Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 84
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA
DIDIK DALAM HADIS PENDIDIKAN SHALAT
Prastio
Mahasiswa Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
e-mail: [email protected]
Abstract
In Islam, children are a mandate that must be loved, educated, and maintained as
well as possible. The embodiment of affection for children in such a way has been exemplified
by Rasulullah SAW but on the contrary, today it is very easy to find in Islamic societies
violent incidents whose victims are children. The most recent case example is the beating
incident by a teacher with the initials FM to YHM, class XI student of SMA 7 Moti, Ternate.
In the perspective of the field of religious psychology, one of the motivations that led to the
emergence of such acts of violence was the misrepresentation of the text of the hadith about
the permissibility of hitting a 10-year-old child who did not do the prayer. With textual
readings, some elements argue that the hadith clearly uses the word command (fi'il amr), and
the rule of uṣul states that the root origin of the word command indicates an obligation (al-
ashlu fi al-amri li al-wujub) .
In fact, on the other hand a blow to a child will cause some negative impacts. First,
children's growth and development will be hampered. Second, his intelligence will tend to be
static. Third, the abusive treatment that children receive influences behavior, that is, children
are more aggressive. Fourth, because violence is a traumatic experience, so the more often
children get violent the slower their mental development.
Keyword: Reinterpretation, Punishment, Children
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 85
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
Abstrak
Dalam Islam, anak adalah amanah yang harus disayangi, dididik, dan dijaga dengan
sebaik-baiknya. Perwujudan kasih sayang terhadap anak sedemikian rupa telah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW namun sebaliknya, dewasa ini justru mudah sekali ditemui dalam
masyarakat Islam peristiwa-peristiwa kekerasan yang korbannya adalah anak-anak. Contoh
kasus terbaru yaitu peristiwa pemukulan oleh oknum guru berinisial FM kepada YHM, siswa
kelas XI SMA Negeri 7 Moti, Ternate. Dalam prespektif bidang keilmuan psikologi agama,
salah satu motiv yang mendorong lahirnya tindak kekerasan seperti itu adalah adanya
misprespsi terhadap teks hadis tentang diperbolehkannya memukul anak usia 10 tahun yang
tidak mengerjakan ṣalat. Dengan pembacaan yang bersifat tekstualis, sebagian oknum
berargumen bahwa hadis tersebut jelas-jelas memakai kata perintah (fi’il amr), dan kaidah
uṣul menyatakan bahwa asal pokok kata perintah menunjukkan suatu kewajiban (al-ashlu fi
al-amri li al-wujub).
Padahal, di sisi lain pukulan terhadap anak akan menyebabkan beberapa dampak
negatif. Pertama, tumbuh kembang anak akan terhambat. Kedua, kecerdasannya akan
cenderung statis. Ketiga, perlakuan kasar yang diterima anak-anak berpengaruh terhadap
perilaku, yaitu anak bersikap lebih agresif. Keempat, karena kekerasan merupakan
pengalaman yang bersifat traumatik, sehingga semakin sering anak mendapatkan kekerasan
maka akan semakin lambat pula perkembangan mental mereka.
Kata Kunci : Reinterpretasi, Punisment, Anak
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 86
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
A. Pendahuluan
Dalam Islam, anak adalah amanah yang harus disayangi, dididik, dan dijaga
dengan sebaik-baiknya. Perwujudan kasih sayang terhadap anak sedemikian rupa telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana tertuang dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan An-Nasāi sebagai berikut:
Rasulullah datang mengunjungi sahabat Anṣar dan mengucapkan salam kepada anak-
anak mereka dan mengusap kepala-kepalanya.1
Berdasarkan hadis di atas, terlihat betul bagaimana Rasulullah SAW menyayangi
anak-anak dan berperilaku lemah lembut terhadap mereka. Namun sebaliknya, dewasa ini
justru mudah sekali ditemui dalam masyarakat Islam peristiwa-peristiwa kekerasan yang
korbannya adalah anak-anak. Contoh kasus terbaru yaitu peristiwa pemukulan oleh
oknum guru berinisial FM kepada YHM, siswa kelas XI SMA Negeri 7 Moti, Ternate.2
Dalam prespektif bidang keilmuan psikologi agama, salah satu motiv yang mendorong
lahirnya tindak kekerasan seperti itu adalah adanya misprespsi terhadap teks hadis
tentang diperbolehkannya memukul anak usia 10 tahun yang tidak mengerjakan ṣalat.
