penegakan hukum di lingkungan TNI dalam rangka optimalisasi penerapan sistem
hukuman minimum khusus bagi prajurit TNI pelaku tindak pidana narkotika maka
harus dilakukan upaya sebagai berikut :
a. Strategi 1. Mewujudkan Transparansi Proses Penegakan Hukum di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan.
1) Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi
mempunyai kewenangan untuk mengatur semua urusan pengadilan
yang ada di bawahnya melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a) Menciptakan kinerja lembaga Peradilan dan Lembaga
Penegak Hukum lainnya dalam lingkup Peradilan Militer yang
lebih terbuka, transparan dan mempunyai akuntabilitas yang
tinggi baik dalam kegiatan teknis peradilan maupun non teknis
peradilan dengan cara memberikan bimbingan melalui
pendidikan dan latihan dan melaksanakan evaluasi secara
berkesinambungan guna perbaikan sistem yang sudah ada.
b) Melakukan perencanaan yang terarah yang di tuangkan
dalam program kerja tahunan tentang pengembangan sistem
informasi di jajaran Peradilan Militer dengan melibatkan Mabes
TNI dan Puspom Angkatan dengan cara mengadakan koordinasi
maupun kerjasama.
c) Mengajukan anggaran untuk di alokasikan kepada jajaran
Peradilan Militer guna membangun sarana dan prasarana sistem
informasi yang terkoneksi dengan Oditurat Militer dan Puspom
Angkatan sebagai intitusi yang bertanggung jawab di tingkat
penuntutan dan penyidikan perkara pidana di lingkungan TNI.
d) Melakukan pengawasan terhadap pembangunan sistem
informasi yang dilaksanakan jajaran peradilan militer, Oditurat
Militer dan Puspom Angkatan dengan cara melibatkan Mabes
53
TNI dan Mabes Angkatan baik melalui koordinasi maupun
kerjasama.
2) Dirjen Peradilan Militer dan Peradilan Usaha Negara
melaksanakan :
a) Menyusun standard operating procedur (SOP) tentang
tata cara pemberian informasi kepada publik di jajaran Peradilan
Militer yang melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan.
b) Menyiapkan SDM untuk mengawaki dan mengelola
sistem informasi yang akan di bangun di jajaran Peradilan
Militer, Oditurat Militer dan Puspom Angkatan dengan cara
koordinasi dan kerjasama dengan Badan pendidikan dan latihan
MARI yang melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan,
c) Menyusun standard kebutuhan minimal sarana dan
prasarana perunit kerja di linkungan Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Militer.
3) Pengadilan Militer Utama melaksanakan upaya-upaya sebagai
berikut :
a) Melaksanakan rapat koordinasi dalam rangka
implementasi reformasi birokrasi, utamanya adalah penguatan
Pengadilan Militer Tinggi dengan penguatan kapabilitas dan
manajemen SDM serta penerapan SOP tata kerja yang terkait
dengan transparansi informasi.
b) Melaksanakan pembinaan teknis peradilan dalam upaya
mewujudkan modernisasi Pengadilan Militer dengan
menerapakan sistem otomasi aplikasi minutasi perkara, aplikasi
persuratan dan aplikasi pengarsipan digital.
c) Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Babinkum
TNI dan Puspom Angkatan guna mendorong terlaksananya
54
pembangunan sistem informasi dan transparansi proses
penyelesaian perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan.
4) Pengadilan Militer Tinggi. Melaksanakan upaya-upaya sebagai
berikut :
a) Melaksanakan pembinaan yang menuju kearah
pengadilan yang bermartabat dan berwibawa. Bermartabat
meliputi pembinaan sumber daya Peradilan (Hakim, Panitera dan
Pegawai) yang memiliki pengetahuan yang memadai, memiliki
integritas yang tinggi sehingga memperoleh kepercayaan publik.
Berwibawa artinya dihormati karena penyelesaian suatu perkara
dikerjakan secara efisien, efektif, preventif, tidak berpihak, benar
dan adil yang memberikan kepuasan pada pencari keadilan.
b) Melakukan Koordinasi dan kerjasama dengan Oditurat
Militer Tinggi dan Puspom Angkatan dalam hal pembinaan teknis
yang berkaitan dengan transparansi proses penanganan perkara
pada tingkat penyidikan dan penuntutan kepada seluruh
Pengadilan Militer, Oditurat Militer dan Satuan Polisi Militer di
wilayah hukumnya.
c) Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Oditurat
Militer Tinggi dan Puspom Angkatan dalam bidang pengawasan
terhadap pelaksanaan penaganan perkara secara transparan
dengan memonitor perkembangan penanganan perkara pada
tiap-tiap Dilmil, Odmil dan Satpom angkatan.
5) Pengadilan Militer melaksanakan upaya-upaya sebagai berikut:
a) Berkoordinasi dan kerjasama dengan Oditurat Militer dan
Satpom angkatan dalam menyiapkan sistem informasi
sebagaimana yang telah di lakukan oleh Pengadilan Militer yaitu
dengan membentuk sistem pelayanan informasi dan
menetapkan pedoman pelayanan informasi.
55
b) Melakukan pengkajian tentang pembangunan sistem
informasi yang ideal untuk tingkat penuntutan dan penyidikan.
c) Melaksanakan pembangunan sistem informasi untuk
tingkat penuntutan dan penyidikan.
b. Strategi 2. Mengintegrasikan Sistem Penanganan Perkara di
Lingkungan TNI.
