PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH
JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO
Oleh:
I.TAJUDIN. S.H. NIP. 132 312 770
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
2009
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peninjauan kembali (PK) adalah suatu upaya hukum yang dipakai untuk
memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebelum berlakunya UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku, dalam sistem tata cara
peradilan di Indonesia, suatu kasus yang berakhir dengan putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap, guna kepastian hukum maka tidak dapat
dibuka kembali. Kekecualian dimungkinkan apabila terjadi ketidakadilan.
Mempertahankan suatu putusan yang tidak adil bukan merupakan syarat bagi
hukum dan juga tidak merupakan tuntutan kepastian hukum. Suatu upaya atau
sarana untuk memperbaiki kekhilafan harus dimungkinkan, tetapi harus disertai
dengan syarat-syarat yang ketat, bukan sebaliknya. Untuk menempatkan putusan
tetap yang tidak adil itu kembali pada posisinya yang benar, yaitu memberikan
kebenaran, maka perlu ada upaya hukum luar biasa, sarana luar biasa itu adalah
peninjauan kembali (PK).
Lembaga PK mendapat tempat berpijak mula-mula dalam Undang-undang
No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Pasal 15), yang dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang No. 6 Tahun 1969
tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai undang-undang dan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, dan kemudian dalam UU No. 14 Tahun
3
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 21), yang
menggantikan UU No. 19 tahun 1964.1
Belum adanya undang-undang yang mengatur hukum acara PK
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970, kemudian
Mahkamah Agung pada tanggal 1 Desember 1980 mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 untuk menampung masalah-masalah yang
timbul karena adanya permohonan PK, baik mengenai perkara pidana maupun
perkara perdata.2
Kini PK dalam perkara pidana telah mendapat pengaturannya dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
sehingga untuk bagian pidana Peraturan Mahkamah Agung itu kehilangan daya
berlakunya, sedangkan bagian lainnya masih tetap berlaku bahkan disempurnakan.
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
PK. Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam KUHAP diatur
dalam Pasal 263-269 KUHAP. Ketentuan Pasal 263 KUHAP menetapkan syarat-
syarat yang memungkinkan pengajuan PK ke Mahkamah Agung, Sedangkan
pihak yang dapat mengajukan PK sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal
263 ayat (1) adalah terpidana atau ahli warisnya.Masalah pengajuan PK mencuat
sejak diterimanya permintaan PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
kepada Mahkamah Agung dalam kasus Muchtar Pakpahan (Putusan No. 55
PK/PID/1996) serta kasus yang masih aktual yaitu dalam tindak pidana dengan
terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto (Putusan No.109 PK/PID/2007 ) yang
diduga telah melakukan pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir dan
menggunakan surat palsu. Dalam amar putusan PK sebagai berikut :
1 Soedirjo, Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana: Arti dan Makna, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 12.
2 Ibid., hlm. 13.
4
MENGADILI
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
pemohon PK: Jaksa penuntut Umum pada kejaksaaan Negeri Jakarta Pusat;
Membatalkan putusan MA RI tgl 3 Oktober 2006 No: 1185 K/PID/2006
yang telah membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tgl 27 Maret 2006 No:
16/PID/2006/PT DKI, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tgl 20 Desember 2005 No :1361/Pid B./2005/PN Jkt Pst.
MENGADILI KEMBALI
Menyatakan terpidana POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO
tersebut diatas terbukti secara sah dan menyakinkan telah bersalah melakukan
tindak pidana :
1. MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA
2. MELAKUKAN PEMALSUAN SURAT.
Menghukum oleh karena itu terpidana dengan pidana penjara selama :20 (dua
puluh tahun);
Putusan PK lebih tinggi dari vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yaitu
14 tahun penjara menjadi 20 tahun penjara, ada yang beranggapan hal ini
menyalahi aturan lamanya penjatuhan pidana tentang PK karena pidana yang
dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan
dalam putusan semula(Pasal 266 ayat (3) KUHAP). Kemudian Pollycarpus
Budihari Priyanto mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena
beranggapan dasar hukum diterimanya PK oleh Mahkamah Agung adalah
pemakaian Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28 D ayat(1) UUD 1945,
5
dalam putusan No 16/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan pemohon.
B. Identifikasi masalah
1. Apakah Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam perkara No. 109 PK/Pid/2007 dengan terpidana Pollycarpus Budihari
Priyanto dapat dibenarkan?
