PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH
CABANG SLAWI
SKRIPSI
SKRIPSI
Oleh:
REGINA LUSIAWAN
E1A007152
KEMETERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO
2012
PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH
CABANG SLAWI
SKRIPSI
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas HukumUniversitas Jenderal Soedirman
Oleh:
REGINA LUSIAWAN
E1A007152
KEMETERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO
2012
SKRIPSI
PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA
PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH
CABANG SLAWI
Disusun Oleh:
REGINA LUSIAWAN
E1A007152
Disusun guna memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal
Pembimbing I/ Penguji I Pembimbing II/ Penguji II Penguji III
Edi Waluyo, SH.,M.H Nurwakhid, S.H.,M.H Budiman Setyo H, S.H.,M.H NIP. 19581222 198810 1001 NIP. 19621225 198903 1003 NIP. 19630620 198901 1001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S NIP. 19520603 198003 2001
PERNYATAAN
Nama : REGINA LUSIAWAN
NIM : EIA007152
Menyatakan bahwa penulisan hukum (skripsi) yang berjudul PERSPEKTIF
HUKUM PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK
PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI adalah
betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain
maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan
pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi
apapun dari fakultas.
Purwokerto, Agustus 2012
Regina Lusiawan NIM.E1A007152
MOTTO
“Diberkatilah orang yang berharap kepada Tuhan, yang menaruh
pengharapannya kepada Tuhan” (Yeremia 17:7)
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: v Kedua orang tuaku tercinta yang
senantiasa memberi dukungan, doa dan nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang untukku.
v Kakak dan Adikku yang selalu memberi perhatian, semangat dan doa.
v Sahabat-sahabatku yang selalu memberi semangat untukku.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul PERSPEKTIF HUKUM
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA PT. BANK
PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TENGAH CABANG SLAWI. Penulisan
Hukum ini merupakan rangkaian persyaratan dan tugas yang harus dipenuhi guna
mencapai gelar Sarjana Strata-1 pada Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto.
Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, Penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
kelancaran dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini. Pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2. Bapak Edi Waluyo, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang
telah memberikan bimbingan, memberikan masukan, arahan dan pengetahuan
sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
3. Bapak Nurwakhid, S.H.,M.H. selak Dosen Pembimbing II Skripsi yang telah
memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan dan pengetahuan
sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Bapak Budiman Setyo Haryanto, S.H.,M.H selaku Penguji yang telah
menguji, memberikan saran dan kritikan kepada penulis guna penyempurnaan
penulisan hukum ini.
5. Bapak Tenang Haryanto, S.H.,M.H.Hum. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama
penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
6. Kedua orang tua penulis, Bapak Setiawan dan Ibu Lulus Puji Utami atas doa,
dorongan semangat, pengertian dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik.
7. Kakakku Veronica Lusiawan dan adikku Yeremia Lusiawan atas semangat
dan doa bagi penulis.
8. Teman-teman PMK FH UNSOED terimakasih atas kebersamaan, bantuan,
dukungan dan doa kalian.
9. Teman-teman angkatan 2007 FH UNSOED atas kebersamaan selama ini.
10. Tika, Mba Titis, Umar, Angel, Silvi, Frisca, Erni, Renata, Yogi terimakasih
atas perhatian, bantuan dan dukungan selama penulis menyelesaikan
penulisan hukum ini.
11. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu baik moril maupun material dalam Penulisan Hukum ini.
Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi
positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk
perkembangan ilmu hukum perdata pada khususnya.
Purwokerto, Agustus 2012
Penulis
ABSTRAK
Kegiatan perbankan yang paling utama adalah pemberian kredit, karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan kegiatan usaha kredit yaitu, berupa bunga dan provisi. Kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan, tanpa adanya pengamanan bank sulit untuk mengelakkan risiko yang timbul sebagai akibat dari tidak berprestasinya debitur. Oleh karena itu sebelum bank menyetujui permohonan kredit dari debitur, bank akan melakukan analisis
terlebih dahulu baik secara ekonomis dan yuridis. Analisis secara ekonomis dilakukan dengan prinsip The Five C’S of credit analisis dan Prinsip 4 P. Analisis secara yuridis dilakukan dengan mengacu pada terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kredit bermasalah adalah semua kredit yang memiliki resiko karena debitur telah gagal atau menghadapi masalah dalam memenuhi kewajibannya yang telah ditentukan. Dalam dunia perbankan kredit bermasalah bisa timbul baik karena faktor intern maupun faktor ekstern bank sehingga dalam pelaksanaan pemberiannya pihak bank harus benar-benar berpegang pada prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip yang lain yang berkaitan dengan pemberian kredit perbankan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditemukan bahwa meskipun Pelaksanaan pemberian kredit di PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku dengan berpegang pada pedoman pemberian kredit yang sehat, namun tetap terjadi kredit bermasalah. Untuk menangani kredit bermasalah yang timbul pihak PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi mempergunakan model penyelesaiannya dengan penyelesaian kredit melalui penyelesaian secara damai yaitu melalui rescheduling.
Kata Kunci: -Kredit -Kredit bermasalah -Rescheduling
ABSTRACT
The prime activity of the bank is giving the credit, because the prominent income of the bank comes from credit income, that is interest and commission. Credit given by the bank need to be protected, because, without any protection, it is hard for the bank to avoid the risks come from debtor that can not fulfill the loan. Therefore, the bank will do economic and juridical analysis to the credit request before dealing the agreement. The bank do the economic analysis by the
principle of Five C’S of cerdit analysis and the principles of 4P. juridical analysis is done based on the condition that written in selection 1320 KUH Perdata.
Non-performing loans are loans with certain risks caused by debtor’s failure to perform his/her obligations. In banking activities, non performing loan could be affected by internal as well as external factors. The risk of non performing loan will be reduced considerably if the prudential principle and other credit analysis principles are duly followed by bank as the creditor.
Relying on the data obtained, it is found that non-performing loan existed in PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Slawi Branch, eventhough the loan had been processed according to the operation procedure developed by PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. To deal with non-performing loan, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Slawi Branch used several methods that is Rescheduling.
Key Word: -Credit -Non-performing loans -Rescheduling
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................................iv
PRAKATA...................................................................................... .................v
ABSTRAK......................................................................................................vii
ABSTRACT...................................................................................................viii
DAFTAR ISI....................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Perumusan Masalah.................................................................................9
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................9
D. Kegunaan Penelitian................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................11
A. Perjanjian Pada Umumnya.....................................................................11
1. Pengertian Perjanjian.........................................................................11
2. Syarat Sahnya Perjanjian...................................................................13
3. Asas-asas Perjanjian..........................................................................17
4. Akibat Hukum Perjanjian..................................................................18
5. Wanprestasi.......................................................................................19
B. Perjanjian Kredit Bank...........................................................................22
1. Pengertian Kredit..............................................................................22
2. Unsur-unsur Kredit...........................................................................25
3. Jenis-jenis Kredit..............................................................................27
4. Perjanjian Kredit...............................................................................29
5. Kredit Bermasalah dan Penyelesai.nya............................................34
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................39
1. Metode Pendekatan.........................................................................39
2. Spesifikasi Penelitian......................................................................40
3. Lokasi Penelitian.............................................................................40
4. Sumber Data....................................................................................40
5. Metode Pengumpulan Data.............................................................41
6. Metode Penyajian Data...................................................................42
7. Metode Analisis Data......................................................................42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................43
A. Hasil Penelitian.......................................................................................43
B. Pembahasan............................................................................................47
1. Aspek Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Menurut Ketentuan
Hukum Perdata.................................................................................47
2. Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada PT. Bank Pembangunan
Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.................................................56
BAB V PENUTUP..........................................................................................65
Simpulan................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................67
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam tahap
membangun dan berkembang. Sebagai negara berkembang Indonesia tentu
mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan Bangsa Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Untuk mewujudkannya, maka Bangsa Indonesia perlu melakukan upaya-
upaya untuk pencapaian tujuan dan cita-cita tersebut. Pembangunan nasional
merupakan wujud nyata terhadap kesungguhan bangsa Indonesia dalam rangka
mencapai tujuan dan cita-cita luhur tersebut.
Dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia yang pada
dasarnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan warga negara Indonesia ini,
dipengaruhi terutama oleh kemampuan ekonomi, yang merupakan kemampuan
untuk meningkatkan pendapatan secara adil dan merata. Berbagai upaya juga
dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan perekonomian, salah
satunya dengan cara meningkatkan usaha di bidang perbankan.
Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat seperti yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan. Dengan kata lain, bank adalah perantara pihak-pihak yang
memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan
dana.
Di Indonesia, lembaga perbankan mempunyai peranan yang sangat penting
yaitu sebagai Agent of development dalam rangka mewujudkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Sebagai salah satu pilar utama
pembangunan nasional, industri perbankan harus mewujudkan tujuan perbankan
nasional. 1 Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa Perbankan Indonesia bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
rakyat banyak.2
Pemberian kredit merupakan salah satu bentuk kegiatan usaha bank yang
berkaitan dengan penyaluran dana bank ke masyarakat yang dapat dimanfaatkan
oleh para pelaku ekonomi untuk mengembangkan dan memperbesar usaha-usaha
mereka, baik yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membantu
terjadinya pemerataan pendapatan di masyarakat. Selain untuk mengembangkan
usaha, fasilitas kredit perbankan dapat pula dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sekundernya seperti untuk pembelian rumah, barang-barang
elektronik, kendaraan, dan lain- lain.
Fasilitas kredit yang disediakan bank guna memenuhi kebutuhan
masyarakat digolongkan menjadi tiga berdasarkan tujuan kegunaannya yaitu,
kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumtif. Kredit investasi dan
1 http://www.google.com/search=Peranperbankanindonesia. Diakses tanggal 27 April
2012 2 Malayu, S.P. Hasibuan, 2005, Dasar-dasar Perbankan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal.
