INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN ULAR SANCA
(Python reticulatus Schneider 1810) SEBAGAI EXOTIC PETS
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
RAHMAYANI
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infeksi Cacing Saluran
Pencernaan Ular Sanca (Python reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Rahmayani
NIM B04100031
ABSTRAK
RAHMAYANI. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python
reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets. Dibimbing oleh ELOK BUDI
RETNANI
Exotic pets adalah jenis satwa liar yang dijadikan hewan kesayangan karena
memiliki ciri unik dan menarik untuk dipelihara, diantaranya yaitu ular sanca
(Python reticulatus). Perlu mempelajari kemungkinan adanya cacing parasitik
zoonotik pada hewan kesayangan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis, persentase, dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan ular
sanca yang dijadikan sebagai exotic pets. Sebanyak 5 sampel tinja dikumpulkan
dari lima ekor ular dengan pengulangan sebanyak 3 kali pengambilan. Analisis
sampel tinja menggunakan modifikasi metode McMaster, flotasi sederhana,
saringan bertingkat dan Kato-Katz. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
ular menderita kecacingan (100%). Adapun jenis dan persentase kecacingan
adalah Ascaris 60%, Trichuris 60%, Strongylid 20%, dan Oxyuris 20%. Rata-rata
jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) adalah Ascaris 832 TTGT dan
Trichuris 514 TTGT.
Kata kunci: cacing parasit, exotic pets, saluran pencernaan, ular sanca
ABSTRACT
RAHMAYANI. Gastrointestinal Helminths Infection in Reticulated Python
(Python reticulatus Schneider 1810) Kept as Exotic Pets. Supervised by ELOK
BUDI RETNANI.
Exotic pets are wild animals kept as pets for having unique characteristics
and attractive, among them are the reticulated python (Python reticulatus). The
zoonotic gastrointestinal helminths in exotic pets might been found. The objective
of this research was to observe gastrointestinal helminths, percentage infection,
and infection intensity of reticulated python kept as exotic pets. A total of 5
individual faecal samples were collected for 3 times. Samples were examined
using the modified of McMaster, simple flotation, stratified filter, and Kato-Katz
method. The research result shows that all animals (100%) were infected with
gastrointestinal helminths included Ascaris 60%, Trichuris 60%, Strongylid 20%,
and Oxyuris 20%. The average of the number of egg per gram (EPG) of Ascaris
and Trichuris were 832 EPG and 514 EPG, respectifely.
Keywords: exotic pet, gastrointestinal, helminths, reticulated python
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN ULAR SANCA
(Python reticulatus Schneider 1810) SEBAGAI EXOTIC PETS
Judul Skripsi : Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python
reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets
Nama : Rahmayani
NIM : B04100031
Disetujui oleh
Dr Drh Elok Budi Retnani, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan FKH-IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Judul yang
dipilih yaitu “Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python reticulatus
Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets” merupakan hasil penelitian terhadap lima
ekor ular sanca peliharaan. Penyusunan Skripsi ini dilakukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelas Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing skripsi
Dr Drh Elok Budi Retnani, MS yang memberikan bimbingan selama penyusunan
skripsi dan memberikan motivasi serta meluangkan waktu untuk memperlancar
proses penyelesaian studi. Ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing
akademik Drh Okti Nadia Poetri, MSi yang memberikan dorongan serta motivasi
untuk selalu bekerja keras dan tidak mudah putus asa dalam menjalankan studi
selama di FKH-IPB. Kepada orang tua tercinta, Ayahanda M Huffaz, SH dan
Ibunda Niswan yang selalu memberikan limpahan cinta, kasih sayang, materi dan
kesempatan untuk menempuh pendidikan hingga sarjana. Adik-adik yang selalu
membanggakan Alam Ismail, Zaldi Rahman dan Andi Wirawicakpati. Kepada
teman-teman sejawat, kolega FKH 47 Acromion yang selalu memberikan
masukan dan meluangkan waktu menemani selama masa perkuliahan. Sahabat
HIMPRO Satwaliar FKH IPB yang selalu mengukir prestasi Asfi, Mirzan, Nilam,
Yoga, Puti. Ucapan terima kasih kepada Bapak Teguh Prasetyo Budi yang
memberikan bantuan waktu dan tenaga selama melakukan penelitian. Khususnya
kepada teman-teman Aspera yang memberikan jalan bagi suksesnya penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari kata sempurna, sehingga
bimbingan dan arahan yang membangun sangat diharapkan demi hasil yang lebih
baik. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya bagi
pemerhati reptil khususnya ular.
Bogor, November 2014
Rahmayani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Biologi Ular Sanca 2
Klasifikasi dan Morfologi Ular Sanca 2
Habitat dan Penyebaran 2
Perilaku dan Makanan 2
Cacing Parasitik 3
Cestoda 3
Trematoda 3
Nematoda 4
Cacing Parasitik Pada Ular 4
METODE 5
Tempat dan Waktu 5
Alat dan Bahan 5
Sampel Ular 5
Teknik Parasitologi 5
Sampling Tinja 5
Modifikasi Metode McMaster 6
Flotasi Sederhana 6
Saringan Bertingkat 6
Kato-Katz 6
Identifikasi Telur Cacing 7
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Manajemen Kesehatan Ular Sanca 7
Jenis Telur Cacing yang Ditemukan 8
Ascaris 9
Trichuris 9
Strongylid 10
Oxyuris 10
Persentase Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing 10
Derajat Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing 11
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 13
RIWAYAT HIDUP 15
iv
DAFTAR TABEL
1 Cacing Parasitik Pada Ular 4
2 Persentase Infeksi Telur Cacing 10
3 Perbandingan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) metode
McMaster dan Kato-Katz
11
DAFTAR GAMBAR
1 Sampel Ular Sanca 7
2 Telur Cacing Parasitik yang Ditemukan 9
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan
atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas di
alam maupun yang dipelihara oleh manusia (UU No. 18 Tahun 2009). Indonesia
merupakan negara yang memiliki spesies satwa liar yang beranekaragam karena
letak geografis Indonesia yang berada di antara dua kawasan persebaran fauna di
dunia, yaitu Kawasan Oriental di bagian utara dan Kawasan Australia di bagian
selatan. Kondisi seperti itu menjadikan Indonesia memiliki sebagian kekayaan
jenis hayati Asia dan Australia. Indonesia terletak di daerah tropika yang
merupakan salah satu sasaran migrasi satwa dari belahan utara dan selatan,
sehingga Indonesia mendapat tambahan kekayaan hayati dari pelaku migrasi
satwa. Kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia merupakan hal yang patut dijaga
sebagai bentuk keseimbangan ekosistem (Marlon 2014).
