36
BAB I PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara histologis jinak, terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan jaringan ikat (fibroma), tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. 1,3 Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah satu diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang mengemukakan penyebab angiofibroma adalah overproduksi estrogen atau defisiensi androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak ditemukan pada pria kisaran umur 14-25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga Angiofibroma Nasofaring . 1,3,4 Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang jarang ditemukan, diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan leher. Insidensi di berbagai negara 1

Referat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

:)

Citation preview

Page 1: Referat

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara

histologis jinak, terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan jaringan ikat

(fibroma), tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis,

pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,3

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan.

Salah satu diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang

mengemukakan penyebab angiofibroma adalah overproduksi estrogen atau defisiensi

androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan

jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak ditemukan pada pria kisaran umur

14-25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga Angiofibroma Nasofaring .1,3,4

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang jarang ditemukan,

diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan leher. Insidensi di

berbagai negara diperkirakan 1 per 5000 sampai 1 per 50.000 dari jumlah

keseluruhan pasien THT. Sedangkan di Indonesia dari beberapa rumah sakit

pendidikan melaporkan 2 sampai 4 kasus angiofibroma nasofaring dalam 1 tahun.

Namun demikian, tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring yang paling sering

ditemukan. Keterlibatan intrakranial dilaporkan terjadi pada 10-36% kasus dengan

glandula pituitari, fossa kranii anterior dan media sebagai bagian yang paling sering

terkena. Angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga

57%.3,4

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan

pemeriksaan radiologi. Trias gejala dan tanda klinis adalah epistaksis masif berulang,

1

Page 2: Referat

obstruksi hidung dan adanya massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan

adanya angiofibroma.5

Pembedahan merupakan terapi pilihan utama meskipun sering mengalami

kesulitan, karena sulitnya mencapai daerah nasofaring, perdarahan yang hebat, serta

sifat tumor yang mengekspansif ke ruang-ruang di sekitar nasofaring serta seringnya

terjadi residif. Pengobatan lain seperti pemberian sitostatika maupun radioterapi

dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk

mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan durante operasi.5,6 Berdasarkan hal

tersebut, kami tertarik untuk mengangkat angiofibroma nasofaring sebagai referat

kami. Melalui penyajian referat ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

semoga bermanfaat.

2

Page 3: Referat

BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI

Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma

adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat laun

membesar. Angiofibroma nasofaring juga dikenal dengan beberapa nama, antara

lain: nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of aolescence, fibroangioma. Tumor

ini dapat menekan jaringan otak sekitarnya dan terjadi perdarahan intraserebral atau

ke dalam ruang subaraknoid sedangkan fibroma merupakan tumor yang terutama

terdiri dari jaringan fibrosa atau jaringan penyambung yang berkembang secara

sempurna. Sehingga angiofibroma dapat diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang

ditandai oleh proliferasi jaringan fibrosa dan vaskuler. 2

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring

yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai

kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus

paranasal, pipi, mata  dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit

dihentikan.1

Angiofibroma nasofaring juvenille merupakan tumor jinak nasofaring

terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Frekuensinya 1 : 5.000 – 1

: 60.000 dari pasien THT.1,2,3 Angiofibroma terjadi pada laki-laki prepubertas dan

remaja, umumnya pada dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia

diatas 25 tahun.1

3

Page 4: Referat

ETIOLOGI

Penyebab dari angiofibroma nasofaring belum dapat diketahui secara pasti.

Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti.

Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori

jaringan asal dan teori ketidakseimbangan hormonal. 1,6

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi

karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di

daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum

tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran

lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan

dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan

bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap

rongga hidung. 1,6

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini

menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon

androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya

hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya

hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Diduga

tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan

pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya

hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.1,6

Selain dua teori di atas, ada yang berpendapat angiofibroma sebagai tumor

vaskular yang mirip dengan hemangioma. Adanya bermacam-macam bentuk

pembuluh darah yang tidak beraturan pada angiofibroma menyimpulkan bahwa

tumor tersebut diakibatkan malformasi pembuluh darah. Selain itu, ada pula yang

menyatakan kemiripan angiofibroma dengan jaringan erektil pada hidung dan

4

Page 5: Referat

menginterpretasikan angiofibroma sebagai hamartoma akibat dari jaringan erektil

kelamin yang terletak tidak pada tempatnya. Pendapat lain mengatakan bahwa tumor

ini berasal dari sel paraganglion nonkromafin yang terdapat di bagian akhir dari

arteri maksilaris. Dari teori-teori yang telah disebutkan di atas, tetapi tidak dapat

diketahui etiologi pasti dari angiofibroma nasofaring. Oleh karena itu dewasa ini

penelitian mulai dikembangkan ke arah adanya ketidakseimbangan genetik sebagai

etiologi angiofibroma nasofaring. 6

EPIDEMIOLOGI

Umumnya kasus angiofibroma nasofaring terdapat pada rentang usia 7 s/d 21

tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas

25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari

seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000

pada pasien THT. Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 – Nopember 2002

dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring.7

ANATOMI

Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti

corong, merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang

dewasa panjangnya ± 10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis

sphenoid sampai ke vertebra servikal VI pada batas bawah dari kartilago krikoid.1

Faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu sepertiga bagian proksimal,

dibatasi oleh palatum mole disebut nasofaring dan dua per tiga bagian distal dibagi

secara imaginer menjadi orofaring (mesofaring) dan laringofaring (hipofaring).

Nasofaring merupakan saluran yang berfungsi untuk respirasi, berupa rongga dengan

dinding kaku di atas, belakang dan lateral, tidak dapat bergerak kecuali palatum mole

bagian bawah.7

5

Page 6: Referat

Gambar 1. Anatomi Faring 9

Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur yang secara klinis

mempunyai arti penting, yaitu :9

1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah yaitu jaringan adenoid

2. Pada dinding faringeal lateral dan resesus faringeus terdapat jaringan

limfoid yang dikenal dengan fossa Rosenmuller

3. Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas kartilago

saluran tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang, tampak

tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas

perlekatan palatum mole.

4. Koana posterior rongga hidung

5. Foramen kranial yang letaknya berdekatan dan foramen jugularis yang

dilalui oleh saraf kranial glosofaringeus, vagus dan assesorius spinalis

6. Pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus

petrosus inferior, vena jugularis interna, arteri faringeal asenden dan

foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus

7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak

dekat bagian lateral atap nasofaring

6

Page 7: Referat

8. Ostium dari sinus – sinus sphenoid

Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama biasanya

berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar sumber

perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor, arteri

meningeal rekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arteri pemasok tumor ini

merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila tumor meluas ke fossa

infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis superfisialis,

arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh ke

intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis interna.

Bila tumor tumbuh melewati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari pembuluh

darah karotis bilateral11.

Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdarahan hebat, yang

dapat mencapai 2000-3000 cc dalam waktu yang singkat. Perdarahan saat operasi

dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor yang terangkat atau tumor sudah

terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain mengganggu jalannya operasi

sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat terjadi syok hipovolemik dan

dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengurangi perdarahan hebat, Pandi

mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain: penggunaan

anastesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. karotis eksterna, terapi hormonal,

radiasi, dan tindakan embolisasi preoperasi 11.

HISTOPATOLOGI

7

Page 8: Referat

Secara histopatologis angiofibroma nasofaring mengandung dua unsur yaitu

jaringan pembuluh darah dan jaringan ikat fibrosa dengan sel-sel bintang dan

fibroblas muda. Dinding pembuluh darah tumor tidak mempunyai jaringan ikat

elastis maupun otot sehingga mudah terjadi perdarahan hebat bila tersentuh.

Pada tumor yang baru tumbuh, komponen pembuluh darah tampak

mendominasi dibandingkan jaringan ikat fibrosa yang hanya sedikit. Sementara pada

tumor yang sudah lanjut terjadi hal sebaliknya. Komponen pembuluh darah dapat

dilihat melalui arteriografi di mana pada tumor yang masih baru tampak

hipervaskularisasi daerah yang terdapat tumor, sedangkan pada kasus yang lanjut

gambaran vaskularisasi berkurang.

Bila dihubungkan dengan umur, maka perdarahan yang terjadi lebih banyak

pada penderita umur di bawah 15 tahun. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan

bahwa dengan bertambahnya umur, angiofibroma nasofaring akan mengandung lebih

banyak jaringan ikat atau unsur pembuluh darahnya berkurang.7,8

Makroskopis

Angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa yang tidak teratur, warna kemerah-

merahan, permukaan licin. Ia berbentuk nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul

dengan dasar yang biasanya bertangkai.

Mikroskopis

Angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma

yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah

menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial

tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan perdarahan

yang massif. Pembuluh darah dalam bias memiliki suatu lapisan muscular. Stroma

terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki cirri-ciri jaringan ikat

berbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan angiomatous cenderung surut

8

Page 9: Referat

seiring dengan waktu. Karena karakteristik histologist internal dapat dilihat, maka

biopsy permukaan bias menimbulkan salah penafsiran.

Gambar 2. Gambaran histopatologis tampak komponen vaskuler diantara

stroma jaringan ikat.

Pemeriksaan histopatologis terhadap massa tumor didapatkan hasil (P. 0784-11)

makroskopis : sepotong jaringan putih dengan permukaan berbenjol-benjol, 5 x 4 x

2.5cm, penampang putih kecoklatan dan Mikroskopik : sediaan tampak campuran

jaringan vaskuler dan stroma jaringan ikat. Komponen vaskuler terdiri atas rongga

kecil-kecil berbentuk bintang (“stellate”) dan “staghorn” diantara stroma, endotel

selapis. Stroma jaringan ikat sangat selular, inti ada yang vesicular, kromatin kasar

dan mitosis dapat dijumpai. Diagnosa : angiofibroma dengan stroma yang atipik,

sehingga diagnosa pasti : angiofibroma nasofaring stadium III sesuai klasifikasi

Chandler dkk (1984) 10

Tumor nasofaring pertama kali tumbuh dibawah mukosa secara perlahan-

lahan dari tahun ke tahun ditepi sebelah posterior dan lateral koana di atap

nasofaring. Tumor ini akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa, sepanjang

atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah

membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan kearah anterior

akan mengisi rongga hidung, mendorong septum kesisi kontralateral, tumor melebar

kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fissura pterigomaksila dan akan mendesak

9

Page 10: Referat

dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh di wajah.

Apabila tumor ltelah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala

yang khas pada wajah yang disebut “muka kodok”. Perluasan ke intrakranial dapat

terjadi melalui fossa infretemporal dan pterigomaksila masuk kefossa serbri media.

Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri atau dari sinus sphenoid ke sinus

kavernosus dan fossa hipose.11

Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan11 :

1. Pembesaran tumor di fossa infratemporal dan pterigomaksila akan

menghancurkan tulang yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah

ini merupakan tempat bertemunya korpus dan ala magna tulang sfenoid,

sehingga tumor akan terletak di sebelah dura di fossa serebri media, lateral

dari sinus kavernosus dan anterior dari foramen laserum.

2. Tumor berkembang dari sinus sfenoid melalui destruksi dinding superiornya

masuk ke sinus kavernosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong

kelenjar hipofisis ke satu sisi dan timbul di sela tursika. Hal ini akan

menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma optikus.

3. Tumor berkembang dari sinus etmoid melalui erosi dinding superiornya

masuk ke fossa serebri anterior

Manifestasi Klinis 8,12

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat

bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit

gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif

dilanjutkan dengan adanya epistaksis masif yang berulang. Adanya obstruksi hidung

memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang

diikuti oleh gangguan penciuman.

10

Page 11: Referat

Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang

lanjut datang dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan,

sefalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, dan

gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat

mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis

sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal

dengan “wajah kodok”.

Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain :

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang

paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh

tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea

kronis.

2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal

discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang

(recurrent).

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat

biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.

6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke

rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan sekret

saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum

nasi.

8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)

9. Nyeri telinga (otalgia)

10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),

11

Page 12: Referat

11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke

lateral.

Gambar 3. “Muka kodok” pada penderita angiofibroma nasofaring. 12

Diagnosis 12

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah

tindakan operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan

perdarahan yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di

atas meja operasi dengan persiapan untuk operasi pengangkatan tumor.

Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif

yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu

perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan

dan kelelahan.

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor

yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,

dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di

nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan

bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda

warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan

12

Page 13: Referat

karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami

hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 13

1. Foto Polos

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-

posterior, lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut

sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke

belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya

massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,

arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.

Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan

lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita,

arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan

gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring belia.

Gambar 3. Foto polos lateral menunjukkan adanya massa besar di nasofaring

yang menggeser diding antral posterior ke anterior (tanda panah). Massa tersebut

juga meluas ke sinus sphenoid. 13

13

Page 14: Referat

2. CT Scan

Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa

pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di

daerah posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi

tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat kontras akan

tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan

sekitarnya.

Gambar 4. CT scan non kontras angiofibroma nasofaring belia. A. CT scan axial

non kontras memperlihatkan suatu massa jaringan lunak homogen yang

membesar di aperture nasal kanan. Suatu komponen yang besar dari tumor

terproyeksi secara posterior ke nasofaring dan orofaring. C. CT scan koronal non

kontras juga memperlihatkan opasifikasi yang sempurna dan perluasan massa

jaringan lunak di aperture nasal kanan. Tumor meluas ke dalam dan memperlebar

celah infraorbital kanan (tanda panah). Tumor tersebut (tanda asterisk) telah

mendestruksi dasar tulang, terlihat di sinus sphenoid. 13

14

Page 15: Referat

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah

menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih

baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor

dengan struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna,

dan sinus kavernosus).

Magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan

dan menentukan luasnya tumor, terutama dalam kasus keterlibatan intrakranial.

Koronal MRI scan menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosus terlihat pada

gambar di bawah.

Gambar 5. Foto koronal MRI angiofibroma nasofaring belia menunjukkan

perluasan dari lesi ke sinus kavernosus 13

MRI dapat menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik

dibandingkan CT scan dan sangat membantu dalam mendeteksi kekambuhan

setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan terjadi karena reseksi lengkap dari

tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena kekambuhan mungkin

terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan tindak lanjut

awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan

15

Page 16: Referat

pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis

sisa tetapi tidak ada gejala atau massa klinis jelas.

4. Angiografi

Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah

pemasok utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan

perluasan tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan

terlihat vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris

interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat

dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah

fosa pterigomaksila.

Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari

arteri bilateral yang berdekatan. Oleh karena itu, arteriografi bilateral arteri

karotis interna dan externa diindikasikan pada kebanyakan pasien. Kadang dapat

dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravascular sehingga vaskularisasi

berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor. Embolisasi

preoperative bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor, tapi

mengurangi tejadinya komplikasi perdarahan massif. Seringkali angiografi dan

embolisasi dilakukan bersamaan kurang dari 24 jam sebelum operasi karena pada

angiofibroma nasofaring dapat terjadi revaskularisasi.

16

Page 17: Referat

Gambar 6. A. Angiografi arteri karotis dextra memperlihatkan tumor blush yang

mensupplai darah ke tumor (feeding artery). B. Gambaran angiografi

postembolisasi.

STADIUM1

Sistem staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada 2 sistem yang

paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut:

Stage IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal

voult

Stage IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult

dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.

Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

Stage IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi

tulang orbita.

Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke

intrakranial

17

Page 18: Referat

Stage IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas

ke sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch:

Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa

mendestruksi tulang.

Stage II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan

destruksi tulang.

Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau

regio parasellar.

Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan

atau fossa pituitary.

Klasifikasi menurut Sessions :

- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.

- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring

dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.

- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.

- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan

atau tanpa erosi superior dari tulang orbita.

- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar

pterygoid); perluasan minimal intrakranial.

- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa

perluasan ke sinus kavernosus.

PENATALAKSANAAN

1) Perawatan umum

a. Perbaikan keadaan umum, jika didapatkan anemia berat dapat diberikan

transfusi darah

18

Page 19: Referat

b. Bila terjadi epistaksis usahakan pemasangan tampon anterior hidung, jika perlu

dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon bellogue)

2) Perawatan khusus

Pengobatan angiofibroma terdiri dari :

a. Pembedahan7

Pembedahan dianggap sebagai cara pengobatan terbaik dan operasi harus

dilakukan dirumah sakit. Kesukaran utama dalam pembedahan adalah

perdarahan hebat yang dapat mencapai 2000 – 3000 cc dalam waktu yang

relatif singkat serta tindakan untuk mengeksisi seluruh jaringan tumor dalam

daerah relatif sempit.

Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan

perluasannya seperti transpalatal yaitu insisi pada palatum dan ancangan

rinotomi lateral yaitu melalui insisi pada bagian samping hidung luar,

rinotomilateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila

sudah meluas ke intrakranial.

Teknik degloving yaitu dengan menarik jaringan tengah muka dan hidung

kearah cranial setelah dibuat bebrapa insisi, sehingga didapati jalan masuk

yang luas kearah nasofaring. Bila massa tumor masih tersisa pada saat

pembedahan, mudah sekali timbul residif.7

Teknik operasi Degloving 7:

Penderita ditidurkan di meja operasi dengan infus dan ETT terpasang.

Daerah operasi disterilkan dengan povidone iodine dan alkohol 70%.

Dibuat landmark pada daerah frenulum dengan membuat tegel, dilakukan

infiltrasi pehacain 2% + NaCl 0,9% 2:3 pada sub labial kiri-kanan sampai

tuberositas maksila kiri-kanan.

19

Page 20: Referat

Dilakukan insisi pada mukosa sub labial mulai dari tuberositas maksila

satu sisi sampai periosteum.

Periosteum di luksir sampai fossa kanina kiri-kanan.

Mukosa hidung diinsisi sekeliling pinggir bawah nares anterior dan lateral

apertura piriformis, dilakukan pemotongan septum mulai dari spina

nasalis anterior sampai sutura nasofrontal.

