BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara
histologis jinak, terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan jaringan ikat
(fibroma), tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis,
pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,3
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan.
Salah satu diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang
mengemukakan penyebab angiofibroma adalah overproduksi estrogen atau defisiensi
androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan
jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak ditemukan pada pria kisaran umur
14-25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga Angiofibroma Nasofaring .1,3,4
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang jarang ditemukan,
diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan leher. Insidensi di
berbagai negara diperkirakan 1 per 5000 sampai 1 per 50.000 dari jumlah
keseluruhan pasien THT. Sedangkan di Indonesia dari beberapa rumah sakit
pendidikan melaporkan 2 sampai 4 kasus angiofibroma nasofaring dalam 1 tahun.
Namun demikian, tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring yang paling sering
ditemukan. Keterlibatan intrakranial dilaporkan terjadi pada 10-36% kasus dengan
glandula pituitari, fossa kranii anterior dan media sebagai bagian yang paling sering
terkena. Angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga
57%.3,4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan radiologi. Trias gejala dan tanda klinis adalah epistaksis masif berulang,
1
obstruksi hidung dan adanya massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan
adanya angiofibroma.5
Pembedahan merupakan terapi pilihan utama meskipun sering mengalami
kesulitan, karena sulitnya mencapai daerah nasofaring, perdarahan yang hebat, serta
sifat tumor yang mengekspansif ke ruang-ruang di sekitar nasofaring serta seringnya
terjadi residif. Pengobatan lain seperti pemberian sitostatika maupun radioterapi
dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk
mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan durante operasi.5,6 Berdasarkan hal
tersebut, kami tertarik untuk mengangkat angiofibroma nasofaring sebagai referat
kami. Melalui penyajian referat ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
semoga bermanfaat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma
adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat laun
membesar. Angiofibroma nasofaring juga dikenal dengan beberapa nama, antara
lain: nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of aolescence, fibroangioma. Tumor
ini dapat menekan jaringan otak sekitarnya dan terjadi perdarahan intraserebral atau
ke dalam ruang subaraknoid sedangkan fibroma merupakan tumor yang terutama
terdiri dari jaringan fibrosa atau jaringan penyambung yang berkembang secara
sempurna. Sehingga angiofibroma dapat diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang
ditandai oleh proliferasi jaringan fibrosa dan vaskuler. 2
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan.1
Angiofibroma nasofaring juvenille merupakan tumor jinak nasofaring
terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Frekuensinya 1 : 5.000 – 1
: 60.000 dari pasien THT.1,2,3 Angiofibroma terjadi pada laki-laki prepubertas dan
remaja, umumnya pada dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia
diatas 25 tahun.1
3
ETIOLOGI
Penyebab dari angiofibroma nasofaring belum dapat diketahui secara pasti.
Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti.
Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori
jaringan asal dan teori ketidakseimbangan hormonal. 1,6
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi
karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di
daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum
tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran
lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan
dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung. 1,6
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon
androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya
hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya
hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Diduga
tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan
pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya
hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.1,6
Selain dua teori di atas, ada yang berpendapat angiofibroma sebagai tumor
vaskular yang mirip dengan hemangioma. Adanya bermacam-macam bentuk
pembuluh darah yang tidak beraturan pada angiofibroma menyimpulkan bahwa
tumor tersebut diakibatkan malformasi pembuluh darah. Selain itu, ada pula yang
menyatakan kemiripan angiofibroma dengan jaringan erektil pada hidung dan
4
menginterpretasikan angiofibroma sebagai hamartoma akibat dari jaringan erektil
kelamin yang terletak tidak pada tempatnya. Pendapat lain mengatakan bahwa tumor
ini berasal dari sel paraganglion nonkromafin yang terdapat di bagian akhir dari
arteri maksilaris. Dari teori-teori yang telah disebutkan di atas, tetapi tidak dapat
diketahui etiologi pasti dari angiofibroma nasofaring. Oleh karena itu dewasa ini
penelitian mulai dikembangkan ke arah adanya ketidakseimbangan genetik sebagai
etiologi angiofibroma nasofaring. 6
EPIDEMIOLOGI
Umumnya kasus angiofibroma nasofaring terdapat pada rentang usia 7 s/d 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas
25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari
seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000
pada pasien THT. Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 – Nopember 2002
dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring.7
ANATOMI
Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang
dewasa panjangnya ± 10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis
sphenoid sampai ke vertebra servikal VI pada batas bawah dari kartilago krikoid.1
Faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu sepertiga bagian proksimal,
dibatasi oleh palatum mole disebut nasofaring dan dua per tiga bagian distal dibagi
secara imaginer menjadi orofaring (mesofaring) dan laringofaring (hipofaring).
