Saat itu jam istirahat makan siang.
Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di lantai satu
paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di pojok belakang kantin. Untuk
lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana aku bisa melihat langsung lapangan tenis.
Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan roll yang kubeli
dari kantin ini.
Dan rasanya begitu damai.
Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak mengajakku masuk ke
alam mimpi.
Para anggota Klub Tenis Putri memulai latihan pribadinya di siang hari, itu sebabnya
mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka memukul bolanya lalu dengan heroik
mengejar untuk mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.
Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di penghujung
istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan ini lewat sedotan, dan bisa
kurasakan hembusan angin sedang membuai diriku.
Arah angin pun berubah.
Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini dekat dengan
laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari. Rasanya hampir seolah angin laut
pagi hari sedang berhembus kembali ke arah asalnya.
Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut membelai diriku,
rasanya tidak buruk-buruk amat.
"Eh? Hikki, ya?"
Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku. Saat aku menoleh,
kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.
"sedang apa di sini?"
"Aku biasa makan di sini."
"Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau makan di kelas?"
"..."
Yuigahama tampak benar-benar bingung, tapi aku hanya menanggapinya dengan diam.
Kalau memang lebih nyaman di kelas, tak mungkin aku sampai makan di luar begini...
dasar, kenapa ia tak peka begitu?
Kita ganti saja topiknya.
"Lebih penting lagi, kenapa kau ada di sini?"
"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa dibilang ini
hukumannya."
"jadi hukumannya bicara denganku...?"
Memilukan sekali... rasanya ingin mati saja.
"Bu-bukan, bukan! Yang kalah harus membeli jus! Cuma itu!"
Yuigahama buru-buru mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal anggapanku.
Baguslah; padahal aku sempat ingin bunuh diri tadi...
Yuigahama mengelus dadanya karena lega, kemudian mendudukkan dirinya di
sebelahku.
"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi pula, apa untungnya
bagiku memenangkan permainan tak penting ini? Begitu katanya."
Untuk alasan tertentu, Yuigahama tampak berusaha meniru Yukinoshita. Sayangnya ia
gagal.
"Yah, ia memang seperti itu."
"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang, ya? Habis itu ia
setuju mau ikut."
"...yah, ia memang seperti itu."
Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika ada yang
menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung setuju mengikutinya sama
seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya dulu.
"Terus, waktu Yukinon menang, ia sedikit mengepalkan tangannya, lo... lucu banget,
deh..."
Yuigahama lalu menghela napas senang.
"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti permainan
hukuman."
"Jadi kau sudah sering memainkannya?"
Saat aku menanyakan itu, Yuigahama mengangguk.
"Ya, sering beberapa kali..."
Mendengarkannya tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. Di penghujung istirahat
makan siang, selalu saja ada pojok ruangan konyol yang meributkan permainan suten...
"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."
"Kok reaksimu jelek begitu? Kau enggak suka, ya?"
"Ya jelas, lah. Aku benci orang-orang yang membuat kumpulannya sendiri lalu bercanda
dengan sesamanya... ah, tapi aku suka perselisihan internal. Karena aku tak terlibat di
dalamnya!"
"Alasanmu enggak hanya suram, tapi terdengar sangat rendahan!"
"Berisik. Pergi saja sana..."
Yuigahama lalu tersenyum sambil memegangi rambutnya, menjaganya agar tak tertiup
angin. Ekspresi tadi tampak berbeda dengan yang biasanya ia perlihatkan sewaktu
bersama Miura dan kawan-kawannya di kelas...
Ahh, begitu. Kalau tidak salah, ia tak mengenakan riasan yang berlebihan. Wajahnya
jadi terlihat lebih alami. Mungkin perubahan tersebut baru saja ia lakukan, meski
begitu, bukan berarti aku jadi punya kebiasaan memandangi wajah perempuan... ah,
terserahlah.
Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya sedikit.
Mungkin itu dikarenakan riasan yang tak berlebihan di wajahnya, tetapi... saat
Yuigahama tersenyum, mata sayu dan wajah belianya itu jadi tampak semakin muda.
"Tapi masa, sih? Kupikir Hikki juga sudah terbiasa membuat kumpulan sendiri. Soalnya
waktu di ruang klub, kau selalu tampak senang jika mengobrol dengan Yukinon. A-aku
pun selalu merasa kalau aku enggak bakal bisa bergabung di perbincangan kalian..."
Sewaktu mengatakannya, Yuigahama merangkul kedua lututnya dan membenamkan
wajahnya di sana. Ia lalu melirik ke arahku.
"Yah, mungkin karena aku ingin ikut bergabung juga... ta-tapi bukan dalam artian yang
aneh-aneh lo, ya! Mak-maksudku, perbincangan yang juga melibatkan Yukinon!
Mengerti, 'kan?!"
"Jangan khawatir... aku bukan orang yang gampang salah paham kalau berurusan
dengan orang sepertimu."
"Maksudmu itu apa?!"
Yuigahama lalu mengangkat kepalanya, tampak kalau ia kesal. "Ah, sabar, sabar,
tenang dulu!" Kutahan dirinya dengan tanganku, kemudian berbicara.
"Yah, Yukinoshita itu lain cerita. Soalnya ia tak terelakkan."
"Maksudnya?"
"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau keadaan yang
mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf kalau aku memakai kata-kata sulit."
"Bukan! Aku sudah tahu artinya! Kau itu yang terlalu meremehkanku! Asal tahu saja, ya,
aku mengikuti ujian penerimaan dan berhasil masuk ke SMA Soubu, sama sepertimu!"
Yuigahama lalu melayangkan chop-nya tepat ke tenggorokanku. Sempurna mengenai
jakunku, hingga membuatku terbatuk. Kemudian Yuigahama menatapku sambil
menjauh dan bertanya dengan nada serius.
"...hei, bicara soal ujian penerimaan... kau masih ingat hari pertamamu masuk SMA,
enggak?"
"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu aku kecelakaan."
"Kecelakaan..."
"Iya. Saat hari pertamaku masuk SMA, aku berangkat sambil bersepeda, tahu-tahu ada
anjing milik orang bodoh yang lepas berkeliaran. Anjing itu hampir mau dilindas mobil,
jadi aku mengorbankan diri melindunginya... tentu saja, aksiku saat itu sangat keren
dan heroik."
Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak mungkin juga ada
orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu, paling-paling juga tak ada yang mau
membahasnya. Karena itu, di situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit
lebih keren.
Sewaktu ia mendengarnya, wajah Yuigahama menegang.
"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat wajahnya?"
"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah, yang jelas tak ada
kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."
"[Biasa-biasa saja... ya-yah, waktu itu aku memang tak memakai riasan, sih... rambutku
juga belum diwarnai, dan saat itu aku lagi memakai piyama sekenanya... oh, di piyama
itu juga ada gambar beruang kecil, jadi aku mungkin agak kelihatan seperti orang
bodoh waktu itu...]"
Suara Yuigahama begitu pelan sampai-sampai tak bisa kudengar — yang kulihat hanya
gerak bibirnya yang menggumamkan sesuatu sambil menatap ke lantai. Apa perutnya
itu sedang mual?
"Ada apa?"
"Enggak... enggak apa-apa, kok... benaran! Jadi Hikki memang enggak ingat sama
perempuan itu, ya?!"
"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh, tunggu.
Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"
"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi yang
kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini, perempuan itu!!"
"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"
Saat mengatakannya, Yuigahama hanya tertawa keras dan terdengar hampa, lalu
dengan senyum yang masih tertinggal di wajahnya itu, ia memalingkan muka ke arah
lapangan tenis. Spontan, aku pun ikut memalingkan muka.
Kurasa saat itu waktunya para anggota klub Tenis Putri untuk menghentikan latihan
mereka; mereka menyeka keringatnya lalu kembali ke kelas.
"Hei! Sai~~!"
Yuigahama memanggil sambil melambaikan tangan. Tampaknya ia sedang menegur
seseorang yang dikenalnya.
Perempuan itu melihat Yuigahama lalu berlari kecil menghampiri kami.
"Wah, lagi latihan, ya?"
"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus berlatih saat istirahat
makan siang... kami sudah berulang kali meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa
menggunakan lapangan ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya
memperbolehkannya. Oh, iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"
"Ahh, bukan apa-apa..."
Ujar Yuigahama sambil menoleh ke arahku seolah meminta pembenaran. Yah, aku juga
sudah selesai makan, dan urusannya sendiri juga sudah mau selesai, 'kan? Apa
kemampuan fokusnya itu memang seperti burung...
"Oh, begitu." Perempuan itu, Sai atau siapalah namanya, tersenyum pada kami.
"Sai, kau enggak hanya bermain tenis saat pelajaran Olahraga, tapi saat istirahat makan
siang juga... rasanya pasti berat."
"Iya, tapi aku juga memang mau, kok, jadi tidak masalah... oh, iya, Hikigaya, ternyata
kau cukup hebat bermain tenis, ya."
Mengejutkan, ia mengubah arah pembicaraannya kepadaku, makanya aku langsung
terdiam. Pertama kalinya aku mendengar yang seperti ini. Lagi pula, siapa sebenarnya
anak ini? Kenapa ia bisa tahu namaku?
"Ohh...?" Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya, namun sebelum aku
sempat, Yuigahama sudah memotong duluan, seolah terkesan.
"Masa, sih?"
"Iya, waktu ia bermain, form-nya benar-benar bagus."
"Ahh, kau membuatku malu, ha ha ha... [anak ini siapa, ya?]"
Kalimat terakhir tadi kuucapkan dengan sedikit berbisik agar hanya Yuigahama saja
yang bisa mendengarnya, namun ia justru membuat usahaku jadi tak ada artinya.
"Haaahh?! Kau itu satu kelas dengannya, lo! Bahkan kau sama-sama dengannya di
pelajaran Olahraga! Kok bisa enggak tahu, sih?! Keterlaluan banget!"
"Dasar bodoh, tentu saja aku tahu! Tadi aku hanya lupa! ...soalnya laki-laki dan
perempuan dipisah saat pelajaran Olahraga!"
Aku sudah berusaha untuk lebih peka, dan ia benar-benar menghancurkan usahaku...
kini semua orang di dunia bakal tahu kalau aku tak tahu nama perempuan ini. Dan
mungkin kini ia sedang dalam suasana hati yang buruk...
Sewaktu memikirkan itu, aku memandang ke arah Sai dan melihat matanya sudah
berkaca-kaca... sial, ini gawat. Kalau diibaratkan anjing, ia mirip sepertichihuahua,
dan ibarat kucing, ia mirip seperti munchkin... tampangnya sendu sekali dan itu
menggemaskan.
"A-ahaha. Kurasa kau memang tak ingat namaku... aku Saika Totsuka. Kita berdua
sekelas."
"A-ah, maaf kalau begitu. Soalnya kita baru saja naik kelas dua, jadi aku agak sulit
mengenali murid lain... haha."
"Kita juga sekelas waktu kelas satu, kok... ehehe, mungkin keberadaanku tak begitu
mencolok..."
"Bukan, bukan begitu... oh, aku mengerti! Itu karena aku jarang sekali bergaul dengan
perempuan di kelas kita! Asal tahu saja, aku pun masih tak tahu nama lengkap
perempuan yang ada di sebelahku ini!"
"Sudah, ingat-ingat saja sana!"
Yuigahama lalu memukul kepalaku, tapi itu malah membuat Totsuka bergumam sambil
menyeringai.
"Kau pasti sudah berteman baik dengan Yuigahama..."
"E-ehh?! Sa-sama sekali enggak, kok! Yang ada, aku malah ingin membunuh anak ini!
Kubunuh Hikki terlebih dahulu lalu gantian aku yang menyusul... ya, semacam itulah!"
"Ya, begitulah! ...omong-omong, yang tadi itu mengerikan! Kau benar-benar
mengerikan! Memangnya kita pasangan bunuh diri, apa?! Amit-amit, deh!"
"Hah?! Ka-kau ini benaran bodoh, ya?! Bukan seperti itu maksudku!"
"Kalian berdua benar-benar akrab, ya..."
Kata Totsuka dengan nada memelas, yang kali ini memandang ke arahku.
"Omong-omong, aku ini laki-laki... apa menurutmu aku kelihatan selemah itu?"
"Eh?"
Pikiran dan tubuhku seketika itu juga terhenti. Aku segera menoleh ke arah
Yuigahama. Itu bohong, 'kan? Tatap mataku menanyakan itu. Namun Yuigahama, yang
masih kesal dan tampak merah pipinya itu, hanya memberi anggukan tegas kepadaku.
Tunggu... serius, nih? Mustahil. Itu pasti cuma lelucon.
Totsuka melihat tatapan penuh keraguanku dan wajahnya mulai memerah. Ia
menundukkan kepalanya, lalu menatapku sambil menengadah.
Tangan Totsuka perlahan bergerak turun ke celana pendeknya. Pergerakan kecil itu
sudah cukup untuk memikatku.
"...kalau kau mau, aku bisa menunjukkan buktinya."
Aku merasa sesuatu di dalam hatiku ini tersentak.
Iblis kecil Hachiman lalu muncul di bahu kananku. "Wuoh, mantap, lanjutkan saja, terus
lihat baik-baik — siapa tahu kau beruntung, ya 'kan?" Yah, ada benarnya juga, sih... lagi
pula, ini kesempatan yang sangat langka. "Tunggu sebentar!" Ahh, kali ini malaikat
Hachiman yang muncul. "Selagi sempat, kenapa tak kauminta ia melepas bajunya dulu?"
Apa-apaan itu... malaikat hina macam apa yang bisa bicara seperti itu?
Akhirnya, aku memilih untuk mendengarkan akal sehatku sendiri.
Benar, dengan karakter androgini semacam ini, seluruh daya tarik yang bersemayam
dalam jenis kelamin mereka terasa begitu ambigu! Dan pada kesimpulan logis ini, aku
pun mampu menenangkan diri dan melanjutkan dengan kepala dingin.
"Pokoknya... aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu, biarpun begitu, aku sungguh
minta maaf jika sudah membuatmu tak nyaman."
Saat Totsuka mendengarnya, ia lalu mengusap air mata yang sudah bermuara di
matanya itu dan tersenyum padaku.
"Ah, tidak apa-apa."
"Tapi, Totsuka... aku terkejut kau bisa tahu namaku."
"Eh, ahh... yah, soalnya Hikigaya tampak mencolok kalau di kelas."
Setelah Totsuka mengatakannya, Yuigahama lalu memandang ke araku.
"Maaasa? Tapi tampangnya biasa-biasa saja... bahkan butuh usaha lebih supaya bisa
menyadari keberadaan anak ini."
"Dasar bodoh, tentu saja aku mencolok! Sama mencoloknya seperti bintang-bintang
yang bersinar di malam hari!"
"Kok bisa?"
Wah, ia kini menanggapiku tanpa melepas pandangannya padaku.
"...ya-yah, ketika seseorang duduk di pojok ruang kelas lalu berbicara sendiri, bukankah
itu akan membuatnya sedikit mencolok...?"
"Ah, jadi itu maksudnya menco—... ahh, eng... maaf sudah bertanya..."
Yuigahama lalu mengalihkan pandangannya dariku. Sikap yang seperti itu yang bisa
membuatku jadi murung...
Suasana pun kembali menengang, karena itu Totsuka memilih untuk mengalihkannya.
"Tapi Hikigaya memang hebat bermain tenis, kok. Kau sudah sering memainkannya, ya?"
"Yah, aku pernah beberapa kali memainkan game Mario Tennis waktu SD dulu, tapi
untuk tenis yang asli, aku belum pernah."
"Oh, yang dimainkan bareng-bareng itu, 'kan? Aku juga pernah main, lo. Bermain ganda
menyenangkan banget, deh~~"
"...aku hanya bermain seorang diri."
"Eh? ...ah. Eng... maaf."
"Apa-apaan itu, memangnya kau itu penyapu ranjau pikiran, apa? Apa kerjamu itu cuma
menggali kepingan-kepingan trauma yang kupunya saja, hah?"
"Hikki sendiri yang terlalu banyak menyimpan ranjau!"
Totsuka yang berdiri di samping kami, tampak begitu senang menyaksikan
perdebatanku dengan Yuigahama.
Dan begitulah, bel yang menandakan berakhirnya istirahat makan siang pun berbunyi.
"Ayo balik."
Ucap Totsuka, dan Yuigahama pun mengikuti di belakangnya.
Kupandangi mereka dari belakang dan tiba-tiba aku merasa sedikit aneh.
Oh, iya... mereka itu satu kelas, wajar saja kalau pergi bareng... tanpa sadar aku jadi
terikut mereka.
"Lo, Hikki? Kau sedang apa?"
Yuigahama menoleh ke arahku sambil kebingungan. Totsuka pun menghentikan
langkahnya lalu menghadap ke arahku.
Bukan hal aneh kalau aku pergi bareng mereka, 'kan? Hampir saja kutanyakan hal itu,
namun kuhentikan.
Yang ada, aku malah bertanya.
"Terus, bagaimana dengan jus yang mau kaubeli tadi?"
"Eh? ...ahhh!!"
Beberapa hari setelahnya, aku kembali mengikuti pelajaran Olahraga.
Karena sudah berulang kali melakukan sesi latihan dengan tembok, aku pun menjadi
ahli dalam memukul bola tenis ke tembok. Pada titik ini, aku bisa memainkan reli
dengan tembok tanpa perlu melangkah ke mana-mana.
Seusai pelajaran esok nanti, kami akan mulai mengadakan beberapa pertandingan
tenis. Dengan kata lain, hari ini adalah terakhir kalinya aku bisa berlatih tenis dengan
reli saja.
Ini memang benar-benar latihan reli terakhirku, jadi kupikir aku akan melakukannya
dengan sungguh-sungguh, tapi kemudian, aku merasa ada yang mencolek bahu kananku.
Apa mungkin ada seekor peri di belakangku? Lagi pula, tak ada yang mau bicara
denganku, jadi ini pasti semacam fenomena supernatural.
Aku menoleh, ketika kurasakan sebuah jari mencolek pipi kananku.
"Ahaha, kena, deh~"
Ternyata itu Saika Totsuka yang sedang tersenyum manis kepadaku.
Uuh, perasaan apa ini...? Hatiku berdegup kencang. Andai ia bukan lelaki, mungkin aku
sudah mengajaknya pacaran dan ditolak saat itu juga. Waduh, jadi aku sudah mengira
kalau bakal ditolak, nih?
Soalnya, saat melihat Totsuka mengenakan seragam biasa, rasanya tak ada yang
istimewa seperti lelaki kebanyakan, namun sewaktu ia mengenakan seragam olahraga,
yang tak ada bedanya biar lelaki maupun perempuan, jenis kelamin yang dimilikinya
begitu meragukan. Kalau saja kaos kakinya berwarna hitam dan dilipat lebih tinggi di
atas pergelangan kakinya, keraguan itu pasti akan sirna.
Lengan, kaki, juga pinggangnya begitu ramping, dan kulitnya putih langsat.
Yah, memang benar kalau ia tak punya payudara yang besar, tapi tak berarti
Yukinoshita juga punya.
Entah kenapa, aku merasa bulu kudukku merinding.
Setelah agak mereda, aku lalu bicara pada Totsuka yang sudah berdiri sambil
tersenyum di sana.
"Ada perlu apa?"
"Ah. Begini, anak yang biasanya kuajak berpasangan hari ini tak masuk sekolah. Jadi,
eng... kalau boleh, mau tidak kau jadi partnerku?"
Sial, harusnya ia jangan melihat sambil menengadah begitu. Ia jadi kelihatan begitu
manis. Arghh, kenapa ia sampai tersipu segala?
"Ahh, boleh. Lagi pula, aku juga sedang tak punya pasangan."
Maaf, Tembok. Hari ini aku tak bisa main denganmu...
Setelah meminta maaf pada tembok dan beralih ke Totsuka, ia lalu tampak lega.
"Fiuh... syukurlah!" Gumamnya.
Sial, mendengarnya malah membuatku gugup. Dirinya terlihat benar-benar manis.
Menurut cerita Yuigahama, karena penampilan Totsuka yang seperti itu, beberapa
perempuan di sekolah kami mulai menjulukinya Sang Pangeran. Oh, jika melihat
Totsuka sebagai lelaki manis yang punya sisi feminin, nama itu memang sangat cocok.
Ditambah, julukan Sang Pangeran juga membuat kita ingin melindunginya.
Begitulah, latihan bebasku dengan Totsuka pun dimulai.
