Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 1
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Penggunaan Pupuk Organik Cair Sebagai Pemacu Tumbuhnya
Plankton Untuk Kelangsungan Dan Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Endah Sih Prihatini *), Kismiyati **), dan Gunanti Mahasri **) * Program Studi Agrobisnis Perikanan Universitas Islam Lamongan
** Bioteknologi Perikanan dan Kelautan, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk organik cair terhadap kelimpahan
plankton pada media pemeliharaan udang vannamei, kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vannamei.
Metode penelitian adalah eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL).Bahan uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pupuk organik cair yang terbuat dari fermentasi susu, gula tetes (mollases), pupuk urea,
pupuk TSP dan ragi. Perlakuan yang digunakan adalah dosis pupuk organik cair yang berbeda yaitu ; perlakuan A (0
ppm), B (0,001 ppm), C (0,002 ppm), D (0,003 ppm) dan
E (0,00 5 ppm) masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Analisis data menggunakan Analisis Varian (ANAVA) dan untuk mengetahui perlakuan terbaik dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik cair berpengaruh nyata pada kelimpahan
plankton pada media pemeliharaan udang vannamei dan kelangsungan hidup udang vannamei. Penggunaan pupuk
organik cair tidak berpengaruh nyata pada laju pertumbuhan harian udang vannamei dan pertumbuhan mutlak panjang
tubuh udang vannamei. Perlakuan penggunaan pupuk organik cair dosis 0,005 ppm meningkatkan kelimpahan
plankton sebesar 6172,5 sel/liter dan kelangsungan hidup sebesar 82,5%.
Kata kunci : Pupuk organik cair, Plankton, Kelangsungan hidup, Pertumbuhan, Udang vannamei.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Udang merupakan komoditi yang makin menonjol dalam budidaya di tambak antara lain mempunyai
kandungan protein dan nilai ekonomis yang tinggi di pasaran dalam negeri dan luar negeri. Udang vannamei lebih
tahan terhadap penyakit, responsif terhadap pakan. (Wyban and Sweeney, 1991).
Menurut data Statistik Departemen Kelautan dan Perikanan (2011) pada tahun 2010 produksi udang
Indonesia mengalami penurunan 10,61 % dari 661868 ton menjadi 591.647 ton. Penurunan produksi tersebut
disebabkan penyakit Infection Myonecrosis Virus (IMNV) dan meningkatnya pencemaran dan kerusakan pada
tambak akibat sisa pakan yang berlebihan dan pemakaian bahan kimia pupuk dan pestisida.
Keberhasilan budidaya udang ditentukan adanya ketersediaan pakan yang cukup baik secara kualitatif
maupun kuantitatif akan mempercepat kelangsungan dan pertumbuhan. Pakan udang dibedakan menjadi dua yaitu
pakan buatan dan pakan alami . Pakan alami adalah makanan alami yang tumbuh di alam dan dapat melimpah di
dalam perairan setelah mendapat pemupukan (Djariyah , 1995).
Pupuk adalah bahan yang mengandung unsur hara makro dan mikro yang ditambahkan dalam perairan untuk pertumbuhan plankton (Hardjowigeno, 1987). .
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan udang adalah pakan. Adanya plankton dalam
perairan bermanfaat sebagai pakan alami bagi udang Fitoplankton dapat menyerap senyawa yang berbahaya bagi
udang antara lain: NH3 , NO2- mengakibatkan kualitas air menjadi baik (Effendi, 1980). Pupuk organik cair
mempunyai kandungan keseimbangan unsur makro dan unsur mikro yang diperlukan untuk tumbuhnya
plankton (Maclean et al, 1989). Pupuk organik cair ini terbuat dari fermentasi susu, pupuk urea, pupuk TSP, gula tetes
(molasses) dan ragi . Menurut Marlina (2009) salah satu species ragi adalah saccharomyces cereviceae berbentuk oval
bersifat fermentatif yaitu melakukan fermentasi yang memecah glukosa menjadi karbondioksida dan alkohol.
Karbondioksida, air, klorofil dan sinar matahari diperlukan fotosintesis fitoplankton. Berdasarkan latar belakang,
maka perlu dilaksanakan penelitian tentang penggunaan pupuk organik sebagai perangsang tumbuhnya plankton
untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
Rumusan masalah Dari latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pemberian pupuk organik cair berpengaruh terhadap kelimpahan plankton pada media pemeliharaan
udang vannamei (Litopenaeus vannamei) ?
2. Apakah pemberian pupuk organik cair berpengaruh pada kelangsungan hidup udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) ?
3. Apakah pemberian pupuk organik cair berpengaruh pada pertumbuhan udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) ?
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 2
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk organik cair terhadap kelimpahan plankton pada media air
pemeliharaan udang vannamei (litopenaeus vannamei)
2. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk organik cair terhadap kelangsungan hidup udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) 3. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk organik cair terhadap pertumbuhan udang vannamei
(Litopenaeus vannamei)
Manfaat penelitian adalah :
1. Manfaat teoritis adalah sebagai masukan atau sumbangan pada bidang ilmu budidaya bahwa penggunaan pupuk
organik cair terutama menumbuhkan pakan alami , meningkatkan kelangsungan , pertumbuhan dan kualitas air
udang vannamei. (Litopenaeus vannamei)
2. Manfaat praktis sebagai informasi kepada masyarakat bahwa penggunaan pupuk organik cair ini bisa digunakan
aplikasi di tammedia untuk meningkatkan kesuburan perairan, meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas
air.
II. METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 26 Oktober - 25 Nopember 2012. Tempat penelitian dilakukan di
laboratorium kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lamongan.
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah pupuk organik cair. Pupuk organik cair terbuat dari fermentasi susu,
gula tetes (molasses), pupuk dan ragi. Sumber air yang digunakan berasal dari air tambak di Lamongan. Pakan udang
yang digunakan adalah pellet dengan kandungan protein 30 %.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian adalah ember volume 40 liter sebanyak 20 buah, akuarium. blower,
timbangan analitik, penggaris dan benang. Termometer, DO meter, pH meter. Refraktometer, pipet, gelas ukur,
corong, kertas saring, test kit untuk mengukur NH3 alkalinitas dan CO2, mikroskop, plankton net. Sedgewich rafter untuk menghitung plankton.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini Rancangan Acak Lengkap (Sastrosupadi, 1973
dan Sujana 1985).
Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan dan empat kali ulangan yaitu :
A. Pemberian pupuk organik cair dengan jumlah 0 ppm
B. Pemberian pupuk organik cair dengan jumlah 0,001 ppm
C. Pemberian pupuk organik cair dengan jumlah 0,002 ppm
D. Pemberian pupuk organik cair dengan jumlah 0,003 ppm
E. Pemberian pupuk organik cair dengan jumlah 0,005 ppm
Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada stadia post larva 13 dengan berat 0,06 – 0,076 gram per ekor yang berasal berasal dari Paciran Lamongan. Sujana (1985)
sebagian dari populasi disebut sampel.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 3
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Variabel penelitian
Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah dosis pupuk organik cair (x) sedang variabel terikat
(y) adalah kelimpahan plankton pada media air pemeliharaan udang vannamei, kelangsungan hidup dan pertumbuhan
berat udang vannamei. sebagai parameter utama.
Prosedur penelitian
Pembuatan pupuk organik cair Proses pembuatan pupuk organik cair meliputi :. Air sebanyak 72 l dipanaskan sampai mendidih dicampur
tetes tebu (molasses) 22,5 l diaduk hingga rata, dimasukkan dalam panci atau fermentor ditambahkan pupuk urea 70
g, pupuk TSP sebanyak 14 g sebelumnya digerus sampai halus, susu 70 g dan ragi 28 g diberi air hangat secukupnya
hingga berbusa, fermentor ditutup rapat selama 66 jam atau 2,5 hari. Selama proses fermentasi akan timbul
gelembung udara CO2. Salah satu tanda fermentasi selesai tidak terlihat gelembung udara (Paturan et al, 1982).
Persiapan media air pemeliharaan udang vannamei
Dalam penelitian ini digunakan 20 media dan diisi 20 liter air yang diletakkan secara acak. Sebelum dilakukan
penelitian, media disterilisasikan dengan larutan khlorin 150 ppm. Media air dikeringkan selama 10 jam. Hal ini
bertujuan agar khlorin habis menguap. Pemasangan aerasi ini penting sekali sebagai sumber oksigen dan sirkulasi air.
Pelaksanaan penelitian
Larva udang uji yang berukuran 0,06 – 0,076 gram/ekor masing – masing dengan kepadatan 10 ekor/media
dipelihara selama satu bulan. Pengukuran berat dengan timbangan analitik dilakukan 5 kali selama penelitian dengan selang 7 hari. Pengukuran kualitas air dilakukan 11 kali. Kualitas air yang diukur adalah suhu, kekeruhan,
salinitas, oksigen terlarut, pH, NH3, alkalinitas dan CO2.
Pemberian pupuk organik cair sesuai dengan perlakuan : A (0 ppm), B (0.001 ppm), C (0,002 ppm), D
(0,003 ppm), dan E (0,005 ppm). Pada awal dan akhir pemeliharaan udang vannamei diadakan pengamatan plankton
dari masing – masing perlakuan.
Pengumpulan Data
Parameter penelitian ini dikelompokan menjadi 2 yaitu parameter utama dan parameter penunjang.
A.Parameter Utama
Kelimpahan Plankton pada Media Air Pemeliharaan Udang Vannamei. Untuk identifikasi plankton adalah mengambil sampel dengan plankton net. Hasil penyaringan sampel
plankton dimasukkan dalam botol sampel 10 ml dan diberi formalin 4 %. Selanjutnya sampel plankton dibawa ke
laboratorium untuk diamati dengan mikroskop. Jenis plankton yang ditemukan, diamati dan dicatat. Plankton
diidentifikasi dengan menggunakan acuan dari Davis (1955), Sachlan (1982).
Penentuan jumlah/kelimpahan plankton adalah mengambil air sampel pada botol penampung sampel
plankton sebanyak 1 ml . Perhitungan kelimpahan plankton dengan menggunakan sedgewich rafter yang terlebih
dahulu dibersihkan dan dikeringkan dulu dengan kertas tissue kemudian air sampel diteteskan menggunakan pipet
tetes sampai penuh, kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali.
Menghitung jumlah plankton menurut Romimohtarto dan Juwono (2006), Isnantyo dan Kurniastuty (1995) dengan
rumus :
N = ExVxm
Dxsxn
Keterangan :
N = Jumlah sel/liter.
n = Jumlah sel yang dihitung pada seluruh lapang pandang sel.
m = Jumlah tetes contoh yang diperiksa (1 ml).
s = Volume contoh dengan pengawetnya (10 ml).
D = Luas gelas penutup (1000 mm2).
E = Luas total yang diamati (1000 mm2).
V = Volume air tersaring (10 liter).
2. Kelangsungan Hidup Udang Vannamei
Pengamatan kelangsungan hidup udang vannamei dilakukan dengan menghitung kematian vannamei selama
penelitian (Nejad et al, 2006). Kemudian dihitung dengan rumus :
SR = 0N
Nt X 100 %
Keterangan :
SR : Kelangsungan hidup udang (ekor).
Nt : Jumlah udang akhir penelitian (ekor).
No : Jumlah udang awal penelitian.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 4
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
3. Pertumbuhan berat udang vannamei.
Salah satu parameter pertumbuhan adalah laju pertumbuhan harian. Laju pertumbuhan harian udang
vannamei diketahui dengan melakukan pengukuran bobot udang pada awal dan akhir percobaan. Laju pertumbuhan
spesifik (SGR) menurut Abdullah (1984) dihitung dengan menggunakan rumus:
a = persen 10010
w
wt
Dimana:
a : Laju Pertumbuhan Harian individu.
wo : Berat awal rata – rata (gram).
wt : Berat akhir rata-rata (gram).
T : Selang waktu pengamatan (hari).
Pertumbuhan mutlak panjang tubuh menurut Abdullah (1984) dihitung dengan rumus :
h = ht – ho
h : pertumbuhan mutlak panjang tubuh udang vannamei. ht : Rata-rata panjang tubuh udang vannamei pada akhir penelitian.
ho : Rata-rata panjang tubuh udang vannamei pada awal penelitian.
B. Parameter Penunjang
Parameter penunjang yang diamati adalah suhu, kekeruhan, salinitas, pH, oksigen terlarut, NH3, alkalinitas dan
CO2.
Analisis Data
Data yang diamati meliputi kelimpahan plankton media air pemeliharaan udang vannamei, kelangsungan
hidup dan pertumbuhan udang vannamei. Selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis varian (ANAVA) dengan
selang kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah perlakuan memberikan pengaruh. Data selanjutnya dianalisis
menggunakan uji lanjutan yaitu uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan ( Kusriningrum, 2008).
III.HASIL PENELITIAN
1. Jenis dan Kelimpahan Plankton Pada Media Air Pemeliharaan Udang Vannamei
Penelitian mengenai penggunaan pupuk organic cair sebagai pemacu tubuhnya plankton untuk
kelangsungan dan pertumbuhan udang vannamei diperoleh hasil beberapa data antara lain adalah : Jenis dan
kelimpahan plankton pada media air pemeliharaan udang vannamei sebelum dilakukan penelitian (table 1).
Tabel 1. Jenis dan Kelimpahan Plankton pada Media Air Pemeliharaan UdangVannamei sebelum
dilakukan penelitian.
No Species Devisio/Kelompok Jumlah (Sel/ liter)
1 Anabaena sp Cyanophyta 595
2 Oscillatoria sp Cyanophyta 505
3 Tetraselmis sp Chlorophyta 486
4 chlorella sp Chlorophyta 514
5 Navicula sp Chrysophyta 408
6 Alonella sp Arthropoda 192
7 Diapthomus spp Arthropoda 363
8 Melosira Chrysophyta 237
9 protococcus sp Chlorophyta 315
10 Gyrosigma Chrysophyta 250
11 Scenedesmus sp Chlorophyta 135
Jumlah 4.000
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 5
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
No Sp Divisio/Phyllum PERLAKUAN
A B C D E
1 Chlorella sp Chlorophyta 502 602 635 637 676
2 Tetraselmis sp Chlorophyta 496 588 623 648 673
3 Protococcus sp Chlorophyta 485 466 582 585 585
4 Cosmarium sp Chrysophyta - 234 441 443 445
5 Diapthomus sp Arthropoda 325 545 585 587 590
6 Navicula sp Chrysophyta 345 455 470 475 476
7 Melosira sp Chrysophyta 200 514 520 525 526
8 Scenedesmus sp Chlorophyta 355 450 485 538 541
9 Dunaliella Sp Chlorophyta - 395 575 582 592
10 Alonella Sp Arthropoda 182 275 285 287 289
11 Gyrosigma Chrysophyta 218 412 425 428 430
12 Anabaena Sp Cyanophyta 872 240 210 200 165
13 Oacillatoria Cyanophyta 818 387 252 208 185
Jumlah 4798 5563 6088 6143 6173
Jenis dan kelimpahan plankton pada media air pemeliharaan udang vannamei sesudah penelitian (tabel 2).
