Systemic Lupus Erytematosus
Lydia Margaretha
10-2010-136
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: [email protected]
Pendahuluan
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut.
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu
sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ
tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang
tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian
terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi
oleh penderita SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat
tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosial
yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih spesifik mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan skenario Systemic Lupus Erytematosus. Hal-hal tersebut seperti, anamnesis,
epidemiologi, etiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, patofisiologi, diagnosis,
serta penatalaksanaan.
1
ANAMNESIS
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yuang profesional dan optimal.1
Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguang sistem organ tertentu.
Keluhan utama pasien datang ialah pasien mengatakan merasa lemah sejak 3 bulan
yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang pasien ialah pasien mengatakan sejak 2 bulan lalu sering
mengalami nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kaku pagi hari. Rambut pasien juga terasa
banyak rontok sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali
memerah bila sebentar saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai paying saat
aktivitas di luar ruangan. Berat badan tidak menurun dan badan terasa hangat hilang timbul.
Pemeriksaan Fisik
Status :
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Denyut nadi : 82x/menit
Frekuensi nafas : 18x/menit
Suhu : 37⁰C
2
Kepala dan leher :
Mata : konjungtiva anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Kel. Getah Bening : tidak tampak membesar
Organ lain :
Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Status lokasi :
Manus dextra : phalanx proksimal digiti II-IV; nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-)
Manus sinistra : phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-)
Pemeriksaan Laboratorium2
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan darah yang dilakukan ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, penetapan
nilai hematokrit, pemeriksaan laju endap darah, dan menghitung jumlah masing-masing sel
darah (leukosit, eritrosit,trombosit). Laju endap darah pada SLE biasanya meningkat. Ini
adalah uji non spesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit. Pemeriksaan urin juga dilakukan untuk mengetahui adanya protein,
leukosit, maupun eritrosit dalam urin penderita. Uji ini dapat membantu dalam menentukan
adanya komplikasi ginjal dan memantau perkembangan penyakit ini.
Pemeriksaan kimia darah
Pemeriksaan kimia darah yang dilakukan ialah seperti pemeriksaan SGOT, SPGT,
kolesterol, kreatinin, asam urat, dan ureum.
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
3
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Uji faktor LE
Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai
sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit
pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan
IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE mudah
dikenali, sel LE merupakan suatu neutrofil yang mengandung materi homogen, yaitu badan
LE. Inti sel ini terdorong ke salah satu sisi dan menipis. Sel LE dapat juga ditemukan pada
gangguan sistemik lainnya dari penyakit reumatik yang juga diperantarai oleh imunitas.
Antinuclear antibodies (ANA)
Normal: nol
ANA digunakan untuk mendiagnosis SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga
jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain,
tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La).
4
Frekuensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada SLE:
Anemia 60%
Leukopenia 45%
Trombocytopenia 30%
False test for syphilis 25%
Lupus anticoagulant 7%
Anti-cardiolipin antibody 25%
Direct coomb test positive 30%
Proteinuria 30%
Hematuria 30%
Hypocomplementemia 60%
ANA 95-100%
Anti-native DNA 50%
Anti-Sm 20%
Pemeriksaan Radiologi2
Foto Toraks
Menilai kualitas foto :
Kekuatan penyinaran : Periksa apakah ada foto dewasa korpus vertebra torakal I-IV tampak
jelas, sedangkan korpus vertebra torakal V ke bawah tidak tampak jelas. Pada foto anak-anak
seluruh korpus vertebra pada daerah dada tampak jelas.
Sentrasi foto : Periksa apakah prosesus spinosus korpus vertebra terletak di tengah.
Jarak antara ujung medial kedua klavikula dengan prosus spinosus harus sama.
Proyeksi dan posisi : Bagian objek yang lebih dekat dengan kaset film tampak lebih jelas
daripada gambaran tulang iga posterior, demikian pula sebaliknya. Foto proyeksi AP
biasanya dilakukan pada pasien dalam posisi berbaring.
Derajat inspirasi : Pada inspirasi yang cukup, hemidiafragma setinggi iga anterior
keenam/tujuh atau tulang iga posterior kesembilan.