Totsuka merupakan bagian dari Klub Tenis, jadi tak mengejutkan kalau permainannya
bagus.
Ia bisa menangani servis yang telah kukuasai sewaktu sesi memukul bola ke tembok,
dan mengembalikannya ke arahku.
Seusai kami mengulang gerakan itu berkali-kali, Totsuka mulai membuka pembicaraan,
seakan ia hampir mulai merasa bosan.
"Sudah kuduga, Hikigaya cukup hebat."
Karena jarak kami agak jauh, Totsuka mengatakannya dengan perlahan.
"Aku sangat hebat soal memukul bola ke tembok, jadi menguasai tenis itu perkara
mudah."
"Itu skuas, bukan tenis..."
Dengan perlahan, sambil saling melempar kalimat, Totsuka dan aku lanjut bergantian
memukul bola. Walau anak lain di sekitar kami gagal memukul maupun mengembalikan
bola mereka, namun reli panjang kami tetap berlanjut.
Kemudian, reli kami pun berhenti. Totsuka menangkap bola yang melambung ke
arahnya.
"Ayo istirahat dulu."
"Ayo."
Kami lalu duduk bareng. Kenapa ia harus duduk di sampingku? Rasanya agak aneh, 'kan?
Ketika ada dua anak lelaki duduk bareng, bukankah lebih normal jika mereka duduk
saling berhadapan atau saling bersilangan? Bukankah ia duduk terlalu dekat? Bukankah
sudah terlalu dekat?
"Begini... aku ingin meminta saran darimu, Hikigaya..."
Ujar Totsuka dengan tampang serius.
Begitu rupanya. Kalau ia ingin diam-diam meminta saran dariku, maka kurasa kami
memang harus sedekat ini. Itu sebabnya ia duduk begitu dekat denganku, ya 'kan?
"Saran, ya...?"
"Iya. Ini sebenarnya tentang Klub Tenis kami... kau tahu, 'kan? Kami memang tak begitu
hebat. Kami juga tak punya banyak anggota. Dan jika para anak kelas tiga lulus pada
turnamen berikutnya, kami akan jadi lebih lemah. Ada banyak murid baru yang
bergabung namun mereka belum pernah bermain tenis sebelumnya, jadi mereka masih
belum terbiasa... dan karena kami begitu lemah, motivasi kami pun berkurang.
Maksudku, bukan berarti orang-orang perlu bersaing dalam olahraga yang
dimainkannya, jadi..."
"Begitu."
Itu masuk di akal. Sebenarnya, itu mirip seperti masalah yang biasa dihadapi oleh tim
olahraga kecil dan lemah.
Kalau tim kita tak begitu hebat, orang-orang takkan bergabung. Dan kalau tak banyak
orang di dalamnya, maka takkan ada yang mau bersaing untuk posisi sebagai pemain
inti.
Bahkan andai kita izin atau bolos saat latihan, kita masih bisa bermain saat turnamen.
Dan selama kita masih dimainkan dalam pertandingan, kita akan merasa bahwa kita
sudah cukup berkontribusi. Tentunya ada banyak orang yang sudah merasa puas dengan
hal demikian meski mereka tak memenangkan pertandingan apa pun.
Pemain-pemain yang seperti itu takkan bisa berkembang. Dan karena hal tersebut,
timnya tak punya harapan untuk menarik perhatian pemain-pemain baru. Dan itu akan
terus berlanjut seperti lingkaran setan.
"Jadi... jika Hikigaya tak keberatan, maukah kau bergabung ke Klub Tenis?"
"...hah?"
Apa maksudnya itu...?
Totsuka melihat rasa bingung yang tampak di mataku ini, dan ia terlihat berkecil hati
sewaktu merangkul lututnya. Ia sesekali melirik ke arahku dengan tatapan memohon.
"Hikigaya hebat bermain tenis, dan menurutku kau bisa berkembang lebih baik lagi.
Bahkan kurasa kau bisa memotivasi yang lainnya juga. Dan... kalau bersamamu,
Hikigaya, kurasa aku juga bisa berusaha lebih keras lagi. E-eng... bukan dalam artian
yang aneh-aneh! Hanya saja, aku ingin lebih hebat lagi bermain tenis!"
"Tak masalah kalau kau lemah... aku akan melindungimu."
"...apa?"
"Ah, maaf. Cuma asal bicara."
Melihat kepolosan Totsuka malah membuatku mengatakan hal-hal tak jelas, padahal
harusnya aku bersikap serius tadi. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya begitu manis.
Saking manisnya sampai-sampai aku hampir setuju untuk bergabung ke klubnya. Aku
hampir mengangkat tanganku layaknya orang yang hendak bertarung demi
memperebutkan potongan kue terakhir di kantin.
Namun tak peduli seberapa manisnya Totsuka, ada permintaan yang tak mungkin bisa
kupenuhi.
"...maaf. Sepertinya aku tak bisa..."
Aku kenal baik siapa diriku.
Aku tak merasa akan bisa pergi ke klub setiap harinya, dan aku tak yakin bakal mau
melakukan aktivitas fisik di setiap paginya. Satu-satunya yang mau melakukan hal
tersebut hanyalah para manula yang melakukan tai chi di taman. Lagi pula,
ucapan, Aku sudah tak sanggup, nih~~~... telah menjadi moto favoritku. Walau
terdengar seperti meniru Korosuke, yang merupakan karakter dari seri Kiteretsu,
namun yang kutekankan di sini adalah kalau ujung-ujungnya aku juga bakal keluar dari
klub itu. Bahkan saat pertama kalinya aku bekerja paruh waktu, aku justru mangkir
selama tiga hari.
Jika orang sepertiku bergabung dalam Klub Tenis, aku yakin kelak bakal membuat
Totsuka lebih depresi lagi.
"...begitu..."
Totsuka tampak kecewa. Di sisi lain, aku sedang berusaha menemukan kata-kata yang
tepat untuk menghadapi situasi macam ini.
"Eng, yah... tak perlu cemas. Aku akan memikirkan cara lain."
Padahal aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Terima kasih. Aku jadi merasa agak baikan setelah bicara denganmu, Hikigaya."
Totsuka lalu tersenyum padaku, tapi aku tahu kalau rasa tenang di pikirannya itu
hanyalah sementara. Di saat bersamaan, sebagian diriku juga merasakan hal yang sama,
meski itu cuma sementara, jika Totsuka merasa tenang, pada hakikatnya hal tersebut
cukuplah bermakna.
Mustahil."
Itulah hal pertama yang Yukinoshita ucapkan padaku.
"Mustahil, kaubilang... tapi, eng—"
"Sekali mustahil ya mustahil."
Dan sekali lagi aku ditolak dengan dinginnya.
Ini semua bermula saat aku menceritakan soal Totsuka dan meminta saran pada
Yukinoshita.
Rencanaku adalah mengarahkan pembicaraan ke arah pengunduran diriku dari Klub
Layanan Sosial, lalu mengumumkan niatku untuk bergabung ke Klub Tenis. Setelahnya,
sedikit demi sedikit, aku akan menghilang secara perlahan dari klub itu. Tapi rencana
itu kini benar-benar terhalang.
"Soalnya aku melihat sendiri keadaan Totsuka saat ia mengajakku bergabung ke Klub
Tenis. Singkat kata, aku harus mengintimidasi mereka agar lebih giat lagi. Pada
akhirnya, jika ada orang baru yang bergabung ke klub tersebut, bukankah akan ada
perubahan?"
"Apa pikirmu kau bisa bertahan dalam pengaturan kelompok macam itu? Apa kaupikir
mereka akan menerima begitu saja makhluk sepertimu itu?"
"Uguu..."
Memang benar. Keluar dari klub juga bukan perkara besar, namun jika melihat orang-
orang bermalasan sewaktu kegiatan klub dan bersenang-senang sendiri, mungkin aku
akan menghajar mereka dengan raketku.
Yukinoshita lalu tertawa kecil yang seolah terdengar seperti desahan.
"Kau benar-benar tak paham apa artinya berada dalam kelompok, ya? Benar-benar ahli
menyendiri."
"Sudah, berhenti berkata begitu."
Yukinoshita benar-benar mengabaikan tanggapanku dan lanjut berbicara.
"Kuakui mereka mungkin akan bersatu apabila dihadapkan dengan musuh rendahan
macam dirimu. Tapi mereka hanya akan berbuat hal-hal yang sekiranya diperlukan saja
demi membuangmu, dan itu tak ada pengaruhnya terhadap perkembangan diri mereka.
Jadi itu sama sekali bulan solusi. Aku ini buktinya."
"Begitu... eh, kau buktinya?"
"Ya. Aku kembali dari luar negeri saat masih SMP, jadi tentu saja aku mulai bersekolah
di tempat yang baru, namun semua anak perempuan di kelasku... tepatnya, semua
anak perempuan di sekolahku begitu ingin menyingkirkanku. Tapi tak satu pun dari
mereka berusaha menjadi lebih baik supaya bisa mengalahkanku... anak-anak bodoh
itu..."
Aku bersumpah telah melihat api hitam berkobar di belakang Yukinoshita.
Sial, rasanya aku baru saja menginjak ranjau di sini...
"Ya-yah, wajar saja... soalnya, kalau ada perempuan semanis dirimu, hal semacam itu
bakal terjadi..."
"...ya-yah, itu benar. Dibandingkan anak perempuan lainnya, tak berlebihan kalau
menganggap penampilanku jauh lebih baik dari mereka, dan itu bukan berarti kalau
anak perempuan lain tak punya nyali hingga pasrah dan menyerah terhadap hal
tersebut, jadi bisa dikatakan kalau itu hal yang wajar. Meski begitu, sebenarnya
Yamashita dan Shimamura juga punya wajah yang manis. Mereka pun cukup populer di
kalangan anak lelaki. Tapi anak seperti mereka hanya mengandalkan wajah. Jika
dihadapkan pada hal akademis, kemampuan olahraga, sisi seni, bahkan etika dan
kerohanian, mereka pun tak sampai menjangkau lebih dari mata kakiku. Dan jika
dengan memutarbalikkan dunia saja masih belum cukup untuk mengalahkanku, takkan
aneh kalau mereka lebih fokus berusaha untuk menjegal kakiku dan menjatuhkanku..."
Yukino sejenak tampak kehilangan kata-kata, namun ia segera kembali ke ritme
lamanya dan berturut-turut melontarkan pernyataan angkuh nan menyombongkan diri.
Ucapannya tadi memang bisa dikatakan lancar bagai sungai yang mengalir, namun yang
kudengar itu justru seperti derasnya arus air terjun Niagara. Aku benar-benar terkesan
ia bisa mengatakan itu semua tanpa sedikit pun kehilangan tempo.
Apa mungkin ini cara Yukinoshita menyembunyikan rasa malunya? Tak menutup
kemungkinan kalau ia juga punya sisi manis...
Yukinoshita lalu sedikit menarik napas, mungkin itu karena ia terlalu lama berbicara.
Wajahnya juga agak memerah.
"...bisakah kau berhenti mengatakan yang aneh-aneh? Aku jadi merinding begini."
"Ahh, syukurlah... sudah kuduga, kau memang tak ada manis-manisnya."
Jujur, sebenarnya Totsuka terlihat lebih manis dibanding beberapa gadis yang pernah
kukenal... ya ampun.
Oh, iya. Kami seharusnya membahas soal Totsuka di sini.
"Tapi pasti akan bagus bagi Totsuka jika ada yang bisa dilakukan untuk membuat Klub
Tenisnya biar jadi lebih baik lagi..."
Yukinoshita lalu membelalakkan mata dan menatapku saat mendengar pernyataan itu.
"Tumben sekali... sejak kapan kau jadi tipe orang yang peduli sesama?"
"Ayolah. Ini pertama kalinya ada seseorang yang meminta saran padaku..."
Ternyata diminta tolong bisa membuatku bahagia begini. Ditambah, Totsuka memang
manis... tanpa sadar bibirku menyimpulkan sebuah senyuman. Yukinoshita langsung
memotong, seakan ia ingin menghentikan senyumku itu.
"Dulu aku sering sekali dimintai saran mengenai hal asmara."
Ucapnya sambil membusungkan dada, tapi ekspresinya berangsur-angsur berubah
kelam.
"...pada kenyataannya, ketika berurusan dengan masalah perempuan maupun soal
asmara, biasanya itu tak lebih dari sekadar tindakan pencegahan."
"Hah? Maksudmu?"
"Jika aku memberi tahu siapa yang aku sukai, maka orang di sekitarku akan mulai
berhati-hati, 'kan? Itu seperti menandai wilayah kekuasaan. Sekali kau sudah
mengetahuinya dan mencoba masuk ke dalam wilayah tersebut, maka kau akan
diperlakukan seperti pencuri dan diasingkan dari kelompok. Bahkan jika kau yang
menerima pernyataan cintanya, kau tetap akan diasingkan. Apa aku masih perlu
menjelaskan lebih detail lagi...?"
Sekali lagi kulihat api hitam berkobar di belakang Yukinoshita. Padahal setelah ia
berkata tentang masalah perempuan maupun soal asmara, aku sempat mengharap
sebuah cerita tetang pahit manis kehidupan, namun yang terdengar dari dirinya
hanyalah sebuah kekesalan.
Kenapa ia sampai harus menghancurkan impian anak yang meminta saranku ini? Apa itu
cuma untuk kesenangannya semata?
Seolah ingin berusaha menghapus kenangan buruknya, Yukinoshita tiba-tiba tertawa
sinis.
"singkatnya, jangan langsung menganggap kalau mendengarkan permintaan orang-orang
dan mencoba membantunya adalah hal yang baik. Karena ada pepatah, Bahkan singa
pun membuang anak-anaknya ke jurang yang dalam lalu membunuh mereka."
"Membunuh mereka malah menyia-nyiakan tujuannya..."
Lagi pula, pepatah yang benar harusnya, Bahkan saat memburu anak-anaknya, singa
pun harus mengerahkan seluruh tenaganya.
"Kalau itu kau, apa yang akan kaulakukan?"
"Maksudmu, aku?"
Yukinoshita yang bingung, beberapa kali mengedipkan matanya, lalu termenung.
"Kurasa, aku akan menyuruh mereka berlari sampai mati, menyuruh mereka latihan
mengayun raket sampai mati, lalu menyuruh mereka berlatih tanding sampai mati."
Ujarnya sambil sedikit tersenyum. Sungguh, itu sangat mengerikan.
Aku pun sempat terhenyak saat kudengar suara bantingan pintu yang dibuka
"Yahhalo~~!!"
Berbeda sekali dengan yang ditampakkan Yukinoshita, Yuigahama justru datang dengan
salam riang nan konyol itu.
Seperti biasanya, Yuigahama menunjukkan seringai bodohnya dan terlihat tak peduli
dengan sekitar.
Tetapi, di belakang Yuigahama tampak ada seseorang dengan ekspresi tak berdaya pada
wajahnya.
Tatapan yang tertuju ke bawah itu tak menyiratkan kepercayaan diri sewaktu ia dengan
lemah mencengkeram blazer Yuigahama. Kulitnya tampak putih pucat. Mengingatkanku
pada sebuah mimpi samar, sesuatu yang akan menghilang sesaat kita menatap cahaya
dari bawah.
"Ah... Hikigaya!"
Ia tersenyum senang saat melihatku, lalu rona wajahnya tampak kembali pucat.
Sewaktu ia tersenyum tadi, akhirnya aku sadar siapa dirinya. Kenapa ia terlihat murung
begitu...?
"Totsuka..."
Perlahan ia melangkah kecil ke arahku, dan kali ini ia mencengkeram erat lengan
bajuku. Waduh, itu tidak boleh... walaupun aku tahu kalau ia lelaki.
"Hikigaya, sedang apa di sini?"
"Oh, aku anggota klub ini... kau sendiri sedang apa di sini?"
"Hari ini aku bawa pengunjung baru, lo, fufu~~"
Payudara Yuigahama yang boros itu bergerak naik turun saat ia dengan bangganya
menjawab. Padahal aku tak bertanya pada dirinya. Aku hanya ingin mendengar jawaban
dari bibir menggemaskan milik Totsuka itu saja...
"Ayolah. Aku juga anggota klub ini, 'kan? Anggap saja ini balas budi. Lagi pula, Sai
kelihatan sedang banyak pikiran, makanya aku bawa ia kemari."
"Yuigahama."
"Yukinon, kau enggak perlu berterima kasih padaku. Inilah yang bisa kulakukan sebagai
anggota klub."
"Yuigahama, sebenarnya kau bukan anggota klub ini..."
"Bukan?!"
Bukan?! Mengejutkan sekali... kupikir sudah cukup jelas kalau perlahan-lahan ia akan
jadi bagian dari klub ini.
"Benar. Kau tak pernah menyerahkan surat pengajuan diri, dan guru pembimbing kami
belum mengakui keanggotaanmu, jadi kau bukanlah anggota klub."
Yuigahama jadi kaku saat dihadapkan pada peraturan itu.
"Akan kutulis! Kalau memang perlu surat pengajuan diri, akan kutulis sebanyak apa pun!
Yang penting aku jadi anggota klub ini!"
Air mata Yuigahama berlinang sewaktu ia mengambil selembar kertas dan mulai
menulis, surat pengajuan diri... walah, harusnya itu ditulis pakai huruf kapital.
"Jadi, Saika Totsuka... benar? Apa yang bisa kami lakukan untukmu?"
Dengan tergesa Yuigahama menulis surat pengajuan dirinya, namun Yukinoshita
mengabaikannya dan beralih ke Totsuka. Totsuka mulai gemetaran sesaat Yukinoshita
menusuk dengan tatapan dinginnya.
"E-eng... aku ingin... membuat Klub Tenis... menjadi lebih baik lagi..."
Awalnya pandangan Totsuka tertuju ke Yukinoshita, tapi seiring kalimat yang perlahan
diucapkannya, ia mulai memandang ke arahku. Totsuka lebih pendek daripada diriku,
makanya ia menengadah ke arahku seakan ingin berusaha mengira-ngira reaksiku.
Kuharap ia berhenti memandangiku... hatiku jadi berdebar begini, kenapa ia tak
memandang yang lainnya saja?
Baru saja aku memikirkannya, walau aku yakin itu bukan untuk membantuku, tapi
Yukinoshita menanggapinya menggantikanku.
"Aku tak tahu apa yang sudah Yuigahama katakan padamu, tapi Klub Layanan Sosial tak
begitu saja mengabulkan keinginanmu. Tugas kami di sini hanya membantu dan
mendorong kemandirian. Entah apa Klub Tenis akan jadi lebih baik atau tidak, itu
semua tergantung padamu."
"Oh... begitu..."
Totsuka tampak benar-benar kecewa, bahunya pun terturun. Pasti Yuigahama berbicara
yang muluk-muluk padanya.
"Stempel, stempel..." Gumam Yuigahama sambil menggeledah isi tasnya. Kuperhatikan
dirinya, dan sewaktu ia mulai merasa sedang diperhatikan, ia menengadah.
"Eh? Ada apa?"
"Memangnya apa lagi... kau sudah menjanjikan hal yang muluk-muluk padanya, kami
pun jadi harus memupuskan harapan dan impian anak ini."
Yukinoshita melontarkan kata-kata pedas pada Yuigahama. Meski begitu, Yuigahama
hanya memiringkan kepalanya karena kebingungan.
"Hm? Hmmm? Soalnya, kupikir Yukinon dan Hikki pasti akan berbuat sesuatu. Betul,
'kan?"
Ujar Yuigahama dengan nada tak peduli. Terlepas dari bagaimana kita menanggapi
pernyataannya, itu hampir terdengar seperti sebuah tantangan yang menyindir.
Sayangnya, di sini ada seseorang yang bisa dengan mudah terpancing oleh tantangan
itu.
"...hemh, kurasa kau ada benarnya, Yuigahama. Entah anak yang di sana itu bisa
berbuat banyak atau tidak, tapi tak kusangka kau akan mengujiku seperti itu."
Yukinoshita tertawa. Ahh, tampaknya ada tombol aneh yang baru saja terpencet dalam
dirinya... Yukino Yukinsoshita memang tipe orang yang mau menerima semua tantangan
dan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkannya. Gilanya lagi, bahkan ia akan
membabat habis musuhnya meski tidak sedang terprovokasi. Ia orang yang takkan segan
menghabisi orang yang cinta damai bak Gandhi seperti diriku ini.
"Baiklah, Totsuka. Akan kuterima permintaanmu. Jadi yang mesti kulakukan di sini
adalah meningkatkan kemampuanmu dalam bermain tenis, benar begitu?"