Tabel 2. Jenis dan kelimpahan plankton pada media air pemeliharaan udang vannamei sesudah penelitian.
Penelitian penggunaan pupuk organik cair terhadap kelimpahan plankton padamedia air pemeliharaan udang
vannamei selama satu bulan, hasil analisis varians (ANAVA) masing –masing perlakuan menunjukkan perbedaan
yang nyata (P< 0,05) terhadap kelimpahan plankton pada media air pemeliharaan udang vannamei. Hasil uji jarak
berganda menunjukkan rata- rata kelimpahan plankton tertinggi 6172,5 sel/liter pada media pemeliharaan udang
vannamei adalah perlakuan E (0.005 ppm). Perlakuan terendah terdapat pada perlakuan A (0 ppm) dengan rata-rata
kelimpahan plankton sebesar 4797,5 sel/liter. Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, C, D dan E. Perlakuan
B berbeda nyata dengan perlakuan C, D , E dan A. Perlakuan C tidak berbeda nyata dengan perlakuan D dan E tetapi berbeda nyata dengan perlakuan A dan B.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Rata- rata Kelimpahan Plankton pada media Air Pemeliharaan Udang Vannamei dengan
Perlakuan Pemberian Dosis Pupuk Organik Cair (ppm).
Dosis pemberian pupuk
organik cair (ppm)
Rata-rata kelimpahan plankton
(sel/liter)
A (0 ) 4797,5c ± 297,8
B (0,001) 5562,5b ± 412,3
C (0,002) 6087,5a ± 306,5
D (0,003) 6142,5a ± 330,87
E (0,005) 6172,5a ± 619,35
Keterangan : Huruf superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
Perlakuan A = Pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0 ppm
Perlakuan B = Pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,001 ppm
Perlakuan C = Pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,002 ppm
Perlakuan D = Pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,003 ppm Perlakuan E = Pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,005 ppm
Kelangsungan Hidup Udang Vannamei
Hasil analisis varian (ANAVA) penggunaan pupuk cair organik terhadap kelangsungan hidup udang
vannamei menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap
kelangsungan hidup udang vannamei. Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup
udang vannamei tertinggi terdapat pada perlakuan (82,50 %), kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan A
( 62,50 %). Perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, C, D dan E. Perlakuan B, C, D dan E tidak berbeda nyata
atau sama. Hasil analisis varian (ANAVA) pengaruh dosis pupuk organik cair terhadap kelangsungan hidup udang
vannamei yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan dapat dilihat pada tabel 4.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 6
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Table 4. Pengamatan Rata-rata Kelangsungan Hidup Udang Vannamei (%) pada Perlakuan Penggunaan
Dosis Pupuk Organik Cair (ppm).
Penggunaan dosis pupuk organik
cair (ppm)
Rata-rata kelangsungan hidup udang
vannamei (%)
A (0) 62,5b ± 5,0000
B (0,001) 72,5a ± 5,7735
C (0,002) 77,5a ± 5,0000
D (0,003) 80,0a ± 0,0000
E (0,005) 82,5a ± 5,0000
Keterangan : huruf Superscript pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05).
Pertumbuhan Udang vannamei baik Laju Pertumbuhan Harian dan Pertumbuhan mutlak panjang tubuh.
Hasil analisis varian (ANAVA) penggunaan pupuk cair organik terhadap laju pertumbuhan harian udang vannamei menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P > 0,05) terhadap
laju pertumbuhan harian udang vannamei (tabel 5) dan pertumbuhan mutlak panjang tubuh udang vannmei (tabel 6).
Table 5. Pengamatan Rata- rata Laju Pertumbuhan Harian Udang Vannamei (%) Pada Perlakuan Penggunaan
Dosis Pupuk Organik Cair (ppm).
Penggunaan dosis pupuk organik
cair (ppm)
Rata-rata laju pertumbuhan harian
udang vannamei (%)
A (0) 4,286a ± 0,7333
B (0,001) 4,487a ± 0,5659
C (0,002) 4,8603a ± 0,2584
D (0,003) 4,8775a ± 0,2627
E (0,005) 4,9655a ± 0,0469
Keterangan : huruf Superscript pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05)
Table 6. Pengamatan Rata-rata Pertumbuhan Mutlak Panjang Tubuh Udang Vannamei(cm) Pada Perlakuan
Penggunaan Dosis Pupuk Organik Cair (ppm)
Penggunaan dosis pupuk organik
cair (ppm)
Rata-rata pertumbuhan mutlak
panjang tubuh udang vannamei (cm)
A (0) 3,2175a ± 0,5131
B (0,001) 3,5300a ± 0,3174
C (0,002) 3,8125a ± 0,6412
D (0,003) 4,0500a ± 0,5014
E (0,005) 3,9200a ± 0,5972
Keterangan : huruf Superscript pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P >0.05
ppm).
IV.PEMBAHASAN
1. Jenis dan Kelimpahan Plankton pada Media Air Pemeliharaan Udang Vannamei
Penambahan pupuk organik cair terhadap rata – rata kelimpahan plankton pada media air pemeliharaan
udang vannamei menunjukkan hasil kelimpahan plankton yang berbeda nyata pada masing – masing perlakuan. Hasil
tersebut membuktikan bahwa pupuk organik cair mempunyai potensi sebagai pupuk. Pada dasarnya pupuk organik
cair mengandung makronutrien dan mikronutrien yang dapat menjadi nutrien untuk tumbuhnya plankton.
Kandungan unsur makro pada pupuk organik cair misal nitrogen lebih kecil dari kebutuhan minimum unsur
hara makro yang diperlukan untuk pertumbuhan plankton sebesar 0,35 ppm (Sachlan, 1985). Sedangkan kandungan
unsur mikro masih dalam batas layak untuk pertumbuhan plankton kecuali pada unsur hara boron lebih besar dari
batas minimum kebutuhan pertumbuhan plankton sebesar 0,435 ppm. Menurut Hardjowigeno (1987) Kebutuhan maksimum unsur mikro tidak boleh lebih dari 0,1 ppm. Hasil fermentasi ragi pupuk organik cair tidak bersifat racun
sesuai pendapat Paturan et al (1982) bahwa hasil fermentasi ragi menghasilkan nutrien yang sesuai kondisi yang
ramah lingkungan.
Pembuatan pupuk organik cair berasal dari fermentasi susu, pupuk urea, pupuk TSP, gula tetes (mollases)
dan ragi (Saccharomyces cereviceae). Ragi yang hidup dapat memproduksi enzim amilase, lipase dan protease yang
dapat merubah molekul kompleks menjadi molekul sederhana dan membantu proses pencernaan zat makanan dalam
organ pencernaan (Shin, 1996)
Penambahan dosis pupuk organik cair dapat meningkatkan kelimpahan plankton disebabkan karena adanya
proses dekomposisi bahan organik yang dilakukan mikroba dekomposer (Saccharomyces cereviceae) dan bakteri yang
terdapat dalam pupuk organik cair untuk mencukupi kebutuhan unsur hara di perairan yang dibutuhkan plankton.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 7
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Didukung pendapat Soedibya dan Siregar (2007) bahwa mikroba seperti bakteri dan jamur sangat efektif dalam
mendegradasi senyawa komplek menjadi senyawa sederhana dalam menyediakan nutrisi esensiel.
Hasil penelitian pada perlakuan E (0,005 ppm) meningkatkan plankton sebesar 6,172,5 sel/ml, hasil ini lebih
kecil dibanding dengan kebutuhan plankton untuk budidaya udang vannamei berkisar antara 6.700 – 11.300 sel/liter
(Taufik ,1988). Hal ini disebabkan pupuk organik cair bukan merupakan pupuk utama tetapi sebagai pelengkap atau
supplement untuk menumbuhkan plankton.
Kelangsungan Hidup Udang Vannamei Kelangsungan hidup udang vannamei sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidupnya. Kondisi
lingkungan yang menurun menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan pada udang dan pada kondisi ekstrim akan
menyebabkan kematian pada udang yang dipelihara. Pengukuran kekeruhan berkisar antara 32,3 – 39,7 cm hal ini
sesuai dengan pendapat Taufik (1988) bahwa kekeruhan air yang baik untuk pertumbuhan plankton berkisar antara 30
– 40 cm. Jenis plankton yang dominan pada penelitian adalah Tetraselmis sp dan Chlorella sp, adanya plankton
tersebut menjadi pakan alami untuk udang. Hal itu sesuai dengan pendapat Sachlan (1982) pakan alami yang baik
untuk udang antara lain adalah Tetraselmis sp, Chlrorella sp dan Dunaliella sp. Warna air penelitian adalah hijau
muda, hal itu sesuai pendapat Mintardjo et al (1989) warna air hijau muda adalah dominan chlorophyta dalam hal ini
Tetraselmis sp, Chlorella sp. Protococcus sp, Scenedesmus sp, Cosmarium sp dan Dunaliella sp. Penggunaan pupuk
organik cair dalam perairan sangat penting bagi pertumbuhan plankton. Pupuk dapat meningkatkan kadar bahan
nutrien zat hara yang diperlukan untuk tumbuhnya plankton. Tumbuhnya plankton ditentukan oleh beberapa faktor antara lain adalah sinar matahari, suhu, kadar garam, sifat tanah dan unsur hara sebagai nutrien untuk makanan
plankton (Sarief, 1989). Penggunaan pupuk organik cair akan menambah kelimpahan plankton dan mampu
memperbaiki kondisi lingkungan perairan. Plankton dalam perairan akan memanfaatkan NH3 dan CO2 dan
menyumbangkan O2 melalui proses fotosintesis. Pupuk organik cair berasal dari fermentasi ragi. Fermentasi akan
menghasilkan mikroba yang nantinya akan mendegradasi zat komplek menjadi zat sederhana salah satunya adalah
NO3-, PO3.
Pertumbuhan Udang vannamei baik Laju Pertumbuhan Harian dan pertumbuhan mutlak panjang tubuh
Hasil analisis varian (ANAVA) masing-masing perlakuan menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata (P >
0,05). Hal ini disebabkan pemberian pupuk organik cair tidak berpengaruh langsung terhadap laju pertumbuhan harian udang vannamei. Hal itu sesuai dengan pernyataan Sarief (1989) bahwa pemberian pupuk pada perairan tidak
langsung berpengaruh pada pertumbuhan, pupuk yang ada dalam perairan akan menjadi nutrien untuk tumbuhnya
fitoplankton, fitoplakton dimakan zooplankton yang nantinya dimakan udang vannamei. Perlakuan dengan pemberian
pupuk organik cair akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan tanpa pemberian pupuk organik
cair. Hal itu disebabkan pemberian pupuk organik cair akan meningkatkan kelimpahan plankton, yang akan menjadi
pakan tambahan untuk udang vannamei.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini adalah:
1. Pemberian pupuk organik cair berpengaruh terhadap kelimpahan plankton pada media air pemeliharan udang
vannamei. Semakin tinggi dosis pupuk organik cair semakin meningkat kelimpahan plankton. 2. Pemberian pupuk organik cair berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang vannamei. Semakin tinggi dosis
pupuk organik cair semakin meningkat kelangsungan hidup udang vannamei.
3. Pemberian pupuk organik cair tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan udang vannamei baik laju pertumbuhan
harian dan pertumbuhan mutlak panjang tubuh.
Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, disarankan:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan pupuk organik cair dengan dosis 0,005 ppm pada
kolam/tammedia secara langsung sehingga faktor lingkungan khususnya pengaruh tanah dapat diketahui.
2. Penggunaan pupuk organik cair dengan dosis 0,005 ppm diharapkan petani bisa meningkatkan kualitas air dan
produksi ikan dan udang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. A.,1984. Pengaruh taraf pemberian makanan dan kualitas ransum terhadap retensi energi dan protein
ikan mas(Cyprinus carpio L) karya ilmiah Program Pasca Sarjana, Fakultas Perkanan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor 52 Hal.
Davis, C.C.,1955, The Marin And Freshwater Plankton, Michigan , State University Press, USA. pp : 15 - 20
Direktorat Jendral Perikanan dan Kelautan, 2011, Pusat Data Statistik dan Informasi , Direktorat Jendral Perikanan
dan Kelautan, Departemen Perikanan dan Kelautan, Jakarta , 10 hal.
Djariyah, A.S. ,1995. Pakan Alami Ikan, Kanisius, Yogyakarta hal 7 – 10
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 8
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Effendi, M.I.,1980. Biologi Perikanan, Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan, IPB, Bogor. 163 hal
Hardjowigeno, S.,1987, Ilmu Tanah, PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta
Isnantyo, A. dan Kurniastuty, 1995. Tehnik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton , Kanisius, Yokyakarta. hal 34 –
85.
Kusriningrum, R,. 2008, Perancangan Percobaan, University Airlangga Press, Surabaya.
Maclean , M.H.,K.J. Ang Janet, H. Brown, and K. Jannay, 1989. The Effect Organic Fertilizer and Formulated In Pound Culture of The Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii (deman) prawn production, Journal
Aquaculture, 20 (4): 399 – 406.
Marlina, 2009 , Biokonversi Limbah Industri Peternakan, J. Ilmu Ternak, 2 (1) : 104 - 107
Nazir, M., 1988, Metode Penelitian,Ghalia Indonesia, Jakarta hal 115 – 125
Nejad,S.Z.,M.N.Rezaei,G.A.Takami,D.L.Loveltt,A.R. Mirvaghefi, M. Shakouri, 2006, The Effect Baccillus spp
Bacteria used as Probiotics On Digestive Enzyme Activity, Survival and Growth In The Indian White Shrimp
Fenneropenaeus indicus. Aquaculture. 252 : 516 -624
Paturan, J., K.A. Gray and LS. Zhao. 1982. By Product of The Cane Sugar Industry for Ethanol Fermentation, J.