4.
kredit modal kerja merupakan kredit produktif karena digunakan untuk keperluan
bisnis atau usaha, baik berupa modal kerja maupun investasi pembelian aset
perusahaan, sehingga dapat menghasilkan dikemudian hari. Sedangkan kredit
konsumtif digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder masyarakat.3
Di dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan menyatakan bahwa:
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud dengan yang
diperjanjikan”
Dengan demikian, sebelum memberikan kredit kreditur harus melakukan
analisis secara ekonomi terhadap calon debitur yang dimaksudkan untuk menjaga
kemungkinan terjadinya tunggakan atau kredit yang bermasalah karena hal ini
akan berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri.
Analisis secara ekonomi yang digunakan oleh bank terhadap calon debitur
yaitu dengan menggunakan prinsip yang telah dikenal dalam dunia perbankan
sebagai “Prinsip 5C” dan “Prinsip 4 P”. Prinsip 5C terdiri dari character, capital,
capacity, collateral dan condition. Character menyangkut kemauan debitur untuk
membayar kembali kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Capacity dan
capital berupa kemampuan debitur untuk membayar kembali kreditnya.
3 Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada, Jakarta, hal. 60.
Collateral adalah agunan atau jaminan berupa benda atau orang, yang dapat
diberikan oleh calon debitur. Condition adalah keadaan ekonomi pada umumnya,
baik ekonomi nasional maupun ekonomi internasional dan keadaan ekonomi
calon debitur.4 Sedangkan Prinsip 4 P, terdiri dari Personality, Purpose, Payment
dan Prospect. Personality menyangkut kepribadian dari calon nasabah, seperti
riwayat hidup, hobi, keadaan keluarga, dan status sosial. Purpose menyangkut
maksud dan tujuan penggunaan kredit. Payment adalah kemampuan calon
nasabah untuk mengembalikan kreditnya, dan Prospect merupakan harapan masa
depan dari usaha calon nasabah. 5
Apabila dari hasil analisis tersebut, bank menyetujui permohonan yang
diajukan oleh calon debitur, maka pemberian fasilitas kredit akan dituangkan
dalam suatu perjanjian tertulis antara bank dengan debitur selaku pemohon kredit
yang disebut sebagai perjanjian kredit bank. Klausula-klausula yang terdapat
dalam perjanjian kredit tersebut diharapkan dapat memberikan keamanan pihak
bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur, karena pada saat
pelaksanaan perjanjian kredit bank, maka bank berada pada pihak yang lemah,
karena ada kemungkinan suatu sebab pengembalian ataupun pelunasan kreditnya
mengalami kemacetan.
Menyadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko,
maka dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat, yaitu diantaranya :
4 Malayu, S.P. Hasibuan, Op.cit., hal 106. 5 Ibid, hal. 108.
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian
tertulis;
2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak
semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan memberikan kerugian;
3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham, dan
modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham;
4. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum
pemberian kredit (legal lending limit).6
Pelaksanaan pembangunan yang ditunjang dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi dan kondisi pasar yang stabil adalah merupakan kondisi ideal yang
diharapkan semua pihak, tetapi terkadang tidak selalu demikian. Menurunnya
nilai tukar mata uang, terus meningkatnya suku bunga pinjaman dengan disertai
menurunnya daya beli masyarakat sangat mempengaruhi roda perekonomian
secara umum. Kondisi seperti ini akan berimbas pada menurunnya kemampuan
membayar para debitur dari suatu bank. Ketidak mampuan atau menurunnya
kemampuan dari debitur untuk membayar angsuran kreditnya adalah merupakan
gejala awal dari timbulnya suatu kredit bermasalah.
Dalam dunia perbankan, kredit bermasalah adalah kredit-kredit yang
angsurannnya tidak dibayarkan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan
sebelumnya tentang batas waktu pembayaran angsuran kredit. Dalam dunia
perbankan kredit bermasalah dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu faktor
6 Djumhana Muhammad, 2000, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.392.
intern yang berasal dari debitur seperti menurunnya kondisi bisnis, kegagalan
dalam usaha, kesulitan keuangan yang serius, masalah keluarga ataupun karena
watak buruk dari debitur itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern penyebab kredit
bermasalah misalnya, dampak makro ekonomi, adanya kejadian di luar kekuasaan
debitur seperti perang dan bencana alam. Selain itu, kredit bermasalah juga dapat
terjadi karena kesalahan dari pihak bank yang kurang hati-hati dalam mengenal
nasabahnya. 7
Jadi yang dimaksud dengan kredit bermasalah hakekatnya adalah tidak
dilaksanakannya pembayaran angsuran sebagaimana yang diperjanjikan, terlepas
dari segala sesuatu yang menyebabkan tidak terbayarnya angsuran kredit tersebut.
Dalam dunia hukum, kredit bermasalah yang demikian yang notabene adalah
tidak terlaksananya pembayaran angsuran disebut wanprestasi. Dalam
kepustakaan hukum disebutkan bahwa akibat dari wanprestasi adalah timbulnya
hak kreditur untuk menuntut ganti rugi kepada debitur, membatalkan perjanjian
dan meminta debitur untuk membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan
dipengadilan. 8
Dalam hal wanprestasi terjadi dalam pemberian kredit oleh bank, maka
dapat dipahami bahwa apabila debitur peminjam wanprestasi dalam pengertian
tidak membayar angsuran bulanan sebagaimana yang diperjanjikan maka bank
berhak untuk menuntut pelunasan uang pokok dan bunga atas pinjaman yang
7 Siswanto Sutojo, 2007, The Management of Commercial Bank, Cetakan kesatu, Damar
Mulia Pustaka, Jakarta, hal. 171. 8 Miriam Darus dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bhakti,
Bandung, hal. 21.
diberikan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara menagih debitur secara langsung
atau menjual agunan.
Dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dapat diketahui persentase
kredit bermasalah yang terjadi di PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah
Cabang Slawi dalam tahun 2010 adalah 1,03 persen. Salah satunya adalah
perjanjian kredit Nomor 09/PK/BPD/SLW/VIII/2008 antara PT. Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi dengan Rudianto. Dimana PT.
Bank Pembangunan Daerah Jateng Cabang Slawi sebagai kreditur memberikan
pinjaman kepada debitur, yaitu Rudianto berupa kredit konsumtif sebesar Rp.
60.000.000 dengan agunan berupa tanah. Pada awalnya pembayaran angsuran tiap
bulan berjalan lancar, namun setelah berjalan 18 bulan debitur mulai mengalami
kesulitan dalam pembayaran angsuran sehingga menimbulkan tunggakan
angsuran selama 6 bulan. Dengan terjadinya tunggakan angsuran kredit tersebut
ternyata PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah Cabang slawi tidak
menagih seluruh kredit yang diberikan ataupun menjual agunan, tetapi pihak Bank
memberikan kredit baru kepada debitur sejumlah 90.000.000 dengan jangka
waktu yang lebih lama dan bunga yang lebih rendah.
Dalam hal terjadinya kredit bermasalah, bank mempunyai kebijakan untuk
menilai apakah debitur bersalah atau tidak. Dan dengan peran bank sebagai agent
of development maka bank berkewajiban untuk membantu nasabah. Dengan
demikian sekalipun debitur wanprestasi, bank tidak menggunakan haknya untuk
menagih seluruh kredit yang telah diberikan ataupun menjual agunan seperti yang
diatur dalam ketetuan perjanjian kredit Nomor 09/PK/BPD/SLW/VIII/2008.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut mengenai kredit bermasalah ini supaya dapat diperoleh gambaran
yuridis upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kredit bermasalah
tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pihak bank, khususnya PT.
Bank Pembangunan Daerah Jawa tengah Cabang Slawi dan mengangkat judul
Perspektif Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada PT. Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti yang telah dijelaskan di atas
maka dapat diambil suatu rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana aspek hukum penyelesaian kredit bermasalah menurut
ketentuan hukum perdata?
2. Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Pembangunan
Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi?
C. Tujuan Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui tentang cara penyelesaian kredit bermasalah
berdasarkan ketentuan hukum perdata.
2. Untuk mengetahui tentang cara penyelesaian kredit bermasalah pada
Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya
tentang penyelesaian kredit bermasalah berdasarkan ketentuan hukum perdata
dan penyelesaian kredit bermasalah pada Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah Cabang Slawi.
2. Kegunaan Praktis
a. Secara praktis dapat memberikan acuan kepada bank-bank umum
mengenai penyelesaian kredit bermasalah.
b. Memberikan informasi bagi pemerintah atau pun masyarakat tentang
penyelesaian kredit bermasalah di dunia perbankan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pokok permasalahan yang akan dipecahkan adalah mengenai penyelesaian
kredit bermasalah pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang
Slawi. Oleh karena itu, untuk memahami tentang bagaimana penyelesaian kredit
bermasalah, dalam tinjauan pustaka ini kajian yang akan diuraikan adalah
mengenai aspek hukum dari pengertian perjanjian pada umumnya dan yang kedua
mengenai aspek hukum dari perjanjian kredit bank.
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Dalam undang-undang, hukum perjanjian diatur dalam buku III KUH
Perdata yang mengatur tantang perikatan karena perjanjian merupakan salah
satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua pihak dimana di satu pihak ada hak dan di pihak lain ada
kewajiban.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah Suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih. Perjanjian merupakan peristiwa hukum yang berupa tindakan
hukum yang mengakibatkan tibulnya perikatan.