"I-iya, benar. Ka-kalau aku bisa bermain lebih baik, kurasa teman-teman di klub juga
akan berusaha lebih keras lagi."
Mungkin karena tekanan yang dirasakannya lewat tatapan Yukinoshita, makanya
Totsuka menjawab sambil berlindung di belakangku. Wajahnya sedikit mengintip dari
atas bahuku, dan kulihat ketakutan serta kegelisahan pada matanya. Rasanya hampir
seperti melihat kelinci liar yang sedang gemetaran... dan itu malah membuatku ingin
memakaikan kostum bunny girl padanya.
Itu benar, saat memohon bantuan pada Sang Ratu Es, sudah sewajarnya kita merasa
takut. Hampir bisa kubayangkan Yukinoshita berkata, Aku akan buat dirimu menjadi
kuat, sebagai gantinya akan kuambil nyawamu. Atau ucapan semacamnya. Memangnya
ia itu penyihir apa?
Bermaksud untuk meringankan kegelisahan Totsuka, aku memberanikan diri untuk
melindunginya.
Saat jarakku kian dekat dengan Totsuka, bisa kucium aroma sampo dan deodoran.
Wangi tubuhnya sangat mirip dengan perempuan SMA kebanyakan. Sampo jenis apa
yang sebenarnya ia gunakan?
"Tak masalah kalau mau bantu, tapi apa yang akan kita lakukan?"
"Bukankah tadi sudah kujelaskan? Kalau tak yakin dengan daya ingatmu, harusnya tadi
kau mencatatnya."
"Tunggu, jangan bilang kalau yang tadi itu serius..."
Aku jadi teringat lagi saat Yukinoshita membicarakan soal memaksa orang-orang supaya
bekerja sampai mati. Ketika kulihat ia tersenyum balik kepadaku... rasanya seolah ia
bisa membaca pikiranku. Sial, senyumnya itu membuatku takut...
Kulit putih Totsuka semakin memucat dan dirinya mulai gemetaran.
"Apa aku... akan mati...?"
"Tenang saja. Aku akan melindungimu."
Tegasku sambil menepuk bahu Totsuka. Ia pun jadi tersipu dan memandang manja
setelah aku berbuat begitu.
"Hikigaya... apa kau sungguh-sungguh?"
"Ah, maaf... aku cuma ingin mengatakannya saja."
Aku akan melindungimu, ada di peringkat tiga besar pada daftar Kalimat yang Ingin
Diucapkan para anak lelaki. (Sekadar info, peringkat pertamanya adalah,Serahkan
padaku... kau duluan saja.) Intinya, jika aku saja tak bisa menandingi Yukinoshita,
bagaimana aku bisa melindungi orang-orang dari perempuan itu? Hanya saja... jika aku
tak mengatakan sesuatu agar Totsuka merasa baikan, bisa-bisa rasa gelisahnya tak
kunjung hilang.
Totsuka sedikit menghela napasnya dan tampak cemberut.
"Kadang aku tak mengerti maksud Hikigaya... tapi..."
"Hmm... jadi Totsuka berlatih tenis sepulang sekolah, begitu bukan? Baiklah, kita mulai
sesi latihan khususnya saat jam istirahat makan siang. Mungkin kita berkumpul di
lapangan saja nanti."
Yukinoshita memotong kalimat Totsuka dan mulai menyusun agenda untuk hari ke
depannya.
"Siap~~!"
Jawab Yuigahama sambil menyerahkan surat pengajuan diri yang baru selesai
dibuatnya. Totsuka pun ikut mengangguk. Jadi... itu artinya...
"Jadi... aku juga ikut, nih?"
"Tentu saja. Lagi pula, kau juga tak punya acara apa-apa saat istirahat makan siang,
'kan?"
...bisa ditebak, sih. Dengan itu, maka diputuskan bahwa sesi latihan neraka kami akan dimulai besok.
Kenapa aku harus sampai ikut latihan segala?
Bukankah Klub Layanan Sosial ini justru hanya menjadi taman perlidungan bagi kaum
lemah agar bisa berkumpul dan beristirahat dengan santai? Bukankah artinya klub ini
cuma mengumpulkan orang-orang tak berguna dan memberi ruang nyaman untuk
ditinggali sementara?
Lalu apa bedanya dengan masa remaja yang kuanggap hina itu?
Bu Hiratsuka mungkin berusaha membuat tempat ini agar menjadi ruang karantina bagi
pengidap penyakit seperti kami untuk diasingkan dan dirawat.
Biarpun begitu, andai penyakit kami memang bisa disembuhkan dengan hal yang tak
penting macam begini, berarti kami sebenarnya tidak sedang mengidap penyakit.
Contohnya Yukinoshita. Aku tak tahu hal macam apa yang sudah membebani
pikirannya, tapi aku yakin hal tersebut takkan hilang hanya karena ia diasingkan ke
tempat ini.
Satu-satunya cara agar luka-lukaku bisa terobati di tempat ini sebenarnya adalah
jikalau Totsuka itu seorang perempuan. Mungkin akan beda ceritanya jika hal-hal
seputar tenis ini bisa menumbuhkan kisah komedi romantis di antara kami.
Sepengetahuanku, Saika Totsuka adalah sosok paling manis di dunia. Sikapnya tulus,
dan yang terpenting, ia baik kepadaku. Jika kuhabiskan waktu sambil memupuk benih-
benih cinta kami satu sama lain, mungkin aku akan tumbuh dewasa seperti manusia
lainnya.
...tapi sayangnya, Totsuka adalah lelaki. Dewa memang bertindak konyol.
Aku jadi agak tertekan karena semua itu, tapi di saat yang sama aku sudah berganti
baju ke seragam olahraga dan menuju ke lapangan tenis. Tunggu, aku masih berharap
pada peluang tipis kalau dirinya adalah perempuan. Akan kupertaruhkan segala harapan
dan impian pada peluang tersebut.
Seragam olahraga sekolah kami berwarna biru muda menyala dan tampak begitu
mencolok. Karena warna norak yang hampir meninggalkan kesan itu, semua anak di
sekolah jadi membenci seragam tersebut dan tak pernah memakainya kecuali saat
pelajaran Olahraga atau saat latihan olahraga.
Jadi saat semua anak sedang memakai seragam biasa mereka, cuma aku satu-satunya
yang tampak mencolok seperti orang bodoh dengan seragam olahraga ini.
Karena hal demikian, aku jadi dipandangi oleh seseorang yang menyebalkan.
"Hah hah hah hah Hachiman."
"Jangan bawa-bawa namaku dalam tawamu..."
Di SMA Soubu, hanya Zaimokuza saja yang mungkin bisa tertawa menjijikkan begitu. Ia
berdiri, menyilangkan tangannya dan menghalangi jalanku.
"Beruntung sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku baru saja ingin menyerahkan
karya baruku. Silakan manjakan matamu dan saksikanlah!"
"Ahh, maaf. Aku agak sibuk sekarang."
Aku menyelinap ke samping dan sedikit menghindari tumpukan kertas yang hendak
disodorkan padaku. Namun Zaimokuza pelan-pelan mencegatku dengan bahunya.
"...jangan berbohong. Bagaimana mungkin kau sudah punya rencana sendiri?"
"Aku tidak berbohong. Lagi pula, aku tak mau mendengar itu darimu."
Kenapa semua orang berkata begitu padaku? Apa aku terlihat seperti orang yang hanya
sedikit memanfaatkan waktu dalam hidupnya? ...yah, walau itu memang benar...
"Hemh, aku paham, Hachiman. Kau hanya ingin tampil sedikit keren saja, makanya kau
sampai berbohong. Lalu demi mencegah agar kebohongan tadi terungkap, kau pun
berbohong lagi. Tapi itu akan menjadi siklus yang tak ada habisnya, siklus kebohongan
tanpa henti yang tragis. Tapi lihatlah, Hachiman, spiral ini tak mengarah ke mana pun.
Dan umumnya, hubungan antarmanusia itu memang tak mengarah ke mana-mana. Tapi
masih ada waktu bagimu untuk menarik diri! ...kau sudah pernah menolongku, jadi
sekarang giliranku untuk menolongmu!"
Zaimokuza baru saja mengucapkan kalimat yang menduduki peringkat dua dari
daftar Kalimat yang Ingin Diucapkan para lelaki. Menjengkelkan sekali melihat dirinya
mengacungkan jempol sambil memasang wajah penuh percaya diri begitu.
"Serius, aku memang sudah punya rencana sebelumnya..."
Aku merasa urat kepalaku benar-benar keluar karena marah, dan aku sudah
mempersiapkan kata-kata untuk menundukkan Zaimokuza. Tapi rupanya...
"Hikigaya!"
Kudengar sebuah suara sopran yang bersemangat, dan bisa kurasakan Totsuka sudah
menggapai lenganku.
"Pas sekali. Pergi bareng, yuk?"
"A-ayo..."
Totsuka menenteng tas raketnya di bahu kiri, dan entah kenapa ia merangkulkan
tangan kanannya di lengan kiriku. Waduh...
"Ha-Hachiman... si-siapa itu...?"
Zaimokuza bolak-balik melihat ke arahku dan Totsuka dengan pandangan terkejut. Lalu
ekspresi wajahnya perlahan berubah menjadi sesuatu yang rasanya tak begitu asing...
ah, aku tahu, itu Kabuki, 'kan? Hampir bisa kudengar efek suara Kabuki, Iyooo~~~ pon
pon pon seiring Zaimokuza membelalakkan matanya sambil berpose aneh.
"Ke-keparat! Kau sudah berkhianat!"
"Apa maksudmu sudah berkhianat..."
"Diam! Dasar playboy jadi-jadian! Kau contoh gagal dari lelaki keren! Selama ini aku
mengasihanimu karena kau penyendiri, tapi rupanya itu yang membuatmu jadi
congkak!"
"Jadi-jadian? Contoh gagal? Itu sudah kelewatan..."
Aku memang penyendiri, makanya pada bagian terakhir tadi aku tak bisa mengelak.
Zaimokuza memberi tatapan kejam ke arahku selagi ia menyeringai.
"Sungguh, aku takkan memaafkanmu..."
"Tenang dulu, Zaimokuza. Totsuka itu bukan perempuan. Ia lelaki... kurasa."
"Ja-ja... ja-jangan main-main! Anak semanis ini tak mungkin seorang lelaki!"
Ucapanku tak terdengar meyakinkan, dan Zaimokuza menanggapinya dengan berteriak
padaku.
"Begitulah, Totsuka itu lelaki yang manis."
"Sampai... dibilang manis... rasanya agak..."
Totsuka tersipu dan memalingkan wajahnya ke arah sebelahku.
"Eng... ini temannya Hikigaya, ya?"
"Pertanyaan bagus..."
"Hemh. Mana mungkin aku akan menganggap orang macam kau ini sebagaiteman."
Zaimokuza benar-benar merajuk. Wah, anak ini memang menjengkelkan...
Tapi bukan berarti aku tak tahu dari mana kemarahannya itu berasal. Sudah sewajarnya
kita merasakan warna kesedihan dan pengkhianatan jika tahu bahwa orang yang kita
anggap layak diberi simpati berubah menjadi seseorang dengan tolak ukur yang benar-
benar berbeda.
Di situasi macam begini, aku harus menanggapi seperti apa agar hubungan kami bisa
kembali seperti sedia kala? Sayangnya, karena rendahnya pengalamanku terhadap area
ini, makanya aku benar-benar tak tahu.
Aku jadi sedikit murung karena keadaan ini. Suatu hari nanti, kurasa Zaimokuza dan aku
bisa berada di titik di mana kami bisa saling mengerti dan tertawa bersama.
Namun tampaknya hal semacam itu takkan mungkin terjadi.
Bertanya tentang keadaan seseorang, berusaha membuat orang agar merasa baikan,
memastikan kalau kita takkan pernah kehilangan komunikasi, lalu dengan hal-hal
tersebut akhirnya kita bisa kian dekat dengan seseorang... hal-hal
berbau persahabatan seperti tadi bukanlah persahabatan yang sebenarnya. Jika hal
menyusahkan macam itu disebut sebagai masa remaja oleh orang-orang, maka aku
takkan mempermasalahkannya.
Berkumpul bersama kelompok stagnan ini dan bertingkah seolah sedang bersenang-
senang tak lebih buruk dari sekadar pemuasan diri. Dan itu tak lebih buruk dari
membohongi diri sendiri. Sifat yang sungguh buruk.
...soalnya, lihat saja; berurusan dengan Zaimokuza yang sedang cemburu ini benar-
benar menyebalkan.
Setelah memastikan sendiri kalau akal sehatku masih berfungsi, kuabdikan diriku ini
pada jalan kesendirian.
"Ayo, Totsuka."
Kutarik Totsuka dengan tanganku. "Ah, iya..." tanggapnya, tapi ia tetap tak beranjak.
"Zaimokuza... 'kan?"
Zaimokuza tampak sedikit kebingungan, namun akhirnya ia mengangguk.
"Kalau kau temannya Hikigaya, mungkin kita juga bisa... berteman? Rasanya... pasti
menyenangkan. Soalnya aku jarang punya teman lelaki..."
Ucap Totsuka sambil tersenyum malu.
"Fu... ku, ku ku ku ku. Sudah pasti Hachiman dan aku adalah teman dekat. Tepatnya,
rekan seperjuangan. Tidak, tidak, yang benar, aku majikan dan ia pelayannya... yah,
karena kau yang meminta, aku jadi tak punya pilihan. Aku akan... eng...
menghadiahimu dengan ikatan pertemanan. Bahkan kita pun bisa menjadi sepasang
kekasih."
"Eng... rasanya itu... bukan ide bagus. Kita berteman saja, ya?"
"Hm, begitu... hei, Hachiman. Apa menurutmu anak yang di sana itu menyukaiku? Apa
itu artinya kini aku jadi populer? Iya, 'kan? Begitu, 'kan?"
Zaimokuza segera mendekat padaku dan berbisik di telingaku.
...sudah kuduga, anak seperti Zaimokuza tak pantas kujadikan teman.
Orang-orang yang bisa berubah seratus delapan puluh derajat hanya karena ingin
mendekati perempuan cantik tak pantas kujadikan teman.
"...Totsuka, ayo pergi. Kalau kita telat, Yukinoshita bisa murka."
"Hm, bisa gawat nanti. Kita harus cepat-cepat. Soalnya, perempuan itu... sungguh
menakutkan."
Zaimokuza mulai mengikuti diriku dan Totsuka. Tampaknya ia ingin bergabung dalam
kelompok kami. Lagi pula, ketika kami jalan berbaris dan menuruni tangga seperti ini,
setiap orang yang melihat dari samping akan berpikir kalau kami grup
dalam game Dragon Quest. Atau mungkin... bukan Dragon Quest, tapi sesuatu seperti
King Bomby dari seri game Momotetsu...
Sesampainya di lapangan tenis, kami melihat Yukinoshita dan Yuigahama telah berdiam
di sana.
Yukinoshita masih mengenakan seragam sekolahnya, namun Yuigahama sudah berganti
ke seragam olahraganya.
Mungkin mereka barusan makan siang di sini. Soalnya, ketika melihat kami, mereka
berdua segera merapikan kotak bekalnya yang mewah itu.
"Baiklah, mari kita mulai."
"Mo-mohon bimbingannya."
Totsuka menghadap ke arah Yukinoshita dan sedikit membungkukkan badan.
"Pertama, kita harus melatih kekuatan otot yang kurang begitu dimiliki Totsuka.
Termasuk otot biseps, deltoid, pektoral, abdomen, obliqua, dorsal, dan femoral.
Latihan akan kita fokuskan pada push-up dan pembentukan otot... untuk sekarang,
berlatihlah sekuat tenaga sampai kalian mau mati."
"Wuaah, Yukinon memang serba tahu... eh, sampai kami mau mati?"
"Benar. Semakin kau merobek otot-ototmu, maka otot-otot tersebut semakin berusaha
untuk pulih dengan sendirinya, namun setiap kali pulih, serat-serat otot itu akan
menjadi semakin kuat. Inilah yang orang sebut dengansupercompensation. Dengan kata
lain, jika kau memaksakan tubuhmu bekerja hingga di ambang kematian, maka kau
akan bisa sekaligus memperkuat diri."
"Yang benar saja, kami ini bukan bangsa Saiya atau sejenisnya..."
"Yah, bukan berarti kau bisa langsung membentuk ototmu secepat itu, tapi hal tersebut
bisa berguna untuk meningkatkan metabolisme tubuhmu."
"Metabolisme tubuh?"
Hampir bisa kulihat tanda tanya di atas kepala Yuigahama. Apa ia benar-benar tidak
tahu arti kata itu? Yukinoshita sedikit tercengang. Mungkin karena ia lebih memilih
menjelaskan artinya ketimbang menyalahkan orang, makanya ia memberi rangkuman
singkat.
"Intinya, itu adalah cara untuk membuat tubuhmu agar lebih cocok berolahraga. Jika
metabolisme tubuhmu meningkat, maka akan lebih mudah bagimu dalam membakar
kalori. Sederhananya, hal tersebut bisa meningkatkan efisiensi energi pada tubuhmu."
Yuigahama mengangguk mendengar penjelasan itu. Tiba-tiba, matanya berbinar.
"Lebih gampang membakar kalori, berarti... bisa mengurangi berat badan?"
"...bisa jadi begitu. Dengan bernapas ataupun mencerna makanan saja, kau bisa dengan
mudah membakar kalori. Bahkan dengan melakukan kegiatan biasa pun, badanmu bisa
menjadi kurus."
Mendengar ucapan Yukinoshita tadi membuat mata Yuigahama semakin berbinar. Entah
kenapa, tampaknya Yuigahama kini lebih termotivasi dibanding Totsuka. Motivasi
Yuigahama tampaknya juga memicu sesuatu di diri Totsuka yang sedang mengepalkan
tangannya.
"A-ayo kita coba."
"A-aku juga ikut!"
Totsuka dan Yuigahama lalu menelungkupkan diri dan perlahan mulai melakukanpush-
up.
"Nngh... khh, fuu, hah..."
"Ooo, khh... nnngh, hahh, hahh, nngh!"
Kudengar suara desah kepayahan dan penderitaan itu. Wajah mereka sudah ditelan
oleh kesengsaraan, memaksa mereka sedikit berkeringat, dan memerahpadamkan pipi
mereka. Mungkin karena kurusnya lengan Totsuka, hingga dirinya pun kesusahan,
namun sesekali ia melihatku dengan tatapan memohon. Ketika ia menengadah ke
arahku dari posisi di bawah lantai itu... entah kenapa... aku jadi merasa aneh.
Saat Yuigahama menekukkan lengannya, sekilas bisa kulihat kulitnya yang berkilauan
dari balik kerah seragam olahraganya. Gawat. Pandanganku jadi ke mana-mana.
Jantungku berdetak semakin cepat, sampai pada titik di mana ini bisa dianggap sebagai
gejala aritmia.
"Hachiman... ini latihan apa? Kok, aku jadi merasa benar-benar damai..."
"Kebetulan sekali. Aku juga merasa begitu."
Selagi kami saling memandang dan bertukar senyum, sebuah suara bernada sinis dari
belakangku membuat diriku serasa disiram air yang dingin.
"...bagaimana kalau kalian berdua ikut berlatih supaya pikiran kotor itu bisa hilang?"
Sewaktu aku berbalik, kulihat Yukinoshita sudah menatapku dengan ekspresi
menghina. Pikiran kotor itu bisa hilang... apa ia membaca pikiran kami...?
"He-hmm... terdapat sebuah aturan utama dalam sumpah prajurit agar tak
meninggalkan latihan. Jadi kurasa aku akan ikut bergabung!"
"Be-betul. Punya kondisi fisik yang buruk itu memang menakutkan. Kau bisa kena
diabetes, atau pirai, atau sirosis, atau semacamnya!"
Dengan semangat yang menurun, kami berdua lalu menjatuhkan diri ke tanah dan mulai
melakukan push-up. Sewaktu melakukannya, Yukinoshita berjalan mengelilingiku.
"Saat kau melakukannya, rasanya ini seolah seperti cara baru dalam menyembah
sesuatu."
Ucap Yukinoshita sambil terkikih.
Kurang ajar, apa yang sudah dikatakannya tadi? Bahkan bagi orang yang cinta damai
sepertiku, sesuatu dalam diri ini bisa bangkit kalau mendengar provokasi macam tadi.
Eh... apanya yang bangkit, ya? Jika memang ada yang bangkit, kemungkinan besar itu
adalah perasaan moe terhadap push-up...
