FARINGITIS TUBERCULOSIS
Oleh :
Fitria Isma, S.Ked
07700101
Pembimbing :
dr. Kartiko H. Odi, Sp.THT
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER MUDA
LAB/SMF ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD IBNU SINA GRESIK
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Banyak anak-anak dan orang dewasa mengalami 3-5 kali infeksi
virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini
viral faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah.
National Ambulatory Medical Care Survey menunjukkan ±200 kunjungan ke
dokter tiap 1000 populasi antara tahun 1980-1996 adalah karena viral faringitis.(1)
Faringitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan dinding
faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, trauma, toksin dan lain-
lain. Jaringan yang mungkin terlibat antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring,
tonsil dan adenoid. Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang
yang menderita faringitis. Faktor risiko penyebab faringitis yaitu udara yang
dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan.(1)
Tuberkulosis masih merupakan penyakit yang sangat luas didapat
dinegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Tuberkulosis dibagi menjadi
tuberkulosis primer dan tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis primer merupakan
infeksi pertama dari tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis sekunder adalah infeksi
yang terjadi akibat adanya penyebaran dari kuman penyebab tuberkulosis primer
ke tempat yang lain melalui aliran darah atau kelenjar getah bening. Faringitis
1
tuberkulosis biasanya merupakan proses sekunder tuberkulosis paru, kecuali bila
infeksi disebabkan oleh kuman tahan asam jenis bovinum.(1)
Faringitis tuberkulosis ini merupakan kasus yang jarang terdiagnosis atau
diagnosis sering dilupakan, bahkan sering dikelirukan dengan penyakit lain seperti
dan infeksi jamur. Faringitis Tuberkulosis umumnya mengikuti tuberkulosis paru,
sedangkan kejadian tuberkulosis paru masih tinggi (1).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik dan sistemik yang
disebabkan oleh Mikrobakterium dan cara penyebarannya kedalam tubuh melalui
saluran nafas, getah bening, pencernaan atau langsung menyerang organ tubuh (1).
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk menangani kaus ini, namun belum
memberikan hasil yang diharapkan, terbukti bahwa dari satu milyar manusia yang
terinfeksi, 8 juta merupakan kasus baru, dan 3 juta terjadi kematian tiap
tahunnya(1)
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Faringitis tuberkulosis adalah infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman
mikrobakterium tuberkulosa dan merupakan akibat dari tuberkulosis paru.
2.2 Anatomi
Untuk keperluan klinis dibagi menjadi tiga bagian utama : nasofaring,
orofaring dan laringofaring atau hipofaring.(2)
Gambar 1. Anatomi Nasofaring, Orofaring dan Hypoparing
3
a. Nasofaring
Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari
nasofaring ini antara lain :
- batas atas : Basis Kranii
- batas bawah : Palatum mole
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang
erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting yaitu :
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus
faringeus, yang dikenal sebagai fasa Rosenmuller.
3. Tonus tubarius ; refleksi mukosa jaringan diatas kartilago saluran tuba
eustacius yang berbentuk bulat dan menunjan, tampak sebagai tonjolan
seperti ibu jari kedinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum
mole.
4. Koana posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh
saraf kranial glosofaringeus, vagus dan asesorius spinalis.
6. Struktur pembuluh darah yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari
4
oksipital dan arteri faringeal asenden dan foramen hipoglosus yang dilalui
saraf hipoglosus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sphenoid.(2)
b. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu : 3,4
- batas atas : palatum mole
- batas bawah : tepi atas epiglottis
- batas depan : rongga mulut
- batas belakang : vertebra servikalis
Orofaring termasuk cincin jaringan limfoid sirkumferensial yang disebut cincin
Waldeyer. Komponennya adalah jaringan adenoid, tonsila palatina, tonsila
lingual dan folikel limfoid pada dinding posterior faring. Adenoid struktur
limfoidnya tersusun dalam lipatan. Tonsila palatina struktur limfoidnya adalah
sistem kripta. Kripta-kripta ini lebih berlekuk pada kutub atas tonsila, sehingga
menjadi mudah tersumbat oleh partikel makanan, mucus sel epitel yang
terlepas, leukosit dan bakteri. Kripta merupakan tempat utama pertumbuhan
bakteri patogen. Selama peradangan akut, kripta dapat terisi dengan koagulan
yang menyebabkan gambaran folikular yang khas pada permukaan tonsil.
5
Tonsila lingualis mempunyai kripta-kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk-
lekuk.(2)
c. Hipofaring
Laringofaring disebut juga hipofaring dan terletak di bawah setelah orofaring.
Dengan batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu : 3,4
- batas atas : epiglotis
- batas depan : laring
- batas bawah : esofagus
- batas belakang : vertebra servikalis
Epiglotis bertindak sebagai pembagi antara orofaring dan hipofaring.