Dewasa ini tidak sedikit satwa liar yang dengan sengaja baik secara legal
maupun ilegal ditangkap dan dikembangbiakan untuk dijadikan hewan peliharaan.
Hal ini mengakibatkan satwa liar tersebut harus melakukan adaptasi terhadap
lingkungan dan penanganan oleh manusia. Satwa liar yang sebelumnya memiliki
sifat buas selama hidup di alam liar, menjadi berkurang kebuasannya akibat
seringnya kontak langsung yang terjadi antara manusia dan satwa. Selain itu,
satwa menjadi tergantung dalam memperoleh pakan dan kehilangan kemampuan
memangsa yang dimiliki. Ular, iguana, dan biawak merupakan beberapa contoh
satwa liar yang dijadikan exotic pets. Ular merupakan satwa liar yang paling
banyak menjadi exotic pets, diantaranya ular sanca. Ular sanca yang ditangkap
dari alam dan dijadikan exotic pets memiliki potensi yang sangat besar untuk
menularkan penyakit. Ular sanca dipaksa melakukan adaptasi baik secara perilaku
maupun pola makan sehingga tidak jarang pada masa adaptasi tersebut ular sanca
yang sebelumnya bersifat tahan terhadap suatu penyakit menjadi rentan dan dapat
menularkan penyakit baik pada manusia dan hewan lain. Menurut Mader (2006)
penyakit parasitik pada ular sanca yang banyak ditemukan dan bersifat zoonotik
adalah cryptosporidiosis, coccidiosis, dan helminthosis. Oleh karena itu perlu
diketahui dan dipelajari penyakit pada ular sanca diantaranya helminthosis.
Rumusan Masalah
Ular sanca merupakan satwa liar yang banyak dijadikan sebagai exotic pets.
Ular sanca yang diperoleh dari alam dapat menjadi sumber infeksi berbagai
penyakit di antaranya kecacingan. Perlu dipelajari lebih lanjut tentang
kemungkinan adanya cacing parasit zoonotik pada ular.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, persentase infeksi, dan
derajat infeksi cacing parasitik pada saluran pencernaan ular sanca yang dipelihara
sebagai exotic pets.
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah daftar jenis cacing parasitik
saluran pencernaan ular sanca. Temuan berbagai jenis cacing parasit merupakan
refleksi lingkungan di sekitar ular sanca. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan
landasan tindakan untuk pengendalian cacing parasitik dan manajemen kesehatan
ular sebagai exotic pets.
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ular Sanca
Klasifikasi dan Morfologi Ular Sanca (Python reticulatus)
Ular sanca merupakan jenis ular yang tidak berbisa, mempunyai ukuran
yang besar dan merupakan ular terpanjang di antara jenis ular lainnya yang
terdapat di Indonesia. Ular sanca memiliki pola lingkaran-lingkaran besar yang
berbentuk jala (Tweedie 1984 dan Mehrtens 1987). Pola ini lah yang membuat
masyarakat menjadi tertarik untuk menjadikan satwa ini sebagai hewan
peliharaan. Hal ini merupakan proses adaptasi yang dilakukan untuk menjaga diri
dari predator.
Klasifikasi ular sanca menurut taksonomi Iskandar dan Colijn (2002):
Domain : Eukarya
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Eumatazoa
Superphylum : Deuterostomia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Subclass : Lepidosauria
Ordo : Squamata
Subordo : Serpentes
Family : Pythonidae
Genus : Python
Species : Python reticulatus
Habitat dan Penyebaran
Ular sanca memiliki habitat di hutan dataran rendah sampai ketinggian 0-
1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), semak berbatu, rawa, kebun, pinggiran
kota, bahkan di dalam rumah. Ular sanca dewasa dapat lebih sering ditemukan di
darat pada siang dan malam hari sedangkan ular sanca yang masih muda lebih
sering ditemukan di atas pohon (Marlon 2014).
Perilaku dan Pakan
Ular sanca merupakan satwa ektotermik, yaitu satwa dengan produksi panas
tubuh sebagai hasil aktivitas metabolisme yang sangat terbatas dan mekanisme
kontrol pengembalian produksi sangat rendah (Aiello 1998), sehingga untuk
mencukupi kebutuhan panasnya dengan mengambil panas dari lingkungan. Ular
3
sanca memiliki kemampuan berenang yang baik dan mempunyai kebiasaan
berjemur di bawah sinar matahari langsung yang disebut basking. Proses
mencerna makanan akan berlangsung apabila panas di dalam tubuh ular sanca
sudah optimal. Suhu yang dibutuhkan ular sanca untuk dapat beraktivitas antara
26.7-30°C dengan suhu optimal 30°C (Marlon 2014).
Makanan utama ular sanca yaitu mamalia kecil, burung, dan biawak.
Berbeda dengan ular-ular yang mampu membunuh mangsanya dengan bisa, ular
sanca membelit untuk melumpuhkan mangsanya. Ular sanca membelit mangsa
dengan menggunakan bagian ekornya dan mencengkram mangsanya dengan
menggunakan mulutnya yang lebar dan menggigit mangsanya agar tidak kabur.
