Perhitungan Besaran Fisis Dinamika Fluida
Relativistik dengan Menggunakan Lattice Gauge
Theory
Tugas Akhir
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains
Andhika Oxalion
0303020139
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok
2007
Lembar Persetujuan
Judul Skripsi : Perhitungan Besaran Fisis Dinamika Fluida Relativistik dengan
Menggunakan Lattice Gauge Theory
Nama : Andhika Oxalion
NPM : 0303020139
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui
Depok, Mei 2007
Mengesahkan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. L. T. Handoko Dr. Terry Mart
Penguji I Penguji II
Dr. Anto Sulaksono Dr. Agus Salam
Kata Pengantar
Teori Medan Kuantum (Quantum Field Theory), alat kita untuk menjelaskan
gaya fundamental, diformulasikan dalam ruang-waktu kontinu dengan memper-
lakukan ruang dan waktu dalam dimensi yang setara. Di sisi lain, dinamika
fluida klasik mengandung besaran yang bergantung ruang dan waktu. Hal ini
menimbulkan ide mengenai kemungkinan dinamika fluida diformulasikan ulang
menggunakan teori medan. Kemudian, jika dapat dilakukan, harus dapat dihi-
tung besaran-besaran fisis yang ada dalam dinamika fluida tersebut.
Sebelumnya, penulis lain telah berhasil memformulasikan dinamika fluida meng-
gunakan teori medan, yaitu mencari Lagrangian dinamika fluida yang bila dipro-
ses lebih lanjut akan menghasilkan persamaan dinamika fluida relativistik. Pada
tugas akhir ini, penulis menghitung besaran-besaran fisis dinamika fluida ber-
dasarkan Lagrangian tersebut. Perhitungan besaran fisis ini dilakukan dengan
menggunakan Lattice Gauge Theory di mana ruang dan waktu kontinu pada
teori medan diganti dengan kumpulan titik diskrit pada kisi empat dimensi. Ke-
untungan yang diperoleh adalah, perhitungan yang rumit secara analitik dapat
diperoleh secara numerik. Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih ke-
pada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini baik secara
langsung maupun tidak langsung, antara lain:
1. Dr. L.T. Handoko selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis
mulai dari awal diskusi hingga penyelesaian tugas akhir ini serta atas ide-
ide, dukungan dan saran yang diberikan.
2. Dr. Terry Mart selaku pembimbing II dan ketua peminatan Fisika Nuklir
dan Partikel atas bimbingan dan dukungan yang diberikan baik itu selama
kuliah maupun pengerjaan tugas akhir ini.
iii
3. Dr. Anto Sulaksono dan Dr. Agus Salam selaku penguji I dan II atas
diskusi dalam penyelesaian tugas akhir ini.
4. Orang tua dan kakak Alvin Stanza atas saran dan bantuan yang diberikan
semasa kuliah.
5. Rekan-rekan di Lab Teori : Ryky, Victor, Juju, Beriya, Popo, Freddy, Han-
dhika, Arum, Ardy, Nita, Harykin, Chandi, Pak Ayung, Pak Sulaiman, Mas
Parada.
6. Teman-teman fisika angkatan 2003 dan teman-teman di KMK.
7. Special thanks, kepada Heribertus Bayu Hartanto serta Nowo Riveli yang
sungguh membantu penulis mengejar materi dan juga dalam pemrograman.
Kepada Arif Budi Mulyawan yang telah bersedia meminjamkan komputer-
nya untuk menjalankan program.
8. Juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini atas dukungan dan
doa kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perkembangan
riset di Fisika UI.
Depok, Mei 2007
Andhika Oxalion
iv
Abstrak
Dinamika fluida berbasis teori medan diformulasikan dalam kisi ruang waktu
diskrit. Dengan formulasi tersebut dihitung besaran fisis dinamika fluida rela-
tivistik dengan menggunakan simulasi Metropolis Monte Carlo. Formulasi ini
memberikan pemahaman dasar untuk perhitungan bermacam-macam observable
dari fenomena yang dimodelkan dengan Lagrangian dinamika fluida di mana ti-
dak ada jaminan teori perturbasi berlaku.
Kata kunci: Lagrangian dinamika fluida, lattice gauge theory, interaksi sistem
multi fluida
viii+30 hlm.; lamp.
Daftar Acuan: 13(1993-2006)
Abstract
Fluid dynamics based on the gauge field theory is formulated on a discrete space-
time lattice. Using this formulation, physical observable of relativistic fluid dyna-
mics is calculated using Metropolis Monte Carlo simulation. This formulation
provides basic knowledge to calculate some observables for phenomenon modeled
with the fluid dynamics Lagrangian where no guarantee that perturbation theory
can be applied.
Keywords: Fluid dynamics Lagrangian, lattice gauge theory, multi-fluids intera-
ction
viii+30 pp.; appendices.
References: 13(1993-2006)
v
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Abstrak v
Daftar Isi vi
Daftar Gambar viii
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.4 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
2 Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan 4
2.1 Dinamika Fluida Klasik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2.2 Teori Medan Gauge untuk Dinamika Fluida . . . . . . . . . . . . 6
2.3 Sistem Multi Fluida . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
3 Teori Medan Gauge pada Lattice 12
3.1 Path Integral dalam Mekanika Kuantum . . . . . . . . . . . . . . 13
3.2 Teori Medan Kuantum Menggunakan Path Integral . . . . . . . . 15
3.3 Diskritisasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.4 Transformasi Gauge pada Lattice . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
3.5 Observable . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
3.6 Path Integral dan Mekanika Statistik . . . . . . . . . . . . . . . . 24
vi
4 Hasil dan Pembahasan 26
5 Kesimpulan 30
A Evaluasi Path Integral dengan Metode Monte Carlo 31
B Pemrograman 35
B.1 Perhitungan Matriks Kompleks . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35
B.2 Generator Matriks SU(2) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
B.3 Program Simulasi pada Lattice . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
B.4 Program Iterasi Z terhadap |v| . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44
Daftar Acuan 46
vii
Daftar Gambar
3.1 Diskritisasi interval waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
3.2 Lintasan partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.3 Lattice atau kisi 3 dimensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.4 Lintasan C antara x dan y . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.5 Uµνx pada sebuah Plaquette . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
4.1 Nilai Z pada kisi 104 site |v| = 0, 8c hingga 0.9c . . . . . . . . . . 27
4.2 Nilai Z pada kisi 304 site dengan |v| = 0.8 hingga 0.9c . . . . . . 28
4.3 Nilai Z pada kisi 304 site dengan |v| = 0 hingga 0.5c . . . . . . . 28
4.4 Nilai F pada kisi 304 site dengan |v| = 0 hingga 0.5c . . . . . . . 29
viii
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dinamika fluida klasik diturunkan dari Hukum II Newton dan hukum kekekal-
an massa. Persamaan tersebut nonlinier sehingga mengakibatkan solusi sulit
dicari karena solusinya tidak dapat disuperposisikan[1]. Sementara itu, banyak
sistem-sistem yang dapat dimodelkan dengan menggunakan dinamika fluida, mi-
salnya kosmologi turbulen, quark-gluon plasma, dll yang memerlukan solusi ter-
sebut untuk melakukan perhitungan-perhitungan berikutnya. Sebagai alternatif,
dinamika fluida dimodelkan sebagai Lagrangian boson yang invarian terhadap
transformasi gauge. Metode ini telah diaplikasikan pada sistem fluida yang ber-
interaksi dengan soliton yaitu protein α heliks yang berinteraksi dengan biofluida
[2]. Lagrangian yang invarian terhadap transformasi gauge tersebut dapat difor-
mulasikan untuk sistem relativistik yang invarian terhadap transformasi Lorentz
sehingga dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange dapat diperoleh per-
samaan dinamika fluida relativistik [3]. Dinamika fluida berbasis teori medan ini
juga dapat mendeskripsikan sistem multi fluida dengan menggunakan Lagrangian
yang invarian terhadap transformasi gauge non-Abelian.
1.2 Perumusan Masalah
Pendekatan alternatif untuk formulasi dinamika fluida dari first principle telah
dilakukan dengan menggunakan mekanika analitik. Persamaan dinamika flui-
da diturunkan sebagai persamaan gerak dari Lagrangian boson yang invarian
1
terhadap transformasi gauge dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange.
Interaksi pada sistem multifluida dimodelkan dengan menggunakan Lagrangian
boson yang invarian terhadap transformasi gauge non-Abelian yang merepresen-
tasikan fluida murni tanpa materi. Perhitungan fungsi partisi dan observable
energi bebas interaksi fluida dilakukan dengan mengevaluasi path integral. Na-
mun besarnya konstanta kopling g tidak diketahui, sehingga path integral secara
umum harus dihitung secara non-perturbatif.
Perhitungan secara non-perturbatif dilakukan dengan menggunakan Lattice Ga-
uge Theory. Formulasi Quantum Chromodynamics dalam ruang-waktu diskrit
atau sering disebut dengan Lattice QCD digunakan untuk menghitung besaran-
besaran QCD pada energi rendah di mana konstanta kopling QCD sangat be-
sar. Pada Lattice Gauge Theory, aksi disusun pada kisi ruang dan waktu diskrit
sehingga memungkinkan path integral dihitung secara numerik dengan menggu-
nakan metode Monte Carlo. Dengan menghitung observable dari Lagrangian
ini maka diharapkan kita bisa mempelajari perilaku atau sifat-sifatnya terutama
dalam kaitannya dengan besar konstanta kopling g maupun kecepatan.