Dari pengertian perjanjian yang disebutkan dalam pasal 1313 KUH
Perdata tersebut, dapat dilihat bahwa unsur-unsur pejanjian adalah:
a. Perbuatan, pada kata “perbuatan” lebih tepat jika diganti dengan kata
“Perbuatan hukum” yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat
hukum, sehingga menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau
dianggap dikehendaki9;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih, dalam membuat suatu
perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang berhadap-hadapan dan
saling menyatakan kehendak satu sama lain;
9 J. Satrio, 1995, hukum Perikatan,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I), PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 25.
c. Mengikatkan dirinya, artinya dalam perjanjian terdapat unsur janji yang
diberikan oleh satu pihak kepada pihak yang lain sehingga para pihak terikat
pada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Dengan arti
seperti itu, rumusan pasal 1313 KUH Perdata hanya menggambarkan
perjanjian sepihak saja.10 Dengan demikian, maka menurut J.Satrio
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua
belah pihak saling mengikatkan diri. 11
Para sarjan mencoba untuk memberikan rumusan mengenai arti
perjanjian. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. 12 Sedangkan Menurut Subekti, perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 13
Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa perjanjian melahirkan
perikatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Artinya, dengan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak maka salah satu pihak atau kedua belah
pihak dapat terbebani kewajiban terhadap pihak lainnya yang berhak menuntut
pelaksanaan kewajiban tersebut. Jadi perjanjian merupakan salah satu sumber
perikatan disamping sumber perikatan yang lainnya.
10 Ibid, hal. 27. 11 Loc.cit. 12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), hal. 97. 13 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian diperlukan untuk menentukan ada atau
tidaknya suatu perjanjian yang lahir dari perbuatan/tindakan para pihak,
sehingga akan berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dari perbuatan para
pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, pembuat undang-undang telah menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah,
yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu Hal Tertentu;
d. Suatu Sebab Yang Halal.
Dasar lahirnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat antara para
pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat merupakan pertemuan antara dua
kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang
dikehendaki pihak lain. 14 Agar dua kehendak bisa bertemu dan saling mengisi
maka harus ada pernyataan kehendak dari satu pihak berupa penawaran dan
penerimaan /akseptasi dari pihak yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan
juga bahwa yang dinamakan sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptasi.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak
untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1329 KUH Perdata pada dasarnya
14 J. Satrio, Op.cit., hal. 165
semua orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali oleh undang-
undang dinyatakan tak cakap. Pada umumnya orang dikatakan cakap apabila
orang tersebut telah dewasa. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa
mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak telah menikah adalah
belum dewasa. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa dewasa adalah
mereka yang telah berumur 21 tahun dan mereka yang telah menikah, termasuk
mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah. 15 Dalam ketentuan
pasal 47 Jo. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, seseorang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum
apabila telah berusia 18 tahun. Ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 UUP terseut
mengesampingkan ketentuan mengenai kedewasaan yang terdapat dalam pasal
330 KUH Perdata. Hal ini berarti, bahwa anak yang telah mencapai usia 18
tahun telah lepas dari perwalian dan dianggap dewasa, yang berarti anak
tersebut dapat melakukan tindakan hukum sendiri dengan sah. 16
Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian menurut pasal
1330 KUH Perdata, yaitu :
1) Orang-orang yang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undanh-undang telah
melarang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
15 J.Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku II), PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5. 16 Ibid, hal. 9.
Syarat ketiga adalah adanya suatu hal tertentu. Menurut J.Satrio, suatu
hal tertentu yang dimaksudkan disini adalah objek dari perjanjian. Objek
perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku tertentu, bisa berupa
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 17
Mengenai syarat bahwa obyeknya harus tertentu, menurut pasal 1333 KUH
Perdata, benda tersebut tidak harus tertentu sejak semula, asalkan dikemudian
hari dapat ditentukan atau dihitung.
Syarat terakhir adalah adanya suatu sebab yang halal. Dalam pasal 1320
KUH Perdata sebab yang halal bukan diartikan sebagai suatu hal yang
menimbulkan akibat. Tetapi pengertian sebab dalam persyaratan keempat ini
diartikan sebagai isi atau tujuan dari suatu perjanjian. 18 Tujuan tersebut
merupakan tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak. Menurut
hamaker sebagaimana dikutip J. Satrio, suatu sebab atau causa dalam
perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan mengadakan
perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan mereka (tujuan Obyektif) dan dengan
demikian setiap perjanjian mempunyai tujuannya sendiri yang khas.19
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyek atau pihak dalam
perjanjian yang disebut syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat
adalah mengenai obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Apabila syarat
subyektif tidak dipenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk
17 J.Satrio, Op.cit., hal. 32. 18 Edy Putra Tje’aman, Kredit Perbankan (Suatu Tinjauan Yuridis), hal. 24. 19 J.Satrio, Op.cit, hal. 60.
meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang meminta pembatalan adalah
pihak yang tidak cakap atau memberikan sepakatnya dalam keadaan tidak
bebas. Jadi perjanjian yang dibuat tetap mengikat para pihak selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang meminta pembatalan.
Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum,
artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal, sehingga tidak ada dasar
hukum untuk saling menuntut di depan hakim.20
3. Asas-asas Perjanjian
Dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa asas perjanjian, antara
lain dalam pasal 1315 tentang asas personalia perjanjian, pasal 1337 tentang
asas kesusilaan dan ketertiban umum, pasal 1338 ayat (1) asas mengikatnya
perjanjian, pasal 1338 ayat (3) tentang asas itikad baik dan pasal 1339 tentang
asas kepatuhan dan kebiasaan. Namun menurut doktrin hanya ada tiga asas
yang paling pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas
kekuatan mengikat dan asas kebebasan berkontrak.
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensua lisme adalah suatu asas yang menentukan bahwa untuk
terjadinya suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu
20 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit., hal. 20.
telah lahir pada saat tercapainya sepakat antara kedua belah pihak tentang
hal-hal pokok yang dimaksudkan didalam perjanjian yang bersangkutan. 21
b. Asas Kekuatan mengikat
Asas kekuatan mengikat adalah suatu asas yang menentukan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak dalam
perjanjian yang bersangkutan sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Asas kekuatan mengikat terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dan berdasarkan
pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata, perjanjian tersebut tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-
alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 22
c. Asas Kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menentukan bahwa
setiap orang adalah bebas untuk memperjanjikan apa saja dan kepada siapa
saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Dengan adanya asas ini, maka perjanjian dibedakan menjadi dua yaitu
perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang diberikan nama khusus oleh undang-undang dan undang-
21Edy Putra Tje’aman , Op.cit, hal. 26. 22 Ibid, hal 28
undang juga memberikan pengaturan secara khusus atas perjanjian-
perjanjian tersebut. Perjanjian bernama tidak hanya terdapat di KUH
Perdata saja, tetapi juga dalam KUHD bahkan dalam undang-undang
tersendiri23. Sedangkan perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang
dalam praktek sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak
diatur dalam undang-undang, contohnya perjanjian sewa-beli24.
4. Akibat Hukum Perjanjian
Dalam KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 tentang akibat hukum
perjanjian, pasal 1338 berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan
demikian setiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah perjanjian yang telah
memenuhi syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu kesepakatan untuk
membua perjanjian, cakap untuk membuat perjanjian, ada prestasi tertentu dan
mempunyai kausa yang halal. Jika telah memenuhi syarat-syarat tersebut maka
perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-
undang yang mengikat orang terhadap siapa undang-undang itu berlaku.
Suatu perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara
sepihak. Atas perjanjian tersebut pembatalan hanya dapat dilakukan dengan
adanya kesepakatan antara para pihak yang membuatnya. Dengan demikian
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat dan para pihak wajib
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut.
23 J.Satrio, Op.cit, hal. 148.
24 Loc.cit.
5. Wanprestasi
Sebelum mengkaji tentang wanprestasi, terlebih dahulu perlu diketahui
tentang prestasi itu sendiri. Prestasi adalah obyek dari perikatan. Prestasi
ditinjau dari sisi kreditur adalah hak yang dapat dituntut dari pihak debitur.
sedangkan prestasi ditinjau dari sisi debitur adalah kewajiban yang harus
dipenuhi oleh debitur sesuai apa yang telah diperjanjikan sebelumnya. Jadi,
prestasi adalah obyek berikatan yang merupakan hak bagi pihak kreditur dan
kewajiban bagi pihak debitur.
Menurut pasal 1234 KUH Perdata, setiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian, wujud prestasi itu sendiri adalah memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat, yaitu:
1) Harus diperkenankan, artinya prestasi tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan;
2) Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi harus terang dan
jelas;
3) Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut
kemampuan manusia. Jika prestasinya secara obyektif tidak mungkin
dilaksanakan, maka tidak akan timbul perikatan. Jika prestasinya secara
subyektif tidak mugkin dilaksanakan, tetapi debitur dengan janjinya
menimbulkan kepercayaan bahwa ia mampu melaksanakan prestasi, maka
ia harus bertanggung jawab jika wanprestasi.
Apabila seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya dengan
sempurna, tepat, sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak,
maka dikatakan bahwa debitur telah menunaikan prestasi atau berprestasi.
Sebaliknya, jika seorang debitur tidak melaksanakan kewajiban atau tidak
memenuhi prestasi yang ditentukan dalam perjanjian karena salahnya, maka ia
dikatakan wanprestasi. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya
prestasi buruk.25 Jadi wanprestasi intinya adalah suatu keadaan dimana pihak
debitur tidak memenuhi kewajibannya (prestasi) yang merupakan hak dari
pihak kreditur, dan keadaan tersebut dapat dipersalahkan kepada debitur
sebagai pihak yang mempunyai kewajiban. Dengan demikian wanprestasi
merupakan akibat dari tidak dipenuhinya suatu perikatan hukum. 26
Wanprestasinya seorang debitur dapat berupa tiga macam, yaitu:
1) Debitur sama sekali tidak berprestasi, artinya debitur tidak memenuhi
kewajibannya yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu
perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-
undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.
