PENGARUH SUHU AIR PENCUCIANAMBING TERHADAP TINGKAT
KEJADIAN MASTITIS DAN JUMLAH SELSOMATIK PADA SAPI PERANAKAN
FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)
SKRIPSI
Oleh:
Baharudin Alam Syah YusufNIM. 135050101111208
PROGRAM STUDI PETERNAKANFAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG
2017
PENGARUH SUHU AIR PENCUCIANAMBING TERHADAP TINGKAT
KEJADIAN MASTITIS DAN JUMLAH SELSOMATIK PADA SAPI PERANAKAN
FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)
SKRIPSI
Oleh:
Baharudin Alam Syah YusufNIM. 135050101111208
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana Peternakan padaFakultas Peternakan Universitas Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKANFAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG
2017
PENGARUH SUHU AİR PENCUCIAN AMBING
TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS DAN
JUMLAH SEL SOMATİK PADA SAPI PERANAKAN
FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)
SKRIPSI
Oleh .
Baharudin Alam Syah Yusuf
Telah dinyatakan lulus dalam ujian SarjanaPada Hari/Tanggal: Senin/ 1 1 September 2017
Tanda tangan
Pembimbing Utama:
Dr. ir. Tri Eko Susilorini MP
NP. 19580711 198601 2 001
Pembimbing Pendamping:
Dr. İr. Puguh Surjowardojo. MP
NP. 19571216 198403 1 001
Dosen Penguji:Prof Dr. ir. Budi Hartono. MS
NP. 19600128 198701 1 001
ır.Nur Cholis MSi
NP. 19590626 198601 1 001
Artharini Irsyammawati. S.Pt. MP
NP. 19771016 200501 2 002
engetahui:Ğkdm İtas Peternakan
rıNŞŞj! rawi' a
s . Su i8701 1 ooı
Tanggal
14-11 -ZOR
13-11-2017
17/1
-II -2017
angpl..,.
i
RIWAYAT HIDUP
Baharudin Alam Syah Yusuf (Bahar) dilahirkan di
Sidoarjo pada tanggal 19 Juli 1995 sebagai putra kedua Bapak
Mochammad Yusuf Ebby dan Ibu Iin Asida. Tahun 2007
penulis lulus SD di SDN Jemundo 1 Kabupaten Sidoarjo,
2010 lulus SMP di SMPN 2 Sukodono dan 2013 lulus SMA di
SMA Wachid Hasyim 2 Taman Sidoarjo. Tahun 2013 penulis
juga sekaligus diterima sebagai mahasiswa di Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya melalui jalur SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Penulis aktif dalam organisasi UKM di tingkat Fakultas,
yaitu sebagai anggota, CBC (Cattle and Buffalo Club) BOS
Fapet UB. Pada tanggal 18 Juli hingga 17 Agustus 2016
penulis melakukan kegiatan PKL (Praktek Kerja Lapang) di
PT Eka Putra Jaya Bojonegoro, Jawa Timur dengan judul
Pengelolaan Usaha Feedlot Sapi Potong di PT. Eka Putra
Jaya, Desa Sukowati, Kecamatan Kapas, Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir.
Irdaf, M.Si. Pada tanggal 25 Desember 2016 hingga 20
Februari 2017 penulis melakukan penelitian untuk tugas akhir
di KPSP (Koperasi Peternakan Sapi Perah) Setia Kawan
Nongkojajar, Pasuruan. Penelitian yang dilakukan berjudul
“Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap Jumlah Sel
Somatik dan Tingkat Kejadian Mastitis Pada Sapi Peranakan
Friesian Holstein (PFH)”.
i
THE EFFECT OF UDDER WASHING WATER
TEMPERATURE ON THE LEVEL OF MASTITIS AND
SOMATIC CELLS IN FRIESIAN HOLSTEIN
CROSSBRED
Baharudin Alam Syah Yusuf1, Tri Eko Susilorini2 and Puguh
Surjowardojo2 1Student of Animal Production Department, Animal Husbandry
Faculty, Brawijaya University 2Lecturer of Animal Production Department, Animal Husbandry
Faculty, Brawijaya University
Email: [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research was to evaluated washing water temperature the udder on level of mastitis and somatic cells count of milk. The material used in this research was 15 cows which devided into five groups based on the lactation month. The sample was taking by using purposive sampling. The trial used three treatments and five gorups. The research’s variable were subclinic mastitis score and the number of somatic cells. The research was done in eight weeks. The data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA). The result of the research showed that there was no significant effect of udder washing water temperature on the level of mastitis. Temperature 37°C of udder water treatment was only drecrease around 4.39% of mastitis. Udder washing water temperature not a significant effect on the number somatic cells of milk. Temperature 37°C can be decreased 7.4% on the number somatic cells count of milk. The conclusion of this research was no significant effect of udder washing water temperature on the level of mastitis and number of somatic cells of milk. The mastitis score and cells somatic number caused by the environmental hygiene
ii
around the stable and outside infection while the process of milking.
Keywords: Udder washing water, mastitis, and somatic cell
iii
PENGARUH SUHU AIR PENCUCIAN AMBING
TERHADAP TINGKAT MASTITIS DAN JUMLAH SEL
SOMATIK PADA SAPI PERANAKAN FRIESIAN
HOLSTEIN (PFH)
Baharudin Alam Syah Yusuf1, Tri Eko Susilorini2 dan Puguh
Surjowardojo2
1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
E-mail: [email protected]
RINGKASAN
Manajemen pemerahan meliputi beberapa tahap, yaitu
persiapan pemerahan (massage ambing), pelaksanaan
pemerahan (metode milking) dan pengakhiran pemerahan
dengan melakukan teat dipping. Persiapan pemerahan meliputi
persiapan alat dan pencucian ambing. Pencucian ambing
dilakukan agar ambing dalam keadaan bersih serta
merangsang keluarnya susu. Pencucian ambing menggunakan
air bersuhu 37°C berguna untuk merangsang keluarnya susu
dari kelenjar-kelenjar susu dengan optimal, serta suhu 37°C
merupakan suhu normal tubuh sapi dan bertujuan untuk
menghindari pencemaran bakteri yang masuk ke dalam lubang
puting.
Penelitian ini dilaksanakan di Koperasi Peternakan
Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Nongkojajar, Pasuruan,
Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25
Desember – 20 Februari. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh suhu air pencucian ambing 22°C, 27°C
dan 37°C terhadap tingkat kejadian mastitis dan jumlah sel
iv
somatik pada sapi perah. Hasil dari penelitian ini diharapkan
mampu memberikan informasi tentang penggunaan suhu air
pencucian ambing dalam manajemen pemerahan serta
memberikan informasi tentang suhu yang ideal untuk
pencucian ambing, sehingga dapat menekan tingkat kejadian
mastitis.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
ternak sapi perah jenis PFH sebanyak 15 ekor yang dibagi
menjadi 5 kelompok berdasarkan bulan laktasi, yaitu awal (1
bulan), puncak (2 – 3 bulan), tengah (4 – 6 bulan), akhir (7 –
10 bulan) dan diatas 10 bulan. Metode yang digunakan yaitu
percobaan/eksperimen dan wawancara. Pemilihan sampel
ternak dilakukan secara purposive sampling, yaitu sapi perah
PFH yang dikelompokkan berdasarkan fase laktasinya.
Percobaan dilakukan menggunakan 3 perlakuan dan 5
kelompok. Perlakuan yang dilakukan yaitu suhu air pencucian
ambing 22○C, 27○C dan 37○C. Variabel dari penelitian ini
yaitu skor mastitis subklinis berdasarkan uji CMT dan jumlah
sel somatik susu yang diukur dengan uji SCC.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu air pencucian
ambing tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tingkat
mastitis dengan rataan masing-masing perlakuan yaitu
1,58±0,11; 1,45±0,15 dan 1,39±0,58. Suhu air pencucian
ambing 37°C hanya dapat menurunkan tingkat kejadian
mastitis dengan rata-rata penurunan sebesar 4,39 %. Suhu air
pencucian ambing juga tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap jumlah sel somatik susu dengan rataan masing-
masing perlakuan yaitu 1,88±0,03 CFU/ml; 1,70±0,23
CFU/ml dan 1,81±0,03 CFU/ml. Suhu air pencucian ambing
37° C hanya dapat menurunkan jumlah sel somatik susu
sebesar 7,4 %.
v
Kesimpulan dari hasil penelitian pengaruh suhu air
pencucian ambing tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap tingkat kejadian mastitis dan jumlah sel somatik susu
pada sapi PFH yaitu dengan suhu air pencucian ambing 37°C
hanya dapat menurunkan tingkat kejadian mastitis sebesar
4,39% serta hanya bisa menurunkan jumlah sel somatik
sebesar 7,4%. Skor mastitis tersebut tidak dipengaruhi oleh
perbedaan suhu air pencucian ambing, namun disebabkan oleh
kebersihan lingkungan disekitar area kandang serta jumlah sel
somatik susu tidak dipengaruhi oleh perbedaan suhu air
pencucian ambing, tetapi dipengaruhi akibat adanya infeksi
dari luar saat pemerahan berlangsung.Meskipun berdasarkan
hasil analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata, hendaknya peternak sebelum melakukan pemerahan
tetap menggunakan air suhu 37°C untuk melakukan pencucian
ambing, karena tetap bisa menurunkan tingkat kejadian
mastitis dan jumlah sel somatik.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap Tingkat
Kejadian Mastitis dan Jumlah Sel Somatik pada Sapi
Peranakan Friesian Holstein (PFH)”. Penulisan skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan kepada
semua pihak diantaranya :
1. Bapak M. Yusuf Ebby dan Alm Ibu Iin Asidah selaku
kedua orang tua atas doa dan dukungannya baik secara
moril maupun materiil.
2. Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP selaku Pembimbing
Utama yang dengan kesabaran dan kebijaksanaanya
telah membimbing dan mengarahkan, sehingga
penulisan skripsi ini terselesaikan.
