BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma laring merupakan keganasan yang sering terjadi pada saluran nafas
dan masih merupakan masalah karena penanggulannnya mencakup berbagai segi.
Angka kejadian karsinoma laring di RS Cipto Mangunkusuma Jakarta menduduki
urutan ketiga setelah karsinoma nasofaring dan karsinoma hidung dan sinus paranasal
(Hermani dkk, 2012). Tumor ini paling sering terjadi pada usia setelah 40 tahun dan
lebih sering mengenai laki-laki dibanding perempuan, dengan perbandingan 7 : 1
(Kumar et al, 2007).
Etiologi pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal
yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol,
sinar radioaktif, polusi udara radiasi leher dan asbestosis (Hermani dkk, 2012).
Meningkatnya insiden karsinoma laring sangat berkaitan dengan merokok dimana
seorang perokok memiliki risiko 6 kali lipat untuk menderita tumor kepala dan leher
dibandingkan dengan bukan perokok dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Namun,
akhir-akhir ini jumlah penderita perempuan semakin meningkat karena adanya
kecenderungan makin banyaknya wanita yang merokok (American cancer society,
2011).
Pasien karsinoma laring biasanya datang dalam stadium lanjut sehingga hasil
pengobatan yang diberikan kurang memuaskan, oleh karena itu perlu diagnosis dini
untuk penanggulangannya. Secara umum penatalaksanaan karsinoma laring meliputi
pembedahan, radiasi, sitostatika ataupun terapi kombinasi, tergantung stadium
penyakit dan keadaan umum penderita. Tujuan utama penatalaksanaan karsinoma
laring adalah mengeluarkan bagian laring yang terkena tumor dengan memperhatikan
fungsi respirasi, fonasi serta fungsi sfingter laring (Hermani dkk, 2012).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Laring
2.1.1 Definisi
Tumor ganas (neoplasma) secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Dengan
kata lain, neoplasma merupakan massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya
berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal
meskipun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti. Berbagai
neoplasma nonneoplastik, jinak, dan ganas yang berasal dari epitel skuamosa dan
masekim dapat timbul pada laring,tetapi hanya nodus pita suara, papiloma, dan
karsinoma sel skuamosa yang sering ditemukan (Kumar et al, 2007).
2.1.2 Epidemiologi
Tumor ganas laring merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di
seluruh dunia. Pada tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas laring di
Amerika Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal (Vasan NR, 2008). Kasus
tumor ganas laring di RS. M. Djamil Padang periode Januari 2011-Desember 2012
tercatat 13 kasus baru dan ditatalaksana dengan laringektomi total sebanyak 6 kasus.
Kejadian tumor ganas laring berhubungan dengan kebiasaan merokok dan konsumsi
alkohol. Pada individu yang mengkonsumsi keduanya, faktor resikonya menjadi
sinergi dan kemungkinan terjadi kanker lebih tinggi (Iqbal N, 2011).
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis tumor ganas laring primer yang
paling sering ditemukan, yaitu lebih dari 95% kasus. Sisanya tumor yang berasal dari
kelenjar ludah minor, neuroepithelial, tumor jaringan lunak dan jarang timbul dari
tulang kartilaginosa laring (Shah J dkk, 2012). Karsinoma sel skuamosa laring
merupakan hasil dari interaksi banyak faktor etiologi seperti konsumsi tembakau dan
2
atau alkohol yang lama, bahan karsinogen lingkungan, status sosial ekonomi,
pekerjaan yang berbahaya, faktor makanan dan kerentanan genetik (Shehan dkk,
2009).
2.1.3 Etiologi
Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui. Dikatakan oleh para ahli
bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan
resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan
beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah
rokok, alkohol dan terpajan oleh sinar radioaktif (Hermani dkk, 2012). Virus yang
juga dikaitkan dengan kejadian karsinoma laring yaitu HPV (Human Papilloma
Virus) dan Eibstein Barr Virus (Ballenger, 2012).
2.1.4 Patofisiologi
Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang
beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well differentiated) sampai
yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma ganas yang terdiri atas sel tidak
berdiferensiasi disebut anaplastik.
Pada awalnya kerusakan genetik nonletal merupakan hal sentral dalam
karsinogenesis. Kerusakan genetik ini mungkin dapat dipengaruhi oleh lingkungan
seperti zat kimia, radiasi, virus atau diwariskan dalam sel germinativum. Terdapat
suatu hipotesis genetik pada kanker bahwa massa tumor terjadi akibat adanya
ekspansi klonal satu sel progenitor yang telah mengalami kerusakan genetik. Sasaran
utama kerusakan genetik tersebut adalah tiga kelas gen regulatorik yang normal yaitu
protoonkogen yang mendorong pertumbuhan, gen penekan kanker (tumor supresor
gen) yang menghambat pertumbuhan (antionkogen), dan gen yang mengatur
kematian sel yang terencana (programmed cell death), atau apoptosis (Kumar et al,
2007).
