REFERAT ANESTESI
Anestesi pada Gangguan Kelenjar Tiroid
Dokter Pembimbing :
Dr. Triseno Dirasutisna, SpAn
Disusun oleh :
Lina Pratiwi
NIM 03009136
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI RSAL DR. MINTOHARDJO
PERIODE 13 JANUARI 2014 – 14 FEBRUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
1
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan……………………………………………………………………………2
Kata Pengantar………………………………………………………………………………...3
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………………4
Bab II Pembahasan………………………………………………………………………..5-29
2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid
2.3 Penyakit atau Gangguan pada Kelenjar Tiroid
2.4 Anestesi Umum dan Farmakologi Anestesi Intravena dan Inhalasi
2.5 Hubungan Anestesi dan Gangguan Tiroid
2.6 Anestesi pada Pembedahan Kelenjar Tiroid
Bab III Kesimpulan………………………………………………………………………….30
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..31
2
LEMBAR PERSETUJUAN
Referat dengan Judul
“ANESTESI PADA GANGGUAN KELENJAR TIROID”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu anestesi
di Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintohardjo
periode 13 Januari 2014 - 14 Februari 2014
Jakarta, 31 Januari 2014
(dr. Triseno Dirasutisna, Sp.An)
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, anugrah, dan hikmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Anestesi pada Gangguan
Kelenjar Tiroid” sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anastesi di
Rumah Sakit Otorita Batam periode 13 Januari – 14 Februari 2014.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pembimbing Dr. Triseno Dirasutisna, Sp.An, dan juga kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyusunan tugas ini.
Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan juga bagi
para pembaca secara umum.
Jakarta, 31 Januari 2014
Penyusun
Lina Pratiwi
4
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone tiroid
berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan
15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-
2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun. Tjokroprawito A et al, 2007, Hipertiroid, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr.
Soetomo, Surabaya, p 86-92
Ada banyak indikasi untuk pembedahan tiroid, termasuk: keganasan tiroid, gondok yang
memproduksi gejala obstruktif dan atau retrosternal, hipertiroidisme yang resisten terhadap
manajemen medis, kosmetik dan alasan kecemasan terkait. Pasien dengan hipotiroid biasanya
menunjukkan respon pada terapi tiroksin dan pembedahan jarang diindikasikan. Sangat penting
untuk memastikan bahwa pasien secara klinis dan kimia adalah euthyroid sebelum memulai
operasi tiroid elektif. Terdapat permasalahan jalan napas pada anestesi terkait pembedahan pada
tiroid.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Glandula Thyroidea (Kelenjar Tiroid)
Kelenjar tiroid berada di kedalaman dari otot sternothyroid dan sternohyoid, terletak di
anterior leher sepanjang C5-T1 vertebrae. Kelenjar tiroid merupakan kelenjar berwarna merah
kecoklatan dan sangat vascular. Kelenjar ini terselubungi lapisan pretracheal dari fascia
cervicalis (selubung ini melekatkan glandula pada larynx dan trakea) dan terdiri atas 2 lobus,
lobus dextra dan sinistra, yang dihubungkan oleh isthmus. Terletak di anterior cartilago thyroidea
di bawah laring setinggi vertebra cervicalis 5 sampai vertebra thorakalis 1. Beratnya kira-kita 25
gram tetapi bervariasi pada tiap individu. Lobus kelenjar tiroid seperti kerucut. Setiap lobus
berbentuk seperti buah alpukat, dengan apeksnya menghadap ke atas sampai linea oblique
cartilago thyroidea, basisnya terletak di bawah setinggi cincin cartilago trachea keempat dan
kelima. Setiap lobus berukuran 5x3x2 cm.
Isthmus menghubungkan bagian bawah kedua lobus, walaupun terkadang pada beberapa
orang tidak ada. Isthmus meluas melintasi garis tengah di depan cincin trachea 2,3, dan 4.
Panjang dan lebarnya kira-kita 1,25 cm dan biasanya anterior dari cartilgo trachea walaupun
terkadang lebih tinggi atau rendah karena kedudukan dan ukurannya berubah. Sering terdapat
lobus piramidalis, yang menonjol ke atas dari isthmus, biasanya ke sebelah kiri garis tengah.
Sebuah pita fibrosa atau muskular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os hioideum.
Bila pita ini muskular disebut m. levator glandulae thyroideae.
6
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid
Available at:
Batas-Batas Lobus
Anterolateral: M. sternothyroideus, venter superior m. omohyoideus, m. sternohyoideus,
dan pinggris anterior m. sternocleidomastoideus.
Posterolateral: Selubung carotis dengan a. Carotis communis, v. Jugularis interna, dan n.
Vagus
Medial: Larynx, trachea, pharynx, dan oesophagus. Dekat dengan stuktur-struktur ini
adalah M. cricothyroideus dan suplai sarafnya, N. Laryngeus eksternus. Di alur antara
oesophagus dan trachea terdapat N. Laryngeus recurrent.
Pinggir posterior masing-masing lobus yang bulat berhubunhgan di posterior dengan
glandula parathyroidea superior dan inferior dan anastomosis antara a. Thyroidea superior
dan inferior.
Secara embriologi, tahap pembentukan kelenjar tiroid adalah:
Kelenjar tiroid mulanya merupakan dua buah tonjolan dari dinding depan bagian tengah
faring, yang terbentuk pada usia kelahiran 4 minggu. Tonjolan pertama disebut
7
pharyngeal pouch, yaitu antara arcus brachialis 1 dan 2. Tonjolan kedua pada foramen
ceacum, yang berada ventral di bawah cabang farings I.
Pada minggu ke-7, tonjolan dari foramen caecum akan menuju pharyngeal pouch melalui
saluran yang disebut ductus thyroglossus.
Kelenjar tiroid akan mencapai kematangan pada akhir bulan ke-3, dan ductus
thyroglossus akan menghilang. Posisi akhir kelenjar tiroid terletak di depan vertebra
cervicalis 5, 6, dan 7.
Namun pada kelainan klinis, sisa kelenjar tiroid ini juga masih sering ditemukan di
pangkal lidah (ductus thyroglossus/lingua thyroid) dan pada bagian leher yang lain.
Pendarahan
Arteri ke glandula thyroidea adalah a. Thyroidea superior, a. Thyroidea inferior, dan kadang-
kadang a. Thyroidea ima. Arteri-arteri ini saling beranastomosis dengan luas di permukaan
glandula.
Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1. A. thyroidea superior (arteri utama). Cabang dari arteri carotis eksterna, berjalan turun ke
kutub atas setiap lobus, bersama dengan n. Laryngeus eksternus. Arteri thyroidea superior
menembus fascia tiroid dan kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan posterior.
Cabang anterior mensuplai permukaan anterior kelenjar dan cabang posterior mensuplai
permukaan lateral dan medial.
2. A. thyroidea inferior (arteri utama). Cabang dari truncus thyrocervivcalis berjalan ke atas
di belakang glandula sampai setinggi cartilago cricoidea. Kemudian membelok ke medial
dan ke bawah mencapai pinggir posterior glandula. N. Laryngeus recurres melintasi di
depan atau di belakang arteri ini, atau mungkin berjalan di antara cabang-cabangnya.
Arteri thyroides inferior mensuplai basis kelenjar dan bercabang ke superior (ascenden)
dan inferior yang mensuplai permukaan inferior dan posterior kelenjar.
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari arcus aortae atau
A. anonyma. Berjalan ke atas di depan trachea menuju isthmus.
8
Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).
2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).
3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri di dalam rongga thoraks). Vena ini
menampung darah dari isthmus bagian bawah dan kutub bawah kelenjar. V. Thyroidea
inferior dari kedua sisi beranastomosis satu dengan yang lainnya pada saat mereka
berjalan turun di depan trachea.
Aliran limfe terdiri dari 2 jalinan:
1. Jalinan kelenjar getah bening intraglandularis
2. Jalinan kelenjar getah bening extraglandularis
Kedua jalinan ini akan mengeluarkan isinya ke limfonoduli pretracheal lalu menuju ke kelenjar
limfe yang dalam sekitar V. jugularis. Dari sekitar V. jugularis ini diteruskan ke limfonoduli
mediastinum superior.