5
Tabel 1. Diagnosis yang mungkin berdasarkan gambaran radiologis foto toraks
No. Gambaran RadiologisKemungkinan
Diagnosis
1
Gambaran bercak-bercak atau linier yang radiolusen. Gambaran khas mungkin terlihat Gambaran udara (lusen) berbentuk kipas, meluas sepanjang serat m. pektoralis di apeks paru.
Emfisema Subkutis
2
Garis pleura akan bergeser menjauhi dinding dada, berupa garis halus radioopak paralel dengan dinding toraks. Pada bagian lateral dari garis ini tampak gambaran vaskular paru menghilang.
Pneumotoraks
3Parenkim paru kolaps (radioopak homogen), diafragma datar atau inverted, sela iga melebar, dan struktur mediastinum bergeser ke kontralateral.
Tension Pneumotoraks
4Pada posisi tegak tampak garis mendatar karena adanya udara di atas cairan (air fluid level). Hidropneumotoraks
5Posisi tegak tampak sinus kostofrenikus tumpul. Posisi supine tampak gambaran ground glass di bagian dorsal paru.
Hematotoraks
6Bercak-bercak non segmental radioopak pada lokasi trauma dengan opasitas muncul dalam 6 jam pasca trauma dan berangsur menghilang setelah 2-10 hari.
Kontusio Paru
7
Radiolusen linier dan vertikal di mediastinum posterior, pada mediastinum terdapat garis radiolusen paralel di antara mediastinum dengan kontur jantung, dan dapat disertai dengan emfisema subkutis di dalam servikal.
Pneumomediastinum
8
Posisi tegak: sinus kostofrenikus tumpul. Posisi supine: kontur diafragma kabur, sinus kostofrenikus lateral tumpul dan hemitoraks paru-paru lebih opak dibanding paru-paru yang normal, dan gambaran air bronchogram hilang. Lateral dekubitus: dilakukan bila ada keraguan dan akan terlihat adanya cairan yang terkumpul di sepanjang dinding lateral dada.
Efusi Pleura
9
Pada fase dini tampak kranialisasi, perihiler kabur, peribronchial cuffing, dan kesuraman pada basal paru. Pada fase lanjut tampak garis Kerley A dan B, bat wing dan infiltrat alveolar.
Edema Paru
EPIDEMIOLOGI3
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di
dunia. Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai
populasi yang berbeda-beda bervarias antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering
6
ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat
juga tendensi familial. Factor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun
(masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.
Pada lupus erimatosus yang disebabkan oleh obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah,
yaitu 3:2.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar
1 kasus per 10.000 populasi pada tahun 2006. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah
1 :1000 pada tahun 1998. Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai
prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada
orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus
per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia
sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya
selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat
setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang,
penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang
meninggal dunia.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah
sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode
yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus
SLE, selama periode 5 tahun (1972-1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang
dirawat (insiden sebesar 15 per 10.000 perawatan), antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insiden
rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang
berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan kriteria
ARA yang telah diperbaiki.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di
Medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insiden sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.
7
ETIOLOGI3
Faktor genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigot (25%) dibandingkan dengan
kembar dizigot (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan
dengan control sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu,
menguatkan dugaan bahwa faktor genetic berperan dalam patogenesis SLE.
Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit. Pada sebagian kecil
pasien (< 5%), hanya gen tunggal yang bertanggung jawab. Sebagai contoh, pasien dengan
defisiensi homozigot dari komponen awal komplemen mempunyai resiko terkena SLE atau
penyakit yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi, pada sebagian besar pasien
memerlukan keterlibatan banyak gen. diperkiran paling sedikit ada empat susceptibility genes
yang terlibat perkembangan penyakit.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia
ialah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi
menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human
leucocyte antigen) kelas II. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE umumnya ditemukan
pada etnik yang berbeda, dengan resiko relative terjadinya penyakit berkisar 2 sampai 5. Gen
HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibody tertentu, seperti anti-Sm (small
nuclear ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein), dan
anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen C2 dan C4,
memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous C4A
null alleles tanpa memandang latar belakang etnik, mempunyai resiko tinggi berkembang
menjadi SLE. Selain itu, SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s, dan C2.
Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena
berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri
(self antigen) maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan diri
system imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.