Selain gen-gen tersebut terdapat juga gen yang mengatur perbaikan DNA yang
rusak, berkaitan dengan karsinogenesis. Gen yang memperbaiki DNA mempengaruhi
3
proliferasi atau kelangsungan hidup sel secara tidak langsung dengan mempengaruhi
kemampuan organisme memperbaiki kerusakan nonletal di gen lain, termasuk
protoonkogen, gen penekan tumor dan gen yang mengendalikan apoptosis. Kerusakan
pada gen yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas
digenom dan transformasi neoplastik (Kumar et al, 2007).
Karsinogenesis memiliki beberapa proses baik pada tingkat fenotipe maupun
genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya
pertumbuhan berlebihan, sifat invasif lokal dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini
diperoleh secara bertahap yang disebut sebagai tumor progression. Pada tingkat
molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada sebagian
kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA. Perubahan genetik
tersebut melibatkan terjadinya angiogenesis, invasi dan metastasis. Sel kanker juga
akan melewatkan proses penuaan normal yang membatasi pembelahan sel. Tiap gen
kanker memiliki fungsi spesifik, yang disregulasinya ikut berperan dalam asal muasal
atau perkembangan keganasan. Gen yang terkait dengan kanker perlu
dipertimbangkan dalam konteks enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang
menentukan fenotipe ganas, diantaranya (Kumar et al, 2007):
a. Self-sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan.
Gen yang meningkatkan pertumbuhan otonom pada sel kanker adalah
onkogen. Gen ini berasal dari mutasi protoonkogen dan ditandai dengan kemampuan
mendorong pertumbuhan sel walaupun tidak terdapat sinyal pendorong pertumbuhan
yang normal. Produk gen ini disebut onkoprotein. Pada keadaan fisiologik, proliferasi
sel awalnya terjadi karena terikatnya suatu faktor pertumbuhan ke reseptor
spesifiknya di membran sel. Aktivasi reseptor pertumbuhan secara transien dan
terbatas, yang kemudian mengaktifkan beberapa protein transduksi sinyal di lembar
dalam plasma. Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti sel melalui
perantara kedua. Induksi dan aktivasi faktor regulatorik inti sel yang memicu
transkrip DNA. Selanjutnya sel masuk kedalam dan mengikuti siklus sel yang
akkhirnya menyebabkan sel membelah. Dengan latar belakang ini, kita dapat
4
mengidentifikasi berbagai strategi yang digunakan sel kanker untuk memperoleh self-
sufficiency dalam sinyal pertumbuhan (Kumar et al, 2007).
b. Insensitivitas Terhadap Sinyal yang Menghambat Pertumbuhan.
Salah satu gen yang paling sering mengalami mutasi adalah gen penekan
tumor TP53 (dahulu p53). TP53 ini dapat menimbulkan efek antiproliferatif, tetapi
yang tidak kalah penting gen ini juga dapat mengendalikan apoptosis. Secara
mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai suatu monitor sentral untuk stres,
mengarahkan sel untuk memberikan tanggapan yang sesuai, baik berupa penghentian
siklus sel maupun apoptosis (Kumar et al, 2007).
Berbagai stres yang dapat memicu jalur respon TP53, termasuk anoksia,
ekspresi onkogen yang tidak sesuai (misalnya MYC) dan kerusakan pada integritas
DNA. Dengan mengendalikan respon kerusakan DNA, TP53 berperan penting dalam
mempertahankan integritas genom. Apabila terjadi kerusakan TP53 secara
homozigot, maka kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi
disel yang membelah sehingga sel akan masuk jalan satu-satunya menuju
transformasi keganasan (Kumar et al, 2007).
c. Menghindar dari Apoptosis
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu sel dipengaruhi oleh gen yang
mendorong dan menghambat apoptosis. Rangkaian kejadian yang menyebabkan
apoptosis yaitu melalui reseptor kematian CD95 dan kerusakan DNA. Saat berikatan
dengan ligannya, CD95L, CD95 mengalami trimerisasi, dan domain kematian
sitoplasmanya menarik protein adaptor intrasel FADD. Protein ini merekrut
prokaspase (prokaspase) 8 untuk membentuk kompleks sinyal penginduksi kematian.
Kaspase 8 mengaktifkan kaspase di hilir sepersi kaspase 3, suatu kaspase eksekutor
tipikan yang memecah DNA dan substrat lain yang menyebabkan kematian. Jalur lain
dipicu oleh kerusakan DNA akibat paparan radiasi, bahan kimia dan stres .