3. Dr. Ir. Puguh Surjowardojo, MP selaku
Pembimbing Pendamping yang selalu memberi
masukan agar skripsi ini terselesaikan dengan baik dan
benar.
4. Prof. Dr.Sc.Agr.Ir. Suyadi, MS selaku Dekan Fakultas
Peternakan.
5. Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP selaku Ketua Program Studi
Peternakan yang telah banyak membina kelancaran
proses studi.
ii
6. Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., Ir.Nur Cholis, MS.,
dan Artharini Irsyammawati, S.Pt,MP selaku Penguji
atas masukan dan saran selama Ujian Sarjana hingga
selesainya skripsi ini.
7. Bapak H.M. Koesnan, SE selaku ketua KPSP Setia
Kawan yang telah memberikan izin untuk melakukan
penelitian di wilayah kerja KPSP Setia Kawan,
Pasuruan.
8. Bapak H. Sutrikno selaku pemilik peternakan sebagai
tempat penelitian untuk skripsi ini.
9. Rekan kuliah dan teman-teman griya jazom yang
merelakan waktu untuk membantu menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif dari semua pihak. Penulis juga
berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, dalam konteks untuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
Malang, 16 November 2017
Penulis
i
DAFTAR ISI
Isi Halaman
RIWAYAT HIDUP ........................................... i
KATA PENGANTAR ....................................... ii
ABSTRACT...................................................... iv
RINGKASAN ................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................. xi
DAFTAR GAMBAR......................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ................................... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................... 3
1.3 Tujuan .................................................... 4
1.4 Manfaat .................................................. 4
1.5 Kerangka Pikir ........................................ 4
1.6 Hipotesis ................................................. 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ....................... 7
2.1 Karakteristik Sapi Perah PFH .................. 7
2.2 Manajemen Pemerahan ........................... 8
2.3 Teknik Pemerahan .................................. 12
2.4 Suhu Air Pencucian Ambing..................... 14
2.5 Mastitis dan Uji CMT .............................. 15
2.6 Sel Somatik Susu..................................... 19
ii
BAB III. MATERI DAN METODE
PENELITIAN .................................... 23
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................... 23
3.2 Materi Penelitian ..................................... 23
3.3 Metode Penelitian .................................... 24
3.4 Tahapan Penelitian................................... 25
3.5 Variabel Penelitian................................... 27
3.6 Analisis Data .......................................... 27
3.7 Batasan Istilah ......................................... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............ 30
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............ 30
4.2 Proses Pemerahan dan Sanitasi Kandang... 31
4.3 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Tingkat Mastitis....................................... 33
4.4 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Jumlah Sel Somatik.................................. 36
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............. 40
5.1 Kesimpulan ............................................. 40
5.2 Saran ...................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ........................................ 41
LAMPIRAN ..................................................... 49
i
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah sel somatik berdasarkan skor CMT....... 20
2. Faktor-faktor penyebab peningkatan jumlah
sel somatik susu.............................................. 22
3. Rata-rata tingkat kejadian mastitis dari sapi sampel
penelitian yang diberi perlakuan
suhu air pencucian ambing............................... 34
4. Rata-rata jumlah sel somatik susu dari sapi
sampel penelitian yang diberi perlakuan
suhu air pencucian ambing............................... 37
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian ................................ 6
2. Sapi PFH ....................................................... 8
3. Proses Pemerahan .......................................... 32
4. Grafik rataan tingkat mastitis setiap minggu ...... 35
5. Grafik rataan jumlah sel somatik susu sebelum
dan setelah perlakuan ...................................... 38
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi perah dalam memproduksi susu dipengaruhi oleh
faktor internal yaitu genetik dan eksternal yaitu lingkungan,
keberhasilan usaha peternakan sapi perah di tentukan oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu breeding, feeding dan
manajemen pemeliharaan. Tujuan dari usaha peternakan sapi
perah adalah untuk memperoleh produksi susu sebanyak-
banyaknya dengan kualitas baik dan menjaga agar ambing
tetap sehat (Sudono, Rosdiana dan Setiawan, 2003). Produksi
susu yang banyak dan kualitas baik akan dapat diperoleh
apabila menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik.
Manajemen pemeliharaan induk laktasi sapi perah meliputi
manajemen perkandangan, sanitasi lingkungan, pemberian
pakan, pemerahan, perkawinan, penanganan penyakit serta
pencegahan penyakit. Manajemen pemerahan meliputi
beberapa tahap, yaitu persiapan pemerahan (massage ambing),
pelaksanaan pemerahan (metode milking) dan pengakhiran
pemerahan dengan melakukan teat dipping (Kentjonowaty,
Trisunuwati, Susilawaty dan Surjowardojo, 2014).
Persiapan pemerahan meliputi persiapan alat dan
pencucian ambing. Pencucian ambing dilakukan agar ambing
dalam keadaan bersih serta merangsang keluarnya susu,
sehingga pada saat melakukan pencucian ini peternak perlu
memperhatikan agar tidak banyak kehilangan produksi susu
dari sapi perah. Kentjonowaty dkk. (2014), pencucian ambing
erat hubungannya dengan perangsangan dan aktifitas hormon
oxytocin. Hormon oxytocin merupakan hormon yang bekerja
2
khusus untuk merangsang keluarnya susu dari alveoli. Kerja
hormon oxytocin berlangsung selama 6-8 menit, sehingga
pemerahan perlu dilakukan secara cepat dan optimal agar
produksi susu dapat diperoleh sebanyak-banyaknya.
Pemerahan susu yang tidak optimal menyebabkan penurunan
kualitas komponen susu karena terdapat residual milk,
terutama pada kadar lemak yang disebabkan oleh adanya sel
somatik dalam jumlah banyak sehingga kadar lemak turun. Sel
somatik dalam susu merupakan sekresi epitel dan leukosit
dalam susu.
Pencucian ambing menggunakan air bersuhu 37°C
berguna untuk merangsang keluarnya susu dari kelenjar-
kelenjar susu dengan optimal, serta suhu 37°C merupakan
suhu normal tubuh sapi dan pada suhu ini sapi akan merasa
nyaman, karena hormon oxytocin bekerja dengan efektif dan
menghambat keluarnya hormon adrenalin yang mengakibatkan
terhentinya hormon oxytocin. Perlakuan ini juga bertujuan
untuk menghindari pencemaran bakteri yang masuk ke dalam
lubang puting, sehingga tingkat kejadian mastitis pada sapi
perah akan menurun.
Mastitis adalah reaksi peradangan ambing yang
disebabkan oleh kuman, zat kimia, luka bakar atau luka
mekanis. Peradangan ini menyebabkan bertambahnya protein
di dalam darah dan sel-sel darah putih di dalam jaringan
mamae. Mastitis dapat timbul karena adanya reaksi dari
kelenjar susu terhadap suatu infeksi yang terjadi pada kelenjar
susu tersebut. Reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan
pada ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan
oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk kedalam
kelenjar susu agar dapat berfungsi normal. Utami, Radiati dan
Surjowardojo (2014), infeksi ini dapat menyebabkan bengkak
3
pada ambing, meningkatnya suhu tubuh, nafsu makan turun
disertai dengan perubahan komposisi susu maupun bentuk
ambing. Penyakit ini juga menyebabkan penurunan produksi
susu sebesar 10 sampai 20% dan berpengaruh pada kuantitas
dan kualitas produksi susu (Rady and Sayed, 2009).
Para peternak masih menggunakan air dingin saat
melakukan pencucian ambing sebelum melakukan pemerahan,
hal ini mengakibatkan ambing mudah tercemar oleh bakteri
yang masuk kedalam puting susu sehingga dapat
meningkatkan jumlah sel somatik pada susu serta
meningkatkan kejadian mastitis. Berdasarkan uraian di atas,
maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan perbedaan
suhu air pencucian ambing yaitu 22°C, 27°C dan 37°C
terhadap jumlah sel somatik susu dan tingkat kejadian mastitis.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini
adalah:
1.2.1 Apakah suhu air pencucian ambing 22°C, 27°C dan
37°C berpengaruh terhadap tingkat kejadian
mastitis pada sapi perah PFH?
1.2.2 Apakah suhu air pencucian ambing 22°C, 27°C dan
37°C berpengaruh terhadap terhadap jumlah sel
somatik pada susu sapi perah PFH?
4
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Mengetahui pengaruh suhu air pencucian ambing
22°C, 27°C dan 37°C terhadap tingkat kejadian
mastitis pada sapi perah PFH.
1.3.2 Mengetahui pengaruh suhu air pencucian ambing
22°C, 27°C dan 37°C terhadap jumlah sel somatik
pada susu sapi perah PFH.
1.4 Manfaat
Diharapkan dari hasil penelitian ini memiliki kegunaan
yaitu:
1.4.1 Mampu memberikan informasi kepada pembaca
tentang pengaruh perbedaan suhu pencucian
ambing terhadap tingkat mastitis.
1.4.2 Mampu memberikan informasi kepada pembaca
tentang pengaruh perbedaan suhu pencucian
ambing terhadap jumlah sel somatik pada susu.
1.5 Kerangka Pikir
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang
sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat
besar kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) merupakan salah
satu ternak penghasil susu terbanyak yang berasal dari
Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625. Bangsa
sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah jenis
bangsa sapi perah (PFH) yang merupakan hasil persilangan
(grading-up) antara sapi perah FH dengan sapi lokal.
5
Manajemen pemerahan merupakan salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi kebersihan ambing dan
kualitas susu. Manajemen pemerahan meliputi beberapa tahap,
yaitu persiapan pemerahan (massage ambing), pelaksanaan
pemerahan (metode milking) dan pengakhiran pemerahan
dengan melakukan teat dipping. Persiapan pemerahan meliputi
persiapan alat dan pencucian ambing. Pencucian ambing
dilakukan agar ambing dalam keadaan bersih serta
merangsang keluarnya susu karena aktivitas dari horomon
oxytocin, sehingga dalam pencuciannya perlu diperhatikan
agar peternak tidak banyak kehilangan produksi susu dan
dapat menurunkan tingkat kejadian mastitis.
