BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, semakin meningkatnya
permintaan masyarakat akan kebutuhan gula semakin meningkat pula proses produksi
pada berbagai pabrik gula. Seiring dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, produksi Pabrik Gula mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas.
Proses industri, termasuk industri Pabrik Gula dapat menghasilkan produk utama dan
sampingan (limbah). Selama proses tersebut berjalan, kemungkinan kecelakaan dan
kerugiaan dapat terjadi bila safety procedure dalam suatu proses di industri tidak
dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, perlu awareness dari berbagai pihak yang ada
di dalam industri tersebut agar hazard yang ada tidak menimbulkan kerugian, baik pada
manusia, mesin, dan lingkungan.
Dalam setiap Proses industri tidak lepas dari adanya bahaya (hazard) di tempat kerja,
namun dengan adanya management risiko yang diterapkan di perusahaan maka hazard
yang ada dalam proses indutri dapat di manage agar tidak menimbulkan risiko yang
dapat merugikan perusahaan baik pekerja, alat maupun hasil produksi. Berikut
beberapa hazard yang ada dalam proses industri
Fisik : Kebisingan, radiasi, suhu, pencahayaan, korsleting listrik,
arus pendek.
Kimia : bahan-bahan yang mengandung toksik dan iritan
Biologi : tanaman dan hewan
Psikologi : stres dan beban kerja
Ergonomi : beban kerja yang berlebih, postur janggal
Budaya kera : suasana kerja, kerja dalam team work
Dalam konsep pengendalian hazard, pengendalian dapat dilakukan dengan
menggunakan hierarki pengendalian. Adapun tahapannya dimulai dari eliminasi,
subtitusi, minimisasi, pengendalian engineering, pengendalian administratif, pelatihan,
dan penggunaan alat pelindung diri. Berikut ini penjelasan dari hierarki tersebut, antara
lain :
1
Jenis pengendalian hazard Penjelasan
1. Eliminasi : menghilangkan sumber hazard
2. Subtitusi : mengganti sumber hazard dengan yg lebih aman
3. Minimisasi : mengurangi sumber hazard
4. Pengendalian engineering : menambah atau mengubah disain kerja yang lebih aman
5. Pengendalian administratif : prosedur kerja dan shift work
6. Penggunaan alat pelindung diri : safety goggles, safety shoes, helmet.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah Penerapan K3 pada Proses
Industri Pabrik Gula PT. PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG.
1.3 Ruang Lingkup
Makalah ini membahas proses pembuatan gula di Pabrik Gula PT. PG RAJAWALI II
UNIT PG SUBANG, mengidentifikasi bahaya yang mungkin timbul, menganalisis
dampak kesehatan dan keselamatan kerja, dan merekomendasikan tindakan preventif
atau pencegahan.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini :
Mengetahui proses industri Pabrik Gula PT. PG RAJAWALI II UNIT PG
SUBANG
Mengidentifikasi hazard yang ada serta memberikan rekomendasi pengendalian
hazard tersebut.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Proses Industri
1.5 Manfaat Penulisan
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah mengetahui tahapan proses pembuatan gula
di Pabrik Gula PT. PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG, mengidentifikasi
hazard, mengetahui dampak kesehatan dan keselamatan kerja yang terjadi, dan
merekomendasikan tindakan preventif atau pencegahan.
2
BAB II
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
2.1 Sejarah dan Latar Belakang Pabrik
Areal PG Subang semula merupakan areal tanaman karet eks PTP XXX. Konversi
areal tersebut didasarkan pada Intruksi Pertanian No.13/INS/UM/1976 tanggal 29
Juni 1976 dimana disebutkan dalam dictum pertama ayat 4 sebagai berikut “Sebagai
pengganti komoditi karet supaya diadakan penelaahan tentang kemungkinan komoditi
tebu dengan memperhatikan aspek teknis, ekonomi, dan sosial ekonomi”
Untuk merealisasikan SK menteri tersebut maka PPIG (Proyek Pengembangan
Industri Gula) bekerja sama dengan PTP XXX untuk melakukan penelitian
penanaman tebu di areal PG Subang. Dari hasil penelitian PPIG serta rekomendasi
para ahli yang berwenang, ternyata hasil penelitian di PG Subang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologis.
Pada tahun 1978/1979 dimulai tahap pelaksanaan konversi tanaman karet ke tanaman
tebu. Pada waktu itu tebu yang dihasilkan digiling ke PG tersana Baru. Berdasarkan
SK menteri No. 681/MENTERI-X/1978 tanggal 14 Oktober 1978, pengelolaan PG
Subang yang terdiri dari kebun PasirBungur, Pasir Muncang dan Manyingsal
sepenuhnya diserahkan kepada PT.Perkebunan XIV.
Pada tahun 1981 dimulailah pembangunan fisiknya yang ditegaskan dalam surat
Menteri Pertanian No.667/KPTS/8/1981 tertanggal 11 agustus 1981. Giling pertama
PG Subang adalah pada tanggal 3 Juli 1984 dan berakhir tanggal 18 Oktober 1984,
dengan total tebu giling sejumlah 1 122 716 kuintal dari keseluruhan jumlah tebu 2
135 628 kuintal. Pada saat pabrik berdiri atau produksi belum lancar, tebu PG Subang
di giling di PG lain di PTP XIV.
Sejalan dengan pengalihan manajemen PT Perkebunan XIV kepada PT RNI
(RajawaliNusantara Indonesia) berdasarkan SK Menteri Pertanian No
1326/MK013/1988 tanggal 30 Desember 1988, maka sejak saat itu pengelolaan PG
Subang dilakukan oleh PT RNI dan modal perusahaan berasal dari perusahaan itu
sendiri
.
2.2 Lokasi dan letak Geografis Perusahaan
PT. PG Rajawali II Unit Subang terletak di Desa Pasir Bungur, Kecamatan
Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Perusahaan ini berada sekitar 22 km ke
arah utara dari kota Subang dan 12 km ke arah selatan dari Kecamatan Sukamandi.
3
Secara geografis , PG Subang terletak antara 107o 41’16”BT sampai 107o41’18”BT
dan 6o24’46”LS sampai 6o24’48”LS.
2.3 Struktur Kebutuhan Tenaga Kerja
Karyawan PG Subang dibedakan menjadi empat golongan, yaitu pekerja pimpinan,
pekerja pelaksana, pekerja KKWT(Kesempatan Kerja Waktu Tertentu) dan pekerja
honorair. Pekerja pimpinan terdiri atas enam bagian, yaitu pimpinan dan TU,
tanaman, tebang dan angkut, Instalasi/teknik, pabrikasi/teknologi, dan
workshop/mekanisasi. Pekerja pelaksana terdiri atas delapan bagian, yaitu TU dan
keuangan, tanaman, tebang dan angkut, instalasi/teknik, pabrikasi/teknologi,
pengepakan, kendaraan bermotor, dan workshop/mekanisasi.
Pekerja KKWT dibagi menjadi dua, yaitu KKWT dalam pabrik dan KKWT luar
pabrik. Pekerja KKWT dalam pabrik terdiri atas tiga bagian, yaitu instalasi, pabrikasi
dan pengepakan. Sedangkan untuk pekerja KKWT luar pabrik dibagi menjadi lima
bagian, yaitu TUK, tanaman, tebang dan angkut, kendaraan, dan PTU/mekanisasi.
2.4 Manajemen Perusahaan
Pelaksanaan manajemen di PT PG Rajawali II unit Subang adalah berdasarkan
petunjuk dan kebijakan dari pimpinan atau direksi PTP XIV Cirebon yang sekarang
dikelola oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (persero) dibawah Departemen
Keuangan.
2.5 Pemasaran Hasil Produksi
Gula SHS yang dihasilkan oleh PG subang sebelum tahun 1998 seluruhnya
diserahkan kepada Sub. Dolog/Bulog dilaksanakan dengan pemindahan lewat Bank
Bumi Daya (BBD) Subang ke BBD Cirebon atas nama PT Rajawali II yang memakan
waktu 10 hari sejak penitipan gula. Biaya penitipan gula pada BBD dan biaya
penitipan gula di gudang sepenuhnya ditanggung oleh Dolog atau Sub Dolog.
Sistem pemasaran telah berubah pada akhir tahun 1998, menjadi pasar bebas dimana
pemasarannya langsung dilaksanakan oleh PT Rajawali II.
2.6 Sruktur Organisasi Perusahaan
PG Subang memiliki struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang General
Manager yang bertanggung jawab kepada direksi PT PG Rajawali II Cirebon. Dalam
menjalankan tugasnya General Manager dibantu oleh empat orang manager, yaitu :
1. Engineering Manager (Manager Instalasi)
4
2. Processing manager ( Manager Proses Produksi)
3. Financial and Administration Manager (Manajer Keuangan dan Administrasi)
4. Plantation Manager (manager Tanaman)
5. Human Resources Development
5
BAB III
SISTEM PROSES
Proses pembuatan gula dari tebu pada hakekatnya hanya memisahkan gula melalui
pemerahan, filtrasi (penyaringan), penguapan (evaporasi), pemasakan, dan pemutaran
(sentrifugasi). Dalam proses pembuatan ini, air dan kotoran (bukan gula) akan dipisahkan dari
tebu.
Pemisahan gula di PG Subang menggunakan proses sulfitasi alkalis. Proses sulfitasi
alkalis menggunakan kapur tohor dan belerang sebagai bahan pembantu. Pelaksanaannya
meliputi tujuh stasiun yaitu:
1. Stasiun Persiapan
2. Stasiun Gilingan
3. Stasiun Pemurnian
4. Stasiun Penguapan
5. Stasiun Pemasakan
6. Stasiun Puteran
7. Stasiun Penyelesaian
3.1. STASIUN PERSIAPAN
Tujuan stasiun persiapan adalah untuk mempersiapkan tebu sebagai umpan pada
stasiun gilingan. Untuk memperoleh tebu yang baik dan sesuai dengan kriteria tebu maka
dibentuk beberapa Pos Pengawasan dan Pemeriksaan tebu sebelum tebu digiling, yaitu:
a. Pos I (Kebun)
Pengawasan secara langsung terhadap tebu yang baru ditebang (memenuhi kriteria
BSM). Bersih, dengan kadar kotoran tidak lebih dari 5%; Segar, waktu antara tebu
tebang dan giling tidak lebih dari 24 jam; Manis, memiliki potensi rendemen tebu tinggi
dimana kadar nira tinggi (>85%) dan nilai nira NPP tinggi (>12%).
b. Pos II (Timbangan)
Pemeriksaan terhadap tebu yang masuk timbangan. Tebu yang kotor harus diberi
peringatan atau diberi pengurangan premi kebersihan. Tebu bakaran harus ditolak karena
sukrosanya telah mengalami inversi menjadi glukosa dan fruktosa sehingga gula yang
dihasilkan dari tebu bakaran memiliki kualitas yang buruk dan berwarna coklat.