Persarafan
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior.
9
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngeus superior dan N. laryngeus recurrens (cabang N.vagus)
N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita suara terganggu
(menimbulkan stridor atau serak).
2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berfungsi untuk pertumbuhan dan mempercepat metabolisme. Kelenjar
tiroid menghasilkan dua hormon yang penting yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3).
Karakteristik triioditironin adalah berjumlah lebih sedikit dalam serum karena reseptornya lebih
sedikit dalam protein pengikat plasma di serum tetapi ia lebih kuat karena memiliki banyak
resptor pada jaringan. Tiroksin memiliki banyak reseptor pada protein pengikat plasma di serum
yang mengakibatkan banyaknya jumlah hormon ini di serum, tetapi ia kurang kuat berikatan
pada jaringan karena jumlah reseptornya sedikit.
Biosintesis Hormon Thyroid
Iodium adalah adalah bahan dasar yang sangat penting dalam biosintesis hormon thyroid.
Iodium yang dikonsumsi diubah menjadi iodida kemudian diabsorbsi. Kelenjar thyroid
mengkonsentrasikan iodida dengan mentransport aktif iodida dari sirkulasi ke dalam koloid. Di
dalam kelenjar thyroid, iodida mengalami oksidasi menjadi iodium. Iodium kemudian berikatan
dengan molekul tirosin yang melekat ke tiroglobulin. Tiroglobulin adalah molekul glikoprotein
yang disintesis oleh retikulum endoplasma dan kompleks Golgi sel-sel thyroid. Enzim yang
berperan dalam oksidasi dan pengikatan iodida adalah thyroid peroksidase. Senyawa yang
terbentuk adalah monoiodotirosin (MIT) dan diodotirosin (DIT). Dua molekul DIT kemudian
mengalami suatu kondensasi oksidatif membentuk tetraiodotironin (T4). Triiodotironin (T3)
mungkin terbentuk melalui kondensasi MIT dengan DIT. Dalam thyroid manusia normal,
distribusi rata-rata senyawa beriodium adalah 23 % MIT, 33 % DIT, 35 % T4 dan 7 % T3.
Sekresi Hormon Thyroid
10
Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel, globulus
koloid menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium dengan tiroglobulin
terputus oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT serta MIT dibebaskan ke dalam
sitoplasma. T4 dan T3 bebas kemudian melewati membran sel dan dilepaskan ke dalam sirkulasi.
MIT dan DIT tidak disekresikan ke dalam darah karena iodiumnya sudah dibebasakan dan
iodiumnya digunakan kembali oleh kelenjar.
Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid
Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu:
globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TBG), prealbumin pengikat tiroksin
(thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding
albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut dan
hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05 %) berada dalam bentuk bebas. Hormon yang terikat
dan yang bebas berada dalam keseimbangan yang reversibel. Hormon yang bebas merupakan
fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih banyak dan terikat pada protein
tidak dapat mencapai jaringan sasaran. Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG merupakan
protein pengikat yang paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar
terhadap protein pengikat ini dibandingkan dengan triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih
mudah berpindah ke jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktifitas
metabolik triiodotironin lebih besar.
Efek Hormon Thyroid
Secara umum efek hormon thyroid adalah meningkatkan aktifitas metabolisme pada
hampir semua jaringan dan organ tubuh, karena perangsangan konsumsi oksigen semua sel-sel
tubuh. Kecepatan tumbuh pada anak-anak meningkat, aktifitas beberapa kelenjar endokrin
terangsang dan aktifitas mental lebih cepat.
Efek Kalorigenik Hormon thyroid
T4 dan T3 meningkatkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang
metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus, kelenjar limfe,
11
limpa dan hipofisis anterior. Beberapa efek kalorigenik hormon thyroid disebabkan oleh
metabolisme asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon ini. Di samping itu hormon thyroid
meningkatkan aktivitas Na+-K+ATPase yang terikat pada membran di banyak jaringan. Bila pada
orang dewasa taraf metabolisme ditingkatkan oleh T4 dan T3, maka akan terjadi peningkatan
ekskresi nitrogen. Bila masukan makanan tidak ditingkatkan pada kondisi tersebut, maka protein
endogen dan simpanan lemak akan diuraikan yang berakibat pada penurunan berat badan.
Efek Hormon Thyroid pada Sistem Saraf
Hormon thyroid memiliki efek yang kuat pada perkembangan otak. Bagian SSP yang
paling dipengaruhi adalah korteks serebri dan ganglia basalis. Di samping itu, kokhlea juga
dipengaruhi. Akibatnya, defisiensi hormon thyroid yang terjadi selama masa perkembangan akan
menyebabkan retardasi mental, kekakuan motorik dan ketulian. Hormon thyroid juga
menimbulkan efek pada refleks. Waktu reaksi refleks regang menjadi lebih singkat pada
hipertiroidisme dan memanjang pada hipotiroidisme. Pada hipertiroidisme, terjadi tremor halus
pada otot. Tremor tersebut mungkin disebabkan karena peningkatan aktivitas pada daerah-daerah
medula spinalis yang mengatur tonus otot.
Efek Hormon Thyroid pada Jantung
Hormon thyroid memberikan efek multipel pada jantung. Sebagian disebabkan karena
kerja langsung T3 pada miosit, dan sebagian melalui interaksi dengan katekolamin dan sistem
saraf simpatis. Hormon thyroid meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor β-adrenergik pada
jantung, sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap efek inotropik dan kronotropik
katekolamin. Hormon-hormon ini juga mempengaruhi jenis miosin yang ditemukan pada otot
jantung. Pada pengobatan dengan hormon thyroid, terjadi peningkatan kadar myosin heavy
chain-α (MHC-α), sehingga meningkatkan kecepatan kontraksi otot jantung.
Efek Hormon Thyroid pada Otot Rangka
Pada sebagian besar penderita hipertiroidisme terjadi kelemahan otot (miopati
tirotoksisitas). Kelemahan otot mungkin disebabkan oleh peningkatan katabolisme protein.
Hormon thyroid mempengaruhi ekspresi gen-gen myosin heavy chain (MHC) baik di otot rangka
12
maupun otot jantung. Namun , efek yang ditimbulkan bersifat kompleks dan kaitannya dengan
miopati masih belum jelas.
Efek Hormon Thyroid dalam Sintesis Protein
Peranan hormon thyroid dalam peningkatan sintesis protein dapat dijelaskan sebagai
berikut: (1) Hormon thyroid memasuki inti sel, kemudian berikatan dengan reseptor hormon
thyroid. (2) Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA dan meningkatkan
transkripsi mRNA serta sintesis protein.
Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Karbohidrat
Hormon thyroid merangsang hampir semua aspek metabolisme karbohidrat, termasuk
ambilan glukosa yang cepat oleh sel-sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan
glukoneogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari traktus gastrointestinalis dan juga
meningkatkan sekresi insulin dengan efek sekunder yang dihasilkan atas metabolisme
karbohidrat.2
Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Kolesterol
Hormon thyroid menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol plasma
turun sebelum kecepatan metabolisme meningkat, yang menunjukkan bahwa efek ini tidak
bergantung pada stimulasi konsumsi O2. Penurunan konsentrasi kolesterol plasma disebabkan
oleh peningkatan pembentukan reseptor LDL di hati, yang menyebabkan peningkatan
penyingkiran kolesterol oleh hati dari sirkulasi.
Efek Hormon Thyroid pada Pertumbuhan
Hormon thyroid penting untuk pertumbuhan dan pematangan tulang yang normal. Pada
anak dengan hipotiroid, pertumbuhan tulang melambat dan penutupan epifisis tertunda. Tanpa
adanya hormon thyroid, sekresi hormon pertumbuhan juga terhambat, dan hormon thyroid
memperkuat efek hormon pertumbuhan pada jaringan.