...sebenarnya saat ini kami sedang apa, sih?
Apa mereka tahu ungkapan, Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit? Atau
peribahasa, Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing? Intinya, ketika orang-orang
berkumpul bersama, mereka akan menjadi lebih kuat dan lebih terlindungi.
Meski begitu, kami sendiri adalah kelompok gagal yang berkumpul bersama untuk
melakukan hal yang percuma.
Pada akhirnya, kami pun menghabiskan waktu istirahat makan siang ini dengan
berlatih push-up. Dan aku, kuhabiskan malamku dalam penderitaan karena nyeri otot.
Jadi begitulah, hari-hari pun berlanjut dan kami melaju ke fase dua dari pelatihan tenis
ini.
Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Sederhananya, kami sudah
melalui pelatihan dasar dan akhirnya berlatih dengan raket dan bola.
Meski sewaktu aku berkata kami, yang kumaksud sebenarnya adalah Totsuka seorang.
Karena hanya Totsuka-lah satu-satunya anak yang menghabiskan waktunya untuk
memukul bola ke tembok di bawah pengawasan Instruktur Yukinoshita.
Yah, bukan berarti kami bisa mengimbangi anggota Klub Tenis, itu sebabnya kami hanya
menghabiskan waktu sesuka kami saja.
Yang dilakukan Yukinoshita hanyalah membaca buku di bawah naungan pohon sekitar,
namun sesekali ia terlihat sedang mengigatkan Totsuka dan pergi mengamati serta
memberi instruksi lebih lanjut.
Awalnya Yuigahama sempat mengikuti latihan bersama Totsuka, namun ia segera bosan
dan kini malah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur siang di sebelah
Yukinoshita. Yang dilakukannya mengingatkan kita sewaktu membawa anjing ke taman
yang kelelahan dan merebahkan dirinya di dekat salah satu kolam penampungan air.
Lalu, Zaimokuza, dengan ciri khasnya, tampak sedang bersungguh-sungguh
mengembangkan teknik pukulan ajaib pamungkasnya. Sial, harusnya ia berhenti
melempar-lempar kenari. Dan harusnya ia juga berhenti menggali tanah lapangan
dengan raketnya.
Pada akhirnya, hanya hal yang tak berguna mengumpulkan begitu banyak orang tak
berguna ini ke dalam satu tempat.
Dan kalau aku, tak usah ditanya.
Aku bermalas-malasan di pojok lapangan sambil mengamati kawanan semut. Rasanya
begitu menyenangkan.
Benaran, deh. Rasanya sangat-sangat menyenangkan.
Aku tak tahu apa yang dipikirkan makhluk kecil ini sampai segelisah itu ke sana kemari,
tapi yang jelas, mereka hanya menjalani hidup mereka dengan penuh kesibukan. Kurasa
itulah yang membuat diriku seakan sedang melihat ke bawah dari gedung perkantoran
yang menjulang tinggi.
Gambaran kawanan semut yang tergesa-gesa ini serta gambaran karyawan kantoran
berjas hitam terus terlintas di pikiranku.
Apa suatu hari nanti aku juga akan menjadi bintik-bintik hitam tadi yang bakal dilihat
oleh orang lain dari ketinggian yang sama seperti gedung-gedung tinggi di Tokyo?
Sebenarnya pikiran macam apa yang sedang kurenungkan ini?
Bukan berarti aku tak suka menjadi karyawan kantoran. Malahan, sebagian diriku ingin
menjadi salah satunya. Profesi tersebut ada di peringkat dua dari daftar cita-citaku, di
mana peringkat satunya adalah bapak rumah tangga siaga-sepanjang waktu. Peringkat
tiganya adalah mesin pengapian. Gila, memangnya aku ini mau menjadi mobil, apa...?
Tentu saja aku sadar betul mengenai kekurangan dari menjadi seorang karyawan
kantoran. Aku selalu kagum ketika melihat ayahku pulang dari kerja dengan wajah
penuh kelelahan. Begitu mengagumkan melihat beliau yang setiap harinya berangkat
kerja meski beliau sendiri tak merasa bahagia.
Karena itu tiba-tiba aku memproyeksikan gambaran akan ayahku kepada salah satu dari
kawanan semut ini dan mulai menyemangatinya dalam hati.
Berjuanglah, Yah. Jangan menyerah, Yah. Jangan sampai botak, Yah.
Aku memimpikan masa depanku sendiri, kemudian mulai cemas akan masa depan
rambutku sendiri.
Mungkin doaku tadi terkabulkan, soalnya semut itu mulai berbalik dan berjalan kembali
ke arah lubang sarang tempat tinggalnya. Aku yakin kehangatan keluarga telah
menunggu kepulangannya.
Syukurlah.
Dipenuhi oleh perasaan, aku terisak lalu mengusap air mataku.
Di saat bersamaan.
*Wuuusss!*
"Ayaaah~~!!!"
Tanda-tanda kehidupan semut itu pun menghilang seiring bola yang jatuh melesat dari
sisi pojok jauh lapangan.
Dengan mata yang dipenuhi kemurkaan, kuarahkan pandanganku ke sumber datangnya
bola tadi.
"Hmm... jadi itu menciptakan kepulan debu untuk membingungkan musuh, lalu
menggunakan kesempatan tersebut untuk melesatkan bola ke sana... tampaknya
pukulan ajaibku ini telah sempurna. Ilusi elemen bumi yang membawa kemakmuran
hasil alam, Blasting Sand Rock!"
Zaimokuza, rupanya ini ulahnya... apa yang sudah ia lakukan pada ayahku (versi
semut)...? Terserah sajalah. Itu cuma seekor semut. Kutepuk kedua tanganku dan mulai
memanjatkan sedikit doa.
Sementara itu, Zaimokuza tampak sedang terkesima dengan keberhasilan
penyempurnaan teknik barunya, dan memutar raketnya berkali-kali sebelum
menempatkannya di atas bahu sambil berpose. Rasanya seperti ia baru saja mendapat
sejumlah EXP.
Terserah sajalah. Aku tak peduli soal Zaimokuza maupun semut itu.
...mungkin sebaiknya kuhabiskan saja waktu ini dengan melihat betapa manisnya
tingkah Totsuka.
Sewaktu memikirkannya, kulihat Yuigahama ternyata sudah bangun, dan kini sedang
disuruh-suruh oleh Yukinoshita untuk membawa keranjang bola ke sana kemari.
Ia bertugas mengambil bola dari keranjang, melempar bolanya ke sisi Totsuka, lalu
Totsuka berusaha semampunya untuk mengembalikan bolanya.
"Yuigahama, tolong arahkan bolanya ke tempat yang lebih sulit lagi, seperti di sana
atau di sana. Latihan macam tadi malah tak ada artinya."
Tampak berbeda dengan kalem dan tenangnya Yukinoshita, Totsuka terengah-engah
sewaktu mengejar bola ke sisi garis lapangan maupun ke dekat net.
Yukinoshita memang sungguh-sungguh. Dan ia memang sungguh-sungguh gila.
...tidak, ia hanya sungguh-sungguh berusaha melatih Totsuka saja. Dan kuharap ia
berhenti memandangiku... rasanya ngeri sekali. Apa ia memang bisa membaca
pikiranku...?
Arah bola Yuigahama benar-benar acak (tak bermaksud menyinggung form-nya), dan
setiap bola yang dilemparnya benar-benar ke arah yang tak bisa ditebak. Totsuka
berlarian ke sana-sini dan berusaha mengembalikan bolanya, namun kira-kira pada bola
kedua puluh ia jatuh ke tanah.
"Waduh, Sai, kau baik-baik saja?!"
Yuigahama berhenti melempar bola dan berlari ke arah net. Totsuka mengusap lututnya
yang lecet, namun sebuah senyum menghiasi matanya yang berkaca-kaca itu dan
berusaha menegaskan kalau ia baik-baik saja. Rekanku ini memang berjiwa kesatria.
"Tidak apa-apa, teruskan saja."
Akan tetapi, Yukinoshita tampak muram saat mendengarnya.
"Kau... masih masih mau lanjut?"
"Iya... kalian sudah mau repot-repot membantuku, jadi aku akan berusaha lebih keras
lagi."
"...baiklah, kalau begitu. Yuigahama, kuserahkan sisanya padamu."
Saat mengatakannya, Yukinoshita berbalik dan dengan cepat menghilang ke arah
gedung sekolah. Totsuka memandang kepergiannya dengan raut gelisah.
"Apa aku... sudah mengatakan sesuatu... yang membuatnya marah...?"
"Tidak, kok. Ia memang selalu seperti itu. Asalkan ia tak menyebutmu bodoh atau tak
berbakat, berarti suasana hatinya masih sedang bagus."
"Bukannya cuma Hikki saja yang dikata-katai seperti itu?"
Padahal ia sendiri juga sering dikatai-katai begitu... cuma Yuigahama saja yang tidak
sadar.
"Apa mungkin ia... sudah lelah menghadapiku...? Aku belum begitu berkembang, dan
aku hanya bisa push-up sebanyak lima kali saja..."
Bahu Totuska terturun, dan ia menundukkan pandangannya ke tanah. Hmm... kurasa itu
tak begitu berbeda dengan yang biasanya Yukinoshita lakukan...
Meskipun begitu...
"Kurasa bukan itu deh masalahnya. Yukinon enggak bakal menelantarkan orang yang
minta bantuan padanya."
Ujar Yuigahama sambil memutar-mutar bola di tangannya.
"Yah, itu benar. Ia bahkan membantu Yuigahama dalam memasak. Jadi setidaknya kau
masih punya harapan. Aku ragu Yukinoshita sudah menyerah padamu."
"Apa maksudmu tadi?!"
Yuigahama mengambil bola yang ia mainkan tadi lalu melemparkannya ke kepalaku.
Bolanya tepat mengenai sasaran sampai menimbulkan bunyi dug!. Yang benar saja?
Kontrol lemparannya tadi benar-benar bagus. Aku takkan terkejut kalau ia bakal masuk
dalam daftar uji coba pemain inti.
Kuambil bola yang menggelinding di tanah itu lalu dengan pelan melemparkannya
kembali ke arah Yuigahama.
"Ia pasti akan datang. Jadi, mau dilanjutkan?"
"...oke!"
Jawab Totsuka bersemangat, dan ia pun kembali berlatih
Setelahnya, untuk sementara tak terdengar lagi ada keluhan maupun tangis air mata.
Totsuka sedang berusaha semampunya.
"Uh, capek banget~~ Hikki, gantikan aku, dong."
Nyatanya, justru Yuigahama yang mulai mengeluh...
Yah, walau sebenarnya aku tak begitu berbuat banyak.
Satu-satunya pilihan bagiku kini hanyalah kembali mengamati semut-semut.
Namun semut-semut tersebut sudah dibantai Zaimokuza, makanya sekarang aku merasa
bosan. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
"Boleh. Ayo gantian."
"Hore~~ eh, sekadar info, saat bola keenam nanti, rasanya bakal membosankan, lo. Jadi
siap-siap saja."
Bola keenam?! Cepat sekali. Seburuk itukah daya tahannya?
Sewaktu aku beranjak mengambil kumpulan bola dari Yuigahama, kulihat senyum yang
terpampang di wajahnya tadi berubah menjadi suram dan sedikit samar.
"Wah, lihat! Ada yang main tenis!"
Aku berbalik mengahadap sumber suara riang itu, dan kulihat ada segerombolan anak
dengan Hayama dan Miura sebagai pusatnya. Mereka berjalan menuju ke arah kami,
dan sewaktu melewati Zaimokuza, mereka tampak menyadari keberadaanku dan
Yuigahama.
"Eh... ada Yui..."
Ucap perempuan di sebelah Miura dengan suara pelan.
Miura sesaat memandang ke arahku dan Yuigahama sebelum mengabaikan kami lalu
beralih pada Totsuka. (Tampaknya ia benar-benar tak menyadari keberadaan
Zaimokuza.)
"Hei, Totsuka. Kami boleh ikutan main, enggak?"
"Miura, aku... tidak sedang bermain... aku sedang latihan..."
"Hah? Apa? Aku enggak dengar."
Ucapan Totsuka begitu pelan dan tampaknya Miura tak mendengarnya. Totsuka terdiam
mendengar balasan Miura. Bagaimana tidak, jika seseorang bertanya padaku dengan
cara seperti itu, aku pun pasti akan ikut terdiam. Perempuan itu benar-benar
mengerikan.
Totsuka mengumpulkan sedikit keberanian yang masih dipunyainya dan mencoba
menjawab kembali.
"A-aku sedang latihan..."
Tapi sang tuan putri tak tampak puas.
"Hmm... tapi kok, ada orang selain anggota Klub Tenis di sini? Jadi artinya, lapangan ini
enggak disediakan khusus buat anak-anak Klub Tenis saja, 'kan?"
"Me-memang benar, sih... tapi..."
"Kalau begitu enggak masalah kalau kita ikut main di sini. Iya, 'kan?
"...tapi..."
Setelah mengatakannya, Totsuka tampak panik dan melihat ke arahku. Eh, aku?
Yah, kurasa memang tak ada lagi orang yang bisa ia andalkan. Yukinoshita sedang pergi
entah ke mana, Yuigahama memalingkan pandangannya dengan wajah gelisah, dan tak
ada yang memedulikan keberadaan Zaimokuza... jadi kurasa memang cuma aku.
"Oh, maaf, tapi Totsuka sudah meminta izin guru untuk memakai lapangan ini. Jadi
orang lain tak boleh menggunakannya."
"Hah? Makanya tadi aku tanya, padahal kau bukan anggota Klub Tenis tapi kok boleh
menggunakannya?"
"Ah, eng... soalnya kami di sini membantu Totsuka latihan. Yah, semacam tenaga kerja
lepas begitu."
"Eh? Kau ini mengoceh apa? Menjijikkan, tahu."
Wuah, perempuan ini memang sama sekali tak punya niat mendengarkanku. Makanya
aku benci perempuan bispak macam begini. Primata macam apa yang tak mengerti
ucapan manusia? Anjing saja bisa mengerti. Ya, Tuhan.
"Sudah, sudah, jangan bertengkar."
Sela Hayama ingin menengahi.
"Bakal lebih seru kalau semuanya bisa ikut main. Begitu saja enggak apa-apa, 'kan?"
Kata-kata Hayama langsung mengusik pikiranku. Miura sudah mengokang senapannya
dan Hayama yang menarik pelatuknya.
Yah, aku hanya perlu balas menembak saja.
"Semuanya... apa-apaan itu? Itu sama saja seperti saat kau merengek meminta sesuatu
pada orang tuamu dan memakai alasan, Semuanya sudah punya, kok!Jadi siapa yang
kaumaksud semuanya itu...? Aku jarang berteman, jadi aku tak terbiasa dengan kalimat
itu..."
Itu adalah makna ganda antara kata tembak (撃つ) dan murung (鬱)! Sebuah kombinasi
yang mengagumkan!
Bahkan Hayama sekalipun harus mengalah karenanya.
"Ah, eng... bukan begitu maksudku. Eng... maaf, deh. Kalau memang ada yang mau
kaukatakan, bilang saja padaku."
Ucapnya ingin menenangkanku dengan begitu sigap.
Hayama memang orang yang baik. Aku hampir terharu dan hendak berterima kasih
padanya.
Tapi...
Jika aku bisa tertolong karena simpati murahan macam itu, maka dari awal aku tak
perlu ditolong. Jika permasalahanku bisa teratasi karena kata-kata barusan, berarti
sebenarnya aku tak punya masalah.
"...Hayama, aku hargai kebaikanmu. Aku tahu betul kalau kepribadianmu memang
bagus. Ditambah, kau pemain andalan Klub Sepakbola. Wajahmu pun cukup tampan, ya
'kan? Aku yakin kau cukup populer di kalangan anak perempuan!"
"Ke-kenapa kau berkata begitu...?"
Hayama jelas terguncang oleh sanjungan dadakanku. Bagus, bagus, biar ia puaskan
dirinya sendiri.
Aku yakin Hayama tak tahu soal ini.
Apa alasan seseorang sampai bisa memuji orang lain? Itu karena semakin orang itu
merasa tinggi, maka semakin keras jatuhnya.
Itulah yang disebut mati karena pujian.
"Kau begitu diberkati dan sangat bersinar, tapi kenapa masih saja mau merebut
lapangan tenis ini dari kami yang tak punya apa-apa ini? Apa kau tak malu berbuat
seperti itu?"
"Tepat sekali! Tuan Hayama! Yang kaulakukan itu benar-benar hina! Ini penjajahan!
Tunggu pembalasanku!"
Tanpa diduga, Zaimokuza datang dan mulai melontarkan kata-kata heboh.
"Kalau mereka bersama, situasinya malah jadi dua kali lebih suram dan menyedihkan..."
Yuigahama lalu tertegun berdiri di sebelah kami. Dan Hayama menggaruk kepalanya
sambil menghela napas.
"Hmm... yah, eng..."
Tanpa kusadari, seringai jahat terpampang di wajahku. Tepat sekali... Hayama
bukanlah orang yang suka membuat gara-gara di sembarang tempat. Dan saat ini,
di sembarang tempat itu ada dirinya, Zaimokuza, dan diriku. Disudutkan oleh suara
mayoritas, Hayama tak punya pilihan selain merelakan tempat ini.
"Ayo, dong, Hayato~~"
Suara memelas terdengar dari sebelah kami.
"Sedang apa sih di sana? Aku mau main tenis, nih."
Dan anak bodoh berambut ikal itu pun datang. Apa ada yang salah dengan sel otaknya?
Sial, harusnya ia menghargai orang bicara... jelas ia tipe orang yang sulit membedakan
antara pedal gas dengan rem, ya' kan?
Tentu saja, Miura sudah menginjak pedal gas ketimbang rem.
Karena komentarnya tadi, Hayama jadi punya sedikit waktu untuk berpikir. Sedikit jeda
barusan sudah cukup untuk menghidupkan mesin di otaknya.
"Hmm... baiklah, begini saja. Semua yang bukan anggota Klub Tenis akan bertanding.
Dan yang menang, mulai dari sekarang boleh memakai lapangan ini selama istirahat
makan siang. Tentu saja, yang menang akan membantu Totsuka berlatih. Pasti lebih
bagus kalau ia berlatih dengan pemain yang lebih baik, ya 'kan? Jadi semua bisa sama-
sama senang."
...ada apa dengan logika sempurna barusan? Apa ia seorang genius?
"Bertanding? ...wah, kedengarannya seru."
Miura tersenyum kejam layaknya Sang Ratu Api.
Dan semua pengikut mereka tampak begitu bersemangat oleh saran Hayama tadi.
Lalu, tersapu oleh panasnya pertarungan yang akan terjadi, di bawah hiruk-pikuk dan
kekisruhan, kami pun melaju ke fase tiga dari pelatihan tenis ini.
Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Intinya, kami mempertaruhkan
lapangan tenis lewat sebuah pertandingan.
Kenapa malah jadi begini...?
Aku sudah berusaha melucu dengan memakai kata-kata seperti hiruk-pikuk dankekisruhan, namun kata-kata itu justru menjadi kenyataan. Kini, ada beberapa orang sedang bersorak di sekitar lapangan tenis yang berletak di pojok halaman sekolah. Andai dihitung, mungkin mudahnya ada sekitar dua ratus orang di sini. Tentu saja sebagiannya adalah kelompok Hayama, tapi ada lebih banyak orang yang mungkin mendengar hal ini dari suatu tempat dan penasaran ingin mencari tahu. Sebagian besar penonton di sini adalah teman Hayama maupun penggemarnya. Sebagian besarnya adalah anak kelas dua, namun ada juga anak kelas satu yang berbaur, dan aku pun bisa melihat ada anak kelas tiga di sana-sini. Yang benar saja? Ia bahkan lebih populer dibanding politisi. "HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!" Para penonton bersorak untuk Hayama, dan mereka mulai membuat gelombang sorakan. Rasanya seperti sedang di tengah konser idola saja. Meski kurasa sebagian orang di sini bukanlah penggemar Hayama, tapi mereka kemari karena merasa ada sesuatu yang aneh sedang berlangsung... iya, 'kan? Aku justru lebih meyakini hal itu.