1) Mahkamah Agung melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a) Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Mabes TNI
dan Mabes Angkatan tentang pengembangan moderenisasi
manajemen perkara di lingkungan Peradilan Militer.
b) Melakukan Pengkajian tentang sistem penanganan
perkara di lingkungan TNI yang berbasis teknologi informasi
dengan melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan.
c) Melakukan pendidikan dan latihan terhadap Hakim Militer,
Oditur Militer dan Penyidik Pom angkatan dalam rangka
pengintegrasian sistem penanganan perkara di lingkungan TNI
dengan melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan.
d) Mengadakan pembinaan teknis Peradilan Militer
khususnya penggunaan aplikasi teknologi informasi dalam
penanganan perkara dilingkungan TNI.
e) Membentuk kelompok kerja (pokja) yang melibatkan
Mabes TNI dan Mabes angkatan guna merumuskan langkah-
langkah konkrit untuk menerapkan sistem penanganan perkara
yang terintegrasi.
a) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan intansi
lain terutama intansi penegak hukum (Badan Narkotika Nasional,
56
Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan) dalam rangka mendukung tugas pokok peradilan
2) Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI melakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
a) Berkoordinasi dan kerjasama dengan Mahkamah Agung
RI membangun struktur organisasi peradilan militer yang sesuai
dengan kebutuhan tugas yang mencakup struktur organisasi
teknis dan non teknis meliputi kesekretariatan, pembinaan
keuangan, logistik dan dokumentasi disamping struktur
organisasi yang berhubungan dengan pembinaan teknis.
b) Berkoordinasi dan kerjasama dengan Mahkamah Agung
RI dalam bidang anggaran untuk menyiapkan dan
melaksanakan program moderenisasi manajemen perkara.
c) Membangun jaringan penanganan perkara di di jajaran
Oditur Militer dengan berkoordinasi dan kerja sama dengan
Mahkamah Agung RI.
d) Mengadakan Koordinasi dan kerjasama dengan Badan
Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI
dan Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk mendukung
tugas pokok Babinkum TNI khususnya jajaran Oditurat Militer.
3) Pusat Polisi Militer Angkatan melakukan upaya-upaya sebagai
berikut :
a) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan
Mahkamah Agung RI dan Babinkum TNI terkait dengan
pembangunan sistem penanganan perkara terintegrasi.
b) Menyiapkan SDM dengan mengikuti diklat yang di
selenggarakan oleh Mahkamah Agung RI dan Babinkum TNI
57
untuk mengawaki sistem penanganan perkara terintegrasi yang
berbasis teknologi Informasi.
c) Mengadakan sosialisasi di jajarannya tentang penerapan
sistem penanganan perkara terintegrasi.
d) Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan BNN,
Polri dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan terkait dengan
penyelidikan dan penyidikan kasus narkotika.
c. Strategi 3. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya
Manusia. Personel merupakan unsur utama sebagai penentu dalam setiap
bidang tugas maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh TNI. Oleh sebab itu,
kemampuan yang harus dimiliki baik secara kuantitas maupun kualitas
haruslah memadai sehingga dapat mendukung tercapainya pelaksanaan
tugas secara optimal. Berdasarkan hal tersebut, dalam pelaksanaan
penegakkan hukum. Adapun upaya yang dimaksud meliputi :
1) Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman tertinggi memegang peran terhadap
penyelenggaraan organisasi, administrasi dan finansial bagi badan-
badan peradilan yang berada dibawahnya termasuk badan Peradilan
Militer. Selain Dilmiltama secara teknis dan non teknis Mahkamah
Agung juga berperan sebagai pembina dan pengawas bagi Peradilan
dibawahnya. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas
Pengadilan Militer, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh
Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :
a) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Sumber
Daya Manusia yang masih harus di tingkatkan melalui DIKLAT
adalah :
(1) Hakim Militer. Hakim Pengadilan Militer Idealnya
minimal berpendidikan umum setingkat pasca sarjana
(S2) ilmu Hukum, lulus seleksi rekrutmen Hakim Militer,
58
memiliki sertifikasi sebagai Hakim militer melalui
pendidikan calon Hakim (Cakim), berpengalaman tugas
minimal 3 tahun sebagai Panitera Pengadilan Militer dan
berpangkat paling rendah Kapten.
(2) Panitera. Panitera mempunyai peran penting
dalam menangani perkara yaitu mengemban tugas
sebagai pejabat yang mengkoordinasikan dan
memproses perkara mulai dari perkara masuk sampai
dengan perkara berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai
dengan tahapan penyelesaian perkara di Pengadilan
Militer sebagaimana yang di atur dalam Hukum Acara
Peradilan Militer (Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997), selain itu Panitera juga mempunyai tugas non
teknis yudisial yaitu di bidang pengelolaan anggaran.