Dimasukkan 2 buah kateter pada nares kiri-kanan dan dikeluarkan pada

sub labial, ditarik ke arah superior sampai glabela.

Dipastikan lokasi dari massa tumor melalui apertura piriformis dan

rongga mulut.

Ditemukan tumor mengisi nasofaring.

Setelah diidentifikasi, dimasukkan elevatorium melalui apertura

piriformis dan massa tumor dilepaskan dari tempat lengketnya dibantu

dengan jari tangan yang dimasukkan melalui mulut.

Setelah lepas, massa tumor ditarik keluar dan dikirim ke bagian PA

Dilakukan palpasi dinding sinus maksila kanan dengan jari tangan !

dinding intak.

Kontrol perdarahan.

Daerah operasi dicuci dengan H2O2 3% dan NaCl fisiologis.

Septum dijahit dengan metode angka 8 dan jahitan matras selang-seling.

Insisi sub labial dijahit dengan vicryl 3/0.

Dipasang tampon bellocq dan tampon anterior.

b. Radioterapi

Radiioterapi prabedah diberikan untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan

intrekranial dan sekitarnya yang telah mendestruksi dasar tengkorak dan tidak

mungkin dilakukan reseksi. Adanya kecendrungan tumor berubah menjadi

20

Page 21: Referat

ganas pasca radioterapi, merupakan komplikasi yang tidak diharapkan, dapat

juga diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.

c. Pengobatan hormonal

Pengobatan hormonal dengan dietilstilbestrol 5 mg perhari selama 6 minggu

dapat mengecilkan tumor dan mengurangi kecendrungan terjadinya

perdarahan. Oleh sebab itu pemberian hormon sebaiknya diikuti dengan

pembedahan.5

Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan

preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan

dalam pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil. Berdasarkan hasil

penelitian Gates et al anti-androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-

3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide ) dapat mengurangi pertumbuhan

angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor hingga 44 %.3,5,10,11

Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun

memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi

kardiovaskuler.Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg

intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi

perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi

tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron yaitu

dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan untuk meningkatkan

maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian

dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi

atropi testis. Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen

alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari selama sebulan. Menurut hasil

penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan stilbestrol.12

Ketergantungan angiofibroma nasofaring terhadap hormon androgen

menjadikan terapi anti androgen seperti cyproterone acetate digunakan untuk

21

Page 22: Referat

menghambat dan menekan plasma testosteron. Terapi ini biasa diberikan

pada kasus-kasus yang tumornya sulit diangkat sebersih mungkin, seperti

yang telah meluas ke intrakranial.5

KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap

struktur vital, dan transfusi perioperative. Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan

yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant

transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi,

namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan

saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the

cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

22

Page 23: Referat

BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring

yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena

mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan

sekitarnya.

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat

bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya.

Pada permulaan penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%)

adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya epistaksis

masif yang berulang.

Pembedahan dianggap sebagai cara pengobatan terbaik untuk angiofibroma

nasofaring

23

Page 24: Referat

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.

2. Anderson D. Kamus Kedokteran Dorland. 29 ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 100-1, 829.

3. Pandi PS, Rifki N. The Surgical Management of Juvenile Nasopharyngeal

Angiofibroma. Third edition. Bali: Asia Oceania Congress of OLR, 2005.

4. Scholtz AW, Apperonth E, Kammen-Jolly K, et al. Juvenile Nasopharyngeal

Angiofibroma: Management and Therapy. Laryngoscope: 2001.

5. Bull, Kerr. Rhinology Scott-Brown’s Otolaryngology. London: Butterworth, 2007

6. Mokhtar Furaq, Ghanimah. Hormonal Receptor in Juvenile Nasopharyngeal

Angiofibroma. Laryngoscope, 2007.

7. Harry A. Angiofibroma Nasofaring Belia. Journal USU. 2002.

8. Adams GL. Penyakit - Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku Ajar

Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997; 324.

9. Gambar 1. http://www.khoomei.com/pics/pharynx.jpg

10. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. [updated 2009 Aug 27; cited 2011

June 1]. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm

11. Firdaus Abduh, Rahman Sukri, Asyari Ade. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring

Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal. Jurnal THT-KL FK Univ Andalas. 2010

12. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Journal [serial on the Internet]. 2011

Date [cited 2013 April 7th]: Available from:

http://www.emedicine.medscape.com/article/872580-overview.

13. Imaging consult. 2009. Date [cited 2013 April 7th] Available from

http://www.imaging.consult.com/image/topic/dx/HeadandNeck?title=Angiofibrom

(Head and Neck)&image

24