Selain itu, banyak gen MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan SLE,
termasuk gen yang mengkode mannose binding protein (MBP), TNFα, reseptor sel T,
interleukin 6 (IL-6), CR1, immunoglobulin Gm dan Km allotypes, FcãRIIIA, dan heat shock
8
protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multiple sebagai resiko
berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.
Faktor hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama
kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.
Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,
dimana peningkatan hidroksilasi 16ã lebih kuat dari estrone mengakibatkan peningkatan yang
bermakna konsentrasi 16ã hidroksiestrone. Metabolit 16ã lebih kuat dan merupakan
feminizing estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma
yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dedihdroepiandosteron (DHEA), dan
dehidroepiandostestorteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosterone pada C 17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan.
Konsentrasi androgen berkorelasi negative dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron
plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi luteinizing hormone (LH) ditemukan pada
beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi, estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormone
androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab
terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesterone didapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.
Prolaktin (PRL) adalah hormone yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior
diketahui menstimulasi respon imun humoral dan seluler, yang diduga berperan dalam
pathogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel system imun juga mampu mensisntesis
PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin, dan
autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel
hemopoietik CD 34+, dan sel dendritik presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam pathogenesis SLE adalah leptin.
Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh
Garcia-Gonzale dkk mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan
dengan control sehat.
9
Faktor lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisiuntuk SLE,
tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa factor eksogen dan
lingkungan. Agen infeksi, seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi virus
dalam kemiripan molecular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun;
toksin atau obat-obatan memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas dari self antigen dan
agen fisik atau kimia, seperti sinar UV dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel
dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi
individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya
periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.
Radiasi UV dapat mencetuskan dan mengekserbasi ruang fotosensitifitas pada SLE.
Juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan
terbentuknya autoantibody. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosis manusia
yang menghasilkan bleps nuclear dan auto antigen sitoplasmik pada permukaan sel.
Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan post menopause dan untuk
kepentingan kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada timus pre pubertas non imun
mempengaruhi perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa estrogenic selama
kehidupan fetus dapat menimbulkan resiko immunologic yang potensial. Paparan dietil
besterol pre natal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih memerlukan
investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontrasepsi oral juga berhubungan dengan
sedikit peningkatan resiko berkembangnya SLE. Estrogen lingkungan dan gangguan endokrin
mungkin merupakan pencetus yang penting untuk autoimunitas pada individu yang peka.
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Makanan
seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi
respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE. Selain itu infeksi virus
dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE.
10
PATOFISIOLOGI3,4
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena
adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA
bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA
dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan
dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang
patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin,
molekul CD 40, CTLA-4.
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10
yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga
mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa
berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2
yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T.
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-
antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun.
Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (HSP90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan
HSP 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya
respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan
subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
11
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua
subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan
sekresi autoantibody. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama
kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi
tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan,
komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan
dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan.
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA
dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2,
C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya .
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi
apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh
makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta
kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran
sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan
CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit
melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
12
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin
antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin
proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE
juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2.
GAMBARAN KLINIS3,4
Gejala konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita SLE dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan, seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednisone.
Apabila kelelahan disebabkan karena penyakit SLE, maka diperlukan pemeriksaan penunjag
lainnya, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Adapula keluhan penurunan berat badan pada
sebagian penderita dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Penurunan berat badan ini terjadi akibat menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejal
gastrointestinal. Selain itu, demam sebagai salah satu gejala konstitusonal sulit dibedakan
dari sebab lain, seperti infeksi, karena suhu tubuh lebih dari 40⁰C tanpa adanya bukti infeksi
lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.
Manifestasi musculoskeletal
Keluhan musculoskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai
pada penderita SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi
(artalgia), atau merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan
ini seringkali dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan arthritis rheumatoid dimana
pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung
beberapa menit dan sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah kemungkinan adanya
koinsidensi penyakit autoimun kain seperti arthritis rheumatoid, polymyositis, scleroderma,
atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis SLE.