2. Apakah lamanya pemidanaan yang dijatuhkan oleh majelis PK MA RI kepada
Pollycarpus Budihari Priyanto telah sesuai menurut ketentuan hukum yang
berlaku?
6
BAB II
PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN JAKSA PENUNTUT UMUM
DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO
A. Praktik Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
Ketentuan mengenai peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana diatur
di dalam Bab XVIII mengenai upaya hukum luar biasa, Bagian Kedua: Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap,
Pasal 263 sampai dengan Pasal 269.
Mengenai pengertian dari PK, Soenarto Soerodibroto, dalam tulisannya
Liku-Liku Lembaga Peninjauan Kembali, mengatakan sebagai berikut :3
Herziening adalah Peninjauan Kembali terhadap keputusan-keputusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti yang berisikan pemidanaan, dimana tidak dapat diterapkan terhadap keputusan dimana tertuduh telah dibebaskan (vrijgesproken). Terhadap pengertian dari Soenarto Soerodibroto diatas, terdapat bandingan
pengertian mengenai PK yang dikemukakan oleh Irdan Dahlan dan A. Hamzah,
sebagai berikut :4
”Peninjauan Kembali, yaitu hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya.” Bila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP terdapat
kesamaan elemen. Adapun Pasal 263 ayat (1) KUHAP berisi :
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”
3Wahyu Wiriadinata, Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, Cetakan Pertama, Java Publishing, Bandung 2008, hlm.27-28
4 Ibid.
7
Jika kita telaah elemen-elemen dari PK seperti dilihat dari pengertian
diatas, maka kita dapat menemukan beberapa hal : 5
a. Meninjau kembali;
b. Putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap (in kracht van gewijsde);
c. Bukan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan; dan
d. Dimohonkan terpidana atau ahli warisnya.
Memperhatikan elemen-elemen diatas, maka terlihat bahwa weteen
memberikan ketentuan yang terbatas, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan
pasalnya yang mengatakan bahwa pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk
dapat dipergunakan meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Batasan yang termuat dengan
mendasar bisa dilihat dengan putusan-putusan yang masih dalam proses upaya
hukum biasa, seperti Banding atau Kasasi tidak diperbolehkan mengajukan PK.6
Syarat-syarat untuk memungkinkan mengajukan permintaan PK ke
Mahkamah Agung (MA) adalah:
1. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum sebagaimana diatur di dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Putusan yang dimaksud disini bukan hanya
putusan yang mengandung pemidanaan (penjatuhan pidana), tetapi juga
putusan yang menjatuhkan tindakan (maatregel) serta upaya hukum ini baru
dapat dipergunakan apabila upaya hukum biasa telah dipergunakan.
Upaya PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik putusan
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (banding) maupun putusan Mahkamah
5 Ibid., hlm. 28-29 6 Ibid., hlm. 29
8
Agung (kasasi) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti setelah
putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu melekat
dalam putusan MA sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta PK terhadap putusan
MA tersebut.
Sekalipun upaya PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun hal ini dikecualikan terhadap
putusan bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
rechts vervolging). Hal ini logis karena tujuan upaya PK dimaksudkan sebagai
upaya yang memberikan kesempatan kepada terpidana untuk membela
kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan
kepadanya.
2. Alasan yang menjadi dasar permintaan PK adalah:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan (Pasal 263 ayat
(2a) KUHAP);
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
yang lain (Pasal 263 ayat (2b) KUHAP);
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau kekeliruan yang nyata (Pasal 263 ayat( 2c) KUHAP);
9
d. Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (Pasal
263 ayat (3) KUHAP).
Apabila diperhatikan, adanya keadaan baru atau novum ditempatkan
sebagai alasan utama atau pertama. Alasan mengenai hal tersebut dapat diketahui
melalui Penjelasan atas Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menekankan bahwa ”Pada
umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan apabila terdapat
nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan
peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian”. Selain
ketentuan tersebut, dalam Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 1965 tentang
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung juga
menekankan bahwa peninjauan kembali hanya dapat diminta apabila terdapat
novum atau keadaan baru, sedangkan Penjelasan Umum atas UU No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa
”Peninjauan Kembali ini dilakukan apabila terdapat fakta-fakta atau keadaan-
keadaan yang pada waktu mengadili dahulu belum diketahui. Ketentuan-ketentuan
tersebutlah yang mendorong pembuat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menempatkan novum sebagai alasan utama.
Peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan atas kekhilafan
hakim terhadap fakta atau keadaan, tidak atas dasar salah menerapkan hukumnya.
Hal ini diungkapkan MA dalam putusannya No. 6 PK/Kr/1980 yang dalam
pertimbangannya menyatakan antara lain bahwa permohonan PK yang diajukan
oleh kuasa terpidana atas dasar Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi salah
menerapkan hukum tidak dapat diterima. Mahkamah Agung memberikan dasar
10
pertimbangannya pada Pasal 9 ayat 2b Perma No. 1 Tahun 1980 yang berlaku
waktu itu, kini ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP, dimana ternyata bahwa
keadaan baru yang dapat menghasilkan PK disebut keadaan sehingga
menimbulkan persangkaan kuat bahwa putusan yang akan dijatuhkan akan
mengandung pelepasan dari tuntutan pidana karena perbuatan yang didakwakan
bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Keadaan baru tersebut niscaya
bersifat yuridis.7
Dikaitkan dengan ada tidaknya pemeriksaan terhadap permintaan PK,
putusan MA dapat berisi:
1. menyatakan permintaan PK tidak dapat diterima
2. menolak, atau
3. menerima putusan PK.
Pemeriksaan PK dimulai pertama-tama diteliti masalah dapat diterima atau
tidaknya (ontvakelijkheid) sesudah itu baru masalah materi (pokok perkara) dari
permintaan PK. Suatu permintaan PK memenuhi syarat untuk dipakai sebagai
dasar dalam pemeriksaan PK (ontvakelijkheid):
1. Apabila diajukan dengan lisan atau tulisan oleh pemohon yaitu terpidana atau
ahli warisnya atau wakilnya menurut surat kuasa khusus;
2. Apabila diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum;
3. Apabila permintaan berisi alasan-alasan yang secara limitatif disebut dalam
Pasal 263 ayat (2) dan (3) KUHAP.
Apabila formalitas ini tidak dipenuhi, hasilnya ialah keputusan MA yang
menyatakan permintaan PK tidak dapat diterima.
7 Soedirjo, op.cit, hlm. 22.
11
Selain syarat tersebut di atas, suatu permintaan PK diputus tidak dapat
diterima oleh MA dalam hal-hal sebagai berikut:8
1. Apabila pemohon bukan terpidana;
2. Apabila alasan yang menjadi dasar permohonan PK adalah keliru menerapkan
hukum;
3. Apabila permintaan diajukan oleh seorang untuk terpidana dengan tidak
mendapat surat kuasa khusus;
4. Apabila pemohon adalah salah seorang keluarga terpidana, sedang terpidana
masih hidup;
5. Apabila putusan yang terhadapnya diajukan permintaan PK adalah putusan
bebas;
6. Apabila perkara masih dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Praktek pengadilan selama ini terdapat beberapa keputusan MA mengenai
permintaan PK tidak dapat diterima, antara lain:
1. Karena permintaan PK tidak diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
Putusan MA tanggal 20 Februari 1984 No. 1/PK/Pid/1984;
2. Karena pemohon sudah pernah mengajukan permintaan PK yang sudah
diputus oleh MA tanggal 24 Agustus 1983 No. 46/PK/Kr/1981. Putusan MA
tanggal 29 Oktober 1984 No. 5 PK/Pid./1984;
3. Karena permintaan PK diajukan oleh saksi. Putusan MA tanggal 31 Oktober
1984 No. 18 PK/Pid/1984;
4. Karena PK ditujukan terhadap putusan bebas. Putusan MA tanggal 24 Agustus
1983 No. 32 PK/Pid/1981;
8 Ibid.., hlm. 35.
12
5. Karena PK diajukan oleh keluarga terpidana sedangkan terpidana sendiri
masih hidup. Putusan MA tanggal 31 Mei 1983 No. 4 PK/Pid/1981.
Selain permohonan PK yang tidak dapat diterima, MA juga dapat
menolak permintaan PK dalam hal:9
1. Alasan keberatan yang mendasari permintaan PK secara formal memenuhi
ketentuan Pasal 263 ayat (2);
2. akan tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu
tidak dapat dibenarkan karena:
a. Secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum.