6
c. Pos III (Cane Yard)
Pemeriksaan ulang terhadap tebu yang masuk sebelum digiling. Penyimpanan tebu di
Cane Yard dilakukan dengan menggunakan sistem FIFO, singkatan dari First In First
Out.
3.1.1. Penimbangan Tebu
Sebelum masuk ke dalam pabrik, tebu harus ditimbang terlebih dahulu. Tujuan
penimbangan tebu ini adalah untuk:
a. Mengetahui bobot tebu yang masuk ke dalam proses sehingga dapat diketahui nilai
rendemen tebu yaitu perbandingan antara gula yang dihasilkan dari proses dengan tebu
yang digiling.
b. Mengetahui biaya upah tebang yang harus dibayarkan.
c. Mangetahui kapasitas giling pabrik.
d. Perhitungan pengawasan proses lainnya.
Tebu yang baru ditebang secepat mungkin diangkut ke cane yard (lapangan tempat
penyimpanan tebu). Sebelum masuk cane yard, truk tebu/trailer beserta tebunya akan
melewati timbangan sehingga diperoleh berat truk beserta tebunya (berat bruto). Tebu dari
truk tersebut kemudian diatur dengan derek yang disebut dengan cane stacker. Pengaturan ini
ditujukan untuk mencegah kerusakan tebu akibat inversi sukrosa yang disebabkan oleh tebu
yang terlalu lama disimpan. Cara yang digunakan adalah sistem FIFO (First In First Out),
yaitu mendahulukan tebu yang terlebih dahulu datang untuk digiling, selanjutnya diteruskan
oleh tebu yang baru masuk. Tebu yang dari trailer langsung digiling (direct feeding). Trailer
yang sudah kosong lalu kembali melewati timbangan untuk memperoleh berat trailer (berat
tara). Untuk mengetahui berat tebu yang masuk ke dalam pabrik, digunakan perhitungan
sebagai berikut:
Berat truk / trailer + berat tebu = bruto
Berat truk / trailer = tara
Berat tebu = netto
Berat tebu (berat netto) adalah berat tebu dengan kotoran-kotoran yang masuk dan ikut
tertimbang. Kotoran-kotoran yang dimaksud adalah akar tebu, daun tebu, tanah, tebu muda
(sogolan), tebu mati, dan pucuk tebu.
3.1.2. Pembongkar Tebu
Alat-alat pembongkar tebu terdiri dari:
a. Cane triplex
Fungsi alat ini adalah untuk membongkar tebu melalui truk yang selanjutnya
ditumpahkan ke cane carrier.
7
-
b. Cane unloading.
Fungsinya adalah untuk membongkar tebu dengan cara mengangkut tebu yang ada di bak
truk kemudian ditarik ke cane table.
c. Hilo
Fungsi Hilo ini adalah untuk mengangkut tebu dari trailer dan langsung
memindahkannya ke meja tebu (tanpa diletakkan dahulu di cane yard).
d. Cane Stacker.
Fungsi dari cane stacker adalah untuk mengangkat dan mengangkut tebu dari cane yard
untuk diletakkan di meja tebu (cane table).
3.1.3. Meja Tebu (Cane Table)
Fungsi dari cane table adalah untuk mengatur jumlah tebu yang masuk ke krapyak
tebu (cane carrier) agar peletakan tebu di cane carrier merata dan tidak menumpuk. Di PG
Subang terdapat tiga unit cane table untuk memenuhi kapasitas giling setiap harinya.
3.1.4. Krapyak Tebu (Cane Carrier)
Cane carrier berfungsi untuk mengatur jumlah tebu yang masuk ke dalam cane cutter
agar tidak terjadi overload (kelebihan muatan), yang akan menimbulkan penumpukan pada
cane cutter.
3.1.5. Pisau Tebu (Cane Cutter)
Cane cutter merupakan pembuka sel tebu yang pertama. Fungsinya adalah untuk
memotong-motong dan mencacah batang tebu. Tujuan pemotongan adalah untuk
menghancurkan sel-sel yang ada pada batang tebu sehingga mempermudah pemerahan nira
yang terkandung dalam tebu.
Pisau pada cane cutter berputar dengan kecepatan 900 rpm agar nira mentah tidak
keluar dari sel-sel tebu saat pencacahan, dengan arah perputaran pisau searah dengan arah
aliran tebu. Jumlah mata pisau yang ada 32 buah. Agar pencacahan dilakukan sempurna maka
digunakan unigrator. Antara cane cutter dengan cane carrier terdapat jarak, sehingga batang
tebu yang terletak pada bagian bawah masih ada yang belum terpotong dengan sempurna.
Oleh karena itu tebu harus melalui unigrator, agar pencacahan terjadi lebih sempurna.
3.1.6. Unigrator
Unigrator merupakan pembuka sel lenjutan. Unigrator berfungsi untuk
menghaluskan serabut-serabut kasar yang keluar dari cane cutter menjadi serabut-serabut
yang lebih halus.
8
Unigrator terdiri dari palu (hammer) yang berputar dan landasan yang permukaannya
tidak halus. Unigrator memiliki kecepatan putar palu (hammer) 760 rpm dengan arah yang
berlawanan dengan arah putaran tebu. Tenaga penggerak cane cutter dan unigrator berasal
dari turbin yang digerakkan oleh kukus (steam).
3.1.7. Cane Elevator
Cane elevator berfungsi untuk mengangkut tebu yang sudah terpotong-potong dari
Cane Cutter dan Unigrator menuju ke Stasiun Gilingan.
3.2. STASIUN GILINGAN
Di PG Subang, pengambilan nira dari batang tebu dilakukan dengan cara pemerahan
menggunakan gilingan. Stasiun gilingan ini berfungsi sebagai tempat pemisahan dan
pemerahan nira dari ampasnya untuk mendapatkan kadar sukrosa semaksimal dan seefisien
mungkin (kadar sabut < 16% tebu).
Tebu yang masuk ke stasiun gilingan adalah tebu-tebu yang telah lolos seleksi/telah
melewati pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya. Tebu yang akan digiling harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Tebu telah cukup umur dan masak
2. Bersih dari kotoran, yaitu daun kering, tebu kering, akar, pucuk, tanah, dan dari tebu
muda. Kotoran yang ada tidak boleh melebihi 5%.
3. Tebu harus dalam keadaan segar, maksudnya adalah jangka waktu antara waktu tebang
sampai giling tidak boleh lebih dari 48 jam. Jika lebih dari 48 jam, tebu akan busuk.
Empat unit gilingan pada stasiun gilingan digerakkan oleh turbin yang menggunakan
tenaga kukus (steam) yang bertekanan 1.960 kPa. Kecepatan putar turbin pada masing-masing
unit gilingan adalah 5.500 rpm. Keempat unit gilingan ini disusun seri. Masing-masing unit
gilingan terdiri dari tiga buah silinder (rol) yaitu rol muka, rol atas, dan rol belakang. Pada
permukaan tiap gilingan terdapat alur-alur agar gilingan tidak selip dan nira mentah mudah
mengalir sehingga pemerahan dapat berjalan dengan baik.
Rol-rol gilingan digerakkan oleh mesin uap dengan roda-roda bergigi sehingga rol
yang di atas berputar dengan arah yang berlawanan dengan rol yang berada di bawah. Dengan
gerakan ini maka tebu ditarik oleh rol muka dan diperah, selanjutnya melewati rol belakang
untuk diperah lagi dan kemudian dikeluarkan. Nira yang jatuh melewati rol bawah akan
disaring dengn menggunakan saringan getar untuk memisahkannya dari ampas yang masih
ada. Nira yang dihasilkan diamati kadar brix dan polnya serta disaring dengan saringan DSM
(Drum Separator Motor) untuk memisahkan ampas halus dan kotoran kasar yang tercampur
dalam nira.
9
Pada tiap unit gilingan, tebu akan mengalami pemerahan sebanyak dua kali, yaitu
antara rol muka dengan rol atas dan antara rol belakang dengan rol atas. Ampas yang keluar
dari unit gilingan I digiling lagi pada unit gilingan II lalu ke unit gilingan III dan seterusnya.
Unit gilingan I hingga IV memiliki konstruksi sama yaitu berupa silinder / rol dengan
permukaan yang memiliki alur bergerigi. Keempat gilingan ini hanya berbeda pada setelan
rolnya saja. Unit gilingan disetel makin rapat pada gilingan-gilingan akhir, hal ini
dimaksudkan agar pemerahan nira dapat dilakukan semaksimal mungkin.
Di bawah masing-masing unit gilingan ada yang disebut dengan trash plate (pelat
ampas), yang berguna untuk menahan dan menekan ampas agar pemasukan umpan pada rol
berikutnya mudah serta untuk mencegah bercampurnya ampas dengan nira yang telah
diperah.
Pemerasan serta tebu dapat ditingkatkan dengan tekanan hidrolik yang diberikan pada
rol bagian atas. Cara ini memiliki banyak keterbatasan yaitu:
a. Memerlukan daya dan energi yang besar untuk menggerakkan gilingan.
b. Memerlukan peralatan yang berat dan mahal dalam pengoperasian dan pemeliharaannya.
c. Tidak dapat mengekstraksi nira secara sempurna, disebabkan kamampuan bagasse
(ampas tebu) menyerap nira sangat kuat. Bagasse ini memiliki kemampuan menyerap
cairan 5-10 kali beratnya.
3.2.1. Unit Gilingan I
Tebu yang sudah berupa serat-serat halus diumpankan memasuki unit gilingan I
dengan bantuan feeding roller untuk diperas dan diambil niranya. Hasil dari unit ini berupa
Nira Perahan Pertama (NPP) dan ampas gilingan I. NPP dihitung brix dan polnya untuk
mengetahui kualitas perahan tebu sehingga rendemennya dapat dihitung. Ampas gilingan I
dibawa oleh intermediate carrier untuk dijadikan umpan pada unit gilingan II. Ampas
gilingan I yang telah dicampur dengan nira perahan gilingan III disebut nira imbibisi (sap
imbibisi).