13
Manifestasi kulit
Lesi muco-cutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa reaksi
fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneus lupus eritematosus (SCLE), lupus
profundus/paniculitis, lesi vascular berupa eritemaperiunual, livedo reticularis, fenomena
raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula
berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi bibir. Manifestasi pada kulit yang berupa ruam eritematosa dapat timbul pada
wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari SLE memiliki ruam khas
berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul
alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat
tumbuh kembali tanpa masalah. Juga terdapat ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.
Fenomena raynaud’s timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa kasus sangat berat
sehingga dapat terjadi gangrene pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteria
dan vena.
Manifestasi paru
Berbagai manifestasi klinis paru-paru dapat terjadi, baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau
shrinking lung syndrome.
Pneumonitis dapat terjadi secara akut maupun kronik. Pada keadaan akut perlu
dibedakan dengan pneumonia bacterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan invasive
atau bilas bhronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan
dijumpai ronkhi basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respon yang baik dengan pemberian steroid. Hemoptisis merupakan keadaan
yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan
penanganan yang teapat, dimana tidak hanya penggunaan steroid, namun dengan tindakan
pengobatan lain, seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.
14
Manifestasi kardiologis
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri subternal, friction
rub, gambaran siluete sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG. Apabila adanya
aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali, bahkan takikardi yang tidak jelas
penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi
sebagai angina pectoris, infark miokard, atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin
banyak dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.
Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga
sering dijumpai pada SLE. Vegetasi pada katub jantung merupakan akumulasi dari komponen
imun, sel mononuclear, jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan
thrombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan
diastolik.
Manifestasi renal
Keterlibatan ginjal terjadi pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah
5 tahun menderita SLE. Rasio wanita:pria dengan kelainan ini ialah 10:1 dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala keterlibatan renal tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma
nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau semi +3 semi kwantitatif,
adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit, atau gabungan serta pyuria (>5/LPB)
tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya
keterlibatan ginjal pada penderita SLE. Akan tetapi, melalui biopsi ginjal akan diperoleh data
yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi
keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi enam klas.
Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk dibahas adalah kaitan gambaran
klinis, laboratorik, klasifikasi patologis. Kajian ini diperlukan sehubungan dengan
kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan utamanya adalah mempertahankan fungsi
15
ginjal. Namun demikian, adanya proteinuria, pyuria serta buruknya bersihan kreatinin dapat
diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada ginjal.
Manifestasi gastrointestinal
Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis,
inflamatory bowel disease (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam
keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan
pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispepsia yang dijumpai lebih
kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai
glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang
dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu
mendapat perhatian yang besar karena, walaupun jarang dapat mengakibatkan perforasi usus
halus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal
bawah yang hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan.
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita SLE. Keluhan ditandai adanya
nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang dijumpai pada SLE, disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali adan LDH. Kelainan ini berkaitan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan apabila seorang wanita muda dengan poliartritis
dan mendapatkan salisilat dan didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT. Transamninase
ini akan kembalu normal apabila SLE dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan.
Manifestasi neuropsikiatrik
Pembuktian keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakkan diagnosis. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan
serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA, atau
IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein, atau penurunan kadar glukosa.
16
Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis,
lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan,
pada susunan syaraf tepi akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myashtenia gravis,
atau mononeuritis multipex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat
organik maupun non organik.
Manifestasi hemik-limfatik
Limfadenopati bail menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada SLE.
Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm.
Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula adalah splenomegali yang biasanya
disertai pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan
adanya lupus antikoagulan. Anemia juga dapat dijumpai dalam suatu periode dalam
perkembangan penyakit SLE. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun
dan non imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia
karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk
anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia,
anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun, dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan
dengan proses autoimun, seperti anemia pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.
DIAGNOSIS KERJA4
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.
American College of Rheumatology (ACG), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.
Kriteria tersebut adalah :
(1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
(2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat
dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
(3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
(4) Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
17
(5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak,
atau efusi.
(6) Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya
efusi pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikardium
atau efusi perikardium.
(7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+.
b.Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
(8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
(9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leucopenia (kurang dari 4.000/mm3) atau
limfopenia (kurang dari 1.500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa
ada obat penginduksi gejala tersebut.
(10) Kelainan imunologik : sel LE, anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi
antifosfolipid atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi
atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi
sindroma lupus.