Mangsa yang terbelit selain sudah tidak dapat bergerak karena sudah tidak bisa
menggunakan alat geraknya, mangsa juga kesulitan bernafas karena kehabisan
oksigen dan rongga dadanya tertekan kuat oleh lilitan ular. Setelah mangsa benar-
benar mati, ular sanca menelan mangsanya dimulai dari bagian kepala untuk
memudahkan proses menelan (Carpenter 2001).
Cacing Parasitik
Cestoda
Cestoda merupakan cacing parasitik yang memiliki bentuk tubuh pipih
seperti pita dan bersegmen. Cestoda bersifat hermaprodit, pada setiap segmen
berisi satu atau dua set organ reproduksi jantan dan betina. Tubuh cestoda terdiri
dari tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Cestoda memiliki siklus hidup
tidak langsung, karena membutuhkan inang antara. Tahap perkembangannya
terdiri atas tiga stadium, yaitu telur, larva (metacestoda atau cacing gelembung),
dan cestoda dewasa. Telur cestoda mudah dibedakan dengan telur trematoda
maupun telur nematoda karena mengandung embrio berkait enam (embryo
hexacant) yang disebut oncosphere. Cestoda merupakan cacing parasitik pada
ternak domestik dan manusia (Taylor et al. 2007).
Trematoda
Trematoda merupakan cacing parasitik yang berbentuk pipih seperti daun
dan tidak memiliki segmen, selain itu trematoda memiliki sifat hermaprodit
kecuali pada genus Schistosoma. Trematoda memiliki saluran pencernaan
sederhana mulai dari mulut-faring-esofagus-sekum. Mirasidium adalah embrio
bersilia yang perkembangannya terjadi di lingkungan eksternal inang. Sporokista
mengandung sel-sel germinal yang selanjutnya akan berkembang menjadi redia
dan bermigrasi menuju hepato-pankreas siput dan berkembang menjadi serkaria.
Serkaria keluar dari tubuh siput dan berenang menggunakan ekornya. Stadium
serkaria beberapa spesies trematoda membentuk metaserkaria. Dinding kista
metaserkaria akan pecah ketika termakan oleh inang definitif, kemudian cacing
muda penetrasi ke dalam usus dan migrasi ke berbagai jaringan organ.
Perkembangan selanjutnya cacing muda menjadi cacing dewasa pada jaringan
organ tertentu menurut jenisnya. Trematoda merupakan cacing parasitik pada
vertebrata air, rodensia, anjing, kucing, dan unggas (Taylor et al. 2007).
4
Nematoda
Nematoda merupakan cacing parasitik yang memiliki bentuk silinder dan
cenderung runcing pada kedua ujung tubuh, memiliki lapisan kutikula dan tidak
bersegmen. Sistem pencernaan cacing nematoda berupa tabung sederhana dan
lebih lengkap dibandingkan dengan cacing trematoda. Mulut nematoda dikelilingi
oleh dua atau tiga bibir yang berhubungan dengan esofagus. Nematoda memiliki
sistem reproduksi yang terpisah (Lapage 1962). Siklus hidup nematoda dapat
secara langsung (tanpa inang antara) atau tidak langsung (memerlukan inang
antara). Bentuk stadium infektif nematoda adalah telur dan larva infektif.
Nematoda merupakan cacing parasitik pada unggas, ruminansia, anjing, kucing,
dan manusia (Taylor et al. 2007).
Cacing Parasitik Pada Ular
Beberapa jenis cacing parasitik pada spesies ular tertentu telah dilaporkan,
baik di Indonesia maupun di luar negeri dengan mengambil sampel ular yang
berasal dari alam liar atau lembaga konservasi seperti kebun binatang, sedangkan
pada ular sebagai exotic pets belum ada yang melaporkan. Metode yang
digunakan pada hasil laporan tersebut yaitu identifikasi cacing dewasa maupun
koprologik.
Tabel 1 Cacing Parasitik pada Ular Kelas Cacing Parasitik Ular yang Terinfeksi Acuan
Cestoda Bothridium sp.
Ophiotaenia
Mesocestodidae
Hymenolepis nana
Acanthotaenia
Crepidobothrium
Bothriocephalus
Anoplocephalidae
Boa dan Python
Viper, Boa, Python
Kingsnakes dan Rattlesnakes
Morelia viridis
Cylindrophis ruffus
Xenopeltis unicolor
Python breitensteini
Boa dan Python
(1), (2)
Trematoda Renifers
Dasymetra
Ochetosoma
Styphlodoro
Spirometra
Alaria marcinae
Watersnakes
Kingsnakes
Hog-nosed snakes
Boa contrictors
Xenopeltis unicolor
Texas Indigo Snake
(2)
Nematoda Ophidioascaris moreliae
Rhabdias sp.
Strongyloides
Kalicephalus spp.
Diaphanocephalus
Spineoxys
Oxyuris spp.
Aspiculuris
Eustrongyloides spp.
Armilifer sp.
Poludelphis sp.
Capillaria hepatica
Macdonaldius spp.
Dracunculus
Trichinella zimbabwensis
Ascaridia galii
Python
Python dan Elapidae
Python
Python
Boa dan Python
Boa dan Python
Python
Morelia viridis
Python
Viper dan African Python
Python reticulatus
Morelia viridis
Python dan Elapidae
Viper
Boa, Python, Elapidae, Viper
Python reticulatus
(1), (2), (3)
Sumber: (1) Wolf et al. 2014, (2) Rataj et al. 2011, (3) Mader 2006
5
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2014. Pengumpulan
sampel tinja dilakukan di tempat pemilik ular sanca di daerah Depok dan Bogor.