Chem. Biol. 3 (1) : 25 - 32
Rohmimohtarto, K. Dan S. Juwono, 2006. Biologi Laut.Penerbit Djambatan, Jakarta hal : 343 - 350
Sachlan, M. 1982. Planktonology. Fakultas Perikanan dan Peternakan Universitas Diponegoro Semarang . 182 hal Sastrosupadi, A., 1973. Statistik Percobaan, Lembaga Penelitian Tanaman Industri, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Malang hal 50 – 60
Sarief, 1989, Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian, Pustaka Buana, Bandung, 197 hal
Shin, T.H., 1996 , Practical Uses o Yeast Cultur (CYC – 100) in Swine Chemical, co LTD, Poultry and Ruminan,
Rations, ChoonyA Ang Seoul Korea
Sudjono. 1985. Desain dan Analisiss Eksperimen. Penerbit Tarsito Bandung. hal 76 – 85
Soedibya, P.H.T dan A.S. Siregar, 2007, Evaluasi Penggunaan Pupuk Biostimulan Sebagai Upaya Pengkayaan Pakan
Alami Dan Percepatan Tumbuh Ikan Gurami (Oshphronemus gouramy) in Hatchery Pond. J. Ichthyos , 7 (1)
: 37 -44
Taufik,A. 1988, Peubah Penting Mutu Air Tammedia Udang, Seminar budidaya udang intensif, Panca Utama Human
Resourses Development, Jepara. Hal 1 – 19 Wyban, J..A. and J.N.Sweeney, 1991, Intensif Shrimp Production Technology, The Oceanic Institut Shrimp Manual
Honolulu. 158 pp.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 9
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Analisis Margin Dan Efisiensi Pemasaran Rumput Laut Di Desa Palasa
Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep (MarketingMarginAnalysisAndEfficiencyIn TheVillage OfSeaweed Palasa, Sumenep District)
Dona Wahyuning Laily SP.MP *)
*) Program Studi Agrobisnis Perikanan Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan judul analisis margin dan efisiensi pemasaran rumput laut di Kabupaten
Sumenep untuk mengetahui bentuk saluran pemasaran, jumlah margin dan keuntungan, serta efisiensi pemasaran
yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran. Data dikumpulkan dengan observasi dan wawancara kepada
petani rumput laut. Populasi penelitian ini adalah petani rumput laut daerah pesisir, pengumpul rumput laut, eksportir
maupun industri rumput laut yang ada di daerah Jawa Timur. Pemilihan sampel (responden) dilakukan dengan menentukan sampel petani (simple random sampling), sampel pedagang ditentukan secara purposive, yaitu dengan
memilih pedagang yang menyalurkan rumput laut dari Kabupaten Sumenep. Hasil penelitian menunjukkan,
bahwapola distribusinya atau penyalurannya rumput laut di Desa Talasa, Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep
ada dua macam saluran yaitu pertama dari petani ke pedagang pengumpul, kemudian ke pedagang besar dan terakhir
ke eksportir. Kedua dari petani ke pedagang pengumpul, dan terakhir ke eksportir;usaha rumput laut yang
dilakukan di desa mandalle kecamatan mandalle menunjukkan bahwa margin pada saluran I sama saja dengan margin
pada saluran II dan keuntungan yang diperoleh pada saluran I lebih kecil dari pada saluran II;saluran yang pendek
(saluran II) lebih efisien daripada saluran yang panjang (saluran I).
Kata Kunci : Margin, Efisiensi, Rumput laut.
ABSTRACT
The research has been donewith the titleMarginandMarketing EfficiencyAnalysisof seaweedin the Palasa
Villages, Sumenepregion, inPangkeptoknow marketingchannels, number ofmarginsand profits, as well as marketing
efficiency from marketing agencies. Data were collected throught observation and interviewwithseaweed farmers. The
population consist of coastal seaweed farmers, seaweedcollectors, exportersandseaweedindustryin Esat Java. Selection
ofthe sample(respondents) was conductedby determiningthe samplefarmers(simple random sampling). A
purposivesample oftraders were determinedby selectingachannelmerchantof Sumenep region seaweed. The results
showedthat the pattern ofdistributionof seaweed in Sumenep region were a) from farmerstotraders, wholesalers
andthen to theexporter. b) fromfarmerstotraders, and then to the exporter. Marginsonchannel I the same as
channelIIwith themarginsandprofits earnedonchannel I was smaller thanchannelII; shortchannel(channelII) was
moreefficient thana longchannel(channel I).
Keywords: Margin, Efficiency, Seaweed.
I. PENDAHULUAN
Sumberdaya kelautan berperan penting dalam mendukung pengembangan ekonomi daerah dan nasional
untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya kelautan tersebut
mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat
dimanfaatkan dengan biaya eksplorasi yang murah sehingga mampu menciptakan kapsitas penawaran yang
kompetitif. Di sisi lain kebutuhan pasar yang semakin besar karena kecenderungan permintaan global yang semakin
meningkat.
Indonesia menjadi salah satu penghasil utama rumput laut dan mampu memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan
pasaran dunia. Matadagangan bernilai ekonomi tinggi itu terus diintensifkan pengembangannya dengan sasaran mampu menghasilkan 1,9 juta ton pada 2009. Indonesia memiliki potensi pengembangan rumput laut seluas
1.110.900 hektar, hingga saat ini baru dimanfaatkan seluas 222.180 hektar atau sekitar 20 % (Anggadiredja, 2007).
Oleh karena itu, rumput laut sebagai salah satu komoditas perdagangan dunia, telah banyak dikembangkan di daerah
oleh masyarakat petani, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Sumatera, Jawa dan daerah
lainnya.
Jawa Timur menyimpan potensi sumberdaya kelautan, baik hayati maupun non hayati yang cukup
menjanjikan untuk dikelola. Potensi ini bukan hanya menjadi aset lokal namun juga nasional jika dikelola dan
dimanfaatkan secara arif dan bijaksana. Salah satu komoditas marikultuer yang sedang dikembangkan dan merupakan
salah satu program pengembangan ekonomi pesisir di Jawa Timur saat ini adalah rumput laut.
Dalam pembangunan wilayah pesisir, salah satu pengembangan kegiatan ekonomi yang sedang digalakkan
pemerintah adalah pengembangan budidaya rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan non
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 10
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
migas yang mempunyai prospek yang cukup baik karena mudah dibudidayakan dan mempunyai kegunaan yang
sangat luas yaitu untuk bahan makanan, industri farmasi, industri kosmetik, industri tekstil, industri kulit, obat-obatan
dan lain-lain.
Jawa Timur merupakan provinsi penyumbang terbesar produksi rumput laut nasional. Peningkatan produksi
tercapai karena lahan yang luas untuk pengembangan rumput laut di daerah ini, yakni 250 ribu hektare. Prospek
rumput laut sangat cerah dikarenakan kebutuhan pasar dunia akan rumput laut mencapai 300 ribu ton per tahun (Tribun timur, Edisi : 17 Juli 2008 ). Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur (2008) produksi
rumput laut nasional mencapai 1.728.475 ton basah pada tahun 2007 lalu atau setara 172.847,5 ton kering. Sementara
produksi rumput laut Jawa Timur telah mencapai 670.740 ton basah atau setara dengan 63.074 ton kering (36,5%).
Usaha untuk meningkatkan produksi rumput laut sangat memungkinkan dapat dicapai, karena daerah Jawa Timur
dinilai memiliki potensi sumberdaya perikanan pantai yang cukup besar, teknologi budidaya dan pasca panen mudah
dilaksanakan serta tidak membutuhkan modal yang besar.
Desa palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Timur yang potensial untuk pengembangan rumput laut. Luas wilayah laut mencapai 28.000 Km2, dan lahan yang
berpotensi untuk budidaya rumput laut yang seluas 23.000 Ha (Nur, 2007). Dijelaskan, setiap tahun biasanya
produksi rumput laut Kabupaten Sumenep semakin meningkat tajam. Dari tahun 2006 sebanyak 47.789 ton kering
ekspor, 2007 sebanyak 63.393 ton kering eksport dan tahun 2008 mencapai 71.250 ton kering ekspor. Dan dipastikan
untuk produksi tahun 2009 ini akan meningkat lagi dari tahun sebelumnya. ( Ren, Adjie ). Kegiatan budidaya rumput laut yang semakin berkembang di Desa Palasa, Kecamatan Talango Kabupaten
Sumenep, sehingga produksi rumput laut juga ikut meningkat. Peningkatan jumlah produksi tersebut mendorong
terlaksananya kegiatan pemasaran yang melibatkan beberapa lembaga pemasaran.
Kondisi harga yang sanagat berfluktuasi, yang menimbulkan ketidak pastian pendapatan yang diperoleh
petani dan lembaga pemasaran yang terlibat, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh data dan
informasi yang memadai untuk mengetahui margin, kentungan dan tingkat efisiensi pemasaran yang diperoleh pada
tiap lembaga.
Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk saluran pemasaran rumput laut di Desa Palasa, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep.
2. Berapa jumlah margin dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga pesaran
3. Berapa persen tingkat efisiensi pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran
Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk saluran pemasaran rumput laut di Kabupaten Sumenep
2. Untuk mengetahui jumlah margin dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran
3. Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran pada masing-masing lembaga pemasar
Manfaaat Penelitian Luaran yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai bahan informasi tentang margin, keuntungan
dan tingkat efisiensi yang diperoleh setiap labaga pemasaran rumput laut. Sekaligus dapat dijadikan pedoman oleh
pemerintah dalam membuat kebijakan tentang kegiatan usaha rumput laut di Kabupaten Sumenep.
III. METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Palasa, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa
Timur.
Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data, sebagai berikut :
1. Observasi yaitu peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap proses penyelenggaran kegiatan pada
obyek penelitian.
2. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab kepada petani dan pedangang rumput laut.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 11
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Teknik Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah petani rumput laut daerah pesisir, pengumpul rumput laut, eksportir
maupun industri Rumput Laut yang ada di daerah Jawa Timur. Pemilihan sampel (responden) dilakukan dengan
menentukan sampel petani (simple random sampling), Sampel pedagang ditentukan secara purposive, yaitu dengan
memilih pedagang yang menyalurkan rumput laut dari Desa Palasa. Teknik pengumpulan data primer melalui
observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada petani rumput laut, pedagang pengumpul, pengusaha rumput laut/eksportir, industri rumput laut.
Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder adalah studi kepustakaan melalui dokumen, terbitan, ataupun
publikasi dari instansi terkait seperti Dinas Perindustrian dan perdagangan, Dinas perikanan, Kadin , Badan Pusat
Statistik serta publikasi dari Food and Agriculture Organization (FAO) dan lain-lain.
Jenis dan sumber data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari, (1) identitas
responden (umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman bertani atau berdagang rumput laut), (2)
Bentuk saluran pemasaran rumput laut (lembaga yang dilalui dalam memasarkan rumput laut), (3) Margin dan
keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran (harga beli, harga jual dan jumlah rumput laut yang dijual setiap
lembaga pemasaran, biaya yang dikeluarjkan setiap lembaga), (4) Tingkat efisiensi pemasaran pada masing-masing
lembaga pemasaran (harga beli, harga jual (eceran) dan biaya yang dikelurkn. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kantor-kantor atau instansi terkait yang erat kaitannya
dengan penelitian ini. Kantor-kantor yang dijadikan sumber data adalah Dinas Kelautan/perikan, Biro Pusat Statistik,
Kantor Kecamatan dan Kantor Kabupaten setempat. Adapun jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah : keadaan
umum wilayah, jumlah petani rumput laut , jumlah produksi rumput laut, jumlah penduduk keselutruhan, jumlah
petani rumput laut
Analisis Data
Data akan dianalisis berdasarkan rumus sebagai berikut :
1. Untuk menghitung jumlah margin pemasaran yang diperoleh pada masing- masing lembaga pemasaran,
digunakan rumus sebagai berikut :
M = Hp – Hb .................... ( Hanafiah dan Saefuddin, 1986 )
Dimana M = Margin Pemasaran
Hb = Harga Pembelian
Hp = Harga Penjualan
2. Untuk menghitung persentase margin, digunakan rumus :
%M = M/HE x 100 % ( Hanafiah dan Saefuddin, 1986 )
Dimana %M = Presentase Margin
HE = Harga Eceran
M = Margin
3. Untuk mengetahui jumlah keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus
sebagai berikut :
Π = M – Bp (Adiwilaga, 1996) Dimana Π = Keuntungan Lembaga Pemasaran
M = Margin Pemasaran
Bp = Biaya Penjualan
4. Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran rumput laut pada masing-masing lembaga pemasaran, digunakan
rumus sebagai berikut :
Eps = x 100 % (Soekartawi, 2002)
Dimana Eps = Efisiensi Pemasaran
Bp = Biaya Pemasaran HE = Harga Eceran
Kriteria : - Eps < 5 % Efisien
- EEp > 5 % tidak Efisien
Definisi Opersional Variabel
1. Petani Rumput Laut, adalah individu ataupun kelompok orang yang melakukan budidaya rumput laut.
2. Pedagang pengumpul adalah mereka yang memiliki modal kerja- aktif membeli dan mengumpulkan rumput laut
dari petani rumput laut.
3. Pedagang besar adalah individu atau badan yang membeli rumput laut dari pedagang pengumpul
Bp
HE
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 12
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
4. Eksportir adalah orang atau perusahaan yang melakukan pemasaran rumput laut ke Luar Negeri, baik dalam
bentuk bahan baku, setengah jadi dan lain-lain
5. Biaya pemasaran adalah segala biaya yang dikeluarkan oleh lembaga dalam memasaran rumput laut
6. Margin pemasaran adalah selisih antara harga jual dengan harga beli rumput laut yang dilakuan oleh suatu
lembaga pemasaran.
7. Efisiensi pemasaran adalah perbandingan antara biaya pemasaran dengan total nilai penjualan rumput laut yang dinyatakan dalam bentuk persen.
8. Keuntungan pemasaran adalah selisi dari margin yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan pada setiap
lembaga pemasaran.
9. Rantai pemasaran adalah lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran rumput laut dari petani rumput
laut sampai kepada eksportir rumput laut.
10. Lembaga pemasaran adalah individu atau badan yang melaksanakan kegiatan pemasaran rumput laut, misalnya
produsen (petani rumput laut, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendapatan Petani Rumput Laut
Petani yang melakukan usaha budidaya rumput laut berupaya semaksimal mungkin dengan harapan bisa memperoleh produksi yang tinggi dan mempunyai nilai jual dengan harga yang layak sehingga bisa memperoleh
pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan juga untuk penambahan modal dalam
penambahan jumlah bentangan.