Idealnya panitera memiliki tingkat pendidikan strata satu
(S1) ilmu hukum dan telah mengikuti kursus kepaniteraan
yang di selenggarakan oleh Babinkum TNI.
b) Peningkatan Kuantitas Sumber Daya Manusia. Sumber
Daya Manusia yang masih harus di tambah melalui rekrutmen
adalah :
(1) Hakim Militer. Keadaan saat ini secara kuantitas,
jumlah Hakim Militer yang ada di Pangadilan Militer
sebanyak 218 orang yang tersebar di 15 Pengadadilan
Militer (Dilmil), 3 Pengadilan Militer Tinggi (dilmilti) dan
Pengadilan Militer Utama (dilmiltama). Hakim Militer
Idealnya secara kuantitas pada masing-masing Dilmil tipe-
B berjumlah 2 Majelis (satu Majelis berjumlah 3 orang) di
tambah 1 orang Kepala Pengadilan Militer. Rata-rata dilmil
tipe-B saat ini di awaki oleh 1 majelis di tambah 1 orang
kadilmil (Kepala pengadilan Militer). Pengadilan Militer
Tipe- A saat ini secara kuantitas juga masih belum ideal,
seharusnya Dilmil tipe-A di awaki oleh 3 majelis (9 orang
59
Kimmil) ditambah 1 orang kepala Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Tinggi saat ini di awaki 3 orang Hakim
Militer Tinggi, idealnya 5 orang Kimilti berpangkat Kolonel
termasuk Kepala pengadilan Militer tinggi. Pengadilan
Militer Utama saat ini di awaki oleh 1 orang Kadilmil tama
berpangkat Mayor Jenderal (Bintang dua),
Wakadilmiltama berpangkat bintang satu dan kelompok
Hakim Militer Utama berpangkat bintang satu. Ideal nya
kelompok Hakim Militer Utama diisi sesuai struktur
organisasi yaitu sebanyak 3 orang yang mewakili masing-
masing angkatan.
(2) Panitera. Tenaga teknis Panitera yang ada saat
ini di Pengadilan jumlahnya bervariasi dan rata-rata belum
memenuhi komposisi, karena bila dilihat dari struktur
organisasi yang ada maka dibutuhkan 9 orang pama
untuk duduk mengisi jabatan di Kepaniteraan.
(3) personel bidang non teknis. Keadaan yang hampir
sama dengan kondisi jumlah personel di bidang teknis,
dimana personel yang mengawaki bidang non teknis saat
ini hanya berjumlah 16 orang, sedangkan dilihat dari
kebutuhan organisasi berdasarkan struktur yang ada
maka jumlah tersebut masih sangat kurang karena
seharusnya staf Pengadilan Militer diawaki oleh 27 orang
tenaga non teknis, terdiri dari :
(a) 6 orang Staf TAUD.
(b) 12 orang Staf Kepaniteraan.
(c) 6 orang Staf Keuangan.
(d) 3 orang Staf IT.
60
2) Babinkum TNI melaksanakan upaya-upaya sebagai berikut :
a) Meningkatkan Kemampuan Teknis Ke Odituran. Untuk
meningkatkan kemampuan teknis Oditur Militer agar mampu
melaksanakan tugas-tugas sebagai Oditur Militer, berbagai
upaya yang dapat dilakukan antara lain :
(1) Pendidikan. Dikarenakan disiplin ilmu hukum yang
dimiliki para Oditur Militer berbeda-beda, demikian pula dari
asal almamaternya, maka untuk memberikan kesamaan
persepsi, sudut pandang dan pemahaman yang sama,
maka Babinkum TNI dan Oditurat Jendral TNI perlu lebih
meningkatkan program pendidikan Ke Odituratan kepada
para Oditur, atau Perwira Hukum yang ditunjuk, yang
selama ini sudah berjalan. Pendidikan dimaksud
diantaranya :
(a) Kursus Jabatan Oditur Militer.
(b) Kursus Perwira Administrasi.
(d) Penataran Oditur Militer (Tarormil).
(2) Latihan. Latihan ditujukan untuk meningkatkan
profesionalisme Oditur Militer dalam menangani perkara,
kegiatan ini dapat di lakukan di lembaga pendidikan maupun
tugas praktek di satuan masing-masing Tugas praktek dimaksud
antara lain :
(a) Penelitian Berkas Perkara.
(b) Regristrasi.
(c) Pengolahan Berkas Perkara.
(d) Penyerahan Perkara.
61
(e) Perencanaan Sidang. Hal-hal yang harus
dilakukan Oditurat setelah menerima rencana sidang
sidang dari Pengadilan Militer diantaranya:
i. Pengumpulan Berkas.
ii Pemanggilan.
iii. Menunjuk Oditur.
iv. Penyiapan Barang Bukti.
(f) Persidangan.
b) Peningkatan Kemampuan Non Teknis ke Odituratan. Dalam
meningkatakan kemampuan non teknis diantaranya :
(1) Rekruitmen. Babinkum TNI dalam melalukan rekruitmen
personil Oditur yang selama ini berjalan sepertinya hanya lebih
mendasarkan pada kuantitas bukan kualitas. Guna
terwujudnya postur Oditur yang memiliki kemampuan
Keodituratan, seharusnya Babinkum TNI melalui Oditurat
Jenderal TNI dalam merekrut dan mengangkat Oditur Militer
mulai diterapkan sistem seleksi, baik seleksi uji kepatutan
maupun kemampuan.
(2) Penempatan dalam Jabatan. Banykanya jabatan
setingkat Kepala Seksi, maupun Wakil Kepala Oditurat dan
bahkan masih ada jabatan Kepala oditurat yang diduduki oleh
orang yang sebelumnya sama sekali belum pernah
berkecimpung dalam profesi ke Odituratan. Kedepan Babinkum
TNI dan Oditurat Jenderal TNI dalam penempatan jabatan
Oditur harus mengutamakan pertimbangan profesi, dan untuk
jabatan strategis perlu adanya uji kecakapan maupun
kepatutan.