Sebagai contoh, keberatan yang diajukan pemohon dalam Putusan MA
tanggal 13 April 1984 Reg. 15/PK/Pid/1983. Dalam putusan ini, keadaan
baru yang diajukan pemohon antara lain surat pernyatan saksi Masri yang
dituangkan dalam bentuk akta notaris tanggal 2 Juni 1983. Surat
pernyataan saksi tersebut berisi keterangan bahwa bukti P4 yang pernah
diajukan pelapor adalah bohong dan berisi tipu muslihat, yakni mengenai
terjemahan dari bahasa Tionghoa ke dalam bahasa indonesia yang
semestinya harus diterjemahkan “meminjam” tapi telah diterjemahkan
dengan kata “titipan”. Terjemahan yang demnikian dibuat oleh yang
membuat pernyataan (Masri) karena atas permintaan anak pelapor. Inilah
kemudian fakta atau keadaan baru yang diajukan pemohon sebagai alasan
yang mendasari permintaan PK.
Tanggapan MA atas alasan ini, keadaan baru atau bukti baru yang diajukan
pemohon hanya merupakan “penafsiran” belaka dari pemohon, dan bukan
merupakan fakta autentik yang benar-benar relevan melumpuhkan fakta
9 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi kedua, sinar Grafika,Jakarta, 2007 hlm. 632.
13
yang sudah kuat dalam putusan semula. Oleh karena itu, fakta baru yang
dikemukakan pemohon tidak bernilai sesuai dengan apa yang ditentukan
Pasal 263 ayat (2) huruf a.
b. Tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai putusan.
Sebagai contoh, putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8
PK/Pid/1983. Pemohon antara lain mengajukan alasan ada saling
pertentangan antara putusan pidana No. 8/1980 yang telah menghukum
pemohon dengan pidana penjara atas kesalahan melakukan kejahatan
penggelapan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 374 KUHP, dengan
putusan MA dalam perkara perdata No. 1438 K/Sip/1983. Akan tetapi
pemohon sendiri tidak mampu menunjukkan secara jelas dimana letak
pertentangan antara kedua putusan tersebut. Oleh karena itu, MA menolak
permintaan PK atas alasan keberatan yang diajukan pemohon tidak dapat
dibenarkan sebab ternyata tidak ada pertentangan antara putusan pidana
No. 8/1980 dengan putusan MA dalam perkara perdata No. 1438
K/Sip/1983.
c. Putusan tidak benar mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim.
Sebagai contoh dalam putusan MA tanggal 9 Juni 1983 No. 6 K/Pid/ 1982.
Semula pemohon dijatuhi pidana atas kejahatan menggunakan surat palsu
berdasar putusan MA tanggal 22 Desember 1979 No. 161 K/Kr/1978. Atas
putusan ini terpidana mengajukan permohonan PK. Salah satu alasan yang
dikemukakan adanya kekhilafan dan kekeliruan dalam putusan MA No.
161 K/Kr/1978, karena dalam putusan itu MA memerintahkan agar rumah
terperkara dikembalikan kepada saksi Karamah, sedang dalam putusan PN
14
Jakarta Selatan-Barat No. 316/1976 yang sudah berkekuatan hukum tetap,
hak saksi atas rumah tersebut tidak diketahui.
Alasan ini dianggap MA tidak dapat dibenarkan karena pengembalian
rumah yang menjadi barang bukti dalam perkara pidana No. 161 K/Kr/
1978 didasarkan pada ketentuan bahwa barang bukti dikembalikan kepada
orang yang dianggap paling berhak atau siapa pemegang terakhir barang
bukti maupun dari tangan siapa barang bukti disita. Dengan demikian
hakim dapat menentukan pengembalian barang bukti kepada orang yang
dianggap paling berhak sesuai dengan ketentuan Pasal 194 ayat (1)
KUHAP. Tentanga adanya orang yang merasa paling berhak atas barang
tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan
perdata. Berdasar alasan itu, tidak benar ada kekhilafan dan kekeliruan
dalam putusan dimaksud.
Terdapat beberapa asas yang ditentukan dalam upaya PK, antara lain
adalah:10
1. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula;
Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang menegaskan, pidana
yang dijatuhkan dalam putusan PK ”tidak boleh melebihi pidana yang telah
dijatuhkan dalam putusan semula” yang diperkenankan adalah menerapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
266 ayat (2) huruf b angka 4.