Tabel 1. Jumlah Produksi, Penerimaan Kotor, Pembiayaan, dan Keuntungan/Pendapatan Petani Rumput Laut di Desa
Palasa.
No.
Resp Jumlah Bentangan Biaya
(Rp) Penerimaan Kotor
(Rp) Pendapatan
(Rp)
A B C D E = (D – C)
1 300 5.400.000 7.000.000 1.600.000
2 250 4.685.000 5.600.000 915.000
3 150 3.465.000 4.950.000 1.485.000
4 500 9.000.000 11.250.000 2.250.000
5 100 1.600.000 2.400.000 800.000
6 100 2.265.000 3.000.000 735.000
7 250 4.835.000 6.600.000 1.765.000
8 100 2.200.000 3.000.000 800.000
9 50 900.000 1.200.000 300.000
10 90 1.580.000 2.500.000 920.000
11 150 3.700.000 5.000.000 1.300.000
12 100 1.200.000 2.000.000 800.000
13 120 2.640.000 3.500.000 860.000
14 100 1.494.000 2.000.000 506.000
15 300 4.600.000 6.000.000 1.400.000
16 300 4.600.000 6.000.000 1.400.000
17 300 5.400.000 7.000.000 1.600.000
18 80 1.560.000 2.500.000 940.000
19 200 3.700.000 4.800.000 1.100.000
20 700 15.550.000 17.600.000 2.050.000
Jumlah 80.374.000 103.900.000 23.526.000
Rata-rata 4.018.700 5.195.000 1.176.300
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2010
Pendapatan petani sebagai pengelola agribisnis diperoleh dari total nilai output dikurangi total nilai input
yang dipakai dalam proses produksi, sedangkan untuk menghitung pendapatan keluarga petani diperoleh dari
pendapatan petani sebagai pengelola ditambah unsur biaya yang menjadi pendapatan atau sumbangan keluarga kepada
produksi, diantaranya sewa tanah milik sendiri, bunga modal milik sendiri, dan jasa tenaga kerja kelurga petani
(Sobirin, 1993 dalam Saununu, 2007). Kenyataan yang didapati dalam penelitian di lapangan, dimana kebanyakan
petani rumput laut di Desa Palasa belum memberikan nilai biaya terhadap jasa tenaga kerja diri sendiri maupun bagi
keluarga petani. Tabel 1 menunjukkan bahwa petani rumput laut di Desa Palasa sebanyak 20 orang memperoleh pendapatan
sebanyak Rp. 23.526.000,- per siklus atau pendapatan rata-rata sebesar Rp. 1.176.300,-. Pendapatan terendah
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 13
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
diperoleh sebesar Rp. 300.000,- sedangkan pendapatan tertinggi diperoleh sebesar Rp. 2.250.000,-. Berdasarkan hasil
penelitian pada petani rumput laut, dapat dikatakan usaha budidaya rumput laut mampu memperoleh keuntungan atau
pendapatan bagi petani di Desa Palasa.
Sementara untuk perhitungan R/C Ratio, maka diperoleh nilai sebesar 1,3. Dengan demikian, usaha budidaya
rumput laut di Desa Palasa layak untuk dikembangkan.
Lembaga Pemasaran Rumput Laut Eucheuma cottinii
Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran rumput laut jenis Eucheuma cottinii di Desa Palasa
Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep adalah :
Produsen (petani)
Produsen adalah petani yang melakukan usaha budidaya rumput laut di sekitar pantai (pesisir). Lahan yang
digunakan untuk membudidayakan rumput laut adalah laut lepas yang dikuasai oleh Negara, jadi petani hanya
memiliki hak guna pakai.
Batas lahan yang digunakan sesuai dengan jumlah bentangan tali yang dimiliki oleh tiap-tiap petani dan
penguasaan lahan tersebut tidak dimiliki secara permanen tetapi hanya dikuasai sepanjang mereka melakukan
kegiatan budidaya.
Produksi rumput laut yang dipanen sebagian dijadikan sebagai bibit kembali dan sebagian dikeringkan untuk dijual kepada pedagang. Pengeringan rumput laut dilakukan di atas rumah panggung yang telah dibuat di atas laut.
Pengeringan dilakukan selama kurang lebih 4 hari apabila kondisi cuaca cerah.
Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul adalah pedagang yang membeli langsung kepada petani yang ada di Desa Palasa.
Umumnya rumput laut yang dibeli adalah rumput laut yang telah dikeringkan oleh produsen atau petani rumput laut
yang telah dikemas dengan menggunakan karung yang berisi rata-rata 60-80 kg rumput laut. Pedagang pengumpul
membeli rumput laut kering pada petani dengan harga antara Rp. 6000 – Rp. 9000 per kg.
Pedagang Besar
Pedagang Besar adalah pedagang yang membeli rumput laut dari pedagang pengumpul yang umumnya
berada di Sumenep. Pedagang besar memiliki modal yang besar sehingga mereka dapat menampung sementara
rumput laut untuk menunggu harga yang cocok atau harga yang lebih tinggi.
Eksportir
Eksportir adalah pedagang yang membeli rumput laut dari pedagang besar dan selanjutnya dijual ke luar
negeri.. Eksportir sebagai lembaga pemasaran melakukan kontrol kualitas yang paling ketat untuk memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan oleh konsumen luar negeri. Syarat-syarat yang biasa ditetapkan oleh pembeli adalah
rumput laut dengan kadar air 35 % dan bebas dari benda-benda asing misanya pasir, batu, kayu, dan sebagainya.
Saluran Pemasaran Rumput Laut
Saluran pemasaran rumput laut yang ada di Desa Palasa melalui beberapa lembaga diantaranya
petani/produsen rumput laut, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan eksportir. Adapun pola distribusi atau
penyaluran rumput laut dapat dilihat pada gambarberikut.
Gambar 1. Saluran Pemasaran Rumput Laut dari Petani di Desa Palasa
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 14
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Gambar 1. Saluran Pemasaran dari Petani Rumput Laut di Desa Palasa Kecamatan Palango Kabupaten Sumenep
Gambar tersebut menunjukkan bahwa pemasaran rumput laut mulai dari petani samapai diekspor melaui dua
saluran yaitu 1) petani menjual kepada pedagang pengumpul, selanjutnya melalui pedagang besar dan terakhir
disalurkan kepada pengusaha ekpor. 2) petani menjual kepada pedagang pengumpul dan selanjutnya tidak lagi
melalui pedagang besar, tetapi langsung di bawa kepada pengusaha ekspor.
Margin dan Keuntungan Lembaga Pemasaran
Margin dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran yang menyalurkan rumput laut
dari Desa Mandalle dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada saluran I, margin yang diperoleh oleh pedagang besar lebih besar jika
dibandingkan dengan magin yang diperoleh oleh pedagang pengumpul. Total rata-rata margin yang diperoleh oleh lembaga pemasaran rumput laut sebesar 750 rupiah per kg. Pada saluran II, margin yang diperoleh oleh pedagang
pengumpul sebesar 750 rupiah per kg. Pedagang pengumbul pada saluran II ini langsung menjual kepada padagang
ekspor.
Tabel. 2. Margin dan Keuntungan Pemasaran Rumpt Laut setiap Lembaga Pemasaran di Desa Palasa Kecamatan
Talango Kabupaten Sumenep
Lembaga Pemasaran
Rata-rata Margin (Rp/Kg) Keuntungan (Rp/kg)
Saluran I Saluran II Saluran I Saluran II
Pedagang Pengumpul 200 750 118 529
Pedagang Besar 550 378
Jumlah 750 750 496 529
Sumber : Data Primer setelah diolah
Margin pemasaran yang diperoleh oleh ke dua saluran tersebut sama saja jumlahnya yaitu 750 rupiah per kg.
Hal ini menunjukkan bahwa pedagang ekpor tidak membedakan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul.
Jika dilihat dari keuntungan yang diperole oleh lembaga pemasaran yang menangani ruput laut dari Desa
Mandalle bahwa pada saluran I, pedagang besar juga memperoleh keuntungn yang lebih besar jika dibandinkan
dengan pedagang pengumpul. Jumlah keuntungan yang diperoleh oleh saluran I tersebut sebesar 496 rupiah per kg.
Jumlah keuntungan yang diperoleh pada saluran II sebesar 529 rupiah per kg. Hal ini menunjukkan bahwa saluran II
(saluran yang pendek) lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan saluran I (saluran yang lebih panjang)
Petani/Produsen
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
Eksportir
Petani/Produsen
Pedagang Pengumpul
Eksportir
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 15
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Efisiensi Pemasaran
Efisisiensi pemasaran yang diperoleh pada tiap lembaga dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Efisiensi Pemasaran Rumput Laut di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep
Lembaga Pemasaran
Efisiensi Pemasaran (%)
Keterangan Saluran I Saluran II
Pedagang Pengumpul 0,9 2,3 I & II Efisien
Pedagang Besar 1,8 Efisien
Jumlah 1,3 2,3 Efisien
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada saluran I, pedagang pengumpul lebih efisien jika dibandingkan dengan
pedagang besar. Jumlah efisiensi yang diperoleh oleh lembaga pemasaran rumput laut pada saluran I sebesar 2,7 %.. Pada saluran II, jumlah efisiensi yang diperoleh oleh pedagang pengumpul sebesar 2,3 %. Hal ini menunjukkan
bahwa saluran yang pendek (saluran II) lebih efisien daripada saluran yang panjang (Saluran I)
V. KESIMPULAN
1. Pola distribusinya atau penyalurannya rumput laut di Desa Palasa Kecamatan Talango ada dua macam saluran
yaitu pertama dari petani ke pedagang pengumpul, kemudian ke pedagang besar dan terakhir ke eksportir.
Kedua dari petani ke pedagang pengumpul, dan terakhir ke eksportir.
2. Usaha rumput laut yang dilakukan di Desa Palasa Kecamatan Talango menunjukkan bahwa margin pada saluran
I sama saja dengan margin pada saluran II dan keuntungan yang diperoleh pada saluran I lebih kecil dari pada saluran II. p
3. Saluran yang pendek (saluran II) lebih efisien daripada saluran yang panjang (Saluran I)
DAFTAR PUSTAKA
Adiwilaga. 1996. Ilmu Usaha Tani. Penerbit Alumni Bandung. Bandung
Anggadiredja, J.T. 2007. Potential and Prospect of Indonesia Seaweed Industry Development. The Indonesia
Agency for the Assessment and Application of Technology – Indonesia Seaweed Society. Jakarta.
Assauri. 1987. Prinsip Margin Pemasaran. Erlangga, Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2007. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sulawesi
Selatan. Makassar.
Downey, W.B and Ericson 1992. Manajemen Agribisnis Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hanafiah, dan Saefuddin. 1986. Tataniaga Hasil Perikanan Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Kotler P. 1991. Prinsip Pemasaran. Edisis Bahasa Indonesia. Jakarta.
Mubyarto. 1998. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Yakarta
Nur, S. 2007. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pangkep Di Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Sektor
Perikanan dan Perkebunan Dalam Rangka Mempercepat Pembangunan Daerah. Disampaikan Pada Seminar
Dalam Rangka Dies Natalis Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. Sabtu, 17 Pebruari 2007.
Rahardi, dkk. 1993. Manajemen Produksi Perikanan, Erlangga. Yakarta
Sa’id, E.G dan Intan A.H. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia . Jakarta.
Saununu, P C. 2007. Analisis Pengembangan Agribisnis Jagung di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Saefuddin, A,M. 1995. Harga Margin Pemasaran. Universitas Kelautan Bogor. Bogor.
Soekartawi. 1993. Agribisnis, Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. . 1995. Linear Programming Teori dan Aplikasinya, Khusus dalam Bidang Pertanian. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Soekartawi, DR. 1998. Prinsip Dasar Manajemen Pemasran Hasil-hasil Pertanian. Rajawali Pres. Yogyakarta.
Soekartawi, DR. 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasran Hasil-hasil Pertanian. PT. Raja Grafindo. Jakarta.
Stanton, W.J. 1993. Prinsip Pemasaran Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga. Surabaya.
Swastha. 1991. Saluran Pemasaran (Konsep dan Strategi) Analisis Kuantitatif, BPFE Yogyakarta.
1993. Pengantar Bisnis Modern. Liberty. Yogyakarta.
Tribun Timur. Edisi Kamis, 17 Juli 2008. Potensi Rumput Laut.
Ujung Pandang Ekspres. Edisi : 29 Oktober 2008. Produksi Rumput Laut 1.728.475 Ton.
Vincent, G. 1999. Ekonomi Manajerial. Gramedia, Jakarta.
Prevalensi Penyakit Pada Komoditi Udang Vaname (Penaeus vaname) Dengan Metode
Multipleks Polymerase chain reaction (PCR)
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 16
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Faisol Mas‘ud *)
*) Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan
Abstrak
Udang merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan dalam program revitalisasi perikanan, disamping
rumput laut dan tuna. Pada awalnya jenis udang yang dibudidayakan di air payau adalah udang windu, namun setelah
mewabahnya penyakit terutama WSSV, dan bakteri yang mengakibatkan menurunnya usaha udang vaname,
pemerintah kemudian mengintroduksi udang vannamei pada tahun 2001 untuk membangkitkan kembali usaha
perudangan Indonesia dan dalam rangka diversifikasi komoditas perikanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan prevalensi virus penyebab penyakit kerdil pada pembenihan udang vaname di Kabupaten
Lamongan, Jawa Timur dengan menggunakan multipleks PCR, serta kondisi histolopatogis benih udang vaname.
Sampling dilakukan di 4 lokasi panti pembenihan udang windu di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Pengamatan
sampel dengan multipleks PCR dan histopatologi dilakukan di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan, Universitas
Air Langga Surabaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Parasit Dan Penyakit Ikan diperoleh
kesimpulan bahwa virus yang ditemukan melalui pengujian menggunakan multipleks PCR yang menjadi penyebab
penyakit kerdil pada benih udang vaname di panti pembenihan Kab.Lamongan adalah virus MBV dan virus IHHNV,
Prevalensi masing-masing virus adalah MBV sebesar 95 %, virus IHHNV sebesar 50 %, sedangkan virus HPV tidak
ditemukan,Pengujian histopatologis menunjukkan keberadaan infeksi virus MBV, IHHNV, dan HPV pada sampel
benih udang windu dari lokasi pembenihan di Kabupaten Lamongan.