1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat teoritik. Teori yang digunakan ialah dinamika fluida de-
ngan pendekatan teori medan. Untuk memperoleh observable dari teori ini, aksi
yang menggambarkan interaksi fluida murni terlebih dahulu diformulasikan da-
lam ruang dan waktu diskrit. Setelah itu dapat dihitung fungsi partisi dengan
mengevaluasi path integral menggunakan metode Metropolis Monte Carlo.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik dasar perhitungan Lattice Ga-
uge Theory dengan menggunakan metode Metropolis Monte Carlo dan implemen-
tasinya pada pemrograman serta menghitung besaran fisis dari dinamika fluida
relativistik dengan metode Lattice Gauge Theory. Penelitian difokuskan pada
formulasi teori gauge untuk fluida pada kisi ruang waktu diskrit dan besaran fisis
2
energi bebas dari interaksi fluida murni yang direpresentasikan dengan medan
gauge dalam Lagrangian boson. Perhitungan besaran fisis ini dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu mencari fungsi partisi dari sistem, kemudian besaran fisis
tersebut dapat dihitung dengan metode mekanika statistik.
3
Bab 2
Dinamika Fluida Berbasis TeoriMedan
Pada bab ini dibahas secara singkat teori dinamika fluida secara klasik maupun
dengan pendekatan berbasis teori medan.
2.1 Dinamika Fluida Klasik
Fluida didefinisikan sebagai materi yang mengalami perubahan bentuk secara
kontinu bila diberi tegangan geser. Dinamika fluida merupakan cabang dari ilmu
fisika yang mempelajari aliran fluida (cairan dan gas). Persamaan dinamika fluida
klasik, seperti mekanika klasik pada umumnya, diturunkan berdasarkan hukum
II Newton dan hukum kekekalan massa
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −1
ρ~∇P + µ~∇2~v (2.1)
dengan ~v ialah kecepatan fluida, P ialah tekanan, ρ ialah kerapatan dan µ ialah
koefisien viskositas. Hukum kekekalan massa menyatakan bahwa fluida tidak
dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Bila kita memberi gangguan pada fluida,
massa fluida sebelum dan sesudah gangguan haruslah tetap. Pandang suatu
fluida dengan volume V dengan S merupakan permukaan tertutup dari volume
V . Massa fluida ialah∫
VρdV , sementara fluks massa fluida pada permukaan
tertutup S ialah∮
(ρ~v) · dS sehingga hukum kekekalan massa dinyatakan sebagai
berikut∮
(ρ~v) · dS = − ∂
∂t
∫
V
ρdV (2.2)
4
dengan teorema Gauss diperoleh,∫
V
~∇ · (ρ~v)dV = − ∂
∂t
∫
V
ρdV
∫
V
[
∂ρ
∂t+ ~∇ · (ρ~v)
]
dV = 0
∂ρ
∂t+ ~∇ · (ρ~v) = 0 (2.3)
yang tidak lain merupakan persamaan kontinuitas. Hukum II Newton menyata-
kan kekekalan momentum
~F = md2~x
dt2(2.4)
Terdapat dua jenis gaya yang dapat bekerja pada fluida yang bergerak, yaitu
1. Gaya badan (body force), yang bekerja langsung pada elemen volume fluida.
Contohnya adalah gaya gravitasi, listrik dan magnet.
2. Gaya permukaan, (surface force) yang bekerja langsung pada permukaan
elemen fluida. Hanya ada 2 sumber gaya jenis ini: (a) distribusi tekanan
pada permukaan dan (b) distribusi regangan dan tegangan normal pada
permukaan elemen fluida.
Untuk aliran fluida bermassa m → ρV dan percepatan,
d2~x
dt2→ D~v
Dt
dengan material derivativeD
Dt=
∂
∂t+ ~v · ~∇.
Maka hukum II Newton untuk aliran fluida dapat ditulis menjadi
ρD~v
Dt=
~F
V(2.5)
Gaya yang fundamental pada aliran fluida ialah gradien tekanan yang dapat
ditulis sebagai berikut,Fi
V= − ∂
∂xkΠik, (2.6)
dimana tensor tekanan, Πik diberikan oleh
Πik = Pδik − σik, (2.7)
5
dengan P tekanan dan σik ialah tensor viskositas. Tensor viskositas secara umum
merupakan tensor asimetrik. Tensor viskositas dapat ditulis [4],
σij = η
(
∂vi
∂xk+
∂vk
∂xi− 2
3δij
~∇ · ~v)
+ νδik~∇ · ~v, (2.8)
dengan η dan ν masing-masing merupakan koefisien viskositas kinematis dan
dinamis. Dengan melakukan substitusi persamaan (2.6), (2.7) dan (2.8) ke hukum
II Newton untuk fluida pada persamaan (2.5) dapat diperoleh,
ρ
(
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v
)
= −~∇P + η~∇2~v +
(
ν +1
3η
)
~∇(~∇ · ~v). (2.9)
Untuk fluida inkompresibel ~∇ · ~v = 0 dan µ ≡ η/ρ didapatkan persamaan gerak
untuk fluida inkompresibel
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −1
ρ~∇P + µ~∇2~v (2.10)
seperti pada persamaan (2.1).
2.2 Teori Medan Gauge untuk Dinamika Fluida
Persamaan dinamika fluida merupakan persamaan nonlinier yang menggambark-
an aliran fluida dengan kecepatan aliran ~v ≡ ~v(t, xi), dimana xi adalah koordinat
3 dimensi. Hal ini memungkinkan persamaan tersebut diperumum sebagai per-
samaan nonlinier dalam koordinat 4 dimensi xµ ≡ (x0, xi) = (xt, ~r) = (ct, x, y, z)
dengan kecepatan ~v ≡ ~v(xµ) Dalam hal ini digunakan ruang Minkowski dengan
tensor metrik gµν = (1,−~1) = (1,−1,−1,−1) sehingga x2 = xµxµ = xµgµνxν =
x20 − x2 = x2
0 − x21 − x2
2 − x23. Karena diturunkan dari hukum II Newton maka,
secara prinsip, persamaan gerak fluida dapat diturunkan melalui mekanika ana-
litik dengan prinsip aksi minimum. Penurunan telah dikerjakan dalam sejumlah
paper demikian pula dengan formulasi dinamika fluida menggunakan Lagrangian
berdasarkan simetri gauge. Beberapa paper bahkan menganalogikannya dengan
persamaan Maxwell. Namun perlu ditekankan bahwa persamaan dinamika flui-
da dan persamaan Maxwell merupakan persamaan untuk sistem yang berbeda,
analogi yang dimaksud adalah dalam konstruksi Lagrangian dinamika fluida. Pa-
da subbab ini akan dijelaskan konstruksi persamaan dinamika fluida berdasarkan
6
first principle mekanika analitik yaitu dengan Lagrangian density. Karena persa-
maan gerak fluida secara umum bergantung pada ruang dan waktu, maka dapat
digunakan metode pada teori medan relativistik yang memperlakukan ruang dan
waktu dalam dimensi yang sama. Persamaan dinamika fluida diturunkan seba-
gai persamaan gerak dari Lagrangian boson yang invarian terhadap transformasi
gauge dan transformasi Lorentz melalui persamaan Euler-Lagrange.
Lagrangian untuk medan boson yang invarian terhadap transformasi gauge lokal
ialah
L = (∂µφ∗)(∂µφ) + V (φ) + LA (2.11)
dimana
LA = −1
4FµνF
µν + gJµAµ + g2AµA
µφ∗φ (2.12)
dengan tensor kuat medan Fµν ≡ ∂µAν −∂νAµ, sementara arus vektor empatnya,
Jµ = i [φ(∂µφ∗) − φ∗(∂µφ)] (2.13)
memenuhi kekekalan arus ∂µJµ = 0. Suku-suku tambahan pada LA muncul seba-
gai konsekuensi sifat invarian Lagrangian boson tersebut terhadap transformasi
gauge lokal U = exp[−iθ(x)] sehingga,
φ → φ′ = e−iθ(x)φ ≈ (1 − iθ(x))φ (2.14)
Aµ → Aµ′ = Aµ +
1
g(∂µθ) (2.15)
Seperti disebutkan dalam [1], kita dapat melihat kemiripan bentuk persamaan
dinamika fluida dengan persamaan Maxwell dengan mengganti medan magnet
dan medan listrik dengan vektor Lamb dan vortisitas
~E → ~l = ~ω × ~v
~B → ~ω = ~∇× ~v
sehingga persamaan ”Maxwell” untuk fluida ialah
~∇ ·~l = ρ
~∇×~l = −∂~ω
∂t~∇ · ~ω = 0
~∇× ~ω = α~j + α∂~l
∂t
7
dengan α = 1/~v2. Hasil ini memberi petunjuk bahwa kita dapat mengkonstruksi
Lagrangian yang bentuknya mirip dengan Lagrangian elektrodinamika kuantum
yaitu LA pada persamaan (2.12). Hal ini dibuktikan dengan mengambil bentuk
spesifik dari medan gauge,
Aµ =(
Φ, ~A)
=
(
1
2|~v|2 ,−~v
)
(2.16)
dengan ~v ialah kecepatan fluida. Bentuk medan gauge tersebut jelas tidak me-
menuhi transformasi Lorentz. Namun, dengan pemilihan ini tampak jelas bahwa
pada dinamika fluida, potensial skalar merupakan energi total per satuan massa
berupa rapat energi kinetik, sementara potensial vektor menggambarkan dinami-
ka dalam suku kecepatan. Dengan demikian, LA pada persamaan (2.12) tidak
lain ialah Lagrangian yang menghasilkan persamaan dinamika fluida dengan pe-
milihan medan gauge di atas, LA = LDF .