Intinya, bulu kudukku langsung merinding sewaktu melihat ke arah kerumunan. Rasanya seperti sebuah sekte keagamaan. Jemaat masa remaja memang menyeramkan. Dan di tengah wadah kekisruhan yang meleleh itu, Hayato Hayama dengan percaya diri maju ke tengah lapangan. Terlepas dari riuhnya penonton, ia tampak begitu tenang. Mungkin ia sudah terbiasa dengan perhatian sebanyak ini. Kini tak hanya pengikutnya saja yang mengerumuninya, namun juga beberapa anak lelaki dan perempuan dari kelas lain. Kami sudah benar-benar tertelan seutuhnya. Kami pun bolak-balik saling beradu tatap. Kupejamkan mataku, dan kurasakan diriku pening karena hiruk-pikuk yang memekakkan telinga itu. Hayama sudah menggenggam raketnya dan berdiri di sisi lapangan. Ia memandang kami dengan penuh ketertarikan, penasaran soal siapa di antara kami yang akan maju duluan. "Hei, Hikki. Bagaimana, nih?" "Bagaimana, ya..." Yuigahama tampak gelisah saat bertanya padaku tadi. Aku lalu memandang ke arah Totsuka, dan ia sudah terlihat seperti kelinci ketakutan yang baru saja dilepas di hutan yang asing. Bahkan sewaktu berbicara padaku, ia tampak begitu malu-malu sambil merapatkan kedua kakinya. Ya ampun, gemas sekali melihatnya. Bukan aku saja yang berpikir demikian. Saat Totsuka berjalan dengan lemahnya tadi, kudengar para perempuan di sekitar kami sudah menjeritkan, "Pangeran~~!!" ataupun "Sai~~!!" Namun setiap kali Totsuka mendengar itu, bahunya langsung terturun. Dan karena melihat hal itulah, para penggemar Totsuka semakin menggeliat kesenangan. Aku pun jadi sedikit ikut terbawa mereka. "Sepertinya Totsuka tak bisa ikut bertanding..." Hayama bilang kalau ini adalah pertandingan antara orang-orang dari luar Klub Tenis. Dengan kata lain, ini adalah pertandingan untuk memenangkan lapangan dan Totsuka itu sendiri. "...Zaimokuza, kau bisa main tenis?" "Serahkan saja padaku. Aku sudah selesai membaca seluruh jilidnya, bahkan aku sudah menonton drama musikalnya. Jadi aku cukup superior bila berurusan dengan tenisu." "Aku yang bodoh sudah bertanya padamu. Lagi pula, kalau mengucapkan tenis dengan cara begitu, harusnya kau juga konsisten sewaktu mengucapkan drama musikal tadi." "Yah, kalau begitu, berarti memang terserah padamu... terus bagaimana pengucapan drama musikal-nya?" "Benar juga, kurasa memang harus aku..."
"Menurutmu kau punya kesempatan menang? ...serius deh, bagaimana dengan pengucapan drama musikal-nya?!" "Sama sekali tak ada... sudahlah, jangan cerewet. Kalau memang tidak bisa, tinggal ubah saja karakter sialanmu itu. Parah sekali kelihatannya." "Be-begitu... Hachiman, memang pintar, ya?" Zaimokuza tampak terkesan. Rupanya masalah tentang dirinya tadi sudah bisa diatasi. Tapi tak satu pun dari masalahku sendiri sudah teratasi. Ah... bagaimana ini? Kubenamkan kepalaku dalam kedua tangan yang sedang menyilang. Saat melakukannya, kudengar sebuah suara kasar nan menjengkelkan. "Hei, bisa cepat enggak, sih?" Ya Tuhan. Perempuan bispak ini benar-benar menjengkelkan. Kutengadahkan kepalaku dan melihat Miura sudah menggenggam raket sambil memeriksanya. Hayama pun tampak merasa aneh saat melihat kelakuan perempuan itu. "Eh? Yumiko mau main juga?" "Hah? Ya, iyalah. Dari awal, yang mau main tenis itu sebenarnya aku. Masa lupa, sih?" "Aku tahu, tapi... tim di sebelah sana mungkin diwakili anak lelaki. Kau kenal, eng... Hikitani, 'kan? Anak itu. Kalau kau bermain dengannya, bakal enggak adil nanti." Siapa itu Hikitani? Yang bermain itu bukan Hikitani, tapi Hikigaya... mungkin. Setelah diingatkan oleh Hayama, Miura lalu termenung sambil memain-mainkan rambut ikalnya. "Ah, kalau begitu, main ganda campuran saja! Wah, aku ini pintar juga, ya? Tapi... memangnya ada perempuan yang mau main sama Hikitani? Haha, konyol banget!" Miura mulai mengeluarkan tawa vulgar bernada tinggi, lalu diikuti oleh tawa para penonton. Mau tak mau aku juga ikut menertawakan diriku sendiri. Ku ku ku, ku ku ku... uh, kuakui rasanya perih sekali, tapi yang tadi itu memang tepat sasaran. Bisa kurasakan diriku terjun bebas ke dalam kegelapan. "Hachiman, ini gawat. Kau sama sekali tidak punya teman perempuan. Dan tak ada anak perempuan yang mau membantu bajingan penyendiri berwajah datar sepertimu sekalipun kau memohon. Jadi bagaimana ini?" Zaimokuza ini tak mau diam. Tapi yang dikatakannya memang benar, makanya aku tak bisa menyangkalnya. Kita sudah melewati sebuah masa di mana aku bisa tinggal pergi sambil berkata,Ahahaha, maaf~~ sudah, kita lupakan saja soal ini. (kedip <3). Awalnya aku ingin meminta bantuan Zaimokuza, tapi ia hanya menoleh ke sana kemari dan mulai bersiul. Kuhela napasku, dan seolah tertular, Yuigahama dan Totsuka juga ikut menghela napas.
"..." "Hikigaya, maaf. Kalau saja aku anak perempuan, aku pasti akan senang bermain denganmu, tapi..." Benar sekali. Kenapa Totsuka bukan anak perempuan? Padahal ia begitu manis... "...tenang saja." Tak boleh kubiarkan kecemasan ini tampak di wajahku, karena itu lalu kubelai kepala Totsuka. "Dan juga... kau tak perlu mencemaskan ini. Kalau kau punya tempat untuk bernaung, maka kau harus melindungi tempat tersebut." Saat aku mengatakannya, bahu Yuigahama jadi gemetar. Ia gigit bibirnya dan melihatku dengan tatapan menyesal. Yuigahama punya kedudukan sendiri di kelasnya. Tak sepertiku, ia benar-benar hebat jika berurusan dengan pergaulan antarsesama. Itu sebabnya ia masih ingin bisa berakrab ria dengan Miura serta anak lainnya. Aku adalah penyendiri, tapi bukan berarti aku iri dengan orang-orang yang akrab dengan sesamanya. Bukan berarti pula aku mengharapkan hal buruk terjadi pada mereka... sungguh bukan itu. Aku tidak bohong. Bukan berarti kami ini sekumpulan teman atau semacamnya, dan aku juga takkan menganggap mereka sebagai teman. Kami hanyalah bentuk kekacauan dari sekelompok acak orang-orang yang berkumpul bersama, atau mungkin kami berkumpul di sini karena alasan yang acak pula. Yang mau kulakukan hanyalah ingin membuktikan sesuatu. Bahwa para penyendiri ada bukan untuk dikasihani, mereka sama bergunanya seperti yang lain. Aku sadar betul kalau itu adalah pemikiran yang egosentris. Tapi aku memang orang yang egosentris jika sedang sendirian. Bahkan aku bisa berteleportasi dan menghembuskan api saat sedang sendirian. Namun aku tak mau menolak masa laluku sendiri ataupun masa yang sedang kujalani ini. Aku takkan pernah percaya bahwa menghabiskan waktu seorang diri adalah sebuah dosa atau hal yang dianggap salah. Karena itu aku akan berjuang melindungi rasa keadilanku sendiri. Aku pun mulai maju ke lapangan sendirian. "...mau." Kudengar desahan lembut, amat sangat lembut hingga lenyap oleh riuhnya sorakan. "Hah?" "Kubilang, aku mau!" Yuigahama sedikit mengerang sewaktu wajahnya mulai memerah.
"Yuigahama? Bodoh. Kau ini bodoh, ya? Jangan main-main." "Kenapa aku dibilang bodoh?!" "Kenapa kau mau melakukannya? Kau ini bodoh, ya? Atau jangan-jangan kau suka padaku?" "E... eh? Ka-kau ini bicara apa? Bodoh! Dasar Bodoooooh!!" Wajah Yuigahama memerah selagi mengataiku bodoh berulang kali disertai kemarahan yang luar biasa. Ia lalu merebut raket dari tanganku dan mulai mengayunkannya ke sana kemari. "Ma-ma-ma-maaf! Maaf!" Aku langsung meminta maaf sambil menghindari ayunan raketnya. Mengerikan sekali saat mendengar suara ayunan raket yang begitu dekat dengan telingaku. Tapi sewaktu aku meminta maaf, kuperlihatkan rasa penasaran ini lewat ekspresiku. Yuigahama pun mengalihkan wajahnya dengan malu-malu. "...yah, bagaimana bilangnya, ya? Aku juga anggota Klub Layanan Sosial... jadi bukan hal aneh bagiku berbuat seperti ini... soalnya, itu tempatku bernaung." "Tunggu, tenang dulu. Perhatikan dulu sekitarmu. Ini bukanlah satu-satunya tempatmu bernanung, 'kan? Coba lihat, para perempuan dalam grup langgananmu sedang menatap ke arahmu." "Eh, serius?" Yuigahama menegang dan menoleh ke arah grup Hayama. Hampir bisa kudengar suara lehernya yang berderak sewaktu menolehkan kepala. Aku sempat mau menyarankannya agar memakai pelumas Kure 556 atau semacamnya. Grup perempuan di sekitar Hayama, dengan Miura sebagai pemimpinnya, sedang memandang kami. Sudah sewajarnya mereka berbuat demikian, mengingat apa yang sudah Yuigahama lantangkan tadi. Terasa aura permusuhan pada mata besar Miura yang sudah ditebali oleh maskara dan eyeliner. Gulungan rambut pirangnya yang mirip bor itu berayun tak senang. Memangnya ia itu Nyonya Kupu-Kupu apa? "Yui, asal kau tahu, kalau kau memihak sana berarti kau melawan kami. Kau paham, 'kan?" Layaknya seorang ratu, Miura menyilangkan lengan dan menghentakkan kakinya ke tanah. Itu adalah pose seorang ratu yang sedang marah. Merasa tertekan oleh pose tersebut, perlahan Yuigahama menundukkan pandangannya ke bawah. Ia lalu menggenggam keliman roknya. Mungkin ia merasa gugup — tangannya sudah gemetaran. Sorakan pernonton mulai berubah menjadi riuh rendahnya suara bisikan. Padahal ini bukan sebuah eksekusi di depan umum. Namun Yuigahama mengangkat kepalanya dan dengan tegas menatap ke depan.
"...bukan begitu... mauku. Tapi, klub... klub ini penting buatku! Jadi aku akan melakukannya." "Hmm... begitu. Jangan sampai kau malu sendiri, ya." Tanggap Miura singkat. Namun aku melihat sebuah senyum tersungging di wajahnya. Itu adalah senyuman api neraka yang berkobar. "Ayo ganti baju dulu. Biar kupinjamkan baju dari Klub Tenis Putri. Ayo ikut." Miura menolehkan kepalanya ke arah ruang Klub Tenis yang berada di dekat lapangan. Mungkin ia mencoba bersikap baik, tapi yang terdengar bagiku, ia seperti berkata, Akan kucekik kau di ruang klub nanti. Yuigahama pun mengikutinya dengan wajah tegang, dan semua anak di sekelilingnya memandang dirinya dengan tatapan iba. Yah... senang bisa kenal dengan dirinya... "Hei, Hikitani." Sewaktu aku mendoakan Yuigahama, Hayama mengajakku bicara. Ia pasti punya keahlian komunikasi yang cukup hebat hingga bisa bicara denganku. Meskipun ia salah mengucapkan namaku. "Ya?" "Aku masih belum begitu tahu peraturan tenis. Bermain ganda sepertinya juga cukup sulit. Jadi, apa kau keberatan kalau kita membuat beberapa peraturan sederhana?" "Boleh. lagi pula ini juga tenis untuk pemula. Kita pukul saja bolanya dan tetap hitung angkanya. Bagaimana? Ini mirip seperti bola voli." "Ah, itu lebih mudah dipahami. Aku setuju." Hayama tesenyum senang. Kubalas dirinya dengan tersenyum masam. Di saat bersamaan, dua perempuan tadi akhirnya kembali.
Wajah Yuigahama sudah memerah selagi ia susah payah membetulkan roknya. Satu
setelan dengan roknya, ia mengenakan kaos polo untuk bagian atasnya.
"Rasanya seragam tenis ini agak... bukannya rok ini terlalu pendek, ya?"
"Tapi rok yang kaupakai selalu sependek itu, kok..."
"Hah?! Apa maksudmu?! Ja-jangan bilang kalau kau selalu memerhatikanku!
Menjijikkan! Jijik banget! Benar-benar menjijikkan!"
Yuigahama menatapku tajam dan mulai mengangkat raketnya di atas kepala.
"Tenang saja! Aku tak memerhatikannya! Aku sama sekali tak memerhatikanmu! Jangan
khawatir! Dan jangan pukuli aku!"
"Entah kenapa... rasanya itu tetap membuatku kesal..."
Gumam Yuigahama sembari perlahan menurunkan raketnya.
Melihat kesempatan untuk membuka diskusi, Zaimokuza menyela sambil berdeham.
"Ehem... Hachiman. Bagaimana strateginya?"
"Strategi terbaiknya adalah mengincar perempuan itu, 'kan?"
Soalnya perempuan sebodoh itu akan bisa langsung dihancurkan, bukan? Jadi sudah
pasti perempuan itu adalah celah dari pertahanan mereka. Akan lebih efisien jika
menyerang ke arahnya daripada berhadapan satu lawan satu dengan Hayama. Namun
sewaktu mendengar rencana tersebut, Yuigahama langsung mengajukan keberatan
sambil bersuara panik.
"Eh? Hikki, kau enggak tahu, ya? Yumiko sudah bermain tenis sejak SMP. Ia terpilih
masuk ke dalam tim yang mewakili prefektur, tahu?"
Sewaktu mendengarnya, aku langsung melirik ke arah Nyonya Kupu-Kupu (alias
Yumiko). Postur tubuhnya cukup proporsional, dan pergerakan tubuhnya tampak begitu
luwes. Mengetahui itu, Zaimokuza bicara sambil terbata-bata.
"Hm... jadi si gulungan vertikal itu tidak main-main."
"Sebenarnya, gaya rambut itu sebutannya pintalan longgar..."
Pertandingan pun dimulai, dan emosi-emosi saling bergesekan seiring poin yang masuk
dalam pasang surutnya serangan maupun pertahanan.
Saat pertandingan baru dimulai, sorakan penonton begitu bergemuruh dan dipenuhi
teriakan histeris. Namun sejalan dengan berlangsungnya pertandingan, mata mereka
mengikuti ke mana arah pergerakan bola sambil menahan napasnya. Kemudian mereka
menghela napas dan bersorak gembira saat poin tercipta. Ini benar-benar mirip seperti
pertandingan profesional yang disiarkan di TV.
Di setiap reli panjang yang saling berganti, dengan poin yang saling berbalas, bisa
kurasakan kegelisahan yang semakin mengikis syarafku.
Pada akhirnya, keseimbangan tadi dihancurkan oleh servis si gulungan vertikal itu.
*Ping!* Kudengar suara pukulan raketnya. Segera setelahnya, bola melesat turun ke
lapangan layaknya sebuah peluru dan semakin membesar di penglihatanku.
Apa-apaan yang barusan itu...? Entah cuma aku, atau memang bolanya juga melesat
seperti gulungan vertikal?
Intinya, Nyonya Kupu-Kupu itu ternyata benar-benar pemain kelas atas.
"Ternyata ia memang jago..."
Gumamku tanpa sadar.
"Apa kubilang."
Jawab Yuigahama dengan begitu bangga. Bukankah ia harusnya ada di pihakku?
"Kau sendiri belum memukul satu bola pun sampai sekarang..."
"Ah, eng, sebenarnya... aku jarang main tenis."
Yuigahama terkikih gugup di depanku.
"...kau... kau jarang main tenis tapi memaksakan diri ikut bermain?"
"Eng... i-iya, aku salah!"
Justru sebaliknya... perempuan ini terlalu baik. Ia jarang bermain tenis, dan ia masih
memaksakan diri bermain di depan orang banyak demi membela Totsuka... tak semua
orang bisa berbuat begitu. Dan itu bisa jadi lebih keren lagi andai ia memang jago
bermain tenis. Tapi hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita.
Aku masih bisa melawan dengan servis terarah dan pengembalian bola terukur yang
kuasah lewat latihan memukul bola ke tembok. Namun saat mendekati paruh kedua,
perbedaan skor kami kian melebar.
Itu karena lawan kami hampir selalu terfokus pada Yuigahama.
Mereka mungkin terkejut karena aku bisa menangani dan mengubah arah sasaran
mereka... atau bisa jadi mereka yang tak menghiraukan keberadaanku.
"Yuigahama, kau jaga bagian depan. Biar aku yang urus bagian belakang."
"Oke."
Setelah menetapkan strategi dasar, kami pun bersiap di posisi yang sudah
direncanakan.
Servis Hayama yang keras dan cepat mengarah ke kami. Bolanya melesat ke pojok jauh
lapangan dengan akurasi terukur dan melayang melewati kami. Aku melompat ke
samping sambil bersusah payah menggapainya. Kujulurkan raketku sejauh mungkin
supaya bisa mengenai bolanya. Lalu dengan sekuat tenaga kukembalikan bola itu.
Pengembalianku mendarat di sisi lawan, namun Nyonya Kupu-Kupu seolah sudah
bersiap. Ia lalu melesatkan bola ke arah berlawanan. Aku bahkan tak menunggu untuk
melihat arah datangnya bola. Aku hanya bergegas maju ke sisi tersebut, yang kukira
bolanya akan mengarah ke sana.
Kakiku yang sulit kukendalikan ini masih mau menuruti kehendakku. Kuhadapi bola itu,
dan saat memantul kembali, kupukul keras ke arah pojok lapangan.
Akan tetapi, Hayama sepertinya sudah mengetahui rencanaku — ia menunggu
pukulanku. Ia mengubah keadaan dengan sebuah drop shot yang mengarah di antara
Yuigahama dan aku.
Aku kehilangan keseimbangan hingga tak mungkin meraih bola itu. Aku memandang
Yuigahama dengan tatapan memohon, dan ia berlari ke arah bola lalu
mengembalikannya... namun ia terlalu kuat memukul bolanya, sehingga bola itu pun
melayang tinggi ke angkasa, dan jatuh tepat di posisi Nyonya Kupu-Kupu berdiri.
Bola itu pun dismes keras dengan sekuat tenaga ke arah kami. Nyonya Kupu-Kupu
tersenyum sadis saat bola tersebut menyerempet pipi Yuigahama dan melaju ke arah
pojok kosong lapangan.
"Kau tak apa-apa?"
Tanpa mengambil bola aku langsung berseru pada Yuigahama yang sudah jatuh
terduduk di belakang.
"...yang tadi itu mengerikan sekali..."
Saat mendengar gumaman Yuigahama yang matanya sudah berkaca-kaca itu, Nyonya
Kupu-Kupu sesaat terlihat cemas.
"Yumiko, kau memang kejam."
"Ha...?! Bukan, bukan begitu! Yang tadi itu wajar-wajar saja, kok! Enggak mungkin aku
sekejam itu!"
"Ah, berarti kau memang manusia sadis."
Gurau Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu sambil kemudian tersenyum. Para penonton pun
tampak terpengaruh oleh mereka dan ikut tersenyum.
"...Hikki, ayo menangkan pertandingan ini."
Yuigahama lalu berdiri dan mengambil raketnya. "A-aduh!" Kudengar ia sedikit
mengaduh.
"Hei, yakin kau tak apa-apa?"
"Maaf... kurasa kakiku terkilir."
Yuigahama tersenyum malu-malu padaku. Matanya pun sudah dipenuhi air mata.
"Kalau kita kalah, nanti bisa jadi masalah buat Sai... ah, gawat, kalau begini bisa
gawat... kalau sampai gagal, minta maaf saja enggak bakal cukup... uh!"
Yuigama lalu menggigit bibirnya karena frustasi.
"Baiklah, kita pikirkan jalan keluarnya. Jika terpaksa, kita bisa mendandani Zaimokuza
dengan pakaian perempuan."