Pencucian ambing menggunakan air bersuhu 37°C
berguna untuk menghindari pencemaran bakteri dan juga
merangsang keluarnya susu dari kelenjar-kelenjar susu dengan
optimal, ambing yang dicuci menggunakan suhu 37°C
diharapkan dapat menurunkan jumlah sel somatik pada susu
dan menurunkan tingkat kejadian mastitis. Mastitis adalah
reaksi peradangan ambing yang disebabkan oleh kuman, zat
kimia, luka bakar atau luka mekanis, penyakit ini dapat timbul
karena adanya reaksi dari kelenjar susu terhadap suatu infeksi
yang terjadi pada kelenjar susu tersebut. California Mastitis
Test (CMT) merupakan salah satu uji yang dapat digunakan
dalam mendeteksi adanya mastitis pada sapi perah untuk
mengetahui keabnormalan susu pada tingkat yang rendah (sub
klinis), mudah pelaksanaannya dan cepat dalam mendeteksi
adanya mastitis. Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
1.6 Hipotesis
Pencucian ambing dengan air suhu 37○C pada tahap
awal pemerahan dapat menurunkan tingkat kejadian mastitis
dan menurunkan jumlah sel somatik pada susu sapi perah
PFH.
Manajemen
Pemerahan
Pencucian
ambing
Tingkat
Kejadian
Mastitis
Menurun
Jumlah Sel
Somatik Susu
Menurun
Penurunan
Pencemaran
Bakteri pada
Puting
Persiapan sebelum
pemerahan penting
untuk dilakukan,
sebab ada
pengaruhnya
terhadap kualitas
susu yang
dihasilkan.
Sebelum sapi
diperah ambing
harus dicuci
terlebih dahulu
menggunakan air
panas (Makin,
2011).
Pencucian
ambing menggunakan air
bersuhu 37°C
berguna untuk
menghindari
pencemaran bakteri dan juga
merangsang
keluarnya susu
dari kelenjar-
kelenjar susu dengan optimal,
(Mahardika, Pratiwi, dan
Surjowardojo,
2016).
Suhu air
22○C, 27○C
dan 37○C
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Sapi Perah PFH
Hingga akhir tahun 2010, pemenuhan kebutuhan susu
Indonesia berasal dari produksi dalam negeri dan impor dari
negara-negara seperti Selandia Baru dan Australia. Kurangnya
pasokan susu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
disebabkan oleh terbatasnya populasi sapi perah yang ada di
Indonesia. Penyebab lain adalah sumber daya manusia
pengelola peternakan yang masih rendah sehingga
produktivitas ternak sapi perah belum optimal (Aunurohman
dan muatip, 2011).
Qisthon dan Husni (2003), kemampuan produksi susu
sapi perah FH dapat mencapai lebih 7000 kg/laktasi dengan
kadar lemak susu rata-rata 3,5%. Sudono dkk (2003), Produksi
susu sapi perah PFH yang ada di peternakan Indonesia hanya
10-12 liter susu/ekor/hari, sedangkan di beberapa negara
tetangga sudah mencapai 20 liter susu/ekor/hari produksi susu
sapi PFH sebelum tahun 1979 sekitar 1800 – 2000 kg/laktasi
dengan panjang laktasi rata-rata kurang dari 10 bulan.
Bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia
adalah jenis bangsa sapi perah PFH. Menurut Siregar (2001),
sapi PFH merupakan hasil persilangan (grading-up) antara
sapi perah FH dengan sapi lokal. Soetarno (2003), sejak
tersebarnya sapi FH dibeberapa daerah di Indonesia khususnya
pulau Jawa, telah terjadi perkawinan secara bebas antara sapi
FH dengan sapi lokal dan menghasilkan keturunan yang
disebut PFH.
2
Rustamadji (2004), ciri-ciri sapi PFH yaitu memiliki
warna bulu belang hitam dan putih, mempunyai ukuran tubuh
yang besar dan beratnya hampir sama dengan sapi FH,
mempunyai kadar lemak susu yang juga rendah, produksi susu
dapat mencapai 15-20 liter/hari/ masa laktasi, mempunyai sifat
tenang dan jinak sesuai dengan induknya, lebih tahan panas
jika dibandingkan dengan sapi FH, sehingga lebih cocok di
daerah tropis, dan mudah beradaptasi di lingkungan barunya.
Gambar 2. Sapi PFH
2.2 Manajemen Pemerahan
Pemerahan yang baik dilakukan dengan cara dan alat
yang bersih. Tahapan-tahapan pemerahan harus dilakukan
dengan benar agar sapi tetap sehat dan terhindar dari penyakit
yang dapat menurunkan produksinya. Tahapan-tahapan
pemerahan tersebut meliputi persiapan pemerahan dan teknik
pemerahan.
3
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor
iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah karena dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh
ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan
keseimbangan tingkah laku ternak. Produksi air susu dan
konsumsi makanan secara otomatis direduksi dalam usaha
mengurangi produksi panas tubuh. Penurunan nafsu makan
menyebabkan produksi air susu direduksi. Stres panas
merupakan faktor yang sangat berpengaruh tinggi terhadap
produksi susu terutama pada saat puncak produksi (Makin,
2011).
Kemampuan sapi perah dalam memproduksi susu
dipengaruhi oleh 30% genetik dan 70% lingkungan.
Manajemen pemeliharaan meliputi manajemen perkandangan
dan sanitasi lingkungan, manajemen pemberian pakan,
manajemen pemerahan, pengaturan perkawinan dan
penanganan penyakit serta pencegahannya. Manajemen
pemeliharaan induk laktasi sapi perah merupakan pelaksanaan
ternak setiap hari yang kegiatannya meliputi pemberian pakan
dan minum, sanitasi kandang, pelaksanaan perkawinan,
pemerahan, pembersihan dan kesehatan sapi serta sistem
perkandangan (Prihanto, 2009).
Suheri (2010), menjelaskan beberapa hal penting yang
harus dilakukan sebelum pemerahan, antara lain:
a. Membersihkan kandang dan peralatan
pemerahan.
b. Memandikan sapi, terutama pada bangian
ambing, bagian belakang disekitar lipatan paha
bagian dalam dengan menggunakan kain lap
basah. Kemudian ambing dilap lagi dengan air
hangat (37°C) untuk menghindari pencemaran
4
bakteri dan juga untuk merangsang agar air susu
dapat keluar dari kelenjar-kelenjar susu. Olesi
puting susu dengan vaseline agar puting susu
tidak luka atau lecet.
c. Bagi petugas pemerah diusahakan memakai
pakaian khusus yang bersih. Pada waktu
pemerahan posisi pemerah harus berada disebelah
kanan sapi sehingga tangan kiri berfungsi sebagai
penahan apabila ada tendangan kaki sapi,
sedangkan tangan kanan untuk menjaga ember
susu.
d. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan
sapi terjangkit mastitis atau radang ambing, maka
perlu dilakukan pengetesan pada waktu
pemerahan. Oleh karena itu disediakan wadah
atau cangkir (strip cup) yang ditutup dengan kain
hitam. Pemerahan pertama dan kedua air susu
ditampung dalam cangkir tersebut kemudian
amati susu tersebut apabila terdapat tanda-tanda
susu bercampur dengan darah atau nanah, maka
dipastikan sapi tersebut terjangkit mastitis,
pemerahah selanjutnya harus dihentikan.
e. Lakukan pemerahan dengan baik dan benar agar
puting susu sapi tidak terluka atau lecet.
Pemerahan usahakan dengan menggunakan ke
lima jari tangan dan jangan diperah secara dipijit
atau ditarik karena puting susu lama kelamaan
akan memenjang. Pemerahan hendaknya harus
habis, yang bertujuan untuk merangsang
kelenjar-kelenjar susu untuk memproduksi
kembali air susu seara aktif.
5
f. Selesai pemerahan, susu segera disaring dengan
kain nilon yang halus kemudian diukur atau
ditimbang. Setelah pemerahan selesai ambing
puting dibilas dengan air bersih dan hangat
kemudian puting susu dicelup dengan larutan
biocid.
Manajemen pemerahan menjadi faktor terakhir penentu
keluarnya air susu dari sapi perah yang sedang laktasi.
Pengeluaran susu dari kelenjar susu memerlukan rangsangan
system syaraf yang memacu pelepasan hormone oxytocin dan
akan menyebabkan sel myoepithel yang mengelilingi alveolus
berkontraksi dan memeras susu keluar dari alveoli menuju
saluran susu, oleh karena itu sebaiknya ambing dan puting sapi
dirangsang sebelum pemerahan agar terjadi milk let down.
Hormon oxytocin mulai berperan satu atau dua menit setelah
mulai refleks oleh adanya stimulus (Jeffrey dan Reneau, 2001;
Donald, Roaark, Beck dan Fryer, 2004).
Handayani dan Purwanti (2010), mikroba aerob seperti
Staphyloccus aureus ditemukan pada ember hasil perahan.
Mikroba tersebut dapat tumbuh di permukaan ember yang
kemungkinan disebabkan permukaan ember yang masih
menyisakan susu dan tidak dibersihkan dengan sabun
(desinfektan) setelah pemerahan atau dijemur di bawah sinar
matahari. Ambing dan puting dibersihkan menggunakan air
sebelum pemerahan. Setelah itu pemerah melakukan
pemerahan dengan bantuan vaselin atau minyak sebagai
pelicin untuk mempermudah proses pemerahan. Setelah
pemerahan selesai ambing dan puting dibersihkan lagi
menggunakan air untuk menghilangkan sisa pelicin pada
puting.