Berdasarkan prinsip aksi minimum δS = 0 dengan S =∫
d4xLDF dapat diperoleh
persamaan Euler-Lagrange
∂ν∂LDF
∂(∂νAµ)− ∂LDF
∂Aµ
= 0 (2.17)
Dengan melakukan substitusi persamaan (2.12) ke persamaan (2.17) maka diha-
silkan persamaan gerak dalam Aµ,
∂ν(∂µAν) − ∂2Aµ + gJµ = 0. (2.18)
dengan Aµ merepresentasikan medan fluida. Relasi nontrivial diperoleh untuk
µ 6= ν sehingga dapat dihasilkan persamaan gerak fluida.
Untuk memperoleh persamaan gerak yang relativistik, kita dapat mendefinisikan
medan gauge Aaµ =
(
Φ, ~A)
dengan potensial skalar dan vektornya sebagai berikut
[3],
Φ =|~v|2
1 − β2φ, (2.19)
~A =−~v
√
1 − β2φ, (2.20)
8
dengan β = |~v| /c. Suku pertama pada persamaan (2.19) menunjukkan versi
relativistik energi kinetik persatuan massa. Substitusi persamaan (2.19) dan
(2.20) ke persamaan (2.18), diperoleh persamaan gerak yang relativistik,
1√
1 − β2
∂~v
∂t− ~∇ |~v|2
1 − β2= g ~J (2.21)
dengan Ji ≡∫
dxiJ0 = −∫
dtJi. Kita dapat memperoleh bentuk nonrelativistik
dengan mengambil |~v| ≪ c dan menggunakan relasi
1
2~∇ |~v|2 = (~v · ~∇)~v + ~v × (~∇× ~v)
sehingga didapatkan,
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −~v × (~∇× ~v) + g ~J, (2.22)
Dengan demikian persamaan dinamika fluida untuk sembarang gaya konserva-
tif telah dibentuk menggunakan teori medan gauge. Terlihat pada persamaan
(2.22) terdapat gaya tambahan, yaitu pada suku g ~J dan suku ~v × (~∇× ~v) yang
relevan untuk fluida rotasional ~∇ × ~v. Untuk fluida irotasional ~∇ × ~v = 0 dan
fluida inkompresibel ~∇ · ~v = 0. Persamaan (2.21) invarian terhadap transformasi
Lorentz,
xi → x′i =
xi − vit√
1 − |~v|2/c2, t → t′ =
t − xi/vi√
1 − |~v|2/c2
dan ~J → ~J ′ =√
1 − |~v|2/c2 ~J .
Dari model yang dibuat untuk dinamika fluida dengan menggunakan teori medan
gauge, tampak adanya interaksi antara fluida (Aµ) dengan materi di dalamnya
(φ). Dari suku pure gauge 1/4FµνFµν tampak adanya interaksi fluida dengan
fluida itu sendiri. Sementara itu, potensial pada Lagrangian menggambarkan
interaksi antar medan boson. Pada dinamika fluida klasik, arus vektor empat
Jµ = (ρ, ρ~v) menggambarkan distribusi makroskopik dari kerapatan dan vektor
rapat arus. Sementara dalam pendekatan ini, Jµ menggambarkan fungsi distribu-
si materi dalam fluida. Hal ini analog dengan arus yang terdapat pada persamaan
Maxwell dan elektrodinamika kuantum (QED) yang merupakan akibat dari in-
teraksi pasangan fermion. Konsekuensinya, arus fluida muncul akibat interaksi
9
medan fluida dengan mediumnya. Jadi kita dapat menginvestigasi dinamika flui-
da walaupun Jµ = 0. Dengan menggunakan Lagrangian tersebut, kita juga dapat
mempelajari interaksi antara fluida dengan medium lainnya.
2.3 Sistem Multi Fluida
Model yang telah dikembangkan pada sub-bab sebelumnya dapat digeneralisasi
untuk sistem multi fluida. Pada sistem ini kita menggunakan simetri SU(N) un-
tuk menggambarkan sistem multi fluida serta interaksinya dengan materi. Untuk
melakukannya, transformasi gauge yang digunakan ialah transformasi gauge lokal
yang bersifat non-Abelian
U = exp(−iT aθa(x)) (2.23)
dimana T a merupakan generator dari grup Lie dan memenuhi relasi komutasi
[T a, T b] = ifabcT c dengan fabc merupakan konstanta struktur antisimetrik. La-
grangian untuk sistem multi fluida dapat dituliskan
L = (∂µφ)†(∂µφ) + V (φ) + LA (2.24)
dimana
LA = −1
4F a
µνFaµν + gJa
µAaµ +i
2fabcg2(φ†T aφ)Ab
µAcµ (2.25)
dengan tensor kuat medan F aµν ≡ ∂µA
aν − ∂νA
aµ − gfabcAb
µAcν , sementara arus
vektor empatnya,
Jaµ = i
[
(∂µφ)†T aφ − φ†T a(∂µφ)]
(2.26)
dengan transformasi gauge untuk tiap-tiap medan ialah
φ → φ′ = e−iT aθa(x)φ ≈ (1 − iT aθa(x))φ (2.27)
Aaµ → Aa
µ′ = Aa
µ +1
g(∂µθa) + fabcθbAc
µ (2.28)
Bila Aaµ diperhatikan sebagai medan fluida yang mewakili sekumpulan fluida un-
tuk tiap a, maka kita memiliki sistem multi fluida yang digambarkan oleh per-
samaan persamaan gerak tunggal dimana LA pada persamaan (2.27) merupakan
10
Lagrangian dari persamaan dinamika fluida (LDF ). Sebagai contoh, untuk meng-
gambarkan interaksi antara 2 fluida, dapat digunakan Lagrangian yang berbentuk
[5]
Ltotal = LaDF + Lb
DF + Labint (2.29)
dengan Labint merupakan Lagrangian interaksi antara dua fluida. Dari model yang
dibuat untuk sistem multi fluida, kita dapat melihat interaksi antara fluida (Aaµ)
dengan materi di dalamnya (φ) berdasarkan grup simetri SU(N) untuk n × 1
medan φ dan n × n generator T a secara umum. Pada Lagrangian juga terdapat
suku interaksi antar fluida yang digambarkan oleh suku pure gauge
LPG = −1
4F a
µνFaµν (2.30)
11
Bab 3
Teori Medan Gauge pada Lattice
Pada bab ini dijelaskan secara singkat metode path integral dan formulasi lat-
tice serta hubungan antara keduanya. Metode path integral diperkenalkan oleh
Feynman pada tahun 1948. Metode ini merupakan formulasi alternatif dari meka-
nika kuantum dan teori medan. Keuntungan menggunakan formulasi ini adalah
dapat dilakukannya kuantisasi suatu teori hanya dengan menggunakan medan
kompleks, tanpa mengubah medan menjadi operator [6]. Keuntungan lain yang
didapat adalah
• Merupakan cara termudah dan langsung untuk mendapatkan aturan Feyn-
man untuk teori medan apapun.
• Memungkinkan diperoleh solusi eksak ataupun numerik dari medan inte-
raksi kuat, dimana ekspansi perturbasi tidak berlaku dengan lattice gauge
theory.
• Memperlihatkan hubungan antara teori medan dengan mekanika statistik.
Meskipun demikian, sebelum metode lattice dikenal banyak kasus hanya dapat
dipecahkan menggunakan metode perturbatif dengan menggunakan probe energi
tinggi di mana nilai konstanta kopling sangat kecil. Setelah metode lattice dari
teori medan kuantum dikenal, barulah dapat dilakukan studi nonperturbatif pada
Quantum Chromodynamics [7].
12
3.1 Path Integral dalam Mekanika Kuantum
Perhitungan menggunakan path integral dilakukan dengan menggunakan Lagrang-
ian dan Hamiltonian. Untuk lebih jelasnya, pandang suatu sistem mekanika kuan-
tum satu dimensi dengan Lagrangian L = L(q, q) dan Hamiltonian H = H(p, q),
yang pada mekanika klasik dinyatakan dengan
L =1
2mq2 − V (q) (3.1)
H =p2
2m+ V q. (3.2)
Dalam persamaan tersebut, p dan q dihubungkan oleh persamaan kanonik p =
∂L/∂q = mq. Namun harus diperhatikan bahwa pada mekanika kuantum, p dan
q adalah operator dengan relasi komutasi [p, q] = i~.