Mitokondria berperan penting dijalur ini dengan membebaskan sitokrom c.
Pembebasan sitokrom c ini diperkirakan merupakan kejadian kunci dalam apoptosis,
5
dan hal ini dikendalikan oleh gen famili BCL2. Dengan kata lain bahwa peran BCL2
dapat melindungi sel tumor dari apoptosis (Kumar et al, 2007).
d. Kemampuan Replikasi Tanpa Batas
Secara normal, sel manusia memiliki kapasitas replikasi 60 sampai 70 kali dan
setelah itu sel akan kehilangan kemampuan membelah diri dan masuk masa
nonreplikatif. Hal ini terjadi karena pemendekan progresif telomer di ujung
kromosom. Namun pada sel tumor akan menciptakan cara untuk menghindar dari
proses penuaan yaitu dengan mengaktifkan enzim telomerase sehingga telomer tetap
panjang. Hal inilah yang menyebabkan replikasi sel tanpa batas (Kumar et al, 2007).
e. Terjadinya Angiogenesis Berkelanjutan
Angiogenesis merupakan aspek biologik yang sangat penting pada keganasan.
Angiogenesis tidak hanya untuk kelangsungan pertumbuhan tumor, tetapi juga untuk
bermetastasis. Faktor angiogenetik terkait tumor (tumor associated angiogenic factor)
mungkin dihasilkan oleh sel tumor atau mungkin berasal dari sel radang (misal,
makrofag). Terdapat dua faktor angiogenik terkait tumor yang palling penting yaitu
vascular endothelial growth factor (VEGF, faktor pertumbuhan endotel vaskular) dan
basic fibroblast growth factor. Paradigma menyatakan bahwa pertumbuhan tumor
dikendalikan oleh keseimbangan antara faktor angiogenik dengan faktor yang
menghambat angiogenesis (antiangiogenesis). Faktor antiangiogenesis tersebut
diantaranya trombospondin-1 yang diinduksi oleh adanya gen TP53 wild-type,
angiostatin, endostatin dan vaskulostatin. Mutasi gen TP53 wild-type ini
menyebabkan penurunan kadar trombospondin-1 sehingga keseimbangan condong ke
faktor angiogenik (Kumar et al, 2007).
g. Kemampuan Melakukan Invasi dan Metastasis.
Pada awalnya invasi terjadi karena peregangan dari sel tumor. Peregangan ini
dapat terjadi oleh karena mutasi inaktivasi gen E-kaderin. Secara fisiologis gen E-
kaderin bekerja sebagai lem antarsel agarsel tetap menyatu. Proses selanjutnya adalah
degradasi lokal membran basal dan jaringan interstitium. Invasi ini mendorong sel
6
tumor berjalan menembus membmembran basal yang telah rusak dan matriks yang
telah lisis (Kumar et al, 2007).
2.1.5 Klasifikasi
Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1988 dan
American Joint Committee on Cancer (AJCC), menetapkan klasifikasi tumor terbagi
3, yaitu : supraglotis (30-35%), glotis (60-65%), dan subglotis (1%). Yang termasuk
supraglotis adalah permukaan posterior epiglotis yang terletak di sekitar os hioid,
lipatan ariepiglotik, aritenoid, epiglotis yang terletak di bawah os hioid, pita suara
palsu, ventrikel. Yang termasuk glottis adalah pita suara asli, komisura anterior dan
komisura posterior. Yang termasuk subglotis adalah dinding subglotis (Hermani dkk,
2012). Pada tahun 2010, AJCC merevisi penentuan dan penegakan stadium sistem
TNM tumor laring. Penentuan stadium tumor laring dengan sistem TNM dapat dilihat
pada tabel 1, sedangkan untuk penegakan stadium tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Penentuan Stadium Tumor laring dengan TNM (NCNN, 2015)
Primary Tumor (T)TXT0Tis
No evidence of primary tumor Carcinoma in situ Tumor limited to one subsite of supraglottis with normal
SupraglottisT1
T2
T3
T4a
T4b
Tumor limited to one subsite of supraglottis with normal vocal cord mobility
Tumor invades mucosa of more than one adjacent subsite of supraglottis or glottis or region outside the supraglottis (eg, mucosa of base of tongue, vallecula, medial wall of pyriform sinus) without fixation of the larynx
Tumor limited to larynx with vocal cord fixation and/or invades any of the following: postcricoid area, pre-epiglottic space, paraglottic space, and/or inner cortex of thyroid cartilage
Moderately advanced local diseaseTumor invades through the thyroid cartilage and/or invades tissues beyond the larynx (eg, trachea, soft tissues of neck including deep extrinsic muscle of the tongue, strap muscles, thyroid, or esophagus
Very advanced local disease
7
Tumor invades prevertebral space, encases carotid artery, or invades mediastinal structures
GlottisT1
T1aT1b
T2
T3
T4a
T4b
Tumor limited to the vocal cord(s) (may involve anterior or posterior commissure) with normal mobility Tumor limited to one vocal cord Tumor involves both vocal cords
Tumor extends to supraglottis and/or subglottis, and/or with impaired vocal cord mobility
Tumor limited to the larynx with vocal cord fixation and/or invasion of paraglottic space, and/or inner cortex of the thyroid cartilage