Pengaturan Sekresi Hormon Thyroid
13
Fungsi thyroid diatur terutama oleh kadar TSH hipofisis dalam darah. Efek spesifik TSH pada
kelenjar thyroid adalah:
Meningkatkan proteolisis tiroglobulin dalam folikel
Meningkatkan aktifitas pompa iodide
Meningkatkan iodinasi tirosin
Meningkatkan ukuran dan aktifitas sel-sel thyroid
Meningkatkan jumlah sel-sel thyroid.
Sekresi TSH meningkat oleh hormon hipotalamus, thyrotropin releasing hormone (TRH) yang
disekresi oleh ujung-ujung saraf pada eminensia media hipotalamus. TRH mempunyai efek
langsung pada sel kelenjar hipofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran TRHnya. Salah
satu rangsang yang paling dikenal untuk meningkatkan kecepatan sekresi TSH oleh hipofisis
anterior adalah pemaparan dengan hawa dingin. Berbagai reaksi emosi juga dapat mempengaruhi
pengeluaran TRH dan TSH sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi sekresi hormon
thyroid. Peningkatan hormon thyroid dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH oleh
hipofisis anterior. Bila kecepatan sekresi hormon thyroid meningkat sekitar 1,75 kali dari
normal, maka kecepatan sekresi TSH akan turun sampai nol. Penekanan sekresi TSH akibat
peningkatan sekresi hormon thyroid terjadi melalui dua jalan, yaitu efek langsung pada hipofisis
anterior sendiri dan efek yang lebih lemah yang bekerja melalui hipotalamus.
2.3 Gangguan Kelenjar Tiroid
14
A. Definisi dan Epidemiologi
Hipertiroid adalah suatu gangguan dimana kelenjar tiroid memproduksi lebih banyak
hormon tiroid yang dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang disebut juga tirotoksikosis. Secara
epidemiologi, 1 persen populasi di Amerika memiliki resiko untuk menderita hipertiroid. Wanita
lebih banyak mengalami kejadian ini dibandingkan dengan pria.
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidsme. Tirotoksikosis
ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidsme
adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperkatif. Apapun sebabnya
manifestasi kliniknya sama, karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T4-inti yang
makin penuh.
B. Etiologi :
1. Gangguan Kalenjer Hipofisis: Adenoma Hipofisis.
Hal ini dikarenakan adanya peningkatan produksi sel di kalenjar hipofisis, sehingga terjadi
peningkatan produksi TSH, akibatnya TSH memicu kalenjar tiroid untuk memproduksi tiroid,
maka produksi tiroid akan meningkat, akibatnya terjadilah umpan balik negatif dimana karena
tingginya tiroid menyebabkan penurunan produksi TSH, tetapi karena terjadi aktivitas sel di
hipofisis karena adenoma umpan balik negatif tidak mampu menurunkan produksi TSH,
sehingga TSH tetap tinggi.
2. Gangguan kalenjar tiroid :
1. Penyakit Grave
Pada penyakit grave sistem imun membuat antibodi yang disebut thyroid stimulating
immunoglobulin (TSI), dimana memiliki struktur yang hampir sama dengan TSH dan
menyebabkan peningkatan hormon tiroid yang lebih banyak dalam tubuh.
2. Nodul Tiroid
Nodul tiroid yang dikenal juga sebagai adenoma adalah benjolan yang terdapat pada
tiroid. Nodul tiroid umumnya bukan suatu keganasan. 3 -7% populasi memiliki resiko
terjadinya nodul tiroid. Nodul dapat menjadi hipereaktif dan menghasilkan banyak
hormon tiroid. Suatu nodul yang hiperaktif disebut adenoma toksik dan apabila
melibatkan banyak nodul yang mengalami hiperaktif disebut sebagai goiter multinodular
15
toksik. Meskipun jarang ditemukan pada orang dewasa goiter multinodular toksik dapat
memproduksi lebih banyak hormon tiroid.
3. Tiroiditis (Inflamasi)
Beberapa jenis tiroiditis dapat menyebabkan hipertiroidisme. Tiroiditis tidak
menyebabkan tiroid untuk menghasilkan hormon berlebihan. Sebaliknya, hal itu
menyebabkan hormon tiroid yang disimpan, bocor keluar dari kelenjar yang meradang
dan meningkatkan kadar hormon dalam darah.
a. Tiroiditis subakut
Kondisi ini berkembang akibat adanya inflamasi pada kelenjar tiroid yang dapat
diakibatkan dari infeksi virus atau bakteri.
b. Tiroiditis postpartum
Tiroiditis post partum diyakini kondisi autoimun dan menyebabkan hipertiroidisme
yang biasanya berlangsung selama 1 sampai 2 bulan. Kondisi ini akan terulang
kembali dengan kehamilan berikutnya.
c. Tiroiditis “silent”
Jenis tiroiditis disebut "silent" karena tidak menimbulkan rasa sakit, seperti tiroiditis
post partum, meskipun tiroid dapat membesar. Seperti tiroiditis post partum, tiroiditis
“silent” mungkin suatu kondisi autoimun.
4. Penggunaan Yodium
Kelenjar tiroid menggunakan yodium untuk membuat hormon tiroid, sehingga jumlah
yodium yang dikonsumsi berpengaruh pada jumlah hormon tiroid yang dihasilkan. Pada
beberapa orang, mengkonsumsi sejumlah besar yodium dapat menyebabkan tiroid untuk
membuat hormon tiroid berlebihan. Kadang-kadang jumlah yodium yang berlebihan
terkandung dalam obat - seperti amiodarone, yang digunakan untuk mengobati masalah
jantung. Beberapa obat batuk juga mengandung banyak yodium.
5. Medikasi berlebihan dengan hormon tiroid (Tiroid Eksogen)
Beberapa orang yang menderita hipotiroid akan mengkonsumsi hormon tiroid lebih
banyak, yang terkadang akan menyebabkan kelebihan hormon tiroid dalam tubuh. Selain
itu, beberapa obat juga dapat meningkatkan sekresi hormon tiroid.
6. Gangguan Non Kelenjar
16
a. Mola Hidantosa (hamil anggur). Pada kondisi ini tubuh menghasilkan HCG yang
berjumlah sangat banyak, dimana HCG dapat meningkatkan aktivitas TSH untuk
memicu kalenjar tiroid untuk memproduksi tiroid.
b. Kanker Ovarium. Sel kanker ovarium bertindak menyerupai tiroid (like tiroid) yang
berefek umpan balik negatif dan dapat berfungsi seperti tiroid di jaringan, akibatnya
walapun kadar tiroid rendah tetapi manifestasi klinik yang ditunjukkan oleh tubuh
ialah manifestasi dari hipertiroid.
C. Patofisiologi Hipertiroid
Hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dibentuk di sel epitel (tirosit) yang
mengelilingi folikel kelenjar tiroid. Pembentukan dan pelepasan T3 dan T4 serta pertumbuhan
kelenjar tiroid dirangsang oleh tirotropin (TSH) dari hipofisis anterior. Pelepasannya selanjutnya
dirangsang oleh TRH dari hipotalamus. Stress dan estrogen akan meningkatkan pelepasan TSH,
sedangkan glukokortikoid, somastotatin, dan dopamine akan menghambatnya.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar
gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein struktural, protein
transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas
fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara
meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion
melalui membran sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap
pertumbuhan. Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan
metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju
metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular
meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan
peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan pernafasan, peningkatan
motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot,
dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain.
D. Diagnosis :
17
Pada hipertiroid diagnosis dapat ditegakkan dengan manifestasi klinis yang ada dan beberapa
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan T3, T4, dan TSH. Manifestasi klinis dari hipertiroid
dapat dilihat berdasarkan indeks Wayne dan New Castle.
Gejala dan tanda hipertiroid tampak pada tabel dalam penilaian dengan indeks Wayne. Hasil dari
penilaian dengan indeks Wayne adalah jika kurang dari 11 maka eutiroid, 11 sampai 18 adalah
normal, dan jika lebih dari 19 adalah hipertiroid.