3.2.2. Unit Gilingan II
Nira imbibisi (sap imbibisi) gilingan I dicampur dengan nira perahan gilingan III
diperas kembali di unit gilingan II. Hasil perahan unit gilingan II ini disebut Nira Perahan
Lanjutan (NPL). Nira mentah (pH 5,4 – 5,6) merupakan campuran dari NPP dan NPL. Nira
mentah ini kemudian akan masuk ke dalam stasiun pemurnian untuk diolah lebih lanjut.
10
3.2.3. Unit Gilingan III
Ampas keluaran gilingan II dicampur dengan nira keluaran unit gilingan IV
(sapimbibisi) dijadikan umpan pada unit gilingan III. Hasil perahan unit gilingan III disebut
nira gilingan III yang digunakan sebagai nira imbibisi (sap imbibisi) pada unit gilingan II.
3.2.4. Unit Gilingan IV
Umpan pada unit gilingan IV adalah ampas unit gilingan III yang ditambah air
imbibisi (25 % dari jumlah tebu yang digiling). Air imbibisi yang ditambahkan harus
memiliki temperatur 60oC agar dapat melarutkan sukrosa yang terkadung di dalam ampas
tanpa menyebabkan sukrosa tereduksi menjadi glukosa dan fruktosa (karena pada temperatur
tinggi sukrosa akan tereduksi menjadi glukosa dan fruktosa). Tujuan pemberian air imbibisi
ini adalah untuk melarutkan kandungan sukrosa yang masih terdapat dalam ampas tebu
sehingga dapat dihasilkan ampas dengan kandungan sukrosa yang sesedikit mungkin dan nira
sebanyak-banyaknya. Cara pemberiannya adalah dengan menyemprotkan air pada ampas
melalui pipa-pipa yang berlubang dan dipasang sepanjang rol gilingan. Pengeluaran air
imbibisi diatur dengan flowmeter.
Hasil dari gilingan IV yaitu nira imbibisi (sap imbibisi) digunakan sebagai umpan
pada gilingan IV, sedangkan ampas keluarannya (40% tebu) digunakan sebagai:
1. Bahan bakar pembangkit boiler,
Ampas keluaran gilingan IV dikeringkan kemudian dijadikan bahan bakar boiler, ampas
ini dapat digunakan karena mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi ( 1.800 kkal/kg).
2. Media pertumbuhan jamur yang baik.
3. Bahan baku pembuatan kertas.
3.2.5. Air Imbibisi
Dalam sistem pemerahan, air imbibisi hanya diberikan pada ampas yang akan masuk
ke gilingan terakhir (gilingan IV) untuk selanjutnya nira yang diperoleh digunakan sebagai
imibisi pada ampas yang akan masuk pada gilingan III. Demikian pula pada hasil perahan
gilingan III yang menjadi nira imbibisi pada gilingan II.
Sistem imbibisi ini lebih baik dari cara imbibisi yang lain, karena sistem ini
memanfaatkan nira dengan konsentrasi rendah sebagai imbibisi. Dalam hal ini, air nira
tersebut dimanfaatkan sebagai pengencer nira yang ada dalam ampas gilingan yang
bersangkutan. Sehingga beban penguapan tidak begitu berat.
PG Subang menggunakan air imbibisi dengan temperatur 50oC. Keadaan ini dipilih
karena temperatur tidak terlalu panas sehingga lapisan lilin tebu tidak meleleh yang dapat
mengakibatkan slip pada rol-rol gilingan. Suhu air imbibisi inipun tidak terlalu dingin
sehingga pemerahan nira berjalan maksimal. Pengaruh temperatur air imbibisi harus
11
DSM Screen
Cane Carrier Cane Elevator
Ke Timbangan Boulogne
IV
Tangki Nira Mentah Nira Gil
I / II Nira Gil
III Nira Gil
IV
Air Imbibisi
Ampas
Nira Imbibisi
III II I
diperhitungkan dengan baik karena semakin tinggi temperatur air imbibisi maka akan
semakin banyak nira yang terambil. Hal ini menyebabkan sel tebu mati, sel permeabilitas tebu
hilang, jumlah kotoran yang larut juga bertambah sehingga akan menyebabkan kerusakan
sukrosa.
Jumlah air imbibisi juga akan berpengaruh pada proses. Jika air imbibisi besar maka
akan semakin baik, namun beban penguapan akan semakin besar. Oleh karena itu perlu
diperhitungkan penambahan air maksimal agar kerja badan penguapan tidak terlalu besar.
Penambahan air imbibisi adalah sekitar 15-16% berat tebu.
Gambar 1. Stasiun Gilingan
3.2.6. Sanitasi Gilingan
Tujuan dari sanitasi gilingan adalah mencegah atau memperkecil aktivitas mikroba
yang merupakan faktor utama kerusakan nira serta menekan pH nira rendah, karena dalam
keadaan ini nira tebu bisa mengalami inversi.
Proses sanitasi gilingan di beberapa PG ini dilakukan beberapa cara, yaitu dengan
penambahan:
a. Pemberian susu kapur
Apabila dilihat dari disinfektan yang diberikan pada nira yang keluar dari tiap unit
gilingan, jumlah yang diberikan berkisar antara 4-7 ppm tebu. Penambahan ini juga
dilakukan untuk mencegah terjadi perubahan yang drastis pada pH nira sehingga tidak
merusak keadaannya.
b. Penyemprotan atau pemberian air panas pada setiap aliran jalannya nira.
3.3. STASIUN PEMURNIAN
Nira mentah dari stasiun gilingan (mill house) dimurnikan untuk memisahkan kotoran
(bukan gula) yang berupa blotong / filter cake (sekitar 5% tebu). Di stasiun pemurnian ini nira
mentah mengalami proses pemisahan dan pengendapan kotoran-kotoran dari dalam nira
12
sehingga akan diperoleh nira dengan kemurnian yang cukup tinggi. Nira yang mempunyai
kemurnian tinggi akan mempermudah proses pengkristalan. Adapun susunan nira mentah
adalah sebagai berikut:
Air : komponen terbesar
Dispersi kasar : > 10-3 mm (tanah, lilin, lemak)
Koloid : 10-3 – 10-6 mm (tanah, lilin, lemak, protein, pektin, pati)
Larutan : < 10-6 mm
- Organik : sukrosa, monosakarida, nitrogen, zat warna, asam
- Anorganik : a. Kation : K, Na, Ca, Mg, Fe, Al
b. Anion : P2O5, SO4, Cl2
Pada pengendapan kotoran, penggumpalan kotoran akan lebih cepat bila dilakukan
pemanasan terlebih dahulu dan dengan adanya penambahan flokulan.
Proses pemurnian nira dilakukan secara bertahap, tujuannya adalah menaikkan nilai
HK (Harga Kemurnian), mencegah terjadiya inversi, menghilangkan koloid, dan
menghilangkan komponen-komponen non gula dalam nira mentah yang dihasilkan dari
stasiun gilingan sehingga diperoleh nira jernih.
Pada stasiun pemurnian terdapat alat-alat kontrol proses berupa:
a. Temperatur control (TC) pada juice Heater I, II, III serta pada Door Clarifier.
b. Flow control (FC) untuk mengukur laju alir nira.
c. pH control pada Defekator dan Sulfitator
3.3.1. Penyaringan I
Nira mentah dari stasiun gilingan disaring dengan menggunakan saringan parabolis
(DSM) untuk memisahkan ampas halus yang terbawa. Ampas halus yang tersaring
dikembalikan ke gilingan II.
3.3.2. Penimbangan Nira Mentah
Nira mentah yang telah disaring dimasukkan ke timbangan Boulogne. Penimbangan
ini bertujuan untuk;
a. Mengetahui jumlah nira mentah yang akan diproses sehingga dapat diketahui perolehan
gula (yield) dari nira mentah yang masuk.
b. Mengetahui jumlah nira mentah yang dihasilkan dari proses gilingan untuk setiap jumlah
tebu yang digiling.
Timbangan ini bekerja secara kontinu dan otomatis sehingga berat nira dapat
langsung diketahui. Kapasitas timbangan sebesar tiga ton. Waktu yang diperlukan untuk
mengisi penuh timbangan hingga pengosongan nira ke bak tunggu adalah tiga menit. Cara
kerjanya yaitu: nira mentah hasil proses gilingan yang masuk ke timbangan akan ditampung
13
dulu. Setelah bobot nira mentah mencapai tiga ton, timbangan nira akan turun dan nira
mentah akan dikeluarkan menuju tangki nira tertimbang dengan pH nira mentah 6,8.
3.3.3. Pemanas I (Juice Heater I)
Nira dalam tangki tertimbang dipompa ke dalam pemanas I dan dipanaskan sampai
temperatur 70-75 oC menggunakan pemanas uap bekas turbin (exhaust steam). Tujuan
pemanasan pada temperatur tersebut adalah:
a. Membunuh mikroorganisme (Leuconostoc dan bakteri asam susu) yang terdapat di dalam
nira karena dapat menyebabkan pH nira menjadi asam.
b. Menggumpalkan koloid yang ada dalam nira karena koloid lebih mudah menggumpal
pada temperatur tersebut.
c. Mencapai temperatur optimum pada proses defeksi dan sulfitasi I. Pada proses defekasi
dan sulfitasi I, nira akan mengalami reaksi dengan susu kapur dan gas sulfit. Reaksi akan
berlangsung lebih cepat pada temperatur tersebut dan juga hanya terjadi sedikit
kerusakan sukrosa.
d. Membawa nira pada titik isoelektriknya yaitu titik saat zat-zat anorganik kehilangan
muatan listriknya sehingga dapat diendapkan.
Pemanasan pada temparatur lebih dari 75oC akan menyebabkan terjadinya kerusakan
sukrosa (inversi sukrosa), sedangkan bila pemanasan kurang dari 70oC akan menyebabkan
reaksi sulfitasi berlangsung lambat.
3.3.4. Defekasi
Proses defekasi dibagi bertahap:
1. Pada defekator I
2. Pada defekator II
Proses defekasi dibagi bertahap karena:
1. Setiap kotoran / koloid memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Proses penempelan
dan pengendapan bergantung pada pH dan jenis koloidnya.
2. Agar tidak terjadi pengendapan kapur yang terlalu banyak pada tangki defekator.
Endapan kapur ini dapat mengakibatkan pergerakan pada dasar tangki defekator.