Moderately advanced local diseaseTumor invades through the outer cortex of the thyroid cartilage and/or invades tissues beyond the larynx (eg, trachea, soft tissues of neck including deep extrinsic muscle of the tongue, strap muscles, thyroid, or esophagus)
Very advanced local diseaseTumor invades prevertebral space, encases carotid artery, or invades mediastinal structures
SubglottisT1T2
T3T4a
T4b
Tumor limited to the subglottis Tumor extends to vocal cord(s) with normal or impaired
mobility Tumor limited to larynx with vocal cord fixation Moderately advanced local disease
Tumor invades cricoid or thyroid cartilage and/or invades tissues beyond the larynx (eg, trachea, soft tissues of neck including deep extrinsic muscles of the tongue, strap muscles, thyroid, or esophagus)
Very advanced local diseaseTumor invades prevertebral space, encases carotid artery,or invades mediastinal structures
Regional Lymph Nodes (N)NXN0N1
N2
Regional lymph nodes cannot be assessed No regional lymph node metastasis Metastasis in a single ipsilateral lymph node, 3 cm or less
in greatest dimension Metastasis in a single ipsilateral lymph node, more than 3
cm but not more than 6 cm in greatest dimension; or in multiple ipsilateral lymph nodes, none more than 6 cm in
8
N2a
N2b
N2c
N3
greatest dimension; or in bilateral or contralateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest dimension
Metastasis in a single ipsilateral lymph node, more than 3 cm but not more than 6 cm in greatest dimensionMetastasis in multiple ipsilateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest dimensionMetastasis in bilateral or contralateral lymph nodes, none more than 6 cm in greatest dimension
Metastasis in a lymph node, more than 6 cm in greatest dimension
Distant Metastasis (M)M0M1
No distant metastasisDistant metastasis
Tabel 2. Stadium Kanker Laring berdasarkan AJCC 2010 (NCNN, 2015)
Stage Primary Tumor (T)
Regional Lymph Nodes (N)
Distant Metastasis (M)
0 Tis N0 M0I T1 N0 M0II T2 N0 M0
III T3 N0 M0T1-3 N1 M0
IV A T4a N0-1 M0T1-T4a N2 M0
1V B T4b Any N M0Any T N3 M0
IV C Any T Any N M1
2.1.6 Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Tanda dan gejala dari karsinoma laring sesuai dengan lokasi lesi kankernya
(Jeremy dkk, 2012). Keluhan yang sering didapatkan pada anamnesis yaitu keluhan
suara parau, sulit menelan, batuk darah, adanya benjolan di leher, nyeri tenggorokan,
nyeri telinga, gangguan jalan nafas, dan aspirasi (Adriane dkk, 2008). Serak
merupakan gejala dini dari karsinoma laring yang berlokasi di glotis (Hermani dkk,
2012 dan Jeremy dkk, 2012). Serak disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring.
9
Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara, ketajaman
tepi pita suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring,
pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara,
oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan
ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Adanya tumor di pita
suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut. Serak
menyebabkan kualitas suara menjadi semakin kasar, mengganggu, sumbang dan
nadanya lebih rendah dari biasa.Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan
jalan nafas atau paralisis komplit (Hermani dkk, 2012).
Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor .
Apabila tumor laring tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan
menetap . Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, di bagian bawah plika
ventrikularis atau di batas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. Pada
tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak timbul
sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif seperti
perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok (Hermani dkk, 2012
dan Jeremy dkk, 2012). Keluhan serak sebagai gejala awal tumor supraglotis dan
subglotis berkaitan dengan prognosis yang buruk (Jeremy dkk, 2012). Tumor
hipofaring jarang menimbulkan serak kecuali tumornya eksentif (Hermani dkk, 2012
dan Jeremy dkk, 2012). Fiksasi dan nyeri menimbulkan suara bergumam/hot potato
voice (Hermani dkk, 2012).
Dispnea dan stridor merupakan gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas
dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan
nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau secret maupun oleh fiksasi pita
suara. Pada tumor supraglotik dan transglotik terdapat kedua gejala tersebut.
Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada umumnya, dispnea
dan stridor adalah tanda prognosis yang kurang baik (Hermani dkk, 2012).