Nasofaring merupakan saluran yang berfungsi untuk respirasi, berupa rongga dengan
dinding kaku di atas, belakang dan lateral, tidak dapat bergerak kecuali palatum mole
bagian bawah.7
5
Gambar 1. Anatomi Faring 9
Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu :9
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah yaitu jaringan adenoid
2. Pada dinding faringeal lateral dan resesus faringeus terdapat jaringan
limfoid yang dikenal dengan fossa Rosenmuller
3. Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas kartilago
saluran tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang, tampak
tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas
perlekatan palatum mole.
4. Koana posterior rongga hidung
5. Foramen kranial yang letaknya berdekatan dan foramen jugularis yang
dilalui oleh saraf kranial glosofaringeus, vagus dan assesorius spinalis
6. Pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, arteri faringeal asenden dan
foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak
dekat bagian lateral atap nasofaring
6
8. Ostium dari sinus – sinus sphenoid
Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama biasanya
berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar sumber
perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor, arteri
meningeal rekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arteri pemasok tumor ini
merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila tumor meluas ke fossa
infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis superfisialis,
arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh ke
intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis interna.
Bila tumor tumbuh melewati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari pembuluh
darah karotis bilateral11.
Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdarahan hebat, yang
dapat mencapai 2000-3000 cc dalam waktu yang singkat. Perdarahan saat operasi
dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor yang terangkat atau tumor sudah
terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain mengganggu jalannya operasi
sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat terjadi syok hipovolemik dan
dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengurangi perdarahan hebat, Pandi
mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain: penggunaan
anastesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. karotis eksterna, terapi hormonal,
radiasi, dan tindakan embolisasi preoperasi 11.
HISTOPATOLOGI
7
Secara histopatologis angiofibroma nasofaring mengandung dua unsur yaitu
jaringan pembuluh darah dan jaringan ikat fibrosa dengan sel-sel bintang dan
fibroblas muda. Dinding pembuluh darah tumor tidak mempunyai jaringan ikat
elastis maupun otot sehingga mudah terjadi perdarahan hebat bila tersentuh.
Pada tumor yang baru tumbuh, komponen pembuluh darah tampak
mendominasi dibandingkan jaringan ikat fibrosa yang hanya sedikit. Sementara pada
tumor yang sudah lanjut terjadi hal sebaliknya. Komponen pembuluh darah dapat
dilihat melalui arteriografi di mana pada tumor yang masih baru tampak
hipervaskularisasi daerah yang terdapat tumor, sedangkan pada kasus yang lanjut
gambaran vaskularisasi berkurang.
Bila dihubungkan dengan umur, maka perdarahan yang terjadi lebih banyak
pada penderita umur di bawah 15 tahun. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa dengan bertambahnya umur, angiofibroma nasofaring akan mengandung lebih
banyak jaringan ikat atau unsur pembuluh darahnya berkurang.7,8
Makroskopis
Angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa yang tidak teratur, warna kemerah-
merahan, permukaan licin. Ia berbentuk nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul
dengan dasar yang biasanya bertangkai.
Mikroskopis
Angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma
yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah
menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial
tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan perdarahan
yang massif. Pembuluh darah dalam bias memiliki suatu lapisan muscular. Stroma
terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki cirri-ciri jaringan ikat
berbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan angiomatous cenderung surut
8
seiring dengan waktu. Karena karakteristik histologist internal dapat dilihat, maka
biopsy permukaan bias menimbulkan salah penafsiran.
Gambar 2. Gambaran histopatologis tampak komponen vaskuler diantara
stroma jaringan ikat.