(3) Pemberian Reward and Punishment. Pemberian
penghargaan bagi bawahan yang berprestasi dan memberikan
62
hukuman bagi prajurit yang bersalah merupakan hal yang
lumrah dan harus dilaksanakan dalam organisasi. Guna
mewujudkan postur Oditur yang diharapkan hendaknya
Babinkum TNI dan Oditurat Jenderal TNI dalam pemberian
Reward and punishment kepada Oditur harus seimbang baik
keberhasilan dengan penghargaannya maupun kesalahan
dengan hukumannya, dengan tanpa mengesampingkan asas
kepantasan dan praduga tak bersalah.
(4) Pegawasan. Pengawasan dalam suatu system
merupakan hal terpenting, oleh sebab itu fungsi pengawasan
yang selama ini sudah berjalan Babinkum TNI maupun Oditurat
jenderal TNI, dalam mengawasi kinerja Oditur, sepertinya masih
harus ditata baik masalah kewenangan, maupun prosesnya.
Babinkum TNI dan Oditurat Jenderal TNI harus lebih
memperjelas tugas dan tanggung jawab Fungsi pengawasan
yang dilaksanakan oleh Babinkum TNI maupun fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh Oditurat Jenderal TNI,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengawasan. Fungsi
pengawasan yang tepat adalah disesuaikan pada fungsi
pembinaan organisasi, pengawasan personil maka fungsi
pengawasannya berada di Diswas Babinkum TNI dan demikian
pula yang menyangkut teknis maka fungsi pengawasannya
berada di Diswas Oditurat Jenderal TNI.
2) Mabes Angkatan dalam hal ini Puspom angkatan mengadakan
program pendidikan dan pengawasan terhadap pelaksanaa program
pendidikan, kursus dan pelatihan hukum personel Pom meliputi:
a) Pendidikan. Pendidikan merupakan bagian dari pembinaan
prajurit yang mempunyai tujuan membentuk personel yang
berkualitas dan berpengetahuan luas dalam mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mendukung
tugas TNI. Untuk mendapatkan Prajurit Pom yang profesional, maka
diperlukan pendidikan yang menunjang pelaksanaan tugas yaitu:
63
(1) Pendidikan Pengembangan Umum (Dikbangum).
Dikbangum lebih dititik beratkan bagi perwira. Pendidikan
pengembangan umum ini bertujuan memberikan bekal
pengetahuan dan wawasan pengetahuan agar dapat bersikap
dan bertindak sebagai staf pelaksana maupun komandan
satuan sesuai kepangkatan dan jabatan yang diembannya.
(2) Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Dik Iptek).
Dik Iptek dapat diberikan kepada seluruh personil Pom tetapi
lebih diutamakan bagi Perwira yang memiliki tekad dan
kemauan yang keras, khususnya yang sesuai dengan bidang
tugas Pomau. Pendidikan tersebut berupa pendidikan S-1 dan
S-2 bidang Hukum atau bagi seluruh perwira yang
dilaksanakan di dalam maupun luar negeri.
(3) Pendidikan Pengembangan Spesialisasi (Dikbangspes).
b) Latihan. Latihan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan prajurit Pom. Puspom angkatan menyelenggarakan
latihan penyidikan di bidang penegakan hukum dan penanganan
terhadap korban berikut barang bukti serta cara pengambilan
keterangan terhadap saksi-saksi yang berada di TKP yang
mengetahui secara langsung suatu tindak perkara pidana. Oleh
karena itu latihan-latihan yang dilaksanakan harus terarah, bertingkat
dan berlanjut sesuai pola latihan yang telah ditentukan yaitu :
(1) Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
(2) Latihan penggunaan alat bantu penyidikan. Latihan ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan pelatihan
kepada penyidik Pom tentang alat bantu penyidikan
diantaranya meliputi:
(a) Pemeriksaan Laboratorium kriminal sangat
diperlukan dalam pembuktian suatu tindak pidana tertentu
seperti kasus narkoba, penembakan dan pembunuhan.
64
(b) Latihan penggunaan peralatan dactiloscopy untuk
meneliti dan menghitung sidik jari maupun hal lain
yang menyangkut terjadinya suatu tindak pidana
bagaimana penyidik mengambil teraan sidik jari yang
terdapat di TKP kemudian menghitungnya melalui rumus
teraan sidik jari guna membantu pengungkapan kasus
tersebut.
(c) Latihan penggunaan alat penyadap. Alat
penyadapan telephone maupun Handphone.
(d) Latihan penggunaan alat pendeteksi uang palsu.
(e) Latihan penggunaan alat deteksi kebohongan (Lie
Detector).
(f) Pelatihan penggunaan alat tes urine untuk
pembuktian awal terhadap kasus narkotika dan obat-
obatan.
(g) Pelatihan penggunaan alat samaran dalam rangka
mencari data yang dilaksanakan secara rutin dan
terprogram.
(h) Latihan rekonstruksi terhadap tindak pidana untuk
memperjelas motif dan kronologis suatu peristiwa.
Kegiatan latihan rekonstruksi ini harus dimaksimalkan dan
diberikan secara rutin atau pada saat di pendidikan.
(i) Melaksanakan latihan penggunaan alat peralatan
olah TKP kejadian Lalu lintas seperti rol meter dan garis
batas polisi ( police line) baik itu di pendidikan maupun di
satuan.