Amplitudo transisi dalam mekanika kuantum dinyatakan dengan
〈q′, t′| q, t〉 = 〈q′ | e−iH(t′−t) |q〉
= 〈q′ |U(t′, t) |q〉 (3.3)
dengan U(t′, t) = exp(−iH(t′ − t)) adalah operator evolusi waktu. Selanjutnya,
dengan melakukan diskritisasi waktu T = t′ − t = n∆t dan memasukkan relasi
kelengkapan eigenstate koordinat qn
1 =
∫
dq |q〉 〈q | (3.4)
sebanyak n − 1 maka diperoleh
〈q′, t′| q, t〉 =
∫
dq1 . . . dqn−1 〈q′ | e−iH∆t |qn−1〉 〈qn−1 | e−iH∆t |qn−2〉
× . . . 〈q2 | e−iH∆t |q1〉 〈q1 | e−iH∆t |q〉 . (3.5)
Matriks transfer T didefinisikan sebagai amplitudo transisi suatu sistem pada
interval waktu ∆t. Untuk n yang besar dan ∆t sangat kecil, eksponen pada
elemen matriks T dapat diaproksimasi menggunakan suku pertama dari formula
Baker-Campbell-Hausdorff menjadi [7]
〈qk+1 | T |qk〉 = 〈qk+1 | e−iH∆t |qk〉
≈ 〈qk+1 | e−i∆tp2/2m |qk〉 e−i∆tV (qk) (3.6)
13
Gambar 3.1: Diskritisasi interval waktu
karena potensial V hanya bergantung pada koordinat spasial. Kemudian, elemen
matriks 〈qk+1 | e−i∆tp2/2m |qk〉 dievaluasi dengan transformasi Fourier dan relasi
kelengkapan
〈q| p〉 =1√2π
e−iqp,
∫
dq |p〉 〈p | = 1, (3.7)
sehingga diperoleh
〈qk+1 | e−iH∆t |qk〉 ≈( m
2πi∆t
)1
2
exp i∆t
m
2
(
qk+1 − qk
∆t
)2
− V (qk)
(3.8)
Dengan mengevaluasi seluruh elemen matriks transfer, amplitudo transisi (3.3)
dapat ditulis menjadi
〈q′ |U(t′, t) |q〉 =
∫
( m
2πi∆t
)n2
dq1 . . . dqn−1 exp i
n−1∑
k=0
∆t
m
2
(
qk+1 − qk
∆t
)2
− V (qk)
(3.9)
〈q′ |U(t′, t) |q〉 =
∫
Dq exp i
∫ T
0
dtm
2q2 − V (q)
=
∫
DqeiS (3.10)
dengan
Dq ≡( m
2πi∆t
)n2
dq1 . . . dqn−1 (3.11)
Dengan S merupakan aksi fungsional dari suatu sistem,
S(q) =
∫ t′
t
dtL(q(t), q(t)), (3.12)
dan∫
Dq merupakan integrasi dari seluruh fungsi q(t). Path integral merupakan
penjumlahan terhadap semua lintasan partikel q(t).
Lintasan partikel yang dimaksud bukan hanya lintasan dengan aksi minimum
14
Gambar 3.2: Lintasan partikel
seperti pada mekanika klasik. Lintasan klasik yang memenuhi persamaan gerak
δS(q) = 0 yang dinyatakan dengan persamaan Euler-Lagrange
∂L
∂q− ∂
∂t
∂L
∂q= 0 (3.13)
hanyalah satu dari seluruh lintasan tak berhingga yang mungkin sebab mekanika
kuantum tidak memperbolehkan adanya hanya satu lintasan unik [8]. Akibat-
nya, semua lintasan yang mungkin harus dilibatkan dalam perhitungan. Setiap
lintasan memiliki bobot exp(iS) yang dinyatakan dalam persamaan (3.10) [9].
Munculnya faktor bobot (sebenarnya : eiS~ ) untuk setiap lintasan merupakan
konsekuensi bahwa lintasan klasik harus diperoleh pada limit klasik ~ → 0.
3.2 Teori Medan Kuantum Menggunakan Path
Integral
Pada subbab ini, representasi path integral dalam mekanika kuantum akan dia-
dopsi dalam teori medan kuantum. Sebelumnya telah diturunkan formulasi path
integral pada mekanika kuantum nonrelativistik dengan dimensi ruang 0 dan wak-
tu 1. Formulasi path integral untuk teori medan didapatkan dengan mengganti
variabel dasar q(t) menjadi medan skalar φ(x, t). Variabel-variabel yang diganti
15
antara lain [10]
q(t) ↔ φ(x, t)∏
t,i
dqi(t) ↔∏
t,x
dφ(x, t) ≡ Dφ
S =
∫
dtL ↔ S =
∫
d4xL
dengan S adalah aksi klasik. Besaran yang penting di teori medan ialah nilai
ekspektasi vakum dari produk time-ordered operator medan, yaitu fungsi Green:
〈0 |φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn)) |0〉 , t1 > t2 > . . . > tn (3.14)
seperti contohnya ialah propagator
〈0 |φ(x1)φ(x2) |0〉 (3.15)
Dengan analogi path integral mekanika kuantum kita menuliskan representasi
fungsi Green dalam integral fungsional [11],
〈0 |φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn) |0〉 =1
Z
∫
Dφ φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn)eiS (3.16)
dengan
Z =
∫
DφeiS (3.17)
Pada pembahasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa perhitungan path integral
melibatkan komponen eksponen imaginer, yang bila diekspansi merupakan kom-
ponen yang berosilasi. Hal ini membuat integral tidak dapat dihitung secara
numerik. Namun, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kontinuasi analitik
ke waktu imaginer. Dengan cara ini, eksponen menjadi real dan dapat dihi-
tung secara numerik. Sistem ruang waktu dengan komponen waktu imaginer
ini disebut ruang waktu Euclidean. Karena sebelumnya diturunkan persamaan
menggunakan ruang waktu Minkowski, maka harus dilakukan substitusi
t = x0 → −ix4 (3.18)
Sebagai contoh, kita lakukan kontinuasi pada medan skalar dengan aksi
S =
∫
d4x
[
1
2(∂µφ)(∂µφ) − m2
2φ2
]
(3.19)
16
Dengan melakukan integrasi parsial, aksi dapat ditulis sebagai
S =1
2
∫
d4xφ(−∂2 − m2)φ. (3.20)
Kontinuasi ke waktu imaginer dilakukan dengan substitusi
d4x = dx0dx1dx2dx3
= −idx1dx2dx3dx4
= −id4xE
∂2 = ∂20 − ∂2
1 − ∂22 − ∂2
3
= −∂21 − ∂2
2 − ∂23 − ∂2
4
= −∂2E
yang menghasilkan
iS =i
2
∫
(−i)d4xEφ(∂2E − m2)φ
= −1
2
∫
d4xEφ(−∂2E + m2)φ
= −SE (3.21)
dengan
SE =1
2
∫
d4xEφ(−∂2E + m2)φ (3.22)
merupakan aksi medan skalar dalam ruang waktu Euclidean. Fungsi Green versi
Euclidean adalah
〈0 |φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn) |0〉E =1
Z
∫
Dφ φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn)e−SE (3.23)
dengan
Z =
∫
Dφe−SE (3.24)
Selanjutnya huruf E untuk menunjukkan versi Euclidean akan dihilangkan, te-
tapi dimengerti bahwa kita menggunakan ruang waktu Euclidean. Kita lihat
bahwa setelah dilakukan kontinuasi ke waktu imajiner, integran dari Z tidak la-
gi berosilasi sehingga integrasi tersebut dapat dihitung secara numerik. Dengan
representasi Euclidean, faktor yang berosilasi berubah menjadi eksponensial me-
nurun yang lebih mirip dengan faktor bobot klasik. Lintasan yang lebih disukai
tetap lintasan yang memiliki aksi SE minimum [8].
17
3.3 Diskritisasi
Setelah membuat formulasi ruang-waktu secara Euclidean, kita membentuk kisi
sebagai metode perhitungan. Kisi pada hal ini adalah susunan ruang waktu secara
diskrit dengan geometri hiperkubik empat dimensi dengan jarak antar tiap titik
kisi (sites) adalah a. Dengan demikian pada, medan hanya memiliki nilai pada
titik-titik kisi
xµ = mµa, mµ = 0, 1, . . . , N − 1. (3.25)
sehingga panjang sisi dari kotak hiperkubik ialah L = Na dan volumenya L4.
Medan Aµ pada titik kisi xµ = mµa ditulis dengan notasi Aµx. Dengan dilaku-
Gambar 3.3: Lattice atau kisi 3 dimensi
kannya diskritisasi, maka integral dapat digantikan dengan sumasi
∫
d4x → a4N−1∑
m1
N−1∑
m2
N−1∑
m3
N−1∑
m4
= a4∑
m
=∑
x
(3.26)
yang pada limit kontinu harus dipenuhi
∑
x
f(x) →∫ L
0
d4xf(x), N → ∞, a → 0, L tetap (3.27)
Sekarang akan dilakukan diskritisasi suku pure gauge pada persamaan 2.12. Ten-
sor kuat medan yang diberikan oleh
Fµν = ∂µAν − ∂νAµ (3.28)
18
Dengan turunan atau derivatif medan diganti dengan perbedaan atau selisih med-
an antara dua titik kisi,
∂µAν =1
a(Aνx+aµ − Aνx), (3.29)
∂νAµ =1
a(Aµx+aν − Aµx) (3.30)
dengan µ dan ν merupakan vektor satuan pada arah µ dan ν. Dengan diskritisasi
yang telah dijelaskan maka kita dapat menulis aksi untuk medan pure gauge pada
persamaan (2.12) dalam bentuk diskrit [7]
S =1
4
∫
d4xFµνFµν → 1
4
∑
x
1
a2[(Aνx+aµ − Aνx) − (Aµx+aν − Aµx)]
[(Aνx+aµ − Aνx) − (Aµx+aν − Aµx)] (3.31)
3.4 Transformasi Gauge pada Lattice
Perhatikan aksi dari medan skalar pada persamaan (3.19). Untuk medan skalar
kompleks, setelah diskritisasi, aksi tersebut dapat ditulis menjadi
S = a4∑
m,µ
Re
[
−φ†x
(
φx+aµ + φx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ†xφx
]
(3.32)
Aksi tersebut invarian terhadap transformasi gauge global
φx → φ′x = Ωφx
φ†x → φ†′
x = φ†xΩ
†
dengan Ω = e−iθ merupakan elemen dari grup U(1). Kemudian, aksi tersebut
harus invarian terhadap transformasi gauge lokal U(1), dengan elemen grup Ω
bergantung pada titik kisi, Ω = Ωx. Sehingga medan φx bertransformasi sebagai
berikut,
φx → φ′x = Ωxφx (3.33)
φ†x → φ†′
x = φ†xΩ
†x. (3.34)
Dari transformasi tersebut, perhatikan besaran φ†xφx+aµ dan φ†
xφx−aµ. Besaran
tersebut tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal yang didefinisikan pada
19
persamaan (3.32) dan (3.33)
φ†xφx+aµ → φ†
xΩ†xΩx+aµφx+aµ, (3.35)
φ†xφx+aµ → φ†
xΩ†xΩx−aµφx−aµ. (3.36)
Agar besaran tersebut invarian, maka kita membutuhkan suatu besaran Uµx yang
bertransformasi sebagai berikut,
Uµx → ΩxUµxΩ†x+aµ (3.37)
Uµx merupakan besaran yang menghubungkan titik kisi yang satu dengan titik kisi
lainnya pada lattice, dan disebut dengan variabel ”link”. Di dalam variabel link
terdapat medan gauge Aµ agar besaran pada persamaan (3.31) invarian terhadap
transformasi gauge lokal. Variabel link didefinisikan sebagai
Uµx = Ux,x+aµ = eigaAµx (3.38)
Sehingga kita memiliki bentuk yang invarian terhadap transformasi gauge lokal
pada lattice
φ†xφx+aµ → φ†
xUx,x+aµφx+aµ (3.39)
φ†xφx−aµ → φ†
xU†x−aµ,xφx+aµ (3.40)
dimana
U−µx = U †x−aµ,x = Ux,x−aµ = e−igaAµx−aµ (3.41)
Pada teori kontinum Uµx tidak lain merupakan parallel transporter yang analog
dengan obyek yang sama pada geometri diferensial, yang memetakan vektor dari
titik yang satu ke titik lainnya sepanjang kurva.