Analisis sampel tinja dilakukan di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi
dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan sampel tinja di laboratorium yaitu:,
cooler box, Kato-Katz Kit, sendok, saringan teh, gelas ukur, pipet pasteur, kamar
hitung McMaster, tabung reaksi, saringan bertingkat ukuran 45 µm, 100 µm, dan
400 µm, sprayer, gelas Baermann, gelas obyek modifikasi sedimentasi,
mikroskop, dan gelas plastik.
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan sampel tinja ular sanca di
laboratorium adalah: tinja ular, larutan pengapung gula garam dengan konsentrasi
99.5% (Sumanto dan Hamidy 1994), aquadest, gliserin, dan pewarna biru metilen.
Sampel Ular
Lima ekor ular sanca yang diteliti merupakan hewan kesayangan. Ular sanca
A dan B merupakan ular sanca yang dibeli dari hasil breeding, sementara itu ular
sanca C, D, dan E adalah ular sanca yang didapatkan dari tangkapan alam. Ular
sanca A, B, dan C memiliki berat rata-rata kurang lebih 150 kg. Ular sanca oleh
pemilik dikandangkan perindividu dan saling bersebelahan. Selain itu, ketiga ular
sanca tersebut diberikan pakan satu ekor ayam dewasa setiap dua minggu sekali.
Kandang ular sanca A, B, dan C terletak di sekitar kandang reptil lainnya yaitu
biawak dan kura-kura serta hewan lain yaitu kucing. Ular sanca D dan E oleh
pemilik dikandangkan bersamaan, dengan pakan satu ekor tikus putih untuk setiap
minggu. Berbeda dengan ular A, B, dan C, ular D dan E dikandangkan jauh dari
hewan lain seperti kucing. Pada masing-masing kandang diletakkan satu wadah
air sebagai media berendam dan air minum untuk ular sanca dan diberi alas koran
yang akan diganti oleh pemilik setiap ular defekasi.
Teknik Parasitologi
Sampling Tinja
Pengumpulan sampel tinja individu dilakukan sebanyak tiga kali menurut
waktu defekasi. Sampel tinja dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan lalu
diberi label nama sesuai letak kandang, jenis pakan, jenis kelamin dan tanggal
pengambilan. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam cooler box. Sampel
dibawa ke Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis.
6
Modifikasi Metode McMaster
Metode McMaster merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk
mengetahui jumlah telur cacing parasitik pada sampel tinja. Sebanyak 4 gram tinja
dilarutkan ke dalam 56 ml larutan pengapung gula garam dengan konsentrasi
99.5% (Sumanto dan Hamidy 1994). Selanjutnya dihomogenkan dan disaring
menggunakan saringan teh. Suspensi yang sudah homogen kemudian dimasukkan
ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet, kemudian
didiamkan selama 5 menit. Penghitungan telur dilakukan secara mikroskopik
dengan perbesaran 10×10. Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) dihitung
menggunakan rumus, sebagai berikut:
Keterangan:
n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung
Vt : volume sampel total
Vk : volume kamar hitung
Bf : berat tinja (Bondarenko et al. 2009)
Metode Flotasi Sederhana
Metode kualitatif ini dilakukan untuk mengetahui adanya telur cacing
nematoda dan cestoda pada sampel tinja. Sebanyak 4 gram tinja dilarutkan ke
dalam 56 ml larutan pengapung gula garam dengan konsentrasi 99.5%
Selanjutnya dihomogenkan dan disaring dengan menggunakan saringan teh.
Larutan yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dengan menggunakan pipet sampai permukaannya cembung pada bibir tabung
reaksi kemudian ditutup dengan kaca penutup. Sampel didiamkan selama 15-30
menit, kemudian kaca penutup diambil dan diletakkan di atas gelas obyek untuk
diperiksa secara mikroskopik dengan perbesaran 10×10 (Shaikenov et al. 2004).
Metode Saringan Bertingkat
Metode ini bersifat kualitatif untuk mengetahui adanya telur cacing
trematoda pada sampel tinja. Sampel tinja sebanyak 4 gram dihomogenkan
dengan menggunakan 56 ml air dan disaring dengan menggunakan saringan teh.
Selanjutnya filtrat disaring dengan menggunakan saringan bertingkat berukuran
400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Residu yang tertinggal dalam saringan yang
berukuran 45 µm dibilas dengan menggunakan sprayer. Bilasan tersebut
ditampung di dalam gelas Baermann dan dipindahkan ke gelas obyek modifikasi
dengan menggunakan pipet tetes dan diperiksa di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10×10 (Foreyt 2001).
Metode Kato-Katz Metode Kato-Katz merupakan metode pemeriksaan tinja secara kuantitatif
menggunakan Kato-Katz Kit. Sampel tinja dibungkus dengan kertas saring,
selanjutnya dimasukkan ke dalam lubang pada Kato-Katz Kit sebagai cetakan
sampel tinja yang sudah dialasi dengan gelas obyek lalu ditekan menggunakan
stick plastik sampai cetakan tersebut terisi penuh. Ekstrak tinja tersebut kemudian
ditutup dengan menggunakan cellophane tape yang telah direndam di dalam
7
campuran larutan gliserin dan biru metilen. Selanjutya preparat tersebut diamati
secara mikroskopik dengan perbesaran 10×10 (Glinz et al. 2010).
Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) dihitung menggunakan rumus,
sebagai berikut:
Keterangan: R = 41,7 (berat tinja sesuai ukuran lubang karton/mg)
Identifikasi Jenis Telur Cacing
Identifikasi jenis telur cacing dilakukan dengan menentukan tipe telur
berdasarkan morfologi dan ciri khusus telur cacing menurut Bogitsh dan Cheng
(1990) dan Taylor et al. (2007).