6
Sistem milking machine bisa meningkatkan somatic cell
count (SCC) susu (Svennersten, Sjaunja dan Pettersson, 2008),
dinyatakan juga bahwa menggunakan milking machine
berpengaruh positif pada produksi susu yang dihasilkan
dengan catatan dalam suasana yang nyaman (Speroni, Pirlo
dan Lolli, 2006). Lingkungan yang nyaman, seperti tempat
makan dan pencahayaan dari tempat pemerahan, dapat
meningkatkan sekresi hormon oxytocin (Bruckmaier dan
Wellnitz, 2008).
2.3 Teknik Pemerahan
Pelaksanaan pemerahan sapi perah yang baru pertama
kali diperah umumnya akan mengalami sedikit kesukaran.
Lakukan pemerahan pada sapi perah tersebut dengan penuh
kasih sayang, seperti membelai badan sapi menjelang
pemerahan.
Pemerahan dapat dilakukan dengan mesin pemerahan
maupun tangan (manual), semuanya tergantung pada besaran
usaha, bentuk puting, ketersediaan tenaga dan faktor lain yang
berhubungan dengan efisiensi usaha (Ramelan, 2001). FAO
(2011), pastikan teknik pemerahan yang baik secara konsisten
diterapkan. Teknik pemerahan yang salah dapat
mengakibatkan resiko mastitis yang lebih tinggi dan cidera
pada ternak. Teknik pemerahan menggunakan milking
machine (mesin pemerahan), sebagai berikut:
a. Persiapkan ternak sebelum diperah.
b. Siapkan cangkir untuk pembersihan putting
c. Hindari masuknya udara pada cangkir.
d. Hindari pemerahan yang berlebihan.
e. Jauhkan cangkir secara perlahan.
7
f. Menggunakan desinfektan untuk puting setelah
pemerahan meurut rekomendasi dan peraturan
nasional.
Sedangkan teknik pemerahan menggunakan tangan
(manual) adalah:
a. Menahan ternak untuk diperah menggunakan metode
yang tidak menimbulkan rasa sakit atau cidera.
b. Pastikan tangan pemerah bersih dan kering.
c. Persiapkan puting untuk diperah dan pastikan bersih
serta kering.
d. Gunakan pelumas atau pelicin puting yang sesuai
dengan rekomendasi nasional dan peraturan yang
ada.
e. Menangani puting dengan lembut, idealnya
menggunakan metode fist-grip, menghindari rasa
tidak nyaman, sakit atau cidera pada ternak.
f. Gunakan ember yang tidak korosif, mudah
dibersihkan dan didesinfektan, serta tidak
mengkontaminasi susu.
g. Hindari kontaminasi susu yang telah terkumpul dari
benda asing seperti debu, kotoran, tanah, urin,
feses dan lindungi dari lalat.
h. menggunakan desinfektan untuk puting setelah
pemerahan meurut rekomendasi dan peraturan
nasional.
Pelaksanaan pemerahan pada prinsipnya ada dua macam
metode milking yaitu hand milking (whole hand, knevelen,
strippen dan kombinasi antara whole hand dengan strippen)
dan milking machine, (tipe bucket, pipeline, parlour).
Bruckmair dan Wellnitz (2008), menjelaskan bahwa
pemerahan menggunakan hand milking lebih menginduksi
8
pelepasan hormon oxytocin dibandingkan dengan
menggunakan milking machine, disamping itu dinyatakan oleh
Kentjonowaty dan Retnaningsih (2000), kombinasi antara
milking machine dengan strippen adalah metode pemerahan
menggunakan metode milking machine sampai susu dalam
ambing hampir habis yaitu mesin bersuara mendesis,
kemudian pemerahan dilanjutkan dengan metode strippen
dengan menggunakan dua jari tangan untuk menuntaskan susu
dalam ambing, namun metode hand milking yang terbaik
adalah kombinasi antara whole hand dengan strippen.
Peternakan di Indonesia masih jarang yang
menggunakan milking machine kecuali pada perusahaan-
perusahaan dan mayoritas menggunakan tipe bucket.
Svennersten, Sjaunja dan Pettersson (2008), bahwa tekanan
pemerahan metode milking machine dilakukan secara
konsisten bisa menstimulasi puting selama pelaksanaan
pemerahan, sehingga pelepasan hormon oxcytocin bisa
optimum dan milk ejection bisa berjalan dengan baik.
Negrao dan Marnet (2006), bahwa pemerahan
menggunakan milking machine dapat menstimulasi
pengeluaran hormon oxytocin secara cukup untuk
menimbulkan milk ejection. Perlu diperhatikan apabila
pemerahan menggunakan sistem otomatis, sapi harus diatur
senyaman mungkin agar produksi susu yang dihasilkan dapat
optimal (Hermans, Ipema, Stefanowska dan Metz, 2003).
2.4 Suhu Air Pencucian Ambing
Pencucian ambing perlu dilakukan untuk menjaga
kebersihan disekitar ambing dan melakukan perangsangan
yang bertujuan mempercepat keluarnya hormone oxytocin,
9
sehingga terjadi milk let down. Menurut Pujiati dan Indrianto
(2009), sebelum pemerahan perlu dilakukan pencucian ambing
dengan menggunakan air hangat yang ditambahkan dengan
desinfektan, tujuannya adalah menjaga kebersihan ambing dan
mencegah masuknya mikroorganisme yang menempel pada
ambing ke dalam puting dan mencemari susu. Surdjowardojo,
Suyadi, Hakim dan Aulani’am (2008), pada umumnya
peternak mencuci ambing dengan air kran, hal ini kurang baik
karena dapat menyebabkan pencemaran yang menyebabkan
mastitis, sebaiknya ambing dicuci dengan air hangat kemudian
dikeringkan dengan handuk kering. Suheri (2010), sebaiknya
mencuci ambing dengan air hangan yaitu bersuhu 37○C untuk
menghindari pencemaran bakteri dan juga merangsang
keluarnya air susu dari kelenjar susu.
2.5 Mastitis dan Uji CMT
Mastitis adalah reaksi peradangan ambing yang
disebabkan oleh kuman, zat kimia, luka termis (bakar) atau
luka mekanis. Peradangan ini menyebabkan perubahan
kualitas fisik dan kimia susu yang dihasilkan. Perubahan fisik
meliputi perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. Warna
yang biasanya putih kekuningan berubah menjadi putih pucat
agak kebiruan. Rasa yang agak manis berubah menjadi agak
asin. Bau khas susu berubah menjadi agak asam. Konsistensi
menjadi lebih cair dibanding sebelumya dan akan
menggumpal bila diuji dengan menggunakan alkohol kadar
72%. Perubahan kimiawi meliputi penurunan jumlah kasein,
protein, laktosa, dan kalori (Subronto, 2003).
Aziz, Surjowardojo, dan Sarwiyono (2013), lantai kotor
yang terdapat banyak feses dan urin sebelum pemerahan
10
menunjukan kemungkinan adanya mastitis subklinis dengan
skor 1-2 yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas dan
jumlah produksi susu.
Mastitis merupakan penyakit radang ambing yang
disebabkan oleh mikroorganisme terutama dalam bentuk
bakteri, penyakit ini menimbulkan banyak kerugian pada
peternakan sapi perah. Kerugian tersebut antara lain adalah
adanya ongkos perawatan dan pengobatan, penurunan
produksi susu dan penurunan kualitas susu. Menurut Bray dan
Shearer (2003), bahwa penurunan produksi susu akibat
mastitis sebesar 15-20% dari total produksi susu.
Rady and Sayed (2009), agen utama penyebab mastitis
subklinis yang terisolasi dari sampel CMT positif adalah S.
aureus, S. agalactiae dan E. coli. Sharif, Umer dan
Muhammad (2009), dan Marogna et al. (2010) bahwa
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak
menyebabkan mastitis subklinis, bakteri ini dapat berpindah
antar kuartir selama proses pemerahan.
Mastitis subklinis tidak dapat dilihat karena tidak
menunjukkan tanda wujud yang nyata. Sedangkan mastitis
klinis merubah komposisi dan bentuk susu, mengurangi
produksi susu, dan menunjukkan tanda peradangan yang nyata
(sakit, bengkak dan kemerahan, panas). Tandanya terlihat
nyata dan dapat diamati dengan jelas. Hogeveen et al. (2011),
bahwa penyakit ini secara subklinis dapat diamati dengan
pemeriksaan bakteriologi dan dengan SCC yang diterima
sebagai cara terbaik untuk memprediksi infeksi pada ambing
sapi semenjak tahun 1960. Di lapang, penentuan SCC
dilakukan dengan menggunakan CMT yang lebih murah dan
cepat (FAO, 2014).
11
CMT merupakan salah satu uji yang dapat digunakan
dalam pengujian mastitis, karena metode ini digunakan dalam
mendeteksi adanya mastitis pada sapi perah untuk mengetahui
keabnormalan susu pada tingkat yang rendah (sub klinis),
mudah pelaksanaannya dan cepat dalam mendeteksi adanya
mastitis pada sapi perah tersebut (Surjowardojo dkk, 2008).
Andriani (2010), CMT ditentukan dengan cara
mereaksikan 2 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang
mengandung arylsulfonate di dalam paddel. Campuran
tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran horizontal
selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya
perubahan pada kekentalan susu, kemudian ditentukan
berdasarkan skor CMT yaitu (- ) tidak ada pengendapan pada
susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu, (++)
terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum terbentuk,
(+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++)
jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi
cembung, untuk memudahkan perhitungan statistik maka
lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk
lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++)
nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.
Hillerton dan Berry (2005), bahwa agen penyebab mastitis
subklinis ditemukan pada feses, alas tidur dan pakan. Kejadian
mastitis yang disebabkan oleh bakteri yang berasal dari
lingkungan dapat terjadi kapan saja dengan sumber infeksi di
sekitar sapi.