(j) Memberikan latihan penggunaan foto dan handycam
untuk menyimpan dokumen dan merekam setiap kejadian
65
dan petunjuk yang dapat digunakan untuk kepentingan
penyidikan. secara terprogram.
(k) Latihan penggunaan radio rekam untuk merekam
keterangan dari saksi, korban maupun tersangka kepada
seluruh jajaran Pomau .
(3) Taktik dan Teknik Penyidikan.
(a) Pemeriksaan Saksi
(b) Pemeriksaan saksi Korban.
(c) Pemeriksaan Tersangka
(4) Pemberkasan Perkara.
d. Strategi 4. Memenuhi Sarana dan Prasarana. Sarana dan
prasarana yaitu perangkat keras yang berkaitan langsung dalam
penyelenggaraan hukum di lingkungan TNI, seperti gedung pengadilan,
rumah tahanan, sarana transportasi, sarana komunikasi, peralatan kantor dan
lain-lain. Upaya yang perlu dilaksanakan dalam rangka memenuhi sarana
dan prasarana adalah sebagai berikut :
1) Mahkamah Agung.
a) Melaksanakan Pembinaan sistem informasi.
b) Membangun sistem informasi yang bertujuan
membangun keterbukaan sistem peradilan sebagai bentuk
pelayanan publik dan suatu bentuk sistem control terhadap
sistem dan proses peradilan. Wujud penting keterbukaan yaitu
adanya akses publik terhadap kinerja pengadilan yang berkaitan
dengan putusan, penetapan pengadilan dan hal-hal lainnya.
c) Pengembangan jaringan Internet, komputerisasi dan
peralatan pembantu pengungkapan kasus.
66
3) Mabes TNI.
a) Melaksanakan pengadaan peralatan komputer dilengkapi
dengan jaringan internet untuk dialokasikan diseluruh jajaran
Dinas Hukum TNI.
b) Melaksanakan pengadaan perpustakaan khususnya
tentang pengetahuan hukum di satuan-satuan sehingga dapat
dijadikan sebagai sarana sosialisasi tentang hukum terhadap
seluruh personel TNI baik secara langsung maupun tidak
langsung.
c) Meningkatkan sarana dan prasarana dibidang hukum
khususnya rumah tahanan militer, pembinaan khusus bagi
prajurit yang ditahan. Upaya yang dilakukan TNI antara lain :
d) Membantu menyediakan ruang sidang yang dimiliki TNI
untuk digunakan sidang kasus perkara hukum apabila memang
dibutuhkan karena sidang yang dimiliki TNI frekuensinya jarang
digunakan.
e) Membantu menyediakan tempat-tempat tahanan untuk
digunakan sementara bagi tersangka tindak kejahatan pada tiap-
tiap satuan maupun pada daerah operasi.
f) Membantu menyediakan tenaga diberbagai ahli psikologi
untuk penyelesaian khususnya masalah kejiwaan.
g) Meningkatkan pemeliharaan terhadap sarana dan
prasarana yang ada agar dapat digunakan sambil menunggu
penggantian dengan yang baru.
h) Mengajukan ke Komando Atas untuk mengganti terhadap
sarana dan prasarana yang sudah tidak layak pakai.
67
e. Strategi 5. Optimalisasi Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas Putusan dan Prilaku Hakim.
1) Mahkamah Agung RI melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a) Melakukan koordinasi dengan Pengadilan Militer Utama
dan Pengadilan Tinggi Militer dan membentuk kelompok kerja
yang membahas tentang upaya optimalisasi fungsi pengawasan
terhadap kualitas putusan dan Prilaku Hakim.
b) Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan komisi
yudisial dalam melaksanakan pengawasan terhadap prilaku
Hakim.
c) Mengoptimalkan fungsi badan pengawas MARI dengan
melaksanakan pengawasan langsung melalui kunjungan kerja
pada setiap satker yang ada di daerah.
e) Membuka seluas luasnya fungsi kontrol publik dengan
mewajibkan setiap Pengadilan Militer memuat setiap putusan
dalam wabesite agar di ketahui oleh kalayak.
2) Pengadilan Militer Utama melaksanakan fungsi pengawasan
dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a) Melaksanakan pembinaan teknis peradilan secara terus
menerus kepada Hakim Militer yang berkaitan dengan
peningkatan kualitas putusan.
b) Melaksanakan eksaminasi putusan untuk mengukur
kualitas putusan Hakim dalam rangka menilai kinerja hakim
dalam menangani perkara.
c) Memberikan penghargaan kepada Hakim yang
berprestasi dan mempunyai kinerja yang baik serta memberikan
68
hukuman kepada hakim yang melakukan pelanggaran baik
pelanggaran terhadap kode etik Hakim maupun pelanggaran
hukum lainnya.
f. Strategi 6. Memenuhi Peranti Lunak yang Selaras dengan Praktek Penegakan Hukum. Piranti lunak yaitu semua produk-produk hukum
dan materi hukum yang mengatur tata kehidupan militer, upaya-upaya yang
perlu dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Mahkamah Agung RI
a) berkoordinasi dengan Kemenhan dan Mabes TNI
bersama-sama DRP RI melakukan revisi terhadap Undang-
undang Nomor : 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, revisi
ini menindaklanjuti isi dari Undang-undang no 34 Tahun 2004
tentang TNI dimana adanya perbedaan tentang penangganan
perkara yang dilakukan oleh prajurit TNI yaitu pada pasal 65
Undang-undang TNI menyatakan “ Bahwa prajurit TNI tunduk
pada peradilan umum apabila melakukan tindak pidana umum”
hal ini kontra produktif/ pertentangan dengan Undang-undang no
31 tahun1997 sehingga untuk memperjelas Pemerintah, DPR
perlu melakukan revisi terhadap ketentuan yang mengatur
pelaksanaannya sehingga akan mempermudah tugas aparat
penegak hukum TNI dalam bekerja dan menghindari terjadinya
kesalah pahaman saat pelaksanaan tugas dilapangan.