U(x, y; C) = eigR xy
Aµ(z)dzµ . (3.42)
Parallel transporter tidak hanya bergantung pada titik x dan y tetapi juga kurva
C yang dipilih.
Dengan diperkenalkannya variabel link Uµx yang didalamnya terdapat medan
gauge Aµ, maka kita dapat menulis aksi untuk medan gauge pada lattice yang
20
Gambar 3.4: Lintasan C antara x dan y
invarian terhadap transformasi gauge lokal dalam Uµx. Untuk itu perhatikan
medan gauge yang didefinisikan sebagai berikut
FµνFµν = (∂µAν − ∂νAµ) (∂µAν − ∂νAµ) (3.43)
di mana
Aµ =
(
|~v|21 − β2
φ,−~v
√
1 − β2φ
)
(3.44)
= ǫµφ
dengan
ǫµ =
(
|~v|21 − β2
,−~v
√
1 − β2
)
(3.45)
Pada Aµ telah dibuat ansatz bahwa Aµ dapat diseparasi menjadi ǫµ dan φ, di
mana φ merupakan suatu besaran medan berdimensi massa, [φ] = 1, atau suatu
medan yang memiliki kecepatan ~v. Sehingga persamaan (3.42) dapat ditulis
menjadi
FµνFµν = (∂µ (ǫνφν) − ∂ν (ǫµφµ)) (∂µ (ǫνφ
ν) − ∂ν (ǫµφµ)) (3.46)
Kemudian dilakukan separasi komponen waktu dan ruang secara eksplisit untuk
mempermudah perhitungan. Sebagai berikut
FijFij = (∂i (ǫjφj) − ∂j (ǫiφi))
(
∂i(
ǫjφj)
− ∂j(
ǫiφi))
(3.47)
Fi0Fi0 = (∂i (ǫ0φ0) − ∂0 (ǫiφi))
(
∂i(
ǫ0φ0)
− ∂0(
ǫiφi))
(3.48)
F0jF0j = (∂0 (ǫjφj) − ∂j (ǫ0φ0))
(
∂0(
ǫjφj)
− ∂j(
ǫ0φ0))
(3.49)
21
Dengan asumsi bahwa loop yang diamati sangat kecil maka dapat diasumsikan
bahwa ǫ0 = ǫi = ǫj = konstanta. Dengan menjumlahkan persamaan (3.47)
hingga (3.49), diperoleh
FµνFµν = ǫiǫj (∂iφj − ∂jφi)
(
∂iφj − ∂jφi)
+ 2ǫ0ǫi (∂0φi − ∂iφ0)(
∂0φi − ∂iφ0)
(3.50)
Dalam tugas akhir ini digunakan variabel link yang berbeda sebab digunakan
separasi pada Aµ. Variabel link, Uµx dengan Aµ yang kita gunakan dapat ditulis
sebagai
Uµx = eigaAµx
= eigaǫµφx
=(
eigaφx)ǫµ
= U ǫµ
x (3.51)
dengan Ux = eigaφx . Dengan cara ini, kita dapat menuliskan medan gauge pada
persamaan (3.43) dalam variabel link Ux sebagai
FµνFµν = ǫiǫj
(
UixUjx+aiU†ix+ajU
†jx
)
+ 2ǫ0ǫi
(
U0xUix+a0U†0x+aiU
†ix
)
(3.52)
Aksi pada kisi pada persamaan (3.31) yang kecil dapat dituliskan [7]
S =1
g2
∑
x
∑
µ<ν
[
1 − 1
2
(
Uµνx + U †µνx
)
]
≈ 1
4
∑
xµν
a4FµνxFµνx (3.53)
Dengan
Uµνx = UµxUνx+aµU †µx+aνU
†νx (3.54)
yang dapat ditulis dalam bentuk singkat
SG[U ] =1
g2
∑
P
[
1 − 1
2
(
UP + U †P
)
]
(3.55)
Untuk kasus non-Abelian
SSU(N)G [U ] =
2N
g2
∑
P
[
1 − Tr
2N
1
2
(
UP + U †P
)
]
(3.56)
22
Gambar 3.5: Uµνx pada sebuah Plaquette
3.5 Observable
Suatu besaran yang terukur (observable) dalam mekanika kuantum adalah hasil
operasi suatu operator terhadap state tertentu. Didefinisikan 〈f | O | i〉 sebagai
nilai observable dengan operator O yang muncul akibat transisi dari keadaan | i〉ke keadaan |f〉 .Observable suatu sistem tidak selalu bergantung pada transisi keadaan sistem.
Kita definisikan operator observable yang tidak bergantung transisi dan yang
bergantung transisi masing-masing sebagai O′ dan O′. Dengan demikian dapat
dituliskan
〈f | O |i〉 = 〈f | O′ + O′ | i〉
= 〈f | O′ | i〉 + 〈f | O′ | i〉
= 〈i | O′ |i〉 + 〈f | O′ | i〉 (3.57)
Pada suku pertama r.h.s, keadaan akhir tetap |f〉 sebab interaksi tidak me-
nyebabkan transisi, maka dari itu hanya suku kedua r.h.s yang diperhitungkan.
Dalam kaitannya dengan path integral didapatkan
〈i | O′ |i〉 =
∫
D[medan]e−S0 (3.58)
〈f | O′ |i〉 =
∫
D[medan]e−(S0+S′) (3.59)
23
di mana pada persamaan tersebut, interaksi yang mengakibatkan munculnya ob-
servable O′ dan O′ adalah aksi S0 dan S ′, sementara D[medan] menandakan
integrasi terhadap seluruh medan yang terdapat dalam integran. Langkah selan-
jutnya ialah normalisasi besaran 〈f | O | i〉 terhadap 〈i | O′ | i〉 , dinotasikan sebagai
Z.
Z =Z ′
Z0=
∫
D[medan]e−(S0+S′)
∫
D[medan]e−S0
(3.60)
Ekspansikan e−S′
hingga orde pertama, didapatkan
Z =
∫
D[medan](1 − S ′)e−S0
∫
D[medan]e−S0
Pada persamaan (2.11) dan (2.12) tampak bahwa medan pada Lagrangian fluida
terdiri atas φ dan Aµ. Dengan menyatakan bahwa S ′ adalah aksi yang mengan-
dung Aµ saja dan S0 sebagai aksi yang hanya mengandung φ, dapat dituliskan
Z =
∫
DφDAS ′e−S0
∫
DφeiS0
(3.61)
dengan∫
DA pada r.h.s tidak diperhitungkan karena tidak bergantung transisi.
Karena aksi merupakan integrasi Lagrangian terhadap ruang-waktu tak berhing-
ga dan tidak dapat dipastikan memiliki suatu harga tertentu, maka integrasi ini
tidak dilakukan sehingga kita hanya dapat menghitung densitas Z yang dinota-
sikan sebagai ZZ =
∫
DφDAL′e−S0
∫
Dφe−S0
(3.62)
Persamaan di atas masih dapat disederhanakan mengingat S0 hanya bergantung
pada φ dan L′ hanya bergantung pada Aµ sehingga didapatkan
Z =
∫
Dφe−S0
∫
DAL′
∫
Dφe−S0
=
∫
DAL′ (3.63)
3.6 Path Integral dan Mekanika Statistik
Formulasi teori medan kuantum Euclidean pada lattice memiliki analogi dengan
mekanika statistik. Pada persamaan (3.24) kita telah melihat bahwa integral
24
fungsional memiliki bentuk serupa dengan fungsi partisi pada mekanika statis-
tik. Berikut ini adalah beberapa analogi antara formulasi teori medan kuantum
Euclidean dengan mekanika statistik [10].
∫
Dφe−SE → Σe−βH
SE → βH
Dengan dasar analogi formal tersebut dapat digunakan metode yang berlaku
pada mekanika statistik dalam teori medan, dan sebaliknya. Bahkan terminologi
yang digunakan pada keduanya seringkali identik. Dalam tugas akhir ini, fungsi
partisi yang digunakan adalah densitas fungsi partisi yang telah dinormalisasi
(3.66), sehingga besaran fisis yang didapat juga dalam bentuk densitas.