Keluhan nyeri tenggorok ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa
nyeri yang tajam. Keluhan lain seperti disfagia merupakan ciri khas tumor pangkal
10
lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan
yang paling sering pada tumor ganas postkrikoid. Sedangkan rasa nyeri ketika
menelan (odinofagia) menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur
ekstra laring (Hermani dkk, 2012). Batuk merupakan keluhan yang jarang ditemukan
pada tumor ganas glotik, Keluhan ini biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring
disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis (batuk darah) sering terjadi
pada tumor glotik dan tumor supraglotik. Keluhan lainnya yaitu nyeri tekan laring
yang merupakan gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang
menyerang kartilago tiroid dan perikondrium (Hermani dkk, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
Semua pasien dengan gejala-gejala yang berhubungan dengan karsinoma
laring harus dilakukan pemeriksaan kepala dan leher yang lengkap. Keluhan awal
pasien dengan karsinoma laring melibatkan keluhan di rongga mulut, sehingga
pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara lengkap untuk mengetahui secara
spesifik tumor yang berkaitan dengan rongga mulut, higienitas gigi yang buruk yang
dapat berhubungan dengan keganasan kepala dan leher, dan berbagai tanda dari
infeksi di rongga mulut atau faring seperti tonsilitis yang dapat menyebabkan gejala-
gejala tersebut (Jeremy dkk, 2012).
Oleh karena itu, palpasi leher harus dilakukan untuk memastikan apakah ada
bekas operasi sebelumnya seperti operasi tiroid yang juga dapat menyebabkan suara
serak, dan juga untuk meraba adanya limfadenopati akibat infeksi atau metastasis dari
suatu karsinoma, nyeri tekan atau gejala dan tanda lainnya yang dapat memperkuat
kemungkinan karsinoma laring. Pemeriksaan dengan laringoskopi fleksibel
diperlukan untuk memvisualisasi keadaan laring dan hipofaring. Contoh hasil
pemeriksaan laringoskopi fleksibel dapat dilihat pada gambar 1 (Jeremy dkk, 2012).
11
Gambar 1. Gambaran Tumor Glotis sebelah Kanan dengan Menggunakan Laringoskopi Fleksibel
(Jeremy dkk, 2012)
Namun pemeriksaan ini tidak terdapat pada fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Oleh karena itu, pada fasilitas kesehatan primer dapat dilakukan pemeriksaan
laringoskopi indirek dengan menggunakan cermin laring untuk memberikan petunjuk
diagnosis. Jika hasil dari pemeriksaan laringoskopi indirek ini normal tetapi keluhan
menetap selama dua minggu maka pasien harus dirujuk. Adapun panduan terhadap
keluhan-keluhan yang harus dirujuk dapat dilihat pada gambar 2 (Jeremy dkk, 2012).
Gambar 2. Panduan Rujukan Pasien Suspek Karsinoma Laring (Jeremy dkk, 2012)
12
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan
kimia darah. Pemeriksaan darah lengkap berfungsi untuk menentukan masalah umum
pasien seperti ada tidaknya anemia. Pemeriksaan kimia darah berfungsi untuk
menentukan adakah keterlibatan organ lain yang terkena. Pemeriksaan ALT, SGOT,
SGPT untuk mengetahui fungsi hati. Fungsi ginjal dinilai melalui ureum dan
kreatinin (Hermani dkk, 2012 dan American Cancer Society, 2014).
dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal dan fungsi hati (Hermani dkk, 2012 dan
American Cancer Society, 2014).
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi secara umum dilakukan pada karsinoma laring stadium
lanjut untuk menentukan stadium dan rencana pengobatan. Pemeriksaan radiologi
konvensional jaringan lunak leher berfungsi untuk untuk memvisualisasikan lumen
laring dan trakea tetapi pemeriksaan ini tidak memiliki peran dalam manajemen
kanker laring saat ini (Adriane dkk, 2008 dan Jeremy dkk, 2012). .
Penggunaan CT-Scan atau MRI berguna dalam mengidentifikasi invasi ke
ruang preepiglotis atau paraglotis, erosi kartilago laring, dan metastase ke nodus limfa
servikal. Karsinoma laring ditentaukan stadium klinisnya 25-40% berdasarkan CT-
scan dan MRI. MRI lebih sensitif terhadap jaringan lunak sedangkan CT-scan lebih
baik untuk melihat defek tulang dan kartilago. Pemeriksaan radiologi lainnya adalah
Positron Emission Tomography (PET) – Scan. Pemeriksaan ini berfungsi untuk
mendeteksi metastasis jauh, dan untuk menstaging N (nodul) (Adriane dkk, 2008).
Contoh gambaran dari hasil pemeriksaan CT-Scan laring dapat dilihat pada gambar 3.