Dengan pembacaan yang bersifat tekstualis, sebagian oknum berargumen bahwa hadis
tersebut jelas-jelas memakai kata perintah (fi’il amr), dan kaidah uṣul menyatakan bahwa
asal pokok kata perintah menunjukkan suatu kewajiban (al-ashlu fi al-amri li al-wujub).3
Padahal, di sisi lain pukulan terhadap anak akan menyebabkan beberapa dampak
negatif. Pertama, tumbuh kembang anak akan terhambat. Kedua, kecerdasannya akan
cenderung statis. Ketiga, perlakuan kasar yang diterima anak-anak berpengaruh terhadap
perilaku, yaitu anak bersikap lebih agresif. Keempat, karena kekerasan merupakan
pengalaman yang bersifat traumatik, sehingga semakin sering anak mendapatkan
kekerasan maka akan semakin lambat pula perkembangan mental mereka.4
Dalam konteks pendidikan Islam, variabel-variabel di atas menunjukkan adanya
kesenjangan dari sisi metode yang digunakan, yaitu adanya kontraproduksi dari metode
punishment atau tarhīb interpretasi H.R Abu Daud dalam proses pendidikan ṣalat. Oleh
karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba untuk melakukan reinterpretasi terhadap
1 Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
hal. 79. 2 Fatimah Yamin, Guru Pukul Murid Pakai Mistar Kayu Hingga Tewas, (diambil dari
www.kompas.com pada tanggal 10 November 2015 pukul 16.36 WIB) 3 Ali Imron, Reinterpretasi Hadis Tarbawi Tentang Kebolehan Memukul Anak Didik, (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Islam Volume I, Nomor 2, Desember 2012), hal.
142-143. 4 Ali Imron, Reinterpretasi Hadis..., hal. 16-17.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 87
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
makna hadis tersebut menggunakan metode yang digagas oleh Abdullah Saeed, yaitu
metode penafsiran kontekstual. Kata context (konteks) berarti surrounding condition
(lingkungan sekitar), dan contextualize (konteksualisasi) bermakna to place a word,
phrase, or idea within a suitable context (menempatkan kata, frase atau ide dalam
konteks yang sesuai).5 Jadi yang dimaksud dengan kontekstualiasi di sini adalah
menempatkan makna H.R Abu Daud tentang punishment (memukul anak yang tidak
ṣalat) sesuai dengan kebutuhan dan/atau kondisi saat ini.
B. Langkah-langkah Interpretasi
Langkah-langkah operasional metode penafsiran kontekstual tersebut telah
disistematisasikan oleh Saeed dalam bukunya Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach yang terbagi dalam empat stage, yaitu (I) Encounter with the
world of the text, (II) Critical analysis, (III) Meaning for the first recipients, dan (IV)
Meaning for the present.6 Berikut adalah operasionalisainya pada H.R Abu Daud tentang
konsep punishment dalam pendidikan ṣalat:
Teks Hadis
حدثنا وكيع حدثنا سوار بن داود عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جده قل قل رَسول مروا أولادكم بالصلاة وىم أبناء سبع سنين واضربوىم عليها : الله صلى الله عليو وسلم
.وىم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضا جعArtinya: Hadis riwayat Waki’, hadis Sawwar bin Dawud, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari
ayahnya dari kakeknya, berkata Rasulullah SAW: Perintahkanlah anak-anakkmu
mengerjakan ṣalat di kala mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena
tidak mengerjakannya di kala mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat
tidurnya.8
1. Stage I: Encounter with the World of the Text
5 Hatib Rachmawan, Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Qur’an Abdullah
Saeed, (Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan, Jurnal Afkaruna Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2013), hal. 152-
153. 6 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Toward a Contemporary Approach, (London dan New
York: Routledge Publishing, 2006), hal. 150. 7 Abu Daud Sulaiman bin al-„Asy‟as as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Daud, Juz 1, No. 494, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), hal. 133. 8 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),
hal. 37.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 88
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
Menurut Saeed, yang perlu dilakukan dalam stage ini adalah encounter a broad
and general familiarization with the text.9 Artinya dalam konteks ini penulis
berkewajiban mengulas minimal seputar otentisitas sumber, kualitas sanad, dan
asbabul wurud hadis.