25 Subekti, Op.cit, hal. 45. 26 Komariah,2008, hukum perdata, UMM Press, Malang, hal. 149.
2) Debitur keliru berprestasi, disini debitur telah memberikan prestasinya,
tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur berbeda dari apa yang
diperjanjikan. 27
3) Debitur terlambat berprestasi, artinya debitur memenuhi prestasi tetapi
terlambat waktunya tidak seperti yang diperjanjikan. Debitur dikatakan
terlambat berprestasi jika obyek prestasinya masih berguna bagi kreditur.28
Wanprestasi ini ada apabila debitur tidak dapat membuktikan bahwa
tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar
kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai
kesalahan. 29 Kesalahan yang dimaksud dapat berupa kesengajaan dan
kelalaian. Kesengajaan adalah jika ada niat dan kehendak pada debitur untuk
tidak memenuhi prestasi, sedangkan kelalaian ada jika debitur menghindari
penyebab tidak terjadi prestasi dan ia dapat dipersalahkan karena tidak
menghindarinya.
Terjadinya wanprestasi melahirkan hak kreditur untuk melakukan
beberapa tuntutan, dimana hak kreditur tersebut diberikan oleh undang-undang.
Atas wanprestasinya debitur tersebut, undang-undang memberikan hak kepada
kreditur sesuai dengan ketentuan pasal 1267 KUH Perdata. Hak-hak tersebut
adalah:
1) Pemenuhan perjanjian;
27 J.Satrio, Hukum Perikatan, Op.cit, hal. 128. 28 Ibid. hal. 133. 29 A.Qiroim Syamsudin Meliala, 1985, Pokok -Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 26.
2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
3) Ganti rugi saja;
4) Pembatalan perjanjian;
5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
Hak-hak tersebut diberikan oleh undang-undang sebagai wujud
perlindungan terhadap kreditur agar dapat mempertahankan kepentingannya
terhadap debitur yang tidak memenuhi prestasinya.
B. Perjanjian Kredit Bank
1. Pengertian Kredit
Dalam masyarakat istilah kredit bukan hal yang asing dalam kehidupan
sehari-hari. Bukan hanya dikota-kota besar saja istilah kredit ini dikenal, akan
tetapi sampai ke pelosok-pelosok desa kata kredit telah demikian populer.
Jika dilihat secara etimologis, kata kredit berasal dari bahasa Yunani
“credere” yang artinya “kepercayaan” (Belanda: vertrouwen, Inggris:
believe, trust Iatau Iconfidence)30. Dengan demikian seseorang yang
memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan dan sebaliknya
seseorang yang memberikan kredit adalah memberikan kepercayaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit
adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur
30Miriam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank , offset alumni, Bandung, hal. 21.
atau pinjaman sampai batas jumah tertentu yang diizinkan oleh bank atau
badan lain. Dalam kepustakaan hukum perdata juga terdapat beberapa
pendapat tentang arti kredit seperti yang dikemukakan oleh Savelberg dan
Levy.
a. Savelberg menyatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain31:
1) Sebagai dasar setiap perikatan (verbibtenis) dimana seseorang berhak
menuntut sesuatu dari orang lain;
2) Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang
lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.
b. Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai: “menyerahkan secara
sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima
kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu
dibelakang hari”32.
Apa yang dikemukakan oleh Savelberg menunjukan arti hukum dari
istilah kredit secara umum, yaitu kreditur percaya bahwa debitur dapat
dipercaya kemampuannya untuk memenuhi perikatannya, sedangkan arti
kredit menurut Levy lebih menunjukkan kepada pengkhususan arti hukum
dari istilah kredit, yaitu perjanjian pinjam uang. Dalam hal ini kreditur
memberikan pinjaman uang kepada debitur karena mempunyai kepercayaan
31 Ibid. hal. 22. 32 Ibid.
bahwa debitur mampu untuk mengembalikan pinjaman tersebut dikemudian
hari.
Dalam pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang perbankan dirumuskan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”
Pedoman bank dalam pemberian kredit terdapat dalam pasal 8 ayat 1
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang berbunyi:
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa pinjaman uang hanya
dapat diberikan apabila bank mempunyai keyakinan atau kepercayaan bahwa
si peminjam mampu dan sanggup untuk membayar kembali hutangnya. Hal
ini menunjukkan bahwa Undang-undang No 10 Tahun 1998 memberikan
pengertian kredit seperti yang dinyatakan oleh Levy yaitu sebagai “perjanjian
pinjam meminjam uang yang didasarkan atas kepercayaan akan kemampuan
ekonomi penerima kredit, bahwa peminjam sanggup dan mampu
mengembalikan pinjamannya dikemudian hari.
2. Unsur-Unsur Kredit
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kredit merupakan suatu
kepercayaan, maka dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian
kepercayaan. Hal ini berarti, pinjaman yang diberikan benar-benar diyakini akan
dapat dikembalikan dimasa yang akan datang sesuai dengan waktu dan syarat-
syarat yang telah disetujui bersama. Jika dilihat dari pihak pemberi kredit, unsur
yang sangat penting dalan pemberian kredit adalah untuk mengambil keuntungan
dari modalnya dengan mengharapkan pengembalian, sedangkan bagi penerima
kredit adalah adanya bantuan dari pemberi kredit untuk menutupi kebutuhannya.
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa dalam pengertian kredit terdapat
beberapa unsur. Thomas Suyatno menyatakan bahwa perkreditan mengandung
unsur-unsur sebagai berikut33:
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit bahwa prestasi
yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan
benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu
dimasa yang akan datang;
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara
pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada
masa yang akan datang.
33 Thomas Suyatno, 2007, Dasar-dasar Perkreditan, Cetakan keempat, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hal. 14.
c. Degree of risk, Yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi
sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara
pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima
dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi
pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk
menerobos hari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur
ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang
menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko
inilah maka timbulah jaminan dalam pemberian kredit.
d. Prestasi atau objek kredit Tidak saja diberikan dalam bentuk uang,
tetapi juga dapat bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan
ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang maka transaksi-
transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai
dalam praktek perkreditan.
3. Jenis-Jenis Kredit
Pada dasarnya hanya ada satu macam kredit jika dilihat dari pengertian
kredit itu sendiri, akan tetapi utuk membedakan kredit menurut faktor- faktor
dan unsur-unsur yang ada dalam pengertian kredit, sebagai berikut 34:
a. Kredit dari sudut tujuannya.
Kredit ini terdiri atas :
34 Thomas Suyatno, Op.Cit. hal. 25-30.
1) Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk
memperlancar jalannya proses konsumtif. Artinya, uan tersebut akan habis
terpakai untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian kredit ini tidak
akan menghasilkan keuntungan bagi debitur, akan tetapi hanya untuk
membantu memenuhi kebutuhan hidupnya seperti: kredit perumahan,
kredit kendaraan bermotor dan lain sebagainya.
2) Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk
memperlancar jalannya proses produksi. Kredit ini digunakan untuk
peningkatan usaha, baik usaha-usaha produksi, perdagangan maupun
investasi.
b. Kredit dilihat dari sudut jangka waktunya.
Dilihat dari jangka waktunya, jenis kredit meliputi35:
1) Kredit jangka pendek (short term loan) Yaitu kredit yang berjangka waktu
maksimum 1 tahun.
2) Kredit jangka menengah (medium term loan).Yakni kredit yang berjangka
waktu antara 1 sampai 3 tahun, Kredit yang berjangka waktu menengah ini
diantaranya adalah kredit modal kerja permanen (KMKP) yang diberikan
oleh bank kepada pengusaha golongan lemah yang berjangka waktu
maksimum 3 tahun.
35 Mohamad Djumhana, Op.cit. hal. 376-377.
3) Kredit jangka panjang (long term loan). Yaitu kredit yang berjangka waktu
lebih dari 3 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya adalah kredit
innvestasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka
untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi, dan pendirian proyek baru.
c. Kredit dilihat dari sudut penggunaannya.
Penggolongan kredit menurut penggunaannya dapat dibagi sebagai
berikut :
1) Kredit Eksploitasi Adalah kredit yang berjangka waktu pendek yang
diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan
modal kerja perusahaan sehingga dapat berjalan dengan lancar. Kredit ini
sering disebut dengan kredit modal kerja/kredit produk karena bantuan
modal kerja digunakan untuk menutup biaya-biaya eksploitasi perusahaan
secara luas.
2) Kredit Investasi Adalah kredit jangka menengah atau jangka panjang yang
diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk melakukan investasi
atau penanaman modal. Yang dimaksud disini adalah untuk pembelian
barang-barang modal serta jasa yang diperlukan untuk
rehabilitasi/modernisasi maupun ekspansi proyek yang sudah ada atau
pendirian proyek baru, pembangunan pabrik, pembelian mesin-mesin yang
semuanya itu ditujukan untuk meningkatkan produktifitas.
4. Perjanjian Kredit
Mengenai perjanjian kredit bank belum ada pengaturannya secara khusus.
Dalam KUH Perdata pun tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit
bank. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga tidak
memuat tentang ketentuan perjanjian kredit bank. Istilah perjanjian kredit
bank hanya dikenal dalam praktek dunia perbankan saja.
Istilah perjanjian kredit pertama kali ditemukan dalam Instruksi
Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 tanggal 10 Oktober 1966 dan Surat
Bank Indonesia kepada semua bank deisa No. 1093/UPK/KPD angka 4
tanggal 29 Desember 1970, yang mengharuskan bank dalam memberikan
kredit dalam bentuk apapun wajib mempergunakan akad perjanjian kredit.