I.Pendahuluan
Latar Belakang
Udang vaname (Penaeus vaname) merupakan salah satu unggulan sektor perikanan dan kelautan nasional
yang banyak dibudidayakan meskipun beberapa jenis udang lain telah dikembangkan dan dibudidayakan di Indonesia,
antara lain udang galah, udang putih, dan udang vanamei. Sejarah mencatat Sulawesi Selatan pernah menjadi
produsen udang windu terkemuka di era tahun 1980-1990. Namun karena serangan penyakit yang disebabkan oleh
virus di awal 1991 menyebabkan ribuan hektar tambak udang di SulSel mengalami gagal panen. Selanjutnya produksi
udang vaname terus merosot dan sulit untuk bangkit kembali. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu titik sentral produksi udang vaname di Indonesia.
Produksi nasional udang vaname mulai beberapa dekade ke belakang terus menurun seiring kemunculan
penyakit dan mengakibatkan penurunan pendapatan nasional di Indonesia. Penyakit merupakan salah satu faktor
pembatas utama pada peningkatan produksi udang windu yang berkelanjutan. Virus dipertimbangkan sebagai patogen
paling berperan memicu penyakit pada udang windu. Setiap fase hidup dari udang vaname rentan diserang oleh
infeksi virus yang mengakibatkan mortalitas, pertumbuhan lambat dan perubahan bentuk (Anonim, 2011).
Sejalan dengan program peningkatan produksi perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menetapkan target produksi perikanan sebesar 22, 54 juta ton pada tahun 2014, dimana sebanyak 16,89 juta ton
berasal dari perikanan budidaya. KKP menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya, salah satunya adalah udang.
Komoditas ini diproyeksikan mengalami peningkatan produksi tiap tahun sebesar 13% untuk udang windu dan 16%
udang vannamei. Produksi udang pada tahun 2014 ditargetkan sebesar 699 ton udang windu dan 511 ribu ton udang
vannamei. (Renstra Kementrian Kelautan dan Perikanan 20092014). Namun kendala yang dihadapi oleh banyak pembudidaya ikan dan udang adalah adanya serangan penyakit yang menyebabkan kematian.
Penyakit kerdil atau biasa disebut Monodon Slow-Growth Syndrome (MSGS) adalah fenomena yang muncul
pada budidaya udang windu yang tumbuh lambat secara tidak normal dan dengan ukuran yang tidak rata dalam satu
kolam. Sejak tahun 2001, petambak udang vaname di Thailand menemukan pertumbuhan lambat yang tidak biasa dari
hasil panen mereka. Petambak memperoleh ukuran rata-rata 12,5 g dari yang biasanya dapat berukuran 24 sampai 40
g setelah 4 bulan pemeliharaan. Masalah ini membuat usaha budidaya tidak menguntungkan dan menyebabkan
kerugian besar pada industri udang dimana nilai produksi budidaya udang secara dramatis turun hingga 68% pada
tahun 2002 sejak tahun 2000 (Withyachumnarnkul, 2005).
Perkembangan memperlihatkan bahwa udang vaname yang dipelihara di tambak menghadapi dua masalah
utama, yaitu terjadinya kematian massal udang pada umur mencapai 1 sampai 2 bulan akibat infeksi WSSV dan gejala
pertumbuhan yang sangat lambat sehingga meskipun telah mencapai usia panen (100-120 hari pemeliharaan) ukuran udang masih tetap kerdil. Penyebab udang kerdil ini diduga akibat multiple infeksi virus MBV, HPV, dan IHHNV
(Chayaburakul et al., 2004).
Multipleks Polymerase chain reaction (PCR) merupakan variasi metode PCR yang mengaplikasikan dua atau
lebih lokus secara simultan dalam satu reaksi. Dengan mengaplikasikan lebih dari satu lokus dalam satu reaksi,
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 17
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
multipleks PCR menjadi pengujian paling cepat dan sesuai untuk masalah klinis dan penelitian. Sejak dideskripsikan
pertama kali pada tahun 1988, metode ini telah sukses diterapkan pada banyak tes DNA, termasuk analisa
penghapusan, mutasi, pengujian kuantitatif, dan transkripsi terbalik PCR (Anonim, 2011).
Metode pendeteksian cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah penyebaran virus dari balai
pembenihan sampai ke areal tambak. Metode pengujian dengan multipleks PCR saat ini merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk mendeteksi virus-virus tersebut. Saat ini pengujian multipleks PCR di beberapa negara di dunia telah menunjukkan manfaat penggunaan pengujian mulipleks PCR dalam mendeteksi multiinfeksi
virus yang menyerang udang. Khawsak et al (2008) telah menggunakan multipleks RT-PCR untuk mendeteksi 6 jenis
virus pada udang windu dan menunjukkan hasil yang sangat akurat dalam mendeteksi virus tersebut. Di Indonesia,
teknik ini belum umum digunakan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pengujian deteksi virus secara
simultan dengan multipleks PCR.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan prevalensi virus penyebab penyakit kerdil pada pembenihan
udang vaname di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dengan menggunakan multipleks PCR, serta kondisi
histolopatogis benih udang windu.
Manfaat dan kegunaan penelitian ini adalah sebagai informasi jenis dan prevalensi virus yang berasosiasi dengan
penyakit kerdil pada benih udang windu untuk digunakan sebagai langkah pengendalian virus tersebut misalnya rekomendasi kebijakan sertifikasi benih dan penggunaan probiotik.
Tinjauan Pustaka
Morfologi dan Siklus Hidup Udang Windu
Udang vaname merupakan jenis kultivan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan
8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton. Siklus hidup Udang vaname
menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur – naupli – protozoea – mysis – postlarva – juvenil
– udang dewasa (Gambar1).
Gambar 1. Siklus hidup Udang Vaname (Wyban dan Sweeney, 1991) Keterangan: 1. Udang betina bertelur; 2.
Telur; 3. Naupli; 4. Zoea; 5. Mysis; 6. Post larva; 7. Juvenil (Wyban, dan Sweeney, 1991)
Telur yang yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan berkembang menjadi larva (Martosudarmo dan Ranoemihardjo 1979). Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh berupa
kuning telur. Stadia zoea terdiri dari tiga substadia yang berlangsung selama enam hari dan mengalami alih bentuk
tiga kali. Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai
berkembang dan larva bergerak mundur. Selanjutnya stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama
lima hari pertama stadia postlarva udang bersifat plaktonis, dan pada postlarva-VI udang mulai merayap di dasar
(Rahmatun, dan Ahmad, 1989).
Penyakit Viral (Infeksi Virus)
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas utama pada peningkatan produksi udang yang berkelanjutan.
Penyakit udang bisa dibagi atas menular dan tidak menular berdasarkan asalnya (Lightner and Redman, 1998).
Penyakit menular disebabkan oleh virus, bekteri, fungi, dan parasit. Faktor biologi seperti keberadaan mikroba dalam
kolam berperan atas rentannya udang oleh patogen. Manajemen yang baik atas populasi mikroba telah dilakukan dengan menerapkan biosecurity, pengukuran, aerasi, reduksi atau eliminasi patogen dan carriernya, aplikasi probiotik,
pengolahan endapan, treatment pembuangan, pengurangan penggantian air dan treatment air masuk. Hal-hal tersebut
merupakan persoalan penting dalam pencegahan penyakit udang (Horowitz and Horowitz, 2001).
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 18
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Sesuai dengan laporan dari SEAFDEC (1996) bahwa dari 20 panti benih yang terdapat di Ilo-Ilo Philipina,
secara histologis 18% dari sampel yang diperoleh dinyatakan terinfeksi oleh MBV dan 45% oleh Hepatopancreatic
Parvo-like Virus (HPV). Kemudian Puslitbang Perikanan (1994) melaporkan bahwa telah diketahui adanya infeksi
penyakit oleh virus atau virus-like pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus
(WSBV) dan Monodon Baculo Virus (MBV).
Monodon Slow Growth Syndrome
Asia merupakan wilayah nomor satu dalam produksi udang budidaya dengan hasil ekspor mencapai milyaran
dollar amerika pertahun. Meski begitu, produksi tahunan mengalami penurunan di tahun 90an karena penyebaran
epidemic (epizootic) yang disebabkan patogen virus baru. Meskipun virus ini tidak berdampak bagi kesehatan
manusia, tapi telah berakibat melumpuhkan perekonomian petani tambak di Asia.
Perkembangan memperlihatkan bahwa udang windu yang dipelihara di tambak menghadapi dua masalah
utama, yaitu terjadinya kematian massal udang pada umur mencapai 1 sampai 2 bulan akibat infeksi WSSV dan gejala
pertumbuhan yang sangat lambat sehingga meskipun telah mencapai usia panen (100-120 hari pemeliharaan) ukuran
udang masih tetap kerdil. Penyebab udang kerdil ini diduga akibat multiple infeksi virus MBV, HPV, dan IHHNV
(Chayaburakul et al., 2004), dan dikenal dengan gejala Monodon Slow Growth Syndrome (MSGS).
Sejak tahun 2001, petambak udang windu di Thailand menemukan pertumbuhan lambat yang tidak biasa dari
hasil panen mereka. Petambak memperoleh ukuran rata-rata 12,5 g dari yang biasanya dapat berukuran 24 sampai 40 g setelah 4 bulan pemeliharaan (Withyachumnarnkul, 2005). Masalah ini membuat usaha budidaya tidak
menguntungkan dan menyebabkan kerugian besar pada industri udang dimana nilai produksi budidaya udang secara
dramatis turun hingga 68% pada tahun 2002 sejak tahun 2000 (Withyachumnarnkul, 2005).
Krisis ini tampaknya tidak hanya terbatas di Thailand karena baru-baru ini di india telah dilaporkan bahwa
beberapa tambak mengungkapkan adanya pertumbuhan kerdil pada udang windu. Setelah 4 bulan pemeliharaan,
sekitar 30% udang hanya tumbuh 6 g dibanding ukuran biasa yang 30 g. kasus pertumbuhan lambat juga ditemukan di
salah satu tambak komersial Penaeus monodon di Afrika Selatan pada tahun 2004. Apakah penyebab 2 fenomena ini
adalah MSGS atau bukan masih belum diketahui. Kondisi di Afrika Selatan tidak sesuai dengan kriteria definisi
MSGS dimana berat tubuh udang hanya 30% di bawah normal (Withyachumnarnkul, 2005).
Monodon Baculovirus (MBV)
Virus ini pertama kali di temukan di Taiwan yang mengakibatkan keruntuhan industri budidaya udang
vaname pada tahun 1980 an, sebelum kemunculannya yang cukup mengejutkan di Thailand pada tahun 1990. Dalam
penelitian yang dilakukan, virus MBV tidak mengakibatkan mortalitas udang selama kondisi pemeliharaan tetap
bagus.
Gambar 2. Scanning electron micrograph inclusion bodies virus MBV (Flegel, 2006)
Meskipun MBV bukan patogen serius untuk udang vaname, keberadaannya harus dihilangkan dari sistem
budidaya karena udang yang terinfeksi dapat merugikan produksi budidaya. Dan nyatanya, penelitian menunjukkan
bahwa udang yang terinfeksi secara signifikan lebih kecil daripada udang yang tidak terinfeksi (Flegel et al., 2004).
Hepatopancreatic parvovirus (HPV)
Virus ini telah ditemukan di Thailand selama beberapa tahun, tapi informasi prevalensi virus masih sulit
diketahui sampai sekarang. Berdasarkan data, virus ini diduga berbahaya untuk larva udang windu selama bulan awal
setelah penebaran. Bagaimanapun, beberapa hasil terbaru telah menunjukkan hubungan statistik akurat antara infeksi
HPV dengan pertumbuhan kerdil (Gambar 4).
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 19
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Virus HPV pertama kali dikenal di Singapura dan menyebar dalam wilayah indo-pasifik, namun saat ini virus
tersebut ditemukan menyebar pada udang windu liar di wilayah amerika melalui impor benih udang untuk budidaya.
Dalam hal ini, virus ini dipertimbangkan telah menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Gambar 4. Tanda bobot infeksi HPV. Dalam gambar, udang kecil terinfeksi HPV dan udang besar tidak
terinfeksi HPV (Flegel, 2006)
Multipleks PCR
Salah satu perkembangan teknik biologi molekuler yang sangat membantu dalam pengembangan uji-uji
diagnostik adalah PCR. PCR dapat mengamplifikasi DNA dan jumlah yang sedikit menjadi jumlah yang dapat
dideteksi/banyak. Adanya penemuan DNA polymerase (Taq polymerase) yang stabil pada temperatur tinggi dan
pengembangan alat yang mengatur temperatur proses PCR secara otornatis, telah membuat PCR dapat digunakan
untuk uji-uji diagnostik secara praktis. DNA polymerase adalah enzim yang dapat mensintesis rantai DNA yang baru
dan DNA yang sudah ada. Penemuan enzim yang tahan panas sangat membantu untuk mensintesis DNA baru, karena
tahap awal proses PCR dilakukan dengan cara pemanasan rantai DNA yang sudah ada pada temperatur 90°C
(Anonim, 2010).
Reaksi Rantai Polimerase atau Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik sintesis untuk
mengamplifikasi atau melipatgandakan fragmen DNA target secara invitro dengan eksponensial yang menggunakan
primer atau pemula DNA yang tepat. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA in vivo. Berbeda dengan proses replikasi yang berlangsung secara diskrit untuk sepanjang rantai DNA, maka pada proses PCR reaksi ini
berjalan kontinu, tetapi hanya untuk satu segmen tertentu saja dari suatu DNA.
Pengujian gen dan amplifikasi DNA yang PCR telah menjadi standar untuk mendeteksi dan diagnosis virus
udang. Metode ini pertama kali ditetapkan dan diaplikasikan untuk diagnosis IHHNV Kemudian digunakan untuk
semua virus udang penaeids dan dikembangkan dan disediakan secara komersil sebagai alat diagnosis dan sebagai
label uji yang dipasarkan di bawah produk bernama ShrimProbes (DiagXotics, Wilton, Connecticut). Pada PCR,
jumlah DNA yang kecil yang tidak dapat dideteksi dapat diperbesar kuantitasnya yang dapat dideteksi dari DNA
target. Ini dilengkapi dengan menggunakan rancangan oligonucleotide primers yang unik dan spesifik untuk mengikat
target rangkaian molekul sense strands DNA positif dan negatif (Dieffenbach et al., 1994).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Sampling dilakukan di empat lokasi panti pembenihan udang windu di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Pengamatan sampel dengan multipleks PCR dan histopatologi dilakukan di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan
Universitas Airlangga Surabaya.
Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 sebagai berikut:
Tabel 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian
No. Alat Fungsi
1 Micropipet untuk memindahkan secara akurat suatu larutan/cairan dalam volume kecil.
2 Sentrifugator Untuk memutar sampel dalam kecepatan tinggi
3 Alat elektroforesis
Untuk memisahkan segmen DNA berdasarkan aliran listrik
4 Vortex mixer Untuk mencampur larutan dalam proses ekstraksi
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 20
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
DNA
5
Waterbath with shaker Untuk inkubasi sesuai temperature yang diinginkan
6 Tabung eppendorf Untuk mengekstrak DNA
7 Tabung koleksi Untuk mengumpulkan hasil ekstak DNA
8 Thermalcycler Untuk mengaplifikasi segmen DNA
9 UV iluminator Untuk memvisualisasi virus yang terdeteksi
10 Deck glass Untu mengalas jaringan
11 Mikrotom Untu memotong jaringan
12 Mikroskop Untuk mengamati jaringan
13 Tabung PCR Untuk Prosedur PCR
Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
No. alat Fungsi
1 Ethanol Untuk menghilangkan air dalam jaringan
3 Larutan Davidson Untuk memfiksasi jaringan
4 Proteinase K Untuk melarutkan Protein
5 Qia Amp Kit (Qiagen) Untuk ekstraksi DNA
6 Hematoxylin/eosin Untuk mewarnai jaringan
7 Paraffin Untuk menginfiltrasi jaringan agar dapat dipotong menjadi ketebalan tertentu
8 Master mix Komposisi PCR yang terdiri atas dNTP, buffer, dan enzim
9 Coral load Membantu menstabilkan tamplate DNA saat running elektroforesis
10 Primer
Untuk mencocokkan DNA virus dengan template DNA
sampel
Prosedur Kerja
Pengumpulan Sampel
Udang sampel adalah benih udang vaname yang siap ditebar atau dijual ke petani tambak dari 4 panti
pembenihan di Kabupaten Lamongan yang terbagi atas 3 Hatchery (A, B, C) dan 1 Backyard (D). Jumlah sampel
yang diambil sebanyak 300 ekor dari setiap kolam pembenihan udang stadia PL 12-14. Selanjutnya sampel dibawa ke
laboratorium kemudian dilakukan pengacakan secara bertingkat yaitu 300 ekor dibagi ke dalam 3 sub sampel masing-
masing 100 ekor dan dari 100 ekor kemudian diambil 5 ekor secara acak setiap sub sampel untuk dilakukan ekstraksi.
Setiap 5 ekor dari sub sampel digabung untuk dijadikan sebagai 1 sampel ekstrak. Jumlah sampel ekstrak setiap
pembenihan adalah 5 tabung.
Ekstraksi DNA
Deteksi keberadaan virus MBV, IHHNV, dan HPV dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan ekstraksi
DNA dari udang dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan menggunakan teknik M-PCR. Ekstraksi DNA
dilakukan dengan terlebih dahulu menggerus seluruh bagian tubuh udang sampai halus. Selanjutnya ekstraksi DNA
dilakukan dengan menggunakan kit qiagen DNA mini kit menggunakan protokol untuk tissues. Secara berurutan
ekstraksi DNA dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Membersihkan sampel udang yang telah difiksasi dengan alkohol 70 % beberapa kali kemudian menggerus
sampel sampai hancur
2. Mengambil 3 buah tabung mikro (microtube) 1,5 mL dan menambahkan larutan ATL sebanyak 180 µL.
3. Meletakkan sampel dalam 1 buah tabung mikro (microtube) 1,5 mL tersebut.
4. Selanjutnya menambahkan larutan proteinase K sebanyak 200 µL kedalam tabung, kemudian divorteks lalu
melakukan sentrifus cepat. 5. Kemudian menginkubasi tabung pada suhu 56
oC selama semalam atau 3 jam tergantung jenis jaringan. Dalam
kasus inkubasi selama 3 jam sebaiknya melakukan vorteks setiap selang 1 jam untuk menjamin bahwa jaringan
terlisis dengan sempurna.
6. Setelah inkubasi selanjutnya melakukan sentrifus cepat sehingga seluruh cairan yang melengket pada dinding
tabung akan menuju ke dasar tabung, kemudian supernatant dibuang.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 21
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
7. Menambahkan larutan 200 µL buffer Al, memvortex larutan selama 15 detik, lalu menginkubasi larutan pada
suhu 70 oC selama 10 menit. Kemudian melakukan sentrifus cepat dan membuang supernatant
8. Selanjutnya menambahkan 200 µL ethanol 99,5 % (ethanol absolut)
9. Memindahkan larutan dari tabung mikro (microtube) pada QIAamp mini spin kolom (dalam 2 mL tabung
koleksi), pada saat memindahkan larutan agar tidak menyentuh dinding tabung. Menutup penutup tabung dan
melakukan sentrifus pada 8000 rpm selama 1 menit, meletakkan QIAamp kolom pada tabung koleksi yang baru dan membuang tabung koleksi yang sudah mengandung filtrate.
10. Menambahkan 500 µL buffer AW1 tanpa menyentuh dinding tabung, menutup penutup, lalu melakukan sentrifus
8000 rpm selama 1 menit, kemudian meletakkan kembali kolom pada tabung koleksi yang baru dan tabung
koleksi yang mengandung filtrate lalu dibuang.
11. Menambahkan 500 µL buffer AW 2 pada column tanpa menyentuh pinggir tabung, metutup tabung lalu
melakukan sentrifus pada 1400 rpm selama 3 menit
12. Membuang filtrate lalu menempatkan kembali kolom pada tabung koleksi yang sama, lalu melakukan sentifus
kembali pada 1400 rpm selama 1 menit.
13. Selanjutnya meletakkan QIAamp kolom pada tabung mikro (microtube) 1,5 mL dan menambahkan buffer AE
sebanyak 100 µL, menginkubasi pada suhu kamar selama 1 menit, lalu melakukan sentrifus pada 8000 rpm
selama 1 menit
14. Mengulangi langkah 13 dengan menambahkan lagi larutan buffer AE sebanyak 100 µL pada tabung yang sama, lalu diinkubasi selama 1 menit dan selanjutnya disentrifus pada 8000 rpm selama 1 menit. Total larutan DNA
yang diperoleh adalah 200 µL.
15. Menyimpan hasil ekstrak DNA pada suhu -20 oC sebelum digunakan
Amplifikasi DNA Amplifikasi DNA dengan teknik M-PCR dilakukan dengan komposisi, primer, dan kondisi PCR sebagai
berikut:
Komposisi M-PCR
Master mix 12,5
Primer 0,8 X (3 psg)
Template DNA 2,0
MiliQ 3,2
Coral Land 2,5
Jumlah 25 µL
Kondisi PCR
Proses Suhu Lama
Predenaturasi 94 C 10’
Denaturasi 94 C 30’
Annealing 56 C 30’’
Extension 72 C 1’
Final Extension 72 C 5’
Siklus PCR 35 Siklus
Elektroforesis Persiapan gel agarose. Agarose ditimbang sesuai dengan keperluan, kemudian dilarutkan dalam larutan
TAE 1 x. Dalam penelitian ini konsentrasi agarose yang digunakan adalah 1,5%. Dengan menggunakan pemanas
(hotplate) agarose dilarutkan sampai mendidih dan setelah mendidih dibiarkan selama kurang lebih 25 menit sampai
suhunya sekitar 50oC, kemudian dicetak dalam tray agarose yang telah dilengkapi dengan sisir untuk membentuk
sumur-sumur gel. Setelah agarose dingin, dengan sangat hati-hati sisir tray diangkat kemudian gel dimasukkan
kedalam elektroforesis apparatus yang telah diisi dengan TAE 1 x sebagai buffer elektroforesis.
Running elektroforesis. Untuk mengetahui apakah suatu sampel terinfeksi dengan virus (MBV, IHHNV,
HPV), maka hasil PCR sebanyak 10 µL di-running dalam gel elektroforesis mini bersama-sama dengan DNA marker
100bp. Setelah semua hasil PCR diinjeksikan kedalam sumur-sumur gel elektroforesis, selanjutnya elektroforesis
dijalankan dengan kondisi 100 volt, selama 45 menit.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 22
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Visualisasi DNA
Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida (konsentrasi 1 mg/mL) selama 10 – 15
menit. Selanjutnya gel dicuci dengan akuadest selama 5 – 10 menit. Untuk mengetahui ada tidaknya infeksi HPV,
IHHNV dan MBV terhadap sampel-sampel yang dideteksi maka gel hasil elektroforesis diamati menggunakan uv
transilluminator yang sekaligus dilakukan pengambilan foto.
Parameter Penelitian
Prevalensi Virus
Tingkat infeksi virus dinyatakan dalam prevalensi, dihitung dengan petunjuk Fernando et.al (1972) sebagai
berikut:
𝑃𝑟𝑒𝑣 = 𝑁
𝑛 × 100 %
Dimana :
Prev : Persentase udang yang terserang virus (%)
N : Jumlah sampel yang terinfeksi virus (ekor)
n : Jumlah sampel yang diamati (ekor)
Histopatologi
Histopatologi udang yang terinfeksi virus diketahui dari kondisi histologi seperti hypertropeid nukleat,
respon eosinofilik atau basofilik jaringan (Lightner, 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi DNA
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan teknik multipleks PCR (Polymerase chain reaction) di
Laboratorium Parasit Dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan terhadap sampel benih udang windu dari 4 lokasi pembenihan di Kabupaten Takalar, diperoleh hasil bahwa benih udang terinfeksi oleh dua jenis virus MSGS yaitu
virus MBV dan IHHNV. Berikut contoh gambar visualisasi DNA sampel yang terinfeksi virus tersebut:
M 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 5. Visualisasi DNA hasil M-PCR dari sampel B dan C
Keterangan: M (Marker); Lane 1-7= + MBV; Lane 3, 5, 6, 7= + IHHNV
Gambar di atas menunjukkan visualisasi DNA dari 7 buah sampel pengamatan yang terdiri atas 3 buah
sampel lokasi B dan 4 buah sampel lokasi C. Pada visualisasi DNA di atas, pita DNA tampak menunjukkan
keberadaan virus MBV dan virus IHHNV yang berada pada ukuran 305 bp dan 302 bp, sedangkan pita DNA virus
HPV dengan ukuran 659 bp tidak tampak pada visualisasi DNA di atas maupun visualisasi DNA sampel lainnya dari
empat lokasi pembenihan udang vaname di Kabupaten Lamongan.
Meskipun pita DNA virus HPV tidak tampak, tapi kemungkinan keberadaan virus tersebut masih besar. Pita
DNA virus HPV yang tidak tampak bisa disebabkan kondisi dan komposisi PCR yang belum optimal misalnya suhu
atau waktu annealing yang belum optimal atau kombinasi ketiga pasangan primer yang digunakan pada penelitian ini
tidak cocok.
Teknik multipleks PCR yang digunakan dalam pendeteksian keberadaan virus sangat berperan dalam
melakukan pendeteksian dini dan cepat terhadap keberadaan lebih dari satu virus yang menyerang benih udang yang diteliti. Deteksi dini dan cepat pada sampel membantu dalam penanganan dan pengendalian virus yang tepat.
1000 bp
500 bp
100 bp
305 bp
302 bp
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 23
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Saat ini, pengujian tercepat dan sensitif dalam mendeteksi asosiasi virus penyebab penyakit kerdil pada benih
udang windu adalah dengan menggunakan teknologi polymerase chain reaction (PCR) yang memerlukan waktu
kurang lebih 3 jam hingga selesai. Namun, pengujian kromatografik juga telah dikenalkan saat ini. Meskipun tidak
sepeka metode PCR, metode tersebut sangat spesifik dan mudah digunakan (Flegel, 2006).
Prevalensi Virus
Berdasarkan hasil visualisasi DNA virus yang ditemukan pada semua sampel dari 4 lokasi pembenihan
udang windu di Kabupaten Lamongan, dilakukan penghitungan tingkat prevalensi virus dengan hasil seperti pada
tabel 3:
Tabel 3. Prevalensi virus dari 4 lokasi pembenihan di Kabupaten Situbondo
Lokasi
Pembenihan
Jumlah
sampel
Positif
MBV
Prev.
MBV
(%)
Positif
IHHNV
Prev.
IHHNV (%)
Positif
HPV
Prev.
HPV (%)
A 5 4 80 0 0 0 0
B 5 5 100 4 80 0 0
C 5 5 100 3 60 0 0
D 5 5 100 3 60 0 0
Rata-rata
95 %
50 %
0 %
Dari tabel di atas, diketahui bahwa tingkat prevalensi virus MBV di Kabupaten Situbondo adalah yang
tertinggi yaitu 95 % sedangkan tingkat prevalensi virus HPV adalah yang terendah yaitu 0% karena tidak
ditemukannya virus tersebut pada benih yang diteliti berdasarkan hasil visualisasi DNA virus. Tabel di atas
menunjukkan secara keseluruhan bahwa panti benih (Hatchery dan Backyard) di Kabupaten Lamongan hanya
terjangkit oleh virus MBV dan IHHNV, sedangkan keberadaan virus HPV tidak ditemukan pada benih yang diteliti.
Prevalensi virus MBV sebesar 95% adalah yang tertinggi disebabkan karena virus MBV merupakan
Baculovirus tipe A yang mengandung DNA stranded ganda sebagai tipe asam nukleatnya sehingga multiplikasi DNA-
nya lebih banyak (Lightner, 1996). Selain itu, tingginya tingkat prevalensi virus sangat dipengaruhi oleh tingkat
kepadatan benih di kolam pembenihan. Dari informasi yang diperoleh di lapangan, terdapat 3 Panti benih di
Kabupaten Lamongan yang hanya memiliki satu kolam pembenihan untuk setiap stadia post larva yang dipelihara,
sehingga mengakibatkan penumpukan benih udang dan meningkatkan terjadinya penyebaran virus yang cepat. Oleh
karena itu, berdasarkan penghitungan prevalensi, juga ditemukan keberadaan virus IHHNV yang cukup besar yaitu 45
%. Walaupun tidak mematikan inangnya, MBV menghambat pertumbuhan udang (Flegel and Pasharawipas,
1998). Dari aspek patologis, gangguan pertumbuhan udang terkait dengan gangguan pada sistem pencernaan dan
metabolisme. Sistem pencernaan memiliki organ-organ bagian terkait. Organ-organ pencernaan udang yang penting
adalah Hepatopankreas (HP) dan perut bagian tengah (mid gut atau MG) sebab pada bagian-bagian ini berlangsung
pencernaan makanan dan penyerapan nutrisi oleh udang (Vogt, 1992). Oleh sebab itu, benih memiliki kerentanan
yang sama untuk terjangkit virus MBV karena pada stadia post larva udang memerlukan penyerapan nutrisi dan
pencernaan yang optimal.