Pertama, hasil penelusuran kitab al-Mu’jam menunjukkan bahwa hadis tentang
punishment dalam pendidikan ṣalat dapat ditemukan dalam kitab Sunan Abu Daud,
Sunan at-Turmudzi, Sunan al-Darimi, dan Musnad Ahmad ibnu Hambal.10
Oleh karena itu,
diperlukan seleksi di antara keempatnya berdasarkan martabatnya, dan Sunan Abu Daud adalah kitab yang
nomor satu martabatnya di antara keempatnya atau martabat ketiga sesudah Sahihain
di antara al-Kutub al-Sittah.11
Kedua, rangkaian transmiter hadis di atas adalah Waki‟ ibn al-Jarrah, Sawwar
ibn Dawud, „Amr ibn Syu‟aib, dan Syu‟aib ibn Muhammad. Berikut adalah biografi
singkat beserta jarh wa ta’dil mereka:
Perawi Lahir - Wafat Guru Jarh wa Ta’dil
Waki‟ ibn al-
Jarrah
L : 127/128 H
W : 196/197 H
195 orang, di
antaranya:
a. Aban ibn
Sham‟ah
b. A‟masy
c. Daud ibn
Sawwar.
a. Ahmad ibn
Hambal: “Aku
tidak melihat
orang yang
mendalam
ilmunya dari
Waki”
b. Abu Hatim:
“Tsabt”
c. Al-Darimi:
“Thiqah,
„abid shalih”
Sawwar ibn
Dawud
L : -
W : 118 H
a. „Abd al-
Aziz
b. Ibn Abi
Bakrah
c. „Amr ibn
Syu‟aib.
a. Ibn Hibban:
“Thiqah”
b. Daruquthni:
“Hadisnya
bisa dijadikan
i‟tibar”
c. Abu Thalib
dari Ahmad:
“La ba‟s bih”
„Amr ibn Syu‟aib L : -
W : 118 H
22 orang, di
antaranya: a. Ummu
a. Al-Nasa‟i:
“Thiqah, la ba‟s bih”
9 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 150.
10 A. J. Weinsinck, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faaz al-Hadis al-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1936),
hal. 291. 11
M. Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), hal. 237.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 89
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
Kurz al-
Khuza‟ah
b. Sulaiman
ibn Yasar
c. Syu‟aib
ibn
Muhamad
b. Ayub ibn
Syu‟aib:
“Tidak ada
orang Quraisy
yang lebih
pandai dari
„Amr”
c. Al-Athram:
“Hadisnya
hujah”
Syu‟aib ibn
Muhamad
L : -
W : -
6 orang,
seperti Abd
Allah ibn
„Amr
Ibn Hiban:
“Thiqah”
Memperhatikan kualitas seluruh perawi di atas, semuanya menyandang status
thiqah dan di antara mereka benar-benar ada hubungan guru-murid. Serta mayoritas
mereka berada pada peringkat ta’dil yang rendah. Oleh karena itu, kesimpulannya
bahwa sanad hadis tersebut layak diberikan nilai muttashil, musnad, marfu’ hasan al-
isnad.12
Ketiga, penelusuran terhadap kitab asbabul wurud tidak ditemukan bahasan
mengenai hadis tersebut. Sehingga batasan arti umum/khusus, mutlak/terbatas,
naskikh/mansukh, ‘illat dan kemusykilanya13
tidak bisa diketahui secara spesifik.
Penulis hanya bisa menjelaskan situasi makro masyarakat Arab pada masa itu yang
nalar budayanya mau mengakomodir tindak kekerasan, terutama pada perempuan dan
anak-anak.14
2. Stage II: Critical Analysis
Menurut Saeed, yang perlu dilakukan dalam stage ini adalah mengkaji lebih
dalam apa yang diinginkan hadis tanpa dikaitkan dengan penerima dan kondisi saat
ini. Adapun aspek yang dibahas terdiri dari:
a. Linguistik
Secara linguistik, menurut Saeed yang perlu dijelaskan oleh seorang
mufasir salah satunya adalah berkenaan tentang the meaning of the words.15
Dalam
teks hadis yang menjadi objek kajian penelitian ini, terdapat satu kata kunci yang
12
Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),
hal. 218-227. 13
Al-Hafidzh Jalaluddin as-Sayuthi, Asbab Wurud al-Hadits: Proses Lahirnya Sebuah Hadis,
(Bandung: Pustaka, 1986), hal. 5-15. 14
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 50-57. 15
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 151.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 90
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
harus dijelaskan meaningnya agar memudahkan melakukan reinterpretasi
kontekstual, yaitu lafal waḍribū. Lafal ini berasal dari ḍaraba-yaḍribu-ḍarban
yang memiliki arti dasar memukul.16
Namun, lafal ini juga memiliki arti yang
cakupannya lebih luas, seperti ḍaraba ‘alā yadihi yang berarti amsaka yaitu
menahan diri dan ḍaraba maṡalan yang berarti bayyana yaitu memberi penjelasan.