Analisis Data
Persentase infeksi jenis-jenis telur cacing yang ditemukan seta dugaan
derajat infeksi pada tiap ekor ular dianalisis secara deskriptif. Untuk
menggambarkan berbagai kemungkinan sebagai faktor risiko kecacingan
dikaitkan dengan data individu hewan yang disertai dengan cara pemeliharaannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Manajemen Kesehatan Ular Sanca
Gambar 1 Sampel Ular Sanca
Keterangan: Hasil breeding (kiri) dan tangkapan alam (kanan)
Ular memiliki pola makan yang berbeda dengan hewan lain seperti
mamalia. Ular mampu bertahan hingga berbulan-bulan tanpa diberikan makanan.
Ular yang hidup di alam liar mendapatkan nutrisi dari hewan hidup yang menjadi
mangsanya. Mangsa ular di alam antara lain adalah tikus, burung liar, serta
mamalia kecil dan bagi seekor ular sanca tidak menutup kemungkinan reptil besar
seperti biawak atau mamalia besar seperti sapi, karena ular sanca dapat memangsa
hewan yang besarnya tiga kali lebih besar dari besar tubuhnya. Hal ini didukung
dengan kekuatan lilitan ular sanca yang dapat meremukkan tulang sapi dewasa
(Carpenter 2001). Ular sanca sebagai exotic pets juga mendapatkan pakan berupa
hewan hidup. Namun demikian, pada kondisi tertentu ular sanca diberi hewan
8
mati atau karkas daging. Kasus stomatitis di ular menyebabkan penurunan nafsu
makan sehingga ular perlu diberi pakan mati atau karkas daging untuk
mengurangi risiko memperparah kasus stomatitis (Jacobson 2007). Pemberian
pakan yang berbeda dari jenis pakan alaminya dapat memicu atau menambah
risiko terjadinya infeksi cacing maupun telur cacing pada ular sanca.
Lima ekor ular sanca yang terdiri dari dua ular sanca hasil breeding dan tiga
ular sanca hasil tangkapan liar pada Gambar 1 yang dijadikan sampel belum
pernah diberikan obat cacing. Informasi yang didapatkan melalui pemilik hewan,
ular sanca C dan E pernah menunjukkan gejala diare dan tidak nafsu makan. Hal
ini ditandai dengan dengan tinja yang dikeluarkan lebih cair dari tinja normal.
Pemilik beralasan tidak ingin mengambil risiko dengan memberikan obat apapun
karena tidak dianggap perlu. Tindakan yang dilakukan pemilik adalah dengan
menjemur ular dan membersihkan kandang secara rutin. Diare pada ular sanca C
dapat diakibatkan oleh kecacingan, hal ini ditunjukkan dengan hasil temuan telur
cacing pada ular sanca C yang lebih tinggi dibandingkan dengan ular sanca yang
lain. Selain itu, nilai derajat infeksi yang tinggi pada ular sanca C menunjukkan
bahwa kecacingan dapat diduga berat karena sudah menunjukkan gejala klinis
yaitu diare. Gejala klinis diare juga ditunjukkan oleh ular sanca E, akan tetapi
dengan melihat nilai derajat infeksi pada Tabel 3, diare yang ditunjukkan tidak
dapat dikatakan sebagai gejala yang diakibatkan oleh kecacingan. Menurut Mader
(2006) gejala diare sering ditunjukkan ular sanca yang mengalami stres dengan
gejala nafsu makan yang menurun. Hal ini dapat diakibatkan oleh stres akibat
adaptasi ular sanca yang ditangkap dari alam dan dijadikan sebagai peliharaan.
Jenis Telur Cacing yang Ditemukan
Berdasarkan hasil identifikasi morfologi telur cacing pada sampel tinja ular
sanca, ditemukan empat tipe telur cacing dari kelas nematoda yaitu telur Ascarid,
Trichurid, Oxyurid, dan Strongylid. Infeksi oleh cacing nematoda pada ular
pernah dilaporkan oleh Telford (1971) pada ular jenis Morelia viridis, Bodri
(1994) pada ular jenis Python regius, Fontenot dan Font (1996) pada ular jenis
Agkistrodon piscivorus, Taiwo et al. (2002) pada ular jenis Python reticulatus di
Nigeria, Mader (2006) pada beberapa jenis ular di antaranya Python reticulatus di
Amerika, dan Rataj et al. (2011) pada beberapa jenis ular di antaranya Python
regius yang berasal dari Inggris.
Pada umumnya, cacing nematoda dapat dijumpai di berbagai jenis ular, baik
yang memiliki siklus hidup langsung maupun yang memiliki siklus hidup tidak
langsung. Infeksi oleh cacing nematoda biasanya bersifat subklinis tetapi gejala
klinis dapat muncul apabila infeksi cukup tinggi. Jenis cacing nematoda yang
ditemukan dari sampel tinja lima ekor ular sanca memiliki siklus hidup langsung
atau tidak membutuhkan inang antara. Hal ini dapat memicu terjadinya penularan
dari ular ke pemelihara atau yang biasa disebut dengan zoonosis. Cacing Ascaris,
Trichuris, Strongylid, dan Oxyuris menginfeksi melalui telur infektif yang
mengandung larva secara peroral. Telur Oxyuris dapat menempel pada dinding
dan lantai kandang serta dapat bertahan selama dua bulan (Taylor et al. 2007).
9
Gambar 2 Telur Cacing Parasitik yang Ditemukan
Keterangan: A. Ascaris (perbesaran 40x10)
B. Trichuris (perbesaran 40x10)
C. Strongylid (perbesaran 40x10)
D. Oxyuris (perbesaran 40x10).
Ascaris Telur Ascaris yang ditemukan dalam sampel tinja ditunjukkan pada Gambar
2A. Karakteristik telur Ascaris berwarna kuning kecoklatan dengan bentuk bulat,
memiliki lapisan albumin yang tebal. Secara morfologi telur Ascaris dapat
dibedakan menjadi telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Telur yang
dibuahi berbentuk bulat berwarna kecoklatan dengan lapisan albumin yang tebal.