3.3.4.1 Defekator I
Nira pada pemanas I dialirkan ke defekator I. Di dalam defekator ini ditambahkan
emulsi kapur Ca(OH)2 6oBe sampai pH 6,8-7,2. Penambahan asam fosfat di peti nira
tertimbang sebelum masuk ke defekator bertujuan untuk menaikkan kadar fosfat di dalam nira
sehingga dapat membantu pengendapan zat pengotor seperti: asam organik, asam anorganik,
gums, pektin, dan logam-logam. Penambahan emulsi kapur Ca(OH)2 bertujuan untuk
14
Buffer TankCa(OH)2
Splitter box
Nira pH 5,6
Defekator I Defeka
tor IISulfitator
pH 5,8
Peti kapur
Ca(OH)2 Pompa
SO2
Nira
ventury
mencegah terjadinya kerusakan sukrosa dalam nira. Waktu tinggal dalam defekator I adalah
kurang lebih 3 menit dengan kecepatan pengadukan 70 rpm.
Pemberian emulsi kapur Ca(OH)2 dilakukan secara otomatis melalui unit pH control
yang dihubungkan dengan splitter box. Splitter box adalah tempat pembagi emulsi kapur yaitu
aliran ke defekator dan pengembalian kelebihan emulsi kapur. Di samping penggunaan pH
control, pemberian emulsi kapur juga dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan
piring tetes. Indikator yang digunakan adalah BTB (brom thymol blue) dan PAN (phenol
alpha naphtol) dengan hasil berwarna hijau kebiruan. Pada tahun giling 2001 seluruh reaktor
dipasang unit pH meter secara otomatis.
3.3.4.2 Defekator II
Larutan nira dari defekator I dialirkan ke defekator II. Di dalam defekator ini
ditambahkan emulsi kapur berlebih sehingga pH nira mencapai 9,5-10. Pemberian emulsi
kapur untuk menaikkan pH karena sifat sukrosa yang tidak tahan dengan suasana asam, selain
itu endapan Ca3(PO4)2 yang terbentuk akan mengadsorpsi kotoran lain sehingga membentuk
gumpalan yang lebih mudah untuk diendapkan. Waktu tinggal dalam defekator II adalah 1
menit dengan kecepatan pengadukan 300 rpm.
Diagram alir skema pengaturan pH di stasiun pemurnian disajikan sebagai berikut:
Gambar 2. Pengaturan pH di Proses Pemurnian
15
KETERANGAN:
pH TRANSMITTER
pH ELECTRODE / SENSOR
pH CONTROLLER + pH RECORDER
pH RECORDER
MODUTROL MOTOR
3.3.5. Sulfitasi I
Sulfitasi merupakan lanjutan dari defekasi. Pada proses ini dilakukan penambahan
susu kapur dan gas SO2 sebagai reagen. Susu kapur ditambahkan berlebihan (sekitar 1%) dan
kelebihan susu kapur dinetralkan dengan gas SO2. Akibat penambahan reagen tersebut, akan
terbentuk endapan yang berfungsi sebagai pengabsorpsi bahan bukan gula. Sebelum
dipanaskan dengan reagen, nira dipanaskan hingga 75oC.
Nira yang dihasilkan dari proses defekasi memiliki pH yang terlalu tinggi (basa)
sehingga harus dinetralkan pada proses sulfitasi I. Apabila pH nira terlalu basa, sukrosa tidak
rusak tetapi akan timbul suatu zat yang berwarna coklat dan menyebabkan warna gula yang
akan didapat juga merah, apalagi bila ditambah dengan temperatur tinggi. Hal ini disebabkan
karena dalam nira tebu terdapat zat yang disebut glukosa dan zat inilah yang rusak pada pH di
atas 7 dan membentuk zat yang berwarna coklat, oleh karena itu pH nira harus dinetralkan
dengan penambahan gas sulfit (SO2).
Nira mentah terkapur direaksikan dengan gas SO2 di kolom sulfitasi sampai pH 7.
Pemberian gas SO2 bertujuan untuk menetralkan kelebihan kapur karena nira dalam suasana
basa akan menyebabkan terbentuk glukosa seperti telah dijelaskan di atas. Selain itu juga
untuk membentuk inti endapan yang bersifat adsorben (CaSO3).
Reaksi yang terjadi pada proses sulfitasi adalah:
SO2 + H2O (dalam nira) H2SO3
H2SO3 H+ + HSO3-
Ca2+ + 2HSO3- Ca(HSO3)2; Ca Sulfit primer, pH 4,5
HSO3- H+ + SO3
2-
Ca2+ + SO32- CaSO3(p); Ca Sulfit sekunder,pH 7,2
Pada temperatur lebih dari 100oC, reaksi yang terjadi adalah:
2CaSO3 + H2O berlebih Ca(HSO3)2 (larut) + H2O
2CaSO3 + O2 CaSO4 (larut)
Oleh karena itu temperatur nira dalam pengendapan harus dibawah 100 oC.
Proses sulfitasi I ini menggunakan sulitator dengan menara sulfit karena hasil
pencampuran antara nira dengan gas sulfit lebih merata. Pada sulfitator yang menggunakan
sistem venturi terdapat lubang (venturi) kecil di bagian dalam pipa tempat berkontaknya nira
dengan gas sulfit. Proses kerjanya adalah sebagai berikut: pada saat nira dipompa melewati
lubang (venturi) tersebut maka gas sulfit (SO2) akan tertarik dan terhisap oleh aliran nira tanpa
perlu dilakukan kompresi. Jadi tidak diperlukan udara tekan untuk mengalirkan gas sulfit ke
dalam tangki sulfitator.
16
+
+
+++
+
++
Flokulan
++
++
+-
-
- --
Koloid (+)
Flokulan (-)
Koloid melayang-layang Koloid menggumpal
3.3.6. Pemanas II (Juice Heater II)
Nira yang telah mengalami proses sulfitasi kemudian dipanaskan pada juice heater II
hingga temperaturnya 105oC. Tujuan pemanasan ini adalah menyiapkan nira sebelum
memasuki proses pengendapan pada Door Clarifier karena pada temperatur kurang dari
801oC kotoran akan sulit mengendap. Selain itu juga untuk membunuh mikroorganisme yang
masih hidup dan mempersiapkan nira pada titik didihnya sehingga mengurangi beban pada
evaporator.
3.3.7. Flash Tank
Flash tank (tangki pengembang) berfungsi untuk mengeluarkan gas-gas yang terlarut
dalam nira dan menghilangkan tekanan yang berasal dari pompa-pompa nira sehingga nira
akan masuk ke Door Clarifier dengan aliran laminer. Udara dan gas tersebut dapat
mengganggu proses pengendapan kotoran di Door Clarifier sehingga harus dihilangkan.
Udara dan gas yang menempel pada kotoran dapat menyebabkan kotoran-kotoran tersebut
terangkat ke atas oleh udara ataupun gas sehingga tidak terendapkan.
3.3.8. Prefloctower
Mulai tahun giling 2001 dipasang alat ini. Fungsinya adalah sebagai pencampur
flokulan dan sebagai bejana pengembang agar pengendapan dapat berjalan sempurna.
3.3.9. Tangki Pengendapan (Door Clrifier)
Nira yang dihasilkan dari proses defekasi belum semua kotorannya terendapkan,
masih terdapat koloid-koloid halus yang belum dapat mengendap. Oleh karena itu pada tangki
Door Clarifier dilakukan penggabungan koloid-koloid sehingga menjadi partikel yang lebih
besar yang dapat mengendap lebih mudah. Untuk membantu penggabungan koloid-koloid
tersebut dilakukan penambahan flokulan.
Partikel yang berukuran 10-3 - 10-6 mm (koloid) memiliki muatan yang sama sehingga
dapat stabil karena ada gaya tolak-menolak antar partikel. Pemisahan partrikel-partikel itu
dari cairan nira harus dilakukan dengan cara menggumpalkan partikel-partikel tersebut.
Penggumpalan akan terjadi bila partikel tidak bermuatan sehingga muatan tersebut
dinetralkan dengan penambahan flokulan.
17
Gambar 3. Sistem Penambahan Flokulan
Flokulan ditambahkan pada Door Clarifier dengan konsentrasi 3 ppm. Sebelum masuk ke
dalam Door Clarifier, flokulan sebanyak 3 ppm tersebut dibuat dalam tangki berkapasitas
1.000 liter (dilengkapi dengan pengaduk) yang terletak di atas tangki Door Clarifier. Flokulan
dimasukkan sedikit demi sedikit sambil dilarutkan dengan air dingin kemudian diaduk hingga
mencapai konsentrasi 3 ppm. Larutan flokulan 3 ppm kemudian dialirkan ke Snowballing
Chamber dan bercampur dengan nira. Snowballing Chamber digunakan untuk
menyempurnakan reaksi. Penambahan flokulan adalah sebanyak 5 kg untuk satu shift.
Tangki Door Clarifier memiliki empat tingkatan ruang nira: tingkat 1 dan 2 bersatu
menjadi satu ruang nira sehingga terdapat 3 ruang pengendapan. Di masing-masing ruang nira
akan terjadi proses pengendapan kotoran. Pada masing-masing ruang terdapat scapper.
Fungsinya adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran pada lantai masing-masing ruang nira
sehingga Door Clarifier dapat berjalan secara kontinu. Kotoran-kotoran tersebut jika telah
menumpuk akan disapu dengan menggunakan scapper sehingga kotoran akan turun melalui
pipa pada bagian tengah tangki menuju dasar tangki untuk kemudian dikeluarkan sebagai nira
kotor. Nira jernih akan keluar dari masing-masing ruang nira menuju penampungan nira
jernih yaitu clear juice tank. Sebelum ditampung di dalam clear juice tank, nira terlebih dulu
disaring untuk memisahkan ampas halus yang masih tersisa dengan menggunakan Clear Juice
DSM Screen.
3.3.10. Rotary Vacuum Filter (RVF)
Nira kotor hasil pengendapan ditambah dengan ampas halus (bagasillo) dipompa ke
Rotary Vacuum Filter untuk memperoleh nira tersaring (filtrat) dan bahan tak larut (blotong).
Filtrat dialirkan ke nira mentah. Penambahan ampas halus (bagasillo) berguna agar
penempelan kotoran pada Rotary Vacuum Filter dapat berlangsung sempurna.
Bagian utama alat ini adalah sebuah drum yang berputar dan dilengkapi dengan
saringan. Sebagian drum tercelup dalam nira kotor. Drum terbagi atas tiga bagian: sektor
bebas hampa, sektor hampa rendah (25-30 cmHg), dan sektor hampa tinggi (40-60 cmHg).