Jadi selain memukul, lafal waḍribū memiliki banyak alternatif arti lain yang bisa
diambil untuk mdapatkan pemahaman yang lebih tepat dan komprehensif.17
b. Literary context
Operasional dari tahap ini menurut Saeed salah satunya adalah
menjelaskan structure of the text as well as its rhetorical style.18
Menurut hemat
penulis, redaksional waḍribū yang sering diartikan sebagai “pukulah” adalah
pemilihan diksi yang bersifat retoris guna mengisyaratkan dan menekankan
pentingnya pendidikan ṣalat bagi anak-anak. Tidak serta merta mengajarkan aksi
langsung main pukul terhadap anak yang tidak ṣalat. Sehingga, dalam hal ini
dibutuhkan istidlal tentang lafal tersebut guna mendapatkan pemahaman yang
lebih lengkap dari apa yang belum diketahui19
yang tersirat padanya.
c. Literary form
Menurut Saeed, pada tahap ini rangkaian kerja yang harus dilakukan oleh
seorang mufasir adalah identifying whether the text.20
Menurut analisis penulis,
hadis ini termasuk jenis hadis ahkam. Bahwa menunaikan ṣalat hukumnya wajib,
maka mendidik anak agar memiliki nilai, pengetahuan, dan keterampilan tentang
ṣalat hukumnya juga wajib. Karena kaidah uṣul menyatakan 21.ما لا يتم الوجب إلا بو فهو واجب
d. Parallel texts
Hadis ini memiliki banyak paralel tematis dengan teks-teks lain baik antar
sesama hadis maupun dengan al-Qur‟an. Namun begitu, karena keterbatasan waktu
penulis hanya mampu melakukan penelusuran dengan hasil sebagai berikut:
1) Q.S. Ṭāhā: 132
16
Adib Bisri dan Munawwir AF., Al-Bisri: Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999), hal. 432 17
Al-Alamah Abi al-Fadl Jamaludin Muhammad bin Mukarram ibn Manzur al-Afriki al-Misri, Lisān
al-Arāb, Juz XIV (Beirut: Daar al-Shaadir, 1992), hal. 543. 18
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 151. 19
Muhammad Rofik, Pengantar Pemahaman Ilmu Mantiq, (Surabaya: Al-Miftah, 2010), hal. 59 20
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 151. 21
“Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga
wajib. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah
yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 32.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 91
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
وأمر أىلك بالصلاة واصطبر عليها لا نسألك رزقا نحن نرزقك والعاقبة للتقوى
Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik)
itu adalah bagi orang yang bertakwa.
2) H. R Abu Daud
ابى ىريرة عن النبى ص م اذا ضرب احدكم اخاه فاليجتنب الوجهو
Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: Apabila salah seorang dari kalian
memukul saudaranya, hindarilah memukul wajahnya.
e. Presecedents
Q.S Ṭāhā: 132 di atas ditinjau dari masa turunnya maka ia hanya terbatas
pada istri Rasulullah SAW, Khadijah dan beberapa putra beliau bersama Ali bin
Abi Thalib. Tapi jika dilihat dari penggunaan kata ahlaka yang dapat mencakup
keluarga besar, maka ayat tersebut mencakup keluarga besar Rasulullah SAW.
Bahkan sebagian ulama memperluasnya mencakup seluruh umat beliau. Misalnya
Salman al-Farisi, dia bukan orang Arab, tapi beliau bersabda “Salman dari
(keluarga) kita, ahl al-bait”. Perkataan Rasulullah SAW tersebut tidak lain
dikarenakan alasan keimanan Salman.22
Oleh karena itu, kontekstualisasinya dalam lingkungan sekolah adalah
bahwa seorang guru juga memikul tugas untuk melaksanakan pendidikan ṣalat
kepada peserta didiknya. Namun, meskipun begitu dalam pelaksanaanya seorang
guru tetap tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan kepada peserta didik.