Hogeveen et al. (2011), mastitis disebabkan oleh bakteri
yang memasuki kelenjar mammae melalui puting. Pencegahan
mastitis dilakukan dengan didasarkan 2 hal yaitu:
meminimalkan adanya bakteri di ujung puting dan
meningkatkan ketahanan sapi terhadap bakteri tersebut. Salah
12
satu usaha pertama yang berhasil dalam manajemen mastitis
terdapat 5 poin, yaitu:
a. Perlakuan khusus pada sapi dalam masa kering.
b. Perlakuan optimal pada sapi mastitis subklinis.
c. Melakukan culling sapi yang terinfeksi kronis.
d. Mengoptimalkan pemerahan dengan mesin
pemerah.
e. Melakukan desinfeksi sebelum pemerahan dan
pembersihan setelah pemerahan.
Perlakuan ini dilakukan pada bakteri patogen pada
ambing yang paling sering ditemukan saat kasus mastitis yaitu
Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus yang
menyebar dari sapi satu ke lainnya melalui proses pemerahan.
Selain bakteri patogen pada ambing ada pula bakteri
patogen pada lingkungan yang menyebabkan mastitis yaitu
Escherichia coli dan Streptococcus uberis. Tindakan
pencegahan untuk bakteri ini terdiri atas 10 poin yaitu:
a. Menetapkan peraturan untuk kesehatan ambing.
b. Mempertahankan lingkungan yang bersih, kering, dan
nyaman.
c. Prosedur pemerahan yang sesuai.
d. Pemakaian alat pemerahan yang benar dan sesuai
standard.
e. Melakukan recording.
f. Manajemen yang tepat untuk menangani mastitis klinis
selama laktasi.
g. Penerapan masa kering yang tepat.
h. Menjaga Menjaga biosecurity terhadap bakteri patogen
dan melakukan culling pada sapi perah yang tekena
infeksi mastitis kronis.
i. Pengamatan kesehatan ambing secara regular.
13
j. Meninjau program kontrol mastitis secara berkala.
Seiring dengan meningkatnya produksi susu, meningkat
pula tingkat kejadian mastitis. Berdasarkan survei yang telah
dilakukan, diketahui bahwa mastitis subklinis lebih tinggi
tingkat penyebarannya dibandingkan dengan mastitis klinis di
berbagai negara. Berdasarkan berbagai studi diketahui bahwa
mastitis subklinis 15 sampai 40 kali lebih menyebar dibanding
mastitis klinis dan bertahan dalam durasi yang lama, sulit di
deteksi, dan juga mempengaruhi produksi susu secara kualitas
dan kuantitas. Ambing yang terinfeksi mastitis subklinis ini
mengandung banyak sekali mikroorganisme yang bisa
menular kepada ternak lain dalam suatu farm (NAAS, 2013).
2.6 Sel Somatik Susu
Sel somatik dalam susu merupakan kumpulan sel yang
terdiri atas kelompok leukosit (sel limfosit, neutrofil,
makrofag, eosinofil, basofil) dan reruntuhan sel epitel jaringan
ambing. Sel somatik didalam susu merupakan bentuk respon
imun tubuh ternak terhadap infeksi didalam jaringan interna
ambing. infeksi didalam jaringan ambing dapat disebabkan
oleh manifestasi mikroba patogen penyebab mastitis
(Robertson and Muller, 2005).
Sharma et al (2011), sel somatik adalah sel epitel yang
disekresi oleh kelenjar ambing yang terinfeksi atau cidera, sel
somatik terdiri dari 75% leukosit (neutrofil, makrofag,
limfosit, eritrosit) dan 25% sel epitel.
Ruegg dan Pantoja (2013), sel darah putih berfungsi
sebagai pertahanan untuk melawan infeksi dan membantu
dalam perbaikan jaringan. Selama mastitis berlangsung jumlah
sel somatik meningkat karena masuknya neotrofil ke dalam
14
kelenjar ambing untuk melawan infeksi, sehingga jumlah sel
somatik pada susu dapat dijadikan sebagai penentu kualitas
susu.
Sel somatik yang terdapat di dalam susu merupakan
salah satu indikasi adanya infeksi mastitis pada sapi perah
(Mahardika, Pratiwi, dan Surjowardojo, 2016). Semakin tinggi
jumlah sel somatik pada susu, maka akan semakin tinggi skor
mastitisnya (Adriani, 2010).
Tabel 1. Jumlah sel somatik berdasarkan skor CMT
Skor CMT Jumlah Sel
Somatik Deskripsi Skor
N (Negatif) 0 – 480.000 Tidak terjadi
pengentalan 1
T (Trace) 640.000
Sedikit pengentalan
dan menghilang
dalam 10 detik
2
1 660.000
Pengentalan
berbeda, belum
terbentuk gel
3
2 2.400.000
Mengental dan
membentuk gel di
dasar cangkir
4
3 >10.000.000 Terbentuk gel
diseluruh sampel 5
Sumber: (Ruegg, 2005).
Jumlah sel somatik dalam susu dapat dihitung secara
langsung menggunakan beberapa metode dan alat, seperti
metode Breed, alat Coulter Counter dan Fosomatic. Metode
15
langsung biasa digunakan untuk studi eksperimen dan
observasi, sedangkan metode tidak langsung biasa digunakan
untuk survei dan program pengendalian mastitis (Redetzky et
al., 2005). Rajcevic et al. (2003), bahwa jumlah sel somatik
dalam susu sangat berkorelasi dengan kondisi ambing. Sel
somatik dalam susu berfungsi sebagai pertahanan melawan
infeksi pada ambing. Jumlah sel somatik pada ambing
dipengaruhi akibat adanya infeksi dari luar saat pemerahan
berlangsung (Granado et al. 2014). Penyebab peningkatan
jumlah sel somatik yaitu inflamasi, non-inflamasi, dan faktor
lain yang dapat dilihat pada Tabel 2.
16
Tabel 2. Faktor-faktor penyebab peningkatan jumlah sel
somatik susu
Sumber: (Granado et al. 2014)
Inflamasi Infeksius Bakteri
Virus
Non-infeksius Agen fisik
Agen kimiawi
Non- inflamasi Intrinsik Fraction of milking
Waktu laktasi
Fekuensi laktasi
Q Fase laktasi
Angka laktasi
Proliferasi
Breed
Tingkat produksi
Panas
Ekstrinsik Cara pemerahan
Pakan
Stress
Musim
Sistem pemeliharaan
Fasilitas
Faktor lain Metode penghitungan
Penanganan dan penyimpanan sampel
1
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
a. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di
wilayah kerja Koperasi Peternakan Sapi Perah
Setia Kawan, Kecamatan Nongkojajar,
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Berada
pada ketinggian 400 – 2000 meter.
b. Pengamatan uji Somatic Cell Count (SCC)
dilakukan di laboratorium Kesmavet Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,
Surabaya.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, yaitu pada
tanggal 25 Desember 2016 hingga 20 Februari
2017.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Ternak sapi perah jenis PFH sebanyak 15
ekor.
b. Susu sapi.
c. Air pencucian ambing.
3.2.2 Alat dan bahan penelitian
a. Alat dan bahan yang digunakan untuk
menyiapkan air pencucian ambing yaitu: panci,
2
kompor, termos, termometer, ember, lap dan
air.
b. Alat dan bahan yang digunakan untuk uji
California Mastitis Test (CMT) yaitu: susu sapi
yang dijadikan sampel, paddle, dan reagen
CMT.
c. Alat dan bahan yang digunakan untuk uji
Somatic Cell Count (SCC) yaitu: susu sapi
yang dijadikan sampel, alkohol 96%,
methylene blue, minyak emersi, bunsen,
staining jar, mikro pipet, object glass, dan
mikroskop.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
percobaan, yaitu 3 perlakuan pencucian ambing dengan suhu
yang berbeda, perlakuan yang diberikan yaitu:
P0: suhu air pencucian ambing 22○C.
P1: suhu air pencucian ambing 27○C.
P2: suhu air pencucian ambing 37○C.
Pemilihan sampel ternak dilakukan secara purposive
sampling, yaitu sapi perah dalam masa laktasi yang
dikelompokkan menjadi 5 berdasarkan bulan laktasinya, yaitu
awal (1 bulan), puncak (2 – 3 bulan), tengah (4 – 6 bulan),
akhir (7 – 10 bulan) dan diatas 10 bulan. Percobaan dilakukan
menggunakan 3 perlakuan dan 5 kelompok.
3
3.4 Tahapan Penelitian
3.4.1 Persiapan Penelitian:
a. Survei lokasi penelitian.
b. Survei laboratorium.
c. Menyusun proposal penelitian.
d. Mengurus perijinan penelitian.
e. Mempersiapkan alat dan bahan.
3.4.2 Pelaksanaan penelitian:
a. Prosedur Pencucian Ambing:
• Direbus air panas hingga mendidih.
• Disiapkan termos berisi air panas.
• Dimasukkan air panas ke dalam ember
kemudian ditambah air bersuhu biasa untuk
menentukan suhu air yang diinginkan.
• Dimasukkan termometer ke dalam ember
untuk melihat suhu air.
• Ditutup ember berisikan air tersebut
menggunakan lap agar suhu air dapat
bertahan.
• Dicelupkan lap ke dalam ember hingga
basah untuk membersihkan ambing.
• Dibersihkan ambing sambil dipijat-pijat.
• Diperah.
b. Prosedur Uji CMT:
• Disiapkan paddle CMT dan cairan CMT.
• Diteteskan susu curahan pertama dari setiap
puting sapi pada paddle sebanyak 1 ml.
• Diteteskan reagen CMT sebanyak 1 ml pada
paddle berisi susu (volume susu dan cairan
CMT 1:1).
4
• Dihomogenkan susu dan cairan CMT pada
paddle dengan teknik memutar.
• Diamati penggumpalan serta pengentalan
susu pada paddle.