b) Membentuk Pokja dalam rangka membuat buku pedoman
untuk Hakim dalam menerapkan hukuman minimum khusus.
c) Mengadakan sosialisasi buku pedoman Hakim dalam
penerapkan hukuman minimum khusus guna terciptanya
kesamaan persepsi dalam penerapan.
2) Mabes TNI dan Mabes Angkatan melaksanakan pemenuhan
Produk-produk hukum dengan melaksanakan upaya sebagai berikut :
69
a) Membentuk pokja gabungan dari praktisi hukum militer
dengan melibatkan pihak praktisi hukum sipil untuk membuat
produk hukum sesuai dengan kebutuhan.
b) Menyebarluaskan produk-produk hukum yang sesuai
dengan perkembangan jaman ke seluruh prajurit TNI.
c) Mengadakan seminar dan diskusi tentang materi yang
berkaitan dengan produk hukum.
d) Mengadakan penelitian dan evaluasi terhadap materi
produk hukum TNI yang ada serta merevisi materi produk
hukum tersebut untuk disesuaikan dengan perkembangan saat
ini.
3) Mabes TNI dan Mabes Angkatan melaksanakan pemenuhan
materi hukum dengan melaksanakan upaya sebagai berikut :
a) Mengadakan penelitian dan evaluasi terhadap materi
hukum yang ada.
b) Merevisi materi hukum yang ada apabila sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
c) Koordinasi dengan pihak lain agar materi hukum tidak
keluar dari koridor hukum.
4) Diskum Angkatan dan Puspom Angkatan.
a) Bekerjasama dengan Babinkum TNI, Oditurat Jenderal
TNI melakukan kajian terhadap pasal-pasal dalam Undang-
undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang
selama ini menjadi dasar hukum dalam proses penegakkan
hukum.
70
b) Bekerjasama dengan Spers Angkatan menyusun dan
merevisi petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis yang
digunakan aparat penegak hukum sebagai payung hukum dalam
melaksanakan tugas.
c) Melakukan sosialisasi tentang petunjuk teknis dan
petunjuk pelaksanaan kepada seluruh aparat penegak hukum
yaitu POM Angkatan dan Diskum Angkatan agar memahami
dan digunakan sebagai payung hukum dalam pelaksanaan
tugas, agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran terhadap
peraturan yang akan diberlakukan.
71
BAB VII PENUTUP
28. Kesimpulan. Dari uraian naskah tentang optimalisasi sistem penegakan
Hukum dan penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana
narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI
yang bebas Narkoba dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Dalam melaksanakan tugasnya prajurit TNI harus mempunyai tingkat
disiplin yang tinggi dan profesional di bidangnya, untuk itu perlu di didukung
oleh perangkat hukum yang melindungi kepentingan militer guna menjaga
tetap tegaknya sendi-sendi kehidupan prajurit.
b. Dengan marakan kasus Narkoba yang melibatkan Prajurit TNI maka
perlu di lakukan penegakan Hukum yang tegas dan berkeadilan dengan
menerapkan sanksi pidana berefek jera untuk menjaga tingkat disiplin prajurit
agar senantiasa berprilaku sesuai dengan tata kehidupan keprajuritan. Untuk
dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada seorang prajurit TNI yang
melanggar aturan hukum diperlukan sebuah institusi atau lembaga yang
memiliki wewenang untuk itu
c. Penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika juga dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan
strategis yang dapat memberikan dampak baik negatif maupun dampak
positif. Pengaruh negatif perkembangan lingkungan strategis harus dihadapi
dengan menggunakan segala upaya. Sedangkan pengaruh positif
perkembangan lingkungan strategis dapat dijadikan peluang untuk lebih
mengoptimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit
pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera.
d. Penerapan sistem Hukuman minimum khusus akan optimal apabila
sistem penegakan hukum berjalan dengan baik dan adanya kesamaan
persepsi dalam menerapkan Hukum. Oleh karenanya di perlukan kebijakan,
strategi dan upaya-upaya mengoptimalkaan sistem penegakan Hukum di
72
lingkungan TNI guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan
organisasi TNI yang bebas Narkoba
29. Saran. Untuk efektivitas sistem penegakan Hukum dan penerapan sistem
Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan
efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba, disarankan
hal-hal sebagai berikut :
a. Agar Mahkamah Agung RI melakukan kerjasama dengan Babinkum
TNI dan Puspom angkatan di bidang pembinaan teknis penanganan perkara
dengan tujuan untuk menyamakan persepsi dan tindakan dalam
menyelesaikan kasus narkotika yang dilakukan oleh prajurit.
b. Agar Mahkamah Agung RI dalam mengadakan pembinaan teknis
peradilan melibatkan personel Oditurat Militer dan POM angkatan sebagai
peserta dengan tujuan agar terjadi pertukaran informasi dan ilmu
pengetahuan hukum khususnya ilmu praktis tentang penanganan perkara.
c. Agar dalam pelaksanaan penyelesaian perkara narkotika prajurit TNI
hendaknya dilakukan pengawasan yang ketat oleh Pengadilan Militer Utama
selaku pembina teknis Peradilan Militer, Babinkum TNI sebagai badan
pembina teknis yudisial dilingkungan Oditurat Militer dan Puspom Angkatan
dengan tujuan agar aparat penegak hukum di lingkungan TNI melaksanakan
tugas dan kewenangannya sesuai dengan yang telah di gariskan oleh
peraturan perundang-undangan.