Kemudian terakhir ditemukan dalam SK Direksi Bank Indonesia nomor
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 27/7/UPPB
tanggal 31 maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijakan Kredit
(P.P.K.K.B) angka 450 tentang perjanjian kredit yang menyatakan bahwa:
setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib
dituangkan dalam perjanjian Kredit (akad kredit) secara tertulis.
Perjanjian kredit tidak mempunyai suatu bentuk tertentu karena tidak
ditentukan oleh undang-undang. Hal ini menyebabkan perjanjian kredit antara
bank yang satu dengan lainnya tidak sama, karena disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing bank. Akan tetapi pada umumnya perjanjian kredit
bank dibuat dalam bentuk tertulis.
Didalam praktek, setiap bank telah menyediakan formulir perjanjian
kredit yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Pemohon kredit hanya
dimintakan pendapat apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut
dalam formulir atau tidak. Dalam formulir tersebut juga terdapat tempat-
tempat kosong yang baru diisi apabila sudah ada kesepakatan antara calon
peminjam dan pihak bank. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit
dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. 36
Dalam kepustakaan hukum, dijelaskan bahwa terdapat pendirian
mengenai sifat perjanjian kredit, sebagai berikut:
a. Asser-Kleyn mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian
pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian pinjam uang.
b. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian kedit bank
adalah “perjanjian Pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan
uang.
Menurut kedua penulis tersebut, perjanjian kredit dan perjanjian pinjam
meminjam uang adalah merupakan dua buah perjanjian yang masing-masing
bersifat konsensuil dan riil. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami
bahwa perjanjian kredit mengandung dua fase yaitu fase konsensuil dan fase
riil.
Fase konsensuil terjadi pada saat kedua belah pihak sepakat mengenai
semua unsur dalam perjanjian kredit. Dalam hal ini baru terjadi perjanjian
36 Miriam Darus Badrulzaman, Op.cit. hal. 32.
untuk mengadakan perjanjian pinjam meminjam uang. Fase riilnya terjadi
pada saat uang diserahkan kepada peminjam. Dengan adanya penyerahan
uang maka lahirlah perjanjian pinjam meminjam uang. Dengan demikian
perjanjian kredit itu beralih dari perjanjian “untuk” meminjamkan uang
menjadi perjanjian pinjam-meminjam.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian kredit
adalah perjanjian pinjam meminjam uang antara bank dengan si peminjam.
Oleh karena itu perjanjian kredit mengikuti aturan KUH Perdata khususnya
buku III Bab XIII tentang perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam
pasal 1754 sampai pasal 1769, sebagai peraturan umumnya dan undang-
undang perbankan sebagai peraturan khusus.37
Pinjam-meminjam menurut pasal 1754 KUH Perdata:
“Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana, pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang menhabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”
Menurut asser Kleyn definisi ini tidak tepat. Kata-kata “barang yang
menghabis karena pemakaian” (verbruikbare zaken) seharusnya disebut
“barang yang dapat diganti (vervangbare zaken).38 Barang yang menghabis
karena pemakaian adalah berupa barang-barang bergerak yang jika dipakai
37 Gatot Supramono, 1997, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis,
Djambatan, hal. 62. 38 Op.cit, Miriam Darus Badrilzaman, 1993, hal. 24.
menjadi habis (pasal 505 KUH Perdata), barang-barang yang karena
pemakaian menjadi habis biasanya dapat diganti, sehingga barang-barang
yang dapat diganti mirip dengan barang-barang yang karena pemakaian
menjadi habis, tetapi sebenarnya tidak sama. Barang-barang yang karena
pemakaiannya menjadi habis selalu dapat diganti, tetapi barang-barang yang
dapat diganti tidak selalu habis karena pemakaian. 39 Uang adalah termasuk
dalam pengertian barang yang menghabis karena pemakaian.
Norton Joseph mengemukakan bahwa perjanjian kredit bank memuat
serangkaian klausula atau convenant, dimana sebagian besar dari klausula
tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam pemberian
kredit.40 Klausula merupakan serangkaian persyaratan yang dibuat dalam
pemberian kredit ditinjau dari aspek finansial dan hukum. Dari aspek
finansial, klausula melindungi kreditur agar dapat menuntut atau menarik
kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah debitur dalam posisi yang
menguntungkan bagi kreditur apabila kondisi nasabah debitur tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan. Sedangkan dari aspek hukum, klausula
merupakan sarana untuk melakukan penegakan hukum agar debitur dapat
mematuhi substansi yang telah disepakati di dalam perjanjian kredit.
39 Ko Tjay Sing, hukum perdata jilid II Hukum Benda, diklat, tidak diterbitkan, tanpa
tahun, hal. 20.
40 Muhamad Djumhana. Op. Cit., hal. 385-392.
Menurut Ch. Gatot Wardoyo Perjanjian Kredit mempunyai beberapa
fungsi, yaitu diantaranya :41
1. Perjajian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok artinya perjanjiann kredit
merupakann sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian
lainyang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak
dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
5. Kredit Bermasalah dan Penyelesaiannya
Ekonomi suatu negara seharusnya merupakan suatu paduan yang
efisien dan suportif diantara kegiatan-kegiatan sektor riil. Saat ini dapat
dikatakan bahwa penyediaan berbagai jasa keuangan (perbankan) merupakan
sektor yang strictly well regulated. Hal ini terjadi karena perbankan
menyangkut kepentingan jumlah orang banyak. Situasi di Indonesia adalah
suatu hal yang cukup memberi gambaran bahwa perbankan merupakan sektor
yang sangat diatur. Lebih lanjut Budi Untung menyebutkan bahwa meskipun
perbankan merupakan sektor yang strictly well regulated, tetapi kredit macet
masih dapat terjadi diantaranya dapat disebabkan karena 42:
a) Kesalahan appraisal;
41 Ibid. hal. 388-389. 42 Budi Untung, Op. Cit., hal 121.
b) Membiayai proyek dari pemilik/ terafiliasi;
c) Membiayai proyek yang direkomendasi oleh kekuatan tertentu;
d) Dampak makro ekonomi/ unforecasted variable;
e) Kenakalan nasabah.
Sedangkan Siswanto Sutojo mengatakan bahwa kredit bermasalah dapat
timbul selain karena sebab-sebab dari pihak kreditur, sebagian besar kredit
bermasalah timbul karena hal-hal yang terjadi pada pihak debitur, antara
lain43
a) Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan yang disebabkan merosotnya
kondisi ekonomi umum dan/ atau bidang usaha dimana mereka beroperasi.
b) Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau
karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani.
c) Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang
berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa
orang anggota keluarga debitur.
d) Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain.
e) Kesulitan likuiditas keuangan yang serius.
f) Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan
bencana alam.
g) Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan
untuk tidak akan mengembalikan kredit).
43 Siswanto Sutojo, hal. 171-172.
Sebagian besar kredit bermasalah tidak muncul secara tiba-tiba. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya kasus kredit bermasalah merupakan satu
proses, yang diibaratkan api dalam sekam. Banyak gejala tidak
menguntungkan yang menjurus kepada kasus kredit bermasalah, sebenarnya
telah bermunculan jauh sebelum kasus itu sendiri timbul di permukaan.
Bilamana gejala tersebut dapat dideteksi dengan tepat dan ditangani secara
professional sedini mungkin, ada harapan kredit yang bersangkutan dapat
diselamatkan.
Adapun penggolongan kualitas kredit berdasarkan Pasal 4 Surat
Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27
Pebruari 1998, yaitu sebagai berikut:
1) Lancar (pass) yaitu apabila memenuhi kriteria :
a) pembayaran angsuran pokok dan/ atau bunga tepat; atau
b) memiliki mutasi rekening yang aktif; atau
c) bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral)
2) Dalam perhatian khusus (special mention) yaitu apabila memenuhi kriteria:
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang belum
melampaui 90 hari; atau
b) kadang-kadang terjadi cerukan; atau
c) mutasi rekening relatif rendah; atau
d) jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau
e) didukung oleh pinjaman baru.
3) Kurang Lancar (substandard) yaitu apabila memenuhi kriteria:
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui
90 hari; atau
b) sering terjadi cerukan; atau
c) frekuensi mutasi rekening relatif rendah; atau
d) terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari;
atau
e) terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; atau dokumen
yang lemah.
4) Diragukan (doubtful) yaitu apabila memenuhi kriteria :
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui
180 hari; atau
b) terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau
c) terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; atau
d) terjadi kapitalisasi bunga; atau
e) dokumentasi hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun
pengikatan jaminan.
5) Kredit Macet
a) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui
270 hari; atau
b) kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau dari segi hukum
maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.
Kredit dengan kolektibilitas lancar (pass) adalah masuk dalam kriteria
Performing Loan, sedangkan kredit dengan kolektibilitas dalam perhatian
khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful),
dan kredit macet masuk dalam kriteia kedit bermasalah (non-performing loan).
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei
1993, terdapat beberapa kebijakan dalam rangka penyelamatan dan
penyelesaian kredit bermasalah, yaitu :
1) Reschedulling ( penjadwalan kembali ), yaitu suatu upaya hukum untuk
melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang
berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/jangka waktu kredit
termasuk tenggang (grace period) termasuk perubahan jumlah angsuran.
Bila perlu dengan penambahan kredit.
2) Reconditioning ( persyaratan kembali ), yaitu melakukan perubahan atas
sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya
kepada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu kredit saja,
tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau
tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi
equity perusahan.