"Jelas langsung ketahuan, dong!"
"Benar juga... begini saja... kau istirahat dulu di luar. Biar sisanya aku yang urus."
"...terus?"
"Sejak zaman dahulu kala, ada sebuah teknik terlarang dalam olahraga tenis. Teknik itu
bernama, Raketku jadi roket!"
"Itu jelas pelanggaran!"
"...ya sudah, jika situasinya memang jadi buruk, aku akan bersikap serius. Kalau sudah
serius, aku bisa menjadi ahli dalam bersujud dan menjilat kaki lawanku."
"Itu memang serius tapi dalam cara yang salah..."
Yuigahama tampak terkejut dan berdesah lalu tersenyum. Matanya sudah sembab
karena air mata. Mungkin karena kakinya yang terkilir atau mungkin karena ia tertawa
hingga tanpa sadar menangis. Dengan matanya yang sudah memerah, ia mengalihkan
pandangannya ke arahku.
"Ah, Hikki memang bodoh... kepribadianmu buruk, bahkan saat terdesak pun tetap
sama buruknya. Biar begitu, kau enggak mau menyerah... kau tetap maju seperti orang
bodoh dan menantang lawanmu dengan cara menjijikkan dan menyedihkan... aku akan
mengingatnya."
"Kau ini bicara ap—"
"Kurasa aku sudah enggak sanggup lagi..."
Sela Yuigahama dengan nada kesal.
Ia lalu berbalik membelakangiku dan beranjak pergi. "Permisi, permisi!" Serunya
sewaktu membelah kerumunan penonton yang sedang kebingungan.
"...perempuan itu bicara apa, sih...?"
Ditinggalkan sendiri di tengah lapangan, kupandangi Yuigahama yang keluar seiring
sosoknya yang mulai menghilang. Lalu kudengar suara tawa menjengkelkan yang
bergema di lapangan.
"Ada apa, nih? Bertengkar sama temanmu, ya? Terus ditinggalkan, ya?"
"Konyol sekali... selama ini aku tak pernah bertengkar dengan siapa pun. Dan aku tak
punya kedekatan dengan siapa pun sampai bisa bertengkar dengan mereka."
"Eh..."
Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu tersentak karena ucapanku.
Hmm...? Harusnya mereka tertawa tadi...
Oh, aku paham. Humor merendahkan diri barusan hanya berlaku pada orang yang sudah
dekat dengan kita saja...
Hanya Zaimokuza satu-satunya yang berusaha menahan tawa. Aku berdecak dan
membalikkan badan hanya untuk melihat dirinya yang berlagak cuek dengan berpura-
pura sedang bicara pada seseorang di tengah kerumunan penonton.
...bajingan itu mau melarikan diri, ya...? Pada situasi begini, aku sekalipun pasti akan
berlagak cuek dan melarikan diri. Totsuka pun sampai memandangku dengan tatapan
memelas.
Uh, baiklah... ini saatnya untuk memohon ampun. Akan kutunjukkan kalau aku bisa
serius.
Untuk bisa mengambil hati orang lain, kita memang harus membuang harga diri dan
sebisa mungkin menjilat mereka... aku bangga bisa melakukannya.
Mungkin cuma aku satu-satunya yang merasakan sebuah dorongan besar untuk
mengeluarkan diriku dari suasana tegang ini... kemudian kudengar penonton mulai
ramai bergumam.
Dan tembok manusia itu pun perlahan terbelah dua.
"Ada apa sampai jadi ramai begini?"
Rupanya itu Yukinoshita — ia mengenakan seragam olahraga satu setel dengan roknya,
dan itu terlihat kurang mengenakkan. Ia datang dengan membawa kotak P3K di
tangannya.
"Ah, kau ini ke mana saja...? Terus kenapa bajumu begitu?"
"Aku juga kurang tahu... Yuigahama mendatangiku dan memintaku memakai ini."
Ujar Yukinoshita sambil berbalik, kemudian Yuigahama muncul di sampingnya.
Tampaknya mereka saling bertukar pakaian, dan Yuigahama sedang mengenakan
seragam Yukinoshita. Mereka ganti baju di mana? Masa di luar?! Hmm...
"Rasanya kesal kalau kita kalah padahal sudah sampai sejauh ini, makanya Yukinon akan
bermain untuk kita."
"Kenapa harus aku...?"
"Yah, soalnya Yukinon itu teman yang paling bisa diandalkan di dunia!"
Yuikinoshita sedikit tersentak saat mendengar tanggapan Yuigahama tadi.
"Te... teman?"
"Yak, teman."
Sanggah Yuigahama tanpa pikir panjang. Tunggu dulu, rasanya yang tadi itu agak...
"Apa kau meminta tolong temanmu untuk melakukan hal seperti ini? Rasanya kau hanya
memanfaatkannya saja..."
"Eh? Untuk yang begini, aku hanya bisa meminta tolong temanku saja. Kenapa juga kita
harus memohon pada orang yang enggak peduli untuk melakukan hal-hal penting buat
kita?"
Jawabnya seolah itu adalah hal paling wajar untuk diucapkan.
Oh, begitu rupanya...
Di masa lalu, aku sering terpedaya untuk menggantikan tugas piket anak lain karena
mereka berkata, Kita ini teman, 'kan? Itu sebabnya aku belum terbiasa dengan
pemandangan yang diperlihatkan Yuigahama ini. Begitu rupanya. Berarti aku memang
berteman dengan anak-anak itu... barangkali.
Tak menutup kemungkinan Yukinoshita memikirkan hal yang sama denganku. Ia
menempelkan jari di bibirnya seakan sedang memikirkan sesuatu.
Kecurigaannya terlalu berlebihan; aku pun bukan tipe yang gampang percaya orang
lain.
Tapi Yuigahama ini beda cerita. Intinya, anak ini terlalu polos.
"Hei, mungkin ia hanya bersikap jujur. Lagi pula, anak ini terlalu polos."
Saat aku berkata begitu, sikap tegas Yukinoshita langsung melunak. Ia menyunggingkan
senyum penuh makna pada kami dan mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangan
seperti yang biasanya ia lakukan.
"Tolong jangan anggap remeh diriku... mungkin kelihatannya saja begini, tapi aku
cukup jeli dalam menanggapi orang lain. Dan mustahil seseorang yang bisa bersikap
baik padaku maupun pada Hikigaya adalah orang yang jahat."
"Logika yang cukup mengesalkan..."
"Tapi memang itu kenyataannya."
Sudah pasti begitu.
"Aku tak keberatan diminta bermain tenis, tapi... bisa aku minta waktu sebentar?"
Tanya Yukinoshita, lalu ia berjalan mendekati Totsuka.
"Setidaknya kau bisa merawat lukamu dulu, ya 'kan?"
Totsuka tampak sedikit kebingungan sewaktu menerima kotak P3K yang disodorkan
padanya.
"Eh, ah, iya..."
"Yukinon, jadi tadi kau pergi untuk mengambil itu... kau memang baik."
"Begitukah? Walau ada beberapa anak lelaki diam-diam menjulukiku Ratu Es..."
"Ke-kenapa kau bisa tahu... Argh! Kau membaca Daftar Orang yang Takkan
Kumaafkan milikku, ya?!"
Sial. Aku sudah menyebut Yukinoshita dengan kata-kata buruk di buku itu.
"Aku terkejut. Jadi kau benar-benar menjulukiku begitu? ... yah, aku juga tak peduli
orang berpikir apa."
Yukinoshita membalikkan badannya ke arahku. Meski begitu, ekspresi dingin yang ia
tunjukkan tak terlihat seperti biasanya, melainkan sedikit diwarnai oleh keraguan.
Suaranya perlahan beralih dari kepercayaan diri menjadi sesuatu yang lebih rapuh. Ia
tiba-tiba memalingkan pandangannya.
"...dan... aku tak keberatan kalau kau menganggapku... temanmu..."
Hampir kudengar suara *pop* sewaktu pipi Yukinoshita mulai tampak merah padam. Ia
genggam raket yang diambilnya dari Yuigahama tadi dan sekilas terlihat sedang
menundukkan wajah.
Itu terlihat begitu menggemaskan hingga cukup layak untuk diberi pelukan... oleh
Yuigahama.
"Yukinon!"
"Hentikan... jangan menempel begitu padaku. Aku jadi tak bisa bergerak..."
...eh? Bukankah ini titik di mana ia harusnya bersikap lembut padaku? Entah hanya aku,
atau ia cuma bersikap lembut pada Yuigahama saja? Harusnya tak begitu, bukan? Apa
kami sedang di dalam kisah komedi romantis di mana lelaki mendapat cinta lelaki lain
dan perempuan mendapat cinta perempuan lainnya?
Semua dewa komedi romantis memang konyol.
Setelah Yukinoshita berhasil melepaskan diri dari Yuigahama, ia berdeham beberapa
kali dan lanjut berbicara.
"Sungguh sebuah penyesalan bisa berpasangan dengan lelaki ini, tapi, yah... mau
bagaimana lagi? Aku terima permintaanmu. Aku hanya perlu memenangkan
pertandingan ini saja, bukan?"
"Sip! ...yah, aku juga enggak bisa berbuat banyak agar Hikki bisa menang."
"Maaf sampai membuatmu melakukan ini."
Kubungkukkan badan ini, tapi Yukinoshita hanya menatapku dingin.
"...jangan salah sangka. Aku melakukan ini bukan demi dirimu."
"Ha ha ha, kau memang tsundere."
Ha ha ha, ya ampun, ha ha ha ha... sudah lama aku tak mendengar hal seklise itu.
"Tsundere...? Entah kenapa, kata-kata itu membuat bulu kudukku merinding."
Ya, itu memang benar... kurasa sudah jelas kalau Yukinoshita takkan tahu apa
itu tsundere... terlebih, perempuan itu takkan berbohong — ia akan selalu berkata
sejujurnya, tak peduli betapa kejamnya itu. Jadi kemungkinan ia tak berbohong saat
berkata kalau ini bukan demi diriku.
Yah, bukan berarti aku ingin ia agar menyukaiku atau semacam itu, jadi ya, sudahlah.
"Yang penting, nanti perlihatkan padaku daftar yang kausebut tadi. Akan kuperiksa dan
kuperbagus untukmu."
Yukinoshita lalu tersenyum manis kepadaku, mengingatkanku akan sebuah bunga yang
mulai mekar. Tapi kenapa senyumnya tak sedikit pun menghangatkan hatiku...?
Aku justru merasa ketakutan. Rasanya seperti sedang ditatap seekor harimau.
Bila memang ada harimau di depanku... hmm... berarti ada serigala di belakangku.
Atau mungkin seekor kuda.
"Yukinoshita... ya? Maaf sebelumnya, tapi aku enggak akan menahan diri siapa pun
lawannya. Kau merasa seperti tuan putri, 'kan? Kalau enggak mau terluka, mending
pergi dan menyerah saja sana."
Aku berbalik dan melihat Miura sedang berdiri sembari memelintir gulungan vertikalnya
sewaktu melihat ke arah kami sambil tersenyum kejam. Miura bodoh... menantang
Yukinoshita sama saja mencari mati...
"Percayalah, aku yang akan menahan diri untukmu. Akan kuhancurkan kebanggaanmu
itu sampai berkeping-keping."
Ujar Yukinoshita sambil tersenyum seolah ia tak mungkin dikalahkan. Setidaknya ia
tampak tak terkalahkan di hadapanku.
Ia adalah musuh yang mengerikan, tapi hati akan sangat tenang jika berada di
pihaknya... aku sungguh kasihan pada pihak yang menjadikannya musuh.
Baik Hayama maupun Miura sudah mempersiapkan diri mereka. Senyum penuh makna
yang disunggingkan Yukinoshita pun tampak indah sekaligus cukup dingin untuk
membekukan orang lain.
"Cukup sudah kaulecehkan tema—"
Yukinsohita keceplosan bicara kemudian sedikit tersipu. Mungkin masih terasa
memalukan baginya untuk memakai kata itu, makanya ia diam-diam menggelengkan
kepalanya sebelum kembali berbicara.
"...cukup sudah kaulecehkan anggota klub kami. Bersiaplah... asal kau tahu, mungkin
kelihatannya saja begini, tapi aku adalah tipe pendendam."
Bukan, bukan mungkin lagi... tapi seratus sepuluh persen ia tipe pendendam.
Begitulah, semua pihak yang berhubungan dengan pertandingan tenis ini pun
berkumpul. Pertandingan ini akhirnya melaju ke fase final yang sesungguhnya.
Tim Hayama dan Miura yang pertama kali jalan. Nyonya Kupu-Kupu alias perempuan
gulungan vertikal alias Miura yang melakukan servis.
"Oh, iya, Yukinoshita. Entah kau tahu soal ini atau enggak, tapi aku benaran jago dalam
tenis."
Ujar Miura sewaktu berulang kali memantulkan bola tenis ke tanah lalu menangkapnya,
hampir seperti sedang mendribel bola basket. Tapi Yukinoshita bergeming; matanya
hanya menunggu kelanjutan aksi Miura.
Miura tersenyum. Senyumnya itu sungguh berbeda dengan senyum yang ditunjukkan
Yukinoshita sebelumnya... itu adalah senyum seekor hewan buas.
"Jangan salahkan aku kalau bolanya mengenai wajahmu."
...wuah, menakutkan. Ini pertama kalinya kudengar seseorang membuat prediksi
seperti itu.
Saat memikirkannya, kudengar suara *wuuuss* dan sedikit bunyi dari bola yang dipukul.
Bolanya melesat kencang ke sisi kiri Yukinoshita dan menyerempet garis sisi kiri
lapangan. Yukinoshita adalah pengguna tangan kanan, jadi pukulan itu ada di luar
jangkauannya.
"...gampang."
Bersamaan dengan kudengarnya bisikan itu, Yukinoshita sudah bersiap untuk
mengembalikan bola. Ia memancangkan kaki kirinya ke tanah dan menggunakannya
sebagai tumpuan, lalu ia berputar seolah sedang berdansawaltz. Itu
adalah backhand sempurna yang dilancarkan oleh raket yang digenggam tangan
kanannya.
Raketnya berayun layaknya pedang samurai, dan bola yang dikembalikannya melaju
kencang ke arah Miura.
Bolanya jatuh ke sisi Miura, dekat di kakinya, dan ia sedikit terpekik sewaktu bolanya
memantul kembali. Pengembalian cepat tadi membuat Miura tersentak.
"Entah kau tahu soal ini atau tidak, tapi aku juga benar-benar jago dalam tenis."
Yukinoshita menghunuskan raketnya ke arah Miura dan menatap dingin perempuan itu,
hampir seakan sedang melihat seekor serangga. Miura termundur ke belakang, menatap
balik Yukinoshita dengan rasa takut dan benci. Bibirnya sedikit menekuk dan ia mulai
melontarkan umpatan. Sampai bisa membuat Ratu Miura jadi terlihat seperti itu...
Yukinoshita memang luar biasa.
"...hebat juga kau bisa mengembalikan bola tadi."
Yukinoshita tak menunjukkan sedikit pun reaksi terhadap ekspresi menggertak yang
ditampakkan wajah Miura, melainkan hanya tertuju tepat pada satu titik.
"Wajah perempuan itu mirip sekali seperti wajah para senior yang dulu pernah
mengerjaiku. Mudah untuk mengetahui betapa rendahnya orang tersebut."
Yukinoshita menyunggingkan senyum kemenangan lalu mulai menyerang.
Bahkan pertahanannya adalah serangan. Ini tak seperti yang biasanya orang lawas
katakan, Pertahanan terbaik adalah menyerang — permainan bertahannya begitu
agresif. Ia akan menjatuhkan servis tepat ke sisi lapangan lawan sebagai balasannya,
dan setiap bola yang menuju ke arahnya akan dikembalikan sepenuh tenaga.
Para penonton pun menjadi kecanduan akan keindahan permainannya.
"Fuahaha! Anak buahku sungguh kuat! Ayo libas mereka semua!"
Zaimokuza terjebak dalam aroma kemenangan dan akhirnya kembali ke pihak kami, dan
kini ia benar-benar berada di pusat perhatian. Itu membuatku jengkel... tapi di sisi
lain, fakta bahwa Zaimokuza berada di pihak kami adalah tanda kalau keadaan sudah
berbalik.
Saat aku dan Yuigahama yang bermain tadi, kami merasa benar-benar sedang bermain
di kandang lawan, tapi perlahan kini para penonton berpihak ke sisi Yukinoshita.
Soalnya, semua anak lelaki kini tengah memandang Yukinoshita dengan menggebu-
gebu.
Yah, memang benar kalau Yukinoshita adalah spesies yang berbeda, dan tak banyak
yang tahu seperti apa sifat aslinya. Dan tentu saja ia juga begitu cantik. Ia juga punya
aura misterius yang mengelilinginya; kesan yang dipancarkannya bagai sekuntum bunga
yang tumbuh di puncak tertinggi sebuah gunung, yang tak mungkin untuk dipetik. Bukan
berarti kalau ia terlihat menakutkan, tapi dirinya terasa seperti sesosok makhluk yang
tak tersentuh yang tak boleh diajak bicara.
Sudah tentu Yuigahama punya keberanian yang besar hingga bisa sedikit
menembus penghalang itu... dan bisa jadi ia juga orang yang sangat bodoh.
Akan tetapi, sikap jujurnya yang kolot dan kebaikannya yang apa adanya itu mampu
menggetarkan hati Yukinoshita. Yuigahama satu-satunya manusia yang sanggup
meyakinkan Yukinoshita agar bisa datang kemari hari ini, dan Yukinoshita pun bermain
dengan segenap kemampuannya demi membalas keberanian Yuigahama itu. Ia mungkin
takkan datang andai aku yang memintanya.
—
Selisih angka kami yang besar perlahan menipis.
Sewaktu menyaksikan Yukinoshita yang berputar ke kiri dan ke kanan di tengah
lapangan, aku selalu membayangkan kalau ia tampak seperti seekor peri. Gerak kakinya
yang bagai tarian itu merupakan atraksi seorang bintang di atas panggung. Aku hanya
pemain figuran di sini, dan setiap kali menerima bola, aku merinding saat semua orang
menatapku. Seakan mereka ingin berkata, Jangan kau!
Namun harapan para penonton terkabulkan — kini giliran Yukinoshita yang melakukan
servis.
Ia cengekeram bolanya lalu melambungkannya ke udara. Bola itu hampir tampak
seperti terisap oleh langit biru sewaktu melayang ke tengah lapangan. Bola tersebut
tampak takkan jatuh di dekat posisi Yukinoshita berada.
Semua orang bakal mengira kalau bolanya luput, akan tetapi...
Yukinoshita terbang.
Ia melangkah ke depan dengan kaki kanannya, membuat dorongan dengan kaki kiri, lalu
melompat saat kedua kakinya sejajar. Itu merupakan langkah ringan layaknya staccato.
Kemudian ia melayang ke udara dengan anggunnya. Posisi tubuhnya bagai seekor elang
yang dengan halusnya meluncur ke angkasa, dan tak ada seorang pun yang tidak
terkejut oleh pemandangan tadi. Dirinya begitu gesit dan elok dipandang. Tak ada yang
berkedip sewaktu mereka merekam kejadian ini di ingatan mereka.
Suara melengking terpekik melalui udara, kemudian bolanya bergulir jauh di atas
tanah. Para penonton, aku, Hayama, Miura... tak seorang pun yang sanggup
menggerakkan diri.
"...ser... servis lompat..."
Ucapku, namun aku hampir kehilangan kata-kata. Menyaksikan hal tak masuk akal yang
dilakukan Yukinoshita itu membuatku tak bisa menutup mulut yang menganga ini. Kami
sempat jauh tertinggal, tapi ia dengan mudah mengejarnya. Bahkan kini kami unggul
dua angka, dan jika kami berhasil meraih angka lagi, maka kami akan memenangkan
pertandingan ini.
"Kau memang luar biasa. Tetap seperti itu dan kita menangkan ini dengan mudah."
Aku begitu yakin hingga bisa berkata begitu, namun Yukinoshita tiba-tiba merengut.
"Mauku memang begitu, tapi... rasanya itu mustahil."
Ingin kutanyakan alasan ia berkata begitu, namun kulihat Hayama sudah bersiap
melakukan servis.
...terserahlah... tampaknya kami akan menang begitu Yukinoshita melancarkan
pengembalian bola andalannya. Aku takkan lengah, aku yakin kalau kami akan menang
sewaktu bersiap menghadapi servis itu.