Hipofaring terdiri dari sinus piriformis, dinding faring posterior dan kartilago
post krikoid berbentuk corong.(2)
2.3 Etiologi dan Penularan
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis dan mycobacterium bovis. Mycobacterium
6
tuberkulosis ditemukan oleh Robert Kock dalam tahun 1882. Basil tuberkulosis
dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi
dalam cairan pada suhu 60oC mati dalam 15 – 20 menit. Fraksi protein basil
tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan
sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan
terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil tuberkulosis tidak membentuk
toksin (baik endotoksin maupun eksotoksin).(3)
Penularan mycobacterium tuberkulosis biasanya melalui udara, hingga
sebagian besar fokus primer tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui
udara penularan dapat peroral misalnya minum susu yang mengandung basil
tuberkulosis , biasanya mycobacterium bovis. Dapat juga terjadi dengan kontak
langsung misalnya melalui luka atau lecet dikulit. Cara infeksi ini disebut cara
eksogen. Sedangkan cara endogen yaitu penyebaran melalui darah (hematogen)
pada tuberkulosis miliaris dan melalui aliran limfe (limfogen).(3)
2.4 Patofisiologi
Penyebab Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu
menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan
banyaknya basil tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia. Infeksi primer
biasanya terjadi dalam paru, melalui aliran darah dan limfe, basil tuberkulosis
dapat mencapai faring. Menurut Meyerson (1960) akan terbentuk ulkus pada satu
7
sisi tonsil dan jaringan tonsil itu akan mengalami nekrosis. Bila infeksi timbul
secara hematogen, maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi. Lesi sering
ditemukan pada dinding faring posterior, arkus faring anterior, dinding lateral
hipofaring dan palatum mole serta palatum durum. Kelenjar regional leher
membengkak.(3)
2.5 Gambaran Klinis
Tuberkulosa pada faring terdapat dalam tiga bentuk, yaitu : tuberkulosis
milier akut, ulkus tuberkulosis kronis dan lupus vulgaris.(4)
a. Tuberkulosis milier akut
Pada tuberkulosis milier akut manifestasi penyakit berhubungan dengan
penyebab mikroba/ kuman dalam aliran darah. Ditemukan erupsi tuberkel di
daerah faucis, palatum mole, dasar lidah atau mukosa pipi. Timbul rasa tidak
enak pada stadium ini, tetapi bila erupsi meluas membentuk ulkus barulah
timbul rasa sakit sekali dan disfagia. Terdapat kecenderungan untuk berdarah
dan keluar air liur yang banyak, lendir kental melekat kedaerah yang berulkus.
Keadaan umum pasien segera memburuk dan terdapat beberapa jenis gangguan
dengan suhu badan yang meningkat.(4)
b. Ulkus tuberkulosa kronik
Selalu berhubungan dengan tuberkulosa paru yang lanjut dengan sputum
mengandung kuman tuberkulosa. Terjadi ulserasi pada faring dan lidah dimana
ulkus biasanya terletak pada ujung lidah. Ulkus mempunyai sifat dangkal, tepi
8
tidak teratur dengan dasar yang bersih, pertumbuhan lambat. Ujung saraf masih
utuh sehingga timbul rasa nyeri dengan gejala yang ada hubungan dengan
disfagia akut.(4)
c. Lupus vulgaris
Lupus vulgaris adalah proses tuberkulosa pada kulit. Dalam bidang THT lokasi
yang sering ialah di bagian depan septum nasi serta konka inferior dan dari sini
dapat menyebar ke muka atau faring. Pada tenggorok biasanya mengenai
palatum mole dan faucius jarang pada tonsil. Bentuk erupsi berupa “apple jelly
nodules” yang segera menjadi abu-abu dan lebih padat. Mukosa menjadi keras
dan hilang mobilitasnya, nodul akan pecah sehingga permukaan mukosa rusak
dan tampak daerah granuler. Bila palatum durum terkena maka tulang akan
terbuka tetapi tulang tidak terkena proses penyakit. Proses berlangsung sangat
kronik dengan kecenderungan menyembuh disebagian tempat tetapi proses
penyakit terus berlanjut sehingga terbentuk sikatriks pada palatum. Uvula dapat
mengecil atau lenyap.
Gejala pada tahap awal berupa adanya rasa terbakar dan sakit sedikit pada
tenggorok. Tahap selanjutnya kualitas suara akan berubah karena adanya
fiksasi pada palatum dan timbulnya disfagia. Pada tahap sangat lanjut dapat
terjadi regurgitasi cairan ke dalam hidung.(4)
Secara umu pasien mengeluh nyeri yang hebat ditenggorokan. Keadaan umum
pasien buruk, karena anoreksia dan nyeri untuk menelan makanan. Tidak
jarang terdapat regurgitasi. Selain dari nyeri yang sangat menonjol untuk
9
menelan, terdapat juga nyeri di telinga (otalgia). Terdapat juga adinopati
servikal.(1)
2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis disamping dijumpainya gambaran klinis
juga diperlukan pemeriksaan sputum untuk melihat adanya tuberkulosis paru.