• Dinilai penggumpalan susu berdasarkan skor
CMT.
c. Prosedur Uji SCC
Prosedur uji SCC menurut Mahardika, Pratiwi,
dan Puguh (2016) adalah sebagai berikut:
• Diambil sampel susu sebanyak 0,01 ml.
• Disebarluaskan sampel susu diatas object
glass dengan bidang seluas 1 cm² lalu
ditunggu kering.
• Difiksasi preparat susu menggunakan bunsen
(api).
• Dicelupkan preparat susu ke dalam larutan
alkohol 96% untuk menghilangkan lemak.
• Diteteskan methylen blue pada preparat susu.
• Dimasukkan kembali preparat susu ke dalam
larutan alkohol 96% untuk menghilang sisa
methylen blue yang tidak melekat lalu
preparat susu ditunggu kering.
• Dihitung jumlah sel somatik susu per
mililiter (ml) menggunakan mikroskop for
research dengan perbesaran 1000x dan alat
counter.
• Dihitung jumlah sel somatik sebanyak 10
lapang pandang lalu dijumlah dan dirata-rata.
5
3.4.3 Koleksi Data
a. Teknik pengambilan data mastitis susu
dilakukan sebelum perlakuan dan setiap 1
minggu sekali untuk mengetahui perkembangan
penyakit mastitis subklinis pada susu dengan
menggunakan uji CMT.
b. Teknik pengambilan data sel somatik susu
dilakukan 2 kali yaitu sebelum diberikan
perlakuan dan setelah diberikan perlakuan untuk
melihat perbedaan jumlah sel somatik pada susu
sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi
perlakuan. Jumlah sel somatik susu diketahui
dengan uji SCC.
3.5 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Tingkat kejadian mastitis subklinis dengan uji CMT.
b. Jumlah sel somatik susu dengan uji SCC.
3.6 Analisis Data
Menurut Harlyan (2012), data dianalisis dengan Analisis
of Variance (ANOVA) berdasarkan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) menggunakan bantuan Microsoft Excel
2007. Apabila diperoleh hasil yang berbeda, maka dilakukan
uji Duncan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan.
Model matematika RAK sebagai berikut:
Yij = µ + Ti + βj + ij
6
Keterangan:
Yij = pengamatan pada perlakuan ke i kelompok ke j
µ = nilai rataan
Ti = pengaruh perlakuan ke i
βj = pengaruh kelompok ke j
ijk = galat percobaan untuk level ke i, kelompok ke j
i = 1,2, dan 3 perlakuan
j = 1,2, 3,.....,5 kelompok
3.7 Batasan Istilah
Periode Laktasi : Masa yang menunjukan
berapa kali sapi tersebut sudah
pernah melahirkan.
Bulan Laktasi : Masa yang menunjukan
sudah berapa bulan sapi
tersebut dalam masa
pemerahan.
Mastitis : Penyakit pada kelenjar susu
sapi perah yang disebabkan
mikroorganisme.
CMT : California Mastitis Test yaitu
uji yang dilakukan untuk
mengetahui indikasi mastitis
subklinis secara kualitatif pada
ternak perah.
SCC : Somatic Cell Count yaitu uji
yang dilakukan untuk
mengetahui jumlah sel
somatik pada susu secara
kuantitatif.
7
Ambing : Tempat dimana produksi
susu terjadi. Ambing sapi
perah terdiri dari empat
kelenjar mammae yang
terpisah atau disebut kuartir.
Tiap kuartir memiliki puting
yang menyediakan tempat
keluarnya susu (outlet).
Paddle : Tempat penampung susu
untuk melakukan uji CMT.
Air Pencucian Ambing : Air tawar biasa yang
digunakan untuk mencuci
ambing.
1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Koperasi Peternak Sapi Perah Setia Kawan (KPSP Setia
Kawan) berlokasi di Jl. Raya Nongkojajar 38 Pasuruan dengan
letak kantor yang berkedudukan di Desa Wonosari Kecamatan
Tutur. Kecamatan Nongkojajar terletak di dataran tinggi
sebelah barat Pegunungan Tengger dengan ketinggian antara
400-2000 meter di atas permukaan laut. Disebabkan letak
geografis di pegunungan, maka daerah ini beriklim sejuk
dengan suhu udara rata-rata 16–25 °C dan curah hujan 3.650
milimeter per tahun.
Kondisi lingkungan seperti itu, 95% penduduk di
Nongkojajar bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.
Hasil pertanian dari mayoritas penduduk terdiri dari sayur
mayur (kubis, wortel, kacang-kacangan, bawang putih), buah
buahan (apel, jeruk, durian, mangga) bunga krisan, paprika
dan susu. Air susu sapi segar sebagai komoditi yang dihasilkan
dari usaha sapi perah. Perkembangan koperasi di Nongkojajar
tidak bisa dipisahkan dengan peternakan sapi perah yang telah
ada sejak tahun 1911. Batasan wilayah KPSP Setia Kawan
antara lain:
Sebelah Utara : Kecamatan Puspo
Sebelah Selatan : Kecamatan Jabung (Malang)
Sebelah Timur : Kecamatan Purwodadi
Sebelah Barat : Kecamatan Tosari
Produksi susu segar di KPSP Setia Kawan yaitu
sebanyak ± 82.000 liter/hari (KPSP, 2011). Penelitian
dilakukan di peternakan milik Bapak H. Sutrikno yang
2
merupakan salah satu anggota peternak sekaligus sebagai
pengurus dari KPSP Setia Kawan. Ternak yang dimiliki Bapak
H. Sutrikno berjumlah 29 ekor sapi perah yang terdiri dari 22
ekor sapi perah dewasa, 1 ekor dara bunting dan 6 ekor pedet.
Sistem pemeliharaan yang diterapkan adalah pemeliharaan
secara intensif dengan model kandang head to head. Tipe atap
yang dipakai di peternakan ini adalah monitor.
Bapak H. Sutrikno menggunakan tenaga kerja yang
merupakan warga sekitar dengan jumlah 3 orang. Pekerja
tersebut bertugas sebagai pemerah dan mencari hijauan pakan
ternak. Pemilik peternakan juga ikut menangani langsung
beberapa pekerjaan seperti membersihkan kandang sebelum
melakukan pemerahan dan membersihkan sapi. Pakan yang
diberikan berupa hijaun pakan ternak dan konsentrat. Hijauan
pakan ternak (HPT) yang diberikan berupa rumput gajah
(Pennisetum purpureum), sedangkan konsentrat yang
diberikan berupa pollard dan konsentrat dari KPSP Setia
Kawan yaitu Cipro. Rumput gajah diberikan sebanyak 10%
dari bobot badan, yaitu rata-rata sekitar 40 kg/ekor/hari.
Pemberian rumput gajah dilakukan pada pukul 06.30 dan
15.00 setelah pemerahan. Konsentrat berupa pollard dan Cipro
diberikan secara bersamaan dengan perbandingan 1:1.
Pemberiannya sebanyak 6 – 8 kg/ekor/hari yang diberikan
pada pukul 04.00 dan 13.00 sebelum dilakukan pemerahan.
Pemberian minum dilakukan secara ad libitum.
4.2 Proses Pemerahan dan Sanitasi Kandang
Pemerahan di peternakan milik Bapak H. Sutrikno
dilakukan dua kali sehari yakni pagi hari pukul 05.00 dan
siang hari pukul 14.00. Manajemen setiap pemerah di kandang
3
sama semua karena Bapak H. Sutrikno selalu melakukan
kontrol kandang setiap hari, untuk pelaksanaan pemerahan,
pemberian pakan dan kebersihan kandang. Karena setiap
sebelum dan sesudah dilakukan pemerahan, kandang selalu
dibersihkan dari kotoran berupa feses serta urin. Sapi
dibersihkan dengan air mengalir dan dibantu menggunakan
sikat untuk membersihkan bagian tubuh sapi yang kotor, hal
ini dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu sebelum melakukan
pemerahan. Tempat pakan juga dibersihkan setiap hari
sebelum memberikan pakan baru pada sapi.
Para pemerah belum sepenuhnya menerapkan
manajemen pemerahan yang baik seperti membersihkan lantai
kandang, memandikan sapi, dan membersihkan ambing. Aziz,
Surjowardojo, dan Sarwiyono (2013), bahwa lantai kotor yang
terdapat banyak feses dan urin sebelum pemerahan
menunjukan kemungkinan adanya mastitis subklinis dengan
skor 1-2 yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas dan
jumlah produksi susu. Kondisi umum kandang saat proses
pemerahan terdapat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Proses Pemerahan.
4
Ember susu dan milk can dibersihkan terlebih dahulu
sebelum melakukan pemerahan. Kebersihan peralatan yang
digunakan untuk menampung hasil pemerahan sangat
mempengaruhi kebersihan dan kesehatan susu. Peralatan yang
kotor akan mencemari susu, sehingga susu akan cepat
mengalami kerusakan dan mudah busuk. Handayani dan
Purwanti (2010) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa
mikroba aerob seperti Staphyloccus aureus ditemukan pada
ember hasil pemerahan. Mikroba tersebut dapat tumbuh di
permukaan ember yang kemungkinan disebabkan permukaan
ember yang masih menyisakan susu dan tidak dibersihkan
dengan sabun (desinfektan) setelah pemerahan atau dijemur di
bawah sinar matahari. Ambing dan puting dibersihkan
menggunakan air sebelum pemerahan. Setelah itu pemerah
melakukan pemerahan dengan bantuan vaselin atau minyak
sebagai pelicin untuk mempermudah proses pemerahan.
Setelah pemerahan selesai ambing dan puting dibersihkan lagi
menggunakan air untuk menghilangkan sisa pelicin pada
puting.