Lembang,15 September 2012
Mirtusin,SH.,MH. Mayor Sus Nrp 520881
73
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum,
Malang: UMM Press, 2009.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana
2008.
-----------------------------, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV.Ananta, 1994.
----------------------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
Arief, Dikdik dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2007.
Bonger, W.A., Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982. Dirdjosisworo, Soedjono, Pathologi Sosial, Bandung:
Alumni, 1982.
--------------------------------, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung: Remaja Karya,
1987.
-------------------------------, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1990.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997. Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
74
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Surabaya: Bayumedia, 2008.
Kelana, Momo, Hukum Kepolisian, Jakarta: Grasindo, 1994.
Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997.
Lubis, Solly,Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung:
Alumni,1989. Makarao, Moh. Taufik, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003. Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2008.
Marpaung, Leden, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.
Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.
M.D, Mahfud, Politik hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1996.
Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy
dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986.
Prasetyo, Teguh, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Prakoso, Djoko, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum,
Bandung: Alumni, 1978.
75
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 1993.
Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,
Bandung: Mandar Maju, 2003.
---------------------, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Pra Peradilan Dalam
Teori dan Praktek, cetakan 1, Bandung: Mandar Maju, 2007.
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI:Press, 2005.
----------------------, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia, 1981.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996. Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Yayasan
Sudarto, 1990.
----------, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983.
----------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Taufik, Moh. Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2008.
B. Majalah, Jurnal Ilmiah, Surat Kabar Lubis, Lusiana Andriani, Peranan Komunikasi Dalam Penanggulangan
Korban Penyalahgunaan Narkoba, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Komunitas Vol. 3 No. 1 Januari 2004
Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan
Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari, 2003.
Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
76
Narkoba, Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004. Sianipar, Togar M., Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar
Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang
Bidang Hankam (HANKAM) 1999, Babinkum TNI
D. Internet
http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas penerapan-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012.
http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012.
Yanen Dwimukti Wibowo, Kasus Penyalahgunaan Narkoba Khususnya pada Remaja,
http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspx?id=5309, diakses
tanggal 22 Juli 2012.
http://www.scribd.com/doc/38464777/Mengenal Jenis Dan Faktor Penyebab penyalahgunaan Napza diakses tanggal 22 Juli 2012.
http://sawal99.wordpress.com/2009/04/29/penanggulangan-narkoba, diakses tanggal 22 Juli 2012.
http://www.anneahira.com/narkoba/penanggulangan-narkoba.htm, diakses tanggal 22 Juli 2012.
http://wartapedia.com/nasional/statistik/167-sosial-demografi-secara-umum-penduduk-indonesia.htm diakses tanggal 7 Juli 2012.
http://veromons.blogspot.com/2012/02/6-negara-produksi-narkoba-terbesar-di.html di akses pada tanggal 11 Agustus 2012.
77
DAFTAR PENGERTIAN
1. Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai
wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan
berdasarkan Undang-undang ini.24
2. Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan
kekuasaan kehakiman pada pengadilan.25
3. Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang
penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.26
4. Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir
dan bersikap. Contoh : dunia norma, dunia kaidah dsb. Dapat diartikan bahwa das
sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang
seharusnya dilakukan.27
5. Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala
hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das
sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi. Peristiwa konkrit (das sein)
memerlukan das sollen untuk menjadi peristiwa hukum. Begitu pula sebaliknya,
dunia norma (das sollen) juga memerlukan peristiwa konkrit (das sein) untuk menjadi
peristiwa hukum. Contoh : terdapat aturan "barangsiapa membunuh harus
dihukum..", maka bila tidak terjadi pembunuhan maka tidak berlaku pula aturan ini.28
24 Ibid, Pasal 1 ayat (7). 25 Ibid, Pasal 1 ayat (4). 26 Ibid, Pasal 1 ayat (2). 27 http://belajarhukumindonesia.blogspot.com/2010/03/das-sollen-dan-das-sein.html. di akses pada tanggal 12 Agustus 2012. 28 Ibid.
78
6. Narkoba (Narkotika dan Obat/Bahan Berbahaya) adalah istilah yang
digunakan oleh penegak hukum dan masyarakat. Yang dimaksud dengan bahan
berbahaya adalah bahan yang tidak aman digunakan atau membahayakan dan
penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum (ilegal).29
7. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.30
8. Pengadilan Militer. Pengadilan Militer adalah badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer
Pertempuran.31
9. Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas dasar
Undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana
yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di
bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.32
10. Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer
tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk
melakukan penyidikan.33
11. Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang
mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum
diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu
29 http://pakarinfo.blogspot.com/2010/11/pengertian-narkoba-efek-samping-dan.html Diakses Pada 14 Agustus 2012. 30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 ayat (1). 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 1 ayat (1). 32 Ibid, Pasal 1 ayat (10). 33 Ibid, Pasal 1 ayat (16)
79
pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan
ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.34
12. Penerapan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerapan berasal
dari kata terap yang berarti proses, cara. Penerapan bermakna perbuatan atau
tindakan melaksanakan sesuatu atau perihal untuk mempraktikkan suatu hal.35
Blom (1986) menjelaskan penerapan adalah mencakup kemampuan untuk
menerapkan informasi pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru.
Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus ada persoalan yang
belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada pemecahan problem
baru.36 Berdasarkan pengertian ini dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan penerapan sistem hukuman minimum khusus adalah tindakan
mempraktikkan atau mengaplikasikan sistem hukuman minimum khusus. Dalam
konteks ini untuk menggambarkan kondisi saat ini yang berkaitan dengan penerapan
sistem hukuman minimum khusus maka dapat di jelaskan hal-hal sebagai berikut.
13. Sistem Pidana Minimum Khusus. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
sistem pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu untuk delik-
delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau
meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifikasir oleh akibatnya sebagai
ukuran kuantitatif yang dapat dijadikan patokan bahwa delik-delik yang diancam
dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun yang dapat diberi ancaman
minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan sangat berat.37 Sistem
pemidanaan pada tindak pidana Narkotika yang di atur dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum
khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana denda dan tidak
menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman pidana maksimum umum
dan minimum umum seperti dalam KUHP (Lihat lampiran IV Perumusan Pidana
dan Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Maksimum
khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum
34 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 15. 35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta. 1997. Hal. 745.
36 www. Petra Christian University Library.co.id. Diakses Pada 14 Agustus 2012.
37 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. Hal..128.
80
dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam KUHP boleh
menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas)
tahun yakni 20 (dua puluh tahun), dalam hal apabila terjadi pengulangan atau
perbarengan ( karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu
sebagai alternatif dari pidana mati (misal Pasal 104, 340, 365 ayat 4 KUHP).
14. Teknologi informasi yang biasa disebut TI, atau IT. Berbagai defines telah
diberikan oleh pakar mengenai pengertian Teknologi informasi yakni :
a. Menurut Haag dan Keen (1996) : teknologi informasi adalah
seperangkat alat yang membantu anda bekerja dengan informasi dan
melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pemrosesan informasi.
b. .Menurut martin (1999) teknologi informasi tidak hanya terbatas pada
teknologi computer yang digunakan untuk memproses dan menyimpan
informasi melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan
informasi.
c. Menurut Willams dan Sawyer (2003) : teknologi informasi adalah
teknologi yang menggabungkan komputasi (computer) dengan jalur
komunikasi berkecepatan tinggi yang membawa data, suara dan video. Dari
beberapa definisi diatas, teknologi informasi mencakup gabungan antara
teknologi computer dan teknologi telekomunikasi.38
15. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
selanjutnya menurut wujud atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang
melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan
atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang
dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu
perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum,
merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan
pidana.39
38 http://id.shvoong.com/society-and-news/2012515-pengertian-teknologi-informasi/. Di akses tanggal 12 Agustus 2012. 39 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 16.
81
82
Grafik Data Perkara Tindak Pidana Narkotika Prajurit TNI
Tahun 2010-2011
2016
3342
97
107
0
20
40
60
80
100
120
Tahun 2010 Tahun 2011
TNI AU TNI AL TNI AD
83
Gambar Perkembangan Lingkungan Strategis Tindak Pidana Narkotika
84
85
86
87
88
89
Perumusan Pidana dan Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Perbuatan Melawan Hukum
Jenis Pidana
Kategori I
Kategori II
Kategori III
Kategori IV
Pidana Penjara Narkotika Gol. I
Pidana Penjara Narkotika Gol. II
Pidana Penjara Narkotika Gol. III
4-12 th 5-20 th
4-12 th 5-20 th
5-15 th 5-20 th
5-15 th 5-20 th
X
3-10 th 5-15 th
4-12 th 5-20 th
4-12 th 5-15 th
X
2-7 th 5-20 th
3-10 th 5-15 th
3-10 th 5-15 th
Penjara seumur hidup Narkotika Gol. I
Narkotika Gol. II
Narkotika Gol. III
Berat lebih 1kg/ 5 btg pohon
Berat melebihi 5
gram
Mengakibatkan org lain mati/ cacat permanen
Mengakibatkan org lain mati/ cacat permanen
X
X
Berat melebihi 5 gram
X
X
X
X
X
Pidana Denda Narkotika Gol. I
Denda 800 JT-4 M
Denda 800 JT-8M denda max
+1/3
Denda 1 M-10M
denda max +1/3
Denda 1 M-10M
denda max +1/3
90
Narkotika Gol. II
Narkotika Gol. III
X
Denda 600 JT-5 M denda max
+1/3
Denda 800 JT-5 M denda
max +1/3
Denda 800 JT-6 M
X
Denda 400 JT-3 M denda max
+1/3
Denda 600 JT-5 M denda
max +1/3
Denda 600 JT-5 M denda
max +1/3
Keterangan :
Jenis-jenis perbuatan tanpa hak dan melawan hukum yang diatur dalam tindak pidana narkotika di bedakan dalam 4 kategori yakni :
1. Kategori I : Menanam, memelihara, menyimpan, menguasai, atau menyediakan.
2. Kategori II : Memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan.
3. Kategori III : Menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau penyerahan.
4. Kategori IV : menggunakan, memberikan untuk di gunakan orang lain.
91