Telur yang tidak dibuahi tidak memiliki bentuk spesifik dapat berbentuk lonjong,
segitiga, menyerupai ginjal dan memiliki lapisan luar yang cukup tipis (Bogitsh
dan Cheng 1990, Onggowaluyo 2002). Penyebaran cacing jenis ini dapat
ditemukan hampir di seluruh dunia (kosmopolit). Penyebaran utamanya adalah
daerah – daerah yang memiliki iklim tropis dengan kelembapan yang tinggi
(Kusumamihardja 1995). Temuan telur cacing Ascaris pernah dilaporkan
sebelumnya menginfeksi reptil jenis Gecko gecko dan Varanus niloticus (Rataj et
al. 2011).
Jenis cacing pada genus Ascaris yang sering menginfeksi ular sanca yaitu
jenis Ophidascaris morelia (Mader 2006). Cacing ini dapat menyebabkan
penurunuan berat badan, anoreksia bahkan kematian pada ular akibat nekrosa
ulseratif pada mukosa lambung dan obstruksi saluran pencernaan.
Trichuris
Telur Trichuris yang ditemukan dalam sampel tinja yang ditunjukkan pada
Gambar 2B memiliki ciri berbentuk oval, memiliki dua polar plug, dan
berdinding tebal. Secara morfologi telur Trichuris sesuai dengan literatur (Bogitsh
dan Cheng 1990, Taylor et al. 2007) dengan ciri-ciri mempunyai dinding yang
tebal, berbentuk oval, tidak memiliki blastomer, dan memiliki dua polar plug.
10
Temuan telur cacing Trichuris pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi reptil
jenis Iguana iguana dan Naja sputatrix (Mader 2006).
Strongylid Telur Strongylid yang ditemukan dalam sampel tinja ditunjukkan pada
Gambar 2C memiliki bentuk menyerupai elips dengan dinding telur yang tipis dan
terdapat sel berwarna keabuan (morula) didalamnya. Sel tersebut dapat berjumlah
4, 8, 16 dan seterusnya. Warna telur yang ditemukan sampel tinja ini kuning
kecoklatan (Taylor et al. 2007). Telur jenis ini dapat berkembang dengan baik
pada kondisi tanah yang lembab. Penyebaran cacing jenis ini dilaporkan terdapat
di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan (Soulsby 1982). Temuan telur
cacing Strongylid pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi ular jenis Python
regius dan Elaphe gutata (Klingenberg 2000).
Jenis cacing yang banyak ditemukan pada ular sanca dari genus Strongylid
yaitu Kalicephalus sp (Mader 2006). Jenis cacing ini bersifat asimptomatik pada
ular-ular liar yang hidup di alam tetapi bersifat patogenik pada ular yang hidup
secara captive atau hidup dengan dipelihara. Kalicephalus sp. merupakan cacing
yang paling sering ditemukan disemua jenis ular. Cacing ini bermanifestasi di
daerah esofagus sampai usus besar.
Oxyuris
Telur Oxyuris yang ditemukan pada sampel tinja ditunjukkan pada Gambar
2D memiliki aspek translusen dan dinding albumin yang tebal. Menurut Taylor et
al. (2007), telur Oxyuris memiliki ciri-ciri yaitu berbentuk asimetris dengan
bagian lonjong disatu sisi dan bagian yang datar di sisi yang lain, dinding telur
bening dan tebal yang terdiri lapisan albuminous yang paling luar, membran, dan
lapisan dalam telur yang berisi larva. Temuan telur cacing Oxyuris pernah
dilaporkan sebelumnya menginfeksi ular jenis Platyceps karelini (Rataj et al.
2011).
Persentase Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing
Tabel 2 Persentase Infeksi Telur Cacing
No. Jenis Cacing Jumlah Ular Hasil Koprologik Persentase Infeksi
Positif Negatif
1. Ascaris 5 3 2 60%
2. Trichuris 5 3 2 60%
3. Strongylid 5 1 4 20%
4. Oxyuris 5 1 4 20%
Hasil pemeriksaan sampel tinja memperlihatkan bahwa persentase
kecacingan pada ular sanca A, B, C, D, dan E adalah 100%, dengan masing-
masing ular sanca terinfeksi telur cacing. Ular sanca A, B, dan C menunjukkan
infeksi oleh telur Ascaris dari lima ekor ular sanca yang diperiksa sehingga dapat
diketahui persentase infeksi telur Ascaris adalah sebesar 60%. Ular sanca C, D,
dan E menunjukkan infeksi oleh telur Trichuris dari lima ekor ular sanca yang
diperiksa sehingga dapat diketahui persentase infeksi telur Trichuris adalah
sebesar 60%. Ular sanca C selain terinfeksi telur cacing Ascaris dan Trichuris
11
juga menunjukkan infeksi telur Oxyuris dengan persentase 20%. Ular sanca E
menunjukkan infeksi Strongylid dengan persentase sebesar 20%. Persentase
infeksi ular sanca terhadap telur cacing Ascaris dan Trichuris merupakan yang
tertinggi dengan nilai persentase sebesar 60% dan nilai persentase cacing Oxyuris
dan Strongylid 20%.
Tindakan pencegahan yang dapat mencegah terjadinya infeksi telur cacing
dari ular ke pemelihara sangat dianggap perlu. Adapun tindakan-tindakan yang
dapat dilakukan adalah, pemberian obat cacing pada ular sanca secara berkala,
membersihkan kandang secara teratur, menggunakan pakaian khusus apabila
hendak ke kandang dan memperhatikan sanitasi dan higiene personal. Tindakan
pengendalian kasus kecacingan pada ular dapat dilakukan dengan pemberian obat
cacing seperti Praziquantel dan Ivermectin dengan dosis yang sesuai dengan
rekomendasi dokter hewan.