Pemeriksaan histopatologis terhadap massa tumor didapatkan hasil (P. 0784-11)
makroskopis : sepotong jaringan putih dengan permukaan berbenjol-benjol, 5 x 4 x
2.5cm, penampang putih kecoklatan dan Mikroskopik : sediaan tampak campuran
jaringan vaskuler dan stroma jaringan ikat. Komponen vaskuler terdiri atas rongga
kecil-kecil berbentuk bintang (“stellate”) dan “staghorn” diantara stroma, endotel
selapis. Stroma jaringan ikat sangat selular, inti ada yang vesicular, kromatin kasar
dan mitosis dapat dijumpai. Diagnosa : angiofibroma dengan stroma yang atipik,
sehingga diagnosa pasti : angiofibroma nasofaring stadium III sesuai klasifikasi
Chandler dkk (1984) 10
Tumor nasofaring pertama kali tumbuh dibawah mukosa secara perlahan-
lahan dari tahun ke tahun ditepi sebelah posterior dan lateral koana di atap
nasofaring. Tumor ini akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa, sepanjang
atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah
membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan kearah anterior
akan mengisi rongga hidung, mendorong septum kesisi kontralateral, tumor melebar
kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fissura pterigomaksila dan akan mendesak
9
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh di wajah.
Apabila tumor ltelah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala
yang khas pada wajah yang disebut “muka kodok”. Perluasan ke intrakranial dapat
terjadi melalui fossa infretemporal dan pterigomaksila masuk kefossa serbri media.
Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri atau dari sinus sphenoid ke sinus
kavernosus dan fossa hipose.11
Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan11 :
1. Pembesaran tumor di fossa infratemporal dan pterigomaksila akan
menghancurkan tulang yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah
ini merupakan tempat bertemunya korpus dan ala magna tulang sfenoid,
sehingga tumor akan terletak di sebelah dura di fossa serebri media, lateral
dari sinus kavernosus dan anterior dari foramen laserum.
2. Tumor berkembang dari sinus sfenoid melalui destruksi dinding superiornya
masuk ke sinus kavernosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong
kelenjar hipofisis ke satu sisi dan timbul di sela tursika. Hal ini akan
menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma optikus.
3. Tumor berkembang dari sinus etmoid melalui erosi dinding superiornya
masuk ke fossa serebri anterior
Manifestasi Klinis 8,12
Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat
bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit
gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif
dilanjutkan dengan adanya epistaksis masif yang berulang. Adanya obstruksi hidung
memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang
diikuti oleh gangguan penciuman.
10
Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang
lanjut datang dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan,
sefalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, dan
gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat
mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis
sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal
dengan “wajah kodok”.
Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain :
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh
tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea
kronis.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal
discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang
(recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat
biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.
6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke
rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan sekret
saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum
nasi.
8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)
9. Nyeri telinga (otalgia)
10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),
11
11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke
lateral.
Gambar 3. “Muka kodok” pada penderita angiofibroma nasofaring. 12
Diagnosis 12
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah
tindakan operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan
perdarahan yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di
atas meja operasi dengan persiapan untuk operasi pengangkatan tumor.
Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif
yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu
perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan
dan kelelahan.
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,
dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di
nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan
bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda
warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan
12
karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG 13
1. Foto Polos
Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-
posterior, lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut
sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke
belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya
massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,
arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.
Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan
lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,
arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan
gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring belia.
Gambar 3. Foto polos lateral menunjukkan adanya massa besar di nasofaring
yang menggeser diding antral posterior ke anterior (tanda panah). Massa tersebut
juga meluas ke sinus sphenoid. 13
13
2. CT Scan
Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa
pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di
daerah posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi
tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat kontras akan
tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan
sekitarnya.
Gambar 4. CT scan non kontras angiofibroma nasofaring belia. A. CT scan axial
non kontras memperlihatkan suatu massa jaringan lunak homogen yang
membesar di aperture nasal kanan. Suatu komponen yang besar dari tumor
terproyeksi secara posterior ke nasofaring dan orofaring. C. CT scan koronal non
kontras juga memperlihatkan opasifikasi yang sempurna dan perluasan massa
jaringan lunak di aperture nasal kanan. Tumor meluas ke dalam dan memperlebar
celah infraorbital kanan (tanda panah). Tumor tersebut (tanda asterisk) telah
mendestruksi dasar tulang, terlihat di sinus sphenoid. 13
14
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah
menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih
baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor
dengan struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna,
dan sinus kavernosus).
Magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan
dan menentukan luasnya tumor, terutama dalam kasus keterlibatan intrakranial.
Koronal MRI scan menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosus terlihat pada
gambar di bawah.
Gambar 5. Foto koronal MRI angiofibroma nasofaring belia menunjukkan
perluasan dari lesi ke sinus kavernosus 13
MRI dapat menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik
dibandingkan CT scan dan sangat membantu dalam mendeteksi kekambuhan
setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan terjadi karena reseksi lengkap dari
tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena kekambuhan mungkin
terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan tindak lanjut
awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan
15
pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis
sisa tetapi tidak ada gejala atau massa klinis jelas.
4. Angiografi
Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah
pemasok utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan
perluasan tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan
terlihat vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris
interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat
dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah
fosa pterigomaksila.
Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari
arteri bilateral yang berdekatan. Oleh karena itu, arteriografi bilateral arteri
karotis interna dan externa diindikasikan pada kebanyakan pasien. Kadang dapat
dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravascular sehingga vaskularisasi
berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor. Embolisasi
preoperative bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor, tapi
mengurangi tejadinya komplikasi perdarahan massif. Seringkali angiografi dan
embolisasi dilakukan bersamaan kurang dari 24 jam sebelum operasi karena pada
angiofibroma nasofaring dapat terjadi revaskularisasi.
16
Gambar 6. A. Angiografi arteri karotis dextra memperlihatkan tumor blush yang
mensupplai darah ke tumor (feeding artery). B. Gambaran angiografi
postembolisasi.
STADIUM1
Sistem staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada 2 sistem yang
paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut:
Stage IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal
voult
Stage IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.
Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
Stage IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi
tulang orbita.
Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial
17
Stage IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas
ke sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch:
Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang.
Stage II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan
destruksi tulang.
Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau
regio parasellar.
Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan
atau fossa pituitary.
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring
dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan
atau tanpa erosi superior dari tulang orbita.
- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar
pterygoid); perluasan minimal intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke sinus kavernosus.
PENATALAKSANAAN
1) Perawatan umum
a. Perbaikan keadaan umum, jika didapatkan anemia berat dapat diberikan
transfusi darah
18
b. Bila terjadi epistaksis usahakan pemasangan tampon anterior hidung, jika perlu
dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon bellogue)
2) Perawatan khusus
Pengobatan angiofibroma terdiri dari :
a. Pembedahan7
Pembedahan dianggap sebagai cara pengobatan terbaik dan operasi harus
dilakukan dirumah sakit. Kesukaran utama dalam pembedahan adalah
perdarahan hebat yang dapat mencapai 2000 – 3000 cc dalam waktu yang
relatif singkat serta tindakan untuk mengeksisi seluruh jaringan tumor dalam
daerah relatif sempit.
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan
perluasannya seperti transpalatal yaitu insisi pada palatum dan ancangan
rinotomi lateral yaitu melalui insisi pada bagian samping hidung luar,
rinotomilateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila
sudah meluas ke intrakranial.
Teknik degloving yaitu dengan menarik jaringan tengah muka dan hidung
kearah cranial setelah dibuat bebrapa insisi, sehingga didapati jalan masuk
yang luas kearah nasofaring. Bila massa tumor masih tersisa pada saat
pembedahan, mudah sekali timbul residif.7
Teknik operasi Degloving 7:
Penderita ditidurkan di meja operasi dengan infus dan ETT terpasang.
Daerah operasi disterilkan dengan povidone iodine dan alkohol 70%.
Dibuat landmark pada daerah frenulum dengan membuat tegel, dilakukan
infiltrasi pehacain 2% + NaCl 0,9% 2:3 pada sub labial kiri-kanan sampai
tuberositas maksila kiri-kanan.
19
Dilakukan insisi pada mukosa sub labial mulai dari tuberositas maksila
satu sisi sampai periosteum.
Periosteum di luksir sampai fossa kanina kiri-kanan.
Mukosa hidung diinsisi sekeliling pinggir bawah nares anterior dan lateral
apertura piriformis, dilakukan pemotongan septum mulai dari spina
nasalis anterior sampai sutura nasofrontal.