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ
sebagaimana tercantum di bawah ini:
1. Jenis kelamin wanita pada rentang usia reproduksi.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositosis.
18
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal. SLEi parenkim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
9. Retikuloendotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri:psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa,
neuropati kranial dan perifer.
DIAGNOSIS BANDING5,6
Tabel 2. Diagnosis banding SLE
Gejala Klinis
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologi
Reumatid Artritis
Gejala konstitusional: lelah, anoreksia, demam, berat badan turun. Poliartritis simetris, kaku di pagi hari, artritis erosif, deformitas, nodul reumatoid. Gejala ekstraartikuler: nodul subkutan, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleratis, neuropati perifer, anemia, osteoporosis generalisata, sindrom felty.
Faktor reumatoid positif, LED meningkat, leukosit meningkat sampai 15.000-20.000/mm3 Tes CRP positif.
Pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi sendi, dan penurunan densitas sendi.
19
Artritis pirai (Gout)
Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus sendi MTP I, hiperurisemia, pada saat bangun pagi terasa sakit hebat dan tidak dapat berjalan. Nyeri bengkak pada sendi, terasa hangat, merah, dengan gejala demam, menggigil, dan lelah.
Terdapat kristal urat yang karakteristik dalam cairan sendi atau tophus yang terbukti mengandung kristal urat.
Pembengkakan jaringan lunak dengan klasifikasi tophus yang khas, peradangan dan efusi sendi, punch out lession pada permukaan sendi tanpa ada gambaran osteoporotik.
Osteoartritis
Nyeri sendi, hambatan gerak sendi, kaku pagi hari, deformitas, krepitasi, nyeri dan kaku tulang belakang sehingga terjadi keterbatasan gerak (ROM), Nodus Heberden, pembesaran sendi interphalanx.
LED meningkat karena sinovitis, tetapi biasanya pemeriksaan darah tepi (HB, leukosit, LED) dalam batas normal. Tes ANA, Reumatid Factor, dan komplemen dalam batas normal.
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris, peningkatan densitas sendi (sklerosis) tulang sub kondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, perubahan struktur anatomi sendi.
PENATALAKSANAAN3,4,7
Aspek penting dari pencegahan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet
(UV). Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dimengerti
dengan sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet secara
normal akan bersifat antigenic dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar.
Pasien SLE harus dianjurkan memakai paying, topi, dan baju lengan panjang apabila ke luar
rumah. Tabir surya dengan faktor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar ultraviolet.
Sebagian besar sunscreen topical berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat, dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet
A dan B. Sunscreen ini harus segera dipakai setelah mandi atau bila berkeringat.
Glukokortikoid local, seperti krem, salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis
lupus. Pemilihan preparat topical harus hati-hati karena glukokortikoid topical, terutama yang
bersifat diflorinasi dapat menyebabkan artrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan
fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaan preparat local berkekuatan rendah dan
20
tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Sedangkan, untuk kulit badan dan lengan, dapat
digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat, dan
triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar
pedis, dapat digunakan, glukokortikoid berkekuatan tinggi, misalnya betametason
dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid topical berkekuatan tinggi harus dibatasi,
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan kekuatan yang lebih rendah.
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain. NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. NSAID
dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim
yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk
melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada
mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal. Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan,
dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun
hingga 50%.
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain
dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan
efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan
seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul.
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam,
artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis
rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan
21
dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan
sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian
aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk
mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna
sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi
metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan
dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 –
20 menit. Aspirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari
dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin.
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat
prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di
dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi
garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi
natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat
menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia. Oleh karena itu penggunaan NSAID
sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat
merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa
prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat
prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh
asam lambung dan menyebabkan ulserasi. Karena efek samping tersebut di atas maka
pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif.