Dengan persamaan (3.63) dan (3.52) dapat dihitung Z sebagai berikut
Z =1
4
∫
DAǫiǫj
(
UixUjx+aiU†ix+ajU
†jx
)
+ 2ǫ0ǫi
(
U0xUix+a0U†0x+aiU
†ix
)
=1
4
(−i
ga
)4 ∫ǫ0ǫ1ǫ2ǫ3
U0xU1xU2xU3x
dU0x
∏
i
dUixǫiǫj
(
UixUjx+aiU†ix+ajU
†jx
)
+2ǫ0ǫi
(
U0xUix+a0U†0x+aiU
†ix
)
(3.64)
Besaran fisis pada mekanika statistik dapat diturunkan menggunakan fungsi par-
tisi, contohnya [12]
F = − lnZ energi bebas sistem
P = −∂F
∂Vtekanan
S =dPdT
entropi
25
Bab 4
Hasil dan Pembahasan
Fluida murni dapat dimodelkan dengan Lagrangian pada persamaan (2.11 - 2.12)
untuk kasus non-Abelian. Dalam persamaan tersebut terdapat suku pure gauge
yang merepresentasikan fluida murni, yaitu
LPG = −1
4F a
µνFaµν (4.1)
Dari persamaan tersebut dapat dilihat adanya interaksi antar fluida yang berbeda
(ditunjukkan oleh indeks a), maka Lagrangian untuk kasus non-Abelian meng-
gambarkan sistem multi fluida. Melalui definisi F aµν ≡ ∂µA
aν − ∂νA
aµ − gfabcAb
µAcν
kita dapat mengetahui bahwa Lagrangian tersebut hanya mengandung suku ki-
netik (derivatif). Oleh karena itu, Lagrangian ini menggambarkan pergerakan
(aliran) fluida saja, sehingga diinterpretasikan sebagai Lagrangian fluida murni.
Besaran fisis dapat dihitung menggunakan fungsi partisi, sementara itu dari sub-
bab (3.6) sudah diketahui bahwa terdapat hubungan antara path integral dengan
mekanika statistik. Dengan demikian dapat dicari besaran-besaran fisis sistem
dengan menghitung path integral. Masalahnya adalah tidak diketahuinya besar
konstanta kopling, g, untuk kasus fluida. Solusinya adalah perhitungan harus
dilakukan secara nonperturbatif dengan metode Lattice Gauge Theory. Perhi-
tungan path integral secara nonperturbatif dilakukan dengan menyusun aksi pa-
da persamaan (3.56) dalam kerangka ruang-waktu diskrit berdasarkan teori pada
bab 3, kemudian dilakukan perhitungan dengan metode Monte Carlo menggu-
nakan algoritma Metropolis.
Perhitungan fungsi partisi pada kisi 4 dimensi dilakukan 2 kali dengan jumlah
titik kisi masing-masing 104 dan 304 titik kisi dengan menggunakan volume kisi
26
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
0.79 0.8 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88 0.89 0.9 0.91
Z d
ensi
ty
v(c)
simulasi 1simulasi 2simulasi 3
Gambar 4.1: Nilai Z pada kisi 104 site |v| = 0, 8c hingga 0.9c
0, 54fm4. Nilai konstanta kopling yang digunakan pada keduanya sama, yakni
g = 1. Alasan pemilihan volume kisi yang kecil tersebut adalah karena kita
mengharapkan fungsi yang dintegrasi tidak banyak berfluktuasi, sementara itu
perhitungan secara nonperturbatif diwakili dengan nilai g = 1.
Gambar 4.1 menunjukkan hasil perhitungan Z terhadap v pada kisi dengan jum-
lah titik kisi 84. Pada gambar tersebut, diplot dua set data dengan parameter
yang sama. Tampak bahwa hasil ketiga perhitungan tidak berhimpit, terutama
pada daerah kecepatan mendekati c. Hasil ini menunjukkan bahwa perhitung-
an harus diulang dengan jumlah titik kisi lebih banyak. Maka dari itu dilakukan
perhitungan pada kisi dengan jumlah titik 304 titik dengan parameter yang sama,
hasilnya adalah gambar 4.2. Secara umum, fluktuasi nilai Z dapat terjadi karena
metode Monte Carlo yang digunakan dalam perhitungan. Namun, fluktuasi ini
dapat diperkecil dengan memperbanyak konfigurasi dalam perhitungan.
Pada gambar 4.3, perhitungan menggunakan 304 titik kisi dilakukan hanya hingga
|v| = 0.5c sebab nilai Z meningkat secara asimtotik. Kenaikan secara asimtotik
ini disebabkan adanya faktor Lorentz dalam Lagrangian.
27
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
0.79 0.8 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88 0.89 0.9 0.91
Z d
ensi
ty
v(c)
simulasi 1simulasi 2
Gambar 4.2: Nilai Z pada kisi 304 site dengan |v| = 0.8 hingga 0.9c
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
1.1
-0.05 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55
Z d
ensi
ty
v(c)
Gambar 4.3: Nilai Z pada kisi 304 site dengan |v| = 0 hingga 0.5c
Penjelasan pemilihan batas perhitungan pada |v| = 0.5c adalah : (a) penjelasan
matematis karena Z meningkat secara asimtotik dan, (b) penjelasan fisis karena
nilai F pada |v| = 0.5c sudah bernilai negatif seperti tampak pada gambar (4.4).
28
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5
F d
ensi
ty
v(c)
Gambar 4.4: Nilai F pada kisi 304 site dengan |v| = 0 hingga 0.5c
Pada gambar 4.4 diplot nilai F terhadap |v|. Dalam konteks sistem multi fluida,
F adalah nilai densitas energi bebas yang dapat digunakan dalam interaksi antar
fluida. Dengan demikian, nilai F yang asimtotik pada |v| = 0 menandakan bahwa
fluida berinteraksi sangat kuat dengan fluida lainnya. Namun kuat interaksi ini
menurun bila fluida bergerak dan akhirnya interaksi tidak terjadi lagi bila energi
kinetik sudah lebih besar daripada energi interaksi.
Sekilas bila kita perhatikan persamaan (3.63), tampak bahwa nilai konstanta
lebar kisi a berada di luar tanda integral. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan
mengenai pengaruh pemilihan a terhadap nilai Z. Untuk menjawabnya, perlu
ditekankan bahwa nilai Z yang dihitung adalah nilai densitas pada satu titik kisi,
belum nilai Z sebenarnya. Untuk menghitung nilai Z perlu dilakukan integrasi Zterhadap ruang-waktu 4 dimensi, yang tentu saja akan menghilangkan pengaruh
nilai a4 pada penyebut. Perhitungan tersebut melibatkan teori finite temperature
lattice gauge theory yang diharapkan akan menjadi kelanjutan dari tugas akhir
ini.
29
Bab 5
Kesimpulan
Dari perhitungan dan analisis yang dilakukan pada pemodelan fluida murni de-
ngan dinamika fluida berbasis teori medan, dapat disimpulkan bahwa besarnya
densitas fungsi partisi Z berubah secara asimtotik terhadap kecepatan |v| Perbe-
daan nilai Z dengan jarak antar titik kisi yang berbeda bukanlah suatu masalah
sebab nilai Z adalah nilai densitas, bukan nilai Z sebenarnya. Fisika seharusnya
tidak berubah terhadap pemilihan jarak antar titik kisi. Fluktuasi memang dapat
terjadi, tetapi hanya dapat disebabkan oleh kesalahan statistik pada perhitung-
an dengan menggunakan simulasi Monte Carlo. Perhitungan yang stabil pada
jumlah titik kisi yang besar (jarak antar titik kisi yang kecil, bila volume kisi
konstan) menunjukkan bahwa metode lattice memberi hasil yang baik pada dae-
rah perhitungan sangat kecil. Nilai energi yang diskontinu pada kecepatan |v| = 0
menunjukkan bahwa interaksi antar fluida pada |v| = 0 sangatlah kuat. Kuat in-
teraksi ini menurun secara asimtotik pula dengan bertambahnya kecepatan, hal
ini disebabkan partikel yang bergerak, secara logis, akan berinteraksi sangat kecil
satu sama lain hingga pada kecepatan tertentu di mana energi interaksi sudah
sangat kecil akibat besarnya energi kinetik.
Formulasi dan perhitungan menggunakan LGT merupakan teknik yang menjan-
jikan untuk mempelajari sistem-sistem yang dimodelkan menggunakan Lagrang-
ian dinamika fluida dimana tidak ada kepastian mengenai besarnya konstanta
kopling, sehingga tidak ada jaminan teori perturbasi berlaku. Penelitian le-
bih lanjut memerlukan finite temperature lattice gauge theory dan melibatkan
interaksi-interaksi selain interaksi antar fluida.
30
Lampiran A
Evaluasi Path Integral denganMetode Monte Carlo
Berikut ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk mengevaluasi path in-
tegral secara numerik. Integrasi yang harus dilakukan untuk mengevaluasi path
integral sangat banyak, sehingga metode Monte Carlo merupakan metode yang
paling efisien. Sebagai ilustrasi, simulasi pada lattice dengan 40 titik kisi pada
setiap arah, maka terdapat variabel link sebanyak 4 ·404. Bila simulasi dilakukan
untuk grup gauge SU(3) maka terdapat variabel real sebanyak 81.920.000.