4.3 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Tingkat Mastitis
Andriani (2010), bahwa untuk menentukan hasil
pengujian mastitis berdasarkan tes California Mastitis Test
(CMT) digolongkan menjadi beberapa skor yaitu, (-) tidak ada
pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada
susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum
terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel,
serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan permukaan
menjadi cembung, untuk memudahkan perhitungan statistik
5
maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing,
untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2,
(+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu,
sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi skor mastitis
maka semakin tinggi tingkat mastitis pada sapi. Berdasarkan
hasil analisis Anova terhadap tingkat mastitis (Lampiran 5)
menunjukan bahwa suhu air pencucian ambing tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap skor mastitis
dengan uji CMT, jadi dapat diartikan bahwa suhu air
pencucian ambing tidak mempengaruhi tingkat kejadian
mastitis. Perbedaan rata-rata tingkat mastitis dari setiap
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata tingkat kejadian mastitis dari sapi sampel
penelitian yang diberi perlakuan suhu air pencucian
ambing
Perlakuan Rata-Rata ± SD
P0 (22○C) 1,58±0,11
P1 (27○C) 1,45±0,15
P2 (37○C) 1,39±0,58
Tabel 3. menunjukkan bahwa rataan mastitis antara P0,
P1, dan P2 memperlihatkan ada kecenderungan jika semakin
tinggi suhu air pencucian ambing, maka semakin rendah rataan
tingkat mastitis. Penggunaan suhu air pencucian ambing P2
(37○C) memiliki rataan tingkat mastitis paling rendah, yang
menunjukan semakin rendah juga skor mastitis. Dapat
diartikan bahwa P2 merupakan perlakuan terbaik yaitu dengan
suhu air pencucian ambing 37○C. Grafik perbedaan rataan
6
tingkat mastitis pada perlakuan P0, P1, dan P2 yang di uji setiap
minggunya disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik rataan tingkat mastitis setiap minggu
Gambar 4 menunjukan bahwa perlakuan P0 (22○C)
cenderung mengalami peningkatan skor mastitis sebesar
2,31%. Perlakuan P1 (27○C) tidak memperlihatkan penurunan
skor mastitis yang signifikan yaitu hanya sebesar 1,94%,
sedangkan perlakuan P2 (37○C) menunjukan pengaruh dengan
menurunkan skor mastitis sebesar 4,39%.
P0 (22○C) cenderung mengalami peningkatan tingkat
mastitis yang terjadi di minggu 1, minggu 2, minggu 4, dan
minggu 7. Perlakuan P1 (27○C) tidak memperlihatkan
penurunan tingkat mastitis yang signifikan setiap minggunya,
sedangkan perlakuan P2 (37○C) menunjukan pengaruh dengan
menurunkan tingkat mastitis setiap minggunya namun tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata. Penurunan tingkat
mastitis perlakuan P2 (37○C) terlihat di minggu 1, minggu 2,
minggu 4, minggu 5 dan minggu 7.
Penurunan dan peningkatan skor mastitis tersebut tidak
begitu dipengaruhi oleh perbedaan suhu air pencucian ambing,
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Pra M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
P0
P1
P2
7
namun disebabkan oleh kebersihan lingkungan disekitar area
kandang, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Aziz,
Surjowardojo, dan Sarwiyono (2013) mastitis subklinis
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
kebersihan lingkungan sekitar yang meliputi kebersihan lantai
kandang, kebersihan proses pemerahan, dan kebersihan
pemerah. Lantai kotor yang terdapat banyak feses dan urin
sebelum pemerahan menunjukan kemungkinan adanya
mastitis subklinis yang dapat mengakibatkan menurunnya
kualitas dan jumlah produksi susu.
Kondisi lingkungan yang kotor disekitar area kandang
meningkatkan skor mastitis yang disebabkan oleh timbulnya
bakteri penyebab mastitis subklinis. Penjelasan tersebut sesuai
dengan pernyataan dari Hillerton dan Berry (2005), bahwa
agen penyebab mastitis subklinis ditemukan pada feses, alas
tidur dan pakan. Kejadian mastitis yang disebabkan oleh
bakteri yang berasal dari lingkungan dapat terjadi kapan saja
dengan sumber infeksi di sekitar sapi. Rady and Sayed (2009),
juga menjelaskan bahwa agen utama penyebab mastitis
subklinis yang terisolasi dari sampel CMT positif adalah S.
aureus, S. agalactiae dan E. coli. Penjelasan tersebut diperkuat
oleh pernyataan dari Sharif et al. (2009), dan Marogna et al.
(2010) bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang
paling banyak menyebabkan mastitis subklinis, bakteri ini
dapat berpindah antar kuartir selama proses pemerahan.
4.4 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Jumlah Sel Somatik
Sel somatik didalam susu merupakan bentuk respon
imun tubuh ternak terhadap infeksi didalam jaringan interna
8
ambing. infeksi didalam jaringan ambing dapat disebabkan
oleh manifestasi mikroba patogen penyebab mastitis
(Robertson and Muller, 2005). Berdasarkan hasil analisis
Anova terhadap jumlah sel somatik (Lampiran 7) menunjukan
bahwa suhu air pencucian ambing tidak memberikan
perbedaan yang nyata terhadap jumlah sel somatik susu
berdasarkan uji SCC. Perbedaan rata-rata jumlah sel somatik
dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata jumlah sel somatik susu dari sapi sampel
penelitian yang diberi perlakuan suhu air pencucian
ambing
Perlakuan Rata-Rata ± SD (CFU/ml)
P0 (22○C) 1,88±0,03
P1 (27○C) 1,86±0,06
P2 (37○C) 1,81±0,03
Tabel 4 Menunjukan bahwa rataan jumlah sel somatik
antara P0, P1 dan P2 memperlihatkan jika semakin tinggi suhu
air pencucian ambing, maka semakin rendah jumlah sel
somatik pada susu. Penggunaan suhu air pencucian ambing P2
(37○C) memiliki rataan jumlah sel somatik paling rendah,
yang menunjukan semakin rendah juga skor mastitis dan
tingkat mastitis. Sehingga dapat diartikan bahwa P2 merupakan
perlakuan terbaik yaitu dengan suhu air pencucian ambing
37○C. Grafik perbedaan rataan jumlah sel somatik susu pada
P0, P1, dan P2 yang di uji sebelum dan setelah diberikan
perlakuan disajikan pada Gambar 5.
9
Gambar 5. Grafik rataan jumlah sel somatik susu sebelum
perlakuan dan setelah perlakuan
Gambar 5 menunjukan bahwa perlakuan P0 (22○C)
cenderung mengalami peningkatan jumlah sel somatik sebesar
2,69%. Perlakuan P1 (27○C) tidak memperlihatkan penurunan
jumlah sel somatik yang signifikan yaitu hanya sebesar 1,60%,
sedangkan perlakuan P2 (37○C) menunjukan pengaruh dengan
menurunkan jumlah sel somatik sebesar 7,4%, namun tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata.
Kesehatan dari ambing sapi bisa dilihat dari jumlah sel
somatik dalam susu. Penjelasan tersebut sesuai dengan
pernyataan dari Rajcevic et al. (2003), bahwa jumlah sel
somatik dalam susu sangat berkorelasi dengan kondisi ambing.
Sel somatik dalam susu berfungsi sebagai pertahanan melawan
infeksi pada ambing. Sharma et al. (2011), menjelaskan bahwa
sel somatik adalah sel epitel yang disekresi oleh kelenjar
ambing yang terinfeksi atau cidera, sel somatik terdiri dari
75% leukosit (neutrofil, makrofag, limfosit, eritrosit) dan 25%
sel epitel. Penjelasan itu juga diperkuat oleh pernyataan dari
Ruegg dan Pantoja (2013), sel darah putih berfungsi sebagai
pertahanan untuk melawan infeksi dan membantu dalam
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00
100.00
Sebelum Sesudah
P0
P1
P2
10
perbaikan jaringan. Selama mastitis berlangsung jumlah sel
somatik meningkat karena masuknya neotrofil ke dalam
kelenjar ambing untuk melawan infeksi, sehingga jumlah sel
somatik pada susu dapat dijadikan sebagai penentu kualitas
susu.
Peningkatan dan penurunan jumlah sel somatik pada
susu tidak dipengaruhi oleh suhu air pencucian ambing, sebab
jumlah sel somatik pada ambing dipengaruhi akibat adanya
infeksi dari luar saat pemerahan berlangsung (Granado et al.
2014). Penyebab peningkatan jumlah sel somatik yaitu
inflamasi, non-inflamasi, dan faktor lain yang dapat dilihat
pada Tabel 2.
Jumlah sel somatik sangat berhubungan dengan skor
mastitis dan tingkat mastitis, apabila jumlah sel somatik
semakin banyak maka skor mastitis akan semakin tinggi dan
tingkat kejadian mastitis juga semakin tinggi. Penjelasan
tersebut sesuai dengan pendapat dari Mahardika dkk. (2016),
bahwa sel somatik susu merupakan suatu indikasi adanya
infeksi mastitis pada sapi perah.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan
meningkatnya tingkat mastitis maka jumlah sel somatik juga
akan meningkat, pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan
Adriani, (2010), semakin tinggi jumlah sel somatik pada susu,
maka akan semakin tinggi skor mastitisnya. Jumlah sel
somatik merupakan suatu parameter kuantitatif adanya
indikasi mastitis sedangkan CMT merupakan parameter
kuantitatif indikasi mastitis yang ditentukan dengan sebuah
skor.
1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian pengaruh suhu air
pencucian ambing terhadap tingkat kejadian mastitis
berdasarkan uji CMT dan jumlah sel somatik susu
berdasarkan uji SCC pada sapi PFH menunjukkan bahwa
penggunaan air pencucian ambing dengan suhu 22○C, 27○C
dan 37○C, tidak berpengaruh terhadap tingkat kejadian
mastitis dan jumlah sel somatik pada susu.
5.2 Saran
Ambing sapi sebelum dilakukan pemerahan hendaknya
dicuci menggunakan air dengan suhu 37○C karena dapat
menurunkan tingkat kejadian mastitis dan jumlah sel somatik
pada susu meskipun penurunannya tidak signifikan. Pada saat
menentukan suhu air pencucian ambing hendaknya
menggunakan digital thermometer, alat-alat yang digunakan
agar bisa selalu bersih supaya tidak mempengaruhi pada hasil
uji CMT dan SCC.
1
DAFTAR PUSTAKA
Adriani. 2010. Penggunaan Somatik Cell Count (SCC),
Jumlah Bakteri dan California Mastitis Test (CMT)
untuk Deteksi Mastitis pada kambing. Jurnal Ilmiah
Ilmu-ilmu Peternakan 8 (5).
Aunurohman, H. and K. Muatip. 2011. Evaluate Bussines
Study of Dairy Cattle on Financial Aspect at Dairy
Cattle Farmers Partnership Project in Banyumas
Regency. Jurnal Animal Production 6 (2).
Aziz, A. S., P. Surjowardojo dan Sarwiyono. 2013. Hubungan
Bahan dan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang
terhadap Kejadian Mastitis melalui Uji California
Mastitis Test (CMT) di Kecamatan Tutur Kabupaten
Pasuruan. Jurnal Ternak Tropika. 14 (2): 72-81.
Bray, D. R and J. K. Shearer. 2003. Milking Machines and
Mastitis Control Handbook. Florida Cooperative
Extension Service - Institute of Food and Agricultural
Sciences University of Florida. Gainesville.
https://edis.ifas.ufl.edu. Diakses tanggal 15 Mei 2017.
Bruckmaier, R.M and O, Wellnitz. 2008. Induction of milk
ejection and milk removal in different production
systems. J. Anim. Sci 86: 15–20.
2
Donald. B., S.G.H. Roaark, Beck and H. C. Fryer. 2004.
Differnces in Milking Response Under Prescribed
Variations in Methods Employed to Stimulate Milk
Letdown. http://en.wikipedia.org/wiki/oxytocin. Diakses
tanggal 20 Mei 2017.
FAO. 2011. FAO Animal Production and Health. FAO
Corporate Document Respository.
FAO. 2014. Impact of Mastitis in Small Scale Dairy
Production System. Animal Production and Health
Working. Page: 13.
Granado J.R., S.M. Rodriguez, C. Arce and R.V. Estevez.
2014. Factors affecting somatic cell count in dairy
goats: a review. Spanish Journal of Agricultural
Research 12 (1): 133-150.
Handayani, K. S dan M. Purwanti. 2010. Kesehatan Ambing
dan Higiene Pemerahan di Peternakan Sapi Perah Desa
Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal Penyuluhan
Pertanian 5 (1): 47-54.
Harlyan, L. I. 2012. Rancangan Acak Kelompok. Dept.
Fisheries and Marine Management. Universitas
Brawijaya. Malang.
Hermans, G.G.N., A.H. Ipemia, J. Stefanowska and J.H.M.
Metz. 2003. The effect of two traffic situations on the
behavior and performance of cows in an automatic
milking system. J. Dairy Sci 86: 1997-2004.
3
Hillerton J.E and E.A. Berry. 2005. Treating mastitis in the
cow is a tradition or an archaism. J Appl Microbiol 98:
1250-1255.
Hogeveen, H., S. Pyorala, K.P. Waller, J.S. Hogan, T.J.G.M.
Lam, S.P. Oliver, Y.H. Schukken, H.W. Barkema and
J.E. Hillerton. 2011.Current Status and Future
Challenges in Mastitis Research. National Mastitis
Council Annual Meeting Proceedings.
Jeffery, K and Reneau. 2001. Somatic Cell Counts: Measures
of Farm Management and Milk Quality. University of
Minnesota. National Mastitis Council Annual Meeting
Proceedings.
Kentjonowaty, I dan D. Retnaningsih. 2000. Pengaruh
Penggunaan Metode Pemerahan Pada Sapi Perah
sebagai Alternative Peningkatan Kualitas Susu dan
Penerimaan Usaha. Jurnal Penelitian AL-BUHUTS
Universitas Islam Malang. 4 (2): 27-30. ISSN: 1410-
184.
Kentjonowaty, I., P. Trisunuwati, T. Susilawaty dan P.
Surjowardojo. 2014. Evaluasi Profil Hormon Oxytocin,
Kualitas dan Kuantitas Laju Pancaran Produksi Susu
Sapi Perah pada Lama Mammae Hand Massage dari
Berbagai Metode Pemerahan. Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya. Malang.
4
KPSP Setia Kawan. 2011. Profil Peternakan Sapi Perah
Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan.
http://www.kpsp-setiakawan.com. Diakses pada tanggal
8 Mei 2017.
Mahardika, H. A., P. Trisnuwati dan P. Surjowardojo. 2016.
Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing dan Teat
Dipping terhadap Jumlah Produksi, Kualitas dan Jumlah
Sel Somatik Susu pada Sapi Peranakan Friesian
Holstein. Buletin Peternakan. 40 (1): 11-20.
Makin, M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Marogna G, S. Rolesu, S. Lollai, S. Tola and G. Leori. 2010.
Clinical findings in sheep farms affected by recurrent
bacterial mastitis. Small Rumin Res. 88: 119-125.
NAAS. 2013. Mastitis Management in Dairy Animals.
National Academy of Agricultural Sciences. New Delhi.
Negrao J.A and P.G. Mamet. 2006. Milk Yield, Residual milk,
Oxytocin and Cortisol Release During Machine milking
in Gir, Gir x Holstein and Holstein Cows. Journal of
Animal Science 46: 77-85.
Prihanto. 2009. Manajemen Pemeliharaan Induk Laktasi di
Peternakan Sapi Perah CV. Mawar Mekar Farm
Kabupaten Karanganyar. Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
5
Pujiati, R dan T. Indrianto. 2009. Perbedaan Kandungan
Bakteriologi Susu Segar ditinjau dari Pemakaian
Desinfektan dan Tanpa Desinfektan pada Ambing Sapi
Sebelum Pemerahan. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Jember. Jurnal IKESMA 5 (1): 31 - 45.
Qisthon, A dan A. Husni. 2003. Produksi Ternak Perah. Buku
Ajar. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Racjevic, M., K. Potocnick and J. Levstek. 2003. Correlations
between somatic cell count and milk composition with
regrad to the season. Agriculturae Conspectus
Scientificus. 68: 221-226.
Rady, A dan M. Sayed. 2009. Epidemiological Studies on
Subclinical Mastitis in Dairy Cows in Assiut
Governorate. Departement of Animal Medice and
Departement of Food Hygiene. Faculty Veterinary of
Medice, Assiut University, Assiut Egypt. Veterinary
World. 2 (10): 373-380.
Ramelan. 2001. Efisiensi Produksi Air Susu pada Sapi Perah
Dara dan Laktasi Akibat Penyuntikan PMSG. Fakultas
Peternakan. Universitas Dipoegoro. Semarang.
6
Redetzky, R., J. Hamman, N. Th. Grabowsky and G. Klein.
2005. Diagnostic value of the California Mastitis Test in
comparison to electronically counted somatic cell in
bovine milk. In: Proceeding of IDF Congress on
Mastitis in Dairy Production: Current knowledge and
future solutions. Wageningen Academic Publishers.
Page: 487-494.
Robertson, N.H and C.J.C. Muller. 2005. Somatic cell count in
goat’s milk as an indication of mastitis. SA-ANIM SCI.
Ruegg, P and J. Pantoja. 2013. Understanding and using soatic
cell count to improve milk quality. University of
Wisconsin Madison and Federal, University of Sao
Paulo, Botocatu Brazil. Irish Journal of Agricultural and
Food Research 52: 101-117.
Ruegg, P. L. 2005. Caliornia mastitis test (CMT) fact sheet 1.
Resources Milk Money. http://milkquality.wisc.edu/wp-
content/uploads/2011/09/california-mastitis-test-fact
sheet.pdf. Diakses pada tanggal 22 Desember 2016.
Rustamadji, B. 2004. Dairy Science l. Laboratory of Dairy
Animal. Faculty of Animal Science. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Sharif, A., M. Umer and G. Muhammad. 2009. Mastitis
control in dairy production. Journal of Agriculture and
Social Sciences 5 (3): 102-105.
7
Sharma, N., N. Singh and Bhadwal. 2011. Reletionship of
somatic cell count and mastitis. Asian-Aust. J. Anim.
Sci 24: 429-438.
Siregar, S. B. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu
sapi perah laktasi melalui perbaikan pakan dan
frekuensi pemberiannya. JITV 6 (2): 76-82.
Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas
Pertanakan. Universias Gadjah Mada. Yogyakarta.
Speroni, M., G. Pirlo and S. Lolli. 2006. Effect of automatic
milking systems on milk yield in a hot environment.
Journal of Dairy Science 89: 4687-4693.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.
Sudono, Rosdiana dan Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah
Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Suheri, G. 2010. Teknik Pemerahan dan Penanganan Susu
Sapi Perah. Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Balai
Penelitian Ternak Ciawi. Bogor.
Surjowardojo, P., Suyadi, L. Hakim dan Aulani’am. 2008.
Ekspresi Produksi Susu Pada Sapi Perah Mastitis.
Fakultas Peternakan dan Fakultas MIPA. Universitas
Brawijaya. Malang. Jurnal Ternak Tropika 9 (2): 1-11.
8
Svennersten K.M, Sjaunja and G. Pettersson. 2008. Pros and
Cons of Automatic milking in Europa. Journal of
Animal Science 86 (13): 37-46.
Utami, K., L. E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian
Kualitas Susu Sapi PFH (Studi Kasus pada anggota
KAN di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang).
Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.
Jurnal Ilmu-ilmu Ternak 24 (2): 58-66. ISSN: 0852-
3581.