Prevalensi virus HPV sebesar 0% (tidak ditemukan) disebabkan kondisi dan komposisi PCR yang belum
optimal misalnya suhu atau waktu annealing yang belum optimal atau kombinasi ketiga pasangan primer yang
digunakan pada penelitian ini tidak cocok.
Histopatologi
Berdasarkan pengamatan histopatologi yang dilakukan terhadap sampel benih udang windu di panti-panti
benih Kabupaten Takalar, didapatkan sebuah gambar mikroskopis yang sesuai dengan ciri bentuk infeksi virus MBV,
IHHNV, dan HPV yang ditemukan pada sampel D (Gambar 6) sebagai berikut:
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 24
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
IHHNV HPV
MBV
Gambar 6. Gambar histopalogis infeksi virus MBV, IHHNV, dan HPV yang ditemukan
(Pembesaran1000 X, H & E)
Gambar di atas menunjukkan suatu bentuk occlusion body dari virus MBV pada jaringan benih udang yang
diambil dari sampel D. Sesuai tingginya tingkat prevalensi virus MBV pada sampel D, virus telah tampak menyebar
pada hampir keseluruhan jaringan hepatopankreas benih udang di atas.
Virus MBV membentuk badan oklusi (Occlusion body) yang berbentuk elips dan berwarna merah jambu
(eosinofilik) karena pewarnaan Hematoxylin-Eosin (H&E). kepekatan warna dan diameter badan oklusi tersebut
bervariasi tergantung tahap perkembangan infeksi. Semakin tinggi tahap infeksi MBV, semakin pekat warna dan semakin besar diameter badan oklusinya (Lightner, et al 1983 dan Dubrovsky et al, 1988). Pada pengambilan gambar
secara photomicrograph yang pernah dilakukan pada sampel udang vaname di Thailand dapat dilihat tingkatan
infeksi virus MBV seperti gambar di bawah ini:
Gambar 7. Photomicrograph tingkat infeksi virus MBV (Flegel, 2006)
Pada gambar di atas, bisa dilihat nucleus yang terinfeksi MBV pada tingkat awal dan nucleus yang terinfeksi
pada tingkat akhir. Jika dibandingkan dengan melihat hasil gambar mikroskopis yang diperoleh maka dapat
disimpulkan bahwa benih udang telah tersinfeksi virus MBV pada tahap yang tinggi.
Selain virus MBV, keberadaan Virus IHHNV juga tampak pada gambar histologis di atas. Virus IHHNV
dapat dikenali dengan melihat ciri occlusion body yang berwarna merah jambu. Di dalam occlusion body virus
IHHNV, juga terdapat inclusion body yang berwarna merah jambu sehingga terdapat 2 buah badan oklusi pada
nucleus sel yang terserang virus IHHNV tersebut.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 25
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Gambar 8. Infeksi IHHNV pada nukleus antennal gland udang windu (Flegel,2006).
Gambar di atas menunjukkan nucleus dari sel yang terinfeksi virus IHHNV pada organ antennal gland udang
vaname. Gambar diambil dari udang vaname yang memiliki bentuk organ antenna yang mengalami perubahan bentuk
tidak normal. Oleh karena itu ditemukannya virus IHHNV pada benih udang vaname akan sangat merugikan apabila
tidak dideteksi dan ditangani lebih awal. Pada gambar histopalogis juga bisa dilihat keberadaan infeksi virus HPV yang tidak ditemukan melalui
pengujian menggunakan teknik multipleks PCR. Bentuk infeksi virus HPV ditunjukkan oleh nucleus yang berwarna
ungu (bersifat basofilik) seperti gambar di bawah ini:
Gambar 9. Histopatologi virus HPV pada hepatopankreas udang di Thailand (Flegel, 2006)
Virus HPV di atas ditemukan pada sel organ hepatopankreas sampel udang vaname di Thailand. Pada tahap
awal infeksi virus HPV, nuclei terlihat masih berukuran normal namun seiring meningkatnya tahap infeksi virus,
nuclei terlihat menjadi lebih besar. Virus HPV pada organ hepatopankreas berdampak pertumbuhan lambat pada
udang sehingga menyebabkan benih udang tidak tumbuh secara normal.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Parasit Dan Penyakit Ikan diperoleh kesimpulan
sebagai berikut: 1. Virus yang ditemukan melalui pengujian menggunakan multipleks PCR yang menjadi penyebab penyakit
kerdil pada benih udang windu di panti pembenihan Kab. Takalar adalah virus MBV dan virus IHHNV.
2. Prevalensi masing-masing virus adalah MBV sebesar 95 %, virus IHHNV sebesar 50 %, sedangkan virus
HPV tidak ditemukan.
3. Pengujian histopatologis menunjukkan keberadaan infeksi virus MBV, IHHNV, dan HPV pada sampel benih
udang windu dari lokasi pembenihan di Kabupaten Takalar.
SARAN Analisa keberadaan virus penyebab penyakit kerdil menggunakan teknik multipleks PCR sangat bermanfaat
untuk mendeteksi keberadaan virus tersebut. Oleh karena itu, pengaplikasian metode ini akan sangat baik apabila
dilakukan di semua usaha budidaya udang vaname di Kabupaten Lamongan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut Lampung, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 26
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Anonim, 2010. Penerapan Best Management Practice
http://www.dkp.go.id/upload/Juknis%20Penerapan%20Best%20Management%20Practices%20 _BMP_.pdf,
pada tanggal 28 November 2010, pukul 08.00 wita di Makassar.
Anonim, 2010. Budidaya Udang Windu http://www.karangtarunabanten.com/2010/11/budidaya-udang-windu.html
Pada tanggal 3 Desember 2010, pukul 19.00 WITA
Anonim, 2010. Introduction of MSGS http://www.iq2000kit.com/introductionofmsgs.htm Pada tanggal 11 Desember
2010, pukul 21.00 WITA
Anonim, 2010. Era Uji Diagnostik Molekuler http://teknologilaboratoriumkesehatan.blogspot.com/2010/06/pcr-era-
uji-diagnoistik-molekuler.html, pada Tanggal 12 Desember 2010, pukul 19.00 WITA
Chayaburakul, K., Nash, G., Pratanpipat, P., Sriurairatana, S., Withyachumnarnkul, B., 2004. Multiple pathogens
found in growth-retarded black tiger shrimp Penaeus monodon cultivated in Thailand. Dis. Aquat. Org. 60:
89–96.
Dieffenbach, C. W., Lowe, T. M. J., and Dvekster, G. S. 1995. General concepts for PCR primer design. In PCR
PRIMER: A Laboratory Manual (C. W. Dieffenbach, and G. S. Dvekster, Eds.), pp. 133–142. Cold Spring
Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, NY. Flegel T.W, and Pasharawipas, T. 1988. Active viral accommodation: a new concept for crustacean response to viral
pathogen in advances in shrimp biotechnology (editor: T.W. Flegel) national center for genetic engineering
and biotechnology, Bangkok: 245-250
Flegel, T.W., 2006. Detection of major penaeid shrimp viruses in Asia, a historical perspective with emphasis on
Thailand. Aquaculture 258: 1-33.
Horowitz A, Horowitz. 2001. Microorganisms and feed management in aquaculture. Global aquaculture. Advocate,
3(2): 33-34
Khawsak, P., Deesukon, W., Chaivisutangkura, P., and Sukhumsirichart, W. 2008. Multipleks RT-PCR Assay to
Simultaneous detection of six viruses of penaeid shrimp. Molecular and celluler probes. 22:177-183
Lightner, D.V., Redman, R.M., and Bell, T.A. 1983. Observations on the geographic distributions, pathogenesis, and
morphology of The Baculovirus from Penaeus monodon fabricius. Aquaculture 23: 209-233 Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Cultured Penaeid
Shrimp. Baton Rouge, LA: World Aquaculture Society.
Lightner, D.V., Redman, R.M., 1998. Shrimp diseases and current diagnostic methods. Aquaculture 164: 201–220.
Lightner, D.V. and Redman, R.M., 1998. Strategies for the control of viral diseases of shrimp in the Americas. Fish
Pathology 33:165-180.
Lightner, D. V. 1999. The Penaeid Shrimps Viruses TSV, IHHNV, WSSV, and YHV : Current status in the Americas,
Available Diagnostic Methods, and Management Strategies. In the Nutrition Fish Healt. Editor : Chhorn Lim,
Carl D. Webster. Food Production Press. New York – London – Oxford.
Rahmatun, S. dan Ahmad Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Vogt, G., 1992. Transformatons of anterior nid-gut and hepatopancreas cells by monodon baculovirus (MBV) in
Penaeus monodon post larvae. Aquaculture 107: 239-248
Withyachumnarnkul, B., 1999. Results from black tiger shrimp Penaeus monodon culture ponds stocked with postlarvae PCRpositive or -negative for white-spot syndrome virus (WSSV). Dis. Aquat. Org. 39: 21–27.
Wyban, J.A., dan Sweeney, J.N., 1991. Intensive Shrimp Production Technology. Hawai: The Oceanic Institute.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 27
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Margin Pemasaran Komoditas Ikan Patin Di Desa Kedungwangi Dan Desa
Nogojatisari Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan
Wachidatus Sa’adah
Dosen Agrobisnis Perikanan
ABSTRAKSI
Salah satu upaya pembangunan usaha perikanan dalam mengantisipasi penurunan hasil tangkapan dari
perairan umum adalah melakukan pengembangan usaha budidaya perikanan secara berkesinambungan. Tujuan
penelitian Untuk mengetahui peningkatan margin pemasaran komoditas ikan patin di Desa Kedungwangi dan
NogoJatisari.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik pengambilan data meliputi observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini adalah Harga ikan patin ditingkat produsen Rp 12.500 per kg sedangkan harga ditingkat
konsumen Rp 15.000,00 per kg, sehingga diperoleh marketing margin sebesar Rp 2.500 Margin terbesar terjadi pada
lembaga pemasaran ditingkat pedagang pengumpul, yaitu sebesar Rp 1.000,00 per kg ikan patin, sementara untuk
pedagang pasar dan pengecer hanya sebesar Rp 500,00 per kg ikan. Namun keuntungan yang diterima pedagang pasar
dan pengecer lebih kecil dari pedagang pengumpul. Untuk Nilai marketing margin pada tingkat pedagang pengumpul
4% dengan fisherman share 96% nilai marketing margin di tingkat pendagang pasar 11% dengan fisherman shere 89%
dan nilai marketing margin di tingkat pedagan pengecer 14% dengan fisherman share 86% bila dilihat nilai
marketing margin dan fisherman share pada setiap rantai pemasaran maka diperoleh nilai fisherman share lebih besar
dari nilai marketing margin. dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemasaran ikan patin dari Kecamatan Sambeng
pada setiap pendagang perantara sudah efesien begitu juga pemasaran ikan patin sampai konsumen sudah efisien
karena nilai fisherman share lebih besar dari nilai margin. Untuk mendapatkan hasil penjualan yang tinggi , disarankan kepada petani untuk menjual langsung kependagang
pengecer, tidak hanya kepada pengumpul saja. Apabila hasil ikan patin yang dipanen dalam jumlah yang banyak maka
stok/persediaan ikan patin untuk dikirim ke Kabupaten Lamongan dan kedaerah pemasaran lainnya.
Kunci: Margin Pemasaran, Ikan Patin
PENDAHULUAN
Salah satu upaya pembangunan usaha perikanan dalam mengantisipasi penurunan hasil tangkapan dari
perairan umum adalah melakukan pengembangan usaha budidaya perikanan secara berkesinambungan. Usaha ini
sangat diharapkan dapat lebih berperan serta dalam menyediakan bahan makanan yang berprotein dan bernilai gizi
yang tinggi, peningkatan peluang kerja dan mendorong kesejahteraan masyarakat serta pendapatan negara melalui kegiatan ekspor komoditi perikanan
telah banyak petani ikan yang membuka usaha budidaya ikan patin siam meskipun hanya dalam skala
tertentu Keberhasilan usaha ikan patin sangat ditentukan oleh input yang berkualitas yang diperoleh dari proses
produksi yang baik pula. Kualitas dan kuantitas benih ikan sangat menentukan output ikan patin yang akan dihasilkan.
Mengingat pentingnya kegiatan pemasaran bagi petani ikan, maka masalah pemasaran harus diperhatikan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani. Permasalahan yang sering dijumpai dalam pemasaran ikan patin
yaitu masalah sistem jual beli ikan yang tidak cash. Kondisi seperti ini tentu berakibat kepetani ikan itu sendiri
terutama mereka harus menambah biaya pakan kalau seandainya pedagang tersebut terlambat membeli ikan yang
sudah selayaknya dipanen.
Hasil panen ikan dibeli oleh padagang pengempul yang ada di sekitar Lamongan, namun pemasaran selama
ini hanya dipasarkan dipasar lokal. Akibat supplay ikan patin yang banyak dari lamongan menyebabkan pasar lokal
kelebihan daya tampung, sehingga ada pemikiran bagi pedagang pengumpul untuk memasarkan ikan patin ke kabupaten Jombang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana margin pemasaran komoditas ikan patin di Desa
Kedungwangi dan Nogojatisari
METODE PENELITIAN
Objek penelitian yang menjadi sumber data penelitian adalah para petani ikan dan pendagang ikan di Desa
Nogojatisari Dan Desa Kedungwangi Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan, dan penelitian ini dilakukan pada
bulan Januari 2013. yang diteliti kasus margin pemasaran komonditas ikan patin Desa Kedungwangi dan Nogojatisari,
Kecamatan Sambeng, KabupatenLamongan.