3) Restructuring ( penataan kembali ), yaitu upaya melakukan perubahan
syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit atau
melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit yang dilakukan
dengan atau tanpa reschedulling dan atau reconditioning.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Secara etimologis, metoda berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang
berarti melalui, sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus
ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. 44 Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah, karena ideal dari ilmu
adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta dengan
menggunakan pendekatan. 45
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang
menggunakan konsepsi legisme yang positivis yang memandang hukum
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat Negara yang berwenang. Selain konsepsi ini juga
meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif mandiri, bersifat tertutup dan
terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.46
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan
teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut
permasalahan di atas.47
44 http://www. carapedia.com. diakses pada tanggal 6 Maret 2012 45 Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Huku. PT. Rajagrafindo Persada.
Jakarta. hal. 44 46 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta.
hal. 12-14. 47 Ibid, hal. 97-98
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman, PT. Bank Pembangungan Daerah Jawa Tengah
Cabang Slawi.
4. Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data Sekunder.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di
dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:
a. Bahan hukum primer yaitu: bahan yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat seperti peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
dokumen atau arsip, catatan resmi, lembar negara, penjelasan, risalah,
putusan hakim dan yurisprudensi. 48
a. Bahan hukum sekunder yaitu: bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat seperti:
Hasil penelitian hukum, jurnal – jurnal hukum, kasus – kasus hukum
dan Artikel Hukum.
48 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana perdana Media Group,
Surabaya, 2007, hlm. 141.
b. Bahan hukum tersier yaitu: bahan yang sifatnya melengkapi kedua
bahan hukum diatas seperti: Kamus bahasa hukum, ensiklopedi dan
internet.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka yaitu mengumpulkan
bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan,
literatur dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
b. Data Primer
Data primer diperoleh dengan cara interview atau wawancara dengan
pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti pada PT Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang Slawi untuk melengkapi data
sekunder.
6. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk
uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan
data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan
yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara kualitatif yakni dengan
membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan
pada norma hukum yang digunakan, teori- teori serta doktrin yang berkaitan
dengan materi yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi. 49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
49 Ibid, hal. 98
Penelitian ini ditujukan untuk melakukan kajian teoritis tentang
penyelesaian kredit bermasalah menurut KUH Perdata dan menurut ketentuan
hukum perbankan pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang
Slawi. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Data Sekunder
1.1. Judul Perjanjian : Perjanjian Kredit No 09/PK/BPD/SLW/VIII/2009
1.2. Subyek Hukum (Pihak-pihak dalam perjanjian)
1.2.1. Pihak pertama : PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah Cabang Slawi, dalam hal ini
diwakili oleh Suhandono selaku Wakil
Pimpinan Cabang.
1.2.2. Pihak kedua : RUDIANTO
Karyawan Swasta, tempat tinggal Desa
Tegalandong RT 2/RW 2 Lebaksiu,
Kabupaten Tegal.
1.3. Premisa
1.3.1. Antara kedua belah pihak telah terdapat kesepakatan untuk
mengikatakan diri dalam perjanjian yang dibuat dalam
perjanjian kredit ini.
1.3.2. Terhadap perjanjian kredit ini berlaku Peraturan Umum
Pemberian Kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah yang isinya telah disetujui sepenuhnya oleh peminjam
dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian ini.
1.4. Bentuk pinjaman dan penggunaan kredit
Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dengan ini memberikan
kredit kepada peminjam dalam bentuk Personal Loan maksimum
sebesar Rp. 60.000.000,- untuk keperluan perbaikan rumah.
1.5. Suku Bunga dan Jangka Waktu Pembayaran
1.5.1. Terhadap kredit yang diberikan oleh Bank kepada Peminjam
dikenakan bunga sebesar 18% setahun, yang selanjutnya harus
dibayar setiap bulan oleh peminjamnkepada Bank pada setiap
tanggal 13.
1.5.2. Kredit tersebut diberikan oleh Bank kepada peminjam untuk
jangka waktu 6 tahun ( 72 bulan) terhitung mulai tanggal......
Agustus 2009 sampai dengan tanggal...... Agustus 2015.
1.5.3. Kredit tersebut harus sudah dibayar kembali keseluruhannya,
baik pokok, bunga maupun ongkos-ongkos lainnya yang tibul
karena perjanjian tersebut selambatnya Agustus 2015 dengan
ketentuan bahwa pembayaran dilakukan dengan cara diangsur
pokok dan bunga sebesar Rp. 1.238.120,- setiap bulan sampai
dengan kredit tersebut lunas.
1.6. Jaminan
Untuk menjamin pelunasan pembayaran pinjaman sesuai dengan
ketentuan perjanjian ini, maka penerima pinjaman telah menyerahkan
surat hak atas tanah Nomor. 997/D/1994 atas nama RUDIANTO.
1.7. Kuasa Menjual
1.7.1. Apabila peminjam tidak membayar kredit kepada Bank sesuai
dengan jangka waktu yang ditentukan, maka bank berhak
menjual jaminan/ agunan berupa tanah/ bangunan atau benda
lainnya secara dibawah tangan atau dihadapan umum (secara
lelang) dengan harga yang telah ditetapkan oleh bank. Hasil
penjualan tanah/bangunan atau benda lain tersebut
dipergunakan untuk melunasi kredit peminjam kepada bank.
1.7.2. Bank dapat membeli sebagian atau seluruh jaminan/ agunan,
baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan
penyerahan secara sukarela oleh pemilik jaminan/ agunan atau
berdasarkan kuasa menjual diluar lelang dari pemilik
jaminan/agunan dalam hal peminjam tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank.
1.8. Denda
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, peminjam
menunggak dalam kewajiban angsuran pokok dan bunga dan/atau
tidak melunasi kredit, maka peminjam diwajibkan untuk membayar
biaya tambahan (denda) atas sejumlah pinjaman pokok dan bunga
tunggakan sebesar 1% untuk setiap bulannya.
1.9. Hak Mengakhiri Perjanjian
Bank berhak untuk mengakhiri perjanjian kredit ini secara sepihak dan
menagih jumlah kredit yang telah diambil berikut pokok, bunga,
denda serta biaya-biaya lain dengan seketika dan tunai apabila
menurut bank, peminjam tidak memenuhi kewajiban pembayaran
pinjamannya, baik pokok, bunga, denda sebagaimana ditetapkan
dalam perjanjian ini.
B. PEMBAHASAN
Uuntuk mendapatkan kesimpulan terhadap perumusan masalah yang
diteliti yaitu tentang aspek hukum penyelesaian kredit bermasalah menurut
ketentuan hukum perdata dan penyelesaian kredit bermasalah pada Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah Cabang slawi, maka disajikan pembahasan
sebagai berikut.
1. Aspek Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Menurut Ketentuan
Hukum Perdata.
Sebelum berbicara tentang aspek hukum penyelesaian kredit
bermasalah menurut ketentuan hukum perdata, akan diuraikan terlebih dahulu
tentang hubungan antara peranjian kredit bank dengan perjanjian pinjam
meminjam uang. Pengertian pinjam meminjam dalam KUH Perdata terdapat
dalam pasal1754 yang berbunyi:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Uang merupakan salah satu barang yang habis karena pemakaian.
Sehingga jika melihat pengertian perjanjian pinjam meminjam diatas, maka
dapat dinyatakan bahwa perjanjian pinjam meminjam uang adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah
uang, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama pula.
Kata-kata “pihak yang satu menyerahkan uang kepada pihak yang lain
menunjukkan bahwa perjanjian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian
Riil, artinya perjanjian pinjam meminjam uang baru lahir dengan
diserahkannya uang yang menjadi obyek perjanjian. 50 Dengan kata lain,
adanya kesepakatan antara para pihak tentang janji untuk menyerahkan uang
belum mengakibatkan perjanjian pinjam meminjam uang terjadi, yang terjadi
baru perjanjian pendahuluan untuk mengadakan pinjam meminjam uang.
Asser-Kleyn menegaskan bahwa perjanjian pendahuluan untuk mengadakan
pinjam meminjam uang disebut dengan perjanjian kredit.51
Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Artinya
perjanjian yang dibuat mengikat para pihak dalam perjanjian sehingga para
pihak berkewajiban untuk memenuhi isi perjanjian. Dengan lahirnya
perjanjian kredit ini, maka timbulah kewajiban bagi peminjam untuk
mengembalikan uang tersebut sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan
sebelumnya.
Berdasarkan data 1.3.1 dapat dideskripsikan bahwa telah tejadi
kesepakatan perjanjian kredit antara Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah dengan Rudianto sebagai penerima kredit, untuk jumlah kredit Rp.
50 Op.Cit., J.Satrio, 1997, hal. 151. 51 Op.Cit., hal. 28.
60.000.000,- yang digunakan untuk biaya perbaikan rumah. Dengan demikian
maka timbulah hak dan kewajiban sebagai berikut:
1. Pihak Bank berhak menuntut pengembalian uang berupa pokok
pinjaman beserta bunga.
2. Pihak peminjam berkewajiban mengembalikan uang sebagai
pokok pinjaman yang telah diterima serta bunga sesuai dengan
yang diperjanjikan.
Berdasarkan data 1.5 dapat diketahui bahwa setelah menerima kredit
yang diberikan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, nasabah
peminjam akan melunasi uang pinjaman yang diterimanya dengan cara
mengangsur setiap bulan setiap tanggal 13 selama 67 kali angsuran sebesar
Rp. 1.238.120,- setiap bulan.
Apabila data 1.5 dihubungkan dengan uraian sebelumnya maka dapat
dideskripsikan bahwa dengan penyerahan sejumlah uang oleh pihak Bank
kepada nasabah peminjam timbulah huungan hak dan kewajiban sebagai
berikut:
1. Pihak Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah berhak menuntut
pelunasan kredit berupa pembayaran angsuran tiap bulan sebesar
Rp. 1.238.120,- kepada nasabah peminjam yaitu Rudianto;
2. Pihak nasabah peminjam berkewajiban untuk melunasi hutangnya
dengan cara mengangsur tiap bulan sebesar Rp. 1.238.120,-.