Secara prinsip, rata-rata path integral 〈〈Γ[x]〉〉 dari sembarang fungsional Γ[x]
dapat digunakan untuk menghitung berbagai sifat fisis di teori kuantum. Besaran
〈〈Γ[x]〉〉 =
∫
Dx(t)Γ[x]e−S[x]
∫
Dx(t)e−S[x](A.1)
merupakan rata-rata terhadap konfigurasi dengan bobot e−S[x]. Konfigurasi acak
dibuat dalam jumlah yang banyak, Ncf ,
xα ≡
xα0 xα
1 . . . xαN−1
, α = 1, 2, . . . , Ncf (A.2)
sehingga probabilitas untuk memperoleh konfigurasi tertentu x(α) ialah
P [xα] ∝ e−S[x] (A.3)
Kemudian himpunan konfigurasi ini dirata-ratakan untuk mengaproksimasi nilai
harapan 〈〈Γ[x]〉〉
〈〈Γ[x]〉〉 ≈ Γ ≡ 1
Ncf
Ncf∑
α=1
Γ[x(α)]. (A.4)
31
Γ merupakan ”Monte Carlo estimator” untuk 〈〈Γ[x]〉〉 di lattice. Namun, seperti
statistik pada umumnya, akurasi dipengaruhi oleh banyaknya data yang diguna-
kan, dalam hal ini : besar Ncf . Karena Ncf tidak mungkin dibuat tak berhingga,
ketidakpastian Monte Carlo σΓ pada estimasi merupakan sumber kesalahan yang
potensial. Kesalahan atau deviasi dihitung seperti pada umumnya,
σ2Γ≈ 1
Ncf
1
Ncf
Ncf∑
α=1
Γ2[x(α)] − Γ2
(A.5)
Persamaan di atas menjadi
σ2Γ
=〈〈Γ2〉〉 − 〈〈Γ〉〉2
Ncf
(A.6)
untuk Ncf yang besar. Dari persamaan (A-6) tampak bahwa ketidakpastian sta-
tistik sebanding dengan 1/√
Ncf .
Untuk mendapatkan konfigurasi acak dengan probabilitas (A.1), diperlukan al-
goritma tertentu. Berikut adalah beberapa metode yang umum digunakan untuk
membuat konfigurasi :
• Metode Metropolis
• Algoritma Langevin
• Algoritma Heatbath
• Algoritma Hybrid dan Hybrid Monte Carlo
• Metode Molecular Dynamics
Simulasi untuk tugas akhir ini dilakukan dengan algoritma Metropolis. Prose-
dur adalah yang paling sederhana walaupun bukan yang terbaik. Prosedur ini
dimulai dengan konfigurasi sembarang x(0) (inisialisasi) dan memodifikasinya de-
ngan mengunjungi setiap titik kisi pada lattice, dan membangkitkan bilangan
acak untuk xj pada titik kisi tersebut, dengan cara yang akan dijelaskan beri-
kutnya. Di sini dibuat konfigurasi acak yang baru dari konfigurasi sebelumnya:
x(0) → x(1). Cara ini disebut dengan update konfigurasi. Dengan menerapkan al-
goritma tersebut ke x(1) kita mendapatkan konfigurasi x(2), dan seterusnya hingga
32
Ncf konfigurasi. Himpunan konfigurasi ini akan terdistribusi secara tepat bila Ncf
cukup besar.
Algoritma untuk membangkitkan bilangan acak untuk xj pada titik kisi j ialah
sebagai berikut [13]:
• Bangkitkan bilangan acak ζ , dengan probabilitas terdistribusi seragam an-
tara −ǫ dan ǫ dengan ǫ suatu konstanta.
• Ganti xj → xj + ζ dan hitung perubahan aksi ∆S.
• Bila aksi berkurang, ∆S < 0, ambil nilai baru untuk xj dan lanjutkan
proses ke titik kisi berikutnya.
• Bila ∆S > 0, bangkitkan bilangan acak η yang terdistribusi secara uniform
antara 0 dan 1; ambil nilai yang baru untuk xj bila exp(−∆S) > η, selain-
nya ambil nilai yang lama dan lanjutkan proses ke titik kisi berikutnya.
Terdapat dua hal penting terkait dengan algoritma ini. Pertama, secara umum,
akan terdapat beberapa bahkan banyak nilai xj yang sama pada dua konfigurasi.
Jumlah overlap ini ditentukan oleh parameter ǫ: bila ǫ sangat besar, perubahan
pada xj biasanya besar dan sebagian besar akan ditolak; sementara bila ǫ sangat
kecil, perubahannya akan kecil dan kebanyakan akan diterima, tetapi nilai xj
yang baru akan mendekati atau sama dengan nilai yang lama. Parameter ǫ harus
disesuaikan sehingga 40%-60% xj akan berubah untuk tiap update pada titik ki-
si. Berapapun ǫ, konfigurasi yang berurutan akan mirip (berkorelasi tinggi) dan
mengandung informasi yang mirip pula. Solusinya, konfigurasi x(α) diakumulasi
untuk estimasi Monte Carlo, kemudian hanya diambil tiap Ncor konfigurasi se-
hingga memberikan kita konfigurasi yang tidak bergantung secara statistik. Nilai
optimal dari Ncor bergantung dari teori dan dapat diperoleh dengan mencoba.
Ncor juga bergantung pada jarak antar titik kisi a,
Ncor ∝1
a2(A.7)
Hal kedua yang perlu diperhatikan ialah prosedur untuk memulai algoritma. Kon-
figurasi awal yang digunakan untuk memulai seluruh proses biasanya kurang ber-
aturan. Konsekuensinya kita harus mengabaikan sejumlah konfigurasi di awal,
33
sebelum memulai mengumpulkan nilai x(α). Pengabaian 5Ncor hingga 10Ncor kon-
figurasi biasanya cukup. Proses ini disebut dengan ”termalisasi lattice”.
Sebagai ringkasan, langkah-langkah perhitungan 〈〈Γ[x]〉〉 secara Monte Carlo un-
tuk suatu Γ[x] dengan konfigurasi x adalah
1. Inisialisasi konfigurasi, misalnya semua x diset menjadi nol.
2. Update konfigurasi 5Ncor sampai 10Ncor kali untuk termalisasi.
3. Update konfigurasi Ncor kali, lalu hitung Γ[x] kemudian simpan dan ulangi
sebanyak Ncf kali.
4. Rata-ratakan Ncf nilai dari Γ[x] yang disimpan pada langkah sebelumnya
untuk memperoleh Monte Carlo estimator Γ untuk 〈〈Γ[x]〉〉.
34
Lampiran B
Pemrograman
B.1 Perhitungan Matriks Kompleks
#include <iostream>
#include <iomanip.h>
#include <stdlib.h>
const int N = 2;
class Matriks
public:
double re[N][N];
double im[N][N];
Matriks();
void identity();
void nol();
void printm();
void conjugate();
void dagger();
void kali(float a);
float retrace();
Matriks operator + (Matriks m2);
Matriks operator - (Matriks m2);
Matriks operator * (Matriks m2);
//Matriks Matriks::dagr(Matriks m2);
;
class Kompleks
public:
double re;
double im;
Kompleks();
void isi(float a, float b);
void print();
Kompleks operator + (Kompleks k2);
35
Kompleks operator * (Kompleks k2);
;
Kompleks::Kompleks()
re = 0;
im = 0;
void Kompleks::isi(float a, float b)
re = a;
im = b;
void Kompleks::print()
if (im < 0)
cout << re << " " << im << "i" << endl;
else
cout << re << " + " << im << "i" << endl;
Kompleks Kompleks::operator + (Kompleks k2)
Kompleks tmp;
tmp.re = re + k2.re;
tmp.im = im + k2.im;
return(tmp);
Kompleks Kompleks::operator * (Kompleks k2)
Kompleks tmp;
tmp.re = re*(k2.re) - im*(k2.im);
tmp.im = im*(k2.re) + re*(k2.im);
return(tmp);
Matriks::Matriks()
int i,j;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
re[i][j]=0;
im[i][j]=0;
36
void Matriks::identity()
int i,j;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
re[i][j]=0;
im[i][j]=0;
int k;
for (k=0;k<N;k++)
re[k][k]=1;
void Matriks::nol()
int i,j;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
re[i][j]=0;
im[i][j]=0;
void Matriks::printm()
int i,j;
cout << setprecision(2);
cout << setiosflags(ios::fixed);
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
if (im[i][j] < 0)
cout << setw(8) << re[i][j] << im[i][j] << "i";
else
cout << setw(8) << re[i][j] << "+" << im[i][j] << "i";
cout << endl;
37
cout << resetiosflags(ios::fixed);
cout << "=========" << endl;
void Matriks::conjugate()
int i,j;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
im[i][j]=(-im[i][j]);
void Matriks::kali(float a)
int i, j;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
re[i][j]=a*re[i][j];
im[i][j]=a*im[i][j];
float Matriks::retrace()
int i;
float sum=0;
for (i=0;i<N;i++)
sum = sum + re[i][i];
return sum;
void Matriks::dagger()
Matriks tmp;
int i,j;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
tmp.re[i][j]=re[i][j];
tmp.im[i][j]=(-im[i][j]);
38
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