13
Gambar 3. CT- scan dengan Kontras yang menunjukkan Tumor Supraglotis Kiri yang Besar
dengan Metastasis Nodus Limfe Ipsilateral (Adriane dkk, 2008)
Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan lain untuk menentukan metastasis dari
karsinoma laring yaitu dengan melakukan pemeriksaan rontgen dada untuk melihat
metastasis ke paru-paru, pemeriksaan bone survey untuk melihat metastasis ke tulang,
pemeriksaan USD abdomen untuk mengidentifikasi metastasis ke hati, dan CT-Scan
kepala untuk melihat apakah metastasis dari karsinoma tersebut sudah mengenai otak
(Hermani dkk, 2012; Adriane dkk, 2008, dan Jeremy dkk, 2012).
3. Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi dari bahan
biopsi laring, dan biopsi jarum halus pada pembesaran kelenjar getah bening di leher.
Hasil pemeriksaan histopatologi yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa
(Hermani dkk, 2012). Beberapa jenis tumor ganas laring berdasarkan histopatologi
antara lain:
a) Karsinoma sel skuamosa
Meliputi 95-98% dari semua tumor ganas laring, dengan derajat diferensiasi yang
berbeda-beda. Karsinoma sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi yaitu diferensiasi
baik (grade 1), berdiferensiasi sedang (grade 2), berdiferensiasi buruk (grade 3).
Kebanyakkan karsinoma laring cenderung berdiferensiasi baik. Lesi yang mengenai
hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika kurang berdiferensiasi baik. Jenis
14
lain yang jarang kita jumpai adalah karsinoma anaplastik, pseudosarkoma,
adenokarsinoma dan sarkoma (Hermani dkk, 2012).
b) Karsinoma verukosa
Merupakan satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan tetapi
klinis ganas. Insidennya 1-2% dari seluruh tumor ganas laring, lebih banyak
mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3:1. Tumor tumbuh lambat tetapi
dapat membesar sehingga dapat menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak
terjadi metastase regional atau jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak
efektif dan merupakan kontraindikasi. Prognosisnya sangat baik.
c) Adenokarsinoma
Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring. Sering dari kelenjar
mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glottis. Sering bermetastase ke
paru-paru dan hepar. Two years survival rate-nya sangat rendah. Terapi yang
dianjurkan adalah reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi
pasca operasi.
d) Kondrosarkoma
Kondrosarkoma merupakan tumor ganas dari kartilago. Tumor ganas ini berisi
sel mesenkim yang menghasilkan suatu matriks kartilaginosa. Pada karsinoma laring,
tumor ganas ini berasal dari tulang rawan krikoid sebesar 70%, tiroid 20% dan
aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40 – 60 tahun. Terapi yang dianjurkan adalah
laringektomi total.
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara umum, ada tiga jenis penatalaksanaan karsinoma laring yaitu
pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi dari padanya. Tergantung
pasda stadium penyakit dan keadaan umum pasien. Sebagai patokan dapat dikatakan
stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk
dilakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi, bila masih
15
memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi (Jeremy dkk, 2012 dan
Robert dkk, 2003).
1. Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari (Jeremy dkk, 2012 dan Robert
dkk, 2003) :
A. Laringektomi
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang
tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. Diseksi Leher Radikal
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena
kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor
supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan
metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
2. Radioterapi
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan
T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini
adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 – 7000 rad (Jeremy dkk,
2012 dan Robert dkk, 2003).
Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,
Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh
kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada
jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 4500–5000 rad selama 4–6
minggu diikuti dengan laringektomi total (Jeremy dkk, 2012 dan Robert dkk, 2003)..
16
3. Kemoterapi
Kemoterapi atau penggunaan obat-obat sitostatika belum memuaskan dalam
karsinoma laring, biasanya jadwal pemberian sitostatika tidak sampai selesai karena
keadaan umum memburuk, di samping harga obat yang relatif mahal, sehigga tidak
terjangkau oleh pasien (Hermani dkk, 2012). Kemoterapi bukanlah terapi lini pertama
atau terapi standar untuk kanker laring stadium awal (stadium I dan II) KemoDiberikan
pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliatif. Obat yang
diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2 dan 5 FU 800–1000 mg/m2 (Jeremy dkk,
2012 dan Robert dkk, 2003).
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa
tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup“Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation” (Jeremy dkk, 2012 dan Robert dkk, 2003). Laringektomi yang
dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring menyebabkan cacat pada pasien.
Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita suara yang berada di
dalamnya, maka pasien menjadi afonia dan bernafas melalui stoma permanen di leher
(Jeremy dkk, 2012 dan Robert dkk, 2003).
Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara, yakni
semacam vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula, ataupun dengan suara
yang dihasilkan dari esofagus melalui proses belajar (Jeremy dkk, 2012 dan Robert
dkk, 2003). Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara
ini. Tetapi faktor fisik dan psiko-sosial merupakan 2 faktor utama. Mungkin dengan
adanya wadah perkumpulan guna menghimpun pasien-pasien tuna laring guna
menyokokng aspek psikis dalam lingkup yang luas dari pasien, baik sebelum maupun
sesudah operasi (Jeremy dkk, 2012 dan Robert dkk, 2003).
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) mengeluarkan panduan
penatalaksanaan karsinoma laring yang dibedakan berdasarkan stadiumnya. Di dalam
17
panduan tersebut, penatalaksanaan pasien dengan karsinoma laring dibagi menjadi
dua kategori yaitu tumor laring yang berlokasi di glotis dan tumor laring yang
berlokasi di supraglotis. Tumor laring yang berlokasi di subglotis tidak terdapat pada
panduan ini karena kasusnya yang sangat jarang. Penatalaksanaan karsinoma laring
berdasarkan NCCN adalah sebagai berikut (NCCN, 2015).
1. Karsinoma Laring yang Terletak di Glotis
Carcinoma in situ Reseksi via endoskopi (lebih disarankan) atau radioterapi
T1-T2 atau selected T3 Radioterapi atau laringektomi parsial/reseksi via
endoskopi atau reseksi terbuka sesuai dengan indikasi atau diseksi leher sesuai
indikasi
T3N0, T3N1 Terapi sistemik yang bersamaan dengan radioterapi/radioterapi saja
atau radioterapi jika pasien tidak cocok atau menolak terapi sistemik/radioterapi atau
pembedahan dengan ketentuan T3N0 dilakukan laringektomi dengan tiroidektomi
ipsilateral, T3N1 dilakukan Laringektomi dengan tiroidektomi ipsilateral sesuai
indikasi, diseksi leher ipsilateral atau diseksi leher bilateral atau kemoterapi induksi
(kategori 2B) atau multimodal clinical trials.
T3N2, T3N3 Terapi sistemik yang bersamaan dengan radioterapi/radioterapi saja
atau pembedahan dengan melakukan laringektomi dengan tiroidektomi ipsilateral
sesuai indikasi, diseksi leher ipsilateral atau bilateral atau kemoterapi induksi atau
multimodal clinical trials.
T4aN0 pembedahan dengan laringektomi total dengan tiroidektomi dengan atau
tanpa diseksi leher unilateral atau bilateral.
T4aN1 pembedahan dengan cara dilakukan laringektomi total dengan
tiroidektomi, diseksi leher ipsilateral dengan atau tanpa diseksi leher kontralateral.
T4aN2, T4aN3 pembedahan dilakukan dengan cara laringektomi total dengan
tiroidektomi, diseksi leher unilateral atau bilateral.
Selected T4a yang menolak pembedahan pertimbangkan terapi sitemik
bersamaan/radioterapi atau percobaan klinis untuk manajemen pemeliharaan fungsi
dengan pembedahan atau non pembedahan.
18
2. Karsinoma Laring yang Terletak di Supraglotis
T1-T2, N0; selected T3 Reseksi via endoskopi dengan atau tanpa diseksi leher
atau laringektomi supraglotis parsial terbuka dengan atau tanpa diseksi leher atau
radioterapi definitif.
T3N0 terapi sistemik yang bersamaan dengan radioterapi/radioterapi saja atau
laringektomi, tiroidektomi dengan diseksi leher ipsilateral atau bilateral atau
radioterapi jika pasien secara medis tidak dapat menjalani terapi sistemik/radioterapi,
atau kemoterapi induksi atau multimodal clinical trials. T1-2, N+ dan selected T3N1
terapi sistemik yang bersamaan dengan radioterapi/radioterapi saja atau radioterapi
definitif atau laringektomi supraglotis parsial dan diseksi leher atau kemoterapi
induksi atau multimodal clinical trials.
T3N2, T3N3 terapi sistemik yang bersamaan dengan radioterapi/radioterapi saja
atau laringektomi, tiroidektomi ipsilateral dengan diseksi leher atau kemoterapi
induksi atau multimodal clinical trials.
T4aN0-3 laringektomi, tiroidektomi sesuai indikasi dengan diseksi leher ipsilateral
atau bilateral.
T4aN0-3 pada pasien yang menolak pembedahan pertimbangkan terapi sistemik
bersamaan/radioterapi atau percobaan klinis atau kemoterapi induksi
2.1.9 Prognosis
Prognosis pada pasien karsinoma laring digambarkan melalui angka ketahanan 5
tahun atau yang sering dikenal dengan 5-year survival rate. Angka ketahanan 5
tahun ini mengacu pada presentasi pasien yang bisa bertahan hidup selama 5 tahun
setelah didiagnosis suatu keganasan. Tentunya, banyak pasien yang dapat hidup lebih
dari 5 tahun. Prognosis pasien karsinoma laring dibedakan berdasarkan lokasi tumor
dan stadiumnya. Angka ketahanan 5 tahun dari pasien karsinoma laring dapat dilihat
pada tabel 1 di bawah ini (ACA, 2014).