Prinsip yang diatur dalam Pasal 266 ayat (3) ini sejalan dengan tujuan yang
terkandung dalam lembaga upaya PK yang bermaksud membuka kesempatan
10 Ibid., hlm. 639.
15
kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar bisa terlepas dari
”ketidakbenaran” penegak hukum.
2. Permintaan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan;
Berdasarkan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa PK
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan. Putusan yang
terhadapnya diminta PK sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka itu
PK sebagai sebagai upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa MA
tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang
dijalani oleh terpidana, hal ini dapat dilakukan apabila dipandang perlu. Jika
permintaan PK beserta berkas perkara sudah diterima oleh MA dan sementara
itu terpidana meninggal dunia, maka diteruskan atau tidaknya permintaan PK
diserahkan kepada kehendak ahli warisnya (Pasal 268 ayat (2) KUHAP).
3. Permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali
Pasal 268 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan permintaan
PK atas suatu perkara hanya satu kali saja. Prinsip ini berlaku terhadap
permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Dalam PK asas ini agak
menyentuh keadilan karena seolah-olah prinsip ini merupakan suatu tantangan
antara kepastian hukum dengan rasa keadilan, dan dengan berani
mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum.
B. Tinjauan Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Dengan Terpidana
Pollycarpus Budihari Priyanto yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
Lembaga PK (di dalam perkara pidana dikenal dengan istilah ”herziening”
dan dalam perkara pidana dikenal dengan istilah ”request civiel” atau rekes sipil)
16
mendapat tempat berpijak mula-mula dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 15), yang dinyatakan
tidak berlakunya oleh UU No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya
berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
kemudian dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Pasal 21) yang menggantikan Undang-undang No. 19
Tahun 1964. Terakhir, UU No. 14 Tahun 1970 diganti dengan UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di dalam undang-undang inipun diatur
mengenai PK, yaitu di dalam Pasal 23 yang berbunyi:
”(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali” Baik Undang-undang No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970,
maupun UU No. 4 Tahun 2004 menunjukan Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara yang mempunyai wewenang dan tugas mengadili putusan-
putusan yang dimohonkan PK. PK sebagai upaya hukum dapat dipergunakan baik
terhadap putusan dalam perkara pidana maupun perkara perdata. PK dalam bahasa
asing disebut ”Herziening”, hal ini dapat diketahui dari Penjelasan atas UU No. 19
Tahun 1964, pasal demi pasal, khususnya Pasal 15 yang berbunyi: ”Pasal ini
mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening”. Belum
adanya undang-undang yang mengatur hukum acara PK sebagaimana
diamanatkan oleh UU No. 14 Tahun 1970 oleh MA dikeluarkan pada tanggal 1
Desember 1980 Peraturan MA No. 1 Tahun 1980 untuk menampung masalah-
masalah yang timbul karena adanya permohonan PK. Peraturan MA ini mengatur
PK, baik mengenai perkara pidana maupun perkara perdata.
17
Kini PK dalam perkara pidana telah mendapat pengaturannya dalam UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga untuk bagian
Peraturan MA itu kehilangan daya berlakunya, sedang bagian lainnya masih
berlaku bahkan disempurnakan. Setelah lahirnya KUHAP barulah istilah PK
dipertegas, kemudian lebih dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan
Mahkamah Agung Tahun 1982 yang menentukan: ”Upaya hukum luar biasa yang
selama ini dikenal dengan istilah request civiel/rekes sipil tidak dikenal lagi dan
diganti dengan istilah peninjauan kembali”. Dengan demikian saat ini tidak
dikenal lagi istilah Herziening ataupun rekes sipil. Baik untuk perkara pidana
maupun perdata hanya dipergunakan istilah ”peninjauan kembali”.
Mahkamah Agung (MA) ditunjuk untuk mengadili perkara PK oleh Pasal
15 UU No. 19 Tahun 1964 jo Pasal 31 dan 52 UU No. 13 Tahun 1965 dan
sesudah UU No. 19 tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku dan diganti oleh UU No.