Pada awal pengoperasian, bagian yang tercelup pada nira kotor berhubungan dengan
hampa rendah. Nira akan melewati lubang saringan dan selanjutnya lubang akan tertutup oleh
lapisan endapan. Dari penyaringan ini filtrat masih keruh dan ditampung pada bak
penampung.
Setelah terbentuk lapisan endapan, bagian drum tersebut masuk pada sektor hampa
tinggi. Pada sektor ini diberikan air cucian panas bertekanan sekitar 2% dari jumlah tebu.
18
Bagasillo
Ca(OH)2
Flokulan
Nira Encer
Blotong
Air
Nira Mentah
11
31
32
33
4
12
SO25
6
8
7
2
Filtrat yang keluar dari sektor ini lebih bersih daripada filtrat kotor hampa rendah. Filtrat dari
kedua sektor inilah yang kemudian dicampur dengan nira mentah tertimbang.
Blotong diskrap saat drum mencapai sektor bebas hampa. Blotong dibawa
menggunakan belt conveyor menuju tangki penampungan blotong (cane bunker) yang
selanjutnya dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman tebu.
3.3.11. Pemanas III (Juice Heater III)
Pada Juice heater III ini nira jernih dari Door Clarifier dipanaskan hingga mencapai
temperatur 110oC. Tujuan pemanasan ini adalah untuk mempersiapkan nira jernih sebelum
memasuki Stasiun Penguapan. Jadi, pada saat memasuki evaporator, tidak lagi diperlukan
panas untuk menaikkan temperatur nira jernih. Panas hanya dipakai untuk proses penguapan
saja
Gambar 4. Stasiun Pemurnian
3.4. STASIUN PENGUAPAN
Nira dari stasiun pemurnian merupakan nira encer (clear juice) dengan kandungan air
sekitar 88%. Tujuan stasiun penguapan ini adalah untuk mengurangi kandungan air dalam
nira dengan cara penguapan sehingga diperoleh syrup (nira kental).
Stasiun penguapan ini terdiri dari lima badan penguapan (evaporator) yang disusun
secara seri. Walaupun terdapat lima buah badan penguapan (evaporator), namun pada operasi,
hanya empat badan evaporator saja yang digunakan (quadruple effect evaporator) dengan
sistem umpan maju. Satu badan penguapan digunakan sebagai cadangan. Hal ini
19
dimaksudkan agar evaporator dapat digunakan secara kontinu sementara sebuah evaporator
dibersihkan.
Badan penguapan (evaporator) ini dibersihkan dengan cara digosok dan ditambahkan
Soda Kaustik (NaOH). Tujuan penambahan zat kimia ini adalah untuk menghilangkan kerak
(scale) pada pipa-pipa di dalam badan evaporator. Kerak atau kotoran yang menempel pada
pipa-pipa nira atau dinding-dinding evaporator dapat mengurangi transfer panas dari steam ke
cairan nira yang akan dipekatkan sehingga akan mengurangi efisiensi. Kerak (scale) juga
dapat mengakibatkan overheating atau panas berlebihan pada pipa nira.. Dosis NaOH yang
digunakan adalah 0,136 kg/m2 heating surface.
Dari stasiun pemurnian, nira encer dialirkan ke dalam badan I. Nira yang masuk ke
dalam badan penguap tersebut lalu mengalir turun melalui pipa-pipa membentuk climbing
film sehingga uap nira dapat terpisahkan dari cairan niranya. Di dalam badan tersebut nira
encer yang sebelumya dipanaskan di Juice Heater III hingga mencapai 105oC siap untuk
diuapkan airnya. Ketinggian nira di dalam setiap badan evaporator untuk mencapai hasil yang
optimal adalah sepertiga tinggi badan pipa pemanas.
Pada saat cairan nira melewati pipa pemanasan, nira tersebut dipanaskan dengan uap
pemanas. Untuk uap pemanas pada badan pemanas I digunakan steam bekas (exhaust steam)
dengan tekanan 1 atm dan temperatur 120oC yang berasal dari stasiun gilingan (steam bekas
penggerak turbin). Jika dalam proses penguapan, steam bekas (exhaust steam) yang berasal
dari stasiun gilingan masih kurang maka perlu ditambahkan steam baru (live steam) dari
boiler agar mencapai tekanan yang diinginkan. Sedang untuk pemanas pada badan II, III, dan
badan IV digunakan uap nira yang berasal dari uap nira badan sebelumnya.
Pada saat proses penguapan temperatur tidak boleh terlalu tinggi karena gula akan
rusak pada temperatur tinggi (akan menyebabkan terbentuknya karamel). Untuk mencegah
terbentuknya karamel namun air dapat tetap teruapkan maka dilakukan penurunan tekanan
dalam badan evaporator. Dengan menurunkan tekanan maka titik didih air akan turun
sehingga pada temperatur yang tidak terlalu tinggi air sudah dapat teruapkan dari nira. Titik
didih akan turun dengan menggunakan bejana vakum. Penguapan tersebut dilakukan dalam
keadaan vakum dengan tujuan:
Menurunkan titik didih dan menghemat uap.
Dengan turunnya titik didih, diharapkan kehilangan gula akibat temperatur tinggi dapat
ditekan.
Nira hasil proses penguapan pada badan penguapan (evaporator) I akan diuapkan lagi
pada badan penguapan II hingga badan penguapan IV. Selama proses penguapan ini akan
dihasilkan kondensat, uap nira, dan nira keluaran yang telah dipekatkan. Diharapkan nira
kental yang keluar dari badan penguapan (evaporator) IV memiliki viskositas 28-32 Beume.
Jika viskositas nira kental yang dihasilkan terlalu rendah maka nira encer yang masuk ke
20
badan evaporator I harus dikurangi untuk mempermudah proses penguapan dan jika
viskositasnya tinggi maka pompa tidak akan kuat memompa cairan nira. Kondensat yang
dihasilkan dari badan I dan badan II akan digunakan kembali sebagai air pendingin boiler,
sedangkan kondensat yang berasal dari badan III dan IV digunakan sebagai kebutuhan air
proses (siraman puteran, RVF, pengencer gula, cucian masakan, dan air imbibisi).
Nira yang telah dipekatkan akan keluar dari badan evaporator sebagai nira kental I.
Nira kental I ini kemudian dimasukkan ke dalam sulfitator II untuk menjalani proses sulfitasi
II yang bertujuan untuk memucatkan warna nira kental I sampai pH 5,8. Proses pemucataan
ini dilakukan dengan menggunakan gas SO2. Gas SO2 ini berfungsi mereduksi garam ferri
yang terdapat pada nira yang berwarna coklat menjadi garam ferro yang berwarna putih
kehijauan. Reaksi reduksi tersebut adalah:
SO2 + H2O H2SO3
H2SO3 2H+ + SO3=
SO3= + 2Fe+++ + H2O SO4
= + 2Fe++ + 2H+
3.4.1. Badan Penguap I (Evaporator I)
Nira encer (brix 11) yang telah dipanaskan di Juice Heater III hingga temperatur
105oC dimasukkan ke dalam badan penguap I untuk menguapkan sebagian besar kandungan
airnya. Pemanas yang digunakan berasal dari uap pamanas bekas (exhaust steam) dengan
tekanan uap pemanas sebesar 98 kPa. Uap pemanas bekas (exhaust steam) sebanyak 1 kg
untuk menguapkan 4 kg air. Proses penguapan di badan penguap I ini akan menghasilkan uap
nira I (UNI I) dan nira I. Uap pemanas dengan temperatur 120oC yang semula masuk dalam
bentuk uap (steam) akan keluar dalam bentuk cairan berupa kondensat dengan temperatur
yang sama. Kondensat yang dihasilkan akan ditampung untuk digunakan lagi sebagai air
umpan boiler.
Nira yang dihasilkan dari badan penguap I ini belum cukup kental sehingga harus
diuapkan kembali pada badanbII. Sedangkan uap nira I (UNI I) yang dihasilkan, digunakan
sebagai uap pemanas pada badan penguap II dan Juice Heater II. Nira yang dihasilkan pada
badan penguap I memiliki brix 15.
3.4.2. Badan Penguap II (Evaporator II)
Nira dari badan I mengalir ke badan penguap II karena adanya beda tekan (driving
force). Nira (brix 15) yang berasal dari badan penguap I diuapkan kembali di badan penguap
II. Untuk pemanasnya digunakan UNI I, dengan tekanan 0,1-0,5 kg/cm2 dan temperatur
94,5oC. UNI I ini akan keluar sebagai kondensat yang kemudian ditampung untuk digunakan
sebagai air umpan boiler.
21
Dari badan penguap II ini akan dihasilkan uap nira II (UNI II) dan nira II. Nira II ini
memiliki brix 21. Nira II ini masih perlu dipekatkan lagi di badan penguap III. UNI II akan
digunakan sebagai uap pemanas pada proses penguapan di badan penguap III.
3.4.3. Badan Penguap III (Evaporator III)
Nira II dengan brix 21 dipekatkan lagi di badan penguap III. Badan penguap III ini
menggunakan tekanan vakum 31 cmHg untuk menarik uap nira III dan nira III yang
dihasilkan. Uap pemanas yang digunakan adalah UNI II.
Dari badan III ini akan dihasilkan nira III dan uap nira III (UNI III). Nira III memiliki
nilai brix 35 ini akan dipekatkan kembali pada badan penguap. Badan penguap III ini
memakai tekanan vakum sehingga UNI III tidak dapat digunakan sebagai air umpan boiler
karena mengandung zat gula. air umpan boiler tidak boleh mengandung zat gula karena dapat
mengakibatkan kerak (scale) pada pipa-pipa boiler dan hal ini akan sangat berbahaya.
3.4.4. Badan Penguap IV (Evaporator IV)
Nira III (brix 35) dipekatkan lagi di badan penguap IV. Badan penguap IV ini
memakai tekanan vakum sebesar 60 cmHg untuk menarik uap nira yang dihasilkan. Proses
vakum digunakan dengan tujuan diperoleh nira kental dengan kandungan air sekecil mungkin.
Uap pemanas yang digunakan adalah UNI III. Uap nira ini akan keluar sebagai kondensat
yang digunakan sebagai kondensat proses.
Dari badan penguap IV ini akan dihasilkan nira dengan brix 60 dan temperatur
61,5oC. uap nira IV ini akan dicairkan dengan menggunakan kondensor sehingga akan keluar
sebagai air jatuhan. Nira kental yang keluar dari badan penguap IV ini akan dialirkan ke
sulfitator II untuk mengalami pemucatan (bleaching).