Dalam suatu hubungan hukum dimana satu pihak mempunyai hak atas
suatu prestasi (kreditur) dan dipihak lain mempunyai kewajiban untuk
berprestasi (debitur) maka pada prinsipnya pelaksanaan kewajiban untuk
memenuhi prestasi tersebut harus dilakukan dengan sukarela. Namun
adakalanya seorang debitur tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
mestinya.
Seorang debitur yang tidak memenuhi prestasinya bisa disebabkan
oleh berbagai hal, secara garis besar keadaan tidak berprestasinya debitur
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Adanya kesengajaan atau kelalaian pada diri debitur, artinya ada
unsur salah pada debitur;
2. Debitur menghadapi keadaan memaksa, jadi pada diri debitur tidak
ada unsur salah.
Suatu keadaan dimana debitur tidak melaksanakan prestasinya disebut
dengan wanprestasi. Adapun wujud wanprestasi itu sendiri berupa: tidak
berprestasi sama sekali, keliru berprestasi dan terlambat berprestasi. Akibat
yang dapat ditimbulkan dari tidak berprestasinya debitur adalah kredit yang
diberikan oleh bank menjadi kredit bermasalah.
Wanprestasi mempunyai akibat yang penting baik bagi kreditur
maupun debitur, oleh karena itu penting untuk diketahui sejak kapan seorang
debitur dianggap wanprestasi. Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau
dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang
akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditetapkan”.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa apabila dalam perjanjian
telah ditentukan tentang tenggang waktu pelaksanaan prestasi, maka debitur
dianggap telah wanprestasi bila tidak melaksanakan prestasinya seletah
tenggang waktu tersebut telah dilewati.
Sehubungan dengan uraian diatas tentang adanya ketentuan waktu,
berdasarkan data 1.5.1 telah disebutkan bahwa pihak debitur wajib membayar
angsuran setiap bulan pada tanggal 13. Maka apabila debitur tidak membayar
angsuran setelah tanggal tersebut debitur dianggap wanprestasi.
R. Subekti mengatakan bahwa terhadap debitur yang melakukan
wanprestasi diancam sanksi atau hukuman yaitu52:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur.
2. Pembatalan perjanjian.
3. Peralihan resiko.
4. Membayar biaya perkara apabila kasusnya sampai ke pengadilan.
5. Pemenuhan perjanjian atau pembatalan perjanjian disertai ganti
rugi.
52 Subekti, Op.Cit., hal. 83.
Ketentuan tentang ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUH
Perdata. Yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan
kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.53 Jika dikaitkan dengan data
1.8 maka dapat dideskripsikan bahwa apabila kreditur menunggak dalam
kewajiban membayar angsuran, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah
berhak menuntut biaya tambahan (denda) atas sejumlah pinjaman pokok dan
bunga tunggakan sebesar 1% untuk setiap bulannya.
Pengertian pembatalan perjanjian sebagaimana pendapat R. Subekti
disini bukan karena tidak memenuhi syarat subyektif dalam syarat sahnya
perjanjian, akan tetapi karena debitur wanprestasi. Dalam pasal 1266 KUH
Perdata disebutkan bahwa:
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-
persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah
leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat,
53 Tim Pengajar Hukum Perdata, Op.Cit., hal. 98.
memberikan suatu jangka waktu, untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari
satu bulan”
Dengan demikian, menurut Pasal 1266 KUH Perdata tersebut, dengan
alasan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak lain
dalam perjanjian tersebut dapat membatalkan perjanjian yang bersangkutan,
akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu saja, melainkan
haruslah dilakukan lewat pengadilan.
Dalam praktek, sering ada klausula dalam perjanjian yang
mengesampingkan berlakunya Pasal 1266 KUH Perdata tersebut, yang berarti
bahwa perjanjian tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak
(tanpa campur tangan pengadilan) jika pihak lainnya melakukan wanprestasi.
Alasan pencantuman klausula tersebut dalam perjanjian adalah atas dasar asas
kebebasan berkontrak, sehingga pencantuman klausula melepaskan ketentuan
pasal 1266 KUH Perdata harus ditaati oleh para pihak, selain itu alasan lain
yaitu jika harus kepengadilan membutuhkan biaya besar dan waktu lama,
sehingga hal ini tidak efisien. 54
Dari uraian diatas, jika dikaitkan dengan data 1.9 tentang Hak
Mengakhiri Perjanjian dapat dideskripsikan bahwa apabila debitur tidak
memenuhi kewajibannya, maka Bank berhak untuk mengakhiri perjanjian
kredit ini secara sepihak dan menagih jumlah kredit yang telah diambil
berikut pokok, bunga, denda serta biaya-biaya lain dengan seketika dan tunai. 54 Tim Pengajar Huku m Perdata, Op.Cit., hal. 99.
Pada dasarnya perjanjian kredit dapat dibagi atas perjanjian kredit
yang memiliki jaminan/agunan dan perjanjian yang tanpa jaminan/agunan.
Persoalan jaminan/agunan ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1131 dan
1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang
diistimewakan. Pasal 1131 mengatakan bahwa:
“segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”.
Dan Pasal 1132 mengatakan bahwa:
“kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-
benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang
itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Hal ini
dilakukan oleh pihak kreditur agar kreditur mendapat kepastian bahwa kredit
yang telah diberikan dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat
kembali dengan aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk
perjanjian tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi
apabila debitur wanprestasi.
Berdasarkan data 1.6 tentang jaminan dapat dideskripsikan bahwa
debitur menyerahkan surat hak atas tanah Nomor. 997/D/1994 atas nama
Rudianto sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Dan atas jaminan
tersebut pengikatan jaminannya adalah dengan hak tanggungan yang
memberikan hak istimewa kepada kreditur.
Pengikatan jaminan kredit dengan hak tanggungan ini dilakukan
apabila seorang debitur yang menerima kredit dari bank, menjadikan barang
tidak bergerak yang berupa tanah (hak atas tanah) berikut atau tidak berikut
benda-benda yang tidak berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan
tanpa menyerahkan barang jaminan tersebut secara fisik kepada kreditur.
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur. Dalam
arti, jika debitur wanprestasi, maka kreditur pemegang hak tanggungan
berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
mendapatkan pelunasan utang tersebut.55 Sifat dari hak tanggungan ini adalah
accessoir, yaitu mengikuti perikatan utamanya (perjanjian Kredit). Dengan
demikian, hapusnya hak tanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya,
yaitu kredit yang dijamin pelunasannya tersebut.
Berdasarkan data 1.7 jika dikaitkan dengan uraian sebelumnya, maka
dapat dideskripsikan bahwa dengan adanya pengikatan jaminan dengan hak
55 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5.
tanggungan ini, maka timbulah hak kreditur untuk menjual jaminan (obyek
hak tanggungan) tanpa perlu meminta persetujuan dari pihak debitur apabila
terjadi wanprestasi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa dalam prakteknya telah terjadi
kredit bermasalah. Maka apabila dihubungkan bahwa akibat hukum
wanprestasi dalam pinjam meminjam uang dengan adanya jaminan/agunan
adalah bahwa pihak pemberi kredit mempunyai hak untuk menjual benda
jaminan dan apabila peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban
pembayarannya, maka pemberi pinjaman dapat menjual benda jaminan dan
mengambil pelunasan atas kewajiban pembayaran kredit yang telah diterima
dari penjualan jaminan tersebut.
2. Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah Cabang Slawi.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan menyebutkan bahwa:
“kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”
Untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit maka harus ada suatu
persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah
peminjam sebagai debitur yang dinamakan perjanjian kredit. Dalam
memberikan kredit kepada masyarakat, bank harus merasa yakin bahwa dana
yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada
waktunya beserta bunganya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati
dalam perjanjian kredit.
Sebelum penandatanganan perjanjian kredit, pihak bank berada pada
posisi yang lebih kuat dari calon peminjam karena calon peminjam
membutuhkan bantuan kredit dari bank tersebut. Dengan posisi bank yang
lebih kuat tersebut, bank membuat suatu perjanjian kredit dalam bentuk
formulir yang telah dibakukan, berisi klausula-klausula yang ditetapkan oleh
bank secara sepihak. Namun demikian pada saat pelaksanaan perjanjian
kredit, bank menjadi pihak yang lemah karena ada kemungkinan suatu sebab
pengembalian / pelunasan kreditnya mengalami kemacetan.
Perjanjian kredit PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah
Cabang Slawi dengan nasabahnya dibuat dalam bentuk formulir yang telah
dibakukan. Calon peminjam hanya dimintakan persetujuannya atas klausula-
klausula yang telah dibuat oleh PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah
Cabang Slawi. Apabila calon peminjam setuju dengan isi perjanjian, maka
akan menandatangani surat perjanjian kredit tersebut. Sedangkan apabila
calon peminjam menolak klausula-klausula yang ada dalam surat
perjanjanjian kredit, maka tidak perlu menandatangani surat perjanjian
tersebut.
Berdasarkan data 1.3.2 diketahui bahwa dalam mengadakan dan
melaksanakan perjanjian kredit, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah
Cabang Slawi berpedoman pada Peraturan Umum Pemberian Kredit PT.
Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.
Dalam perjanjian kredit, prestasi yang wajib dipenuhi oleh debitur
adalah mengembalikan pinjaman dan membayar bunga sesuai dengan yang
telah diperjanjikan, serta mentaati segala kewajiban yang telah ditetapkan
oleh kreditur. Apabila salah satu kewajiban tidak dipenuhi oleh maka debitur
dikatakan wanprestasi.
Pasal 12 angka (2) Peraturan Umum Pemberian Kredit PT. Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah menyebutkan bahwa seorang debitur
peminjam dikatakan wanprestasi apabila:
1. Peminjam tidak dapat melakukan kewajiban sesuai dengan
perjanjian kredit atau perjanjian lainnya.