Gejala Subyektif Angka Gejala Obyektif Ada Tidak
Dispnoe d’effort +1 Tiroid Teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bising tiroid +2 -2
Lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Tahan terhadap
suhu panas-5 Lid Retraction +2 -
Tahan dingin +5 Lid Lag +1 -
Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Nafsu makan
bertambah+3
<80x/menit
80-90 x/menit
- -3
Nafsu makan
berkurang-3
- -
Berat badan naik -3
Berat badan turun +3 >90 xmenit +3 -
Fibrilasi atrium +3 ≥ 20 : hipertiroid
18
Keterangan: Lid Lag adalah palpebra superior tertinggal waktu melirik ke bawah
Tabel 3. Penilaian index Wayne
Sementara itu menurut index New Castle dapat dilihat dari tabel berikut :
Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada pemantauan cukup diperiksa T4
saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama
pada sel tirotrop oleh hormon tiroid, sehingga lamban pulih (lazy pituitary). Untuk memeriksa mata
disamping klinis digunakan alat eksofalmometer Herthl. Karena hormon tiroid berpengaruh terhadap
semua sel/organ maka tanda kliniknya ditemukan pada organ kita.1
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan berikut :
19
Usia Mulai :
15-24 : 0
25-34 : 4
35-44 : 8
45-54 :12
>55 : 16
1. Laboratorium TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila timbul infeksi
pada awal pemakaian obat antitiroid)
2. EKG
3. Foto thoraks
a. Pemeriksaan penunjang :
1. Kadar T4 dan T3 total
Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena peningkatan kadar
TBG oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan kadar T4 total diatas 190
nmol/liter (15 ug/dl) menyokong diagnosis hipertiroidisme.
2. Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)
Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena tidak
dipengaruhi oleh peningkatan kadar TBG. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar
fT4 dan fT3 sedikit menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja
mungkin sudah dapat menunjukkan hipertiroidisme.
3. Indeks T4 bebas (fT4I)
Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid yang
tidak dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari segi
biaya, pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus
dilakukan yaitu kadar fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari
segi diagnostik, pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini.
4. Tes TRH
Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil
dengan gejala samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu
dan penderita harus disuntik TRH dulu.
5. TSH basal sensitif
Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes skrining
penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga
untuk hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan tes ini, maka
tes TRH mulai banyak ditinggalkan.
6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)
20
Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme Grave
hamil. Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :
a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan besar
penderita akan relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak berhasil menekan proses
otoimun.
b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI melewati
plasenta dengan mudah.
E. Penatalaksanaan
Tujuan terapi hipertiroidisme adalah mengurangi sekresi kelenjar tiroid. Sasaran terapi dengan
menekan produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar (dengan yodium radioaktif atau
pengangkatan kelenjar). Adapun penatalaksanaan terapi hipertiroidisme meliputi terapi
nonfarmakologi dan terapi farmakologi.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan:
1. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan maupun dari suplemen.
2. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per hari untuk
mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur.
3. Olah raga secara teratur.
4. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.
a. Obat Antitiroid :
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol
dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama
dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4,
21
dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan
mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan
perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Propylthiouracil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif
dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves. Sedangkan
kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding
PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan,
yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk
mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan
dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis
kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam.
Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari. Methimazole
mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi
dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk
mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor,
cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat (meskipun sedikit) menurunkan kadar T3
melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja
lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50
mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
22
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang
dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih
jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan
penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung
yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium
perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat
tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau
setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran
kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT)
mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan
sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah
angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai
90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pembedahan (Indikasi)
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar.
Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu preoperatif, diberikan larutan
Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi
23
vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat
mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati
Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan,
dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami
tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus
recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu.
Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan
penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek
yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis
seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.
Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat
radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini
(dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan
sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi
didalam kelenjar tiroid.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada
pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa
yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi
terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang
diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang.
Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau
OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis
24
I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam
makanan sehari-hari. Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis, makin besar
dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme. Dengan dosis
I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian
hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
F. Komplikasi
Krisis tiroid merupakan komplikasi hipertiroidisme yang jarang terjadi tetapi berpotensi
fatal. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hipermetabolik yang ditandai oleh demam
tinggi, takikardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam
keadaan stupor atau koma yang disertai dengan hipotensi. Krisis tiroid timbul saat terjadi
dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan
hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling
berat dari tirotoksikosis.
Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel
tubuh. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten melebihi 38,5oC.
Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih.
Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang
melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian
dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular,
seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda
neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien,
tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan goiter.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecurigaan akan terjadi krisis tiroid apabila terdapat trias
krisis tiroid, yaitu menghebatnya tanda tirokotoksikosis, kesadaran menurun, dan hipertermia.
Tatalaksana ?
2.4 Manajemen Preoperatif pada Hipertiroid
25
Keadaan hipertiroid biasanya disebabkan oleh kondisi pembesaran multinoduler diffuse pada
Grave’s disease (yang dihubungkan dengan kelainan pada kulit, mata atau keduanya). Namun, kondisi
dapat muncul juga pada keadaan kehamilan, tiroiditis, adenoma tiroid, koriokarsinoma, atau TSH-
secreting pituitary adenoma seperti yang telah disebutkan di atas. Pada preoperatif, mutlak diatasi
kelainan-kelainan sistemik yang terjadi akibat efek hormon tiroid yang berlebihan. Apabila terdapat diare
yang berat, keadaan dehidrasi harus segera dikoreksi saat preoperatif. Anemia ringan, trombositopenia,
peningkatan enzim alkaline fosfatase, hiperkalsemia, kelemahan otot dan tulang keropos seringkali
muncul pada keadaan hipertiroid. Kelainan pada otot yang ditimbulkan kondisi hipertiroid biasanya
melibatkan otot-otot bagian proksimal dan belum pernah ada laporan kejadian paralisis otot pada otot
pernapasan. Pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun denga kondisi hipertrioid, gejala yang muncul
seringkali terkait dengan efek gangguan dari jantungnya Beberapa tanda yang muncul akibat gangguan
fungsi jantung ini adalah takikardi, irama jantung yang ireguler, fibrilasi atrium (10 %) sampai kepada
gagal jantung.
Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk menurunkan level hormon
tiroid dan memberikan “counter” (perlawanan balik) terhadap tanda dan gejala yang muncul, terutama
yang dapat mengancam jiwa. Penanganan medis hipertiroid menggunakan obat-obatan yang menghambat
sintesis hormon (misalnya : obat propylthioruacil, methimazole) atau obat-obatan yang menghambat
pelepasan hormon (misalnya potasium, sodium iodida), atau obat yang melawan overaktivitas dari
adrenergik seperti propanolol. Meskipun β-adrenergik antagonis tidak mempengaruhi fungsi dari kelenjar
tiroid, obat-obatan ini menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak fungsi sel-
sel kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak direkomendasikan untuk pasien hamil dan dapat menghasilkan
suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total sekarang mulai berkurang penerapannya tetapi tetap
dibutuhkan pada pasien dengan goiter multinodul yang toksik ataupun adenoma toksik soliter.
Preoperatif
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti pasien-pasien lain yang
akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan pada anamnesis serta pemeriksaan fisik maupun
penunjang untuk mengidentifikasi kelainan fungsi tiroidnya. Gejala dan tanda yang harus menjadi
perhatian utama pasien hipertiroid adalah terkait dengan fungsi jantung dan respirasi. Pasien dengan
goiter yang besar memiliki problem potensial terkait dengan jalan napasnya. Sehingga, pada pasien ini,
penilaian jalan napas menjadi hal utama yang harus dinilai dengan cermat. Pasien juga dapat
menunjukkan gejala sumbatan pada vena cava terutama pada kasus goiter retrosternal. Beberapa penilaian
26
lain terhadap jalan napas dapat beruba penilaian jarak tiromental, derajat protrusi gigi bawah,
keterbatasan gerak dari leher dan observasi struktur faring.
Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme jantungnya. Selain itu juga dinilai
gejala-gejala yang berhubungan dengan miopati, manifestasi sistem saraf pusat (misal : kondisi gugup),
tanda-tanda di mata, tanda dehidrasi, maupun adanya kehamilann maupun kehamilan mola. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan di antaranya pemeriksaan EKG, profil darah, tes fungsi pembekuan
darah, CT scan leher, foto rontgen dada (terutama pada pasien goiter). Pasien juga harus dinilai apakah
akan menjalani pembedahan elektif atau pembedahan emergency.