14 Tahun 1970 maka ketentuan ini diatur di dalam Pasal 21, yang terakhir UU No.
14 Tahun 1970 diganti oleh UU No. 4 Tahun 2004 dan terhadap ketentuan ini
diatur di dalam Pasal 23 ayat (1). Fungsi MA dalam melakukan peradilan dalam
PK ialah mengadakan koreksi (terakhir) demi tegaknya keadilan.11
Sejak diterimanya permintaan PK yang diajukan oleh penuntut umum
dalam kasus Muchtar Pakpahan (Putusan No. 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober
1996), telah menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Hal ini menjadi
preseden bagi penuntut umum untuk mengajukan PK.
Hal yang sama-pun terjadi dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir
yang diduga dilakukan oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Kasus ini menjadi
11 Soedirjo, Op.Cit., hlm. 34.
18
menarik karena pada kasus ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan PK atas
putusan MA.
Pada tingkat Pengadilan Negeri, atas perbuatannya, Terdakwa Pollycarpus
Budihari Priyanto didakwa Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan
Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Jaksa Penuntut
Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan diputus terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana “Turut melakukan
pembunuhan berencana” dan “Turut melakukan pemalsuan surat” serta dihukum
penjara selama 14 (empat belas) tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tanggal 20 Desember 2005 No. 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini selanjutnya diajukan
permohonan banding oleh Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Adapun
selanjutnya permohonan banding tersebut diterima dan Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Jakarta selanjutnya menguatkan Putusan No. 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst.
pada tanggal 27 Maret 2006 dengan Putusan No.16/PID/2006/ PT.DKI.
Selanjutnya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 3 Oktober 2006
No.1185 K/Pid/2006 menolak permohonan kasasi Pemohon Kasasi I (Jaksa
Penuntut Umum) dan menerima permohonan kasasi Pemohon Kasasi II
(Pollycarpus Budihari Priyanto). Putusan MA ini kemudian membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 16/PID/2006/PT.DKI, tanggal 27 Maret 2006 yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1361/Pid.B/2005/
PN.Jkt.Pst, tanggal 20 Desember 2005.
Kemudian dalam mengadili sendiri, MA memutus bahwa Terdakwa
dinyatakan tidak bersalah dalam melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan Kesatu, yaitu “Turut melakukan pembunuhan
19
berencana” sehingga Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Kesatu tersebut.
Akan tetapi Terdakwa dinyatakan bersalah dalam melakukan tindak pidana
“Menggunakan Surat Palsu”, oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dijatuhi
dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
mengajukan PK terhadap putusan Kasasi tersebut dengan alasan yurisprudensi
dalam perkara atas nama terdakwa Muchtar Pakpahan (putusan MA Nomor :
55PK/Pid/1996 tanggal 25 Okttober 1996), dalam perkara atas nama terdakwa
ram Gulumal alias V. Ram (Putusan MA Nomor: 3PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus
2001) dan dalam perkara terdakwa Soettiyawati alias Ahua binti Kartaningsih
(Putusan MA Nomor: 15PK/Pid/2006 tanggal 9 Juni 2006). Kemudian, pada hari
Jum’at tanggal 25 Januari 2008 dalam Putusan MA No. 109 PK/Pid/2007, MA
menerima permohonan PK Jaksa dan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana :
1. Melakukan pembunuhan berencana;
2. Melakukan pemalsuan surat;
MA dalam putusannya juga menjatuhkan pidana 20 tahun penjara kepada
Terdakwa.
Konsep dan ide yang menutup hak mempergunakan upaya hukum biasa
bagi penuntut umum terhadap putusan bebas dilanjutkan menjadi sistem ”linear”
sampai kepada upaya hukum luar biasa. Konsep dan ide inilah yang dirumuskan
dalam Pasal 263 KUHAP, yang menegaskan:12
- Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan PK kepada MA;
12 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Op.Cit., hlm. 643.