Tabel 1. Data Tekanan dan Suhu Evaporator
EvaporatorRuang Uap Ruang Nira
Tekanan Temperatur Tekanan Temperatur
I 0,8Kg/cm2 120 oC 0.6Kg/cm2 100 oC
II0,75Kg/
cm2110 oC 0.3Kg/cm2 90 oC
III 0,5Kg/cm2 95oC 0.1Kg/cm2 85oC
IV 15 inHg 75oC 58 cmHg 60oC
3.4.5. Sulfitasi II
22
Evaporator IIEvaporator I
Kondensat
Uap / kukus
Nira encer12-14 brix
Kondensat
Air pengisi boiler (pure condensate)
Kondensat
Evaporator III Evaporator IV
Kondensat
Air proses(contaminant condensate)
Kondensor
Air jatuhan
Pompa Vakum
Air Injeksi
Nira pekat 60 brix
Nira kental dengan brix 60 yang keluar dari badan penguap IV akan mengalami
pemucatan (bleaching) di sulfitator II. Tujuan dari proses pemucatan ini adalah untuk
memucatkan warna nira kental yang coklat akibat pemanasan pada proses pemurnian dan
penguapan sehingga gula yang dihasilkan setelah kristalisasi menjadi lebih putih dan untuk
menurunkan pH nira kental menjadi 5,8. Pemucatan terjadi karena karamel dalam garam ferri
dengan gas SO2 akan menyebabkan terbentuknya garam ferro yang tidak terlalu gelap.
Pemucatan dilakukan dengan cara pengontakan gas sulfit (SO2) dengan nira kental
SO2 dibuat berdasarkan komposisi, kadar, serta cara pembuatannya sama dengan proses
sulfitasi I pada stasiun pemurnian. Proses sulfitasi II menggunakan menara sulfit seperti pada
sulfitasi nira mentah. Sistem ini mulai digunakan pada tahun giling 2004.
Nira kental tersulfitasi ini ditampung dalam peti-peti nira yang selanjutnya akan
diproses di stasiun kristalisasi.
Gambar 5. Stasiun Penguapan
3.5. STASIUN MASAKAN
Tujuan dari stasiun pemasakan adalah membentuk kristal-kristal gula dari nira kental.
Cara kerja stasiun pemasakan hampir sama dengan stasiun penguapan yaitu menggunakan
sistem vacuum. Prinsip yang dipakai adalah nira kental pada kondisi jenuh yang akan
membentuk kristal. Dengan sistem vacuum kandungan air dalam nira kental akan banyak
menguap sehingga lebih cepat jenuh dan bisa membentuk kristal.
Penggunaan sistem vacuum dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian suhu yang
diinginkan. Suhu tersebut jangan terlalu tinggi tetapi mampu untuk menguapkan sisa air
23
dalam nira kental. Jika digunakan suhu terlalu tinggi maka akan menyebabkan nira kental
menjadi rusak (karamelisasi).
Tujuan kristalisasi dalam pabrik gula adalah merubah larutan sukrosa dalam nira
kental menjadi kristal gula yang cukup besar, teratur, dan murni. Proses pengkristalan terjadi
dalam pan masakan yaitu bejana tempat pembentukan dan pertumbuhan kristal. Dengan
sistem vakum maka titik didih air akan turun (rendah) sehingga kandungan air dalam nira
akan banyak menguap. Dengan begitu nira akan lebih cepat jenuh dan bisa membentuk
kristal. Sistem vakum juga dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian temperatur yang
diinginkan.
Dalam proses ini diusahakan agar hasil kristal gula memenuhi syarat yang
dikehendaki, kehilangan gula yang sekecil-kecilnya, waktu proses yang pendek, dan biaya
yang rendah. Tahap-tahap terbentuknya kristal gula pada proses kristalisasi adalah sebagai
berikut:
1. Daerah larutan encer
Pada daerah ini masih dapat melarutkan kristal-kristal gula.
2. Daerah larutan tetap jenuh
Pada daerah ini terjadi keseimbangan antara jumlah sukrosa yang mengkristal dengan
jumlah sukrosa yang larut sehingga tidak akan terjadi pelarutan kristal sukrosa.
3. Daerah lewat jenuh, meliputi:
a. Daerah meta stabil, merupakan daerah lewat jenuh yang paling dekat dengan daerah
tetap jenuh. Pada daerah ini molekul sukrosa hanya mampu menempel pada kristal
yang telah ada sehingga ukuran kristal semakin besar tetapi kristal baru tidak
terbentuk.
b. Daerah intermediate, daerah dimana molekul sukrosa dapat membentuk inti kristal
baru apabila dalam larutan telah terdapat inti kristal.
c. Daerah labil/goyah, daerah dimana molekul sukrosa dapat membentuk inti kristal
sendiri tanpa adanya penambahan inti kristal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju kristalisasi:
1. Temperatur.
Jika temperatur turun maka untuk mempertahankan laju kristalisasi diperlu kan
menaikkan harga supersaturasinya.
2. Tingkat kejenuhan.
Laju absorpsi sukrosa pada kristal berbanding lurus dengan harga supersaturasinya.
Harga supersaturasi tidak boleh melebihi titik kritis (1,44) karena dapat menyebabkan
kristalisasi tidak terkontrol dan banyak kristal palsu.
3. Harga Kemurnian (HK) larutan
24
Banyaknya kotoran yang terdapat dalam larutan akan mengganggu terbentuknya kristal.
Laju kristalisasi menurun drastis jika kemurnian cairan induk turun.
4. Ukuran kristal
Kristalisasi dilakukan dengan mengusahakan agar sukrosa menempel pada kristal atau
inti kristal yang telah ada. Jumlah sukrosa yang menempel pada kristal tergantung pada
luas permukaan kristal, sedangkan luas permukaan kristal tergantung pada ukuran kristal.
5. Sirkulasi larutan
Pada pengkristalan dapat dipercepat dengan cara memperpendek jarak sukrosa dengan
kristal. Hal ini dapat dicapai dengan membuat sirkulasi yang baik pada pan masakan.
Masakan terdiri dari 5 pan masakan dengan tekanan steam 60-60 cmHg (dari exhaust
steam 120oC) dan tekanan uap masuk 0,7-0,8 atm (gauge).
Dalam stasiun pemasakan ada 3 sistem yang dipakai yaitu A-B-D, A-C-D, dan A-D.
Pemilihan sistem masakan yang dipakai bergantung pada nira kental dan kebutuhan dari
pabrik. Jika nilai Harga Kemurnian (HK) dari nira kental >75 maka digunakan sistem A-B-D
(dari segi kuantitas baik). Jika HK < 75 maka digunakan sistem A-C-D (dari segi kualitas
baik). Namun, jika lebih kecil lagi dapat digunakan sistem A-D. Di PG Subang sistem
masakan yang digunakan adalah sistem A-C-D atau A-D.
Dari pan masakan, nira kemudian dialirkan ke palung pendingin dan didiamkan
selama 32 jam untuk proses pengkristalan lanjutan. Biasanya temperatur nira saat masuk
palung pendingin adalah 75oC. Temperatur keluaran palung pendingin adalah 38-48oC.
3.5.1. Masakan A
Masakan A memiliki nilai HK 82. Bahan baku adalah nira kental dngan HK 73 dari
stasiun penguapan. Nira tersebut ditambahkan dengan klare SHS (hasil samping puteran SHS
yaitu puteran kedua), magma C (hasil puteran C) sebagai bibit, dan juga gula leburan. Gula
leburan ini berasal dari kristal-kristal gula yang tersaring dalam vibrating screen. Jika tidak
digunakan masakan C, maka magma C diganti dengan magma D (hasil puteran DII).
Terbentuknya kristal karena selama proses pemasakan, nira mengalami pengurangan
kandungan air. Proses harus terus diamati agar tidak terbentuk kristal palsu. Yang dimaksud
dengan kristal palsu adalah kristal yang terbentuk pada waktu yang sama dengan kristal gula
namun tidak menjadi gula. jika terbentuk kristal palsu maka ditambahkan dengan air supaya
kristal palsu tersebut larut. Bila jarak antar kristal dan juga ukuran kristal telah rata maka hasil
masakan dapat diturunkan ke palung pendingin.
Pembentukan kristal masakan A adalah 2-3 jam. Waktu singkat karena kandungan
gula dalam nira tinggi sehingga pembentukan kristal lebih cepat. Ukuran kristal masakan A
adalah 0,8-1,2 mm. Diharapkan bentuk dari kristal akan seragam. Setelah cukup maka hasil
25
masakan akan diturunkan kembali ke palung pendingin. Waktu tinggal dalam palung
pendingin adalah 1,5-2 jam. Diharapkan pembentukan kristal mencapai 50%.
Hasil masakan A adalah kristal-kristal gula A dengan stroopA. Stroop A ini masih
mengandung gula yang larut di dalamnya dan yang kemudian dimasak pada masakan C.
3.5.2. Masakan C
Masakan C digunakan bila HK dari nira kental < 75. Dalam masakan C menggunakan
umpan stroop A (hasil samping puteran pertama C). masakan C digunakan karena hasil dari
stroop A masih mengandung gula sehingga perlu dilakukan proses pengkristalan lagi. Selain
stroop A, dalam masakan C juga ditambahkan magma D (hasil puteran D II). Penggunaan
magma D dapat diganti dengan FCS (Fine Crystal Sugar) yaitu bibit kristal.
Proses untuk masakan C adalah 4-5 jam. Stroop A (HK 62-64) dimasukkan dalam
masakan C dan ditambahkan dengan magma D (HK 92). Dalam vakum, campuran antara
stroop A dan magma D akan mengalami pengkristalan. Ukuran kristal masakan C adalah 0,7
mm. Sesudah HK = 70-71 maka hasil masakan C diturunkan lagi ke palung pendingin untuk
mengalami kristalisasi lanjutan.
3.5.3. Masakan D
Masakan D digunakan untuk memperbesar ukuran kristal gula yang terdapat di stroop
C. Pembesaran ini dilakukan supaya kristal-kristal gula yang terdapat di stroop C masih bisa
diambil kembali dengan diameter tertentu. Stroop C ditambahkan juga dengan FCS dan klare
D II (hasil samping puteran kedua D II).
Pada saat pemasakan, stroop C dengan HK 49-50 ditambahkan dengan FCS dan juga
klare D II sehingga kristal gula didalamnya mulai terbentuk. Pada saat pemasakan terjadi
pengurangan kadar air sehingga bisa menyebabkan pembesaran diameter kristal dan juga
perapatan antar kristal. Lama pemasakan biasanya 6-8 jam. Jika ukuran kristal mencapai 0,3
mm dan HK masakan telah mencapai 60-61, maka masakan diturunkan ke palung pendingin.