Tabel 3. NSAID lain yang dapat dipakai untuk SLE
ObatDosis sehari (mg)
FrekuensiBio-
avilibitas (%)
Half life
hour
Ikatan Protein
(%)
Eks. renal (%)
Eks. Feses(%)
Diklofenak 100-200 BID-QID 50-60 2 > 99 65 -Etodolac 400-900 BID-QID > 80 7,3 90 60 33Fenoprofen 1200-
3200TID-QID 3 99 90 -
Flurbiproven 200-300 BID-TID 5,7 > 99 > 70 -Ibuprofen 1200-
3200TID-QID > 80 1,8-2 99 45-
79-
Indometasin 50-200 BID-QID 98 4.5 > 99 60 33
22
Ketoprofen 150-300 TID-QID 90 2,1 90 80 -Ketolorac 20-40 TID-QID 100 5-6 > 99 91 6Meklofenamat 200-400 QID 1,3 99 70 30Nabumeton 500-
2000BID-QID > 80 22,5 > 99 80 9
Naproxen 500-1100
BID 95 12-17 > 99 95 -
Oxaprosin 600-1800
QID 95 42-50 > 99 65 35
Piroksikam 20-100 QID 50 98,5 NS NSSulindac 200-400 BID 90 7,8 > 93 50 25Tolmetin 600-
2000QID 2-7 NS ~
100-
Celecoxib 200-400 BID-QID 11 97 27 57
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,
lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga
menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi
DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
penurunan pelepasan IL-1, IL-6, dan tumor necrosing factor α (TNF- α) oleh makrofag dan
IL-2 dan interferon (IFN-γ) oleh sel T. Antimalaria mempunyai efek sun blocking, anti
inflamasi, dan imunosupresan. Efek imunosupresan antimalaria berhubungan denga
ikatannya dengan membrane lisosomal sehingga mengganggu rantai a dan b HLA klas II.
Antimalaria juga mengikat melanin da berperan sebagai sunscreen.
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien
memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan
sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan
tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu.
Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat.
23
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan
pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg
klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati
dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan
makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan
di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan
mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang
tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses.
Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek
samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi.
Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik
atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.
Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim
fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk
mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan
tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat
terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag
jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon
antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α,
metaloproteinase, dan aktivator plasminogen. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE
24
adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter
laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE
umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk
mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk
intravena (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian
prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan
yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan
penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada
4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar komplemen dan antibodi
DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti
vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan
respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya
lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan
terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala
yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit
2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah
asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day
dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah
ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan
penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam,
atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan
penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar
selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering
dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala.
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah
25
selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian
pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi
kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh
karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen
kalsium dan vitamin D.
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,
diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan
kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B
dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (IgG) sehingga
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Yang perlu diperhatikan adalah
dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh,
dan durasi remisi penyakit. Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA,
serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus
nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada
penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari
penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral. Siklofosfamid
dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-function oxidase menjadi bahan yang aktif.
Obat ini mempunyai ikatan dengan protein plasma sebesar 13%, sedangkan metabolitnya
50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar 6,5 ± 4,3% dan 60%
dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 ± 4 jam. Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid
adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan
dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma.
26
Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan untuk purpura trombositopenia idiopatik,
sindroma Gullain-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain.
Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi
reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik,
dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-
komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8,
molekul HLA, dan sitokin. Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB. Intravena gamma globulin
mempunyai t1/2 21-29 hari. Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah,
mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll.
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada
saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada
usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.
Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan
respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan
pertumbuhan rambut. Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-
1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk
mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum
diketahui.
Tabel 4. Jenis dan dosis obat imunosupresan dan sitotoksik yang dapat dipakai SLE
Jenis obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Awal
PemantauanKlinis Laboratorium
Azatioprin
50-150 mg per hari, dosis 1-3, tergantung berat badan.
Mielosupresif, hepatotoksik, gangguan limfoproloferatif.
Darah tepi lengkap, kreatinin, AST/ALT.
Gejala mielosupresif.
Darah tepi lengkap tiap 1-2 minggu dan selanjutnya 1-3 bulan interval. AST tiap tahun dan pap smear secara teratur.
27
Siklofosfamid
Per oral: 50-150 mg per hari. IV: 500 mg/M2 dalam dextrose 250 ml, infus selama 1 jam.
Mielosupresif, gangguan limfoproliferatif, keganasan imunosupresi, sistisis hemoragik, infertilitas sekunder.
Darah tepi lengkap, hitung jenis leukosit, urin lengkap.
Gejala mielosupresif, hematuria, dan infeltirlitas.