Derajat Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing
Analisis menggunakan metode McMaster tidak ditemukan adanya telur
cacing. Hal ini tidak berarti ular sanca bebas dari infeksi telur cacing. Hasil 0
TTGT pada metode McMaster diduga akibat nilai TTGT pada ular <100 TTGT
sehingga telur cacing tidak tampak pada kamar hitung. Selain itu, hasil 0 TTGT
pada metode McMaster juga dapat diakibatkan oleh jumlah sedimen yang
dimasukkan ke dalam kamar hitung tidak mengandung telur cacing karena jumlah
sedimen yang dimasukkan adalah 0.3 ml dari 4 gram sampel tinja yang
dimasukkan ke dalam 56 ml larutan pengapung gula garam (Taylor et al. 2007).
Metode McMaster yang menunjukkan hasil 0 dapat ditunjang dengan
menggunakan metode flotasi sederhana. Hasil yang didapatkan dengan
menggunakan metode flotasi sederhana menunjukkan ular sanca A dan B
terinfeksi telur cacing Ascaris, ular sanca C terinfeksi telur cacing Oxyuris dan
Ascaris, ular sanca D tidak ditemukan adanya telur cacing, dan ular sanca E
terinfeksi telur cacing Strongylid. Hasil yang didapatkan dari metode McMaster
dapat dikatakan sebagai negatif palsu. Menurut Wolf (2014) penggunaan metode
kuantitatif seperti McMaster dapat menunjukkan hasil negatif palsu dan dapat
ditunjang dengan metode kualitatif dalam hal ini adalah metode flotasi sederhana.
Penghitungan derajat infeksi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode
kualitatif, sehingga diperlukan metode kuantitatif lain yaitu metode Kato-Katz.
Tabel 3 Perbandingan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) metode McMaster dan
Kato-Katz Ular Jumlah Telur Tiap Gram Tinja (TTGT)
Ascaris Trichuris
McMaster Kato-Katz McMaster Kato-Katz
A 0 855 0 0
B 0 823 0 0
C 0 2.485 0 1.654
D 0 0 0 415
E 0 0 0 503
Rata-rata 0 832 0 514
12
Data yang ditunjukkan pada Tabel 3 merupakan perbandingan jumlah telur
tiap gram tinja (TTGT). Penggunaan metode Kato-Katz menunjukkan hasil yang
lebih baik dengan nilai TTGT >100 TTGT. Hasil penelitian ini dapat dikatakan
bahwa metode McMaster dan Kato-Katz memiliki kualitas yang sama yaitu untuk
mendeteksi telur cacing parasitik namun metode Kato-Katz memiliki sensitifitas
yang lebih baik dibandingkan metode McMaster. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Levecke et al. (2011) yang menyatakan bahwa metode Kato-Katz lebih
sensitif terhadap infeksi Ascaris lumbricoides yaitu 88.1% untuk metode Kato-
Katz dan 75.6% untuk metode McMaster. Selain itu, menurut Richardson et al.
(2008) metode Kato-Katz memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan
dengan metode flotasi untuk mendeteksi adanya cacing Ascaris lumbricoides.
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 3, dengan menghitung
menggunakan rumus didapatkan nilai rata-rata TTGT telur Ascaris sebesar 832
TTGT. Nilai TTGT pada masing-masing individu yaitu ular sanca A sebesar 855
TTGT, ular sanca B sebesar 823 TTGT dan ular sanca C sebesar 2.485 TTGT
serta nilai rata-rata telur Trichuris sebesar 514 TTGT. Nialai TTGT pada masing-
masing individu yaitu telur Trichuris pada ular sanca C sebesar 1.654 TTGT, ular
sanca D sebesar 415 TTGT, dan ular sanca E sebesar 503 TTGT. Menurut Glinz
et al. (2010) klasifikasi TTGT telur cacing Ascaris dengan jumlah 1-4.999 TTGT
dan TTGT telur cacing Trichuris dengan jumlah 1-1.000 TTGT dapat dikatakan
ringan pada manusia. Namun demikian, kategori TTGT ringan, sedang, dan berat
untuk menentukan derajat infeksi pada ular belum ditemukan adanya penelitian
mengenai derajat infeksi pada ular. Oleh karena itu, nilai TTGT Ascaris dan
Trichuris pada ular sanca belum dapat dikategorikan ringan.
Hasil yang ditunjukkan dengan menggunakan metode saringan bertingkat
adalah tidak ditemukan adanya telur cacing. Hal ini dapat dikarenakan sampel
tinja ular sanca tidak mengandung telur cacing trematoda sehingga hasil
menunjukkan hasil negatif. Menurut Mader (2006) telur trematoda banyak
ditemukan pada ular yang habitatnya berada di air seperti Xenoleptis unicolor dan
Liasis fuscus. Cacing trematoda yang sering ditemukan pada ular jenis Xenoleptis
unicolor antara lain Hapalotrema loosi dan Spirometra. Xenoleptis unicolor di
alam memiliki pakan yang hidupnya di sekitar rawa seperti katak dan mamalia air
(Marlon 2014).
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ular menderita kecacingan
(100%). Persentase kecacingan menurut jenis telur cacing yang ditemukan adalah
Ascaris 60%, Trichuris 60%, Strongylid 20%, dan Oxyuris 20%. Rata-rata jumlah
telur dalam tiap gram tinja (TTGT) adalah Ascaris 832 TTGT dan Trichuris 514
TTGT.
13
SARAN
Perlu adanya pemeriksaan telur cacing untuk menentukan spesies cacing
parasitik yang dapat menginfeksi ular sanca. Pengetahuan tentang biologi dan
ekologi jenis cacing yang menginfeksi ular dapat dijadikan dasar manajemen
kesehatan ular sebagai exotic pets. Metode Kato-Katz memiliki sensitifitas yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, pemeriksaan koprologik untuk diagnosis kecacingan
pada ular disarankan menggunakan metode Kato-Katz.