Di dalam palung pendingin, suhu dari hasil masakan menjadi turun, akibatnya
pembentukan kristal akan terus berjalan. Pendinginan berjalan selama 36 jam. Setelah kristal
mencapai 40% maka hasil masakan diturunkan dan mengalami pemanasan ulang oleh
reheater hingga mencapai suhu 55oC. Tujuan pemanasan ulang adalah untuk menurunkan
viskositas dari hasil masakan D. Setelah dipanaskan kembali maka hasil masakan dialirkan
menuju puteran D I untuk dipisahkan dengan tetesnya.
26
3.6. STASIUN PUTERAN
Proses pada stasiun ini bertujuan untuk memisahkan kristal yang terbentuk di
masakan dari cairan yang ada. Cairan tersebut bisa merupakan tetes, stroop, atau klare. Tetes
tidak digunakan lagi di proses pembuatan gula teapi digunakan sebagai bahan baku industri
lain seperti industri pembuatan spiritus dan MSG. Stroop dan klare diproses kembali di
masakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan pada proses
pemutaran adalah:
1. Kondisi kristal yang dihasilkan pada tahap kristalisasi.
2. Viskositas massequite.
3. Kekuatan puteran sentrifugal.
4. Jumlah air panas yang disemprotkan untuk memisahkan kristal gula dari cairannya.
Sistem puteran menggunakan dua alat putar yang berbeda. LGC (low Grade
Centrifugal) menggunakan puteran dengan kecepatan 2.500 rpm, sedangkan HGC (High
Grade Centrifugal) menggunakan puteran dengan kecepatan 1.000 rpm.
LGC digunakan pada puteran D I, puteran D II, juga puteran C (jika digunakan
masakan C). Puteran ini menggunakan sistem kontinu. Pada saat bahan masuk puteran, alat
terus berjalan tanpa ada jeda, sedangkan pada HGC (digunakan pada puteran A dan SHS)
menggunakan sistem diskontinu. Cara kerjanya yaitu: dari palung pendingin hasil masakan
dimasukkan ke dalam puteran selama 12 detik, setelah itu ditutup dan diputar selama 3 menit.
Hasil puteran lalu dimasukkan ke dalam mixer.
Saat diputar ada penambahan air dan juga steam dengan tekanan 294 kPa, tujuannya
supaya keluaran dari puteran memiliki kemurnian yang diinginkan. Jika kemurnian gula
diharapkan tinggi maka penambahan air dan steam lebih diperbesar. Begitu juga sebaliknya.
3.6.1. Puteran A
Puteran A digunakan untuk memutar hasil masakan A. puteran ini menggunakan
kecepatan 1.000 rpm. Putarannya tidak terlalu tinggi karena gula yang terbentuk sudah agak
murni. Puteran A ini menggunakan sistem diskontinu. Pada saat hasil masakan masuk ke
basket, dilakukan pemutaran dengan kecepatan rendah selama 12 detik. Masakan yang masuk
setelah itu dihentikan dan puteran dijalankan selama 3 menit. Scrapper lalu mengambil gula
yang menempel di saringan untuk turun ke bawah.
Di dalam puteran terdapat penambahan air panas dan steam supaya pemisahan lebih
sempurna. Di dalam puteran juga terdapat saringan. Saringan tersebut dipasang vertikal tanpa
ada kemiringan, ukuran saringan di dalamnya hanya satu ukuran.
27
Hasil puteran yaitu gula A dengan HK 97 dikasukkan ke mixer satu untuk
ditambahkan air, setelah itu baru masuk puteran SHS. Sedangkan hasil samping yaitu stroopA
dengan HK 62-64 dialirkan ke masakan C (jika digunakan) atau masakan D.
3.6.2. Puteran SHS
Puteran SHS merupakan puteran yang akan menghasilkan gula produk / gula SHS.
Gula yang dihasilkan dari puteran ini mencapai nilai kemurnian tertinggi yaitu 99,8 karena
sudah mengalami dua kali puteran. Hasil sampingnya yaitu klare SHS memiliki HK 87.
Gula A yang sudah ditambah air di mixer kemudian diturunkan ke puteran SHS.
Sistem dan cara kerjanya sama dengan puteran A, dengan sistem diskontinu dan adanya
penambahan air serta steam. Saringannya juga memiliki karakteristik yang sama. Hasilnya
yang berupa gula SHS dialirkan ke stasiun penyelesaian (finishing).
3.6.3. Puteran C
Puteran C memiliki cara kerja yang sama dengan puteran D I ataupun D II. Selain itu
kecepatan yang digunakan juga sama yaitu 2.500 rpm. Tujuan penggunaan rpm yang tinggi
agar memudahkan terjadinya pemisahan antara kristal-kristal yang terbentuk dengan
stroopnya. Perbedaan yang ada dilihat dari masukan ke dalam puterannya. Di puteran C, hasil
masakan C yang berasal dari mixer tiga tidak mengalami pemanasan ulang tetapi langsung
masuk.
Hasil dari puteran C yaitu gula C memiliki HK 93 sedangkan stroop-nya memiliki
HK 49-50. Gula C dimasukkan ke mixer tiga dan ditambahkan air menjadi magma C.
Hasilnya kemudian dialirkan menuju masakan A.
Puteran C menggunakan sistem kontinu. Pada saat hasil masakan masuk, puteran
langsung dijalankan dan pada saat pengoperasian tidak ada jeda. Di dalam puteran ini terdapat
saringan yang dipasang agak miring. Maksud dari pemasangan ini supaya kristal-kristal gula
yang terbentuk benar-benar terpisahkan dari stroop-nya. Masakan yang masuk diputar dengan
kecepatan konstan. Kristal-kristal yang ada akan tersaring sedangkan larutannya tidak.
Larutan yang melewati saringan dikeluarkan untuk dimasukkan ke masakan D, sedangkan
kristal-kristal gula yang tersaring dimasukkan ke masakan A untuk memperbesar ukuran
kristalnya.
3.6.4. Puteran D I
Pada puteran D I terjadi pemisahan antara gula D I dengan tetesnya. Umpan yang
digunakan berasal dari palung pendingin masakan D yang sudah dipanaskan kembali. Pada
saat masuk ke puteran D I, hasil masakan D masih mengandung tetes sehingga harus
dipisahkan.
28
Gula D I hasil puteran D I memiliki nilai HK 87,5. pencapaian ini bergantung
terhadap puteran dan penambahan air dingin. Penambahan air dingin diatur supaya HK
keluaran tetap dan HK dari tetes mencukupi. Hl ini dilaakukan karena tetes yang akaan dijual
memiliki nilai kemurnian tertentu yaitu 32. jika air dingin terlalu banyak, nilai HK tetes akan
kecil. Jika hal ini terjadi maka tetes tidak dapat dijual.
Di dalam puteran yang berbentuk silinder terdapat lapisan-lapisan screen / penyaring
yang dipasang miring untuk menangkap kristal gula. Pada saat hasil masakan masuk, puteran
dijalankan. Larutan akan terpental ke saringan. Kristal yang ada akan tertahan dan terus turun
ke bawah. Tetes akan menembus saringan dan keluar untuk ditampung. Saringan yang dipakai
memiliki lapisan yang banyak dan memiliki diameter yang berbeda-beda, semakin keluar
semakin halus.
3.6.5. Puteran D II
Puteran D II memiliki system kerja yang sama dengan D I perbedannya hanya
terdapat pada hasil samping. Hasil samping dari puteran ini adalah klare D II. Bila tetes
pada puteran D I tidak diproses lagi dalam pembuatan gula, klare D II sebaliknya. Klare D II
dikembalikan lagi ke masakan D bersama dengan Stroop. Selain perbedaan hasil samping,
terdapat perbedaan kemurnian. Nilai HK di puteran D II adalah 92 dan klare D II memiliki
39-40.
Gula D I yang keluar dari puteran D I dimasukkan ke dalam mixer untuk dicampur
dengan air. Tujuan dari penambahan ari ini adalah supaya gula D I sedikit basah dan mudah
pada saat pemisahan di puteran D II. Sama dengan puteran D II, gula D II yang masuk diputar
dalam silinder berpenyaring. Saringan menangkap kristal gula D II, sedangkn cairannya
(klare) keluar menuju masakan D kembali. Pada puteran D II tidak ditambahkan air tetapi air
panas dan steam. Tujuannya supaya pemisahan antara kristal gula D II dan klarenya akan
lebih mudah.
Gula D II akan dimasukkan ke dalam mixer dua untuk kembali ditambahkan air. Kali
ini penambahan air bertujuan untuk memudahkan perpindahan gula D II menuju masakan C
(jika digunakan masakan C) atau ke masakan A. Gula dalam fasa larutan disebut magma
29
Masakan A Masakan C Masakan D
Palung A
Puteran A
Mixer
Puteran SHS
Sugar Dryer Screen Gula normal (produk)
Gula halus
Gula kerikil
Leburan
Klare SHS
Nira kental Stroop A Stroop C
Palung C
Puteran C
Gula C
FCS
Palung D
Puteran D I
Mixer
Klare DPuteran D II
Gula D II
tetes
Gambar 6. Stasiun Masakan dan Puteran
3.7. STASIUN PENYELESAIAN
Stasiun penyelesaian bertujuan untuk menyelesaikan proses dari pembuatan gula.
Kristal gula dari puteran SHS masih belum memenuhi syarat sebagai gula produk karena
masih mengandung air dan ukurannya tidak homogen. Pada stasiun ini terdapat proses
pengolahan gula SHS lebih lanjut yaitu pengeringan, penyaringan, dan packing. Gula SHS
yang dihasilkan dari stasiun puteran dijatuhkan ke talang goyang (grasshopper), selanjutnya
dengan menggunakan conveyor dibawa menuju alat pengering gula (sugar dryer). Stasiun ini
merupakan stasiun terakhir dari semua proses pembuatan gula.
3.7.1. Pengeringan
Gula produk atau gula SHS masih memiliki kandungaan air yang cukup tinggi. Oleh
karena itu diperlukan pengering untuk mengurangi kandungan airnya.
Alat yang digunakan disebut sugar dryer. Sistem kerjanya menggunakan puteran serta udara
panas dan dingin. Alat tersebut berupa silinder dengan posisi horizontal yang agak miring ke
bawah. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pergerakan gula.