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk tindakan tiroidektomi
subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami keadaan klinis dan kimiawi yang “eutiroid”. Penilaian
preoperatif harus termasuk penilaian terhadap fungsi tiroid. Nadi isitirahat yang direkomendasikan adalah
85 kali/menit. Benzodizepin adalah pilihan yang baik untuk sedasi preoperatif. Meski demikian, beberapa
berpendapat bahwa pemberian sedasi yang berlebihan tidak dianjurkan terutama pada pasien yang
memiliki goiter yang besar yang mengganggu airway. Preparasi cepat dibutuhkan untuk pasien yang akan
menjalani pembedahan darurat. Preparasi cepat ini dilakukan dengan memberikan kombinasi beta-bloker,
kortikosteroid, thionamid, iodium dan asam iopanoic (mengandung iodium dan penghambat pelepasan
hormon tiroid).
Obat antitiroid dan antagonis β-adrenergik dilanjutkan sampai pagi hari operasi. Pemberian
Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting karena kedua obat ini memiliki waktu paruh yag
pendek. Apabila akan dilakukan pembedahan darurat (emergency), sirkulasi yang hiperdinamik dapat
dikontrol dengan menggunakan titrasi esmolol (Morgan, 2006).
Obat antagonis β-adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol denyut jantung. Akan tetapi,
obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan ulang pemberiannya untuk pasien-pasien dengan kondisi
gagal jantung kongestif (CHF). Meski demikian, menurunkan denyut jantung dapat meningkatkan fungsi
pompa jantung itu sendiri. Kemudian, pasien hipertiroid yang memiliki laju ventrikel yang cepat dan
dalam kondisi CHF serta membutuhkan pembedahan segera, dapat diberikan esmolol. Jika dosis kecil
esmolol (50 μg/kg) yang diberikan tidak memperparah kondisi gagal jantung yang telah ada, dapat
diberikan esmolol tambahan.
Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat pada pasien yang
memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi secara baik, karena keadaan eksoftalmus pada
27
penyakit Grave’s meningkatkan resiko abrasi kornea sampai dengan ulserasi. Ketamin, pancuronium,
agonis adrenergik dan obat-obat lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya
kemungkinan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Thiopental dapat menjadi obat induksi
pilihan di mana obat ini memiliki efek antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi
hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi rentan untuk mengalami respon hipotensi selama induksi
anestesi.
Kedalaman anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau stimulasi
pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel. Pemberian agen blok
neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati, karena keadaan tirotoksikosis seringkali
berhubungan dengan peningkatan insiden miopati dan miastenia gravis. Hipertiroid tidak meningkatkan
kebutuhan anestesia seperti tidak berubahnya minimum alveolar concetration. Meski demikian, terkadang
kebutuhan dosis anestesi intravena diperlukan. Untuk menumpulkan respon hemodinamik saat melakukan
intubasi dapat diberikan lidokain, fentanyl atau kombinasi keduanya yang diberikan sebelum intubasi.
Pasien dengan goiter yang besar dan mengalami obstruksi jalan napas dikelola seperti pasien-pasien lain
yang mengalami gangguan jalan napas. Kesulitan intubasi meningkat kejadiannya pada pasien dengan
goiter. Induksi inhalasi atau intubasi sadar dengan fiberoptik dapat dipertimbangkan apabila ada bukti
obstruksi jalan napas ataupun deviasi maupun penyempitan.
Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk mencapai kedalaman
anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang mencegah peningkatan respon sistem saraf pusat
terhadap stimulasi pembedahan. Apabila menggunakan anestesi regional, epinefrin tidak boleh
ditambahkan pada larutan anestesi lokal.
Postoperatif
Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah badai tiroid (thyroid
storm), yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan kesadaran (agitasi, delirium, koma) dan
hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-24 jam setelah pembedahan tetapi dapat muncul intraoperatif,
menyerupai hipertermi maligna. Tidak seperti hipertermi maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan
rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, atau keadaan asidosis metabolik maupun respiratorik.
Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau propanolol
intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung < 100/menit), propylthioruacil (250-500 mg
tiap 6 jam secara oral maupun dengan nasograstric tube) diikuti sodium iodida (1g intravena dalam 12
28
jam) dan koreksi faktor yang mempresitipasi (misal: infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam)
direkomendasikan untuk mencegah komplikasi supresi kelenjar adrenal yang muncul.
Tiroidektomi subtotal dihubungkan dengan beberapa komplikasi pembedahan. Cedera pada
nervus reccurent laryngeal akan berakibat pada suara serak (jika unilateral) atau afonia dan stridor
(bilateral). Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi segera setelah ekstubasi dalam,
meskipun hal ini jarang diperlukan. Kegagalan gerak dari satu atau dua pita suara memerlukan intubasi
dan eksplorasi luka. Formasi hematom dapat menyebabkan airway compromise dari kolapsnya trakhea
pada pasien dengan trakheomalasia. Hipoparatiroid dari terpotongnya kelenjar paratiroid yang tidak
disengaja dapat menyebabkan hipokalsemia dalam 12-72 jam. Pasien yang menjalani subtotal
tiroidektomi juga beresiko mengalami hipotiroid paska pembedahan dengan insidensi sebanyak 60%.
Sedangkan untuk pasien yang menjalani total tiroidektomi, sebagian besar akan mengalami hipotiroid
paska pembedahan.
Hipotiroid
A. Definisi Hipotiroidisme adalah kumpulan sindroma yang disebabkan oleh konsentrasi hormon tiroid yang rendah sehingga mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh secara umum. Kejadian hipotiroidisme sangat bervariasi , dipengaruhi oleh faktor geografik dan lingkungan seperti asupan iodium dan goitrogen, predisposisi genetik dan usia. Hipotiroidisme merupakan suatu sindroma klinis akibat penurunan produksi dan sekresi hormon tiroid. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh dan penurunan glukosaminoglikan di interstisial terutama dikulit dan otot.
B. Etiologi Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan menjadi hipotiroidisme primer, sekunder, tersier, serta resistensi jaringan tubuh terhadap hormon tiroid. Hipotiroidisme primer terjadi akibat kegagalan tiroid memproduksi hormon tiroid, sedangkan hipotiroidisme sekunder adalah akibat defisiensi hormon TSH yang dihasilkan oleh hipofisis. Hipotiroidisme tersier disebabkan oleh defisiensi TRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Penyebab terbanyak hipotiroidisme adalah akibat kegagalan produksi hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme primer).
29
Tabel Etiologi Hipotiroid C. Gejala Klinis
Spektrum gambaran klinik hipotiroidisme sangat lebar, mulai dari keluhan cepat lelah atau mudah lupa sampai gangguan kesadaran berat (koma miksedema). Dewasa ini sangat jarang ditemukan kasus-kasus dengan koma miksedema. Gejala yang sering dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan dingin, berat badan naik, konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot
30
Tabel Gejala Klinis Hipotiroidisme berdasarkan sistem organ.
Koma miksedema merupakan salah satu keadaan klinis hipotiroidisme yang jarang dijumpai dan merupakan merupakan keadaan yang kritis dan mengancam jiwa.Terjadi pada pasien yang lama menderita hipotiroidisme berat tanpa pengobatan sehingga suatu saat mekanisme adaptasi tidak dapat lagi mempertahankan homeostasis tubuh. Koma miksedema ditegakkan dengan :
Tanda dan gejala klinis keadaan hipotiroidisme dekompensata. Perubahan mental, letargi, tidur berkepanjangan (20 jam atau lebih). Defek termoregulasi, hipotermia. Terdapat faktor presipitasi : kedinginan, infeksi, obat-obatan (diuretik,
tranguilizer, sedatif, analgetik), trauma, stroke, gagal jantung, perdarahan saluran cerna.