re[i][j]=tmp.re[j][i];
im[i][j]=tmp.im[j][i];
Matriks Matriks::operator + (Matriks m2)
int i,j;
Matriks tmp;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
tmp.re[i][j] = re[i][j] + m2.re[i][j];
tmp.im[i][j] = im[i][j] + m2.im[i][j];
return(tmp);
Matriks Matriks::operator - (Matriks m2)
int i,j;
Matriks tmp;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
tmp.re[i][j] = re[i][j] - m2.re[i][j];
tmp.im[i][j] = im[i][j] - m2.im[i][j];
return(tmp);
Matriks Matriks::operator * (Matriks m2)
int i,j,k;
Matriks tmp;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
tmp.re[i][j]=0;
tmp.im[i][j]=0;
Matriks tmp1;
39
Matriks tmp2;
for (i=0;i<N;i++)
for (j=0;j<N;j++)
for (k=0;k<N;k++)
tmp1.re[i][j]+=re[i][k]*m2.re[k][j];
tmp2.re[i][j]+=im[i][k]*m2.im[k][j];
tmp1.im[i][j]+=re[i][k]*m2.im[k][j];
tmp2.im[i][j]+=im[i][k]*m2.re[k][j];
tmp.re[i][j]=tmp1.re[i][j] - tmp2.re[i][j];
tmp.im[i][j]=tmp1.im[i][j] + tmp2.im[i][j];
return(tmp);
B.2 Generator Matriks SU(2)
#include <iostream.h>
#include <iomanip.h>
#include <stdlib.h>
double a[4], phi, sin_alpha, sin_theta, cos_theta;
using namespace std;
void GenSU2()
M_SU2.nol();
a[0]=2.0*(rand()/(RAND_MAX+1.0))-1.0;
cos_theta=2.0*(rand()/(RAND_MAX+1.0))-1.0;
sin_theta=sqrt(1.0-cos_theta*cos_theta);
sin_alpha=sqrt(1-a[0]*a[0]);
phi=2.0*Pi*(rand()/(RAND_MAX+1.0));
a[1]=sin_alpha*sin_theta*cos(phi);
a[2]=sin_alpha*sin_theta*sin(phi);
a[3]=sin_alpha*cos_theta;
M_SU2.re[0][0]=a[0];
M_SU2.im[0][0]=a[3];
M_SU2.re[0][1]=a[2];
M_SU2.im[0][1]=a[1];
M_SU2.re[1][0]=-a[2];
M_SU2.im[1][0]=a[1];
M_SU2.re[1][1]=a[0];
M_SU2.im[1][1]=-a[3];
40
B.3 Program Simulasi pada Lattice
#include <iostream.h>
#include <iomanip.h>
#include <stdlib.h>
Matriks plaqsum, plaq, U0, U1, U2, U3, Uprod;
Matriks staplesum, staple, dS;
int getsite(int x[])
int s = x[0]+nsite*(x[1]+nsite*(x[2]+nsite*x[3]));
return s;
float eps(int i)
float result=0;
if (i==0)
result = (v*v)/(1-v*v) ;
else
result = -v/sqrt(1-v*v);
return result;
float KONST(int i, int j)
float result2 = 0;
if (i==0)
result2 = 2*eps(0)*eps(j);
else
result2 = eps(i)*eps(j);
return result2;
void inisialisasi()
for (x[0]=0;x[0]<nsite;x[0]++)
for (x[1]=0;x[1]<nsite;x[1]++)
for (x[2]=0;x[2]<nsite;x[2]++)
for (x[3]=0;x[3]<nsite;x[3]++)
s=getsite(x);
for (mu=0;mu<ndim;mu++)
U[s][mu].identity();
void moveup(int x[],int d)
41
x[d]+=1;
if (x[d]>=nsite) x[d]-=nsite;
void movedown(int x[],int d)
x[d]-=1;
if (x[d]<0) x[d]+=nsite;
float plaquette(int i,int j)
int s;
plaqsum.nol();
int kkk=0;
int mu, nu, ii, jj;
for (mu=0;mu<ndim;mu++)
for (nu=0;nu<ndim;nu++)
if (nu > mu)
for (x[0]=0;x[0]<nsite;x[0]++)
for (x[1]=0;x[1]<nsite;x[1]++)
for (x[2]=0;x[2]<nsite;x[2]++)
for (x[3]=0;x[3]<nsite;x[3]++)
s=getsite(x);
Uprod.nol();U0.nol();U1.nol();U2.nol();U3.nol();
U[s][0].dagger(); U0=U[s][0];U[s][0].dagger();
U[s][1].dagger(); U1=U[s][1];U[s][1].dagger();
U[s][2].dagger(); U2=U[s][2];U[s][2].dagger();
U[s][3].dagger(); U3=U[s][3];U[s][3].dagger();
Uprod = U0*U1*U2*U3;
kkk += 1;
plaq.nol();
plaq = U[s][mu];
for (ii=0;ii<(i-1);ii++)
moveup(x,mu);
plaq = plaq*U[s][mu];
moveup(x,mu);
plaq = plaq*U[s][nu];
for (jj=0;jj<(j-1);jj++)
moveup(x,nu);
plaq=plaq*U[s][nu];
moveup(x,nu);
movedown(x,mu);
U[s][mu].dagger();
plaq = plaq*U[s][mu];
U[s][mu].dagger(); //back
for (ii=0;ii<(i-1);ii++)
movedown(x,mu);
U[s][mu].dagger();
plaq=plaq*U[s][mu];
U[s][mu].dagger(); //back
for (jj=0;jj<j;jj++)
42
movedown(x,nu);
U[s][nu].dagger();
plaq=plaq*U[s][nu];
U[s][nu].dagger(); //back
plaq.kali(KONST(mu,nu));
plaq=Uprod*plaq;
plaqsum = plaqsum + plaq;
return beta*(1-0.5*(plaqsum.retrace()/(kkk)));
void hitungstaple()
staplesum.nol();
for (nu=0;nu<ndim;nu++)
if (nu > mu)
staple.nol();
moveup(x,mu);
staple = U[s][nu];
moveup(x,nu);
movedown(x,mu);
U[s][mu].dagger();
staple = staple*U[s][mu];
U[s][mu].dagger(); //back
movedown(x,nu);
U[s][nu].dagger();
staple = staple*U[s][nu];
U[s][nu].dagger(); //back
staplesum = staplesum + staple;
staplesum.kali(KONST(mu,nu));
/*staple.nol();
moveup(x,mu);
movedown(x,nu);
U[s][nu].dagger();
staple = U[s][nu];
movedown(x,mu);
U[s][mu].dagger();
staple = staple*U[s][mu];
staple = staple*U[s][nu]);
staplesum = staplesum*staple;*/
void Metropolis_Update()
for(mu=0; mu<ndim; mu++)
for (x[0]=0;x[0]<nsite;x[0]++)
for (x[1]=0;x[1]<nsite;x[1]++)
for (x[2]=0;x[2]<nsite;x[2]++)
for (x[3]=0;x[3]<nsite;x[3]++)
s=getsite(x);
hitungstaple();
43
old_U = U[s][mu];
GenSU2();
//M_SU2.printm();
U[s][mu]=M_SU2;
dS=(U[s][mu]-old_U)*staplesum;
dS.kali(beta);
float dS_tr = dS.retrace();
float u = rand()/(RAND_MAX+1.0);
if (dS_tr >0 && exp(-dS_tr)< u)
U[s][mu]=old_U;
//cout << "terima" << endl;
//cout << "tolak" << endl;
B.4 Program Iterasi Z terhadap |v|#include <iostream.h>
#include <iomanip.h>
#include <stdlib.h>
#include <time.h>
#include <cmath>
#define nsite 10
#define ndim 4
#define n_iter 30
#define Pi 3.14159265359
#define c 300000000
#define kop 1.0
#define lat 14.5
int x[ndim], mu, nu, s;
int iter, k, ki, vi;
float v, beta, dS_tr, lorentz, jac, spc;
#include "matriks_kompleks.h"
Matriks U[nsite*nsite*nsite*nsite][ndim], M_SU2, old_U;
#include "matriks_su2.h"
#include "lattice.h"
using namespace std;
int main()
/*beta = 4N/g^2 dipilih g = 1 N = 2 karena SU2*/
beta = 4.0/(kop*kop);
spc = lat/(nsite-1.0);
jac = -1.0/(kop*kop*kop*kop*spc*spc*spc*spc);
//cout << "GOOOO" << endl;
for (vi=0;vi<40;vi++)
44
srand(time(0));
v = 0.025*vi;
lorentz = eps(0)*eps(1)*eps(2)*eps(3);
//cout << "Inisialisasi link" << endl;
inisialisasi();
//cout << "Metropolis Update" << endl;
for(iter=0; iter<n_iter; iter++)
Metropolis_Update();
//cout << iter << " " << plaquette(1,1) << endl;
cout << v << " " << jac*lorentz*plaquette(1,1) << endl;
//cout << "done" << endl;
return 0;
45
Daftar Acuan
[1] Sulaiman, A. Constructing Navier Stokes Equation using Gauge Fi-
eld Theory Approach. Tesis S2. (2005).
[2] Sulaiman, A. Large Amplitude of The Internal Motion of DNA Im-
mersed in Bio-fluid. arXiv:physics/0512206.
[3] Handoko, L.T. dan Sulaiman, A. Relativistic Navier Stokes Equation
from a Gauge-invariant Lagrangian. arXiv:physics/0508219.
[4] http://scienceworld.wolfram.com/physics/Navier-StokesEquation.html
[5] Handoko, L.T. dan Sulaiman, A. Gauge Field Theory Approach to
Construct The Navier Stokes Equation. arXiv:physics/0508086.
[6] Gross, Franz. Relativistic Quantum Mechanics and Field Theory.
Wiley-Interscience. (1993).
[7] Rothe, H.J. Lattice Gauge Theories: An Introduction. World Scienti-
fic. (1997).
[8] Aitchison, I.J.R. and Hey, A.J.G. Gauge Theories in Particle Physics.
Institute of Physics Publishing. (2001).
[9] Smit, J. Introduction to Quantum Fields on A Lattice. Cambridge
University Press. (2002).
[10] Munster, G. dan Walzl, M. Lattice Gauge Theory A Short Primer.
arXiv:hep-lat/0012005.
[11] Ryder, L.H. Quantum Field Theory. Cambridge University Press. (1996).
46
[12] Laine, M. Finite Temperature Field Theory : with Applications to
Cosmology. Lectures given at the Summer School on Astroparticle Physics
and Cosmology. Trieste. (2002).
[13] Lepage, G.P. Lattice QCD for Novices. arXiv:hep-lat/0506036.
47