2. Peminjam melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan
perjanjian kredit atau perjanjian lainnya.
Berdasarkan data 1.5 dapat dideskripsikan bahwa kewajiban debitur
peminjam adalah untuk membayar kembali kredit dengan cara mengangsur
setiap bulan. Namun pada kenyataannya, debitur peminjam tidak mampu
membayar angsuran kreditnya setelah kredit tersebut berjalan selama 18
bulan sehingga mengakibatkan adanya tunggakan angsuran selama 6 bulan.
Berdasarkan pasal 4 Surat keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor
30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 kredit tersebut dapat digolongkan
sebagai salah satu jenis kredit bermasalah, yaitu kredit yang Diragukan
(doubtful). Suatu kredit digolongkan sebagai kredit yang diragukan (doubtful)
apabila memenuhi kriteria :
1. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah
melampaui 180 hari; atau
2. Terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau
3. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; atau
4. Terjadi kapitalisasi bunga; atau
5. Dokumentasi hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit
maupun pengikatan jaminan.
Dari kriteria-kriteria tersebut, kredit ini jelas telah mengalami tunggakan
angsurang melebihi 180 hari sehingga dapat digolongkan sebagai kredit
bermasalah.
Dengan demikian jelas bahwa Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah Cabang Slawi telah mengalami kesulitan dalam memperoleh kembali
pelunasan kredit yang telah diberikan. Oleh karena itu, bank harus melakukan
upaya-upaya untuk mendapatkan kembali pelunasan kredit yang telah
diberikan tersebut. Upaya pertama yang dilakukan oleh pihak bank adalah
dengan memberikan peringatan-peringatan kepada debitur peminjam atas
keadaan kreditnya. Upaya ini dilakukan sebelum melakukan tindakan hukum
lebih lanjut dan untuk membuktikan bahwa debitur benar-benar wanprestasi.
Berdasarkan data 1.8 tentang kuasa menjual, yang kemudian dikaitkan
dengan data 1.9 tentang hak mengakhiri perjanjian dapat dideskripsikan
bahwa bank berhak untuk menjual jaminan/agunan untuk melunasi kredit
peminjam kepada bank dan dapat mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak
dan menagih jumlah kredit yang telah diambil berikut pokok, bunga, denda
serta biaya-biaya lain dengan seketika dan tunai apabila menurut
pertimbangan bank, peminjam tidak memenuhi kewajiban pembayaran
pinjamannya baik pokok, bunga, denda sebagaimana ditetapkan dalam
perjanjian.
Pada kenyataan di lapangan, penerapan ketentuan tersebut tidak
setegas yang tercantum dalam surat perjanjian. Bank Pembangunan Daerah
Jawa Tengah dalam upaya menyelesaikan kredit bermasalah lebih memilih
melakukan penyelesaian secara intern antara bank dengan debiturnya.
Berdasarkan pasal 15 angka (1) Peraturan Umun Pemberian Kredit
PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah disebutkan bahwa apabila
terjadi perselisihan antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian
kredit akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Dan berdasarkan
pasal 15 angka (2) apabila kata sepakat tidak tercapai, maka penyelesaiannya
akan dilakukan melalui saluran hukum dengan memilih kedudukan hukum
yang umum dan tetap di kepaniteraan pengadilan negeri tempat kedudukan
bank/ Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).
Penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan ataupun BUPLN
adalah pilihan terakhir yang sering diambil oleh bank, karena dinilai tidak
menguntungkan baik pihak bank maupun pihak debitur oleh sebab biaya
untuk proses litigasi cukup tinggi dan membutuhkan waktu cukup lama,
sedangkan bank dituntut untuk segera menyelesaikan kredit bermasalah
tersebut dan mendapatkan pengembalian atas kredit yang telah diberikan agar
kegiatan usaha bank dapat terus berjalan dan tidak mempengaruhi tingkat
kesehatan bank. Penyelesaian secara intern/ Musyawarah lebih sering
dilakukan pihak bank karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu tidak
membutuhkan biaya yang besar, menguntungkan kedua belah pihak, yaitu
pihak bank dan pihak debitur, dan hubungan antara debitur dengan bank tetap
terjaga
Tindakan yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa
Tengah Cabang Slawi apabila kredit yang diberikan oleh bank dalam kategori
diragukan, maka bank akan menempuh penyelesaian secara intern antara
bank dengan debitur, yaitu :
1. memberikan surat peringatan pertama
2. memberikan surat peringatan kedua
3. memberikan surat peringatan terakhir
Dalam hal surat peringatan pertama sampai dengan surat peringatan
terakhir yang telah disampaikan oleh bank kepada debitur tidak diperhatikan,
maka bank akan memanggil debitur. Pemanggilan ini bertujuan untuk
mengadakan wawancara dengan debitur sehingga dapat diketahui kendala-
kendala yang dihadapi oleh debitur yang mengakibatkan keterlambatan
pembayaran angsuran kredit, dengan demikian dapat diketahui apakah kredit
tersebut bermasalah karena kesengajaan dari debitur yang memang tidak mau
melunasi kreditnya atau karena hal-hal diluar kekuasaan debitur. Dari hasil
analisis bank dapat diketahui kemampuan bayar debitur. Apabila oleh pihak
bank dinilai bahwa terjadinya kredit bermasalah itu disebabkan karena hal-hal
diluar kekuasaan debitur, dan debitur dinilai mempunyai itikad baik serta
bank berpendapat bahwa debitur masih sanggup untuk melunasi fasilitas
kredit dengan kemampuan bayar yang menurun dari yang diperjanjikan
semula, maka pihak bank akan memberikan kebijakan yang dapat
meringankan beban debitur, dengan maksud agar kredit bermasalah tersebut
dapat diatasi dan bank tetap dapat menerima pengembalian atas kredit yang
telah diberikan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dideskripsikan bahwa yang menjadi
pertimbangan bank dalam mengambil kebijakan dalam penyelesaian kredit
bermasalah secara musyawarah untuk meringankan beban debitur adalah:
1. Kemauan debitur untuk melunasi kreditnya, artinya debitur masih
mempunyai itikad baik untuk melunasi kredit kepada pihak bank.
2. Kemampuan debitur untuk melunasi kreditnya, pihak bank sebagai
pemberi kredit harus melakukan analisis terhadap kondisi ekonomi
debitur, apakah debitur masih mempunyai kemampuan untuk
melunasi kreditnya atau tidak.
Adapun langkah- langkah kebijakan yang dilakukan oleh Bank
Pembangunan Daerah Jawa Tengah dalam menyelamatkan suatu kredit
bermasalah secara musyawarah tersebut berpedoman pada Surat Edaran Bank
Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993, dengan melakukan
penjadwalan kembali (Rescheduling) yaitu suatu upaya hukum untuk
melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang
berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk
tenggang (grace period) termasuk perubahan jumlah angsuran, bila perlu
dengan penambahan kredit baru.
Dengan demikian, setelah dilakukan penjadwalan kembali
(rescheduling) maka terdapat perubahan beberapa syarat perjanjian kredit
antara Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah Dengan Rudianto antara
lain:
1. Bank memberikan perpanjangan jangka waktu jatuh tempo kredit
tersebut, berdasarkan data 1.5.2 semula kredit yang diberikan oleh
bank untuk jangka waktu 6 tahun (72 bulan), setelah dilakukan
penjadwalan kembali jangka waktu pengembalian kredit
diperpanjang menjadi 9 tahun (108 bulan)
2. Pemberian keringanan bunga angsuran, berdasarkan data 1.5.1
bunga semula adalah 18% setahun, diturunkan menjadi 16%
setahun.
3. Dan pemberian bantuan tambahan kredit, sebesar Rp 90.000.000,-
Dengan penjadwalan kembali pembayaran kredit tersebut diharapkan
bahwa debitur dapat melunasi utang kredit berikut bunga pada waktu yang
telah ditentukan, sehingga kemungkinan terjadinya risiko kredit bermasalah
dapat dihindari.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Dalam perspektif hukum perdata, jika terjadi kredit bermasalah yang
artinya debitur wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya dalam hal
angsuran dan atau pelunasan kredit, maka kreditur berhak untuk menuntut
debitur untuk membayar denda, membatalkan perjanjian secara sepihak
atau apabila debitur tetap tidak mampu untuk memenuhi prestasinya, maka
obyek jaminan akan dijual, dan uang hasil penjualan digunakan untuk
melunasi hutang Debitur di Bank.
2. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah dalam menyelesaikan kredit
bermasalah berpedoman pada Peraturan Umum Pemberian Kredit PT.
Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah yaitu dengan penyelesaian
secara intern antara pihak bank dan debitur peminjam, dan apabila bank
menilai bahwa debitur memiliki itikad baik maka bank akan
mempertimbangkan kebijakan yang meringankan debitur, seperti
penjadwalan kembali (Rescheduling). Dalam menyelesaikan kredit
bermasalah bank cenderung lebih memilih untuk diselesaikan dengan cara
damai atau musyawarah karena menganggap bahwa penyelesaian dengan
jalur hukum kurang efektif karena memakan waktu yang cukup lama dan
biaya yang mahal.
LITERATUR
Badrulzaman, Miriam Darus. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Medan: Penerbit Alumni
Djumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan Indonesia. PT. Citra Aditya Bandung: Bakti.
Hasibuan, Malayu. 2005. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Hermansyah. 2008. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana Prenada Jakarta: Media Group.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku II). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soekanto, Soerjono.1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press.
Subekti. 1987.Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Tje’Aman, Edy Putra.1986. Kredit Perbankan (Suatu Tinjauan Yuridis). Yogyakarta: Liberty
Untung, Budi. 2000.Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Pebruari 1998