3. Stage III: Meaning for the First Recipients
Pada stage ini tugas seorang mufasir adalah mengaitkan teks pada penerima
pertama, dan menurut Saeed ada beberapa hal yang perlu dijelaskan dari mereka,
yaitu:
a. Socio-historical context
Analisis worldview, culture, customs, beliefs, norms, values and
institutions of the first recipients in Hijaz sangat urgen untuk studi hadis dalam
rangka mengetahui konteks di masa lalu pada saaat hadis berdialektika dengan
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hal. 402-403.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 92
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
ruang sosial untuk dijadikan cermin pandanag konteks kekinian bagi pencarian ide
dan gagasan dari munculnya sebuah peristiwa pada masa saat Nabi Muhammad
SAW bertindak sebagai utusan Allah SWT untuk misi kemanuisaan.23
Untuk hadis
ini tidak ditemukan asbabul wurudnya secara spesifik, sehingga untuk
menjelaskan socio-historical contextnya penulis hanya bisa menjelaskan situasi
makro masyarakat Arab pada masa itu yang nalar budayanya masih kental dengan
nuansa kekerasan, terutama pada perempuan dan anak-anak.
Hal ini didasari oleh keadaan penduduk Arab yang institusi sosial-
politisnya berbentuk kabilah (gabungan beberapa keluarga) dan kesukuan
(gabungan beberapa kabilah) yang sangat fanatis. Sehingga, dengan kondisi
georafis yang begitu keras24
, kehidupan sosial antar mereka terbiasa dengan
budaya kekerasan untuk mendapatkan daerah kekuasaan berupa sumber air. Dari
sini, status gender laki-laki menjadi diunggulkan karena dianggap sebagai pihak
yang memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk saling berperang. Oleh karena itu,
begitu pun juga sikap mereka terhadap anak-anak, keras, terutama bagi mereka
yang memiliki anak perempuan. Dianggapnya sebagai aib, sehingga mereka tidak
segan-segan untuk menguburkanya hidup-hidup.25
b. Worldview
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa keadaan sosial masyarakat Arab
pada waktu itu belum kondusif, banyak gesekan politik bernuansakan kekerasan
yang menyebabkan nalar budaya mereka mengalami kejumudan. Karena, cara
berpikirnya yang sangat sederhana dan hanya terbatas pada bagaimana berperang.
Sehingga, “wajar” bila redaksional yang dipilih Rasulullah SAW pada hadis
pendidikan ṣalat adalah kata pukulah. Karena memang terma itulah yang mudah
dipahami untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya mendidik anak untuk
ṣalat.
c. Nature of the message: legal, theological, ethical
ىم عليها وىم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضا جعواضربو وىم أبناء سبع سنين مروا أولادكم بالصلاة
23
Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Sukses
Offset, 2008), hal. 36 24
Pembagian daerah jazirah Arab: 1) Sahara Langit, kondisinya sangat jarang mata air. 2) Sahara
Selatan, hampir seluruhnya berupa dataran tandus, keras, dan pasir bergelombang. 3) Sahara Harrat, terdiri dari
tanah hat yang berbatu hitam terbakar. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban..., hal. 49. 25
A. al-Hashari, Tarikh Al-slami, (Beirut: Maktabah al-Kuliah al-Wujriyah, t.t.), hal. 23.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 93
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
Menurut analisis penulis, matan hadis di atas memiliki pesan-pesan yang
sifatnya berbeda. Ada yang universal dan ada yang spesifik-hierarkis. Pertama,
yang bersifat universal adalah pesan tentang kewajiban mendidik anak untuk ṣalat
(murū aulādakum biṣ-ṣalāti). Pesan ini berlaku kepada seluruh umat Islam, siapa
pun, kapan pun, dan di mana pun. Kedua, yang bersifat spesifik-hierarkis, yaitu
tentang praktek bagaimana cara mendidiknya. Matan hadis yang menyatakan
ketika anak berusia tujuh tahun agar diperintahkan ṣalat dan ketika anak berusia
sepuluh tahun agar dipukul kalau tidak ṣalat sejatinya menunjukkan sebuah
hierarki/tahapan pendidikan ṣalat. Antara “memerintah”-“memukul” ada tahapan-
tahapan lain yang harus diformulasikan sesuai semangat masing-masing zaman.