Agar pengeringan dapat berjalan dengan cepat, ada faktor-faktor yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Luas permukaan pengeringan harus besar.
2. Kelebihan udara yang digunakan sebagai pengering harus diturunkan.
3. Kecepatan udara yang digunakan sebagai pengering harus cepat.
Proses pengeringan berlangsung dengan cara kontak langsung antara udara pengering
dengan kristal gula sehingga terjadi penguapan air dari dalam kristal gula dan terbawa keluar
oleh udara pengering. Debu-debu dan gula halus yang beterbangan saat proses ditangkap
dengan alat penangkap debu.
30
Gula produk dari puteran dibawa oleh graasshoper menuju sugar dryer melalui sugar
belt conveyor. Gula diputar terus-menerus sambil mendapat udara panas dari steam tanpa
tekanan. Selama mengalami pemutaran dan pemanasan gula akan menjadi kering. Dari arah
berlawanan kemudian dimasukkan udara dingin dari kompresor sehingga temperatur gula
yang keluar dari sugar dryer tidak terlalu panas. Proses pendinginan dilakukan untuk
menurunkan temperatur gula produk yang akan disimpan pada temperatur kamar.
Proses pemutaran ditambah terpaan udara panas dan dingin akan menyebabkan
timbulnya debu-debu gula. Untuk mengatasi hal ini ditambahkan dust collector. Di tengah
alat sugar dryer terdapat pipa tempat debu gula akan disalurkan. Debu bisa dipindahkan
karena mendapat dorongan dari udara panas dan udara dingin tadi. Di tempat penampungan,
debu tadi disaring dengan menggunakan aliran air sehingga debu dapat terkumpul dan
membentuk larutan gula, sedangkan udara pembawa debu bisa langsung dibuang. Debu-debu
gula tersebut (yang telah menjadi larutan gula) ditampung sebagai mempunyai viskositas 30
Beume, setelah itu baru dialirkan ke tangki leburan untuk dilebur dan dicampur dengan gula
yang merupakan produk gula. Dari tangki ini leburan akan dikembalikan ke awal proses
pemurnian untuk diproses kembali bersama –sama dengan nira hasil proses penggilingan.
Ketika gula keluar dari pengering akan timbul debu-debu gula sehingga perlu
dilakukan pemasangan dust collector di ujung alat pengering.
3.7.2. Penyaringan
Gula yang telah dikeringkan dan didinginkan memiliki ukuran kristal yang tidak
homogen. Untuk itu perlu dilakukan pemisahan kristal gula sesuai dengan ukurannya
menggunakan saringan getar (vibrating screen). Saringan tersebut memiliki ukuran yang
berbeda yaitu:
1. Saringan ukuran 30 mesh (saringan halus)
Ukuran untuk gula produksi yaitu 0,9-1 mm. Gula produksi dan gula kasar (berukuran
lebih dari 1 mm) akan tertahan sedangkan gula halus yang berukuran kurang dari 0,8 mm
akan lolos sebagai gula debu dan dilebur kembali di tangki leburan untuk dikembalikan
ke awal proses pemurnian.
2. Saringan ukuran 8 mesh (saringan kasar)
Gula produksi (gula SHS) akan lolos sedangkan gula kasar yang berukuran lebih besar
dari 1 mm akan tertahan dan terpisahkan dari gula produk. Gula kasar ini akan dilebur
kembali di tangki leburan untuk dikembalikan ke sulfitasi nira kental. Gula akan
bergerak karena getaran dan akan disaring.
Gula yang tidak tersaring (gula produk) ditampung oleh bucket elevator, kemudian
diangkut dengan sugar conveyor menuju tempat penampungan gula (sugar bin) yang
31
selanjutnya dikemas dalam karung (packing). Gula yang tersaring akan dilebur kembali untuk
menuju pemurnian.
3.7.3. Pengemasan
Setelah dibawa oleh sugar conveyor, gula ditampung untuk kemudian ditimbang dan
dikemas dalam karung. Pada saat packing gula ditimbang otomatis dengan bobot 50 Kg
untuk tiap karung. Setiap shift diperkirakan akan menghasilkan 1800 karung gula. Gula yang
sudah ditimbang diletakan di stapler selama 24 jam untuk menyamakan temperatur dengan
temperatur ruangan. Karung-karung dijahit dengan alat khusus. Gula kemudian siap disimpan
di gudang. Tempat penyimpanan gula ini harus memperhatikan kadar air dalam gula dan
kelembaban udara untuk menjamin kualitas gula yang baik dan tahan lama.
32
BAB IV
HAZARD DAN REKOMENDASI
1. Stasiun Persiapan
A. Hazard:
Debu
Terpapar sinar matahari untuk jangka waktu yang cukup lama
Tidak menggunakan baju kerja saat penebangan
Punggung dan pinggang terlalu banyak membungkuk ketika membongkar dari
truk dan melakukan seleksi terhadap tebu
Bising akibat lalu lintas truk/trailer dan bunyi mesin
Asap dari knalpot kendaraan (truk/trailer)
Tertabrak truk/trailer
Kebiasaan merokok driver truck
Aktifitas monoton para pekerja
Teriris pisau pencacah, terpotong, terjepit, terpukul oleh hammer penghancur tebu
Tegangan & arus listrik pada alat
Elevator yang beroperasi mengangkut tebu
B. Dampak Keselamatan dan Kesehatan
1. Resiko Keselamatan
Truk atau Trailer collapse
Terjatuh dan terpeleset
Terluka (ringan/berat) atau cacat karena teriris pisau pencacah, terpotong,
terjepit, terpukul oleh hammer penghancur tebu
Terluka, cacat atau meninggal karena tertabrak heavy equipment
Kebakaran pada Heavy Equipment
Terluka, cacat atau meninggal karena tersengat arus listrik
2. Resiko Kesehatan
Gangguan saluran pernafasan
Gangguan pendengaran
Dehidrasi
Radiasi sinar matahari
Nyeri pada pinggang dan punggung
Stress kerja
C. Rekomendasi
33
Menghemat bahan bakar dan meminimalisasi bahan pencemar dengan mematikan
mesin kendaraan saat antri di jembatan timbang
Memasang rotary lamp pada truck/trailer
Mengatur kecepatan kendaraan yang masuk kawasan pabrik.
Melakukan maintenance equipment secara berkala dan melakukan pengecekan
terhadap kelayakan kendaraan.
Memberlakukan good housekeeping di area kerja secara berkala (melakukan audit
housekeeping).
Sosialisasi penggunaan hand tool.
Membuat aturan larangan merokok didalam lokasi kerja
Memberikan training olah raga ringan untuk pekerja, operator dan driver
Penyediaan galon air minum yang cukup dan mudah terjangkau.
Melakukan MCU secara berkala terhadap karyawan
Melakukan kompetensi terhadap pekerja dan sertifikasi pada peralatan
Menyediakan signalman untuk mengatur lalu lintas
Menyediakan rambu-rambu keselamatan di lokasi kerja
Penyediaan PPE (safety shoes, masker, ear plug, sarung tangan pelindung)
Membangun area dengan ventilasi udara yang cukup
Safety Sign
Jalur khusus untuk pekerja & safe guarding
2. Stasiun GilinganA. Hazard:
Panas dari proses
Bising dari alat giling
Debu dari proses tebu yang digiling
Teriris oleh pisau pada mesin giling
Paparan langsung dengan susu kapur
Paparan langsung cairan nira mentah ber-pH 5,4 – 5,6 (asam)
Beban kerja yang berat
Mikroba
Tegangan tinggi dan arus litrik
B. Dampak Keselamatan dan Kesehatan
1. Resiko Keselamatan
Terluka (ringan/berat) atau cacat karena teriris pisau mesin penggiling
Terluka, cacat atau meninggal karena tersengat arus listrik
Kebakaran
34
2. Resiko Kesehatan
Gangguan saluran pernafasan
Gangguan pendengaran
Dehidrasi & Heat Stress
Iritasi kulit / dermatitis
Toksin, Infeksi, Alergi
Stress kerja
C. Rekomendasi
Memasang alat pengukur suhu
Membangun area sterilizer dengan ventilasi udara yang cukup
Memasang safety device pada mesin yang berputar
Mempersiapkan SOP kerja yang benar
Menyediakan APAR & Hydrant
Melakukan MCU secara berkala terhadap karyawan
Melakukan rotasi kerja dengan dibekali training terlebih dahulu
Safety Sign
Menyediakan MSDS untuk penggunaan bahan kimia
Memasang guarding di sekeliling mesin
Penyediaan APD (earplug, sarung tangan, masker)
3. Stasiun Pemurnian
A. Hazard:
Bising dari bunyi mesin
Paparan langsung dengan Ca(OH)2, asam fosfat, dan indikator BTB (brom
thymol blue) dan PAN (phenol alpha naphtol)
Paparan langsung dengan susu kapur & gas SO2
Tekanan tinggi dari uap panas yang dihasilkan
Panas dari proses
Jenuh dengan aktifitas kerja
Conveyor yang beroperasi mengangkut bahan yang tak larut
Biological Hazard : mikroorganisme (Leuconostoc dan bakteri asam susu)
Beban kerja berat
Kebakaran/ledakan akibat reaksi bahan kimia
Tegangan tinggi dan arus litrik
B. Dampak Keselamatan dan Kesehatan
35
1. Resiko Keselamatan
Terluka, cacat atau meninggal karena tersengat arus listrik
Cacat & meninggal karena terjepit conveyor
Terluka, cacat atau meninggal karena ledakan
2. Resiko Kesehatan
Gangguan pendengaran
Gangguan saluran pernafasan
Iritasi kulit / dermatitis
Stress kerja
Toksin, Infeksi, Alergi
Dehidrasi
Heat Stress
C. Rekomendasi
Memasang safety device pada mesin
Mempersiapkan SOP kerja yang benar, pemasangan safety sign, menyediakan
sistem ventilasi yang baik
Pemberian Extra fooding, khususnya karyawan yang lembur
Menyediakan MSDS untuk penggunaan bahan kimia
Penyediaan galon air minum yang cukup dan mudah terjangkau.
Membuat shift kerja yang baik
Menyediakan klinik beserta dokter dan perawat yang sudah bersertifikat
hyperkes
Melakukan rotasi kerja dengan dibekali training terlebih dahulu
Penyediaan APD (earplug, safety shoes, sarung tangan)
Menyediakan MSDS untuk penggunaan bahan kimia
Penyediaan water hydrant & APAR
Memasang Safety Valve
4.
36