Dilakukan juga biopsi jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan adanya
proses keganasan, serta mencari basil tahan asam di jaringan.(1)
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan
diagnose antara lain yaitu : 4,5
10
pemeriksaan darah lengkap
GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi
bakteri streptococcus group A
Kultur tenggorokan
Namun pada umumnya peran diagnostik pada laboratorium dan radiologi terbatas.
Gambar 2. Contoh gambar bakteri Mycobacterium tuberculosis
yang menyebabkan faringitis tuberkulosis
2.7 Penatalaksanaan
Sebelum ditemukannya rifampisin metode terapi terhadap tuberkulosis
paru adalah dengan sistem jangka panjang (terapi standart) yakni :
INH (H) + streptomosin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase initial
selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-1
bulan.
11
Setelah ditemukannya rifampisin panduan obat menjadi : INH + rifampisin
+ streptomisin atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH
+ rifampisin atau etambutol (fase lanjut).
Terapi ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek dimana
diberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z)
setiap hari sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH +
rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan,
sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan.
Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan
seperti :
Waktu pengobatan lebih dipersingkat.
Biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah.
Jumlah penderita yang membangkang menjadi berkurang.
Tenaga pengawas pengobatan menjadi lebih hemat/ efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan R.I. dalam rangka/ program
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka
pendek dengan panduan obat HRE/ 5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol
setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali
seminggu selama 5 bulan), dari pada terapi jangka panjang H2Z/ 11 H2Z2 (INH +
streptomisin + pirazinamid setiap hari selama satu bulan dan dilanjutkan dengan
INH + pirazinamid 2 kali seminggu selama 11 bulan).
Disamping terapi diatas dapat ditambah dengan terapi simptomatis seperti
obat kumur dan obat-obat simptomatik lainnya.(1,6)
12
2.8 Prognosis
Pasien dengan infeksi kuman mycobacterium tuberkulosa harus mengikuti
petunjuk pengobatan yang benar agar tidak timbul resistensi kuman. Prognosis
biasanya baik dengan pengobatan yang terkontrol. Penderita tuberkulosis yang
telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk
mengetahui adanya kekambuhan. Evaluasi yang baik mencakup :
13
1. Sputum BTA mikroskopik 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.
2. Evaluasi foto toraks 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.(5)
2.9 Komplikasi
Faringitis tuberculosis umumnya mengikuti tuberkulosis paru, sedangkan
tuberculosis paru kejadiannya masih tinggi. Tuberkulosis faring sering tidak
terdiagnosis atau dikelirukan dengan penyakit lain. Bila ditemukan gambaran
klinis berupa rasa sakit berlangsung lama dengan ulcerasi di faring, perlu
dipikirkan tuberculosis faring. Tuberculosis faring ditegakkan berdasarkan
14
gambaran klinis dengan pemeriksaan penunjang. Berikut merupakan komplikasi
yag bisa ditimbulkan Faringitis Tuberkulosis:
1. Faringitis tuberkulosa biasanya merupakan proses sekunder paru, kecuali
bila infeksi disebabkan oleh kuman tahan asam jenis bovinum.
2. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis dan mycobacterium bovis.
3. Cara infeksi adalah melalui cara eksogen dan endogen.
4. Tuberkulosis pada faring terdapat dalam tiga bentuk yaitu : tuberkulosa
milier akut, ulkus tuberkulosa kronik dan lupus vulgaris.
5. gambaran klinis faringitis tuberkulosis disesuaikan dengan terapi
tuberkulosa paru ditambah dengan terapi simptomatik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, 2000, Penyakit dan Kelainan Tonsil dan Faring,
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 4,
FK-UI, Jakarta, Hal : 176-179.
2. Adam GL, Boeis LR, Higler TA, 1994, Embriologi, Anatomi dan Fisiologi
Rongga Mulut, Faring, Oesofagus dan Leher, Dalam Buku Ajar Penyakit
15
THT, Edisi 6, Alih Bahasa Dr. Caroline Wijaya, EGC, Jakarta, Hal : 320-
322.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI, 1985, Tuberkulosis Anak,
Dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2, Infomedica, Jakarta,
Hal : 573-578.
4. Soepardi EA dkk, Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan THT, 2000,
Edisi 2 Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, Hal : 22-229.
5. Aditama MY, 2002, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya,
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, Hal : 26-60.
6. Soeparman S, Asril Bahar : Tuberkulosis Paru, Dalam Buku Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid 2, Edisi III, Gaya Baru, Jakarta, 1998, Hal : 723-724.
7. Hall & Colmans, Disease The Nose, Throat & Ear, & Head Neck, Elbs
2001, Hal : 110.
8. Arsyad Efiaty, 1997, Penyakit & Kelainan THT, Edisi 3, Balai penerbit
UI, Jakarta, Hal : 219-220.
16