d. Message: contextual versus universal
Menurut analisis penulis, pesan perintah ṣalat (murū aulādakum biṣ-ṣalāti)
di atas masuk dalam level pertama/basic tujuan Qur‟an, obligatory values. Karena
ṣalat adalah perintah Allah SWT yang pelaksanaanya tidak tercampuri kultural
Arab. Sehingga aplikasinya dapat berlaku secara universal.26
Kemudian, tentang cara pendidikannya yang dilakukan dengan memukul
(waḍribū), menurut analisis penulis pesan tersebut masuk kategori instructional
values. Hal ini dikarenakan lafal tersebut menggunakan fi’il amr. Sehingga
pelaksanaannya bisa menyesuaikan dengan keadaan saat ini.27
Selain itu juga tidak
boleh bertentangan dengan a hierarchy of values di atasnya. Untuk konteks
Indonesia, yang masyarakatnya santun, lemah lembut dan berfisik tidak sekuat
bangsa Arab, pemberian pukulan kepada anak-anak akan menyebabkan
kemudaratan yang lebih banyak. Mulai dari luka, sakit, sampai meninggal seperti
dijelaskan pada bab pendahuluan di atas. Realita ini tidak sesuai dengan prinsip
fundamental values yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga
pemahaman hadis tentang memukul (waḍribū) sebagai instructional values harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini agar kompleksutas tujuan Qur‟an
tetap terjaga.
e. Relationship of the massage to the overall message of the Qur’an
Menurut Saeed, yang harus dilakukan oleh seorang mufasir pada tahap ini
adalah mengevaluasi bagaimana teks diterima, dipahami, dan diterapkan oleh
26
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 130. 27
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 137.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 94
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
komunitas pertama. Dalam kitab syarah Abu Daud, ‘Aunul Ma’bud, para ulama
berbeda pendapat dalam memahami lafal “pukulah”. Menurut al-Khottobi lafal ini
menunjukkan bahwa sangat keras sekali hukuman bagi anak yang sudah baligh
tapi tidak mau melaksanakan ṣalat. Kemudian, al-Qomah memahaminya dengan
memukul yang tidak menyakitkan dan tidak di wajah. Zuhri berpendapat bahwa
orang yang meninggalkan salat berarti fasiq dan harus dipukul dan diasingkan.
Sedangkan Imam Ahmad berkata: “Tidak ada dosa yang dapat membuat seseorang
itu menjadi kafir kecuali meninggalkan salat”.28
Setelah melihat dan memahami berbagai pendapat ulama di atas, ada yang
begitu keras dalam hukumannya, tetapi sebagian lain ada juga yang moderat.
Seandainya pendapat yang ekstrim tadi dipakai untuk mendidik anak-anak di
zaman sekarang, itu bukanlah pendekatan cocok ditengah-tengah arus utama
perlindungan HAM dan berlakunya UU perlindungan anak. Namun, adanya
keyword usia sepuluh tahun juga tidak bisa dipungkiri bahwa itu menunjukkan
masuknya batas status baligh bagi seorang anak yang berarti dia sudah mulai
dibebani pahala dan dosa (hukuman).
4. Stage IV: Meaning for the present
Pada stage seorang mufasir tugasnya mengaitkan teks dengan konteks saat ini.
Adapun hal-hal yang perlu dijelaskan terdiri dari:
a. Analysis of the present context
Masalah-masalah dan/atau kebutuhan-kebutuhan kekinian di sekolah yang
relevan dengan pesan-pesan dalam teks hadis tersebut antara lain adalah:
1) Adanya tuntutan pelaksanaan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak.
2) Metode pendidikan yang digunakan guru dalam mendidik anak untuk ṣalat
kurang menarik minat anak, karena cenderung konvensional (kebanyakan
ceramah).29
3) Banyaknya kasus kekerasan verbal dan kekerasan fisik yang terjadi di sekolah,
kurang lebih 6.006 kasus per Juli 2015.30
28
Ibnu Jauzy, ‘Aunul Ma’bud, jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 114. 29
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 89-90. 30
Diana Rafikasari, KPAI: Kekerasan terhadap Anak Tembus 6.006 Kasus, (diambil dari
www.sindonews.com pada tanggal 21 November 2015, pukul 15.30 WIB).
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 95
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
4) Adanya gempuran globalisasi seperti gadget, tayangan TV, dan internet yang
membuat anak terlalu asyik dengan dunianya sehingga lupa waktu ṣalat.
b. Present context versus socio-historical context
Islam datang ke Indonesia melalui jalan perdamaian, yaitu perdagangan,
perkawinan, dan kesenian.31
Sehingga dari awal sudah tertanam secara mendalam
prinsip kehidupan yang soft baik dalam ekonomi, politik, sosial, dan budayanya.
Terlebih saat ini dengan diberlakukannya UU No. 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Kalau dulu di Arab budaya kekerasan adalah hal biasa, maka
lain halnya dengan konteks Indonesia pada saat ini. Kekerasan pada anak adalah
suatu pelanggaran terhadap undang-undang yang notabene dibuat oleh pemerintah
dan DPR sebagai ulil amri yang harus ditaati menurut perintah Qur‟an suat An-
Nisā: 59.
c. Meaning from first recipients to the present
Menurut analisis penulis, terdapat beberapa nilai dari generasi pertama
yang tetap relevan untuk senantiasa dihayati dan dipedomani sampai saat ini.
Nilai-nilai tersebut antara lain:
1) Nilai keimanan, yaitu usaha meyakinkan peserta didik bahwa ṣalat adalah
perintah Allah SWT yang harus ditunaikan.
2) Nilai tanggung jawab, yaitu peserta didik diberitahu mana hak dan mana
kewajibannya yang harus dikerjakan.
3) Nilai kedisiplinan, yaitu peserta didik dibiasakan untuk istiqomah dalam
menunaikan ṣalat.32
d. Message: contextual versus universal
Menurut Saeed, pada tahap ini tugas seorang mufasir adalah
mengkomparasikan konteks saat ini dengan konteks teks, khususnya persamaan
dan perbedaannya. Oleh karena itu, agar mudah dipahami penulis membuatnya
dalam bentuk tabel sebagai berikut:
31
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban..., hal. 192. 32
Triwidyastutu, “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Hadist Perintah Ṣalat”, Skripsi, (Yogyakarta:
Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga, 2007), hal. 123.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 96
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
Indikator Konteks Teks Konteks Aktual
Kondisi georafis Padang sahara yang
tandus dan gersang
Lahan hijau yang
subur
Kondisi sosial Bersaing, berebut
dan berperang
Gotong royong,
lembut dan harmonis
Hukum positif Belum ada UU PA Berlaku UU PA
Metode pendidikan Konvensional Active learning
Perkembangan anak Sederhana Kompleks
Berdasarkan tabel di atas, pemukulan terhadap anak sifatnya hanya
lokalitas Arab, sedangkan kewajiban untuk mendidik anak agar ṣalat sifatnya
universal.
e. Application today
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Untuk konteks hadis di atas, anak berada dalam
fase realistic stage. Pada tingkat ini pemikiran anak yang pada awalnya terbatas
pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan logika. Pada tahap ini
teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun
dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga pesan dalam hadis
tersebut tetap berlaku secara universal. Bahwa anak harus diberi pelajaran dan
dibiasakan melakukan ṣalat sebagai wujud penghambaan manusia kepada Allah
SWT sebagai penguasanya.33
Kemudian, tentang pemukulan terhadap anak yang tidak ṣalat. Hal ini
tidak bisa serta merta dilakukan secara literal begitu saja untuk konteks saat ini.
Harus direinterpretasikan, dari teks yang menyatakan “pukulah” diambil nilai elan
dasarnya yang universal bahwa harus ada punishment terhadap anak yang
meninggalkan ṣalat. Kemudian dikontekstualisasikan dengan berbagai cara yang
bervariasi sesuai kondisi anak serta tidak melanggar hukum yang berlaku (UU
PA). Dalam hal ini penulis menawarkan metode tarhīb atau menakut-nakuti.
Tarhīb adalah upaya menakut-nakuti mansia agar mau melakukan suatu
perbuatan. Hadis di atas tidak akan kehilangan esensi, karena landasan dasar tarhīb
adalah hukuman. Dengan memanfaatkan rasa takut pada diri anak, model tarhīb
tidak hanya mendidik mereka pada aspek akal dan jasmani saja, tapi juga hati serta
jiwa. Model ini memanfaatkan rasa takut pada diri peserta didik untuk menjadi
33 Firdaus, Urgensi Psikologi Agama dalam Pendidikan: Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Jurnal
Al-Adyan, Vol.IX, Juli-Desember 2014), hal. 34-35.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 97
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
takut yang bermakna. Dalam terma Islam disebut al-khauf, bukan takut yang
berlebihan karena pengecut, tapi rasa takut atas dasar iman yang menjadikan
dirinya istiqamah untuk menjaga diri dari suatu perintah.
Ungkapan tarhīb seperti “jika adik tidak ṣalat, maka adik termasuk orang-
orang yang rugi” (Q.S Ali Imran: 149) meskipun lahirnya berupa ancaman, tapi
secara psikologis akan menghasilkan tekanan positif yang menyebabkan otak akan
terlibat secara emosional dan memungkinkan sel-sel syaraf bekerja secara maksimal
untuk memikirkan bagaimana agar menjadi oarang yang beruntung, yaitu mau ṣalat.34
Akan tetapi, model tarhīb ini juga tetap perlu digaris bawahi, bahwa model
pendidikan mempengaruhi perilaku peserta didik. Tarhīb tidak terpaku hanya pada
wujudnya, tapi juga bagimana cara menyampaikannya yang tidak boleh melebihi
batas kewajaran dan diukur berdasarkan norma dan hukum yang berlaku.35
f. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis tentang pendidikan
ṣalat yang diriwayatkan oleh Abu Daud pesan pada bagian awal matannya tentang
perintah mendidik anak untuk ṣalat berlaku universal. Sementara matan yang berisi
perintah untuk memukul anak yang tidak ṣalat sifatnya kasuistis untuk konteks
masyarakat Arab pada masa lampau. Tidak bisa serta merta digeneralisir apa lagi dalam
konteks dunia pendidikan Indonesia, sehingga harus dilakukan kontekstualisasi. Bahwa
kata “pukulah” mengandung makna bahwa harus ada punishment terhadap anak yang
meninggalkan ṣalat. Kemudian dikontekstualisasikan dengan berbagai cara yang
bervariasi sesuai kondisi anak serta tidak melanggar hukum yang berlaku. Dalam hal ini
penulis menawarkan metode tarhīb atau menakut-nakuti anak akan akibat dari seseorang
yang meninggalkan ṣalat.
34
Sugihartono, dkk., Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2006), hal. 22. 35
Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hal. 118-
124.
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 98
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2011). Metode Kritik Hadis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Abi al-Fadl Jamaludin Muhammad bin Mukarram ibn Manzur al-Afriki al-Misri, Al-Alamah.
(1992). Lisān al-Arāb, Juz XIV. Beirut: Daar al-Shaadir.
Al-Azdi, Abu Daud Sulaiman bin al-„Asy‟as as-Sijistani. (1994). Sunan Abi Daud, Juz 1, No.
494. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Hashari, A.. (t.t.). Tarikh Al-slami. Beirut: Maktabah al-Kuliah al-Wujriyah.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. (2001). Koleksi Hadis-hadis Hukum 2. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Bisri, Adib Bisri dan Munawwir AF. (1999). Al-Bisri: Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-
Arab. Surabaya: Pustaka Progressif.
Chalil, Moenawar. (2001). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta: Gema Insani
Press.
Dahlan, Jurnal Afkaruna Vol. 9 No. 2 Juli-Desember.
Djazuli, A.. (2006). Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Firdaus. (2014). Urgensi Psikologi Agama dalam Pendidikan: Keluarga, Sekolah dan
Masyarakat. Jurnal Al-Adyan, Vol.IX, Juli-Desember.
Imron, Ali. (2012). Reinterpretasi Hadis Tarbawi Tentang Kebolehan Memukul Anak Didik.
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Islam
Volume I, Nomor 2, Desember.
Jalaluddin as-Sayuthi, Al-Hafidzh. (1986). Asbab Wurud al-Hadits: Proses Lahirnya Sebuah
Hadis. Bandung: Pustaka.
Jauzy, Ibnu. (1990). ‘Aunul Ma’bud, jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Muhaimin. (2004). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mustaqim, Abdul. (2008). Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis.
Yogyakarta: Sukses Offset.
Rachmawan, Hatib. (2013). Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-
Qur’an Abdullah Saeed. Yogyakarta: Universitas Ahmad
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 99
Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020
Rafikasari, Diana. (2015). KPAI: Kekerasan terhadap Anak Tembus 6.006 Kasus. Diambil
dari www.sindonews.com.
Rofik, Muhammad. (2010). Pengantar Pemahaman Ilmu Mantiq. Surabaya: Al-Miftah.
Saeed, Abdullah. (2006). Interpreting the Qur’an: Toward a Contemporary Approach.
London dan New York: Routledge Publishing.
Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati.
Sugihartono, dkk.. (2006). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sumbulah, Umi. (2008). Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN-
Malang Press.
Supriyadi, Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syafri, Ulil Amri. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Triwidyastutu. (2007). “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Hadist Perintah Ṣalat”, Skripsi.
Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga.
Weinsinck, A. J. (1936). al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faaz al-Hadis al-Nabawi. Leiden: E.J.
Brill.
Yamin, Fatimah Yamin. (2015). Guru Pukul Murid Pakai Mistar Kayu Hingga Tewas.
Diambil dari www.kompas.com.