20
- Kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
Pasal 21 Undang-undang No 14 tahun 1970 jo Pasal 23 ayat (1)Undang-
undang No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pada dasarnya memberi
hak kepada yang berkepentingan untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap apabila terdapat hal atau keadaan baru yang ditentukan dalam
undang-undang, dalam hal ini yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan
dalam proses penyelesaian perkara pidana tiada lain adalah penuntut umum di
satu pihak dan terpidana di pihak lain. Walaupun Pasal 263 ayat (1) KUHAP
tidak secara tegas menyatakan penuntut umum berhak mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, namun pasal tersebut tidak melarang penuntut
umum untuk mengajukan PK, oleh karena itu dalam rangka mensejajarkan
keseimbangan hak yang diberikan kepada terpidana dan penuntut umum, maka
keduanya diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali. Hal ini secara
tersirat dapat terlihat juga dalam ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, dalam
Pasal 263 ayat (3) KUHAP dapat ditafsirkan bahwa terhadap putusan bebas,
dalam hal ini putusan bebas yang tidak murni dapat diajukan peninjauan kembali,
pihak yang melakukannya adalah Jaksa Penuntut umum jika alasannya memenuhi
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 263 ayat (2 ) KUHAP, adalah tidak logis
jika ayat (3) ini ditafsirkan dan diberikan haknya kepada terpidana atau ahli
warisnya, sebab tidak masuk akal sehat terpidana mengajukan peninjauan kembali
terhadap putusan yang membebaskan dari kejahatan atau kesalahan yang
didakwakan.
Mahkamah Agung dalam putusannya mengabulkan permohonan
peninjauan kembali melalui kewenangan penafsirkan ekstensif, penafsiran yang
21
menembus ketentuan pasal 263 KUHAP, dilakukan secara komparatif dengan
case law yang terjadi dalam Pasal 244 KUHAP. Dalam salah satu alasan MA
mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh penuntut umum adalah kasus
Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam
perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi
stare decisis melalui extensive interpretation. Dalam kasus ini, walaupun pasal
244 KUHAP “tidak memberikan hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi
terhadap “putusan bebas” (terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas), akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang
melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overruled) dengan
syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni. Sejak
saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada
prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa: ”Terdakwa atau penuntut umum
berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali
terhadap putusan bebas” dan Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa: ”Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas”. Pasal-pasal tersebut ”menutup pintu” bagi penuntut umum untuk
mengajukan upaya banding dan kasasi terhadap putusan yang membebaskan
terdakwa atau putusan bebas.
22
Pertimbangan-pertimbangan majelis hakim PK yang menerima
permohonan PK Jaksa Penuntut Umum dengan terpidana Pollycarpus Budihari
priyanto telah benar yaitu :
1. Dalam menghadapai problema yuridis hukum acara pidana
dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP, maka MA
berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna
menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau
wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan PK dalam
perkara pidana;
2. Menafsirkan dan melakukan metode komparatif dalam case law
terkait penafsiran ekstensif dalam Pasal 244 Jo Pasal 67
KUHAP yang telah dijadikan sebagai yurisprudensi;
3. Penafsiran Pasal 21 undang-undang No 14 tahun 1970 Jo Pasal
23 ayat (1) Undang-undang No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman yang menyatakan jaksa sebagai salah satu pihak
dalam pengajuan PK perkara pidana;
4. Menafsirkan secara ekstensif Pasal 263 ayat (3)
KUHAP,menurut penafsiran majelis hakim MA RI, maka
ditujukan kepada jaksa oleh karena jaksa penuntut umum adalah
pihak yang berkepntingan agar keputusan hakim dirubah
sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa
tapi tidak diikuti dengan pemidanaan dapat dirubah dengan
diikuti pemidanaan terhadap terdakwa;
23
5. Berdasarakan asas legalitas dan penerapan asas keseimbangan
HAM antara kepentingan perseorangan (termohon PK) dengan
kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak.
Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili yaitu menegakkan hukum dan memberi keadilan
serta memelihara kepastian hukum, memang harus memberikan keadilan, bila
perlu melakukan terobosan, melalui metode penafsiran hukum dan konstruksi
hukum yang memang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang kepada
hakim. Dengan penafsiran ekstensif terhadap pasal 263 (3)”…… putusan bebas
yang telah inkracht van gewijde …. permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung", dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Meskipun hukum acara tergolong hukum publik yang bersifat imperatif
dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila dibutuhkan untuk
mencapai proses penyelesian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan
umum dan tuntutan rasa keadilan yang hakiki. Sifat hukum acara sebagai
ketentuan hukum publik memang diakui imperatif tetapi tidak seluhnya
absolut,ada ketetuan yang dapat dilenturkan(flexible) dan dikembangkan (growth).