D. DiagnosisTerdapat tiga pegangan klinis untuk mencurigai adanya hipotiroidisme, yaitu apabila ditemukan :
Klinis keluhan-keluhan dan gejala fisik akibat defisiensi hormon tiroid. Tanda-tanda adanya keterpaparan atau defisiensi, pengobatan ataupun etiologi
dan resiko penyakit yang dapat menjurus pada kegagalan tiroid atau hipofisis
31
Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit tiroiditis autoimun kronis.
Kegagalan produksi hormon tiroid menyebabkan penurunan kadar T4 serum, sedangkan penurunan kadar T3 baru terjadi pada hipotiroidisme berat. Pada hipotiroidisme primer ditemukan penurunan kadar T4 sedangkan TSH serum meningkat. Pada hipotiroidisme sentral , disamping kadar T4 serum rendah, terdapat kadar TSH yang rendah atau normal. Untuk membedakan hipotiroidisme sekunder dengan tersier diperlukan pemeriksaan TRH. Diagnosis hipotiroidisme dipastikan oleh adanya peningkatan kadar TSH serum. Apabila kadar TSH meningkat akan tetapi kadar FT4 normal, keadaan itu disebut hipotiroidisme sub klinik . Biasanya peningkatan kadar TSH pada hipotiroidisme subklinik berkisar antara 5-10 mU/L sehingga disebut juga hipotiroidisme ringan. Kadar T3 biasanya dalam batas normal sehingga pemeriksaan kadar T3 serum tidak membantu untuk menegakkan diagnosis hipotiroidisme.
32
Pengaruh Hipotiroidisme pada berbagai organ pada periode Perioperatif 1. Pengaruh Hipotiroidisme pada sistem Kardiovaskular
Efek terhadap curah jantung: Denyut jantung dan isi sekuncup yang berkurang menyebabkan penurunan curah jantung 30% sampai 50% volume normal. Pemanjangan waktu preejeksi dan pemendekan waktu ejeksi dari ventrikel kiri berhubungan langsung dengan tingkat keparahan dari hipotiroidisme. Pada beberapa kasus hipotiroidisme terdapat peningkatan waktu preejeksi 40% dan penurunan waktu ejeksi 60%. Perubahan ini mungkin sangat penting bagi pasien bedah dengan beberapa derajat gagal jantung yang sudah ada sebelumnya. Gangguan hemodinamik menyebabkan tekanan nadi sempit, waktu sirkulasi memanjang dan berkurangnya volume darah ke perifer sehingga kulit terasa dingin, pucat dan sangat sensitif pada kedinginan
Perubahan molekuler: Perubahan molekuler yang mendasari terjadinya kelainan kardiovaskuler pada hipotiroidisme adalah terdapatnya gangguan penyerapan kalsium pada retikulum sitoplasmik dan penekanan aktivitas dari myosin ATP-ase yang memberikan pengaruh terhadap kontraktilitas miokard. Adanya penurunan penyerapan kalsium dan aktivitas hidrolisis ATP terhadap kalsium ditingkat retikulum sitoplasmik dan penurunan reseptor β adrenergik akan menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard.
Gambaran EKG: Ada beberapa kelainan elektrokardiografi dapat ditemukan pada keadaan hipotiroidisme, khususnya pada waktu perioperatif. Bradikardi merupakan gambaran EKG yang paling sering ditemukan pada hipotiroidisme. Disamping itu dapat juga ditemukan gambaran low voltage, PR interval memanjang, adanya pemanjangan gelombang P dan kompleks QRS, dan juga adanya perubahan ST yang tidak spesifik. Tapi kekurangan hormon tiroid bukan satu-satunya penyebab gangguan irama dan perubahan EKG, sehingga kecurigaan adanya penyebab hipotiroidisme yang lain harus dicari, terutama pada pasien dengan riwayat sakit jantung yang sedang menjalani tindakan bedah. Hipotiroidisme yang lama biasanya menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan gangguan terhadap faktor koagulasi. Hal ini dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kardiovaskuler seperti infark miokard atau kelainan serebrovaskular pada waktu perioperatif.
33
2. Pengaruh Hipotioidisme pada Sistem Pernapasan Beberapa kelainan pada fungsi pernapasan pasien hipotiroidisme yaitu adanya
penurunan kapasitas pernafasan maksimal dan kemampuan untuk menyebarkan karbon monoksida. Kemampuan untuk mengatasi keadaan hipoksia ventilasi pada hipotiroidisme sangat rendah, dan pengendalian terhadap hiperkapnia ventilasi juga sangat sering terganggu. Satu dari banyak faktor yang terlibat sebagai penyebab gangguan fungsi pernafasan adalah adanya kelemahan otot pernapasan. Gangguan fungsi otot pernafasan ini merupakan hasil dari perubahan intrinsik (seperti yang disebabkan oleh ekspresi gen yang berubah dari produk gen dalam sel-sel otot) dan disfungsi dari saraf frenikus.
Efek langsung dari hipotiroidisme terhadap fungsi paru tidak ada. Hormon ini mempengaruhi produksi surfaktan oleh sel pneumocytes tipe II. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan paru dan perburukan fungsi paru.
3. Pengaruh Hipotiroidisme pada Fungsi Ginjal Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan volume plasma
pada hipotiroidisme. Diantaranya yaitu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan terjadinya masuknya air dan albumin ke dalam ruang interstisial. Faktor lainnya adalah pengendapan glukosaminoglikan dalam jaringan interstisial (yang menyebabkan terjadinya edema nonpitting) sehingga molekul-molekul besar yang
34
memiliki efek osmotik dapat menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga akan menurunkan volume plasma efektif. Efek hipotiroidisme pada fungsi ginjal yaitu terdapatnya penurunan perfusi ginjal, peningkatan hormon antidiuretik (ADH), penurunan faktor natriuretik atrium (ANF), dan penurunan aktifitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.
4. Pengaruh Hipotiroidisme pada Sistem Hemapoetik dan Koagulasi. Sekitar 25% sampai 50% dari keadaan hipotiroidisme ditemukan adanya anemia.
Biasanya jenis anemianya normositik normokrom dan memiliki cadangan besi yang normal, dengan sumsum tulang yang hiposeluler dengan diferensiasi sel darah merah yang normal. Pasien hipotiroidisme cendrung mudah berdarah, mengalami menorragia, waktu perdarahan yang memanjang pada ekstraksi gigi. Gangguan hemostasis paling sering berupa pemanjangan waktu perdarahan, faktor Von Willebrand yang rendah. Keadaan ini dapat diterapi dengan pemberian desmopresin karena dapat merangsang pelepasan faktor VIII dari sel endotel dan trombosit.
5. Pengaruh Hipotiroidisme pada Sistem Pencernaan Terdapat adanya kesulitan dalam penanganan pasca operasi pada hipotiroidisme
dengan disfungsi gastrointestinal bagian atas. Penurunan motilitas gastrointestinal atau bahkan ileus merupakan komplikasi pembedahan yang sering ditemukan, terutama setelah tindakan operatif pada daerah abdomen. Hipotiroidisme dapat mengalami konstipasi kronik, atoni dan hipomotiliti dari saluran gastrointestinal yang dapat berlanjut menjadi ileus paralitik atau “ ileus Miksedema”. Distensi yang berat dari bagian lain di saluran pencernaan (misalnya, kerongkongan, perut, dan duodenum) juga bisa terjadi. Sangat mungkin efek pembedahan pada hipotiroidisme dapat memperburuk komplikasi dan hasil akhir pembedahan dengan meningkatnya morbiditas atau bahkan mortalitas.