Dimasukkan 2 buah kateter pada nares kiri-kanan dan dikeluarkan pada
sub labial, ditarik ke arah superior sampai glabela.
Dipastikan lokasi dari massa tumor melalui apertura piriformis dan
rongga mulut.
Ditemukan tumor mengisi nasofaring.
Setelah diidentifikasi, dimasukkan elevatorium melalui apertura
piriformis dan massa tumor dilepaskan dari tempat lengketnya dibantu
dengan jari tangan yang dimasukkan melalui mulut.
Setelah lepas, massa tumor ditarik keluar dan dikirim ke bagian PA
Dilakukan palpasi dinding sinus maksila kanan dengan jari tangan !
dinding intak.
Kontrol perdarahan.
Daerah operasi dicuci dengan H2O2 3% dan NaCl fisiologis.
Septum dijahit dengan metode angka 8 dan jahitan matras selang-seling.
Insisi sub labial dijahit dengan vicryl 3/0.
Dipasang tampon bellocq dan tampon anterior.
b. Radioterapi
Radiioterapi prabedah diberikan untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan
intrekranial dan sekitarnya yang telah mendestruksi dasar tengkorak dan tidak
mungkin dilakukan reseksi. Adanya kecendrungan tumor berubah menjadi
20
ganas pasca radioterapi, merupakan komplikasi yang tidak diharapkan, dapat
juga diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.
c. Pengobatan hormonal
Pengobatan hormonal dengan dietilstilbestrol 5 mg perhari selama 6 minggu
dapat mengecilkan tumor dan mengurangi kecendrungan terjadinya
perdarahan. Oleh sebab itu pemberian hormon sebaiknya diikuti dengan
pembedahan.5
Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan
preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan
dalam pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil. Berdasarkan hasil
penelitian Gates et al anti-androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-
3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide ) dapat mengurangi pertumbuhan
angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor hingga 44 %.3,5,10,11
Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun
memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi
kardiovaskuler.Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg
intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi
perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi
tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron yaitu
dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan untuk meningkatkan
maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian
dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi
atropi testis. Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen
alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari selama sebulan. Menurut hasil
penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan stilbestrol.12
Ketergantungan angiofibroma nasofaring terhadap hormon androgen
menjadikan terapi anti androgen seperti cyproterone acetate digunakan untuk
21
menghambat dan menekan plasma testosteron. Terapi ini biasa diberikan
pada kasus-kasus yang tumornya sulit diangkat sebersih mungkin, seperti
yang telah meluas ke intrakranial.5
KOMPLIKASI
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit
stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap
struktur vital, dan transfusi perioperative. Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan
yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant
transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi,
namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan
saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the
cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
22
BAB III
KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya.
Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat
bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya.
Pada permulaan penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%)
adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya epistaksis
masif yang berulang.
Pembedahan dianggap sebagai cara pengobatan terbaik untuk angiofibroma
nasofaring
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.
2. Anderson D. Kamus Kedokteran Dorland. 29 ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 100-1, 829.
3. Pandi PS, Rifki N. The Surgical Management of Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Third edition. Bali: Asia Oceania Congress of OLR, 2005.
4. Scholtz AW, Apperonth E, Kammen-Jolly K, et al. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma: Management and Therapy. Laryngoscope: 2001.
5. Bull, Kerr. Rhinology Scott-Brown’s Otolaryngology. London: Butterworth, 2007
6. Mokhtar Furaq, Ghanimah. Hormonal Receptor in Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Laryngoscope, 2007.
7. Harry A. Angiofibroma Nasofaring Belia. Journal USU. 2002.
8. Adams GL. Penyakit - Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997; 324.
9. Gambar 1. http://www.khoomei.com/pics/pharynx.jpg
10. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. [updated 2009 Aug 27; cited 2011
June 1]. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
11. Firdaus Abduh, Rahman Sukri, Asyari Ade. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring
Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal. Jurnal THT-KL FK Univ Andalas. 2010
12. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Journal [serial on the Internet]. 2011
Date [cited 2013 April 7th]: Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/872580-overview.
13. Imaging consult. 2009. Date [cited 2013 April 7th] Available from
http://www.imaging.consult.com/image/topic/dx/HeadandNeck?title=Angiofibrom
(Head and Neck)&image
24