24
C. Lamanya Pidana yang dijatuhkan dalam PK Pollycarpus Budihari Priyanto
Terkait adanya perbedaan antar majelis hakim mengenai lamanya penjatuhan
pidana, dua hakim anggota majelis PK berpendapat lamanya hukuman tidak boleh
melebihi dari putusan semula yaitu antara 2-14 tahun, karena putusan PN dan PT
telah menjatuhkan lamanya pidana selama 14 tahun kepada terpidana karena telah
terbukti secara sah dan menyakinkan turut serta melakukan pembunuhan
berencana kepada aktivis HAM Munir dan majelis hakim Kasasi menjatuhkan 2
tahun pidana penjara untuk pemalsuan surat, tetapi 3 majelis hakim PK lainnya
berpendapat hukuman yang dijatuhkan dalam putusan PK bisa melebihi 14 tahun
karena perbuatan yang terbukti dalam pemeriksaan PK adalah pasal 340 KUHP
tentang pembunuhan berencana yang ancaman hukumannya minimal 20 tahun
pidana penjara, dan pemalsuan surat.
Mengenai lamanya pidana yang dapat dijatuhkan putusan Pk dalam perkara
pidana, sebenarnya KUHAP telah mengaturnya, Pasal 266 ayat (3) KUHAP
menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK ”tidak boleh
melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula” yang
diperkenankan adalah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4. Prinsip
yang diatur dalam Pasal 266 ayat (3) ini sejalan dengan tujuan yang terkandung
dalam lembaga upaya PK yang bermaksud membuka kesempatan kepada
terpidana untuk membela kepentingannya agar bisa terlepas dari ”ketidakbenaran”
penegak hukum. Berbeda halnya dalam kasus ini PK diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh majelis hakim kasasi
terhadap terpidana Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan berencana (Pasal 340
25
KUHP), kemudian setelah majelis hakim memeriksa alasan PK yang dapat
diterima oleh majelis hakim PK dan menyatakan perbuatan terpidana terbukti
secara sah dan menyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir
dan pemalsuan surat guna mendukung pelaksanaan tindak pidananya
(pembunuhan berencana terhadap Munir), pada dasarnya pemeriksaan terhadap
dakwaan I tentang pembunuhan berencana telah dilakukan pada pemeriksaan
tingkat PN dan PT yang telah menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah
terbukti turut serta melakukan perbuatan pembunuuhan berencana dan
menjatuhkan hukuman selama 14 tahun pidana penjara, jadi alasan lamanya
pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim PK selama 20 tahun karena terpidana
pollycarpus terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pembunuhan
berencana dapat dikatakan tidak tepat (sebatas lamanya penjatuhan pidana),
karena seharusnya penjatuhan lamanya pidana tetap mendasarkan kepada Pasal
266 ayat (3 ) KUHAP, yang seharusnya lamanya pidana dapat sama dengan
putusan PN dan PT atau lebih ringan dari 14 tahun.
26
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap diatur di dalam Pasal 263 UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP mengatur bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya apabila ditemukannya keadaan baru atau novum yang apabila
keadaan tersebut sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka
hasilnya berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, akan tetapi dalam kasus
dengan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto melalui penafsiran ekstensif
Pasal 263 ayat (3) KUHAP jo Pasal 21 undang-undang No 14 tahun 1970 dan
Pasal 23 ayat (1) undang –undang No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman dan beberapa yurisprudensi, Jaksa Penuntut Umum sebagai salah
satu pihak dalam perkara pidana disamping terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan PK dalam kerangka mencari atau mendekati kebenaran materiil;
2. Mengenai lamanya pidana yang dapat dijatuhkan putusan Pk dalam perkara
pidana, sebenarnya KUHAP telah mengaturnya, Pasal 266 ayat (3) KUHAP
menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK ”tidak boleh
melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula” yang
27
diperkenankan adalah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4.
B. Saran
Ketentuan Pasal 263 (3) KUHAP masih menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda khususnya mengenai diperbolehkannya penuntut umum untuk
mengajukan peninjauan kembali (PK), sehingga sebaiknya terhadap ketentuan
PK ini lebih diperjelas siapakah pihak yang berhak untuk mengajukan PK.
28
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Edisi ke-2, Sinar Grafika, 2007.
Soedirjo, Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana: Arti dan Makna, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1986.
Wahyu Wiriadinata, Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, Cetakan
Pertama, Java Publishing, Bandung 2008.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung.
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
PERMA No. 1 Tahun 1980.