Hayama juga tampak kehilangan sedikit motivasi untuk bermain; servisnya tak ia
lakukan sekuat tenaga seperti sebelumnya. Servisnya memang cukup cepat, tapi itu
hanya servis biasa, dan bolanya melaju ke ruang di antara aku Yukinoshita.
"Yukinoshita."
Kupikir bola itu lebih baik kuserahkan padanya, makanya tadi aku memanggil namanya.
Namun ia tidak menanggapiku. Yang kudengar justru suara datar dari pantulan bola
yang jatuh di antara kami.
"He-hei!"
"Hikigaya... apa kau tak keberatan jika aku sedikit sesumbar?"
"Hah? Lagi pula, ada apa dengan permainanmu barusan?"
Yukinoshita tak tampak peduli dengan ucapanku, tetapi justru menghela napas panjang
dan menjatuhkan diri di tengah lapangan.
"Sejauh yang bisa kuingat, aku selalu bisa melakukan segala hal, karena itu aku tak
pernah berlama-lama menanganinya."
"Terus kenapa mendadak bicara begitu?"
"Bahkan dalam tenis, ada seseorang yang melatihku di olahraga tersebut, namun
setelah tiga hari aku bisa melampauinya... tidak, tidak hanya olahraga, bahkan musik
juga. Aku bisa menguasainya hanya dalam tiga hari saja."
"Wah, kau mirip kebalikan dari pengangguran tiga hari. Dan ternyata kau memang cuma
mau sesumbar! Jadi maksudnya semua ini apa?"
"Satu-satunya hal yang tak kuyakini adalah ketahanan fisikku."
Kudengar suara pantulan bola lainnya yang melesat dan berdesing di dekat Yukinoshita.
Sudah sangat terlambat mengatakan hal tersebut di saat seperti ini...
Karena Yukinoshita bisa melakukan segala hal, ia tak pernah terjebak dalam suatu hal,
dan ia tak pernah berlama-lama dalam hal apa pun. Itu berarti ketahanan fisiknya
adalah titik lemahnya. Pantas saja yang selalu ia lakukan hanyalah menonton kami
sedang latihan saat istirahat makan siang... yah, jika diingat kembali, ini memang
sudah kelihatan jelas. Jika ingin lebih baik dalam suatu hal, maka caranya adalah
dengan berlatih, dan semakin banyak berlatih, semakin kita bisa meningkatkan
ketahanan fisik kita.
Namun karena dari awal ia bisa melakukan segala hal dengan begitu baik, makanya ia
tak pernah berlatih. Dan itu sebabnya ketahanan fisik yang dimiliki perempuan itu
begitu lemah.
"Uh, tapi kau tak harus mengatakannya dengan suara sekeras itu, 'kan...?"
Aku menoleh ke arah Hayama dan Miura, lalu melihat Ratu Hewan Buas itu sedang
tersenyum bengis.
"Oh, tapi kami sudah dengar, lo~~"
Ujar Miura dengan agresif. Terlihat kalau semua kesulitannya baru saja sirna. Tepat di
sebelahnya, Hayama juga tertawa kecil.
Ini situasi yang paling buruk... sesaat setelah kami memimpin pertandingan, mendadak
perolehan angka menjadi deuce.
Kami memang pemain pemula dalam tenis yang memiliki peraturan aneh ini. Tapi kami
paham kalau dalam keadaan deuce, kemenangan bisa diraih kalau bisa memimpin
dengan selisih dua angka.
Andalan kami, Yukinoshita, sudah kehabisan seluruh staminanya dan kini hanya
terdiam. Tak hanya itu, lawan kami sudah sadar betul akan situasi ini. Buktinya,
servisku sudah tak ampuh lagi melawan mereka — mereka dengan mudah
mengembalikannya, dan akhirnya jadi seperti itu.
"Ia boleh saja mengganggu jalannya pertandingan tadi, tapi sepertinya semua sudah
berakhir, ya 'kan?"
Aku tak bisa membalas ucapan agresif Miura tadi. Yukinoshita pun masih terdiam...
malahan, ia sempat mengangguk. Ia tampak kelelahan. Apa-apaan itu? Memangnya ia
itu Hiei, apa?
Miura memandang angkuh ke arah kami dan tertawa dengan senangnya. Sepertinya ia
ingin segera mengakhiri ini. Aku merasa seperti sedang ditatap oleh seekor ular...
memangnya perempuan ini anaconda, apa?
Hayama merasakan suasana berbahaya ini dan mencoba menyela.
"Su-sudah, sudah, semuanya sudah berusaha keras... enggak usah terlalu serius. Lagi
pula pertandingannya menyenangkan, jadi kita anggap seri saja, ya?"
"Ap—? Hei, Hayato, kau itu bicara apa? Ini pertandingan, lo. Kita harus serius dan
melakukannya sampai selesai."
Dengan kata lain, mereka akan memenangkan pertandingan dan secara sah mengambil
alih lapangan ini dari Totsuka. Ditambah, ucapan, Melakukannya sampai selesai tadi...
mengerikan sekali. Kira-kira apa yang mau ia perbuat kepadaku... aku sama sekali tak
suka ini... jangan-jangan itu bakal menyakitkan? Aku tak suka saat semuanya jadi
terasa menyakitkan...
Seketika aku berdiri menunggu, kudengar ada seseorang yang berdecak.
"Bisakah kalian tenang dulu?"
Ujar Yukinoshita terdengar tidak senang. Ia lalu lanjut berbicara sebelum Miura sempat
menanggapinya.
"Anak ini yang akan mengakhiri pertandingannya. Jadi kalahlah dengan terhormat."
Semua yang di sini meragukan apa yang baru didengar mereka tadi. Tentu saja
termasuk diriku... malahan, akulah yang paling terkejut di sini.
Mendadak semua mata tertuju padaku. Hingga tadi, keberadaanku tidaklah diakui,
tidak pula diinginkan. Namun mendadak aku merasa keberadaanku kini begitu menguat.
Aku saling bertatapan dengan Zaimokuza. Untuk apa ia mengacungkan jempol segala?
Aku saling bertatapan dengan Totsuka. Untuk apa ia menatapku dengan penuh harap
begitu?
Aku saling bertatapan dengan Yuigahama. Kuharap ia berhenti menyorakiku, sial...
malu sekali rasanya.
Aku saling bertatapan dengan Yukinoshi— ah, ia sudah berpaling. Ia malah melemparkan
bola padaku.
"Kau tahu sendiri, bukan...? Kadang aku memang melontarkan hinaan maupun cacian,
tapi aku tak pernah menggembar-gemborkan kebohongan."
Angin pun terhenti, mungkin karena itu suaranya begitu jelas terlantang.
Ya, aku tahu itu... yang berbohong di sini hanyalah aku dan mereka saja.
Keheningan yang tak wajar menyelimuti lapangan. Satu-satunya yang bisa terdengar
hanyalah suara bola yang memantul di tanah.
Di tengah suasana tegang yang aneh itu, aku memaksa kesadaran yang ada jauh dalam
diriku.
Aku bisa... aku bisa... aku meyakinkan diriku — tidak, aku sudah yakin akan diriku.
Lagi pula, tak ada alasan bagiku untuk kalah di sini.
Aku adalah orang yang sudah bertahan seorang diri dari sia-sia, menyedihkan dan
menyakitkannya kehidupan sekolah, yang sudah menjalani pahit dan menderitanya
masa remaja ini seorang diri. Jadi tak ada alasan bagiku kalah dari mereka yang
menggantungkan diri pada orang banyak di setiap langkahnya.
Istirahat makan siang akan segera berakhir.
Biasanya di waktu seperti ini aku sudah menyantap habis makan siangku di dekat ruang
UKS di seberang lapangan.
Ingatan tentang pembicaraanku dengan Yuigahama di tempat itu, obrolan pertamaku
dengan Totsuka, semuanya terlintas di benakku.
Kubuka telingaku lebar-lebar.
Tak bisa kudengar suara mengejek Miura; tak bisa kudengar suara sorakan para
penonton...
Tapi aku mendengar suara itu... suara yang aku, dan mungkin hanya aku yang bisa
mendengarnya sepanjang tahun ini.
Di saat itu, kulancarkan sebuah servis.
Itu adalah servis ringan, mudah dan tak bertenaga yang melambung tinggi ke angkasa.
Kulihat Miura bergegas menuju ke arah bola. Kulihat Hayama dengan sigap
mengikutinya. Kulihat para penonton yang tampak merasa kecewa. Sekilas kulirik
Totsuka yang pandangannya sudah tertunduk ke tanah. Kuabaikan Zaimokuza yang
sedang mengepalkan tangannya. Aku saling bertatapan dengan Yuigahama yang mulai
berdoa. Lalu pandanganku pun tertuju pada senyum kemenangan yang disunggingkan
Yukinoshita.
Pukulan bolaku melayang ke arah yang tak tentu.
"Hyaaahh!!"
Miura menjerit layaknya seekor ular buas dan akhirnya sampai di posisi bola akan
mendarat.
Tepat pada saat itu, angin pun berhembus.
Miura mungkin tidak tahu...
...soal istimewanya angin laut yang berhembus di penghujung istirahat makan siang,
yang membuat unik SMA Soubu dan lingkungan sekitarnya.
Bolanya goyah dan tersapu naik ke atas oleh angin. Membuatnya menjauh dari Miura
dan memantul di tepi lapangan, tetapi hayama sudah berlari mengejar bolanya.
Hayama mungkin tidak tahu...
...kalau angin ini tak hanya berhembus satu kali saja.
Cuma aku satu-satunya yang tahu soal ini. Aku, yang sepanjang tahun duduk di sana
seorang diri, yang tak berbicara dengan siapa pun, yang hanya menghabiskan waktu
tanpa ada yang tahu... dan hanya angin itu satu-satunya yang tahu tentang masa-masa
tenang yang kuhabiskan seorang diri.
Dan itulah bola melengkung ajaib yang hanya aku, dan memang cuma aku, yang
sanggup melakukannya.
Hembusan angin yang kedua menyapu naik bolanya, meskipun bola itu telah memantul.
Setelah itu, bolanya jatuh ke tanah di pojok paling ujung lapangan kemudian
menggelinding.
Mulut semua orang pun terbungkam, telinga mereka pun terbuka lebar, dan mata
mereka pun terbelalak.
"Ah, kini aku ingat pernah mendengarnya... sebuah keahlian yang membuat
penggunanya bisa mengendalikan angin sesukanya, Pewaris Angin, Eulen Sypheed!"
Cuma Zaimokuza satu-satunya anak yang tak mendapat arahan dan malah berteriak
keras.
Kuharap ia berhenti menamai secara acak pukulanku barusan. Sial... suasananya malah
jadi rusak gara-gara dirinya.
"Eng-enggak mungkin..."
Miura tampak sangat syok. Gumamannya mulai memancing reaksi penonton; mulanya
mereka hanya berbisik-bisik, namun perlahan suara mereka berubah menjadi seruan,
"Eulen Sylpheed! Eulen Sylpheed!" Ya Tuhan, semoga itu tidak sampai jadi heboh...
"Kami gagal... yang tadi itu memang bola melengkung ajaib."
Hayama menghadapiku sambil tersenyum. Ia tersenyum layaknya kami sudah berteman
lama... sewaktu membalas senyumnya itu, kugenggam erat bola dan berdiri tanpa bisa
bergerak.
Aku benar-benar tak tahu harus seperti apa menanggapi situasi seperti ini.
Yang ada, aku malah memulai percakapan sia-sia.
"Hayama. Apa saat kecil kau pernah memainkan bisbol?"
"Iya. Aku sering memainkannya... kenapa?"
Hayama tampak kebingungan akan pertanyaan yang tiba-tiba kusodorkan padanya itu,
tapi ia tetap menjawabku tanpa ragu. Mungkin ia memang orang yang baik...
"Perlu berapa banyak orang supaya bisa memainkannya?"
"Eh...? Kalau enggak sampai delapan belas orang, kau enggak bisa bermain bisbol."
"Ya, sudah kuduga... tapi asal tahu saja, selama ini aku memainkannya seorang diri."
"Eh? Maksudmu?"
Tanya balik Hayama, tapi kupikir ia takkan mengerti andai kujelaskan.
Maksudku tadi bukanlah permainan bisbol tunggal.
Apa mereka mengerti deritanya mengayuh sepeda sendirian layaknya orang bodoh di
tengah teriknya matahari musim panas dan menusuknya hawa musim dingin? Yang
biasanya mereka alihkan dengan keluhan, Panas banget! Dingin banget! Gawat,
nih! Dan semua itu sudah kulalui seorang diri.
Memangnya mereka tahu... memangnya mereka mengerti betapa menakutkannya saat
tak bisa bertanya pada siapa-siapa mengenai bahan ujian yang akan datang, dan
akhirnya diam-diam belajar sendirian lalu menerima langsung akibatnya. Mereka bisa
sampai seperti ini karena mereka saling memeriksa jawaban masing-masing, saling
membandingkan nilai ujian mereka, saling membodoh-bodohi ataupun memuji satu
sama lain dan lari dari kenyataan, sementara aku menghadapi kenyataan itu seorang
diri.
Apa kira-kira pendapat mereka? Bukankah aku tampak seperti manusia paling tangguh?
Tersapu oleh emosi-emosi itu, aku bersiap melakukan servis.
Kutekuk satu kaki ke depan dan menarik kencang satu sisi tubuhku ke belakang
layaknya busur yang siap menembak. Lalu kulambungkan bola ke udara. Kugenggam
erat raketku dengan kedua tangan dan memosisikannya di belakang leherku.
Lagit yang biru, musim semi yang hendak berlalu, dan musim panas yang akan
menghampiri... aku sudah muak dan mengutuk semua itu.
"Masa Remaja, sialan!!!"
Dengan segenap kekuatan, seiring bola turun mendekatiku, kupukul bola ke udara
dengan ayunan ke atas.
Bolanya sampai menimbulkan bunyi *takk!* sewaktu tepat menghantam tepi rangka
raketku, yang kemudian melesat naik ke atas seakan langit yang mengisapnya.
Bola itu pun naik semakin tinggi. Pada titik tertentu, bolanya terlihat seperti bintik
yang lebih kecil dari sebutir beras.
"I-itu... sang roh kehancuran yang melambung tinggi menembus langit, Meteor Strike!"
Seru Zaimokuza sambil mencondongkan badannya ke depan. Lagi-lagi... kenapa ia harus
memberi nama untuk pukulanku?
"Meteor Strike..." Beberapa anak lain di antara para penonton pun mulai
membisikkannya. Ya ampun, kenapa mereka juga ikut-ikutan?!
Itu bukan perkara besar... itu hanya sekadar permainan pukul-tangkap.
Biar kujelaskan. Saat masih kecil, aku tidak punya banyak teman, maka dari itu
kukembangkan sebuah olahraga baru dari bisbol tunggal — aku melempar, memukul,
dan menangkap bolanya sendiri. Saat berusaha merancang skema agar permainan bisa
berlangsung lebih lama, aku sadar bahwa cara terbaik untuk memperlama irama
permainan adalah dengan skema pukul-tangkap itu sendiri.
Jika bolanya berhasil kutangkap, maka si pemukul dinyatakan out, dan jika bolanya
luput tapi bisa ditangkap setelah memantul, maka pukulan itu dianggap masuk. Jika
aku memukul bolanya terlalu jauh, maka itu kuhitung sebagai home run. Salah satu
kelemahan permainan ini adalah sekali aku memutuskan bermain di pihak mana (entah
sebagai pemukul atau penangkap), maka permainan akan cenderung berat sebelah.
Untuk memainkan bisbol ini, sangatlah penting untuk bersikap obyektif seolah sedang
bermain suten dengan diri sendiri. Yang seperti ini tak patut dicontoh; bermain dengan
teman-teman jauh lebih bijaksana.
Namun itulah simbol dari terasingnya diriku, dan itu pula yang menjadi senjata
terkuatku.
Itu adalah palu yang jatuh dari kehampaan dan menghancurkan mereka yang
mengagungkan masa remaja.
"A-apa itu?"
Miura mendongak ke atas sambil kebingungan. Hayama pun menatap tinggi ke angkasa,
namun ekspresinya mendadak berubah panik lalu berteriak.
"Yumiko! Mundur!"
Teriak Hayama pada Miura yang kini terpaku dengan wajah syok. Sudah kuduga,
Hayama sadar dengan yang sedang terjadi... sayangnya, ia sudah terlambat.
Bola tenis itu pun terus melaju ke atas, tapi kecepatannya berangsur berkurang akibat
pengaruh gravitasi, hingga dua daya itu mencapai titik keseimbangan lalu membuat laju
bola terhenti.
Ketika kemudian keseimbangan itu hancur, energi potensial bola berubah menjadi
energi kinetik. Bola itu pun mulai terjun bebas. Seketika menghantam tanah, energi
dari bola itu hendak meledak.
Setelah melayang begitu lama di angkasa, bola tersebut akhirnya memecut tanah
hingga menciptakan kepulan debu, lalu memantul kembali, melambung tinggi ke udara.
Bermaksud ingin memukul balik, Miura mengejar bola itu sambil menerobos kepulan
debu dengan langkah tak beraturan. Bolanya terbang tak menentu menuju pagar ram di
belakang lapangan.
Gawat... Miura akan menabrak pagar ram tersebut.
"Ugh!"
Hayama membuang raketnya dan berlari mengejar Miura.
Apa ia akan sempat?! Ataukah tidak sempat?!
Sesaat dua anak tersebut menghilang dari pandangan di antara kepulan debu.
Seketika suasana jadi sunyi senyap.
Kudengar suara seseorang menelan ludahnya... nyatanya, mungkin itu diriku sendiri.
Lalu kepulan debu tersebut perlahan menghilang, dan dua anak tadi kembali terlihat.
Punggung Hayama sudah menghantam pagar ram sambil memeluk Miura untuk
melindunginya. Wajah Miura tersipu sembari ia mencengkeram lembut baju Hayama.
Sesaat kemudian, suasana meledak dalam sorakan keras dan tepuk tangan yang
bergemuruh. Itu adalah apresiasi penuh seluruh penonton.
Hayama membelai kepala Miura untuk menenangkannya, dan wajah Miura pun semakin
memerah.
Sambil bersorak, para penonton pun mengelilingi Hayama dan Miura.
"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"
Dalam suasana gegap gempita itu, bel penanda berakhirnya istirahat makan siang pun
berbunyi. Rasanya benar-benar seperti menyaksikan adegan ciuman yang dilanjutkan
dengan kredit penutup dalam sebuah film.
Pada akhirnya semua orang sudah diliputi oleh rasa puas dan kelelahan. Mereka seperti
habis menonton sebuah film heroik yang menegangkan atau membaca sebuah komedi
romantis remaja yang menghibur.
Dan begitulah, para murid menyanjung dua anak itu dengan sorakan, "Hore! Hore!" Lalu
sosok mereka menghilang ke dalam gedung sekolah.
Tak lama setelah itu, hanya tinggal kami sendiri yang tersisa di lapangan. "Kurasa ini artinya kita memenangkan pertandingan tapi kalah dalam perang." Ujar Yukinoshita sedikit cuek, namun tanpa sadar aku tertawa. "Jangan Konyol... dari awal aku bukanlah tandingan mereka." Mereka yang mengagungkan masa remaja memang selalu dapat sorotan. "Yah, benar juga... bisa jadi seperti ini juga gara-gara ada Hikki. Diabaikan padahal kau
menang... sedih banget." "Hei, Yuigahama, hati-hati kalau bicara. Harusnya kau sadar, terkadang perasaan jujurmu itu bisa lebih menyakiti orang ketimbang kata-kata sinis." Aku memandang sinis ke arah Yuigahama, tapi ia sama sekali tampak tak menyesal. Yah, kurasa semua yang dikatakannya tadi memang benar, jadi tak ada alasan baginya untuk merasa menyesal. Sejak awal, Hayama dan Miura tak begitu peduli soal persaingan ataupun pertandingan macam tadi. Aku kagum mereka bisa menerima kekalahan dan menjadikannya kenangan berharga dari indahnya masa remaja. Apa-apaan itu? Sial... Masa Remaja, meledak saja sana! "Ah, sial... ada apa sebenarnya dengan Hayama itu... andai aku lahir dan dibesarkan dengan cara berbeda, paling-paling aku juga bakal seperti itu, sial..." "Jika begitu, bukankah kau justru jadi orang yang benar-benar berbeda...? Yah, memang benar kalau kau perlu menata ulang hidupmu." Ketus Yukinoshita sambil menatap dingin ke arahku, seakan ingin berkata, Mati saja sana! "...ta-tapi, eng... kurasa Hikki sudah bagus seperti ini, atau, eng... maksudnya, itu bukan hal yang buruk, eng..." Gumam Yuigahama, tapi aku sama sekali tak bisa mendengarnya. Kuharap ia bisa bicara dengan jelas. Ia mengingatkanku akan kejadian di toko baju saat pegawai tokonya mencoba bicara padaku. Biar begitu, tampaknya Yukinoshita mendengar apa yang dikatakan Yuigahama tadi; ia sedikit tersenyum sebelum menganggukkan kepala. "Ternyata ada beberapa orang yang sudah terselamatkan oleh tindakan menyimpangmu... sungguh disayangkan." Ujar Yukinoshita yang kemudian tiba-tiba mengalihkan pandangan. Saat kuikuti ke mana arah pandangannya itu, kulihat Totsuka berjalan pelan sembari berhati-hati akan luka di lututnya. Zaimokuza pun mengikutinya layaknya seorang penguntit. "Kerja bagus, Hachiman... rekanku memang hebat. Namun sayangnya, akan datang hari di mana kita harus menyelesaikan ini untuk selamanya..." Entah kenapa Zaimokuza mulai berbicara sendiri dengan mata berkaca-kaca. Kuabaikan dirinya dan bicara pada Totsuka. "Lututmu baik-baik saja?" "Iya..." Saat itu aku mendadak sadar kalau di sekelilingku hanya ada lelaki saja. Mungkin karena ada Zaimokuza di sini, tapi baik Yukinoshita maupun Yuigahama juga sudah menghilang entah ke mana. Hayama bisa mendapatkan perempuan-perempuan yang memanjakannya layaknya
James Bond, tapi aku justru dikelilingi oleh para lelaki. Jadi anak itu mendapat akhir seperti film James Bond, dan aku berakhir seperti film A-Team... sungguh tak adil. Kisah komedi romantis hanyalah mitos. "Hikigaya... eng... terima kasih." Totsuka berdiri di hadapanku dan tatapannya tertuju langsung ke arahku. Setelah mengatakan itu, ia lalu tampak tersipu dan mengalihkan pandangannya. Aku hampir ingin memeluk dan menciumnya, tapi aku segera tersadar kalau ia lelaki... Kisah komedi romantis ini sudah salah kaprah, begitu pula dengan jenis kelamin Totsuka. Lagi pula, Totsuka berterima kasih pada orang yang salah. "Aku tak berbuat apa-apa. Kalau mau berterima kasih, berterimakasihlah pada para perempuan itu..." Kucoba mencari sosok orang yang kubicarakan tadi sambil melihat ke sana kemari. Saat itu kulihat ada sepasang kucir dua berayun-ayun di sebelah ruang Klub Tenis. Rupanya mereka ke sana. Aku berjalan menuju ke arah ruang klub itu dengan niat ingin berterima kasih pada mereka. "Yukinoshi... ah..."
Ternyata ia sedang berganti pakaian.
Bagian depan kemejanya sudah terbuka, dan sekilas kulihat kutang berwarna hijau
limau miliknya. Ia memang masih mengenakan rok, namun sensasi ketidakseimbangan
itu justru kian menguatkan kesan tentang betapa ramping dan proporsional tubuhnya.
"Wa... wa, wa, wa—"
Eh, kenapa ia malah heboh begitu? Padahal aku sedang berkonsentransi merekam hal
ini dalam ingatanku. Oh, rupanya Yuigahama juga ada di sini.
Dan ternyata ia juga sedang berganti pakaian.
Tampaknya ia tipe orang yang biasa mengancing pakaian dari bawah ke atas. Jadi
bajunya masih terbuka lebar, dan kutang merah muda serta belahan dadanya itu jadi
terlihat. Salah satu tangannya memegang rok, dan ia tampak sedang menyodorkan rok
itu ke Yukinoshita... dengan kata lain, ia sedang tak mengenakan rok.
Bokong yang proporsional itu tampak menyembul dari setelan celana dalam merah
mudanya, dan pergelangan kakinya sudah ditutupi oleh kaus kaki berwarna biru tua.
"Dasar, mati saja sana!"
*Dang!* Dengan sekuat tenaga ia melempar raket ke wajahku.
...ah, benar juga, ini memang lebih seperti kisah komedi romantis.
Yah, dewa komedi romantis sudah bekerja dengan baik. *Hiks*.
Masa remaja.
Itu hanya sebuah frasa sederhana, meski begitu, frasa tersebut begitu gigih
menggerakkan hati manusia. Memberi rasa nostalgia pada kaum dewasa yang mapan,
memberi rasa rindu tanpa akhir pada para dara muda, dan memberi rasa iri dan benci
yang mendalam pada orang seperti saya.
Kehidupan SMA saya tidaklah bagai Taman Firdaus seperti hal yang saya jelaskan di
atas. Melainkan dunia monokrom yang kelabu nan suram. Pada hari pertama saya di
SMA, saat saya mengalami kecelakaan itu, kehidupan SMA saya menjadi benar-benar
suram. Setelah kejadian itu, kehidupan SMA saya hanya diisi dengan pulang pergi
antara rumah dan sekolah saja. Bahkan saat liburan pun saya hanya pergi ke
perpustakaan. Yang saya jalani tersebut jauh dari anggapan sebuah kehidupan SMA
yang diidamkan orang-orang. Dalam dunia saya, kisah komedi romantis itu sama sekali
tidak ada.
Biarpun begitu, tak sedikit pun saya merasa menyesal. Nyatanya, bisa dikatakan kalau
saya bangga akan diri sendiri.
Pergi ke perpustakaan dan membaca habis berbagai novel fantasi yang amat panjang...
menyalakan radio di malam hari dan terkesima dengan cara bercerita sang penyiar
radio... menemukan bagian yang menghangatkan hati di luasnya lautan elektronik yang
didominasi oleh tulisan... semua ini bisa benar-benar terjadi karena saya menjalani
hidup semacam itu.
Saya bersyukur, pula saya tergerak, akan setiap pengungkapan dan perjumpaan tak
terduga itu. Air mata itu tetap ada, namun itu bukanlah air mata duka.
Takkan pernah saya sangkal satu tahun waktu SMA yang sudah saya jalani itu.
Sebaliknya, akan saya terima itu dengan segenap hati. Dan keyakinan itu takkan
berubah, baik kini ataupun nanti.
Tapi saya ingin meluruskan hal ini. Meskipun seperti itu, saya takkan menyangkal cara
hidup yang dijalani oleh orang-orang lainnya. Saya takkan menyangkal cara hidup
orang-orang yang mengagungkan masa remaja mereka.
Bagi mereka yang berada di puncak masa remajanya, kegagalan pun bisa diubah
menjadi kenangan menakjubkan. Bahkan perselisihan, pertengkaran dan permasalahan
bisa menjadi momen lain dari masa remaja mereka.
Dunia jadi berubah ketika dipandang melalui kacamata orang-orang di masa
remajanya.
Kalau begitu, mungkin saja masa remaja saya bisa dihiasi oleh warna komedi romantis.
Mungkin itu tak sepenuhnya salah.
Dan mungkin saja suatu hari nanti, saya pun akan melihat cahaya terang dari tempat
saya kini berada, meski cahaya tersebut saya lihat melalui mata sayu yang persis ikan
mati ini. Saya bisa merasakannya, sesuatu yang berkembang dalam diri saya, sesuatu
yang setidaknya bisa membuat saya berharap bahwa hal itu kelak 'kan terjadi.
Tentu saja ada satu hal yang telah saya pelajari selama hari-hari saya bersama Klub
Layanan Sosial.
Jadi inilah kesimpulan yang saya dapatkan.
—
Sampai di kalimat tersebut, kuhentikan laju pena pada tanganku.
Aku lalu melakukan perenggangan tubuh. Sepulang sekolah, hanya akulah satu-satunya
yang tersisa di ruang kelas ini.
Bukan berarti aku sedang ditindas atau semacamnya... aku hanya sedang menulis ulang
esai yang ditugaskan Bu Hiratsuka tempo hari. Aku mencoba bersikap apa adanya.
Bukan karena aku sedang ditindas.
Penulisan ulang esaiku berjalan begitu lancar, namun aku terhenti pada bagian
kesimpulan. Itu sebabnya sampai memakan waktu sesore ini.
Mungkin sebaiknya kulanjutkan saja di ruang klub...
Sewaktu memikirkannya, segera saja kumasukkan buku tulis bergaris serta alat tulisku
ke dalam tas, lalu kutinggalkan ruang kelas yang kosong itu.
Tak seorang pun tampak pada lorong yang mengarah ke paviliun, meski masih bisa
kudengar seruan semangat dari klub olahraga yang berlatih di luar.
Mungkin Yukinoshita sedang asyik membaca bukunya di ruang klub... jika begitu, aku
bisa lanjut menulis di sana tanpa ada yang mengganggu.
Lagi pula, kami sama sekali tak melakukan kegiatan apa-apa di klub itu.
Benar-benar jarang. Memang ada beberapa orang aneh yang datang pada kami, tapi itu
juga jarang. Kebanyakan orang cenderung mendatangi orang yang mereka anggap
dekat, orang yang mereka percayai, atau menyimpan masalah mereka dan
menghadapinya sendiri.
Mungkin itulah jawaban yang tepat. Sesuatu yang umumnya orang-orang harus tuju.
Meski begitu, terkadang ada orang yang tak bisa melakukannya. Contohnya orang
sepertiku, atau Yukinoshita, atau Yuigahama, ataupun Zaimokuza.
Bagi sebagian besar orang, hal semacam persahabatan, cinta maupun impian adalah
sesuatu yang menakjubkan. Bahkan momen-momen ketika sedang dirundung masalah
atau saat tak tahu harus berbuat apa, bisa benar-benar berubah dan dianggap sebagai
hal positif.
Sudah tentu itu sesuatu yang kita sebut dengan masa remaja.
Akan tetapi, ada juga orang-orang sinis yang memandang golongan tersebut lalu
menyimpulkan bahwa mereka sudah teracuni oleh konsep masa remaja dan berbuat
semau mereka. Seperti yang dibilang adikku, Masa remaja? Apa itu? Program
pemerintah, ya? Jelas bukan, karena yang dimaksud adikku itu masa belajar.
Sepertinya ia sudah terlalu sering menonton Shouten.
Saat kubuka pintu ruang klub, kulihat Yukinoshita sedang membaca buku di tempat
biasanya.
Ia tengadahkan kepalanya saat terdengar suara decitan pintu.
"Oh... kupikir hari ini kau takkan datang."
Ia lalu meletakkan pembatas pada halaman bukunya. Dibandingkan hari pertama aku ke
sini, ketika ia benar-benar mengabaikanku dan tetap membaca buku, hubungan kami
sudah ada sedikit kemajuan.
"Begitulah... aku juga sempat merasa lebih baik tak usah ke sini dulu, tapi rupanya
masih ada yang mau kulakukan."
Kutarik kursi yang menyilang di seberang Yukinoshita, kemudian aku duduk. Itu adalah
posisi kami yang biasanya. Kuambil buku tulis bergaris dari tasku dan meletakkannya di
meja. Yukinoshita yang mengamatiku dari dekat tampak tak senang.
"...kaupikir ruang kelas ini digunakan untuk apa?"
"Kau sendiri? Yang kaulakukan cuma membaca buku saja..."
Yukinoshita memalingkan wajahnya dan terlihat sedikit malu. Tampaknya tak ada yang
meminta bantuan dari klub hari ini. Satu-satunya suara yang terdengar di ruang ini
hanyalah detak jarum jam. Saat memikirkannya, aku tersadar kalau ruang ini sudah
lama tak sesepi ini... mungkin karena sebelumya ada sebuah keberadaan yang heboh di
sini.
"Yuigahama ke mana?"
"Sepertinya ia pergi bersama Miura dan kawan-kawannya."
"Oh..."
Mengejutkan... atau mungkin itu hal yang wajar. Mereka memang berteman, dan
semenjak pertandingan tenis waktu itu, aku merasa kalau Miura mulai bersikap lebih
ramah. Mungkin karena akhirnya Yuigahama bisa mengutarakan dengan jelas maksud
pikirannya.
"Sekarang aku balik tanya. Hari ini kau tidak pergi bersama partnermu?"
"Totsuka sedang berlatih. Mungkin karena latihan khusus tempo hari, makanya
belakangan ini ia begitu bersemangat kalau soal latihan..."
Yang berarti bahwa aku tak lagi bisa sering-sering bersamanya. Kenyataan itu
membuatku sedih.
"Yang kumaksud bukan Totsuka."
"...lalu siapa?"
"Siapa, kaubilang... yah, orang yang selalu membuntuti bayang-bayangmu itu."
"Oi, berhenti bicara yang seram-seram... jangan bilang kalau kau bisa melihat hantu."
"...cih, menggelikan... yang namanya hantu itu tidak ada."
Yukinoshita lalu berdesah dan memandangku seolah berkata, Mungkin kau saja yang
kujadikan hantu... ah, sudah lama juga aku tak mengobrol seperti ini dengan
Yukinoshita.
"Maksudku anak itu. Za... Za... Zaitsu, ya? Pokoknya itu..."
"Ahh, Zaimokuza? Anak itu bukan partnerku."
Lagi pula aku tak tahu kalau ia bisa dianggap sebagai teman.
"Ia bilang, Saat ini aku sedang ada pergulatan sengit... maaf, tapi aku harus
memprioritaskan tenggat waktuku hari ini. Terus ia pulang duluan."
"Cara bicaranya sudah seperti novelis kawakan saja..."
Gumam Yukinoshita dengan ekspresi jijik yang terlihat jelas pada wajahnya.
Paling tidak ia bisa menunjukkan simpatinya padaku — akulah orang yang membaca
karyanya. Bahkan ia tak menulis ceritanya. Yang ia beri padaku hanya ilustrasi dan
konsep ceritanya saja. Hei, Hachiman! Aku punya konsep yang cukup bagus! Sang tokoh
utama wanita bisa membuat tubuhnya menjadi karet dan tokoh pembantu wanitanya
punya kemampuan meniadakan kekuatan karetnya! Ini pasti akan tenar! Anak itu
memang bodoh. Bagus dari mana? Jelas-jelas itu menjiplak.
Namun komunitas aji mumpung itu hanya akan bertahan sebentar saja, dan pada
akhirnya kami semua kembali ke tempat kami berada sebelumnya. Jadi bisa dibilang
kelompok tersebut adalah fenomena sekali seumur hidup.
Tapi kalau ditanya apa ruang kelas ini merupakan tempat aku dan Yukinoshita
bernaung, maka bisa kubilang kalau itu tidak terlalu benar.
Obrolan kami yang sekenanya itu menyasar ke mana-mana di tengah suasana (sedikit
canggung) yang biasanya.
"Ibu masuk, ya?"
Pintu mendadak bergeser.
"...cih."
Yukinoshita berdesah sambil meletakkan satu tangannya ke dahi. Ia terlihat pasrah.
Begitulah... saat kita sedang dalam ruang yang cukup tenang lalu pintu tiba-tiba
terbuka seperti itu, wajar saja kalau muncul niat ingin mengumpat...
"Bu Hiratsuka... tolong ketuk pintu dulu sebelum masuk."
"Hmm...? Bukankah itu kalimat khasnya Yukinoshita?"
Bu Hiratsuka tampak sedikit heran, namun beliau menarik kursi di sekitar lalu
mendudukinya.
"Ibu mau apa?"
Sewaktu Yukinohita menanyakannya, mata Bu Hiratsuka mulai berseri-seri layaknya
anak kecil.
"Ibu mau mengumumkan hasil paruh pertandingan!"
"Ahh, iya..."
Aku benar-benar lupa... malahan, aku tak ingat kalau pernah menyelesaikan
permasalahan apa pun, jadi wajar saja kalau aku lupa.
"Hasil pertandingan saat ini adalah dua kemenangan di masing-masing kubu, jadi ini
dianggap seri. Yang namanya persaingan frontal memang jiwanya
sebuahmanga pertarungan... padahal Ibu ingin melihat Yukinoshita bangkit setelah
merelakan kematian Hikigaya..."
"Saya mati? Kok ceritanya jadi begitu...? Eng... dua kemenangan di masing-masing
kubu? Saya tak ingat kalau ada permasalahan yang selesai. Lagi pula, cuma tiga orang
saja yang meminta bantuan pada kami."
Apa beliau tidak bisa berhitung?
"Menurut hitungan Ibu sudah ada empat orang. Kalian paham? Segala keputusan yang
diambil itu atas dasar pertimbangan Ibu seorang. Sebenarnya ketika kalian bermain
dengan aturan yang otoriter itu, rasanya jadi sedikit melegakan..."
Memangnya beliau itu Giant, apa?
"Bu Hiratsuka... bisa dijelaskan dari mana hitungan Ibu barusan? Sependapat dengan
protes anak yang di sana itu, kami memang belum menyelesaikan satu pun masalah
yang diserahkan pada kami."
"Hmm..."
Bu Hiratsuka terdiam dan sedikit termenung.
"Jadi begini... kalau kau menulis huruf kanji untuk kata masalah (悩), maka seperti
menggabungkan aksara kanji hati (心) di sisi kiri dengan aksara kanjijahat (凶) di sisi
kanan ditambah beberapa garis di atasnya."
"Mending Ibu balik ke pelajaran SMP saja, deh."
"Maksud Ibu, masalah kalian yang sebenarnya itu tersimpan di dalam hati kalian sendiri,
karena itu, saat orang-orang mendatangi kalian untuk meminta saran, bisa jadi itu
bukan permasalahan mereka yang sebenarnya."
"Lalu maksud dari penjelasan yang Ibu katakan sebelumnya itu apa?"
"Usaha Ibu untuk kelihatan pintar tadi tampaknya gagal."
Yukinoshita serta diriku menghabisi beliau tanpa ampun. Bu Hiratsuka jadi tampak
sedikit sedih.
"Ya sudah... padahal Ibu sudah capek-capek memikirkan jawaban yang pas..."
Yah, dengan kata lain, penentuan pihak yang menang maupun yang kalah dalam
pertandingan ini juga sama otoriternya. Bu Hiratsuka bolak-balik menatap diriku dan
Yukinoshita sambil terlihat sedikit merajuk.
"Huh... kalau soal menyerang orang lain, kalian berdua baru bisa akur... seperti kawan
lama saja."
"Itu mustahil... saya tak ingat pernah berteman dengan lelaki itu."
Ujar Yukinoshita sambil mengangkat bahunya. Aku yakin kalau ia bakal melirik ke
arahku, tapi ternyata itu sama sekali tak dilakukannya.
"Hikigaya, jangan berkecil hati... konon ada juga serangga yang rupanya senang
memakan rumput liar. Jadi itu cuma masalah selera."
Bu Hiratsuka berusaha menenangkanku. Siapa juga yang merasa kecil hati...? Dan
kenapa kebaikan beliau malah terasa menyakitkan begini...?
"Betul sekali..."
Aku terkejut, Yukinoshita juga sampai mengiyakan... tunggu, justru perempuan itu
yang lebih dulu membuatku tertekan.
Meski begitu, Yukinoshita hanya mengatakan kebenaran; ia takkan membohongi
perasaannya sendiri, jadi ia mungkin memang percaya dengan ucapan Bu Hiratsuka. Ia
lalu tersenyum padaku.
"Saya juga yakin kalau suatu saat akan ada serangga yang menyukai diri Hikigaya."
"Sial... paling tidak pilihlah hewan yang menggemaskan!"
Padahal aku sudah cukup rendah hati untuk tidak memintanya memilih manusia saja...
namun Yukinoshita yang angkuh itu justru dengan bangga mengepalkan tangannya.
Mungkin ia merasa senang dengan yang diucapkannya tadi, matanya saja sampai
berseri-seri; tampaknya ia begitu menikmatinya.
Di sisi lain, aku merasa sangat tidak senang. Maksudku, bukankah obrolan dengan para
perempuan harusnya lebih terasa manis? Bukankah yang seperti ini justru aneh?
Kupikir sebaiknya kutulis saja apa yang kurasakan saat ini. Karenanya kuposisikan
penaku. Yukinoshita lalu mengamati yang sedang kulakukan.
"Sebenarnya apa yang dari tadi mau kautulis itu?"
"Berisik. Bukan urusanmu."
Setelah itu, kutuliskan kalimat terakhir pada tugas esaiku.
—
Sudah kuduga, kisah komedi romatis remaja saya memang salah kaprah.