DAFTAR PUSTAKA
Aiello SE. 1998. The Merck Verinary Manual 8
th Edition. Merck & Co. Inc: New
Jersey.
Bodri MS. 1994. Common parasitic diseases of reptiles and amphibians. Proc. 1st
ARAV Conference, Pittburgh, PA. pp. 11-17.
Bogitsh BJ, Cheng TC. 1990. Human Atlas Parasitology. WB Saunders:
Philadelphia.
Bondarenko IG, Kincekova J, Varady M, Konigova A, Kuchta M, Konakova G.
2009. Use of modified McMaster method for the diagnosis of intestinal
helminth infections and estimating parasitic egg load in human faecal
samples in non-endemics areas. J. Helminthol. 46 (1). pp 62-64.
Carpenter JW, Mashima TY. Rupiper DJ. 2001. Exotic Animal. Formulary, 2nd
ed. Philadelphia: WB Saunders.
Fontenot LW, Font WF. 1996. Helminth parasites of four species of aquatic snake
from two habitats in Southeastern Lousiana. J Helminthol. Soc. Wash. 63(1).
pp 66-75.
Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitolgy: Reference Manual. Iowa (US): A
Blackwell Publishing
Glinz D, Silue KD, Knopp S, Louhourignon LK, Yao KP. 2010. Comparing
diagnostic accuracy of Kato-Katz, Koga Agar Plate, Ether-Concentration,
and FLOTAC for Schistosoma mansoni and soil-transmitted helminths.
PLoS Negl Trop Dis, 4 (7): e754 (1-20)
Iskandar DT, Colijn ED. 2002. A Checklist of Southeast Asia and New Guinean
Reptils Part 1; Serpentes. Binamitra. Jakarta.
Jacobson ER. 2007. Infectious Diseases and Pathology of Reptiles. United State
of America: CRC Press Taylor & Francis Group.
Klingenberg RJ. 2000. Reptile parasites. Prociding 2000 ARAV Conference, Reno
NV. pp 193-194.
Kusumamiharjda S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan
Hewan Peliharaan di Indonesia. Bogor: Pusat Antara Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Lapage G. 1962. Veterinary Helminthology and Entomology. 5th Ed. London:
Balliere, Tindal ancox, Inc.
Levecke M, Behnke JM, Ajjampur SSR, Albonico M, Geiger SM. 2011. A
comparison of the sensitivity and faecal egg counts of the McMaster egg
counting and Kato-Katz thick smear methods for soil-transmitted helminths.
J. PloS. Negl. Trop. Dis. 5(6). pp 31-35
14
Mader DR. 2006. Reptile Medicine and Surgery. Philadelphia: WB Saunders.
Marlon R. 2014. Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan 107+
Ular Indonesia.
Jakarta: Indonesia Nature and Wildlife Publishing. pp 42-43.
Mehrtens, JM. 1987. Living Snakes of The World in Color. Sterling Publishing
Co. Inc. New York.
Onggowaluyo JS. 2002. Parasitology Medik I Helminthology. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Rataj AV, Knific RL, Vlahovic K, Mavri U, and Dovc A. 2011. Parasites in pet
reptiles. J Acta Veterinarian Scandinavica 53:33. pp 6-8
Richardson DJ, Gross J, Smith MC. 2008. Comparison of Kato-Katz direct smear
and sodium nitrate flotation for detection of geohelminth infections. J.
BioOne Comparative Parasitology. 75(2). pp 339-341.
Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A,
Torgeson PR. 2004. Shot report: the use of a polymerase chain reaction to
detect Echinococcus granulosus (GI Strain) egg in soil sample. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 71(4). pp 441-443.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Antropods, and Protozoa of Domesticated
Animals. London: Bailliere Tindall.
Sumanto D dan Hamidy FA. 1994. Studi efisiensi bahan untuk pemeriksaan
infeksi kecacingan metode flotasi NaCl jenuh menggunakan NaCl murni
dan garam dapur. J. Of Muhammadiyah University Semarang. 3(1). pp 2-4.
Taiwo VO, Alaka OO, Sadiq NA, and Adejinmi JO. 2002. Ascaridiosis in captive
reticulated python (Python reticulatus). J Afr. Biomed. Res. 5(1). pp 93-95.
Taylor MA, RL, Coop, RL, Wall. 2007. Veterinary Parasitology. UK: Blackwell
Publishing.
Telford SR Jr. 1971. Parasitic diseases of reptiles. J. Am Vet Med Assoc: 159. pp
1644–1652.
Tweedie MWF. 1984. The Snack of Malaya. Singapore National Printers.
Singapura.
Wolf D, Vrhovec MG, Failing K, Rossier C, Hermosilla C, and Pantchev N. 2014.
Diagnosis of gastrointestinal parasites in reptiles: comparison of two
coprological methods. J Acta Veterinarian Scandivica 56:44. pp 3-10
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palu tanggal 11 Juni 1993 dari ayah yang bernama
Muhammad Huffaz dan ibu yang bernama Niswan. Lahir sebagai anak sulung dari
4 bersaudara. Alamat asal penulis berada di Jalan Trans Sulawesi, Desa Tete A,
Kabupaten Tojo Una-Una, Palu, Sulawesi Tengah.
Sekolah lanjutan pertama diselesaikan pada tahun 2007, di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 1 Ampana dan sekolah lanjutan atas diselesaikan pada
tahun 2010, di Sekolah Menengah Atas Negeri 72 Jakarta.
Penulis diterima menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2010 melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa aktif di
Institut Pertanian Bogor penulis mengikuti beberapa organisasi yaitu BEM FKH
IPB dan Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar.