perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERAN ACARA KARANG TUMARITIS DALAM PELESTARIAN
KEBUDAYAAN
“Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta
Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta”
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Disusun oleh :
FABRYAN SANEKEWATRI
D0206051
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Persetujuan Pembimbing
Surakarta, Februari 2011
Pembimbing
Drs. A. Eko Setyanto, M.Si NIP. 19580617 198702 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
PENGESAHAN
Penulisan Skripsi ini telah diuji dan disahkan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian Skripsi :
1. Ketua Panitia : Dra. Hj. Sofiah, M.Si ( )
NIP. 19530726 197903 2 001
2. Sekretaris : Drs. Haryanto, M.Lib ( )
NIP. 19600613 198601 1 001
3. Penguji : Drs. A. Eko Setyanto, M.Si ( )
NIP. 19580617 198702 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :
PERAN ACARA KARANG TUMARITIS DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN (Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta)
Adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata di kemudian hari terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya yang asli atau sebenarnya.
Magelang, 12 Februari 2011 Fabryan Sanekewatri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
MOTTO
I am not afraid of tomorrow, for I have seen yesterday and I love today (William Allen White)
For tomorrow belongs to the people who prepare for it today (African Proverb)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
PERSEMBAHAN
For God, You’re the one and the only reason to live. You are so gracious and giving,
there are no words to describe my love and my passion for You. There won’t be me
without You. I’m thankful to all your blessing days.
For my whole big family, you are my backbones and my best friends. I couldn’t have
done this without your support. The time seems to be faster than I ever do without
you. And this is only a little gift to make you see that I am with you at this moment.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingan
dan petunjuk-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul Peran Acara
Karang Tumaritis Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat
Yogyakarta dengan sebaik-baiknya. Penulis mengambil tema tentang media massa
dan pelestarian kebudayaan karena penulis melihat adanya peran yang besar dari media
massa untuk masyarakat. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memberikan
informasi kepada khalayak luas tentang segala hal tak terkecuali kebudayaan Jawa.
Media massa seperti televisi mampu memberikan manfaat untuk pelestarian
kebudayaan melalui acara yang ditayangkannya. Karang Tumaritis merupakan salah
satu acara yang mengangkat tentang kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Dengan adanya
acara ini maka diharapkan potensi lokal beserta pelestarian kebudayaan bisa terangkat
kembali sebagai khasanah budaya Jawa Yogyakarta. Media massa merupakan wadah
yang efektif untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan demi kebutuhan
masyarakat itu sendiri.
Skripsi ini bisa terlaksana dan selesai karena adanya arahan, bimbingan, dan
masukan dari banyak pihak. Karya ini tidak akan mungkin ada apabila penulis tidak
mendapat bantuan dari mereka. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada :
1. Bapak Drs. A. Eko Setyanto, M.Si, selaku pemimbing skripsi
2. Bu Iwung Sri Widati, Produser dan pembimbing di lapangan
3. Bapak RM. Kristiadi, Desain Program
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
4. Bapak Anang Wiharyanto, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta
5. Bapak Maryanta, Kepala Seksi Program
6. Bu Sari Nainggolan, Pengarah Acara
7. Mas Altiyanto dan Bu Yati Pesek, Pembawa Acara Karang Tumaritis
8. Seluruh keluarga besar di Magelang dan Solo
9. Teman-teman dekatku, Kusnul, Hasna, Ria Putri, Arumtyas, Ajeng, Dewi Latif,
Intan Astri, Adinda, dan Faradyan.
10. Dan semua pihak yang tak bisa disebutkan satu per satu di atas
Akhir kata, penulis sangat mengharapkan adanya perbaikan dan kelengkapan
untuk penelitian tentang media massa dan pelestarian kebudayaan selanjutnya.
Semoga dengan adanya penelitian yang masih sederhana ini bisa membantu melihat
pentingnya kebudayaan Jawa dan pelestariannya melalui media massa terutama
televisi.
Magelang, 12 Februari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN................................................................................................. ii
PENGESAHAN.................................................................................................. iii
PERNYATAAN ................................................................................................. iv
MOTTO ............................................................................................................. v
PERSEMBAHAN............................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xiii
ABSTRACT ....................................................................................................... xiv
ABSTRAK ......................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian......................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian....................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7
1. Komunikasi............................................................................ 8
2. Televisi dalam Komunikasi Massa ......................................... 10
3. TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik .............................. 15
4. Acara Televisi di TVRI.......................................................... 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
5. Kebudayaan ........................................................................... 19
6. Peran Komunikasi Massa dalam Pelestarian Kebudayaan....... 24
F. Metodologi Penelitian.................................................................. 32
1. Metode Penelitian .................................................................. 33
2. Jenis Penelitian ...................................................................... 34
3. Lokasi Penelitian.................................................................... 34
4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 34
5. Teknik Analisa Data .............................................................. 37
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data..................................... 39
BAB II DESKRIPSI PROGRAM ACARA KARANG TUMARITIS
A. Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta.......... 41
1. TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta .............................................. 41
2. Acara Karang Tumaritis ......................................................... 47
B. Program Pelestarian Kebudayaan Jawa di Yogyakarta ................. 53
1. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta ................................ 53
2. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota
Yogyakarta ............................................................................ 55
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
A. Karakteristik Narasumber ............................................................ 58
B. Peran Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan Pelestarian
Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta .............................. 61
1. Mewartakan Nilai-nilai Luhur yang Terdapat di dalam
Kebudayaan Jawa kepada Masyarakat Luas ........................... 62
2. Membangun Kembali Spirit Kehidupan Bermasyarakat sesuai
dengan Nilai Luhur Kebudayaan Jawa ................................... 73
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
3. Melestarikan Berbagai Produk Kebudayaan Jawa .................. 83
4. Sarana Dialog Interaktif melalui Televisi yang Mencerdaskan
Audien untuk Bidang Budaya ................................................ 93
5. Sarana Sosialisasi Program-program Pelestarian Kebudayaan
Jawa di Yogyakarta................................................................ 101
C. Kendala Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan
Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta............. 111
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 124
B. Saran ........................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pembagian Waktu Siaran dan Ketersediaan Audien ........................... 17
Tabel 2.1 Tempat dan Jumlah Penduduk di Jawa Tengah dan DIY.................... 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Model Analisis Data Interaktif Miles & Huberman............................ 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
ABSTRACT
Fabryan Sanekewatri. D0206051. The Role of Karang Tumaritis Program in Cultural Preserving (The Role of Karang Tumaritis Program in TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta As Media of Preserving Javanese Culture in Yogyakarta Society). Bachelor Thesis Mass Communication Department Social and Politic Science Faculty Sebelas Maret Surakarta University.
Mass media such as television, radio, newspaper, magazine, and internet become a crucial need for society. Especially television as a mass media which is so close and easy to be accessed by every people. Television presents programs which their characteristic can be as entertainment, education, giving knowledge and new experience for every audience. So this is why television programs are liked by every kind of people.
However, television programs which take cultural things are lack in amount. Indonesian original culture like Javanese culture should has a place in television. But, programs that contain culture like Javanese culture is still lack in amount. One of the examples is Karang Tumaritis. This program has been presented by TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta. Karang Tumaritis contains dialogue about Javanese culture and how it relates for its development at the present time in Yogyakarta.
TVRI as a Public Broadcasting Organization in Indonesia has a duty to give information serving, education, and healthy entertainment, control, and social adhesive, and preserve nation culture for every society importance. For Daerah Istimewa Yogyakarta that basically from Javanese culture, TVRI Stasiun DIY has missions which one of these is being central of the main information serving and serving healthy entertainment with making optimal local region potency and culture that grows and develops in Daerah Istimewa Yogyakarta.
For this research about television program and cultural preserving, writer used qualitative method with the kind of descriptive. It was located in TVRI Stasiun Daerah Istimewa Office in Magelang Street km. 4,5 Yogyakarta. Collecting data technique used from source and kind of main data such as written noted or through record. Then, for written source used document about Karang Tumaritis. Writer used observation, interview, and field note. For data analysis technique used Miles and Huberman Interactive Analysis Data. And then, for data validity technique, writer used diligence in observation and triangulation. Triangulation that writer took was source and method.
From data analysis result that had done by the writer it resulted clarification about role of Karang Tumaritis as Javanese preserving media. Those roles were formed from the aim of Karang Tumaritis and data analysis result after doing research. From data analysis result, writer also found obstacles for Karang Tumaritis in persevering Javanese culture. However, those obstacles did not effect for the success of Karang Tumaritis as a media that helped to preserve Javanese culture in Yogyakarta society.
From research and data analysis, writer could find role of Karang Tumaritis as a media for Javanese culture preserving in Yogyakarta society. First, to inform glorious values in Javanese culture to wide society. Second, to rebuild spirit of society’s life according to Javanese glorious values. Third, to preserve all kind of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Javanese product. Fourth, as a medium for interactive dialogue through television which could sharpen audiences’ mind in culture field. And fifth, as a medium for socialization of Javanese preserve programs in Yogyakarta. And for the obstacles were financial problem, has not collaborated with young people yet, the technology that has been used by TVRI, human resources of TVRI that were old, how to finish the dialogue when program was in process, the exclusives of its audience who were just older people and someone with high awareness of cultural things, and less in presenting time because of just once in two weeks.
As a program about Javanese culture, Karang Tumaritis has roles in preserving Javanese culture. These five roles are important roles which can help process of preserving Javanese culture in Yogyakarta. TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta has given a space for preserving Javanese culture through television program called Karang Tumaritis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
ABSTRAK
Fabryan Sanekewatri. D0206051. Peran Acara Karang Tumaritis dalam Pelestarian Kebudayaan (Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta). Skripsi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan internet sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Terutama televisi sebagai media massa yang paling dekat dan paling mudah untuk diakses oleh setiap lapisan masyarakat. Televisi menyajikan acara-acara yang sifatnya bisa hiburan, pendidikan, dan menambah pengetahuan serta pengalaman baru bagi pemirsanya. Sehingga acara-acara di televisi sangat disukai oleh setiap orang.
Namun, sayangnya acara-acara yang mengangkat tentang kebudayaan minim jumlahnya. Kebudayaan asli Indonesia seperti halnya kebudayaan Jawa seharusnya memiliki tempat di televisi. Namun, sayangnya acara yang berisi kebudayaan seperti kebudayaan Jawa masih sedikit di televisi. Salah satu contoh acara kebudayaan di televisi adalah Karang Tumaritis. Program ini ditayangkan oleh TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta. Karang Tumaritis berisi dialog tentang kebudayaan Jawa dan bagaimana kaitannya dengan perkembangan masa sekarang di Yogyakarta.
TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia mempunyai tugas memberikan pelayanan informasi, pendidikan, dan hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbasis kebudayaan Jawa, maka TVRI Stasiun DIY memiliki misi yang salah satu diantaranya yaitu menjadi pusat pelayanan informasi yang utama serta menyajikan hiburan yang sehat dengan mengoptimalkan potensi daerah dan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY.
Untuk penelitian tentang acara televisi dan pelestarian kebudayaan ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan jenis deskriptif. Lokasi penelitian yaitu di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Magelang km. 4,5 Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis yaitu berasal dari sumber dan jenis data utama seperti catatan tertulis atau melalui perekaman. Kemudian untuk sumber tertulisnya yaitu menggunakan arsip tentang Karang Tumaritis. Penulis juga menggunakan pengamatan, wawancara, dan catatan lapangan. Sedangkan untuk teknik analisa data, penulis menggunakan Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman. Kemudian selanjutnya teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan ketekunan atau keajegan pengamatan dan triangulasi. Triangulasi yang diambil yaitu triangulasi sumber dan metode.
Dari hasil analisa data yang telah dilakukan oleh penulis maka diperoleh jabaran tentang peran Karang Tumaritis sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa. Peran-peran itu terbentuk dari tujuan Karang Tumaritis dan hasil analisa data setelah penelitian. Dari hasil analisa data, ternyata penulis juga mendapatkan kendala Karang Tumaritis dalam melestarikan kebudayaan Jawa. Namun, kendala tersebut tidak berdampak besar bagi keberhasilan Karang Tumaritis sebagai media yang membantu pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Dari hasil penelitian dan analisa data, maka peran Karang Tumaritis sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta adalah pertama, mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada masyarakat luas. Kedua, membangun kembali spirit kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Ketiga, melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa. Keempat, sarana dialog interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang budaya. Dan kelima, sarana sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Sedangkan kendalanya adalah masalah pendanaan, belum menggandeng anak-anak muda, teknologi yang digunakan, SDM di TVRI yang kebanyakan sudah tua, menuntaskan obrolan ketika acara sedang berlangsung, eksklusifme pemirsanya yang hanya sebatas orang tua dan orang yang sadar kebudayaan, dan kurangnya waktu penanyangan karena hanya dua minggu sekali.
Sebagai acara tentang kebudayaan Jawa, Karang Tumaritis mempunyai peran dalam melestarikan kebudayaan Jawa. Kelima peran tersebut merupakan peran yang penting untuk membantu proses pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyediakan ruang untuk pelestarian kebudayaan Jawa melalui acara televisi yaitu Karang Tumaritis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media massa telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia pada umumnya. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah,
dan internet kini sudah dianggap sebagai sahabat. Dengan adanya perkembangan
teknologi komunikasi yang pesat, maka segala macam informasi yang diinginkan oleh
masyarakat bisa diperoleh melalui media massa. Sebagai bagian dari media massa,
televisi adalah media yang paling dekat dengan masyarakat.
Televisi mampu memberikan manfaat terhadap kelangsungan hidup manusia.
Manfaat-manfaat tersebut di antaranya yaitu mampu menumbuhkan aspirasi,
mengembangkan dialog, mampu mengenalkan norma-norma sosial, menumbuhkan
selera, dan sebagai pendidik. Kemudian, sebagai media massa, televisi juga
mempunyai fungsi untuk menyampaikan informasi, baik berisi pengetahuan maupun
pendidikan. Selain itu televisi bisa menggugah kesadaran masyarakat melalui
tayangannya.
Manfaat lain yang bisa didapat dari televisi diantaranya yaitu memperluas
wawasan, dimana melalui televisi pemirsa bisa melihat hal baru di luar sana yang
belum pernah dilihatnya. Kemudian, televisi bisa memberikan pengalaman hidup.
Dengan menonton televisi, tanpa harus pergi ke tempat kejadian, pemirsa bisa
langsung melihat dan merasakan apa yang terjadi di tempat lain. Dan yang terakhir
adalah mampu menyediakan hiburan di dalam rumah. Hiburan jenis ini bisa
didapatkan dengan menonton acara-acara di televisi untuk menghilangkan rasa bosan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Televisi menjadi sangat populer di mata masyarakat karena mempunyai
pilihan acara yang menarik untuk ditonton. Dari semua program acara tersebut, ada
yang ditujukan untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa. Namun, sayangnya hingga
saat ini ada sedikit sekali acara terutama pada televisi yang menyajikan tentang
kebudayaan. Padahal kebudayaan adalah sesuatu yang penting di dalam kehidupan
sosial manusia. Dengan adanya televisi yang mengangkat kebudayaan sebagai isi
acaranya, maka televisi bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang
kebudayaan bangsa yang telah menjadi identitas Indonesia.
Dalam rangka memberikan pengetahuan kepada masyarakat, televisi
menyuguhkan program-program yang bervariasi. Mulai dari program yang berisi
hiburan hingga pengetahuan. Program yang berisi pengetahuan bisa didapatkan dari
program yang memberikan tayangan mendidik seperti masalah kebudayaan.
Kebudayaan yang dimaksud yaitu kebudayaan asli dari bangsa, yang merupakan
kebudayaan yang beragam dan memiliki nilai luhur dalam membentuk kepribadian
atau jati diri bangsa. Dengan adanya televisi, maka acara kebudayaan bisa ikut
ditampilkan, selain untuk mendidik generasi bangsa, salah satu tujuannya yaitu
pelestarian kebudayaan.
Namun, kita mendapati bahwa salah satu tantangan terbesar dalam masalah
pelestarian budaya tradisional bangsa yaitu generasi muda yang kurang tertarik
terhadap hal-hal berbau tradisi karena dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Untuk
menghadapi keadaan itu, maka pemerintah dan segenap kelompok masyarakat yang
peduli terhadap kebudayaan tidak hanya diam saja. Mengingat kebudayaan tradisional
patut dilindungi dan dilestarikan, maka media massa termasuk televisi menjadi
medium yang baik untuk memulai proses pelestarian kebudayaan asli Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Melalui berbagai macam pengemasan acara, kebudayaan bisa menjadi tontonan yang
menarik bagi pemirsa.
Ki Manteb Soedharsono menyatakan pendapatnya tentang tantangan dalam
upaya melestarikan kesenian wayang yang merupakan bagian dari kebudayaan
tradisional Jawa. Salah satu tantangan terbesarnya adalah regenerasi. Dalam upaya
pelestarian, seharusnya pemerintah, seniman, dan masyarakat bekerja sama. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah tersedianya ruang di media massa untuk kesenian
tradisional. Inilah yang dianggap oleh dalang kondang tersebut masih terbatas (Reko
Suroko, ”Butuh Ruang di Media Massa”, Wawasan Minggu, 27 Juli 2010, halaman 3).
Sedangkan menurut Drs. Tashadi, peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta bahwa dalam budaya tradisional terkandung nilai-nilai luhur
pembentuk jati diri bangsa. Ketika nilai-nilai ini hilang dan tidak lagi dimengerti oleh
generasi muda, maka mereka hanya akan memiliki nilai-nilai global dan hilanglah jati
diri bangsa Indonesia ini (Fachri Siradz, “Pelestarian Budaya Tradisional Melalui
Layar Kaca”, www.indosiar.com/program/resensi/67592/pelestarian-budaya-
tradisional-melalui-layar-kaca, 26/7/2010/11.00). Kebudayaan Jawa sebagai salah satu
dari kebudayaan tradisional Indonesia, cepat atau lambat bisa tergeser oleh arus
modernisasi dan globalisasi. Namun, sebelum semua itu terjadi, maka berbagai
langkah pelestarian mulai dirancang.
Menurut Fachri Siradz, supaya kebudayaan tradisional tidak mudah hilang
terkena arus modernisasi dan globalisasi, yang perlu dilakukan adalah pelestarian
kebudayaan. Pelestrian ini akan berjalan sukses bila didukung oleh berbagai pihak
termasuk pemerintah dan adanya sosialisasi luas dari media massa termasuk televisi.
Dan bisa dipastikan cepat atau lambat budaya tradisional akan kembali bergairah.
Seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui TVRI, program-program acara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
bertema kebudayaan tradisional tetap diproduksi. Baik dengan menggunakan dana
dari pemerintah pusat maupun dibiayai oleh pihak ketiga (pihak yang peduli dengan
kebudayaan). TVRI Yogyakarta merupakan salah satu dari banyak stasiun televisi
yang masih memproduksi acara budaya. Karena TVRI Yogyakarta bervisikan budaya,
pendidikan, dan kerakyatan, maka TVRI Yogyakarta berusaha untuk ikut melebur
bersama dinamika kehidupan masyarakat (Dokumen TVRI Stasiun Daerah Istimewa
Yogyakarta).
Salah satu contoh acara TVRI Yogyakarta yang memiliki tema kebudayaan,
terutama kebudayaan Jawa di daerah lingkup kebudayaan Jawa yaitu Karang
Tumaritis. Acara tersebut berisi dialog budayawan dan seniman yang dikemas dalam
sajian nuansa Jawa dengan lesehan di depan pendopo rumah dan diselingi alunan siter.
Di sela-sela obrolan diselingi sajian petuah atau nasehat dari tokoh punakawan dalam
cerita perwayangan dengan menggunakan kelir (Dokumen TVRI Stasiun Daerah
Istimewa Yogyakarta). Dalam mempertahankan eksistensi kebudayaan Jawa, acara
seperti Karang Tumaritis baik untuk diproduksi oleh stasiun televisi yang mempunyai
kepedulian terhadap pentingnya pelestarian budaya bangsa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2005 menetapkan bahwa
tugas TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang
sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan
seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang
menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Harun Nur,
”Mempertahankan TVRI Sebagai TV Publik”,
www.metronews.fajar.co.id/read/94460/19/index.php, 29/01/2011/8.28). Untuk TVRI
Stasiun DIY, ada acara Karang Tumaritis yang bisa melestarikan kebudayaan dan
potensi lokal di Yogyakarta. Karang Tumaritis ini adalah acara yang mengangkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kebudayaan dan disajikan sesuai dengan perkembangan jaman. Sehingga Karang
Tumaritis memberikan informasi tentang unsur-unsur kebudayaan Jawa dan
bagaimana eksistensinya di jaman modern.
Karakteristik dari Karang Tumaritis yaitu, pertama, tema yang diangkat
adalah kebudayaan Jawa yang disajikan ke dalam bentuk dialog dengan orang yang
mengetahui dan berkecimpung pada budaya Jawa. Setiap tema yang ditampilkan
selalu berbeda-beda, sehingga narasumbernya pun juga berganti sesuai dengan
keahlian pada budaya Jawa yang dimiliki oleh narasumber. Kedua, penggunaan
bahasa Jawa. Dalam sepanjang acara, bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa
pengantarnya. Ketiga, adanya telepon interaktif. Dengan menggunakan teknologi
telekomunikasi seperti telepon interaktif, maka penonton yang ingin menyampaikan
pesan maupun pertanyaan bisa disalurkan langsung kepada narasumber yang
dihadirkan.
Salah satu yang paling menarik dari Karang Tumaritis yaitu penggunaan
wayang kulit sebagai bagian dari acara. Nasehat atau petuah yang disampaikan
menggunakan bahasa Jawa oleh semar. Wayang kulit merupakan bagian dari kesenian
tradisional. Wayang sendiri sangat erat dengan kehidupan sosial, kultural, dalam
religius bangsa Jawa (Imam Sutardjo, 2008 : 60). Tokoh semar dalam perwayangan
yang ditampilkan pada Karang Tumaritis dianggap sebagai tetua yang memberikan
petuah kepada para manusia.
Karang Tumaritis merupakan sebuah acara yang bernafaskan budaya Jawa.
Sekarang ini budaya Jawa sudah mulai terlindas oleh budaya asing. Perkembangannya
mengalami kemacetan. Acara di media elektronik khususnya televisi lebih cenderung
berisikan budaya asing. Ditambah lagi masyarakat Jawa telah kehilangan rasa sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
orang Jawa yang sesungguhnya. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, mereka lebih
suka mengagung-agungkan budaya asing dari pada budaya daerah sendiri.
Menurut Surya Sasangka, wartawan Newsweek dalam Sarasehan Budaya
Jawa “Adilihung Budaya Jawi Kawawas Saking Mancanegari” mendapati adanya tiga
sebab yang membuat budaya Jawa tidak berkembang dengan baik. Pertama, banyak
orang Jawa yang merasa minder dan tidak percaya diri dengan budaya sendiri
sehingga lebih suka mempelajari budaya asing. Kedua, banyak masyarakat Jawa yang
berkiblat pada agama dan budaya Timur Tengah. Akibatnya mereka tidak bisa
membedakan antara agama dan budaya sendiri. Ketiga, minimnya fasilitas dan sarana
untuk mengembangkan budaya Jawa. Bahkan media massa sendiri sebagai wadah
untuk mempromosikan budaya Jawa tidak memberikan ruang secara maksimal bagi
perkembangan budaya sendiri (“Surutnya Budaya Jawa Dari Ciri Khas Masyarakat
Jawa”, www.gudeg.net/id/news/2004/04/2382/Surutnya-Budaya-Jawa-dari-Ciri-Khas-
Masyarakat-Jawa.html, 27/2/2010/11.00).
Seharusnya media massa harus dilibatkan dalam proses pelestarian
kebudayaan Jawa sebagai bagian dari kebudayaan bangsa. Gerakan pembelaan budaya
bangsa hanya akan dapat mencapai hasil positif apabila “program informasi” secara
umum (baik melalui media cetak, radio, maupun televisi) ikut mengambil bagian aktif.
Pada area lokal di Yogyakarta ini, penulis mengangkat tentang bagaimana peran acara
Karang Tumaritis di Televisi Republik Indonesia Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam pelestarian budaya Jawa di sana. Dalam acara Karang Tumaritis, dialog yang
dibawakan oleh para seniman merupakan dialog yang berisikan kebudayaan Jawa.
Acara ini bisa dijadikan contoh sebagai salah satu acara yang mampu menyajikan
materi kebudayaan Jawa di daerah Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat sebuah rumusan
masalah :
Bagaimana peran acara Karang Tumaritis di TVRI D. I. Yogyakarta sebagai
media untuk mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui bagaimana peran acara Karang Tumaritis sebagai media
untuk mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi stasiun televisi yang bersangkutan bisa melakukan berbagai evaluasi
terhadap program acara tersebut
2. Bagi masyarakat Yogyakarta agar bisa memahami tentang pentingnya media
massa lokal terutama program acara di televisi dalam pelestarian kebudayaan Jawa
3. Bagi Pemerintah dan pihak terkait dengan masalah kebudayaan di Yogyakarta
agar memahami kontribusi yang bisa diberikan oleh media massa (televisi) dalam
proses pelestarian budaya Jawa di Yogyakarta
E. Tinjauan Pustaka
Komunikasi adalah sebuah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Semua kegiatan manusia dilakukan atas dasar komunikasi. Manusia memiliki
keinginan untuk berbicara, tukar-menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
membagi pengalaman, kerja sama, dan lain sebagainya. Apalagi dalam abad modern
ini, berkomunikasi pun tidak hanya dilakukan dengan cara face to face saja.
Melainkan komunikasi dengan menggunakan media massa pun sudah lama dan banyak
dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari kehidupannya.
Komunikasi merupakan sebuah ilmu yang cakupannya luas. Konsep tentang
komunikasi sendiri juga memiliki keterkaitan dengan berbagai hal. Seperti halnya
peran media massa terhadap pelestarian kebudayaan. Penulis telah merangkai teori-
teori yang memuat tentang konsep-konsep tersebut. Agar penjelasan yang diberikan
menjadi lebih runtut dan terstruktur, selanjutnya bagian tinjauan pustaka akan dibagi
menjadi beberapa sub bagian, yaitu : Komunikasi, Televisi Dalam Komunikasi Massa,
TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, Acara Televisi di TVRI, Kebudayaan, dan
Peran Komunikasi Massa Dalam Pelestarian Kebudayaan.
1. Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya
memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris
communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan,
perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih. Secara sederhana dapat
dikemukakan pengertian komunikasi, ialah proses pengiriman pesan atau simbol-
simbol yang mengandung arti dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang
penerima atau komunikan dengan tujuan tertentu (Suranto Aw, 2010 : 2).
Definisi komunikasi menurut Wilbur Schramm (1955) yaitu :
“Communication as an act of establishing contact between a sender and a receiver, with the help of message; the sender and receiver some common experience which meaning to the message incode and sent by the sender; and receiver and decode by the receiver”, (Suranto Aw, 2010 : 2). “Komunikasi merupakan suatu tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima, memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima”, (Suranto Aw, 2010 : 2).
Sifat komunikasi diungkapkan oleh Suranto Aw dalam proses komunikasi
dapat dibedakan menjadi (2010 : 14) :
a. Komunikasi tatap muka (face to face communication), dalam hal ini pihak yang
berkomunikasi saling bertemu dalam suatu tempat tertentu
b. Komunikasi bermedia (mediated communication), ialah komunikasi dengan
menggunakan media, seperti telepon, surat, radio, dan sebagainya
c. Komunikasi verbal, komunikasi dengan ciri bahwa pesan yang dikirimkan berupa
pesan verbal atau dalam bentuk ungkapan kalimat, baik secara lisan maupun tulisan
d. Komunikasi non verbal, komunikasi dengan ciri bahwa pesan yang disampaikan
berupa pesan non verbal atau bahasa isyarat, baik isyarat badaniah (gestural)
maupun isyarat gambar (pictoral)
Sedangkan tahap komunikasi seperti yang dijelaskan dalam bukunya Suranto
Aw (2010 : 15) terdapat tiga tahap yaitu :
a. Komunikasi satu tahap (one step flow communication), ialah penyampaian ide,
gagasan, atau pesan langsung kepada komunikan yang dikehendaki. Dalam konteks
komunikasi massa, maka pesan dari media massa langsung diterima oleh
komunikan
b. Komunikasi dua tahap (two step flow communication), ide atau pesan disampaikan
komunikator dan diterima oleh para pemuka pendapat (opinion leader) baru
kemudian disampaikan kepada komunikan berikutnya.
c. Komunikasi banyak tahap (multi step flow communication), proses komunikasi ini
diawali dari komunikator menyampaikan pesan yang diterima oleh pemuka
pendapat, selanjutnya pemuka pendapat ini menyampaikan pesan yang sama ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
orang lain, dan terus menerus orang tersebut menyampaikan informasi kepada
orang-orang berikutnya secara berantai
Bentuk komunikasi dapat diklarifikasikan menurut jumlah pihak yang terlibat
komunikasi, (Suranto Aw, 2010 : 13) :
a. Komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication), ialah proses komunikasi
yang terjadi dalam diri sendiri
b. Komunikasi antarpersonal (interpersonal communication), komunikasi antara
seseorang dengan orang lain, bisa berlangsung secara tatap muka maupun dengan
bantuan media
c. Komunikasi kelompok (group communication), proses komunikasi yang
berlangsung dalam suatu kelompok
d. Komunikasi massa (mass communication), komunikasi yang melibatkan banyak
orang serta melalui media massa
Komunikasi merupakan dasar dalam segala hal. Komunikasi telah menjadi
sebuah kebutuhan untuk hidup. Manusia sebagai makhluk sosial menyampaikan
pesan-pesannya melalui komunikasi. Tanpa adanya komunikasi, manusia tidak dapat
hidup dengan baik.
2. Televisi Dalam Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan komunikasi yang melibatkan banyak orang.
Ada sebagian ahli berpendapat bahwa komunikasi massa adalah komunikasi melalui
media massa (Suranto Aw, 2010 : 13). Media massa ini termasuk diantaranya adalah
surat kabar, film, radio, dan televisi. Ciri komunikasi massa bila dilihat dari unsur-
unsur yang mencakupnya menurut Onong Uchjana Effendy (2004 : 51-55) yakni :
a. Sifat komunikan
Komunikasi massa ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya relatif besar,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
heterogen, dan anonim.
b. Sifat media massa
Serempak cepat, yaitu keserempakan kontak antara komunikator dengan komunikan
yang jumlahnya besar. Media massa bersifat cepat (rapid), dalam artian
memungkinkan pesan yang disampaikan kepada banyak orang dengan waktu yang
cepat.
c. Sifat pesan
Sifat pesan yang dibawa media massa adalah umum. Karena media massa adalah
sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak, bukan untuk sekelompok
orang saja.
d. Sifat komunikator
Karena media massa adalah sebuah lembaga atau organisasi, maka ia termasuk
komunikator terlembagakan. Media massa memiliki pesan yang dikerjakan secara
kolektif.
e. Sifat efek
Efek komunikasi yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan komunikasi
yang dilakukan oleh komunikator.
Komunikasi massa mempunyai fungsi di masyarakat. Fungsi-fungsi itu
menurut Dominick (2001) terdiri dari (Elvinaro, dkk, 2007 : 15-18) :
a. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan terdiri dari dua jenis, yaitu peringatan dan instrumental.
Pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang
ancaman angin topan, meletusnya gunung merapi, dan sebagainya. Sedangkan
pengawasan instrumental yaitu penyebaran informasi yang memiliki kegunaan
dalam kehidupan sehari-hari. Isinya bisa tentang produk-produk baru dan harga-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
harga saham.
b. Interpretation (Penafsiran)
Fungsi ini mirip dengan pengawasan. Namun, media massa juga memberikan
penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting.
c. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga
membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang
sesuatu.
d. Transmission of Value (Penyebaran Nilai-nilai)
Fungsi ini sering disebut sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada cara, di mana
individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili
gambaran masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa
memperlihatkan kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka.
Di antara semua jenis media massa, televisi sangat berpotensi untuk terjadinya
sosialisasi (penyebaran nilai-nilai).
e. Entertainment (Hiburan)
Televisi adalah media massa yang mengutamakan hiburan. Hampir tiga perempat
bentuk siaran televisi setiap harinya adalah hiburan. Melalui berbagai macam acara
yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang
dikehendakinya.
Komunikasi massa berpijak pada teori yang dikembangkan oleh Harold
Lasswell pada tahun 1948. Model ini berupa ungkapan : Who says what in which
channel to whom with what effect atau siapa berkata apa melalui saluran apa kepada
siapa dengan efek apa. Komunikator membawa pesan melalui media kepada penerima
dengan efek tertentu (Morissan, 2008 : 16).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Untuk karakteristik komunikasi massa yang komunikannya bersifat
heterogen, maka tidak mudah untuk mengukur umpan balik yang datang dari semua
komunikan. Karena itu, umpan balik yang datang biasanya merupakan representative
(wakil) sampel, sehingga walaupun yang ditanggapi hanya satu atau dua komunikan,
namun hal tersebut sudah dianggap dapat mewakili seumlah komunikan yang lainnya
(Elvinaro, dkk, 2007 : 47).
Salah satu media massa yang saat ini sangat dekat dengan masyarakat yaitu
televisi. Televisi saat ini merupakan media massa yang paling berpengaruh pada
masyarakat, hal ini karena didukung oleh kemudahan untuk mengaksesnya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, televisi adalah proses penyiaran gambar
melalui gelombang frekuensi radio dan menerimanya pada pesawat penerima yang
memunculkan gambar tersebut pada sebidang layar. Jadi, televisi secara sederhana
adalah media massa yang menampilkan siaran berupa gambar dan suara dari jarak
jauh. Televisi merupakan sistem gabungan antara gambar dan suara.
Televisi dalam komunikasi massa memiliki makna :
“…….merupakan bagian dari media massa. Dan ia dikenal sebagai media elektronik. Televisi merupakan media yang dapat mendominasi komunikasi massa karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi memiliki kelebihan dari media massa lainnya karena bersifat audio visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan secara langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi kepada setiap pemirsa di manapun ia berada (Riswandi, 2009 : 2).”
Media menurut Riswandi adalah saluran komunikasi massa yang memiliki
ciri-ciri khusus, yaitu mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian khalayak
secara serempak dan serentak (2009 : 2). Karakteristik televisi sebagai media yang
paling banyak diminati oleh khalayak menurut Riswandi (2009 : 5-6) adalah :
a. Audio visual, karena bisa didengar dan dilihat oleh khalayak dan menampilkan
informasi yang disertai kata-kata, gambar, dan rekaman peristiwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
b. Berpikir dalam gambar, ada dua tahap pada poin ini. Pertama, visualisasi,
menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-
gambar. Kedua, penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar
individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu
c. Cara kerja yang kompleks, pengoperasian televisi lebih kompleks karena lebih
melibatkan banyak orang.
Sifat-sifat media massa televisi yang membedakannya dari jenis media massa
lainnya yaitu televisi dapat didengar dan dilihat bila ada siaran, dapat dilihat dan
didengar kembali bila diputar lagi, daya rangsang sangat tinggi, elektris, sangat mahal,
dan daya jangkau besar (J. B. Wahyudi dalam Morissan, 2008 : 11). Televisi
merupakan media yang menguasai ruang dan tidak menguasai waktu (J. B. Wahyudi
dalam Morissan, 2008 : 12). Artinya, siaran televisi bisa diterima di mana saja dalam
jangkauan pemancar. Namun, televisi tidak bisa dilihat dan didengar berulang-ulang
serta kapan saja. Inilah mengapa televisi hanya menguasai ruang saja, bukan waktu.
Menurut Prof. Dr. R. Mar’at dari Universitas Padjadjaran, tentang program
acara televisi (Onong Uchjana Effendy, 2004 : 122) yaitu :
“……acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton, ini adalah wajar”.
Kelebihan televisi dari media massa lainnya adalah kemampuan menyajikan
berbagai kebutuhan manusia, baik hiburan, informasi, maupun pendidikan. Pengaruh
televisi terhadap kehidupan sudah bisa dirasakan oleh khalayak yang menonton.
Karena pada dasarnya televisi bisa mengakibatkan penonton mendapatkan sesuatu dari
aspek psikologis yang ditonton dari televisi. Dan itu semua bukanlah sesuatu yang
baru dan istimewa lagi di mata khalayak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
3. TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Stasiun penyiaran publik berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara,
bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat. Stasiun penyiaran publik terdiri atas Radio Republik
Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang stasiun pusat
penyiarannya berada di ibu kota negara. Di daerah provinsi, kabupaten atau kota dapat
didirikan stasiun penyiaran publik lokal (Morissan, 2008 : 97).
Di Indonesia, pengertian stasiun publik identik dengan TVRI dan RRI karena
menurut Undang-Undang Penyiaran, stasiun publik terdiri dari RRI dan TVRI yang
stasiun pusat penyiarannya berada di Jakarta. Selain itu, di daerah provinsi, kabupaten
atau kota dapat didirikan stasiun penyiaran publik lokal. Undang-Undang Penyiaran di
Indonesia memberikan tugas lepada TVRI untuk memberikan pelayanan informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta melestarikan budaya
bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan
penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia (Morissan, 2008 : 97-
99).
Sumber pembiayaan media penyiaran publik di Indonesia berasal dari iuran
penyiaran yang berasal dari masyarakat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan
masyarakat, dan siaran iklan. Sumber pembiayaan untuk stasiun penyiaran publik
lebih banyak dari pada stasiun swasta yang hanya memiliki dua sumber pendapatan,
yaitu siaran iklan dan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran
(Morissan, 2008 : 100). Sedangkan menurut Riswandi, sumber pendanaan penyiaran
publik berasal dari negara, iuran, iklan, dan donatur yang tidak mengikat (2009 : 17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Kemudian Efendi Gazali mengemukakan lima ciri penyiaran publik sebagai
berikut :
a. Akses publik, akses publik ini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi juga
menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan
memproduksi program-program lokal dan tokoh-tokoh lokal
b. Dana publik, lembaga penyiaran publik tidak hanya mengandalkan keuangannya
dari anggaran negara, tetapi juga iuran dan donatur
c. Akuntabilitas publik, karena dana utamanya dari publik, maka terdapat kewajiban
dari penyiaran publik untuk membuat akuntabilititas finansialnya
d. Keterlibatan publik, artinya ada keterlibatan menjadi penonton atau menjadi
kelompok yang rela membantu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana untuk
kelangsungan penyiaran publik
e. Kepentingan publik, kepentingan publik lebih diutamakan dari pada kepentingan
iklan. Misalnya ada satu acara yang sangat baik dan bermanfaat bagi publik, namun
ratingnya rendah, maka ia akan tetap diproduksi dan tetap dipertahankan
penanyangannya (Riswandi, 2009 : 17-18).
4. Acara Televisi di TVRI
Stasiun televisi setiap harinya menyajikan jenis program yang jumlahnya
sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Setiap program acara di televisi
mempunyai waktunya masing-masing. Jam tayang tersebut juga sebenarnya
berhubungan dengan ketersediaan audiens. Dalam bukunya, Morissan (2008 : 257)
memberikan pembagian waktu siaran dan ketersediaan audien menurut beberapa ahli :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Tabel 1.1
Pembagian Waktu Siaran dan Ketersediaan Audien
Bagian Hari Audien Tersedia
Pagi Hari
(06.00 – 09.00)
Anak-anak, ibu rumah tangga,
pensiunan, pelajar, dan karyawan yang
akan berangkat ke kantor
Jelang Siang
(09.00 - 12.00)
Anak-anak prasekolah, ibu rumah
tangga, pensiunan, dan karyawan yang
bertugas secara giliran (shift)
Siang Hari
(12.00 – 16.00)
Karyawan yang makan siang di rumah,
pelajar yang pulang dari sekolah
Sore Hari (early fringe)
(16.00 – 18.00)
Karyawan yang pulang dari tempat kerja,
anak-anak, dan remaja
Awal Malam (early evening)
(18.00 – 19.00)
Hampir sebagian besar audien sudah
berada di rumah
Jelang Waktu Utama (prime acces)
(19.00 – 20.00)
Seluruh audien tersedia menonton
televisi pada waktu ini
Waktu utama (prime time)
(20.00 – 23.00)
Seluruh audien tersedia pada waktu ini
utamanya antara pukul 20.00 – 21.00.
Namun, setelah itu, audien mulai
berkurang utamanya audien anak-anak,
dan pensiunan serta mereka yang harus
tidur lebih cepat agar dapat bangun pagi-
pagi
Jelang Tengah Malam (late fringe)
(23.00 – 23.30) Umumnya orang dewasa
Akhir malam (late night)
(23.30 – 02.00)
Orang dewasa, termasuk karyawan yang
bertugas secara giliran (shift)
(Sumber : Peter K. Pringue. Michael F. Starr, William E. McCavitt; Electronic Media
Management, second edition, Focal Press, Boston – London, 1991)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Pada program yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran publik ada
perbedaan dengan acara yang ditayangkan oleh stasiun komersial. Televisi publik
menata acaranya dengan menekankan pada aspek pendidikan masyarakat yang
bertujuan mencerdaskan audien. Program disusun berdasarkan pada gagasan
melestarikan dan mendorong berkembangnya budaya lokal, sejarah kebangsaan, dan
sebagainya. Televisi memegang peran penting menjaga dan melestarikan kebudayaan
daerah. Program acara pendidikan dan kebudayaan (seperti pengembangan bahasa
nasional dan kebudayaan daerah) harus menjadi tanggung jawab media penyiaran
publik untuk memproduksinya (Morissan, 2008 : 100-101).
Strategi dalam mengelola stasiun televisi publik menurut Pringle- Starr-
McCavitt (1991) yaitu the nature of the licensee (misi atau fungsi utama keberadaan
stasiun publik), kebutuhan dan kepentingan masyarakat, dan upaya menggalang dana
dari masyarakat (the requirements for fund raising from the audience). Fungsi utama
dari stasiun publik di Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam UU Penyiaran adalah
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan faktor
pertama yang harus dipertimbangkan sebelum menyusun strategi program (Morissan,
2008 : 101).
Program acara yang bertema kebudayaan lokal seakan hanya ada di TVRI
saja. Bahkan TVRI memberikan andil yang besar terhadap budaya lokal di stasiunnya.
Presentase secara persisnya yaitu TVRI memberikan paket siaran budaya lokal yang
lebih besar dari pada stasiun televisi swasta. Budaya lokal justru diangkat oleh TVRI
ke permukaan. Budaya lokal ini tidak dimuseumkan, tetapi TVRI mampu
mengangkatnya menjadi sebuah program acara (Syamsudin Noer Moenadi, 1997 : 33-
34).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Program acara di TVRI memang lebih banyak mengangkat budaya lokal. Hal
ini juga dimaksudkan agar kebudayaan asli milik bangsa ini tidak kalah dengan budaya
asing maupun budaya global di televisi. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI
harus menyadari dan melaksanakan tugasnya sebagai televisi yang menghargai budaya
lokal. Selain itu, masyarakat juga hanya bisa menonton budaya lokal mereka di TVRI
di daerah mereka masing-masing. Kebudayaan Jawa, paling banyak disajikan di TVRI
D. I. Yogyakarta sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang ada di Yogyakarta dan
sekitarnya.
5. Kebudayaan
Kebudayaan memiliki bidang cakupan yang sangat luas. Istilah kebudayaan
atau budaya berasal dari kata “budi”. Budi berarti alat batin yang merupakan paduan
akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk (Anton Moeliono cs, 1988 : 131
dikutip oleh Astrid S. Susanto-Sunario, 1995 : 127). Kebudayaan menurut Zaetmulder
yaitu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya dari budi, kekuatan dari akal
(Imam Sutarjo, 2008 : 12).
Hari Poerwanto memberikan pengertian tentang istilah kebudayaan menjadi
(2008 : 51-52) :
“Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere, yang berarti bercocok tanam (cultivation). Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal). Sering kali ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk “budi-daya”yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Karenanya ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa.”
Secara lebih lanjut Koentjaraningrat (Hari Poerwanto, 2008 : 52)
mendefinisikan kebudayaan sebagai :
“…….keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
belajar”.
Kemudian, E. B. Taylor telah mencoba mendefinisikan kata kebudayaan
sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Sedangkan konsep kebudayaan yang lebih sistematik
dirumuskan oleh A. L. Kroeber dan C. Kluchkohn adalah keseluruhan pola-pola
tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang
diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu
yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-
benda materi (Hari Poerwanto, 2008 : 52-53).
Sedangkan menurut Koentjaraningrat, konsep kebudayaan sangat luas. Wujud
kebudayaan menurut Koentjoroningrat memiliki paling sedikit tiga wujud, yaitu
(Koentjoroningrat dalam Alfian, 1985 : 100) :
a. Wujud sebagai kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia
b. Wujud sebagai suatu kompleks aktivitas
c. Wujud sebagai benda
Alfian mengkutip dari Koentjoroningrat (Koentjoroningrat dalam Alfian,
1985 : 101-102) tentang isi kebudayaan yaitu :
“Isi kebudayaan manusia sebaiknya menggunakan unsur-unsur kebudayaan universal yaitu unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks dan dengan suatu jaringan hubungan yang luas. Dengan mengambil contoh konsepsi B. Malinowski, maka dalam semua kebudayaan di dunia ada tujuh buah unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.”
Kebudayaan menjadi milik manusia melalui proses belajar, dan diajarkan
kepada anggotanya melalui proses akulturasi, enkulturisasi, dan proses sosialisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
(Imam Sutarjo, 2008 : 10). Hal ini juga mirip dengan pendapat yang dikemukan oleh
C. Kluckhohn yang menekankan bahwa kebudayaan merupakan proses belajar dan
bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis. Oleh karenanya, kebudayaan
merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan
sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan perasaan, hasrat, dan
emosi, dalam rangka pembentukan kepribadiannya (Hari Poerwanto, 2008 : 88).
Kebudayaan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari. Apalagi
sejarah dari kebudayaan di masa lalu diperlukan untuk bisa membangun suatu
kebudayaan baru. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Poerbatjaraka bahwa
kebudayaan baru Indonesia harus berakar pada kebudayaan Indonesia sendiri atau
kebudayaan pra-Indonesia. Hal itu berarti bahwa kebudayaan Indonesia seharusnya
berakar pada kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Pendapat itu juga senada
dengan Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia
adalah puncak-puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah (Koentjaraningrat dalam
Alfian, 1985 : 109).
Dalam pendapat yang dikemukan oleh Koentjaraningrat, seluruh wujud
kebudayaan adalah pengejawantahan, penerapan, perluasan, dan perentangan gagasan
manusia. Gagasan-gagasanlah yang melandasi seluruh hasil budi dan karya manusia.
Untuk bisa mengerti, memahami, dan menghargai gagasan di balik wujud hasil
kebudayaan, maka seseorang harus menangkap maksud gagasan dari wujud hasil
kebudayaan tersebut (Koentjoroningrat dalam Alfian, 1985 : 192).
Budaya sebagai sistem pemikiran mencakup sistem gagasan, konsep-konsep,
aturan-aturan serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidupan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
dimilikinya melalui proses belajar Lalu, C. Geertz juga menyatakan pendapatnya
seperti yang dikutip oleh Hari Poerwanto (2008 : 58) tentang kebudayaan yaitu :
“…...kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses perorangan.”
Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan manusia dan kebudayaan, Hari
Poerwanto (2008 : 60) mengutip dari Leslie White (1969) bahwa :
“Pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi dan kekuasaan, dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam bahasa. Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas. Berdasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka jelaslah kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia; baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya.”
Manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Setelah manusia mati, maka kebudayaan akan diwariskan untuk keturunannya. Hari
Poerwanto (2008 : 88) memberikan penjelaskan tentang cara pewarisan kebudayaan :
“……..pertama, secara vertikal atau langsung kepada anak cucu mereka. Kedua, secara horizontal atau belajar kebudayaan kepada manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya, akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dikomunikasikan dengan individu lainnya karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa; serta dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis”.
Tugas pembinaan kebudayaan yang diemban oleh berbagai pihak dalam
masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam usaha-usaha yang menurut sifatnya dapat
dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu:
a. Pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran
b. Penggalian dan pengkajian
c. Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya
d. Perangsangan inovasi dan kreasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
e. Perumusan nilai-nilai ideal bangsa dan sosialisasinya
Tujuan-tujuan besar seperti di atas dirumuskan sebagai “memperkukuh jati
diri budaya bangsa”, “memperkuat ketahanan budaya bangsa”, “melestarikan warisan
budaya bangsa”, “meningkatkan kesadaran budaya”, “meningkatkan kesadaran
sejarah”, serta “memperlancar dialog budaya”, pada dasarnya adalah tujuan-tujuan
payung yang harus dijabarkan ke dalam berbagai program kegiatan (Edi Sedyawati,
2008 : 203).
Kebudayaan yang ada di kehidupan manusia apabila dirawat, dipelihara, dan
dikembangkan atau mempunyai cukup pendukung, maka selama itu pula suatu budaya
sukar berubah. Dengan demikian, suatu perubahan budaya tidak selalu diadakan secara
sadar dari luar, tetapi bila ia tidak cukup memiliki pendukungnya, maka ia akan pudar
perlahan-lahan dari dalam (Astrid S. Susanto-Sunario, 1995 : 130). Hal inilah
dimaksud pentingnya menjaga kebudayaan yang ada di kehidupan suatu masyarakat
agar tidak memudar dengan sendirinya.
Pada dasarnya setiap kebudayaan, sebagai milik suatu masyarakat, dalam
intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan.
Kebudayaan sebenarnya tidak pernah statis atau stagnant, namun sebaliknya meski
dapat terjadi perubahan dan perkembangan di dalam kebudayaan, jati diri suatu
kebudayaan dapat lestari. Artinya, lestari yang dinamis, yaitu ciri-ciri pengenalnya
secara keseluruhan tetap dimiliki meski bentuk-bentuk ungkapan di dalamnya (konsep,
tata tindakan, benda-benda-benda budaya) dapat mengalami perubahan (Edi
Sedyawati, 2008 : 290).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
6. Peran Komunikasi Massa Dalam Pelestarian Kebudayaan
Komunikasi massa (mass communication) sendiri merupakan singkatan dari
komunikasi media massa (mass media communication), yang berarti komunikasi
melalui media massa (Onong Uchjana Effendy, 1993 : 12). Media massa ini yaitu
televisi, surat kabar, majalah, radio, dan lain sebagainya. Jadi, komunikasi massa
adalah berkomunikasi dengan menggunakan salah satu dari media massa tersebut.
Pengertian mengenai komunikasi massa rumit sifatnya. Sehingga Onong
Uchjana Effendy (1993 : 13-14) mengutip dari pernyataan Werner J. Severin dan
James W. Tankard Jr dalam bukunya Communication Theories, Origins, Methods,
Uses, mengatakan :
”Mass comunication is a part of skill, part art, and part science. It is skill in the sense that it envolves certain fundamental learnable techniques such as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is art in the sense that it envolves creative challeges such as writing a script for a a television program, developing an aesthetic layout for a magazine ad or coming up with a catchy lead for a news story. It is a science in the sense that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied and used to make things work better”. (Komunikasi massa sebagian adalah keterampilam, bagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian tantangan-tantangan kretif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik).”
Onong Uchjana Effendy juga merumuskan fungsi komunikasi massa menjadi
(2004 : 54) :
“Sejauh ini komunikasi massa telah membawa fungsi bagi masyarakat yaitu to inform (menyiarkan informasi), to educate (mendidik), dan to entertain(menghibur). Sedangkan fungsi lain dari komunikasi massa adalah to influence (mempengaruhi), to guide (membimbing), to criticize (mengkritik), dan lain-lain. Dari fungsi-fungsi yang ada, fungsi menghibur merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
fungsi yang paling banyak ditemukan pada televisi maupun media elektronik lain. Sedangkan untuk surat kabar, fungsi yang lebih utama yaitu menyiarkan informasi”.
Wilbur Schramm memberikan penjelasan mengenai fungsi komunikasi massa
sebagai tiga poin yang saling berkaitan yaitu :
“Komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder. Komunikasi massa mengdekode lingkungan sekitar, mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek hiburan. Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang didekode sehingga bisa mengambil kebijakan terhadap efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta membantu anggota-anggota masyarakat menikmati kehidupan. Komunikasi massa juga mengenkode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota masyarakat (Wiryanto, 2000 : 10).”
Dennis McQuail menguraikan pentingnya fungsi media massa di dalam
kehidupan (1996 : 3) :
“Media massa seperti televisi, radio, koran, dan lain sebagainya mempunyai fungsi penting. Fungsi penting itu di antaranya berpijak pada dalil yaitu media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, termasuk sebagai pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.”
Selain itu media massa mempunyai ciri-ciri khusus yaitu (Dennis McQuail,
1996 : 40) :
“Media massa sebagai komunikator massa tentunya memiliki ciri-ciri khusus bahwa salah satunya adalah memproduksi dan mendistribusi pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya.”
Institusi media menyelenggarakan fungsinya seperti mendistribusikan
pengetahuan supaya pengetahuan itu bisa membuat manusia mampu untuk memetik
pelajaran dari pengetahuan. Pelajaran inilah yang akan mengingatkan manusia akan
pentingnya sejarah atau pengalaman masa lampau untuk berpijak ke masa depan serta
demi kelangsungan hidup pengetahuan tersebut. Media massa yang berperan untuk
menyelenggarakan produk distribusi pengetahuan itu dalam pengertian serangkaian
simbol yang mengacu pada pengalaman kehidupan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Secara umum, dalam beberapa segi, media massa memiliki perbedaan dengan
institusi pengetahuan lainnya yang ada. Perbedaan media massa dengan institusi
pengetahuan lainnya seperti seni, agama, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan
sebagainya (Dennis McQuail, 1996 : 51) yaitu :
a. Media massa memiliki fungsi pembawa bagi segenap macam pengetahuan
b. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik, yaitu dia
bisa dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara bebas
c. Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama
d. Media menjangkau lebih banyak orang dari pada institusi lainnya dan sejak dahulu
telah mengambil alih peranan sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain
Menurut Imam Sutardjo, media massa dianggap memiliki peran yang besar
dalam pelestarian budaya seperti yang ia jelaskan (2008 : 49) :
“……hal ini bisa dilihat dari kerapuhan dalam unggah-ungguh berbahasa Jawa di kalangan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh kurangnya peran campur tangan media massa. Salah satunya yaitu kurang tersedianya buku-buku bacaan dan majalah berbahasa Jawa (ngoko maupun krama), baik di sekolah maupun di rumah, serta semakin jarangnya media massa (cetak atau elektonik) yang menggunakan wahana unggah-ungguh Bahasa Jawa.”
Pada televisi, acara-acara yang ditayangkan bisa bersifat hiburan maupun
informatif. Namun, acara yang menghibur sekaligus mencerdaskan masih terasa
kurang di Indonesia. Menurut Imam Sutardjo, setiap televisi (TVRI dan swasta)
seminggu atau sebulan sekali wajib menayangkan acara seni tradisi yang disajikan
pada siang atau sore hari, sehingga para anak didik, generasi muda mudah untuk
melihatnya (2006 : 14-15). Seharusnya acara-acara berupa hiburan yang
mencerdaskan dan berasal dari khasanah kebudayaan Indonesia menjadi tayangan
utama di negeri ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Karena kebudayaan berkembang secara akumulatif, semakin banyak dan
kompleks, maka pendapat dari Hari Poerwanto (2008 : 89) tentang pelestarian
kebudayan yaitu :
“……untuk meneruskan dari generasi ke generasi, diperlukan suatu sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang dimiliki binatang, ialah bahasa, baik lisan, tertulis, maupun dalam bentuk bahasa isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah kelangsungan hidup manusia dan tetap dipelajari oleh generasi berikutnya, serta tetap ‘lestari’; maka suatu kebudayaan harus mampu mengembangkan berbagai sarana yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok para individu”.
Pengembangan kebudayaan daerah yang merupakan akar dari kebudayaan
nasional menjadi isu yang sangat penting. Pengembangan kebudayaan daerah tidak
diadakan demi pengembangan kebudayaan itu sendiri, tetapi selalu dalam rangka
pengembangan budaya nasional. Komunikasi merupakan alat dan wahana
penyampaian kemungkinan-kemungkinan perkembangan kebudayaan dalam arti luas,
yaitu mencakup seluruh kehidupan masyarakat di daerah-daerah sebagai bagian tak
terpisahkan dari kebudayaan nasional (Astrid S. Susanto-Sunario, 1995 : 151).
Kebudayaan dari setiap suku-suku bangsa di Indonesia adalah kebudayaan
asli Indonesia yang membedakan dari bangsa lain di dunia. Sehingga saat ini perlu
adanya suatu langkah untuk lebih mengenalkan kebudayaan tersebut kepada
masyarakat luas. Karena kebudayaan asli Indonesia ini merupakan milik orang
Indonesia. Seperti halnya dengan budaya Jawa. Seiring dengan perkembangan
teknologi dan sistem komunikasi yang pesat, maka seharusnya keterlibatan hasil
penemuan manusia modern itu diarahkan ke tujuan yang baik.
Fakta mengenai cepatnya perkembangan teknologi ini ternyata dikuasai oleh
negara-negara kuat. Hal ini mengakibatkan banyak negara berkembang mengalami
limpahan informasi beserta nilai-nilai asing yang masuk melalui acara-acara televisi
kita. Ini adalah momok bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
seharusnya kebudayaan asli milik Indonesialah yang menjadi pegangan kita, bukan
dari nilai-nilai asing yang merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Transformasi
nilai-nilai asing yang terkadang tak sesuai dengan kehidupan kita sebagai bangsa
Indonesia bisa masuk melalui acara di televisi. Masyarakat hanya sekedar disuguhi
oleh program-program acara yang tidak mendidik tanpa adanya proses interaktif di
dalamnya. Sehingga masyarakat hanya menerima dan bersikap pasif.
Menurut Edi Sedyawati, dalam bukunya Keindonesiaan Dalam Budaya (2008
: 41-42), ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan permasalahan antara
kelimpahan informasi nilai-nilai asing dan budaya kita sendiri, yaitu :
“Arah pemecahan yang harus dicari adalah untuk menanggulangi dua persoalan itu : yaitu pertama, ketidakseimbangan informasi dari negara luar yang kuat dari negara kita sendiri, dan kedua, kedudukan penonton televisi sebagai pihak pasif menerima siaran. Untuk persoalan pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan produksi industria budaya audio-visual dalam negeri yang memuat pula nilai-nilai budaya bangsa yang luhur, dan bukan justru mengambil alih nilai-nilai asing yang tidak luhur tetapi mengenakkan. Peningkatan produksi memerlukan suatu pengerahan modal, serta juga dan inilah yang justru sangat menentukan mutu, peningkatan tenaga-tenaga ahli dan sarana untuk itu….. Adapun untuk menjawab persoalan kedua ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu pertama, mendayagunakan media, atau kemasan media yang lebih bersifat interaktif, dan kedua, menyelenggarakan lebih banyak kegiatan yang bersifat tatap muka, yang lebih memungkinkan pergaulan antara manusia yang hangat dan menumbuhkan kepekaan untuk saling mengerti.”
Peran media massa dianggap penting dalam pelestarian budaya bangsa.
Kebudayaan memerlukan pengelolaan dan pemanduan secara sadar agar bisa
menjalankan fungsinya sebagai pengidentitas yang mengangkat martabat manusia.
Pernyataan di bawah ini mengungkapkan tentang pentingnya peran media massa
seperti berikut :
“Televisi sebagai salah satu jenis media komunikasi dewasa ini telah berkembang menjadi suatu kekuatan yang sangat besar untuk mempengaruhi para pemirsanya dalam hal pandangan, selera, dan pemihakan. Oleh karena itu, kiranya masyarakat Indonesia sangat berharap agar televisi berperan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
efektif sebagai pembentuk karakter dan budaya bangsa, dan tidak sebaliknya, menjadi sarana peruntuh jati diri budaya bangsa. Harapan ini terutama dirasakan mendesak karena kita kini dihadapkan pada kenyataan bahwa di banyak daerah di Indonesia, pemahaman dan bahkan hanya pengenalan saja pada hasil-hasil budaya Indonesia sendiri (tradisional maupun kontemporer) menjadi sangat minim. Hal ini dapat diperhadapkan dengan kenyataan semakin populernya bentuk-bentuk ekspresi seni massa popular yang kebanyakan sebenarnya adalah epigon belaka dari hasil-hasil budaya asing, khususnya dari negara-negara industria kuat (Edi Sedyawati, 2008 : 161)”.
Permasalahan tentang bagaimana nasib kebudayaan asli milik sebuah negara
atau masyarakat tertentu telah menjadi isu di berbagai negara di dunia. Hal ini tak
terkecuali terjadi di Israel, dimana pada jurnal internasional ini meneliti tentang
pentingnya menjaga kebudayaan lokal dalam lingkungan global, yaitu masalah media
penyiaran Israel. Di sini terlihat bahwa seiring majunya teknologi, maka persaingan
dalam dunia penyiaran juga semakin bertambah. Salah satunya yaitu dengan adanya
global markets. Namun, dalam artikel yang ditulis oleh Yaron Katz, dari Holon
Institute of Technology ini menjelaskan bahwa proses antara persaingan komersial,
teknologi baru, dan pasar global merupakan sesuatu yang wajar. Namun, yang paling
penting adalah bagaimana upaya kita melindungi budaya lokal agar tidak terlindas
budaya global yang kini sudah mencoba untuk mengarahkan pasar.
Dalam Internasional Journal of Communication 3 (2009), 332-350, berjudul
Protecting Local Culture in a Global Environment : The Case of Israel’s Broadcast
Media, karya Yaron Katz, memberikan sejumlah gambaran mengenai dunia penyiaran
di Israel antara komitmen budaya lokal dan berbagai kompetisi komersial serta
teknologi baru dan pasar global. Untuk kaitannya dengan penelitian yang dikerjakan
penulis mengenai televisi dan kebudayaan Jawa, hal ini juga memberikan penegasan
bahwa dalam kondisi dimana kita sedang diterpa oleh arus modernisasi maupun
sergapan budaya pop, kita juga harus mampu menjaga supaya budaya yang kita miliki
jangan sampai kalah. Masyarakat lokal sebuah daerah perlu pelestarian supaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
budayanya tidak hilang. Karena sebuah budaya lokal dari setiap daerah pasti memiliki
manfaat untuk masyarakat itu sendiri.
Dalam jurnal internasional, Protecting Local Culture in a Global
Environment : The Case of Israel’s Broadcast Media, halaman 335, disebutkan
pernyataan yaitu :
“.…With the beginning of television broadcasting, the public broadcasting model became dominant, based on European experience. The goals were to serve the good of the public and to be independent of political and commercial influence, with emphasis on local culture programs. To achieve these goals, the public broadcasting organization (the Broadcasting Authority) was compelled to promise representation of all groups of the population – to give true expression to a range of opinions, tastes, interests, traditions, preferences, beliefs, and local subcultures – including different regional representations, minorities, and languages.” “.…Dengan permulaan adanya penyiaran televisi, model penyiaran publik menjadi dominan, berdasarkan pengalaman di Eropa. Tujuannya yaitu untuk menyediakan kebutuhan publik dan menjadi mandiri dari pengaruh politik dan komersial, dengan menggarisbawahi pada program budaya lokal. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi penyiaran publik (the Broadcasting Authority) diwajibkan untuk menjanjikan representasi dari semua kelompok dari populasi – untuk memberikan ekspresi sebenarnya pada pendapat, rasa, ketertarikan, tradisi, pilihan, kepercayaan, dan anak budaya lokal – termasuk perwakilan regional berbeda, minoritas, dan bahasa.”
Sebuah jurnal internasional lainnya juga mengangkat tema tentang televisi
dan komunitas Aborigin di Canada. Isu yang diangkat pada jurnal ini yaitu mengenai
asal muasal ATPN (Aboriginal Peoples Television Network). Di dalamnya
menggambarkan bagaimana sejarah dan komunitas, dan highlight isu penting dari
masalah klaim tanah sampai ke masalah pelestarian bahasa. Sehingga, isi dari jurnal
ini juga mencakup : Ketika produser berdedikasi untuk melindungi kebudayaan
Aborigin, mereka juga telah berpartisipasi dalam perkembangan produksi budaya
global.
Televisi sebagai hasil dari kebudayaan modern, mampu sebagai alat untuk
melindungi sebuah kebudayaan tradisional. Ini tergantung dari program apa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
diangkatnya. Program-program kebudayaan tradisional atau lokal bisa menjadi bagian
yang menarik. Hal ini tertuang pada Canadian Journal of Communication, Vol. 29 (1)
tahun 2004, halaman 51-52, karya Doris Baltruschat, berjudul Television and
Canada’s Aboriginal Communities. Salah satu pernyataannya yaitu :
“….One key of the features of APTN is its multilingual programming. Programs in traditional languages such as Cree, Inuktitut, and Lakota provide an opportunity for Canada’s more than 60 indigenous languages to be spoken and heard through televised means. Interviews with indigenous elders and community leaders highlight discussion about environmental concerns, land claims, and natural resources. In addition, children’s programs educate about linguistic traditions (Claxton, interview, 2003). As First Nations seek to gain official status for their languages, programs deal with the importance of language preservation and Aboriginal traditions (APTN, 2002).” “….Salah satu kunci dari keistimewaan APTN adalah program multibahasa. Program dalam bahasa tradisional seperti Cree, Inuktitut, dan Lakota menyediakan sebuah kesempatan untuk Canada lebih dari 60 bahasa lokal dipakai dan didengar melalui televisi. Wawancara dengan tetua lokal dan pemimpin komunitas menekankan diskusi tentang perhatian terhadap lingkungan, klaim tanah, dan sumber daya alam. Sebagai tambahan, program anak-anak mengajarkan tentang tradisi linguistik (Claxton, wawancara, 2003). Sebagai negara dunia pertama mencari untuk meningkatkan status resmi untuk bahasa-bahasa mereka, program-program telah menyetujui pentingnya pemeliharaan bahasa dan tradisi-tradisi Aborigin (APTN, 2002). “
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dimana negara ini memiliki banyak suku
dan budaya dan bahasa. Salah satunya yaitu kebudayaan Jawa. Melalui program acara
yang disajikan televisi lokal di daerah berkebudayaan Jawa, maka proses pemeliharaan
budaya dari kepunahan bisa dilakukan. Karena televisi merupakan sebuah medium
yang mampu menyalurkan berbagai macam kabar dan informasi secara cepat dan
menjangkau khalayak luas. Dengan adanya televisi, maka program bertema
kebudayaan mampu ditayangkan dan menginformasikan kepada masyarakat lokal
tentang budaya yang ada di lingkungannya tersebut.
Dalam jurnal tersebut juga dikatakan bahwa masyarakat lokal yang memiliki
budaya tertentu menyukai program acara yang mempunyai kaitan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kepentingannya. Canadian Journal of Communication, Vol. 29 (1,) halaman 54,
Television and Canada’s Aboriginal Communities, menyebutkan :
“Native American audiences have expressed interest in APTN’s programming, as letters to the network attest. According to Compton (interview, 2003), Native Americans would like see APTN’s signal extend into their communities, and negotiation are currently under way to make this a reality. Native American interest in APTN underscores the notion that Aboriginal people share a common bond through history, language, and culture that is not restricted by national boundaries. Aboriginal peoples in Australia and New Zealand are also interested in APTN’s programs (Compton, interview, 2003).” “Penduduk Amerika asli yang menjadi audiens telah mengekspresikan ketertarikan mereka pada program APTN, sebagaimana surat-surat kepada jaringan pembuktian. Menurut Compton (wawancara, 2003), penduduk Amerika Asli senang melihat APTN yang mensinyalkan pelebaran ke dalam komunitas mereka, dan negosiasi membuatnya menjadi kenyataan. Penduduk Amerika asli tertarik terhadap APTN menggarisbawahi dugaan bahwa orang Aborigin berbagi ikatan umum melalui sejarah, bahasa, dan budaya yang tidak dibatasi oleh lingkup nasional. Orang Aborigin di Australia dan New Zealand juga tertarik pada program-program APTN (Compton, interview, 2003).”
Televisi mempunyai kekuatan untuk menyatukan sebuah komunitas sebuah
budaya menjadi lebih baik. Melalui tayangan program yang ditayangkan seperti di
APTN yang mempunyai program untuk orang Aborigin, bahwa mereka mendapat
tanggapan positif dari orang-orang tersebut. Untuk program acara Karang Tumaritis di
TVRI D. I Yogyakarta, bisa menjadi acara yang digunakan selain sebagai hiburan
namun juga sebagai referensi untuk menginformasikan keadaan perkembangan budaya
tradisional di Yogyakarta di tengah arus modernisasi.
F. Metodologi Penelitian
Penulis telah merancang metodologi penelitian atau keseluruhan cara berpikir
yang digunakan peneliti untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
penelitian. Metodologi penelitian ini berisi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang diambil oleh penulis adalah kualitatif. Definisi
metodologi kualitatif menurut Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Maka dari itu, pada penelitian kualitatif tidak boleh
mengisolasikan individu atau organiasasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari satu keutuhan (Lexy J. Moleong, 2009 : 4).
Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2003 : 4) berpendapat bahwa penelitian
kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya. Dengan demikian, laporan penelitian akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.
Menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2003 : 5) metode kualitatif dipilih karena
metode ini dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik
fenomena yang sedikit pun belum diketahui.
Penelitian tentang bagaimana peran program acara Karang Tumaritis dalam
pelestarian kebudayaan Jawa menggunakan kualitatif karena bagaimana cara
mengungkap peran tersebut bisa dilakukan dengan kualitatif. Dimana penelitian
kualitatif mengijinkan evaluator memperlajari isu-isu, kasus-kasus, atau kejadian-
kejadian terpilih secara mendalam dan rinci ; fakta bahwa pengumpulan data tidak
dibatasi oleh kategori yang sudah ditentukan sebelumnya atas analisis menyokong
kedalaman dan kerincian data kualitatif. Selain itu data kualitatif menyediakan
kedalaman dan kerincian melalui kutipan secara langsung dan deskripsi yang teliti
tentang situasi program, kejadian, orang, interaksi, dan perilaku yang teramati
(Michael Quinn Patton, 1991 : 5-6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diambil adalah deskriptif. Hal ini dikarenakan data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Laporan penelitian ini akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data
tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video tape,
dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan
laporan yang demikian, maka penulis menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan
sejauh mungkin dalam bentuk aslinya (Lexy J. Moleong, 2009 : 11).
Jadi, penulis akan memberikan deskripsi-deskripsi tentang apa yang
didapatkan di lapangan selama penelitian. Deskripsi-deskripsi itu adalah hasil
wawancara dengan orang yang bekerja langsung untuk Karang Tumaritis dan
pemirsanya. Kemudian, kutipan-kutipan hasil wawancara serta data-data dari sumber
lainnya seperti foto, video tape, dan dokumen lain akan disajikan dalam bentuk kata-
kata, yaitu bagaimana deskripsinya.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di TVRI D.I. Yogyakarta di Jalan Magelang km. 4,5
Yogyakarta. Alasan pengambilan lokasi di TVRI D. I. Yogyakarta adalah di sanalah
produksi Karang Tumaritis dilakukan. Kemudian dalam lokasi tersebut akan
dilakukan pengumpulan data oleh peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik untuk mengumpulkan data menurut pandangan Lexy J. Moleong yaitu
terdiri dari empat poin, yaitu meliputi sumber dan jenis data, pengamatan, wawancara,
dan catatan lapangan. Penjelasan keempat poin tersebut adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
a. Sumber dan jenis data
Sumber dan jenis data dalam teknik pengumpulan data yang digunakan
penulis yaitu :
1) Kata-kata dan tindakan
Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai
merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau
melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto, atau film (Lexy J. Moleong,
2009 : 157). Dalam penelitian ini, menggunakan sumber dan jenis data utama seperti
yang diungkapkan oleh Lexy J. Moleong tersebut. Untuk memperoleh sumber dan
jenis data utama, maka penulis mencarinya di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta.
2) Sumber tertulis
Bila dilihat dari sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber
tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan sumber majalah ilmiah, sumber dari arsip,
dokumen pribadi, dan dokumen resmi pemerintah (Lexy J. Moleong, 2009 : 159-160).
Penulis menggunakan sumber tertulis ini untuk memperkaya data yang digunakan
untuk penelitian ini.
b. Pengamatan
Pengamatan merupakan metode yang akan digunakan penulis dalam
melakukan penelitian. Menurut Lexy J. Moleong, alasan penggunaan pengamatan dan
macam-macamnya yaitu :
1) Alasan penggunaan pengamatan
Merupakan salah satu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan
data. Lexy J. Moleong mengutip dari Guba dan Lincoln (1981 : 191-193), pengamatan
didasarkan atas pengalaman secara langsung karena melihat dan mengamati langsung
(2009 : 174). Jadi, pengamatan yang dilakukan di TVRI D. I. Yogyakarta akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai dan mampu mengurangi kekeliruan.
2) Macam-macam pengamatan
Gambaran peneliti dalam pengamatan yang digunakan penulis dalam menulis
penelitian ini menurut Buford Juker (dalam Patton, 1980 : 131-132) seperti yang
dikutip Lexy J. Moleong (2009 : 176-177) yaitu pemeranserta sebagai pengamat,
peneliti tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta, tetapi dia masih melakukan fungsi
pengamatan. Ia menjadi anggota pura-pura dan tidak melebur dalam arti
sesungguhnya. Pada penelitian ini, penulis menggunakan cara ini karena ketika di
lapangan, penulis memang tidak melebur ke dalam anggota yang sedang diamati.
c. Wawancara
Wawancara yang digunakan oleh penulis seperti dikemukakan oleh Guba &
Lincoln (1981 : 160-170) yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2009 : 188-190) yaitu
wawancara terstruktur. Wawancara ini merupakan wawancara yang pewawancaranya
menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Alasan
penggunaan wawancara jenis ini adalah karena ia menerapkan penggunaan pertanyaan-
pertanyaan yang penting untuk keperluan penelitian ini. Wawancara akan dilakukan
kepada pihak yang berperan pada program acara Karang Tumaritis di TVRI D. I.
Yogyakarta yang meliputi produser, kepala seksi program, penanggung jawab humas,
desain program, pengarah acara, dan pembawa acara serta narasumber yang pernah
hadir dalam Karang Tumaritis.
d. Catatan Lapangan
Penggunaan catatan lapangan sangatlah penting. Catatan lapangan seperti
pendapat Bogdan dan Biklen (1982 : 74) yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2009 :
209) yaitu catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan
dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Pada penelitian yang dikerjakan oleh penulis, penggunaan catatan lapangan dirasa
perlu karena pada dasarnya setiap selesai mengadakan pengamatan atau wawancara,
penulis harus membuat catatan yang disalin dan dilengkapi lagi. Hal ini dikarenakan
ingatan seseorang yang terbatas. Jadi, penggunaan catatan lapangan akan sangat
membantu peneliti dalam mengerjakan tugasnya.
5. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data terdiri dari tiga model. Yaitu metode perbandingan tetap
yang dikemukakan oleh Glaser dan Strauss, metode analisis data menurut Spradley,
dan metode analisis data menurut Miles dan Huberman (Lexy J. Moleong, 2009 : 287).
Untuk jenis penelitian yang dikerjakan ini, akan digunakan teknik analisa data yang
berasal dari Miles dan Huberman yaitu model interaktif. Dalam analisis model ini ada
tiga jenis kegiatan. Kegiatan itu menurut Miles dan Huberman (2007 : 19) adalah
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi data terdiri dari dua tahap yaitu editing (pengelompokan dan
meringkas data), menyusun kode dan catatan tentang berbagai hal, dan menyusun
rancangan konsep-konsep serta penjelasan tentang tema, pola dan atau kelompok data
yang bersangkutan (Pawito, 2007 : 104-105). Lalu penyajian data melibatkan langkah-
langkah pengorganisasian data dan menjalin kelompok-kelompok data yang lain
sehingga ada dalam satu kesatuan (Pawito, 2007 : 105-106). Sedangkan penarikan
kesimpulan adalah pengimplementasian prinsip induktif dengan mempertimbangkan
pola-pola data yang ada atau kecenderungan dari penyajian data yang telah dibuat
(Pawito, 2007 : 106).
Menurut Miles dan Huberman (2007 : 16-19), reduksi data diartikan sebagai
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerdehanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Kemudian penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan mengambil tindakan.
Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan satu kegiatan dari
konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan ini juga diverifikasi selama penelitian
berlangsung.
Pada pandangan tentang reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan /
verifikasi kegiatan di tingkat tahap analisis dan pengunpulan data merupakan sebuah
siklus interaktif. Peneliti harus siap bergerak di antara empat sumbu selama
pengumpulan data, yang kemudian bergerak bolak-balik di antara reduksi, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi selama sisa waktu penelitiannya (Miles
dan Huberman, 2007 : 19).
Dalam pandangan ini secara lebih jelasnya digambarkan menjadi sebuah
diagram seperti yang dibuat oleh Miles dan Huberman (2007 : 20) yaitu :
Bagan 1.1
Model Analisis Data Interaktif Miles & Huberman
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi data Kesimpulan-kesimpulan :
Penarikan / Verifikasi
Analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti bersamaan dengan proses
pengumpulan data. Semua tahapan yang telah diungkapkan oleh Miles dan Huberman
yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi berlangsung secara simultan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data terdiri dari beberapa cara. Penulis
mengambil beberapa cara untuk memeriksa keabsahan data dari Lexy J. Moleong,
yaitu :
a. Ketekunan atau keajegan pengamatan
Ketekunan pengamatan akan memberikan kedalaman terhadap persoalan atau
isu yang sedang dicari. Hali ini dikarenakan ketekunan pengamatan bermaksud
menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan pada hal-hal tersebut
secara rinci (Lexy J. Moleong, 2009 : 329-330). Pada penelitian ini, ketekunan
pengamatan diperlukan untuk mengamati dengan teliti dan rinci secara
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol. Penelitian yang dilakukan
di TVRI D. I. Yogyakarta menggunakan ketekunan pengamatan karena peneliti harus
menemukan kedalaman dalam melakukan penelitian. Dalam melakukan penelitian ini,
penulis mengambil waktu satu bulan, dimana Karang Tumaritis diproduksi selama tiga
kali. Dan selama proses produksi tersebut penulis mengikuti terus di TVRI Stasiun D.
I. Yogyakarta.
b. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Denzin (1978) membedakan triangulasi menjadi empat
macam, yaitu sumber, metode, penyidik, dan teori (Lexy J. Moleong, 2009 : 330).
Triangulasi merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk memeriksa
keabsahan melalui sumber yang lainnya. Dalam penelitian tentang peran Karang
Tumaritis sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa ini, penulis mengambil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
triangulasi sumber dan triangulasi metode.
Penulis mengambil triangulasi sumber untuk penelitian ini, yaitu dengan cara
membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara dan membandingkan
hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam triangulasi sumber
ini, penulis melakukannya dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan
hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan.
Kemudian untuk triangulasi metode yang dipilih yaitu menggunakan
pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik
pengumpulan data dan mengecek dengan berbagai sumber data. Penulis menggunakan
wawancara, pengamatan, dan dokumentasi. Kemudian penulis mengeceknya dengan
berbagai sumber data seperti kata-kata dan tindakan, sumber tertulis, dan foto.
Pada penelitian ini penulis menggunakan triangulasi sumber yaitu
mewawancarai orang-orang yang terlibat proses produksi Karang Tumaritis di TVRI
D. I. Yogyakarta, narasumber Karang Tumaritis, dan pemirsa Karang Tumaritis.
Kemudian penulis membandingkan hasil yang didapatkan dari wawancara dengan
pengamatan yang dilakukan saat penelitian dan isi dokumen tentang acara tersebut.
Sedangkan untuk triangulasi metode, maka menggunakan teknik wawancara,
pengamatan, dan menggunakan dokumentasi. Sumber-sumber tertulis dan arsip
tentang Karang Tumaritis akan digunakan untuk mengecek hasil yang telah
didapatkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
BAB II
DESKRIPSI PROGRAM ACARA KARANG TUMARITIS
A. Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta
1. TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta
a. Sejarah TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta
Sebagai stasiun televisi daerah yang pertama kali mengudara yakni tahun
1965, TVRI Yogyakarta pertama kali berdiri di Jalan Hayam Wuruk, tepatnya saat
TVRI Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Stasiun yang pertama yakni Ir. Dewabrata.
Menara pemancar yang pertama dibangun terbuat dari bambu. Selanjutnya, setelah
mendapat bantuan lahan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka
menara pemancar TVRI Yogyakarta menempati lokasi baru di Jalan Magelang Km.
4,5 Yogyakarta, seluas 4 hektar, sampai saat ini. Siaran perdana TVRI Stasiun DIY
pada tanggal 17 Agustus 1965 adalah siaran acara pidato peringatan Hari Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-20 oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Paduka
Paku Alam VIII.
Pada awalnya TVRI Stasiun DIY mengudara tiga kali dalam satu minggu
yang masing-masing berdurasi dua jam. Pada saat itu jangkauan siaran masih terbatas
pada area yang dapat dijangkau pemancar VHF berkekuatan 10 Kw, sedangkan format
siarannya masih hitam putih. Namun pada tahun 1973, TVRI Stasiun DIY telah mulai
melakukan siaran setiap hari. Siaran produksi lokal TVRI Stasiun DIY tiap harinya
mencapai 2,5 hingga 3 jam, setelah diakumulasikan dengan penyiar terpadu dari TVRI
Pusat Jakarta. Sejak awal dioperasikannya TVRI Stasiun D.I Yogyakarta, pola siaran
yang mengacu pada pola siaran TVRI Nasional, di sebut pola acara terpadu. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
dikarenakan TVRI di bawah salah satu manajemen penyiaran, sehingga stasiun TVRI
daerah harus mengikuti pola acara terpadu dari pusat.
Acara yang diproduksi oleh TVRI Stasiun DIY disebut pola acara harian.
Pola acara harian disusun berdasarkan pola acara tahunan dari TVRI Pusat Jakarta.
Setelah diterima oleh TVRI Stasiun DIY pola acara tersebut disebut pola acara
tahunan. Hal ini berarti pola acara tahunan TVRI Stasiun DIY merupakan hasil
kombinasi antara pola acara pusat dengan daerah. Karena sistematis ini wajib, maka
siaran relay dari pusat pasti selalu ada. Disamping itu apabila terjadi kekosongan
produksi siaran, stasiun TVRI daerah bisa langsung me-relay dari TVRI Nasional.
Acara-acara dari stasiun televisi ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat
di DIY dan sebagian masyarakat Jawa Tengah yang tercakup dalam jangkaun siaran
TVRI Stasiun DIY. Oleh karena itu desain program TVRI Stasiun DIY tidak
mengenal istilah prime time, sebab dari realita di lapangan, kapanpun suatu acara
ditayangkan, asalkan bagus dan berkualitas, ia akan tetap mendapat tempat dihati
pemirsa. Sehingga kenyataan ini mematahkan anggapan bahwa pukul 7 hingga 9
malam adalah waktu prime time penayangan acara unggulan suatu acara televisi.
Sebagai stasiun televisi yang bervisikan budaya, pendidikan dan kerakyatan,
maka TVRI Stasiun DIY berusaha untuk ikut lebur bersama dinamika kehidupan
masyarakat. Untuk itu, selain melalui acara-acara talkshow yang memberi ruang luas
bagi pemirsa untuk ikut menyuarakan aspirasinya, kita juga memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di TVRI Stasiun DIY untuk
kegiatan pendidikan, seni budaya, serta kegiatan ekonomi.
Pada awalnya TVRI Stasiun DIY mengudara tiga kali dalam satu minggu
yang masing-masing berdurasi dua jam. Pada saat itu jangkauan siaran masih terbatas
pada area yang dapat dijangkau pemancar VHF berkekuatan 10 KWatt, begitu pula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
format siarannya masih hitam putih. Namun pada tahun 1973, TVRI Stasiun DIY telah
mulai melakukan siaran setiap hari. Siaran produksi lokal TVRI Stasiun DIY tiap
harinya mencapai 2,5 hingga 3 jam, setelah dikumulasikan dengan penyiaran terpadu
dari TVRI Pusat Jakarta.
Karena faktor topografis berupa pegunungan di daerah Gunung Kidul maupun
di Kulonprogo, sebelum tahun 2009 terdapat beberapa daerah yang belum dapat
menerima siaran TVRI Stasiun DIY, Untuk memberikan layanan yang optimal, maka
pada awal November 2008 dibangun tower pemancar di daerah Bukit Pathuk, Gunung
Kidul guna memperluas jangkauan siarannya.
Proses pembangunan dan instalasi peralatan cukup memakan banyak waktu,
baru September 2009 pemancar mulai beroperasi. Beroperasinya 22 UHF dari bukit
Patuk Gunung Kidul menjadi cover area siaran TVRI Stasiun DIY menjangkau 90%
wilayah DIY, Solo, Sragen, Blora, Temanggung, Wonosobo dan Purworejo. Sebagian
wilayah DIY yang tidak bisa menerima siaran 22 UHF dikarenakan karakteristik dari
peralatan pemancar BTsa buatan Spanyol ini. Daerah yang kurang baik tangkapannya
ada di wilayah Bantul bagian selatan.
Tempat dan Jumlah penduduk di Jawa Tengah dan DIY yang bisa menangkap
dengan baik siaran TVRI Stasiun DIY adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
NO TEMPAT JIWA
1 KOTA MAGELANG 120.000
2 KABUPATEN MAGELANG 1.440.000
3 TEMANGGUNG 696.000
4 PURWOREJO 709.000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
NO TEMPAT JIWA
5 BATANG 694.000
6 WONOSOBO 760.000
7 BANJARNEGARA 885.000
8 PURBALINGGA 777.650
9 BANYUMAS 1.752.846
10 BLORA 884.490
11 BOYOLALI 935.768
12 KARANGANYAR 813.000
13 SRAGEN 860.000
14 WONOGIRI 1.005.000
15 SURAKARTA 534.540
16 SUKOHARJO 810.000
17 KODYA YOGYAKARTA 511.754
18 KABUPATEN BANTUL 815.811
19 KABUPATEN SLEMAN 910.007
20 KABUPATEN KULON PROGO 375.000
21 GUNUNG KIDUL 686.000
Mengingat faktor keberadaan peralatan baru yang sudah dilengkapi dengan TVRO dan
penurunan kualitas peralatan pemancar lama yang ada di Jalan Magelang, maka pada
10 Maret 2010 ditetapkan bahwa Saluran 8 VHF hanya mendampingi program siaran
lokal (sekitar jam 15.00 – 21.00) dan selebihnya hanya dipancarkan 22 UHF dari bukit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Patuk Gunung Kidul (diolah dari Dokumen TVRI Stasiun Daerah Istimewa
Yogyakarta).
b. Visi, Misi, dan Makna Logo TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta
1) Visi TVRI Stasiun D.I. Yogyakarta yaitu :
Terwujudnya TVRI D.I. Yogyakarta sebagai media Televisi Publik yang
independen, profesional, terpercaya dan pilihan masyarakat DIY, dalam keberagaman
usaha dan program yang ditujukan untuk melayani kepentingan masyarakat dalam
upaya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan masyarakat, dan
melestarikan nilai budaya yang berkembang di DIY dalam rangka memperkuat
kesatuan nasional melalui jejaring TVRI Nasional.
2) Misi TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta yaitu :
a) Mengembangkan TVRI D. I. Yogyakarta menjadi media perekat sosial sekaligus
media kontrol sosial yang dinamis.
b) Mengembangkan TVRI D. I. Yogyakarta menjadi pusat layanan informasi yang
utama serta menyajikan hiburan yang sehat dengan mengoptimalkan potensi daerah
dan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY.
c) Memberdayakan TVRI D. I. Yogyakarta menjadi pusat pembelajaran demokratisasi
dan transparansi informasi dalam rangka mewujudkan masyarakat madani.
d) Memberdayakan TVRI D. I. Yogyakarta sebagai Televisi Publik yang bertumpu
pada keseimbangan informasi dengan tetap memperhatikan komunitas terabaikan.
e) Memberdayakan TVRI D. I. Yogyakarta menjadi media untuk membangun citra
positif DIY sebagai pusat budaya, pendidikan dan pariwisata ditingkat nasional,
regional maupun di dunia internasional melalui jejaring TVRI Nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
3) Makna Logo TVRI D. I. Yogyakarta
Khusus untuk TVRI Stasiun D. I Yogyakarta, dibawah logo tersebut
dicantumkan identitas lokal, yakni kata Jogja seperti yang tercantum dalam tulisan
Jogja Never Ending Asia, yang berupa tulisan tangan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Hal ini mengandung makna sebagai penghormatan terhadap Kraton Yogyakarta
sebagai pusat budaya dan cikal bakal pengembangan wilayah DIY serta untuk turut
mempromosikan icon wisata DIY baik di kancah regional, nasional dan internasional.
Hal lain lagi, bahwa dengan pencantuman tulisan Jogja ini, diharapkan TVRI Jogja
mampu menjalankan visi dan misinya selaku TV Publik yang mempunyai kepedulian
dan keberpihakan terhadap publik DIY (diolah dari Dokumen TVRI Stasiun Daerah
Istimewa Yogyakarta).
c. Pola Siaran TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta
Sejak awal dioperasikannya TVRI Stasiun D.I Yogyakarta, pola siaran yang
mengacu pada pola siaran TVRI Nasional, disebut pola acara terpadu. Hal ini
dikarenakan TVRI dibawah salah satu manajemen penyiaran, sehingga stasiun TVRI
daerah harus mengikuti pola acara terpadu dari Pusat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Acara yang diproduksi TVRI Stasiun DIY disebut pola acara harian. Pola
acara harian disusun berdasarkan pola acara tahunan dari TVRI Pusat Jakarta. Setelah
diterima oleh TVRI Stasiun DIY pola acara tersebut disebut pola acara tahunan. Hal
ini berarti pola acara tahunan TVRI Stasiun DIY merupakan hasil kombinasi antara
pola acara Pusat dengan daerah. Karena sistematis ini wajib, maka siaran relay dari
Pusat pasti selalu ada. Disamping itu apabila terjadi kekosongan produksi siaran,
stasiun TVRI daerah bisa langsung me-relay dari TVRI Nasional.
Sejak 1 Juni 2009 TVRI Stasiun D.I. Yogyakarta mempunyai plotting waktu
sekitar 6 jam. Waktu ini diberikan oleh TVRI Nasional untuk lebih memberikan porsi
yang memadai bagi stasiun daerah. Dengan memulai waktu siaran secara lokal dari
pukul 15.00 WIB dan diakhiri pada pukul 21.00 WIB dalam kondisi normal. Akan
tetapi kalau ada hal-hal di luar ketentuan, maka siarannya bisa ditambah, seperti ada
liputan khusus, event-event atau gelar budaya (wayang kulit) dan lain-lain. Di luar jam
tersebut maka siarannya mengikuti acara dari TVRI Nasional (relay).
2. Acara Karang Tumaritis
Karang Tumaritis merupakan acara yang membicarakan tentang kebudayaan
Jawa. Namun, yang menjadikannya menarik dari acara kebudayaan Jawa lainnya yaitu
tentang isi dari dialog yang dibicarakan. Isi dialognya membicarakan tentang
kebudayaan Jawa di masa sekarang, dimana Jawa Yogyakarta yang sudah mengalami
perkembangan dan berbagai pengalaman baru Jadi, Karang Tumaritis adalah sebuah
acara yang mengangkat tentang bagaimana kebudayaan Jawa dipakai untuk hidup di
tengah modernisasi dan perkembangan jaman. Karang Tumaritis sendiri berarti rumah
(tempat tinggal) semar.
Sebagai sebuah acara kebudayaan Jawa, maka semua unsur kebudayaan Jawa
dipakai dalam Karang Tumaritis. Sebagai contohnya adalah pakaian tradisional Jawa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
bahasa pengantar yaitu bahasa Jawa, pendopo sebagai tempat dialog, duduk di lantai
(lesehan), alunan siter untuk mempertenang suasana, dan semar. Sebagai acara yang
bisa melestarikan kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis sebisa mungkin
menggunakan semua unsur-unsur kebudayaan Jawa di dalamnya. Untuk segi tema,
tentu saja tentang kebudayaan Jawa. Meskipun tema yang dibicarakan terkadang
tentang sesuatu yang baru, tetapi Karang Tumaritis mengambil angle yang
disederhanakan yaitu sisi budaya Jawa. Karang Tumaritis merupakan acara yang
membawakan kebudayaan Jawa dan dikemas secara Jawa.
Sebagai dialog kebudayaan Jawa, Karang Tumaritis memiliki run down dan
naskah. Dalam run down dan naskah itu ada pijakan berpikir bagi pembawa acara
untuk membawakan Karang Tumaritis dari awal hingga akhir. Di dalamnya ada pon-
poin pertanyaan yang akan ditanyakan kepada narasumber di studio. Pertanyaan
tersebut adalah tentang tema yang sedang dikupas. Bahasa pengantarnya adalah
bahasa Jawa. Sebelum masuk ke dialog, pembawa acara Mas Altiyanto dan atau Bu
Yati Pesek serta Pak Robet biasanya akan tampil terlebih dahulu untuk berdialog
ringan untuk membuka acara sebelum masuk ke inti.
Pembawa acara bisa menanyakan pertanyaan itu dan kemudian dari
pertanyaan per pertanyaan akan menjadi sebuah dialog. Bahkan ketika telepon
interaktif dibuka, biasanya penelpon menanyakan ke narasumber atau ada yang
memberikan saran, kritikan, dan pendapat sehingga semua itu nantinya menjadi sebuah
dialog yang sifatnya cair. Bersifat cair karena kedekatan antara pembawa acara,
narasumber, dan penelpon pada saat berdialog tentang sebuah tema. Jadi, pihak
komunikator (Karang Tumaritis) tidak merasa menjadi benar sendiri, sebab komunikan
(penelpon) bisa memberikan sarannya atau pendapatnya saat on air ke studio Karang
Tumaritis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Karang Tumaritis adalah acara kebudayaan Jawa yang menarik, karena selain
menginformasikan kebudayaan Jawa di masyarakat, ia juga menjadi sebuah sarana
dialog interaktif antara komunikator dan komunikan. Pihak narasumber bisa juga
memperoleh saran dan mendengarkan pendapat dari pemirsa melalui telepon interaktif.
Mereka bisa bertukar pikiran mengenai kebudayaan Jawa yang mereka dialogkan. Ini
mampu menjadi sebuah proses penyempurnaan dari Karang Tumaritis itu sendiri.
Acara ini bisa menjadi kaya dan lebih berbobot dengan semakin banyaknya sumber
untuk bicara tentang bagaimanakah kebudayaan Jawa yang sedang diangkat ke dalam
sebuah tema.
Pada bagian terakhir acara, ada semar yang memberikan petuah. Penggunaan
semar adalah dikarenakan tokoh wayang ini merupakan kalangan masyarakat bawah
yang bisa mengutarakan suara hati nurani masyarakat yang sesungguhnya. Tokoh
semar dianggap mencerminkan ketulusan hati masyarakat bawah yang jujur. Sehingga
ketika Karang Tumaritis menggunakan semar, itu berarti bagian dari esensi Karang
Tumaritis. Karang Tumaritis merupakan tempat tinggal semar, jadi semar pun juga
yang paling pantas memberikan petuah.
Semar sebagai tokoh metafora, bisa memberikan petuah kepada manusia
tentang sesuatu hal. Ketika Karang Tumaritis mengambil sebuah tema, maka semar
akan memberikan petuahnya sesuai dengan tema tersebut. Namun, suatu hal yang
perlu diketahui adalah petuah semar bukan merupakan pembenaran dari apa yang
terangkum. Karena kebenaran itu ada pada setiap pemirsa yang menyaksikan Karang
Tumaritis. Di sini semar sifatnya juga memberikan kesimpulan dari apa yang telah
dibicarakan. Untuk rangkuman hasil dialog akan dibawakan oleh Mas Altiyanto,
semar akan memberikan kesimpulan beserta petuahnya pada akhir acara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Untuk tahun 2010, Karang Tumaritis tayang pada hari Selasa pada minggu
pertama, ketiga, dan kelima (kalau ada) setiap bulannya. Jam tayangnya adalah pukul
enam sore waktu Indonesia barat. Karang Tumaritis dibawakan oleh Mas Altiyanto
dan Bu Yati Pesek, sedangkan untuk pemain siternya adalah Pak Robet. Setiap acara,
Karang Tumaritis selalu membuka telepon interaktif melalui nomor (0274) 580800.
Setiap pemirsa yang ingin menyampaikan pendapat, saran, pertanyaan, dan kritikan
tentang tema yang sedang diangkat bisa menghubungi nomor yang disediakan oleh
TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta.
Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa Karang Tumaritis merupakan
sebuah acara dialog yang mengetengahkan tema-tema kebudayaan jawa Yogyakarta.
Seperti diketahui bahwa kota Yogyakarta saat ini telah menjadi miniatur Indonesia.
Yogyakarta dihuni oleh komponen masyarakat yang plural, berasal dari seluruh
penjuru nusantara ini. Akibatnya kebudayaan Jawa yang berada di Yogyakarta pun
menjadi beragam. Interaksi antar etnis yang terjadi juga membawa dampak yang luar
biasa bagi pertumbuhan budaya Jawa itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut
maka forum ini bisa menjadi wahana dialog tawar menawar mengenai berbagai
perubahan dan perkembangan nilai dalam kebudayaan Jawa yang terus berlangsung
itu.
Dipandu oleh Altiyanto dan ditemani oleh Yati Pesek, seorang komedian
ternama dari Yogyakarta menjadikan Karang Tumaritis sebuah acara dialog
kebudayaan yang cair dan menghibur. Pemirsa tidak akan diajak bersitegang dalam
sebuah dialog yang kaku, namun lebih santai dan tidak menggurui. Terlebih lagi
dengan kehadiran tokoh Robet yang siap menyegarkan suasana dengan denting siter
dan candanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Setting kebudayaan Jawa yang dimunculkan dalam sebuah pendapa sebagai
tempat berlangsungnya forum dialog ini mengisyaratkan bahwa berbagai tema yang
dibahas akan selalu ditinjau dari perpekstif budaya Jawa. Melengkapi suasana santai
dalam acara ini juga ditampilkannya tokoh wayang Kyai Semar Badranaya yang selalu
siap dengan berbagai nasehatnya.
Acara Karang Tumaritis sebagai acara yang diproduksi oleh TVRI Stasiun D.
I. Yogyakarta mempunyai karakteristik yaitu sebagai berikut :
1) Judul Program : Karang Tumaritis
2) Karakteristik : Live
3) Format Program : Talkshow
4) Format Produksi : Studio 3 Kamera
5) Durasi : 60 menit
6) Sasaran Pemirsa : Dewasa – Umum
7) Frekuensi Program : 2 s/d 3 mingguan (setahun 28 kali)
8) Deskripsi :
a) Latar belakang : Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, nyaris
kehilangan identitasnya. Pluralitas yang terjadi pada kehidupan masyarakat
Yogyakarta dewasa ini tidak semestinya jika mengeliminir spirit kebudayaan Jawa
yang sarat dengan filosofi. Sebaliknya, budaya Jawalah yang seharusnya menjadi
roh dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta sehari-hari. Oleh sebab itu, guna
mengingatkan kembali masyarakat akan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa perlu
disampaikan kembali kajian terhadap kearifan lokal yang terkandung dalam
khasanah kebudayaan Jawa di Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
b) Tujuan Karang Tumaritis yaitu :
(1)Mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada
masyarakat luas
(2)Membangun kembali spirit kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur
budaya Jawa
(3)Melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa
c) Komponen Elemen Program :
(1)Seorang pemandu acara yang mendampingi Ibu Yati Pesek sebagai ikon program
acara, mengingat eksistensi Ibu Yati Pesek yang masih popular di kalangan
masyarakat Jawa di berbagai lapisan sosial ekonomi
(2)Pemain-pemain pendukung lain yang diperlukan untuk menghidupkan suasana agar
dialog tidak terkesan kaku sehingga isi dialog lebih bisa dipahami oleh pemirsa
(3)Tokoh semar yang diwujudkan dalam sesosok wayang kulit yang berfungsi sebagai
media refleksi terhadap isi dialog yang disampaikan oleh para narasumber
(4)Dua orang narasumber yang ahli di bidang kebudayaan Jawa sesuai dengan topik
yang sedang di bahas
d) Lay Out Program / Tata Urutan Program :
(1)Tune program
(2)Dramatisasi terhadap latar belakang pemilihan topik oleh pemain pendukung
(3)Paparan secara eksplisit mengenai pemilihan topik oleh presenter
(4)Permbahasan masalah oleh narasumber
(5)Refleksi tentang topik persoalan yang disampaikan oleh tokoh Semar
(6)Lanjutan pembahasan topik oleh narasumber dengan melibatkan interaksi pemirsa
televisi melalui telepon
(7)Kesimpulan pembahasan oleh tokoh Semar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
(8)Closing program oleh presenter
B. Program Pelestarian Kebudayaan Jawa di Yogyakarta
Program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta dilakukan oleh
berbagai pihak, terutama oleh lembaga negara yang mempunyai wewenang langsung
untuk mengurusi bidang kebudayaan. Program yang dilakukan oleh lembaga negara
mempunyai arahan dan tujuan. Pelestarian kebudayaan Jawa yang dilakukan oleh
lembaga negara mempunyai kebijakan masing-masing. Untuk penelitian ini, penulis
mengambil program pelestarian kebudayaan Jawa di Dinas Kebudayaan Provinsi
Yogyakarta dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Untuk itu, secara lanjut akan membahas program-program yang dilakukan
oleh masing-masing dinas, yaitu :
1. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta
Untuk menjalankan tugasnya, maka Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta
mempunyai visi, misi, strategi, dan program. Dari keempat poin itu, maka Dinas
Kebudayaan Provinsi Yogyakarta menjalankan tugasnya yang berkaitan dengan
kebudayaan.
Visi Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta yaitu :
“Terwujudnya tata nilai budaya masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai luhur budaya
lokal didukung oleh pemerintah daerah yang katalistik.”
Misi Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta yaitu :
a. Meningkatkan kualitas pelayanan melalui manajemen yang akuntabel, professional
dan beretika sesuai dengan tata nilai budaya masyarakat
b. Melestarikan, melindungi, dan mengembangkan aset budaya DIY sebagai upaya
mewujudkan jati diri masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
c. Menjadikan ketahanan budaya sebagai jiwa dan semangat pemerintahan yang
katalistik
d. Menjadikan DIY sebagai pusat berbagai event budaya nasional dan internasional
(diolah dari website Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta,
http://www.tasteofjogja.org/web/IDA/visidisbudpar.asp, 20/12/2010/13.13)
Strategi Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta :
a. Peningkatan kualitas SDM
b. Peningkatan sarana dan prasarana dinas
c. Rehabilitasi Benda Cagar Budaya
d. Rekonstruksi tari klasik
e. Pengelolaan naskah kuno
f. Penyusunan Perda dan Pergub bidang budaya
g. Pembentukan Penyidik Pegawai Negeri bidang budaya
h. Fasilitasi lembaga pengelola dalam pengelolaan dan pengembangan event di KCB,
BCB, dan DB
i. Tersusunnya pedoman, pergub kebijakan pembangunan berbasis budaya
j. Penyiapan sarana dan prasarana event bertaraf nasional dan internasional
k. Peningkatan SDM pengelola event-event budaya di daerah
l. Promosi budaya
m. Penyelenggaraan event-event nasional dan internasional
(diolah dari website Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta,
http://www.tasteofjogja.org/web/IDA/stradisbudpar.asp, 20/12/2010/13.17)
Program Strategis Dinas Kebudayaan Provinsi DIY :
a. Program pengembangan nilai budaya
b. Program pengelolaan kekayaan budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
c. Program pengelolaan keragaman budaya
d. Program pengembangan kerja sama pengelolaan kekayaan budaya
(diolah dari website Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta,
http://www.tasteofjogja.org/web/IDA/straprodisbudpar.asp, 20/12/2010/13.20)
2. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta
Untuk dinas ini, ada bagian khusus yang menangani masalah kebudayaan. Pariwisata
di Yogyakarta berdasarkan atas kota Yogyakarta yang berbudaya. Jadi, pariwista pun
juga menggunakan tujuan atas dasar kebudayaan Jawa di Yogyakarta sebagai daya
tarik wisata.
Untuk itu, maka dinas tersebut mempunyai visi, misi, strategi kebijakan, dan program
untuk pelestarian kebudayaan. Visi, misi, strategi kebijakan, dan program tersebut
adalah :
Visi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta adalah :
“Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata terkemuka yang bertumpu
pada kekuatan dan keunggulan budaya lokal serta mampu memperkokoh jati diri,
memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat, serta dapat menjadi lokomotif
pembangunan Kota Yogyakarta secara menyeluruh.”
(diolah dari website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota
Yogyakarta,http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1810, 20/12/2010/12.45)
Misi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta adalah :
a. Mengoptimalkan potensi obyek, daya tarik, seni dan budaya yang ada di Kota
Yogyakarta sebagai aset utama kepariwisataan Yogyakarta.
b. Membuat perencanaan pembangunan pariwisata, seni dan budaya Kota Yogyakarta
secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan tetap mengedepankan
prinsip pelestarian dan pengembangan pariwisata berbudaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
c. Membangun kemitraan yang kondusif antara pemerintah, masyarakat, dan swasta /
pengusaha dalam mengembangkan pariwisata, seni dan budaya Kota Yogyakarta.
d. Meningkatkan peran aktif dan apresiasi masyarakat serta swasta/pengusaha dalam
memajukan pariwisata, seni dan budaya Kota Yogyakarta.
e. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumberdaya manusia bidang pariwisata,
seni dan budaya.
f. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya arti pelestarian budaya.
g. Menumbuhkan sikap sadar wisata dan sadar budaya pada semua komponen
masyarakat Yogyakarta.
h. Memberikan pelayanan prima dan menyiapkan system informasi pariwisata, seni
dan budaya yang memadai
i. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta baik secara material maupun
sosial.
(diolah dari website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta,
http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1811, 20/12/2010/12.48)
Strategi kebijakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota
Yogyakarta adalah :
a. Optimalisasi sumberdaya manusia, sarana, dan prasarana Dinas dalam mendukung
pelaksanaan ketugasan Dinas.
b. Melakukan inovasi/rekayasa dan pengembangan seluruh aspek kepariwisataan yang
tetap berlandaskan pada wisata budaya, wisata bangunan bersejarah, wisata
pendidikan, wisata konvensi dan wisata belanja.
c. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai positif budaya Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dan kearifan lokal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Program Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta
adalah :
a. Program Pengembangan Pariwisata
b. Program Pengembangan dan Pelestarian Seni dan Budaya
(diolah dari website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta,
http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1811, 20/12/2010/12.55)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
A. Karakteristik Narasumber
Untuk narasumber yang diambil pada penelitian ini terdiri dari sepuluh orang.
Yaitu dari pihak TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta meliputi produser, kepala seksi
program, penanggung jawab humas, desain program, pengarah acara, dan dua
pembawa acara serta narasumber Karang Tumaritis. Sedangkan untuk pihak terkait
yang tidak berasal dari TVRI Stasiun D.I. Yogyakarta yaitu Pejabat Pelaksana Teknis
Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya dari Dinas
Pariwisata Kota Yogyakarta dan dua orang pemirsa Karang Tumaritis yang melakukan
pernah telepon interaktif.
Narasumber yang diambil oleh peneliti tersebut telah dipikirkan dan pada
akhirnya penulis mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara kepada
narasumber tersebut. Dalam studi deskriptif yang dilakukan oleh penulis akan terdapat
kutipan-kutipan dari hasil wawancara kepada narasumber. Pemilihan narasumber
adalah berdasarkan proses sebelum berangkat pengumpulan data dan proses pada saat
di lapangan berlangsung sesuai dengan arahan dari pembimbing di lapangan.
Nama-nama di bawah ini merupakan pihak yang paling berkompeten untuk
dijadikan sebagai narasumber untuk penelitian tentang Karang Tumaritis ini. Segala
pertanyaan yang diajukan sesuai dengan pertanyaan di interview guide lalu kemudian
dikembangkan sesuai dengan keadaan di lapangan. Berikut ini adalah daftar
narasumber yang telah membantu proses pengumpulan data selama penulis melakukan
penelitian :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
1. Bu Iwung Sri Widati, Produser Karang Tumaritis
2. Bapak Maryanta, Kepala Seksi Program
3. Bapak Anang Wiharyanto, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D.I.
Yogyakarta
4. Bapak RM. Kristiadi, Desain Program
5. Bu Sari Nainggolan, Pengarah Acara Karang Tumaritis
6. Mas Altiyanto, Pembawa Acara
7. Bu Yati Pesek, Pembawa Acara
8. Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan
Pengembangan Nilai-nilai Budaya
9. Bu Anna Amrih Rahayu, Pemirsa Karang Tumaritis
10. Bapak Joko Setiono, Pemirsa Karang Tumaritis
11. Bapak Drs. Sumaryono, MA, Narasumber Karang Tumaritis
12. Bapak Samuel Indratma, Narasumber Karang Tumaritis
Sebagai seorang produser Karang Tumaritis, Bu Iwung Sri Widati merupakan
orang yang termasuk paling berpengaruh dalam acara tersebut. Karena dari seorang
produserlah ide-ide bisa muncul. Namun, tentunya Bu Iwung tidak bekerja sendiri.
Ada tim dari Bidang Program dan Pengembangan Usaha TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta yang membantu proses pembuatan Karang Tumaritis. Tim ini terdiri atas
Bapak Maryanta (Kepala Seksi Program), Bapak Anang Wiharyanto (Penanggung
Jawab Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta), Bapak RM. Kristiadi (Desain
Program), dan Bu Sari Nainggolan (Pengarah Acara Karang Tumaritis). Lalu dari
pihak pembawa acara Karang Tumaritis yaitu Mas Altiyanto dan Bu Yati Pesek serta
Pak Robet.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Bu Iwung selalu berdiskusi dengan Bapak RM. Kristiadi maupun dengan Bu
Sari tentang masalah ide untuk tema Karang Tumaritis. Dari diskusi itulah semakin
bisa menggali apa yang ada dari tema yang diajukan oleh produser. Dengan diskusi
maka ide-ide tersebut mampu menjadi lebih lengkap dan baik. Kemudian Bapak
Maryanta sebagai Kepala Seksi Program juga berperan dalam permasalahan program-
program acara, seperti mengalokasikan waktu tayang acara. Selain itu Bapak Anang
selaku Penanggung Jawab Humas akan selalu mempunyai waktu untuk melayani siapa
saja yang berkepentingan dengan TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Bu Sari adalah
pengarah acara atau eksekutor di studio saat acara on air. Karang Tumaritis
merupakan acara yang diarahkan oleh beliau. Dalam hal ini Bu Sari adalah pelaksana
ketika on air, run down dari produser akan dikerjakan oleh pengarah acara. Dan tanpa
adanya Mas Altiyanto dan Bu Yati Pesek, maka Karang Tumaritis tidak akan pernah
menarik untuk ditonton. Karena dua pembawa acara ini yang mampu menjadi
pembawa acara yang baik bagi Karang Tumaritis. Selain itu pembawa acara Karang
Tumaritis harus bisa mengendalikan materi dialog yang sedang ditayangkan.
Untuk narasumber dari pihak Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, maka perlu
diadakan wawancara karena pada saat minggu terakhir Bulan November 2010 Karang
Tumaritis diisi oleh mereka untuk sosialiasasi program dinas. Untuk tambahannya
yaitu narasumber lain yang pernah diundang oleh Karang Tumaritis. Dan tentunya
pemirsa juga diwawancarai, yaitu dipilih pemirsa yang melakukan telepon interaktif
untuk Karang Tumaritis. Jadi, narasumber-narasumber yang dipilih pada penelitian
yaitu karena mereka merupakan pihak yang paling baik untuk melengkapi data yang
dikumpulkan penulis dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
B. Peran Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan Pelestarian
Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta
Sebagai salah satu acara di stasiun publik yang menyiarkan kebudayaan Jawa,
Karang Tumaritis mempunyai peran dalam pelestarian kebudayaan Jawa. Karang
Tumaritis memiliki fungsi penting dalam proses pelestarian kebudayaan Jawa di
kalangan masyarakat Yogyakarta. Acara ini turut menyumbang demi terjaganya
kebudayaan Jawa, yaitu dengan memberikan suguhan acara yang sarat dengan nilai-
nilai positif kebudayaan Jawa. Karang Tumaritis mempunyai peran dalam
mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa yang nyaris terlindas oleh jaman dan
bahkan sering terlupakan oleh masyarakat.
Peran Karang Tumaritis dalam mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa di
masyarakat Yogyakarta terdiri atas lima poin. Poin-poin itu berasal dari tujuan Karang
Tumaritis sebagai acara yang mengangkat kebudayaan Jawa dan hasil dari penelitian
yang dilakukan. Peran Karang Tumaritis yang diambil dari tujuan acara ini yaitu
mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada
masyarakat luas, membangun kembali spririt kehidupan bermasyarakat sesuai dengan
nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa, dan melestarikan berbagai produk kebudayaan
Jawa. Kemudian, peran lainnya dari hasil yang dirumuskan oleh penulis setelah
mengadakan penelitian yaitu sarana dialog interaktif melalui televisi yang
mencerdaskan audien untuk bidang budaya, dan sarana sosialisasi program-program
pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan setelah penelitian, maka bisa
dirumuskan bahwa peran Karang Tumaritis secara lengkap terdiri dari mewartakan
nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada masyarakat luas,
membangun kembali spririt kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kebudayaan Jawa, melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa, sarana dialog
interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang budaya, dan sarana
sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Poin-poin
tersebut yaitu :
1. Mewartakan Nilai-nilai Luhur yang Terdapat di Dalam Kebudayaan Jawa Kepada
Masyarakat Luas
Nilai-nilai luhur yang terdapat pada kebudayaan Jawa tidak akan pernah
sampai pada masyarakat apalagi untuk anak muda sebagai generasi penerus apabila
tidak ada penginformasian. Informasi yang dimaksud yaitu bisa berasal dari
sekelompok orang atau organisasi mengkomunikasikan pesan-pesan tentang
kebudayaan. Kebudayaan Jawa yang dikemas dalam suatu program acara tentunya
dikomunikasikan kepada khalayak. TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta memproduksi
Karang Tumaritis sebagai program acara yang tujuannya menginformasikan nilai-nilai
luhur kebudayaan Jawa.
Karang Tumaritis sebagai program acara untuk menginformasikan
kebudayaan Jawa ini ditayangkan setiap hari Selasa minggu pertama, ketiga, dan
kelima (bila ada). Jam tayangnya yaitu setiap pukul enam sore WIB. Dalam rangka
penginformasian pesannya, TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta memiliki alasannya sendiri
tentang waktu penayangan sehingga pemirsa bisa menonton. Hasil wawancara yang
didapatkan dari Bapak Maryanta sebagai Kepala Seksi Program, 3 November 2010,
adalah sebagai berikut :
“Sebenarnya ini hanya masalah teknis saja. Pertama adalah plotting, karena jam di TVRI terbatas, menganut pola siaran terpadu artinya stasiun di daerah diberi waktu tertentu oleh pusat. Karang Tumaritis di sini merupakan usaha kami untuk meneterjemahkan visi misi TVRI. Dan sepenuhnya program kan tidak bisa prime time, jam delapan malam kalau orang mengatakan sebab mereka sudah longgar. Ini hanya masalah prioritas saja. Kedua, masalah skala prioritas tebaran mata acara. Mana yang pantas ditempatkan di jam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
delapan. Misalnya Karang Tumaritis dan Musik, dilihat yang sesuai di jam delapan. Musik di sini adalah acara tentang Koesplus, kebetulan kami punya. Dan untuk Karang Tumaritis adalah acara dialog. Kalau jam enam banyak orang sedang shalat atau sedang melakukan apa. Tidak akan pas kalau musik yang jam enam. Kalau bisa kami ingin prime time semua, tetapi tetap ada yang harus “dikalahkan” untuk permasalahan waktunya. Dalam hal ini Karang Tumaritis lebih pantas ditempatkan di jam enam sore. Selain itu sekarang ini prime time relatif bagi setiap orang. Walaupun secara umum prime time jam delapan malam.”
Masalah waktu penayangan ini menurut pihak TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta
sendiri tidak menjadi masalah. Karena pada dasarnya jam-jam yang ada di sana tidak
seperti di televisi lainnya. Apabila telah menjadi kebijakan TVRI pusat, maka TVRI
Stasiun D. I. Yogyakarta pun akan mengikuti. Jika Karang Tumaritis ditayangkan
setiap hari Selasa pukul enam sore, maka pertimbangannya adalah seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Maryanta di atas.
Pengkomunikasian kebudayaan Jawa melalui Karang Tumaritis telah sesuai
dengan pernyataan Wilbur Schramm (1955) yang dikutip oleh Suranto Aw (2010 : 2)
bahwa komunikasi merupakan suatu tindakan melaksanakan kontak antara pengirim
dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima, memiliki beberapa
pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh
pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima. Jadi, Karang Tumaritis berisi
pesan tentang kebudayaan Jawa dikirimkan oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta dan
kemudian ditafsirkan oleh penerima (pemirsa). Hal ini terjadi karena menurut
pendapat Suranto Aw bahwa proses komunikasi yang terjadi adalah komunikasi
bermedia, menggunakan media seperti telepon, surat, radio, dan sebagainya.
Sedangkan untuk masalah waktu penayangan, televisi terbatas pada waktu.
Dan untuk keputusan pengambilan jam enam sore itu memang bukan masalah.
Menurut teori pembagian waktu siaran dan ketersediaan audien dari Peter K. Pringue,
Michael F. Starr, dan William E. McCavitt, jam enam sore merupakan early evening.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Awal malam atau early evening terdapat pada pukul 18.00 s/d 19.00 yang menyatakan
hampir sebagian besar audien sudah berada di rumah. Untuk wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya yang menganut sistem WIB, maka pukul 18.00 s.d 19.00 adalah waktu di
mana mereka sudah di rumah.
Apabila Karang Tumaritis ditayangkan pada jam tersebut, maka bukan
menjadi persoalan. Karena menurut teori ketersediaan audien ini mengatakan bahwa
sebagian besar orang sudah berada di rumah. Jadi, kesempatan untuk menonton
televisi menjadi lebih banyak. Termasuk program acara Karang Tumaritis, sebagian
besar orang sudah ada di rumah. Sehingga ini termasuk waktu yang potensial untuk
menayangkan acara kebudayaan Jawa.
Karang Tumaritis menginformasikan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa,
karena pada dasarnya acara ini bertumpu pada kebudayaan. Kebudayaan Jawa yang
menjadi ciri khas Karang Tumaritis adalah semar, bahasa Jawa, dan dialog yang
berpijak pada kebudayaan Jawa. Hasil wawancara dengan Bapak RM. Kristiadi,
Desain Program, 16 November 2010, adalah :
“Sebetulnya ketika esensi atau ciri dihilangkan dari Karang Tumaritis, maka itu tidak bisa disebut Karang Tumaritis. Esensi Karang Tumaritis adalah sebenarnya pada semar, dialog berbahasa Jawa dengan penyimpulnya tokoh wayang semar. Karena begitu semarnya tidak ada maka tidak punya identitas khusus. Jadi ciri khasnya adalah semar dan dialog berbahasa Jawa. Tapi, esensi itu bisa bergradasi. Yang paling esensi adalah semar sebagai penyimpul, karena dialog dan dekorasi bisa berubah. Ketika ada wedhus gembel yang mirip semar, maka orang mengidentikan itu Karang Tumaritis….”
Lalu pembawa acara Karang Tumaritis, Mas Altiyanto, juga memberikan
pendapatnya tentang Karang Tumaritis. Hasil wawancara dengannya pada tanggal 16
November 2010 yaitu :
“Merupakan program dari TVRI D.I Yogyakarta yang spesifik, yaitu formatnya talkshow atau dialog tetapi berbeda dengan dialog-dialog lain, Karang Tumaritis sifatnya sangat “cair” dan intim, sehingga antara pembawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
acara, narasumber dan tema dengan pemirsa menjadi bagian dekat baik secara situasional maupun persolan publik. Membicarakan tentang kebudayaan dengan sifat “cairnya” itu maka Karang Tumaritis menjadi tidak sukar untuk dijangkau. Karang Tumaritis membicarakan tentang tema kebudayaan dengan cara yang dekat dan humanis. Selain itu, Karang Tumaritis menarik karena tidak menggurui, tidak muluk-muluk, terlalu tinggi, tetapi mampu mencerdaskan. Ketika mengomongkannya pun juga dengan santai bisa bercanda, tetapi bukan berarti lalu mengeliminir tingkat kesakralannya. Dan ini yang menurut saya membuat program ini menarik. Sebab tidak membicarakan secara berat, tetapi mampu mencerdaskan, menurut saya begitu.”
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Sumaryono, MA, Narasumber Karang
Tumaritis, 19 Maret 2011, yaitu :
“Bagus, karena Karang Tumaritis sebagai media untuk memperkenalkan seni budaya dalam suasana yang ringan dan menghibur. Cara memperkenalkan budaya secara philosofis namun disuguhi entertainment juga.”
Karang Tumaritis adalah dialog berbahasa Jawa yang mengangkat kearifan
lokal. Melalui televisi, kebudayaan Jawa bisa diapresiasi oleh masyarakat kembali.
Wujud penginformasian bisa terjadi karena televisi mempunyai kelebihan. Televisi
menurut Riswandi (2009 : 2) merupakan bagian dari media massa. Dan ia dikenal
sebagai media elektronik. Televisi merupakan media yang dapat mendominasi
komunikasi massa karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
khalayak. Televisi memiliki kelebihan dari media massa lainnya karena bersifat audio
visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan secara langsung
dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi kepada setiap pemirsa di manapun ia
berada.
Melalui penginformasian melalui televisi, kebudayaan Jawa mendapat
tempatnya kembali. Karena penginformasian melalui televisi mempunyai efek yang
besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Riswandi tentang televisi yang kini
mendominasi karena bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Selain itu
televisi bersifat audio visual. Karang Tumaritis menjadi dekat dengan khalayak karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
selain bersifat audio visual, juga ada telepon interaktif supaya mereka bisa
menyalurkan aspirasinya.
Karang Tumaritis menjadi terkenal karena menyajikan kebudayaan Jawa. Hal
ini disebabkan oleh kelebihan televisi itu sendiri. Televisi menurut J. B. Wahyudi
dalam Morissan (2008 : 11) yaitu dapat didengar dan dilihat bila ada siaran, dapat
dilihat dan didengar kembali bila diputar lagi, daya rangsang sangat tinggi, elektris,
sangat mahal, dan daya jangkau besar. Siaran televisi bisa diterima di mana saja dalam
jangkauan pemancar. Maka, Karang Tumaritis sekarang bisa ditonton oleh masyarakat
di seluruh Yogyakarta dan sekitarnya. Inilah yang membuat televisi mampu menjadi
sebuah penginfo yang baik karena sifatnya itu.
Hasil wawancara dengan Bu Yati Pesek, pembawa acara, 16 November 2010,
tentang Karang Tumaritis adalah :
“Supaya orang-orang tahu akan budaya Jawa yang penuh santun. Kadang-kadang anak muda juga lupa akan sopan santun. Budaya Jawa mengajarkan yang baik dan santun. Sebagai contoh anak muda sekarang pamitnya lewat HP. Mengapa tidak anak muda mengulurkan tangan pamit cium tangan kepada orang tua, “Bu, kulo badhe sekolah, kuliah”, itu kan lebih bagus. Itulah salah satunya muatan yang ada pada Karang Tumaritis.”
Menurut hasil wawancara di atas dengan Bu Yati Pesek, bahwa muatan pada
Karang Tumaritis adalah nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Melalui Karang Tumaritis
yang ditayangkan pada televisi, masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang
kebudayaan Jawa. Berbagai nilai luhur yang terdapat pada kebudayaan Jawa diangkat
ke dalam Karang Tumaritis dan penyebarannya melalui siaran televisi.
Kemudian hal yang sama dikatakan pula oleh Bu Widiastuti, Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai
Budaya di Dinas Pariwisata Yogyakarta, 30 November 2010, yaitu :
“Cukup bagus, karena memang kemudian bisa memunculkan beberapa persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan tentang penggunaan bahasa Jawa. Cukup bagus juga karena mempunyai tema-tema, tertentu seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
sekarang ini mengupas tentang penggunaan bahasa Jawa di kalangan anak muda.”
Karang Tumaritis mempunyai tema-tema tertentu yang menyangkut tentang
kebudayaan Jawa. Tema-tema tersebut menginformasikan khasanah kebudayaan
Jawa, yaitu bahasa Jawa misalnya. Dengan adanya teknologi seperti siaran televisi,
maka penyebarluasan informasi tentang kebudayaan Jawa bisa menjangkau
masyarakat luas.
Hasil wawancara tentang Karang Tumaritis dengan pemirsa Karang
Tumaritis, Bu Anna Amrih Rahayu, 23 November 2010, yaitu :
“Sebenarnya saya sering nonton, sering tidak. Kalau kemarin yang tentang wayang, saya suka lalu nonton. Permasalahan yang diangkat adalah budaya, baik sekali. Namun, untuk saya pribadi, Karang Tumaritis tergantung tema yang diambil…”
Kemudian, hasil wawancara dengan pemirsa Karang Tumaritis lainnya yaitu
dengan Bapak Joko Setiono, 23 November 2010, yaitu :
“Menurut saya bahasa Jawanya bagus, karena hanya Karang Tumaritis yang menjadi sarana untuk menyalurkan budaya Jawa. Saya rasa acara lain di televisi belum ada yang seperti itu.”
Hasil wawancara lain dengan narasumber Karang Tumaritis, Bapak Drs.
Sumaryono. MA, 19 Maret 2011, yaitu :
“….Karang Tumaritis adalah sebuah mediator untuk menyampaikan seni budaya. Sifatnya entertain, maka pendalaman acara ini hanya sebatas etalase saja. Jadi, sifatnya bisa memperkenalkan (to introduce) seni budaya kita.”
Karang Tumaritis sebagai acara dipandang baik, karena menginfomasikan
kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Masyarakat menganggap bahwa televisi adalah
media terdekat mereka, sehingga acara yang ada di televisi sering kali mampu
memberikan pandangan baru kepada mereka. Pendapat Prof. Dr. R. Mar’at dari
Universitas Padjadjaran, tentang program acara televisi dikutip Onong Uchjana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Effendy (2004 : 122) yaitu acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap,
pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton, ini adalah wajar.
Bahkan untuk tujuan media massa menginformasikan kebudayaan Jawa di
wilayah Yogyakarta, Bu Iwung, produser Karang Tumaritis menyatakan pendapatnya
melalui wawancara tanggal 3 November 2010 yaitu :
“Kami berkomitmen bahwa tidak perlu bersaing. Karena dengan ada banyak acara seperti itu berarti kebudayaan Jawa juga makin banyak yang memelihara. Dan malah menjadi lebih baik. Saya pikir tidak masalah.”
Kemudian pernyataan tersebut juga diperkuat dengan pendapat dari Bapak
RM. Kristiadi, desain program, 16 November 2010 :
“Kalau persaingan tidak ada, namun presentase ada, yaitu 2 % untuk TVRI Yogyakarta. Ini maksudnya adalah TVRI Yogya merupakan nilai yang paling tinggi untuk televisi lokal baik swasta maupun daerah. Jadi, saya tidak memandang persaingan dengan acara lain. Karena jika banyak TV yang mengangkat tema kebudayaan berarti kebudayaan hidup. Adalah baik bila bisa seperti di Amerika Selatan. Tiap satu jam pasti ada program acara yang namanya ARTS. Setiap channel di sana wajib menayangkan ARTS. Di sana ada delapan channel yang berbeda, setiap channel harus menayangkan ARTS selama 1 jam, tapi jamnya beda-beda. Jadi, ketika kita misalnya pergi ke Chile dan menonton TV, pasti ada ARTS. Seperti semakin banyak Karang Tumaritis itu bagus, saya pandang itu bukan suatu persaingan.”
Untuk persaingan, mereka sebagai pihak TVRI tidak pernah menganggap
adanya persaingan. Karena dengan semakin banyaknya acara kebudayaan seperti
Karang Tumaritis berarti kebudayaan Jawa masih banyak yang menjaga. Acara di
televisi menginformasikan kebudayaan, karena pentingnya pembelajaran untuk
masyarakat. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Koentjoroningrat yang dikutip
Hari Poerwanto (2008 : 52) yaitu kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Seperti halnya dengan kebudayaan Jawa, masyarakat tidak mungkin
mendapatkan kebudayaan tanpa belajar. Televisi bisa menjadi sarana belajar yang
baik, karena melalui informasi dari media massa maka masyarakat bisa mengerti
tentang sesuatu hal baru. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di Kanada, seperti yang
ditulis pada Canadian Journal of Communication, Vol. 29 (1) tahun 2004, halaman 51-
52, karya Doris Baltruschat, berjudul Television and Canada’s Aboriginal
Communities, yaitu :
“….One key of the features of APTN is its multilingual programming. Programs in traditional languages such as Cree, Inuktitut, and Lakota provide an opportunity for Canada’s more than 60 indigenous languages to be spoken and heard through televised means. Interviews with indigenous elders and community leaders highlight discussion about environmental concerns, land claims, and natural resources. In addition, children’s programs educate about linguistic traditions (Claxton, interview, 2003). As First Nations seek to gain official status for their languages, programs deal with the importance of language preservation and Aboriginal traditions (APTN, 2002).”
“….Salah satu kunci dari keistimewaan APTN adalah program multibahasa. Program dalam bahasa tradisional seperti Cree, Inuktitut, dan Lakota menyediakan sebuah kesempatan untuk Canada lebih dari 60 bahasa lokal dipakai dan didengar melalui televisi. Wawancara dengan tetua lokal dan pemimpin komunitas menekankan diskusi tentang perhatian terhadap lingkungan, klaim tanah, dan sumber daya alam. Sebagai tambahan, program anak-anak mengajarkan tentang tradisi linguistik (Claxton, wawancara, 2003). Sebagai negara dunia pertama mencari untuk meningkatkan status resmi untuk bahasa-bahasa mereka, program-program telah menyetujui pentingnya pemeliharaan bahasa dan tradisi-tradisi Aborigin (APTN, 2002).”
Di Kanada seperti pada jurnal di atas juga menggunakan televisi untuk
menginformasikan dan memelihara kebudayaan Aborogin di sana. Dengan adanya
televisi maka bisa membantu proses pembelajaran tentang kebudayaan asli mereka.
Bahkan diskusi pun digelar untuk membuat hidup Aborigin menjadi lebih mudah,
karena permasalahan mereka diangkat ke permukaan melalui televisi.
Demikian pula Karang Tumaritis memberikan informasi tentang nilai-nilai
luhur kebudayaan Jawa sebagai pembelajaran kepada masyarakat. Seperti misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
bahasa Jawa yang dipakai di Karang Tumaritis. Ini merupakan indikasi bahwa dengan
menggunakan bahasa Jawa, maka masyarakat Yogyakarta bisa lebih memahami
bahasa daerah mereka. Hal ini terjadi karena sekarang tidak semua orang Jawa
mengerti dan menggunakan bahasa tersebut. Karang Tumaritis memberikan suguhan
tentang digunakannya bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar utamanya. Kegiatan ini
juga merupakan pemeliharaan terhadap bahasa Jawa sebagai bagian dari kebudayaan
Jawa.
Hasil wawancara dengan Bu Iwung juga memperlihatkan bahwa bahasa Jawa
sering kali tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Data dari wawancara dengan
produser Karang Tumaritis ini berlangsung tanggal 3 November 2010 menyatakan :
“Karena pernah ada tema yang bintang tamunya adalah orang dari luar Jawa, seperti Bali. Bahasa Jawa untuk kalangan orang Jawa sendiri saja kadang tidak terlalu baik. Dan orang-orang dari suku lain juga pernah diundang sebagai bintang tamu. Akan tetapi, mereka walaupun bukan orang Jawa juga akan ditanyai dalam bahasa Jawa. Meskipun mereka menjawab dalam bahasa Indonesia.”
Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa orang Jawa sendiri tidak
memahami bahasa Jawa. Sedangkan untuk orang yang bukan Jawa, mereka memang
tidak bisa berbahasa Jawa. Hal ini tidak menjadi masalah karena Karang Tumaritis
juga mengundang orang dari luar Jawa sebagai narasumber. Hanya saja orang dari
luar Jawa tetap menjadi narasumber yang mencerminkan kehidupan yang berhubungan
dengan Jawa. Jadi, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar, walaupun juga
diselingi dengan bahasa Jawa. Yang menjadi masalah adalah ketika orang Jawa tidak
mengerti bahasa Jawa. Dengan adanya program acara yang menggunakan bahasa
Jawa, maka secara tidak langsung dan secara pelan-pelan orang Jawa yang tidak
mengerti bahasa Jawa akan mendapat terpaan dan mengerti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Imam Sutarjo (2008 : 49), media massa
dianggap memiliki peran yang besar dalam pelestarian budaya. Pendapat itu berbunyi
bahwa “….hal ini bisa dilihat dari kerapuhan dalam unggah-ungguh berbahasa Jawa di
kalangan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh kurangnya peran campur tangan
media massa. Salah satunya yaitu kurang tersedianya buku-buku bacaan dan majalah
berbahasa Jawa (ngoko maupun krama), baik di sekolah maupun di rumah, serta
semakin jarangnya media massa (cetak atau elektonik) yang menggunakan wahana
unggah-ungguh Bahasa Jawa.”
Televisi sebagai media massa yang paling populer seharusnya memberikan
kontribusinya untuk pelestarian kebudayaan melalui transmisi informasi yang
direalisasikan ke dalam program acara. Pendapat dari (Dennis McQuail, 1996 : 51)
menyatakan bahwa secara umum, dalam beberapa segi, media massa memiliki
perbedaan dengan institusi pengetahuan lainnya yang ada. Perbedaan media massa
dengan institusi pengetahuan lainnya seperti seni, agama, ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan sebagainya yaitu :
a. Media massa memiliki fungsi pembawa bagi segenap macam pengetahuan
b. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik, yaitu dia
bisa dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara bebas
c. Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama
d. Media menjangkau lebih banyak orang dari pada institusi lainnya dan sejak dahulu
telah mengambil alih peranan sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain
Televisi dengan segala kelebihannya akan lebih baik bila diarahkan untuk
melakukan proses pelestarian kebudayaan. Dengan perbedaan-perbedaannya terhadap
jenis institusi pendidikan lainnya, maka diharapkan televisi di Yogyakarta termasuk
TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta mampu berperan dalam membantu proses pelestarian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kebudayaan Jawa. Karena televisi merupakan medium yang ampuh dalam dunia
komunikasi manusia.
Sebagai televisi publik, TVRI telah membuat acara-acara yang
berkepentingan untuk publik. Seperti Karang Tumaritis yang menyajikan kebudayaan
Jawa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Morissan (2008 : 100 - 101) yaitu, pada
program yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran publik ada perbedaan dengan acara
yang ditayangkan oleh stasiun komersial. Televisi publik menata acaranya dengan
menekankan pada aspek pendidikan masyarakat yang bertujuan mencerdaskan audien.
Program disusun berdasarkan pada gagasan melestarikan dan mendorong
berkembangnya budaya lokal, sejarah kebangsaan, dan sebagainya. Televisi
memegang peran penting menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah. Program
acara pendidikan dan kebudayaan (seperti pengembangan bahasa nasional dan
kebudayaan daerah) harus menjadi tanggung jawab media penyiaran publik untuk
memproduksinya.
Kemudian dilanjutkan pendapat lainnya yaitu strategi dalam mengelola
stasiun televisi publik menurut Pringle-Starr-McCavitt (1991) yaitu the nature of the
licensee (misi atau fungsi utama keberadaan stasiun publik), kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, dan upaya menggalang dana dari masyarakat (the
requirements for fund raising from the audience). Fungsi utama dari stasiun publik di
Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam UU Penyiaran adalah memberikan layanan
untuk kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan faktor pertama yang harus
dipertimbangkan sebelum menyusun strategi program (Morissan, 2008 : 101).
Karang Tumaritis mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan audiens
dalam bidang kebudayaan. Selain itu, demi kelestarian kebudayaan daerah (Jawa)
Karang Tumaritis memberikan andil untuk penyebaran informasi melalui media massa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Televisi publik (TVRI) terutama yang di daerah, harus mengangkat kearifan lokal
sehingga tercapai kelestarian potensi dan kebudayaan di sana. Program yang disajikan
TVRI melalui Karang Tumaritis telah ikut proses dalam kelestarian kebudayaan Jawa.
Penginformasian melalui media massa memberikan andil yang cukup baik untuk
kebudayaan Jawa.
Karang Tumaritis adalah acara yang juga ikut berperan dalam
menginformasikan nilai-nilai luhur yang terdapat pada kebudayaan Jawa. Sebagai
sebuah acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, Karang Tumaritis menggunakan
unsur-unsur kebudayaan Jawa supaya lebih terasa Jawa. Informasi yang berisi tentang
kebudayaan Jawa akan memperkaya pengetahuan pemirsa dan menumbuhkan
pengalaman baru yang bisa dipetik dari suguhan Karang Tumaritis.
2. Membangun Kembali Spirit Kehidupan Bermasyarakat Sesuai Dengan Nilai Luhur
Kebudayaan Jawa
Karang Tumaritis juga berperan membangun kembali jiwa berkehidupan
masyarakat Yogyakarta sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa. Dengan adanya
acara ini, pemirsa bisa melihat kembali bagaimana kebudayaan Jawa eksis di jaman
modern. Kebudayaan Jawa yang penuh dengan nilai luhur tersebut tercermin melalui
tata cara dan dialog yang dibawakan oleh pembawa acara dan narasumber.
Pemirsa apabila menonton Karang Tumaritis merasa seperti kehidupan Jawa
muncul kembali di jaman sekarang. Yaitu kehidupan Jawa yang masa kini namun
kesakralan dan keluhuran budaya Jawa tetap menjadi intisarinya. Program acara ini
telah mampu memunculkan kembali jiwa kehidupan bermasyarakat yang sesuai
dengan nilai luhur kebudayaan Jawa. Dalam acara ini, terlihat bagaimana di jaman
sekarang budaya Jawa digali kembali dan diterapkan untuk berkehidupan di
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Untuk melihat bagaimana menumbuhkan jiwa kehidupan bermasyarakat
sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa maka diperjelas dengan hasil wawancara
dengan Bapak RM. Kristiadi, desain program Karang Tumaritis, 3 November 2010,
yakni :
“….Karang Tumaritis mengupas tentang kebudayaan Jawa yang sesuai dengan perspektif seperti apa. Karena kebudayaan Jawa sejak dulu sudah banyak berubah, perspekstifnya juga banyak sekali. Karang Tumaritis mengupas Jawa Yogyakarta yang multikultur, plural, dan hibrida, yang ada ada kos-kosan orang Bali, atau basecamp orang Sumatra. Jadi, interaksi sosial yang terjadi itulah kebudayaan Jawa Yogyakarta.”
Kemudian, hasil wawancara dengan Bapak Samuel Indratma, Narasumber
Karang Tumaritis, 20 Maret 2011 tentang materi yang disajikan Karang Tumaritis
yaitu :
“Sangat membantu ingatan kita akan kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa saya pikir salah satu bagian penting dari kebudayaan Jawa itu sendiri. Dan materinya saya pikir sangat menarik. Karena Jawa beserta kebudayaannya selalu berkembang mengikuti jamannya.”
Lalu hasil wawancara dengan Bu Iwung sebagai produser Karang Tumaritis,
juga memperlihatkan bahwa materi Karang Tumaritis beragam dan berwarna untuk
mengupas kehidupan masyarakat Yogyakarta sekarang. Wawancara yang dilakukan
tanggal 3 November 2010 tersebut yaitu :
“Membicarakan bagaimana kehidupan mereka di Yogya, yang mayotitas orang Jawa. Lalu bagaimana mereka setelah bersentuhan dengan orang Jawa. Bagaimana mereka berinteraksi di tempat yang mayoritas Jawa dan budaya yang ada yaitu Jawa.”
Kebudayaan Jawa di Yogyakarta menurut Bapak RM. Kristiadi, Bapak
Samuel Indratma, dan Bu Iwung sudah banyak berubah sesuai dengan keadaan jaman
sekarang. Namun, tentunya esensi dari kebudayaan Jawa sendiri masih ada dan
sebagai pengenal bahwa inilah kebudayaan Jawa. Hanya saja di Karang Tumaritis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
menjadi lebih beragam. Dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta yang sekarang ini,
jiwa berkehidupan secara Jawa masih ada dan berbaur dengan perkembangan jaman.
Jadi, kebudayaan Jawa di masa sekarang sudah hidup dengan banyak pengalaman baru
di dalamnya, seperti Jawa Yogyakarta yang plural.
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang tetap atau mati. Namun, kebudayaan bisa
tumbuh, berkembang, bahkan punah. Punah bila tidak ada yang meneruskan
kebudayaan itu sendiri. Sedangkan bila kebudayaan tetap dipelihara dan selalu
mengikuti kekinian maka, tak dipungkiri kebudayaan akan berkembang. Hal tersebut
sama dengan keadaan budaya Jawa Yogyakarta yang kini telah multikutural,
sedangkan kebudayaan Jawa itu tetap menjadi jiwa kehidupan masyarakatnya.
Dengan adanya kebudayaan Jawa yang plural tersebut, masyarakat
Yogyakarta menjadi semakin kaya akan pengetahuan baru. Sesuai dengan pernyataan
bahwa budaya sebagai sistem pemikiran mencakup sistem gagasan, konsep-konsep,
aturan-aturan serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidupan yang
dimilikinya melalui proses belajar (Hari Poerwanto, 2008 : 58). Lalu, C. Geertz juga
menyatakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki
bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses
perorangan.
Dari pernyataan di atas terlihat jika kebudayaan adalah proses yang
diwujudkan dalam kehidupan yang dimiliki melalui proses belajar. Selain itu
kebudayaan adalah sistem pemaknaan bersama, proses sosial bukan perorangan.
Demikian pula dengan kebudayaan Jawa Yogyakarta yang sekarang juga berbaur
dengan banyak kalangan dari berbagai macam asal usulnya. Dengan ini maka
kebudayaan Jawa adalah semakin luas karena mendapatkan pengalaman baru dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
proses sosial tersebut. Tetapi, nilai-nilai kebudayaan Jawa akan menjadi dasar
kehidupan bermasyarakatnya dalam rangka interaksi sosial.
Untuk memperlengkap pernyataan itu, maka sama seperti hasil wawancara
dengan Mas Altiyanto, pembawa acara, 16 November 2010 :
“…..Akan tetapi, lebih baik mengomongkan tentang kekinian dengan perspektif budaya-budaya Jawa. Yogyakarta seperti sekarang ini merupakan kota metropolitan, maka kebudayaan Jawa di Yogya sendiri menjadi kebudayaan Jawa yang urban. Meskipun dalam berpakaian kami seperti saya dan Ibu Yati mengenakan pakaian Jawa, namun bukan berarti bahwa kami hidup di jaman lalu, tetapi kami bukan hanya mewakili masa lalu, tetapi juga mewakili kebudayaan itu akan menjadi seperti apa. Tema pada Karang Tumaritis bisa mengangkat budaya luar daerah yang tinggal di sini, lalu bagaimana interaksi dengan mereka, bahkan pernah tema yang mural dan budaya pop. Jadi, yang dibahas adalah kebudayaan Jawa di Yogyakarta yaitu kebudayaan yang dulu dan sekarang. Itu semua adalah apa yang ada di Yogya saat ini.”
Kebudayaan Jawa di Yogyakarta telah menjadi plural. Namun, hal ini adalah
sesuatu yang wajar karena adanya proses interaksi sosial dengan siapa saja. Hal ini
juga sesuai dengan pernyataan Imam Sutarjo (2008 : 10) bahwa kebudayaan menjadi
milik manusia melalui proses belajar, dan diajarkan kepada anggotanya melalui proses
akulturasi, enkulturisasi, dan proses sosialisasi. Kemudian hal ini juga mirip dengan
pendapat yang dikemukan oleh C. Kluckhohn yang menekankan bahwa kebudayaan
merupakan proses belajar dan bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis. Oleh
karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses belajar kebudayaan yang
berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan
pengembangan perasaan, hasrat, dan emosi, dalam rangka pembentukan
kepribadiannya (Hari Poerwanto, 2008 : 88).
Kebudayaan di Yogyakarta adalah kebudayaan Jawa, tetapi kebudayaan ini
meliputi proses interaksi yang luas. Sehingga tema-tema yang ada pada Karang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Tumaritis adalah tentang kebudayaan Jawa di Yogyakarta yang luas dan banyak
perspektifnya. Lalu, hasil wawancara tentang Karang Tumaritis dengan Bu Widiastuti,
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-
nilai Budaya, 30 November 2010 :
“Mungkin pihak TVRI melakukan ekspansi dengan banyak pihak. Sehingga ada banyak pihak yang melakukan proses internalisasi dengan program ini. Dengan semakin banyak lini masyarakat yang diajak, maka program ini menyentuh banyak segmen. Sekarang temanya anak muda, tetapi tidak menutup kemungkinan besok mengajak para eksekutif muda yang mempunyai bisnis dan berhubungan dengan orang asing dan sebagainya. Selama mereka masih orang Jawa, lalu bagaimana mereka sebagai orang Jawa Yogya yang tetap bisa berbahasa Jawa dan mengerti budaya Jawa. Saya kira perlu ada ekspansi lebih dari TVRI.”
Kemudian dari segi pemirsa, yakni dengan Bapak Joko Setiono, 23 November
2010, pendapatnya tentang Karang Tumaritis adalah :
“Karang Tumaritis digunakan sebagai alat atau wadah untuk menggugah bagaimana budaya Jawa bisa dipakai masyarakat Jawa sendiri. Masyarakat Jawa tergugah bahwa ternyata budaya Jawa itu baik. Mereka menjadi tahu bagaimana cara berpikir ala timur itu seperti apa untuk dijadikan pijakan hidup. Selain itu budaya Jawa juga bisa dipakai untuk cara kita sebagai masyarakat Jawa untuk bergerak.”
Sedangkan menurut Bu Anna Amrih Rahayu, pemirsa Karang Tumaritis, 23
November 2010 adalah :
“Karang Tumaritis bermanfaat bagi siapa saja, karena mengangkat masalah budaya. Untuk saya sebagai orang Jawa, Solo, kebudayaan seperti yang ada di Karang Tumaritis itu bagus. Seperti tema yang minggu kemarin, tentang wayang, itu juga menjadi tontonan menarik bagi anak muda juga. Karena masalah kebudayaan seperti itu bisa menjadi contoh untuk budi pekerti bagi anak-anak muda.”
Untuk memunculkan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai
luhur kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis mengangkat kebudayaan Jawa yang
sesuai untuk jaman sekarang. Dengan seperti itu, maka kebudayaan tetap bisa
diterapkan dalam kehidupan. Apalagi masyarakat Yogyakarta sebagai orang Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
yang mobilitasnya tinggi dan pergaulannya luas, Karang Tumaritis membangun
kembali bagaimana mereka bisa menjadi orang Jawa di arus globalisasi dan interaksi
sosial yang beragam. Karena nilai luhur Jawa sangat membanggakan bila digunakan
untuk kehidupan bermasyarakat dengan lingkungan sekitar.
Pewarisan kebudayaan Jawa diperlukan, karena untuk masyarakat Jawa perlu
mengetahui dan menerapkan nilai luhur tersebut. Sesuai dengan pendapat dari Hari
Poerwanto (2008 : 88), manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Setelah manusia mati, maka kebudayaan akan diwariskan untuk
keturunannya. Hari Poerwanto memberikan penjelaskan tentang cara pewarisan
kebudayaan, pertama, secara vertikal atau langsung kepada anak cucu mereka. Kedua,
secara horizontal atau belajar kebudayaan kepada manusia lainnya. Berbagai
pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya, akan diteruskan kepada
generasi berikutnya atau dikomunikasikan dengan individu lainnya karena ia mampu
mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa
bahasa; serta dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan
menulis.
Nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa harus diwariskan ke anak cucu mereka
nantinya. Tentunya Karang Tumaritis merupakan salah satu cara untuk melakukan
pewarisan ini yaitu melalui pesannya yang disebar ke khalayak. Proses
pengkomunikasian ini bertujuan untuk semakin menyebarkan pengetahuan tentang
kebudayaan Jawa kepada masyarakatnya. Karang Tumaritis dipandang baik oleh
semua kalangan karena mampu menghadirkan dialog tentang kebudayaan Jawa di
Yogyakarta.
Hal ini sama seperti yang terjadi di Kanada, yang disebutkan dalam jurnal
bahwa masyarakat lokal yang memiliki budaya tertentu menyukai program acara yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
mempunyai kaitan dengan kepentingannya. Canadian Journal of Communication,
Vol. 29 (1,) halaman 54, Television and Canada’s Aboriginal Communities,
menyebutkan :
“Native American audiences have expressed interest in APTN’s programming, as letters to the network attest. According to Compton (interview, 2003), Native Americans would like see APTN’s signal extend into their communities, and negotiation are currently under way to make this a reality. Native American interest in APTN underscores the notion that Aboriginal people share a common bond through history, language, and culture that is not restricted by national boundaries. Aboriginal peoples in Australia and New Zealand are also interested in APTN’s programs (Compton, interview, 2003).” “Penduduk Amerika asli yang menjadi audiens telah mengekspresikan ketertarikan mereka pada program APTN, sebagaimana surat-surat kepada jaringan pembuktian. Menurut Compton (wawancara, 2003), penduduk Amerika Asli senang melihat APTN yang mensinyalkan pelebaran ke dalam komunitas mereka, dan negosiasi membuatnya menjadi kenyataan. Penduduk Amerika asli tertarik terhadap APTN menggarisbawahi dugaan bahwa orang Aborogin berbagi ikatan umum melalui sejarah, bahasa, dan budaya yang tidak dibatasi oleh lingkup nasional. Orang Aborigin di Australia dan New Zealand juga tertarik pada program-program APTN (Compton, interview, 2003).”
Sebagai orang Jawa, mereka tentunya bahagia bila permasalahan mereka
diangkat untuk dibicarakan di publik. Seperti masalah tentang kebudayaan Jawa yang
semakin lama bisa tergerus arus globalisasi dan masalah mengenai bagaimana
penerapan nilai-nilai Jawa di kehidupan modern. Dengan adanya Karang Tumaritis,
maka segala bentuk permasalahan kebudayaan Jawa bisa diangkat dan menjadi
perdebatan terbuka. Hal ini dianggap membantu pemecahan masalah kebudayaan
yang sering kali terlindas dan terlupakan setelah adanya globalisasi.
Sebagai televisi publik, maka TVRI memberikan pelayanan yang baik dalam
rangka mencerdaskan masyarakat. Seluruh program acara TVRI diharuskan
mengangkat kearifan lokal dari setiap daerah yang memiliki stasiun TVRI di daerah
tersebut. Bahkan, dengan adanya komitmen untuk selalu memberikan pelayanan yang
baik tersebut, maka TVRI tidak melihat segi materi. Karang Tumaritis sebagai acara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kebudayaan di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, didaulat untuk menyuguhkan materi-
materi kebudayaan Jawa yang sesuai dengan kehidupan masyarakatnya.
Inti dari materi yang disajikan Karang Tumaritis adalah kebudayaan Jawa di
Yogyakarta yang plural sifatnya. Hasil wawancara dengan produser Karang Tumaritis,
Bu Iwung, 3 November 2010, mengatakan bahwa :
“Tergantung situasi di masa datang. Tetapi kita memberikan komitmen bahwa TVRI Yogyakarta akan memberikan acara yang baik sebagai bagian dari tugas TVRI. Paling tidak membuat filter dari kebudayaan-kebudayaan lain yang tidak sesuai. Namun, bila kebudayaan ini baik, mengapa tidak kita bisa hidup dan tumbuh bersama, saling mempengaruhi. Selanjutnya kami juga berkomitmen untuk menjaga budaya Jawa tetap hidup dalam pengertian bisa bertahan dengan adanya perubahan.”
Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa ternyata TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta mengemban tugasnya sebagai televisi publik. Sebagai program acara yang
diproduksi oleh TVRI, maka Karang Tumaritis juga mendapat tugas yang sama.
Karang Tumaritis merupakan pencerminan dari tugas TVRI. Berhubungan dengan
kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis akan menjadi sebuah filter untuk
kebudayaan lain yang tidak sesuai. Namun, bila kebudayaan tersebut sesuai dengan
nilai-nilai budaya Jawa, maka akan bisa tumbuh bersama. Komitmen dari TVRI
sendiri akan membuat kebudayaan Jawa tetap hidup meskipun ada perubahan.
Agar kebudayaan bisa tetap lestari dan bisa memfilter kebudayaan lain yang
sesuai, maka masyarakat perlu diberi informasi tentang kebudayaan itu. Pemberian
informasi bisa melalui media massa. Penyebaran informasi ini dimaksudkan agar
kebudayaan Jawa tidak semakin terlindas oleh jaman, tetapi bisa membuktikan bahwa
kebudayaan Jawa saat ini mampu mengikuti perkembangan jaman. Masyarakat pun
menjadi lebih paham akan kebudayaan Jawa yang bisa menjadi saringan bagi
kebudayaan-kebudayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Proses pelestarian kebudayaan bisa dilakukan melalui televisi. Hal ini senada
dengan pernyataan dari Dennis McQuail (1996 : 3) yang mengatakan bahwa media
massa seperti televisi, radio, koran, dan lain sebagainya mempunyai fungsi penting.
Fungsi penting itu di antaranya berpijak pada dalil yaitu media sering kali berperan
sebagai wahana pengembangan kebudayaan, termasuk sebagai pengembangan tata
cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma. Kemudian, Dennis McQuail (1996 : 40)
juga berpendapat bahwa media massa sebagai komunikator massa tentunya memiliki
ciri-ciri khusus bahwa salah satunya adalah memproduksi dan mendistribusi
pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya.
Media massa berperan dalam pelestarian budaya. Seperti pernyataan di atas,
Karang Tumaritis sebagai program acara yang diproduksi TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta mentransfer informasi yang berisi pengetahuan tentang kebudayaan Jawa.
Selain itu, Karang Tumaritis menjadi wahana perkembangan kebudayaan Jawa yang
isinya meliputi tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma. Berpijak dari
pernyataan Dennis McQuail di atas, Karang Tumaritis menjadi wahana untuk
menyampaikan pesan-pesan kebudayaan Jawa demi terbentuknya jiwa kehidupan
bermasyarakat di Yogyakarta yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa.
Komitmen TVRI ini juga mempunyai indikator. Untuk program-program
acara yang diproduksi, tentunya ada tanda-tanda apakah sejauh ini acara tersebut masih
disukai atau tidak oleh pemirsa. Menurut hasil wawancara dengan Bapak Anang
selaku penanggung jawab humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, 11 November 2010,
yaitu :
“….Sejauh masih dilihat oleh masyarakat maka acara ini akan dipertahankan. Selain itu pihak ketiga yang mau bekerja sama dan penelpon untuk acara interaktif juga menjadi pertimbangan. TVRI mengambil indikator dengan penelpon dan banyaknya yang menawarkan diri untuk kerja sama. Karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
pada dasarnya TVRI tidak mengedepankan kepentingan komersil, jadi tinggal melihat bagaimana sebuah program acara apakah masih ditonton atau sudah ditinggalkan.”
Dari pernyataan tersebut, TVRI mengambil indikator tentang dilihatnya atau
tidak suatu program dengan penelpon dan kerja sama. TVRI tidak mengedepankan
kepentingan komersil, hal ini sesuai dengan tugasnya sebagai televisi publik di
Indonesia. Menurut Efendi Gazali (Riswandi, 2009 : 17-18), TVRI sebagai televisi
publik harus mendahulukan kepentingan publik. Kepentingan publik lebih diutamakan
dari pada kepentingan iklan. Misalnya ada satu acara yang sangat baik dan bermanfaat
bagi publik, namun ratingnya rendah, maka ia akan tetap diproduksi dan tetap
dipertahankan penanyangannya. Acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta juga tidak
pernah melihat segi keuntungan materi, karena mereka berkomitmen untuk
mencerdaskan masyarakat melalui tayangannya. Walaupun kadang-kadang acara di
TVRI sering dipandang ketinggalan jaman.
Pernyataan yang memberikan penjelasan tentang televisi publik juga
terangkum dalam Internasional Journal of Communication 3 (2009), 332-350,
berjudul Protecting Local Culture in a Global Environment : The Case of Israel’s
Broadcast Media, karya Yaron Katz, halaman 335, disebutkan bahwa :
“…With the beginning of television broadcasting, the public broadcasting model became dominant, based on European experience. The goals were to serve the good of the public and to be independent of political and commercial influence, with emphasis on local culture programs. To achieve these goals, the public broadcasting organization (the Broadcasting Authority) was compelled to promise representation of all groups of the population – to give true expression to a range of opinions, tastes, interests, traditions, preferences, beliefs, and local subcultures – including different regional representations, minorities, and languages.” “.…Dengan permulaan adanya penyiaran televisi, model penyiaran publik menjadi dominan, berdasarkan pengalaman di Eropa. Tujuannya yaitu untuk menyediakan kebutuhan publik dan menjadi mandiri dari pengaruh politik dan komersial, dengan menggarisbawahi pada program budaya lokal. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi penyiaran publik (the Broadcasting Authority) diwajibkan untuk menjanjikan representasi dari semua kelompok dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
populasi – untuk memberikan ekspresi sebenarnya pada pendapat, rasa, ketertarikan, tradisi, pilihan, kepercayaan, dan anak budaya lokal – termasuk perwakilan regional berbeda, minoritas, dan bahasa.”
Dari pengalaman yang sama dengan yang terjadi di Eropa, maka di Indonesia
pun bisa memetik pelajaran penting akan perlunya televisi publik. Yang dimaksud
dengan televisi publik di Indonesia adalah TVRI. Sebagai bagian dari TVRI, maka
TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta juga memiliki fungsi untuk tidak mengedepankan
kepentingan komersil. Publik adalah pihak yang berhak mendapatkan informasi dari
TVRI tanpa adanya intervensi kepentingan politik maupun komersil. Jadi, TVRI
seperti yang dijelaskan oleh Bapak Anang adalah menjalankan fungsinya tanpa
mengharap komersil dari berbagai pihak. Karena, pelayanan yang diberikan oleh
TVRI adalah representasi untuk lestarinya dan berkembangnya budaya lokal.
Karang Tumaritis adalah acara yang menjadi salah satu unggulan untuk
mengangkat budaya lokal. Acara ini akan dipertahankan bila masyarakat masih suka
dan antusias. Namun, TVRI juga memegang komitmen agar menjaga kebudayaan
lokal. Sejauh ini, Karang Tumaritis masih disukai, maka akan tetap dipertahankan
keberadaannya. Karena salah satu peran Karang Tumaritis adalah membangun
kembali jiwa kehidupan bermasyarakat sesuai nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa, maka
TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta tetap berkomitmen untuk mengedepankan kepentingan
masyarakat dari pada kepentingan komersil.
3. Melestarikan Berbagai Produk Kebudayaan Jawa
Arus modernisasi telah mengubah keadaan Yogyakarta menjadi kota besar
yang metropolis seperti kota-kota lainnya di Indonesia. Namun, arus modernisasi
sekiranya tidak mengeliminir Yogyakarta sebagai kota yang penuh dengan budaya
Jawa. Karena kebudayaan Jawa adalah milik orang Yogyakarta, walaupun sekarang
kota ini telah banyak mengalami pengalaman barunya dengan kehidupan modern.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Kebudayaan Jawa adalah satu-satunya kebudayaan asli yang dimiliki
Yogyakarta. Spirit kehidupan bermasyarakat di Yogyakarta tak pernah lepas dari
pengaruh budaya Jawa. Namun, di situasi seperti saat ini tentunya Yogyakarta
memiliki hubungan dengan orang-orang dan bentuk budaya baru. Akan tetapi, sebagai
daerah metropolis, Yogyakarta juga tidak lepas dari nafas kejawaan. Dua hal ini bisa
hidup secara berdampingan dan tumbuh bersama. Yang patut dipikirkan adalah
bagaimana supaya kebudayaan Jawa yang sarat dengan nilai luhur mampu tetap hidup
di jiwa kehidupan orang Jawa di Yogyakarta, sementara mereka juga bisa hidup secara
modern dan menerima bentuk budaya baru yang sesuai dengan nilai budaya Jawa.
Pada acara Karang Tumaritis ini bisa dilihat bahwa kebudayaan Jawa menjadi
temanya. Acara ini diproduksi oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta dengan tujuan
untuk melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa yaitu dengan mengangkat
kearifan lokal yang ada di Yogyakarta. Kearifan lokal adalah kebijaksanaan ataupun
kecendekiawanan yang ada di sebuah lingkungan tertentu. Kearifan lokal yang ada di
Yogyakarta ini diangkat ke dalam sebuah program acara. Tentunya kearifan lokal
yang dimaksud yaitu segala hal yang baik dan potensial tentang Yogyakarta, termasuk
di antaranya adalah kebudayaan Jawa.
Dari wawancara dengan produser Karang Tumaritis, Bu Iwung pada 3
November 2010, Karang Tumaritis adalah acara yang mengangkat kearifan lokal.
Meskipun tema yang diangkat selalu berganti-ganti, namun kebudayaan adalah
nafasnya, dan kearifan lokal adalah pijakannya.
“…..acara Karang Tumaritis ini harus mengangkat kearifan lokal. Pokoknya temanya yaitu kebudayaan, dan kebudayaan itu luas seperti menyangkut segala aspek mulai dari pengetahuan, adat kebiasan, perilaku, dan lainnya.”
Dari hasil wawancara, Karang Tumaritis harus mengangkat kearifan lokal
yang ada di Yogyakarta. Kearifan lokal yaitu cara, ilmu, pengetahuan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
bermanfaat bagi sekelompok masyarakat di suatu tempat, dan hanya di miliki oleh
kelompok masyarakat tersebut. Kearifan lokal ini juga menyangkut segala aspek yang
ada pada kebudayaan suatu daerah tertentu. Kebudayaan pada kearifan lokal yang
dimaksud adalah kebudayaan Jawa, sebagai kebudayaan aslinya. Kebudayaan seperti
yang diungkapkan oleh Koentjoroningrat yang dikutip oleh Alfian (1985 : 101-102),
yaitu isi kebudayaan manusia sebaiknya menggunakan unsur-unsur kebudayaan
universal yaitu unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik
yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks dan dengan suatu
jaringan hubungan yang luas. Dengan mengambil contoh konsepsi B. Malinowski,
maka dalam semua kebudayaan di dunia ada tujuh buah unsur universal, yaitu bahasa,
sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial,
sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.
Kearifan lokal Yogyakarta menyangkut berbagai produk kebudayaan Jawa di
Yogyakarta. Kebudayaan itu luas, seperti kutipan di atas bahwa unsur-unsurnya
mencakup antara lain bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau
ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Jadi, kearifan
lokal merupakan milik dari masyarakat di lingkungan itu. Tergantung kebudayaan apa
yang menjadi pegangannya
Tema yang diambil untuk dijadikan materi dalam setiap tayangan Karang
Tumaritis yaitu bisa menyangkut tentang kesenian Jawa, kehidupan bermasyarakat
orang-orang pendatang di Yogyakarta, seni modern yang berkaitan dengan kebudayaan
Jawa, informasi tentang teknologi mutakhir yang berperan dalam pengembangan
budaya Jawa, dan lain sebagainya. Berbagai jenis kebudayaan baru, seperti contohnya
yaitu teknologi, ternyata memiliki peran dalam pengembangan budaya Jawa. Tema ini
menjadi sesuatu yang menarik karena pembicaraan tentang kebudayaan Jawa tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
terpaku pada yang lampau-lampau saja, tetapi mampu mengambil sisi positif dari
adanya hasil kebudayaan baru, yang disebut teknologi.
Untuk semakin memperjelas makna kerarifan lokal dalam rangka pelestarian
produk-produk kebudayaan Jawa, maka dari hasil wawancara dengan Bapak Anang,
Penanggung Jawab Humas, 11 November 2010, menyebutkan :
“Pada intinya, acara yang diangkat pada TVRI D. I. Yogyakarta adalah acara yang bisa mengangkat potensi lokal yang ada di sekitar stasiun tersebut. Contohnya seperti Obrolan Angkring, acara ini mengangkat budaya namun bukan budaya Jawa seperti tradisi, hanya sebatas obrolan. Lalu Pangkur Jenggleng benar-benar mengangkat budaya Jawa, seperti halnya Karang Tumaritis yang mengangkat budaya Jawa. Dan Campur Sari pun sebenarnya adalah budaya Jawa juga. Acara-acara yang ada memang harusnya dialokasikan untuk mengangkat potensi lokal.”
Acara-acara yang ada di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta seharusnya
mengangkat kearifan lokal supaya potensi lokal tersebut bisa mendapat tempat dan
terekspos. Hal ini telah sesuai dengan Karang Tumaritis yang diproduksi untuk
mengangkat kearifan lokal sebagai bagian dari pelestarian produk kebudayaan Jawa di
Yogyakarta. Efendi Gazali mengungkapkan tentang televisi publik, salah satunya
yaitu akses publik, Akses publik ini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi
juga menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan
memproduksi program-program lokal dan tokoh-tokoh lokal. TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta telah memproduksi acara yang mengangkat isu-isu lokal melalui Karang
Tumaritis dan acara lainnya. Alokasi ini terlihat dari banyaknya acara yang berbau
kelokalan Yogyakarta.
Kearifan lokal pada televisi sebagai media massa juga seperti yang ditulis
dalam pendapat menurut Wilbur Schramm (Wiryanto, 2000 : 10) yaitu terdiri dari tiga
poin. Komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder.
Komunikasi massa mengdekode lingkungan sekitar, mengawasi kemungkinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek hiburan.
Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang didekode sehingga bisa
mengambil kebijakan terhadap efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta
membantu anggota-anggota masyarakat menikmati kehidupan. Komunikasi massa
juga mengenkode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat
lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota masyarakat.
Komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa termasuk televisi
terdiri dari ketiga proses di atas. Kearifan lokal termasuk fungsi yang diemban oleh
media massa. Karena komunikasi massa mengdekode lingkungan sekitar kemudian
menginterpretasikannya. Dan komunikasi massa juga ikut mengenkode pesan-pesan.
Hal apa yang terjadi di dalam lingkungan sekitar dari media massa tersebut bisa
disebut kearifan lokal. TVRI mengangkat kearifan lokal dengan tujuan agar
mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi persetujuan, efek-efek
hiburan, menjaga kelangsungan interaksi, membantu masyarakat menikmati
kehidupan, memelihara hubungan dengan masyarakat, dan menyampaikan kebudayaan
baru kepada masyarakat.
Hasil wawancara yang memperkuat pernyataan tentang kearifan lokal sebagai
bagian dari proses melestarikan produk kebudayaan Jawa yaitu dengan Mas Altiyanto,
pembawa acara, 16 November 2010 :
“Kalau mau konsekuen kaitannya dengan cita-cita TV publik yang mencerdaskan pemirsa, maka TVRI Yogyakarta yang ada di Yogya ini terutama dengan segmentasi orang Jawa mayoritas, harusnya tidak hanya membahas tentang Jawa yang lampau-lampau saja. Akan tetapi, lebih baik mengomongkan tentang kekinian dengan perspektif budaya-budaya Jawa.”
Kearifan lokal tersebut merupakan potensi yang terkandung dalam kekayaan
yang dimiliki Yogyakarta. Di Yogyakarta yang disebut sebagai kearifan lokal adalah
juga termasuk kebudayaan yang ada di Yogyakarta saat ini. Jadi, kebudayaan Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
sifatnya luas, bahkan mencakup ruang dan waktu. Hari Poerwanto (2008 : 60)
mengutip dari Leslie White bahwa :
“…..Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas. Berdasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka jelaslah kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia; baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya.”
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, namun dia bisa mengikuti
perubahan sesuai dengan keperluan jaman. Kebudayaan adalah sesuatu yang
digunakan manusia untuk memenuhi dan menjalani hidupnya. Termasuk kebudayaan
Jawa yang menjadi pegangan untuk orang Jawa. Karang Tumaritis adalah acara yang
mengangkat kearifan lokal sesuai dengan kekinian di Yogyakarta. hal ini terlihat dari
hasil wawancara lainnya dengan Bu Yati Pesek sebagai pembawa acara, 16 November
2010, yaitu :
“Menurut pribadi saya, memang seni budaya kita itu bukan benda mati. Seni budaya kita itu hidup. Kita boleh ikut, tapi jangan sampai hanyut. Kalau sekarang begini, ya oke lah. Misalnya saya sendiri, bila saya masih tetap melawak manggung seperti jaman dulu, maka anak-anak sekarang tidak ada yang suka. Mereka menganggap kuno. Tetapi, kalau saya pelestarian dan pengembangan. Kalau hanya pelestarian saja, saya lapar. Dulu saya melawak wayang orang sudah wah. Pertunjukannya mengambil waktu yang lama, jogednya lama, ngomongnya pun alon-alon. Anak muda sekarang berpikir pertunjukan apa itu. Nah sekarang bagaimana membuat pertunjukan menjadi singkat dan mudah diterima. Apalagi pakai bahasa kawi, anak muda pasti bilang pertunjukan apa itu. Tetapi, saya punya keinginan anak muda kenal dulu. Kalau sudah kenal mereka bisa jadi sayang. Kalau tidak kenal tidak sayang. Kami sebagai seniman, di samping pelestarian ada juga perkembangan….”
Dengan melihat kutipan dari Bu Yati Pesek sebagai seniman, mereka adalah
bagian dari pihak yang selalu mempelopori pelestarian kebudayaan Jawa. Bahkan
beliau juga berpendapat bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang tumbuh. Mereka juga
melakukan pengembangan kebudayaan. Karena setiap jaman akan selalu berubah,
seperti pendapat Bu Yati bahwa pengembangan ini bisa muncul karena keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
sekarang yang berbeda dengan dulu. Namun, tentunya pengembangan ini sesuai
dengan esensi dari kebudayaan Jawa.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Edi Sedyawati (280
: 290) yaitu pada dasarnya setiap kebudayaan, sebagai milik suatu masyarakat, dalam
intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan.
Kebudayaan sebenarnya tidak pernah statis atau stagnant, namun sebaliknya meski
dapat terjadi perubahan dan perkembangan di dalam kebudayaan, jati diri suatu
kebudayaan dapat lestari. Artinya, lestari yang dinamis, yaitu ciri-ciri pengenalnya
secara keseluruhan tetap dimiliki meski bentuk-bentuk ungkapan di dalamnya (konsep,
tata tindakan, benda-benda-benda budaya) dapat mengalami perubahan.
Kebudayaan Jawa telah mengalami perkembangan ataupun perubahan.
Walaupun begitu, ciri-ciri yang terdapat dalam kebudayaan Jawa masih ada dan bisa
dikenali. Hanya saja perkembangan itu terjadi secara alami. Bahkan semua
kebudayaan yang ada di dunia ini pasti mengalami perkembangan. Hal ini sebaiknya
diantisipasi dengan arah perkembangan yang baik karena eksistensi sebuah
kebudayaan tergantung pada pemiliknya.
Untuk usaha melestarikan kebudayaan Jawa, televisi mampu membantu usaha
tersebut. Dengan dibuatnya acara yang melestarikan kebudayaan Jawa dan
mengangkat kearifan lokal di Yogyakarta maka masyarakat bisa mendapatkan
informasi tentang budayanya sendiri. Dan kebudayaan yang telah berkembang sesuai
dengan kekininan di Yogyakarta itu telah diangkat menjadi Karang Tumaritis. Hasil
wawancara dengan Bapak RM. Kristiadi sebagai desain program, 16 November 2010
yaitu :
“....Supaya punya esensi, maka dialog bahasa Jawa juga banyak menggunakan kata-kata serapan bahasa Indonesia. Sebetulnya tidak menggunakan bahasa Jawa yang membebani, karena tidak adil bila hanya bahasa Indonesia boleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
menggunakan kata-kata serapan. Masak bahasa Jawa tidak boleh memakai kata-kata serapan. Sebetulnya apabila bahasa Jawa boleh memakai kata-kata serapan, maka bahasa Jawa menjadi sangat indah dan fleksibel. Dan saya tidak setuju bila hal tersebut lalu merusak bahasa Jawa. Karang Tumaritis adalah milik orang Jawa, tetapi tamunya bisa datang dari mana-mana. Harusnya tayangan televisi bisa mencerdaskan masyarakat, maka Karang Tumaritis sebisa mungkin untuk selalu ganti-ganti tema dan narasumber. Supaya Karang Tumaritis menjadi semakin baik, narasumbernya ganti-ganti. Ketika narasumber berbicara tentang kebudayaan, itulah kecerdasan. Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang mau berpikir.”
Perkembangan itu terlihat dari penggunaan kata-kata serapan dari bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang juga digunakan di Yogyakarta sehari-hari. Di mana
pun di Indonesia, bahasa persatuan ini telah digunakan oleh orang Indonesia. Bahkan
tak dapat dipungkiri jika orang Jawa juga berbicara bahasa Indonesia. Ketika bahasa
Jawa memakai kata serapan dari bahasa Indonesia, ini berarti perkembangan
kebudayaaan telah terjadi. Kebudayan Jawa yang seperti inilah merupakan kebudayaan
di mana kita hidup saat ini.
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Koentjoroningrat yang dikutip
Alfian (1985 : 109) yaitu Poerbatjaraka menyampaikan bahwa kebudayaan baru
Indonesia harus berakar pada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-
Indonesia. Hal itu berarti bahwa kebudayaan Indonesia seharusnya berakar pada
kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Demikian pula dengan kebudayaan Jawa
yang boleh mengambil esensi dari kebudayaan nasional kita, yaitu bahasa Indonesia.
Dari pernyataan di atas telah dijelaskan bahwa kebudayaan nasional berpangkal pada
kebudayaan daerah. Jadi, Karang Tumaritis adalah acara yang juga mengambil kata-
kata serapan untuk semakin mencerminkan bahwa kebudayaan Jawa di Yogyakarta
saat ini menjadi sangat berwarna. Kebudayaan bangsa Indonesia maupun kebudayaan
Jawa merupakan dua kebudayaan yang saling mempengaruhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Sebagai acara di televisi, maka Karang Tumaritis juga di-setting sedemikian
rupa sehingga pemirsa mampu menangkap dengan mudah. Bapak RM. Kristiadi
sebagai desain program berpendapat dalam wawancara yang dilaksanakan pada 16
November 2010 yaitu :
“Kadang-kadang membuat acara televisi tidak seperti buku yang harus satu titik. Seperti misalnya tentang drama tari di Yogyakarta, lalu kita memasukkan unsur tentang Idul Adha atau Merapi, itu tidak masalah bagi saya. TV tidak sama dengan buku, buku bisa mengupas secara detail, namun karena TV dibatasi oleh waktu, maka lebih baik sedikit namun diulang-ulang dari pada banyak tapi mendalam.”
Dari kutipan itu, pada dasarnya acara di televisi lebih baik sedikit namun
diulang-ulang. Hal yang sama juga dikatakan oleh pembawa acara Karang Tumaritis,
Mas Altiyanto, 16 November 2010 :
“Ketika berbicara tentang televisi, dimana TV itu berkaitan dengan durasi, daya tangkap informasi, maka alangkah baiknya bila pesan yang disampaikan diulang-ulang supaya pemirsa paham….”
Teori tentang televisi dijelaskan oleh Riswandi (2009 : 5-6) bahwa beberapa
karakteristik televisi yaitu diantaranya adalah berpikir dalam gambar, ada dua tahap
pada poin ini. Pertama, visualisasi, menterjemahkan kata-kata yang mengandung
gagasan yang menjadi gambar-gambar. Kedua, penggambaran, yakni kegiatan
merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya
mengandung makna tertentu. Televisi adalah media massa yang memiliki
keterbatasan. Tetapi, keterbatasan itu bisa diantisipasi, yaitu dengan lebih baik
pesannya diulang-ulang agar pemirsa mengerti.
Hal ini juga sesuai dengan pengertian komunikasi massa dari Werner J.
Severin dan James W. Tankard Jr (Onong Uchjana Effendy, 1993 : 13-14) yang
mengatakan :
”Mass comunication is a part of skill, part art, and part science. It is skill in the sense that it envolves certain fundamental learnable techniques such
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is art in the sense that it envolves creative challeges such as writing a script for a a television program, developing an aesthetic layout for a magazine ad or coming up with a catchy lead for a news story. It is a science in the sense that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied and used to make things work better”.
(Komunikasi massa sebagian adalah keterampilam, bagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian tantangan-tantangan kretif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik).”
Acara Karang Tumaritis di televisi merupakan bagian dari ketrampilan, seni,
dan ilmu. Untuk memproduksinya membutuhkan ketrampilan dalam memfokuskan
kamera, mengoperasikan perekam pita atau mencatat ketika wawancara. Seni di sini
dimaksud ketika menulis skrip untuk Karang Tumaritis membutuhkan seni supaya
lebih menarik untuk ditonton. Kemudian ia adalah ilmu untuk membuat komunikasi
bisa dikembangkan dan dipergunakan sehingga berbagai hal bisa menjadi lebih baik.
Pada hal ini, Karang Tumaritis sebagai acara di televisi berhubungan dengan
ketrampilan, seni, dan ilmu. Yaitu bagaimana ketiga hal tersebut digabungkan
sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk Karang Tumaritis. Perpaduan
ketiga unsur itu akan menjadikan Karang Tumaritis menjadi sebuah program yang
layak untuk ditonton. Karena ketrampilan, seni, dan ilmu menjadi sebuah formula
untuk menjadikan kebudayaan Jawa menarik untuk disaksikan oleh pemirsa.
Karang Tumaritis merupakan acara yang berperan dalam melestarikan produk
kebudayaan Jawa di Yogyakarta saat ini. Segala potensi yang terkandung di
Yogyakarta diangkat ke dalam materi acara. Potensi lokal ini termasuk kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Jawa di Yogyakarta. Dari tema-tema yang dilebur menjadi Karang Tumaritis berisi
informasi yang mencerdaskan dan membuka wawasan masyarakat Yogyakarta tentang
kearifan lokal yang mereka miliki. Sebuah program acara di televisi bisa memberikan
peran yang besar terhadap tereksposnya kearifan lokal yang bermanfaat untuk
kehidupan masyarakat. Kearifan lokal itu juga termasuk dalam pelestarian berbagai
produk kebudayaan Jawa, sehingga dengan mengangkat kearifan lokal maka produk-
produk kebudayaan Jawa juga ikut terlestarikan.
4. Sarana Dialog Interaktif Melalui Televisi Yang Mencerdaskan Audien Untuk
Bidang Budaya
Media televisi merupakan media massa yang bersifat audio visual, yaitu bisa
didengar dan dilihat. Maka, hal ini bisa menjadi sebuah kelebihan dibandingkan
dengan media massa lainnya. Dengan adanya kelebihan ini, televisi mampu membuat
sarana untuk melakukan dialog interaktif. Meskipun radio juga bisa melakukannya,
akan tetapi televisi lebih memungkinkan untuk mengadakan dialog interaktif dengan
pemirsanya.
Karang Tumaritis merupakan sebuah acara yang menggunakan dialog
interaktif. Dengan membuka line telepon, maka penelpon bisa berdialog dengan
narasumber maupun pembawa acara di studio. Inilah kelebihan dari televisi karena
dukungan teknologi yang lebih rumit dari pada jenis media massa lainnya. Ini juga
merupakan komunikasi bermedia (mediated communication) yaitu menurut Suranto
Aw (2010 : 14) adalah komunikasi dengan menggunakan media seperti telepon, surat,
radio, dan sebagainya. Karang Tumaritis menggunakan media seperti televisi dan
telepon. Dialog melalui telepon yang kemudian dimunculkan ke dalam televisi saat
live (on air), akan menambah rasa berinteraksi di dalam sebuah proses komunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Menurut Bu Iwung, produser Karang Tumaritis, dalam wawancara 3
November 2010 tentang live interaktif Karang Tumaritis yaitu :
“Supaya ada interaksi. Jadi kami tidak merasa benar sendiri. Orang lain yang menonton juga bisa berpendapat melalui acara ini.” Kemudian, pernyataan itu diperkuat juga dengan hasil wawancara dengan
Bapak RM. Kristiadi, desain program, mengenai live interaktif tersebut pada 16
November 2010 adalah :
“Live mampu membuat interaksi yang lebih hangat, sebab adanya multiplying effect lebih terasa. Misalnya ada narasumber dari kampung ini, maka tentu saja penduduk dari kampung tersebut ikut menonton, itulah multiplying effect. Narasumber itu akan memberikan multiplying effect pada tempat tinggalnya. Bahkan, pernah ada penelpon yang kami jadikan narasumber langsung. Jadi, narasumbernya tidak melulu harus akademisi.”
Wawancara lainnya dengan Mas Altiyanto, pembawa acara Karang Tumaritis,
16 November 2010 tentang Karang Tumaritis yaitu :
“Merupakan program dari TVRI D.I Yogyakarta yang spesifik, yaitu formatnya talkshow atau dialog tetapi berbeda dengan dialog-dialog lain, Karang Tumaritis sifatnya sangat “cair” dan intim, sehingga antara pembawa acara, narasumber dan tema dengan pemirsa menjadi bagian dekat baik secara situasional maupun persolan publik….”
Dari hasil ketiga wawancara di atas maka Karang Tumaritis adalah acara yang
live dan bersifat interaktif antara narasumber, pembawa acara, dan penelpon. Hal ini
dilakukan karena supaya ada masukan-masukan, sehingga pihak pembuat program
acara Karang Tumaritis (TVRI) merasa benar. Akan tetapi, mereka juga
menginginkan adanya suara dari pemirsa melalui telepon. Selain itu, menurut Bapak
RM. Kristiadi, live interaktif mampu membuat rasa yang lebih hangat di antara
komunikator dan komunikan. Hal yang sama pula diungkapkan oleh Mas Altiyanto
yang mengutarakan pendapat tentang Karang Tumaritis yang sifatnya menjadi dekat
dan terasa berbeda dengan dialog-dialog lain di media massa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Hal tersebut di atas sesuai dengan teori yang menjelaskan tentang arti
komunikasi itu sendiri. Seperti yang dikutip dari Suranto Aw (2010 : 2), kata
komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya memberitahukan.
Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris communication yang
artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan lain-lain
antara dua orang atau lebih. Secara sederhana dapat dikemukakan pengertian
komunikasi, ialah proses pengiriman pesan atau simbol-simbol yang mengandung arti
dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang penerima atau komunikan
dengan tujuan tertentu.
Dari pengertian di atas, maka Karang Tumaritis merupakan sarana
berkomunikasi (dialog interaktif) antara narasumber, pembawa acara, dan penelpon.
Petukaran informasi, konsep, ide, gagasan, persaan, dan lain-lain ini terjadi antara
pihak komunikator dengan pihak komunikan. Proses pengiriman pesan dari TVRI
mengandung pesan tentang kebudayaan Jawa dan tujuan tertentunya adalah supaya
pemirsa mengerti akan kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Komunikasi interaktif
seperti ini di media massa akan membuat kedekatan antara komunikator dan
komunikan.
Sebagai seorang pembawa acara yang mengendalikan materi poin-poin
pertanyaan di Karang Tumaritis, maka Mas Altiyanto pada wawancara tanggal 16
November 2010 menjelaskan :
“Iya, saya lebih berfungsi menjadi pengendali tema. Ketika sifatnya obrolan yang ringan sifatnya, maka kalau ngobrol bisa sampai out of context. Supaya pada program televisi ketika berdialog tidak keluar jalur atau out of context, lebih berperan seperti itu. Ini kan bukan ada pertanyaan yang kemudian narasumber lalu membuat pemaparan panjang. Tetapi, pertanyaan menjadi sebuah obrolan, maka obrolan ada yang sifatnya interaksi, responsif, dan ada juga yang improvisasi.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Diketahui dari hasil wawancara di atas bahwa Karang Tumaritis mempunyai
pijakan berpikir yang dituangkan ke dalam poin-poin pertanyaan untuk narasumber.
Namun, sesuai dengan perkembangannya, maka pembawa acara yang mengerti akan
kebudayaan Jawa, yaitu Mas Altiyanto membuat dialog yang Karang Tumaritis
menjadi enak dan tidak keluar dari jalur yang ditetapkan oleh produser. Di sini dapat
terlihat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada narasumber tidak
menjadi sebuah pemaparan biasa, namun menjadi sebuah obrolan yang interaktif,
responsif, dan kadang juga improvisasi.
Karang Tumaritis menjadi enak untuk ditonton, karena sebagai pemirsa, tidak
hanya akan disuguhi oleh dialog panjang tertang kebudayaan Jawa yang terkesan
membosankan. Akan tetapi, pemirsa bisa melihat sebuah dialog atau obrolan yang cair
dan hangat. Selain itu, pemirsa yang berniat ingin ikut ke dalam suasana dialog
tersebut bisa menelpon ke studio lalu disambungkan ke narasumber dan pembawa
acara. Dialog interaktif memberikan kesan bahwa suara dari pemirsa juga didengar
dan dihargai, sehingga sebagai program acara, Karang Tumaritis bisa memberikan
kontribusi melalui sarana interaktif ini.
Hasil wawancara dengan pembawa acara Karang Tumaritis, Bu Yati Pesek,
16 November 2010 adalah :
“Sepertinya bahasa Jawa yang keliatannya mulai tersisih, saya kurang tahu juga bagaimana. Namun, dengan adanya Karang Tumaritis masyarakat menjadi antusias menonton Karang Tumaritis, salah satunya dengan penelpon yang berusaha untuk menyampaikan pendapatnya atau pertanyaan. Bahkan penelpon sampai ada banyak yang masuk.”
Menurut Bu Yati Pesek sendiri, pemirsa antusias dengan adanya Karang
Tumaritis. Dengan banyaknya telepon masuk ke TVRI, maka bisa dipastikan
masyarakat masih suka bahkan antusias untuk menyalurkan suara mereka. Dalam hal
ini adalah kebudayaan Jawa, ternyata masih banyak pihak yang suka memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kontribusinya untuk menyuarakan pendapat, informasi, maupun saran mereka melalui
telepon. Untuk kalangan lokal Yogyakarta sendiri, dengan adanya penelpon yang
selalu antri untuk masuk berdialog dengan narasumber ataupun pembawa acara, maka
dapat dipastikan bahwa Karang Tumaritis disukai.
Menurut hasil pengamatan yang didapatkan oleh peneliti selama di ruang
telepon interaksi, yaitu ada telepon masuk namun waktunya sudah habis. Dari sini
terlihat pemirsa yang ingin berpartisipasi untuk Karang Tumaritis juga banyak.
Mereka rela membayar biaya telepon lebih untuk bisa memberikan suara melalui
interaktif. Penelpon bahkan tidak hanya datang dari Yogyakarta saja, tetapi dari
Magelang, Solo, Boyolali juga sering masuk.
Namun, apa pun bentuk suara dari penelpon, tentunya untuk ukuran pemirsa
juga tidak hanya melalui telepon yang masuk. Mungkin ada banyak kalangan yang
suka menonton Karang Tumaritis namun mereka tidak telepon. Kemungkinan seperti
itu bisa saja muncul, mengingat siaran televisi mampu menjangkau banyak orang
secara bersama-sama. Hasil wawancara dengan Bu Iwung, produser Karang
Tumaritis, 3 November 2010 adalah sebagai berikut :
“Namanya juga interaktif, jadi ada banyak respon juga dari masyarakat. Respon yang diterima biasanya karena mereka suka akan acara ini. Tentunya yang tidak suka mungkin diam saja. Sepertinya mereka merasa ini adalah sesuatu yang baik. Ada juga yang saran, kritik, pendapat, dan bertanya. Kan ini namanya dialog. Jadi, ada yang pernah berkata, jangan ngomong seperti ini, tetapi sebaiknya seperti itu.”
Kemudian pendapat yang serupa dengan Bu Iwung juga disampaikan oleh
Bapak RM. Kristiadi pada wawancara 16 November 2010 :
“Macam-macam, pertanyaan seperti itu, bagi saya itu tidak penting. Karena ketika dia telepon, berati mereka cerdas. Masyarakat perlu diberikan “gesekan” untuk menjadi cerdas. Contohnya yaitu Yogya Java Carnival dengan dana sekitar 2 Milyar memberikan dampak luar bisasa untuk mencerdaskan masyarakat. Dibandingkan secara ekstrem dengan lokalisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Keduanya sama-sama memiliki dampak untuk masyarakat, tetapi berbeda sekali. Lokalisasi jelas sangat profit untuk pajak daerah, mampu menyumbang banyak untuk pemasukan daerah. Di sini pemerintah untung, namun masyarakatnya rugi dengan adanya lokalisasi. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah, ingin pajak daerah tinggi tetapi menghancurkan masyarakat maka silahkan buka lokalisasi. Di Bali, pemerintah membuka tempat wisata tetapi tiket masuknya murah, tempat wisata tidak untung tidak masalah, namun masyarakatnya bisa hidup. Seperti halnya dengan Karang Tumaritis, bila ingin untung maka diganti saja dengan acara-acara hiburan.”
Dari dua hasil wawancara tersebut di atas, dapat dilihat bahwa Karang
Tumaritis merupakan dialog interaktif. Masyarakat bisa menyalurkan aspirasinya,
karena mereka juga mempunyai hak untuk berbicara. Untuk soal kebudayaan Jawa
tentunya akan menjadi persoalan yang menarik untuk dibicarakan, mengingat
eksistensinya sekarang.
Menurut pemirsa Karang Tumaritis, Bu Anna Amrih Rahayu, hasil
wawancara 23 November 2010, Karang Tumaritis mempunyai kelebihan yaitu :
“Sebenarnya saya sering nonton, sering tidak. Kalau kemarin yang tentang wayang, saya suka lalu nonton. Permasalahan yang diangkat adalah budaya, baik sekali. Namun, untuk saya pribadi, Karang Tumaritis tergantung tema yang diambil. Selain itu, adanya telepon interaktif sehingga bisa masuk ke line di TVRI dan menyampaikan pendapat.”
Dari pernyataan di atas telah terlihat bahwa dengan adanya telepon interaktif
berarti feed back dari pemirsa terlihat sedikit. Hal tersebut sesuai dengan poin
pernyataan dari Onong Uchjana Effendy (2004 : 51-55) yaitu sifat efek, efek
komunikasi yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan komunikasi yang
dilakukan oleh komunikator. Komunikator atau Karang Tumaritis berusaha
menginformasikan kebudayaan Jawa. Jadi, efek dari komunikasi ini adalah kesadaran
yang nantinya akan timbul pada masyarakat tentang kebudayaan Jawa.
Efek yang timbul nantinya yaitu efek kognitif yang berhubungan dengan
kebudayaan Jawa. Efek ini berupa efek positif yang bertujuan untuk memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
informasi kepada masyarakat supaya mengerti akan kebudayaan Jawa. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari sebuah teori dari Harold Lasswell. Model ini berupa ungkapan
: Who says what in which channel to whom with what effect atau siapa berkata apa
melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa (Morissan, 2008 : 16). Di sini
komunikator membawa pesan melalui media kepada penerima dengan efek tertentu.
Dalam ungkapan who says what in which channel to whom with what effect
maka akan menjadi Karang Tumaritis menginformasikan kebudayaan Jawa melalui
siaran televisi kepada khalayak di daerah Yogyakarta dengan efek seperti apa. Maka
efek yang diharapkan adalah kesadaran akan pentingnya kebudayaan Jawa di
kehidupan masyarakat Yogyakarta. Acara Karang Tumaritis, dengan menggunakan
telepon interaktif, maka umpan balik yang terjadi bisa saja langsung. Namun,
sebenarnya untuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari memerlukan waktu yang
agak melambat, karena pelestarian kebudayaan adalah sebuah proses.
Umpan balik yang terjadi pada Karang Tumaritis yaitu bisa diketahui dari
penelpon. Pada setiap acara ini ditayangkan, maka paling tidak ada beberapa orang
yang menelpon ke studio. Dari hasil pengamatan inilah, maka umpan balik Karang
Tumaritis dilihat dari representative-nya. Dari sekian banyak pemirsa Karang
Tumaritis yang tersebar di seluruh wilayah DIY dan sekitarnya, maka beberapa orang
yang menelpon tersebut menjadi wakil dari semua pemirsa. Pertanyaan, saran, dan
juga kritikan dari wakil inilah yang langsung bisa diterima oleh Karang Tumaritis.
Hal tersebut sama dengan pernyataan tentang representative feedback dari
Elvinaro, dkk yaitu : untuk karakteristik komunikasi massa yang komunikannya
bersifat heterogen, maka tidak mudah untuk mengukur umpan balik yang datang dari
semua komunikan. Karena itu, umpan balik yang datang biasanya merupakan
representative (wakil) sampel, sehingga walaupun yang ditanggapi hanya satu atau dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
komunikan, namun hal tersebut sudah dianggap dapat mewakili seumlah komunikan
yang lainnya (Elvinaro, dkk, 2007 : 47).
Dengan adanya telepon interaktif, maka Karang Tumaritis menjadi lebih
dari sekedar acara yang membahas kebudayaan. Telepon interaktif ini walaupun
masih sederhana atau kurang modern di bandingkan dengan televisi swasta, namun
untuk Karang Tumaritis sekiranya cukup untuk mengutarakan pendapat dari penelpon.
Antusias pemirsa di rumah ketika line telepon dibuka terjadi di studio. Karena untuk
tema-tema tertentu yang dipandang menarik oleh pemirsa, biasanya penelpon akan
melebihi target.
Kejadian ini sama seperti pengamatan yang dilakukan oleh penulis saat
minggu ketiga bulan November 2010 di studio bahwa ada satu penelpon yang terpaksa
ditolak karena waktu tayang Karang Tumaritis sudah habis. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa telepon interaktif adalah wadah untuk menyalurkan pendapat dan
sifatnya akan menyempurnakan dari acara tersebut. Pemirsa diajak untuk memberikan
masukan dan jadilah sebuah dialog yang mempunyai kesan tidak hanya sekedar
menggurui saja. Apalagi, Karang Tumaritis adalah acara kebudayaan Jawa yang tentu
saja melibatkan semua lapisan masyarakat baik Jawa di Yogyakarta maupun di
sekitarnya.
Hal mengenai telepon interaktif adalah sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Edi Sedyawati dalam bukunya Keindonesiaan Dalam Budaya (2008
: 41-42) yaitu arah pemecahan yang harus dicari adalah untuk menanggulangi dua
persoalan itu : yaitu pertama, ketidakseimbangan informasi dari negara luar yang kuat
dari negara kita sendiri, dan kedua, kedudukan penonton televisi sebagai pihak pasif
menerima siaran. Untuk persoalan pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan
produksi industria budaya audio-visual dalam negeri yang memuat pula nilai-nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
budaya bangsa yang luhur, dan bukan justru mengambil alih nilai-nilai asing yang
tidak luhur tetapi mengenakkan. Peningkatan produksi memerlukan suatu pengerahan
modal, serta juga dan inilah yang justru sangat menentukan mutu, peningkatan tenaga-
tenaga ahli dan sarana untuk itu….. Adapun untuk menjawab persoalan kedua ada dua
jalan yang perlu ditempuh, yaitu pertama, mendayagunakan media, atau kemasan
media yang lebih bersifat interaktif, dan kedua, menyelenggarakan lebih banyak
kegiatan yang bersifat tatap muka, yang lebih memungkinkan pergaulan antara
manusia yang hangat dan menumbuhkan kepekaan untuk saling mengerti.
Dari pernyataan di atas, maka benar bila Karang Tumaritis bukan hanya
menjadi sekedar penyampai kebudayaan saja. Akan tetapi, acara ini juga mampu
membuka kesempatan untuk masyarakat (pemirsa) yang ingin mengajukan pendapat
melalui telepon interaktif saat on air. Karang Tumaritis adalah sarana untuk
menumbuhkan rasa persamaan untuk bicara tentang kebudayaan Jawa. Hal seperti
inilah yang dirasa perlu untuk dilakukan, agar media massa juga menampung atau
mendengar kata-kata dari pemirsa. Media massa yang bersifat interakif lebih bisa
memberikan efek yang mendalam untuk pemirsa maupun narasumber agar mereka
juga tahu bagaimana pendapat masyarakat tentang kebudayaan Jawa.
5. Sarana Sosialisasi Program-program Pelestarian Kebudayaan Jawa di Yogyakarta
Sebagai media massa, tentunya televisi tidak lepas dari perannya untuk
mensosialisasikan sesuatu. Dalam masalah ini, sosialisasi yang dimaksud yaitu
program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Melalui salah satu
acaranya, TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta menjadi sarana sosialisasi program-program
yang berasal dari pihak-pihak seperti dinas atau pemerintah. Bentuk kerja sama ini
sudah berlangsung sejak lama, mengingat adanya kesamaan pandangan terhadap suatu
masalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Karang Tumaritis menjadi salah satu acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta
yang menjalin kerja sama dengan pihak di luar TVRI. Dengan adanya kesamaan
komitmen, Karang Tumaritis bisa menjadi sarana sosialisasi ke masyarakat luas bagi
pihak tersebut. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan produser
Karang Tumaritis, Bu Iwung, 3 November 2010 :
“Paling-paling kami hanya mengkomunikasikan komitmen-komitmen itu dengan lembaga lain. Bagi yang mempunyai komitmen yang sama kita bisa bekerja sama.”
Selain dari hasil wawancara dengan Bu Iwung, ada juga pernyataan yang
memperkuat dari Bapak Anang, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta, 11 November 2010 :
“Untuk acara seperti Karang Tumaritis maupun yang mengangkat kebudayaan lokal yang lebih tertarik mengisi adalah dari kalangan dinas. Walaupun sebenarnya Karang Tumaritis bisa dimasuki oleh kalangan manapun. Biasanya ini karena kepentingan dari pihak dinas tertentu juga. Mungkin Dinas Pariwisata yang akan mengisi Karang Tumaritis bisa merangkul pihak lain yang ada dalam satu komunitas dengannya. Dinas Pariwisata yang mengisi pastinya akan mengajak dinas-dinas kepariwisataan lain untuk menonton penampilan mereka ini. Hal ini bisa jadi Karang Tumaritis lalu ditonton oleh kalangan tersebut. Selain itu, Karang Tumaritis sifatnya tema. Jadi, para penonton yang suka biasanya tergantung oleh cocoknya tema.”
Pelestarian kebudayaan tidak hanya menjadi tugas media massa saja. Namun,
berbagai pihak harus bekerja sama dalam proses pelestarian kebudayaan. TVRI perlu
adanya kerja sama dengan pihak pelestari kebudayaan lainnya supaya terjalin
hubungan untuk saling bertukar pikiran. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa
bentuk kerja sama bisa saling menguntungkan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Edi Sedyawati (2008 : 203) tentang pembinaan kebudayaan. Tugas pembinaan
kebudayaan yang diemban oleh berbagai pihak dalam masyarakat dapat
dikelompokkan ke dalam usaha-usaha yang menurut sifatnya dapat dibagi ke dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
lima kelompok, yaitu:
a. Pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran
b. Penggalian dan pengkajian
c. Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya
d. Perangsangan inovasi dan kreasi
e. Perumusan nilai-nilai ideal bangsa dan sosialisasinya
Tujuan-tujuan besar seperti di atas dirumuskan sebagai “memperkukuh jati
diri budaya bangsa”, “memperkuat ketahanan budaya bangsa”, “melestarikan warisan
budaya bangsa”, “meningkatkan kesadaran budaya”, “meningkatkan kesadaran
sejarah”, serta “memperlancar dialog budaya”, pada dasarnya adalah tujuan-tujuan
payung yang harus dijabarkan ke dalam berbagai program kegiatan.
Karang Tumaritis termasuk ke dalam pengemasan informasi budaya dan
penyebarluasannya. Melalui televisi, informasi budaya bisa dikemas secara menarik
dan kreatif dan dilakukan penyebarannya. Tujuannya adalah untuk memperkukuh jati
diri budaya bangsa, memperkuat ketahanan budaya bangsa, melestarikan warisan
budaya bangsa, meningkatkan kesadaran budaya, meningkatkan kesadaran sejarah,
serta memperlancar dialog budaya. Dengan terjaganya kebudayaan asli Indonesia
yang sesuai dengan nilai luhur bangsa maka, bangsa ini tidak rapuh dalam menghadapi
globalisasi. Kebudayaan Indonesia seharusnya berakar pada kebudayaan asli daerah di
NKRI.
Dalam masalah pengembangan kebudayaan, Karang Tumaritis ikut
melestarikan sekaligus mengembangkan kebudayaan Jawa. Dengan adanya sosialisasi
program-program yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, maka Karang
Tumaritis telah memberikan tempat kepada pihak-pihak yang ingin mengembangkan
sekaligus melestarikan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Astrid S.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Susanto-Sunario (1995 : 151) tentang pengembangan kebudayaan daerah yang
merupakan akar dari kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah tidak ditiadakan demi
pengembangan kebudayaan itu sendiri, tetapi selalu dalam rangka pengembangan
budaya nasional. Komunikasi merupakan alat dan wahana penyampaian
kemungkinan-kemungkinan perkembangan kebudayaan dalam arti luas, yaitu
mencakup seluruh kehidupan masyarakat di daerah-daerah sebagai bagian tak
terpisahkan dari kebudayaan nasional.
Menurut pendapat dari Astrid S. Susanto-Sunario di atas, bahwa kebudayaan
nasional mencakup kebudayaan daerah-daerah di Indonesia. Komunikasi menjadi alat
dan wahana untuk menyampaikannya. Karang Tumaritis menjadi alat pelestari dan
pengembang kebudayaan Jawa, selain itu ia juga menjadi sebuah wahana untuk
mengkomunikasikan perkembangan kebudayaan. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta,
Karang Tumaritis menjadi alat penyampai perkembangan kebudayaan Jawa di masa
sekarang yang sesuai dengan kehidupan masyarakat di Yogyakarta sendiri.
Untuk mencapai tujuan itu, maka digunakan media massa sebagai salah satu
alat komunikasi. Televisi menjadi sebuah medium yang baik untuk mensosialisasikan
sesuatu kepada khalayak luas. Karena televisi memiliki kelebihan dibandingkan
dengan media massa lainnya. Sesuai dengan pernyataan dari Onong Uchjana Effendy
(2004 : 51-55) tentang ciri-ciri televisi yakni :
a. Sifat komunikan
Komunikasi massa ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya relatif besar,
heterogen, dan anonim. Sifat komunikan di sini yaitu karena siaran televisi ditujukan
kepada khalayak yang jumlahnya relatif besar, heterogen, dan anonim. Acara Karang
Tumaritis ditujukan untuk khalayak yang mampu menangkap siaran TVRI Stasiun D.
I. Yogyakarta, yang diperkirakan besar jumlahnya. Apalagi sejak adanya tower baru di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Gunung Kidul yang membuat siaran TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta mampu
menjangkau daerah yang lebih luas dari pada sebelumnya. Khalayak yang dituju juga
heterogen, dalam artian tidak peduli apakah dia orang kaya, miskin, laki-laki,
perempuan, pejabat atau bukan, dan lainnya. Dan tentunya khalayak yang dituju juga
tidak dikenal, mereka adalah orang-orang yang di wilayah tersebut yang mampu
menerima siaran.
b. Sifat media massa
Serempak cepat, yaitu keserempakan kontak antara komunikator dengan
komunikan yang jumlahnya besar. Media massa bersifat cepat (rapid), dalam artian
memungkinkan pesan yang disampaikan kepada banyak orang dengan waktu yang
cepat. Karena sifatnya yang cepat (keserempakan kontak antara komunikator dan
komunikan) yang jumlahnya besar, maka Karang Tumaritis bisa langsung dilihat dari
setiap televisi yang menjadi target area TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Pesan yang
dikirimkan oleh Karang Tumaritis mampu menjangkau cepat audiensnya di daerah
Yogyakarta dan sekitarnya.
c. Sifat pesan
Sifat pesan yang dibawa media massa adalah umum. Karena media massa
adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak, bukan untuk sekelompok
orang saja. Sifat pesan yang dibawa oleh media massa ini adalah umum, bukan untuk
kelompok saja. Karang Tumaritis menyampaikan pesannya kepada masyarakat umum
tentang kebudayaan Jawa. Jadi, pesan ini bukanlah pesan yang hanya dikhususkan
untuk kelompok tertentu saja, melainkan untuk masyarakat luas di sana.
d. Sifat komunikator
Karena media massa adalah sebuah lembaga atau organisasi, maka ia
termasuk komunikator terlembagakan. Media massa memiliki pesan yang dikerjakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
secara kolektif. Sifat komunikator pada televisi merupakan terlembagakan atau berasal
dari sebuah lembaga bukan dari perorangan saja. Karang Tumaritis dari TVRI Stasiun
D. I. Yogyakarta adalah sebuah lembaga yang menyampaikan informasi ke khalayak
secara kolektif. Lembaga inilah dikenal dengan TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta.
e. Sifat efek
Efek komunikasi yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan
komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Sifat efek yang akan timbul yaitu efek
yang sifatnya bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator.
Untuk efek dari Karang Tumaritis adalah efek yang bisa membuat kesadaran akan
pentingnya kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta. Efek ini terjadi dari
informasi yang dibawa melalui Karang Tumaritis.
Sebagai televisi, maka siaran melalui program-programnya sering dikatakan
sebagai wahana pendidikan yang berbeda dengan lembaga edukasi formal. Televisi
adalah sebuah medium yang baik untuk menularkan ilmu dengan sajian yang berbeda
dengan lembaga pendidikan formal. Sekilas televisi dianggap sebagai sarana hiburan
saja, namun dibalik itu, televisi juga mengambil peran sebagai pendidik bagi
pemirsanya. Yang perlu diperhatikan adalah masalah program yang mencerdaskan
atau tidak. Jelas bahwa program yang mencerdaskan bisa mengambil peran dari
lembaga pendidikan formal.
Karang Tumaritis bisa menjadi acara yang menghibur sekaligus
mencerdaskan. Karena isi dari materi yang ada di Karang Tumaritis bukan
sembarangan tema. Hal inilah yang menyebabkan mengapa acara ini patut untuk
dijadikan partner kerja sama. Hasil wawancara dengan Bu Widiastuti, Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai
Budaya, 30 November 2010 adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
“Cukup besar, karena memang proses edukasi seperti ini harus selalu dilakukan. Program-program seperti ini harus ada, dan menurut saya TVRI telah konsisten dengan tema khusus terhadap kebudayaan. Jadi ini menurut saya cukup relevan acara ini.”
Menurut hasil wawancara yang didapatkan, terlihat bahwa TVRI menurut dari
kalangan dinas seperti Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta telah menunjukkan
eksistensinya dengan membuat program seperti Karang Tumaritis. Program seperti
Karang Tumaritis dianggap menarik karena bertema kebudayaan dan memiliki
komitmen dalam proses edukasi. Karang Tumaritis menjadi acara yang baik karena
bisa mencerdaskan audien melalui tayangannya.
Kebudayaan Jawa berarti sesuatu milik orang Jawa. Kebudayaan menurut
Hari Poerwanto yaitu (2008 : 51-52) : istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa
Inggris, berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere, yang berarti bercocok tanam
(cultivation). Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal). Sering
kali ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk
“budi-daya”yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Karenanya
ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa.
Untuk menerangkan tentang kebudayaan, maka menurut Koentjaraningrat
(Alfian, 1985 : 100) bisa dilihat dari wujud kebudayaan. Menurut Koentjoroningrat,
wujud kebudayaan paling sedikit memiliki tiga wujud yaitu wujud sebagai kompleks
gagasan, konsep, dan pikiran manusia ; wujud sebagai suatu kompleks aktivitas ; dan
wujud sebagai benda. Kebudayaan Jawa pastinya memiliki wujudnya sendiri yang
membedakan dari kebudayaan lain.
Kebudayaan Jawa adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa dari masyarakat
Jawa. Kebudayaan Jawa adalah yang menjadi tema di Karang Tumaritis. Kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Jawa ini tidak akan mungkin dimiliki oleh masyarakat tanpa adanya proses belajar.
Proses belajar kebudayaan bisa melalui berbagai media, termasuk media massa seperti
televisi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dijelaskan secara lebih lanjut oleh
Koentjaraningrat (Hari Poerwanto, 2008 : 52) yang mendefinisikan kebudayaan
sebagai :…….keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Maka
dari pernyataan dari Koentjoroningrat tersebut bisa diambil titik temu bahwa
kebudayaan tidak bisa langsung dimiliki oleh seseorang tanpa adanya proses belajar
terhadap kebudayaan itu sendiri. Pembelajaran adalah satu-satunya cara untuk
mendapatkan dan meneruskan kebudayaan dari generasi sebelumnya.
Hal yang sama terjadi di Karang Tumaritis. Hasil dari wawancara dengan Bu
Widiastuti menunjukkan tentang perlunya proses edukasi terhadap kebudayaan Jawa
melalui media massa. Apalagi TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta merupakan stasiun
televisi milik pemerintah yang paling mempunyai pengaruh dengan masyarakat di
sana. Proses edukasi seperti pembuatan program kebudayaan di televisi akan menjadi
salah satu sarana untuk belajar tentang kebudayaan Jawa.
Untuk masalah persamaan komitmen dengan lembaga lain, maka Karang
Tumaritis bisa bekerja sama dengan pihak tersebut. Namun, tentunya sebagai sebuah
acara, Karang Tumaritis tetap pada jalur mencerdaskan audien dalam bidang budaya.
Bentuk kerja sama untuk mengenalkan program-program kebudayaan yang dimiliki
oleh suatu lembaga akan menjadikan Karang Tumaritis semakin luas pengalamannya.
Karena dengan semakin menjaring banyak pihak untuk kerja sama, itu berarti proses
edukasi akan dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan mulia sebagai media
edukasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Media massa mempunyai fungsi penting di masyarakat. Karang Tumaritis
sebagai acara yang di televisi tentunya yang paling utama adalah berfungsi dalam
sosialisasi dan hiburan. Hal ini sesuai dengan penyataan dari Dominick (2001) tentang
fungsi media massa. Fungsi-fungsi itu menurut Dominick (2001) terdiri dari
(Elvinaro, dkk, 2007 : 15-18) :
a. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan terdiri dari dua jenis, yaitu peringatan dan instrumental.
Pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang
ancaman angin topan, meletusnya gunung merapi, dan sebagainya. Sedangkan
pengawasan instrumental yaitu penyebaran informasi yang memiliki kegunaan
dalam kehidupan sehari-hari. Isinya bisa tentang produk-produk baru dan harga-
harga saham.
b. Interpretation (Penafsiran)
Fungsi ini mirip dengan pengawasan. Namun, media massa juga memberikan
penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting.
c. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga
membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang
sesuatu.
d. Transmission of Value (Penyebaran Nilai-nilai)
Fungsi ini sering disebut sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada cara, di mana
individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili
gambaran masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa
memperlihatkan kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka.
Di antara semua jenis media massa, televisi sangat berpotensi untuk terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
sosialisasi (penyebaran nilai-nilai).
e. Entertainment (Hiburan)
Televisi adalah media massa yang mengutamakan hiburan. Hampir tiga perempat
bentuk siaran televisi setiap harinya adalah hiburan. Melalui berbagai macam acara
yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang
dikehendakinya.
Untuk Karang Tumaritis, fungsinya di masyarakat yang paling utama menurut
poin yang dibuat oleh Dominick (2001) yaitu poin (penyebaran nilai-nilai)
sosialisasi dan hiburan. Karang Tumaritis menjadi media untuk mensosialisasikan
program-program kebudayaan baik dari pihak yang peduli kebudayaan maupun
pihak yang mengurusi kebudayaan, selain itu ia juga menjadi sarana untuk
menyalurkan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Sedangkan fungsi hiburan pasti
ada dalam acara ini. Karena televisi merupakan sumber hiburan yang paling mudah
untuk diakses.
Hal tersebut juga sesuai dengan tugas yang diemban TVRI selama ini.
Menurut Morissan (2008 : 97-99) adalah Undang-Undang Penyiaran di Indonesia
memberikan tugas kepada TVRI untuk memberikan pelayanan informasi, pendidikan,
hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta melestarikan budaya bangsa untuk
kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi
yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Jadi, terlihat bahwa TVRI harus memberikan pelayanan informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta melestarikan budaya
bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan
penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Jadi, dengan adanya
Karang Tumaritis maka TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta telah memberikan andilnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
untuk melaksanakan tugas tersebut.
C. Kendala Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan Pelestarian
Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta
Kendala yang dihadapi Karang Tumaritis menurut beberapa orang yang
terlibat di dalamnya adalah minim. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa tidak ada
kendala. Sesuatu hal pasti ada kelemahannya, karena tidak ada yang sempurna di
dunia ini. Hal yang sama terjadi pada Karang Tumaritis. Ketika tidak ada persoalan
yang muncul, maka Karang Tumaritis memang tidak berkendala. Akan tetapi, ada
sedikit pernyataan yang ternyata bisa saja membuat Karang Tumaritis tidak menjadi
optimal.
Hasil-hasil wawancara dengan Bu Iwung (produser, 3 November 2010),
Bapak RM. Kristiadi (desain program, 16 November 2010), dan Bu Yati Pesek
(pembawa acara, 16 November 2010) memberikan jawaban tentang tidak adanya
kendala. Hasil wawancara tersebut yaitu :
“Sejauh ini tidak ada. Kami merasa nyaman-nyaman saja. Karena ngalir saja begitu.” (Bu Iwung)
“Tidak ada. Saya tidak pernah berpikir tentang kendala.” (Bapak RM. Kristiadi)
“Kalau bagi saya saat membawakan tidak ada masalah. Saya tidak berpikir ada kendala, kita lalui saja dengan senyum, pasti semua akan beres. Jangan dipikir sesuatu yang sulit sebagai kendala…” (Bu Yati Pesek)
Dari jawaban-jawaban tersebut, memang tidak ada kendala yang berarti.
Sehingga bisa dipastikan memang mereka suka terhadap hal-hal yang ada di Karang
Tumaritis. Bahkan menurut pengamatan penulis, terlihat saat proses produksi Karang
Tumaritis mereka sangat “mengalir”. Dan inilah yang dimaksudkan mengapa selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
ini tidak pernah ada kendala. Mereka tidak mau berpikir dan merasakan kendala,
tetapi adalah bagaimana mereka bisa melalui tugas-tugas ini.
Sedangkan dari hasil wawancara lainnya yang berhasil dihimpun oleh penulis,
ada beberapa pernyataan yang disinyalir sebagai kendala untuk Karang Tumaritis.
Menurut pihak-pihak yang terlibat langsung dalam Karang Tumaritis, memang tidak
ada kendala. Namun, menurut pihak-pihak yang agak tidak bersinggunggan secara
langsung dengan produksi Karang Tumaritis merasa ada sesuatu hal yang bisa
dianggap sebagai kendala untuk Karang Tumaritis.
Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Maryanta, Kepala Seksi
Program, 3 November 2010 yaitu :
“Karena anggaran yang terbatas. Dana kita dari dua sumber, yaitu APBN dan pihak ketiga (sponsorship). Kalau pihak kedua yaitu pengisi acara, secara langsung berhubungan dengan kita. Masalahnya memang dana, biasanya tiap akhir tahun sudah habis. Untuk sponsor, memang dilihat ratingnya, apalagi untuk acara yang marketable. Namun, bila ada pihak yang mempunyai kepentigan yang hampir sama dengan kita, pasti akan masuk.…”
Menurut pernyataan yang diberikan oleh Bapak Maryanta di atas tentang
dana, maka terlihat bahwa inilah yang selama ini terjadi. Masalah pendanaan adalah
sesuatu yang sensitif, mengingat TVRI merupakan sebuah lembaga milik pemerintah
yang seperti banyak orang tahu bahwa dana adalah persoalan. Hal ini terjadi untuk
stasiun televisi, namun bisa juga berdampak ke acara-acara yang diproduksi. Acara-
acara tersebut tentunya mendapat porsi dana itu. Bila dana adalah menjadi sebuah
dilema, maka acara televisi juga merasakan imbasnya.
Karang Tumaritis adalah acara dari TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Dan
untuk pembiayaan program ini pasti telah diperhitungkan oleh pihak TVRI. Pihak
TVRI ini menyangkut pihak yang luas, termasuk TVRI Pusat. Dana untuk operasional
TVRI di daerah juga diperhitungkan kembali oleh Pusat. Maka, secara otomatis TVRI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
di daerah menunggu keputusan dari Pusat. Setelah adanya keputusan tentang dana,
maka TVRI di daerah bisa membuat rancangan program yang telah disesuaikan dengan
besarnya jumlah anggaran fixed dari Pusat.
Akibat yang bisa dirasakan oleh acara seperti Karang Tumaritis adalah
berkurangnya jumlah waktu tayang. Bisa saja anggaran untuk membiayai acara
tersebut harus dipotong untuk menyesuaikan anggaran yang diterima. Kendala
semacam ini terjadi karena sumber dana TVRI berasal dari APBN dan dari luar.
Apalagi APBN harus melalui rapat yang matang sebelum dana itu dikucurkan ke TVRI
di daerah.
Kemudian untuk memperkuat pernyataan Bapak Maryanta, maka hasil
wawancara dengan Bapak Anang, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta, 11 November 2010 juga mengataka hal yang sama yaitu :
“Menurut yang saya ketahui adalah ada pada TVRI sendiri. Pertama, kendalanya yaitu dana. Karena dana kami berasal dari APBN dan pihak ketiga, jadi untuk pendanaan terbatas. Kami mengajukan rancangan ke pusat, namun jumlah dana tergantung dari mereka. Dana untuk TVRI akan dibagi ke TVRI di daerah-daerah, jadi kebijakan tergantung sana. Bila misalnya kami mengajukan 5 Milyar, namun hanya diberi 3 Milyar, maka berarti kami harus rapat untuk membahas bagaimana penggunaan dana. Dana ini bisa menjadi kendala juga bagi produser sebenarnya, karena untuk mendatangkan bintang tamu yang menarik membutuhkan biaya yang besar juga. Jadi, bisa saja produser tidak bisa mengundang bintang tamu yang menarik karena permasalahan dana tadi.”
Hal yang tertera di atas sesuai dengan pernyataan tentang dana untuk televisi
publik, yaitu TVRI. Pernyataan ini berisi tentang sumber pembiayaan media
penyiaran publik di Indonesia. Dana ini berasal dari iuran penyiaran yang berasal dari
masyarakat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan masyarakat, dan siaran iklan.
Sumber pembiayaan untuk stasiun penyiaran publik lebih banyak dari pada stasiun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
swasta yang hanya memiliki dua sumber pendapatan, yaitu siaran iklan dan usaha lain
yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran (Morissan, 2008 : 100).
Sedangkan menurut Riswandi, sumber pendanaan penyiaran publik berasal dari
negara, iuran, iklan, dan donatur yang tidak mengikat (2009 : 17).
Dana yang berasal dari negara tersebut juga membutuhkan rapat untuk
memutuskan berapa besarnya alokasi APBN untuk TVRI. Ini dianggap sebagai
kedala, karena untuk produksi dan kebutuhan lainnya membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan dana di TVRI-
TVRI daerah adalah salah satunya mengadakan rapat yang bertujuan membahas
pemakaian dan pembagian dana dari negara tersebut agar mencukupi untuk TVRI.
Kemudian, hal lain yang bisa dikatakan sebagai kendala adalah dari internal
Karang Tumaritis. Hasil wawancara dengan Bu Sari Nainggolan, Pengarah Acara
Karang Tumaritis, 24 November 2010 yaitu :
“…..Kendala apa, saya rasa Karang Tumaritis itu mengalir, karena membicarakan kebudayaan. Jadi, kendalanya jarang. Namun, yang belum pernah saya temukan adalah bagaimana kebudayaan Jawa yang didialogkan oleh mereka disukai atau dipartisipasi oleh anak muda. Sebenarnya perlu ada pengemasan lagi sehingga anak muda tertarik dan mendapatkan manfaatnya. Hal ini adalah bagaimana anak muda sekarang bisa memetik manfaat. Mungkin sudah, ada anak muda yang suka. Tetapi, belum banyak. Apalagi untuk jaman sekarang, lalu kebudayaan Jawa apa maknanya. Apa yang bisa diserap dan diterapkan untuk jaman sekarang oleh anak muda. Anak muda kadang tidak butuh hanya sekedar pemaparan kebudayaan saja, tetapi maknanya untuk sekarang apa. Kebudayaan Jawa seperti ini, lalu kita mau apa, harus berbuat apa, maknanya apa. Karena yang penting adalah untuk anak muda sebagai generasi penerus. Merekalah yang akan menjadi tonggak masa depan kita. Namun, saya juga menginginkan telepon interaksi di Karang Tumaritis tidak satu per satu bertanya lalu dijawab. Akan lebih baik kalau disaring tiga pertanyaan baru kemudian dijawab oleh presenter. Ini gunanya agar tidak terlalu memakan waktu, karena yang masuk melalui telepon interaktif ada banyak sekali. Lalu untuk TVC menurut saya kebanyakan, ada empat kali.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Lalu hasil wawancara dengan Bu Anna Amrih Rahayu, pemirsa Karang
Tumaritis, 23 November 2010 yaitu :
“Karang Tumaritis sudah bagus, namun tergantung narasumbernya juga. Bu Yati Pesek bagus penampilannya. Namun, kritik saya bagi TVRI atau Karang Tumaritis, bagi acara yang interaktif adalah sebaiknya di TVRI Yogyakarta dibuat dua line telepon. Hal ini agar kita yang ingin interaktif tidak menunggu terlalu lama atau bahkan malah terputus. Padahal ada banyak yang antri, sehingga kami semua tidak bisa masuk ke TVRI. Seharusnya dibuat seperti di radio swasta, itu ada dua line telepon. Sehingga kami yang ada diurutan belakang tetap bisa masuk untuk interaktif.”
Hasil wawancara tentang kendala dengan Bapak Anang, Penanggung Jawab
Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, 11 November 2010 :
“Kedua, keterbatasan SDM di TVRI. Meskipun sudah berpengalaman, tetapi karyawan TVRI kebanyakan sudah berusia di atas empatpuluh tahun. Jadi, tidak seaktif yang masih muda. Memang seharusnya ada yang masih aktif, karena untuk orang tua juga mobilitasnya kurang. Selain itu, taste dari hasil acara yang diproduksi juga berbeda dengan hasil yang diproduksi orang muda. Ketiga, yaitu dukungan teknologi yang kurang. Teknologi yang dimiliki oleh TVRI sudah ketinggalan jaman dan terbatas. Padahal sebetulnya peralatan yang ada di sini sudah harus di-upgrade supaya mendapatkan hasil yang terbaik. Jadi, internalnya kurang mendukung. Menurut saya, kendala dari eksternalnya mungkin ada, tetapi sedikit. Semuanya memang mayoritas dari internalnya sendiri.”
Menurut hasil wawancara di atas, bahwa kendala yang dimaksud adalah
sesuatu mungkin belum ditemukan pada Karang Tumaritis selama ini yaitu untuk anak
muda. Ini bisa tentang kebudayaan Jawa untuk anak muda dalam menghadapi
kehidupan sekarang atau bagaimana penerapan kebudayaan Jawa untuk anak muda.
Hal ini menarik karena anak muda memang seharusnya diajak untuk terlibat dalam
proses pelestarian kebudayaan Jawa. Salah satunya yaitu dengan mengajak mereka
untuk berpartisipasi dalam sebuah acara kebudayaan seperti Karang Tumaritis.
Hal ini telah sesuai dengan pernyataan dari Riswandi (2009 : 17-18) tentang
keterlibatan publik. Keterlibatan publik ini adalah adanya keterlibatan antara penonton
atau yang menjadi kelompok yang rela membantu menyumbangkan tenaga, pikiran,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik. Dengan hasil wawancara di atas, yang
menginginkan adanya mengambil anak muda untuk ikut berpartisipasi tentunya sesuai
dengan pernyataan tentang keterlibatan publik. Walau bagaimanapun juga,
kelangsungan penyiaran publik akan lebih terjamin bila masyarakat (dalam hal ini bisa
anak muda) untuk ikut berpartisipasi dalam Karang Tumaritis.
Selanjutnya tentang kendala teknis seperti sistem telepon atau iklan, ini
berkaitan dengan pihak TVRI secara keseluruhan. Teknologi TVRI memang perlu
upgrade lagi, kemudian untuk iklan yang dirasa terlalu banyak adalah pertimbangan
untuk pihak TVRI. Teknologi yang harusnya diperbaharui dengan yang lebih modern
pastinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan dana yang ada untuk
TVRI saja masih kurang. Sedangkan iklan dari luar juga diperlukan TVRI sendiri
untuk menambah pendapatan di luar dana negara. Dan untuk iklan yang sifatnya
mengenalkan acara baru di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta bertujuan untuk lebih
mempromosikan acara-acara yang diproduksi TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta.
Kemudian, masalah SDM yang ada di TVRI adalah yang sudah agak tua.
Memang ini juga bisa dilihat sebagai kendala. Mengingat untuk bekerja di media
massa juga memerlukan SDM yang masih fresh namun ada juga yang sudah
berpengalaman dan profesional. Untuk TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta menurut
pengamatan penulis yaitu mayoritas pegawainya adalah orang yang sudah berusia
empatpuluh tahunan. Ada yang masih di bawahnya, seperti tigapuluh maupun
duapuluh. Namun, jumlah mereka tidaklah banyak.
Hal tersebut bisa menjadi kendala. Dimana untuk pekerjaan media massa,
dibutuhkan orang-orang yang masih aktif seperti yang muda. Namun, orang tua pun
juga dibutuhkan untuk pengalamannya. Kendala ini terjadi juga karena TVRI sendiri.
Keputusan untuk merekrut pegawai-pegawai baru tergantung juga dari keputusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Kendala ini bisa tersamarkan apabila
hasil kerja yang diberikan pegawai-pegawai itu baik dan memuaskan, sehingga
kendala SDM bisa teratasi.
Lalu untuk kendala yang dirasakan oleh pembawa acara, maka ada hasil
wawancara dengan pembawa acara, Mas Altiyanto, 16 November 2010 adalah sebagai
berikut :
“Ketika berbicara tentang televisi, dimana TV itu berkaitan dengan durasi, daya tangkap informasi, maka alangkah baiknya bila pesan yang disampaikan diulang-ulang supaya pemirsa paham. Kendalanya adalah pada menuntaskan obrolan. Karena pada Karang Tumaritis tidak mencoba membuat solusi apa-apa, solusi itu sendiri ada pada setiap pemirsa.”
Dari hasil wawancara di atas, maka televisi sebagai media massa yang
mempunyai kelemahan seperti durasi akan menjadi sebuah pertimbangan tersendiri
untuk membuat acara. Karang Tumaritis adalah acara kebudayaan Jawa, dan pada
waktu selama kurang lebih enampuluh menit disajikan. Dari waktu tersebut pasti ada
trik untuk membuat pesan menjadi tersampaikan, salah satunya adalah mengulang-
ulang pesan.
Menurut pernyataan dari Riswandi (2002 : 2) bahwa televisi mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan jenis media massa lain. Salah satu poin yang
mengatakan perbedaan itu adalah pada berpikir dalam gambar. Pertama, visualisasi,
menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-gambar.
Kedua, penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual
sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu.
Sesuai dengan pernyataan di atas, maka penggulangan yang bersifat
berkelanjutan pada pesan yang disampaikan televisi diperlukan supaya pemirsa paham.
Karena penggulangan ini dilakukan untuk menanggulangi kendala waktu pada siaran
televisi. Karang Tumaritis menggulang pesan yang dibawakan setiap episode karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
diantaranya adalah disebabkan oleh durasi. Pada Karang Tumaritis menurut Mas
Altiyanto, terkadang sulit untuk menuntaskan obrolan. Ini juga berhubungan dengan
waktu yang telah ditetapkan untuk tayang. Namun, ketika hal ini terjadi maka
pembawa acara harus siap menanggulanginya.
Sebagai acara yang bertema kebudayaan, Karang Tumaritis terkadang
dipandang sebagai acaranya orang tua atau orang yang mengerti kebudayaan saja.
Namun, pada dasarnya seperti yang penulis dapatkan dari dokumen yang ada bahwa
Karang Tumaritis bersegmen untuk masyarakat umum. Jadi, tentunya tidak hanya
orang tua atau orang “kebudayaan” saja. Acara ini bisa bermanfaat bagi siapa saja
yang ingin mengetahui kebudayaan Jawa di Yogyakarta sekarang.
Acara ini diproduksi oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta untuk mengangkat
kearifan lokal di Yogyakarta. Acara ini merupakan acara yang berbobot dan mampu
mencerdaskan audien. Dari hasil wawancara dengan Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana
Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya, 30
November 2010 yaitu :
“Semoga program ini tetap bisa berlangsung dan lebih diterima masyarakat. TVRI juga melakukan kerja sama dengan beragam pihak untuk berpartisipasi di TVRI untuk mengisi Karang Tumaritis, kemudian otomatis dengan semakin banyak yang digandeng maka sasarannya semakin banyak. Jadi nanti yang menonton tidak hanya eksklusif orang-orang tua atau orang-orang sadar budaya Jawa saja. Tetapi, kita juga menjangkau orang-orang yang lebih banyak lagi, seperti kalangan yang mengangap budaya Jawa itu ketinggalan jaman, tidak adaptif, bertentangan dengan nilai-nilai agama, dan lain sebagainya. Justru harapan saya lebih ke arah seperti itu.”
Jadi, menurut wawancara di atas terlihat bahwa yang menjadi kendala
terkadang adalah eksklusifme pemirsanya, yang dijangkau adalah orang tua atau orang
yang sadar budaya Jawa saja. Namun, saran dari pihak dinas seperti Bu Widiastuti itu
benar. Yaitu dengan semakin menggandeng banyak pihak, maka Karang Tumaritis
bisa menjangkau lebih banyak kalangan. Kalangan ini bisa berasal dari orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
menganggap budaya Jawa itu kuno, bertentangan dengan agama, dan lainnya. Inilah
yang membuat Karang Tumaritis nantinya menjadi lebih hidup untuk semua kalangan
dalam rangka pelestarian kebudayaan Jawa.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bu Yati Pesek, pembawa acara Karang
Tumaritis, 16 November 2010 :
“Sedangkan kendala yang saya rasakan untuk Karang Tumaritis adalah mungkin yang suka kebanyakan orang tua saja. Anak muda kurang memperhatikan masalah kebudayaan seperti ini. Tetapi, saya yakin lama-lama anak muda akan tertarik. Oh, ternyata budaya Jawa itu penuh santun dan menarik untuk diterapkan.”
Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa pemirsa Karang Tumaritis hanya
dari kalangan orang tua saja. Yang menjadi masalah adanya ketidakadaan anak muda
sebagai pihak yang menyukai dan mengapresiasi keberadaan Karang Tumaritis.
Kebudayaan Jawa sebaiknya juga disukai oleh anak muda, apalagi mereka akan
menjadi generasi penerus.
Hasil wawancara dengan Bu Yati tersebut sesuai dengan pernyataan tentang
kebudayaan perlu dilestarikan untuk anak muda. Kebudayaan Jawa dibutuhkan oleh
anak muda untuk menuntun hidup mereka. Maka, anak muda seharusnya juga
dipikirkan untuk bagaimana supaya mengerti kebudayaannya sendiri. Semakin
banyaknya kebudayaan yang ada dalam hidup ini, namun untuk anak muda di
Yogyakarta dan sekitarnya sebagai orang Jawa, maka mereka membutuhkan budaya
Jawa. Dalam arus modernisme seperti sekarang ini, kebudayaan Jawa bisa menjadi
semacam pembenteng dari kebudayaan yang tidak sesuai bagi mereka.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat bahwa kebudayaan berkembang
secara akumulatif, semakin banyak dan kompleks, maka pendapat dari Hari Poerwanto
(2008 : 89) tentang pelestarian kebudayan yaitu : ……untuk meneruskan dari generasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
ke generasi, diperlukan suatu sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada
yang dimiliki binatang, ialah bahasa, baik lisan, tertulis, maupun dalam bentuk bahasa
isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah kelangsungan hidup
manusia dan tetap dipelajari oleh generasi berikutnya, serta tetap ‘lestari’, maka suatu
kebudayaan harus mampu mengembangkan berbagai sarana yang dapat diandalkan
untuk memenuhi kebutuhan pokok para individu.
Dari pendapat di atas, kebudayaan harus dilestarikan ke generasi selanjutnya,
termasuk kebudayaan Jawa. Sistem komunikasi diperlukan untuk menyalurkannya.
Sistem ini menyangkut berbagai macam sarana untuk melestarikan kebudayaan.
Melalui acara di televisi, maka ini juga termasuk sistem komunikasi yang bermanfaat
dalam pelestarian kebudayaan. Karang Tumaritis membicarakan kebudayaan Jawa di
masa Semarang, itu berarti anak muda juga perlu dijaring untuk manfaat pelestarian
kebudayaan Jawa di daerah Yogyakarta.
Menurut pendapat dari Hari Poerwanto di atas tersebut, bahasa juga termasuk
sarana untuk melestarikan. Bahkan bahasa Jawa sendiri adalah unsur kebudayaan
Jawa, maka untuk pemakaiannya sehari-hari adalah salah satu cara untuk
melestarikannya. Di Karang Tumaritis, bahasa Jawa adalah salah satu unsur yang
terkandung dalam acara ini. Jadi, Karang Tumaritis membuat langkah pelestarian yang
unsur-unsur di dalamnya adalah kebudayaan Jawa itu sendiri. Acara ini merupakan
acara yang sarat dengan kebudayaan Jawa, sehingga anak muda sepatutnya dijaring
baik sebagai segmen untuk audien maupun berpartisipasi dalam pelestarian
kebudayaan Jawa melalui media massa.
Pentingnya pelestarian kebudayaan menjadi topik yang menarik untuk di
bahas, apalagi tentang bagaimana dalam menghadapi tantangan hidup di dunia
modern. Televisi bisa dijadikan medium untuk melaksanakan tugas pelestarian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
kebudayaan. Namun, dengan segala kelebihan maupun kelemahannya, televisi bisa
memberikan andil yang besar untuk mencerdaskan audien dalam berbagai bidang
termasuk kebudayaan. Karang Tumaritis tayang di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta dua
sampai tiga kali sebulan dengan durasi enampuluh menit. Waktu memang agak
menjadi permasalahan ketika sebuah acara yang baik dan berbobot seperti Karang
Tumaritis.
Beberapa pendapat yang disampaikan pada hasil wawancara tentang Karang Tumaritis yaitu :
“Karang Tumaritis cukup baik menurut saya. Hanya kalau dari saya masalah waktu saja. Sebaiknya dirutinkan menjadi satu minggu sekali.” (Bapak Joko Setiono)
“Harapannya yaitu Karang Tumaritis bisa membuka dua line telepon. Kemudian Mbak Yati Pesek jangan terlalu lama saat berbicara saat interaktif sehingga masing-masing penelpon bisa mendapatkan kesempatan.” (Bu Anna Amrih Rahayu)
“Semoga acara Karang Tumaritis ini bisa dipertahankan, karena sebetulnya segmentasinya baik. Ada kalangan yang menyukai Karang Tumaritis. Maka, sebaiknya ini dijadikan motivasi untuk membuat Karang Tumaritis menjadi lebih dipertahankan lagi.” (Bapak Drs. Sumaryono, MA)
Permasalahan waktu adalah hal wajar terjadi pada televisi sebagai media
massa elektronik. Terkadang televisi juga dibatasi oleh kebijakan perusahaan.
Sebagai acara yang membicarakan tentang kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis
yang hadir dua sampai tiga kali sebulan ini telah bisa memberikan manfaat yang besar
bagi audien. Kebudayaan Jawa mampu memperoleh eksistensinya melalui media
massa. Karena media inilah yang saat ini dirasa paling efektif untuk menyalurkan
pesan-pesan kebudayaan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Imam Sutardjo, media massa
dianggap memiliki peran yang besar dalam pelestarian budaya seperti yang ia jelaskan
(2008 : 49) : ……hal ini bisa dilihat dari kerapuhan dalam unggah-ungguh berbahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
Jawa di kalangan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh kurangnya peran campur
tangan media massa. Salah satunya yaitu kurang tersedianya buku-buku bacaan dan
majalah berbahasa Jawa (ngoko maupun krama), baik di sekolah maupun di rumah,
serta semakin jarangnya media massa (cetak atau elektonik) yang menggunakan
wahana unggah-ungguh Bahasa Jawa.
Setiap televisi (TVRI dan swasta) seminggu atau sebulan sekali wajib
menayangkan acara seni tradisi yang disajikan pada siang atau sore hari, sehingga para
anak didik, generasi muda mudah untuk melihatnya (Imam Sutardjo, 2006 : 14-15).
Karang Tumaritis tayang setiap dua minggu sekali, yaitu minggu pertama, ketiga,
kelima (kalau ada) pada setiap bulan. Karang Tumaritis tayang pada pukul enam sore
secara live. Menurut pendapat Imam Sutardjo di atas, setiap televisi wajib
menanyangkan acara seni tradisi pada siang atau sore, seminggu atau sebulan sekali.
Dari pernyataan ini, maka Karang Tumaritis yang ditayangkan oleh TVRI Stasiun D. I.
Yogyakarta menjadi acara yang bermanfaat bagi audien, terutama segmen masyarakat
umum.
Karang Tumaritis adalah acara dialog kebudayaan Jawa. Selain
membicarakan tentang kebudayaan Jawa, Karang Tumaritis juga menggunakan bahasa
Jawa untuk berdialog. Bahasa Jawa ini adalah bahasa pengantar utama yang
digunakan, mengingat Karang Tumaritis adalah sebagai media pelestari kebudayaan
Jawa. Acara ini memiliki banyak kelebihan terutama untuk isinya sebagai acara yang
mengangkat kebudayaan Jawa. Meskipun kendala juga memang ada di dalamnya,
akan tetapi TVRI sebagai televisi yang mencerdaskan bangsa telah memberikan
kontribusinya dalam pelestarian budaya.
Dengan adanya campur tangan media massa seperti televisi, maka
setidaknya satu langkah untuk melestarikan kebudayaan bisa terlaksana. Kendala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
dalam Karang Tumaritis merupakan kendala yang sifatnya internal dari TVRI dan
sedikit hambatan dalam menjaring audien yang lebih luas seperti anak muda dan
kalangan yang tidak sadar budaya Jawa. Namun, kendala tersebut masih bisa diatasi
dengan adanya langkah-langkah atau rencana untuk ke depan sehingga Karang
Tumaritis bisa lebih mengoptimalkan kesempatan dan potensi yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Media massa merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan
manusia. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa media massa mempunyai fungsi penting
dalam kehidupan masyarakat. Bahkan media massa telah menjadi sebuah kebutuhan
yang penting untuk dipenuhi. Melalui media massa seperti televisi, masyarakat bisa
mendapatkan pengetahuan, informasi, hiburan, dan pengalaman baru. Salah satunya
dengan acara di televisi yang menyuguhkan materi yang menarik bagi masyarakat.
Karang Tumaritis adalah sebuah acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta
yang menyajikan kebudayaan Jawa. Diangkatnya kebudayaan Jawa ke dalam acara di
televisi pasti mempunyai peran. Karang Tumaritis mempunyai peran dalam
mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa. Maka dari hasil penelitian dan analisa
data yang telah dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan peran Karang Tumaritis
sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta, yaitu :
1. Mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada
masyarakat luas. Karang Tumaritis sebagai acara di televisi pasti memberitakan
atau menginformasikan nilai-nilai luhur yang ada pada kebudayaan Jawa. Sesuai
dengan tema yang diambil, Karang Tumaritis memberikan nilai-nilai luhur
kebudayaan Jawa kepada masyarakat. Melalui tayangannya itulah setiap nilai luhur
kebudayaan Jawa diinformasikan supaya masyarakat bisa mendapatkan hiburan
yang mencerdaskan. Karang Tumaritis adalah acara yang juga menghibur, karena
dialog dan suasananya tidak kaku dan serius, tetapi cair namun berbobot.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
2. Membangun kembali spirit kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur
budaya Jawa. Acara Karang Tumaritis juga ikut berperan dalam membangun
kembali jiwa kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kebudayaan
Jawa. Dengan adanya format acara yang sangat Jawa sifatnya, maka masyarakat
bisa mendapatkan contoh bahwa kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai luhur
kebudayaan Jawa adalah positif. Karena masyarakat Yogyakarta perlu contoh
untuk menghidupkan suasana kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai
luhur kebudayaan Jawa, sehingga kebudayaan Jawa tidak hanya sebatas teori saja.
Namun, dalam prakteknya kebudayaan Jawa harus dibangun kembali di kehidupan
masyarakat. Melalui Karang Tumaritis, masyarakat bisa melihat dan mencontoh
betapa luhurnya nilai-nilai kebudayaan Jawa bila diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
3. Melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa. Melalui tayangan Karang
Tumaritis, berbagai produk kebudayaan Jawa bisa dilestarikan. Salah satu
pelestarian produk kebudayaan Jawa ini adalah dengan mengangkat kearifan lokal
yang ada di Yogyakarta. Kearifan lokal tersebut termasuk di dalamnya yaitu segala
sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa. Sehingga dengan mengangkat
kearifan lokal, maka berbagai produk kebudayaan Jawa terutama kebudayaan Jawa
Yogyakarta mampu mendapatkan tempatnya kembali. Media massa seperti televisi
bisa memberikan kontribusi untuk membantu melestarikan kebudayaan.
4. Sarana dialog interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang
budaya. Karang Tumaritis merupakan acara yang menggunakan format live dengan
telepon interaktif. Dengan adanya telepon interaktif ini, maka diharapkan pemirsa
bisa ikut memberikan suara melalui nomor telepon yang disediakan oleh TVRI
Stasiun D. I. Yogyakarta. Pemirsa bisa memberikan pendapat, saran, pertanyaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
atau kritikannya di Karang Tumaritis. Bahkan pemirsa juga bisa melakukan dialog
dengan narasumber yang didatangkan di studio. Perbincangan di Karang Tumaritis
tidak hanya melibatkan narasumber-narasumber di studio saja. Namun, pemirsa
bisa ikut menanggapi topik yang sedang dibicarakan.
5. Sarana sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta.
Sebagai acara di televisi, Karang Tumaritis tentunya juga tak lepas dari fungsi
sosialisasi. Dengan kemampuannya menjangkau khalayak luas dan heterogen
dalam waktu yang singkat, maka televisi sering digunakan untuk mensosialisasikan
sesuatu. Karang Tumaritis juga menjadi sarana sosialisasi untuk program-program
kebudayaan seperti penggunaan bahasa Jawa di kalangan anak-anak muda.
Sosialisasi ini dilakukan atas kerja sama yang dijalin oleh lembaga atau pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama dengan Karang Tumaritis. Kepentingan ini
yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan. Karang
Tumaritis telah menjadi sebuah sarana sosialisasi program pelestarian kebudayaan
di Yogyakarta. Dengan semakin banyaknya sosialisasi yang dilakukan melalui
Karang Tumaritis terkait dengan kebudayaan, maka bisa membantu proses
pelestarian kebudayaan Jawa.
Dalam usaha untuk membantu pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat
Yogyakarta, ternyata masih terdapat kendala. Namun, kendala-kendala itu tidak
menjadi pengganggu yang berarti dalam pelestarian kebudayaan Jawa di TVRI Stasiun
D. I. Yogyakarta. Kendala-kendala tersebut yaitu pendanaan, belum menggandeng
anak-anak muda, teknologi yang digunakan sudah harus di-up grade lagi, SDM di
TVRI yang kebanyakan sudah berusia tua, ketika acara sedang on air sering kali susah
untuk menuntaskan obrolan, eksklusifme pemirsa yang hanya orang tua dan orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
yang sadar kebudayaan, dan kurangnya waktu penanyangan karena hanya dua minggu
sekali.
B. Saran
Setelah mendapatkan hasil secara keseluruhan selama penelitian dan analisa
data, maka saran untuk Karang Tumaritis yaitu :
1. Karang Tumaritis adalah acara yang mengangkat kebudayaan Jawa di TVRI Stasiun
D. I. Yogyakarta, maka sebaiknya lebih mengajak semua lapisan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam perbincangan. Untuk saat ini Karang Tumaritis memang
seakan hanya untuk orang tua dan orang yang mengerti kebudayaan saja. Namun,
alangkah lebih baik apabila semua lapisan masyarakat diajak untuk ikut dalam
perbincangan kebudayaan Jawa. Mereka bisa berasal dari kalangan anak muda,
kaum perempuan, aparat penegak hukum, tokoh agama, dan pendidik. Dengan
menampilkan pihak-pihak yang beragam maka Karang Tumaritis juga bisa menjadi
semakin kaya. Karena dialog kebudayaan tidak hanya khusus untuk mereka yang
berkecimpung dalam bidang budaya saja, namun kebudayaan Jawa adalah milik
semua lapisan masyarakat Jawa yang ada di Yogyakarta.
2. Untuk telepon interaktif, ada baiknya bila TVRI memberikan perhatian. Karena
menurut pengamatan yang dilakukan oleh penulis, kualitas suara yang dihasilkan
oleh telepon interaktif di studio tidak jelas. Sehingga ini bisa menjadi penghambat
dalam penyampaian pesan dari penelpon ke studio. Suara yang dihasilkan dari
telepon interaktif yang sering kali tidak jelas tentunya akan mengganggu proses
Karang Tumaritis ketika disiarkan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
seharusnya pihak TVRI memperhatikan tentang kebutuhan primer dalam Karang
Tumaritis ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
�
3. Saran metodologis, penelitian tentang peran acara Karang Tumaritis dalam
pelestarian kebudayaan ini telah menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penulis
mengambil metode tersebut karena kualitatif lebih mampu menelaah penelitian
tentang peran. Sedangkan penulis menggunakan deskritif yaitu karena penelitian ini
ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada. Selain itu
deskriptif digunakan untuk memaparkan seadanya berdasarkan hasil interview dan
pengamatan, tanpa menambah dan mengurangi data yang didapatkan. Namun,
saran yang penulis berikan untuk penelitian selanjutnya adalah menggunakan
metode kualitatif eksploratif. Penggunaan metode eksploratif ini bertujuan untuk
mengetahui tentang situasi atau informasi yang lebih untuk memahami latar
belakang masalah ketika peneliti berada dalam situasi tidak mengetahui banyak
tentang informasi yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini juga diperlukan
pengumpulan data yang bersifat intensif dan wawancara mendalam. Jadi, untuk
penelitian ke depan sebaiknya mencoba menggunakan metode lain seperti metode
eksploratif untuk mengerjakan penelitian tersebut supaya kelemahan yang terdapat
pada penelitian yang penulis kerjakan terminimalisir pada penulis selanjutnya.