Pengaruh Operasi terhadap Parameter Tiroid
Tidak hanya hipotiroidisme yang memiliki efek yang berbeda terhadap parameter pembedahan, tetapi juga sebaliknya. Stres pada pembedahan mempunyai efek langsung pada tiroid dengan ditandai perubahan konsentrasi TSH, T4 dan T3. Hipotiroidisme yang menjalani operasi akan bermanifestasi euthyroid sick sindrome (ESS). Total T3 akan turun pada 30 menit setelah induksi anestesi dan akan tetap rendah sekurangnya 24 jam pertama setelah operasi. FT3 dan FT4 juga ditemukan sedikit menurun sesudah operasi. Observasi terhadap perubahan T4 total serum akan bervariasi tergantung pada jenis anestesi yang digunakan, yang meningkat dengan penggunaan anestesi umum, sedangkan sedikit penurunan T4 pada penggunaan anestesi epidural. Reverse T3 (RT3) serum tidak berubah di awal operasi, tetapi kemudian nilainya biasanya meningkat dan tetap tinggi sampai hari keempat atau kelima sesudah operasi. Konsentrasi TSH serum tidak berubah, kecuali bila dilakukan induksi pada keadaan hipotermi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prosedur Operasi
35
Beberapa risiko yang berhubungan dengan prosedur operasi pada pasien dengan hipotiroidisme adalah sebagai berikut :
Pemberian obat-obat premedikasi dan anestesi:
Akibat adanya gangguan metabolisme dan bersihan obat dihati dan ginjal, pasien dengan hipotiroidisme memiliki sensitivitas yang meningkat terhadap obat-obatan (anestesi, perioperatif).
Periode pemulihan kesadaran memanjang, penekanan fungsi respirasi dan fase hipotensi yang juga memanjang.
Intraoperatif: Adanya kelainan jantung memprediksi timbulnya risiko hipotensi dan gagal jantung lebih sering.
Mengatasi infeksi: Jarangnya gejala demam mengakibatkan diagnosis terlambat dan pemberian terapi untuk infeksi yang juga terlambat.
4.1 Evaluasi praoperatif
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada anamnesis perlu digali apakah hipotiroidisme baru dikenal atau sudah dalam terapi. Untuk pasien yang mendapatkan suplementasi hormon tiroid, pemakaian obat-obatan seperti kolestiramin, besi, preparat almunium, kalsium dan karbamazepin dapat menurunkan absorbsi hormon tiroid. Pemakaian preparat iodine dan kontras yang mengandung iodine dapat memperburuk hipotiroidisme.
Pemeriksaan penunjang
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan hormon tiroid yang didapatkan kita dapat menentukan apakah pasien masuk dalam keadaan hipotiroidisme ringan, sedang atau berat. Pemeriksaan penunjang lain untuk melihat pengaruh hipotiroidisme pada beberapa organ meliputi pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan elektrokardiografi.
4.2 Penatalaksanaan praoperatif
Pada pasien yang sudah mendapatkan suplementasi levotiroksin sebelumnya, dilakukan penilaian status fungsional tiroidnya. Selain dapat diketahui dari anamnesa dan pemeriksaan fisik , dapat pula dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pada pasien yang baru dicurigai adanya hipotiroidisme pada saat praoperasi, maka dilakukan pemeriksaan konsentrasi FT4 dan TSH, juga perlu ditentukan apakah hipotiroidismenya tersebut ringan, sedang atau berat. Pada hipotiroidisme yang berat, ditandai adanya koma miksedema, gangguan status mental, gagal jantung atau konsentrasi hormon tiroksin yang sangat rendah, maka sebaiknya operasi ditunda sampai kondisi hipotiroidisme beratnya teratasi.
36
1.Terapi levotiroksin oral pada hipotiroidisme ringan dan sedang
Levotiroksin merupakan obat pilihan untuk pengobatan hipotiroidisme. Levotiroksin bertindak sebagai reservoir untuk hormon tiroid aktif (T3). Terapi hipotiroidisme dengan levotiroksin bertujuan untuk menghilangkan gejala klinis serta mencapai atau mempertahankan kadar TSH pada paruh bawah rentang kadar TSH normal atau sekitar 0,4-2,5 mU/L. Namun bila pasien telah merasa nyaman dengan kadar TSH pada paruh atas rentang kadar TSH normal, dosis levotiroksin dapat dilanjutkan. Secara umum dengan dosis levotiroksin 1,6 gr/kgBB/hari (100-125 mg/hari) dapat mencapai keadaan yang eutiroid. Terapi levotiroksin dapat diberikan langsung dari awal dengan dosis penuh.Setelah perawatan levotiroksin dimulai, dosis harus disesuaikan setiap 4-8 minggu sampai pasien menjadi eutiroid. Tujuan terapi tergantung pada situasi klinis.
Pemberian dosis levotiroksin dosis pengganti harus berhati-hati pada pasien hipotiroidisme usia lanjut (> 60 tahun) atau pada pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik. Pada keadaan tersebut pemberian dosis levotiroksin dimulai dengan dosis kecil (12,5 atau 25 mg/hari) yang dapat ditingkatkan tiap 3-6 minggu sampai tercapai keadaan eutiroid (start low go slow). Dengan cara terapi tersebut ukuran-ukuran membaiknya fungsi tiroid dan kardiovaskuler dapat diprediksi.
Pemberian terapi levotiroksin oral ini dianjurkan pada keadaan preoperatif hipotiroidisme ringan atau sedang yang masih dapat ditunda tindakan operatif sampai keadaan pasien menjadi eutiroid. Dalam beberapa situasi, triiodotironin diberikan untuk jangka pendek untuk mengurangi gejala hipotiroidisme sementara terapi levotiroksin mencapai keadaan yang stabil. Strategi pengobatan ini akan dipertimbangkan untuk pasien yang baru saja menjalani total tiroidektomi. Pasien sering sangat hipotiroidisme setelah operasi tiroid (6 sampai 8 minggu). Dosis awalnya berkisar 10-25 µg, diberikan 2 kali sehari. Setelah 2 sampai 3 minggu perawatan, dosis bisa dikurangi dan dihentikan dalam waktu 4 – 6 minggu setelah levotiroksin mengambil alih. Pemberian triiodotironin oral akan diabsorbsi 100% , dan merupakan bentuk biologis yang paling aktif (5 kali lebih aktif dari pada T4). Puncak dari konsentrasi T3 ini didapat setelah 2-4 jam sesudah pemberian oral. Sedangkan pemberian dosis kecil 20 µg ini akan meningkatkan kadar konsentrasi T3 untuk berpenetrasi 6-8 jam dengan kecepatan distribusi yang lambat. Untuk tindakan operasi emergensi dapat diberikan triiodotironin atau levotiroksin intravena bersamaan dengan pemberian glukokortikoid intravena.
2. Terapi hormon tiroid parenteral pada pasien hipotiroidisme berat atau pada operasi emergensi
Pasien hipotiroidisme mungkin memerlukan jalur alternatif yang lain untuk memasukkan levotiroksin untuk mengembalikan ke keadaan eutiroid pada waktu perioperatif. Karena penyerapan levotiroksin oral tidak sesempurna intravena, maka dosis levotiroksin intravena harus dikurangi sekitar 20% sampai 40%. Pada pasien dengan hipotiroidisme berat namun memerlukan tindakan operasi segera, maka diberikan suplementasi levotiroksin dan steroid intravena. Awalnya dosis levotiroksin intravena diberikan loading dose 300-400 µg dilanjutkan
37
50 µg perhari. Sayangnya preparat levotiroksin intravena belum tersedia di Indonesia. Keadaan koma miksedema yang akan menjalani operasi emergensi dapat diberikan triiodotironin intravena dengan dosis 10-25 µg atau 5 µg pada usia tua dengan penyakit jantung koroner, diikuti dengan bolus levotiroksin dengan dosis 200-400 µg. Pemberian triiodotironin ini dapat diulang pada 8 jam dan 16 jam setelah pemberian yang pertama dengan dosis yang sama bila tidak terdapat adanya perbaikan, atau pemberian triiodotironin ini dapat diulang setiap 8 jam. Sedangkan pemberian levotiroksin dapat dilanjutkan dengan dosis 100 µg perhari.
Pemberian triiodotironin ini dipertimbangkan karena setelah pemberian obat anestesi inhalasi atau intravena dapat menurunkan kadar T3 plasma. Penurunan kadar T3 ini dimulai 30 menit setelah pemasukan obat anestesi dan kecepatan penurunannya menjadi melambat setelah 24 jam pertama setelah anestesi. Dan mulai terjadi peningkatan konsentrasi T3 ini setelah hari ke 7 setelah anestesi.