Darah tepi lengkap dan urin lengkap tiap bulan, sitologi urin dan pap smear tiap tahun seumur hidup.
Metotreksat
7,5-20 mg/minggu, dosis tunggal atau terbagi 3. Dapat diberikan pula melalui injeksi.
Mielosupresif, fibrosis hepatik, sirosis, infiltrat pulmonal, dan fibrosis.
Darah tepi lengkap, foto toraks, serologi hepatitis B dan C pada pasien resiko tinggi, AST, fungsi hati, kreatinin.
Gejala mielosupresif, sesak nafas, mual dan muntah, ulkus mulut.
Darah tepi lengkap, terutama hitung trombosit tiap 4-8 minggu, AST/ALT dan albumin tiap 4-8 minggu, urin lengkap dan kreatinin.
Siklosporin A
2,5-5 mg/kgBB, atau sekitar 100-400 mg per hari dalam dosis, tergantung berat badan.
Pembengkakan, nyeri gusi, peningkatan tekanan darah, peningkatan pertumbuhan rambut, gangguan fungsi ginjal, nafsu makan menurun, tremor.
Darah tepi lengkap, kreatinin, urin lengkap, LFT.
Gejala hipersensitifitas terhadap castor oil (bila obat diberikan injeksi), tekanan darah, fungsi hati dan ginjal.
Kreatinin, LFT, darah tepi lengkap.
Mofetil mikofenolat
2000 mg/hari mg dalam 2 dosis.
Mual, diare, leukopenia.
Darah tepi lengkap, feses lengkap.
Gejala gastrointestinal, seperti mual dan muntah.
Darah tepi lengkap, terutama leukosit dan hitung jenis.
PROGNOSIS4
Prognosis untuk SLE bervariasi bergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang
terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,
28
penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana
gejala-gejala ini dapat diatasi.
KESIMPULAN
SLE disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan individu
melalui mekanisme yang berbeda. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain faktor genetik,
hormonal, lingkungan, ras dan induksi obat tertentu. Faktor genetik mempunyai peran yang
signifikan dalam perkembangan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan adanya gangguan
pada haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen serta gen-gen yang mengkode reseptor
sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Hormonal juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit
autoimun melalui hormon estrogen dengan mekanisme menekan imunitas yang diperantarai
oleh sel T dan menyebabkan proliferasi sel B limfosit. Faktor lingkungan yang menyebabkan
timbulnnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar dan
dapat menyebabkan apoptosis dari sel keratonosit sehingga menyebabkan perubahan sistem
imun di daerah tersebut. Adanya induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Ras pada etiologi SLE
berkaitan dengan kerentanan genetik dan induksi obat.
Semua mekanisme tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas dari sistem imun
berupa proliferasi autoimun yang menyebabkan tejadinya produksi autoantibodi. Produksi
tersebut juga dapat disebabkan karena terjadinya defek pada apoptosis sehingga tejadi
kematian sel secara besar-besaran. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan
antigen membentuk kompleks imun. Gangguan klirens kompleks imun yang dapat
disebabkan oleh defisiensi komplemen mengakibatkan kompleks imun semakin lama berada
di dalam tubuh dan terdeposisi sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Hal ini memicu lepasnya mediator-mediator inflamasi yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi yang bersifat kronik. Inflamasi inilah yang menimbulkan
penyakit SLE. Karena sistemik, maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang sangat luas
meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran cerna, hati dan limpa, kelenjar getah bening,
kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi yang diberikan juga sangat kompleks meliputi
29
NSAID, kortikosteroid, imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi
monoklonal, anti-DNA, intravena gamaglobulin, dll.
Daftar Pustaka
1. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2005.h.35-7.
2. Arif M, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwiek S. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3.
Jilid ke-2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedoteran Universitas
Indonesia.2000.h.549-60.
3. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jilid ke-3. Jakarta: Interna Publishing.2009.h.2521-4, 2542-75.
4. Sylvia AP, Lorraine MW. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.h.1382-404.
5. Arif M, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu IW, Wiiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi ke-3. Jilid ke-1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
UI.2001.h.535-43.
6. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.2006.h.80-3.
7. Sulistia GG. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2007.h.234-45, 559.
30