Data dikumpulkan dengan teknik wawancara langsung pada responden yang berpedoman pada daftar
pertanyaan (kuisioner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu dengan prosedur penelitian Purposive Sampling. Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 28
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Data yang terkumpul dilapangan ditabulasikan dalam suatu daftar tabel yang kemudian di analisis secara
deskriptif untuk menggambarkan keadaan dari tujuan penelitian. Untuk mengetahui biaya produksi atau biaya
pemasaran dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran dicari dengan rumus sebagai berikut:
a. Biaya produksi yang dikeluarkan petani ikan di tentukan dengan rumus
BP = BV + BT
Dimana : BP = Biaya produksi,
BV = Biaya variabel
BT = Biaya tetap.
b. Keuntungan yang diperolah patani ikan ditentukan dengan rumus
K = P – BP
Dimana :
K = Keuntungan,
P = Penerimaan
BP = Biaya produksi
c. Marketing margin dihitung dengan menggunakan rumus
𝑀𝑀 = 𝐻𝐾 −𝐻𝑃
𝐻𝐾𝑥 100%
Dimana :
MM = Marketing margin
HK = Harga di konsumen
HP = Harga diprodusen
d. Fisherman share ditentukan dengan rumus
𝐹𝑆 = 𝐻𝑃
𝐻𝐾𝑥 100%
Dimana :
FS = Fisherman share,
HP = Harga di produsen, HK = Harga di konsumen
e. Efisiensi pemasaran ditentukan dengan cara membandingkan nilai marketing margin dengan fisherman share,
dengan ketentuan bila marketing margin lebih kecil dari fisherman share maka pemasaran dikatakan masih
efisien, dan sebaliknya tidak efisien bila marketing margin lebih besar dari fisherman share.
PEMBAHASAN
1. Produksi Ikan Patin
Produksi ikan hasil budidaya di Kecamatan Sambeng tercatat sebanyak yang terdiri dari beberapa jenis ikan,
antara lain ikan patin dari 2 responden petani ikan patin yang menjadi sampel yang memilki luas kolam mulai dari 200
meter persegi hingga 750 meter persegi dengan rata-rata 3.398 meter persegi menghasil tingkat kelangsungan hidup
ikan patin sebanyak 217,5%. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan bila petani dapat menekan mortalitas ikan selama pemeliharaan yang mortalitasnya mencapai 20% dari jumlah benih yang di tebar ke kolam, dan memberi
pakan yang cukup serta berkualitas. Pakan yang diberikan petani ikan ke ikan peliharaan berupa pakan pellet, tapi
karena harga pakan cukup tinggi maka dalam pemberian pakan petani tidak sepenuhnya menggunakan pellet sehingga
pertumbuhan ikan menjadi pertumbuhan ikan menjadi lambat dan masa panen pun tertunda sampai 8 bulan atau 9
bulan pemeliharaan.
Sementara masalah yang dihadapi petani ikan dalam menjalankan usahanya adalah masalah dana operasional
untuk memulai pemeliharaan ikan setelah panen, karena petani baru bisa mendapatkan uang hasil penjualan ikan
setelah 1-2 minggu ikan terjual, sehingga yang seharusnya petani dapat langsung menebar benih ikan yang baru
terpaksa menundanya sampai ada dana untuk musim pemeliharaan berikutnya.
Tabel 1. Luas kolam, Padat Tebar, Mortalitas, dan Tingkat Kelangsungan hidup (SR %) Ikan Patin
Resp Unit Kola
m
Luas Kola
m (m
2)
Padat Tebar (Ekor/
m2)
Mortalitas (%)
(SR % )
1 2
2 2 1 4 3
600 300 200 750 430
3750 1875 2500 2344 1792
20 10 10 20 5
80 90 90 80 95
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 29
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Jumlah
12 1752 4380 65 435
Rata-rata
6 876 2190 32,5 217,5
Data Primer, 2012
2. Biaya Produksi dan Keuntungan Petani Ikan Keuntungan merupakan hal yang menjadi tujuan bagi setiap pengusaha, dan begitu pula bagi seorang petani
ikan yang membudidayakan ikan patin dalam kolam serta para pedagang yang memasarkan ikan hasil budidaya.
Keuntungan merupakan hal yang menjadi tujuan bagi setiap pengusaha, dan begitu pula bagi seorang petani
ikan yang membudidayakan ikan patin dalam kolam serta para pedagang yang memasarkan ikan hasil budidaya. Besar
kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh setiap pengusaha sangat tergantung pada besarnya penerimaan yang
diterima dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha yang dilakukan. Untuk petani ikan besarnya
keuntungan ditentukan oleh jumlah nilai penjualan ikan dikurangi biaya produksi yang dikeluarkan selama periode
pemeliharaan. Sedangkan untuk pedagang ikan besarnya keuntungan yang diperoleh ditentukan oleh nilai penjualan
dikurangi dengan biaya pemasaran selama proses pemasaran.
3. Biaya Produksi dan Keuntungan Petani Ikan Untuk mengetahui berapa besar biaya dan keuntungan yang diperoleh petani pembudidaya ikan patin di
Kecamatan Sambeng Tabel 2 memberikan gambaran.
Keuntungan petani ikan terendah diperoleh di Desa Kedungwangi sebesar Rp. 1.988.000 dan tertinggi
diperoleh Desa Nogojatisari sebesar Rp. 19.470.000 dengan rata-rata keuntungan sebesar Rp. 20.315.000 atau sekitar
Rp. 1.550 per kg ikan. Keuntungan sebesar itu bukan merupakan keuntungan yang diterima tepat untuk masa 7 bulan
pemeliharaan.Keuntungan yang diterima petani cukup yaitu sekitar Rp. 1.550,- per kg ikan yang dihasilkan.
Keuntungan ini merupakan keuntungan atas biaya aktual (nyata) saja yang dikeluarkan petani, sedangkan biaya tidak
nyata belum diperhitungkan sebagai biaya Secara rata-rata biaya aktual yang dikeluarkan petani ikan untuk
menghasilkan 1 kg ikan patin diperkirakan sebesar Rp. 6.100 yang meliputi biaya pembelian benih ikan, pakan, kapur,
bahan pembasmi hama penyakit (putas). Biaya terbesar dikeluarkan berupa biaya pembelian pakan yaitu hampir 80%
sedangkan pembelian bibit hanya sekitar 10% dan sisanya untuk keperluan pembelian yang lain.
Tabel 2. Biaya Produksi, Penerimaan dan Keuntungan Budidaya Ikan Patin dalam Kolam
Resp Luas Kolam (m2)
Biaya Produksi (Rp 000)
Penerimaan (Rp 000)
Keuntungan (Rp 000)
1
2
600 300 200 750 430
18.030 17.750 16.800 18.100 18.440
37.500 21.093 28.125 22.504 20.428
19.470 3.343
11.325 4.404 1.988
Jumlah 40.730
Rata-rata 20.315 Data Primer, 2012
4. Efisiensi Pemasaran Ikan Patin Untuk mengetahui suatu sistem pemasaran komoditi (ikan patin) apakah masih efisien atau sudah tidak
efisien lagi, maka kita harus ketahui berapa besar nilai marketing margin dan nilai fisherman share dari komoditi yang
dipasarkan. Marketing margin adalah perbedaan harga pada tingkat produsen dengan harga ditingkat konsumen.
Marketing margin terdiri dari komponen biaya pemasaran dan keuntungan yang diterima oleh pedagang. Artinya
besarnya marketing magin tidak hanya ditentukan oleh keuntungan yang diambil pedagang, tapi juga ditentukan oleh
biaya yang dikeluarkan pedagang yang bersangkutan. Biasanya pedagang dalam menetapkan harga penjualan yang
dapat memberikan sejumlah keuntungan tertentu baginya didasarkan atas harga pokok penjualan. Dalam hal ini
jumlah pengeluaran pedagang dalam arti biaya pemasaran merupakan komponen yang sangat menentukan besarnya
marketing margin.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 30
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
Tabel 3. Harga Beli dan Harga Jual Ikan Patin serta Perbedaan Harga pada Masing-masing Lembaga Pemasaran
No
Lembaga Pemasaran
Harga Beli (Rp/ kg)
Harga Jual
(Rp/ kg)
Margin (Rp)
1 2 3 4 5
Petani Ikan Pengumpul Pedagang pasar Pengecer konsumen
- 12.500 13.500 14.000 15.500
12.500 13.500 14.000 15.500
-
- 1000,00
500,00 1500,00
-
Data Primer, 2012
Harga ikan patin ditingkat produsen Rp. 12.500 per kg sedangkan harga ditingkat konsumen Rp. 15.500,00
per kg, sehingga diperoleh marketing margin sebesar Rp. 3.000 Margin terbesar terjadi pada lembaga pemasaran ditingkat pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp. 1.500,00per kg ikan patin, sementara untuk pedagang pengumpul
hanya sebesar Rp. 1000,00 per kg ikan dan untuk pedagang pasar sebesar Rp. 500,00 per kg ikan. Namun keuntungan
yang diterima pedagang pasar lebih kecil dari pedagang pengumpul. Jadi rendahnya tingkat keuntungan yang diterima
pedagang pasar disebabkan karena pedagang pasar menjual ikan dengan jumlah yang lebih banyak.
Tabel 4. Marketing Margin dan Fisherman Share Pemasaran Ikan Patin
No.
Harga Jual (Rp/ kg) Marketing Margin (%)
Fisherman Share (%)
1 Patani Ikan 12.500,00
Pengumpul 13.000
4 96
2 Patani Ikan 12.500,00
Pedagang pasar 14.000
11 89
3 Patani Ikan 12.500,00
Pengecer 15.500
20 80
Data Primer, 2012
Bila dilihat nilai marketing margin dan nilai fisherman sharenya, yang mana nilai marketing margin lebih
kecil dari nilai fisherman sharenya. Ini menunjukan bahwa pemasaran ikan patin asal Kecamatan Sambeng tujuan
pemasaran Kabupaten Lamongan masih efisien. Lebih lanjut pada tabel terlihat nilai marketing margin setiap
tingkatan menunjukkan semakin besar bila rantai pemasaran semakin panjang, sementara fisherman sharenya akan
semakin kecil. Ini menunjukkan besarnya nilai marketing margin dan nilai fisherman share ada kaitannya dengan panjang rantai pemasaran. Semakin panjang rantai pemasaran yang harus dilalaui suatu komoditi untuk sampai ke
konsumen maka akan semakin besar nilai marketing margin dan semakin kecil nilai fisherman share, dan ini artinya
harga yang diterima produsen akan semakin lebih rendah dari harga yang dibayar konsumen atau harga yang harus
dibayar konsumen akan jauh lebih tinggi dari harga yang diterima produsen. Suatu sistem pemasaran sudah dikatakan
tidak efisien lagi bila nilai marketing magin lebih besar dari nilai fisherman sharenya, karena pada kondisi ini harga
yang harus dibayar konsumen sudah diatas 50% dari harga jual produsen sehingga pada kondisi ini hanya
pedaganglah yang menikmati keuntungan dari sistem pemasaran ini, sedangkan produsen dan konsumen sudah
dirugikan. Petani dirugikan karena keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh pedagang,
sedangkan konsumen dirugikan karena harus membayar jauh lebih mahal dari harga yang sewajarnya.
Hal ini sesuai dengan Hanafiah (1983) yang menyatakan perbedaan nilai marketing margin dengan fisherman
share dipengaruhi oleh jarak antara produsen dan kosumen. Semakin jauh jarak dari produsen ke konsumen maka
semakin besar nilai marketing margin dan nilai fisherman share semakin kecil, selain itu perbedaan nilai ini juga disebabkaan oleh biaya pengangkutan.
KESIMPULAN
Pemasaran ikan patin dari kecamatan Sambeng sampai konsumen berjalan dengan lancar. lembaga
pemasaran yang berperan yaitu petani, pengumpul, pedagang pasar, dan pedagang pengecer.
Keuntungan bersih antara petani ikan patin, pedagang pengumpul, pedagang pasar, dan pedagang pengecer
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul lebih besar dibanding
pedagang pasar dan pedagang pengecer.
Jurnal Ilmu Eksakta, Vol 1 No 1 Mei 2013 31
Universitas Islam Lamongan | ISSN : 2302-3791
1. Harga ikan patin ditingkat produsen Rp 12.500 per kg sedangkan harga ditingkat konsumen Rp 15.500,00 per
kg, sehingga diperoleh marketing margin sebesar Rp 3.000 Margin terbesar terjadi pada lembaga pemasaran
ditingkat pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp 1.500,00 per kg ikan patin, sementara untuk pedagang pengumpu
hanya sebesar Rp 1000,00 per kg ikan dan untuk pedagang pasar sebesar Rp 500,00 per kg ikan.
2. Sudioyono, A., 2002. Pemasaran Pertanian Nilai marketing margin pada tingkat pedagang pengumpul 4%
dengan fisherman share 96% nilai marketing margin di tingkat pedagang pasar 11% dengan fisherman shere 89% dan nilai marketing margin di tingkat pedagang pengecer 20% dengan fisherman share 80% bila dilihat
nilai marketing margin dan fisherman share pada setiap rantai pemasaran maka diperoleh nilai fisherman share
lebih besar dari nilai marketing margin.
3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemasaran ikan patin dari Kecamatan Sambeng pada setiap pedagang
perantara sudah efesien begitu juga pemasaran ikan patin sampai konsumen sudah efisien karena nilai fisherman
share lebih besar dari nilai margin.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bina Aksara. Jakarta
Asmawi, S. 1983. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Gramedia. Jakarta.
Asyari, dkk, 1992. Makalah Pembesaran Ikan Patin (Pangasius pangasius) dalam Sangkar di Kolam dengan
Kepadata ikan yang Berbeda dalam Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor Daniel, M., 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi aksara, Jakarta.
Effendi, H. 2007. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta
Hanafiah, AM dan AM. Saefuddin, 1986. Tataniaga Hasil.
Kamaluddin., 2009. Biaya dan Jenis-Jenis Pemasaran. http://www.deptan.go.id
Khairuman dan Dodi S. 2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agro Media. Jakarta.
Kordik, M.G.H.2005. Budidaya Ikan Patin, Biologi, Pembenihan dan Pembesaran. Yayasan Pustaka Nusantara.
Yogyakarta.
Marzuki, 1986. Riset Pemasaran. http:/ dianblogspot.com. Diakses pada tanggal 26 mei 2012.
Rahmat. 2010. http//Kepadatan Ikan Khusus_patin.com diakses pada tanggal 01 Januari 2012 pukul 08.00 WIB.
Universitas Muhammadiyah,Malang.