Evaluasi pasca operatif
Beberapa kondisi seperti dibawah ini dapat menjadi pertimbangan adanya kemungkinan hipotiroidisme yang tidak terdiagnosis pada pasien pasca operasi yaitu :
Terdapat kesulitan untuk melakukan proses penghentian dari penggunaan ventilator. Ileus yang tidak dapat dijelaskan. Gagal jantung. Pada pasien yang belum bisa makan peroral pasca operasi, penundaan levothyroxin relatif
aman mengingat waktu paruhnya yang panjang (± 7 hari).
38
Anestesi pada Pembedahan Tiroid
Penilaian Preoperatif
Penilaian Preoperatif dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
berkaitan dengan kelenjar tiroid, serta efek metabolik tiroid seperti hipertiroid ataupun hipotiroid
seperti yang telah dijelaskan di atas. Pembedahan elektif harus ditunda sampai pasien eutiroid.
Pada hari operasi, obat antitiroid biasanya harus diberikan kecuali untuk Carbimazole karena
meningkatkan vaskularisasi kelenjar. Benzodiazepin dapat diberikan untuk anxiolysis tetapi
harus dihindari jika ada kekhawatiran gangguan napas. Antikolinergik dapat membantu untuk
mengeringkan sekresi.
Pada pembedahan darurat, tidak mungkin untuk membuat pasien-pasien dengan penyakit
tiroid yang tidak terkontrol menjadi penyakit euthyroid. Dalam keadaan ini, pasien hipertiroid
dapat diberikan beta blocker (misalnya propanolol, esmolol), hidrasi intravena dan pendinginan
aktif jika perlu. Pasien hipotiroid yang parah akan beresiko koma myxedema pada periode
perioperatif dan harus ditangani dengan T3 dan T4 intravena.
Manajemen Intraoperatif
Secara historis operasi tiroid dilakukan dengan anestesi lokal. Anestesi umum sekarang
merupakan teknik yang lebih baik tetapi teknik anestesi regional masih memiliki tempat baik
sebagai teknik tunggal dengan atau tanpa sedasi atau bersama anestesi umum untuk
meningkatkan analgesia.
Anestesi Regional
Teknik yang umum digunakan adalah blok bilateral pleksus superfisial servikal C2-C4,
dilakukan dalam kesadaran penuh dengan atau tanpa sedasi. Sedasi sadar dapat dicapai melalui
penambahan midazolam. Blok pleksus servikal bilateral memiliki insidensi komplikasi yang
lebih tinggi karena terdapat arteri vertebralis, bisa terjadi injeksi subdural, dan terutama
kelumpuhan saraf frenikus bilateral.
Saraf menyuplai bagian anterolateral leher yang muncul dari batas posterior dari
sternocleidomastoid (SCM) sebagai rami anterior C2-C4, yang dibagi menjadi segmen
aurikularis, servikal melintang, oksipital dan saraf supraklavikular.
39
Gambar 1 : Blok Pleksus Servikal Superfisial
Untuk melakukan blok pleksus servikal superfisial, pasien harus diposisikan dengan
kepala diekstensikan ke sisi yang berlawanan dari kelenjar tiroid yang akan dibedah, titik tengah
posterior SCM harus terlihat. 15-20 mg anestesi lokal (misalnya lidokain dan atau bupivakain
dengan adrenalin) disuntikkan di area dalam lapisan fasia pertama ke arah caudal dan cranial
sepanjang perbatasan posterior SCM. Untuk tiroidektomi, blok bilateral harus dilakukan. Dapat
dilakukan blok area garis tengah dengan injeksi subkutan dari kartilago tiroid sampai pada
derajat suprasternal Hal ini erguna untuk mencegah rasa sakit akibat retraktor bedah pada bagian
medial leher.
Anestesi regional ini menghindari risiko yang mungkin terjadi pada anestesi umum serta
memungkinkan pemantauan suara intraoperative. Teknik ini cocok untuk pasien medis dengan
tirotoksikosis rumit atau yang dengan gejala obstruktif sekunder akibat gondok besar untuk
menghindari resiko anestesi umum. Komplikasi teknik ini termasuk toksisitas pembiusan lokal,
hematoma, pneumotoraks, dan kerugiannya adalah memerlukan kerja sama pasien sangat baik.
Anestesi Umum
Berbagai teknik dapat digunakan untuk anestesi umum. Pasien dapat diberikan induksi intravena
dan intubasi. Dianjurkan dilakukan ventilasi manual sebelum memberikan relaksan otot non-
depolarising. Perlu dilakuakn pengawasan untuk menghindari overinflating manset pengunci ET
(atau menggunakan manset manometer) untuk meminimalkan komplikasi pada trakea. Pita suara
dapat disemprotkan dengan lidokain sebelum intubasi, yang dapat membantu
40
mengurangi batuk. Jika ada keluhan mengenai patensi jalan napas atau anatomi terganggu
alternatif pilihan harus dipertimbangkan.
1. Induksi inhalasi. Teknik ini termasuk pre oksigenasi yang baik dan induksi secara bertahap
dengan Sevoflurane.
2. Jika ada kekhawatiran mengenai hambatan jalan napas saat induksi, dapat digunakan
intubasi fibreoptic
3. Jika salah satu pilihan tersebut tidak cocok, dilakukan trakeostomi dengan anestesi lokal
oleh dokter bedah.
4. Ventilasi melalui bronkoskopi kaku dapat digunakan jika dengan endotrakel tube gagal atau
jika ada kompresi trakea subglotis.
5. Laryngeal Mask Airway (LMA) dapat digunakan untuk pembedahan tiroid tetapi harus
dihindari pada mereka dengan gangguan jalan napas atau gangguan anatomi. Penggunaan
dari LMA memiliki keuntungan yang memungkinkan penilaian pita suara secara
intraoperatif melalui lingkup fibreoptic dengan stimulasi dari saraf laring berulang.
Intravena atau agen inhalasi dapat digunakan untuk maintenance selama anestesi.
Pengaturan posisi untuk akses bedah yang optimal adalah kepala diekstensikan penuh dan
diganjal dengan bantal bentuk cincin diantara scapulae. Mata harus cukup nyaman terutama pada
penderita eksophtalmos. Lengan pasien diekstensikan pada sisi pasien.
Pertimbangan Post Operatif
Perdarahan
Perdarahan pascaoperasi dapat menyebabkan kompresi dan obstruksi saluran napas yang cepat.
Tanda-tanda pembengkakan atau pembentukan hematoma yang melibatkan jalan napas pasien
harus segera didekompresi
Edema Laryngeal
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi trakea traumatik atau akibat hematoma yang
dapat menyebabkan obstruksi drainase vena. Hal ini biasanya dapat diatasi dengan steroid.
Kelumpuhan Nervus Laryngeal Berulang
41
Trauma pada saraf laring yang berulang dapat disebabkan oleh iskemia, traksi, nervus melintang
selama operasi dan dapat unilateral atau bilateral. Kelumpuhan pita suara unilateral ditandai
dengan kesulitan pernapasan, suara serak atau kesulitan dalam fonasi sementara bilateral akan
menghasilkan adduksi lengkap dari pita suara dan menyebabkan stridor. RLN palsy bilateral
membutuhkan reintubasi segera dan pasien selanjutnya mungkin perlu trakeostomi.
Hipocalcemia
Trauma tidak disengaja ke kelenjar paratiroid dapat menyebabkan hipokalsemia sementara.
Hipokalsemia permanen jarang. Tanda-tanda hipokalsemia mungkin termasuk kebingungan,
berkedut dan tetany. Penggantian kalsium harus dilakukan segera karena hipokalsemia dapat
memicu layngospasm, iritabilitas jantung, perpanjangan QT dan aritmia.
Tracheomalacia
Kemungkinan tracheomalacia harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kompresi
trakea oleh gondok besar atau tumor
Badai Tiroid
Hal ini dikarakteristikkan oleh hiperpireksia, takikardia, kesadaran berubah dan hipotensi. Hal ini
adalah keadaan darurat medis
42
Recommended