19
Tabel 3. Angka Ketahanan 5 Tahun Pasien Karsinoma Laring (ACA, 2014)
Supraglottis (part of the larynx above the vocal cords)
STAGE 5-year relative survival rate
I II
IIIIV
59%53%53%34%
Glottis (part of the larynx including the vocal cords)STAGE 5- year relative survival rate I II III IV
90%74%56%44%
Sub glottis (part of the larynx below the vocal cords)STAGE 5 –year relative survival rates I II III IV
65%56%47%32%
HypopharynxSTAGE 5-year relative survival rates I II III IV
53%39%36%24%
20
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma laring merupakan keganasan yang sering terjadi pada saluran nafas
setelah karsinoma nasofaring dan tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Tumor
ganas laring merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di seluruh dunia. Di
RSUP H. Adam Malik Medan, Februari 1995 – Juni 2003 dijumpai 97 kasus
karsinoma laring dengan perbandingan laki dan perempuan 8:1. Usia penderita
berkisar antara 30 sampai 79 tahun.
Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui. Dikatakan oleh para ahli
bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan
resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Virus yang juga dikaitkan dengan kejadian
karsinoma laring yaitu HPV (Human Papilloma Virus) dan Eibstein Barr Virus.
Faktor risiko lainnya adalah paparan debu kayu, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi
leher dan asbestosis.
Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi
tumor ganas laring terbagi atas tumor supraglotis (30-35%), glotis (60-65%), dan
subglotis (1%). Penegakan diagnosis dari karsinoma laring didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang sering
dikeluhkan adalah serak, dispnea, stidor, nyeri tenggorok. Dari hasil pemeriksaan
fisik dengan pemeriksaan laringoskopi didapatkan adanya tumor di daerah pita suara.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologi, sedangkan untuk diagnosis pasti dilakukan pemeriksaan
histopatologi.
Penatalaksanaan dari karsinoma laring secara umum adalah dengan
pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan rehabilitasi. Prognosis pada pasien
21
karsinoma laring digambarkan melalui angka ketahanan 5 tahun yang dibedakan
berdasarkan lokasi tumor dan stadiumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adriane P. Concus, Md, Tuyet-Phuong N. Tran, Md, Nicholas J. Sanfilippo, Md, & Mark D. Delacure, Md. Current Diagnosis & Treatment In Otolaryngology-Head & Neck Surgery: Malignant Laryngeal Lesions. 2008. Mcgrawhill: New York. Hal. 437-455.
American Cancer Society. 2014. Laryngeal And Hypopharyngeal Cancers.
Cancer Research UK. Risks and causes of laryngeal cancer. Available from: http//www. Cancerresearchuk. org/cancer-help/type/larynx-cancer. Diakses tanggal 4 September 2015
Centers for Disease Control and Prevention. Tobacco use and secondhand smoke: Impact on cancer. Available from: http:// www.cdc.gov/tobacco/campaign.24/7. Diakses tanggal 4 September 2015.
Chris Tanto et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 4, Vol.2. Jakarta: Media Aesculapius, 2014; 1060-1064.
Hermani B, Abdurrachman H. Tumor Laring. Dalam: Soepardi Ea, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti Rd Editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi 7. 2012. Balai Penerbit Fkui Jakarta. H. 176-180.
Iqbal N. Laryngeal Carcinoma Imaging. Updated 2011 May 27; Available from: http:// emedicine.medscape.com/article/383230.
Jeremy S. Williamson, Timothy C. Biggs And Duncan Ingrams. Laryngeal Cancer: An Overview. 2012. Trends In Urology & Men’s Health. Hal. 14-17.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7nd ed, Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 :569-570.
NCCN. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines ): Head and Neck Cancers. 2015.
Robert A.Weisman, Md, Kris S.Moe, Md, Lisa A. Orloff, Md. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery 16th Edition. 2003. Bc Decker: Ontario. Hal. 1255-1292.
22
Sheahan P, Ganly I, Evans PHR, Patel SG. Tumors of the larynx. In: Montgomery PQ, Evans PHR, Gullane PJ, editors. Principles and practice of head and neck surgery and oncology. Florida: Informa health care;. 2009. p. 257-90.
Shah J, Patel SG, Singh B. Larynx and Trachea. In: Shah J, Patel SG, Singh B,
editors. Head and Neck Surgery and Oncology. Philadelphia: Elsevier Mosby.
2012. p. 811-992.
23